Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah Bagian 2
Panah pendek itulah yang menjadi tanda bahwa
senjata itu adalah milik Dewa Racun. Mereka mengenalinya, karena mereka pernah bentrok dengan orang-orang Pulau Serindu,
termasuk Dewa Racun dan anak buah Dyah Sariningrum lainnya.
"Jangan sangka aku tidak mengenalimu, Kerdil!
Keluar kau!"
Tiba-tiba meluncur anak panah dari depan Tengkorak Terbang. Zzlaaap...! Tangan
kurus tanpa daging itu segera berkelebat cepat. Tabb...! Anak panah itu
ditangkap tepat di depan matanya.
Sebuah pohon berdaun rimbun segera menjadi
sasaran Tengkorak Terbang, ia lepaskan pukulan jarak
jauhnya dengan menghentakkan pangkal telapak tangannya. Wuuugh...! Tenaga dalam itu melesat tanpa sinar dan menghantam
kerimbunan pohon.
Brusss...! Kraak...! Grusaaak...!
Dahan pohon terkena pukulan tenaga dalam dari jarak jauh. Dahan sebesar paha
Singo Bodong itu patah dan tumbang ke bawah. Tetapi dari pohon itu tak terlihat
gerakan manusia berpindah tempat.
Mendadak dari arah samping kiri Tengkorak Terbang meluncur
kembali sebatang anak panah dengan kecepatan tinggi, bagian ekor anak panah berhulu putih seperti tadi.
Zlappp...! Tebb...! Anak panah itu berhasil ditangkap kembali oleh Tengkorak Terbang.
Terlambat sedikit mengenai lehernya. Segera anak panah itu dipatahkan dengan
menggunakan satu tangan meremas. Trakk...! Kemudian dibuang dengan sentakkan
menggeram. Sebuah pohon rimbun kembali menjadi sasaran
pukulan jarak jauh Tengkorak Terbang. Pukulan itu menghentak ke pohon sebelah
kirinya dan terdengar suara grusak yang keras dan bunyi gedebuk yang sangat
jelas. Tengkorak Terbang merasa pukulan jarak jauhnya mengenai sasaran. Lawan
pasti jatuh dari atas pohon, ia menunggu sesaat.
Tetapi sesosok bayangan putih yang ditunggunya itu justru muncul dari sebelah
kanan. Suaranya terdengar jelas menyapa Tengkorak Terbang dengan kesan kalem.
"Aku di sini, Tengkorak Terbang!"
Cepat-cepat Tengkorak Terbang palingkan wajah.
Mata cekungnya menatap sipit pada Dewa Racun yang bertubuh pendek kerdil,
berpakaian dari bulu binatang berwarna putih, celana pendeknya pun berwarna
putih bulu. Sementara di pinggangnya terselip dua pisau, dan di punggungnya
tanpa tempat panah, tanpa busur panah juga.
"Kudengar kau memanggil namaku, Tengkorak Terbang!" "Karena aku tahu kau memancing kemarahanku, Dewa Racun!"
"Kau salah duga, Tengkorak Terbang!"
"Tidak. Aku tidak salah duga!" sentak Tengkorak Terbang. "Aku kenal betul
senjatamu itu, panah pendek!
Sesuai dengan tubuhmu yang kerdil!"
"Justru aku keluar dari persembunyianku karena aku melihat ada orang menggunakan
senjataku!"
"Omong kosongi Kau bersekongkol dengan anak buah Siluman Tujuh Nyawa itu!"
"Salah!" sahut Dewa Racun. "Kau tidak tahu bahwa aku telah kehilangan senjata
saat perahuku pecah! Busur dan anak panahku hilang entah ke mana, juga kedua
teman yang bersamaku hilang tak kutahu di mana.
Hanya satu orang yang kutahu di mana letaknya!"
"Kau ingin cuci tangan dari persoalan ini, rupanya!"
"Terserah apa katamu, yang jelas...."
Belum selesai Dewa Racun bicara, datang anak panah dari arah kiri Tengkorak
Terbang. Zllappp...!
Kewaspadaan yang tinggi, kepekaan kulit yang
tinggi, membuat Tengkorak Terbang berkelebat ke samping dengan tangan mengibas
karena merasa adanya bahaya. Tebb...! Tangan itu cepat menangkap anak panah
berbulu putih di ekornya.
Cepat-cepat Tengkorak Terbang melayangkan pandangan matanya mengelilingi arah. Tapi tak ditemukan kecurigaan di mana-mana. Tempat meluncurnya anak panah yang baru saja ditangkapnya itu, adalah arah depan dari
tempatnya berdiri tadi.
Sekarang arah itu menjadi sebelah kirinya, karena Tengkorak Terbang berhadapan
dengan Dewa Racun
yang muncul dari arah kanannya tadi.
"Bukankah ini anak panahmu, Dewa Racun"!"
"Ya. Benar. Tapi apakah kau melihat aku memanahkannya?"
Tengkorak Terbang diam sambil menggeram. Anak
panah itu diremas dan patah menjadi dua bagian.
Trakk...! Lalu, dibuang lagi dengan gemas. Prukk...!
"Jika bukan kau, lantas siapa yang menggunakannya?"
"Mana aku tahu?"
"Pasti temanmu yang berjuluk si Cakar Jatayu!"
"Cakar Jatayu tidak ikut dalam perjalananku, Tengkorak Terbang!" jawab Dewa Racun dengan lancar, karena semalaman ia
menghabiskan banyak ikan bakar dan aroma ikan bakar masih ada di dalam mulutnya,
sehingga bahasa gagapnya hilang, belum tumbuh lagi.
Apabila aroma ikan bakar hilang dari mulutnya, ia akan bicara dengan gagap lagi,
karena memang begitulah
keanehan yang dimiliki Dewa Racun.
"Yang jelas, pemanahnya memihak dirimu, Dewa Racun!"
"Mungkin juga begitu. Mungkin ia hanya ingin membebaskan tawanan yang akan kau
gantung itu, Tengkorak Terbang! Barangkali ia tahu, tawanan itu tidak punya dosa apa pun
kepada orang-orang Istana Cambuk
Biru, sehingga ia merasa perlu membebaskannya!"
"Persetan dengan kesimpulanmu! Yang kutahu, panah ini milikmu, dan kamulah yang
harus bertanggung jawab!"
Ekor mata Dewa Racun sempat melihat bayangan
jatuh dari pohon. Orang yang turun dari pohon itu ada di sebelah kanan Tengkorak
Terbang. Jadi pada waktu pertama datangnya anak panah ke arah Tengkorak
Terbang, orang itu ada di belakang Tengkorak Terbang.
Tapi anehnya anak panah yang dilepaskan bisa berarah dari depan dan samping kiri
Tengkorak Terbang.
Dewa Racun tahu, orang yang turun dan mengendapendap pergi itu membawa busur dan
beberapa anak panah miliknya. Dewa Racun tidak mengejarnya, karena ia tahu orang
berbaju coklat dan bercelana putih itu tak lain adalah Suto Sinting, yang telah
terpisah olehnya sejak perahu mereka pecah di lautan. Rupanya Pendekar Mabuk
yang menemukan busur dan anak panah itu.
Rupanya Pendekar Mabuk yang waktu itu ingin meraih tubuh Dewa Racun agar jangan
terbawa ombak, tak berhasil dan hanya bisa meraih busur dan anak panah
yang ada di punggung Dewa Racun.
Sebenarnya saat itu Dewa Racun telah menemukan
dua temannya yang terpisah sejak badai lautan kemarin malam, ia ingin menemui
kedua temannya itu, tapi suasananya tidak mengizinkan. Bahkan ekor matanya tadi
juga melihat gerakan isyarat dari Suto agar dia tetap menghadapi Tengkorak
Terbang, sementara Pendekar Mabuk berkelebat menuju ke istana. Pasti Pendekar
Mabuk akan membebaskan Singo Bodong, sebab nasib Singo Bodong ada dalam tanggung
jawabnya. Hanya saja, Dewa Racun merasa heran melihat
gerakan panah Suto. Panah itu dilepaskan dari arah belakang Tengkorak Terbang,
tapi bisa meluncur ke sasaran dari arah depan Tengkorak Terbang, atau dari arah
kirinya. Berarti Pendekar Mabuk menggunakan cara pantulan,
di mana panah dilepaskan ke depan, membentur salah satu dahan atau benda lainnya dan membalik dengan sama cepatnya
ke arah lain. Sehingga.
Tengkorak Terbang sempat terkecoh beberapa kali dengan melepaskan pukulan tenaga
dalamnya ke arah depan, padahal lawan ada di belakangnya. Dewa Racun merasa tak
mampu melakukan pemanahan seperti itu, dan dia tak sangka bahwa Pendekar Mabuk
mempunyai cara sehebat itu.
Kepada Tengkorak Terbang, Dewa Racun berkata,
"Kalau kau menuntut tanggung jawabku, karena panah itu milikku, lantas apa yang
kau kehendaki dariku?"
"Kubawa kau menghadap kepada Ratu Pekat sebagai tawananku!"
"Itu tak mudah, Tengkorak Terbang," Dewa Racun tersenyum di balik wajah tuanya.
"Kalau kau ingin jadikan aku tawananmu, berarti kau harus tundukkan aku lebih
dulu!" "Seberapa sulit menundukkan orang kerdil seperti kamu, ha"! Apakah kau tak
sayang pada nyawamu kalau sampai melayang lenyap karena tangan kurusku ini"!"
"Yang kusayangkan kalau nyawamu sendiri yang minggat dari ragamu setelah
mendapat satu jurus pukulan dariku, Tengkorak Terbang!"
"Kecil-kecil bermulut lebar kau, hah"!" geram Tengkorak Terbang. "Belum jera kau
menderita pukulan
'Bayu Paksi'-ku"! Rasakan lagi kalau kau belum jera, hiiaaah...!"
Tengkorak Terbang sentakkan kaki dan tubuhnya
meluncur ke arah Dewa Racun bagaikan terbang. Jarak yang sepuluh langkah itu
bisa dicapainya dengan cepat, dan pukulan 'Bayu Paksi' menghantam wajah Dewa
Racun. Pukulan itu datang secara beruntun, bertubi-tubi dan dengan kecepatan
yang cukup tinggi. Hampir tak bisa terlihat oleh mata orang biasa kecepatan
pukulan beruntun itu. Wuk wuk wuk...!
Tab tab tab tab tab...l
Bleggh...! Pukulan 'Bayu Paksi' bisa ditangkis oleh tangan Dewa Racun. Kalau dulu Dewa
Racun terdesak menghadapi pukulan itu dan sempat terkena dua pukulan cepat itu,
tapi sekarang semua pukulan dapat dilayani dengan kecepatan tangkisannya. Bahkan
yang terakhir Dewan
Racun sempat menyentakkan kedua telapak tangannya ke dada Tengkorak Terbang.
Sentakkan kedua telapak tangan itu membuat Tengkorak Terbang terlempar ke
belakang, dan jatuh berguling satu kali.
"Bangsat kau!" geram Tengkorak Terbang.
"Kuharap jangan kau teruskan niatmu menjadikan aku tawananmu!" kata Dewa Racun
yang sejak tadi hanya berdiri tanpa bergeser sedikit pun dari tempatnya, ia
melanjutkan kata-katanya,
"Kalau kau teruskan, kau akan mati. Jujur saja kukatakan padamu, bahwa sekujur
tubuhmu telah penuh racun! Pukulanku yang mengenai dadamu menyebarkan racun
berbahaya ke dalam jantung dan paru-parumu, Tengkorak Terbang. Sebentar lagi kau
akan lumpuh! Dan tangkisan-tangkisanku tadi membuat racun Rengas Tulang akan
membuat seluruh tulangmu
menjadi keropos!" "Persetan dengan bualanmu!" geram Tengkorak Terbang, ia segera sentakkan kedua
tangannya ke depan dalam keadaan menggenggam semuanya. Kedua kakinya merentang
lebar dan merendah. Sentakan itu cukup kuat, hingga menimbulkan gelombang
pukulan tenaga dalam jarak jauh yang amat besar. Woouugh...!
Tapi Dewa Racun cepat sentakkan tangan kanannya ke kiri dengan badan sedikit
merendah dan meliuk ke kiri. Telapak tangannya yang sedikit terbuka itu
mengeluarkan gelombang hawa panas cukup besar.
Wuuuhg....! Gelombang hawa panas bukan hanya membentur
pukulan tenaga dalam Tengkorak Terbang, melainkan juga menyingkirkan dari jalur
arah yang menuju ke tubuh Dewa Racun. Breeebeeehg...!
Bouuhg...! Kedua pukulan itu beradu dan sama-sama menghantam ke tanah samping.
Tanah itu seketika menjadi cekung bagai ditumbuk oleh sebatang pohon sebesar
gajah. Tengkorak Terbang terkesiap melihat tanah cekung tanpa menyemburkan
percikan pasir sedikit pun. Jika bukan tenaga yang amat besar, tak mungkin membuat tanah cekung
tanpa menyemburkan percikan pasirnya.
"Hiaaat...!" tiba-tiba Tengkorak Terbang meloncat ke depan dengan tubuh bagaikan
terbang, kedua tangannya siap menerkam tubuh kecil Dewa Racun.
Srepp...! Tubuh Dewa Racun berhasil disergap
dengan kedua tangan Tengkorak Terbang. Tapi pada saat itu juga tubuh kerdil itu
melesat ke atas bagaikan belut licin, dan bersalto di udara dengan menggunakan
kepala Tengkorak Terbang sebagai tempat kaki menjejak.
Kepala itu tersentak ke depan, membuat Tengkorak Terbang terpaksa berguling di
tanah berumput sebelum jatuh tersungkur.
Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wuug, wuug...! Jleeg...! "
Dewa Racun sudah mendaratkan kakinya dengan
mantap, ia berdiri tanpa goyah sedikit pun. Matanya memandang tajam pada
Tengkorak Terbang, tangannya menggenggam dalam keadaan tetap lurus ke bawah.
Tengkorak Terbang berdiri dengan satu kaki berlutut
di tanah. Pandangan matanya mulai terasa berkunang-kunang. Kepala pun terasa
mulai memberat. Dipakai menggeleng bagaikan kaku.
"Tengkorak Terbang, kuingatkan sekali lagi, jangan nekat mau menangkapku sebagai
tawanan! Kau telah termakan oleh racun dari telapak kakiku tadi. Racun itu telah
meresap masuk ke dalam otakmu dan sebentar lagi akan membuatmu tak mampu
mengangkat kepala!"
Tengkorak Terbang tidak menjawab, ia tarik napasnya dalam-dalam. Terasa sakit dadanya untuk bernapas. Berat sekali tarikan
napas itu hingga ia terpaksa busungkan dada. Kemudian ia mencoba berdiri dengan
limbung. "Percayalah dengan kata-kataku, Tengkorak Terbang!
Racun akibat pukulanku itu telah bekerja menyempitkan jantungmu, juga
mengecilkan paru-paru-mu! Sedangkan racun Rengas Tulang telah mulai menggerogoti
tulang-belulangmu
yang sebentar lagi akan membuatmu keropos! Hanya aku yang bisa menawarkan racun-racun itu, Cakradanu!?"Kau memang jahanam!"
Kedua tangan Tengkorak Terbang terangkat naik
sampai di atas kepala, bentuk telapak tangannya merenggang kaku dan melengkung
ke bawah. Kedua
telapak tangan itu mulai berasap tipis bagai terbakar dari dalam.
Melihat hal itu, Dewa Racun cepat rentangkan kedua tangannya ke samping kanan
kiri dengan lurus, kedua kakinya merapat. Telapak tangan Dewa Racun pun
mengeluarkan asap kekuning-kuningan. Lalu, kedua kakinya yang rapat itu ditekuk
ke depan bagian lututnya.
Kedua tangan bergerak terlipat sikunya hingga kedua telapak tangan yang
menghadap ke depan mendekati bagian dadanya.
"Kalau kau lepaskan pukulan 'Karang Iblis', aku juga akan melepaskan pukulan
'Halilintar'-ku!" ancam Dewa Racun.
"Baik! Kita adu pukulanmu dengan pukulanku, siapa yang unggul. Salah satu dari
kita pasti mati, atau keduanya!"
"Aku tak keberatan!" balas Dewa Racun, siap sentakkan kedua telapak tangan yang
sudah berasap kuning itu.
Tetapi, tiba-tiba seorang prajurit bersenjatakan tombak berlari dan melompat ke pertengahan jarak antara Dewa Racun dengan
Tengkorak Terbang.
"Tahan...! Tahan...!" serunya dengan panik.
"Minggir kau, Pragulo!" teriak Tengkorak Terbang.
"Tahan, Tengkorak Terbang! Kau harus segera ke istana! Ratu memanggilmu. Ada
bahaya besar di istana!"
seru Pragulo. Sesaat terpikir dalam otak Tengkorak Terbang
jabatannya sebagai panglima baru. Segera kedua tangan yang siap melancarkan
pukulan 'Karang Iblis' itu diturunkan. Tengkorak Terbang pejamkan mata sejenak
untuk meredam ilmu yang sudah hampir terlepaskan tadi. Dan di sisi lain, Dewa
Racun pun redamkan ilmu mautnya yang bernama 'Halilintar Racun Bumi' itu.
Tengkorak Terbang masih
menyimpan dongkol dengan kemunculan Pragulo. Lalu, ia membentak, "Apa yang terjadi di istana,
ha"!"
"Lihatlah sendiri! Sangat mengerikan!"
jawab Pragulo. "Aku harus cepat kembali, Tengkorak Terbang!"
Setelah berkata begitu, Pragulo pun segera berlari kembali ke istana. Sementara
itu, Tengkorak Terbang palingkan pandang ke arah Dewa Racun dan berseru,
"Setelah kuselesaikan urusanku di istana, kita lanjutkan pertarungan ini!"
"Aku siap menunggumu kapan saja, Tengkorak Terbang!"
Tengkorak Terbang pun cepat-cepat sentakkan kakinya dan melesat bagaikan terbang. Namun dalam jarak antara sepuluh langkah
ia jatuh ke tanah dan terkulai lemas, ia berusaha ingin bangkit, tapi jatuh
lagi. Ia kerahkan tenaganya untuk berdiri, baru mendapat separo bagian sudah jatuh
lagi. Dewa Racun segera melesat mendekatinya, ia berdiri di depan Tengkorak Terbang
dan memandanginya
dengan senyum sinis, senyum kemenangan. Tengkorak Terbang memandang dengan
geram, karena ia tahu
kelumpuhannya itu akibat racun yang berhasil dipukulkan ke tubuhnya oleh Dewa Racun.
"Apa yang kukatakan tadi bukan suatu gertakan semata, Tengkorak Terbang!" kata
Dewa Racun. "Kau akan lumpuh dan mati dalam keadaan jantungmu
menjadi sebesar biji salak!"
"Dewa Racun....'" Tengkorak Terbang mengerang dalam geram kemarahan yang tak
mampu berbuat banyak. Bahkan untuk mengangkat tangannya pun mulai terasa sakit di seluruh
tulangnya. "Buka mulutmu!" kata Dewa Racun memerintahkan hal itu. Tengkorak Terbang tak mau
buka mulut, ia bahkan
menggeletukkan giginya menahan luapan amarah. "Buka mulutmu dan kuberikan obat penawarnya!"
bentak Dewa Racun. Tetapi Tengkorak Terbang masih menatap dengan mata buas dan
menggeletukkan gigi menahan rasa sakit di sekujur tulangnya.
"Kau akan mati jika tak mau menelan obat penawarku ini!"
* * * 5 ISTANA Cambuk Biru dilanda bencana. Di sana-sini, darah membanjir, memercik pada
dinding, dan mayat tergeletak tak berbentuk lagi wajahnya. Mayat para prajurit
pada umumnya pecah di bagian kepalanya, seperti mendapat hantaman benda keras
yang cukup besar. Bahkan para penjaga di serambi istana yang berjumlah lima
orang itu, tergeletak semuanya bermandi darah tanpa nyawa lagi. Lantai marmer
hitam digenangi darah mereka. Dinding bermarmer abu-abu pun terkena percikan
darah mereka. Dewa Racun melihat keadaan itu dari atas sebuah pohon, tak begitu jauh jaraknya
dari benteng istana, ia terperangah dan lama tak bisa mengedipkan mata
menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Hampir satu persatu dari mayat yang ada
di depan istana dipandangi pakaiannya. Tak satu pun yang berpakaian mirip Suto,
atau Singo Bodong. Dewa Racun sedikit lega. Berarti kedua temannya itu tidak
menjadi korban.
Tapi bagaimana jika mereka menjadi korban di dalam istana" Sebab di serambi
samping dekat jendela pun terdapat dua mayat tergeletak bertumpuk. Sebagian kaki
mereka ada di dalam. Itu menandakan di bagian dalam istana juga banyak mayat
yang bermandi darah, pecah kepalanya.
Bulu kuduk Dewa Racun berdiri, ia yakin Tengkorak Terbang akan terpaku melihat
pemandangan mengerikan itu. Sayang sekali Tengkorak Terbang belum siuman sejak
Dewa Racun membuka paksa mulut orang itu dan memasukkan
segelintir obat hitam mirip kotoran kambing. Obat itu adalah penawar racun. Sengaja Dewa Racun tidak membiarkan
Tengkorak Terbang mati oleh racunnya, sebab banyak saksi mata yang melihat
pertarungannya dengan Tengkorak Terbang. Sedangkan Nyai Gusti Dyah Sariningrum
telah berpesan berulang-ulang, agar anak buahnya jangan membuat perselisihan
dengan orang-orang Pulau Beliung. Ada suatu siasat yang sudah diatur oleh Dyah
Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi itu, yang membuat ia dan anak
buahnya harus menghindari perselisihan dengan orangorang Pulau Beliung.
Melihat pemandangan mengerikan di mana darah
mengalir membanjir di dalam maupun di luar istana, Dewa Racun menjadi gelisah
karena ia menemukan
suatu dugaan. "Jangan-jangan Pendekar Mabuk yang melakukan pembantaian
seperti ini" Celaka kalau dia yang melakukannya. Padahal dia calon suami Nyai Gusti, sedangkan Nyai Gusti Dyah
Sariningrum sudah wanti-wanti untuk tidak bikin perkara dengan orang-orang Pulau
Beliung. Hmmm... kulihat Suto tadi memberi isyarat untuk menyusup ke istana. Aku
tahu, tujuannya adalah membebaskan Singo Bodong. Tapi haruskah
dengan melakukan pembantaian seperti ini?"
Zlabbb...! Crabb!
Sebuah anak panah menancap pada batang pohon,
tepat di depan hidung Dewa Racun. Hampir saja Dewa Racun terjengkang jatuh dari
pohon karena kagetnya.
Dan kini ia segera mencabut anak panah itu, yang ternyata adalah miliknya
sendiri, ia cepat pandangkan matanya ke arah datangnya anak panah. Ternyata di
salah satu pohon tak jauh darinya telah bertengger sesosok tubuh berpakaian
coklat dan celana putih, berikat pinggang merah sebagai tali pengikat tempat
anak panah. Tempat anak panah itu ada di dadanya, menyilang
ke kiri. Sedangkan di punggungnya tersandang bambu bumbung tuak yang menyilang ke arah kanan.
"Haram jadah! Si Suto sudah berada di sana!
Hmmm...! Sebaiknya aku segera mendekatinya!" pikir Dewa Racun kegirangan.
Wuuut...! Dewa Racun melompat dari dahan ke
dahan tanpa menimbulkan suara, dan kejap berikutnya dia sudah berada dekat Suto
Sinting. "Maaf, aku hanya bisa selamatkan busur dan anak panahmu waktu kita terlempar
dari perahu!" Suto menyerahkan busur dan tempat anak panah kepada
Dewa Racun. "Iya. Tapi kau gunakan anak panahku dengan ugal-ugalan! Aku jarang lepaskan anak
panah kalau tidak benar-benar dalam keadaan kepepet! Hmmm... yang berbulu putih
tinggal dua"!"
"Aku tadi hanya ingin mengecohkan Tengkorak Terbang dan membuat nyalinya ciut
sebentar."
"Kau juga yang memanah tali gantungan Singo Bodong"!"
"Ya. Tapi aku belum berhasil membawa keluar Singo Bodong dari dalam istana!"
"Untung tak kau gunakan anak panah berbulu merah ini!"
"Kenapa"
"Bisa meledak tali itu dan kepala Singo Bodong bisa hancur seperti kepala mayatmayat berserakan itu!"
"Kebetulan saja yang kuambil selalu yang berbulu putih!" jawab Pendekar Mabuk
sambil tersenyum, lalu diambilnya bumbung tuak dan menenggak tuaknya
beberapa teguk.
"Suto, apakah bukan kau yang melakukan pembantaian itu?"
"Bukan!" jawab Suto tegas. "Aku datang dalam keadaan mayat sudah bergelimpangan
di sana-sini. Aku sendiri heran melihatnya."
"Hmmm...," Dewa Racun manggut-manggut setelah ia menyandang tempat anak panah
dan busurnya di punggung. Lalu, ia berkata seperti orang menggumam,
"Jika bukan kau, bukan aku, lantas siapa yang melakukan pembantaian sebegitu
kejinya" Apakah
Singo Bodong?"
"Itu yang kupikirkan sejak tadi. Mungkinkah Singo Bodong
memberontak dengan kekuatan Dadung Amuk"!"
"Aku tak berani memberi jawaban. Makin lama keberadaan Singo Bodong makin
membuatku pusing
memikirkannya."
Pendekar Mabuk menenggak lagi tuaknya beberapa
kali, lalu ia ajukan tanya,
"Siapa sebenarnya mereka-mereka itu, Dewa Racun"
Aku tak sempat tahu persoalannya. Yang kutahu, Singo Bodong telah berada di
tiang gantungan. Lalu aku segera membebaskannya dari maut!"
"Singo Bodong mereka sangka Dadung Amuk.
Menurut percakapan yang kusadap, ternyata Dadung Amuk pernah membuat kerusuhan
di Pulau Beliung ini dalam upayanya mencari Kitab Wedar Kesuma...," Dewa Racun
berhenti sejenak, alihkan percakapan, "Hei, bagaimana dengan kitab itu, apa
masih ada padamu?"
"Ada di punggungku, di balik pakaianku!"
"Syukurlah! Aku khawatir kitab itu hanyut. Hmmm.
Apakah kitab itu basah?"
"Kelihatannya kitab ini terbuat dari kulit yang anti basah. Seperti dilapisi
Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lilin setiap permukaannya. Aku sudah memeriksanya begitu aku terdampar di
pantai, kemarin malam."
"Bagus. Aku ikut senang mendengarnya."
"Lalu, soal Pulau Beliung dan ratunya itu bagaimana?"
"Hmmm... begini! Tengkorak Terbang menemukan Singo
Bodong terdampar di pantai, lalu dibawa menghadap kepada Ratu Pekat...."
"Itu sudah kupahami. Yang belum kupahami, siapa Ratu Pekat itu?"
"Ratu Pekat adalah tokoh tua yang menguasai Pulau Beliung ini. Dulu dia anak
seorang tokoh sakti yang bergelar Iblis Pulau Bangkai! Tentunya kau kenal nama
itu." "Ya. Dia lawan dari bibi guruku, si Bidadari Jalang.
Tapi dia sudah dibunuh oleh Bibi Guru. Iblis Pulau Bangkai
juga mempunyai murid yang bernama Nagadipa, tempo hari bertemu denganku hendak menuntut balas." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan di
Bukit Jagal").
"Ya. Benar. Tetapi, Iblis Pulau Bangkai lebih sayang kepada murid lelakinya itu,
sehingga Ratu Pekat minggat dari Pulau Bangkai dan mengasingkan diri di sini!
Tapi ia mencuri satu dari dua kitab milik ibunya. Di sinilah akhirnya ia
berkuasa sebagai ratu penguasa Pulau
Beliung." "Tapi, kulihat tadi sepertinya Tengkorak Terbang sudah mengenal namamu. Apakah
ada hubungan antara orang-orang Pulau Beliung ini dengan orang-orang Pulau
Serindu?" "Hubungan yang terjalin adalah permusuhan."
"Oh..."!"
Pendekar Mabuk terkejut sedikit. "Permusuhan bagaimana maksudmu?"
"Ratu Pekat ingin merebut Pulau Serindu. Mereka pernah menyerang ke sana. Kami
hampir terdesak
mundur. Tapi, Siluman Tujuh Nyawa muncul dan
memihak kami. Ratu Pekat terusir pulang ke kandangnya. Sejak itu, mereka tak berani menyerang Pulau Serindu, karena merasa
tak mungkin bisa berhasil selama Siluman Tujuh Nyawa berada di pihak kami.
Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa memanfaatkan pertarungan kami untuk mencari jasa dan unjuk
kesaktian di depan nyai gustiku. Dengan begitu, nyai gustiku berhutang jasa pada
Siluman Tujuh Nyawa. Tapi Nyai Gusti tidak pernah mau peduli tentang pembelaan
Siluman Tujuh Nyawa itu. Karenanya, kami dilarang bikin persoalan dengan orangorang Pulau Beliung ini, supaya Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa tidak
menanam jasa lagi pada kami."
"Hmmm... begitu!" Suto manggut-manggut, lalu mengambil bumbungnya dan menenggak
tuaknya lagi. Pada saat itu, terlihat oleh mereka kedatangan
Tengkorak Terbang yang segera memandang keadaan sekeliling dengan tegang. Mata
cekungnya terbuka lebar,
napasnya naik turun bagai ingin meledak dari dadanya.
Tengkorak Terbang telah pulih dan terhindar dari racun maut yang nyaris
mematikannya itu.
"Itu orang yang kau lawan tadi," kata Pendekar Mabuk.
"Ya. Kuharap kau diamlah dulu. Aku akan menyadap percakapan Tengkorak Terbang
dengan Pragulo."
Suto diam, memandang pertemuan Tengkorak Terbang dengan orang yang disebut Pragulo itu.
Sementara Dewa Racun tempelkan kedua jari telunjuknya di pelipis kanan kiri, lalu matanya tetap memandang kedua orang yang
berbicara di depan
serambi istana.
"Mengapa bisa sampai begini, Pragulo"! Siapa yang melakukannya, hah"! Siapa"!"
"Aku tak melihat siapa orangnya! Tapi menurut pengakuan Damar Jati sebelum ia
menghembuskan napas terakhir, seseorang telah melesat lewat di dekatnya, tangan orang itu
bergerak ke mana-mana sambil melompat dengan cepat. Lalu, tiba-tiba beberapa
orang jatuh dengan kepala mengucurkan darah. Damar Jati segera menutup hidung
karena mencium bau hangus.
Tapi sekujur kepalanya terasa panas, ia bertahan memburu orang itu, tapi tak
berhasil. Orang itu telah membawa lari Cempaka Ungu, dan sekarang sedang
dikejar oleh Ratu Pekat bersama si Mata Elang."
"Tawanan kita bagaimana?"
"Dia sudah dimasukkan dalam ruang bawah tanah oleh si Mata Elang. Sekarang masih
ada." "Kau sendiri ada di mana waktu kejadian ini, hah"!"
"Aku... aku... aku sedang buang hajat di belakang kamar mandi! Waktu aku datang
kemari, keadaan sudah menjadi seperti ini. Dan, aku mendapat cerita itu dari
Damar Jati, yang segera menghembuskan napas terakhirnya."
"Edan semua!" geram Tengkorak Terbang. "Orang satu istana dibantai habis! Setan
mana yang bikin perkara ini"!"
"Seb... sebaiknya, susul saja Ratu Pekat bersama si Mata Elang. Dia lari ke arah
barat!" "Dia siapa"!" bentak Tengkorak Terbang.
"Orang yang mencuri Cempaka Ungu itu!" jawab Pragulo
dengan tegangnya. Dan tiba-tiba tangan Tengkorak Terbang melayang cepat menamparnya.
Plokk...! Dewa Racun segera menceritakan percakapan yang
disadapnya kepada Suto. Kemudian ia menambahkan kata,
"Orang berkelebat sambil menggerak-gerakkan
tangan dan menimbulkan bau hangus, itu pertanda orang tersebut menebarkan racun
yang amat ganas. Bila dihirup oleh seseorang, racun itu terbawa melalui napas
dan membuat hancur pembuluh darahnya khusus di
bagian kepala. Karena itu mayat-mayat tersebut pecah kepalanya, bahkan ada yang
sampai tak berbentuk lagi wujudnya. Sedangkan bagian tubuh mereka tampak
masih utuh."
"Hmmm...! Ya, aku paham cara kerjanya. Tapi,
menurutmu siapa tokoh penebar racun yang begitu keji itu?"
"Setahuku, racun itu adalah racun Angin Jantan."
"Nama yang cukup aneh," gumam Suto. Ia meneguk tuaknya kembali.
"Hanya ada tiga orang yang memiliki racun Angin Jantan, yaitu orang yang
berjuluk si Darah Beku."
"Siapa itu Darah Beku?"
"Tokoh sakti di ujung tanah Tiongkok, kemudian yang kedua adalah orang yang
berjuluk Gagak Neraka."
"Siapa itu Gagak Neraka?" potong Pendekar Mabuk.
"Pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa. Dan yang ketiga...," Dewa Racun berhenti
sejenak, menatap ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan di pelataran Istana
Cambuk Biru itu. Melihat berhentinya kata-kata Dewa Racun, Suto segera mendesak
dengan berbisik,
"Siapa yang ketiga?"
"Aku sendiri!' jawab Dewa Racun dengan tanpa memandang Suto.
"Kau memiliki ilmu racun Angin Jantan..."!"
"Ya. Tapi bukan aku pelaku pembantaian berdarah itu!"
"Jadi menurutmu siapa" Siapa pula yang menculik Cempaka Ungu?"
"Tak mungkin orang itu adalah Darah Beku, sebab dia tidak punya urusan dengan
orang-orang Pulau Beliung dan orang-orang Pulau Serindu."
"Jadi menurutmu, orang yang mencuri anak Ratu Pekat itu adalah Gagak Neraka?"
"Ya. Aku menduga dialah pelakunya."
"Mengapa hal itu ia lakukan?"
"Entah. Tapi bisa jadi karena ia cinta kepada Cempaka Ungu!"
"Cinta"!" Suto Sinting tertawa pendek dan pelan.
"Bosan aku mendengar orang bercinta! Karena cintaku sendiri belum tiba pada
tujuannya."
"Itu hanya kemungkinan yang ada padaku, Suto. Tapi untuk lebih jelasnya, kita
susul saja mereka ke arah barat!"
Tiga teguk tuak ditelannya lebih dulu, setelah itu Pendekar Mabuk melesat pergi
mengikuti Dewa Racun.
Tujuannya untuk membebaskan Singo Bodong menjadi tertunda, karena rasa penasaran
ingin mengetahui siapa pelaku pembantaian berdarah di Istana Cambuk Biru itu,
dan apa tujuan orang tersebut.
Di bagian barat pulau itu, terdapat sebuah bukit karang tanpa tanaman sedikit
pun kecuali lumut pada tebingnya. Bukit karang itu mempunyai bebatuan karang
yang bertonjolan di sana-sini, seperti patok-patok makam raksasa. Di atas bukit
karang itulah Ratu Pekat dan si Mata Elang mengejar orang yang mencuri
Cempaka Ungu. Pada saat itu, Cempaka Ungu terkulai tak jauh dari kaki seorang
berpakaian abu-abu muda, agak keputih-putihan, ia mengenakan sabuk hitam besar
dengan hiasan kepala burung gagak di perutnya.
Tubuhnya agak besar, tapi masih kalah besar dengan Singo Bodong. Di kedua
pinggangnya terselip piringan logam baja yang tipis separo lingkaran. Bagian
yang lurus dari piringan itu berbentuk rata, tapi punya lubang besar untuk memasukkan
keempat jarinya, sedangkan bagian yang lengkung bergerigi tajam. Piringan itu
menyerupai kipas yang terbuat dari baja. Besar ukurannya sebesar kipas biasa. Warnanya putih mengkilap. Orang itulah yang berjuluk Gagak Neraka. Rambutnya panjang berwarna hitam kelam sebatas
punggung. Diikat dengan ikat kepala dari kulit buaya berwarna abu-abu juga.
Usianya antara empat puluh tahun, sehingga masih tampak tegar dan tegap. Kedua
pergelangan tangannya mengenakan gelang kulit dari kulit buaya.
Rupanya ia telah menotok jalan darah Cempaka
Ungu, sehingga gadis itu tak bisa berkutik sedikit pun.
Hanya matanya yang berkedip-kedip dengan keadaan tubuh terbaring lunglai.
Si Mata Elang tetap berdiri di samping Ratu Pekat yang segera bicara kepada
Gagak Neraka. "Apa maksudmu menyerang kami"! Jangan bikin persoalan dengan kami kalau kau
ingin pulang tetap membawa nyawamu!"
"Ratu Pekat! Kau yang bikin persoalan lebih dulu, sehingga aku terpaksa
bertindak. Putrimu yang tinggal satu ini yang akan menjadi penebus kesalahanmu,
Ratu Pekat!"
kata Gagak Neraka dengan suara besar. Wajahnya yang lonjong menampakkan kesan bengis dan tak kenal ampun.
"Apa kesalahanku, Gagak Neraka"! Bukankah kau
yang bikin gara-gara dengan membantai habis anak buahku dan menculik putriku, si
Cempaka Ungu"!"
"Karena kau menawan orangku, maka aku bikin ulah seperti itu!" sentak Gagak
Neraka dengan mata tajam.
"O, jadi kau menghendaki Dadung Amuk yang
menjadi tawananku itu, Gagak Neraka"!"
"Ya! Lepaskan dia nanti kulepaskan putrimu ini!"
"Manusia licik dan pengecut!" sentak si Mata Elang tiba-tiba.
"Tutup mulutmu, Mata Elang!" Gagak Neraka menuding, dan tiba-tiba melesat sinar
merah dari ujung telunjuknya. Zuuut...! Sinar itu melesat cepat menuju ke tubuh
si Mata Elang. Tapi dengan cepat, bola mata si Mata Elang itu
menjadi merah membara, lalu sebuah sinar merah pula melesat dari kedua matanya.
Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Zlasss...! Crub, bummm...!
Kedua sinar merah itu beradu di udara, dan
menimbulkan ledakan yang tidak kecil. Gagak Neraka sempat terguncang tubuhnya
demikian pula si Mata Elang. Tapi keduanya tetap sama-sama berdiri di tempat
masing-masing dalam jarak delapan langkah.
Ratu Pekat serukan kata lagi, "Ketahuilah, Gagak Neraka...! Temanmu Dadung Amuk
telah banyak menimbulkan korban di tempatku, gara-gara mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma.
Sepantasnya kalau dia kutangkap dan kujatuhi hukuman gantung! Berarti dari
pihakmu dulu yang membuat keonaran di pulauku ini, Gagak Neraka!"
"Kalau kau menyerahkan kitab itu, maka kami tak akan bikin keonaran apa pun!"
debat Gagak Neraka dengan senyum sinisnya.
"Kau salah alamat! Bukan di sini tempatnya mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma!
Kau telah berbuat
ngawur, Gagak Neraka! Itu menunjukkan kebodohan dari pihakmu!"
"Terserah apa katamu, Ratu Pekat! Yang jelas, anakmu ini akan kujadikan pemuas
gairah teman-teman kapalku, jika Dadung Amuk tidak kau serahkan
padaku!" "Manusia haraaam....'" geram Ratu Pekat dengan tangan
menggenggam kuat-kuat. Matanya mulai memancarkan murka yang hampir tak tertahan lagi.
"Serahkan Dadung Amuk itu kepadaku, atau kubawa pergi
putrimu ini!" ulang Gagak Neraka dalam ancamannya. "Bila kau serang aku, akan kuhantamkan pukulan mautku ke kepala
anakmu. Pasti pecah, Ratu Pekat! Ha ha ha ha...!"
Si Mata Elang ingin menyerang, tapi ditahan oleh Ratu Pekat demi keselamatan
Cempaka Ungu. Bahkan kedatangan Tengkorak Terbang pun segera dihadang oleh Ratu
Pekat agar tidak turun tangan secara gegabah.
Tetapi Tengkorak Terbang menggeram dan berkata,
"Saya mampu membunuhnya, Ratu! Biarkan saya menyerangnya!"
* * * 6 RATU Pekat bukan orang bodoh, ia tidak mau
korbankan anaknya yang tinggal satu-satunya itu demi mempertahankan tawanannya.
Sebab itu, Ratu Pekat tetap
melarang keinginan Tengkorak Terbang menyerang Gagak Neraka. Salah-salah anaknya bisa jadi korban.
"Bebaskan Dadung Amuk!" perintah Ratu Pekat.
Si Mata Elang dan Tengkorak Terbang sama-sama
lemparkan pandang pada Ratu Pekat. Si Mata Elang berkata dalam bisik,
"Yakinkah keputusan Nyai itu benar?"
"Ya. Aku tak mau kehilangan anak lagi."
"Mengapa bukan Tengkorak Terbang yang Nyai percaya untuk mengatasi hal ini"!" Si
Mata Elang makin membisik, jarak wajahnya dengan Ratu Pekat cukup dekat.
"Bukankah Tengkorak Terbang sudah memiliki ilmu 'Lebur Samudera', yang telah
membuat Dadung Amuk tak berdaya karena hilang kesaktiannya"! Biarkan saja
Tengkorak Terbang yang melancarkan pukulan
'Lebur Samudera' kepada Gagak Neraka. Biar orang itu pun mengalami nasib seperti
Dadung Amuk, Nyai!"
"Itu bisa diatur nanti, Mata Elang. Yang penting sekarang selamatkan dulu
anakku, setelah itu baru Tengkorak Terbang menyerang si Gagak Negara dengan
pukulan 'Lebur Samudera'-nya!"
"O, begitu maksud, Nyai?"
"Ya. Dan sekarang, cepat ambil tawanan kita, tukar dengan Cempaka Ungu!"
"Baik, Nyai Ratu!" kata si Mata Elang dengan penuh hormat sebagai lambang
kepatuhannya. Pada salah satu sisi, di balik jajaran batu-batu karang yang membentuk barisan
mirip pagar berbunga itu, terpancang sorot pandangan dari dua pasang mata
manusia. Kedua manusia itu bersembunyi di sana
memperhatikan percakapan dan pertemuan Gagak Neraka dengan Ratu Pekat. Siapa lagi pengintai itu jika bukan Dewa Racun dan
Pendekar Mabuk, si murid
sinting Gila Tuak; Suto!
Dengan sedikit merendahkan badan, Suto masih
sempat menenggak tuaknya. Glek, glek, glek. Cukup tiga kali teguk. Bumbung tuak
kembali disandangnya di punggung. Sementara itu, Dewa Racun tertawa dengan mulut
dibekap pakai tangan sendiri.
"Ada apa...?"
"Ratu Pekat menyangka Tengkorak Terbang mempunyai ilmu 'Lebur Samudera'! Karena mereka
sangka, Singo Bodong adalah Dadung Amuk yang
ilmunya telah hilang musnah karena pukulan 'Lebur Samudera'. Hi hi hi hi...!"
"Apanya yang lucu?" Suto bahkan tampak bingung.
"Mereka tidak tahu, bahwa orang yang mereka tangkap itu Singo Bodong yang tidak
punya ilmu apa-apa."
"Siapa tahu dugaan mereka benar, bahwa Singo Bodong itu memang Dadung Amuk."
"Tidak, tidak!" potong Dewa Racun. "Kita tidak perlu memikirkan hal itu, Suto,
karena yang penting adalah
menyelamatkan dia; orang besar yang polos dan bodoh itu, terlepas siapa dia
sebenarnya, entah Singo Bodong atau Dadung Amuk."
"Ya, begitu saja!" jawab Suto sambil mengangguk tegas.
"Lalu, bagaimana" Apakah kita mau turun tangan sekarang juga atau...?"
"Tunggu, sampai Singo Bodong diserahkan kepada Gagak Neraka, baru kita rebut
darinya. Dengan begitu, kita tidak membuat perselisihan dengan orang-orang Pulau
Beliung ini. Yang kita serang adalah orangnya Siluman Tujuh Nyawa."
"O, ya. Benar! Tepat sekali perhitunganmu!" kata Dewa Racun sambil tunjukkan
jempolnya tanda memuji.
"Selama aku berhadapan dengan Gagak Neraka, kau tak perlu ikut campur. Tapi
awasi saja gerak-gerik si Mata Elang atau Tengkorak Terbang. Aku curiga mereka
bisa melakukan kecurangan terhadap apa pun dan
terhadap siapa pun."
"Ya, ya...! Aku paham. Bahkan sekarang pun rasa-rasanya aku perlu mengawasi si
Mata Elang dalam membawa Singo Bodong kemari. Aku takut dia
melakukan kelicikan terhadap diri Singo Bodong."
"Itu juga baik!" jawab Suto, kemudian dia biarkan Dewa Racun bergegas pergi
meninggalkannya. Pendekar Mabuk sendiri segera beringsut dari tempatnya, mencari
persembunyian yang lebih dekat lagi.
Entah apa saja yang dipercakapkan antara Ratu Pekat dengan Gagak Neraka, Suto
tak mendengar. Yang jelas
ia menunggu saatnya bergerak setelah Singo Bodong diserahkan kepada Gagak
Neraka. Pada saat itu, Pendekar Mabuk berpikir, "Dari mana Gagak Neraka tahu bahwa di
pulau ini temannya si Dadung Amuk akan menjalani hukuman gantung"
Apakah dia sudah lama bersembunyi di pulau ini"
Walaupun ternyata orang yang dianggap Dadung Amuk itu bukan teman sebenarnya,
tapi setidaknya ia melihat dan tahu ciri-ciri tawanan yang akan dihukum gantung
itu. Atau, barangkali memang Singo Bodong adalah Dadung Amuk, dan hanya Gagak
Neraka-lah yang tahu persis siapa orang bertubuh tinggi besar berwajah angker
tapi bodoh itu. Ya, ya... kurasa Singo Bodong memang Dadung Amuk, sebab Gagak
Neraka sampai mau
menjemputnya kemari, dan mau bertindak sekeji itu demi menyelamatkan temannya.
Jika Singo Bodong
bukan Dadung Amuk, tak mungkin Gagak Neraka mau turun tangan sampai menggunakan
pukulan 'Racun Angin Jantan'"!"
Saat yang ditunggu tiba. Singo Bodong siap ditukar dengan Cempaka Ungu. Pendekar
Mabuk menyiapkan
diri untuk bergerak sewaktu-waktu. Sementara itu, Gagak Neraka pun melirik
kanan-kiri, memeriksa
keadaan sekelilingnya, ia tak mau terkecoh karena penukaran yang gagal.
"Lepaskan Cempaka Ungu!" perintah Ratu Pekat.
Gagak Neraka menjawab," Serahkan dulu dia padaku, dan kuserahkan Cempaka Ungu
padamu!" Ratu Pekat memandang penuh selidik. "Kalau kau
curang, kulabrak kau sampai di depan Siluman Tujuh Nyawal Kuhancurkan semua
orang-orangmu! Tentunya aku tidak sendirian, Gagak Neraka! Aku masih bisa punya
kekuatan lebih besar lagi dengan meminta
bantuan kepada teman-temanku yang kukenal!"
"Ha ha ha...! Percayalah pada Gagak Neraka, Ratu Pekat! Kita bertukar tawanan
secara ksatria! Kalau kau curang, aku pun bisa menenggelamkan pulau ini!"
"Baik!" jawab Ratu Pekat. Kemudian ia berikan isyarat kepada si Mata Elang. Mata
Elang pun segera melepaskan Singo Bodong dan mendorong tubuh besar itu, hingga
Singo Bodong berhenti ke depan hampir jatuh. Tetapi, setelah itu Singo Bodong
berhenti dalam kebingungan, ia justru memandangi si Mata Elang, Tengkorak
Terbang, dan Ratu Pekat.
"Pergilah sana, Babi! Jangan buang-buang waktu!"
sentak si Mata Elang dengan kasar kepada Singo
Bodong. "Pergi... pergi ke mana"' Singo Bodong bingung, kesan yang timbul ialah, bahwa
ia tidak tahu masalah apa-apa tentang penukaran tawanan itu.
Terdengar Gagak Neraka berseru, "Dadung Amuk, cepatlah kemari!"
Singo Bodong memandang Gagak Neraka dengan
dahi berkerut. Bahkan kepalanya sempat dimiring-miringkan
sedikit untuk mengenali suara yang memanggilnya itu.
"Cepat kemari, Dadung Amuk!" seru Gagak Neraka tak sabar.
"Siapa... siapa orang itu, Tengkorak Terbang?" tanya Singo Bodong kepada
Tengkorak Terbang, karena ia lebih akrab dengan nama tersebut. Dan hal itu
membuat Tengkorak Terbang serta yang lainnya merasa heran.
"Ternyata dia tidak mengenali teman sendiri," pikir Tengkorak Terbang. "Tak
mungkin Dadung Amuk sampai saat ini masih berpura-pura bodoh. Bukankah dia sudah
ada temannya untuk melakukan penyerangan
terhadapku?"
Sementara itu, terdengar kasak-kusuk antara si Mata Elang dengan Ratu Pekat.
Sang Ratu berbisik,
"Lihat kehebatan ilmu 'Lebur Samudera'. Bukan saja menghilangkan semua ilmu dan
kesaktian lawan, tapi juga menghilangkan ingatan lawan. Sampai-sampai Dadung
Amuk tidak mengenali Gagak Neraka."
"Begitu hebatnya ilmu yang dimiliki Tengkorak Terbang!" bisik si Mata Elang.
"Dadung Amuk!" panggil Gagak Neraka kepada Singo Bodong. Tapi Singo Bodong hanya
memandang bingung pada keadaan sekeliling.
Tengkorak Terbang tak sabar. Ia segera mencekal lengan Singo Bodong dan
menariknya, membawa
mendekati Gagak Neraka. Dalam jarak dua langkah, Tengkorak Terbang berhenti.
"Ambillah orang ini, dan akan kuambil Cempaka Ungu!"
Gagak Neraka melompat maju, menyambar lengan
Singo Bodong, ia melangkahi tubuh Cempaka Ungu.
Lalu, berkata kepada Tengkorak Terbang, "Ambil dan
bawalah pulang gadis itu! Aku sudah tidak membutuhkannya lagi!"
Tengkorak Terbang segera mengangkat tubuh Cempaka Ungu yang masih tertotok jalan darahnya itu, lalu selekasnya tinggalkan
tempat tersebut, bergabung kembali kepada Ratu Pekat. Sang Ratu sentakkan satu
jari tengahnya ke bagian belakang telinga Cempaka Ungu. Seketika itu, totokan
jalan darah menjadi bebas dan Cempaka Ungu hembuskan napas lega.
Terdengar Gagak Neraka tertawa sambil berkata,
"Aku tahu.... Aku tahu kau memang jago untuk hal ini, Dadung Amuk! Sebaiknya
mari kita tinggalkan pulau ini dan jangan usik mereka lagi!"
"Kamu siapa?" terdengar pula suara Singo Bodong bernada heran.
"Sudahlah, jangan main-main lagi!" kata Gagak Neraka sambil menepuk-nepuk pundak
Singo Bodong. "Mari pulang, Sobat!"
"Pulang ke mana"!" Singo Bodong menolak tarikan tangan Gagak Neraka. Ia kerutkan
dahi semakin tajam.
Saat itu pula dalam hati Suto berkata, "Kalau begitu, dia memang bukan Dadung
Amuk! Bukan! Kalau dia
Dadung Amuk yang punya ilmu cukup tinggi itu, pasti dia akan serang balik
kekuatan Ratu Pekat bersama-sama Gagak Neraka! Bukankah Gagak Neraka hanya
seorang diri mampu membuat istana berlumur darah dalam
sekejap. Tentunya bersama Dadung Amuk dia bisa bikin habis keempat nyawa di
pihak Ratu Pekat. Tapi
mengapa Singo Bodong semakin bingung melihat dan
mendengar ajakan Gagak Neraka" Itu sudah pasti, sebab Singo Bodong bukan Dadung
Amuk!" Semangat Pendekar Mabuk untuk selamatkan Singo
Bodong semakin tinggi. Tetapi ia tetap tidak mau gegabah dalam bertindak. Karena
pada saat itu, ia melihat seberkas sinar merah keluar melesat dari sepasang mata
milik si Mata Elang. Sinar itu melesat ke arah Gagak Neraka. Tetapi dengan cepat
Gagak Neraka sentakkan kaki dan melompat tinggi selamatkan diri.
Sinar merah itu menerpa seonggok batu karang, dan seketika itu pula batu karang
sebesar dua kali tubuh Singo Bodong itu pecah berantakan.
Duaaar...! "Auuh...!"
terdengar Singo Bodong mengaduh, karena pecahan karang itu ada yang melesat dan
mengenai tulang kering kakinya. Singo Bodong meringis kesakitan sambil memegangi
kaki. "Dadung Amuk, serang mereka!" teriak Gagak Neraka sambil melompat kembali dan
sentakkan tangan kanannya ke depan. Wuuush...! Tangan kanan itu
melepaskan pukulan bersinar putih. Melesat ke arah tubuh si Mata Elang yang
berpakaian serba merah.
Tapi, Mata Elang pun cepat sentakkan kaki dan
Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melompat ke samping dengan lincahnya. Sementara itu, Singo Bodong masih
mengaduh-aduh dengan suara
tertahan. Tulang kering kakinya melepuh. Memar
membiru. "Kau mau main curang, Ratu Pekat! Kau pikir aku belum siap"!" seru Gagak Neraka.
Sreet...! Sreet...! Gagak Neraka mencabut senjata bergeriginya.
Dua tangannya telah menggenggam senjata lempengan baja putih. Kedua tangan itu bergerak menyilang bolak-balik,
dan cahaya kemilau dari baja putih itu memancarkan sinar berganti-ganti warna.
Pada saat itu, Tengkorak Terbang segera meluncurkan tubuhnya bagai melayang menuju ke arah Singo Bodong. Tetapi, dua
senjata bergerigi itu segera digesekkan di atas kepala oleh Gagak Neraka.
Zrengngng...! Gesekan dua logam itu menimbulkan nyala sinar
merah bagai lahar gunung berapi. Sinar itu menyembur ke arah Tengkorak Terbang
dengan sangat cepatnya.
Wuuuut...! Hampir saja sinar itu mengenai pinggang Tengkorak Terbang jika tidak segera
dihantam oleh kibasan tangan si Mata Elang yang mengeluarkan cahaya biru muda.
Sinar keduanya membentur dalam jarak satu depa dari tubuh Tengkorak Terbang.
Blarrr...! Kedua sinar yang berbenturan menimbulkan suara
berdentum keras. Dentuman itu membuat satu gelombang tenaga yang menghentak begitu besarnya, sehingga
tubuh Tengkorak Terbang yang sedang melayang itu terpental tak tentu arah dan jatuh dengan punggung membentur salah
satu dinding batu karang.
Bluuuk...! Breeg...! Tubuh Tengkorak Terbang jatuh ke tanah dalam keadaan
menahan napas. Orang akan
menyangka salah satu tulang Cakradanu pasti ada yang
patah. Tapi nyatanya tidak. Cakradanu kembali tegak dengan mata liarnya.
"Biadab orang itu!" geram Cempaka Ungu. Ia mau bergerak, tapi tangan ibunya
menghadang di depannya, menahan gerakan selanjutnya.
"Aku ingin menghadapi orang itu, Bu!"
"Jangan! Dia bukan lawanmu! Sebaiknya kita menjauh dulu. Biarkan Tengkorak Terbang dan si Mata Elang yang menanganinya!"
"Dadung Amuk! Bantu aku menyerang mereka,
Tolol!" teriak Gagak Neraka kepada Singo Bodong.
Tetapi Singo Bodong justru melangkah mencari tempat untuk berlindung dengan kaki
pincang. Si Mata Elang cepat gerakkan kedua tangannya
menghantam ke depan. Pukulan jarak jauh dilepaskan.
Tapi Gagak Neraka melompat dan bersalto di udara.
Rupanya itu pancingan saja buat si Mata Elang. Dengan cepat, dari sinar matanya
melesat cahaya merah
membara. Suuuut...! Duaaar...! Tubuh Gagak Neraka terpental. Sinar merah itu
ditangkisnya dengan senjatanya. Akibatnya, tubuh yang melayang itu bagai terkena
dorongan sangat kuat, hingga tubuh itu terhempas dan jatuh di depan Tengkorak
Terbang. Segera Tengkorak Terbang mencabut senjata cakranya, yang berbentuk gerigi juga tapi bertangkai panjangnya satu hasta.
Senjata cakra itu dikibaskan
seperti membabatkan pedang, dan meluncurlah api warna-warni itu melesat
menghantam tubuh Gagak
Neraka. Zrengngng...! Dua senjata Gagak Neraka digesekkan dengan cepat. Gesekan itu
menimbulkan nyala api putih menyilaukan dan membentuk perisai segi empat yang
cukup besar. Akibatnya, kekuatan tenaga dalam yang meluncur dari senjata cakra
itu tertahan oleh cahaya putih menyilaukan tersebut. Duuub...! Dan akhirnya
membalik menyerang pemiliknya. Wuuus...!
Tengkorak Terbang segera sentakkan kaki dan
melompat di udara dengan bersalto dua kali. Sinar warna-warni
itu menghantam batu karang di belakangnya. Buubh...!
Batu karang putih itu tiba-tiba menjadi hitam dan mengepulkan asap selintas.
Asap lenyap, batu karang hitam itu menjadi rapuh, dan berwujud debu sisa
pembakaran. Debu itu segera lenyap dihempaskan angin.
Singo Bodong terbengong-bengong.
Pertarungan hebat seperti inilah yang sejak dulu ingin ia saksikan.
Karenanya, Singo Bodong menjadi girang hatinya dan tiada hentinya mengikuti
kedahsyatan ilmu-ilmu mereka dengan mulut melongo, lupa pada sakit di kakinya.
Sementara itu, mata Singo Bodong cepat membelalak lebar ketika tubuh si Mata
Elang melenting tinggi dengan gerakan bersalto satu kali. Kaki Mata Elang
menjejak telak tengkuk kepala Gagak Neraka yang sedang
menghadapi serangan Tengkorak Terbang. Akibatnya, Gagak Neraka tersentak ke depan dan
berguling di bebatuan dengan menggunakan dua senjata piringnya itu sebagai
tumpuan di tanah. Dalam kejap berikutnya
tubuh itu sudah kembali tegak dan mengibaskan tangan kanannya dari kiri ke kanan.
Wuuut...! Brett...!
Tubuh Tengkorak Terbang yang sedang menyerang
ke tempat kosong akibat terjungkalnya Gagak Neraka itu, menjadi sasaran empuk
bagi senjata di tangan kanan Gagak Neraka. Pinggang kurus terbungkus kulit itu
pun robek tercabik. Panjangnya dari pinggang sampai ke dekat ketiak.
Tengkorak Terbang tersentak saat itu. Ia jatuh
berlutut dan memegangi lukanya yang amat sakit. Luka itu ternyata bergerak makin
lebar, makin lebar lagi, dan terus bergerak melebar dengan sendirinya. Jika
bukan karena racun yang ada di gerigi senjata Gagak Neraka, tak mungkin luka itu
bergerak melebar.
Si Mata Elang semakin gusar melihat Tengkorak
Terbang terluka. Ia segera melompat dan mencabut pedangnya yang pendek itu dari
sarungnya. Sreeet...!
"Mampus kau, Jahanaaam...!" teriak si Mata Elang.
Traang...! Pedang dikibaskan, tapi ditangkis oleh Gagak Neraka dengan senjata di
tangan kirinya. Pedang itu menyelip di antara gerigi senjata itu. Posisi Gagak
Neraka dalam keadaan setengah berlutut, ia melihat sasaran empuk di betis Mata
Elang, maka dengan cepat ia kibaskan senjata di tangan kanannya merobek kulit
Mata Elang. Brettt...!
"Aahk...!" Mata Elang memekik tertahan, ia segera
mengangkat pedangnya dan hendak ditebaskan dari atas ke bawah. Tapi, lutut Gagak
Neraka menghentak, dan tubuh itu tersentak naik, lalu dengan cepat ia rapatkan
dua tangannya, disentakkan ke depan sambil membuka ke kanan kiri.
Craaas...! Breet...!
"Aaahk...!" sekali lagi si Mata Elang terpekik dengan suara tertahan. Dadanya
robek karena jurus menebar dari dua senjata bergerigi itu. Panjang robekan
dadanya sampai ke pinggang kanan-kiri. Dan luka itu pun bergerak sendiri makin
melebar, seperti luka di betisnya pula.
Tubuh si Mata Elang terhuyung ke belakang dengan pedang masih di tangan dan
diangkat ke atas, namun tak pernah sempat ditebaskan ke depan. Akhirnya ia rubuh
dengan luka makin melebar, makin kelojotan tubuhnya direnggut rasa sakit yang
luar biasa. Demikian pula halnya dengan Tengkorak Terbang yang menggeliat
menahan sakit. "Dadung Amuk, cepat pergi...!" sentak Gagak Neraka sambil masukkan dua senjata
ke pinggang kanan-kirinya. Lalu, ia hampiri Singo Bodong yang ketakutan itu, dan
tiba-tiba ia sentakkan jarinya ke leher Singo Bodong. Seketika itu Singo Bodong
lemas bagaikan cucian basah, lalu diangkat oleh Gagak Neraka,
dipanggul dan dibawanya lari dalam satu lompatan bertenaga ringan. Wuuust...!
Jleeg...! Tiba-tiba Pendekar Mabuk menghadang di depan Gagak Neraka. Orang itu
terkejut dan terhenti
langkahnya. * * * 7 BUKAN hanya Gagak Neraka yang terkejut, tetapi
Ratu Pekat dan Cempaka Ungu juga terkejut melihat kemunculan pemuda tampan yang
belum dikenalnya.
Cempaka Ungu sempat berbisik kepada ibunya,
"Siapa dia, Ibu?"
"Entah. Baru kali ini aku melihatnya. Yang jelas dia bukan orang Pulau Beliung."
"Ada di pihak siapa dia?"
"Lihat saja nanti!" jawab Ratu Pekat sambil tetap memandang Suto.
Gagak Neraka segera menurunkan Singo Bodong.
Matanya memandang Pendekar Mabuk dengan penuh
waspada. Apalagi saat itu Pendekar Mabuk segera meneguk tuaknya sedikit, Gagak
Neraka semakin menaruh curiga. Sikap Pendekar Mabuk yang tenang dan seolah-olah meremehkan
lawan, membuat Gagak Neraka menggeram sejenak dan segera bertanya,
"Siapa kau"! Begundal Ratu Pekat yang baru"!"
"Bukan," jawab Suto Sinting tetap tegas walau bernada pelan. "Aku tak punya
hubungan apa-apa dengan mereka."
"Lalu mengapa kau menghadang langkahku, hah"
Mau cari mampus kamu"! Mau sumbangkan nyawa siasia untuk Ratu Pekat" Biar putrinya jatuh cinta padamu"
Iya"!"
"He he he...," Suto tertawa sedikit sumbang, kentara tuaknya mulai mempengaruhi
suaranya. "Tak perlu aku membuat Cempaka Ungu jatuh cinta, dia sudah akan jatuh
dengan sendirinya!"
"Lalu, mau apa kau menghadangku, Setan!"
"O, namaku bukan Setan! Julukanku Pendekar Mabuk! Tapi bukan Mabuk Setan! He he
he...!" Pendekar Mabuk tetap berdiri tegak. Tangan kanannya menjinjing tali bumbung tuaknya. Bibirnya tetap
sunggingkan senyum, dan membuat dua perempuan di bawah pohon itu bergetar hatinya.
Cempaka Ungu berbisik, "Siapa Pendekar Mabuk itu, Ibu?"
"Entahlah. Tapi sepertinya Ibu pernah mendengar julukan itu."
Gagak Neraka bergerak ke samping dua langkah,
mencari posisi enak untuk menyerang. Jarak mereka hanya tiga langkah, ia menatap
dengan pandangan asing melihat wajah dan penampilan Suto.
Terdengar Pendekar Mabuk ucapkan kata, "Gagak Neraka, pelayan setia Siluman
Tujuh Nyawa... mestinya kau bergegas pulang setelah berhasil tumbangkan
Tengkorak Terbang dan si Mata Elang!"
"Apa pedulimu?"
"O, aku hanya ingin mempersilakan kau pulang. Tapi tolong orang bodoh yang kau
totok jalan darahnya itu tinggalkan saja di sini!"
Gagak Neraka menggeram. "Persetan dengan omonganmu!" Lalu, lelaki berwajah lonjong dengan dagu agak panjang itu
melangkahi tubuh Singo Bodong.
Jaraknya semakin dekat dengan Suto. Tapi Suto tidak mundur selangkah pun.
"Kalau kau menghalangi niatku membawa pulang temanku, kau akan mati juga seperti
yang lain, Pendekar Mabuk!"
"O, belum tentu!" Suto sunggingkan senyum. "Mungkin kau yang mati seperti mereka!"
"Kurobek mulut bocahmu! Hiaaah...!"
Wuuut...! Tangan Gagak Neraka bergerak hendak mencakar
mulut Suto. Tetapi tubuh Suto cepat meliuk ke belakang, lalu mengayun ke samping
dan tegak lagi. Gerakannya mirip orang mabuk yang limbung akibat kebanyakan
tuak. Tetapi, gerakan itulah sebenarnya yang membuat Suto dikenal dengan nama
Pendekar Mabuk. Jurus-jurusnya bagaikan orang dipengaruhi racun tuak yang
memabukkan. "Pendekar Mabuk! Kuharap jangan kau memancing perkara denganku jika kau sudah
tahu aku adalah pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa. Apakah kau belum mendengar
kabar kesaktiannya?"
"Sudah!" jawab Pendekar Mabuk. "Dan aku tidak memancing perkara. Aku hanya minta
kau pergi tanpa membawa orang itu," Suto Sinting menuding Singo Bodong. Gerakan
jarinya yang menuding itu ternyata mempunyai kekuatan yang membuat pengaruh
Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
totokan pada diri Singo Bodong terlepas. Singo Bodong segera bangkit.
Melihat Singo Bodong terkejut dan ingin berteriak
"Suto...!" Pendekar Mabuk cepat hentakkan suaranya kepada Singo Bodong,
"Diam kau!"
Singo Bodong hanya mengangguk-angguk dengan
penuh rasa takut, kemudian melangkah mundur dengan terpincang-pincang.
Ilmu 'Sentak Bidadari' telah digunakan oleh Pendekar Mabuk untuk membuat Singo Bodong tidak bicara apa pun
dalam beberapa saat.
Akibatnya, Singo Bodong hanya bisa bengong memperhatikan Suto yang berhadapan dalam jarak dekat dengan Gagak Neraka.
Melihat Singo Bodong lepas dari totokannya, Gagak Neraka sempat kerutkan dahi
dan merasa heran. Tetapi ia segera tahu, bahwa totokannya telah dilepaskan oleh
Pendekar Mabuk melalui tudingan tangannya tadi.
Gagak Neraka hanya membatin, "Boleh juga permainan bocah ingusan ini! Bisa
melepaskan totokan dari jarak jauh."
Tetapi, di mulut Gagak Neraka terucap kata lain. Ia ajukan tanya kepada Suto
Sinting, "Mengapa kau menghendaki temanku tinggal di sini"
Apakah kau punya dendam kepada Dadung Amuk?"
"Tidak," jawab Pendekar Mabuk. "Kalau dia adalah Dadung Amuk, untuk apa aku
Pendekar Aneh Naga Langit 32 Panji Akbar Matahari Terbenam Seri 3 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pecut Sakti Bajrakirana 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama