Ceritasilat Novel Online

Gerbang Siluman 1

Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 LEMBAH tandus tanpa tanaman sebatang pun itu
diselimuti oleh kabut yang membayang. Kabut tipis bergerak berarak-arak dengan
lamban. Wilayah yang dilapisi kabut itu cukup luas dan tinggi.
Sepasang bukit kembar tampak membayang jauh di belakang wilayah berkabut itu.
Dengan lain perkataan, lembah tandus itu adalah lembah yang sepi, kosong, tanpa
makhluk yang menghuninya. Bahkan Pendekar Mabuk cenderung mengatakan lembah itu
sebagai padang kabut berhawa sejuk.
Tapi anehnya Sang Tiara mengatakan, "Kita sudah sampai di depan Gerbang Siluman.
Berjalanlah lebih
dulu karena kau yang punya kepentingan temui Eyang Putri Batari!"
Pemuda tampan berperawakan tinggi, gagah, dan
kekar itu memandangi gadis berpakaian serba merah yang bernama Sang Tiara itu.
Tentu saja pandangan mata si murid sinting Gila Tuak terhadap gadis itu bukan
pandangan nakal atau berbau mesum, melainkan bernada penuh keheranan terhadap
ucapan si gadis tersebut.
Pendekar Mabuk yang akrab pula dipanggil dengan nama Suto Sinting itu mengakui
bahwa ia memang punya keperluan dengan Eyang Putri Batari sehubungan dengan obat
yang dibutuhkan untuk menyembuhkan penyakit sang Guru; si Gila Tuak. Obat itu
adalah 'Tuak Dewata', sesuai dengan perkataan roh sejati si Gila Tuak yang
bicara tentang 'Tuak Dewata' sebagai penyembuh sakitnya nanti.
Pendekar Mabuk juga membenarkan Sang Tiara
tentang keperluan menemui Eyang Putri Batari adalah keperluan pribadinya atas
saran Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu. Menurut sang Ratu, kemungkinan
besar Eyang Putri Betari yang sebagai ibunya sang Ratu itu mengetahui tentang
'Tuak Dewata', sehingga ada baiknya jika Suto Sinting mencoba menanyakan hal itu
kepada Eyang Putri Batari di Gerbang Siluman.
Untuk menunjukkan kesungguhannya,
Pendekar Mabuk yang sebagai panglima atau Manggala Yudha Kinasihnya Ratu Kartika Wangi
itu diperintahkan untuk melawan raja jin yang bernama Raja Barong. Raja Barong
ingin membebaskan para siluman yang ditawan
di Gerbang Siluman atas bujukan Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa, musuh
utama sang Pendekar Mabuk. Dan ternyata dalam usahanya menggagalkan penyerangan
Raja Barong, Pendekar Mabuk bukan
hanya berhasil menundukkan saja, namun juga berhasil membunuh si raja para jin
itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Misteri Tuak Dewata").
Sang Tiara yang ditunjuk oleh Ratu Kartika Wangi untuk menjadi pemandu Suto
dalam perjalanan ke Gerbang Siluman, ternyata telah keluarkan ucapan yang
janggal di hati Suto. Dari semua perkataan Sang Tiara tadi, hanya satu hal yang
membuat Suto Sinting merasa janggal serta heran.
"Kita sudah tiba di depan Gerbang Siluman"!"
Pendekar Mabuk mempertegas ucapan itu dengan nada tak percaya.
"Di depan kita itulah Gerbang Siluman," ujar Sang Tiara sambil memandang daerah
yang dinamakan oleh Suto sebagai padang kabut.
"Candamu lucu juga, Tiara. Padang kabut kau katakan Gerbang Siluman. He, he,
he...! Aku merasa seperti orang buta mendadak jika kau bilang begitu."
"Rupanya kau belum diberi tahu oleh Gusti Kartika Wangi."
"Diberi tahu tentang apa"!"
"Cara memandang Gerbang Siluman."
Suto membetulkan letak bumbung tuak yang digantungkan di pundak kanannya.
"Caranya bagaimana, maksudmu?"
"Tarik napas dalam-dalam, tahan di dada, pejamkan mata sebentar, lalu buka mata
bersama hembusan napas memanjang," Sang Tiara menjelaskan, dan Pendekar Mabuk
semakin memandang aneh, karena merasa baru kali itu mendengar aturan tersebut.
Tetapi rasa penasaran Suto membuatnya ingin
mencoba apa yang diajarkan Sang Tiara itu. Ia menarik napas panjang, ditahan di
rongga dada, matanya dipejamkan
sebentar, kemudian mata dibuka lagi bersama napas dihembuskan lewat mulut.
"Huuuufh...!"
Deg! Suto Sinting kaget. Matanya kian melebar.
Pandangannya tertuju ke arah depan, tempat yang dikatakan sebagai ladang kabut
itu ternyata berubah dalam sekejap. Kabut memang masih ada, tapi kabut itu kini
membungkus bangunan bertembok tinggi bagaikan benteng batu yang kekar dan besar.
Tapi anehnya lagi, bangunan itu tidak mempunyai pintu. Temboknya rata bagai tak
berlubang seujung jarum pun. Hanya saja, tepat di depan Suto Sinting dan Sang
Tiara itu terdapat sebuah
gapura dari batu hitam bersusun-susun sedemikian rupa membentuk tiang gawang, seperti gapura-gapura model Jepang.
Letak gapura batu itu dengan dinding tinggi-hitam sekitar dua puluh tombak. Jadi
masih jauh dari dinding tersebut. Seolah-olah gapura batu hitam itu hanya
sebagai tanda bahwa seseorang yang berada di depan gapura tersebut sama saja
sudah berada di wilayah Gerbang Siluman.
"Aneh...," Suto Sinting menggumam dengan mata memandang bangunan di depannya,
dahi berkerut dan mulut masih sedikit ternganga. Sementara itu, Sang Tiara masih
belum mau melangkah mendahului Suto. Ia hanya berdiri di samping Suto,
menyelipkan kedua jempol tangannya ke dalam sabuk dan sikap berdirinya tampak
tegar, penuh keberanian, namun juga berkesan cuek dengan kebingungan Suto
Sinting. "Benarkah bangunan batu hitam itu adalah Gerbang Siluman?" tanya Suto Sinting
masih kurang yakin dengan penglihatannya sendiri. Maklum, kali ini ia berada di
alam gaib, bukan di alam nyata, jadi cukup banyak keanehan-keanehan yang sering
membuatnya tercengang atau bingung sendiri.
Sang Tiara menanggapi kesangsian Suto tadi dengan dagu sedikit diangkat,
sehingga kecantikannya tampak mengandung kadar keangkuhan, walau hanya sekilas
dua kilas. "Kau pikir yang di depan kita itu kandang kebo?"
Suto tersenyum geli-geli malu.
"Masuklah, aku tak berani mendahuluimu masuk ke Gerbang Siluman," tambah Sang
Tiara yang berambut cepak dan kepalanya dililit logam emas berukuran kecil.
"Apakah... apakah kita berada di bagian belakang Gerbang Siluman?" tanya Suto
sambil melayangkan pandangannya ke tembok batu besar itu.
"Tidak. Kita berada di depan Gerbang Siluman. Kita tinggal masuk saja."
"Mana pintunya" Aku tidak melihat ada pintu pada
tembok batu yang mirip benteng raksasa itu."
"Namanya saja Gerbang Siluman, tentu saja pintunya juga pintu siluman yang tak
mudah dilihat oleh sembarang mata," ujar Sang Tiara sambil membetulkan letak
pedangnya di punggung.
"Jadi, bagaimana caranya masuk ke Gerbang Siluman dan menemui Eyang Putri
Batari"!"
"Usaplah wajahmu tiga kali dengan tangan kiri, maka kau akan melihat pintu masuk
ke bangunan tersebut!"
Walau hati merasa heran, tapi Pendekar Mabuk
mencoba saran Sang Tiara, ia mengusap wajahnya tiga kali memakai tangan kiri.
Dan begitu selesai mengusap wajah tiga kali, matanya segera menemukan pintu
masuk ke bangunan besar itu.
"Oh, benar apa katamu, Tiara," gumam Suto Sinting.
Pintu tersebut berbentuk lengkung bagian atasnya.
Daun pintunya terbuat dari lempengan batu besar yang tidak
sembarang orang mampu menggeser atau membuka pintu tersebut. Di depan pintu ada jembatan kayu, karena bangunan itu
bagai berada di tengah danau tak berair, namun berkabut tebal.
Langkah Pendekar Mabuk tampak tegap. Tetapi
langkah itu segera terhenti karena Sang Tiara mencekal lengan
pemuda tampan berambut panjang lurus sepundak itu. "Ada apa lagi?" tanya Suto sambil memandang Sang Tiara.
"Lewatlah tengah gapura ini!"
"Apa bedanya jika kita melangkah melalui samping
gapura, toh tidak ada pagar dan batasan lainnya?"
"Kau tidak akan sampai ke pintu gerbang itu jika tidak melalui jalan tengah
gapura ini, Suto! Siapa pun yang tidak melalui jalan gapura akan tersesat dan
tak akan dapat temukan jalan keluarnya. Kau akan hilang lenyap tak berbekas!"
Pendekar Mabuk menggumam dan manggut- manggut. "Gadis ini benar-benar menjadi pemandu yang baik," pikirnya, "Ia bukan
saja menunjukkan jalan yang benar, tapi juga menjelaskan akibat-akibatnya. Tak
salah Ibu Ratu membekaliku pemandu secantik Tiara ini."
Tanpa panduan dari Sang Tiara, mungkin Suto akan sampai di tempat lain dan
menemukan masalah yang lebih banyak lagi. Sang Tiara bukan saja sebagai pemandu,
namun juga termasuk sebagai kunci masuk ke Gerbang Siluman. Karena dua penjaga
Gerbang Siluman yang terdiri dari dua pemuda tampan berpakaian serba putih dan
masing-masing memegang tombak berujung trisula itu, tak jadi banyak tanya kepada
Suto begitu melihat Sang Tiara ada bersama Pendekar Mabuk. Sebab wajah dan nama
Sang Tiara sudah bukan asing lagi bagi para penjaga Gerbang Siluman. Bahkan
tegur sapa mereka menampakkan sikap persahabatan yang tinggi antara orang-orang
Gerbang Siluman dengan pihak Puri Gerbang Surgawi.
Namun biar bagaimanapun juga, Sang Tiara dan
Pendekar Mabuk tetap harus mengisi buku tamu, dan masing-masing mendapat
lempengan logam merah
tembaga berbentuk segi tiga. Logam merah tembaga
yang ketiga sisinya berukuran setengah kelingking itu disematkan di dada kiri
sebagai lencana pengganti kartu nama.
"Lencana ini dapat dipakai untuk bicara dengan Eyang Putri Batari," ujar Sang
Tiara kepada Suto Sinting.
"O, ya" Caranya bagaimana?"
"Tempelkan tangan kanan kita menutup segi tiga ini, lalu bicaralah apa saja
kepada Eyang Putri maka kau akan mendengar jawabannya."
Hati pemuda tampan berbaju tanpa lengan warna
coklat serta celana putih lusuh itu mulai digelitik rasa penasaran. Maka ia pun
mencoba apa kata Sang Tiara itu. Ia menempelkan telapak tangan kanannya sambil
memandang ke arah kedua penjaga yang tetap memberikan senyum keramahan.
"Hallo, di sini Suto Sinting, di situ siapa" Ganti."
Tiba-tiba telinga Suto bagaikan menangkap suara orang yang bicara dalam jarak
satu langkah dari sampingnya.
"Manggala Yudha utusan putriku, cepat temui aku dan jangan bercanda dulu."
"Tiara... aku mendengar suara merdu seorang perempuan," ucap Suto dalam bisikan.
"Itulah suara Eyang Putri!" Sang Tiara balas berbisik dengan nada sedikit
tegang. "Kau jangan ngomong sembarangan lho!"
Suto pun menjadi takut, ia segera berkata sambil tetap memegang lencana merah
tembaga itu. "Maaf, Eyang... saya tidak tahu kalau tanda tamu ini benar-benar bisa dipakai
bicara kepada Eyang Putri."
"Masuklah dan segera temui aku, Manggala perkasa!"
"Eh, Tiara... sekarang julukanku di sini diganti.
Bukan Manggala Yudha tapi Manggala Perkasa."
"Perkasa itu kata sanjungan, Tolol!" Sang Tiara mengulum senyum geli.
Di dalam tembok hitam yang tinggi dan panjang itu, ternyata terdapat sebuah
istana kecil dengan bangunan-bangunan beratap candi. Keadaan di dalam Gerbang
Siluman sangat berbeda dengan di luar. Di situ tanah tampak subur dan tanaman
jenis rumput serta pepohonan tumbuh menghijau tertata rapi. Rumput menghampar
bagaikan bentangan permadani yang amat luas.
Ternyata di situ pun ada petugas khusus penyambut tamu. Dua petugas itu terdiri
dari dua gadis berambut panjang dan hanya mengenakan pinjung penutup dada serta
kain pembungkus pinggul yang meliuk indah.
Para petugas itu membawa gulungan kain seperti angkin warna merah. Gulungan kain
itu dibentangkan, ternyata gulungan itu bergerak sendiri dari tempat Suto
berdiri sampai ke ruang pertemuan di dalam istana kecil itu. Pendekar Mabuk
dipersilakan melangkah mengikuti jalur merah itu, sementara Sang Tiara
mengikutinya dari belakang.
Pendekar Mabuk sangat terkejut ketika mengetahui bahwa ternyata
Eyang Putri Batari bukan sosok perempuan tua bungkuk dan berkulit keriput serta berpipi kempot. Eyang Putri
Batari mempunyai wajah
cantik, muda, seperti berusia dua puluh lima tahun.
Bahkan sangat tak pantas jika dikatakan sebagai ibu dari Ratu Kartika Wangi.
Karena kecantikan Ratu Kartika Wangi itu sendiri seperti berusia dua puluh
delapan tahun, padahal usia sebenarnya lebih dari delapan puluh dua tahun.
Pendekar Mabuk nyaris tak mau percaya bahwa
perempuan muda dan cantik itu adalah nenek dari Dyah Sariningrum, calon istrinya
kelak. Jika Suto Sinting sudah menikah dengan Dyah Sariningrum, penguasa Puri
Gerbang Surgawi di alam nyata yang berkedudukan di Pulau Serindu itu, maka
berarti perempuan cantik yang kini ada di depannya itu adalah neneknya pula.


Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Janggal dan lucu sekali kedengarannya jika Suto memanggilnya nenek atau eyang.
Tetapi agaknya Eyang Putri Batari dapat membaca pikiran Suto Sinting, sehingga
dengan sunggingkan senyum manis yang anggun, perempuan berambut putih rata
bagaikan bulu kelinci itu berkata dengan mata indahnya yang bundar memandang tak
berkedip ke wajah Suto Sinting.
"Seharusnya
kau merasa beruntung bertemu denganku dalam keadaan seperti ini, Suto. Kalau kau bertemu denganku dalam
keadaan sesuai dengan usiaku yang melebihi usia Gila Tuak, maka kau akan lari
terbirit-birit dan merasa jijik melihat tulangku terbungkus kulit yang keriput."
"Maaf, Eyang Putri...," Suto jadi malu sendiri dan untuk sesaat tak berani
memandang Eyang Putri Batari.
Perempuan yang menurut Suto wajahnya lebih mirip Betari
Ayu, kakak Dyah Sariningrum yang
kini mengasingkan diri di Gunung Kundalini itu, mempunyai bentuk dada yang sangat
bagus. Tidak terlalu montok, namun penuh daya pikat tersendiri. Padat dan
berisi. Kulitnya yang putih mulus itu dibungkus dengan jubah sutera warna hijau muda
bertabur butiran intan. Rambut putihnya dibiarkan lepas tergerai sepanjang
punggung, tapi bagian atasnya bersanggul kecil dengan sanggul dililiti logam
emas berbatuan mirah delima.
Perempuan itu mempunyai mata bundar berbulu
lentik yang jika beradu pandang menghadirkan hawa sejuk di hati, membuat jiwa
yang resah menjadi tenteram dan membuat hati selalu merasa damai. Anehnya,
sekalipun seluruh kecantikan dan keelokan tubuhnya sempat membayang di benak
Suto, tetapi sedikit pun tak ada debar-debar kemesraan yang tumbuh di hati
Pendekar Mabuk. Pemuda yang biasanya sering berkhayal ngeres itu kali ini hanya merasa sangat kagum terhadap kecantikan dan
keelokan tubuh Eyang Putri Batari, tak ada hasrat untuk menciumnya. Bahkan
khayalan untuk menggenggam tangan perempuan itu sama sekali tidak ada di benak
Suto. Tetapi agaknya sang nenek cantik itu merasa kagum dengan
ketampanan Suto yang berpenampilan sederhana, ia sempat berkata di depan dua pengawalnya dan di depan Sang Tiara
juga. "Pemuda segagah dirimu sangat serasi bila perjodohan dengan cucuku; Dyah Sariningrum. Tak
kusangka aku akan mendapatkan seorang cucu menantu yang begitu tampan, kekar,
dan perkasa. Ilmunya gila-gilaan, tak ada duanya di permukaan bumi maupun di
alam gaib ini."
Pendekar Mabuk hanya tertunduk dengan tersipu
malu. "Ketangkasanmu dalam bertarung melawan Raja Barong, kulihat dari sini dengan
jelas melalui mata batinku.
Kukenali gerakan jurus-jurusmu sebagai gerakan jurus-jurus milik seseorang yang sangat dekat dengan hatiku."
Sebenarnya Suto ingin ajukan tanya tentang siapa orang yang sangat dekat dengan
hati Eyang Putri Batari itu.
Tetapi ia tak punya keberanian memotong pembicaraan perempuan cantik yang anggun dan tampak sangat
berkharisma itu. Maka, Suto pun hanya bungkamkan mulut dalam keadaan tetap duduk bersila di depan Eyang Putri Batari.
"Hanya saja, sangat disayangkan sekarang darahmu telah tercemar oleh darah
siluman tulen."
Kata-kata ini membuat Pendekar Mabuk menjadi
deg-degan dan segera teringat tentang ilmu 'Dewatakara'
pemberian Payung Serambi, sang prajurit unggulan dari Istana Laut Kidul itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Geger Selat Bantai"). Suto tidak
tahu bahwa masuknya ilmu 'Dewatakara' dalam dirinya membuat ia menjadi berdarah
siluman dan hanya bisa kawin dengan rakyat Laut Kidul.
Eyang Putri Batari berkata lagi, "Tetapi aku maklum,
keterbatasan manusia kadang tak bisa disalahkan begitu saja. Barangkali memang
sudah menjadi takdir bahwa kau menjadi pemuda berdarah siluman."
"Maaf, Eyang Putri....," kini Suto berani menyela kata karena Eyang Putri Batari
diam beberapa saat lamanya.
"Apakah selamanya saya akan menjadi manusia berdarah siluman?"
Dengan senyum wibawa yang memancarkan kecantikan lebih tinggi lagi itu, Eyang Putri Batari geleng-gelengkan kepala
sangat pelan. "Semua ini adalah perjalanan hidupmu, Suto Sinting.
Perjalanan hidup yang sudah digariskan harus begitu tak bisa dihindari oleh
siapa pun. Seseorang yang berusaha menghindari garis hidupnya maka ia akan
menemukan penderitaan, sakit, dan kecewa. Tetapi orang pandai akan mengikuti
alur kehidupannya sesuai dengan garis, sehingga tidak terasakan sakit, kecewa,
dan duka."
"Jadi... saya masih punya harapan untuk tetap berjodohan dengan Dyah
Sariningrum, Eyang"!"
"Lihat saja nanti. Tergantung bagaimana keadaan gurumu; si Gila Tuak itu."
Pendekar Mabuk termenung sebentar. Hatinya membatin, "Sepertinya Kakek Guru punya peranan penting dalam memulihkan
keadaanku yang berdarah siluman ini. Tetapi bagaimana mungkin Kakek Guru itu
bisa menyempurnakan kembali darahku, jika beliau sakit dan aku tak berhasil
dapatkan 'Tuak Dewata' itu"
Bukankah jika 'Tuak Dewata' tak berhasil kudapatkan, berarti Guru kehilangan
nyawanya?"
"O, kau bicara tentang 'Tuak Dewata' rupanya?" tegur Eyang Putri Batari yang
membaca pikiran Suto dan mendengar kata batin sang pendekar tampan itu.
"Benar, Eyang Putri.... Ibu Kartika Wangi mengutus saya untuk menemui Eyang
Putri dan menanyakan
tentang Tuak Dewata' itu."
"Putri ragilku memang selalu melimpahkan kesulitan kepadaku," kata Eyang Putri
Batari sambil mengenang wajah putri ragilnya: Sang Ratu Kartika Wangi.
"Apa yang kau cari itu sebenarnya tidak ada, Suto."
Deeeg. .! Jantung Suto bagai disentakkan dari dalam.
Harapan untuk dapatkan 'Tuak Dewata' agaknya semakin jauh. Walau ia sudah
memburu ke alam gaib dan
bertanya pada tokoh sakti kelas tinggi di alam tersebut.
Pendekar Mabuk menjadi resah. Tapi begitu memandang sorot mata Eyang Putri Batari, keresahannya lenyap seketika dan kedamaian muncul bersama ketenangannya.
"Lebih tepatnya, aku tidak tahu tentang 'Tuak Dewata' itu," sambung Eyang Putri
Batari. "Penyakit yang
diderita gurumu adalah penyakit hukuman. Gurumu mempunyai satu ilmu yang belum diturunkan kepada muridnya. Padahal dalam
batas usianya yang sekarang, seharusnya ilmu itu sudah diturunkan atau dibuang.
Gurumu lupa menurunkannya padamu, sehingga ia termakan hukuman dari kelalaiannya itu."
"O, begitu ya. Eyang"!" Suto Sinting jadi tampak serius, karena baru sekarang ia
mengetahui bahwa gurunya masih punya satu ilmu yang belum diturunkan
padanya. "Bagaimana
kalau Guru menurunkan ilmu itu sekarang juga pada saya, apakah bisa menyembuhkan sakitnya. Eyang Putri?"
Calon nenek mertua itu menggelengkan kepala.
"Tak mungkin Gila Tuak dapat turunkan ilmu itu kepadamu sekarang, sebab ia dalam
keadaan sakit parah.
Satu-satunya cara harus sembuhkan dulu si Gila Tuak dan ingatkan padanya bahwa
ia punya satu ilmu yang harus diturunkan atau dibuang."
"Tapi menurut roh sejati Kakek Guru, kesembuhan itu akan datang jika saya sudah
dapatkan 'Tuak Dewata'.
Sedangkan Ibu Ratu dan Eyang Putri mengatakan 'Tuak Dewata' itu tidak ada. Lalu,
saya harus berbuat apa jika begini, Eyang Putri"!"
"Ada cara yang mungkin bisa kau tempuh untuk mengetahui rahasia 'Tuak Dewata'
itu. Kusarankan agar kau bertapa dan meminta petunjuk Hyang Maha Dewa tentang
tuak tersebut."
Pendekar Mabuk manggut-manggut renungi kata-kata Eyang Putri Batari.
"Sucikan dirimu, bersihkan batinmu, lakukanlah semadi yang dinamakan 'Tapa
Layang' selama empat puluh
hari," tambah Eyang Putri Batari dengan menampakkan sikap ingin membantu kesulitan Suto Sinting.
"Tapa Layang itu bagaimana, Eyang?"
"Jika duduk atau berdiri jangan menyentuh tanah, jika menggantung jangan
berpegangan pada benda apa pun,"
jawab Eyang Putri Batari. "Syukur kurang dari empat puluh hari kau sudah
mendapat wangsit dari Hyang Maha Dewa tentang 'Tuak Dewata' itu. Seandainya
tidak, aku yakin pada hari keempat puluh dari bertapamu itu kau akan mendapatkan
petunjuk dari Hyang Maha Dewa tentang kesulitanmu itu. Apakah kau sanggup, calon
mantu cucuku?"
"Sanggup sekali, Eyang Putri."
"Tapi ingat, kau bertapa di alam gaib, maka godaanmu akan sangat besar dibanding
bertapa di alam nyata. Para siluman yang masih berkeliaran dan tidak
terperangkap dalam tawananku, pasti akan datang mengganggumu. Untuk itu, akan
kuutus Sang Tiara mendampingi tapamu di Gua Pedupan, tak jauh dari tempat ini."
Kemudian Eyang Putri Batari bicara kepada Sang Tiara.
"Tiara, sanggupkah kau mendampingi Manggala Yudha-mu dalam lakukan Tapa Layang
nanti?" "Dengan senang hati, saya tak akan tinggalkan Gusti Manggala Yudha, Eyang
Putri," jawab Sang Tiara dengan tegas sambil memberi hormat.
"Aku percaya padamu. Kartika tak pernah salah memilih prajurit unggulan
sepertimu. Aku senang sekali mendengar kesanggupanmu. Tiara. Bantulah calon
suami cucuku ini, maka akan kusiapkan penghargaan khusus untukmu."
"Terima kasih, Eyang Putri!" sambil Sang Tiara tundukkan kepala penuh hormat.
"Berangkatlah kalian ke Gua Pedupan sekarang juga.
Karena kurasakan sakitnya si Gila Tuak semakan parah.
Lewat dari empat puluh hari lagi nyawanya tak akan dapat tertolong."
Pendekar Mabuk tersentak kaget dan menjadi tegang.
* * * 2 ALAM gaib itu sepertinya tak pernah ada siang dan tak pernah ada malam.
Suasananya seperti menjelang sore pada saat langit mendung. Agaknya suasana
seperti itu akan abadi sepanjang masa.
Pendekar Mabuk tak tahu apakah ia berangkat ke Gua Pedupan menjelang sore hari
atau tengah malam. Dalam perjalanannya yang didampingi Sang Tiara itu, Suto
tidak mempersoalkan tentang siang atau malam. Hal itu hanya terlontar dalam
gumam lirihnya saja. Tetapi yang menjadi persoalan yang perlu dibicarakan oleh
Suto adalah tentang keadaannya yang telah tercemar oleh darah siluman itu.
"Mengapa Eyang Putri dan Ibu Ratu, termasuk dirimu juga agaknya, selalu
mempersoalkan tentang diriku yang telah berdarah siluman"! Bukankah kalian juga
termasuk siluman"!"
"O, jangan salah! Kami bukan siluman. Kami manusia sepertimu, tapi punya
keabadian dan kesaktian melebihi manusia sepertimu."
"Melebihi..."!" kata-kata itu sengaja ditekankan oleh Suto membuat Sang Tiara
segera sadar dan tak enak hati.
"Maksudku, punya banyak kelebihan dibanding manusia yang hidup di alam nyata. Di
sini kami tinggal bersama keabadian, termasuk keabadian usia, keabadian raga,
keabadian kecantikan,

Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keabadian batin dan sebagainya. Orang-orang yang mati moksa atau lenyap tanpa bekas, sebenarnya
punya kehidupan sendiri di alam kami ini, Suto. Mungkin suatu saat kau akan
bertemu dengan mereka yang moksa dari alam nyata."
"O, jadi kalian sebenarnya bukan roh yang bergentayangan?"
"Bukan,"
tegas Sang Tiara. "Roh yang bergentayangan atau dzat orang yang telah mati, dia menjelma dan hidup kembali
di alam kelanggengan.
Hampir sama dengan alam keabadian ini. Bedanya, alam kelanggengan dihuni oleh
para roh yang menunggu saat penghakiman di hari akhir tiba. Alam kelanggengan
itu ada di sebelah sana," sambil Sang Tiara menunjuk ke arah kirinya.
"Di sana mereka bercampur baur dengan jin, siluman, hantu atau hal-hal lain yang
bersifat gelap. Karena itu alam kelanggengan mereka sering kita beri sebutan
alam kegelapan."
"Apakah dengan begitu maka alam kita sekarang ini adalah alam surga?"
"Bukan juga alam surga. Kehidupan surgawi masih ada di atas kita, seakan
tingggal satu jangkauan lagi.
Sebab itulah, maka negeriku dinamakan Puri Gerbang
Surgawi. Artinya, sebentar lagi memasuki gerbang surgawi
jika kami benar-benar telah mencapai kesempurnaan dalam hidup. Tetapi untuk mencapai kesempurnaan itu ternyata bukan
hal yang mudah. Tidak semua orang mampu mencapainya ke sana."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dan merasa
tertarik sekali dengan penjelasan tersebut. Sayang percakapan
mereka harus dihentikan, pengupasan tentang kedua alam itu harus ditangguhkan, karena mereka sudah mencapai sebuah
lembah bertebing tinggi.
Di sana tampak sebuah mulut gua yang menganga lebar dengan bebatuan menyerupai
bambu-bambu berdiri sebagai pagar mulut gua tersebut.
"Tunggu sebentar,"
cegah Sang Tiara sambil mencekal lengan Pendekar Mabuk.
"Ada apa, Tiara" Kau selalu mengejutkan hatiku."
"Kita salah alamat," ujar Sang Tiara dengan suara berbisik. "Yang di depan kita
pasti bukan Gua Pedupan asli. Tempat
itu pasti jebakan maut yang akan mencelakakan diri kita, Suto."
"Dari mana kau tahu?"
"Biasanya sebelum mencapai lembah ini, kita akan berhadapan dengan Kalabolong."
Pendekar Mabuk kerutkan dahinya. "Siapa itu
Kalabolong?"
"Penjaga Lembah Pedupan. Hanya orang yang mampu kalahkan Kalabolong boleh
bertapa di Gua Pedupan. Sebab Gua Pedupan bukan gua sembarangan, melainkan gua
yang sering digunakan untuk bertapa para
tokoh tingkat tinggi. Untuk membuktikan bahwa tokoh yang mau bertapa itu berilmu
tinggi, maka Kalabolong selalu hadir untuk merintanginya. Tak jarang orang yang
mau bertapa terpaksa lari pulang karena tak sanggup hadapi kekuatan Kalabolong."
"Hmmm...," Pendekar Mabuk manggut-manggut.
Sementara gadis cantik berbibir ranum itu memandang sekeliling dengan jeli, Suto
sempatkan diri untuk meneguk tuaknya dari bumbung bambu yang ke mana-mana selalu
dibawanya itu. "Gila!" suara Sang Tiara terdengar menggumam. "Di sebelah kanan kita juga ada
gua yang serupa dengan gua depan kita!"
Suto memandang arah kanan. "Hmmm... benar juga.
Susunan batu dan bentuk mulut gua itu sama persis dengan...."
"Di belakang kita juga ada gua serupa."
Pendekar Mabuk berpaling ke belakang. "Benar-benar gila ini!" gumamnya setelah
mengetahui di belakangnya juga ada gua yang serupa dengan gua di depannya.
"Hmmm... lihat, di sebelah kiri kita juga ada gua yang sama!"
Dua orang itu dibuat bingung oleh persamaan dari keempat gua tersebut. Bahkan
bukan saja bentuk dan susunan bebatuannya yang sama, melainkan suasana
sekelilingnya juga sama, sehingga mereka merasa berhadapan dengan cermin empat
sisi. "Pasti ini ulah si Kalabolong yang ingin menjerumuskan kita!" geram Sang Tiara dengan mata melirik tajam penuh waspada.
"Bagaimana cara membedakan gua yang asli dan yang jebakan?" tanya Suto Sinting
yang agaknya menjadi bingung sendiri itu.
Setelah diam sesaat, Sang Tiara perdengarkan suara.
"Seingatku, Gua Pedupan yang asli berlapis udara baja."
"Maksudnya udara baja?"
"Tidak mudah dihancurkan karena udaranya mengandung kekuatan baja gaib."
"Kalau begitu, akan kucoba menghantamnya dengan pukulan jarak jauh bertenaga
tinggi!" kata Suto, lalu tangannya segera menyentak ke depan dan seberkas sinar
biru melesat dari tangan itu. Claaap...!
Jegaaarrr...! Jurus 'Tangan Guntur' menghantam gua yang ada di depan mereka. Gua itu langsung
hancur dengan bunyi gemuruh yang menggetarkan tempat mereka berdiri.
Sang Tiara tak mau kalah, ia pun lepaskan jurus aneh dari telunjuknya. Hanya
dengan satu jari menuding dan menyodok ke depan maka sinar merah lurus melesat
dari ujung jari dan menghantam gua sebelah kiri mereka.
Claaap...! "Jegaaarrr...!
Gua sebelah kiri hancur. Pada saat itu, Suto Sinting lepaskan kembali jurus
'Tangan Guntur'-nya. Claaap...!
Sinar biru menghantam gua sebelah kanan.
Jegaaarrr...! Kini tiga dari empat gua kembar sudah dihancurkan oleh mereka. Tinggal gua yang
ada di belakang mereka dalam jarak sekitar tiga puluh tombak.
"Berarti gua di belakang kita itu yang asli. Tiara!"
ujar Suto Sinting.
"Aku masih sangsi juga."
Claaap...! Tiba-tiba sinar merah dari telunjuk Sang Tiara melesat lagi dan
menghantam dinding mulut gua tersebut.
Jegaaarrr...! Ternyata gua belakang mereka itu juga hancur.
Pendekar Mabuk menjadi terbengong dan clingakclinguk kebingungan.
"Kau bilang Gua Pedupan yang asli mempunyai udara berlapis baja. Tapi kenapa
sekarang gua itu juga hancur?"
"Berarti gua itu juga gua palsu ciptaan Kalabolong."
"Lalu mana gua yang asli"!"
Tiba-tiba ada suara yang menjawab dari belakang mereka,
"Gua yang asli ada di tanganku! Huah, hah, hah, hah...!"
Mereka berpaling cepat dan segera temukan sesosok tubuh berkepala empat.
"Itu dia Kalabolong!" bisik Sang Tiara kepada Suto.
Suto memandang dengan mata sedikit mengecil, tapi ia tampak tenang dan tali
bumbung tuaknya mulai melilit pada genggamannya.
Kalabolong memang mempunyai empat kepala yang
menghadap ke empat arah; depan, belakang, dan
samping kanan-kiri. Tapi ia mempunyai satu badan, bagian depan dan belakang.
Perut itu mempunyai pusar yang bolong, berlubang sebesar kelereng dan tembus
sampai belakang. Seseorang bisa saja mengintip dari lubang tersebut jika iseng
dan diizinkan oleh si Kalabolong.
Makhluk aneh tanpa rambut selembar pun itu
mempunyai empat tangan dan empat kaki; sepasang menghadap ke depan, sepasang
lagi menghadap ke belakang.
Tubuh kelingnya yang besar walau tak sebesar Raja Barong, hanya mengenakan cawat
dari bahan semacam kulit binatang berwarna merah kecoklatan. Kulitnya itu tampak
berminyak dan menyebarkan bau langu tak sedap.
Dari keempat kepala, masing-masing mempunyai
sepasang mata yang lebar tanpa bulu mata maupun alis.
Hidungnya bundar tapi pipi mirip telur ceplok. Mulutnya berbibir tebal, warna
bibirnya putih bintik-bintik hitam.
Mulut itu lebar, namun tak cukup untuk memakan manusia.
Masing-masing kepala mempunyai gigi bertaring tak panjang namun kelihatan runcing dan menyeramkan. Warnanya kuning
kehijauan. "Tak pernah gosok gigi anak ini," gumam Suto dalam hatinya. "Yang kubingungkan,
bagaimana jongkoknya jika kakinya ada empat begitu" Orangbisa dibuat bingung
melihat dia berjalan; maju atau mundur.
Hmmm... kurasa inilah yang dinamakan maju kena
mundur kena. Agaknya aku harus hati-hati melawan dia.
Sebaiknya yang kuserang pusat kelemahannya saja."
Sang Tiara serukan kata kepada makhluk aneh itu.
"Kalabolong, kali ini kau akan celaka jika halangi niat kami. Keluarkan Gua
Pedupan dari genggamanmu, karena Manggala Yudha-ku akan bertapa di gua itu!"
"Huah, hah, hah, hah, hah, haaaaaah... capek!"
Kalabolong melangkah mengitari Pendekar Mabuk
sambil tubuhnya sendiri berputar pelan supaya semua mata pada kepalanya bisa
memandang jelas ke arah Pendekar Mabuk.
"Aku tak percaya kalau bocah ingusan ini adalah Manggala Yudha-mu, Tiara!
Terlalu ingusan dia. Buang ingus saja belum bisa sudah mau berlagak bertapa
segala!" "Kalabolong, kuingatkan sekali lagi, jangan halangi niat Manggala Yudha-ku kalau
kau tak ingin celaka!"
Salah satu tangan yang menggenggam diacungkan ke atas. Kalabolong berseru dengan
suaranya yang serak itu.
"Kalau bocah ingusan ini bisa tumbangkan diriku, akan kuserahkan Gua Pedupan
kepadanya!"
Dalam hati Suto hanya menggumam, "Gila! Gua bisa berada dalam genggamannya.
Sakti juga makhluk
berkepala empat ini"!"
Saat itu, Sang Tiara segera berbisik kepada Suto.
"Gua itu ada dalam genggamannya. Paksa dia agar keluarkan
gua tersebut. Tapi hati-hati, ludahnya mengandung racun yang amat ganas. Hindari ludahnya
dan kuku-kuku di tangannya itu."
"Bagaimana kalau kutinggal lari saja?"
"Ah, masa' seorang Manggala Yudha tak berani hadapi makhluk macam dia"!" kecam
Sang Tiara. Suto hanya sunggingkan senyum kecil.
"Maksudku, akan kuajak adu kecepatan berlari. Jika dia kalah harus serahkan gua
itu dan jika aku kalah aku tak jadi pakai gua itu."
"Cobalah bicara padanya!"
"Kalabolong!" suara Suto terdengar lantang dan tegas.
"Apa maumu. Bocah umbelan"!"
"Daripada kita adu jotos, bagaimana jika lebih baik kita adu kecepatan berlari.
Siapa menang berhak menggunakan gua itu untuk keperluannya apa saja, yang kalah
harus rela meninggalkan gua tersebut."
"Huah, hah, hah, hah, hah...! Kau pikir aku anak kecil yang masih suka adu
lari?" "Kau mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya dua. Masa' kau kalah cepat
dariku"!" pancing Suto.
"Kalau memang kau tak mampu lari dengan empat kaki, potonglah
keempatnya dan larilah pakai keempat tanganmu. Kalau keempat tanganmu masih kalah juga adu lari denganku, potonglah
keempat tanganmu itu...."
"Lalu aku lari pakai apa"!"
"Larilah pakai lidahmu," jawab Pendekar Mabuk bernada seenaknya, tanpa ada rasa
takut sedikit pun.
Merasa mempunyai empat kaki, Kalabolong malu
jika dikatakan kalah adu cepat dengan Pendekar Mabuk.
Maka ia pun menyanggupi perlombaan adu lari itu.
"Baik. Kuturuti tantanganmu. Tapi dengan satu syarat, kau harus kuludahi dulu!
Cuuuih...!"
Tiba-tiba Kalabolong meludah menggunakan mulut bagian depannya. Ludah itu
berwarna biru kental dan melayang cepat ke wajah Suto.
Zlaaap...! Suto Sinting bagaikan lenyap seketika dan ludah itu tidak mengenai
sasaran. Padahal Suto tadi bergerak cepat dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman'
yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya, melebihi kecepatan anak panah lepas dari busurnya.
Ludah itu jatuh ke tanah dan tanah tersebut segera mengepulkan asap, lalu
menjadi hangus dalam sekejap.
Untung pada waktu itu Sang Tiara sudah menjauh lebih dulu, karena ia khawatir


Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkena ludah salah sasaran.
Pendekar Mabuk kini berdiri di belakang Kalabolong, tapi tetap saja berhadapan
dengan kepala bermulut lebar yang segera meludah seperti tadi. Cuiiih...!
Zlaaap...! Pendekar Mabuk menghindar kembali.
Ludah kenai sebongkah batu dan batu itu mengepulkan asap. Bagian yang terkena
ludah biru bukan menjadi hangus saja, melainkan juga segera menjadi serbuk
hitam. "Rupanya kau tak bisa diajak damai, Kalabolong!
Aku terpaksa merampas gua ini dengan kasar, Sobat!
Hiaaah...!"
Pendekar Mabuk sentakkan kaki dan tubuhnya
melesat di udara, ia bersalto maju satu kali melintasi keempat
kepala Kalabolong. Kemudian bumbung tuaknya disodokkan ke bawah mengarah kepada pertengahan keempat kepala dempet itu.
Wuuut...! Plaaak...! Sodokan bumbung tuak ditahan dengan kedua
telapak tangan Kalabolong dalam keadaan keempat kakinya merendah. Sementara kedua tangan menahan bumbung tuak, tangan
yang satunya lagi, yang tidak menggenggam, segera berkelebat ke atas. Wuuut,
breeet...! "Aaaauh...!" Suto Sinting memekik kesakitan karena terkena cakaran kuku setajam
pisau itu. Betis pemuda tampan itu menjadi koyak dan berdarah. Dalam waktu
singkat, luka koyak itu melebar sampai ke lutut.
"Cepat minum tuakmu!" seru Sang Tiara dengan cemas ketika melihat betis Suto
Sinting koyak. "Aaauh...! Aku tak bisa gerakkan uratku lagi.
Uuuh...!" Pendekar Mabuk merintih sambil pandangi lukanya yang bergerak bagaikan
kerupuk mekar di penggorengan. Luka beracun itu membuat kedua tangan Suto terasa
sulit dipakai untuk mengangkat bumbung tuak.
Padahal waktu itu, Kalabolong sedang mendekatinya dengan terburu-buru.
"Kubuat modar saja kau, hah"! Hiaaaaah...!"
Kalabolong lakukan lompatan seperti terbang. Weeess...! Tiga dari keempat tangannya siap lakukan cakaran ke tubuh Suto.
Melihat bahaya datang dalam keadaan
dirinya terdesak begitu, Pendekar Mabuk akhirnya gunakan kekuatan jurus 'Pranasukma'
pemberian dari si Setan
Merakyat, sahabat Gila Tuak.
Dengan kekuatan pandangan mata, kepala Pendekar Mabuk sedikit mengibas ke
samping, seeet...!
Weesss...! Tubuh besar Kalabolong terlempar ke samping dan membentur batu
sebesar kerbau bunting.
Bruuuk, kraaak...!
"Aaaaooww...!"
keempat kepala itu berteriak bersamaan. Kalabolong terpuruk di bawah batu besar yang
kini retak akibat benturan dengan tubuh Kalabolong. Kini jurus 'Pranasukma' telah digunakan Suto satu kali lagi. Berarti kekutan
jurus itu hanya bisa dipakai untuk tujuh puluh tujuh kali lagi. Sebab sisa
kekuatan jurus itu semula tinggal tujuh puluh delapan kali lagi, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Pemburu Darah Satria").
Kalabolong mengerang kesakitan. Kesempatan itu digunakan Sang Tiara untuk bantu
Suto meminum tuaknya. Beberapa teguk tuak telah berhasil percepat sembuhkan lukanya. Suto
menjadi segar kembali.
Kalabolong bangkit dengan menggeram. Tiga tangannya mulai bergerak-gerak membentuk cakar, seperti tangan-tangan binatang
gurita. Tetapi Pendekar Mabuk sudah siap hadapi serangan lawan kembali.
Makhluk berpusar bolong itu segera melesat bagai daun terbang terhembus badai.
Weesss...! Keempat kaki dan keempat tangannya berserabutan sukar ditangkis,
sehingga Suto memilih lompat ke samping dalam
gerakan cepat ketimbang menghadapi terjangan lawan.
Zlaaaap...! Sambil lakukan lompatan, Suto lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya
berupa sentilan bertubi-tubi ke arah Kalabolong. Tes, tes, tes, tes...!
Buuukh, buuukh, buukh, buukh...!
Sentilan yang bertenaga dalam yang mirip tendangan kuda jantan mengamuk itu
kenai tubuh Kalabolong berkali-kali. Tubuh besar itu terlempar berguling-guling
sambil lepaskan suara kesakitan yang memanjang.
Tubuh berkulit keling itu akhirnya menghantam
sebongkah batu sebesar gajah. Bruuuk...! Batu itu bergetar, bagian ujung
tepiannya rompal. Kalabolong jatuh terpuruk sambil serukan suara mengerang yang
memekakkan gendang telinga.
"Aaaaahhhrr...!"
Sang Tiara menutup kedua telinganya, ia tetap
menjadi penonton yang baik dengan sesekali ikut melompat ke sana-sini untuk
hindari serangan nyasar.
Tetapi begitu Kalabolong keluarkan suara serak yang mirip tombak mengorek-ngorek
lubang telinga, Sang Tiara segera sembunyikan diri di balik gundukan batu sambil
mendekap kedua telinganya kuat-kuat.
Suto Sinting sempat tersentak ke belakang dan
membentur batu besar. Suara erangan Kalabolong ternyata mempunyai tenaga dalam
yang memancar ke mana-mana. karena suara erangan itu keluar dari keempat mulut
Kalabolong. "Aaaaahhhrrr...!"
Kalabolong masih lepaskan erangan berbahaya sambil bangkit berdiri dengan keempat kakinya. Getaran gelombang suara yang
bertenaga dalam itu telah membuat beberapa bongkahan batu menjadi pecah
ataupun retak. Tanah di sekitar tempat itu bergetar, sehingga tempat itu
bagaikan ingin dilanda gempa yang akan menenggelamkan mereka ke dasar bumi.
Pendekar Mabuk ikut menutup telinganya dengan
kedua tangan, di mana salah satu tangan masih
menggenggam tali bumbung tuak. Suara itu menusuk-nusuk gendang telinga, hingga
Suto akhirnya berlutut sambil gemetar menahan rasa sakit di bagian kepala,
terutama pada telinganya.
Melihat Suto Sinting lemah dan kesakitan, Kalabolong segera lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa
sinar-sinar merah dari ketiga tangannya. Claaap...! Sinar-sinar merah itu bergerak serabutan ke sana-sini, sukar untuk diketahui
secara pasti ke mana arahnya.
Gerakan sinar yang zigzag tak beraturan itu membuat Suto Sinting merasa sedang
diincar kelengangannya.
Maka dengan cepat dan mengerahkan tenaga di sela rasa sakit, ia lakukan lompatan
ke sana-sini dalam gerakan cepat.
Zlaap, zlaap, zlaap, weeees...!
Bruuuuss...! Pendekar Mabuk menabrak batu besar, ia jatuh
bersama pecahnya batu tersebut. Pecahan batu menimbun tubuhnya tepat ketika tiga ujung sinar merah melesat
menghantam tempatnya berkelebat tadi. Seandainya ia tidak menabrak batu dan jatuh tertimbun pecahan batu tersebut,
maka tubuhnya akan menjadi sasaran telak bagi ketiga sinar merah liar tersebut.
Karena sinar itu tak menemukan sasarannya, akhirnya mereka menghantam tiga
gugusan batu tinggi yang membuat ketiga batu tersebut menjadi hitam bagaikan
arang keropos yang masih tegak di tempatnya.
"Jahanaaaamm...!"
Kalabolong berteriak murka karena tiga sinarnya tak mengenai Suto Sinting. Namun
ia segera lakukan lompatan menyerang dengan lebih ganas lagi begitu menyadari
Suto Sinting sedang tertimbun pecahan batu.
Ia lakukan lompatan tinggi yang akan jatuh di atas timbunan batu tersebut.
Namun mata Pendekar Mabuk masih sempat mengintai dari balik bongkahan batu yang menimbuni wajahnya, ia melihat tubuh
Kalabolong melambung tinggi di atasnya.
"Celaka! Habislah riwayatku kalau tubuh itu jatuh menindihku dalam keadaan
seperti ini!" pikir Suto Sinting.
Maka dengan mengerahkan tenaganya dan menyentakkan kaki berkekuatan 'Gerak Siluman', batu-batu itu terbang serentak
bersama melesatnya tubuh sang pendekar. Braaakkk...! Wuuurss...!
Batu-batu itu terbang ke atas secara bersamaan dan menerjang
tubuh besar Kalabolong yang masih melambung turun di udara. Prrookk...!
Tubuh itu tak jadi bergerak turun karena diserang
batu-batu itu dengan kuat, akhirnya melambung lagi naik dan bergulir ke arah
lain. Sementara itu Suto Sinting melesat ke samping, lalu dengan bambu tuaknya
yang disentakkan ke bumi, tubuhnya melambung lebih tinggi lagi, bersalto satu
kali dan hinggap di atas gugusan batu setinggi rumah. Wuuut...! Jleeeg...!
"Ooh..."!" Sang Tiara terkejut melihat Suto Sinting berlumuran
darah pada bagian kepalanya. Tetapi pendekar gagah perkasa itu segera menenggak tuaknya untuk lenyapkan luka dan
rasa sakit yang diderita.
Sementara itu, Kalabolong jatuh terhempas dengan tetap hujani batu-batu sebesar
genggaman orang dewasa itu.
Blaaam...! Brrooook...!
"Aaaaahhhrrr...!"
Suaranya semakin keras di bawah tumpukan batubatu tersebut. Dalam sekejap saja ia sentakkan keempat kaki dan tangannya, dan
batu-batu itu buyar beterbangan ke sana-sini, tubuh besar itu pun bangkit
kembali bagai tak mau menyerah. Zrraaak...! Weerrs...!
Jleeg...! Kalabolong berdiri dengan tegak dengan setiap
wajah pancarkan seringai keganasan yang menyeramkan. Tapi kebangkitan Kalabolong itu segera disambut dengan jurus 'Bangau Mabuk'-nya
Suto, yaitu sodokan bumbung tuak yang membuat bumbung tuak itu terbang dengan
cepat dan tubuh Suto yang memegangi talinya ikut terbawa terbang pula. Wuut,
weeesss...! "Keparat kaaauuu...!" geram Kalabolong, namun suaranya terhenti seketika karena
pusarnya yang bolong
tersodok bumbung tuak.
"Huaaaakkrr...!"
Empat mulut dari empat kepala gencet itu memekik keras bersamaan. Tubuh
Kalabolong terlempar cukup jauh, dan jatuh berdebam di seberang sana. Bluumm...!
Hempasan tubuh ke tanah tak berumput itu membuat gugusan batu besar di
sampingnya bergetar, kemudian batu itu patah di pertengahannya. Krraakss...!
Brruuukk...! "Uuuahhk...!" Kalabolong memekik lagi. Tubuhnya tergencet bongkahan batu besar


Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebesar kuda nil.
"Hiaaahh...!" Suto Sinting segera menendang batu besar yang berdiri menjulang di
samping Kalabolong.
Daaakh, brruuuk...!
"Aaaakkhhrr...!"
Kalabolong semakin berteriak dengan suara berat, karena kini tubuhnya dijatuhi batu besar lagi, hingga
menumpuk bagaikan bukit.
"Heeeaaah...!"
Zlaaaap...! Brrruuuk...!
Batu sebesar kerbau ditendang oleh Suto dengan kekuatan tenaga dalamnya. Batu
itu melayang dan jatuh menimpa bagian keempat kaki Kalabolong. Praaak...!
"Huaaahhrr...!"
"Gila! Suto kalau sudah mengamuk, tak kira-kira menghajar lawannya," ujar Sang
Tiara dalam hatinya.
"Kalabolong dibuat tak berkutik seperti itu. Yang kelihatan hanya keempat
kepalanya, itu pun kepala yang belakang mencium tanah dan tak bisa bergerak
lagi." Namun agaknya Kalabolong masih tidak mau menyerah sampai di situ saja. Ia berusaha mendorong batu-batuan besar yang
menimbuni tubuhnya.
"Hiiiaaahhrr...!"
Saat itu Pendekar Mabuk melesat dan hinggap di atas sebongkah batu setinggi
kepalanya, ia sempatkan diri meneguk tuaknya kembali untuk hilangkan rasa sakit
dan beberapa luka akibat amukannya tadi.
Batu-batu penimbun tubuh Kalabolong mulai bergetar pertanda sebentar lagi akan pecah karena sentakan tenaga orang yang
ditimbuninya itu. Hanya 38
GERBANG SILUMAN
saja, Pendekar Mabuk dan Sang Tiara sama-sama
terperanjat melihat seberkas sinar merah seperti bintang jatuh melayang di
udara. Sinar merah itu melesat dan jatuh di atas batu-batu penimbun tubuh
Kalabolong. Slaaap...! Duuubs...!
Buuull...! Asap mengepul tebal dari sinar merah tersebut. Asap itu segera sirna dan sesosok
tubuh tinggi-besar berkulit putih bagai mengenakan bedak itu tahu-tahu telah
duduk di atas batu penimbun tubuh Kalabolong.
Makhluk berperut besar itu tingginya tiga kali tinggi tubuh Pendekar Mabuk.
Kulitnya retak-retak, berbulu mirip tanaman rambat. Kakinya sebesar pilar, kedua
tangannya juga sebesar tiang penyangga atap pendopo.
Makhluk berkepala gundul tapi mempunyai daun
telinga lebar, mulut besar, dan sepasang lubang hidung mirip gorong-gorong itu
sangat dikenali oleh Pendekar Mabuk, sehingga pemuda tampan itu pun segera
berseru kepada makhluk pendatang baru itu.
"Jin Koplo..."!"
"Hai, Kawan...! Kau dapat kesulitan rupanya"! Huah, hah, hah, hah...!"
"Koplooo...!" geram salah satu mulut Kalabolong.
"Minggir kau! Jangan menambah beban di atasku!
Minggiirr...!"
"Huah, hah, hah, hah...! Kau tak akan bisa keluar dari himpitan bebatuan ini,
Kalabolong! Huaaah...!"
Jin Koplo berdiri seketika, kedua tangannya menyentak ke bawah, memancarkan sinar merah bara.
Sinar itu merayap dan membungkus batu-batu penimbun tubuh Kalabolong, hingga
batu-batu tersebut seakan menyatu dengan tanah dan sukar diangkat lagi.
"Keparat kaauuu...!" geram Kalabolong kepada Jin Koplo. "Dasar jin bodoh!
Mengapa kau semakin membuatku tak bisa bergerak"!"
"Karena kau mengganggu kawanku, Kalabolong!
Pendekar muda itu adalah kawanku, dan kuingatkan padamu bahwa kau tak akan bisa
mengalahkannya, karena ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang kau miliki,
Kalabolong. Kepalamu bisa pecah menjadi enam belas bagian jika masih tetap
melawan kawanku itu!"
Sang Tiara segera dekati Pendekar Mabuk dan
berbisik, "Apa benar dia kawanmu?"
"Jin Koplo itu" Oh, ya... benar. Kami bersahabat setelah Jin Koplo kukalahkan
saat ia menghadangku di perbatasan menuju Jalur Hijau," jawab Suto Sinting
sambil membayangkan saat pertarungan dengan Jin
Koplo, si Penjaga Perbatasan Alam Gaib itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Misteri Tuak Dewata").
"Kawan Suto...!" seru Jin Koplo dengan suaranya yang besar, ia berdiri di atas
bebatuan penimbun tubuh Kalabolong. "Apa yang kau inginkan darinya, Kawan
Suto"!"
"Aku mau bertapa di Gua Pedupan, tapi gua itu tak ada!"
"Berada dalam genggaman salah satu tangannya,"
seru Sang Tiara menimpali ucapan Suto.
"Jangan takut. Kawan Suto.... Gua itu pasti akan diberikan padamu!"
Kemudian Jin Koplo berkata kepada Kalabolong.
"Hei, Gusi Kerbau...! Serahkan gua itu atau kuperberat tekanan batu ini biar menguburkan tubuhmu selama-lamanya"!"
"Persetan dengan ancamanmu. Koplo! Kalau kau memang merasa sakti, mari kita adu
kekuatan ilmu secara jantan!"
"Ogah...!" Jin Koplo melengos. "Aku tak mau bertarung denganmu, karena kau
selalu main ludah kalau sedang bertarung, seperti anak kecil! Kalau kau tetap
tak mau serahkan gua itu kepada sahabatku Suto Sinting, baiklah... akan kuhamili
istrimu: si Kiprat Kiprit itu!"
"Jangaaaan...!" sergah Kalabolong dengan ketiga wajahnya tampak tegang dan
ketakutan sekali.
"Kiprat Kiprit sudah bilang padaku bahwa kau tidak bisa bertugas lagi sebagai
seorang suami, disamping itu
kau memang tidak bisa memberinya keturunan. Kiprat Kiprit memohon padaku agar
aku mau menghamilinya demi mendapatkan keturunan di masa depannya...."
Suto berbisik geli, "Ternyata bangsa jin juga memikirkan masa depan segala, ya?"
Sang Tiara hanya tersenyum, seakan sembunyikan kecantikannya yang bertambah di
dalam senyuman itu.
Pendekar Mabuk segera memperhatikan Jin Koplo lagi yang sedang mengancam
Kalabolong. Agaknya ancaman itu membuat Kalabolong sedih dan menjadi lemah.
Akhirnya ia menyerah dan mengaku kalah.
"Bocah muda, kalau Jin Koplo saja bisa kau kalahkan,
maka aku terpaksa menyerah kalah. Bebaskanlah aku dari himpitan ini. Bocah Muda!"
"Koplo... bebaskan dia!"
"Dengan senang hati, Kawan! Huah, hah, hah, hah...!"
Jlegaaar...! Jin Koplo menendang bebatuan itu, dan bebatuan pun pecah menjadi serbuk halus
seperti butiran pasir pantai.
Kalabolong akhirnya bebas dan menepati janjinya.
Tangan yang sejak tadi menggenggam itu kini bagai melemparkan sesuatu ke arah
depan mereka. Weeess...!
Claaap...! Sinar putih perak menyilaukan memancar dalam sekejap. Kemudian sinar
itu lenyap dan Gua Pedupan muncul di depan mereka dalam jarak sekitar lima belas
tombak. Buuussss...! "Satu hal kuminta padamu, Bocah Muda!" kata
Kalabolong. "Tidak. Aku tidak setuju," sahut Jin Koplo. "Sejak kapan kau jadi jin pengemis
yang kerjanya minta-minta"!"
"Aku meminta syarat, bukan meminta makanan!"
bentak Kalabolong.
"Ooo... kalau syarat, boleh-boleh saja," gumam Jin Koplo sambil manggut-manggut.
"Syarat apa yang kau minta dariku"!"
"Jika kau berada di dalam gua harap jagalah kebersihan dan patuhi peraturan yang
sudah tertera pada dinding gua itu!"
"Baik. Kusanggupi!" kata Suto Sinting dengan tegas.
"Kau mau bertapa sendirian atau berdua dengan Sang Tiara"!" tanya Kalabolong.
"Berdua!" jawab Suto pendek.
"Jangan-jangan kalian hanya mau mojok berdua, bukan bertapa"!" ujar Jin Koplo.
"Jaga mulutmu! Kau sangka perempuan macam apa aku ini!" gertak Sang Tiara. Jin
Koplo takut dan berbisik kepada Kalabolong.
"Galak juga babon satu ini, ya"!"
"Tutup mulutmu!" bentak Kalabolong. "Babon itu nama bibiku! Jangan dibawa-bawa!"
Jin Koplo dan Suto tertawa, Sang Tiara sembunyikan rasa gelinya dengan bergegas
melangkah lebih dulu menuju Gua Pedupan. Suto Sinting pun akhirnya
mengikuti langkah Sang Tiara setelah mendapat ucapan,
'Selamat bertapa, semoga berhasil cita-cita,' dari kedua
jin yang sebenarnya saling bersahabat itu.
* * * 3 TERNYATA Gua Pedupan merupakan sebuah ruangan besar berlangit-langit kristal. Batuan kristal bening itu menggantung
tak beraturan bentuknya namun membuat keindahan yang menakjubkan bagi siapa pun
yang baru saja masuk ke gua tersebut.
Lantai gua bergelembung-gelembung tak rata, namun seperti terbuat dari batuan
marmer warna putih kusam.
Demikian pula dinding gua tersebut, bentuknya memang bertonjolan tak rata, tapi
batuannya tampak seperti batuan jenis marmer kusam.
"Mengapa Eyang Putri menyuruhku bertapa di sini, Tiara?"
"Karena Gua Pedupan adalah tempat persinggahan para Dewa-Dewi jika ingin
berkunjung ke alam gaib ini."
"Ooo..., kalau begitu Eyang Putri Batari menyuruhku menghadang lewatnya para
Dewa-Dewi, begitu?"
"Mungkin begitu," jawab Sang Tiara sambil mendekati salah satu dinding gua. Suto Sinting pun segera ikut dekati dinding
tersebut, karena di sana terdapat lempengan batu yang diberdirikan bersandar
dinding. Lempengan batu pualam itu memuat tata tertib yang dikatakan Kalabolong tadi. Di
situ tertera dengan jelas beberapa peraturan yang harus ditaati oleh para
pertapa yang ingin gunakan gua tersebut.
Bertapalah dengan baik dan benar.
Tidak dibenarkan membawa makanan di dalam gua.
Sesama pertapa dilarang saling meludahi.
Yang tidak berkepentingan dilarang ikut bertapa.
Barang hilang, rusak, tanggung jawab pertapa sendiri.
Selama bertapa dilarang mengeluarkan anggota badan.
Selesai bertapa harap mengisi kotak sumbangan seikhlasnya.
Sang Tiara mendengus kesal, lalu kakinya menjejak lempengan batu itu dengan
tendangan menyamping. Bet, praak...! Lempengan batu itu patah menjadi tiga
bagian. "Mengapa kau hancurkan tata tertib itu?"
"Itu bukan tata tertib, hanya keusilan tangan si Kalabolong
saja! Jangan hiraukan tulisan tadi. Sebaiknya lekaslah ambil tempat untuk lakukan semadi.
Aku akan ada di belakangmu!"
Gua Pedupan juga mempunyai keunikan lain. Gua itu menyebarkan aroma wangi dupa
walau tak ada tempat pembakaran dupa atau setanggi. Gua itu benar-benar bersih,
sehingga tak mungkin seseorang membakar dupa atau setanggi di tempat tersebut.
Tetapi bebatuan kristal yang
menggantung di langit-langit itu bagaikan menyebarkan wewangian dupa yang harum dan lembut,
menimbulkan suasana mistik cukup kuat.
Sementara sang Pendekar Mabuk lakukan Tapa
Layang, yaitu duduk bersila tanpa menyentuh lantai karena gunakan ilmu peringan
tubuh, di Gerbang Siluman kedatangan tamu yang menghadap Eyang Putri Batari.
Tamu yang datang ke Gerbang Siluman adalah
seorang gadis cantik berjubah tanpa lengan warna biru tua. Ia mengenakan kutang
dan celana ketat warna kuning dilapisi kain merah. Gadis cantik berusia sekitar
dua puluh tiga itu menyandang pedang di punggungnya.
Rambutnya yang panjang sepundak lewat mengenakan ikat kepala warna merah lebar
bersimpul membentuk bunga mawar.
Dengan giwang putih berlian kecil dan kalung emas berbatu merah sebesar kacang,
gadis itu tampak sangat menawan. Tubuhnya sekal, tak terlalu montok, namun punya
bentuk dada yang indah. Hidungnya bangir, bulu matanya lentik, bibirnya ranum
mungil menggemaskan.
Gadis cantik bergaya tengil itu tak lain adalah Payung Serambi yang punya nama
asli Ratih Kumala. Ia adalah salah satu dari tiga duta pilihan, termasuk
prajurit unggulan dari Istana Laut Kidul di bawah pemerintahan Nyai Kandita.
Payung Serambi bisa sampai ke Gerbang Siluman, karena ia memang berdarah
siluman, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Misteri Malaikat Palsu").
Menghadapi tamu yang berlagak tengil itu, Eyang Putri Batari memberi sambutan
dengan kalem dan penuh
wibawa. Payung Serambi diterima secara baik, karena Eyang Putri Batari tidak
punya maksud bermusuhan dengan pihak Istana Laut Kidul. Teguran dan bicaranya
bernada ramah walau Payung Serambi membalas dengan sedikit ketus dan agak
angkuh. "Bagaimana kabar Ratumu: Nyai Kandita?"


Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik-baik saja," jawab Payung Serambi tak mau tampak lemah di depan penguasa
lain. "Syukurlah jika Kandita baik-baik saja. Lalu, ada perlu apa dia mengutusmu
kemari, Ratih Kumala?"
"Kami mendengar Suto Sinting mencari 'Tuak Dewata'."
"Memang benar. Dia mencari 'Tuak Dewata' untuk sembuhkan penyakit gurunya; si
Gila Tuak itu."
"Sehubungan dengan itulah Nyai Gusti Kandita mengutusku kemari, karena kami tahu
Suto mencari 'Tuak Dewata' sampai ke Gerbang Siluman ini."
"Selanjutnya...?" pancing Eyang Putri Batari.
"Aku diutus membawa Suto Sinting pulang ke Istana Laut Kidul dan menghadap Nyai
Gusti Kandita."
"Mengapa Kandita ingin campuri urusan Pendekar Mabuk itu?"
"Hanya sekadar ingin membantu mencarikan 'Tuak Dewata' dan menyembuhkan si Gila
Tuak." "Hanya itulah tujuannya?" tanya Eyang Putri Batari bernada menyindir, karena
penguasa Gerbang Siluman itu yakin di balik niat itu tersembunyi maksud lain
bagi pihak Istana Laut Kidul.
"Apakah kau keberatan jika Suto Sinting kubawa ke
Istana Laut Kidul?" Payung Serambi justru ganti bertanya.
"Jika aku keberatan apa yang akan dilakukan oleh pihakmu?"
Payung Serambi tersenyum sinis.
"Jangan salahkan diriku jika aku sampai menggunakan kekerasan untuk membawa Suto Sinting ke Istana Laut Kidul."
"Kau mulai membuka pintu pertempuran dengan pihakku jika begitu caranya, Payung
Serambi." "Salahkah jika hal itu kulakukan demi tugasku membawa pulang Pendekar Mabuk?"
Eyang Putri Batari tersenyum manis. Namun pandangan matanya mulai memancarkan permusuhan yang samar-samar.
"Tahukah kau bahwa Suto Sinting sudah digariskan oleh nasib hidupnya harus
berjodohan dengan cucuku; Dyah Sariningrum"!"
"Pembicaraan ini mulai melantur, Putri Batari!" kata Ratih Kumala yang tampaknya
tak mau terlalu banyak bicara. "Sebaiknya sekarang biarkan aku pulang bersama
Pendekar Mabuk. Kumohon kau tidak menghalangi
niatku membawa Suto ke Istana Laut Kidul!"
"Suto tidak ada di sini!" tegas Eyang Putri Batari.
"Dia sedang mencari 'Tuak Dewata' di tempat lain."
"Omong kosong, Batari! Pasti kau tahu di mana Suto berada."
Senyum tipis Eyang Putri Batari mekar kembali di wajah cantiknya.
"Nada bicaramu mulai mengarah ke permusuhan, Ratih Kumala."
"Tergantung bagaimana sikapmu terhadapku. Jika kau tetap sembunyikan Suto
Sinting, maka berarti kau membuka permusuhan denganku, Putri Batari."
"Oh, sepertinya aku enggan bermusuhan dengan anak kemarin sore, Ratih Kumala.
Sebaiknya kita tak perlu saling berselisih hanya karena seorang lelaki muda
bernama Suto Sinting itu."
"Jika begitu, keluarkan Suto dari tempat persembunyianmu, Putri Batari!"
"Kalau kau menyangka aku sembunyikan Suto, cobalah ambil sendiri dengan kekuatan
ilmu yang ada pada dirimu! Kurasa kau bisa meneropong dengan kekuatan batinmu
apakah Suto kusembunyikan atau tidak."
"Kau licik!" geram Payung Serambi. "Sebelum aku melewati gapura depan, kau telah
melumpuhkan ilmu
'Tembus Batin'-ku lebih dulu, sehingga aku tak bisa menggunakannya!"
"Aku hanya menjaga kewaspadaan saja. Tak ingin orang lain mengetahui isi hatiku.
Jika kau bermaksud baik datang kemari, maka kau harus melepaskan ilmu
'Tembus Batin-mu itu."
"Sekarang kuminta kembali ilmu 'Tembus Batin'-ku itu!" tegas Payung Serambi.
"Tinggalkan
dulu tempat ini dan kau akan memperoleh ilmu itu di perjalanan nanti."
"Serahkan dulu Pendekar Mabuk, baru akan kutinggalkan tempat ini!"
"Tak ada yang bisa kuserahkan padamu, Ratih Kumala! Jangan memaksaku untuk
bersikap kasar kepadamu."
"Sudah kepersiapkan diriku untuk menerima perlakuan kasar darimu, Batari! Karena aku pun sudah mempersiapkan kekasaran
tersendiri untukmu!"
"Bicaramu terlalu besar bagiku. Sebaiknya kurangilah agar kau tak menjadi gagu
di depanku!"
Payung Serambi sunggingkan senyum sinis. "Kau pikil ak... ak... uuh, ahh... uah,
uah...!" Payung Serambi menjadi tegang setelah tahu ternyata suaranya pun dikacaukan oleh
kekuatan batin Eyang Putri Batari. Ia telah menjadi gagu sejak Eyang Putri
Batari mengatakan 'gagu' di depannya tadi.
"Uuh, eeha... eha... uuah, uuh..,!" Payung Serambi mulai tampak berang,
tangannya menuding-nuding Eyang Putri Batari. Gerakan tangannya itu menandakan
kemarahan yang dalam, bahkan kini bergerak-gerak sebagai isyarat menantang
pertarungan kepada Eyang Putri Batari di luar gerbang.
Senyum penguasa Gerbang Siluman itu semakin lebar dan tetap berpenampilan kalem.
"Jangan menantangku. Kumohon jangan menantangku. Sebaiknya tinggalkan tempat ini dan diantara kita jangan ada saling
mengganggu."
"Uuaah, ah, ah, uuuuh... ueeh. Aaah, uh, ua, ua...!"
"Ah, kau ini memang gadis yang suka penasaran,"
ujar Eyang Putri Batari sambil geleng-geleng kepala
tanda menyimpan kekesalan hati.
"Baiklah. Sekarang kita sudah ada di luar Gerbang Siluman, apakah kau tetap
ingin menantang pertarungan denganku?"
Payung Serambi sedikit terperanjat setelah menyadari bahwa diri mereka sudah
tidak berada di dalam istana kecil tadi. Tahu-tahu saja mereka sudah berada di
tanah tandus datar di depan gapura yang menjadi jalan utama masuk ke Gerbang
Siluman. Tapi rasa heran dan terkejut itu disembunyikan Payung Serambi rapatrapat. Kini yang dipikirkan adalah menghadapi Eyang Putri Batari dan memaksa
perempuan itu tunjukkan di mana Suto berada.
Sreet...! Payung Serambi segera cabut pedangnya tanpa tanggung-tanggung lagi.
Pedang itu menyala merah bagai terpanggang api.
Eyang Putri Batari masih tetap tenang, kedua tangan bersedekap di dada dan
pandangi Payung Serambi bersama senyum tipisnya. Payung Serambi sudah
membuka kuda-kuda dan mulai bersuara. Tapi agaknya kali ini suaranya sudah
normal kembali, hingga ia dapat mengungkapkan maksud hatinya.
"Kau sudah keterlaluan, Batari! Jangan sangka aku mundur dari hadapanmu, walau
kau telah gunakan kesaktianmu yang bisa mencuri serta mengembalikan suaraku itu.
Bersiaplah untuk hadapi seranganku, Batari!"
Wuuus...! Brrukkk...!
Payung Serambi merasa disambar kegelapan sekejap.
Hanya sekejap saja, dan ia telah dapatkan dirinya terkapar di tanah dalam
keadaan sekujur tubuhnya terasa perih. Sementara itu, dilihatnya Eyang Putri
Batari sudah pindah tempat, namun tetap berdiri dengan kalem dan kedua tangannya
bersedekap di dada.
"Kurang ajar! Diam-diam kau telah menerjangku tadi, hah"!" gertak Payung Serambi
sambil bangkit kembali dan melupakan rasa perih di sekujur tubuhnya.
"Kuingatkan
lagi padamu, jangan menantangku bertarung, Ratih Kumala. Sayangilah jiwa dan ragamu."
"Persetan! Kubalas seranganmu tadi, Batari!"
Pedang menyala merah bara itu segera dikibaskan ke samping kanan-kiri sambil
memainkan jurus berkaki rendah.
Blaaab...! Alam menjadi gelap seketika. Untung hanya sekejap, setelah itu
menjadi terang lagi, walau tak berarti seterang siang tadi.
Tetapi lagi-lagi Payung Serambi dibuat heran oleh keadaannya yang sudah terkapar
di tanah dalam keadaan sekujur tubuhnya memar biru-biru bagai habis dicubiti
puluhan kali. "Edan! Tak kulihat dia bergerak, tahu-tahu aku sudah tumbang kembali!" gumam
hati Payung Serambi dengan napas tertahan untuk menahan rasa sakitnya.
Tiba-tiba ada suara yang berkata, "Tinggalkan dia, Eyang Putri! Biar saya yang
hadapi!" "Oh, kau sudah sampai di sini, Sang Duli"!" ujar Eyang Putri Batari tak
menampakkan rasa kagetnya begitu melihat kemunculan Sang Duli, anak buah Ratu
Kartika Wangi itu.
"Gusti Ratu Kartika Wangi mengutus saya untuk memulangkan gadis itu ke Laut
Kidul, agar tak membuat onar di Gerbang Siluman!"
"Kalau begitu, hadapilah dia dan jangan ragu-ragu untuk bertindak!" ujar Eyang
Putri Batari, lalu tiba-tiba saja tempat itu menjadi kosong. Sang Duli ingin
mengatakan sesuatu tak jadi, sebab Eyang Putri Batari telah tiada tanpa
tinggalkan angin dan suara. Kini yang ada hanyalah Payung Serambi yang sedang
menarik napas murni untuk obati luka dalamnya akibat terjangan Eyang Putri
Batari yang mirip datangnya kegelapan tadi.
Sang Duli adalah prajurit unggulan dari Puri Gerbang Surgawi, pengawal tangguh
Ratu Kartika Wangi.
Pakaiannya serupa dengan Sang Tiara; serba merah, rambut cepak, pedang di
punggung. Sang Duli memang satu kelompok dengan Sang Tiara yang selalu tampil
sendirian dalam menghadapi musuh dari mana pun.
Perbedaan Sang Duli dengan Sang Tiara hanya pada wajahnya. Wajah Sang Duli
sedikit lonjong dan tampak lebih matang dalam hidupnya dibanding Sang Tiara. Di
sudut dagu kirinya terdapat tahi lalat kecil seperti sebutir pasir, sedangkan
Sang Tiara tanpa tahi lalat di wajahnya.
Sang Duli memandang dingin kepada Payung Serambi, sedangkan yang dipandang pun membalas dengan sorot tatapan mata lebih
dingin lagi. Pedang membara merah masih di tangan Payung Serambi,
sementara Sang Duli masih belum mau mencabut
pedangnya dari punggung.
"Perlukah kita mengadu pedang hanya untuk memperebutkan orang yang tidak ada?" ujar Sang Duli dengan tenang.
"Cabut pedangmu, akan kucoba setinggi apa kau memiliki ilmu pedang!" tantang
Payung Serambi.
"Baik kalau itu maumu!"
Sreeet...! Sang Duli mencabut pedangnya. Pedang itu memancarkan cahaya hijau
bening bagai lumut-lumut di dalam gua menuju istana Puri Gerbang Surgawi itu.
Bahkan ujung gagang pedangnya yang berbentuk bunga sedang mekar itu juga
memancarkan cahaya hijau bagai mengandung fosfor.
"Hiaaah...!"
Payung Serambi melemparkan pedangnya. Wuuuut...! Sang Duli juga melemparkan pedangnya. Weees...!
Lalu, kedua pedang itu bertarung sendiri di udara tanpa dipegangi oleh para
pemiliknya. Trang, trang, trang, duaaar...!
Wut, wut...! Kedua pedang terpental setelah terjadi ledakan kecil yang
ditimbulkan dari kekuatan adu tenaga dalam dari kedua pedang tersebut.
Wut, taab...! Wuuus, taaab...!
Payung Serambi melompat dan menyambar pedang.
Dalam sekejap pedang sudah berada di genggamannya.
Demikian pula Sang Duli: segera melompat menyambar pedang. Pedang itu kini sudah
berada di genggamannya.
"Ooh..."!"
Kedua wanita cantik itu sama-sama terkejut, karena
ternyata mereka salah menyambar pedang. Pedang si Payung Serambi di tangan Sang
Duli, sedangkan pedang Sang Duli di tangan Payung Serambi. Keduanya pun samasama menggeram gemas.
Wuuut, wuuus...!
Keduanya sama-sama melemparkan pedang. Pedang
itu dilemparkan ke arah lawan, bergerak lurus bagaikan tombak. Dan di
pertengahan jarak, kedua ujung pedang itu saling berbenturan dan timbulkan daya
ledak cukup besar.
Blaaarrr...! Cahaya merah kehijauannya membias terang, melebar menutupi
pandangan mata mereka. Namun kejap berikutnya, mereka sama-sama melihat pedang masing-masing telah tak memancarkan
sinar lagi dan kembali kepada pemiliknya.
Teb, teeeb...! Mereka sama-sama cekatan dalam
menangkap pedang masing-masing dengan satu lompatan ke atas. Weees...!


Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaaouh...!" tiba-tiba Payung Serambi terpekik dan segera melepaskan pedangnya.
Ternyata telapak tangan Payung Serambi menjadi melepuh dan kemerah-merahan bagai
habis menggenggam besi membara. Sedangkan Sang Duli tampak tenang-tenang saja
setelah menangkap pedangnya dan memasukkan ke dalam sarung pedang di punggung.
Tetapi dalam hati Sang Duli segera menggerutu,
"Sial! Darahku terasa mau membeku setelah menyambar pedang sendiri. Rupanya
Payung Serambi telah salurkan
hawa saljunya saat melemparkan pedangku kemari!"
Payung Serambi pun membatin hal serupa, tapi ia tambahkan dalam ucapan batinnya,
"Ini hanya buang-buang waktu saja. Lawanku masih kuanggap
kelas rendah. Sebaiknya aku segera melaporkan hal ini kepada Gusti Ratu Kandita agar Gerbang Siluman diserang habis
jika Putri Batari masih tetap sembunyikan Suto Sinting!"
Gagang pedang sudah dingin kembali. Payung
Serambi mengambilnya dari tanah. Kemudian ia berkata kepada Sang Duli.
"Tunggu saatnya tiba! Gerbang Siluman akan kuhancurkan bersama segenap kekuatan dari Istana Laut Kidul!"
Setelah berkata begitu. Payung Serambi pun pergi bagai menghilang dari pandangan
Sang Duli. Laaaab...!
* * * 4 PEMUDA berambut lurus tanpa ikat kepala itu masih duduk bersila tanpa menyentuh
tanah. Sudah beberapa hari ini Suto Sinting duduk melayang setinggi dua jengkal.
Sebenarnya bisa saja lebih tinggi, karena Suto mempunyai ilmu 'Layang Raga',
tetapi yang diperlukan hanya duduk tanpa menyentuh bumi, tak perlu tinggitinggi. "Untuk apa tinggi-tinggi, nanti malah kesamber
petir!" ujarnya dalam hati saat ingin mengawali semadinya.
"Jangan menengok ke belakang selama bertapa,"
Sang Tiara mengingatkan. Gadis itu ikut lakukan duduk bersila
tak menyentuh bumi. Rupanya ia juga mempunyai ilmu peringan tubuh yang cukup lumayan.
Tugasnya duduk mengambang di belakang Suto
Sinting adalah membantu kekuatan batin sang pendekar tampan itu agar segera
sampai pada tujuan, bertemu dengan Hyang Maha Dewa untuk meminta petunjuk
tentang 'Tuak Dewata' itu. Tentu saja selama bertapa, mereka tak saling bertegur
sapa. Bahkan mereka juga tidak bicara dalam batin, hingga suasana sepi dan
hening selalu menyertai mereka berdua.
Dalam selimut keheningan selama beberapa hari, tiba-tiba Pendekar Mabuk
mendengar seseorang bicara di depannya dengan suara lirih.
"Bukalah matamu, hentikan semadimu, Suto."
"Suara perempuan"!" batin Suto tergugah. "Suara siapa itu, ya?"
Suara tersebut terdengar lagi, "Bukalah matamu dan pandanglah siapa yang datang padamu kali ini. Aku ingin bicara tentang 'Tuak Dewata',
Suto." Mendengar 'Tuak Dewata' disebut-sebut, Pendekar Mabuk segera membuka matanya dan
nyaris terpekik kaget, karena yang ada di depannya ternyata adalah seorang
perempuan awet muda yang kecantikannya seperti gadis berusia dua puluh lima
tahun. Perempuan itu berpakaian ketat ungu muda dengan jubah ungu tua.
Rambutnya disanggul sebagian sisanya diriap sampai pundak.
Perempuan itu bukan saja cantik, tapi juga bertubuh sekal, padat berisi, dan
dadanya tampak montok serta kencang.
Matanya indah, namun memancarkan kegalakan dalam bercumbu,
"Sumbaruni..."!" ucap Suto Sinting dalam nada berbisik heran.
"Ya, aku memang Sumbaruni, orang yang selama ini mencintaimu tapi tak pernah kau
balas." Pendekar Mabuk merasa hatinya digores oleh keharuan, ia ingat, bahwa Sumbaruni alias Pelangi Sutera selama ini memang
sangat mencintainya. Janda bekas
istri Jin Kazmat itu sering menunjukkan pembelaannya dalam membantu Suto menghadapi maut.
Rasa cintanya membuat Sumbaruni rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan Suto
Sinting. Sekalipun ia tahu Suto sudah punya calon istri Dyah Sariningrum, tapi
Sumbaruni tetap nekat mencintai Pendekar Mabuk, dan
bila perlu siap bertarung melawan Dyah Sariningrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Tanpa Tapak").
Sekalipun sekarang Suto merasa berhadapan dengan Sumbaruni yang berilmu tinggi
itu, tapi ia tetap duduk bersila di udara dalam posisi kedua tangannya berada di
pangkuan. Suto memandang haru melihat Sumbaruni tampak memendam duka akibat
cintanya yang tak
pernah terbahas itu.
"Mengapa kau datang ke tempat ini, Sumbaruni?"
"Aku rindu padamu, Suto," ucap Sumbaruni lirih sekali dengan mata jalangnya
menjadi sayu. "Kudengar kau mencari 'Tuak Dewata' untuk obati gurumu; si Gila Tuak itu."
"Memang benar, Sumbaruni. Apakah kau tahu di mana 'Tuak Dewata' itu bisa
kudapatkan"!"
"Ya, aku memang tahu. Tapi... tapi aku tak mau memberitahukan padamu begitu
saja." "Mengapa begitu, Sumbaruni?"
"Karena... karena kau membiarkan hatiku merana selama ini. Kau membiarkan aku
menderita batin, sementara kau tahu betapa aku sangat mencintaimu, Suto."
"Maafkan aku, Sumbaruni," ucapan Suto semakin pelan. Ia tetap duduk bersila di
udara. "Kau pun tahu bahwa aku seorang janda yang tak mau menerima kehangatan dari pria
Setan Harpa 8 Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara Tengkorak Hitam 3

Cari Blog Ini