Ceritasilat Novel Online

Manusia Pemusnah Raga 2

Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga Bagian 2


dengan sang Ratu!"
"Aku hanya akan mengawasinya!" kata Salju Kelana bernada ketus.
"Tampaknya kau takut kehilangan Pendekar Mabuk,
Salju Kelana?"
"Memang!" jawab Salju Kelana dengan tegas, tanpa basa-basi sedikitpun.
Kinanti hanya mencibir sinis. Saat mereka melangkah
menuju Lembah Birawa, Kinanti sempat ceritakan
masalah sebenarnya kepada Salju Kelana. Cerita itu
meluncur dari mulut Kinanti setelah Salju Kelana
menceritakan pengalaman mesranya dengan Suto
Sinting ketika di dalam gua dan ketika duduk di depan
Suto Sinting yang mandi dalam keadaan polos karena
menyangka Salju Kelana buta, padahal tidak. Kinanti
sempat terkikik geli mendengar cerita itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode "Rencong Pemburu
Tabib"). Sedangkan Pendekar Mabuk sengaja sedikit menjauh
supaya tidak terlalu merasa malu
membayangkan kebodohannya didepan Salju Kelana
yang kala itu berpura-pura masih buta.
Bahkan Suto berusaha mengalihkan percakapan
kedua wanita itu dengan sedikit berseru, "Tak bisakah kalian lebih cepat lagi"!
Aku tak ingin kemalaman di perjalanan!"
"Sstt... dia malu!" bisik Salju Kelana sambil tersenyum geli.
Perjalanan mereka tak menemui hambatan lagi,
sehingga mereka tiba di Lembah Birawa pada saat
petang hampir tiba. Lembah berudara sejuk itu membuat
kesegaran tersendiri bagi Suto Sinting, hingga wajahnya tampak ceria dan
berseri-seri. Ia baru kali itu datang ke Lembah Birawa yang subur dan penuh
dengan tanaman bunga bagai kehidupan surgawi.
Seperti kata Salju Kelana yang sudah mengenal Ratu
Jiwandani, ternyata ratu itu memang cantik bagai boneka
yang sangat elok dipandang mata. Selain cantik, ia
mempunyai tubuh yang sekal, meliuk indah penuh daya
pikat bagi setiap pria yang memandanginya. Tak heran
jika Demit Lanang sampai tega singkirkan adiknya
sendiri demi dapatkan Ratu Jiwandani. Karena menurut
Suto, "Siapa pun yang menjadi suami Ratu Jiwandani tak akan sempat menghitung hari.
Bahkan mungkin tak akan
tahu siang atau malam, karena ia betah mengurung diri di dalam kamar bersama
sang Ratu sampai rambut
beruban pun tetap akan betah."
Ratu Jiwandani bukan ratu yang seronok, pakaiannya
cukup rapi dan sopan dengan rangkapan jubah merah
jambu berbintik-bintik emas. Rambutnya sedikit terurai alsanya tersanggul
dililit dengan mahkota dari butiran permata yang sangat indah. Ia tampil sebagai
sosok perempuan yang anggun dan punya kharisma tersendiri.
Namun manakala ia berhadapan dengan Pendekar
Mabuk, matanya yang indah itu tak mampu berkedip
walau sekejap. Mata itu memandang penuh sorot pesona
yang mungkin hanya Salju Kelana yang mengetahuinya.
"Luar biasa sekali pria ini, daya tariknya begitu kuat hingga hatiku berdebardebar sejak tadi," kata Ratu Jiwandani dalam hati. "Ternyata kabar yang selama
ini kudengar tentang sang Pendekar Mabuk yang tampan itu
tidak meleset sedikit pun. Sayang aku menjadi seorang
ratu, seandainya aku bukan seorang ratu aku berani
mengejar pria ini demi mendapatkan keindahan yang ada
padanya. Siapa orangnya yang tak merasa bahagia hidup
menjadi istrinya, sudah sakti, tampan lagi. Ck, ck, ck...
benar-benar layak menjadi idaman setiap wanita."
"Ratu...," sapa Kinanti. "Mengapa hanya diam saja!
Bicaralah tentang kesulitan kita, Ratu."
Menyadari ketermenungannya Ratu Jiwandani segara
tersipu-sipu. Salju Kelana tampak mencibir sambil
buang muka. Suto Sinting tetap sunggingkan senyum
keramahan yang diterima sebagai senyum pemikat oleh
sang Ratu. Karenanya hati sang Ratu menjadi gelisah
dan ia terpakaa menenangkan kegelisahannya matimatian. Sang Ratu segera menceritakan kesulitannya yang
berkaitan dengan perjanjian bersama pihak Perguruan
Darah Surga. Tapi yang menjadi titik berat saat itu
adalah keberadaan Demit Lanang yang telah menguasai
Jurus 'Bintara Jingga' itu.
"Sudah dapat kupastikan seandainya aku menolak
pinangannya, ia akan menggugat melalui perjanjian yang tertulis itu. Jika aku
menyangkal perjanjian itu, ia akan murka dan menggunakan jurus 'Bintara Jingga'
untuk melenyapkan diriku. Mungkin bukan
( Halaman 62 dan 63 nya tidak ada...)
tanya yang tak berkedip itu menikmati ketampanan
Suto hingga ia biarkan hatinya bergetar-getar dijamah
oleh keindahan yang sukar digambarkan.
"Tak ada jalan lain kecuali memerangi Demit Lanang secara terang-terangan,
Ratu." "Dan kau sanggup melawannya" Jika kau sanggup
akan kuberikan hadiah padamu yang boleh kau pilih
sendiri, hadiah apa yang kau inginkan dariku."
"Itu soal nanti," kata Suto. "Tapi keluarkan perintahmu untuk mengutusku dan
Salju Kelana sebagai
utusan yang punya wewenang mengusir dan menerima
tamu siapa pun yang ingin menghadapmu, Ratu."
"Salju Kelana ikut juga?" sela Kinanti bernada kurang setuju.
"Salju Kelana akan menghadapi murid Perguruan
Darah Surga yang lain, aku akan menghadapi Demit
Lanang!" "Apakah Salju Kelana mampu menghadapi mereka"
Ilmu mereka tinggi dan tak mudah ditumbangkan."
Salju Kelana akhirnya bicara juga, "Sebaiknya kita buktikan dulu apakah aku
mampu menumbangkan kau
atau tidak, Kinanti!"
Tantangan itu dilontarkan di depan sang Ratu
membuat Kinanti naik pitam, ia bangkit dengan
keberaniannya dan berseru sambil bergerak maju,
"Kita tentukan kau atau aku yang kehilangan nyawa!
Tak perlu di luar, di sini saja cukup!"
Suto Sinting menahan gerakan Kinanti dengan
memegangi pundaknya dan menghalangi langkahnya.
Suasana menjadi agak panas karena tantangan tersebut.
"Kinanti...!" sergah Ratu Jiwandani. "Kendalikan dirimu, Kinanti! Hormati
mereka, karena mereka adalah
tamu di tempat kita. Lebih dari itu, mereka bermaksud
menolong kita."
"Tapi saya tidak setuju jika Salju Kelana ikut campur dalam masalah ini. Suto
Sinting sudah cukup mampu
mengatasi orang-orang Perguruan Darah Surga tanpa
bantuan siapa pun."
"Aku setuju dengan keputusan Suto Sinting!" ucap sang Ratu dengan nada tegas
yang membuat Kinanti
terbungkam dan menatap ratunya dengan sorot
pandangan kecewa.
* * * 6 SEORANG prajurit bernama Pinasih datang
menghadap sang Ratu dalam keadaan wajah memar dan
lengan tergores luka yang masih berdarah. Kedatangan
Pinasih membuat sang Ratu menjadi tersentak bangun
dari tempat duduknya. Yang lain pun memandang
Pinasih dengan tegang, terutama Kinanti.
"Pinasih, apa yang terjadi"!" sambil Kinanti menyambar tubuh Pinasih yang nyaris
rubuh karena luka-lukanya. Suto Sinting memandang dengan dahi berkerut. Salju
Kelana mendekati Suto dan berbisik, "Ada sesuatu yang tak beres."
Suto hanya menggumam lirih. Lalu mereka
menyimak penjelasan dari Pinasih yang menjadi salah
satu petugas penjaga perbatasan.
"Sisa orang-orang Pulau Teluh datang, Gusti Ratu!"
Pinasih bicara dengan terengah-engah. "Mereka
dipimpin oleh Lodang Balak, adik dari Penguasa Pulau
Teluh yang telah berhasil dibunuh oleh Demit Lanang
Itu." "Lodang Balak..."!' Salju Kelana menggumam
dengan nada heran. "Seingatku Lodang Balak adalah Penguasa Pulau Gaib. Ilmu
gaibnya lebih tinggi dari
Penguasa Pulau Teluh."
Suto Sinting berkata kepada sang Ratu, "Benarkah
Lodang Balak adik dari Penguasa Pulau Teluh?"
"Memang. Tapi kusangka ia tidak akan ikut campur
urusan kakaknya, karena antara dia dan kakaknya ada
perang dingin."
"Berapa kekuatan mereka, Pinasih?" tanya Kinanti.
"Sekitar tiga puluh orang," jawab Pinasih yang membuat sang Ratu kian tegang.
Kinanti pun cepat
lemparkan pandangan kepada sang Ratu seakan
menunggu perintah.
Sebelum sang Ratu bicara, Suto Sinting segera
memberikan tuak kepada Pinasih. Tuak diminum oleh
Pinasih dan beberapa saat kemudian luka-luka Pinasih
menjadi sembuh. Luka koyaknya merapat, darah yang
keluar dan membasahi lengannya itu bagai menguap
sirna tanpa bekas lagi. Sang Ratu memperhatikan
kesaktian tuak tersebut dengan hati penuh kekaguman.
"Kinanti," katanya kepada Kinanti. "Siapkan prajurit tamtama yudha seluruhnya.
Prajurit berkuda dan para
pemanah juga perlu dikerahkan."
Salju Kelana beranikan diri berkata, "Apakah tak
sebaiknya menghemat tenaga saja, Ratu Jiwandani?"
"Apa maksudmu menghemat tenaga, Salju Kelana?"
"Izinkan aku dan Suto mewakili pihakmu ke
perbatasan."
Suto Sinting segera berkata, "Gagasan itu cukup baik.
Barangkali dari sinilah awal kerja kami, Ratu."
Ratu Jiwandani diam sebentar, sesaat kemudian
berkata kepada Kinanti, "Pilih beberapa prajurit untuk mendampingi Suto dan
Salju Kelana! Berangkat ke
perbatasan!"
Agaknya memang tak ada pilihan lain bagi sang Ratu
yang ingin membuktikan kebanggaan hatinya kepada
sang Pendekar Mabuk. Maka berangkatlah mereka ke
perbatasan menyongsong kedatangan Lodang Balak
yang ingin menuntut balas atas kematian kakaknya;
Penguasa Pulau Teluh. Sementara itu, Pinasih
diperintahkan untuk menjaga Ratu, dan Kinanti
pemimpin pasukan pilihan yang akan didampingi Suto
Sinting dan Salju Kelana.
Mereka menunggang kuda, tapi Suto Sinting dan
Salju Kelana tidak. Cukup dengan menggunakan kedua
kakinya mereka mengikuti pasukan berkuda yang
berjumlah sepuluh orang terhitung dengan Kinanti.
Derap kaki kuda lain terdengar di kejauhan. Debu
mengepul ke udara membuat langit bagaikan keruh.
Melihat kepulan debu di kejauhan, para pasukan berkuda makin mempercepat
gerakan. Namun ternyata Suto
Sinting dan Salju Kelana sudah tiba di depan lebih dulu daripada mereka yang
berkuda. "Edan! Mereka sudah sampai lebih dulu dan
menghentikan gerakan lawan"!" gumam Kinanti antara dongkol dan bangga.
Kinanti hentikan pasukan berkuda dalam jarak sekitar
dua puluh tombak dari tempat Suto dan Salju Kelana
berdiri. Sementara itu orang-orangnya Lodang Balak
membentuk barisan berjajar dengan kuda-kuda mereka
yang tampak kekar-kekar itu. Mereka dalam jarak sekitar lima tombak dari Suto
dan Salju Kelana.
Orang yang masih duduk di atas punggung kuda
hitam dan berambut panjang diikat dengan ikat kepala
warna ungu itu memandangi Suto dan Salju Kelana.
Pada saat itu, Salju Kelana berbisik kepada Pendekar
Mabuk. "Yang memakai ikat kepala ungu itulah Lodang
Balak! Hati-hati menatap matanya, kekuatan sihirnya
cukup tinggi."
"Aku akan memandang batas telinganya saja," bisik Suto pelan.
Lodang Balak mengenakan jubah merah dengan
celana merah, badannya yang kekar tapi tidak gemuk itu sengaja tidak mengenakan
baju sehingga gambar tato
naga di dadanya terlihat jelas manakala jubahnya
menyingkap tertiup angin, ia menyandang sebilah
pedang besar yang disematkan di punggungnya.
Matanya yang besar memancarkan sinar dendam yang
membuatnya tampak buas dan ganas.
"Kalau tak salah pandang," kata Lodang Balak yang bersuara serak itu. Katakatanya itu ditujukan kepada
Salju Kelana,"... kau adalah penguasa Pulau Serindu yang dikenal dengan nama
Dyah Sariningrum!"
Salju Kelana berkerut dahi dan memandang Suto
sesaat, kemudian berseru dengan suara lantang.
"Aku Salju Kelana! Siapa itu Dyah Sariningrum"
Penjual jamu mana dia itu" Aku tak kenal dengannya!"
Suto Sinting agak tersinggung mendengar Dyah
Sariningrum dikatakan penjual jamu. Ia memang belum
pernah ceritakan kepada Salju Kelana bahwa Dyah
Sariningrum adalah calon istrinya yang menjadi
penguasa Pulau Serindu dan mempunyai wajah mirip
dengan Salju Kelana. Suto Sinting akhirnya memaklumi
ucapan itu, karena Salju Kelana tidak tahu hubungan
Suto dengan Dyah Sariningrum yang bergelar Gusti
Mahkota Sejati itu.
"Siapa pun dirimu, Perempuan ganjen... aku tetap
tidak akan pandang bulu! Jika kau menghalangi
langkahku untuk membalas dendam kepada Ratu
Jiwandani, kau pun akan kehilangan kepala, Perempuan
ganjen! Jadi kusarankan kau tak perlu berlagak menjadi jagoan di depanku. Lodang
Balak tak pernah segan
memenggal kepala perempuan secantik apa pun!"
"Turun dari kudamu dan buktikan sesumbarmu itu!"


Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sentak Salju Kelana dengan berani.
"Ha, ha, ha, ha...! Jangan melawanku kau, Gadis
ingusan! Sebaiknya kau melawan muridku saja."
Lodang Balak yang berusia sekitar empat puluh tahun
itu menengok ke kiri, seorang berpakaian abu-abu
berkepala gundul dipandanginya. Lalu ia berseru kepada orang yang berusia
sekitar tiga puluh tahun dan bertubuh kekar tanpa kenakan baju itu.
"Balada, turun dan mainkan kepunyaanmu di depan
perempuan itu!"
Orang gundul yang bernama Balada itu segera
melompat dari punggung kudanya. Wuuttt...!
Lompatannya cukup tinggi, hingga ia bisa bersalto dua
kali di udara dan mendarat dengan tegak di samping
Salju Kelana. Saat itu Suto Sinting berbisik,
"Biar kutangani saja, Salju Kelana."
"Jangan. Ini bagianku. Mundurlah sedikit!" Salju Kelana tak kelihatan gentar
sedikit pun. Matanya
memandang tajam kepada calon lawannya yang tampak
sangar itu. Balada yang bercelana hitam dengan ikat pinggang
kain merah itu mulai melangkah ke samping dengan
mata melirik ganas. Salju Kelana bersikap tenang,
sedikit mengangkat dagu hingga tampak angkuh dan
penuh keyakinan.
Balada menyentakkan kedua tangannya ke depan
dengan kaki merendah dan salah satu kakinya ditarik
mundur. Tubuhnya yang merendah itu membuat
tangannya berada di atas kepala dalam bentuk cakar
tanpa kuku. Wuukkk...! Angin berhembus dengan kencang. Rupanya Balada
keluarkan tenaga dalam berbentuk gumpalan angin besar
yang membuat Salju Kelana terpelanting ke belakang
hampir jatuh. Perempuan itu segera rendahkan badan,
dan merentangkan tangannya, satu ke depan dengan jari
telunjuk berdiri lurus, satu lagi ada di belakang
kepalanya. Ia menahan hembusan angin kencang itu dengan
mengerahkan tenaga dalam ke bagian kaki, sehingga
ketika Balada melompat dengan berjungkir balik di
tanah beberapa kali, Salju Kelana segera memutar
tubuhnya dan menyampar lawan dengan kaki kanannya
yang berkelebat bagai baling-baling. Weesss...!
Plakkk...! Wajah sangar itu bagaikan ditampar dengan kaki
perempuan berjubah putih. Tamparan kaki yang
bertenaga dalam membuat tubuh kekar itu terpental ke
samping dan jatuh tersungkur. Namun ia cepat bangkit
dan menggeram dengan buas. Wajahnya menjadi hitam
sebelah akibat tendangan kaki Salju Kelana tadi.
"Gawat juga si Salju Kelana itu?" pikir Kinanti dari atas punggung kudanya.
"Sekali tendang wajah orang dibuat hangus begitu"!"
Salju Kelana berdiri tegak dengan kedua kaki
merapat. Tangannya segera direntangkan kembali
dengan kaki rapatnya merendah kokoh. Tetapi tiba-tiba
Balada menghentakkan tangan kanannya yang berjari
rapat, bagai menusukkan sesuatu ke arah tanah yang
dipijak Salju Kelana. Tiba-tiba tanah itu pun amblas ke dalam. Bless...!
Tanah yang amblas itu membentuk lingkaran selebar
sumur. Tubuh Salju Kelana bagaikan terhisap dengan
kuat masuk ke dalam tanah sampai hilang dari
pandangan mata. Suto Sinting terkejut dan mulai
bergerak. Tapi sebelum Pendekar Mabuk bergerak, tibatiba dari dalam tanah yang berlubang besar itu
melesatlah tubuh Salju Kelana dengan memutar cepat
seperti gangsing. Wuusss...!
Lodang Balak dan Balada terperangah melihat
perempuan berjubah putih itu mampu melesat ke udara.
Padahal biasanya lawan yang telah dikubur hidup-hidup
dengan cara seperti itu tak akan bisa lolos dari liang tersebut. Sampai di
udara, tubuh Salju Kelana bersalto dua kali dan segera mendaratkan kakinya
dengan kokoh ke tanah samping Balada.
"Keparat kau!" geram Balada sambil berpaling dan siap melepaskan jurus barunya.
Tapi agaknya gerakannya terlambat. Salju Kelana lebih dulu lepaskan pukulan berbentuk bola
sinar putih menyilaukan.
Slaappp...! Sinar putih itu pun menerjang tubuh Balada yang terlambat menghindar
ke samping. Wueerrss...! Tubuh Balada berasap tebal bergumpal-gumpal.
Ketika gumpalan asap itu menipis dan lenyap, mata
mereka sama-sama terbelalak lebar, termasuk Suto
Sinting dan Lodang Balak. Mereka terkejut melihat
Balada berubah menjadi patung es yang bening dan
mencair sedikit demi sedikit.
"Tak kusangka Salju Kelana mempunyai jurus
sedahsyat itu"!" pikir Kinanti dengan hati bergetar.
"Untung tadi aku tidak jadi bertarung melawannya.
Kalau sampai aku tadi bertarung melawannya, bisa-bisa
aku berubah menjadi es batu seperti orang itu."
Melihat murid andalannya menjadi patung es batu,
Lodang Balak segera lepaskan sinar biru dari ujung jari telunjuknya. Claapp...!
Sinar biru yang panjang lurus
tanpa putus itu mengenai patung es batu itu. Maksudnya memberikan hawa panas
untuk mencairkan es batu yang
membungkus tubuh Balada, ia tidak tahu bahwa pada
saat itu Balada sudah tidak ada, berubah menjadi es dan tak bisa dikembalikan
seperti wujud aslinya. Maka sinar biru itu justru memecahkan patung es batu
tersebut dengan mengeluarkan dentum ledakan yang cukup keras.
Jgaarr...! Patung es itu pecah berantakan menjadi serpihan
yang menyembur ke mana-mana, bahkan butiran es itu
sampai ada yang jatuh di pangkuan Kinanti.
Lodang Balak semakin kaget melihat kenyataan itu.
Akhirnya ia melompat turun dari atas kudanya dan
berseru dengan suara serak.
"Bangsat! Kau telah bunuh murid andalanku,
Perempuan lacur! Kuhancurkan pula ragamu sekarang
juga, heeeaaahhh...!"
Tangan kanannya menyentak ke depan. Tak ada sinar
yang keluar, tapi tiba-tiba tubuh Salju Kelana sudah
dibungkus oleh klatan-kilatan cahaya biru yang
mengelilinginya. Semakin lama semakin rapat hingga
tubuh Salju Kelana nyaris terjerat kilatan-kilatan sinar biru yang saling
memercikkan api dan letupan kecil itu.
Claappp...! Sinar ungu keluar dari tangan Suto
Sinting yang saling merapat dan disentakkan ke depan.
Sinar ungu itu menghantam kilatan-kilatan cahaya biru
yang hampir menjerat dan menghancurkan tubuh Salju
Kelana. Blaarr...! Salju Kelana terlempar melambung ke udara dan
jatuh dalam keadaan tak bisa menjaga keseimbangan.
Buuuhgg...! "Auuh ..!" gadis itu mengerang kesakitan. Suto Sinting tak terlalu menyesal
karena hal itu lebih baik terjadi daripada tubuh Salju Kelana hancur oleh 'jala
petir'-nya Lodang Balak.
Orang berikat kepala ungu itu segera menatap Suto
Sinting dengan beringas, ia pun menggeram penuh
dendam. "Jahanam! Sekarang kau ikut campur dan itu berarti kau akan berhadapan
denganku!" bentak Lodang Balak.
"Memang aku melawanmu!" kata Suto Sinting
dengan tenang, ia segera meneguk tuaknya sebentar
tanpa pedulikan sesumbar yang dilontarkan Lodang
Balak. "Bocah keong! Kau pikir mudah menumbangkan
Lodang Balak, hah"! Apakah kau belum dengar kabar
bahwa Lodang Balak baru saja membunuh senopati dari
Kerajaan Bogasa, dan membantai semua anggota
Perguruan Ciung Dewa"!"
"Aku tak butuh sesumbarmu. Aku butuh bukti
keampuhanmu! Tapi kita bertarung dengan jantanl"
"Apa maksudmu" Kau pikir aku takut dengan
tantangan yang membawa-bawa kejantanan itu"!"
Senyum Suto Sinting mekar dengan kalem, ia
melangkah pelan sampai di pertengahan jarak. Bambu
tuaknya menggantung di pundak.
"Kita bertarung secara
ksatria. Kulihat kau
mempunyai pedang, gunakanlah senjatamu itu. Aku pun
akan meminjam pedang temanku. Siapa yang terluka
lebih dulu berarti dia yang kalah. Jika aku yang terluka, maka kubuka jalan,
kusingkirkan para pengawal istana
yang berkuda itu, dan kau kuizinkan menemui Ratu
Jiwandani. Tapi jika kau yang terluka lebih dulu, kau
harus mengakui kekalahanmu, dan membawa anak
buahmu pulang ke tempat asal! Apakah kau takut
dengan tantangan seperti itu?" pancing Suto Sinting.
"Lodang Balak tak pernah punya rasa takut kepada siapa pun. Tantanganmu
kulayani!"
Sreett...! Pedang di punggung segera dicabut. Suto
Sinting berseru kepada Kinanti,
"Pinjam pedangmu, Kinanti!"
Kinanti melompat dari punggung kuda. Weesss...!
Gerakannya cukup cepat, tahu-tahu sudah ada di
samping Suto Sinting, ia menyerahkan pedangnya. Suto
Sinting mencabut pedang itu, gagang pedang masih di
tangan Kinanti.
"Hati-hati... dia jago pedang," bisik Kinanti.
"Baik. Menjauhlah secepatnya, dan bantu Salju
Kelana yang terluka itu."
Bumbung tuak disilangkan ke punggung. Pendekar
Mabuk mulai menebas-nebaskan pedang sebagai cara
membiasakan gerakan dengan pedang tersebut. Lalu ia
mengambil jarak enam langkah dari depan Lodang
Balak. "Apakah kau sudah siap tumbang, Bocah keong"!"
"Aku belum siap tumbang sebelum bisa melukai
dadamu!" kata Suto Sinting tak mau kalah gertak.
"Biadab kau! Belum pernah merasakan Pedang
Halimun-ku ini kau, hah"!"
Lodang Balak bersiap-siap dengan memainkan jurus
pedang pembuka. Suto Sinting masih ingat pelajaran
pedang dari Ki Argapura, di mana jurus 'Pedang Cakar
Maut', 'Pedang Ekor Petir', dan 'Pedang Batu' adalah
jurus-jurus pedang yang sukar ditangkis dan dihindari
lawan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Ladang Pertarungan").
Lodang Balak sudah tak sabar lagi. Ia segera
melompat maju dalam gerakan bersalto satu kali, lalu
tiba di depan Suto Sinting dan menebaskan pedangnya
meliuk-liuk berserabutan membingungkan. Suto Sinting
hanya mundur selangkah. Ketika pedang lawan
membabat lehernya, Suto hanya menangkisnya dengan
menggenggam pedang memakai kedua tangannya.
Trang...! Trang...! Weesss...! Trang...!
Suto Sinting hanya bersikap menahan serangan
lawan. Walaupun Lodang Balak mampu memainkan
pedang dengan kecepatan tinggi, tapi mata Suto Sinting tak pernah berkedip,
sehingga mengetahui arah gerakan pedang lawan, ia pun bermain dengan kecepatan
tinggi, sehingga selain pedang lawan berhasil ditangkisnya
terus, juga gerakan mereka tak bisa dilihat oleh orang-orang di sekitar mereka.
Trrang, trang, trang, ziing...! Trang...!
Buuhg...! Tiba-tiba Pendekar Mabuk tampak terpental ke
belakang karena sebuah tendangan yang mengenai
lambungnya. Suto kehilangan keseimbangan, akibatnya
ia terguling-guling karena tendangan itu mengandung
kekuatan tenaga dalam cukup besar.
Jaraknya yang menjadi tujuh langkah dari Lodang
Balak itu membuat Lodang Balak maju menyerang
dengan liarnya. Pada saat itu, Suto Sinting baru saja
bangkit dan pandangan matanya masih terasa buram, ia
tak bisa melihat gerakan lawan yang menebaskan
pedangnya kembali.
Akhirnya ia memejamkan mata rapat-rapat dan
menggerakkan pedangnya menuruti desing angin yang
datang menghampirinya. Desing angin itulah gerakan
pedang lawan, sehingga Suto Sinting mampu
menangkisnya dengan tepat.
Trang, trang, trang, trang... wesss...! Deesss...!
Kali ini pukulan telapak tangan kiri Lodang Balak
menghantam dada Suto Sinting dengan telak. Pendekar
Mabuk tersentak mundur tiga langkah namun hanya
sempoyongan, tak sempat jatuh seperti tadi.
"Modar kau sekarang, Bangsat! Heeaaat..!"
Lodang Balak kian garang. Pedangnya ditusukkan di
depan, dan mata Suto yang masih terpejam itu berhasil
merasakan angin padat menghampirinya. Dengan cepat
ia melompat bersalto ke udara. Wuuss...! Lalu dalam
keadaan berjungkir balik di udara pedangnya berkelebat membabat lawan.
Wuuuttt...! Craasss...!
"Aahg...!" terdengar pekik tertahan si Lodang Balak.
Punggungnya robek digores ujung pedang.
Suto Sinting berdiri tegak, kini ia membuka mata
memandang lawannya yang menyeringai dengan berang.
Sekalipun dada Suto tampak membiru bekas pukulan
tadi, namun ia masih kelihatan gagah, mampu berdiri
dengan tegar. "Kau sudah terluka, Lodang Balak! Kau harus
mundur sesuai peraturan yang kita sepakati tadi."
"Setan bangsat...! Tak ada kata mundur selama aku masih mampu berdiri!
Heaaatt...!"
Suto Sinting memegang pedang dengan kedua
tangan. 'Gerak Siluman' dipergunakan. Zlaapp...!
Gerakan yang luar biasa cepatnya itu bukan saja tak bisa dilihat orang


Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekelilingnya, namun juga tak bisa dilihat oleh lawan. Tahu-tahu Suto Sinting
sudah pindah tempat ke belakang Lodang Balak. Zebb...! Ia masih
memunggungi Lodang Balak dengan pedang tetap
tergenggam dua tangan. Tapi mata pedangnya semakin
berlumur darah.
Lodang Balak diam tak bergerak dengan sedikit
membungkuk, ia bagaikan tak berani memutar tubuh
untuk berhadapan dengan Suto Sinting. Keadaan diam
itu sempat berlangsung selama dua helaan napas,
membuat mereka yang menyaksikan pertarungan itu
menjadi tegang.
Pendekar Mabuk akhirnya menoleh ke belakang.
Pada saat itu lawannya mulai limbung, dan akhirnya
tumbang dalam keadaan terkapar. Semua anak buah
Lodang Balak terperanjat kaget. Mata mereka terbuka
lebar-lebar dengan wajah kian tegang.
Lodang Balak tak berkutik lagi. Nyawanya melayang
pada saat ia jatuh ke tanah dalam keadaan terkapar,
kedua tangan membentang sehingga semua orang dapat
melihat bahwa perut Lodang Balak robek lebar, isi
perutnya sempat tersumbul dan sangat mengerikan.
Melihat Lodang Balak tak bernyawa lagi, orangorangnya segera melarikan diri ke berbagai arah. Mereka ketakutan ketika
mendengar Pendekar Mabuk berseru,
"Siapa lagi yang ingin menyusul Lodang Balak ke
neraka"!"
Mereka yang merasa ngeri menghadapi pemuda
tampan itu tak tanggung-tanggung memacu kudanya,
bahkan ada yang terjungkal jatuh bersama kudanya dan
diinjak-injak kuda lainnya. Sementara itu, pihak prajurit Kinanti tersenyumsenyum, bahkan sebagian ada yang
bertepuk tangan dan berseru,
"Hidup Pendekar Mabuk...! Ha, ha, ha, ha...!"
Kinanti segera menghampiri Suto Sinting bersama
Salju Kelana. Tapi Kinanti tak berani memegang tubuh
Suto karena Salju Kelana langsung memeluknya dengan
hati girang. "Aku sudah cemas saat kau terkena pukulannya dua
kali," kata Kinanti mengalihkan rasa jengkelnya karena melihat Suto dipeluk
Salju Kelana. Setelah pelukan itu dilepaskan, Suto pun serahkan
pedang kepada Kinanti.
"Terima kasih atas pinjaman pedangmu. Sayang
sekali beratnya kurang seimbang. Masih berat sebelah
kiri!" kata Suto Sinting menunjukkan kejeliannya dalam
menimbang pedang walau dengan cara memainkannya.
Salju Kelana berkata, "Kupikir kau tak semahir itu dalam memainkan jurus pedang.
Aku sempat kaget saat
kau menantangnya bertarung dengan pedang."
"Sengaja kutantang begitu supaya ia tidak punya
kesempatan untuk melepaskan jurus-jurus ilmu gaibnya
yang kata Kinanti cukup berbahaya itu," kata Suto.
Salju Kelana tersenyum, mencubit pipi pendekar
tampan yang sudah dikelilingi oleh para prajuritnya
Kinanti itu. "Akalmu ada-ada saja untuk memancing kelemahan
lawan," kata Salju Kelana setelah mencubit.
"Boleh saja kau memujiku, tapi minum dulu tuakku.
Kau tadi terluka!" kata Suto sambil serahkan bumbung tuak kepada Salju Kelana.
Perempuan yang mirip Dyah
Sariningrum itu menenggak tuak beberapa teguk.
Setelah itu mereka bergegas kembali ke istana.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan
seekor kuda yang dipacu cepat. Penunggang kuda itu tak lain adalah Pinasih.
Gadis itu datang dengan wajah
tegang dan langsung menemui Kinanti dengan masih
tetap berada di atas kuda.
"Ratu Jiwandani dibawa lari oleh Demit Lanangi"
"Hahhh..."!" semuanya terpekik kaget dengan wajah menjadi tegang.
"Demit Lanang datang dan tak bisa ditahan oleh
prajurit gerbang, ia masuk dan bicara sebentar dengan
Gusti Ratu, lalu ia menotok Gusti Ratu dan
membawanya pergi!"
"Kau sendiri bagaimana"! Apa tugasmu di istana"!"
bentak Kinanti.
"Aku dilumpuhkan lebih dulu, tak bisa bergerak apa-apa, namun aku melihat
perbuatan itu, dan aku berteriak-teriak namun semua prajurit rupanya sudah
dibungkam dengan ilmu getaran batin si Demit Lanang!"
"Ke mana arah kepergiannya"!" tanya Salju Kelana.
"Ke selatan...!"
"Suto, cepat kita bergerak ke sana! Pasti sang Ratu dibawanya ke benteng
Perguruan Darah Surga!"
Kinanti berseru kepada Pinasih, "Tetaplah di istana, siapkan prajurit tamtama
untuk menyerang Perguruan
Darah Surga! Kami berangkat lebih dulu!"
* * * 7 BARU menginap semalam di Lembah Birawa,
esoknya Suto sudah dihadapkan dengan dua masalah
besar; penyerbuan Lodang Balak dan menghadapi
hilangnya sang Ratu sendiri, ini sebuah tantangan bagi Pendekar Mabuk untuk
menunjukkan kepiawaiannya
dalam mengatasi berbagai kesulitan. Karenanya
semangat Suto Sinting dalam mengejar Demit Lanang
cukup tinggi. Apalagi ia didampingi Salju Kelana, serasa didampingi Dyah
Sariningrum yang amat dirindukan itu.
Tak heran lagi jika Suto cukup menggebu-gebu untuk
segera sampai di Perguruan Darah Surga.
Perguruan itu terletak di dekat pantai, sebuah bukit
yang cukup luas, sebagian lerengnya dibangun benteng
kayu sebagai tempat menempa murid-murid perguruan
tersebut. Tetapi ketika mereka sampai di benteng perguruan
tersebut, ternyata keadaannya sangat sepi. Tak satu pun murid Perguruan Darah
Surga yang terlihat mondar-mandir di depan pintu gerbang. Kinanti mengajak
mereka untuk mengintai dari kejauhan, dan Kinanti pula yang berbisik kepada
Salju Kelana serta Suto Sinting sambil menyatakan keheranan hatinya.
"Biasanya tidak sesepi ini. Paling tidak empat-lima orang berjaga-jaga di depan
gerbang, ini satu pun tak
ada" Ke mana mereka sebenarnya?"
"Mungkin mengadakan pertemuan penting di dalam
benteng," kata Salju Kelana.
"Sekalipun ada pertemuan penting mestinya di
menara ada penjaganya. Tapi keempat menara itu
tampak kosong. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana."
"Sepertinya ada sesuatu yang terjadi sebelum kita sampai sini," kata Suto
Sinting. "Agaknya kita perlu selidiki lebih dekat lagi."
Mereka pun bergerak mendekati benteng kayu yang
tampak kokoh itu. Tak lupa Pendekar Mabuk
mengingatkan agar Kinanti dan Salju Kelana tetap
menjaga kewaspadaannya.
Di balik jajaran pohon-pohon kelapa, mereka
bersembunyi memperhatikan keadaan benteng kayu itu.
Suto Sinting berkata kepada kedua wanita tersebut,
"Tunggu beberapa saat, siapa tahu ada yang lewat di depan gerbang atau naik ke
menara mengintai suasana di
sekitar sini."
Namun sampai beberapa saat lamanya mereka di
tempat persembunyian dengan perhatian terpusat ke
benteng kayu, ternyata tak ada seorang pun yang lewat
atau terlihat di sekitar benteng tersebut. Kinanti
mendekati Suto Sinting dan berkata penuh kecurigaan,
"Biasanya papan nama perguruan tergantung diatas
pintu gerbang. Tapi kali ini papan nama itu tidak ada."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi memikirkan
keterangan tersebut. Salju Kelana berkata setelah
beberapa saat diam.
"Aku penasaran ingin menyusup masuk ke sana."
"Jangan gegabah! Siapa tahu keadaan seperti ini
adalah jebakan bagi kita," kata Suto Sinting. "Mungkin mereka tahu kalau pihak
Ratu Jiwandani akan datang
menyerang guna merebut sang Ratu. Mereka buat
suasana seperti ini untuk menjebak. Kita perlu hati-hati sekali dalam melangkah.
Pertimbangkan masak-masak
setiap gerakan!"
Setelah sekian lama mereka tidak menemukan tandatanda kehidupan di benteng itu, Kinanti mengusulkan
untuk bergerak lebih dulu menyelidiki keadaan di dalam benteng. Suto Sinting
setuju asal ia dan Salju Kelana sudah berada di balik gugusan batu, lebih dekat
dengan sisi samping benteng.
Pendekar Mabuk sudah tiga kali menenggak tuaknya
sebagai persiapan menyimpan tenaga. Matanya tak
berkedip memandangi Kinanti yang mendekat ke arah
pintu gerbang benteng, ia siap lepaskan pukulan jarak
jauhnya jika terjadi sesuatu pada diri Kinanti. Namun
sejauh ini agaknya Kinanti aman-aman saja, sehingga
gadis itu memberi isyarat kepada Suto dan Salju Kelana agar ikut mendekat
menyusulnya. "Tak ada sepotong orang pun," kata Kinanti pelan.
"Pintu gerbang ini juga dalam keadaan tidak dikunci.
Mudah didorong dengan kaki."
"Tunggu, jangan sentuh dulu pintu gerbang ini!" kata Suto Sinting yang
berfirasat tak enak dalam hatinya, ia segera memeriksa sekeiiling pintu gerbang,
memperhatikan tiap pasangan kayu-kayunya, ia
mendongak ke atas, dan memandangi rangkaian kayu
yang menjadi dinding bagian atas. Rangkaian kayu itu
meruncing ke bawah dan mempunyai tali pengait yang
dihubungkan dengan bagian belakang pintu gerbang.
"Mundurlah dulu... mundur...!" kata Suto Sinting dengan tenang. Mereka mundur
empat langkah. Kemudian Suto Sinting menyentilkan jarinya,
menggunakan jurus 'Jari Guntur' yang mampu
menghadirkan kekuatan menendang melebihi tendangan
tenaga seekor kuda jantan. Tebb...!
Drakkk...! Pintu gerbang terbuka dalam satu sentakan
kuat akibat sentilan 'Jari Guntur'. Dan pada saat pintu terdorong ke dalam
membuka, tiba-tiba pasangan kayu
runcing yang berjajar itu meluncur turun dengan
cepatnya. Zrabbb...! Jrrubb...!
Kayu-kayu itu menancap di tanah secara serempak.
Seandainya ada orang yang membuka pintu gerbang,
maka orang tersebut sudah tentu akan mati tertusuk
kayu-kayu runcing itu.
"Sebuah jebakan"!" gumam Kinanti dengan mata membelalak lebar.
"Itulah sebabnya tadi kuperingatkan agar jangan
menyentuh pintu gerbang. Aku curiga ada sesuatu yang
tak beres di depan pintu tersebut."
Kinanti menghela napas dan menghempaskan-nya
panjang-panjang. "Untung kau waspada sekali, kalau tidak nyawaku sudah melayang
saat ini."
"Bersiaplah jika ada yang keluar dari dalam sana.
Mereka pasti melepaskan serangan beruntun!" kata Suto Sinting yang membuat kedua
wanita itu bersiaga
menghadapi serangan sewaktu-waktu.
Ternyata serangan yang ditunggu tidak kunjung tiba.
Keadaan masih tampak sepi-sepi saja. Hembusan angin
menerbangkan dedaunan kering terhempas masuk ke
dalam benteng. Setelah merasa tak ada yang datang,
Suto memberi isyarat agar mendekati pelan-pelan.
Kayu-kayu runcing yang menancap di tanah itu
disingkirkan oleh Suto dan Kinanti. Jalan masuk terbuka lebar, keadaan di dalam
terlihat jelas, bangunan-bangunannya kosong dan pendopo pun tampak sepi.
Kinanti melangkah maju lebih dulu. Tapi tiba-tiba
tangan Suto Sinting segera menyambarnya dengan
memeluk pinggang Kinanti dan membawanya melompat
ke belakang. "Mundur...!" sentak suara Suto yang membuat Salju Kelana ikut-ikutan menyentak
ke belakang. Ternyata Kinanti telah menginjak pasangan batu yang
ditanam dalam tanah. Pasangan itu membuat munculnya
jebakan berupa papan-papan berbesi runcing yang
menghantam ke arah pintu gerbang dari bagian dalam.
Wuusss...! Prakkk...!
Sebagian papan ada yang menancap di pintu
sebelahnya, sebagian lagi mengenai tempat kosong.
Kinanti berdebar-debar memandang keadaan tersebut.
Terbayang kengerian yang nyaris membuatnya mati
terpaku besi-besi runcing pada papan-papan tersebut.
Kalau saja Suto Sinting tidak segera menyambarnya, ia akan mati dihujam puluhan
besi runcing yang
menyerupai paku-paku di papan itu.
Salju Kelana berkata, "Agaknya tempat ini sengaja dipenuhi jebakan maut. Kita
harus lebih hati-hati lagi, Suto."
"Ya. Dan melihat suasana di dalam tampak sepi-sepi saja, aku curiga, janganjangan mereka sudah pergi!"
"Maksudmu, pergi meninggalkan tempat ini
selamanya?"
"Bisa selamanya, bisa pula hanya untuk sementara."
Salju Kelana manggut-manggut dengan gumam
kecilnya. Akhirnya mereka sepakat untuk memeriksa
bagian dalam benteng. Ternyata keadaannya benar-benar
kosong tanpa manusia satu pun. Tapi tempat itu penuh
dengan jebakan beraneka ragam. Salju Kelana hampir
saja mati dihantam sekeranjang tombak yang
membentuk seperti bola besar dan menghempas dari sisi
kanan ke sisi kiri. Untung ia segera disambar oleh Suto Sinting dan bergulingguling di lantai hingga selamat
dari ancaman maut itu.
Seluruh ruangan diperiksa, seluruh ruangan pula
mempunyai jebakan yang mematikan. Siapa pun yang
masuk ke benteng itu tanpa meningkatkan kewaspadaan
dan hati-hati, ia akan mati secara mengerikan. Namun
berkat kewaspadaan tinggi sang Pendekar Mabuk,
mereka bertiga tetap selamat, bahkan selamat pula dari semburan asap beracun
yang sangat berbahaya itu.
"Berapa banyak jebakan yang terpasang di sini
sebenarnya?" gumam Salju Kelana sambil memandang sekelilingnya dengan penuh


Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keheranan. "Yang kupikirkan adalah, mengapa tempat ini
ditinggalkan oleh orang-orang Perguruan Darah Surga?"
ujar Pendekar Mabuk.
"Mungkin karena Demit Lanang membawa lari sang
Ratu," kata Kinanti.
"Apakah hanya karena itu mereka harus
meninggalkan tempat ini" Mengapa tidak bertahan saja"
Bukankah katamu mereka orang-orang yang sulit
ditumbangkan"!'
Salju Kelana menyahut, "Kurasa ada sebab lain yang membuat mereka pergi dari
tempat ini. Sebab lain itulah yang tidak mudah kita mengerti."
Setelah memeriksa setiap jengkal tanah di dalam
benteng itu, akhirnya Suto Sinting memutuskan untuk
meninggalkan tempat tersebut.
"Kita tidak akan memperoleh apa-apa jika masih
tetap di sini!" katanya sambil bergegas keluar dari benteng kayu.
Sesampainya di iuar Kinanti berkata dengan wajah
cemas, "Lantas bagaimana nasib Ratu Jiwandani"
Kemana kita harus mencarinya, Suto?"
"Itu yang kupikirkan sejak tadi, Kinanti. Tapi
barangkali kau ingat bahwa Demit Lanang mempunyai
tempat lain yang cocok untuk menyembunyikan sang
Ratu?" "Aku tidak pernah tahu tentang dia. Sang Ratu yang tahu banyak tentang Demit
Lanang, karena Maha Guru
Teja Biru pernah menceritakan tentang pribadi Demit
Lanang kepada sang Ratu."
"Kurasa ada baiknya kalau kita menyusuri pantai, mencari jejak mereka," kata
Salju Kelana. "Setidaknya kita periksa keadaan tanah di sekeliling tempat ini,
siapa tahu kita bisa temukan jejak kepergian mereka."
"Itu gagasan yang baik!" kata Suto Sinting. "Kita awali dari hutan di belakang
dan samping bangunan ini."
Mereka baru saja bergerak, tiba-tiba terdengar suara
derap kaki kuda menuju ke tempat itu. Pada mulanya
Kinanti menyangka derap kaki kuda itu adalah
kedatangan orang-orangnya yang siap memberi bantuan
tenaga. Tetapi setelah derap kaki kuda itu terdengar tak begitu banyak, mungkin
hanya dua-tiga kuda yang
berlari cepat, mereka menjadi curiga dan menyangkal
pendapat Kinanti.
"Kurasa bukan orang-orang Lembah Birawa," kata Salju Kelana. "Jumlah kaki kuda
itu tidak banyak. Dan agaknya mereka dalam keadaan terburu-buru. Mungkin
karena hati mereka dibakar kemarahan yang meluapluap." "Dari mana kau tahu kalau mereka dibakar
kemarahan?"
"Kudengar jantung mereka berdetak cukup cepat,"
jawab Salju Kelana yang memang pendengarannya
sudah terlatih untuk menyimak suara apa pun, hingga
sangat peka terhadap suara detak jantung seseorang.
"Ada tiga orang yang menuju kemari," kata Suto Sinting.
"Kau yakin hanya tiga orang"!" tanya Kinanti.
"Yakin sekali, karena yang kudengar hanya tiga detak jantung!"
Kinanti heran mendengar Suto dan Salju Kelana
bicara tentang detak jantung, ia tidak tahu bahwa
Pendekar Mabuk juga mempunyai jurus 'Lacak Jantung'
yang mampu mendengarkan detak jantung orang selain
dirinya dan teman-temannya. Bahkan denyut nadi pun
bisa didengar oleh Suto Sinting jika jurus 'Lacak
Jantung' itu sedang dipergunakan.
Dugaan Suto memang benar. Tiga orang penunggang
kuda datang ke benteng kayu itu. Mereka berwajah
dingin, semuanya memancarkan murka yang
tersembunyi di balik sikap dinginnya. Tiga orang itu
rata-rata berusia lima puluh tahun lebih. Tubuhnya
kurus-kurus, matanya cekung-cekung, rambutnya ada
yang panjang sepunggung, ada yang sebatas tengkuk,
ada yang hanya sepundak lewat sedikit. Mereka samasama memakai ikat kepala dari kain merah.
Pakaian mereka rata-rata berwarna gelap. Satu orang
memakai jubah berlengan panjang warna abu-abu, satu
lagi mengenakan jubah tak berlengan warna hitam, dan
yang satu lagi mengenakan jubah belahan samping
warna hijau tua. Jubah belahan samping itu seperti kain yang dilubangi untuk
masuk kepala, tanpa ada bentuk
dan potongan model apa pun.
"Celaka! Rupanya mereka yang membuat Demit
Lanang buru-buru pindah dari tempat ini"!" bisik
Kinanti kepada Pendekar Mabuk. Bisikan itu juga
didengar oleh Salju Kelana.
"Siapa mereka itu, Kinanti?"
"Mereka musuh utama Maha Guru Teja Biru yang
dikenal dengan nama: Tiga Malaikat Batu."
"Aku baru mendengar julukan itu," bisik Salju Kelana.
"Mereka adalah; Denawa, Sogar, dan Brada. Mereka
orang-orang Teluk Sangar, ilmunya tinggi-tinggi, kebal senjata dan tak mampu
ditembus sinar apa pun.
Barangkali Demit Lanang sudah mengetahui rencana
kedatangan mereka, sehingga segera memindahkan pusat
Perguruan ke tempat lain."
"Bukankah Demit Lanang mempunyai jurus 'Bintara
Jingga' yang cukup dahsyat itu?"
"Jurus tersebut tak akan bisa mengenai Tiga Maiaikat Batu. Demit Lanang pasti
tahu hal itu dan karenanya ia memilih kabur dari tempat ini."
Tiga Malaikat Batu turun dari kudanya. Pendekar
Mabuk memandang dengan tenang, tapi hatinya berkata
penuh keheranan.
"Gila! Mereka tidak punya bayangan, padahal
matahari bersinar cukup terang, mengapa mereka sampai
tidak punya bayangan" Hmmm... kurasa mereka bukan
manusia biasa, mungkin masyarakat negeri siluman"!"
"Mana si keparat Demit Lanang itu"!" hardik Sogar yang memakai jubah hitam.
"Kami sendiri mencarinya, tapi kami temukan tempat ini kosong," jawab Suto
Sinting dengan kalem.
"Jangan berlagak menjadi orang asing di perguruan sendiri! Aku tahu kalian
adalah murid Perguruan Darah
Surga!" "Kau keliru," Suto sunggingkan senyum tipis. "Kami dari pihak lain yang ingin
menyerang Demit Lanang."
Brada yang matanya lebih kecil dan lebih dingin itu
berkata datar. "Apakah ini sebuah siasat banci Demit Lanang"!"
"Bukan, ini keadaan yang mengecewakan. Kita samasama kecewa karena menemukan tempat ini kosong.
Kalau kalian tak percaya, silakan masuk dan memeriksa
keadaan di dalam. Tapi hati-hati, banyak jebakan yang
dapat mematikan orang. Kami hampir saja mati karena
jebakan-jebakan maut yang dipasangnya."
Denawa yang memakai jubah abu-abu itu berkata,
"Mereka perlu dipaksa, Brada!"
Brada mengacungkan tangannya ke arah Suto
Sinting. Dari ujung jarinya yang lemas itu melesat sinar putih menghantam dada
Suto Sinting. Clapp...! Suto
Sinting kaget dan segera berkelit ke samping sambil
menghadang sinar itu dengan bumbung tuaknya.
Trabb...! Wuuttt...!
Sinar putih itu berbalik arah menjadi lebih besar.
Namun arahnya segera membelok naik ketika hampir
kenai tubuh Brada. Slapp...! Sinar itu pun melesat ke langit dan lenyap tanpa
suara. Suto Sinting terkesiap melihat sinar itu membelok
arah, seakan membentur dinding kaca yang
melambungkan arah gerakan sinar. Sedangkan Tiga
Malaikat Batu itu terkesiap melihat bumbung tuak itu
mampu membalikkan gerakan sinar menjadi lebih besar
dan lebih cepat lagi.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda"!"
"Aku yang bernama Suto Sinting."
"Hmmm... muridnya si Gila Tuak itu?" sahut Sogar.
"Benar! Aku murid si Gila Tuak," jawab Suto Sinting dengan tegas.
Ketiga orang berwajah dingin itu manggut-manggut.
Mereka saling pandang sebentar, lalu Denawa berkata
kepada Sogar, "Setahuku murid Gila Tuak adalah bocah tanpa
pusar! Bisa saja anak itu mengaku-aku murid si Gila
Tuak." Suto Sinting mendengar dan tersenyum geli. Ia
berkata dalam senyumnya,
"Apakah perlu kutunjukkan perutku bahwa aku tidak punya pusar"!"
Salju Kelana buang muka menyembunyikan senyum,
demikian pula Kinanti yang menatap Salju Kelana
dengan senyum dikulum.
"Tak perlu kau tunjukkan perutmu, Anak muda," kata Sogar, "Cukup kau tunjukan
sekali lagi jurus warisan Gila Tuak, sebab kami mengenai jurus-jurusnya."
"Apakah kau tak akan menyesal jika sampai
kugunakan jurus yang menjadi ciri aliran silat Gila
Tuak"!"
"Aku yang akan melayanimu, Nak," kata Denawa sambil melangkah maju, jaraknya
menjadi lima langkah
dari Suto Sinting. Sikap berdirinya menampakkan
keangkuhan seorang berilmu tinggi.
"Seranglah aku dengan jurus warisan Gila Tuak."
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Suto Sinting segera
gunakan jurus 'Gerak Siluman', menerjang Denawa
dengan kecepatan yang tak bisa dilihat mata siapa pun.
Zlaappp...! Brruss...!
Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di belakang
mereka dalam jarak cukup jauh. Denawa sendiri
terpental dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya.
Hidung orang itu keluarkan darah yang membuat Sogar
dan Brada terperangah kaget.
Zlaappp...! Suto Sinting tahu-tahu sudah ada di
tempat semula, bersebelahan dengan Salju Kelana. Tiga
Malaikat Batu kembali terperangah memandangi
kehadiran Suto Sinting yang ternyata telah
menggenggam dua kain merah. Dua kain merah itu
adalah ikat kepala Denawa dan Sogar yang sempat
disambar dengan kecepatan tinggi sekali.
Suto Sinting tersenyum menunjukkan dua kain merah
di kanan kirinya. Denawa segera datang dengan
menghapus darah dari hidungnya memakai lengan jubah,
ia berkata kepada kedua temannya namun matanya
tertuju pada Suto Sinting.
"Dia memang murid Gila Tuak."
"Ya, dia gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang tidak kita miliki," kata Brada.
"Pantas dia bisa mengembalikan sinar putihku tadi."
Sogar berkata kepada Suto, "Kembalikan ikat kepala kami. Aku tak pernah
bermusuhan dengan gurumu,
Suto!" Dengan sikap baik, Suto Sinting mengembalikan ikat
kepala mereka. Permusuhan pun mereda, bahkan Brada
bertanya kepada Pendekar Mabuk,
"Urusan apa kau ada di sini bersama dua kekasihmu itu?"
Salju Kelana dan Kinanti tersenyum masam. Suto
Sinting justru tertawa tanpa suara. Tapi ia segera
menjelaskan perkara sebenarnya, dituturkan dengan
sejelas-jelasnya, sehingga ketiga orang yang berjuluk
Tiga Malaikat Batu itu menggumam lirih.
"Kami pun ada persoalan dengan Demit Lanang.
Delapan murid kami dilenyapkan dengan sinar 'Bintara
Jingga'-nya itu. Terlepas dia tahu itu murid kami atau tidak, tapi kami akan
menuntut balas atas kematian
delapan murid kami."
"Kita sama-sama kehilangan buronan," kata Suto Sinting. "Tapi aku yakin dalam
waktu tak lama dapat menemukan di mana Demit Lanang bersembunyi."
"Kita berlomba," kata Brada. "Siapa yang
menemukan Demit Lanang lebih dulu, dia yang berhak
membunuhnya!"
"Asal Ratu Jiwandani jangan sampai cedera oleh
serangan kalian. Jika sang Ratu cedera, aku akan
menuntut kalian!" Suto menggertak secara halus.
"Aku paham!" ucap Denawa pendek, ia segera naik ke punggung kuda, diikuti oleh
Sogar dan Brada.
Kemudian mereka pergi tanpa pamit lagi. Kinanti dan
Salju Kelana memandang dengan hati menyimpan rasa
kagum kepada Suto Sinting. Tapi Kinanti tak kuasa
memendam kekagumannya, sehingga la iontarkan lewat
kata. "Demit Lanang saja lari terbirit-birit karena tak sanggup melawan Tiga Maiaikat
Batu, namun kau justru
membuat mereka secara tak langsung menaruh hormat
padamu, Suto! Kau benar-benar luar biasa!"
"Siapa dulu pendampingnya," kata Salju Kelana membanggakan diri. Kinanti
mencibir namun tak berani
seketus kemarin.
"Sekarang yang kita pikirkan bukan siapa
pendampingku, tapi di mana Ratu Jiwandani dibawa
oleh Demit Lanang. Ke mana kita harus mencari si
Demit Lanang itu"!"
Salju Kelana dan Kinanti sama-sama diam termenung
memikirkan langkah berikutnya.
* * * 8 PENCARIAN itu memakan waktu sehari semalam,
mereka sampai bermalam di hutan. Selama perjalanan
Salju Kelana tak pernah mau jauh dari Suto Sinting,
sehingga Kinanti sering merasa iri. Namun rasa iri itu tidak berani diungkapkan
secara terang-terangan, karena dalam hatinya ia mulai takut melawan Salju Kelana
setelah melihat kehebatan Salju Kelana saat melawan
Balada. Di ujung pagi, perjalanan mencari Demit Lanang
dilanjutkan. Namun mereka terperanjat kaget saat
menuruni sebuah lembah. Mereka temukan dua pakaian
yang tergeletak di rerumputan. Mereka tahu, pakaian itu tidak sengaja
digeletakkan di situ oleh pemiliknya, sebab di samping pakaian mereka juga
terdapat sebilah golok
dan cambuk. Kinanti amat mengenali senjata dan
pakaian tersebut.
"Ini pakaian Setan Bejat dan Hantu Sesat!" Pendekar Mabuk jadi ingat saat


Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkenalan dengan Kinanti yang
kala itu terdesak serangan Hantu Sesat dan si Setan
Bejat. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis
mengenang perkenalan itu, lalu ia berkata kepada
Kinanti. "Agaknya musuhmu sudah terlibat bentrokan dengan
Demit Lanang."
Salju Kelana berkerut dahi, "Dari mana kau tahu?"
"Pakaian ini seperti ditinggalkan oleh raganya begitu saja. Pasti mereka terkena
jurus 'Bintara Jingga'. Aku tak sangsi lagi, mereka dilenyapkan oleh si Demit
Lanang!" "Pendapatku pun begitu," kata Kinanti. "Apakah ini berarti kita sudah mendekati
tempat persembunyian
Demit Lanang?"
"Belum tentu," kata Salju Kelana. "Tapi setidaknya kita tidak salah arah.
Mungkin di balik gunung itulah mereka bersembunyi."
Suto Sinting memandang ke arah gunung yang
menjulang tinggi di depannya. Letaknya cukup jauh,
namun untuk mencapai kaki gunung tidak sampai
memakan waktu setengah hari jika menggunakan jurus
'Gerak Siluman'.
"Haruskah aku mendului mereka ke sana" Hmmm...
mungkin Salju Kelana bisa menyusul tak berapa lama, tapi Kinanti akan tertinggal
jauh," pikir Suto Sinting.
Langkah berikutnya menjadi terhenti lagi karena
suara gaduh di semak-semak sebelah selatan mereka.
Salju Kelana yang menahan langkah mereka, karena
dialah yang mempunyai pendengaran paling tajam.
"Ada sesuatu yang gemerisik di sebelah selatan kita,"
bisik Salju Kelana.
"Periksalah, siapa tahu salah satu dari murid
Perguruan Darah Surga." Suto bicara kepada Kinanti.
Maka gadis itu segera berkelebat ke selatan. Pendekar Mabuk menunggu di tempat
bersama Salju Kelana.
Namun perhatian mereka tidak lepas dari Kinanti karena khawatir gadis itu
mendapat serangan berbahaya dari
arah lain. "Dia cemburu sekali kalau aku bermanja denganmu,"
kata Salju Kelana tanpa memandang Suto Sinting.
"Aku tidak merasakan kecemburuannya," Suto
berlagak tidak tahu.
"Aku merasakan betul. Sepertinya dia ingin kau
menjadi suami Ratu Jiwandani."
"Menurutmu bagaimana?" pancing Suto Sinting.
"Terserah kau. Kau lelaki, bebas memilih," jawab Salju Kelana bernada sedikit
sinis. Suto Sinting tertawa seperti orang menggumam.
"Aku tidak akan memilih Ratu Jiwandani untuk
menjadi istriku."
"Kenapa?" pancing Salju Kelana lagi. "Apakah dia kurang cantik bagimu?"
"Cukup cantik. Tapi sayang aku sudah punya calon
istri sendiri."
Salju Kelana berkerut dahi. "Siapa perempuan yang kau maksud itu?"
"Dyah Sariningrum, Ratu di Negeri Puri Gerbang
Surgawi yang bergelar Gusti Mahkota Sejati."
"Dyah Sari.... Ohh..."!" Salju Kelana terkejut. "Jadi...
ketika Lodang Balak menyangkaku Dyah Sariningrum
itu yang dimaksud adalah... adalah...."
"Calon Istriku," sahut Suto, kemudian menceritakan secara singkat tentang Dyah
Sariningrum yang
merupakan perempuan yang sudah ditakdirkan menjadi
istrinya oleh garis perjalanan hidup mereka. Salju
Kelana tundukkan kepala dan merasa sedih.
"Tapi selama kau belum mendapatkan seorang suami, aku tetap akan mendampingimu.
Karena wajahmu persis
sekali dengan Dyah Sariningrum. Kita memang bisa
bersama-sama, tapi tidak bisa bersatu dalam kemesraan
abadi." Salju Kelana menarik napas berusaha menenangkan
gemuruh yang ada di hatinya, ia tidak bicara apa pun,
sampai Kinanti akhirnya datang sambil menenteng
seorang lelaki agak pendek berpakaian biru, badannya agak gemuk dan rambutnya
pendek mengenakan ikat
kepala biru juga.
"Aku tak tahu murid siapa dia, tapi kutemukan dalam keadaan mengintip kalian
berdua," kata Kinanti sambil melemparkan tubuh itu bagai melemparkan sarung
basah. Brruk...!
Suto memandang dengan dahi berkerut heran. "Bagus Sepasar..."!" gumamnya lirih.
"Siapa orang ini" Kau kenal dengannya?" tanya Salju Kelana.
"Ya, aku pernah kenal dengannya. Dia bernama
Bagus Sepasar, tapi nama aslinya Wirusida. Kami
berkenalan saat aku menemukan seseorang yang
tergantung kakinya karena terkena jerat yang dipasang
pemburu." "Ak... aku dari tadi mau mendekatimu, tapi aku takut, Suto."
"Apa yang kau lakukan di sini, Paman Bagus
Sepasar"!"
"Aku melarikan diri, Suto," jawab Wirusida dengan wajah menyedihkan. "Aku tak
berani tinggal di desaku yang dulu kuceritakan telah kosong itu."
"Kenapa kau tak berani menempati desa itu?"
"Karena desa itu sekarang sudah dikuasai oleh Demit Lanang."
"Ooh..."!" Salju Kelana dan Kinanti terpekik kaget dan menjadi tegang.
"Benarkah Demit Lanang ada di desamu?"
"Benar, Suto. Berani sumpah ketiban janda, aku
melihat sendiri Demit Lanang bersama orang-orangnya
menempati desa itu. Dan di sana kulihat dia membawa
seorang wanita cantik, mungkin calon istrinya."
"Dia adalah ratuku!" sahut Kinanti dengan penuh semangat.
"Kalau begitu keteranganmu tak salah lagi, Paman Wirusida. Terima kasih atas
keterangan ini, karena kami sedang sibuk mencari Demit Lanang yang ternyata
pindah ke desamu!"
"Apakah kau ingin datang ke sana, Suto?"
"Benar, Paman! Kami akan merebut Ratu Jiwandani."
"Kalau begitu, ikutlah aku. Kita jangan lewat
persawahan, nanti kedatangan kalian diketahui para
penjaga di sana. Kita melewati punggung bukit saja. Di sana keamanannya lemah.
Kau bisa langsung menuju ke
bekas rumah lurah kami!"
"Apakah Demit Lanang menempati rumah itu?" tanya Salju Kelana.
"Benar, karena rumah itu besar dan bagus.
Perempuan cantik itu juga ada di situ bersamanya!"
"Kita bergerak sekarang juga sebelum sang Ratu
menjadi korban kebiadabannya!" kata Suto Sinting, lalu kedua wanita cantik yang
bersamanya itu pun bergegas
mengikuti langkah Bagus Sepasar. Mereka tak bisa
berlari cepat, karena Bagus Sepasar akan tertinggal dan mereka bisa salah arah.
Mau tak mau mereka mengikuti
kecepatan lari Bagus Sepasar yang dirasakan oleh Suto Sinting seperti larinya
seekor bekicot.
Matahari mulai tampak memerah di sisi barat,
pertanda sore mulai tiba dan senja sebentar lagi akan
datang. Sisa cahaya masih menguntungkan bagi mereka
karena mereka sudah tiba di punggung bukit. Atap-atap
rumah mulai kelihatan menghitam di sana-sini.
Bagus Sepasar berhenti, yang lain pun ikut berhenti.
Mereka berlindung di balik pohon besar berdaun rimbun.
Bagus Sepasar berkata kepada Suto Sinting.
"Aku tak berani ikut mendekat ke desa itu, karena takut ditangkap oleh mereka.
Kalian saja yang ke sana!"
"Baiklah. Kau diam dan bersembunyi di sini saja.
Tapi tunjukkan yang mana atap bekas rumah kepala
desamu itu"!"
"Itu... yang atapnya panjang dan mempunyai empat
pohon kelapa di belakang rumah! Kelihatan dari sini,
bukan?" Mereka memandang ke arah yang ditunjuk oleh
Bagus Sepaaar. Atap rumah tersebut tampak jelas dari
tempat mereka. Maka, Pendekar Mabuk pun segera
berkata kepada Salju Kelana,
"Aku akan menerobos masuk ke sana, kau di sini
saja." "Tidak, aku harus ikut denganmu. Aku tak ingin kau celaka!" kata Salju Kelana
menampakkan kesetiaannya.
"Aku juga harus mendampingimu, karena yang akan
kau selamatkan adalah ratuku," kata Kinanti yang punya rasa pengabdian tinggi
kepada ratunya.
Suto Sinting tak dapat menolak kemauan mereka.
Akhirnya ia berkata,
"Kalian boleh ikut, tapi hindari pertemuan dengan Demit Lanang. Biar aku yang
hadapi Demit Lanang. Jika
ada kesempatan menerobos masuk, cepat cari tahu di
mana Ratu Jiwandani, lalu bawa lari kemari dan tunggu
aku menyelesaikan urusan dengan Demit Lanang."
Kedua wanita cantik yang tidak punya rasa takut
maupun gentar itu segera anggukkan kepala. Kemudian
mereka bergegas menuruni bukit itu dengan menyelinap
ke balik pepohonan.
Ternyata rumah yang dituju mereka dijaga ketat oleh
beberapa orang yang berkeliling dengan senjata masingmasing. Suto Sinting menyuruh kedua perempuan itu
merendahkan badan agar tak terlihat oleh penjaga.
"Lakukan penyerangan yang melumpuhkan lawan
tapi tidak timbulkan suara gaduh," bisik Suto Sinting.
"Akan kugunakan jurus 'Darah Beku' untuk membuat
mereka tak bergerak selama satu malam," bisik Salju Kelana.
"Kalau begitu aku akan menggunakan jurus 'Surya
Pembius' yang membuat mereka akan tertidur cukup
lama," timpal Kinanti seakan ingin tunjukkan kebolehan melumpuhkan lawan tanpa
suara. Mereka makin bergerak mendekati rumah tersebut.
Arah gerakan mereka berpencar. Suto berada di sisi
kanan, menuju ke jalan samping rumah.
Dua penjaga sedang bicara dengan kelengahan yang
menguntungkan Salju Kelana. Perempuan berjubah putih
itu segera lepaskan jurus 'Darah Beku' berupa sinar
bintik-bintik putih seperti serbuk beling yang melesat dari ujung jari telunjuk
dan jari tengah yang merapat.
Class...! Srrubb...!
Kedua penjaga itu tetap berdiri dengan keadaan saat
bicara. Tapi mereka sudah tidak bisa bergerak lagi.
Bahkan berkedip pun tak bisa. Darahnya membeku dan
lama-lama kulit tubuhnya mengeluarkan busa salju.
Seorang penjaga lain menghampiri orang yang telah
dibungkus salju samar-samar itu. Ia menyangka kedua
temannya masih bisa diajak bicara.
"Hei, kalian ini jaga kok malah ngobrol" Kalau ada bahaya bagaimana"! Lho..."!
Lho...".!"
Saat orang itu bingung melihat keadaan kedua
temannya, Salju Kelana cepat lepaskan jurus 'Darah
Beku' kembali. Class...! Maka orang itu pun bernasib
sama dengan kedua temannya.
Sementara itu, Kinanti bergerak makin mendekati
pintu belakang rumah. Di sana ada dua penjaga yang
matanya bergerak penuh waspada. Kinanti segera
muncul terang-terangan. Namun sebelum kedua orang
itu berseru dan bergerak, tiba-tiba dari punggung
tangannya keluar sinar kuning bercampur asap. Wuss...!
Sinar itu menyebar dan menerpa wajah kedua penjaga.
Mereka memaksakan diri untuk bergerak dengan
gelagapan, namun kejap berikut mereka jatuh terpuruk di
tempat dan tak berkutik lagi bagaikan orang tertidur
dengan nyenyak. Mereka menjadi korban jurus 'Surya
Pembius' yang hanya dimiliki oleh orang-orangnya Ratu
Jiwandani. Jurus itu hanya bisa digunakan secara
sembunyi-sembunyi. Karena jika ditangkis dengan
tenaga dalam lain akan menimbulkan ledakan cukup
keras. Beberapa orang dilumpuhkan oleh Salju Kelana dan
Kinanti. Pendekar Mabuk belum lepaskan jurusnya satu
pun, ia hanya menyelinap menyusuri sisi rumah. Namun
tiba-tiba seseorang yang ada di rumah seberang
melihatnya dan berseru keras,
"Hoi...! Mau apa kau"!"
Orang tersebut hendak lepaskan pukulan jarak jauh,
tapi oleh Suto dilumpuhkan dengan jurus 'Jari Guntur'nya, berupa sentilan tangan yang mengandung kekuatan
tenaga dalam seperti tendangan kuda. Tess...! Dubb...!
Brraakkk...! Orang itu terjengkang ke belakang dan menabrak
pintu. Suara gaduh menjadi pusat perhatian yang lain.
Akibatnya kemunculan Pendekar Mabuk di situ segera
diketahui oleh mereka.
"Ada orang menyusup! Ada orang masuk ke wilayah
kita!" teriak salah seorang dari mereka.
Pendekar Mabuk segera dikepung oleh beberapa
orang bersenjata. Namun pemuda tampan itu tetap
tenang. Setiap wajah dipandanginya. Saat itulah ia telah pergunakan jurus 'Alih
Raga', seperti yang digunakan
saat melawan Setan Bejat dan Hantu Sesat. Maka ketika
beberapa orang maju menyerang Suto dengan golok dan
senjata tajam lainnya, Suto hanya diam saja. Tapi teman-teman mereka menjerit
kesakitan, dan saling berjatuhan.
Bahkan beberapa orang tampak melepaskan napas
terakhir untuk kemudian tidak bernyawa lagi. Semakin
banyak Suto diserang dengan senjata tajam, semakin
banyak pula orang-orangnya Demit Lanang berjatuhan
tanpa nyawa. "Hentikan! Dia menggunakan jurus gaib!" seru salah seorang. "Panggil Maha Guru
kita!" "Aaaa...!" salah seorang memekik karena ada yang menyerang Suto dengan tombak
dari belakang. Tombak
itu menancap di tubuh Suto, namun segera jatuh ke tanah dan orang di depannya
yang memekik sambil rubuh, lalu
tak bernyawa lagi.
Suara gaduh itu membuat Demit Lanang melompat
keluar dari dalam rumah dengan menendang pintu.
Brrakk...! Dalam sekejap ia sudah berada di depan Suto Sinting.
"Siapa kau, Anak ingusan"!" ucapnya dengan nada datar dan wajah dingin.
Pandangan matanya pun
sedingin es. "Aku utusan dari Lembah Birawa!" kata Suto tegas sekali. "Tujuanku adalah


Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil Ratu Jiwandani!"
"Hmmm... kau harus melangkahi mayatku jika ingin
mengambil caion istriku itu!"
"Kusanggupi syarat itu!" kata Suto Sinting dengan tetap tenang.
Wuuttt...! Demit Lanang menerjang Suto dengan
gerakannya yang seperti orang menghilang itu. Suto
Sinting pun menghindar dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman'.
Zlapp...! Di dalam rumah terjadi suara ledakan. Kemudian
Kinanti keluar dengan memanggul Ratu Jiwandani yang
agaknya dalam keadaan tertotok.
"Sutooo...!" teriaknya.
"Cepat lari...!" balas Suto.
"Kejar dia!" perintah Demit Lanang dengan wajah mulai gusar.
Salju Kelana muncul menghadang para pengejar,
sementara itu Kinanti membawa lari Ratu ke bukit.
"Jahanam kau, Bocah! Rupanya kau belum tahu jurus
'Bintara Jingga'-ku ini, hah"!"
Merasa dirinya terancam bahaya sinar Jingga yang
tak bisa dihindari, Suto Sinting segera lepas-kan jurus
'Napas Tuak Setan' dari mulutnya. Amarahnya
dibangkitkan, dan mulut pun menganga lebar.
"Heaaah...!"
Tepat pada waktu itu Demit Lanang lepaskan sinar
Jingga dari tangannya dan sinar itu membalik arah
mengenai dirinya sendiri karena hembusan badai yang
datang secara tiba-tiba. Begitu kuatnya badai 'Napas
Tuak Setan' sehingga mampu membalikkan sinar Jingga
kepada pemiliknya. Akibatnya, tubuh Demit Lanang
sendiri lenyap tinggal pakaiannya.
Namun angin badai tetap mengamuk merusak alam
dan lingkungannya. Rumah-rumah hancur, pohon-pohon
tumbang, beberapa anak buah Demit Lanang terhempas
dan terbanting tak bisa terselamatkan lagi. Pakaian
Demit Lanang ikut melayang entah ke mana. Desa
menjadi rusak, langit menjadi hitam bergulung-guiung
mendung tebal. Kilatan cahaya petir menyambarnyambar bagai mau klamat.
Tetapi orang yang ada di belakang Suto tetap selamat,
karena badai hanya menghempas ke arah depan Suto.
Mereka yang ada di belakang Suto selain sisa anak buah Demit Lanang, juga Salju
Kelana dan Kinanti yang
menghentikan larinya sambil memanggul Ratu
Jiwandani. Jurus maut 'Bintara Jingga' itu akhirnya dikalahkan
oleh jurus 'Napas Tuak Setan' yang jarang digunakan
Pendekar Mabuk jika ia tidak dalam keadaan sangat
terpaksa. Merasa rumah-rumah di desa itu sudah tidak
dihuni oleh pemiliknya lagi, maka Suto Sinting pun
berani lepaskan 'Napas Tuak Setan', yang berarti
menggulung habis para pengikut Demit Lanang.
Dengan begitu, berakhirlah riwayat kejayaan Demit
Lanang bersama jurus 'Bintara Jingga'-nya, sedangkan
sisa anak buah yang masih hidup melarikan diri
ketakutan, dan Ratu Jiwandani pun selamat dari
cengkeraman Demit Lanang.
"Tak akan kulupakan peristiwa ini sepanjang
hidupku," kata Ratu Jiwandani kepada Suto Sinting.
"Seharusnya perjanjian di atas lontar itu kutulis dan kusepati bersamamu, bukan
bersama Maha Guru Teja
Biru." "Lupakan soal perjanjian itu, karena aku sendiri
punya perjanjian dengan Ratu Puri Gerbang Surgawi;
Dyah Sariningrum," kata Suto mengakhiri
perjumpaannya dengan Ratu Jiwandani. Ia segera pergi
meninggalkan Lembah Birawa bersama Salju Kelana,
perempuan cantik yang mirip dengan Dyah Sariningrum.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul!!!
BAYI PEMBAWA PETAKA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pedang Semerah Darah 2 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis 28

Cari Blog Ini