Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka Bagian 2
"Dulu kau pernah mati dan dihidupkan lagi oleh Pipit Serindu," ujar Suto
Sinting, lalu menceritakan secara sekilas saat Resi Pakar Pantun sudah
dinyatakan mati dan mau disemayamkan dengan cara dibakar, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kutukan
Pelacur Tua").
"Itu bukan mati, tapi salah anggapan!" ujar sang Resi dengan wajah cemberut
pertanda tak suka dikatakan
sebagai orang yang pernah mati.
"Jadi bagaimana nasib negeri Bumiloka dan muridmu si Kertapaksi itu, Resi?"
"Entahlah, aku belum bisa berpikir soal itu. Aku masih terbayang-bayang dikejar
mayatnya si Dirgantara selama sehari semalam penuh. Sampai sekarang aku
belum tidur, karena mayat itu tak mau tidur juga."
Suto Sinting tertawa tanpa suara. Tawa itu tiba-tiba lenyap karena sekelebat
sinar merah yang melesat lurus bagaikan sepotong besi panjang sehasta.
Slaaap...! Sinar merah bening mirip dengan besi membara itu meluncur
cepat ke punggung Resi Pakar Pantun.
Suto Sinting menyambar tangan sang Resi. Wuuut...!
Sang Resi tersentak ke depan karena tarikan tangan kiri Suto Sinting, sementara
tangan kanan Pendekar Mabuk
segera melayangkan bumbung tuaknya ke arah depan.
Wees...! Sinar merah itu menghantam bumbung tuak
tersebut. Duaaar...! Ledakan cukup keras terjadi tanpa melukai bambu
bumbung tuak. Tapi ledakan itu mempunyai gelombang
hentakan yang cukup kuat, sehingga Suto Sinting dan
Resi Pakar Pantun terjungkal berguling-guling saling tindih.
"Auuow...! Auuuh...! Kepalaku jangan ditindih, Suto!
Aauh... tanganku... tanganku, Sutooo...! Aduh, remuk tulangku kalau begini,
uuuh...!" Celoteh dan ratapan Resi Pakar Pantun tak sempat
dihiraukan Suto Sinting. Ketika tubuh mereka samasama berhenti karena membentur sebuah pohon besar,
Resi Pakar Pantun meratap lirih, wajahnya meringis
karena kakinya tertindih tubuh Suto Sinting. Akhirnya ia membentak Suto Sinting
sambil menepak pundak
pemuda itu. "Cepat bangun, Tolol!"
"Serangan itu pasti dari orang berilmu tinggi, Resi!"
"Tak peduli berilmu tinggi atau rendah, kakiku jangan kau injak terus!" geram
sang Resi dengan berang.
Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya untuk
hilangkan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Resi Pakar Pantun pun disuruh
menenggak tuak tersebut.
"Biar rasa sakitmu hilang, Resi. Minumlah tuak ini!"
Resi Pakar Pantun yang tahu persis bahwa tuak Suto
itu mempunyai kesaktian tinggi sebagai senjata maupun obat, tak menolak tawaran
untuk minum tuak. Ia
menenggaknya beberapa teguk. Kejap berikut mereka
berdua saling memandang keadaan sekeliling mencari
lawan mereka yang tahu-tahu menyerang dengan tenaga
dalam cukup tinggi.
"Jika orang itu tidak menggunakan jurus bertenaga
dalam tinggi, sinar itu pasti akan memantul balik dalam keadaan lebih besar dan
lebih cepat gerakannya. Tapi sinar itu ternyata justru meledak begitu mengenai
bumbung tuakku, berarti kadar hawa saktinya cukup
tinggi," tutur Suto Sinting tanpa memandang Resi Pakar Pantun.
"Musuhmu atau musuhku yang menyerang kita
tadi"!" tanya sang Resi benar-benar dalam kebingungan.
Belum sempat Pendekar Mabuk memberi jawaban,
tiba-tiba mereka sama-sama bungkam dengan mata
tertuju ke arah munculnya sesosok tubuh yang meluncur dari ketinggian sebuah
pohon. Wuuuusss...!
Jleeg...! Tubuh ramping berjubah hijau muda dari kain sutera
tipis telah berdiri di depan mereka dalam jarak enam langkah. Tubuh ramping itu
mempunyai wajah cantik
dan sorot pandangan mata yang menggoda hati lelaki.
Rambutnya disanggul sebagian, pada sanggulnya dililit pengikat dari logam emas
bermanik-manik intan. Tubuh berkulit putih mulus itu hanya dibungkus dengan
jubah hijau tipis bagian depannya hanya mempunyai satu
pengait 'kancing jepret' yang sewaktu-waktu bisa
terlepas sendiri. Sedangkan di bagian dalam jubah tak mempunyai pelapis apa pun,
sehingga jika jubah itu
tersingkap maka akan tampak sebentuk keindahan yang
membakar gairah setiap lelaki.
Resi Pakar Pantun menggeram dengan kedua tangan
meremas sendiri. Sorot pandangan mata tuanya
memancarkan permusuhan kepada perempuan berkalung
dan bergelang emas permata.
"Kau mengenal perempuan itu, Resi?" tanya Suto Sinting dalam bisikan.
"Ratu Sangkar Mesum!" geram sang Resi penuh dendam. Suto Sinting hanya menggumam
dalam hati, kemudian pandangan matanya dipertajam dalam
menatap Ratu Sangkar Mesum. Perempuan itu sendiri
menatap Suto Sinting lebih lama ketimbang memandang
Resi Pakar Pantun.
"Kau tak akan bisa lari ke mana-mana lagi, Pakar Pantun!"
"Ikan teri menjelma sebagai tamu,
belalai gajah direbus dibuat jamu.
Aku lari bukan karena kalah ilmu,
tapi lari untuk mencarikan kuburmu."
Perempuan itu sunggingkan senyum sinis mendengar
pantun sang Resi. Rupanya ia juga pandai berpantun
sehingga membalas pantun tersebut dengan suara yang
sedikit serak namun mempunyai getaran penggugah
hasrat cinta lawan jenisnya.
"Ikan teri berbondong-bondong masuk dalam saku, ikan lele berlari-lari menuju
biara. Kalau kau memang tak sanggup lagi melawanku,
biarkan aku melawan pemuda itu dengan asmara."
Mata jeli yang berkesan nakal dan jalang itu melirik kembali kepada Suto
Sinting. Pemuda yang dilirik hanya sunggingkan senyum tipis dan bersikap tenang,
seakan acuh tak acuh terhadap pantun sang Ratu Sangkar
Mesum itu. Walaupun ia tahu maksud pantun tersebut,
namun tak punya niat untuk membalas dengan pantun
juga. Sikap diam dan acuh tak acuh merupakan balasan yang cukup untuk pantun
tersebut. Tetapi tidak demikian halnya dengan Resi Pakar
Pantun. Mendengar lawannya berpantun, ia pun
membalas dengan pantun ejekan yang dapat
membangkitkan amarah Ratu Sangkar Mesum.
"Ikan teri mencakar memar seekor tikus,
mencari tikar buat campuran ubi rebus.
Dasar perempuan liar berjiwa rakus,
lihat pemuda kekar maunya langsung bungkus."
Ratu Sangkar Mesum langsung membentak kepada
sang Resi, "Hentikan permainan pantunmu!"
Ia maju dua langkah, lalu berkata lagi dengan wajah
memancarkan dendam.
"Anak buahku hampir habis karena ulahmu. Tua
Peot! Sekarang saatnya menebus dengan nyawamu!"
Suto Sinting sempat berbisik kepada sang Resi, "Mau kau tangani sendiri atau aku
yang menangani, Resi?"
"Biar kutangani sendiri!" jawab sang Resi dengan tegas. Suto Sinting angkat
bahu, lalu segera mundur menjauh.
Belum seberapa jauh Suto Sinting melangkah
mundur, tiba-tiba dari mata kiri Ratu Sangkar Meaum
melepaskan sinar lurus warna hijau bening. Claaap...!
Sinar itu melesat cepat menuju dada Resi Pakar Pantun.
Sang Resi terperanjat karena tak menyangka serangan
lawan datang secepat itu. Akibatnya ia hanya bisa
menangkis sinar hijau itu dengan sentakkan tangan
kanannya yang memancarkan sinar merah berbentuk
bola berapi. Wuuus...!
Zrrub...! Jegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi saat sinar hijau lurus itu
menghantam sinar merah. Gelombang ledakan membuat
tubuh Resi Pakar Pantun tersentak dan terbang ke
belakang. Buugh...! Tubuh agak gemuk itu menghantam
batang pohon. Tak ada keseimbangan tubuh yang dapat
dikuasai, ia pun jatuh tersungkur dihujani oleh daun-daun pohon yang berguguran
akibat benturan tubuhnya
tadi. Bisa dibayangkan alangkah kerasnya benturan itu, sampai-sampai daun-daun
pohon berguguran baik yang
sudah layu maupun yang masih segar.
Rupanya gelombang ledakan itu bertenaga sangat
besar, sehingga Resi Pakar Pantun tak bisa bangkit lagi dalam keadaan hidung
berdarah dan wajah memucat.
Tokoh tua itu jatuh pingsan dalam satu jurus. Itu
menandakan si Ratu Sangkar Mesum pergunakan jurus
andalan yang terlambat ditangkis oleh sang Resi.
Mestinya jurus itu ditangkis pada saat masih melesat di pertengahan jarak, bukan
dalam jarak satu langkah di depan sang Resi berdiri tadi.
Akibat tangkisan dalam jarak dekat, maka gelombang
ledakan tersebut cukup telak menghantam tubuh Resi
Pakar Pantun. Sementara si perempuan cantik
berpakaian seronok itu tetap berdiri tegak tanpa bergeser sedikit pun dari
tempatnya. Melihat keadaan Resi Pakar Pantun tidak berdaya,
Ratu Sangkar Mesum segera lepaskan pukulan jarak
jauhnya yang dapat mengakhiri riwayat hidup sang Resi.
Tangan kanannya memutar cepat lalu menghentak ke
depan dalam keadaan lurus, kedua kaki pun merendah.
Suuut...! Dari ujung tangan itu melesat sinar biru lebar berbentuk separo
lingkaran. Weeess...!
Suto Sinting buru-buru melesat dari tempatnya.
Zlaaap...! Tahu-tahu sudah menghadang di depan
lajunya sinar biru, menjadi pelindung tubuh Resi Pakar Pantun. Tangannya
menyentak ke depan dan sinar hijau keluar dari tangan tersebut, melesat cepat
menghantam sinar biru lawan. Claap...!
Blegaaar...! Pukulan 'Guntur Perkasa' mematahkan jurus maut
Ratu Sangkar Mesum. Ledakan dahsyat memercikkan
sinar biru kehijauan yang menyebar ke atas dalam
sekejap. Gelombang ledakan itu mampu membuat tubuh
Ratu Sangkar Mesum tersentak mundur ke belakang,
terhuyung-huyung hampir jatuh. Sedangkan Suto Sinting sudah jatuh lebih dulu
dalam keadaan terduduk
menindih pinggang Resi Pakar Pantun. Namun karena
sang Resi dalam keadaan pingsan, Suto pun tak
mendapat omelan, ia segera bangkit dalam keadaan
masih segar. Ratu Sangkar Mesum hentikan serangan. Langkahnya
tampak menggoda dengan pinggul bergoyang ke sanasini. Wajah perempuan itu tidak memancarkan
permusuhan kepada Suto Sinting. Bahkan ada seulas
senyum tipis di bibirnya yang sedikit tebal dan
menggemaskan jika dipandang terlalu lama itu.
"Aku suka dengan caramu, Pendekar Tampan!"
katanya setelah mereka saling berhadapan dalam jarak lima langkah. Mata jalang
sang Ratu sengaja dimainkan untuk menggoda hati si pemuda tampan itu. Lagak
berdirinya pun tampak menantang kemesraan. Kancing
jubahnya dilepaskan dengan sengaja. Suto Sinting
tertegun bengong memandanginya, ia menelan ludahnya
sendiri dua kali, kemudian menarik napas untuk
menahan getaran indah yang menuntut kemesraan.
"Hanya kaulah orangnya yang bisa mematahkan jurus
'Pedang Biru'-ku. Kini aku tahu kau pemuda yang hebat, dan aku yakin bukan saja
ilmu kanuraganmu yang hebat, namun ilmu cumbuanmu juga pasti hebat!"
"Aku tak mengerti arah bicaramu, Ratu Sangkar
Mesum!" kata Suto Sinting dengan wajah tanpa senyum namun masih kelihatan
tampan. Ratu Sangkar Mesum semakin menggoda dengan
senyum dan pandangan matanya, ia mendekati Suto
Sinting dan membiarkan jubahnya tersingkap lebar,
seakan ia sengaja memamerkan perabotnya.
"Berhenti di situ saja!" sentak Suto Sinting tak terlalu keras namun terdengar
tegas. Langkah sang Ratu pun
terhenti dalam jarak tiga langkah di depan Suto Sinting.
Pemuda itu justru mundur menjauh sambil matanya
melirik tajam tak bersahabat.
"Jangan coba-coba meruntuhkan jiwaku dengan
kemesumanmu, Ratu! Kalau kemarahanku tak
terbendung lagi, kau akan pulang tanpa raga."
Sang Ratu makin sunggingkan senyum jalang. "Pria
yang ketus adalah pria yang sangat menggairahkan
bagiku. Semakin kau menjauh semakin aku
memburumu, Anak Ganteng!"
"Semakin kau memburuku berarti semakin kau
mendekati ajalmu, Perempuan Cantik!"
"Ahaa... kau pun memujiku rupanya"!" Ratu Sangkar Mesum semakin ceria. Tawanya
lepas berderai dengan
suara sedikit serak yang memancarkan getaran daya
pikat bagi lawan jenisnya. Sementara itu, Suto Sinting melangkah pelan-pelan
mengelilingi sang Ratu.
"Dekatlah kemari, Sayang! Dekaplah aku selagi si tua Pakar Pantun itu sekarat!
Dekatlah, Sayang...," sambil kedua tangan dijulurkan ke depan dan melambailambaikan penuh goda.
"Aku tak bisa tergoda oleh rayuanmu, Ratu! Karena aku sudah mempunyai calon
istri yang amat kucintai dan kujaga kesetiaan cintaku ini."
"O, kau sudah punya calon istri" Siapa calon istrimu itu"!"
"Dyah Sariningrum; Gusti Mahkota Sejati, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di
Pulau Serindu!"
Wajah sang Ratu terperanjat, keceriaannya lenyap
seketika. Tangan yang dijulurkan ke depan segera turun dan menggenggam kuatkuat. Matanya memandang
dengan menyipit memancarkan permusuhan dan
kebencian. "Rupanya kau kekasih si keparat itu"!" geram sang Ratu.
Pendekar Mabuk bagai dibakar darahnya mendengar
kekasihnya dikatakan sebagai 'si keparat' oleh Ratu
Sangkar Mesum. Kemarahan pun segera timbul di hati
Suto Sinting, sikap memandangnya menjadi kian
bermusuhan. "Apa maksudmu berkata begitu, Perempuan Liar"!"
sentak Suto Sinting dengan wajah menegang. Rupanya
ia paling tersinggung jika Dyah Sariningrum dihina oleh seseorang.
"Mahkota Sejati adalah orang yang akan
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuhancurkan, karena para pengawalnya telah membuat
dua adikku tewas dalam penyerbuan ke Pulau Serindu.
Perempuanmu itu harus bertanggung jawab dan
menebusnya dengan nyawa! Tapi ada baiknya jika
sebelum itu kukirimkan dulu jenazah kekasihnya yang
ada di sini!"
Gigi sang Pendekar Mabuk mulai menggeletak.
Napas yang keluar dari hidungnya menyembur deras,
membuat tanah di depannya tersibak dan menjadi
cekung sedikit demi sedikit. Napas itu adalah Napas
Tuak Setan yang keluar dengan sendirinya jika hatinya diliputi kemarahan besar.
* * * 5 PEREMPUAN berkuku runcing itu mulai membuka
jurus dengan gerakan merentang ke belakang, kedua
tangannya terangkat dalam keadaan siap mencakar. Suto Sinting sendiri mulai
siapkan diri melawan musuhnya
yang tak menimbulkan kesan indah sama sekali seperti tadi.
Namun baru saja mereka ingin mengawali
pertarungan, tiba-tiba sekelebat bayangan menerjang
dari arah belakang Ratu Sangkar Mesum. Gerakan yang
begitu cepat itu membuat sang Ratu tak mampu berkelit atau menangkis balik,
sehingga tubuhnya pun terpental jatuh berguling-gulingan setelah terlebih dahulu
terpelanting ke samping. Sesosok bayangan itu kini
berdiri dengan tegak dan tegar. Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi sebentar dan
bergumam lirih kepada
bayangan yang menerjang sang Ratu itu. "Rara
Santika...?"
"Mundur, biar aku yang menghajar si jahanam itu!"
ujar Rara Santika dengan nada berang.
"Ini urusan pribadiku, Rara!"
"Aku pun punya urusan pribadi dengannya. Akan
kuselesaikan dulu urusanku, setelah itu baru kau yang maju menyelesaikan urusan
pribadimu dengannya!"
Dengan agak dongkol Pendekar Mabuk pun mundur
menjauh sambil membatin, "Akan kulihat sampai di mana kehebatanmu, Rara. Kalau
kau sudah kepepet,
baru aku turun tangan."
Rara Santika tampak geram sekali kepada Ratu
Sangkar Mesum. Dihampirinya perempuan berjubah
hijau tipis yang kala itu baru saja bangkit dari jatuhnya.
Mata si perempuan jalang tampak terkesiap pandangi
kehadiran Rara Santika. Ia pun menggeletukkan gigi dan menggeram lirih dengan
kedua tangan menggenggam
kuat-kuat. "Masih ingat diriku, Sangkar Mesum"!" seru Rara Santika menyentak.
"Mau apa kau mencampuri urusanku, Perempuan
Laknat"!" Ratu Sangkar Mesum ganti menyentak dengan berani.
"Kau boleh berurusan dengan Suto Sinting itu," Rara Santika menuding ke
belakang, menunjuk Pendekar
Mabuk. ".... Tapi lebih dulu kau harus selesaikan urusan lamamu denganku, Iblis
Betina!" Ratu Sangkar Mesum diam membisu dengan napas
mulai memburu. Rara Santika melangkah ke samping
dengan mata tajam memandang tak berkedip.
"Tentunya kau masih ingat dengan Pramudya Wiseta, pemuda dari Lembah Damar yang
kau jadikan budak
nafsumu dan akhirnya kau bunuh begitu saja itu!"
"Oh, jadi kau masih teringat dengan kekasihmu yang malang itu"! Hmmm...! Dia
memang layak untuk mati,
karena dia tak mau lagi melayaniku dan itu merupakan penghinaan bagiku. Hukuman
mati adalah hukuman
yang layak diterima bagi siapa saja yang berani menolak keinginanku!"
"Sekarang aku menuntut balas atas kematian
tunangganku itu! Kesempatan ini tak akan kusia-siakan karena sudah cukup lama
kutunggu-tunggu datangnya!"
seru Rara Santika semakin garang.
"Coba dulu hadapi jurus kecilku ini, Santika!" Kedua tangan Ratu Sangkar Mesum
terangkat ke atas.
Wuuuss...! Dua sinar putih terang menyilaukan membias
lebar ke arah Rara Santika. Namun dengan lincahnya
tubuh Rara Santika segera melenting di udara hindari sinar terang yang
menyilaukan itu.
Zuuub...! Dua bongkah batu yang terkena sinar terang itu
lenyap seketika tanpa bekas sedikit pun. Sinar itu pun padam seketika. Bluub...!
Tapi tubuh Rara Santika yang masih melayang di udara itu segera lepaskan pukulan
jarak jauh dari sana. Dua jarinya dikeraskan dan
disentakkan ke depan. Claaap...!
Sinar merah berbentuk anak panah melesat ke arah
Ratu Sangkar Mesum. Gerakan sinar yang amat cepat itu membuat Ratu Sangkar Mesum
tak punya kesempatan
untuk menghindar. Maka ia menangkis sinar itu dengan mengadu kekuatan tenaga
dalamnya yang tadi
dinamakan jurus 'Pedang Biru' dari ujung telapak tangan yang disodokkan ke
depan. Slaaap...! Blegaaar...! Kedua sinar yang bertabrakan itu menimbulkan
ledakan dahsyat. Tubuh mereka sama-sama terpental ke belakang. Tapi keduanya
mampu menjaga keseimbangan
hingga tak sampai terguling-guling.
"Kuhancurkan kepalamu, Santikaaaa...!" teriak sang Ratu. "Heeeeaaah...!"
"Hiaaat...!" Rara Santika berkelebat maju dalam satu lompatan bersalto. Ratu
Sangkar Mesum juga berkelebat maju dalam satu lompatan bersalto.
Mereka berhadapan dalam jarak dekat selama di
udara. Saat itulah kedua tangan mereka saling
menghantam dengan kecepatan tinggi. Plak, plak, plak, plak, duaaar...!
Sekelebat sinar merah berasap memercik dari
benturan telapak tangan mereka. Keduanya sama-sama
terdorong mundur dan mendaratkan kaki dengan sigap.
Jleg, jleg...! Saking terkesimanya menyaksikan pertarungan Rara
Santika dan Ratu Sangkar Mesum, Suto jadi lupa dengan keadaan Resi Pakar Pantun
yang terbaring pingsan, ia terus memandang pertarungan itu dengan hati cemas.
Ratu Sangkar Mesum segera mengerahkan tenaganya
dengan gerakan tangan membentang lebar dan tubuh
merendah, kaki kirinya ditarik ke belakang sedikit.
Gerakan tangan itu lama-lama membuat kedua telapak
tangannya menyala bagaikan besi membara. Asap
mengepul tipis dari kedua telapak tangan yang berwarna merah kekuning-kuningan
itu. Dari ujung-ujung kuku
memercik sinar biru berkerilap-kerilap, bagaikan anak petir yang saling
berlompatan. Trat, tat, tat, traat, taar, tar, trat, tat...! Rara Santika segera mencabut
kipas gadingnya yang sejak tadi
tertutup jubah merah jambu itu. Dengan satu sentakan kaki merendah dan tangan
kiri ke depan membentuk
cakar, kipas itu disentakkan ke samping dan membuka
seketika. Braab...!
Kemudian kipas itu dimainkan meliuk ke sana-sini
sambil langkahnya makin mendekati lawan. Seketika itu juga, Ratu Sangkar Mesum
segera menepukkan kedua
tangannya di depan dada dalam keadaan lengan lurus.
Plaak...! Claaap...!
Seberkas sinar biru kemerah-merahan melesat dan
menghantam Rara Santika. Namun kipas Rara Santika
segera menghadang di depan dada dan menangkis sinar
tersebut. Drrrbb....!
Sinar itu padam tanpa ledakan apa pun. Hanya
meninggalkan kepulan asap yang membubung tinggi,
seolah-olah kipas itu terbakar. Tapi sebenarnya kipas itu masih utuh tanpa
hangus sedikit pun.
"Jahanam busuk kau, heeeeaaah...!!" Ratu Sangkar Mesum semakin murka, ia
menyerang maju dengan
kedua telapak tangan masih membara dan dapat
menghanguskan apa saja. Agaknya Rara Santika pun tak merasa gentar sama sekali,
sehingga ia menyongsong
gerakan lawan dengan satu lompatan cepat dan kipas
ditakupkan. Zrrrb...! Wweeess...!
Tar, tar, tar...! Letusan terdengar ketika telapak
tangan Ratu Sangkar Mesum ditangkis dengan kipas
gading. Tubuh Rara Santika bergerak cepat mengitari
lawan. Gerakan cepatnya nyaris tak terlihat sekalipun dari jarak jauh.
Bret, bret, bret, bret, bret...!
Craas...! "Aaaahg...!!" terdengar suara pekik tertahan dari Ratu Sangkar Mesum.
Weees...! Rara Santika menarik diri, menjauhkan
jarak dengan lawannya. Maka tampaklah keadaan Ratu
Sangkar Mesum yang cukup menyedihkan. Jubah
hijaunya tercabik-cabik tak layak lagi dipakai sebagai penutup tubuhnya yang
ramping. Punggung mulus itu
kini koyak berdarah, lukanya dari tengkuk sampai ke
pinggang belakang. Luka itu mengepulkan asap putih
samar-samar menandakan adanya racun berbahaya
dalam luka tersebut. Kipas itu ternyata mempunyai
ketajaman melebihi pedang dan mempunyai racun yang
amat berbahaya.
"Uuuuhg...!!" Ratu Sangkar Mesum mengerang dengan tubuh menggeliat dan
terhuyung-huyung.
Wajahnya tampak pucat, bola matanya keruh.
Ratu Sangkar Mesum jatuh berlutut sambil menahan
sakit. Rara Santika bergegas mengakhiri riwayat hidup perempuan itu. Tapi Suto
Sinting segera berseru,
"Cukup, Rara...!"
Langkahnya terhenti dengan napas tertahan di dada.
Rara Santika palingkan pandang ke arah Suto Sinting
dan berkata dalam geram.
"Ia harus menebus kematian mantan kekasihku
dengan nyawanya!"
"Ia akan mati sendiri karena luka beracun itu! Tak perlu kau buang-buang tenaga
lagi." Napas pun akhirnya dihempaskan lepas-lepas oleh
Rara Santika. Niatnya untuk memenggal leher Ratu
Sangkar Mesum dengan kipas gading dibatalkan. Tetapi kejap berikutnya Ratu
Sangkar Mesum memasukkan dua
jarinya ke mulut dan meniupnya keras-keras.
"Suiiiiittt...!"
Suara suitan panjang terdengar membuat Suto Sinting
dan Rara Santika saling berpandangan. Pendekar Mabuk segera dapat mengerti
maksud suitan panjang itu.
"Ia memanggil seseorang!"
Baru saja Rara Santika ingin bicara, tiba-tiba dari
balik semak-semak muncul lima sosok tubuh dalam
keadaan mengerikan. Lima sosok tubuh itu berbelatung dan berlendir busuk. Mereka
adalah lima sosok mayat yang rupanya sudah disembunyikan sejak tadi oleh Ratu
Sangkar Mesum sebelum melakukan pertarungan
dengan Resi Pakar Pantun.
"Pantas sejak tadi aku mencium bau busuk, rupanya dari mayat-mayat itu?" pikir
Suto Sinting, demikian pula yang ada dalam batin Rara Santika. Lima sosok mayat
yang berwajah mengerikan serta dalam bentuk
menjijikkan itu mulai mengurung Rara Santika yang
kala itu berdekatan dengan Pendekar Mabuk. Sosok
berlumur tanah basah dan berbelatung itu mempunyai
bola mata putih rata tanpa ada manik hitamnya. Mereka menyeringai dan
mengeluarkan suara serak yang
mengerikan. Wuuuut...! Tubuh Ratu Sangkar Mesum melesat
meninggalkan tempat itu setelah berseru dengan suara tertahan,
"Terimalah pembalasanku, Santika...!" Pendekar Mabuk dan Rara Santika tidak
hiraukan pelarian Ratu Sangkar Mesum yang membawa luka parahnya itu.
Perhatian mereka tertuju pada lima sosok mayat
berbelatung menjijikkan dengan kuku-kuku hitam
meruncing keras. Mereka mendekat dengan langkah
gontai dari berbagai arah.
"Agaknya Ratu Sangkar Mesum membangkitkan
mayat-mayat orang yang semasa hidupnya mempunyai
ilmu cukup tinggi," bisik Suto Sinting kepada Rara Santika. Hal itu dikatakan
oleh Suto Sinting melihat mayat-mayat itu lakukan gerakan pembuka jurus tanpa
limbung dan gontai sedikit pun.
"Krrraaakkkk...!!" salah satu mayat menjerit dengan suara seraknya, karena di
bagian leher sudah bolong
serta berbelatung menjijikkan. Mayat itu melompat
dengan cepat menerjang Suto Sinting. Dengan cepat
Suto Sinting pun segera mengayunkan bumbung tuaknya
ke depan. Wuuung...! Prrrok...!
Kepala mayat itu pecah bagai dihantam dengan palu
besi. Sosok mayat yang kepalanya terhantam bambu
bumbung itu akhirnya menggelepar-gelepar di tanah
dengan keluarkan suara derak dari tenggorokannya.
Suto Sinting memberi isyarat dengan gerakan tangan
sambil berseru, "Mundur, Rara...!"
Tetapi perempuan itu justru diam di tempat
menghadapi serbuan empat mayat yang masih bergerak
maju. Dan serta-merta ia membentangkan kipasnya.
Brrrab...! Kipas itu tiba-tiba menyala merah bagaikan membara. Kemudian Rara
Santika melemparkan kipas
itu ke arah mayat yang datang dari arah kanannya.
Weeess...! Zuuuubb...!
Kipas menyala merah terbang melesat dan menerjang
leher mayat. Craas...! Leher itu terpotong seketika, kepala mayat jatuh
menggelinding. Kipas itu membalik
arah dengan gerakan melingkar. Keadaannya yang masih terbuka dan membara itu
ternyata menerjang kembali
sebatang leher mayat lain dari belakang.
Craaas...! Crras...! Craas...! Pendekar Mabuk sempat tertegun bengong melihat
gerakan kipas itu yang begitu cepat dan mampu memenggal leher keempat mayat
dalam waktu singkat. Ketika kipas selesai memenggal
leher mayat terakhir, gerakannya memutar kembali dan melesat ke arah Rara
Santika. Tangan perempuan berjari lentik itu segera menyambarnya. Taab...! Kini
kipas gading sudah berada di tangan Rara Santika kembali.
Sementara itu, lima mayat dalam keadaan tumbang tak
berkutik lagi. Satu mayat kepalanya hancur, empat
lainnya buntung tanpa kepala lagi. Bau busuk menyebar ke mana-mana dan membuat
perut mual. Pendekar Mabuk segera meneguk tuaknya, lalu rasa
mual pun hilang dan bau busuk pun berkurang. Rara
Santika ikut-ikutan menenggak tuak- setelah diberi tahu khasiatnya untuk
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangkal bau busuk dan rasa mual.
"Bagaimana dengan si kakek tua itu?" tanya Rara Santika sambil menunjuk kepada
Reai Pakar Pantun
yang masih belum siuman itu.
Pendekar Mabuk segera memeriksanya, ia menjadi
tegang setelah mengetahui denyut nadi Resi Pakar
Pantun sangat lemah.
"Bantu aku meminumkan tuak ini ke dalam
mulutnya! Terlambat sedikit lagi ia akan tewas tak
tertolong lagi!" ujar Suto Sinting sambil berusaha membuka mulut Resi Pakar
Pantun dengan paksa. Rara
Santika menyelipkan kipasnya ke pinggang kanan,
kemudian menuangkan tuak pelan-pelan ke mulut Resi
Pakar Pantun. "Jangan keras-keras membukakan mulutnya, nanti
robek tepiannya!" ujar Rara Santika, namun Pendekar Mabuk tak hiraukan himbauan
itu. Ia berusaha
mengguncang-guncang kepala sang Resi, menyentaknyentakkan agar tuak dapat terminum masuk ke dalam
tenggorokan sang Resi.
"Sekali lagi! Lakukan sekali lagi, Rara!" ujar Suto Sinting sambil membuka mulut
sang Resi seperti
membelah durian. Rara Santika pun menuangkan tuak
itu pelan-pelan hingga mulut sang Resi terisi tuak.
"Krrraaaakkk...!"
Tiba-tiba terdengar suara serak mengerikan dari balik pohon tak jauh dari mereka
berada. Pendekar Mabuk dan Rara Santika kaget dan saling pandang sejenak,
kemudian keduanya sama-sama menatap ke arah
datangnya suara tadi.
"Ohh... celaka!" gumam Suto Sinting dengan tegang.
Dari balik semak belakang pohon muncul sesosok
mayat yang berlendir busuk dan berbelatung seluruhnya.
Separo wajahnya telah menjadi tulang dikerumuni
belatung menjijikkan. Bagian dadanya telah bolong dan berisi belatung berjubaljubal. Pendekar Mabuk bergidik merinding, demikian pula Rara Santika.
Mayat itu bertangan satu. Mungkin semasa hidupnya
tangan yang satunya lagi dibuntungi oleh lawan. Dan
melihat keadaan mayat bertangan satu dengan rambut
putih berlumur tanah liat, Rara Santika pun mulai
mengenali mayat yang bergerak perlahan-lahan keluar
dari balik pohon sedikit terhuyung-huyung.
"Eyang...!" sapa Rara Santika yang berpisah jarak dengan Suto Sinting. Mata
mayat yang putih dengan
rongga mata dikerumuni belatung itu bergerak
memandang ke arah Rara Santika. Wajah perempuan itu
memancarkan kedukaan yang amat dalam.
"Rara, kau mengenal mayat itu"!"
"Eyang Resi Dirgantara..."!"
"Kkkkkrraakkk...!" mayat itu mendekati Rara Santika. Tangannya terangkat dengan
kuku hitam memanjang. Suto Sinting sempat berdebar-debar setelah tahu
mayat itu adalah mayat Resi Dirgantara.
"Berpuluh-puluh tahun dimakamkan baru sekarang
mayatnya membusuk seperti itu. Kalau bukan orang
berilmu tinggi tak mungkin mayatnya bisa seawet itu
dan cukup lama mengalami pembusukan," pikir Suto Sinting sambil melangkah mundur
jauhi mayat berbelatung itu.
Resi Pakar Pantun mulai sadar dari siumannya, ia
mengerang lirih, kemudian menggeliat, merasakan
badannya mulai ringan, ia mencoba bangkit berdiri
sambil menarik napas panjang-panjang.
"Uuufffh...! Napasku terasa lega, enteng sekali dihirupnya, dan... hah, apa
itu"!"
Resi Pakar Pantun terbelalak pandangi mayat yang
sedang mendekati pertengahan jarak antara Suto Sinting
dengan Rara Santika. Wajah sang Resi yang baru siuman itu tegang sekali.
"Maaa... mayat si Dirgantara"! Ooh.... Oooooohh...!"
Brrruk...! Resi Pakar Pantun pingsan kembali, ia
memang paling takut dengan mayat hidup yang
menjijikkan itu. Repotnya, suara jatuhnya Resi Pakar Pantun memancing perhatian
mayat Resi Dirgantara.
Mayat itu segera menggeram sambil mendekati Resi
Pakar Pantun sebagai lawan yang dikejar-kejarnya sejak kemarin itu.
"Hhgggrr...! Krrraaahhhkk...!"
Melihat mayat itu mendekati Resi Pakar Pantun, Suto
Sinting menjadi cemas dan sempat salah tingkah sendiri.
Sementara itu, Rara Santika berseru dengan keras,
"Eyang, jangan sentuh orang itu! Eyang Resi...
dengarlah seruan saya ini, Eyang!"
Langkah kaki lamban itu terhenti, mayat berpaling
memandang Rara Santika yang berwajah haru.
Perempuan itu mencoba mengajaknya bicara lagi.
"Eyang, saya Rara Santika...! Masih ingatkah pada saya, Eyang..."! Saya anak
dari Ki Panjuru Gesang yang dulu pernah Eyang ajak ke Pulau Sumbing! Saya Rara
Santika, Eyang Resi Dirgantara...!"
"Hhhhgggrrr...!" mayat itu menggeram dengan mata putihnya kian melebar. Tibatiba tangannya menyentak ke depan. Belatung berjatuhan, telapak tangan keluarkan
sinar kuning lurus menghantam Rara Santika.
Perempuan itu terkejut dan terlambat menghindar, ia
hanya memberi tangkisan dengan sebuah pukulan
bersinar merah. Claaap...! Kedua sinar itu pun beradu dalam jarak empat langkah
di depan Rara Santika.
Blegaaarr...! Dentuman membahana menggelegar
mengguncangkan bumi. Rara Santika terlempar
melayang dan jatuh terbanting tanpa keseimbangan
tubuh lagi. Brrruk...!
"Aaaahg...!
"Rara..."!" pekik Suto Sinting, lalu segera berlari ke arah Rara Santika.
"Rara, apa yang harus kita lakukan jika begini"!
Mengapa kau tak memenggal kepala mayat itu seperti
yang lain"!"
Rara Santika menjawab sambil dibantu berdiri oleh
Suto Sinting. "Aaak... aku tak tega. Ddddia... dia mayat orang yang kuhormati dan... dan...
oh, lihat! Dia ingin mencabik-cabik pak tua itu!"
"Celaka!" geram Suto Sinting dengan tegang melihat mayat Resi Dirgantara sudah
kian dekat dengan tubuh
Resi Pakar Pantun yang terkapar tak sadarkan diri.
Tangan berkuku hitam itu terangkat dan siap mencabik tubuh Resi Pakar Pantun.
Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Jari Guntur'nya, sebuah sentilan jari yang dapat mengeluarkan
tenaga dalam berkekuatan seekor kuda jantan. Teeb...!
Brrrus...! Tubuh mayat Resi Dirgantara terhantam
tenaga kuat dari sentilan tangan Suto Sinting. Sosok mayat berbelatung itu
terlempar jatuh ke semak-semak
sambil keluarkan erangan mengerikan yang cukup
panjang. "Kkkrrraaaaahhhhkkk...!!"
Pendekar Mabuk berkelebat dengan menggunakan
jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...! Weeeess...! Tubuh Resi Pakar Pantun yang
pingsan disambarnya.
"Rara Santika, tinggalkan tempat ini!" serunya, lalu ia melesat lebih dulu, dan
Rara Santika segera
menyusulnya. Mayat Resi Dirgantara bangkit dari kejatuhannya.
Mengerang panjang dengan suara menyeramkan. Dari
bola matanya yang putih keluarkan sepasang sinar merah berbentuk lingkaran
sebesar gelas. Slaap, slaap...!
Blegaaaar...! Kedua sinar menghantam pohon di depan langkah
Suto Sinting dan Rara Santika. Pohon itu tumbang
seketika dan nyaris menimpa tubuh Suto Sinting. Untung si Pendekar Mabuk mampu
bergerak lincah menghindari
pohon itu sambil tetap memanggul tubuh Resi Pakar
Pantun. Sementara itu, Rara Santika sendiri
mendapatkan tempat yang aman tak terkena robohan
pohon. "Cepat, Rara...! Mayat itu pasti akan mengejar kita!"
seru Pendekar Mabuk mencemaskan perempuan cantik
yang gerakannya masih kalah cepat dengan gerakan Suto Sinting itu.
"Hhhhgggrrr..!" suara mayat terdengar, ternyata mayat itu mampu bergerak cepat,
bagai menggunakan
sisa jurus semasa hidupnya. Wuuuss...! Mayat Resi
Dirgantara mengejar mereka, belatungnya berjatuhan ke mana-mana.
* * * 6 RESI Pakar Pantun baru saja siuman begitu mereka
berhenti di kaki bukit. Suto Sinting tersandung akar pohon hampir jatuh
tersungkur. Tubuh yang
dipanggulnya terlepas dan jatuh terbanting. Saat itulah Resi Pakar Pantun siuman
sambil mengerang kesakitan
pegangi tulang pinggangnya.
"Uuuhff...!" Resi Pakar Pantun menggeliat, ia membuka mata dan memandang
sekeliling, lalu
tersentak kaget dan segera bangkit terduduk.
"Hei, mengapa aku ada di sini"!"
"Daripada di sana, kau akan dicabik-cabik oleh mayat Resi Dirgantara," ujar Suto
Sinting. "Mayat..."!" Resi Pakar Pantun kerutkan dahi. "O, iya...! Ada mayat yang
mengejarku. Mayat si Dirgantara.
Sekarang bagaimana kabarnya mayat si Dirgantara"!"
"Sehat walafiat," jawab Suto Sinting seenaknya, lalu ia menenggak tuaknya tak
peduli Rara Santika tertawa kecil mendengar jawabannya itu.
"Hei, kalau tak salah kau putri kesayangan si Panjuru Gesang"!" sang Resi
menuding Rara Santika.
"Benar, aku putri Panjuru Gesang. Apakah kau
mengenal mendiang ayahku, Resi?"
"Ya, aku kenal betul dengan beliau. Waktu aku sering
berkunjung ke pondoknya, kau masih kecil. Paling akhir aku jumpa Panjuru Gesang,
kau masih berusia sekitar...
yah, sekitar delapan belas tahun."
"O, aku tak ingat sama sekali."
"Tentu saja, karena kau saat itu sedang kasmaran dengan Pramudya Wiseta. Kulihat
kau berduaan di
belakang pondok, sementara aku berbincang-bincang
dengan ayahmu di samping pondok."
Rara Santika sunggingkan senyum tersipu, matanya
melirik Suto Sinting sekilas, ternyata pemuda itu
memperhatikan dengan cibiran menggoda.
"Itu masa lalu yang tak perlu dikenang lagi, Resi,"
ujar Rara Santika menutupi rasa tak enak hati terhadap Pendekar Mabuk.
"Ya, ya... tapi aku menyesal sekali pada saat
pemakaman ayahmu tak bisa hadir," wajah sang Resi menampakkan raaa sesalnya.
"Semoga arwahnya
sekarang sudah berada di sisi Yang Maha Kuasa dengan damai," kenang sang Resi
dengan mata menerawang.
Mereka dicekam keheningan sejenak. Keheningan itu
menjadi buyar setelah kemunculan sesosok bayangan
hitam yang berkelebat melintasi kepala mereka.
Wuuttt...! Kemudian bayangan itu menapakkan kakinya
dalam jarak enam langkah dari Suto Sinting. Jleeeg...!
"Nini Kalong..."!" sapa Suto Sinting dengan nada heran. Nenek berjubah hitam
yang badannya kurus dan bungkuk itu melangkah pelan mendekati Suto Sinting.
Tapi Resi Pakar Pantun segera menyapa dengan wajah
ceria. "Murcaci..."! Oh, tak kusangka kita akan jumpa di sini, Murcaci"!"
Rupanya Nini Kalong mempunyai nama asli Murcaci,
dan hanya Resi Pakar Pantun yang mengenal nama itu di antara mereka bertiga.
Sang Resi segera menyambut
dengan langkah mendekat dan membentangkan
tangannya. Nini Kalong dipeluknya beberapa saat. Sang nenek meronta dan
menggerutu karena merasa malu.
"Kita sudah tua, jangan bertingkah seperti anak muda, Rangga," kata sang nenek
kepada Resi Pakar Pantun.
Pendekar Mabuk tertawa kecil berkepanjangan. Rara
Santika bertanya dalam bisikan, "Mengapa kau tampak geli sekali?"
"Ternyata nama asli Resi Pakar Pantun adalah
Rangga. Lucu sekali bagiku, nama sebagus itu dipakai oleh orang setua dia! Tak
ada pantasnya sedikit pun."
Nini Kalong perdengarkan suaranya yang sedikit
bergetar, "Secara kebetulan saja aku melihat kalian di sini dan kubelokkan arah
langkahku. Jadi jangan kau
anggap aku sengaja menemuimu, Rangga."
"Ikan teri menari ke sana-sini,
pakai kebaya jalannya amat kaku.
Sengaja ataupun tidak pertemuan kita ini,
tapi kenangan manis masa lalu mekar di ujung
hatiku." Resi Pakar Pantun berlutut satu kaki dengan kedua
tangan dibentangkan dan kepala mendongak memandang
Nini Kalong. Namun nenek berambut putih berpegangan
tongkat baru justru menyingkirkan tangan sang Resi
dengan tongkatnya. Gaya rayuan sang Resi membuat
Rara Santika dan Pendekar Mabuk terkikik geli.
"Minggir kau, aku mau bicara dengan murid si Gila Tuak itu!" lalu ia melangkah
mendekati Suto Sinting, Resi Pakar Pantun dibiarkan berlutut di tempatnya. Sang
Resi memandang dengan terbengong dan berwajah
kecewa karena rayuannya tidak dihiraukan oleh mantan kekasihnya itu.
"Jangan tanggapi rayuan orang gila itu," ujar Nini Kalong kepada Suto dan Rara
Santika. "Kami memang dulu pernah menjalin hubungan cinta, ketika aku masih
berusia dua puluh dua tahun, dia masih lebih muda
dariku. Tapi sudahlah... sekarang bukan saatnya bicara tentang masa lalu kami."
"Kudengar kau sedang lakukan tapa gantung, Nini?"
"Benar, Suto. Tapi firasatku mengatakan bahwa
muridku si Puspa Jingga menghadapi bahaya. Aku ingin mencarinya ke Bukit Batok
dan...." "Sepertinya firasatmu itu memang benar, Nini," sahut Suto Sinting. "Aku telah
berjumpa dengan muridmu; Puspa Jingga. Kala itu ia terikat di pohon karena ulah
Peri Kedung Hantu yang merebut peta dari tangannya.
Lalu kami bergegas menuju ke Bukit Batok. Hanya saja di perjalanan kami diserang
dari belakang oleh seseorang yang tak kuketahui wajahnya. Dalam keadaan setengah
pingsan aku melihat Puspa Jingga disambar oleh
bayangan yang menyerang kami itu. Sampai sekarang
aku tidak tahu di mana muridmu itu, Nini."
"Keparat si Rumisita!" geram Nini Kalong dengan
mata memancarkan permusuhan.
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi aku tak yakin apakah yang membawa lari
muridmu itu Peri Kedung Hantu atau orang lain, Nini!"
"Siapa pun orangnya, yang jelas Peri Kedung Hantu menjadi penyebab hilangnya
Puspa Jingga. Bertapaku
sampai kugagalkan hanya karena ulahnya juga! Kuhajar dia jika kutemukan di makam
si Dirgantara!"
"Dirgantara bangkit lagi!" sahut Resi Pakar Pantun dengan cepat dan tegang.
"Sumpah mati tujuh turunan, Dirgantara telah bangkit lagi, Murcaci."
Mata nenek yang usianya lebih tua dari Resi Pakar
Pantun itu memandang dengan sedikit mengecil. Dahi
tuanya yang berkeriput menjadi kian keriting karena ia berkerut heran.
"Dirgantara bangkit lagi"!" gumamnya bernada kurang percaya.
"Aku dikejar-kejarnya sejak kemarin siang. Baru saja aku siuman karena
pengejaran mayat si Dirgantara.
Kalau tak percaya tanyakan sendiri kepada kedua anak muda ini yang menyelamatkan
diriku dari kejaran mayat si Dirgantara!"
Nini Kalong segera memandang Suto Sinting dan
Rara Santika. Sebelum ia lontarkan tanya, Rara Santika lebih dulu bicara dengan
nada tega. "Benar, Nini. Mayat Eyang Resi Dirgantara bangkit lagi dan tidak mengenaliku
sama sekali, ia dibangkitkan oleh seseorang, si perempuan keparat Penguasa Pulau
Cumbu itu."
"Ratu Sangkar Mesum..."!"
"Benar, Nini. Dialah yang membangkitkan beberapa mayat untuk menyerang Resi
Pakar Pantun. Salah satu
mayat yang dibangkitkan adalah mayat Eyang Resi
Dirgantara!"
"Memang keparat si Sangkar Mesum!" geram Nini Kalong, "Berarti pusaka itu telah
diambilnyai"
"Pusaka apa maksudmu, Murcaci"!" tanya Resi Pakar Pantun.
Nini Kalong tidak menjawab, ia hanya berkata,
"Akan kuperiksa makam itu!"
"Jangan, Murcaci! Jangan ke sana, nanti mayat si Dirgantara kembali ke sana dan
bertemu denganmu, kau bisa dikunyah habis olehnya!" ujar sang Resi dengan wajah
tegang. "Aku bukan pengecut seperti kau, Rangga!"
Resi Pakar Pantun bersungut-sungut, "Tentu saja kau tidak takut, sebab wajahmu
sendiri lebih menyeramkan dari mayat si Dirgantara!"
Celoteh itu tak dihiraukan oleh Nini Kalong, sang
nenek segera berkata kepada Suto Sinting,
"Kalau kau jumpa si Puspa Jingga, dampingilah dia dan bawa pulang ke Hutan Rawa
Kotek." "Mudah-mudahan aku bisa jumpa dengannya lagi,
Nini!" Weeeess...! Tanpa basa-basi lagi, Nini Kalong
melesat pergi tinggalkan tempat itu. Ia tak pedulikan seruan Resi Pakar Pantun
yang ingin mencoba
menahannya lagi. Sang Resi sempat berlari beberapa
jauh, lalu kembali lagi dengan lemas.
"Mengapa kau tak ikut mendampingi Nini Kalong,
Resi?" tegur Suto Sinting sambil tersenyum-senyum.
Resi Pakar Pantun bersungut-sungut.
"Perempuan gila! Sudah diberi tahu ada bahaya masih nekat pergi ke sana! Kalau
dia mati aku bisa menangis."
"Cinta masa muda memang sering bikin orang tua
berubah menjadi anak-anak," ucap Rara Santika dengan pelan, tapi didengar oleh
Suto Sinting maupun Resi
Pakar Pantun. "Murcaci itu memang bandel sejak kecilnya," ujar sang Resi. "Sayang usiaku lebih
muda darinya, sehingga ia tak merasa takut dengan ancamanku, tak mau menurut
dengan nasihatku. Kusarankan agar ia kawin denganku, eeh... malah kawin sama
yang lebih tua darinya. Tak
urung suaminya cepat mati, kan"! Coba kalau dia kawin denganku, suaminya masih
awet hidup sampai
sekarang."
Rara Santika hanya bisa tertawa geli sambil
tangannya bergelayutan di pundak Suto Sinting.
Keduanya sama-sama memandangi Resi Pakar Pantun
yang duduk di atas sebuah batu di bawah pohon depan
mereka. "Rara, kita teruskan perjalanan kita menemui Nyai Serat Biru!" ujar Suto
Sinting. "Baik. Kita berangkat sekarang saja, dan bermalam di sebuah desa yang tak
seberapa jauh dari sini."
Resi Pakar Pantun berdiri dan bertanya, "Kalian mau temui Serat Biru" Mau apa
kalian temui dia?"
"Menanyakan tentang pusaka yang...," Suto Sinting
hentikan ucapannya. "Ya, ampun... mengapa kita tadi lupa tidak mendesak Nini
Kalong tentang pusaka
tersebut, Rara?"
"Aku sendiri lupa bahwa perkara peta dan pusaka itu berawal dari dirinya."
"Pusaka apa sebenarnya"!" tanya Resi Pakar Pantun.
"Murcaci tadi tak mau jelaskan pusaka yang dimaksud.
Apakah kalian tak ada yang mengerti tentang pusaka
itu"!"
"Puspa Jingga disuruh mengambil pusaka dari
makam Resi Dirgantara!" jawab Pendekar Mabuk. "Tapi gadis itu tak mau jelaskan
pusaka apa yang harus
diambilnya dari makam itu. Peta tersebut sudah telanjur direbut oleh Peri Kedung
Hantu." Resi Pakar Pantun diam termenung dengan dahi
berkerut. Beberapa kejap berikutnya terdengar suaranya bagai orang bicara pada
diri sendiri. "Dirgantara tidak mempunyai pusaka apa-apa.
Seingatku ia tak pernah ribut soal pusaka"!"
"Barangkali Nini Kalong mendapat keterangan dari seseorang yang sengaja
mengacaukan jalan pikirannya,"
kata Rara Santika. "Sebab itulah kami ingin menemui Nyai Serat Biru dan
menanyakan apakah mendiang Resi
Dirgantara mempunyai pusaka yang layak dijadikan
incaran para tokoh di rimba persilatan."
"Aku jadi penasaran," kata Resi Pakar Pantun. "Kalau begitu aku ikut menemui
Serat Biru, sekalian
beranjangsana karena sudah lama tak pernah jumpa dia."
"Tapi tunggu dulu...," sergah Suto Sinting. "Mungkin
yang dimaksud Nini Kalong memang bukan pusaka
milik mendiang Resi Dirgantara. Barangkali ada
seseorang menyimpan pusaka di dalam makamnya Resi
Dirgantara. Dan hanya Nini Kalong yang mengetahui
letak penyimpanan pusaka tersebut. Lalu, bekas
kekasihmu itu bernafsu sekali untuk memiliki pusaka itu, Resi!"
Mereka saling bungkam merenungi kemungkinan
tersebut. Akhirnya Resi Pakar Pantun berkata,
"Kalau begitu kita ikuti saja kepergian Murcaci, dan kita lihat pusaka apa yang
dimaksud sehingga Peri
Kedung Hantu ikut-ikutan ingin memilikinya!"
"Aku setuju," sela Rara Santika. "Tapi bagaimana dengan mayat Resi Dirgantara
itu"!"
"Mayat itu sudah keluar dari makamnya, justru
keadaan di makam itu sudah aman!" kata Suto Sinting,
"Ia pasti akan mengembara mencari jalan kematian yang kedua."
Rasa takut Resi Pakar Pantun menjadi susut
mendengar penjelasan Pendekar Mabuk. Maka ketika
mereka bergegas menuju ke Bukit Batok, Resi Pakar
Pantun tak punya keraguan lagi. Dengan menggunakan
ilmu peringan tubuh masing-masing mereka bergerak
cepat menuju Bukit Batok. Blegaaar...!
Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara ledakan
yang datang dari balik bukit cadas sebelah timur. Suto Sinting hentikan langkah
lebih dulu, sehingga yang
lainnya ikut-ikutan berhenti.
"Ada pertarungan di sebelah timur sana!" ujarnya
sedikit tegang.
"Tanah yang kita pijak sampai bergetar. Berarti ada pertarungan menggunakan
tenaga dalam tinggi di sana."
"Tapi itu bukan urusan kita," ujar Resi Pakar Pantun.
"Aku penasaran ingin melihat siapa yang bertarung di sana!" kata Suto Sinting
yang tak bisa diam jika mendengar suara pertarungan. Tanpa mendapat
persetujuan dari yang lain ia melesat lebih dulu menuju ke arah timur. Resi
Pakar Pantun dan Rara Santika
akhirnya mengikuti langkah Pendekar Mabuk.
Dari balik kerimbunan semak, Suto Sinting mengintai
pertarungan itu. Ia terkejut melihat sosok perempuan cantik berusia muda
bertarung melawan dua lelaki
berwajah angker. Kedua lelaki itu sudah dikenal Suto Sinting saat mereka melawan
si Gadis Dungu; Indayani.
Kedua orang yang sama-sama berbadan kekar dan
mempunyai golok besar itu tak lain adalah murid
Perguruan Serikat Jagal yang bernama Togayo dan
Gayong. Tetapi perempuan cantik berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu belum pernah dilihat oleh Suto
Sinting. Gadis itu mengenakan rompi panjang warna kuning
emas, dengan celana merah dililit kain putih. Pinjung penutup dadanya juga
berwarna merah dari bahan satin seperti celananya, ia menyandang pedang di
punggung bergagang perak. Rambutnya dikuncir satu agak tinggi, sisa rambut dalam
kunciran-nya itu berjuntai seperti ekor kuda. Gadis itu mempunyai dada yang
sekal walau tak
terlalu montok seperti dadanya Rara Santika. Kulitnya
berwarna kuning mulus.
Ketika Resi Pakar Pantun dan Rara Santika
mendekati Suto Sinting dan ikut mengintai ke arah
pertarungan, Suto Sinting sempatkan diri bertanya dalam bisikan kepada Rara
Santika. "Kau kenal dengan gadis itu"!"
"Dia murid Nini Kalong juga, kakak perguruan Puspa Jingga. Dia yang bernama
Syair Kusumi."
"Oooo...," gumam Suto Sinting sambil manggut-manggut. "Rupanya dia itulah yang
dimaksud murid nomor satu Nini Kalong."
"Memang dia murid tertua dari keempat murid Nini Kalong."
Resi Pakar Pantun menyahut, "Kedua lelaki itu, kalau tak salah, murid si Dupa
Dewa!" "Benar, mereka memang murid Perguruan Serikat
Jagal. Tetapi apa masalahnya sehingga mereka bentrok dengan Syair Kusumi"
Padahal pihak Perguruan Serikat Jagal selama ini tak pernah bentrok dengan
murid-murid dari Hutan Rawa Kotek," kata Rara Santika. Pendekar Mabuk segera
memberi isyarat agar mereka jangan
bicara, karena tampaknya pertarungan dihentikan
sebentar dan mereka mau saling bicara.
"Jangan keras kepala, Syair Kusumi. Gurumu benar-benar telah berpesan kepada
kami agar pusaka itu
diserahkan kepada kami demi keamanannya."
"Matahari pun tahu, aku tidak pernah bawa pusaka itu. Tapi di punggungku ada
sebuah pedang, jika kalian rindu kematian, aku akan cabut pedang untuk bikin
nyawa melayang," kata Syair Kusumi dengan nada
bicara yang mendayu-dayu mirip orang bersyair.
Togayo memandang Gayong dan menggeram
jengkel. "Perlu diberi pelajaran sekali lagi gadis itu!"
"Terlalu buang waktu, bunuh saja kalau memang tak mau diajak damai!"
Togayo berkata kepada Syair Kusumi, "Jika kau
masih bersikeras menahan pusaka itu, maka jangan
salahkan kami jika kami berlaku lebih kasar lagi demi memenuhi pesan dari
gurumu, Nini Kalong!"
"Pasir di pantai tak akan lebih kasar dari sikap kalian.
Mega Putih di langit menjadi saksi, tak pernah ada
pusaka di tanganku ini."
"Kami mengikutimu terus, Syair Kusumi. Itu pun atas suruhan gurumu. Kami tahu
kau telah datang ke makam
Resi Dirgantara. Makam itu telah rusak, dan kau telah membongkarnya untuk
mengambil pusaka tersebut"
"Angin berhembus ke mana pun ia mau, kalian pun boleh bicara apa pun kalian mau.
Tapi ombak di pantai tak akan diam disapu badai, aku pun tak akan diam jika
kalian ingin saling bantai!"
"Menyebalkan sekali! Heeeeaaat...!" Gayong yang bermata lebar itu segera
melompat lakukan terjangan ke arah Syair Kusumi. Gadis itu berkelebat ke samping
dengan gerakan cepat dan sukar dilihat mata lawan.
Wuuut...! Gayong menyerang tempat kosong. Wajahnya
menjadi beringas karena merasa dipermainkan oleh
gadis manis itu.
"Togayo... serang dia dengan jurus 'Petir Menangis'
andalan kita!" seru Gayong sambil mencabut golok lebarnya. Togayo pun mencabut
golok dengan suara
menggeram penuh nafsu membunuh.
"Celaka! Mereka mau pergunakan jurus 'Petir
Menangis' seperti saat melawan Gadis Dungu! Tutup
telinga kalian, lekas...! Tutup telinga rapat-rapat!"
perintah Suto Sinting kepada Resi Pakar Pantun dan
Rara Santika. Mereka segera menutup telinga rapat-rapat setelah Suto Sinting
menjelaskan secara singkat
bahayanya jurus 'Petir Menangis' itu.
Syair Kusumi tak merasa gentar berhadapan dengan
mereka. Pedangnya pun segera dicabut dari punggung.
Seeet...! Pedang itu segera dikibas-kibaskan sekeliling tubuhnya sambil
melangkah pelan mencari kelengahan
lawan. "Heaaaet...!" Togayo lakukan lompatan menyerang dengan golok lebarnya. Rupanya
ia ingin mencoba
dengan jurus golok yang mampu berkelebat dengan
cepat itu. Wut, wut, trrang, traaang, trang...! Ternyata Syair
Kusumi mampu menangkis kecepatan golok Togayo,
bahkan gerakan pedang Syair Kusumi lebih cepat dari
gerakan golok Togayo. Lelaki itu tersentak mundur
ketika tangan kiri Syair Kusumi keluarkan pukulan
bertenaga dalam tanpa sinar. Wuuuk...! Beeehg...!
"Uuhg...!" Togayo terjengkang ke belakang, tepat di depan kaki temannya. Hal itu
membuat Gayong menjadi
semakin berang.
"Laknat kau, Syair Kusumii!" geram Gayong dengan kumis lebatnya naik turun
sendiri. Syair Kusumi tetap menggerakkan pedangnya di
sekeliling tubuh. Gerakan pedang itu menimbulkan
bunyi mendengung berkepanjangan, ia bergerak
menyamping selangkah demi selangkah dengan mata
tertuju pada kedua lawannya.
"'Petir Menangis'! Heeeeaaah...!" seru Togayo.
"Heeeeaaah...!" seru Gayong dan mereka saling mengadu golok dan digesekkan
hingga timbul bunyi
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdesing yang menggema panjang.
Srrraaangngngngng...!
Desing golok itu melengking tinggi, membuat pohonpohon bergetar, daun-daun rontok bagaikan dipangkas
habis oleh ketajaman desingan itu. Bahkan dahan-dahan pohon berukuran sedang ada
yang tumbang karena
terpotong bagai dibabat dengan senjata yang amat tajam.
Batu-batu di sekitar tempat itu remuk dengan sendirinya.
Desingan itu dapat memotong urat nadi dan jantung bagi siapa pun yang
mendengarnya, kecuali si pemilik jurus
'Petir Menangis' itu.
Seandainya Suto Sinting tak menyuruh Resi Pakar
Pantun dan Rara Santika menutup telinga, maka mereka pun dapat mengalami luka
dalam, jantung, urat nadi dan perangkat bagian dalam tubuhnya terpotong oleh
suara desingan itu.
Tetapi Syair Kusumi tetap berdiri tanpa menutup
telinganya. Pedangnya makin bergerak cepat hingga
timbulkan suara dengung yang lebih keras lagi. Suara
dengung itu yang membuat telinganya tak tembus suara desingan dua golok yang
digesekkan di udara tadi.
Bahkan sekarang gerakan pedang bertambah cepat lagi, sehingga suara dengungnya
semakin tinggi.
Wuuung, wuuung, wuuung, wuuung, wuuung... i
Gerakan pedang bertambah lebih cepat lagi, tubuh
Syair Kusumi bagai terbungkus oleh logam mengkilat yang tak lain adalah
kerapatan gerak mata pedangnya.
Dengung yang timbul pun bertambah melengking tinggi.
Nguuuuung...! Srrraaaangggg...!
Togayo dan Gayong melepaskan jurus 'Petir
Menangis' lagi untuk imbangi suara gaung. Tetapi kali ini desing dari jurus
'Petir Menangis' tak mampu
memotong dahan pohon. Bahkan selembar daun pun tak
ada yang terpotong. Rupanya desing itu kalah oleh suara dengung pedang Syair
Kusumi. Kedua lelaki berwajah angker itu bergetar tubuhnya,
telinganya tak kuat menahan suara dengung yang makin mendekat itu. Mereka
mengimbangi dengan suara
teriakan liarnya.
"Heeeeaaaahhh...!!"
Namun suara teriakan itu tidak membuat mereka
mampu mengusir rasa sakit yang menusuk telinga.
Dengung pedang Syair Kusumi akhirnya membuat tubuh
mereka terpental ke belakang. Wuuut...! Braaass...!
Darah segar mengalir keluar dari telinga mereka.
Dengung yang masih diperdengarkan oleh Syair Kusumi
itu membuat mereka kelojotan sambil meraung-raung.
Darah semakin membanjir dari telinga mereka. Bahkan
sekarang hidung mereka pun mengucurkan darah segar.
Tetapi bagi orang lain yang mendengarnya, tak
mengalami hal seperti yang dialami Togayo dan
Gayong. "Uaaaahhhkk...!!" Togayo memekik sekeras-kerasnya dengan tubuh terkapar dan
tangan memegangi telinga.
Crraaat...! Sungguh mengerikan kejadian berikutnya. Darah
menyembur keluar dari seluruh lubang, termasuk dari mulut, hidung, telinga, dan
mata mereka pun
menyemburkan darah segar. Keduanya akhirnya
kelojotan beberapa saat, kemudian diam tak bergerak
lagi karena tak punya nyawa.
"Gila! Jurus pedang apa itu suaranya bisa membuat kedua lawan menjadi tumbang
tanpa nyawa begitu"!"
gumam Resi Pakar Pantun. "Tapi kita yang mendengar dengung pedang itu tidak apaapa, ya?" "Syair Kusumi menyalurkan tenaga dalamnya lewat dengung pedangnya, dan tenaga
dalam itu diarahkan
kepada kedua lawannya, bukan kepada kita. Kekuatan
kendali batin terhadap saluran tenaga dalam membuat ia dapat membunuh siapasiapa yang ingin diserangnya,"
tutur Rara Santika, yang mengaku teman baik Syair
Kusumi. "Pantas kalau dia dikatakan sebagai murid pertama dari Nini Kalong," gumam Suto
Sinting pelan. Syair Kusumi hentikan permainan pedangnya,
pandangi mayat kedua lawannya. Napasnya ditarik
panjang-panjang bagai menikmati kelegaan. Tetapi tiba-tiba ia berkelebat
berbalik badan sambil sentakan tangan kirinya. Rupanya ia merasakan ada hawa
panas datang mendekati punggungnya.
Ternyata sekelebat sinar hijau hendak menghantam
punggungnya. Sinar itu beradu dengan sinar merah yang keluar dari telapak tangan
Syair Kusumi. Claap...!
Blegaaar...! Syair Kusumi terjungkal ke belakang dan bergulingguling. Pedangnya sempat terlepas dari tangan. Namun segera disambarnya dalam
satu gerakan berguling ke
samping. Kejap berikut, sesosok bayangan melesat dari balik pohon. Wuuut...!
Jleeg...! "Peri Kedung Hantu..."!" gumam Suto Sinting bernada tegang.
* * * 7 KEMUNCULAN Peri Kedung Hantu terang-terangan
memihak Perguruan Serikat Jagal. Kematian Togayo dan Gayong dijadikan alasan
untuk menyerang Syair
Kusumi. Pemihakan itu wajar dilakukan Peri Kedung
Hantu karena ia adalah keponakan dari Dupa Dewa,
ketua dan guru dari Perguruan Serikat Jagal.
"Kematian mereka harus kau tebus dengan nyawamu, Syair Kusumi!" ujar perempuan
cantik yang bernama asli Rumisita itu. Ia bermata coklat dengan bulu mata
lentik indah. Rambutnya disanggul sebagian. Lehernya tampak jenjang dalam
keadaan kulit berwarna kuning
langsat mulus. Pinjung dan celananya berwarna ungu,
dilapisi jubah tanpa lengan warna kuning tua.
Syair Kusumi tampak tidak merasa gentar berhadapan
dengan Peri Kedung Hantu. Hempasan gelombang
ledakan yang membuatnya terjungkir balik tadi tidak mencederai tubuhnya sedikit
pun, hanya merasakan
sesak napas beberapa saat. Kini napasnya sudah terasa ringan kembali, dan ia
memandang Peri Kedung Hantu
dengan sikap kalem sambil masih menggenggam
pedangnya. "Tak ada hujan tak ada badai, kau datang
(Hal 103-104 tidak ada)
keluarkan darah kental dari mulutnya.
"Serahkan pusaka itu atau kau akan mati dalam
beberapa kejap lagi"!" ancam Peri Kedung Hantu
dengan lagak angkuhnya. "Kau tak perlu berbohong padaku, segala gerakanmu sempat
dipergoki oleh para
muridku yang menjadi mata-mata di sana-sini. Salah
satu muridku melihat kau menghantam Puspa Jingga dan Pendekar Mabuk, lalu
membawa lari Puspa Jingga untuk disembunyikan di lorong Bukit Randa. Kuduga kau
ingin menguasai pusaka itu sendiri dan tak akan kau serahkan pada siapa pun,
bahkan kepada gurumu pun
pusaka itu tak akan kau berikan!"
Pendekar Mabuk terkejut hingga matanya terbelalak.
"Oh, jadi dia yang menyerangku dari belakang dan
membawa lari Puspa Jingga"!"
Rara Santika berkata dalam bisik, "Tak mungkin Syair Kusumi punya maksud seperti
itu. Aku tahu betul sifatnya, dia bukan orang berwatak pengkhianat. Pasti dia
punya maksud tertentu dari tindakannya itu."
"Kita lihat saja kebenarannya," sahut Resi Pakar Pantun. Sambungnya lagi,
"Ikan teri di dalam tomat,
hidung mancung enak diremat.
Orang benar akan selamat,
orang salah akan terjerat."
Suto Sinting menyenggol sang Resi dengan sikunya
sambil menggerutu, "Ah, kau ini dalam keadaan
sembunyi masih saja sempat berpantun!"
"Sekadar melemaskan lidah," jawab sang Resi lirih, seakan terlontar seenaknya
saja. "Hiaaah...!" tiba-tiba tubuh yang disangka telah tak berdaya itu menyentak ke
atas dengan menggunakan
gagang pedang sebagai tempat tumpuan. Syair Kusumi
melambung tinggi dan berjungkir balik sambil
menebaskan pedangnya ke arah kepala Peri Kedung
Hantu. Gerakan mendadak itu membuat Rumisita terkejut,
lalu serta merta tangannya menghentak ke atas dalam keadaan kaki merendah hampir
berlutut. Wuuut...!
Claaap...! "Aaahg...!" Syair Kusumi tersentak melambung lebih tinggi dan jatuh tanpa daya
lagi. Brruk...! Ia mengerang dan menggelinjang terkena sinar kuning dari tangan
Peri Kedung Hantu tadi.
"Beraninya kau menyerangku secara tiba-tiba, hah"!
Sekarang saatnya bagimu kukirim ke neraka! Hiaaah...!"
Zlaaap...! Brrrus...! Suto Sinting tahu-tahu telah melesat dan menerjang Peri Kedung Hantu. Tubuh
perempuan cantik itu
terpental sebelum ia melepaskan jurus pencabut nyawa lawannya. Tubuh itu
terguling-guiing bagaikan diterjang badai setan yang mengerikan.
Pada saat itu, Nini Kalong pun melesat dari balik
kerimbunan semak. Rupanya ia tertarik dengan bunyi
dengung yang menjadi tanda pertarungan muridnya itu.
Ia tak jadi ke arah Bukit Batok dan mencari tahu
mengapa muridnya memainkan jurus 'Pedang Gangsing'
yang jarang dipakai itu. Akhirnya ia tiba di tempat
tersebut dalam keadaan Syair Kusumi sedang sekarat dan Peri Kedung Hantu
terguling-guling akibat terjangan Suto Sinting.
"Rupanya kau bermaksud keji pada muridku,
Rumisita!" geram Nini Kalong.
Tetapi Rumisita tak hiraukan kata-kata itu. Ia segera lepaskan jurus mautnya
berupa sinar ungu dari kedua
matanya. Claaap, claaap...! Kedua sinar ungu itu
mengarah kepada Nini Kalong dan Pendekar Mabuk.
Wuuut...! Suto Sinting maju sambil kibaskan
bumbung tuaknya. Sinar ungu itu menghantam bumbung
tuak. Deeb...! Lalu membalik arah dengan lebih cepat dan lebih besar lagi.
Wuuusss...! Duaaar...! Blegaaar...! Dua ledakan itu terjadi hampir bersamaan. Ledakan
pertama adalah sinar ungu yang menghantam tubuh Nini Kalong itu berhasil
dipatahkan oleh gerakan sinar
merahnya Rara Santika yang melesat bersamaan
tubuhnya melompat dari balik semak. Benturan sinar
merah dengan sinar ungu menimbulkan ledakan
bergelombang besar yang membuat tubuh Nini Kalong
terpelanting berguling-guling. Jika sinar itu tidak
dipatahkan oleh sinarnya Rara Santika, maka Nini
Kalong akan mati hangus dihantam sinar ungu yang
datang secara tiba-tiba.
Sedangkan ledakan kedua adalah ledakan yang timbul
akibat sinar ungu memantul balik dari bumbung tuak, menjadi lebih cepat dan
lebih besar dari aslinya. Peri Kedung Hantu terperanjat dan tak sempat
menghindar, akhirnya sinar ungu tersebut menghantam matanya
sendiri. Hantaman itulah yang menimbulkan ledakan dan membuat kepala Peri Kedung
Hantu pun pecah secara
mengerikan. Pendekar Mabuk saling bertatap pandang dengan
Rara Santika. Perempuan itu acungkan jempolnya,
kemudian bergerak mendekati Nini Kalong bersamasama Resi Pakar Pantun.
"Bagaimana keadaanmu, Nini"!"
"Tulang punggungku sepertinya patah," jawab Nini Kalong dengan suara berat.
Pendekar Mabuk cepat-cepat meraih kepala Syair
Kusumi. Ia belum terlambat untuk meminumkan tuak
saktinya. Berkat tuak sakti itulah Syair Kusumi akhirnya terselamatkan dan Nini
Kalong yang ikut meminum tuak Suto itu pun mengalami kesegaran pada tubuhnya,
tulang punggungnya tidak terasa sakit lagi.
Syair Kusumi berkata kepada Pendekar Mabuk, "Jika ada sumur di ladang, boleh aku
menumpang mandi. Jika umurmu ingin panjang, maafkanlah perbuatanku tempo
hari. Aku telah melumpuhkan dirimu bersama Puspa
Jingga, karena aku tak ingin Puspa Jingga celaka dalam mengemban tugas dari
Guru." "Celaka bagaimana maksudmu"!" sergah Nini
Kalong. "Guru memberikan tugas berat kepada Puspa Jingga.
Mengambil pusaka bukan pekerjaan mudah. Bahaya
yang timbul tidak sebanding dengan llmu yang dimiliki Puspa Jingga. Terpaksa aku
melumpuhkan dan
menyembunyikannya. Tugas itu kuambil alih karena aku tak ingin Puspa Jingga mati
di tangan orang-orang
seperti Peri Kedung Hantu yang bernafsu ingin memiliki pusaka itu. Jika
kulakukan terang-terangan, pasti Puspa Jingga tersinggung dan marah padaku,
sedangkan Pendekar Mabuk kulihat ada bersamanya. Maka jika aku bertengkar dengan Puspa
Jingga, pasti Pendekar Mabuk memihaknya. Tak ada jalan lain kecuali dengan cara
melumpuhkan keduanya secara sembunyi-sembunyi."
Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala sambil
sunggingkan senyum geli.
"Tapi lain kali kau tak boleh mengambil langkah
sendiri seperti itu, Syair Kusumi?"
"Baik, Guru!"
"Lalu bagaimana hasilnya dengan pusaka itu" Apakah kau sudah mengambilnya dari
makam Resi Dirgantara?"
"Pusaka itu tidak ada, Guru. Makam Resi Dirgantara sudah dibongkar oleh
seseorang dan menjadi rusak."
"Jadi... pusaka itu tidak ada"!" gumam Nini Kalong dengan heran. "Kalau begitu
mimpiku itu hanya bunga tidur saja, bukan bisikan dewata"!"
"Mimpi..."!" Resi Pakar Pantun berkerut dahi. "Jadi kau mengikuti apa kata
mimpimu"! Uuuh... sudah tahu
kau ini orangnya doyan tidur sejak masih gadis, mana mungkin dewa mau berbisik
lewat tidurmu!" gerutu Resi Pakar Pantun.
Pendekar Mabuk segera bertanya kepada Nini
Kalong, "Kalau boleh kutahu, sebenarnya pusaka apa yang kau cari itu, Nini"!"
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Setahuku, dulu Dirgantara mempunyai senjata
pusaka yang bernama Kipas Dewi Murka. Aku pernah
melihat Dirgantara menggunakan kipas pusaka itu
melawan panglima dari tanah Tibet. Kedahsyatannya
luar biasa. Kusangka kipas itu jatuh di tangan Serat Biru, ternyata dia tidak
menyimpannya dan...."
"Seperti apa bentuk kipasnya"!" tanya Rara Santika.
"Kipas itu terbuat dari gading, mempunyai hiasan benang merah pada tangkainya.
Kesaktian kipas itu bisa untuk memenggal leher lawan jika dilemparkan dan akan
melayang kembali ke tangan kita."
Suto Sinting cepat alihkan pandang kepada Rara
Santika. Perempuan itu tertegun sejenak. Kemudian ia mengeluarkan kipasnya dari
balik jubah. "Seperti inikah kipas pusaka yang kau cari itu"!"
"Naah...! Benar! Itu dia yang dinamakan pusaka
Kipas Dewi Murka. Memang itu bendanya!"
"Dari mana kau dapatkan kipas itu?" tanya Suto kepada Rara Santika.
"Ketika pulang dari Pulau Sumbing, aku diberi kipas ini oleh Eyang Resi
Dirgantara. Tapi dia tidak
menyebutnya sebagai pusaka. Dia hanya mengatakan
bahwa aku harus merawat kipas ini sebagai cenderamata dari beliau. Kipas ini
memang punya kesaktian
tersendiri, tapi tak pernah disebut-sebut sebagai pusaka.
Kadang dulunya sering digunakan untuk berkipas-kipas Eyang Resi Dirgantara jika
dalam keadaan kegerahan."
Resi Pakar Pantun berkata, "Kalau begitu, jelas sudah si Dirgantara mewariskan
senjata itu kepada Rara
Santika! Siapa pun yang bermaksud merebutnya, berarti hatinya serakah dan
membuka permusuhan dengan Rara
Santika!" Terbayang Rara Santika tadi menyelamatkan
nyawanya, Nini Kalong akhirnya berkata dengan lesu.
"Agaknya memang kemujuran tidak jatuh pada
diriku, melainkan pada diri Rara Santika. Kalau begitu, jagalah kipas pusaka itu
baik-baik dan jangan sampai jatuh ke tangan orang sesat beraliran hitam. Karena
aku sendiri sudah tidak lagi mau mengikuti aliran hitam!"
Pendekar Mabuk masih diam terbengong dan sesekali
geleng-geleng kepala. Ternyata pusaka yang dicari-cari
dan dipertarungkan sejak tadi sudah ada di sampingnya.
Merenungi hal itu, Pendekar Mabuk tertawa sendiri dan membuat alam seakan ikut
berseri mengagumi
ketampanan Suto jika sedang tersenyum geli itu.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul:
UTUSAN RAJA IBLIS
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Tiga Naga Sakti 5 Mustika Lidah Naga 5 Mustika Lidah Naga 4 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama