Ceritasilat Novel Online

Manusia Pemusnah Raga 1

Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 ENTAH siapa orangnya yang memasang jerat di
hutan itu. Mungkin seorang pemburu rusa yang ingin
menangkap binatang buruannya dengan cara memasang
jerat di tanah. Jerat itu dihubungkan dengan pucuk dahan pohon tinggi yang
lentur dan bisa dilengkungkan ke
bawah. Jika kaki rusa masuk ke dalam lingkaran
tambang dan menyamparnya, maka kaki rusa itu akan
langsung terjerat tambang itu. Jika tambang tersentak, maka penyangga ujung
dahan yang melengkung itu akan
bergeser dan dahan itu akan naik ke atas. Lalu rusa yang terjerat akan
tergantung kakinya.
Namun agaknya sang rusa sudah hafal dengan polah
tingkah para pemburu. Sang rusa tidak mau melewati
bagian bawah pohon tersebut. Yang melewati pohon itu
adalah seorang lelaki agak pendek bertubuh kurus,
rambut pendek, usianya sekitar empat puluh tahun, ia
mengenakan pakaian serba hijau seperti daun berjalan.
Wajahnya bulat dengan kumis tipis di bawah hidung.
Kumis itu yang membuat wajahnya menjadi lucu.
Ketika ia berlari melewati pohon tersebut, tiba-tiba
kakinya menyampar tambang dan tambang pun menjerat
kaki kirinya itu. Serrt...!
Wuuttt...! Tubuh pun melayang di udara karena dahan
pohon naik seperti semula. Kini tubuh orang berpakaian hijau itu tergantung
dalam keadaan kepala di bawah dan kaki di atas, yang kiri terjerat tambang.
"Monyeeett...!" makinya dengan geram. "Siapa yang menaruh jerat sembarangan"!
Kurang ajar! Kaki mulus-mulus jadi kena jerat begini. Uuh... mana susah sekali
melepaskannya"!"
Orang itu memaki dan menggerutu tiada habisnya, ia
berusaha membuka tali jerat dengan mengangkat badan
ke atas, namun selalu gagal. Tangannya tak bisa
mencapai mata kaki yang terkena jerat itu. Akhirnya
orang itu hanya terayun-ayun di udara dengan hati
dongkol. "Bajing tengik! Kalau sudah begini mau apa aku"
Melepaskan jerat tak bisa, turun tak bisa, mana dari tadi hawanya kepingin buang
air terus. Aduh...! Kalau
kupaksakan buang air, pasti akan tumpah menyiram
wajahku sendiri. Sial! Benar-benar terkutuk orang yang memasang jerat ini!"
Dari pagi sampai siang ia tergantung di situ tanpa ada
orang yang mau menyapanya, karena memang tidak ada
orang lewat daerah hutan itu. Pikirnya, berteriak minta tolong pun sia-sia,
sebab hutan itu sepi dan jarang dilalui orang karena banyak rawa dan lumpur
hidupnya. "Mati aku kalau begini! Mati kelaparan lebih
menyedihkan daripada mati ketiban kelapa!" pikirnya dengan cemas dan waswas.
Sementara itu, rasa ingin
buang air semakin meningkat, membuat ia menyeringai
beberapa kali. "Menyesal sekali aku, kenapa tadi tidak buang air dulu sebelum tergantung
begini, ya" Goblok betul aku ini!"
Gerutuan itu pun akhirnya terhenti karena ia
mendengar suara langkah kaki di semak-semak. Hati
orang itu berdebar-debar dengan mata melirik ke sana-sini mencari suara langkah
kaki tersebut. "Moga-moga orang itu lewat di bawahku dan aku bisa minta tolong padanya,"
ucapnya dalam hati dengan penuh harap.
Ternyata harapan itu pun terkabul. Seorang pemuda
tampan lewat di tanah bawahnya. Rupanya pemuda
tampan itu adalah Pendekar Mabuk, Suto Sinting, yang
menyandang bumbung tuak di punggungnya. Melihat
ada orang tergantung kakinya, Suto Sinting hentikan
langkah dan mulai mendongak memperhatikan lebih
dekat lagi. "Hei, jangan memandangiku terus!" hardik orang yang tergantung dengan lagak
galaknya. "Kau tergantung kena jerat, Paman"!"
"Tidak. Aku sedang bertapa," jawab orang itu dengan menutup rasa malunya, takut
dianggap orang bodoh
yang mudah terkena jerat.
"Bertapa kok kaki kirinya yang digantung?"
"Ya ini namanya tapa gantung."
"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam senyum dikulum. "Gunanya tapa
gantung untuk apa,
Paman?" "Untuk dapatkan jurus sakti..."
"Jurus apa itu?"
"Jurus... jurus 'Bintara Jingga', itu jurus sakti yang...."
Tiba-tiba ada sepotong kayu yang melayang cepat
menghantam dada orang itu. Buuhg...!
Heeegh..."!" orang itu terpekik dengan suara tertahan, matanya mendelik dan
mulutnya ternganga bagai susah
bernapas. Sepotong kayu itu terasa seperti sebatang besi beton yang menghantam
meremukkan tulang dada.
Entah siapa pelempar kayu itu, yang jelas Suto
Sinting melihat gerakan kayu dari timur. Suto Sinting
tetap tenang, memungut kayu itu dan memandanginya
sambil tersenyum-senyum. Lalu melemparkan kayu itu
asal-asalan. Weess...!
Pletokk...! "Aaauh...!"
Kayu yang jatuh di semak-semak belakang Suto itu
ternyata mengenai kepala orang yang bersembunyi di
sana. Orang itu langsung memekik dan keluar dari
persembunyiannya sambil menghamburkan serangkai
makian. "Dasar wedus! Seenaknya saja buang kayu! Lihat, benjol kepalaku ini, tahu"!"
Suto dimarahi. "Oh, aku tidak tahu kalau kau ada di situ, Paman.
Lain kali kalau mau menguntitku bilang dulu, jadi aku tidak buang kayu
sembarangan," kata Suto Sinting yang sebenarnya sudah tahu bahwa langkah kakinya
dari tadi dikuntit oleh seseorang.
"Kau yang melemparkan kayu itu, ya"!" bentak orang yang digantung.
"Iya!" jawab orang berpakaian biru tua itu. "Memang aku yang melemparmu. Mau apa
kau"!"
"Kau yang memasang jerat ini, bukan"!"
"Bukan! Mau apa kau"!" orang berbaju biru dengan usia sekitar empat puluh tahun
juga itu selalu bersikap menantang. Orang itu bertubuh agak gemuk dengan
hidung pesek tapi matanya lebar. Rambutnya pendek
mengenakan ikat kepala warna biru juga.
"Mengapa kau melemparkan kayu itu padaku"!"
"Karena ternyata kaulah yang memiliki jurus 'Bintara Jingga' itu!"
"Apa maksudmu?" sela Suto Sinting. "Mengapa kau bersikap memusuhi orang yang
mempunyai jurus
'Bintara Jingga'" Apa salahnya?"
"Orang ituiah yang membuat penduduk desaku
menjadi lenyap dan desa menjadi sepi bagaikan kuburan.
Hanya aku yang masih hidup, sendirian! Aku kesepian
seperti anak yatim piatu, maka aku pun dendam kepada
pemilik jurus 'Bintara Jingga' itu!"
Dahi Suto Sinting berkerut mendengar penjelasan
yang disertai dengan luapan kejengkelan. Matanya
pandangi orang yang berpakaian biru, sementara orang
yang tergantung segera berkata kepada orang berpakaian biru,
"Hei, aku baru ingin memiliki jurus itu. Bukan sudah memiliki. Dengan bertapa
gantung seperti ini, kata orang kita bisa memiliki jurus 'Bintara Jingga'. Tapi
nyatanya baru akan mendapatkan jurus itu saja sudah sesak napas dan dada menjadi
bengkak begini! Maka dari itu,
kubatalkan sajalah bertapaku ini. Tolong turunkan aku!"
Suto Sinting tersenyum geii. Akhirnya orang itu
mengaku secara tak langsung bahwa ia memang terkena
jerat. Namun permintaan tolong itu sengaja diacuhkan
oleh Suto. Ia malahan bicara dengan orang berpakaian
biru yang tinggi badannya sama dengan orang yang
tergantung. "Benarkah penduduk desamu lenyap semua?"
"Benar. Justru aku berusaha mencari seseorang yang bisa mengembalikan para
tetanggaku."
"Lalu, apa hubungannya dengan sikapmu
menguntitku sejak dari lembah cadas tadi?"
Orang berpakaian biru itu tersipu-sipu. "Sial.
Rupanya ia tahu kalau kuikuti dari tadi" Hebat juga dia.
Tak salah lagi, pasti dialah orang yang bisa kumintai bantuan."
Selesai membatin demikian, orang berpakaian biru itu
berkata, "Aku sengaja mengikutimu, karena aku punya dugaan bahwa kau adalah
Pendekar Mabuk, murid si
Gila Tuak yang bernama Suto Sinting."
"Jika benar begitu, lantas bagaimana?"
"Aku mau minta bantuanmu untuk membuat para
tetanggaku yang lenyap itu jadi muncui kembali."
"Enak saja. Kau sangka aku tukang sulap"!" gerutu Suto Sinting. "Siapa namamu,
Paman"!"
"Orang-orang memanggilku; Bagus Sepasar. Tapi
nama asliku sendiri; Wirusida."
Orang yang digantung berseru, "Hoi, tolong jeratanku ini!"
Pendekar Mabuk tersenyum, ia menenggak tuaknya
sesaat. Orang berbaju hijau berkata membentak,
"Dimintai tolong melepaskan jeratan malah minum"
Huhh... dasar pemabuk!"
Brruuss...! Tiba-tiba sisa tuak di mulut Suto
disemburkan dengan satu lompatan kecil. Walau
semburan itu hanya sedikit namun sempat mengejutkan
kedua orang itu. Mereka tidak tahu kalau semburan itu adalah jurus 'Sembur
Siluman' yang membuat tambang
itu menjadi lenyap seketika tanpa bekas. Orang yang
digantung pun segera jatuh tersungkur ke tanah.
Brrukk...! "Aaauuh...!" ia mengerang kesakitan, dagunya menjadi lecet akibat membentur akar
yang mirip batu.
Tentu saja kedua orang itu menjadi tertegun bengong
dan terheran-heran melihat tambang itu lenyap tak
berbekas. "Sakti juga dia?" pikir orang yang tadi tergantung.
"Namamu siapa, Paman?" tanya Suto kepada orang berbaju hijau.
"Hmmm... eeh... namaku; Mario Kere."
"Hmmm... nama yang bagus sekali,'" gumam Suto memuji untuk membanggakan hati
orang berbaju hijau.
"Apa benar kau sedang bertapa untuk dapatkan ilmu
'Bintara Jingga', Kang?" tanya Bagus Sepasar kepada Mario Kere dengan nada agak
sinis. "Tidak. Aku tadi terjerat dan tergantung tanpa
kusengaja. Entah siapa yang memasang jerat itu."
"Lalu kau tahu tentang Jurus atau ilmu 'Bintara
Jingga' dari siapa?" Bagus Sepasar masih bernada
curiga. "Aku pernah mendengar percakapan orang di sebuah
kedai, bahwa ada seorang yang telah berhasil
mempelajari jurus 'Bintara Jingga'. Kabarnya jurus itu sangat sakti dan mampu
melenyapkan manusia tanpa
setitik darah pun. Aku kagum dengan celoteh mereka
tentang jurus itu, lalu nama jurus itu membekas dalam ingatanku."
"Jangan-jangan memang kau pemilik jurus 'Bintara
Jingga' itu, Paman Mario Kere"!" kata Suto sekadar iseng.
"Berani sumpah mati tanpa kenduri; aku tidak
mempunyai jurus itu!" kata Mario Kere dengan
sungguh-sungguh.
"Pendekar Mabuk, bisakah kau menolongku seperti
apa yang kukatakan tadi?" Bagus Sepasar memandang Suto dengan penuh harap.
"Aku bukan tukang sulap, Paman Wirusida. Kalau
memang orang sedesa bisa dilenyapkan oleh jurus
'Bintara Jingga', berarti orang-orang itu telah mati tanpa jasad. Aku bukan dewa
yang bisa membuat orang mati
bisa hidup kembali, Paman."
Wirusida atau Bagus Sepasar tampak murung sedih.
"Soalnya, keluargaku juga ikut lenyap."
"Kalau kau mau menemukan keluargamu lagi, aku
bisa membantumu," tiba-tiba Mario Kere berucap
dengan tegas. "Kau bisa mempertemukan aku dengan keluargaku?"
"Yah, maksudnya dengan roh keluargamu. Kau bisa
bicara dengan mereka dan menanyakan siapa orang yang
melepaskan jurus 'Bintara Jingga' itu."
"Bagaimana caranya"!" Wirusida tertarik sekali.
"Kita pergi ke pondok Nyai Songket."
"Siapa itu Nyai Songket"!"
"Dukun pemanggil roh."
"Kalau begitu, antarkan aku ke sana! Kau tahu di mana pondoknya berada, bukan?"
"Tentu saja," jawab Mario Kere. "Tapi tentunya pula ada upah tersendiri
untukku." "Aku punya empat ekor kambing yang tidak ikut
lenyap. Kau boleh mengambilnya seekor sebagai
upahmu mengantarkan aku bertemu dengan Nyai
Songket." "Oh, kau menyenangkan sekali, Kang! Baiklah, kita berangkat sekarang saja supaya
aku bisa lekas-lekas
ambil kambingmu itu! He, he, he...!" Mario Kere tertawa kegirangan. Suto Sinting
hanya tersenyum sambil
geleng-geleng kepala ketika mereka pergi
meninggalkannya. Namun setelah itu ia menjadi tertegun dan berkata dalam
batinnya sendiri.
"Benarkah ada jurus yang mampu melenyapkan orang
sedesa" Siapa pemiiik jurus 'Bintara Jingga' itu?"
Sambil melangkah pikiran Suto Sinting tertuju pada
jurus 'Bintara Jingga', ia menjadi penasaran dan ingin tahu seperti apa
kedahsyatan jurus itu.
"Atau jangan-jangan hanya dongeng belaka?" duga hati Suto dengan sangsi. "Sayang
sekali tadi aku lupa menanyakan nama desanya Paman Bagus Sepasar itu.


Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seharusnya aku datang ke desa itu dan melihat
keadaannya, benarkah orang sedesa lenyap semua atau
yang dimaksud 'lenyap' adalah pergi mengungsi ke
tempat lain?"
Pendekar Mabuk ingin kembali mengejar Bagus
Sepasar dan Mario Kere, tapi langkahnya terhenti oleh
sekelebat bayangan yang melintas di sela-sela pohon
sebelah barat. Suto Sinting menjadi curiga dengan orang yang berkelebat cepat
itu. "Sepertinya orang itu sedang dikejar sesuatu atau sedang mengejar sesuatu" Yang
jelas ia dalam keadaan tegang dan terburu-buru. Ada apa" Ah, kuikuti saja
gerakannya. Aku ingin tahu apa yang ia lakukan.
Jangan-jangan ada hubungannya dengan jurus 'Bintara
Jingga' itu."
Zlaapp...! Suto Sinting mengikuti arah pelarian
bayangan yang berkelebat tadi. Ia mampu menyusulnya
karena ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
kecepatannya melebihi kecepatan anak panah terlepas
dari busurnya. Rupanya sosok yang berlari cepat bagai bayangan itu
menuju ke sebuah bukit yang tak seberapa tinggi dan
mudah didaki. Bukit itu mempunyai hutan tak seberapa
lebat, dan tampaknya sering digunakan orang untuk
memotong jalan menuju ke sebuah desa di seberang
barat bukit tersebut.
Namun Suto Sinting akhirnya terhenti sendiri dan
merasa terkejut karena orang yang diikutinya itu tahutahu lenyap tak terlihat gerakannya. Mata anak muda itu memandang dengan tajam
ke alam sekelilingnya.
"Hmmm... dia menghilang atau lenyap dihantam
jurus 'Bintara Jingga'" Atau jangan-jangan terperosok ke sumur tua"!" pikir Suto
Sinting sambil melangkah pelan-pelan mencari orang tersebut.
Wuuutt...! Tiba-tiba kaki Suto menyentak pelan ke
tanah dan tubuhnya melayang di udara, akhirnya
hinggap di atas sebuah pohon. Dari sana ia melemparkan pandangan lebih leluasa
lagi. "Kurasa ia bergerak ke arah puncak bukit. Coba
kuperiksa ke sana!" pikir Suto, kemudian segera melesat melompati dahan demi
dahan, hingga dari pohon ke
pohon tanpa menimbulkan suara gemerisik. Ilmu
peringan tubuhnya yang cukup tinggi itu membuat
pohon yang dihinggapi tak bergetar sedikit pun. Bahkan ranting yang dipijaknya
tak sempat gemertak patah
karena ringannya tubuh sang Pendekar Mabuk.
Sampai akhirnya langkah itu pun terhenti karena
pandangan mata Suto beralih pada sesosok tubuh
berjubah kuning gading. Hatinya cepat berseru, "Seorang gadis..."!"
Gadis itu bagai kebingungan mencari jalan karena
berada di antara kerimbunan semak ilalang. Gadis itu
berambut panjang, sebagian disanggul. Selain berjubah kuning gading, juga
mengenakan celana ketat dari
beludru hijau dan pinjung penutup dada warna hijau
pula. Ia menyandang sebilah pedang di pinggang
kirinya. Dari kejauhan ia tampak cantik. Suto bergegas turun untuk menemuinya.
Tapi gadis itu melesat ke arah yang tak diketahui Suto.
"Sial! Ke mana tadi si cantik perginya"!" Pendekar Mabuk menyelusup di antara
semak dan mencari
pemandangan elok yang tadi dilihatnya dari atas pohon.
Hatinya sempat membatin pula.
"Jangan-jangan peri penunggu hutan ini"! Oh, aku
bisa masuk perangkap peri jika kuikuti terus rasa
penasaranku ini"!"
* * * 2 HEMBUSAN angin menyapu rambutnya yang
panjang sepunggung meriap-riap. Sebagian rambut
sempat menyilang di wajah yang bermata cekung dan
berkulit pucat itu. Pancaran mata cekungnya cukup
dingin, seakan mampu membekukan darah manusia
yang dipandangnya, ia mengenakan jubah lengan
panjang warna abu-abu tanpa dikancingkan bagian
depannya. Kain jubahnya itu pun melambai berkelebat
ditiup angin Bukit Ranjang Sotan.
Dengan tulang rahang yang tampak menonjol keras,
tulang pipi juga bertonjolan kaku, wajah angker tanpa kumis itu masih tidak
bergeming dari tempatnya berdiri.
Sekalipun tubuhnya kurus, namun ia tampak tegak
dalam berdirinya, seakan tak pernah gentar menghadapi
lawan sehebat apa pun. Celana putih dan baju dalamnya
yang putih membuat keberadaannya di atas Bukit
Ranjang Setan tampak jelas meski dari kejauhan.
Ada sesuatu yang ditunggu oleh si wajah angker itu.
Dan sesuatu yang ditunggu itu pun akhirnya datang
menemuinya dalam bentuk kelebatan bayangan yang
melesat dari lereng menuju atas bukit tersebut. Wuuut...!
Kemudian bayangan berwarna hitam itu berhenti di
depan si wajah angker dalam jarak empat langkah.
"Kusangka kau belum datang, Demit Lanang!' ujar
bayangan hitam tadi. Wajah angker yang dipanggil
sebagai Demit Lanang itu tidak menggumam, ataupun
tersenyum sedikit pun. Hanya sorot pandangan matanya
yang tajam itulah yang bicara kepada orang di depannya.
"Maaf kalau aku membuatmu terlalu lama menunggu,
karena ada tiga orang yang harus kubantai dulu di
selatan tadi."
Orang yang bicara memakai pakaian serba hitam
dengan kepala berambut pendek botak depannya.
Tubuhnya kekar walau tak gemuk. Matanya besar,
bundar, dengan bibir tebal dan codet di pipi kanannya, ia pun mempunyai pancaran
sinar mata yang cukup tajam,
dengan tepian mata sedikit merah menandakan
keganasan jiwanya. Sebilah kapak lebar bergagang
panjang mirip tombak tergenggam di tangan kanan.
Mata kapak yang lebar dan putih mengkilat itu masih
berlumur darah, menandakan habis dipakai untuk
membunuh lawannya. Bahkan darah itu masih menetes
membasahi rumput yang ada di bawahnya, ia berusia
empat puluh lima tahun, berarti lebih muda lima tahun dari si Demit Lanang.
Setelah bungkam beberapa saat, Demit Lanang pun
mulai perdengarkan suaranya yang bulat dan besar,
menyeramkan. "Apakah kau sudah siap untuk mati, Ladang
Bangkai"!"
"Setelah membelah tubuhmu, aku baru siap mati,
Demit Lanang!"
"Baik," ucap Demit Lanang dengan suaranya yung besar dan menggetarkan hati lawan
yang bernyali kecil.
Namun bagi Ladang Bangkai yang punya nyali lebih
besar dari seorang algojo, suara itu dianggap seperti
suara jangkerik di sela hutan.
Demit Lanang teruskan kata, "Jika memang kau
sudah siap mati, aku pun akan mengawali!"
Hembusan angin semakin meriapkan rambut Demit
Lanang hingga banyak yang menutup wajah. Wajah
angkernya bertambah semakin angker dalam keadaan
diam tak bergerak dan bisu tak berkata lagi. Pandangan matanya tertuju lurus
kepada si Ladang Bangkai.
Demikian pula, Ladang Bangkai pun tak berkedip
pandangi Demit Lanang dengan pancaran mata penuh
nafsu untuk membantainya.
Demit Lanang mengangkat tangan kirinya dengan
pelan sekali. Jari-jarinya yang berkuku panjang
membentuk cakar yang makin lama semakin mengeras.
Tangan itu bergerak ke atas dengan dada semakin
dibusungkan pertanda menarik napas guna mengerahkan
tenaga dalamnya.
Ladang Bangkai segera menarik kaki kanannya ke
belakang dan mengambil sikap miring, namun kapak
besarnya itu mulai diangkat dengan satu tangan.
Gagangnya yang panjang dikempit dengan ketiak, mata
kapaknya menghadap ke samping, tangan kirinya
melebar bagai sayap burung perkasa membentang kekar.
Tiba-tiba tangan si wajah angker memancarkan sinar
bergelombang warna biru. Sinar itu mengarah ke langit, bukan ke lawannya. Bunyi
denging menyebar bagai
ditujukan kepada sang matahari.
Duiiing...! Gelombang sinarnya bergerak-gerak seperti
memanggil bala tentara dari kayangan. Pada saat itu,
Ladang Bangkai melompat ke samping kiri dengan
tubuh memutar dan kapak lebarnya menyabet dalam satu
putaran. Wuuung...!
Gerakan itu dilakukan oleh Ladang Bangkai, karena
ia tahu akan datang bahaya yang dapat menghancurkan
raganya. Ternyata perkiraan itu memang benar. Dari
langit melesat sinar biru berkelok-kelok
yang mempunyai daya luncur sangat cepat. Clap, clap, clap...!
Langsung menghantam tanah tempat Ladang Bangkai
tadi berdiri. Jgaarrr...! Tanah itu langsung retak lebar. Bukit Ranjang Setan
bergetar bagai ingin amblas ke bumi.
Sesuatu yang tak disangka-sangka Ladang Bangkai
terjadi dalam kejap berikutnya. Dari bongkahan tanah yang retak itu melesat pula
sinar biru berbentuk anak panah yang langsung mengarah kepada Ladang Bangkai.
Slaappp...! Ladang Bangkai melompat menghindari sinar biru
berbentuk anak panah. Wuuttt...! Ia lolos dari sinar biru tersebut. Sebuah pohon
menjadi korban sasaran sinar
dari dalam bumi tadi. Blegarrr...! Pohon pun hancur
dalam keadaan menjadi arang.
Slaappp...! Muncul lagi satu sinar yang sama dari
dalam retakan tanah tadi. Sinar itu seakan tahu di mana Ladang Bangkai berada
sehingga segera mengarah
kepadanya. Wuuuttt...! Ladang Bangkai kembali hindari sinar itu
namun kali ini dengan bersalto mundur satu kali. Sinar seperti anak panah pun
menghantam pohon lagi, dan
pohon hancur juga seperti tadi.
Slaapp...! Muncul lagi sinar yang sama dan mengejar
Ladang Bangkai dengan kecepatan tinggi. Ladang
Bangkai terdesak, sehingga terpaksa gunakan tangan
kirinya untuk melepaskan sinar merah seperti bola kecil yang menghantam ujung
sinar biru dari bumi.
Jlegaaarr...! Sebelum muncul lagi sinar biru seperti anak panah
dari dalam bumi, Ladang Bangkai segera lepaskan sinar
merah kembali, kali ini berbentuk seperti bola yang berukuran sebesar kepala
manusia dewasa. Wooosss...!
Sinar merah itu menghantam lubang tanah yang retak.
Blegaaarr...! Bukit Ranjang Setan bagai mau kiamat.
Guncangannya cukup besar, membuat pohon-pohon
bimbang dan tanah di sekitar lereng menjadi longsor.
Bebatuan pun terguling dari tempatnya baik yang besar
maupun yang kecil. Namun sejak itu tanah yang retak
tidak mengeluarkan sinar biru seperti tadi.
Kemudian alam menjadi sepi, hanya hembusan angin
yang terdengar mendesah panjang, menyingkapkan
rambut Demit Lanang hingga meriap ke belakang. Ia
tetap berdiri di tempat semula tanpa gerakan apa pun.
Tangannya yang berkuku panjang sudah diturunkan
sejak tadi. Hanya matanya yang masih bergerak
mengikuti gerakan Ladang Bangkai dengan sorot mata
setajam ujung pedang.
Ladang Bangkai pun berhenti dari gerakannya, ia
masih memasang kuda-kuda walau mulutnya lepaskan
tawa yang lantang, seakan melecehkan jurus lawan tadi.
"Ha, ha, ha, ha...! Permainan seperti itu ternyata masih menjadi andalan bagimu,
Demit Lanang! Murahan sekali!"
Dengan masih bersikap dingin, Demit Lanang
berkata, "Apakah kau mempunyai permainan yang tidak
murahan"! Jika memang kau memilikinya, tolong
tunjukkan kepadaku dan aku akan menilainya juga,
Ladang Bangkai!"
"O, jadi kau ingin menjajal kekuatanku" Baik, kurasa kau akan menyesal
sesampainya di neraka nanti.
Heaaahhh...!"
Ladang Bangkai melompat dalam satu gerakan
seperti bayangan berkelebat. Kapak lebarnya
dihantamkan bagai ingin membelah kepala Demit
Lanang. Wuukkk...
Laapp...! Demit Lanang hilang, kapak itu menghantam tanah
bekas tempat berdirinya si Demit Lanang. Jrruubb ..!
Dan begitu Ladang Bangkai menengok ke kiri, ternyata
Demit Lanang ada di sebelah kirinya dengan berdiri
tegak dan kedua tangan terlipat di dada, ia tampak
tenang namun membangkitkan rasa penasaran hati si
Ladang Bangkai.
Tak heran jika Ladang Bangkai pun memutar tubuh
ke kiri, wuusss...! Lalu kapak lebarnya itu menyabet
dalam satu putaran yang mampu memotong pinggang
lawan. Wuung...!
Laapp...! Demit Lanang sudah ada di belakang Ladang
Bangkai, jaraknya sekitar delapan langkah. Ladang
Bangkai berbalik arah dan menggeram dengan gigi
menggelutuk dendam.
Kapak lebar yang ujungnya runcing membentuk mata
tombak itu segera ditancapkan ke tanah. Jrrrub...!
Kemudian tubuh Ladang Bangkai melambung ke atas
dengan menggunakan gagang tombak sebagai
tumpuannya. Wuuttt...!
Tubuh itu bersalto satu kali di udara dalam lompatan


Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi. Tiba-tiba kedua kakinya sudah ada di depan
Demit Lanang dan siap menjejak dada Demit Lanang.
Tapi dengan cepat pula
Demit Lanang menghentakkan kedua tangannya ke depan, sehingga
telapak tangan itu beradu dengan telapak kaki Ladang
Dangkal. Plaaakk...! Blaarr...!
Sinar merah berkerliap pecah menyebar dari
perpaduan tangan dan kaki itu. Ledakannya menggelegar
dan membuat tubuh Ladang Bangkai melambung balik,
kemudian turun ke bumi setelah menyambar gagang
kapaknya lagi. Jlegg...!
Sedangkan Demit Lanang ternyata masih tetap tegak
di tempatnya dengan kedua kaki berdiri lurus sedikit
merenggang. Wajahnya menatap lurus ke depan dan
berkesan dingin. Angin menyapu rambutnya hingga
beberapa lembar rambut melintang di wajahnya.
Ledakan tadi tidak membuatnya terluka sedikit pun, juga tidak membuat Ladang
Bangkai mengalami cedera apa
pun. Gema ledakan menghilang, dan hembusan angin
perdengarkan suaranya yang gemuruh samar-samar.
Kejap berikutnya, keduanya saling adu pandangan mata
dalam bisu. Agaknya Ladang Bangkai merasa dongkol karena tak
mampu tumbangkan Demit Lanang. Kedongkolan itu
hanya dipendam sambil menarik napas dalam-dalam.
Kesunyian pun segera dipecahkan oleh suara Demit
Lanang yang mirip orang menggumam tapi terdengar
dengan jelas oleh lawannya.
"Hanya itukah andalanmu"!"
"Bangsat neraka!" geram Ladang Bangkai. "Jangan dulu merasa bangga, Demit
Lanang. Tadi hanya
permainan kecilku yang sekadar untuk cuci mulut! Aku
belum mengeluarkan jurus andalanku yang sebenarnya."
"Hhmm...! Kalau begitu keluarkanlah, aku siap
menerimanya!"
"Akan kuturuti permintaanmu, tapi sebelumnya aku ingin tahu dulu, apa maksudmu
menantang pertarungan
denganku di bukit ini, Demit Lanang"!"
"Nah, ini yang kutunggu-tunggu dari tadi," kata batin seseorang yang tadi
mengintip pertarungan itu dari balik semak-semak. Orang ini tadi hampir saja
mati tertimpa pohon kalau tak segera pindah tempat tanpa timbulkan suara. Sang pengintai
pertarungan itu mengenakan baju
coklat tak berlengan, celananya putih kusam, ikat
pinggangnya warna merah. Rambutnya panjang sebatas
pundak tanpa ikat kepala, dan wajahnya begitu tampan,
sehingga sering membuat para gadis bergetar hati jika
memandang senyumnya. Pemuda yang bersembunyi di
balik semak itu tak lain adalah si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Siapa lagi jika bukan Suto Sinting, sang Pendekar Mabuk, yang ke mana-mana
selalu membawa bumbung bambu isi tuak itu.
Sejak tadi Suto memang tidak mau ikut campur
dalam pertarungan itu. Ia hanya gemar menonton
pertarungan semacam itu, dan hanya akan berbuat
sesuatu jika dirasakan perlu. Sejak tadi dalam hati Suto bertanya-tanya apa
penyebab pertarungan tersebut,
namun agaknya baru sekarang pertanyaan batinnnya itu
akan mendapat jawaban dari mulut si Demit Lanang.
"Kau tak perlu berlagak bodoh, Ladang Bangkai."
kata Demit Lanang. "Kurasa hati kecilmu sudah cukup tahu, apa sebabnya kita
bertarung di bukit ini."
"Jelaskan selengkapnya, kecuali jika kau merasa takut padaku, biarkan aku
menerka-nerka sendiri tujuanmu.
Jika kau memang merasa punya nyali cukup besar,
katakan apa maksudmu menantangku bertarung di bukit
ini!" Demit Lanang diam sebentar, sepertinya menahan
gejoiak hati yang merasa terbakar karena dianggap
bernyali kecil oleh lawannya Setelah dua helaan napas, Demit Lanang pun akhirnya
berkata dengan suaranya
yang tetap menyeramkan.
"Kita bertarung untuk tentukan siapa yang berhak
bergelar Maha Guru dalam aliran silat kita, setelah Maha Guru Teja Biru wafat!"
"Ha, ha, ha, ha...!" Ladang Bangkai tertawa lantang.
Badannya berguncang-guncang dengan kapak dipakai
sebagai tongkat berdiri. Mulutnya tampak lebar pada
saat tertawa. Demit Lanang dongkol sekali, lalu ia menendang batu
kerikil sebasar kedondong. Tuuss...! Wuutt...!
Batu kerikil melesat cepat mau masuk ke mulut
Ladang Bangkai. Tapi dengan cepat mulut itu terkatup
dan kapak bergerak ke depan mulut. Mata kapak
menutup bagian wajah.
Traang...! Batu itu menghantam mata kapak yang
lebar dan masih membekas merah karena darah. Hening
segera tercipta setelah kejadian itu. Kejap berikutnya Ladang Bangkai mulai
bicara. "Wasiat lisan dari Maha Guru Teja Biru sebelum
beliau wafat mengatakan, bahwa akulah orang yang
pantas menyandang gelar Maha Guru dalam perguruan
kita. Dengan begitu maka aku berhak mengawini Ratu
Jiwandani."
"Wasiat palsu!" ucap Demit Lanang bernada tajam.
"Maha Guru Teja Biru tidak pernah keluarkan wasiat lisan seperti itu kepada
siapa pun. Tapi dalam peraturan yang tertulis pada Kitab Serat Merah, ynng
berisi peraturan bagi anggota Perguruan Darah Surga, bahwa
orang yang berhak menyandang gelar Maha Guru adalah
orang pertama yang menjadi murid Perguruan Darah
Surga. Sedangkan orang pertama yang masuk dalam
Perguruan Darah Surga adalah aku! Mengapa kau berani
merencanakan penobatan gelar Maha Guru untuk dirimu
sendiri, Ladang Bangkai"! Itu sama saja kau ingin mati di tanganku!"
"Kau hanya mengarang-ngarang sebuah peraturan,
Demit Lanang. Kalau apa yang kau katakan itu memang
benar, tunjukkan padaku peraturan yang tertulis dalam Kitab Serat Merah itu!"
"Tentu saja aku tak bisa tunjukkan padamu karena
Kitab Serat Merah telah kau curi dan mungkin kau bakar atau entah kau apakan!
Hilangnya Kitab Serat Marah
membuatmu punya alasan untuk mengangkat diri
sebagai Maha Guru dalam aliran silat Darah Surga."
"Kau pikir aku yang mencuri kitab itu"!"
"Siapa lagi kalau bukan kau, karena kaulah yang
bernafsu untuk menjabat gelar Maha Guru! Kau memang
licik, Ladang Bangkai. Kau lenyapkan dulu Kitab Serat Merah supaya tak ada orang
yang menyangkal
penobatanmu. Tapi ketahuilah, aku masih hidup. Demit
Lanang adalah orang pertama yang menjadi penganut
aliran silat Darah Surga. Siapa pun tak berhak bergelar Maha Guru kecuali aku!"
"Rupanya kau menyatakan sebagai pihak yang akan
menentang calon Maha Guru, Demit Lanang! Jika begitu
maksudmu, aku tak akan segan-segan menghabisi
nyawamu sekarang juga! Heeeaaatt...!"
Ladang Bangkai berkelebat menerjang Demit Lanang
dengan satu lompatan teramat cepat. Weesss...!
Kapaknya menyambar kepala Demit Lanang dalam
sekali tebas. Beettt...!
Laapp...! Demit Lanang lenyap. Tahu-tahu sudah berada di atas
gugusan batu besar belakang Ladang Bangkai.
"Bangsat! Hadapi jurus 'Tebas Garang'-ku ini, jangan lari kau!"
"Aku tak akan lari darimu, Ladang Bangkai. Aku
hanya sekadar ingin lenyapkan jasadmu dari sini!"
"Tahan...!" seru sebuah suara.
Tapi Demit Lanang sudah terlanjur lepaskan jurus
mautnya yang memancarkan sinar Jingga dari telapak
tangan kanannya. Claapp...!
Sinar Jingga menerjang tubuh Ladang Bangkai begitu
cepatnya, tak mampu dihindari dan ditangkis lagi.
Laaabb...! Tubuh kekar yang dihantam sinar jingga itu
tiba-tiba lenyap, tinggal pakaian dan senjatanya yang jatuh terkulai di tanah.
Setetes darah pun tak tersisa di tempat Ladang Bangkai berada. Tubuh itu
bagaikan lenyap ditelan gaib tanpa suara sedikit pan.
Pendekar Mabuk yang mengintip dari celah dedaunan
semak menjadi tercengang tak berkedip melihat
kedahsyatan sinar Jingga itu. Dan orang yang baru
datang, yang tadi berseru itu pun ikut tercengang dengan terpaku di tempat,
mulut melongo dengan mata pun
melebar. * * * 3 ORANG yang mencoba mencegah tindakan Demit
Lanang dengan seruannya tadi adalah seorang
perempuan muda, cantik dan menawan. Usianya sekitar
dua puluh tiga tahun.
Gadis itulah yang tadi dilihat Suto menerabas ilalang
dengan mengenakan jubah kuning gading dan pinjung
penutup dadanya yang montok berwarna hijau tua. Gadis
itu tampak kecewa sekali melihat Ladang Bangkai telah
lenyap karena sinar Jingga dari tangan Demit Lanang.
Pandangan mata yang kecewa akhirnya berubah menjadi
kebencian. "Kau kejam, Demit Lanang!" cacinya dengan mata menyipit menandakan kebenciannya.
"Adikmu sendiri kau lenyapkan dengan cara seperti itu! Apa lagi orang
lain, pasti kau perlakukan lebih kejam lagi!"
Demit Lanang masih diam dengan sikap dingin.
Matanya memancarkan ketajaman yang membuat bulu
kuduk si gadis sempat merinding. Namun jiwa si gadis
masih tiada gentar menghadapi sorot pandangan mata
seperti itu. Keberaniannya masih ada untuk melontarkan kata kecaman yang membuat
Demit Lanang akhirnya
bicara. "Manusia berhati apa kau ini, Demit Lanang"!
Dengan adik sendiri saja kau tega membunuhnya.
Apakah kau tak ingat bahwa Ladang Bangkai adalah
satu Ibu denganmu"!"
"Benar. Tapi lain ayah denganku," ucap Demit Lanang dengan suaranya yang besar
dan bulat. Jelas
sekali didengar oleh Suto Sinting dari tempat
persembunyiannya.
"Aku tahu maksudmu membunuh Ladang Bangkai,
hanya semata-mata ingin menggantikan lamaran Maha
Guru Teja Biru terhadap Ratu Jiwandani!"
"Kau bukan orang Perguruan Darah Surga. Sebaiknya tak perlu ikut campur urusan
kami, Kinanti!"
"Oo... gadis itu bernama Kinanti?" gumam Pendekar Mabuk dalam hatinya, ia tetap
diam di persembunyian
menyadap percakapan mereka.
"Aku memang bukan orang Perguruan Darah Surga,
tapi akulah yyang berhak memberi pertimbangan kepada
Ratu untuk memenuhi perjanjian dengan pihak
Perguruan Darah Surga atau membatalkannya!"
Demit Lanang diam sebentar, seperti ada sesuatu
yang dipertimbangkan dalam
benaknya. Kejap
berikutnya ia baru ucapkan kata penuh wibawa.
"Perjanjian itu harus ditepati jika Ratumu tidak ingin negerinya hancur! Camkan
kata-kataku ini, Kinanti!"
Laaapp...! Tiba-tiba tubuh kurus itu lenyap dari atas gundukan
batu. Kinanti yang ingin ucapkan kata menjadi batal dan mulutnya hanya bisa
ternganga tanpa suara. Matanya
memandang mencari Demit Lanang. Ternyata yang
dicari sudah ada di kaki bukit. Kinanti ingin
menyusulnya, namun Demit Lanang sudah lenyap lagi
dan pindah tempat semakin jauh.
"Aku harus mengabarkan peristiwa ini kepada Gusti Ratu Jiwandani!" pikir
Kinanti, kemudian ia segera melesat pergi dengan satu lompatan yang tergolong
cepat. Pendekar Mabuk tidak mau tinggal di
persembunyian terus, ia pun segera melesat pergi
mengikuti Kinanti. Karena gadis itu diharapkan bisa
memberikan penjelasan tentang persoalan yang
sebenarnya. Pendekar Mabuk sempat kehilangan jejak lagi karena
Kinanti melesat dengan berbelok-belok arah. Tak aneh
lagi jika Pendekar Mabuk keluarkan gerutuan karena
merasa gagal mengikuti gadis cantik tadi.
Namun ketika tiba di atas tanggul sebuah sungai lebar
berair deras, mata Pendekar Mabuk menemukan seraut
wajah cantik lagi, yaitu wajah Kinanti yang mempunyai
bibir menggemaskan itu. Tapi keadaannya sudah
berbeda. Kinanti tidak sendirian, ia berada di tepi sungai dalam keadaan sedang
berhadapan dengan dua orang
lelaki bertampang ganas. Mereka mempunyai tubuh
yang besar, tinggi dan kekar.
Yang mengenakan baju abu-abu itu bersenjatakan
cambuk di pinggangnya, berkumis lebat dengan mata
lebar. Sedangkan yang mengenakan rompi hitam itu
bersenjatakan golok besar tergenggam di tangan kirinya dalam keadaan berada
dalam sarungnya. Lelaki yang
berompi hitam itu mempunyai kumis kecil namun
melengkung ke bawah hingga mencapai dagu.
Kedua lelaki itu berambut panjang sepundak, yang
berbaju abu-abu agak ikal, yang berompi hitam lurus dan tipis, ia mengenakan
ikat kepala dari kulit macan tutul, dan gelang lebar dari kulit macan tutul
juga. Sedangkan yang berbaju abu-abu hanya mengenakan gelang hitam
dari akar bahar besar.
"Dunia ternyata sangat sempit bagimu, Kinanti, jauh kau lari akhirnya bertemu
juga denganku!" kata yang berbaju abu-abu lengan panjang.
"Kau pikir aku jera bertemu denganmu, Setan Bejat"!
Justru aku berharap bertemu dengan kalian berdua
supaya bisa menyelesaikan urusan kita dengan cara
mengirim kalian ke akhirat!"
"Berani juga gadis itu," pikir Suto Sinting tetap bersembunyi.
"Bicaramu setinggi langit, Gadis cantik," kata yang berompi hitam. "Tapi


Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kenyataannya lebih rendah dari tanah yang dipijak. Sekarang kau tak akan lolos
dari kami, Kinanti. Saatnya kami membalas kematian
saudara kami yang kau bunuh bulan lalu."
"Kapan pun kalian ingin membalas dendam aku
sudah siap, Hantu Sesat! Kau dan si Setan Bejat boleh
maju bersama untuk mempercepat urusan kita!"
Kedua wajah ganas itu mulai tampak gusar. Mereka
saling pandang sebentar, kemudian si Setan Bejat
berkata kepada Hantu Sesat,
"Habisi dia! Jangan buat mainan!"
"Sayang sekali," gumam Hantu Sesat. "Bagaimana kalau kita nikmati dulu kemulusan
tubuhnya itu?"
"Kalau kau mampu lumpuhkan, tanpa membuatnya
luka dan kehilangan nyawa, aku setuju dengan usulmu,
Hantu Sesat!"
"Mundurlah, biar kutangani sendiri gadis itu. Kalau sudah memuaskan kita, baru
kita cabut nyawanya!"
Setan Bejat menyingkir agak jauh, duduk di atas batu
besar yang ada di pinggir sungai. Hantu Sesat mulai
melangkah mencari kesempatan untuk melepaskan
serangannya. Tapi Kinanti tampak tenang dan tak
bergerak dari tempatnya.
Hanya saja, ketika Hantu Sesat tiba-tiba melompat
ingin menerjangnya, tubuh gadis itu memutar cepat
dengan tangan bagaikan menghentak kuat. Wuusss...!
Wuukkk...! "Heegh...!" Hantu Sesat mendelik, ulu hatinya bagaikan dihantam dengan batu
sebesar anak sapi. Ia
tumbang ke tanah dan berguling-guling nyaris masuk ke
sungai. "Bangsat!" geramnya sambil bangkit kembali.
Kinanti menggerak-gerakkan tangan dan kaki seperti
orang menari. Gerakannya sangat lemah gemulai dan
indah ditonton dari atas tanggul, sehingga Suto Sinting tersenyum dan berdecak
mengaguminya. Wuuttt...! Hantu Sesat menerjang dengan lompatan
rendah. Kedua tangannya menghantam secara beruntun
ke dada dan wajah Kinanti. Tetapi tangan gadis itu
menangkis setiap pukulan dengan gerakan cepat, bahkan
akhirnya gadis itu yang berhasil menghantamkan telapak tangannya ke wajah Hantu
Sesat dengan satu lompatan
kecil. Plookk...! Wuutt...! Brruuk...!
Hantu Sesat jatuh terpental dalam jarak tujuh langkah
ke belakang. Tubuhnya bersandar pada sebongkah batu
yang ada di daratan tepi sungai itu. Wajahnya tampak
merah matang bagaikan habis dibakar, ia menyeringai
sambil berusaha memegangi wajahnya. Namun wajah itu
agaknya terlalu sakit jika disentuh dengan tangannya.
Setan Bejat terperanjat melihat temannya berdarah.
Darah itu keluar dari sudut mata Hantu Sesat. Maka
dengan serta-merta Setan Bejat melompat dari atas batu dan mengarahkan tendangan
kakinya ke punggung
Kinanti. "Heeeaaatt...!"
Kinanti berbalik arah dengan cara memutar sambil
melayangkan kaki kanannya. Wuuuttt...! Tepat pada
waktu itu kaki Setan Bejat hampir menyentuh
punggungnya. Dengan begitu maka kaki Kinanti
membuang tendangan Setan Bejat dalam satu sentakan
yang cukup kuat.
Akibatnya Setan Bejat terpelanting. Tubuh besarnya
jatuh ke tanah dalam keadaan leher terlipat. Blluukkk...!
"Aaaoou...!" ia memekik keras dalam keadaan jungkir balik.
Anehnya dalam satu kejap ia sudah mampu bangkit
dan berdiri tegak di depan Kinanti. Kedua tangannya
merentang membentuk cakar. Matanya mendelik dengan
amat gusar. "Heaahh...!" Lalu, tiba-tiba tubuhnya memutar dan kakinya berkelebat menyampar
wajah cantik itu.
Plaakk...! Kinanti terpental ke samping dan jatuh
berguling-guling.
Gerakan tubuhnya yang berguling itu berhenti tepat
di depan Hantu Sesat. Kesadaran yang belum
sepenuhnya dikuasai oleh Kinanti membuatnya tak bisa
hindari tendangan kaki Hantu Sesat yang menggeram
penuh dendam itu.
"Heeaah...! Modar kau, Bangsat!"
Plook...! Wajah cantik itu menjadi sasaran kaki kasar
kembali. Tubuh yang sekal itu terbuang ke belakang dan terguling-guling
membentur batu besar.
"Habisi dia!" teriak Hantu Sesat kepada Setan Bejat, karena keadaan Kinanti
lebih dekat dengan si Setan
Bejat. Orang berkumis tebal
itu segera mencabut
cambuknya yang melengkung di pinggang. Cambuk itu
kini terlepas dari ikatannya dan segera dilecutkan ke tubuh Kinanti yang masih
tersandar di batu dengan
hidungnya yang mancung keluarkan darah segar.
Taarrr...! Kinanti sempat berguling ke kiri. Cambuk itu
mengenai batu besar dan batu itu menjadi retak pada saat cambuk menghantamnya
dengan diiringi percikan bunga
api dari ujungnya.
Kinanti buru-buru bangkit dengan sedikit
sempoyongan. Tapi tiba-tiba Hantu Sesat lepaskan
pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar hijau dari
telapak tangannya. Slaappp...!
Kinanti menggeragap dan mencoba menghadang
sinar hijau itu dengan telapak tangannya. Dari telapak tangan gadis itu keluar
cahaya bara merah. Dan sinar
hijau itu menghantam cahaya bara merah di telapak
tangan Kinanti.
Duaarr...! Tubuh gadis itu terbang melambung tinggi dalam
keadaan tidak terjaga keseimbangannya. Pada saat itulah cambuk Setan Bejat ingin
menghabisi nyaws Kinanti
dengan lecutan kuat ke arah kepala Kinanti.
Taarrr...! Blaarr...! Ternyata cambuk itu menghantam sekelebat
bayangan yang melintas melindungi kepala Kinanti.
Benda yang terkena cambuk itu adalah bumbung
tuaknya Pendekar Mabuk yang mampu kembalikan
serangan lawan. Akibat lecutan cambuk kenai bumbung
tuak, maka ledakan besar pun terjadi dengan gelombang
sentakan yang cukup kuat.
Setan Bejat terjungkal ke belakang akibat gelombang
ledakan tadi. Kepalanya membentur batu dengan cukup
keras. Untung kepala itu tak sampai bocor, namun
sempat membuat mata Setan Bejat berkunang-kunang
dan berdirinya tak bisa tenang. Sesekali menggeloyor ke kanan atau ke kiri
karena semua benda terasa berputar
dengan cepat. Kemunculan Pendekar Mabuk membuat pertarungan
terhenti sejenak. Kedua orang buas itu sama-sama
memandang Suto Sinting dengan luapan api amarah
semakin nyata. Sedangkan Kinanti berusaha memandang
dengan mata sedikit buram, ia bersandar pada batu tinggi dalam keadaan lemas.
Wajahnya pucat dan tangan
kanannya menjadi memar membiru akibat menangkis
sinar hijaunya Hantu Sesat tadi.
"Siapa dia" Mengapa tiba-tiba muncul memihakku?"
pikir si gadis dengan masih menahan rasa sakitnya.
Sementara itu, kedua orang bengis sudah berdiri
bersebelahan dalam jarak dua langkah. Keduanya samasama menggeletukkan gigi bagai tak sabar ingin
lepaskan serangan lagi. Tapi Setan Bejat yang wajahnya menjadi matang dan darah
dari sudut matanya masih
merembas perlahan-lahan segera serukan kata liarnya.
"Siapa kau, Jahanam laknat"! Beraninya kau campuri urusan kami dengan gadis itu.
Apakah kau kekasihnya
Kinanti"!'
"Benar. Aku kekasihnya!" jawab Suto tegas membuat Kinanti gelisah, menahan
berbagai rasa yang tak bisa
dijelaskan. "Sebagai seorang kekasih, aku berhak membelanya!"
kata Suto Sinting "Kalian keterlaluan. Sebagai lelaki berbadan besar dan kekar
hanya untuk melawan
perempuan. Sebaiknya kalian bermain dengan anak-anak
seusia delapan tahun saja."
"Kurobek mulutmu, haaah...!"
Suto Sinting yang pandangi wajah Setan Bejat hanya
diam saja ketika Hantu Sesat menghampirinya,
kemudian menghantam wajahnya dengan kepalan
tangannya yang besar itu. Plook...! Plookk...!
Rambut Suto Sinting dijambaknya, kemudian diadu
dengan lututnya. Prook...!
"Aaaa...!"
Hantu Sesat terkejut mendengar teriakan itu. Bukan
orang yang dihajarnya yang menjerit kesakitan,
melainkan temannya sendiri; si Setan Bejat. Wajah
temannya itu menjadi berlumuran darah dan sekarang
sedang menggeloyor
sambil pegangi kepalanya, akhirnya jatuh terduduk sambil kejang-kejang. Giginya rontok sebagian, bibirnya
robek dan matanya biru
memar. Sementara itu Suto Sinting masih diam dengan
senyum membayang di bibirnya. Tak ada luka sedikit
pun di wajah si tampan Suto itu. Sepertinya ia tak pernah terkena pukulan sama
sekali. Kinanti terheran-heran walaupun ia masih berusaha
menahan rasa sakit di tubuhnya.
Mereka tak tahu kalau Suto Sinting menggunakan
jurus 'Alih Raga'. Dia yang dipukul tapi orang lain yang kesakitan. Hal itu
dilakukan saat ia pandangi Setan Bejat tadi, segenap inti rasa sakit dipindahkan
ke raga si Setan Bejat. Karenanya ketika dia dihajar sekuat tenaga oleh Hantu
Sesat, rasa sakitnya sudah terkirim ke tubuh Setan Bejat.
"Kenapa kau yang kesakitan, Setan Bejat"! Sejak
kapan kau punya penyakit latah"!" kata Hantu Sesat.
"Mampus aku! Mampus aku! Kepalaku pecah.
Oooh... sakitnya!"
"Hmmm... aku tahu, anak muda itu punya jurus lain dari yang lain!" gumam Hantu
Sesat. "Jika dia yang kupukul, maka kau yang kesakitan, Setan Bejat. Jadi jika
kau yang kupukul, maka dia yang akan kesakitan! Nih,
rasakan pembalasanku, Pemuda pongah! Haaahh...!
Heeeaahh...!"
Plak, brrukk...! Prak, prak, plok, buk, buuhg...!
"Aaauuuh...! Hentikan! Hentikan!" teriak Setan Bejat yang semakin kesakitan
dihajar Hantu Sesat.
"Aku tahu yang berteriak kesakitan bukan kau, Setan Bejat, tapi si pongah itu!
Rasakan pembalasan ini!
Haaaeh...! Hiaaah...! Modar kau!"
Wuuss...! Tubuh Setan Bejat akhirnya terlempar
karena pukulan bertenaga dalam dari teman sendiri.
Rahangnya retak dan pelipisnya memar membuat
telinganya berdarah. Hantu Sesat kerutkan dahi pandangi Setan Bejat yang
terkapar tak berdaya itu.
"Celaka! Aku hampir membunuh teman sendiri!
Anak muda itu masih tetap tenang-tenang saja?"
Hantu Sesat serba salah, tak tahu harus bagaimana
melawan anak muda yang belum diketahui sebagai
Pendekar Mabuk itu. Akhirnya ia memutuskan ntuk
segera membawa pergi Setan Bejat dengan
meninggalkan ancaman kepada Suto Sinting.
"Kuakui sekarang kau unggul! Tapi tak berapa lama lagi aku akan berhadapan
denganmu tanpa membawa
teman satu pun. Kita berhadapan satu persatu! Dan kau, Kinanti...! Hutangmu
harus kau bayar secepatnya. Setiap waktu aku akan datang mancabut nyawamu
sebagai ganti nyawa teman kami!"
Blaass...! Hantu Sesat pergi sambil memanggul si
Setan Bejat. Pendekar Mabuk hanya tersenyum, lalu
meneguk tuaknya.
* * * 4 BEBERAPA teguk tuak membuat Kinanti sehat
kekuatannya kembali seperti semula, ia bahkan merasa
badannya lebih segar dari sebelum melakukan
pertarungan. "Sering kudengar namamu, sering kudengar pula
kesaktian tuakmu, tapi baru kali ini semuanya kualami,"
kata Kinanti dengan senyum tipis. Agaknya gadis yang
tidak suka mengumbar tawa dan senyum. Namun ia
masih bisa tampil dengan sikap bersahabat. Sikapnya itu membuatnya lebih
dikagumi Pendekar Mabuk, sehingga
sang pendekar tampan itu lebih hati-hati dalam
bertindak, bersikap dan bercanda.
"Untung kau datang dan cepat bertindak. Andai tidak, mungkin aku berhasil mereka
bunuh demi membalas
dendam atas kematian Roh Gayung, teman mereka yang
kubinasakan sebulan yang lalu."
"Kulihat kau sebenarnya mampu menumbangkan
mereka. Hanya sayangnya kau tidak mau menggunakan
jurus-jurus mautmu. Aku yakin kalau kau menggunakan
jurus andalanmu, dalam sekali gebrak mereka tumbang
bersama." "Kau terlalu yakin pada diriku," kata Kinanti sambil membersihkan jubahnya yang
sempat kotor itu. "Ilmuku tak sehebat ilmumu, Suto."
"Ilmuku pun tak seberapa tinggi," ujar Suto
merendahkan diri. Tapi gadis itu tahu, dan ia hanya
sunggingkan senyum tipis.


Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau kau bukan pendekar berilmu tinggi, tak
mungkin ratuku pernah punya rencana untuk
mengundangmu datang ke Lembah Birawa."
"O, jadi ratumu pernah ingin mengundangku" Kapan
itu?" "Ketika kami diserang oleh orang-orang Pulau Teluh.
Hampir saja wilayah kami direbut dan dikuasai oleh
orang-orang Pulau Teluh."
"Lalu, akhirnya bisa selamat?"
"Ya. Berkat bantuan dari orang-orang Perguruan
Darah Surga."
Suto Sinting diam sebentar, mengingat nama
perguruan yang pernah didengarnya dalam percakapan
di Bukit Ranjang Setan. Karenanya Suto segera ajukan
tanya kepada Kinanti.
"Bukankah perguruan itu adalah perguruannya Demit Lanang?"
"Memang benar. Apakah kau mengenal Demit
Lanang?" Suto tersenyum kecil. "Aku memperhatikan
pertarungan Demit Lanang dan Ladang Bangkai. Sampai
kemunculanmu pun kuperhatikan. Kudengar apa saja
yang kalian bicarakan."
"Ooo... pantas kau bisa datang ke sini tepat pada saat aku dalam keadaan
terdesak"! Rupanya kau bukan saja
seorang pendekar, namun juga seorang pengintai, ya"!"
Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara. "Maaf,
kulakukan hal itu karena rasa ingin tahu tentang sebuah ilmu yang sedang ramai
dibicarakan orang orang di
rimba persilatan," Suto sempat beralasan untuk menutupi kenakalannya.
"Maksudmu, sebuah jurus maut yang bernama
'Bintara Jingga'?"
"Benar. Aku sangat penasaran dan ingin tahu siapa pemiliknya."
"Kurasa kau sudah mengetahuinya, Suto."
Dahi pemuda tampan itu berkerut sejenak.
"Maksudmu... Demit Lanang itulah pemiliknya?"
"Tepat sekali. Demit Lanang pula yang membantu
kami mengusir orang-orang Pulau Teluh. Tapi semua itu
atas perintah mendiang ketuanya: Maha Guru Teja
Biru." "Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut sebentar, setelah itu kembali bertanya,
"Sepertinya ratumu sedang menjadi incaran si Demit Lanang dan Ladang Bangkai.
Apa benar begitu?"
"Kau bersedia datang ke Lembah Birawa dan bertemu dengan Ratu Jiwandani?"
"Hmmm...." Suto mempertimbangkan sejenak.
"Sekadar bertemu saja. Karena menurut dugaanku,
kedatanganmu akan membuat sang Ratu bahagia sekali
dan pasti akan terjadi suatu pembicaraan penting antara kau dan sang Ratu."
"Baiklah," akhirnya Suto menyetujui usul Kinanti.
Mereka melangkah menuju Lembah Birawa sambil
Kinanti jelaskan persoalan sebenarnya.
"Waktu pihak kami terancam orang-orang Pulau
Teluh, sang Ratu meminta bantuan Perguruan Darah
Surga. Sebab kami tidak tahu di mana mencarimu walau
sebenarnya ingin sekali meminta bantunmu. Akhirnya
pihak Perguruan Darah Surga yang kami pilih untuk
mendukung kami. Namun Maha Guru Teja Biru
mempunyai satu syarat."
"Apa syaratnya?" tanya Suto bagai tak sabar.
"Ratu Jiwandani adalah perawan suci yang tak pernah
dijamah oleh lelaki mana pun juga. Beliau mempunyai
perjanjian dengan leluhurnya, bahwa apabila Lembah
Birawa masih dalam ancaman bahaya orang-orang Pulau
Teluh, sang Ratu tidak ingin menikah dengan pria mana
pun. Hati Ratu Jiwandani akan terbuka untuk seorang
pria jika Lembah Birawa tidak diganggu lagi oleh orang-orang Pulau Teluh. Sebab
orang-orang Pulau Teluh
selalu bermusuhan sejak Lembah Birawa dipegang oleh
nenek buyutnya sang Ratu."
Kinanti bicara dengan sungguh-sungguh, kedua
tanganya ikut bergerak-gerak memperjelas
keterangannya. Pendekar Mabuk tampak berminat sekali
mengikuti cerita itu, hingga lebih banyak diam daripada mengajukan beberapa
pertanyaan. "Mulia Guru Teja Biru mempunyai syarat, apabila
mereka berhasil menumbangkan Penguasa Pulau Teluh
dan membebaskan Lembah Birawa dari gangguan orangorang pulau itu, maka sang Ratu harus bersedia dinikahi oleh Maha Guru Perguruan
Darah Surga. Sang Ratu pun
menyetujui perjanjian tersebut, bahkan ditulis di
selembar lontar. Sayangnya dalam perjanjian itu tidak ditulis nama Maha Guru
Teja Biru. Yang tertulis hanya
nama Maha Guru Perguruan Darah Surga."
"Hmmm..., ya, ya... aku paham sekarang," gumam Suto sambil manggut-manggut dan
tetap berjalan pelan-pelan.
"Maha Guru Teja Biru bermaksud menikahi Ratu
Jiwandani setelah ia selesai lakukan semadi selama
empat puluh hari menghadap sang Dewata. Tetapi
sesuatu telah terjadi secara mengejutkan. Ketika Maha Guru Teja Biru sedang
menjalankan semadinya yang
kedua puluh hari, tiba-tiba beliau tewas terbunuh di
dalam ruang semadinya. Entah siapa yang
membunuhnya, yang jelas jabatan sebagai ketua
perguruan dan gelar Maha Guru menjadi kosong. Tetapi
perjanjian tidak bisa batal, sebab yang tertulis bukan nama Teja Biru. Mau tak
mau sumpah dan perjanjian
antara Perguruan Darah Surga dengan pihak sang Ratu
tetap berlaku. Dugaan kami, dan beberapa murid
perguruan itu sendiri, orang yang membunuh Maha Guru
Teja Biru adalah Ladang Bangkai, sebab dia segera
merencanakan upacara penobatan dirinya sebagai Maha
Guru yang menggantikan kedudukan Teja Biru."
"Masuk akal sekali," gumam Suto Sinting, ia diam kembali. Kinanti lanjutkan
penjelasannya sambil tetap
melangkah. "Ladang Bangkai sendiri sudah menghadap Ratu
Jiwundani dan mengatakan bahwa dialah yang akan
menggantikan kedudukan Maha Guru Teja Biru, dan itu
berarti dia juga yang akan menjadi suami sang Ratu
sesuai perjanjian tersebut. Tapi rupanya ada pihak lain yang tidak suka dengan
rencana itu."
"Demit Lanang maksudmu?"
"Ya. Demit Lanang menghadap ratu kami dan
mengatakan akan menyingkirkan siapa pun yang
menjadi Maha Guru di perguruan tersebut. Bahkan
Demit Lanang mengatakan akan secepatnya menikahi
sang Ratu sesuai dengan perjanjian. Dia tidak akan
mengulur waktu dengan lakukan semadi segala seperti
Maha Guru Teja Biru."
"Lalu bagaimana pendapat Ratu Jiwandani?"
"Tentu saja sang Ratu amat sedih. Beliau merasa
terjebak dalam perjanjian yang mematikan langkahnya.
Kini ia merasa dipakai sebagai bahan rebutan oleh
murid-murid Perguruan Darah Surga yang tergolong
beraliran sesat, walau sebenarnya Perguruan Darah
Surga sendiri aslinya beraliran putih. Pada dasarnya sang Ratu tidak keberatan
jika harus menikah dengan Maha
Guru Teja Biru, karena mendiang Maha Guru Teja Biru
berjiwa bersih dan belum pernah beristri. Tetapi jika Ketua Perguruan Darah
Surga dipegang oleh Demit
Lanang atau yang lainnya, sang Ratu merasa keberatan.
Hanya saja, sang Ratu tidak bisa mengelak dari bukti
tertulis itu."
"Apakah tak ada niat untuk menolak secara halus
maupun secara kasar?"
"Ratu Jiwandani merasa kalah tinggi ilmunya jika
harus menolak secara kasar. Apalagi Demit Lanang
sudah menguasai jurus 'Bintara Jingga', jelas sang Ratu merasa sangat kecil
ilmunya dibandingkan Demit
Lanang. Karenanya aku segera diutus untuk menyelidiki
orang-orang perguruan itu dan mencari kelemahan
mereka. Tapi sampai sekarang yang kutemukan hanya
kelemahan tak berarti, tak cukup kuat sebagai alasan
membatalkan perjanjian tersebut."
Pendekar Mabuk berhenti sebentar untuk menenggak
tuaknya. Sambil melangkah kembali, dia berkata kepada
Kinanti. "Jadi seandainya...," ucapan itu terhenti, karena tiba-tiba Kinanti terpekik
kaget dan hentikan langkahnya.
"Oooh..."!" mata yang berbulu lentik itu terbelalak lebar. Pandangan mata bening
itu tertuju ke rerumputan.
Di sana ada pakaian wanita dan sebilah pedang yang
bentuk dan warnanya sama persis dengan pedang yang
terselip di pinggang Kinanti.
"Apakah kau mengenal pemilik pakaian dan pedang
itu?" "Ya, aku sangat mengenalnya, ini pakaian Senja
Putih, temanku. Dia termasuk salah satu prajurit duta istana yang tugasnya
diutus ke sana-sini oleh ratu kami."
"Hmmm... lalu, kenapa kau terkejut" Mungkin
temanmu sedang melakukan sesuatu di sekitar sini.
Misalnya mandi si sungai yang tadi kita seberangi itu atau...."
"Tidak. Tidak mungkin ia ada di sekitar sini. Ia pasti telah lenyap terkena
jurus 'Bintara Jingga'. Raganya
musnah tanpa bekas kecuali pakaian, perhiasan dan
senjatanya. Karena memang begitulah ciri-ciri orang
yang menjadi korban jurus 'Bintara lingga' seperti yang kau lihat sendiri pada
nasib Ladang Bangkai"
"Hmmm... kalau begitu belum lama ini Demit Lanang lewat daerah sini"!" gumam
Suto Sinting seakan bicara pada dirinya sendiri.
"Ya, aku yakin begitu. Seroja Putih terlibat bentrokan dengan Demit Lanang,
hingga Demit Lanang keluarkan
jurus andalannya. Sebab, Seroja Putih memang ilmunya
lumayan tinggi. Hanya saja, apakah pertarungan itu
dilakukan setelah Demit Lanang pergi dari Bukit
Ranjang Setan tadi, atau sebelumnya, yaitu saat ia
menuju ke Bukit Ranjang Setan untuk bertarung
melawan adiknya sendiri."
Rona duka terlihat jelas di wajah Kinanti. Suto
Sinting tak berani main-main. Bahkan sang Pendekar
Mabuk menampakkan raut wajahnya yang ikut berduka
atas kematian Seroja Putih itu.
Kinanti segera mengambil pakaian tersebut bersama
pedangnya. "Akan kutunjukkan kepada sang Ratu
mengenai kekejaman Demit Lanang ini!" ucapnya lirih dan bergetar karena
membendung tangis.
"Aku setuju dengan rencana itu. Nanti aku akan ikut memperkuat laporanmu kepada
sang Ratu," kala Suto Sinting dengan sikap tenang tapi dalam suasana hati ikut
berkabung. Langkah mereka mulai dipercepat, karena nanti tak
sabar ingin segera menghadap ratunya dan menyerahkan
bukti kekejaman Demit Lanang dengan jurus 'Bintara
Jingga'-nya itu. Pendekar Mabuk tetap mendampinginya
dengan langkah disesuaikan kecepatan jalan Kinanti.
"Apakah kau tahu kelemahan jurus 'Bintara Jingga'
itu, Kinanti?"
"Tidak ada yang tahu," jawab Kinanti agak datar.
"Jurus itu jurus yang termasuk dilarang dipelajari oleh para murid Perguruan
Darah Surga. Namun agaknya
Demit Lanang berhasil mencuri kitab perguruannya dan
menyalin pelajaran jurus 'Bintang Jingga', lalu kitab itu
dikembalikan ke tempat semula. Maha Guru Teja Biru
sendiri kaget ketika Demit Lanang melenyapkan
beberapa orang Pulau Teluh dengan sinar Jingganya.
Namun persoalan itu agaknya dipendam dulu oleh sang
Maha Guru Teja Biru dan akan diurus setelah beliau
lakukan perkawinan dengan Ratu Jiwandani. Tapi
sebelum hal itu terjadi beliau sudah lebih dulu tewas secara menyedihkan
"Hmmm... kalau begitu kesimpulanku mengatakan,
bahwa orang yang membunuh Maha Guru Teja Biru itu
adalah Demit Lanang sendiri."
"Apakah ada alasan lain yang tidak ada hubungannya dengan ratuku?"
"Ada," jawab Suto. "Alasan lain itu adalah siasat Demit Lanang menghindari
hukuman dari sang Maha
Guru, karena ia merasa bersalah telah pelajari jurus itu tanpa seizin gurunya."
Langkah itu pun terhenti kembali, dan mereka berdua
dikejutkan dengan seorang perempuan cantik berjubah
putih dengan pinjungnya yang berwarna ungu, sama
dengan warna celananya. Gadis itu sangat mengejutkan
Suto Sinting, karena ia sangat dikenal oleh Suto.
Perempuan yang masih tampak muda dan cantik itu
tak lain adalah Salju Kelana, yang mula pertama bertemu dengan Suto Sinting
dalam keadaan gila, lalu setelah
diobati dengan tuak saktinya Suto, ia masih berpura-pura buta. Suto Sinting tak
bisa marah dengan perempuan itu, sebab wajah Salju Kelana mirip sekali dengan
wajah calon istri Suto Sinting yang menjadi ratu di Negeri Puri
Gerbang Surgawi, yaitu perempuan cantik yang bernama
Dyah Sariningrum. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode "Rencong Pemburu Tabib").
Salju Kelana yang ternyata adalah kakak dari Kelana
Cinta, mata-mata utusan Ratu Asmaradani dari Negeri
Ringgit Kencana itu, kini menatap Kinanti dengan sorot pandangan mata mengandung
kecemburuan yang
terpendam. Suto Sinting mulai was-was, khawatir jika
kedua perempuan cantik itu saling bertarung gara-gara kesalahpahaman. Sebab
itulah, Suto Sinting segera
menyapa dengan senyum menawannya kepada Salju
Kelana, "Dari mana kau, Salju Kelana" Kebetulan sekali kita bertemu di sini."
"Kau dusta, Pendekar Mabuk!" kata Salju Kelana dengan nada ketus. "Kau bilang
ingin menyusul kami ke Pulau Jelaga, ternyata kau justru menempel pada gadis itu
dan membiarkan aku serta Tua Bangka
menumbangkan Gandapura, si pemakan manusia itu!
Kami menunggumu sampai beberapa hari di Pulau
Jelaga. Tapi karena kau tidak datang juga, terpaksa aku dan Tua Bangka yang
menumbangkan Gandapura."
"Maafkan aku, setiap aku mau ke Pulau Jelaga selalu saja ada hambatannya.
Langkahku ke sana jadi tertunda-tunda sampai saat ini. Maafkan aku, Salju
Kelana." Suto memang pernah berjanji akan Pulau Jelaga untuk
menggempur Gandapura. Salju Kelana disuruhnya


Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkat lebih dulu bersama Tua Bangka, karena Suto
Sinting harus pamit kepada gurunya, si Gila Tuak. Tapi
perjalanan Suto menyusul ke Pulau Jelaga selalu
terhambat oleh masalah-masalah yang harus ditangani,
seperti misalnya masalah yang dihadapi saat ini. Tetapi agaknya Salju Kelana
tidak mau tahu akan hal itu.
"Tentu saja langkahmu tertunda karena hatimu tak bisa berpaling jika melihat
perempuan cantik. Matamu
tak bisa berkedip jika memergoki seraut wajah yang
enak dipandang mata."
"Kau bicara apa, Salju Kelana"!" tiba-tiba Kinanti yang memang sudah mengenal
Salju Kelana sejak dulu
itu berkata dengan nada ketus dan bersikap menantang.
Salju Kelana tak pernah perlihatkan rasa takutnya, sebab ia memang wanita cantik
yang punya nyali cukup besar.
Suto Sinting buru-buru alihkan percakapan setelah
melihat Kinanti dan Salju Kelana saling adu pandangan mata. Itu gejala-gejala
akan terjadi pertarungan antara mereka berdua jika alam pikiran mereka tidak
segera dialihkan. Maka Suto Sinting pun segera berkata kepada Salju
Kelana, "Salju, bagaimana kabarnya Tua Bangka?"
"Baik!" jawabnya singkat dengan wajah cemberut tipis.
"Gandapura bisa ditumbangkan dengan Kapak Setan
Kubur"!"
"Kalau tak bisa aku dan Tua Bangka tak mungkin
bisa pulang kemari lagi, Tolol!"
Salju Kelana tampak semakin geram, sepertinya ingin
buru-buru melepaskan kemarahannya, baik kepada Suto
maupun kepada Kinanti. Namun tak jelas apa sebab
utama kemarahannya itu; masalah janji Suto atau
masalah kecemburuannya terhadap Kinanti"
* * * 5 BAGAIMANAPUN juga Suto Sinting lebih memilih
Salju Kelana daripada Kinanti, seandainya ia dipaksa harus memilih. Sebab Salju
Kelana yang mirip sekali
dengan Dyah Sariningrum itu telah berhasil mendapat
'kapling' di tepi hati Pendekar Mabuk. Andai saja Dyah Sariningrum tidak ada,
pasti Salju Kelana yang menjadi pilihan utama bagi hati murid sintingnya Gila
Tuak itu. "Suto akan kubawa menemui Ratu Jiwandani." kata Kinanti saat ditanya Salju
Kelana tentang tujuan mereka.
Kinanti menyambung kata,
"Ada persoalan yang akan diselesaikan Suto sana!"
"Tidak boleh!" tegas Salju Kelana.
"Apa hakmu melarang Suto datang ke istana Lembah
Birawa"!" hardik Kinanti.
"Dia punya urusan sendiri denganku secara pribadi!"
"Peduli amat dengan urusanmu, aku lebih dulu
menemukan Suto!"
"Aku kenal dia lebih dulu dari kau!"
"Persetan dengan perkenalanmu! Dia harus ku bawa ke Lembah Birawa!"
"Tidak boleh!" bentak Salju Kelana.
"Aku akan nekat membawanya!"
"Aku akan menghalangi langkahmu!"
"Aku akan menyingkirkan nyawamu!"
"Tidak mungkin bisa karena nyawamu lebih dulu ku kirim ke neraka!"
"Jadi mau apa kau, hah"!"
"Kau sendiri mau apa"!"
Mereka saling maju, bertolak pinggang, saling
pandang dengan sorot mata penuh tantangan. Pendekar
Mabuk hanya garuk-garuk kepala sambil cengar-cengir.
"Repot juga kalau begini," gerutunya dalam hati.
Wuttt...! Kinanti lebih dulu menyerang Salju Kelana
dengan tendangan kakinya. Salju Kelana menangkis
memakai tangan kirinya. Plakkk...!
Kinanti putar tubuh dan tiba-tiba sentakkan tangan
kanannya untuk menghantam dada lawan dengan telapak
tangan yang sudah dialiri tenaga dalam itu. Tapi Salju Kelana tidak kalah
cekatannya. Telapak tangannya pun
diadu dengan telapak tangan Kinanti.
Plakkk...! Wusss...!
Asap mengepul ketika mereka saling dorong, saling
lepaskan tenaga dalam untuk tumbangkan lawan.
Pendekar Mabuk segera melompat ke arah semaksemak sambil berseru, "Hai... mau ke mana kau Demit Lanang! Berhenti...!"
Seruan Suto membuat kedua perempuan cantik itu
saling lepaskan serangan. Wajah mereka sama tegangnya
memandang ke arah kepergian Suto Sinting.
"Ada apa dengan Demit Lanang"!" tanya Salju
Kelana. "Dia sudah kuasai jurus 'Bintara Jingga' dan sekarang sedang menjadi buruan
kami!" "Celaka! Suto biaa lenyap di tangan Demit Lanang!
Aku harus membantunya!"
Blasss...! "Aku juga akan membantunya!" Blasss...!
Kedua perempuan itu sangat khawatirkan
keselamatan Pendekar Mabuk. Mereka menyusul Suto
Sinting dengan penuh kegeraman terhadap Demit
Lanang. Sebab Salju Kelana sudah kenal siapa Demit
Lanang dan Perguruan Darah Surga itu.
Di tanah datar berpohon renggang, mereka
menemukan Suto Sinting sedang menenggak tuaknya.
Selesai menenggak tuak pendekar ganteng itu tersenyum
geli membuat kedua wanita cantik itu terheran-heran.
Mata mereka sempat memandang alam sekeliling
mencari Demit Lanang.
"Mana si Demit Lanang itu"!" tanya Kinanti siap dengan pedang milik Seroja
Putih. "Maaf, kusangka tadi bayangan si Demit Lanang.
Tidak tahunya seekor babi hutan."
"Kampret jelek kau!" maki Salju Kelana dengan bersungut-sungut.
"Kurang ajar! Babi hutan disangka Demit Lanang!
Lantas untuk apa aku ikut terburu-buru mengejar babi
hutan"!" gerutu Kinanti sambil cemberut.
"Kinanti, kita teruskan pertarungan kita tadi!" tantang Salju Kelana.
"Baik! Bersiaplah kau, Salju Kelana!"
Suto berseru lagi sambil menuding arah lain. "Itu dia... Itu dia...! Dia lari ke
sana!" "Siapa"! Demit Lanang"!"
"Babi hutan yang tadi!" jawab Suto Sinting.
Kedua perempuan cantik itu menjadi kesal kepada
Suto, lalu pemuda itu dihampiri bersama dari kanan kiri dengan tolak pinggang.
"Apa maksudmu mengganggu pertarungan kami,
hah"!" bentak Salju Kelana. Pendekar Mabuk hanya cengar-cengir dengan kepala
menengok ke kanan dan ke
kiri. "Aku hanya tidak ingin kalian berselisih," jawab Suto di sela cengirannya.
Sekalipun hanya sebuah cengiran
namun dianggap oleh hati perempuan sebagai senyum
yang menawan. Itulah kehebatan Suto.
"Sebenarnya dari tadi memang tidak ada apa-apa.
Babi hutan pun tidak ada. Aku hanya ingin mengalihkan
perhatian kalian agar jangan tertuju kepada
perselisihan," sambung Suto menjelaskan, "Kalau kalian berselisih, aku sedih dan
tak bisa mengambil sikap."
"Sebagai laki-laki kau harus bisa mengambil sikap dan ketegasan!" kata Kinanti.
"Kau mau ikut ke Lembah Birawa seperti janjimu semula, atau mau ikut Salju
Kelana"! Tentukan sekarang juga!" Kinanti bernada menuntut ketegasan.
Salju Kelana mencoba pengaruhi jalan pikiran Suto
dengan kata, "Kalau kau ke Lembah Birawa, aku pergi sekarang juga dan mungkin
kita tidak akan bertemu
lagi." Suto berkata kepada Salju Kelana, "Sebenarnya apa yang membuatmu melarangku
bertemu dengan Ratu
Jiwandani?"
"Ratu itu cantik dan masih perawan!"
"Kau pikir aku akan terpikat padanya"!"
Kinanti yang menjawab, "Kuharap demikian!"
"Kurobek mulutmu, Kinanti!" bentak Salju Kelana.
"Akan kuputuskan sendiri!" Suto berkata agak menyentak, sehingga kedua gadis itu
saling bungkam dan memandang Suto Sinting.
"Aku akan menghadap Ratu Jiwandani, karena
agaknya ia dalam kesulitan. Aku mau datang ke Lembah
Birawa asal bersama Salju Kelana. Jika Salju Kelana
tidak diizinkan ikut, aku tak jadi menemui Ratu
Jiwandani."
Kedua makhluk cantik itu sama-sama terbungkam
lagi untuk beberapa saat. Kinanti mondar-mandir untuk
menentukan keputusannya. Salju Kelana sendiri juga
mempertimbangkan sikap yang harus diambilnya seraya
melangkah ke sana-sini bagai orang gelisah.
Kinanti akhirnya berkata, "Baiklah. Salju Kelana
boleh ikut tapi tidak boleh mencampuri pembicaraanmu
Kisah Dua Naga Di Pasundan 5 Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Kemelut Blambangan 7

Cari Blog Ini