Ceritasilat Novel Online

Kematian Sang Durjana 2

Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana Bagian 2


yang menewaskan Sunggar Manik dan menghancurkan
pedang tersebut. Dengan membawa keterangan berharga
itu ia menghadap Ratu Ladang Peluh dengan harapan
dapat diterima kembali sebagai pengikut si Ratu bejat
itu. "Mungkinkah si Jerami Ayu sendiri yang membunuh
Ratu Ladang Peluh, Eyang?" ujar Suto Sinting memecah
kebisuan mereka.
"Tak mungkin!" tegas Geledek Biru. "Jerami Ayu tak
akan mampu ungguli ilmunya si Ladang Peluh, ia
memang kecewa terhadap sikap Ladang Peluh karena
niatnya bergabung kembali ditolak sang Ratu, walaupun
ia telah menjadi pembawa berita tentang hancurnya
Pedang Penakluk Cinta. Tapi Jerami Ayu tak mungkin
berani melawan Ladang Peluh, terbukti ia justru datang
kepadaku dan dengan maksud meminta bantuanku untuk
kalahkan Ladang Peluh. Tapi aku menolaknya, karena
aku tahu Jerami Ayu bukan perempuan baik-baik. Ia
perempuan yang licik dan serakah."
"Kalau begitu, sangat berbahaya jika kitab keramat
itu jatuh di tangan Jerami Ayu!" ujar Santana kepada
Mendung Merah. "Di tangan manusia serakah siapa pun, kitab keramat
itu sangat berbahaya karena bisa menjadi bencana bagi
kehidupan manusia," ucap Eyang Bintara alias si
Geledek Biru. "Jika begitu, aku akan membantumu mencari kitab
keramat itu, Eyang!" ujar Suto Sinting menyatakan
kesanggupannya.
"Bila perlu, hancurkan saja kitab itu agar tak menjadi
biang petaka dan bahan incaran orang-orang serakah!"
kata Geledek Biru. "Aku rela tak memiliki kitab itu,
daripada bumi ini menjadi hancur karena kitab itu!"
"Aku juga akan mencoba ikut membantu mencarikan
kitab itu, Eyang," ujar Santana, seakan tak mau kalah
gengsi dengan Pendekar Mabuk.
Mendung Merah akhirnya berkata, "Aku hanya
sanggup sampai mengetahui siapa pemegang kitab
keramat itu sekarang. Barangkali aku tak punya
kesanggupan untuk merebut kitab itu, karena aku tak
mau menjadi korban mantra kekuatan iblis yang ada di
dalam kitab tersebut, Eyang."
"Kuhargai kesanggupanmu walau cukup sederhana
itu, Mendung Merah!"
Sawung Kuntet yang semula diam saja kini jadi ikut
bicara juga. "Aku akan anu ke Lembah Layon. Aku tak berani
anu-anuan seperti kalian."
"Tak berani apa maksudmu?"
"Ikut-ikutan!" sentak Sawung Kuntet dengan
dongkol. Santana nyengir tanpa pedulikan wajah murung
si pria pendek itu.
* ** 5 BARU saja mereka ingin berpencar, tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara gemuruh yang menggetarkan
bumi. Suara gemuruh itu tak diketahui dari mana
datangnya. Tetapi getarannya sungguh mencemaskan
hati mereka, karena tanah di sekitar tempat itu mulai
retak dan membentuk celah-celah lebar. Bahkan
sebagian tanah ada yang amblas ke dalam, menelan dua
pohon besar. "Selamatkan diri kalian maaing-masing!" seru
Geledek Biru. Seruan itu membuat mereka menyebar
dan mencari tempat yang dapat dipakai untuk
menyelamatkan diri dari ancaman maut itu.
"Mantra di dalam kitab itu pasti ada yang
membacanya! Cari orang yang telah mengucapkan
mantra tersebut! Ini bencana berasal dari kekuatan iblis!"
Baik Suto Sinting atau yang lain masih sempat
mendengar seruan si Geledek Biru. Tetapi mereka tak
sempat balas berseru, karena beberapa saat kemudian
hembusan angin menjadi hembusan badai. Suara
gemuruh semakin jelas, dibarengi kilatan cahaya petir
yang menyambar ke sana-sini. Ledakan di pucuk pohon
terjadi beberapa kali. Pohon-pohon yang disambar petir
itu mengepulkan asap, bahkan ada yang pecah dan
ditelan gerakan tanah yang longsor ke dalam bumi.
Langit menjadi gelap, awan hitam makin tebal dan
menutupi hampir sebagian besar permukaan langit.
Suasananya seperti awal kiamat yang datang tanpa
diduga-duga oleh siapa pun.
"Aaauuuh...!" Mendung Merah menjerit, ia jatuh
terperosok dalam keretakan tanah, seakan dihisap dari
dalam bumi. Melihat keadaan gadis itu sangat membahayakan,
Pendekar Mabuk segera melesat dengan sangat cepat.
Weeess...! Wuuutt...! Tangan gadis itu disambarnya.
Dalam sekejap saja Mendung Merah telah berada dalam
pelukan Suto dan dibawa menjauh dari tempat tersebut.
Zlaap, zlaap, zlaap...!
Mendung Merah terengah-engah, tubuhnya terasa
lemas karena merasa hampir tak bernyawa lagi. Ia
bersyukur setelah mengetahui dirinya sudah berada di
sebuah bukit yang tak terlalu tinggi dan dapat
memandang kehancuran alam di bawah sana. Namun
gadis itu cepat tersentak kaget setelah menyadari berapa
dalam pelukan Pendekar Mabuk.
"Ooh... kau..."!"
"Oh, hmm... eeh...," Pendekar Mabuk sendiri segera
menggeragap dan mengalihkan perhatiannya ke wajah
Mendung Merah, ia buru-buru melepaskan pelukannya,
karena tadi terkesima melihat alam yang nyaris hancur
bagal dilanda kiamat itu. Sekalipun kini gemuruh itu
telah lenyap dan suasana sudah menjadi tenang, namun
ternyata gemuruh di dalam dada Suto Sinting masih
terasa menggetarkan tubuhnya dan membuatnya
tergagap-gagap.
"Apa yang terjadi... yang terjadi di sana itu, eeh... Iya,
di sana!" Suto Sinting mencoba alihkan perhatian untuk
menutup rasa malunya, ia merasa seperti pemuda jalang
yang berani memeluk seorang gadis tanpa permisi.
Untungnya Mendung Merah juga segera alihkan
perhatian, seakan tak ada masalah tentang pelukan
penyelamatan tadi, walau hatinya pun bergemuruh
digoda oleh perasaan malu, geli dan gembira.
"Kudengar suara si Geledek Biru tadi berseru
mengatakan ada orang yang telah menggunakan kitab itu
dengan mengucapkan salah satu mantranya," kata
Mendung Merah sambil berpura-pura tak merasa pernah
dipeluk Pendekar Mabuk.
"Siapa yang menggunakan mantra dalam kitab itu"!"
"Mana ada yang tahu"! Justru si Geledek Biru tadi
berseru agar kita mencari orang yang memegang kitab
tersebut!"
"O, Iya. Benar. Aku tadi juga mendengarnya. Tapi,
hei... di mana mereka?"
Dari tempat tinggi itu, mata Pendekar Mabuk dan
Mendung Merah mencari-cari mereka, yang tadi ada di
kanan-kirinya. Tak terlihat batang hidung si murah
senyum; Santana. Juga tak terlihat sepotong gigi pun
milik juragan 'anu' Sawung Kuntet. Bahkan Eyang
Bintara alias si Geledek Biru itu juga tak kelihatan
kemana gerakannya. Mungkin mereka menjadi korban
bencana alam sepintas tadi, mungkin terkubur ke dalam
bumi, mungkin pula lolos dari maut dan berada di
tempat lain. "Kita terpisah dari mereka," ujar Mendung Merah
dengan mata masih memandang pohon-pohon yang
tumbang berserakan dan tanah yang rusak berat.
"Ya, kita memang terpisah dari mereka. Tapi apakah
hal ini membuat kita harus merasa takut?"
"Aku tidak berkata begitu," kata Mendung Merah
sedikit ketus, karena ia agak tersinggung dianggap
merasa takut. Pendekar Mabuk tersenyum kalem.
Ketenangannya sudah berhasil pulih dan dikuasai.
"Sebaiknya kita cari si pemegang kitab keramat itu
sambil memeriksa tempat tadi. Siapa tahu ada yang
tergencet pohon," ujar Suto Sinting.
Mendadak mereka mendengar suara letusan yang tak
begitu keras. Letusan itu seperti suara perpaduan tenaga
dalam yang dihantamkan dari kedua orang dalam suatu
pertarungan. Pendekar Mabuk segera mengajak
Mendung Merah untuk datangi tempat tersebut, melihat
apa yang terjadi di sana.
"Oh..."! Lihat, siapa yang terkapar itu"!" ujar
Mendung Merah sambil menuding ke satu arah, di
samping gundukan tanah setinggi kuda itu. Di sana
tampak seseorang berpakaian hijau-hitam tergeletak
dengan wajah biru memar dan sedang kejang-kejang.
Orang itu tampak sedang mendekati ajalnya karena luka
pukulan yang menghangus di bagian dadanya.
"Celaka! Ada apa dengan si Sawung Kuntet itu"!"
gumam Suto tegang, lalu segera berkelebat dekati
Sawung Kuntet yang sedang sekarat. Mendung Merah
pun ikut berkelebat hampiri Sawung Kuntet.
"Siapa lawannya"!" sambil mata Suto memandang
sekeliling dengan tajam. Tetapi mereka berdua tidak
melihat ada orang di sekitar tempat itu. Mereka yakin,
Sawung Kuntet ditinggalkan begitu saja oleh lawannya.
"Aku akan mencari di sekitar sini!" ujar Suto Sinting.
Namun sebelum bergegas pergi, lengannya segera
dicekal oleh Mendung Merah.
"Bagaimana dengan dia" Apakah kita biarkan mati di
sini atau kita tolong dulu dengan tuakmu itu?"
"Ya, ampun...! Hampir saja aku lupa!" Suto Sinting
segera tuangkan tuak ke mulut Sawung Kuntet secara
pelan-pelan agar tak banyak tuak yang terbuang sia-sia.
"Tunggu dia, dan tanyakan padanya siapa orang yang
melukainya tadi!"
"Kau mau ke mana"!"
"Mengejarnya di sekitar sini!"
"Hei, tunggu dulu! Bagaimana kau bisa mengejar
lawan si Sawung Kuntet ini jika belum tahu siapa
orangnya"!" seru Mendung Merah. Tetapi pada saat itu
Suto Sinting sudah berkelebat jauh, karena ia
menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya
menyamai kecepatan cahaya itu.
Tuak sakti Pendekar Mabuk yang ditelan Sawung
Kuntet itu telah membuat si juragan 'anu' segera sadar.
Luka parahnya terkikis habis oleh kesaktian tuak
tersebut. Dalam beberapa kejap ia sudah dapat
mengenali wajah Mendung Merah yang berdiri tak jauh
darinya, ia pun segera bangkit terduduk. Napasnya yang
menjadi longgar itu menghirup udara banyak-banyak,
seakan ingin mengganti udara yang tadi tak sempat terisi
di paru-parunya.
"Siapa yang sembuhkan anuku ini?" tanya Sawung
Kuntet saat dipandangi Mendung Merah dengan sikap
masih tetap ketus, seakan tak pernah bisa ramah kepada
pria pendek itu.
"Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu yang
mengobatimu."
"O, pantas...," gumamnya pelan. "Orang itu
menghantam anuku seenaknya saja!" tambah Sawung
Kuntet sambil berdiri.
"Apamu yang dihantamnya"!"
"Anuku!"
"Dadamu?"
"Benar-benar anuku!" sentak Sawung Kuntet sambil
melirik bagian bawahnya. "Bukan dadaku saja, tapi
anuku juga kena!"
Mendung Merah buang muka karena ia ingin tertawa.
"Sekarang ke mana si Pendekar Anu itu"!"
"Pergi mencari orang yang menyerangmu," jawab
Mendung Merah dengan ketus.
"Celaka! Pendekar Mabuk pasti celaka kali ini!"
"Kenapa"!" sergah Mendung Merah, tampak segera
menjadi cemas. "Orang itu... lawanku tadi... dia membawa anu,
kurasa...."
"Membawa anu bagaimana"! Yang jelas!" bentak
Mendung Merah. "Membawa kitab keramat yang dikatakan oleh Eyang
Bintara tadi!" Sawung Kuntet ganti membentak,
menandakan tak suka mendapat bentakan.
Mendung Merah menjadi semakin tegang. "Jadi... jadi
lawanmu tadi membawa kitab 'Serat Sekar Siluman'"!
Kau melihat dengan jelas dia memegangnya, atau hanya
kira-kira saja"!"
"Dia kupergoki sedang membuka-buka anu, dan...."
"Membuka anu bagaimana"!"
"Membuka kitab!" sentak Sawung Kuntet. "Kitab itu
berwarna coklat, kecil, tampak terbuat dari kulit anu...
kulit rusa, maksudku."
"Kau mengenali orangnya"!"
"Tidak. Kurasa selama ini aku belum pernah
menganu dia... mengenali dia!"
Gadis itu menarik napas penuh kecemasan. Setelah
diam sesaat memikirkan langkahnya, akhirnya ia segera
melesat tinggalkan Sawung Kuntet sambil berseru, "Aku
mau menyusul Pendekar Mabuk! Dia pasti dalam
bahaya!" "Masa bodo! Lebih baik aku pulang saja, daripada
anuku kena lagi," gerutu Sawung Kuntet, kemudian ia
pergi tinggalkan tempat itu berbeda arah dengan
kepergian Mendung Merah.
Suto Sinting sempat jengkel dalam hatinya, karena


Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah mencari dalam radius sepuluh kilometer tapi tetap
tak temukan siapa pun di sekitar tempat itu. Bahkan
ketika ia kembali ke tempat semula, ternyata Mendung
Merah dan Sawung Kuntet sudah tak ada pula. Rupanya
Mendung Merah tak berhasil berpapasan dengan Suto. Ia
tak tahu gerakan Suto Sinting mengelilingi tempat
tersebut, sehingga akhirnya Mendung Merah sendiri
clingak-clinguk kebingungan dengan memendam rasa
kesal dan cemas.
Tentu saja ia mencemaskan Suto Sinting, karena
dalam hati Mendung Merah mempunyai rasa kagum dan
tertarik kepada pemuda tampan yang berilmu tinggi itu.
Ia ingin mendekati Suto lebih dekat dari yang sudah
dekat. Jauh-dekat tiga debaran indah bagi hati Mendung
Merah. Hanya saja ia sangsi melakukan hal itu, takut
dikecewakan, karena menurutnya biasanya pemuda
tampan seperti Suto adalah type pemuda yang suka
mempermainkan gadis dan playboy, pacarnya banyak,
gemar merayu, sadis dalam hal kerinduan. Hanya saja,
hati Mendung Merah ternyata tak mau berpaling begitu
saja. Hati itu masih dibayang-bayangi berbagai rasa,
termasuk rasa khawatir akan keselamatan Suto, rasa
dongkol, rasa kagum dan... mungkin juga rasa kare ayam
ada di dalam hati gadis itu manakala mengenang
Pendekar Mabuk.
"Ke mana si Mendung Merah dan Sawung Kuntet"!"
gumam hati Suto Sinting sambil melompat dari pohon ke
pohon, ia melakukan pencarian melalui pohon ke pohon,
karena tempat itu dianggapnya telah memungkinkan
untuk memandang sekeliling secara luas. Dengan ilmu
peringan tubuhnya yang cukup tinggi, Pendekar Mabuk
tak ragu-ragu menapakkan kakinya ke pucuk-pucuk
dedaunan, ia bagaikan seekor burung yang sedang
mencari sarangnya, hinggap dari pucuk daun yang satu
ke pucuk daun yang lainnya.
Tak terasa pencariannya semakin menjauhi tempat
terjadinya bencana alam lokal tadi. Bahkan semakin jauh
dari tempat ditemukannya Sawung Kuntet dalam
keadaan sekarat.
Tiba-tiba tampak olehnya cahaya merah melesat ke
udara, melambung menuju ke suatu tempat.
Cahaya yang mirip bintang jatuh itu terlihat
melambung di seberang gerumbulan dedaunan pohon
sebelah timur, agak jauh dari tempat Pendekar Mabuk
berada. Dengan gerakan serupa cahaya, Pendekar Mabuk
melesat juga ke arah timur, karena rasa ingin tahunya
tentang cahaya merah tadi begitu besar.
Ternyata cahaya merah tersebut adalah kekuatan
tenaga sakti si Geledek Biru yang digunakan menyerang
seorang lawan berjubah biru lusuh, berjenggot abu-abu
dengan wajah tampak angker. Orang tersebut berusia
sekitar tujuh puluh tahun, dan pernah berhadapan dengan
Suto Sinting ketika Suto melindungi Mustikani. Tokoh
tua itu tak lain adalah si Tulang Besi, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang Penakluk
Cinta"). Ketika Pendekar Mabuk tiba di balik gerumbulan
daun pohon. Tulang Besi dalam keadaan tubuhnya
berasap, tangannya yang kanan lurus ke depan dengan
telapak tangan terbuka. Tangan itu tampak sedang
menahan cahaya merah yang tadi mirip bintang jatuh itu.
Sedangkan Eyang Bintara alias si Geledek Biru tetap
diam di tempat, seakan menjadi penonton aksi si Tulang
Besi yang menahan sinar merah. Sinar tersebut
menempel di telapak tangan Tulang Besi dengan
cahayanya yang makin lama semakin terang.
"Keluarkan seluruh tenaga intimu, dan tahan sinar
'Ajilebur'-ku itu!"
"Heeaahh...!!" Tulang Besi benar-benar kerahkan
tenaga intinya, sehingga telapak tangannya menyala biru
pendar-pendar. "Persoalan apa yang membuat Eyang Bintara
bertarung melawan Tulang Besi!" pikir Suto dari
tempatnya. "Kurasa Tulang Besi akan hancur jika nekat
melawan Eyang Bintara. Bodoh amat dia!"
Dugaan tersebut mendekati kebenaran. Tulang Besi
tampak gemetaran dan semakin terang cahaya merah
bundar yang menempel di telapak tangannya semakin
kuat getaran pada sekujur tubuhnya. Asap yang
mengepul dari tangan tersebut membuat sinar birunya
menjadi redup, bagai tak sanggup lagi untuk menyala
terang. Tiba-tiba Eyang Bintara ulurkan tangan ke depan,
lalu tangan itu menyentak ke belakang dan sinar merah
yang menempel di telapak tangan Tulang Besi itu
berkelebat lepas, meluncur balik dan ditangkap oleh si
Geledek Biru. Zuubbs...! Sinar itu kini berada dalam genggaman
Geledek Biru dan keadaannya berubah menjadi biru
bening. Kedua tangan Geledek Biru saling bertemu,
telapak tangannya saling bergeseran seperti menghancurkan sinar tersebut. Bluub...! Sinar itu pun
lenyap, tinggal asap tipis yang segera musnah diterpa
angin. Tulang Besi jatuh berlutut dengan napas terengahengah dan keringat bercucuran.
Tubuhnya tampak lemas,
wajahnya kelihatan pucat pasi seperti mayat. Kejap
berikutnya kepalanya tersentak ke depan dan dari
mulutnya keluar darah kental.
"Heek...!" Tulang Besi jatuh merangkak. Siapa pun
orangnya akan menduga, Tulang Besi tak sanggup lagi
menghadapi Geledek Biru. Keadaannya sudah sangat
parah. Satu pukulan lagi dari lawannya dapat
mengakibatkan minggatnya sang nyawa dari raganya.
"Aku tak ingin kau mati, Tulang Besi! Tapi serahkan
kitab keramatku itu sebelum pendirianku berubah!"
Dengan suara berat menahan sakit, Tulang Besi
berkata, "Bunuhlah aku dan geledahlah di dalam
tubuhku! Maka kau tetap tak akan temukan kitab
keramatmu itu, karena memang bukan aku yang
membunuh Ladang Peluh! Bukan aku... yang mengambil
kitab keramatmu... itu!"
"Bukankah kau yang sedang mencari kesempatan
untuk membalas dendammu kepada Ladang Peluh"!"
"Memang benar! Tapi... uuhk... tapi sudah kucoba
melawannya, ternyata aku... aku kalah ilmu dengannya.
Aku... aku pergi meninggalkan mereka, dan beberapa
saat kemudian kudengar suara ledakan di sekitar pantai
tempatku mencoba bertarung dengannya. Aku... aku
tidak pedulikan suara itu, lalu aku pergi ingin temui
adikmu; si Tulang Geledek, karena kurasa dia tahu
rahasia kematian dan kelemahan Ladang Peluh. Ternyata
aku justru hampir mati oleh kiamat kecil tadi!"
Suto sempat terperanjat, "Oh, ternyata Eyang Bintara
alias si Geledek Biru itu adalah kakak dari Tulang
Geledek yang pernah bertemu denganku dalam urusan
dengan Rogana?" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Perawan Sinting").
Rupanya pengakuan Tulang Besi membuat Geledek
Biru bertimbang rasa. Akhirnya ia dekati Tulang Besi
dengan gerakan kaki tanpa menyentuh tanah.
Zeeebb...! Geledek Biru dapat berhenti secara mendadak di
depan Tulang Besi. Kemudian dari telunjuknya yang
ditudingkan keluar sinar putih terang dan menyilaukan.
Claap...! Sinar putih itu kenai kepala Tulang Besi.
Beberapa kejap kemudian, Tulang Besi pun sehat
kembali. Rupanya sinar putih itu adalah cahaya sakti
yang dapat menyembuhkan luka si Tulang Besi dan
memulihkan tenaganya.
"Kucoba untuk mempercayaimu, karena kau adalah
teman adikku semasa muda dulu," kata Geledek Biru.
"Tapi jika kuketahui kau pemegang kitab itu, maka
seketika itu juga kucabut nyawamu demi keselamatan
seisi dunia ini, karena aku tahu jalanmu mulai
menyimpang sejak kau mendirikan Perguruan Raga Baja
itu! Pergilah, dan jangan campuri urusan ini! Jangan
coba-coba ikut mencari kitab keramatku itu, nanti akan
kau miliki sendiri jika kau yang memperolehnya!"
Tanpa komentar apa pun, Tulang Besi segera melesat
pergi tinggalkan Geledek Biru. Suto Sinting masih
menaruh curiga pada Tulang Besi, karena ia tahu Tulang
Besi menaruh dendam kepada Ratu Ladang Peluh, sebab
perguruannya dihancurkan oleh Ratu bejat itu.
Karenanya, Suto Sinting diam-diam mengikuti kepergian
Tulang Besi dari kejauhan.
"Siapa tahu ia pandai bersandiwara di depan Eyang
Bintara, dan kitab itu disembunyikan di suatu tempat
yang hanya dia yang tahu"!" pikir Suto sambil mengikuti
Tulang Besi. Ketika Tulang Besi melintasi lembah berpohon
jarang, langkahnya segera terhenti dan berkelebat
sembunyi di balik pohon. Suto Sinting hentikan
langkahnya tapi masih tetap berada di atas pohon agak
jauh dari Tulang Besi.
"Mengapa ia bersembunyi?" pikir Suto dalam
pengintaiannya.
Rupanya Tulang Besi sedang mengincar seseorang
yang akan lewat tempat tersebut, ia sudah mengetahui
gerakan orang yang diincarnya. Orang itu sedang
melesat bagai bayangan dari arah barat. Ketika melintas
di depan Tulang Besi, tiba-tiba bayangan yang berwarna
kuning gading itu dihantamnya menggunakan tenaga
tanpa sinar. Wuutt...! Buuhk...!
"Aakh...!" orang itu memekik dan jatuh terbanting.
Brruuk...! Suto Sinting terkejut, ia mendekat dengan
melayangkan tubuhnya dan hinggap di pohon yang
satunya. Mata pemuda itu lebih terbuka lagi, karena
sekarang ia dapat melihat jelas bahwa bayangan kuning
gading itu ternyata adalah seorang perempuan berwajah
cantik dengan perhiasan lengkap dan pakaiannya
berkesan mewah. Perempuan itu terkapar dengan bagian
lehernya berwarna biru legam akibat terkena pukulan
tanpa sinar si Tulang Besi tadi.
"Terpaksa kulakukan kecurangan ini, Rasti! Tanpa
kulakukan kecurangan ini aku tak mungkin bisa
melumpuhkan dirimu dan...."
Zlaaap...! Wuuss...!
Tulang Besi terkejut sekali, karena tubuh perempuan
itu ternyata sudah lenyap dari hadapannya. Percuma saja
ia menghampiri perempuan tersebut dan meluncurkan
celotehan jika perempuan itu tiba-tiba disambar oleh
seseorang. "Bangsat! Berhenti kau! Tinggalkan perempuan itu!"
teriak Tulang Besi dengan berang, ia melepaskan
pukulan bercahaya merah suram. Clap...! Duar! Cahaya
itu tidak kenai orang yang menyambar Rasti. Cahaya itu
kenai sebatang pohon dan pohon itu segera retak dari
atas ke bawah. Tapi si penyambar tubuh Rasti tetap
melesat dan sukar dikejarnya.
Orang yang menyambar tubuh perempuan itu tak lain
adalah si Pendekar Mabuk, ia merasa kasihan melihat
perempuan itu diserang secara licik dan terluka
berbahaya. Jika tak segera disambar dan dibawa lari
untuk diobati, pasti perempuan yang berusia sekitar dua
puluh delapan tahun itu akan mati oleh luka parahnya
itu. Lagi-lagi sebuah gua menjadi tempat persembunyian
Pendekar Mabuk yang membawa lari pasiennya. Gua itu
tidak terlalu dalam, mempunyai pintu masuk yang
termasuk sempit. Namun keadaannya cukup terang,
karena bagian atas gua terdapat celah untuk masuknya
sinar matahari. Hanya saja, karena sinar matahari mulai
redup di awal senja, maka sinar yang masuk akhirnya
menjadi ikut redup. Tetapi pada saat sinar itu redup,
Suto Sinting sudah berhasil menuangkan tuak ke mulut
Rasti yang dibaringkan di atas tanah berbatu datar dan
berlumut rata mirip permadani.
"Ternyata wajahnya cantik juga dia"!" gumam Suto
Sinting dalam hatinya. Perempuan yang pingsan dan
sedang menunggu proses penyembuhan itu dipandanginya dengan cermat, dengan senyum tipis,
dengan hati berdebar-debar. Baju kuningnya yang tanpa
lengan dan panjang menyerupai jubah tak terkancing itu
tersingkap lebar, sehingga penutup dadanya kelihatan
jelas, berwarna merah tipis, membuat gumpalan di
dadanya membayang samar-samar. Pakaian longgar
penutup bagian bawahnya juga berwarna merah samarsamar, dan membuat apa yang
ditutupi tampak
membayang, semakin mendebarkan.
Ternyata perempuan itu mempunyai tubuh yang sekal
dan montok. Kemulusan kulitnya yang berwarna putih
sangat menggiurkan bagi setiap lelaki yang
memandangnya. Hidung yang mancung dan bibir yang
sensual membuat hati Suto Sinting geregetan dan ingin
mengecupnya pelan-pelan. Rambutnya yang panjang
sepunggung diikat dengan logam perhiasan dari bahan
emas bercampur bebatuan warna-warni. Sungguh cantik
ia jika mengenakan perhiasan rambut seperti itu. Kalung
dan gelangnya pun menampakkan bahwa dirinya adalah
perempuan berada. Bukan perempuan miskin yang


Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluyuran mencari upah seperti Mendung Merah.
Pendekar Mabuk sengaja keluar gua sebentar untuk
memeriksa keadaan. Siapa tahu Tulang Besi
mengikutinya sampai tempat tersebut. Tapi ternyata
Tulang Besi atau siapa pun tak ada di tempat itu.
Agaknya gua itu cukup aman, apalagi terlindung semak
ilalang setinggi pundak Suto Sinting. Setelah yakin
keadaan aman, Pendekar Mabuk masuk ke gua kembali.
Pada saat itu si perempuan telah siuman dan segera
memandang Suto Sinting dalam keadaan duduk, ia
berkerut dahi, terbungkam dan merasa asing oleh
penampilan pemuda tampan yang gagah perkasa itu.
Suto sunggingkan senyum keramahan.
"Kau aman di sini, Rasti!" ujar Suto, langsung
menyebut nama perempuan itu, karena ia telah
mendengar nama tersebut dari mulut Tulang Besi. Rasti
terperanjat dan semakin heran mendengar namanya
disebutkan oleh pemuda yang belum dikenalnya.
"Kaukah yang menyerangku dengan curang"!"
"Bukan. Orang yang menyerangmu adalah Tulang
Besi. Kau dalam keadaan terluka parah dan kelihatannya
akan dibunuh oleh si Tulang Besi. Lalu aku
menyambarmu dan membawamu kemari."
Setelah Suto Sinting mendekat pada saat Rasti
berdiri, tiba-tiba pandangan mata perempuan itu
dipertajam dan mulutnya sebutkan kata dengan pelan.
"Apakah... apakah kau Pendekar Mabuk alias Suto
Sinting"! "Benar!" jawab Suto dengan senyum ramah. Rasti
tersentak dan mundur selangkah dengan wajah tegang.
"Hei, mengapa kau tampak takut padaku"! Aku bukan
orang jahat!" kata Pendekar Mabuk sambil membetulkan
letak tali bumbung tuak di pundaknya.
"Hmm, eeh... tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya
terkejut. Tak sangka akan bertemu dengan Pendekar
Mabuk yang kondang itu," ujar Rasti sambil
sunggingkan senyum kaku.
"Ada persoalan apa kau dengan Tulang Besi,
sehingga ia tampak bernafsu sekali ingin membunuhmu?" tanya Suto mengalihkan pembicaraan
agar tidak terlalu berpusat pada dirinya.
"Aku tak tahu. Tapi aku kenal dengan Tulang Besi.
Dulu kami pernah bermusuhan, tapi ia kalah dan nyaris
mati di tanganku. Hanya saja, persoalan itu sudah
kuanggap kadaluwarsa, Sudah sekitar delapan tahun
yang lalu dan tak pernah kuingat-ingat lagi. Mungkin
saja dia ingin balas dendam padaku karena kekalahannya
di masa lalu."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dan menggumam
kecil. "Dari mana kau tahu namaku"!" tanya perempuan
bermata jeli itu.
"Kudengar si Tulang Besi menyapamu dengan nama
Rasti. Maka aku yakin namamu adalah Rasti. Apakah
aku salah panggil?"
Perempuan itu sunggingkan senyum dan mulai luwes.
"Kau memang cerdas!" pujinya di sela senyum indahnya
itu. Pandangan matanya mulai berkesan genit. Suto
Sinting sadar dirinya sedang digoda, maka ia segera
alihkan pandangan matanya ke arah lain. Ia sengaja
hindari hal itu, karena tak ingin terjerat oleh debar-debar
keindahan yang sudah semakin bergemuruh dalam dada.
"Maukah kau mengantarku ke suatu tempat, Suto?"
"Ke mana?" tanya Suto Sinting sambil berbalik
menatap lagi. Tapi Rasti tidak langsung menjawab,
melainkan menatap seperti tadi dengan senyum yang
sangat menggoda. Suto Sinting akhirnya salah tingkah
sendiri, lalu segera ajukan tanya untuk memecah
kebisuan di antara mereka.
"Kau mau ke mana, Rasti?"
Setelah melangkah dekati Suto, perempuan itu
menjawab dengan lirih.
"Aku ingin ke suatu tempat yang jauh dari keramaian.
Mungkin puncak gunung atau sebuah pulau yang
terpencil."
"Mengapa kau ingin ke sana?"
"Aku ingin membuang rasa kesepianku yang
menyiksa hidupku sejak kematian suamiku dua tahun
yang lalu. Mungkin dengan mengusir kesepian, aku bisa
bergairah lagi dalam hidup dan tidak punya niat untuk
bunuh diri."
"Suamimu meninggal dua tahun yang lalu" Sakitkah
dia?" Perempuan itu gelengkan kepala. Bibirnya yang
menawan hati bergerak-gerak dengan pandangan mata
yang sedikit sayu.
"Dia dibunuh oleh si Geledek Biru."
"Oh..."!" Suto Sinting terkejut. "Mengapa sampai
berurusan dengan si Geledek Biru?"
"Salah paham! Ada dua nama yang sama, dan
Geledek Biru menyangka nama suamiku adalah orang
yang mencuri pedang pusakanya. Lalu, suamiku yang
tak berilmu sedikit pun itu dibunuhnya. Aku ingin
membalas dendam kepada Geledek Biru, tapi tak
mungkin bisa, karena ilmunya tak seimbang dengannya.
Maka kupilih untuk menghilang dari rimba persilatan,
mengasingkan diri di suatu tempat yang terpencil, agar
tak tersiksa oleh kesepian yang sering muncul manakala
kulihat dua pasangan sedang berkasih-kasihan atau...."
Ucapan itu terhenti, napas Rasti tersentak. Suto
Sinting memandang dengan heran. Namun ketika
perempuan itu tersentak lagi sambil pegangi dadanya,
Suto Sinting tahu ada sesuatu yang menyakitkan dalam
dadanya. "Rasti... minumlah tuakku lagi. Lekas minum!"
"Tid... tidak bisa... aku... aku...."
Rasti mengejang beberapa kali. Tubuhnya oleng dan
jatuh ke belakang. Namun sewaktu tubuh itu limbung
ingin jatuh, tangan Pendekar Mabuk segera
menangkapnya. Rasti terkulai sesaat dalam pelukan Suto
Sinting, matanya terbeliak-beliak mengerikan. Tubuhnya
menjadi dingin, wajahnya pucat pasi.
"Hei, kenapa kau ini"! Ada apa, Rasti"!"
"Pen... penyakitku kambuh lagi... lagi...."
"Minumlah tuakku, biar penyakitmu hilang!"
Rasti menggeleng, bibirnya gemetar.
"Aku... aku tak bisa.... Penyakit ini tidak bisa diobati
dengan apa pun, kecuali, kecuali... oouh, huuhk....
Ahhk...!" "Kecuali apa. Rasti"!"
"Di... dingin... peluklah aku. Peluklah, huuhk...!" ia
menyentak lagi. Suto Sinting segera memeluknya dalam
keadaan mulai panik.
"Hang... hangatkan aku... oouh. hangatkan aku.
Toloong... hanya dengan memberi kehangatan, penyakit
ini bisa hilang. Oouhk... tolong hangatkan aku.
Hangatkan seluruh tubuhku...."
"Ak... aku harus bagaimana?"
"Peluk... peluk seluruh tubuhku. Peluk erat-erat,
hangatkan de... dengan tubuhmu. Huuhkk... aahk...!"
Rasti menyentak dan kejang. Badannya terasa
semakin dingin seperti es. Wajahnya pun bertambah
pucat seperti kertas putih. Semula Suto Sinting ragu
memberikan apa yang diminta Rasti, tapi setelah melihat
wajah yang semakin pucat dan tubuh yang bertambah
dingin dan bergetar, Suto merasa harus melakukan
permintaan Rasti.
"Ia tidak main-main. Ia sungguh-sungguh menderita
penyakit aneh. Aku harus memberikan pelukan yang...
oh, tapi kehalusan kulit dan kesekalan tubuhnya dapat
membuatku tergoda, dan gairahku bisa terbakar. Aduh,
bagaimana kalau begini..." Haruskah kuberi pelukan dan
kubiarkan gairahku semakin terbakar?"
Pendekar Mabuk benar-benar panik, tindakannya
serba canggung. Tapi perempuan itu semakin tersentaksentak, tubuhnya pun kian
dingin. * ** 6 SEMAKIN erat Suto Sinting memeluknya, semakin
reda sentakan-sentakan tubuh Rasti. Napasnya yang
sesak tampak mulai longgar. Rasti sengaja
ditengkurapkan di atas tubuh Suto sementara Suto
sendiri berbaring di atas batuan datar. Jika tubuh Rasti
yang berbaring, maka punggung Rasti akan terkena
dinginnya batu yang berlumut. Jadi mau tak mau Suto
memeluk Rasti yang tengkurap di atasnya. Kedua kaki
Suto pun menggamit tubuh Rasti erat-erat.
"Ooh... uuuhhh..., tempelkan mulutmu ke leherku,"
bisik perempuan itu. Suto mengerti maksudnya.
Hembusan napasnya akan menghangat di leher
perempuan itu dan menciptakan kehangatan yang lebih
mendalam lagi. Tetapi aroma wangi mawar di tubuh perempuan itu
semakin menggoda hasrat si pemuda tampan. Tempelan
bibirnya pada leher Rasti membuat lidah Suto pun
akhirnya usil juga. Leher itu digelitik dengan lidah
secara pelan-pelan. Rasti justru mengencangkan
pelukannya. Kepalanya bergerak menggeliat ke kanankiri, seakan ia ingin seluruh
lehernya mendapat
kehangatan dan keusilan lidah Suto.
Gerakan tubuh Rasti pun memancing hasrat Suto
untuk menikmati tiap sentuhan tubuh. Hati berdebardebar, jiwa menuntut keindahan lebih tinggi. Pendekar
Mabuk akhirnya meremas-remas pinggul Rasti.
Perempuan itu tidak menolak, justru keluarkan suara
erangan tipis. Bahkan makin lama wajahnya semakin
didusal-dusalkan di telinga kiri Suto, kadang merayap ke
permukaan wajah Suto lalu pindah ke telinga kanan.
Hembusan napas Rasti menghangat di sekitar wajah,
sehingga Suto Sinting benar-benar terpancing untuk
mencumbunya. "Oouh, ouuh... hangat sekali, Suto. Hangat dan
nikmat. Uuuh... peluk aku lebih kuat lagi. Peluk aku...
uuhmmm...!" perempuan itu nekat mencium Suto,
bahkan bibir Suto dikecupnya dan dilumatnya. Suto tak
bisa menolak karena telah terlanjur terjerat tuntutan
batinnya sendiri.
"Remas aku, Suto.... Remas aku! Oouh, aahh...."
Rasti merintih dengan gerakan semakin liar. Suto Sinting
meremas pinggul Rasti yang masih kencang itu.
Remasan tangan Suto membuat Rasti bertambah
mengerang, dan bibirnya semakin ganas mengecup leher
Suto, memagut-magut dengan sapuan lidahnya yang
begitu mendebarkan hati si pemuda tampan itu.
Pakaian Rasti berantakan dengan sendirinya.
Gumpalan di dadanya terasa menghangat di wajah Suto,
karena Rasti bergerak naik hingga dadanya ada di atas
wajah Suto Sinting.
"Kecup, Suto... oouh, kecuplah sekarang juga,
Sayang...," rengek Rasti. Maka ujung dada yang
merentang itu pun disambar oleh mulut Suto Sinting.
Haaapp...! "Aaaahh... nikmat sekali, Sayang. Nikmat sekali!
Ooohh... ssss, ahh!" Rasti mendesis-desis dengan wajah
terdongak. Matanya terpejam kuat, namun kadang
terbeliak dengan bibir digigit sendiri. Suto Sinting
menjadi seperti bayi yang kehausan. Seolah-olah ia tak
sadar dengan apa yang sedang diperbuatnya saat itu.
"Ooouh... luar biasa indahnya, Suto. Hangat sekali
kemesraanmu. Ooh... jangan hentikan sampai di sini
saja, Suto. Aku bahagia sekali. Aku, oouh...." Tubuh itu
tidak lagi dingin. Bahkan semakin lama semakin panas
dan mencucurkan keringat. Butiran keringat menetes
dari dagunya ke leher Suto Sinting. Gerakan-gerakan
liarnya terhenti bersama helaan napas yang terengahengah seperti habis melakukan
pekerjaan yang amat
melelahkan. Suto Sinting pun menghentikan reaksi
ketika Rasti akhirnya jatuh terkulai di atasnya dan
memeluk dengan kepala tergolek di samping wajah Suto.
Pada saat itulah kesadaran Pendekar Mabuk muncul
kembali. Pemuda itu merasa seperti baru saja bangun
dari mimpinya. Hatinya tersentak kaget menyadari apa
yang baru saja dilakukan bersama perempuan yang baru
dikenalnya itu. Ia segera menyingkirkan tubuh Rasti dari
atasnya. Rasti menggerang manja, tak ingin turun dari
atas Suto. "Aku ingin menikmatinya lagi, Suto."
"Hmm, eehh, hmmm... istirahatlah dulu. Kau tampak
lelah sekali, Rasti."
"Tapi kau kan belum mencapai puncak keindahanmu"
Sekarang giliranku yang akan menjadi pelayan
kemesraan kita, Suto. Berbaringlah dulu, jangan berdiri.
Aku akan membuatmu seperti berada di langit-langit
surgawi, Sayang...."
"Iyy... iya, tapi nanti saja. Kau harus istirahat. Kalau
kau teruskan, penyakitmu tadi bisa kambuh lagi, Rasti."
"Tidak, tidak! Justru aku akan menjadi semakin kuat
dan tangguh setelah mendapatkan puncak kemesraan
seperti ini."
"O, begitukah kau sebenarnya?" sambil Suto Sinting
duduk bersandar pada dinding gua.
"Sudah beberapa waktu lamanya aku tidak menikmati
kemesraan seorang lelaki. Aku terlalu sibuk dengan
urusanku, sehingga tak sempat memburu pemuas


Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahagaku. Akibatnya, penyakitku kambuh lagi."
"Penyakit apa itu tadi?"
"Penyakit... penyakit kekurangan hawa sakti."
"Baru sekarang kudengar ada penyakit seperti itu."
"Kurangnya hawa sakti akan merusak kelenjar di
dalam hatiku. Keringnya kelenjar hati membuat darah
terserap. Lama-lama seluruh darahku dapat mengering
dengan sendirinya jika aku tak segera mendapat
cumbuan dan kemesraan dari seorang lelaki. Puncak
kenikmatan yang kudapatkan dari seorang lelaki
membuat kelenjar hatiku berfungsi kembali dan darahku
tidak terserap habis. Hawa saktiku pun bekerja seperti
semula setelah aku dapat mencapai puncak kenikmatan
asmaraku."
"Aneh sekali..."'" gumam Suto Sinting dengan dahi
berkerut. "Aku akan menjadi lebih segar lagi jika sudah
tersiram darah kemesraan seorang lelaki. Darah
kemesraan lelaki merupakan semangat baru di dalam
jiwa dan ragaku. Karenanya, lakukanlah lagi, Suto.
Cumbulah aku dan berlayarlah bersamaku. Semburkan
darah kemesraanmu sebanyak-banyaknya padaku, agar
hidupku menjadi lebih segar dan lebih bersemangat
lagi." "Hmm, eeeh.... nanti saja," jawab Suto setelah
menimbang-nimbang.
Bagaimanapun panasnya kemesraan itu, Suto Sinting tetap tak ingin menodai
kesetiaan cintanya terhadap seorang kekasih nun jauh di
sana: Dyah Sariningrum. Ia tak ingin lakukan
percumbuan yang begitu dalam dengan perempuan mana
pun. Ia ingin berikan kesucian asmara sejati kepada
Dyah Sariningrum sebelum perempuan lain merasakan
semburan darah kemesraannya.
Namun dalam temeram sisa cahaya senja itu, wajah
Rasti semakin melentur sayu, memancarkan harapan
cumbu yang begitu besar, memancarkan gairah yang
bergelora. Remasan tangannya sebagai simbol desakan
batin untuk mendapatkan darah kemesraan Suto.
Senyumnya pun melambangkan ajakan untuk berlayar
menuju pulau kenikmatan sejati.
"Tanganmu sungguh hebat, Suto. Tapi apakah...
apakah kehangatanmu ini juga sehebat jari tanganmu
yang mampu melambungkan jiwaku ke puncak
asmara"!"
Suto Sinting hanya tersenyum canggung, ia sadar
kata-kata itu merupakan jebakan halus menuju ke
percumbuan yang lebih dalam. Suto pun bergolak dan
gairahnya menggeliat, ingin unjuk kehebatan. Tetapi
kesadarannya yang selalu terjaga itu membuat Suto
harus menolak tantangan bercumbu itu secara halus, ia
tak ingin lakukan penolakan secara kasar, karena ia tak
ingin menyinggung perasaan perempuan cantik yang
sudah matang dalam berkencan itu.
"Aku harus mandi dulu. Aku akan mencari sungai di
sekitar tempat ini," ujar Suto Sinting ketika Rasti
menyodorkan bibirnya dengan mata kian sayu.
"Mengapa harus mandi" Tak perlu mandi kau sudah
harum dan keringatmu membakar gairahku, Suto."
"Aku... aku tidak bisa lakukan pelayaran cinta dalam
keadaan badan masih kotor dan belum mandi. Aku harus
mandi dulu, Rasti."
"Percuma, Suto. Kau nanti toh akan mandi keringat
juga; keringatku dan keringatmu sendiri."
"Memang. Tapi untuk mengawalinya, badanku harus
bersih dulu. Aku tak ingin kau menikmati pelayaran
cinta denganku dalam keadaan badanku masih kotor.
Aku tak ingin memberikan yang kurang baik padamu.
Aku ingin berikan yang terbaik padamu, Rasti."
Perempuan itu tersenyum, hatinya berdesir bangga
karena merasa diistimewakan oleh si tampan itu. Ia
segera menyambar bibir Suto. Bibir itu dilumatnya
sejenak, kemudian dilepaskan dengan engahan napas
kelegaan. "Pergilah mandi sana! Jangan lama-lama. Aku tak
ingin menunggu terlalu lama. Nanti aku kedinginan dan
masuk angin," tuturnya seraya hamburkan tawa lirih
yang mengikik penuh rangsangan menantang.
Suto Sinting bergegas bangkit, merapikan pakaian
sejenak. "Atau... aku ikut mandi sekalian saja, ah!" ujar
perempuan itu seraya ikut-ikutan bangkit dan merapikan
pakaian. Pada saat itu, mata Suto menangkap sebuah benda
yang segera diselipkan di pinggang Rasti. Benda itu
semula jatuh di tanah, diduduki oleh perempuan itu.
Ketika si perempuan merapikan pakaiannya, benda itu
nyaris tertinggal, ia segera memungutnya dan
menyelipkan di pinggang belakang, di balik kain
pengganti sabuk. Benda itu berwarna coklat sebesar
telapak tangan, bentuknya menyerupai lembaranlembaran kulit rusa.
"Benda apa itu, Rasti"!" tanya Suto Sinting setelah
mempertimbangkan kecurigaannya yang menggoda hati.
"Hmm, ooh... anu, hmm... bukan apa-apa. Maksudku,
bukan sesuatu yang penting. Ini hanya... hanya jimat.
Jimat pemikat pria, hik, hik. hik...!"
Sekalipun Rasti mengalihkan dalam canda, namun
rasa penasaran Suto masih menggoda terus dan
kecurigaannya semakin besar. Benda itu menyerupai
sebuah kitab yang terdiri dari sekitar sepuluh lembar
kulit rusa. Dalam benak Pendekar Mabuk menduga
bahwa kitab itu adalah kitab keramat yang dinamakan
kitab 'Serat Sekar Siluman'. Tetapi hati kecil Suto masih
sangsi, sehingga ia pun bertanya-tanya dalam hatinya,
"Apa benar bentuk kitab keramat seperti itu"!"
Rasti sudah rapi, siap pergi mencari sungai untuk
mandi. "Ayo, kita cari sungai itu dan bersihkan badan
sebelum petang tiba. Nanti kita kembali lagi kemari,
Suto!" ajak Rasti ketika sudah diambang pintu gua.
Suto Sinting sempat tertinggal karena memikirkan
benda yang dikatakan sebagai jimat oleh perempuan itu.
"Rasti, boleh kulihat benda yang kau katakan sebagai
jimat itu?"
Rasti berlagak tidak mendengar ucapan Suto Sinting,
ia bergegas keluar dari gua lebih dulu. Suto Sinting
buru-buru menyusulnya.
"Rasti...! Rasti, tunggu sebentar!"
Langkah perempuan itu semakin cepat. "Ayo, Suto...
kita temukan sebuah sungai sebelum petang tiba!
Lekaslah...!"
"Hei, Rasti... tunggu aku! Aku ingin melihat benda
yang kau selipkan di pinggang belakangmu itu! Apakah
benda itu adalah kitab keramat 'Serat Sekar Siluman'
milik Geledek Biru yang pernah dicuri Ratu Ladang
Peluh"!"
Perempuan itu bagaikan tak menghiraukan seruan
Suto sama sekali. Ia justru melangkah semakin cepat
dengan jubah kuningnya yang melambai-lambai. Suto
berlari menyusulnya, tapi Rasti makin percepat
langkahnya. "Rasti, aku hanya ingin tahu apakah benar benda itu
adalah kitab keramat berisi mantra-mantra berkekuatan
iblis"!" seru Suto Sinting, namun seruan itu tetap tak
dihiraukan Rasti. Bahkan perempuan itu mengubah
langkahnya menjadi gerakan lari kecil dengan lompatanlompatan peringan tubuh.
Suto Sinting jengkel, akhirnya ia membentak, "Hei,
Rasti...! Tunggu!"
Di luar dugaan, Rasti hentikan langkah sekejap,
berbalik ke belakang dan sentakkan tangan kirinya ke
arah Suto Sinting. Wuutt...! Sentakan itu mengeluarkan
cahaya kuning emas sebesar telur burung. Claap...!
Weess...! Pendekar Mabuk sangat terkejut mendapat pukulan
bersinar kuning emas itu. Bumbung tuak yang
disilangkan di punggung tak sempat diraih dan dipakai
menangkis. Namun sebelum sinar kuning emas sebesar
telur burung itu menghantam dadanya, secara refleks
tangan Suto pun menyentak ke depan. Jurus 'Pecah Raga'
yang digunakan secara tiba-tiba itu keluarkan sinar hijau
dari telapak tangan si Pendekar Mabuk. Namun gerakan
itu agak terlambat, sinar hijau tersebut menghantam
sinar kuning emas yang sudah mendekat dan kurang tiga
langkah lagi. Akibatnya, benturan sinar hijau dan sinar
kuning emas itu timbulkan ledakan yang menyentak kuat
dan mengguncangkan pepohonan di sekitarnya.
Blaaarrr...! Tubuh Suto Sinting terlempar ke belakang, melayang
dan berjungkir balik tak karuan bagaikan seonggok
sampah tersapu badai, ia jatuh terbanting setelah
tubuhnya membentur pohon berduri. Cruus, buuhk...!
"Aaow...!" pekiknya sambil menyeringai kesakitan.
Duri-duri pohon yang berukuran sebesar paku itu
menancap dan merobek pinggang Suto. Duri itu
mengandung getah beracun yang cukup membahayakan
jiwa manusia. Suto Sinting akhirnya terpuruk sesaat di
bawah pohon itu dengan pinggang mengucurkan darah
dan darah itu menjadi cepat mengering dan itu berarti
kematian Suto pun akan tiba.
"Rastiii...!" teriak Suto sebelum ia semakin lemas
akibat racun pada duri pohon tersebut. Namun
perempuan yang dipanggilnya justru semakin percepat
pelariannya, dan dalam waktu singkat telah menghilang
dari pandangan si Pendekar Mabuk. Rasti benar-benar
melarikan diri tanpa basa-basi lagi.
"Keparat! Berarti dugaanku benar; benda itu adalah
kitab keramat yang dinamakan 'Serat Sekar Siiuman'
Oouhk...! Badanku panas sekali! Celaka! Pasti duri
pohon ini beracun membahayakan. Oouhk... aaahk...!"
Suto Sinting buru-buru mengambil bumbung tuaknya
dengan susah payah. Tangannya selain lemas juga
gemetar, sehingga bumbung tuak tak dapat diambil
dengan mudah, walau akhirnya berhasil juga. Ia segera
menenggak tuak saktinya.
Suara ledakan tadi memancing seseorang untuk
datang ke tempat itu. Dalam keremangan cahaya senja
yang semakin menua, Pendekar Mabuk masih bisa
melihat kemunculan sesosok tubuh kurus bermata
cekung yang dulu pernah bertarung melawannya. Orang
tersebut tak lain adalah si Tulang Besi, yang sedang
mencari-cari buronannya. Buronan itu tadi disambar oleh
seseorang dan orang yang menyambarnya adalah Suto
sendiri. Tapi Tulang Besi tak tahu bahwa penyambar
buronannya adalah si Pendekar Mabuk.
Maka ketika ia mengetahui keadaan Pendekar Mabuk
sedang kesakitan akibat tergores duri beracun, dan tuak
yang ditenggaknya belum bereaksi, Tulang Besi segera
lepaskan tendangan kebenciannya ke arah wajah Suto.
"Kau yang tempo hari coba-coba melawanku, Bocah
gendeng! Terimalah upah kelancanganmu waktu itu.
Hiaaah...!"
Beet! Plaak...!
Suto Sinting masih sempat menangkis dengan
silangkan lengan kirinya ke depan. Tendangan itu
tertahan lengan tersebut, tak sempat kenai wajah tampan
si murid sinting Gila Tuak itu. Pemuda tersebut segera
berguling ke belakang, lakukan jungkir balik dengan
cepat. Dalam satu sentakan tubuhnya pun melambung ke
atas dan bangkit berdiri dengan tegak. Pengaruh luka di
pinggangnya telah hilang, bahkan luka itu telah
mengering. Sebentar lagi akan hilang sama sekali tanpa
bekas. "Tahan seranganmu, Tulang Besi!" sentak Suto
Sinting dengan lantang pertanda badannya telah segar
kembali. "Persetan dengan kata-katamu, Bocah gendeng! Kau
telah memihak Mustikani, yang berarti kau ada di pihak
Ladang Peluh! Itu sama saja kau adalah musuhku yang
perlu kubinasakan! Heaah...!"
Tulang Besi melompat cepat dan melepaskan
tendangan beruntunnya ke dada Pendekar Mabuk. Wuut,
wuut, wuut...! Tapi dengan cepat Suto Sinting
menadahkan bumbung tuaknya sebagai penangkis
tendangan itu. Krak, prak, krak...!
"Aaoww...!" Tulang Besi memekik kesakitan dan
jatuh terduduk di tanah. Kedua kakinya terasa remuk
karena menendang bumbung bambu tuak yang
mempunyai kekuatan tenaga dalam tersendiri. Tulang
Besi bagaikan menendang sebatang baja yang
meremukkan Tulang kakinya sendiri.
"Hentikan kebodohanmu, Tulang Besi! Aku tahu apa
yang kau cari dan apa yang harus kita kejar!" sentak
Suto Sinting, ingin ungkapkan tentang perempuan yang
bernama Rasti itu. Tetapi agaknya Tulang Besi masih
terpaku oleh kekalahannya beberapa waktu yang lalu,
sehinga dengan berang ia melepaskan pukulan jarak
jauhnya tanpa sinar.
Dalam keadaan duduk di tanah, Tulang Besi
sentakkan tangannya ke depan, dan gelombang hawa
padat berkekuatan dua kali tenaga kuda itu meluncur
lepas menghantam Suto Sinting. Beet, wuuut...! Suto
Sinting segera hindari gelombang hawa padat itu dengan
satu lompatan ke atas. Wuuuus...! Gelombang hawa
padat itu akhirnya menghantam pohon berduri di
belakang Suto. Blaam...! Krraaak...!
Pohon itu retak dan menjadi miring, hampir saja
tumbang. Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Jari
Guntur'-nya ke arah Tulang Besi. Senantiasa jarinya


Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diarahkan tepat ke dada Tulang Besi. Des, dos...! Dua
kali sentilan jari membuat Tulang Besi yang pernah
merasakan akibatnya segera berguling ke samping untuk
menghindarinya. Buub, buub...! Sentilan bertenaga
dalam itu akhirnya kenai tanah. Tanah pun memuncrat
dengan dedaunan kering menyebar ke mana-mana
Zlaap, zlaaap...! Suto Sinting segera berpindah tempat
dengan cepat, sehingga tampak seperti menghilang.
Tulang Besi sempat clingukan sebentar dengan wajah
tegang. Akhirnya ia temukan Suto Sinting sudah berada
di belakangnya. Dalam keadaan kedua kakinya masih
terasa sakit dipakai berdiri, Tulang Besi akhirnya
berguling ke belakang dari keadaannya yang duduk di
tanah sejak tadi. Gerakan tergulingnya itu sambil
melepaskan tendangan bertenaga dalam, sehingga
hembusan hawa padat kembali menyerang Pendekar
Mabuk secara beruntun. Wuuk, wuuk...! Namun
bumbung tuak pun kembali menghadang gelombang
hawa padat itu dalam keadaan dipegang dua tangan dan
satu kaki Suto berlutut menahannya.
Blaam, blaamm. .! Benturan gelombang hawa padat
dengan bumbung tuak membuat Suto Sinting terdorong
ke belakang dan jatuh terduduk. Namun ia segera
berguling ke samping karena Tulang Besi tampak ingin
lepaskan pukulan bersinarnya. Sebelum hal itu terjadi,
Suto Sinting segera arahkan sentilan 'Jari Guntur'-nya ke
pelipis Tulang Besi. Dess...! Wuuut, brruukk...!
"Aoooww...!" Tulang Besi memekik sambil jatuh
berguling guling. Kepalanya terasa mau pecah karena
terkena sentilan jarak jauh yang mempunyai kekuatan
tenaga dalam sebesar tendangan seekor kuda jantan itu.
Untuk sesaat Tulang Besi yang meraung-raung kesakitan
sambil kedua tangannya pegangi kepala.
Pendekar Mabuk bergegas bangkit, ia sengaja tidak
menyerang lagi, karena tak ingin pertarungan itu
mencelakakan kedua belah pihak. Bagaimanapun
ganasnya si Tulang Besi, tapi Suto masih ingat bahwa
kakek tua itu patut murka kepada pihak Ratu Ladang
Peluh karena perguruannya dihancurkan. Hanya saja, ia
salah paham dan menyangka Mustikani masih berada di
pihak Ratu Ladang Peluh, sehinga pembelaan Suto
terhadap Mustikani dianggap bersekutu dengan pihak
Ratu Ladang Peluh. Yang perlu dilakukan Suto adalah
meluruskan anggapan tersebut agar tidak membuat
pertikaian dan salah paham itu menjadi berlarut-larut.
"Sekarang pun kau sudah kuanggap mati di tanganku,
Tulang Besi!" seru Suto Sinting sambil mengarahkan
bambu tuak seperti ingin dihantamkan ke kepala Tulang
Besi. "Kalau aku mau, bambu ini dapat membuat kepalamu
pecah seperti telur bebek habis dibanting!" tambah Suto.
"Tapi karena aku merasa kau bukan musuhku dan aku
bukan berada di pihak Ratu Ladang Peluh, maka aku tak
akan membunuhmu, Kakek berang!"
"Keep... keparat kaauu...!" geram Tulang Besi sambil
menahan sakit. "Minumlah tuakku, kujamin kau akan sembuh dan tak
merasa sakit lagi! Tapi berjanjilah untuk tidak
bermusuhan lagi denganku karena kemarahanmu itu
menimbulkan kesalahpahaman belaka, Tulang Besi!"
Suto Sinting segera sodorkan bumbung tuaknya dengan
tetap waspada. Tulang Besi menolak dengan suara
mengerang dalam satu sentakan.
"Tulang Besi, aku tahu yang kau cari saat ini! Kau
mencari perempuan berjubah kuning yang bernama
Rasti! Jika kau tak mau minum tuakku, maka pelarian
Rasti semakin jauh lagi dari tempat ini, karena ia tadi
bersamaku dan segera melarikan diri setelah kutahu ia
menyembunyikan kitab keramat di pinggang belakangnya!"
Tulang Besi segera berubah sikap. Walau tetap
menggeram, namun ia mulai tertarik dengan ucapan Suto
tadi. * ** 7 SETELAH menerima perdamaian dari Pendekar
Mabuk berupa pengobatan melalui tuak saktinya, Tulang
Besi akhirnya membenarkan dugaan Suto tentang kitab
keramat di tangan Rasti.
"Memang benar, benda yang disembunyikan
perempuan itu adalah kitab keramat. Kitab itu
diambilnya dari mayat Ladang Peluh sesaat setelah ia
berhasil membunuh Ratu bejat itu bersama beberapa
pengawalnya."
"Apakah kau melihatnya sendiri?"
"Ya, aku mengintainya dari kejauhan. Karena
sebelum itu, Ratu bejat kuserang sebagai tindakan balas
dendamku kepadanya. Tapi agaknya aku kaliah ilmu
dengannya. Aku terluka dalam, dan harus sembuhkan
lukaku dulu untuk menyerangnya lagi. Saat
kutinggalkan, beberapa waktu kemudian kudengar suara
ledakan dari tempatku bertarung melawannya. Aku
kembali ke sana untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata
Ratu Ladang Peluh bertarung melawan Rastiwina, dan
pertarungan itu kuperhatikan hingga tewasnya si Ladang
Peluh dan anak buahnya itu."
Sementara si Tulang Besi berceloteh, benak Suto
Sinting memikirkan sesuatu yang terasa menggoda
ingatannya. Bahkan batin Pendekar Mabuk
pun bertanya pada diri sendiri, "Rastiwina..."! Sepertinya aku
pernah mendengar nama Rastiwina itu"! Di mana dan
kapan kudengar nama itu"!"
"Rupanya Rastiwina mengetahui bahwa Ladang
Peluh mempunyai kitab keramat tersebut. Mungkin
karena dulu mereka bersahabat dan belakangan ini
kudengar mereka bermusuhan karena persoalan pribadi,
sehingga Rastiwina akhirnya nekat menghadapi Ladang
Peluh. Tujuannya hanya untuk mengambil kitab keramat
tersebut. Dan kulihat Rastiwina berhasil dapatkan kitab
itu setelah menggeledah tubuh mayat Ratu bejat yang
dipenggalnya memakai pedang milik pengawal Ladang
Peluh sendiri."
"Dan kau pun naksir kitab itu"!"
Tulang Besi gusar sesaat, namun akhirnya menjawab,
"Daripada kitab keramat itu jatuh di tangan Rastiwina
yang juga sebejat Ladang Peluh, lebih baik kitab itu
kurebut dan kukuasai sendiri!"
"Kau akan berurusan dengan Geledek Biru jika
menguasai kitab itu!"
"Memang. Tapi aku bisa pergunakan kekuatan sakti
di dalam kitab itu untuk melawan Geledek Biru. Hanya
saja... sekarang pendapatku sudah berubah, mengingat si
Geledek Biru adalah kakak sahabatku sendiri. Aku
hanya ingin merebut kitab itu agar jangan jatuh di tangan
perempuan bejat!"
"Bukankah dia...."
"Apakah kau belum kenal dengan Rastiwina yang
berjuluk Ratu Lembah Girang itu, Anak muda"!"
Suto Sinting tersentak kaget begitu mendengar nama
Ratu Lembah Girang. Rasa ingin protes atas pemotongan
kata-katanya tadi terpaksa dibatalkan karena ia lebih
tertarik memperhatikan nama Ratu Lembah Girang. Kini
Suto ingat bahwa ia pernah berurusan dengan Ratu
Lembah Girang yang ingin menguasai bocah sakti di
Pulau Swaladipa. Walau secara langsung memang ia
belum pernah beradu muka dengan Ratu Lembah
Girang, tetapi para begundalnya telah menyerang dan
bermaksud membunuhnya, termasuk iblis kirimannya
yang amat berbahaya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Bocah Titisan Iblis").
"Pantas sejak tadi aku merasa janggal terhadap nama
Rastiwina. Rupanya nama itu adalah nama asli dari Ratu
Lembah Girang yang pernah kudengar disebutkan oleh
si Manusia Kayu; Ki Sumparana," pikir Suto Sinting
sambil tertegun berkepanjangan. Karena ia juga ingat
pertarungannya melawan Pangeran Cabul dan Lembah
Wuyung, yang merupakan orang-orang utusan Ratu
Lembah Girang untuk mencabut nyawa Suto Sinting.
"Kurasa ia mengenaliku. Tapi mengapa saat di dalam
gua ia tidak membunuhku" Mengapa ia justru
bersemangat dalam mencumbuku?" pikir Suto lagi. Ia
tak tahu bahwa Rastiwina alis Ratu Lembah Girang
terkejut ketika mengetahui ketampanan Suto Sinting
yang menjadi lawannya itu. Ia tidak menyangka
ketampanan dan kegagahan Pendekar Mabuk sangat
menawan hatinya, sehingga ia merasa sayang jika harus
membunuh pemuda itu sebelum dimanfaatkan
kehangatan kemesraannya.
"Dia tidak boleh mati. Dia begitu hangat dan pandai
membuatku terbang di puncak kenikmatan. Aku akan
tundukkan dia dengan aji pemikat abadi yang menurut
keterangan Ladang Peluh dulu, mantra tersebut ada di
dalam kitab keramat ini. Sekarang dia tahu aku
membawa kitab itu. Aku harus melumpuhkannya sesaat.
Setelah kitab ini kupelajari, akan kuhampiri dia dan
kutundukkan agar menjadi pemuas gairahku. Ooh... aku
suka sekali dengan permainan tangannya yang seolaholah sangat sesuai dengan harapanku itu. Aku tak boleh
membunuhnya...!" pikir Rastiwina pada saat itu.
Karenanya ia lebih baik melarikan diri daripada harus
berhadapan dengan Suto dan saling mengadu ilmu.
Pendekar Mabuk segera sadar dari lamunannya.
Namun ia terperanjat mengetahui hari telah menjadi
gelap dan Tulang Besi telah pergi dari hadapannya. Ke
mana perginya si Tulang Besi, Suto tak tahu. Namun
dugaan hati kecilnya mengatakan, bahwa Tulang Besi
pergi mencari Rastiwina karena ingin merebut kitab
keramat itu. Sekalipun gelap petang telah tiba, namun Pendekar
Mabuk tetap lakukan pencarian terhadap diri Rastiwina.
Semakin cemas hati si Pendekar Mabuk setelah
mengetahui bahwa kitab itu ternyata jatuh di tangan Ratu
pengumbar nafsu dari Pulau Swaladipa. Semakin kuat
niatnya untuk selamatkan kitab itu atau menghancurkannya sama sekali, seperti yang dikatakan
si Geledek Biru.
Esok paginya, Pendekar Mabuk yang sempat tidur
beberapa waktu di atas pohon itu, segera memutuskan
untuk memberi tahu hal itu kepada Geledek Biru dan
beberapa orang lainnya yang dianggap mau membantu
Geledek Biru dalam mencari kitab keramat tersebut.
Sebuah desa yang disinggahi menjadi tempatnya
bertanya tentang kediaman si Geledek Biru, sambil ia
mengisi bumbungnya dengan tuak yang baru.
"Eyang Bintara tinggal di Bukit Belatung," tutur si
pemilik kedai yang sudah berusia sekitar enam puluh
tahun itu. "Ke mana arahnya jika aku harus ke Bukit Belatung,
Ki?" "Jalanlah menuju ke selatan. Jika kau temukan dua
sungai bersebelahan, ikutilah sungai yang sebelah kiri
dan menuju ke muara!"
Ketenangan Suto terasa semakin besar, karena
bumbung tuaknya sudah terisi tuak penuh, ia lebih
bersemangat lagi dalam perjalanannya. Hanya saja,
langkahnya terpaksa terhenti karena suara ledakan
menggelegar yang samar-samar berasal dari arah barat
daya. Ia segera bergegas ke sana, karena rasa ingin
tahunya jika mendengar suara pertarungan selalu
menggoda hati. Mata Suto Sinting terbelalak begitu melihat di tepian
sungai terjadi pertarungan antara Rastiwina melawan
Mendung Merah. Agaknya gadis berpakaian merah itu
terdesak beberapa kali, karena ilmunya tak sebanding
dengan ilmu si Ratu Lembah Girang. Namun gadis itu
masih belum mau larikan diri walaupun ia telah
memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Kau memang keparat busuk, Mendung Merah! Kau
sama busuknya dengan gurumu! Jika gurumu saja
hampir mati di tanganku, apalagi hanya kau seorang"!"
Rupanya antara perguruan Mendung Merah dengan
pihak Ratu Lembah Girang pernah terjadi bentrokan
yang nyaris menewaskan gurunya Mendung Merah yang
namanya tak diketahui oleh Suto Sinting. Tapi dari
perkataan Rastiwina, Suto dapat simpulkan bahwa
bentrokan itu terjadi karena rebutan sebuah pusaka yang
akhirnya dihancurkan sendiri oleh Ratu Lembah Girang.
"Urusan pusaka Keris Bumiyamka itu sudah tak ada
lagi. Pusaka itu ternyata kalah sakti dengan ilmuku,
terbukti mampu kuhancurkan sendiri! Kurasa kau tak
perlu mengungkit masa lalu antara pihakku dengan
pihak perguruanmu, Mendung Merah. Apalagi kau
masih bau kencur saat peristiwa itu terjadi!"
"Aku bukan memasalahkan Keris Bumiyamka itu!
Yang kukehendaki adalah kitab keramat 'Serat Sekar
Siluman'! Aku tahu kitab itu ada padamu, karena
Sawung Kuntet memergokimu sedang membuka-buka
kitab tersebut, lalu ia kau serang hingga sekarat!"
"O, jadi kau ingin menguasai kitab keramat itu juga"!
Hmm...! Kalau aku sudah menjadi bangkai, kau boleh


Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menguasai kitab itu. Mendung Merah! Sekalipun si
Geledek Biru yang ingin merebutnya dari tanganku,
akan kupertahankan dengan mempertaruhkan nyawaku!"
"Kalau begitu, jangan salahkan diriku jika aku harus
merebutnya dengan cara sekasar mungkin!" bentak
Mendung Merah, lalu segera mencabut pedangnya.
Sreeet...! Tetapi sebelum Mendung Merah menyerang, tiba-tiba
Rastiwina lepaskan pukulan jarak tujuh langkah dengan
pergunakan dua jarinya yang mengeras. Dua jari itu
dikibaskan seperti melemparkan pisau, dan dari dua jari
itu melesat sinar merah patah-patah seukuran pisau
terbang. Clap, clap, dap!
Mendung Merah sentakkan kaki ke tanah dan
tubuhnya melambung naik dengan gerakan bersalto.
Wuk, wuuk...! Begitu hinggap di atas gundukan tanah
setinggi pundak manusia dewasa, pedang itu dikibaskan
ke depan dan dari kibasan pedang itu keluarlah serbuk
biru mengkilap yang menyebar ke arah Ratu Lembah
Girang. Wuuurrsss...!
Serbuk itu pasti serbuk beracun, terbukti rumputrumput yang terkena serbuk itu
menjadi lumer dan
akhirnya mencair seperti bubur. Jika sampai serbuk biru
mengkilap itu kenai tubuh Ratu Lembah Girang,
tentunya perempuan bermata jalang itu akan lumer dan
menjadi seperti bubur. Sayangnya, Ratu Lembah Girang
bukan orang berilmu pas-pasan, sehingga dengan satu
kali sentakan tangannya, ia dapat keluarkan hembusan
angin yang membuat serbuk-serbuk itu terbang ke arah
Mendung Merah sendiri. Wuuss, wuuurss...!
"Heeaaat...!" Mendung Merah melompat ke sana-sini
dengan lompatan cepat. Kakinya bagai menyentak
bagian ujung saja, termasuk menjejak sebatang pohon
yang membuatnya meluncur ke satu arah hindari
serbuknya sendiri.
Begitu kakinya mendarat di bumi, tahu-tahu
Rastiwina lepaskan pukulan bersinar kuning emas
sebesar telur burung puyuh itu. Claap...! Sinar kuning itu
meluncur cepat ke arah Mendung Merah. Namun
sebelum sampai di pertengahan jarak, seberkas sinar
merah kecil telah melesat lebih cepat dan menghantam
sinar kuning tersebut. Weeess...! Jegaaarrr...!
Ledakan itu menyentakkan tubuh Rastiwina ke
belakang, namun ia hanya terhuyung sesaat, lalu dapat
berdiri tegak kembali dan memandang ke arah datangnya
sinar merah kecil tadi. Ternyata dari balik pohon rindang
itu muncul seraut wajah yang murah senyum, yaitu
wajah seorang pemuda bertongkat bambu kuning.
"Santana..."!"
gumam Suto Sinting dari persembunyiannya. "Kusangka ia telah mati ditelan
bumi, ternyata masih cengar-cengir juga anak itu"!"
"Bocah ingusan! Kau mau ikut campur juga, hah"!"
bentak Rastiwina dengan wajah berang. Santana tetap
nyengir sambil melangkah santai dekati lawannya.
"Jurusmu cukup membahayakan nyawa sahabatku,
Bibi! Aku terpaksa mematahkannya, ketimbang
sahabatku kehilangan nyawa, lebih baik kau sajalah yang
kehilangan nyawa, toh wajahmu sudah tampak tua.
Kuduga usiamu sudah delapan puluh tahun lebih, Bibi
cantik!" Santana bicara seenaknya dan tak punya kesan
bermusuhan. Namun kata-katanya justru memanaskan
telinga Rastiwina yang tak mau dikatakan sudah tua. Ia
sangat tersinggung dengan penghinaan itu, sehingga
suara geramnya menunjukkan ia sangat marah kepada
Santana. Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala sambil
tersenyum geli. "Bocah itu kalau bicara seenak udel-nya
sendiri! Memang menjengkelkan, tapi juga menggelikan.
Apalagi dia mengakui bahwa Mendung Merah adalah
sahabatnya, jelas itu sangat menggelikan bagiku, sebab
kutahu mereka semula adalah saingan; sama-sama
menjadi pembunuh bayaran yang memburuku, eeh...
sekarang malah jadi sahabat"!"
Celoteh batin Suto Sinting dihentikan sampai di situ
dulu, karena Rastiwina melepaskan kemarahannya
dengan sebuah pukulan jarak jauh yang mengeluarkan
asap hitam-hitaman dari pangkai telapak tangan atau
pergelangannya.
Wuuusss...! Asap itu menyembur ke arah Santana.
Mendung Merah berseru dari tempatnya. "Awas,
racuuun...!"
Santana segera memutar tongkat bambu kuningnya
dengan satu tangan. Tongkat itu bagaikan berputar
secepat baling-baling dalam gerakan menyelinap
dipermainkan oleh kelima jari tangan kanan itu. Seerr...!
Wuuurrss...! Angin putaran tongkat itu membuyarkan
asap kehitaman. Pada saat itu, Rastiwina segera melesat
bagaikan kilat menerjang Santana. Weesss...!
"Brreesss...!
"Aoow...!" pekik Santana tertahan. Tubuhnya
terpental delapan langkah ke belakang, ia terbanting
dengan kerasnya di samping Mendung Merah. Brruuk!
"Auuh...! Tulang punggungku patah, Sayang...!"
rintihnya sambil menyeringai menatap Mendung Merah
dengan satu mata dipicingkan. Mendung Merah tak
pedulikan rintihan konyol itu. Ia segera menyerang
Rastiwina dengan tebasan pedangnya beberapa kali.
Wut, wut, wut, wut...!
Rastiwina hanya menghindar dengan meliukkan
badan dengan lincah ke kiri, kanan, belakang, merunduk,
dan akhirnya jatuhkan diri, sambil kakinya menyapu
betis Mendung Merah. Wuuutt...! Prraak...!
Brrruk...! Rastiwina berhasil menjatuhkan Mendung
Merah yang memekik tanpa suara karena mata kakinya
bagaikan pecah disapu tendangan bertenaga dalam tadi.
Sapuan itu juga membuat pedang Mendung Merah
terlepas dari genggamannya. Pedang itu terpental ke atas
dan segera disambar oleh Rastiwina.
Wuuut, teeb...!
"Saatnya pergi ke neraka telah tiba, Gadis bodong!
Heeaah...!"
Ratu Lembah Girang menebaskan pedang ke arah
kepala Mendung Merah. Namun sebelum pedang itu
bergerak membabat kepala, tiba-tiba Santana lemparkan
tongkat bambu kuningnya dengan tenaga dalam
disalurkan ke dalam bambu tersebut. Wuuut...! Deeeg!
"Uuhk...!" tubuh Rastiwina terdorong mundur,
bahkan jatuh berjumpalitan di tanah, ia merasa seperti
diseruduk banteng liar. Lemparan bambu kecil itu kenai
dada kirinya, dan bambu itu memantul balik ke arah
pemiliknya. Teeb...! Santana menangkap bambu itu
dengan cekatan, ia segera bangkit dan sunggingkan
senyum kepada Mendung Merah yang menatapnya.
"Mundur, Sayang... nanti nyawamu berantakan! Dia
sudah memegang senjatamu, biar aku yang hadapi dia!"
"Kitab itu ada pada...."
"Aku tahu!" potong Santana dengan kalem. "Aku
dengar suaramu tadi. Lihat, bagaimana caranya
mengambil kitab itu, hanya ada di ujung tongkatku ini!"
Santana segera melompat dengan menggunakan
tongkatnya sebagai alat pelempar tubuh yang
disentakkan ke tanah.
"Hiaaahh...!"
Wuuuss, wuutt...! Terjangan ke arah kepala Rastiwina
berhasil dihindari. Santana akhirnya mendarat ke
belakang Rastiwina. Namun dengan cepat bambu
kuningnya bagaikan disabetkan dari samping kiri ke
kanan dalam satu gerakan cepat, nyaris tak terlihat.
Weess...! Trraak...! Pedang di tangan Rastiwina menahan
bambu itu. Kaki perempuan tersebut berkelebat menjejak
dada Santana. Beet! Bluuhk...!
"Huuueeeek...!"
Bruuuss...! Mulut Santana semburkan darah cukup banyak.
Pemuda itu jatuh terkapar dengan napas tersentaksentak, matanya pun mendelik
dengan mulut ternganga.
Keadaan Santana sekarat, karena tendangan yang kenai
dadanya itu bertenaga dalam sangat besar dan membuat
dada Santana membekas telapak kaki warna hitam dan
berasap. "Habislah riwayatmu, Jahanam! Hiaaah...!" teriak
Rastiwina dengan murkanya. Tangan yang memegangi
pedang milik Mendung Merah diangkat, pedang itu akan
dihujamkan ke dada Santana. Tetapi niat itu tertunda
kembali. Zlaaap...! Bruuuss...!
Pendekar Mabuk turun tangan setelah melihat
kenyataan yang menyedihkan, kedua orang sahabatnya
tidak dapat mengalahkan Ratu Lembah Girang. Maka ia
pun segera berkelebat menerjang Ratu Lembah Girang
dengan pergunakan kecepatan gerak yang menyerupai
perpindahan sinar itu.
Terjangan dari samping itu membuat Ratu Lembah
Girang terlempar sepuluh langkah jauhnya, ia jatuh
terbanting di sela-sela bebatuan. Pendekar Mabuk segera
mengejarnya, dan hentikan langkah dalam jarak satu
tombak dari Rastiwina. Ia biarkan perempuan itu bangkit
dengan suara geram kemarahan yang lebih besar lagi.
"Hhmmr...! Ternyata kau tak bisa kujadikan pemuas
gairahku lagi, Pendekar Mabuk kecubung! Kau
membuat pengampunanku hilang, dan kini yang ada
padaku hanyalah membunuhmu, mencabik-cabikmu, dan
merajang habis sekujur tubuhmu yang sebenarnya
menggairahkan sekali itu!"
"Berilah kitab itu dan kita selesaikan permusuhan kita
sampai di sini saja. Ratu Lembah Girang!" ujar Suto
Sinting, sengaja menyebut nama itu untuk mengingatkan
perempuan itu pada peristiwa Bocah Emas beberapa
waktu yang lalu.
"Biadab kau, Suto! Dari dulu kau selalu mencampuri
urusanku! Kau membuatku murka dan tak punya belas
kasihan lagi! Adikku; Pangeran Cabul, juga kau bunuh!
Bocah Emas itu juga kau bawa lari. Kau benar-benar
neraka bagi hidupku, Pendekar sapi! Sekarang saatnya
membalas seluruh tindakanmu itu, Keparat!"
"Rastiwina,
yang kuharapkan adalah kau mengembalikan kitab itu kepada si pemiliknya, yaitu
Eyang Bintara alias Geledek Biru. Serahkan padaku dan
aku akan menyerahkannya kepada beliau!" tegas Suto
Sinting. "Ambil ini! Hiaaah...!"
Rastiwina sentakkan kedua tangannya dalam keadaan
menggenggam. Dari kedua genggaman itu keluar sinar
kuning secara beruntun dalam bentuk seperti piring
kecil. Blab, blab, blab, blab, blab, blab,..!
Suto Sinting menangkisnya dengan melintangkan
bambu tuaknya di depan dada. Kedua tangannya
memegangi bambu itu dengan kuat, karena sinar kuning
itu ternyata tidak bisa membalik ke arah semula seperti
sinar-sinar lain yang terkena bumbung tuak. Bahkan
sinar-sinar kuning itu tidak meledak walau berulangkali
membentur bumbung tuak. Menandakan kekuatan sinar
itu sungguh dahsyat dan dapat mengimbangi kekuatan
sakti yang ada pada bumbung tuak milik Pendekar
Mabuk itu. Kekuatan Suto menahan bumbung tuak itu akhirnya
lemah. Wuuuss...! Tubuh Suto Sinting terlempar ke
belakang dengan keseimbangan tubuh tak terkendali, ia
jatuh terjungkal dan pelipisnya membentur batu runcing.
Cuuur...! Darah pun mengucur dari pelipis Pendekar
Mabuk. Sinar kuning itu telah lenyap. Kini Rastiwina
meluncur bagaikan singa terbang tanpa membawa
pedang milik Mendung Merah. Wuuut...! Dari kedua
matanya memancarkan sinar merah lurus dua larik yang
ditujukan ke tubuh Pendekar Mabuk. Dengan gerakan
cepat, Pendekar Mabuk sentakkan tangan ke tanah dan
tubuhnya melesat naik, melambung di udara tepat pada
saat kedua sinar merah dari mata Ratu Lembah Girang
menghantam batu besar yang ada di belakang Suto saat
Suto terjatuh tadi. Cralap...! Blegaaarrr...!
Batu besar itu lenyap tanpa bekas, kecuali asap hitam
yang segera buyar disapu angin. Pada saat itu, Suto
Sinting yang masih melambung di udara segera lepaskan
pukulan sinar kuning juga, yaitu jurus 'Pukulan Gegana'
dari dua jari yang dikeraskan. Sinar kuning patah-patah
itu menghantam punggung Rastiwina yang sedang
melayang di bawahnya. Clap, clap, clap...!
Jleb, jleb, jleb...!
"Aaaa...!" Rastiwina alias Ratu Lembah Girang
memekik panjang dan tubuhnya jatuh tengkurap. Sinar
kuning itu menembus punggungnya. Punggung itu
akhirnya kepulkan asap yang makin lama makin tebal
membungkus raga.
Pendekar Mabuk segera bersalto di udara dan
hinggap di atas batu setinggi dadanya sendiri. Jleeg..!
Dari sana ia dapat melihat kemunculan si Tulang Besi
yang segera hentikan langkahnya sambil pandangi tubuh
Rastiwina yang dibungkus asap tebal. Dari arah lain juga


Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melesat bayangan biru yang menghampiri Pendekar
Mabuk. Wuuutt...! Jleeg...!
"Eyang Bintara..."!" sapa Suto Sinting, lalu buru-buru
turun dari atas batu tersebut, takut dianggap tak sopan
kepada si Geledek Biru.
Geledek Biru pandangi Rastiwina yang sudah tak
berkutik lagi. Bahkan ketika gumpalan asap itu buyar
seketika setelah Geledek Biru hembuskan napas dari
mulutnya, semua mata memandang tertegun ke arah
Ratu Lembah Girang. Ternyata tubuh perempuan itu
sudah menjadi seonggok daging yang kering, kehitamhitaman, dan tentunya tak
mempunyai nyawa sesendok
pun. Ratu Lembah Girang akhirnya tewas di tangan
Pendekar Mabuk, disaksikan seorang tokoh tua yang
amat disegani dan ditakuti di kawasan tenggara; Geledek
Biru. "Dia yang mencuri kitab keramat itu, Eyang!" kata
Suto Sinting. "Hmmm...," Geledek Biru manggut-manggut. "Tapi
dia sudah menjadi kering seperti arang begitu, apakah
kitab keramatku masih utuh?"
"Hmm, hmm... mungkin ya ikut kering juga, Eyang!"
jawab Suto Sinting dengan takut-takut.
Tulang Besi yang sudah mendekati mereka ikut
bicara. "Lebih baik hancur daripada bikin penyakit bagi
orang lain!"
Geledek Biru hanya melirik si Tulang Besi,
sementara itu Suto memeriksa kain ikat pinggang
Rastiwina yang juga menjadi abu itu. Ia menemukan
kitab tersebut, namun keadaannya sudah terbakar dan
hanya sisa bagian pinggirannya saja.
"Ini kitab keramat milik Eyang, silakan ambil,
Eyang!" "Aku sudah punya banyak abu gosok buat cuci piring.
Ambillah sendiri!" ujar Geledek Biru dengan hati kesal,
namun membuat Tulang Besi tersenyum kaku, dan
Pendekar Mabuk tersipu malu menahan geli.
"Lupakan tentang kitab itu! Tolong sembuhkan
Mendung Merah dan Santana!" perintahnya kepada
Pendekar Mabuk. Dengan rasa hormat Suto pun obati
mereka menggunakan tuak saktinya. Lalu, mereka pun
saling berpisah dengan damai.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
TANTANGAN ANAK HARAM
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel Kampung Setan 4 Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Pedang Keadilan 40

Cari Blog Ini