Ceritasilat Novel Online

Kitab Lorong Zaman 3

Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman Bagian 3


dan membentuk wujud
gumpalan asap merah membara sebesar bola. Gumpalan
sinar merah membara itu melesat lebih cepat lagi ke arah sasaran.
Lancang Puri segera berlutut satu kaki. Kemudian
tangan kanannya membentuk cakar dan disentakkan di
atas kepala. Dari tengah cakar itu melesat sinar hijau lebar membentuk piringan.
Penampang sinar itulah yang
bagaikan tangan raksasa menangkap bola asap merah
membara. Zluubb...! Sinar hijau menggulung gumpalan
asap merah sesaat, kejap berikutnya kedua sinar yang
bertarung sendiri itu sama-sama meledak.
Blegaarr...! Ledakan itu melepaskan angin badai ke berbagai
arah. Menghentak begitu kuatnya, sehingga tubuh Urat
Setan terlempar membentur gundukan batu cadas di
belakangnya, sedangkan tubuh Lancang Puri buru-buru
tiarap, namun terdorong pula oleh hembusan angin
membadai hingga ia bagaikan diseret dari belakang.
Untung kedua kakinya segera menemukan akar pohon
yang menonjol besar, sehingga ia bisa bertahan
menghadapi dorongan angin badai itu. Brruuukk...!
Blaaammm...! Dua pohon tumbang lagi karena dihempas angin
badai yang keluar dari ledakan dua sinar tadi. Lancang
Puri tidak pedulikan tumbangnya dua pohon itu. Ia
cepat-cepat berdiri dan berlari menuju lawannya sambil
mencabut pedang. Sraang...! Wuuttt...! Tubuhnya
melompat ketika berjarak lima langkah dari si Urat Setan yang baru saja berdiri.
Pedang pun ditebaskan dengan
gerak tipuan ke arah pundak kiri lawan. Wuuss...!
Slaap...! Urat Setan bagai menghilang seketika.
Pedang itu mengenai tempat kosong. Sedangkan Urat
Setan tahu-tahu sudah berada di belakang Lancang Puri.
Sebuah pukulan tangan kanan yang menyodok ke depan
dilakukan dengan kaki menghentak ke bumi. Jluugh...!
Dan tiga pisau terbang melesat dari tangan itu, bagaikan keluar dari dalam kain
jubah yang membungkus
lengannya secara longgar itu. Slap, slap, slap...!
Punggung Lancang Puri menjadi sasaran paling
empuk bagi tiga pisau terbang itu. Sayang sekali
seberkas sinar lurus lebar meluncur dari arah samping berbentuk seperti bambu
tanpa ruas. Sinar hijau tua itu menghantam tiga pisau terbang tersebut.
Prakkk...! Blaarr...! Tiga pisau terbang hancur menjadi berkeping-keping,
menyebar ke arah samping. Tak satu pun bagian
kepingan itu yang kenai tubuh Lancang Puri. Perempuan
itu cepat balikkan badan dan sedikit terperanjat setelah mengetahui bahwa
dirinya tadi nyaris mati jika tidak
tertolong oleh melesatnya sinar hijau tua itu. Ia segera berpindah tempat dengan
satu lompatan menyamping.
Keadaannya sekarang sedikit terhadang gugusan batu
cadas. Urat Setan dongkol sekali. Semestinya ia sudah bisa
membunuh Lancang Puri, tapi karena ada yang ikut
campur dalam pertarungannya, maka Lancang Puri
masih berdiri tegar di depannya. Bahkan perempuan itu
kini sudah berada di atas gugusan batu cadas dengan
pedang tergenggam penuh tantangan. Jubahnya yang
putih melambai-lambai tertiup angin.
"Laknat! Busuk! Siapa yang berani ikut campur
urusanku, hah"!" teriak Urat Setan dengan berang sambil
matanya memandang ke sana-sini, bagai tak pedulikan
keadaan Lancang Puri yang bisa menyerangnya
sewaktu-waktu itu.
Tiba-tiba dahan pohon yang tepat berada di atas
kepala Urat Setan itu patah dalam keadaan meruncing.
Ujung runcingnya meluncur ke bawah bagaikan ingin
memantek kepala Urat Setan. Krak...! Wuuusstt...!
Urat Setan sigap, ia segera berguling ke samping dan
cepat cabut cambuknya dari pinggang. Dengan satu kaki
berlutut ia lecutkan cambuk itu ke arah dahan besar yang meluncur ke bawah itu.
Taarr...! Dahan tersebut terkena cambukan satu kali, pecah menjadi serpihanserpihan sebesar kelingking.
"Siapa yang membantuku" Tak kulihat gerakan
orangnya?" pikir Lancang Puri. "Yang jelas jurus itu bukan milik Bibi Gandrik.
Gaya menyerangnya tidak
menyerupai penyerangan Bibi Gandrik. Pasti ada orang
lain. Apakah pendekar tampan itu yang menolongku"
Ah, aku jadi serba salah kalau berhadapan dengan Suto,
si pendekar tampan itu."
Terdengar seruan Urat Setan yang sudah semakin
marah itu, "Keluar kau, Bangsat! Maju ke depanku kalau kau ingin menjajal
ilmuku!" Dari semak belukar muncul sesosok tubuh berbadan
tegap dan berparas tampan. Lancang Puri sempat
terkejut melihat kemunculan orang itu. Hatinya mulai
membatin, "Celaka! Pemuda itu lagi! Dia pasti masih terkena pengaruh Racun Edan
Cumbu-ku!"
Dewa Rayu sengaja tampakkan diri dan dekati
gugusan batu cadas tempat berdirinya Lancang Puri.
Tapi pandangan matanya tertuju ke arah Urat Setan.
Pemuda yang masih dalam pengaruh Racun Edan
Cumbu itu sudah dalam keadaan tidak serapi dulu. Kain
bajunya membuka hingga menampakkan dadanya yang
bidang. Letak sabuknya pun tidak mengikat baju lagi.
Letak ikat kepala dari lempengan perak pun sudah tidak
lurus dan rapi seperti semula, ia tampil dalam keadaan kusut, seperti orang
tidak tidur dua hari dua malam.
"Bocah edan! Jangan coba-coba menjadi satria di
depanku kau!" geram Urat Setan dengan mata
memandang lurus penuh kemarahan. Cambuknya masih
tergenggam di tangan kanan dan siap lecut kapan saja
dibutuhkan. Dewa Rayu tidak banyak bicara. Matanya
memandang Lancang Puri yang ada di atas gugusan
batu. Sekejap saja ia memandang, lalu pandangan itu
ditujukan kepada Urat Setan, dan suaranya terdengar
lantang penuh pada permusuhan.
"Aku tak peduli akan menjadi satria atau menjadi
setan seperti kau, Pak Tua. Tapi kuingatkan satu kali
saja, jangan ganggu kekasihku itu jika kau ingin panjang umur dan cepat dapat
jodoh!" "Bangsat! Kusingkirkan penghalang ini dengan jurus
'Cambuk Ular Kadut'! Terimalah, Bocah bodoh!
Heaaah...!"
Cetaaarr...! Cambuk melecut di udara, ujungnya melepaskan
sinar merah bagaikan kawat berkelok-kelok. Sinar merah
itu bergerak cepat mirip gerakan seekor ular terbang.
Ketika sudah dalam jarak dekat, barulah Dewa Rayu
melompat dan bersalto ke belakang, lalu kedua
tangannya meliuk bagai memutar pergelangan tangan
dan menyentak ke depan pada saat telapak tangan
menghadap ke depan. Wuuuttt...! Claapp...! Sinar hijau
tua terlepas dari telapak tangan tersebut. Kedua sinar bergabung membentuk wujud
seperti sebatang bambu
tua. Sinar itu menghantam sinar merah berkelok-kelok
bagaikan ular. Zraasb...! Tak ada bunyi ledakan apa pun. Tetapi kedua sinar itu
sama-sama berhenti di udara. Sinar merah yang lebih
kecil bagaikan mendekam di dalam sinar hijau. Dewa
Rayu terkesiap memandangi sinar hijaunya tidak pecah
dan tidak bergerak lagi, diam di udara dengan gerakangerakan kecil seperti sedang mengunyah sinar merah.
Tetapi mendadak sinar hijau itu bergerak berkelokkelok pula seperti ular dan melesat menuju Dewa Rayu.
Melihat sinar hijaunya yang ditumpangi sinar merah
kecil tadi bergerak ke arahnya, Dewa Rayu segera
sentakkan kaki hingga tubuhnya melenting di udara.
Wuuuttt...! Kakinya segera menjejak sebatang pohon,
dan tubuhnya menjadi meluncur deras ke arah Urat
Setan. Sementara itu sinar hijau berkelok-kelok kembali diam di tempat, bagai
mencari ke mana arah kepergian
mangsanya. Pedang dicabut dari pinggang Dewa Rayu. Sraang...!
Tubuhnya yang meluncur bagaikan terbang itu segera
dihadang oleh cambuk Urat Setan. Cambuk itu
dilecutksn satu kali dengan satu hentakan suara keras.
"Heeaaah...!"
Taarr...! Ujung cambuk keluarkan sinar merah lagi
seperti ular terbang. Tapi kali ini Dewa Rayu kibaskan pedang ke samping, dan
sinar merah itu menyambar
ujung pedang, lalu memantul ke arah Urat Setan menjadi
tiga sinar memanjang berwarna merah berkelok-kelok.
Zzraasap...! Tiga sinar merah yang memanjang tiada
putus dari ujung pedang tersebut menghantam tubuh si
Urat Setan. Traat... dueer...! Tubuh Urat Setan yang
bermaksud menghindar menjadi terjungkal bersama
cambuknya. Kaki kirinya terbakar, api menyala
membungkus kaki itu. Tapi dengan satu kali hembusan
napas tenaga dalam berhawa dingin, api itu padam
kembali. "Puiih...!"
Sedangkan pedang Dewa Rayu masih memancarkan
kilatan-kilatan cahaya merah kecil-kecil dan memanjang.
Sebenarnya cahaya itu akan diarahkan kembali ke tubuh
si Urat Setan. Tetapi sinar hijau besar yang berkelokkelok karena ditumpangi sinar merah pertama tadi
sedang meluncur ke arah Dewa Rayu. Mau tak mau
pemuda tampan itu mengarahkan percikan tiga sinar dari
ujung pedangnya.
Traatt... blaaarr...!
Kini sinar hijau itu meledak dengan dahsyat.
Gelombang ledaknya menghentak dan menaburkan hawa
panas yang tinggi. Kulit pohon mengelupas dan
dedaunan menjadi keriting karena hawa panas itu.
Sedangkan tubuh Dewa Rayu cepat-cepat bersembunyi
di balik batang pohon besar yang juga ikut terkelupas
kulitnya di bagian yang mengarah ke ledakan tadi.
Sedangkan Urat Setan sempat berlompatan penuh
makian menghindari hawa panas yang menyengat kulit
tubuhnya. "Bocah Edan! Jurus apa yang digunakan itu"!" rutuk Urat Setan sambil berlindung
di balik pohon besar juga.
Ketika gelombang hawa panas hilang, kedua tokoh
yang bertarung itu sama-sama keluar dari pohon. Tapi
pedang Dewa Rayu yang terbuat dari logam kuningan
mengkilap mirip emas itu masih memercikkan tiga larik
sinar berkelok-kelok. Pedang itu tetap terangkat lurus
dan tiga sinarnya menjilat bumi sekitar tempatnya
berpijak. Lancang Puri ternyata sudah lenyap dari atas gugusan
batu cadas. Tentunya kesempatan itu dipergunakan
untuk melarikan diri daripada harus melayani
pertarungan dengan Urat Setan. Melihat hilangnya
Lancang Puri, Urat Setan sempat terperanjat, lalu
dilihatnya teriakan perempuan itu sudah berada di
tempat yang jauh, menyelinap di sela-sela jajaran pohon hutan.
"Lancang Puri! Jangan lari kau! Tunggu...!" teriak Urat Setan sambil bergegas
melarikan diri mengejar
Lancang Puri. Tetapi Dewa Rayu berkelebat dengan
gerakan saltonya dan tahu-tahu sudah menghadang
jangkah Urat Setan.
"Tak kuizinkan kau mengejar kekasihku, Pak Tua!"
"Kurajang habis tubuhmu kalau tak mau minggir dari depanku, Bocah dungu!" sambil
cambuknya siap-siap mau dilecutkan. Tapi Dewa Rayu tak merasa takut
sedikit pun. Pedangnya yang masih memercikkan tiga
larik sinar kecil menjilat-jilat bumi itu segera ditebaskan ke depan. Wuutt...!
Srraaat...! Tiga sinar merah
menyambar tubuh si Urat Setan. Namun orang itu
mampu bergerak cepat bagaikan menghilang, tahu-tahu
sudah berada di belakang Dewa Rayu. Ia melecutkan
cambuknya di udara dengan kibasan tangan bolak-balik.
Ujung cambuk itu melecut berkelok-kelok dan
menaburkan sinar-sinar merah kecil.
Tar, tar, tar, tar, tar, tar...!
Hujan sinar merah kecil mirip gerakan ular ganas
segera menyerang Dewa Rayu. Jumlah sinar tersebut
lebih dari dua puluh larik berukuran masing-masing satu atau dua jengkal
panjangnya. Dewa Rayu sempat
kebingungan menghindari sinar merah sebanyak itu.
Ujung pedangnya sudah tak bisa menyerap sinar itu lagi
karena tiga larik sinar masih memercik dari ujung
pedang tersebut.
Dalam keadaan terdesak seperti itu, sesosok tubuh
tiba-tiba menyambar Dewa Rayu dari arah belakang.
Wuuttt...! Tubuh Dewa Rayu bagaikan diajak terbang ke
tempat seberang, sementara hujan sinar merah segera
mengejar ke arah seberang juga. Sinar-sinar itu bergerak bagai rombongan ular
terbang yang tak mau biarkan
lawan atau mangsanya lolos dari pengejaran.
Orang yang menyambar tubuh Dewa Rayu itu segera
sentakkan tangan kanannya, dan gumpalan asap hitam
bagaikan awan mendung menyembur dari telapak tangan
itu. Kian lama kian tebal dan menyergap rombongan
sinar merah yang menghujani Dewa Rayu tadi. Kejap
berikutnya, terdengar gelegar ledakan yang cukup
dahsyat sempat membuat tanah bergetar hebat,
blegaaarrr...! Beberapa pohon yang tumbang tak dihiraukan oleh
mereka. Bagian tanah yang retak pun tak diperhatikan
lagi. Kini sasaran orang yang menyambar Dewa Rayu
adalah Urat Setan. Dipandanginya Urat Setan dengan
mata angker penuh gairah untuk membunuh.
"Jahanam kau, Harimu Jantan! Rupanya kau ingin
ikut modar juga dengan bocah dungu itu, hah"!"


Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Harimau Jantan tertawa terkikik-kikik. "Hik, hik, hik, hik...!" Tawanya itu
mirip kuntilanak, sehingga Dewa Rayu menjadi terheran-heran memandangi orang
yang menyambarnya itu. Harimau Jantan berkata kepada
Dewa Rayu dengan suara perempuannya,
"Diamlah di sini, biar kuhadapi si Urat Setan!
Lihatlah bagaimana membunuh urat yang hidup dengan
liar! Hik, hik, hik...!" Lalu tangannya sempat mencubit pipi Dewa Rayu dengan
gemas. "iiih... gantengnya!" ia melenggok manja. Tapi tiba-tiba tubuhnya melesat
cepat. Walau gemuk, namun mampu berkelebat secepat
daun kering diterbangkan angin badai. Weesss...!
"Mati kau, Urat Setan...!" teriaknya dalam suara kecil dan golok pun dicabutnya.
Golok itu segera berkelebat
menebas ke depan pada saat cambuk hitam kemerahan
itu mau melecut tubuhnya. Traakkk...! Cambuk melilit di mata golok putih, dan
golok itu tiba-tiba bersinar
membara warna merah, bagaikan terpanggang api.
Harimau Jantan menyentakkan ke samping. Wuuuttt...!
Teess...! Tapi cambuk itu putus seketika. Urat Setan
terbelalak melihat cambuknya putus.
"Hiaaah...!" pekik Harimau Jantan dengan sentakkan tangan kiri yang membentuk
cakar harimau. Dari tangan
kirinya keluar asap hitam seperti tadi, namun sebelum menjadi gumpalan besar
sudah dihantam oleh pukulan
tenaga dalam Urat Setan. Blaarr...! Pukulan tanpa sinar itu justru menghasilkan
sinar ledak warna putih ketika membentur asap hitamnya Harimau Jantan.
Dewa Rayu yang telah memasukkan pedang ke
sarungnya segera berkelebat pergi ke arah pelarian
Lancang Puri. "Aku tak bisa berpisah terlalu lama denganmu, Kasih! Lancang
Puriii....! Peluklah aku, Sa-yaaang...!" serunya sambil melesat pergi, dan
seruan itu didengar oleh kedua tokoh yang sedang bertarung itu,
tetapi mereka tak bisa hiraukan Dewa Rayu karena
keduanya saling serang dengan sengit.
Pada saat itu Suto Sinting tiba di tempat tersebut
bersama Logo. Ia berpencar dengan Angin Betina untuk
mencari Lancang Puri yang diduga keras telah mencuri
Kitab Lorong Zaman. Pendekar Mabuk menahan
gerakan langkah Logo dan menyuruh Logo bersembunyi
di balik dua pohon yang tumbuh merapat itu.
"Siapa mereka?" tanya Logo.
"Urat Setan dan Harimau Jantan. Keduanya punya
dendam yang harus diselesaikan secara jantan. Tapi aku
sangsi apakah Harimau Jantan itu benar-benar jantan,
sebab gerakannya seperti gerakan seorang putri raja
memainkan jurus golok dengan gemulai."
"Apakah aku perlu turut campur?"
"Jangan, Logo! Itu bukan urusan kita. Kita tonton saja seperti apa keunggulan
jurus mereka," kata Suto Sinting dengan mata tertuju ke arah pertarungan.
Gerakan Harimau Jantang memang lebih mirip
gerakan silat seorang wanita malu-malu kucing. Kadang
ia berlindung di balik pohon dan menampakkan
kepalanya sambil tersenyum-senyum malu tapi kejap
berikut tangan kirinya melepaskan pukulan tenaga dalam
yang bergerak dengan cepat. Wuutt...!Dees! Pukulan itu
terkena telak di dada Urat Setan, sukar ditangkis dan
dihindari. "Uuuhg...!" Urat Setan terbungkuk, dadanya terasa mau jebol. Namun ia segera
sigap kembali dan
membalas dengan melepaskan pukulan jarak jauh.
Clap, Clap, Clap,..!.
Tiga sinar merah berbentuk tiga pisau terbang
melesat ke arah Harimau Jantan. Tapi tiga sinar itu
mampu dipatahkan dengan kibasan goloknya yang
bergerak cepat nyaris tak terlihat kecuali kilatan cahaya logamnya terkena
pantulan sinar matahari.
Harimau Jantan akhirnya memutar tubuh bagaikan
sedang menari, dan goloknya dilemparkan pada saat
tubuh berputar. Lemparan golok itu sama sekali tidak
diduga-duga oleh lawan, sehingga Urat Setan
terperanjat, tahu-tahu ulu hatinya telah ditancap oleh golok tersebut. Jruub...!
"Aahg...!" mata Urat Setan mendelik, kaku sebentar, lalu tumbang dalam keadaan
tengkurap. Bluuss...! Tentu
saja golok itu semakin menembus tubuhnya karena
membentur tanah.
"Goblok, goblok, goblok...!" seru Harimau Jantan dengan langkah melenggok-lengok
dekati Urat Setan.
"Sudah tahu golok ada di depannya kok jatuhnya ke depan. Uuh... payah! Lain kali
pakai cara sendiri kalau mau jatuh, biar... lho, sudah mati"!" katanya sambil
menggulingkan tubuh Urat Setan yang tidak bernapas
lagi itu. "Ya, ampuuun... mau mati kok tidak bilang dulu.
Kalau begini aku tidak bisa titip pesan sama nenek
moyangku di alam baka sana. Ah, masa bodohlah!"
golok pun dicabut dengan gerakan gadis ganjen
mencabut sesuatu dengan jijik.
"Eh, ke mana tadi si tampan berkumis tipis"! Aduh, pasti bersembunyi cari tempat
untukku! Hmmm... awas
nanti kalau tertangkap, kusekap dia semalam suntuk,
biar tahu rasa bagaimana nikmatnya bercumbu
denganku. Hik, hik, hik...!"
Harimau Jantan pergi searah dengan kepergian Dewa
Rayu. Arah yang diambil secara untung-untungan itu
membuat Suto Sinting berkerut dahi dan berkata, "Pasti yang dimaksud si Dewa
Rayu. Hmm... mau diapa-kan
anak muda itu?".
* * * 7 PENGEJARAN Dewa Rayu tanpa disengaja berhasil
menemukan Lancang Puri. Sebenarnya Dewa Rayu
sudah salah langkah, salah arah, tapi justru arah yang dituju itu adalah jalan
pintas menuju jalanan yang
dipergunakan Lancang Puri. Maka ketika Dewa Rayu
melihat Lancang Puri berlari dari arah samping
kanannya, ia segera mendaki bukit cadas yang tak
seberapa tinggi itu dan melompat turun dengan gerakan
bersalto tiga kali. Wuk, wuk, wuk...! Jleeg...!
Kedua kaki pemuda tampan yang terpengaruh Racun
Edan Cumbu itu mendarat di tanah dengan sigap. Tepat
ketika itu kaki Lancang Puri mencapai tanah di
sampingnya. Langkah perempuan itu pun terhenti
dengan suara dengus kedongkolan melalui lubang
hidungnya yang mancung itu.
"Sial! Ketemu dia lagi!" gerutunya dalam hati.
"Lancang Puri, mengapa kau tinggalkan aku,
Sayang"!" rayu pemuda tampan setengah gila itu.
"Dekatlah aku, pelukiah aku erat-erat! Kalau kau tak mau, biarlah aku memelukmu,
Sayang...!"
Dewa Rayu mendekat dengan kedua tangan
merentang siap memeluk. Namun Lancang Puri tiba-tiba
hantamkan telapak tangan kanannya ke dada Dewa
Rayu. Deeegh...! "Pergi kau dan jangan ganggu aku lagi!" bentaknya.
Dewa Rayu diam bagaikan patung dengan kedua
tangan masih merenggang seperti hendak memeluk.
Matanya tak berkedip, mulutnya terkatup rapat. Tetapi
dari mulut itu segera merembas keluar lelehan darah
kental warna merah segar. Pukulan di dadanya telah
membuat luka di bagian dalam, luka itulah yang
menyemburkan darah naik ke mulut dan membuat
pandangan mata mulai kabur.
Pemuda yang sudah kasmaran itu akhirnya limbung
ke samping. Namun ia masih berusaha untuk tetap
berdiri dan bersuara parau,
"Lancang Puri... ciumlah aku seperti kemarin.
Ciumlah dengan penuh cinta, Sayangku...!" sambil ia berusaha mendekat. Lancang
Puri semakin benci melihat
lelaki yang terlalu mudah mengobral rayuan. Maka
ditendangnya dada pemuda itu dengan tendangan lurus
ke depan, ujung kakinya menyodok ulu hati Dewa Rayu.
Wuutt...! Duuhg...!
"Eeehg...!" Dewa Rayu terpekik tertahan. Tendangan itu bukan sembarang
tendangan. Tenaga dalam
disalurkan melalui kaki, sehingga tak heran jika
tendangan itu mampu membuat tubuh Dewa Rayu
tersentak naik, darahnya kian mucrat dari mulut.
Matanya mulai terbeliak-beliak pertanda nyawa mulai
siap-siap pergi dari raga tampan itu.
Namun tiba-tiba sekelebat bayangan berjubah hitam
melintas dan menyambar tubuh Dewa Rayu. Wuuut...!
Dalam waktu sekejap tubuh pemuda itu sudah ada di
pundak orang tersebut. Terkulai lemas di pundak itu.
"Kalau tak suka, jangan bunuh dia! Biar kurawat di Pulau Lanang!"
"Bibi..."!"
"Aku membutuhkan dia sebelum purnama tiba!"
"Jika itu kehendak Bibi, silahkan saja. Aku tak akan mengganggunya lagi."
"Cepat ke pantai, ambil kitab itu di sana, pada tempat yang sudah kujanjikan.
Aku akan langsung menuju
Pulau Lanang bersama pemuda ini!"
Sepasang mata yang mengintai dari balik celah batu
hanya membatin, "O, kitab itu ada di pantai" Sebaiknya aku ke sana sekarang
juga. Tapi... di sebelah mana kitab itu disembunyikannya" Pantai itu luas, tak
mungkin aku harus menggali pasir pantai seluas itu"!"
Si pengintai menjadi tertarik dengan kemunculan
orang gemuk berpakaian serba hijau itu. Rupanya si
pengintai mengenali orang gemuk berwajah angker,
sehingga ia membatin,
"Harimau Jantan"! Apakah ia juga ikut merebutkan
kitab pusaka itu"!"
Suara Karto Kusir yang menjuluki dirinya Harimau
Jantan terdengar cempreng dan kecil, mirip seorang istri yang cerewet. Matanya
memandang ke arah Nyai
Gandrik yang memanggul tubuh Dewa Rayu dan hendak
dibawanya pergi.
"Hei, Gandrik"! Mau dibawa ke mana si tampan itu"!
Dia bagianku! Lepaskan dia, biar kudekap semalam
suntuk baru kuberikan padamu, Gandrik!"
"Hancurkan mulut kotor itu, Lancang Puri!" perintah Nyai Gandrik dengan nada
tegas dan berkesan bengis.
Lancang Puri hanya anggukkan kepala tipis. Lalu ia
biarkan bibinya pergi membawa Dewa Rayu yang
terluka parah. "Hei, tunggu...! Kurusuh meletakkan pemuda itu kok malah dibawa lari"!
Gandrik...! Gandrik...! Aduuuh... itu orang kenapa jadi tuli, ya?"
Wuuttt...! Harimau Jantan yang banci itu segera
melesat mengejar Nyai Gandrik yang berlari cepat
sambil memanggul Dewa Rayu. Tapi gerakan Harimau
Jantan terhalang karena serangan tenaga dalam dari
tangan kanan Lancang Puri. Tenaga dalam itu melesat
tanpa warna dan menghantam rusuk kiri Harimau Jantan.
Buuugg...! "Uuhg...!" Harimau Jantan mengejang dalam keadaan terlempar dan jatuh berdebam
di tanah cadas, ia
mengerang sejenak dengan wajah menyeringai.
Sementara itu Nyai Gandrik sudah semakin jauh dalam
pelariannya. "Kalau kau nekat mengejar bibiku, kau akan lebih
menderita lagi, Harimau Banci!" kata Lancang Puri yang sudah mengenal lelaki
itu. "Bibimu mencuri kekasihku!" kata Harimau Jantan sambil berdiri. "Aku sedang
naksir pemuda itu, tapi dibawanya lari. Tentu saja aku marah. Mengapa kau
melarangku mengejarnya?"
"Dewa Rayu akan menjadi obat bagi bibiku! Kau
jangan mengganggunya lagi! Carilah pria lain yang
pantas menjadi pasangan cinta edanmu itu, Karto Kusir!"
"Aku tidak mau! Aku kepingin pemuda itu!"
"Kalau kau masih nekat mengejar bibiku, aku
terpaksa bertindak lebih kasar lagi padamu, Karto
Kusir!" "Eh, kau kira aku takut padamu" Kau kira aku takut"
iya?" sambil mulutnya maju, dimonyong-monyongkan dengan genit, ia meliuk ganjen
dengan bersungut-sungut.
Lalu bibirnya mencos sana-sini ketika berkata,
"Biar kamu muridnya Resi Demang Sudra, aku tak
gentar melawanmu. Kecantikanmu pun tak sebanding
dengan kecantikanku. Bagaimanapun juga lelaki akan
mengatakan aku lebih ayu, lebih manis darimu.
Hmmm...! Kusosor baru kapok kau!"
Kemudian Harimau Jantan nekat berlari mengejar
Nyai Gandrik. Tetapi Lancang Puri segera lepaskan
pukulan seperti tadi dan tepat kenai punggung Harimau
Jantan. Buuhg...! Gasruuuk...!
Harimau Jantan tersungkur ke tanah.
"Eh, copot...! Aauh...!" pekiknya bernada genit-genit menjijikkan. Hampir saja
kumisnya menyapu tanah
kalau kedua tangan tak segera bertumpu dan menyentak
naik dengan cepat. Tak heran jika dalam sekejap kurang
ia sudah berdiri dan berpaling kepada Lancang Puri.
Orang itu walaupun berbadan gemuk, tapi kelincahannya
melebihi orang yang berbadan kurus.
"Kurangajiiiaar...!" umpatnya dengan bibir miring tajam hampir mirip gagang
centong nasi. "Tindakanmu sudah keterlaluan, Lancang Puri. Aku harus memberi
pelajaran baru untukmu! Hiaaah...!"
Harimau Jantan melompat dan menerjang Lancang
Puri. Oleh perempuan itu terjangan tersebut justru
disambut dengan terjangan lebih cepat lagi. Tubuh
mereka saling beradu di udara. Bruuuss...! Des, des...!
Pangkal telapak tangan Lancang Puri berhasil menyodok
dagu Harimau Jantan dua kali. Tetapi kedua tangan
Harimau Jantan pun berhasil mencakar dada Lancang
Puri yang hanya tertutup pinjung sebatas belahan
dadanya. Breet...!
Ketika mereka sama-sama terpental dan bangkit
berdiri kembali, Harimau Jantan meludahkan darah dari
mulutnya. Rupanya mulutnya berdarah karena hantaman


Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telapak tangan Lancang Puri tadi. Dua giginya tanggal, dua lagi hampir ikut
rontok, hanya goyang sedikit.
Sedangkan dada mulus Lancang Puri menjadi terluka.
Luka goresan itu sangat dalam, karena tiba-tiba saja tadi jari-jari Karto Kusir
yang banci itu dapat keluarkan kuku runcing yang tak begitu tajam, mirip kuku
seekor harimau. Dengan napas terengah-engah karena menahan sakit
di dagunya yang terasa remuk, Harimau Jantan berkata
setelah melihat dada lawannya koyak tiga baris.
"Tak akan ada obatnya! Jurus 'Cakar Harimau Siang'
akan membusukkan sekujur tubuhmu. Sampai tengah
malam nanti kau akan mati dalam keadaan membusuk
sekujur tubuh tanpa kecuali. Racun itu sulit ditawarkan, sama halnya dengan
Racun Edan Cumbu-mu itu. Hik,
hik, hik...!"
"Jahanam kau, Karto Kusir!" geram Lancang Puri dengan mata menyipit dendam dan
kedua tangan menggenggam kencang, ia merasakan panas luar biasa
pada luka-lukanya, namun berusaha ditahannya kuatkuat. "Kau akan menjadi wanita terbusuk di dunia. Hik,
hik, hik, hik...! Jika kau mau sembuh, kau harus
dapatkan kembali pemuda tampan itu untukku, maka aku
akan memberikan obat penawar racun 'Cakar Harimau
Siang' itu!"
"Persetan dengan ucapanmu! Kubalas dengan
kematianmu, Karto Kusir! Hiaat!" Pedang pun segera dicabut dari sarungnya.
Sraang...! Lancang Puri
memainkan jurus kembangan sebentar dengan menebasnebaskan pedang ke sekelilingnya. Harimau Jantan
hanya menyeringai sambil melangkah ke samping,
membentuk lingkaran untuk pelajari kelemahan Lancang
Puri. "Pakailah sepuluh pedang biar hatimu puas. Kau tak akan bisa menggoreskan pedang
itu ke tubuhku,
Lancang Puri! Kau tak akan bisa kalahkan aku!"
"Lihat saja jurus pedangku, Manusia kotor!" geram Lancang Puri makin merasa
tersinggung karena ejekan
itu. Maka dengan cepat ia segera melompat maju dan
pedangnya ditebaskan ke samping kanan-kiri, lalu
berkelebat miring dari kanan ke kiri. Wuuutt....'
Weesss...! Tubuh lawan lompat mundur tepat pada
waktunya. Akibat lompatan mundur itu, pedang Lancang
Puri selalu temui tempat kosong.
Tetapi Harimau Jantan sama sekali tak menduga
kalau tebasan pedang menyamping itu telah lepaskan
sinar kuning melebar dan langsung menyergap dadanya.
Jlaaab...! Beegh...!
Sinar kuning dari tepian pedang bagaikan
menghantam dada dengan sangat kuat. Tubuh gemuk
berdada keras bagai batu gunung itu tersentak mundur
dan terlempar jauh ke belakang. Blaaak...! Tubuh gemuk
itu jatuh terkapar dengan kedua tangan terentang.
"Aaahhg...!" suara kecil meraung kesakitan. Tapi toh nyatanya Harimau Jantan
masih bisa bangkit berdiri
dengan terbatuk-batuk sesaat. Dada itu tidak jebol,
bahkan membekas merah atau biru juga tidak. Hal itu
membuat mata Lancang Puri terkesiap heran.
"Biasanya jurus 'Pedang Belerang' bisa menjebolkan dada orang, tapi kenapa dada
itu masih utuh tanpa luka
membekas sedikit pun" Luar biasa lapisan tenaga
dalamnya! Tanpa lapisan tenaga dalam yang kuat tak
mungkin dada itu menjadi sekokoh gunung batu," pikir Lancang Puri sambil
memainkan pedangnya sekadar
menunggu saat menyerang selanjutnya.
Sementara itu, orang yang mengintai dari balik celah
batuan cadas itu berkata dalam hatinya, "Sebaiknya kutunggu Lancang Puri pergi
ke pantai dan kuikuti
secara diam-diam. Kalau dia kuserang sekarang juga,
maka aku tidak bisa mengetahui di mana kitab pusaka
itu disembunyikan."
Suto Sinting dan Logo tiba di tempat itu dari arah
seberang si pengintai. Pada waktu Suto tiba di sana,
Harimau Jantan sedang lakukan serangan dengan
goloknya. Lompatannya yang menyerupai lompatan
seekor harimau menerkam mangsa itu tidak dihindari
oleh Lancang Puri. Tetapi tiba-tiba Lancang Puri
sentakkan pedangnya ke depan bagai dihujamkan.
Bertepatan dengan itu, dari ujung pedang melesat jarumjarum emas yang banyak jumlahnya. Zraab...!
Jarum-jarum emas itu menerjang tubuh Harimau
Jantan. Golok segera ditebaskan dengan cepat untuk
singkirkan jarum-jarum itu. Percikan api terlihat saat golok menyala merah dan
membentur jarum-jarum
emaa. Tetapi gebasan golok itu tidak mampu
menyingkirkan semua jarum yang jumlahnya cukup
banyak itu. Sebagian jarum ada yang menerjang ke
tubuh Harimau Jantan baik di dada maupun di pundak
atau tempat lainnya.
Jraabb...! "Aaaahg...!" Harimau Jantan terpekik lagi. Tapi kali ini ia berhasil berdiri
dengan tubuh mengejang. Tubuh
itu akhirnya berlutut, kepala terdongak ke atas menahan sakit. Asap mulai keluar
dari tubuh itu. Tampak
perubahannya begitu nyata, tubuh tersebut segera
menghitam, rambut-rambut rontok, alis dan kumis yang
tebal juga rontok.
"Tak lama lagi kau akan mati hangus seperti para pendeta itu, Karto Kusir!"
geram Lancang Puri tak sadar di belakangnya ada Suto dan Logo.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk berkelebat cepat melebihi anak
panah setelah menenggak tuak sebentar. Lalu tubuh yang
mengepulkan asap dan nyaris menjadi hangus itu
disembur dengan tuak dalam mulut Suto.
Brrruuss...! Jurus 'Sembur Husada' dilakukan oleh Pendekar
Mabuk demi selamatkan Harimau Jantan dari ancaman
mati hangus seperti Pendeta Mata Lima itu. Kehadiran
Suto ternyata sempat mengejutkan Lancang Puri. Ia
segera memasukkan pedangnya. Sementara itu matanya
kembali memandangi Harimau Jantan dan kejadian aneh
kembali membuat mata perempuan cantik itu terperanjat
heran. Tubuh Harimau Jantan yang nyaris mati terbakar
hangus itu berubah menjadi kecoklat-coklatan. Kulitnya
yang semula mulai mengelupas menjadi terkatup rata
kembali. Harimau Jantan tak jadi mati terbakar hangus,
bahkan ia menjadi sehat walau terpaksa terkulai lemas beberapa saat. Tapi
dilihat dari keadaan kulit tubuhnya, jelas kekuatan api dahsyat di dalam tiap
jarum emas itu telah mampu dipadamkan oleh semburan tuak Suto
Sinting. "Mengapa kau menolongnya" Dia orang jahat! " kata Lancang Puri. Suto Sinting
menjawab diiringi senyum
tipisnya, "Sejahat-jahatnya dia, kurasa lebih jahat wajah
cantikmu, Lancang Puri! Rupanya kaulah yang
membunuh Pendeta Mata Lima dan Pendeta Jantung
Dewa!" Lancang Puri diam, lidahnya bagaikan kelu sesaat.
Tapi batinnya berkata,
"Sial, dia sudah mendengar ucapanku tadi! Sekarang ganti aku yang diintainya.
Kemarin dia yang kuintai saat melawan Siluman Tujuh Nyawa. Rahasia jurusnya
sempat kuketahui tapi rahasia kekejianku sekarang justru diketahui olehnya.
Tentu saja rahasia jurus 'Jarum
Emas'-ku juga diketahuinya. Apa boleh buat, kurasa aku
harus mengakuinya daripada dia mengecamku sebagai
wanita pembohong. Kurasa dengan mengakui
perbuatanku, dia punya peniiaian baik tersendiri
padaku." "Apakah kau juga yang menenggelamkan kedua biara
itu ke dalam bumi, Lancang Puri!" tanya Suto ingin tahu.
Perempuan cantik itu akhirnya menjawab, "Tidak.
Bukan aku yang melenyapkan reruntuhan biara dan para
mayatnya. Aku hanya membantai mereka karena ingin
kuasai ilmu yang ada di dalam Kitab Lorong Zaman.
Tentang menghancurkan biara dan melenyapkannya itu
tugas dari bibiku; Nyai Gandrik!"
"Tak kusangka kau sekejam itu, Lancang Puri."
"Aku terpaksa melakukannya karena Kitab Lorong
Zaman sulit dicuri sebelum kedua pendeta itu mati!"
"Berarti tindakanmu itu tidak terpuji."
"Terserah apa anggapanmu. Kubutuhkan jurus-jurus
di dalam Kitab Lorong Zaman, karena ada sesuatu yang
ingin kuambil dari masa lalu guruku."
"Sesuatu apa?"
"Panji-panji Mayat!"
Bukan Suto Sinting saja yang berkerut dahi, tapi
orang yang bersembunyi di celah batuan cadas itu juga
berkerut dahi. Bahkan orang itu berkata dalam hatinya,
"Kalau tak salah, mendiang guru pernah ceritakan tentang pusaka bernama Panjipanji Mayat. Benda itu
adalah sebuah bendera. Siapa yang membawa benda
Panji-panji Mayat, ia akan menjadi orang yang mampu
membangkitkan mayat di mana pun berada dan
mempunyai sejumlah pasukan mayat yang tunduk pada
perintahnya. Konon pusaka Panji-panji Mayat pernah
dimiliki oleh seseorang yang menjadi raja dengan
jumlah rakyat terdiri dari orang yang pernah mati.
Bahkan ilmu orang yang pernah mati itu dapat disedot
dan diambil menjadi milik si pemilik Panji-panji Mayat.
Tapi... apakah Suto Sinting mengetahui hal itu?"
Suto Sinting menyimpan pertanyaan dalam hatinya.
Kini yang dilontarkan adalah pertanyaan lain, "Apakah kitab itu sekarang ada
padamu, Lancang Puri?"
"Tidak ada!" jawab Lancang Puri dengan tegas.
"Jujurlah padaku. Kitab itu perlu diselamatkan agar tidak menjadi bahan incaran
para tokoh sesat dan
dipergunakan untuk keperluan yang dapat mengacaukan
kehidupan di muka bumi."
"Kalau kau kehendaki kitab itu juga, sama saja kau kehendaki nyawaku, Suto.
Bagaimanapun juga aku tak
akan berikan kitab itu pada siapa pun! Kupertaruhkan
dengan selembar nyawaku, Suto!"
"Aku tidak menghendaki pertarungan denganmu,
Lancang Puri. Tetapi barangkali kau perlu belajar dari pengalaman. Aku siap
memberimu pelajaran."
"Tantanganmu cukup halus, Suto!" kata Lancang Puri dengan tersenyum sinis. "Tapi
percayalah, aku tak akan menghindari tantanganmu. Akan kulayani tantangan itu
apa pun jadinya nanti!"
Pada saat itu Suto Sinting hanya tersenyum, tak mau
mengawali serangan lebih dulu. Bahkan ia bermaksud
membujuk dengan kata-kata saja. Tapi mendadak
Harimau Jantan bangkit dan langsung lepaskan serangan
jarak jauh berupa sinar biru dari telapak tangannya.
Claapp...! Lancang Puri Tangkas dan sigap, ia segera kibaskan
tangan kanannya berkelebat ke kiri. Dari lengan
jubahnya keluar sinar merah lebar dan menjadi perisai bagi sinar birunya Harimau
Jantan. Blaarr...!
"Tahaan...!" seru Suto seraya berdiri di pertengahan jarak antara Harimau Jantan
dan Lancang Puri. Harimau
Jantan memandangi Suto dengan heran dan segera
menyapa dengan suara perempuannya,
"Siapa kau" Berani betul kau menahan seranganku, hah"!"
Suto Sinting memaklumi jika Harimau Jantan tidak
mengenalinya lagi, sebab setiap orang yang
disembuhkan dengan jurus 'Sembur Husada' setelah
sembuh akan lupa tentang siapa Suto. Kenangan dalam
otaknya ikut lenyap bersama penyakit yang disembur
memakai tuak, karenanya ia tidak akan mengenali Suto
lagi. Mau tak mau Suto menjelaskan dari awal siapa
dirinya dan kapan pertemuannya, barulah orang tersebut
mengenali Suto dan teringat kembali hal-hal yang
pernah dialami bersama Suto.
Tetapi kali ini Suto Sinting tidak sempat berikan
penjelasan kepada Harimau Jantan karena serangan dari
pihak Lancang Puri datang secara beruntun. Serangan itu berupa kibasan pedang
yang memancarkan sinar kuning
ke mana-mana, sehingga Suto dan Harimau Jantan
bagaikan dihujani sinar kuning yang dapat menjebolkan
dada manusia itu. Clap, Clap, Clap, Clap, Clap...!
Suto Sinting dan Harimau Jantan menghindarinya
saling berlompatan. Tapi pada satu kesempatan, sinar itu menghantam pinggang
kiri Suto ketika Suto menangkis
sinar kuning lainnya dengan bumbung tuak. Dees..!
Pendekar Mabuk jatuh terpental ke arah bebatuan cadas,
sedangkan tubuh gemuknya Harimau Jantan juga
terlempar karena hantaman sinar kuning yang
berserabutan itu.
Melihat Suto jatuh, Logo tak mau diam saja. Ia segera
melompat dan berkelebat menendang punggung Lancang
Puri. Buuhg...! Tendangan itu sangat telak dan keras.
Lancang Puri bukan saja jatuh tersungkur namun juga
terseret maju hingga berguling-guling. Jika tidak
terhalang dua batu besar setinggi lutut, tubuh Lancang
Puri masih terguling-guling karena hentakan keras
tendangan itu. Dan melihat Lancang Puri terkapar di
sana, Logo segera berlari dengan dua lompatan besarnya, lalu kaki kanannya siapsiap menginjak kepala Lancang
Puri. Pada saat itu Suto Sinting terperanjat dan berseru,
"Jangan...!"
Tapi agaknya Logo mau nekat memecahkan kepala
Lancang Puri dengan kaki besarnya. Hanya saja,
sekelebat sinar perak kecil melesat dan menghantam
lengan anak jin itu. Dess...! Sekalipun bentuknya sinar perak kecil tapi rupanya
mempunyai tenaga dorong yang
luar biasa besarnya.


Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh anak jin yang marah melihat Suto diserang itu
segera terlempar bagaikan daun yang terhempas badai.
Wuuusss...! Lalu ia jatuh terpelanting mendekati sebuah pohon besar yang tumbuh
dengan daunnya yang rindang.
Brruk.! Anak jin itu menggeram jengkel. Kakinya
menendang batang pohon besar itu.
Duuurr...! Daun-daun berguguran nyaris menimbun tubuhnya
yang masih terkapar di tanah. Sementara itu orang yang
melepaskan pukulan jarak jauh berupa sinar putih perak
itu segera muncul dari persembunyiannya. Orang itulah
yang mengintai dari celah bebatuan cadas sejak tadi.
"Angin Betina!" sapa Suto Sinting sambil bergegas menghampiri wanita berpakaian
hitam ketat dan
berambut acak-acakan itu. "Untung kau mampu
menyingkirkan Logo. Apakah kau sudah sejak tadi
bersembunyi di sana?"
"Ya, dan aku juga mendengar di mana kitab itu
disembunyikan. Tapi secara tepatnya belum kuketahui.
Sebaiknya biarkan perempuan itu melarikan diri, kita
ikuti dari belakang saja. Dia pasti mengambil kitab itu di pantai."
"Di pantai?" Suto balas bersuara bisik.
Anak jin itu berdiri dan hendak menyerang Lancang
Puri yang sudah bangkit dengan mulut berdarah sedikit.
Lancang Puri sendiri siap lepaskan serangan.
Tapi Pendekar Mabuk segera berseru,
"Tahan! Jangan lakukan serangan apa pun, Logo!
Tahan amarahmu!"
Logo diam bagaikan patung, tapi matanya mendelik
lebar menyeramkan dengan mulutnya meringis
menyeringaikan suara geramannya. Lancang Puri
mundur dengan siap-siap lepaskan jurus 'Jarum Emas'nya jika Logo maju menyerang. Tanpa bilang apa-apa,
Lancang Puri segera melesat pergi larikan diri. Hatinya hanya membatin,
"Sebaiknya menyelamatkan diri daripada melawan
mereka! Mereka bukan orang tandinganku jika
menyerang secara keroyokan. Pasti aku akan mati
konyol dan akhirnya tak jadi pelajari ilmu di dalam kitab itu! Apa kata mereka,
biarlah. Yang penting aku harus
segera lari dan membawa kitab itu dari tempat
persembunyiannya!"
"Biarkan dia lari," ulang Angin Betina dalam
bisikannya kepada Suto.
Pendekar Mabuk perhatikan Harimau Jantan, takut
kalau Harimau Jantan menyerang Lancang Puri dari
jarak jauh. Tapi rupanya Harimau Jantan justru sedang
berlutut dan kakinya gemetaran melihat sosok hitam
Logo yang bertubuh lebih besar dan lebih tinggi darinya itu. Wajah Harimau
Jantan menjadi pucat ketika Logo
melangkah dekati Suto yang berarti harus melewati
depannya. Tubuh itu kian gemetaran, sisa kumisnya
yang masih menempel namun sudah telanjur terbakar
jarum emas tadi menjadi rontok kembali.
Melihat Harimau Jantan ketakutan, Suto Sinting
dekati orang itu dan menepuk pundaknya seraya berkata,
"Jangan takut!. Dia bukan makhluk jahat!"
"Tap... tapi... tapi dulu aku pernah ditendang jin waktu buang air di bawah
pohon. Aku jera dan takut
ditendang lagi. Dulu aku tak bisa buang air besar selama tujuh hari gara-gara
ditendang jin...!"
"Dia anak jin, tapi tidak segalak dugaanmu. Dia anak yang baik semasa kita
bersahabat baik dengannya."
Logo perdengarkan suaranya yang besar tapi masih
bernada bocah, "Aku mau kejar dia!"
"Jangan!" cegah Angin Betina. "Kita ikuti saja dia dari kejauhan!"
Suto menyahut, "Kau saja yang mengikutinya, Angin
Betina. Aku akan potong jalan menuju pantai secepatnya
bersama Logo. Aku akan menyusuri pantai untuk
menghadangnya sewaktu-waktu lolos darimu."
"Baik!"
Harimau Jantan yang takut melihat Logo segera
menyahut, "Aku pulang saja! Toh aku sudah membalas kematian ketiga muridku dari
tangan Urat Setan!"
"Bagaimana dengan pemuda yang dibawa lari Nyai
Gandrik itu?" tanya Angin Betina kepada Harimau
Jantan. "Hmmm... eh..biarlah. Aku cari pemuda ganteng
lainnya. Yang ini juga boleh," sambil tangannya
mencubit dagu Suto Sinting.
Bertt...! Buuhk...! Angin Betina berkelebat memutar
tubuh dan menendang dada Harimau Jantan. Dada
sekeras batu itu berhasil terguncang keras dan tubuh
Harimau Jantan tumbang ke belakang. Angin Betina
menghampirinya dan dengan tegas ia mengancam,
"Jangan mengusik dia kalau kau tak ingin hancur di tanganku!"
* * * 8 PANTAI yang dituju Lancang Puri adalah pantai
berdinding tebing karang pada sebelah timur dan barat.
Di pantai itu terdapat sebuah makam kuno yang menurut
cerita para tokoh tua adalah makam seorang tokoh sakti
bernama Ki Balantara. Makam itu sudah puluhan tahun
ada di pantai tersebut. Sebagian tanahnya sudah
membatu. Konon jika air laut sedang pasang, makam itu
tak pernah terendam air. Bahkan jika ombak menyapu
sampai tepian hutan, makam itu tak pernah terkena
ombak, sehingga keadaannya selalu kering.
Lembayung senja mulai menua. Matahari di
cakrawala kian tenggelam. Tapi suasana senja tidak
membuat Lancang Puri lupa dengan tempat itu. Bibinya
telah membawa lari Kitab Lorong Zaman dari Biara
Genta dan menyimpannya di sela-sela bebatuan bagian
kiri makam Ki Balantara.
Sementara Nyai Gandrik membawa lari kitab pusaka
itu, Lancang Puri pun disuruhnya lari berbeda arah untuk
memancing Urat Setan yang juga menghendaki kitab
tersebut. Dengan cara begitu Nyai Gandrik dapat
membawa lari kitab pusaka itu dengan bebas tanpa
penghadang satu pun. Justru orang akan terkecoh dan
menyangka kitab ada di tangan Lancang Puri. Tetapi
mereka sebelumnya sudah sepakat untuk menyimpan
kitab di tempat itu, untuk kemudian akan diambil
Lancang Puri jika keadaan sudah aman dan dibawanya
lari ke Pulau Sabung, tempat Perguruan Perisai Sakti
berada. Pulau Sabung letaknya tak seberapa jauh dengan
Pulau Lanang, sehingga sewaktu-waktu Nyai Gandrik
bisa berkunjung ke perguruan milik keponakannya itu.
Tetapi alangkah kecewanya Lancang Puri ketika
mengetahui kitab itu tidak ada di tempat yang dijanjikan dan disepakati dengan
bibinya. Batu-batu dibongkarnya
semua, pasir dikeruknya, tapi kitab tersebut tetap tidak ditemukan. Lancang Puri
menjadi berang dan jengkel
sekali. "Bibi menipuku!" geramnya penuh kemarahan.
"Kitab itu pasti dibawanya ke Pulau Lanang untuk
dipelajari sendiri! Jahat!" Lancang Puri menendang bongkahan batu yang segera
melayang dan pecah di
udara. Prakk! Gemuruh kemarahan di dalam dada
semakin ingin meledakkan seluruh tubuhnya. Napas pun
terengah-engah karena tak bisa lampiaskan kemarahan
kepada bibinya. Lancang Puri sama sekali tak menduga
kalau bibinya akan berkhianat.
"Aku harus melabrak Bibi ke Pulau Lanang! Tak
peduli dia bibiku sendiri jika menghalangi niatku
pelajari ilmu Kitab Lorong Zaman, akan kulawan
dengan pertaruhkan nyawaku!"
Sepasang mata Angin Betina yang mengintip dari
atas pohon memperhatikan gerakan-gerakan Lancang
Puri, sehingga ia dapat menyimpulkan apa yang terjadi
pada diri Lancang Puri.
"Ternyata ia ditipu oleh bibinya sendiri. Hmm...!
Berarti kitab itu sekarang ada di tangan Nyai Gandrik!
Aku harus merebutnya dengan cara bagaimanapun.
Mungkin aku memang harus menyusulnya ke Pulau
Lanang!" Angin Betina masih di atas poon berdaun lebat.
Keadaannya di atas pohon tak mudah diketahui orang
dari bawah, karena dahan pohon itu sendiri tumbuh
bersilang-silang dengan rapat.
Dari atas pohon itu juga, Angin Betina melihat
gerakan seseorang yang berlari menembus hutan.
Pandangan mata yang tak sengaja itu membuatnya
tercengang, dan segera mengejar orang tersebut dari
pohon ke pohon bagaikah seekor kelelawar betina.
Angin Betina lakukan pengejaran terhadap orang itu
karena dilihatnya tangan kiri orang itu menentang
sebuah kitab berwarna hijau dan berukuran sedikit besar serta tebal.
Dalam waktu singkat, Angin Betina mampu
menghadang langkah orang yang membawa kitab
berwarna hijau tua itu. Jleeg...! Orang itu kaget melihat Angin Betina tahu-tahu
sudah berada di depan
langkahnya. Angin Betina menyapa lebih dulu dengan
nada ketus dan sinis.
"Ternyata kau yang mencuri Kitab Lorong Zaman itu, Harimau Jantan"!"
Dengan suara genitnya Harimau Jantan menjawab,
"Kebetulan saja. Saat kucari Urat Setan, kutemukan Lancang Puri dan Nyai Gandrik
sedang berembuk
tentang kitab ini. Lalu kulihat Nyai Gandrik
sembunyikan kitab ini di dekat makam Ki Balantara.
Lalu kuikuti dia, ternyata dia mau colong kekasihku, si tampan yang dihajar
Lancang Puri itu. Aku sakit hati
sekali. Sakiiit... sekali! Maka kucuri saja kitab ini
sebagai ganti dibawanya si tampan itu!"
"Sekarang kitab itu serahkan padaku."
"Tak bisalah, ya..."!" ia melengos ganjen. Kitab didekap. "Aku juga mau pelajari
ilmu yang ada di dalamnya."
Tiba-tiba sekelebat benda kuning emas menyerang
Harimau Jantan dari belakang. Zraabb...! Ternyata benda kuning emas itu adalah
sekumpulan jarum beracun milik
Lancang Puri. Rupanya Lancang Puri mendengar suara
orang berlari dan ia mengikutinya sampai tempat
tersebut. Jarum beracun ganas yang mematikan itu tak bisa
dihindari lagi oleh Harimau Jantan. Tubuhnya
mengejang dan dalam sekejap ia telah tumbang menjadi
hangus seperti nasib kedua pendeta kakak-beradik itu.
Semua pakaian dan goloknya juga ikut terbakar. Tetapi
Kitab Lorong Zaman tetap utuh tanpa bekas hangus
sedikit pun. Melihat Harimau Jantan mati hangus, Angin Betina
segera menerjang mayat itu sebelum rubuh. Wuuutt...!
Bresss...! Mayat itu terpental dan Kitab Lorong Zaman
sudah berada di tangan Angin Betina.
Lancang Puri berang. "Jahanam! Serahkan kitab itu!"
teriaknya keras-keras.
Angin Betina hanya memandang dengan mata
galaknya tapi dengan senyum kemenangan. Sementara
itu kitab diselipkan di sabuk hitam yang melilit pada
pinggangnya. Pedang masih bersarung tetap digenggam
di tangan kiri, kapan saja siap dicabut.
"Cepat serahkan kitab itu atau kuakhiri masa
hidupmu"!" bentak Lancang Puri dengan mata mendeiik penuh kecemasan-bercampur
kemarahan. "Kau yang pantas mengakhiri masa hidup karena
tanganmu berlumur darah! Dua biara kau bantai
sedangkan mereka tidak bersalah kepadamu. Sungguh
tindakan yang menyerupai naluri seekor binatang."
"Setan kau! Tak perlu banyak bicara! Kubuktikan
ancamanku tadi. Hiaaah...!"
Angin Betina cepat cabut pedangnya ketika pedang
Lancang Puri berkelebat ingin membelah kepalanya.
Trangng...! Pedang itu ditangkisnya. Suaranya
menggema ke mana-mana. Trang, trang... traang...! Wut,
wut, wut... trang!
Kedua perempuan itu beradu kecepatan bermain
pedang. Gerakan jurus pedang mereka begitu cepat,
sehingga sulit diikuti oleh mata manusia biasa. Tetapi Angin Betina ternyata
mampu bergerak menyamai
gerakan angin. Dalam kejap berikutnya, pedangnya
berkelebat dalam gerak tipuan. Lancang Puri salah
hindar, akibatnya pinggangnya tersabet pedang Angin
Betina. Craass...!
"Aaahg...!" Lancang Puri tersentak mundur dan melayang jatuh karena setelah
tersabet pedang, kaki
Angin Betina menendangnya dengan kuat. Brrukk...!
Angin Betina sedikit terperanjat melihat tubuh
Lancang Puri jatuh tepat di depan kaki seorang
perempuan berjubah hitam. Perempuan itu tak lain
adalah Nyai Gandrik, Bibi Lancang Puri yang disangka
telah berkhianat.
"Kau memang punya jurus pedang hebat, Angin
Betina! Tapi tetap saja harus menebus kekalahan
keponakanku dengan nyawamu!"
"Nyai Gandrik, sekalipun kau sahabat mendiang
guruku, tapi aku tidak akan mundur demi pertahankan
kitab ini!"
"Bagus! Bersiaplah untuk menerima akibatnya, Angin Betina!"
Selesai bicara begitu, kedua tangan Nyai Gandrik
bergerak mempertemukan ujung jari tengah kiri dan
kanan. Dari ujung jari tangan itu melesat sinar kuning ke atas, lalu jatuh ke
bawah tepat di atas kepala Angin
Betina. Tentu saja Angin Betina tidak mau pandangi
sinar kuning yang melesat ke atas itu, karena takut
kehilangan kewaspadaan dan dapat dicuri
kesempatannya pada saat ia memandang ke atas. Nyai
Gandrik dapat lepaskan pukulan mautnya saat Angin
Betina mendongak ke atas.
Tetapi rupanya gerakan sinar kuning yang seperti
bola itu dilihat oleh Suto Sinting dari pantai. Pendekar Mabuk menghantam sinar


Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuning itu dari kejauhan
dengan pukulan 'Surya Dewata' yang bersinar ungu itu.
Blaarrr...! Sinar kuning itu meledak di udara sebelum
jatuh ke kepala Angin Betina. Itu pun tak membuat mata
Angin Betina mendongak ke atas. Matanya tetap tertuju
kepada Nyai Gandrik yang terkejut melihat sinar
kuningnya meledak di angkasa.
"Pasti itu pekerjaan Pendekar Mabuk yang berada di pihakmu, Angin Betina!"
"Aku tak peduli pekerjaan siapa, yang jelas kalau kau nekat menyerangku maka aku
pun akan menyerangmu,
Nyai Gandrlki"
"Persetan dengan kata-katamu! Hiaaah...!"
Nyai Gandrik sentakkan kedua tangannya ke
samping, dan tiba-tiba tubuhnya bercahaya merah
membara. Cahaya merah itu melesat bagai membentuk
kepingan ke arah Angin Betina. Angin Betina melawan
kepungan itu dengan tebasan pedangnya yang mampu
bergerak sangat cepat dan hadirkan angin kencang
berhawa panas. Namun sinar-sinar merah itu agaknya
tak bisa ditembus oleh kekuatan ilmu lain, sehingga
akhirnya tubuh Angin Betina dihantam cahaya merah
lebar membungkus diri. Zlaapp...! Wuuurrb...!
"Aaaahg...!"
Angin Betina mengejang dengan wajah menyeringai
kesakitan. Tubuhnya berubah menjadi merah membara
bagaikan tanpa kulit lagi. Pada saat itu Suto Sinting,
berkelebat dari arah samping. Sinar merah dari tubuh
Nyai Gandrik itu dihantam dengan kibasan bumbung
tuaknya. Wuuukk...! Blaarr...!
Sinar merah itu bagaikan membalik arah karena
terkena bumbung tuak. Kini tubuh Nyai Gandrik
terhempas dan membentur pohon. Tubuh Angin Betina
sudah padam, tak menyala merah lagi. Tapi keadaannya
terkulai lemas dengan napas kian menipis.
Suto Sinting segera tuangkan tuak ke mulut gadis
berwajah cantik liar itu. Ia lakukan hal itu agar tak
terlambat kehilangan nyawa Angin Betina. Entah berapa
teguk tuak diminumkan ke mulut Angin Betina. Yang
jelas mata Suto memandangi Nyai Gandrik yang
terlempar dalam keadaan kulitnya terkelupas itu.
Perempuan tersebut menggeram panjang. Ingin lakukan
penyerangan lagi namun segera bimbang. Akhirnya ia
segera menyambar Lancang Puri yang masih bernapas
namun terluka parah itu. Dalam keadaan wajah dan
tubuh melepuh dan terkelupas, Nyai Gandrik
menggeram tinggalkan ancaman,
"Suatu saat akan kubalas kekalahanku ini! Tunggu
saat yang baik, Suto!"
Wuuuttt...! Ia masih mampu bergerak cepat dan pergi
membawa Lancang Puri. Rupanya ia menyimpan perahu
di sebelah timur tebing. Di perahu itu terdapat tubuh
Dewa Rayu yang masih terluka parah. Dengan perahu itu
ia membawa pergi kedua orang tersebut ke Pulau
Lanang, sementara Suto Sinting segera membantu Angin
Betina yang mulai sadar dan memegangi Kitab Lorong
Zaman. Logo hanya diam saja, memandangi keadaan
Angin Betina dengan wajah menampakkan kelegaannya.
Sebenarnya Logo ingin ajukan usul untuk mengejar Nyai
Gandrik, tapi belum-belum Suto sudah berkata,
"Biarkan dia lari. Siapa tahu dia jera dan tak mau menjadi pencuri lagi!"
Angin Betina meraih pundak Suto, lalu dibimbing
untuk berdiri. Napasnya masih terengah-engah walau tak
terlalu memburu. Kitab Lorong Zaman dicabut dari
pinggangnya. Dipandanginya beberapa saat, lalu ia
berkata kepada Suto,
"Aku akan minta pendapat Resi Wulung Gading dulu,
bolehkah pelajari isi kitab ini sementara pemiliknya
sudah dibunuh oleh mereka?"
"Itu langkah yang baik! Tak ada jeleknya kalau
sekarang kita singgah dulu ke Muara Singa, esok baru
pergi menghadap Resi Wulung Gading."
"Kau akan mendampingiku, Suto?"
"Kalau kau tak keberatan."
Senyum Angin Betina mekar dengan indah dan manis
sekali. Ia berkata dalam bisik, "Sepanjang masa pun, aku tak akan pernah
keberatan didampingimu."
"Kalau sepanjang masa, itu namanya ngelunjak!"
canda Suto Sinting yang membuat mereka tertawa kecil.
Tapi Logo tidak mau tertawa dan bahkan berwajah
cemberut. Sepertinya ada yang tidak berkenan di hati
anak jin itu. Suto heran dan bertanya, "Kenapa kau tidak ikut
tertawa, Logo?"
Anak jin itu menjawab, "Katanya kau ingin kawin
dengan ibu, tapi kenapa sekarang berkasih-kasihan
dengan Angin Betina"!"
Suto diam, saling pandang dengan Angin Betina yang
langsung kehilangan senyum cerianya begitu mendengar
kata-kata Logo.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul
PERAWAN MAHA SAKTI
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Istana Pulau Es 5 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Kisah Pedang Bersatu Padu 14

Cari Blog Ini