Ceritasilat Novel Online

Misteri Bayangan Ungu 1

Pendekar Mabuk 057 Misteri Bayangan Ungu Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 NYANYIAN burung pagi telah menggugah hati sejak
tadi. Hati yang tergugah itu tak lain milik seorang
pemuda tampan berambut panjang digulung dengan
sisanya meriap sampai pundak. Pemuda itu mengenakan
rompi dan celana hijau berhias benang emas dengan
sabuk hitam yang dipakai untuk menyelipkan sebilah
pedang sarung perak. Murid dari Resi Badranaya itu
dikenal dengan nama Darah Prabu, yang baru saja
terbebas dari keganasan racun 'Tapak Ungu'-nya Nyi
Mas Gandrung Arum.
Hanya pemilik racun 'Tapak Ungu' yang bisa
mengobati Darah Prabu. Namun berkat pengetahuan luas
tokoh tua yang sering dipanggil dengan julukan si Tua
Bangka, racun itu bisa ditawarkan sebelum merenggut
jiwa Darah Prabu. Penawarnya adalah air 'Sendang
Ketuban' yang ada di Gunung Purwa. Dan karena air
itulah maka murid si Gila Tuak yang bergelar Pendekar
Mabuk; Suto Sinting, berkunjung ke negeri Wilwatikta
yang ada di punggung Gunung Purwa dan bertemu
dengan penguasa negeri yang luasnya hanya satu desa
itu; Ratu Dewa Cumbutari. Air 'Sendang Ketuban' itu
berhasil diperoleh Suto Sinting, kemudian segera
digunakan sebagai obat penawar racun 'Tapak Ungu'
yang membahayakan itu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pembantai Raksasa").
"Aku merasa senang sekali melihat kamu sehat
kembali, Darah Prabu. Mulanya aku sangat cemas dan
takut kalau sampai kau mati. Seandainya kau mati, aku
sudah menyusun rencana untuk bunuh diri, biar bisa
bertemu denganmu di alam kelanggengan sana. Tapi
kupikir-pikir, mati itu tidak enak, karena tidak bisa
garuk-garuk punggung sebab tidak punya raga. Maka
aku hanya bisa berdoa kepada Hyang Widi Wasa agar
kau diselamatkan melalui perantara siapa saja. Dan
ternyata Pendekar Mabuk itulah yang dipakai sebagai
perantara Hyang Widi Wasa untuk mengobati lukamu
dan menyelamatkan jiwamu. Aku gembira sekali,
hampir lupa ucapkan terima kasih kepada Hyang Widi
Wasa. Sekarang aku mau berdoa dulu, ya?"
Kata-kata panjang bertele-tele itu diucapkan oleh
seorang gadis berbaju kuning terang dengan belahan
dadanya agak lebar. Gadis itu berwajah mungil tapi
cantik, matanya bundar indah berbinar-binar dengan
bulu mata yang lentik, bibir yang mungil, hidung yang
bangir, serta kulit yang kuning mulus.
Dengan rambut sepundak yang lurus lemas di-poni
depan, gadis penyandang pisau tiga jengkal berkalung
batu hijau sebesar kemiri itu tak lain adalah Dewi
Kejora, yang dikenal dengan nama Kejora saja. Dia anak
keempat dari lima bersaudara keturunan tokoh putih;
Jalma Dupi dan Sang Ratri. Dua kakaknya telah tewas di
tangan orang-orang Candi Bangkai, sekarang yang
masih hidup hanya seorang kakak dan seorang adik
kecil; Dewi Hening dan Dewi Menik. Tapi mereka saat
itu sedang pergi ke Lembah Sunyi menemui Resi
Wulung Gading dan akan menanyakan sebuah pusaka
kuno warisan leluhur mereka.
Pusaka itu bernama Panji-panji Mayat atau Panjipanji Agung. Sebagian orang mengenalnya pula dengan
nama Panji-panji Dewa. Panji-panji itu sampai sekarang
belum diketahui ada di mana. Seandainya dititipkan
kepada seseorang, lalu siapa orang yang dipercaya oleh
Nyai Parisupit untuk menyimpan pusaka tersebut" Dan
persoalan ini ternyata telah melibatkan Suto Sinting
untuk membantu keluarga Kejora memperoleh pusaka
itu kembali, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Utusan Raja Iblis").
Mendengar ucapan si mungil Kejora, murid Resi
Badranaya itu hanya tersenyum dengan memandang
penuh pesona. Senyum itu bukan senyum murahan,
namun cukup mahal bagi Kejora dan jarang dilakukan
oleh Darah Prabu, sebab baru kali itu hatinya merasa
berdesir-desir indah mendengar sebaris ucapan yang
bertele-tele namun enak didengar itu.
"Mengapa kau ingin ikut mati kalau nyawaku tak
tertolong lagi?" tanya Darah Prabu memancing desiran
hati agar lebih indah lagi.
"Karena jika nyawamu tak tertolong, berarti kau mati.
Jika kau mati, ragamu tak punya nyawa. Jika ragamu tak
punya nyawa kau tak akan bisa kuajak bicara," jawab
Kejora yang berwatak lugu, polos dan berotak kurang
cerdas. Jawaban itu membuat Darah Prabu tertawa bagai
orang menggumam. Tawanya seperti bulu ayam masuk
ke telinga Kejora, menggelitik geli namun memancarkan
keindahan di sekujur tubuhnya.
"Jadi kau berdoa untuk keselamatanku hanya supaya
kau bisa bicara denganku?"
"Iya," jawab Kejora dengan anggukkan kepala dan
senyum malu tersembunyi di balik bibir mungilnya.
"Mengapa kau suka bicara padaku?"
"Karena aku punya sesuatu yang hanya ingin
kubicarakan padamu."
"Sesuatu apa itu, Kejora" Katakan sekarang juga,
mumpung napasku masih ada," seraya Darah Prabu
berlagak acuh tak acuh, memandang ke arah lain dengan
hati berdebar-debar. Tetapi Kejora tidak segera
menjawab karena diliputi perasaan malu. Gadis itu
hanya senyum-senyum sambil sesekali menunduk walau
matanya sebentar-sebentar melirik ke arah Darah Prabu.
Namun beberapa saat kemudian terdengar suaranya yang
sedikit bergetar,
"Ak... aku... aku malu mau mengatakannya, Darah
Prabu." "Jangan malu kepadaku, karena aku tak akan
menghinamu. Katakan saja apa yang ingin kau katakan,"
sambil Darah Prabu pandangi daun-daun berembun di
seberang sana. Karena tak ada jawaban dari Kejora, Darah Prabu
mengulang pertanyaannya dengan masih memandang ke
arah dedaunan dan bernada sedikit memaksa,
"Bukankah kau ingin mengatakan sesuatu padaku?"
"Benar, Darah Prabu."
"Cepat katakan sekarang juga aku siap mendengarmu."
"Heegh...!"
Darah Prabu berkerut dahi. "Apa artinya 'heegh' itu,
Kejora?" Tentu saja Darah Prabu heran, karena ia tidak
berpaling memandang gadis itu. Namun ia tetap bertahan
memunggungi gadis itu agar si gadis semakin
memburunya dan penasaran padanya, ia berkata sambil
tangannya memainkan embun di atas permukaan daun di
depannya persis.
"Katakanlah dengan bahasa yang wajar saja supaya
mudah kumengerti maksudmu. Jika kau mengatakan isi
hatimu dengan bahasa sandi, bisa-bisa aku salah
menyimpulkan dan akan berakibat tak enak di hatimu.
Hati gadis secantik kau seharusnya selalu dijaga agar tak
pernah terluka dan tergores nyeri. Barangkali akulah
yang akan menjadi penjaga hatimu, Kejora."
Suara gadis cantik itu tidak terdengar. Alam menjadi
sepi sejenak, yang ada hanya sisa nyanyian burung pagi.
Darah Prabu tersenyum tipis menertawakan perasaan
Kejora yang pasti berdebar-debar salah tingkah sendiri.
Namun setelah masa sepi itu terlalu panjang, tangan
Darah Prabu terasa capek memainkan embun dalam
penantiannya, ia pun segera perdengarkan suaranya lagi.
"Tak maukah kau menjelaskan maksud bahasa
sandimu tadi, Kejora?" Kemudian dengan gerakan kalem
Darah Prabu berpaling ke belakang.
"Lho..."! Kejora..."!" ia terperanjat kaget, matanya
mendelik seketika, napasnya tertahan dan mulutnya
ternganga. Ternyata Kejora sudah tak ada di tempat. Gadis itu
hilang bagai ditelan bumi. Sehelai rambutnya pun tak
tertinggal. "Ke mana dia"! Mengapa hilang begitu saja"!" pikir
Darah Prabu. "Apakah dia bersembunyi dan ingin
bercanda denganku?"
Tapi hati kecil Darah Prabu menolak kemungkinan
itu. Firasatnya mengatakan ada yang tak beres yang telah
terjadi menimpa diri Kejora. Suara 'heegh' tadi dipahami
sebagai suara sentakan napas yang tertahan akibat satu
tekanan; mungkin rasa sakit, atau mungkin sebuah
totokan jalan darah yang membuat jalur pernapasannya
tersentak. Wuuuttt...! Darah Prabu segera mencari di sekitar
tempat itu. Ia juga mempunyai gerakan peringan tubuh
yang cukup tinggi, sehingga mampu melesat ke atas
pohon. Clingak-clinguk sebentar, lalu melesat dari
pohon ke pohon sambil memandang jeli ke arah
sekelilingnya. "Prabu...!" terdengar suara orang memanggil dari arah
timur. Darah Prabu segera berpaling dengan satu
sentakan hati penuh harap. Ternyata orang yang
memanggilnya itu adalah pemuda berbaju coklat tanpa
lengan dengan celana putih lusuh dan menyandang
bumbung tuak di punggungnya.
"Kebetulan Suto Sinting sudah bangun," gumam hati
Darah Prabu begitu mengetahui pemuda berbaju coklat
tanpa lengan itu tak lain adalah murid si Gila Tuak; Suto
Sinting. Zlaaap...! Pendekar Mabuk bergerak lebih dulu sebelum Darah
Prabu mendekatinya. Mereka berjumpa dalam satu
pohon lain dahan. Keduanya sama-sama berdiri kokoh
dengan keseimbangan tubuh yang terjaga, seakan
mereka berdiri di atas sebuah batu datar.
"Suto, Kejora hilang secara tiba-tiba!" ujar Darah
Prabu bernada tegang.
"Ya, aku melihatnya!" kata Suto Sinting yang
membuat Darah Prabu sedikit berkerut dahi.
"Sekelebat bayangan ungu menyambarnya," tambah
Suto. "Aku terlambat mengejar karena tutup bumbung
tuakku tadi jatuh menggelinding dan aku kerepotan
mengambilnya. Namun setelah kukejar ke arah timur,
ternyata bayangan ungu itu tak terlihat lagi."
"Bagaimana kau bisa melihat kejadian itu" Bukankah
waktu aku dan Kejora keluar dari gua, kau dan Ki
Sanupati masih tertidur"!"
"Aku baru saja bangun, lalu buang air kecil.
Kudengar percakapanmu di sebelah sana tadi, kuintip
kalian berdua dan kudengar pembicaraan kalian dari
balik semak-semak."
"Oh, kau memang pendekar konyol, Suto!" gerutu
Darah Prabu sambil bersungut-sungut.
"Ketika kutenggak tuakku, kudengar suara Kejora
terkikik tertahan. Rupanya ia terkena totokan dari jarak
jauh. Orang yang menotoknya itu segera menyambarnya
dan... seperti apa yang kuceritakan tadi."
"Kalau begitu aku harus segera mengejarnya ke arah
timur!" geram Darah Prabu mulai tampak
kedongkolannya.
"Ada apa ini"!" tiba-tiba sebuah suara tua menyahut
dari dahan yang lebih tinggi di atas kedua pemuda itu.
Oh, ternyata si Tua Bangka sudah ada di atas sana.
Tokoh tua berpakaian abu-abu yang gigi depannya
tinggal dua itu ternyata mampu bergerak dengan ilmu
peringan tubuh cukup tinggi, hingga kehadirannya di
atas kedua pemuda itu tidak menimbulkan suara yang
mencurigakan, ia datang ke pohon tersebut bagaikan
daun kering yang terbang melayang dihembus angin
pagi. "Tua Bangka, Kejora hilang!" seru Darah Prabu
dengan sedikit mendongak.
Wuuutt...! Tua Bangka turun dari tempat
ketinggiannya bagaikan seekor burung gagak terbang
merendah. Kakinya berpijak pada dahan yang dipakai
berdiri Suto Sinting, namun tak terasa timbul getaran
pada dahan itu.
"Oooaahhhmmm...!"
Tua Bangka menguap, lalu matanya mengerjapngerjap sebentar, dan dikucal-kucalnya memakai lengan
baju. Bekas ilernya hilang tersapu lengan baju juga. Ia
memandang Darah Prabu dan segera ajukan tanya
dengan suara sedikit parau karena baru saja bangun
tidur. "Siapa yang hilang?"
"Kejora...!" Darah Prabu agak menyentak, kemudian
Suto Sinting menimpali dengan menceritakan tentang
bayangan ungu yang dilihatnya berkelebat ke arah timur.
"Bayangan ungu..."!" gumam Tua Bangka sambil
dahinya yang keriput makin berkerut. "Bayangannya
siapa yang warnanya ungu"! Semua bayangan biasanya
berwarna hitam. Lihat, bayanganku saja berwarna
hitam," sambil menuding kepada bayangannya yang
menempel pada batang pohon di sampingnya.
"Maksudku," ujar Suto Sinting menjelaskan, "Orang


Pendekar Mabuk 057 Misteri Bayangan Ungu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menyambar Kejora bergerak cepat bagaikan sebuah
bayangan berwarna ungu."
"Pasti warna ungu adalah warna pakaiannya," timbal
Darah Prabu. "O, iya! Pasti pakaiannya, mana mungkin ada yang
ungu itu giginya," ujar Tua Bangka menanggapi dengan
agak tenang, berkesan seenaknya saja. Baginya peristiwa
seperti itu sudah bukan hal yang mengherankan lagi.
Bertahun-tahun berkelana di rimba persilatan, Tua
Bangka sudah terlalu sering menghadapi masalah seperti
itu. Yang menjadi masalah baginya adalah; siapa
bayangan ungu itu"
"Sumbaruni memakai jubah ungu, dan ia menyukai
warna ungu," ujar Pendekar Mabuk yang cukup kenal
dengan tokoh perempuan sakti mantan istri jin itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk episode: "Ratu Tanpa Tapak").
"Hmmm... ya, aku pun kenal dengan si Pelangi Sutera
alias Sumbaruni itu," ujar Tua Bangka. "Dia memang
penggemar warna ungu, sampai pedangnya saja dililit
kain ungu. Tapi apakah mungkin si Sumbaruni yang
membawa pergi Kejora?"
"Aku belum kenal dengan perempuan bernama
Sumbaruni," kata Darah Prabu.
"Nanti kalau bertemu dengannya akan kukenalkan,"
sahut Tua Bangka, kemudian ia memandang Pendekar
Mabuk. "Urusan apa Sumbaruni hingga membawa pergi
Kejora?" "Bukan dibawa pergi, tapi diculik! Kejora pasti
diculik oleh seseorang!" sergah Darah Prabu.
"Iya, ya! Diculik!" sentak Tua Bangka sambil
bersungut-sungut. "Masalahnya, mengapa Sumbaruni
menculik Kejora" Mengapa bukan aku saja yang diculik
Sumbaruni"!"
"Karena kau sudah tua!" ketus Darah Prabu yang
agak dongkol karena merasa ditanggapi dengan kalem
oleh Tua Bangka yang bernama asli Ki Sanupati itu.
"Aku sendiri belum berani memastikan, apakah benar
Kejora diculik oleh Sumbaruni," ujar Pendekar Mabuk
sambil memandang dalam terawangnya. Kemudian ia
menatap Tua Bangka dan berkata lagi dengan suara
tenang namun berkesan tegas dan sungguh-sungguh.
"Bukan hanya Sumbaruni orang yang berjubah ungu.
Tembang Selayang juga berjubah ungu."
"Hmmm... ya, Tembang Selayang anak di Empu
Tapak Rengat itu memang berjubah ungu, tapi untuk apa
Tembang Selayang menculik Kejora?" ujar Tua Bangka
sambil mengusap-usap dagunya yang tanpa jenggot itu.
"Lalu... Inupaksi, murid si Jubah Kapur, juga
berpakaian serba ungu," kata Suto Sinting lagi.
"Puspa Jingga, murid si Nini Kalong, juga berpakaian
serba ungu," Tua Bangka menimpali lagi.
Suto Sinting menambahkan kata, "Dewa Sengat,
gurunya Putri Kunang, berjubah ungu pula. Tapi dia
sudah mati."
Tua Bangka mengangguk, "Iya. Terong yang
kumakan dua hari yang lalu juga kulitnya berwarna
ungu." "Sudah!" hardik Darah Prabu tambah jengkel
mendengar kata-kata terakhir Tua Bangka, sedangkan
Suto Sinting sembunyikan geli dengan membuang muka
sebentar ke arah lain.
"Mengapa kalian berdua hanya mengumpulkan
orang-orang berjubah ungu"! Masalahnya sekarang
bukan jubah ungunya, tapi bagaimana menyelamatkan
Kejora dari tangan orang itu"!"
Tua Bangka menarik napas, "Kita harus selamatkan
Kejora. Itu memang benar. Tapi kita harus menentukan
arah terlebih dulu. Ke mana kita akan mengejar orang
yang menculik Kejora?"
"Ya, ke arah timur!" Darah Prabu agak menyentak
karena jengkelnya dengan sikap konyol si Tua Bangka.
"Timur..."! O, ya... aku baru ingat," kata Tua Bangka
bernada menyentak. "Kalau kalian berjalan ke arah
timur, maka kalian akan menemukan sebuah biara ungu.
Dalam biara ungu itulah Nyi Mas Gandrung Arum
menjadi pendeta sesat."
"Apakah dengan begitu berarti Nyi Mas Gandrung
Arum yang menculik Kejora"!" gumam Suto Sinting
sambil merenung.
* ** 2 BAGAIMANAPUN juga, Kejora adalah tanggung
jawab Pendekar Mabuk, karena Dewi Hening sang
kakak sulung Kejora telah percayakan adiknya dalam
lindungan Suto. Maka lenyapnya Kejora merupakan
beban tanggung jawab Suto Sinting yang harus bisa
membebaskan kembali gadis lugu itu.
"Yang pacaran dia, yang berdesir-desir indah dia,
giliran diculik orang, aku jadi ikut repot juga!" gerutu
Suto Sinting dengan suara lirih saat mereka bertiga
melangkah menuju ke timur. Suara gerutuan itu didengar
oleh Darah Prabu, sehingga pemuda tampan murid Resi
Badranaya itu menjadi sewot dengan hentikan
langkahnya seketika.
"Kalau kau tak mau bantu mencari Kejora, pergilah
sana dan tak perlu ikut ke Biara Ungu!"
"Hei, hei, hei...," sapa Pendekar Mabuk sambil
senyum-senyum kalem. "Mengapa kau jadi seberang itu,
Prabu"! Ada apa sebenarnya di hatimu, hmm..."!"
"Kau tak perlu tahu!" jawabnya ketus dan cemberut.
Tua Bangka ikut menimpali dengan kekonyolannya,
"Pukul sajalah... jangan berang saja!"
Darah Prabu merasa dikipas hatinya yang panas,
maka serta merta ia putarkan tubuh dan menghantam
Pendekar Mabuk yang dipunggunginya. Wuuutt...!
Plaakk...! Pukulan itu ditahan dengan telapak tangan Suto
Sinting, tapi tidak digenggam sehingga bisa segera
ditarik mundur dan kini kaki Darah Prabu berkelebat
menendang dada Suto.
Wuuuttt..." Deesss...!
Tangan kanan Suto berkelebat menghantam mata
kaki Darah Prabu sambii membuang tendangan ke arah
kirinya. Hantaman yang dilakukan dengan kedua jari
separo terlipat itu membuat tubuh Darah Prabu
terpelanting berputar tiga kali lalu jatuh terjungkal di
tanah. Brrruukkk...!
"Kurang ajar kau! Hiaaah...!" Darah Prabu lepaskan
pukulan bertenaga dalam melalui dua jarinya yang
mengeras lurus. Dari dua jari itu keluar selarik sinar
kuning bening yang melesat menuju ke perut Suto
Sinting. Pendekar Mabuk cepat berlutut satu kaki sambil
lepaskan pukulan 'Turangga Laga' yang memancarkan
seberkas sinar ungu dari kedua jarinya pula. Claaappp...!
Blaarrr...! Keduanya sama-sama terjungkal ke belakang karena
ledakan yang cukup keras itu. Tapi dalam waktu singkat
keduanya sudah melambung ke atas dan bersalto satu
kali di udara. "Heeeaaah...!" Darah Prabu siap menghantamkan
pukulannya dengan wajah berang saat tubuhnya melesat
ke arah Suto Sinting, demikian pula Suto Sinting siap
menghantam telapak tangannya ke arah Darah Prabu saat
tubuhnya masih meluncur maju ke udara.
Tetapi tiba-tiba Tua Bangka sentakkan kakinya dan
tubuhnya melenting di udara, ia bersalto satu kali,
wuutt...! Tahu-tahu sudah berada di pertengahan jarak
antara Darah Prabu dan Suto Sinting. Kedua tangannya
direntangkan dengan telapak tangan terbuka. Telapak
tangan itu memancarkan cahaya merah membara
berpijar-pijar. Telapak tangan itulah yang akhirnya
menjadi sasaran pukulan Darah Prabu dan hantaman
telapak tangan Suto Sinting.
Blegaarr...! Dua ledakan menjadi satu, suaranya menggema ke
mana-mana. Empat pohon tumbang dalam keadaan patah
di pertengahan batang akibat sentakan daya ledak
tersebut. Kedua pemuda itu pun terjungkal ke belakang
bagaikan terlempar tanpa keseimbangan badan.
Sedangkan Tua Bangka meluncur turun dan dapat
berdiri dengan tegak tanpa luka serta tanpa rasakan sakit
apa pun. Jleeggg...! Napasnya terhempas panjang. Matanya melirik ke
kanan-kiri, memperhatikan dua pemuda tampan yang
sedang bangkit dari tempat jatuhnya. Kedua pemuda itu
juga masih dalam keadaan segar bugar tanpa luka dalam
sedikit pun. Hanya saja, Darah Prabu merasakan linulinu di sekitar tulangnya, namun ia masih bisa bersikap
gagah seakan tak merasakan apa pun. Pendekar Mabuk
cepat menenggak tuak, karena tangan dan dadanya
merasa kesemutan.
"Apa-apaan kalian ini"!" Tua Bangka menghardik
kedua pemuda itu. "Bodoh semua! Tadi aku hanya
bercanda saja, mengapa benar-benar kau lakukan, Darah
Prabu"!"
Keduanya berdiri di samping Tua Bangka dalam
jarak tiga langkah dari si Tua Bangka itu. Napas mereka
dihempaskan panjang-panjang, kemudian saling
mengendalikan gemuruh dalam dada masing-masing.
Darah Prabu tampak tenang, Pendekar Mabuk pun
kelihatan kalem.
"Kalian bisa saling bunuh kalau tidak kutengahi!"
sentak Tua Bangka bersungut-sungut. "Dasar bocahbocah darah muda, disulut sedikit mudah terbakar!
Untung tadi ada aku, kalau tidak ada bagaimana, hah"!"
"Tidak akan terjadi pertarungan," jawab Suto Sinting
dengan cepat tapi tetap tenang.
"Kalian pasti akan bertarung sampai ada yang mati
atau setidaknya ada yang luka!"
"Tidak mungkin, karena hatiku tidak dikipas oleh
ucapanmu, Ki Sanupati!" ujar Darah Prabu. Rupanya
murid Resi Badranaya tak boleh dikipas hatinya jika
sedang berang seperti tadi. Sedikit kipas meniup hati
yang sedang panas, nalurinya bergerak mengikuti
perintah yang didengar secara di luar kesadaran.
"Lain kali...," kata Tua Bangka terhenti, tahu-tahu
tubuhnya jatuh terkulai. Brrrukk...!
"Lho..."!" Darah Prabu dan Suto Sinting sama-sama
terkejut melongo melihat Tua Bangka jatuh terkulai
seperti sarung kumal.
"Kenapa dia"!" tanya Darah Prabu.
"Mungkin tak kuat menahan kedua pukulan kita
tadi!" "Kenapa baru sekarang jatuhnya?"
"Karena tadi ia ingin menahannya, tapi lama-lama tak
kuat dan akhirnya jatuh juga."
Untung tuak yang ada dalam bumbung bambu
bawaan Pendekar Mabuk adalah tuak sakti. Tuak itu
mempunyai khasiat penyembuhan yang cukup mu-jarab.
Tak heran jika Tua Bangka yang jatuh pingsan itu segera
dibuka mulutnya oleh Darah Prabu, kemudian Suto
Sinting menuangkan tuak ke dalam mulut itu. Krucuk,
krucuk, krucuk...!
"Jangan banyak-banyak, nanti dia mabuk!" kata
Darah Prabu yang merasa tidak bermusuhan lagi dengan
Suto Sinting. Namun begitu Suto Sinting menutup bumbung
tuaknya, tiba-tiba sekelebat bayangan datang
menerjangnya. Sebuah tendangan mendarat di
pelipisnya, dan sebuah tendangan lagi mendarat di pipi
Darah Prabu. Bruuss...!
"Aaauh...!" kedua pemuda itu terpelanting jatuh, tiga
langkah jaraknya dari tempat Tua Bangka dibaringkan.
Darah Prabu membentur pohon, Suto Sinting jatuh di
semak-semak. Kedua pemuda itu cepat bangkit dengan
menyentakkan tangannya ke tanah. Wuuttt...! Jleg,
jleg...! "Kambing busuk! Siapa orang yang berani
menendangku hingga rahangku terasa mau pecah"!"
gerutu Darah Prabu sambil mencari orang yang
menerjangnya. Pendekar Mabuk pun membatin dalam
hatinya, "Lumayan juga tendangan tadi, kepalaku terasa
berputar sendiri. Hmmm... siapa yang punya tenaga
dalam tanggung-tanggung itu"!"
Kini keduanya sama-sama memandang seraut wajah
cantik imut-imut berkonde dua sebesar kepalan tangan
bayi. Sisa rambutnya meriap sampai menutupi kedua
belahan dadanya. Seorang gadis cantik berbaju hijau dan
berkulit kuning langsat berdiri dengan memasang kudakuda, pertanda siap menerima serangan dari mana saja.
Matanya melirik dengan lincah.
Pendekar Mabuk picingkan mata untuk menatap
lekat-lekat gadis itu. Hati sang pendekar pun berkata,
"Sepertinya aku pernah bertemu dengannya"! Kapan dan
di mana aku jumpa dia"!"
Darah Prabu melirik Suto Sinting sebentar setelah
tahu siapa orang yang telah membuat tulang rahangnya
terasa mau pecah itu. Hatinya pun membatin kata,
"Hmmm... melihat cara Suto memandang, agaknya ia
sudah mengenal gadis cantik itu. Sebaiknya kudekati
Suto dan kutanyakan padanya."
Wuuutt...! Darah Prabu pindah tempat dengan
gerakan melambung cepat. Gadis itu bergegas mengubah
kuda-kudanya dengan satu lompatan kecil ke samping,
karena ia menyangka Darah Prabu ingin menyerangnya.
Kini si gadis sedikit gentar karena kedua pemuda
tampan itu berdiri bersebelahan dan sama-sama
memandang ke arahnya. Gentarnya hati si gadis akibat
rasa kikuk dan salah tingkah mendapat pandangan mata


Pendekar Mabuk 057 Misteri Bayangan Ungu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua pemuda tampan.
"Sial, mereka sama-sama memancarkan pandangan
mata yang mengagumkan. Uuh...! Persetan dulu dengan
pandangan matanya itu!" pikir si gadis dengan wajah
tetap cemberut dan hal itu menambah kecantikannya
secara tak disadari.
"Kau kenal dia?" bisik Darah Prabu dengan
menampakkan sikap sombong dalam memandang,
dagunya sedikit terangkat, matanya tertuju dingin
kepada gadis itu. Lagaknya seperti pemuda yang tak mau
kenal gadis secantik itu.
"Aku pernah jumpa dengannya, tapi aku lupa di mana
kami saling bertemu," balas Suto dalam bisikan sambil
sunggingkan senyum tipis dan matanya memandang tak
berkedip bagai menembus dasar hati si gadis yang kirakira berusia dua puluh satu tahun itu.
"Sapalah dia," bisik Darah Prabu bernada mendesak.
"Mengapa bukan kau saja yang menyapanya?"
"Pikiranku masih tertuju pada Kejora."
Pendekar Mabuk semakin lebarkan senyum dengan
mata tetap tertuju pada si gadis. Senyum itu adalah
senyum geli atas jawaban Darah Prabu, karena jawaban
itu mempunyai kesimpulan bahwa Darah Prabu mulai
kasmaran kepada Kejora. Kasmaran itu terasa lucu jika
terjadi dalam keadaan tak diduga-duga.
Tetapi sekarang si gadis yang habis menendang
mereka itu menghardik dengan wajah digalak-galakkan,
walau sebenarnya tak pernah ada orang yang bisa takut
dengan kegalakannya itu.
"Apa maksudmu senyum-senyum padaku"! Kau pikir
aku tertarik dengan tampangmu"!"
Tentu saja kedua pemuda itu menjadi lebih geli lagi,
karena Darah Prabu pun tahu bahwa senyuman Suto itu
hanya untuk menertawakan jawabannya tadi. Si gadis
semakin cemberut dan berang karena merasa
ditertawakan ramai-ramai. Sebilah pedang di pinggang
dicabutnya. Sreeet...!
"Puaskan tawa kalian sebelum pedangku menghampiri leher kalian!" geram si gadis sambil mulai
membuka jurus pedang.
"Tunggu, Nona...!" sergah Pendekar Mabuk dengan
mengangkat tangannya, kemudian mendekat dua
langkah. Darah Prabu mengikuti langkah Suto seperti
malas-malasan. "Kami bukan menertawakan dirimu, Nona. Kami
punya masalah lucu sendiri yang patut kami tertawakan."
Dalam hati gadis itu berkata, "Sepertinya aku pernah
bertemu dengan pemuda yang bicara ini. Hmmm... kalau
tak salah dialah si Pendekar Mabuk yang kesohor itu."
Lalu terdengar suara Suto Sinting dengan nada cukup
bersahabat, "Mengapa kau menyerang kami, sedangkan
aku merasa pernah bertemu denganmu. Sepertinya kau
bukan musuh kami, Nona."
"Siapa pun juga orangnya jika ia mencelakai kakekku
si Tua Bangka ini, dia akan kuanggap musuhku!" ketus
si gadis. "Kakekmu..."!" Suto Sinting berkerut dahi, lalu
berpaling memandang Darah Prabu, "Kakeknya..."!"
"Hmmm.... Berarti dia adalah cucu si Tua Bangka"!"
"Benar, dan kalau begitu dia adalah...," Pendekar
Mabuk segera memandang ke arah gadis itu.
"Oh, ya... aku baru ingat sekarang! Kau adalah
Cawan Pamujan, yang pernah diculik seseorang dalam
peristiwa perebutan pusaka si Tua Bangka itu?" sambil
Suto Sinting sempat membayangkan kala terlibat
peristiwa perebutan sebuah pusaka yang ternyata Tua
Bangka itulah pemilik pusaka tersebut, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Kapak Setan Kubur").
"Aku memang Cawan Pamujan, dan aku tahu kau
adalah Pendekar Mabuk. Tapi mengapa kau mencelakai
kakekku"!"
Pada saat itulah Tua Bangka menggeliat, sadar dari
pingsannya, kemudian segera dibantu oleh Cawan
Pamujan. Tua Bangka terkejut melihat Cawan Pamujan
sudah ada di sampingnya.
"Kapan kau datang kemari, Cucuku"!"
"Saat kedua orang itu mencelakakan dirimu, Kek!"
jawabnya dengan ketus-ketus manja. Darah Prabu segera
menceritakan apa yang dilakukan oleh Cawan Pamujan
ketika mereka sedang berusaha mengobati Tua Bangka.
Kemudian, Tua Bangka yang badannya telah menjadi
sehat dan merasa lebih segar dari sebelumnya segera
menjelaskan duduk perkaranya kepada sang cucu
kesayangan, yang merupakan satu-satu cucu calon
pewaris ilmu-ilmunya itu. Salah paham itu segera dapat
diselesaikan, dan Cawan Pamujan menjadi malu sendiri
kepada kedua pemuda tampan, ia sering menunduk jika
kedua pemuda itu atau salah satu dari mereka mencuri
pandang ke arahnya.
"Aku mencarimu sudah berhari-hari, Kek. Tapi kau
seperti nyamuk yang sulit dilihat batang hidungnya!"
kata Cawan Pamujan dengan nada manjanya.
"Kau ini bagaimana, Cawan Pamujan... katanya
mencariku tapi setelah bertemu mengatakan kakekmu ini
seperti nyamuk" Kalau nyamuk segini gedenya lalu yang
digigit apa?"
"Leher...," sahut Pendekar Mabuk sambil buang muka
ke arah Darah Prabu dan Darah Prabu tersenyumsenyum.
"Kalau yang jadi nyamuk kalian ya yang digigit
leher!" cetus Cawan Pamujan dengan bersungut-sungut.
Darah Prabu menimpali,
"Lehernya siapa yang mau digigit nyamuk sebesar
kami ini"!"
"Siapa saja," ujar Cawan Pamujan berlagak acuh tak
acuh. "Sudah, sudah... jangan bicara soal nyamuk, aku
mulai tersinggung," potong Tua Bangka, lalu ia bicara
pada sang cucu sambil mengusap-usap rambut indah itu.
"Mengapa kau mencariku, Cantik"! Bukankah kau
kuberi tugas menyelesaikan semadi jingkat supaya
tubuhmu bisa melayang terbang seperti seekor camar
laut"!"
"Kakek," si gadis merengek. "Pondok kita diserang
oleh orang-orang Balekubang!"
Tua Bangka terperanjat dengan gigi depannya yang
tinggal dua itu seolah-olah mencuat ke atas karena
mulutnya ternganga lebar.
"Orang-orang Balekubang menyerang pondok kita"!
Mau apa mereka bikin ulah lagi"!"
"Mereka ingin memboyongku ke Pulau Tangkal dan
aku akan dikawini oleh Penguasa Pulau Tangkal! Aku
tidak mau, Kek. Tidak mau...!" gadis itu bagai anak kecil
mau menangis. Kedua kakinya dihentak-hentakkan ke
tanah. Sentakan kaki itu punya getaran tenaga dalam
yang membuat daun-daun pohon tempat mereka
bernaung itu berguguran walau tak begitu banyak.
Melihat gugurnya daun-daun itu, Pendekar Mabuk
hanya manggut-manggut dan membatin, "Rupanya sejak
peristiwa Kapak Setan Kubur itu, Tua Bangka
menambah ilmu cucunya hingga sentakan kaki si cucu
dapat merontokkan dedaunan."
Tua Bangka menggeram menahan kemarahan,
matanya sedikit menyipit membayangkan pondoknya
diacak-acak oleh orang-orang Balekubang. Pendekar
Mabuk sempat ajukan tanya kepada Cawan Pamujan,
"Siapa orang-orang Balekubang itu"!"
"Balekubang adalah Penguasa Pulau Tangkal yang
setiap tahun ganti istri. Tapi tak satu pun dari para
istrinya ada yang mempunyai keturunan darinya."
"Dia tokoh aliran hitam," gumam Tua Bangka tanpa
memandang Suto Sinting. Setelah Darah Prabu
manggut-manggut dan Suto Sinting menarik napas
panjang-panjang, Tua Bangka lanjutkan ucapannya,
"Balekubang ilmunya cukup tinggi, dan ia
mempunyai pusaka yang cukup berbahaya; 'Sepasang
Perisai Guntur', ia hidup berlimpah kekayaan di Pulau
Tangkal, karena ia menemukan timbunan harta karun di
pulau itu."
"Apakah kekuasaannya cukup kuat"!" tanya Darah
Prabu. "Sangat kuat, karena ia bisa mengupah jago-jago
bayaran dari mana saja dengan kekayaannya itu. Aku
pernah bertarung dengannya dan nyaris mati.
Pertarungan itu terjadi kira-kira sepuluh tahun yang lalu.
Jadi sekarang tentunya semakin tua semakin tambah
kesaktiannya. Tapi jika pondokku diacak-acak dan
cucuku terancam, itu tandanya ia membuka pintu lebarlebar bagiku untuk melanjutkan pertarungan sepuluh
tahun yang silam!"
"Lalu, apa rencanamu, Ki Sanupati"!" tanya Pendekar
Mabuk. "Kalian terus saja menuju ke Biara Ungu, aku akan
selesaikan urusanku dengan Balekubang. Jika tokoh
lalim itu belum tewas, hidup cucuku akan selalu
terancam. Sudah dua kali ini ia kirimkan orangnya untuk
memboyong cucuku ke Pulau Tangkal. Rasa rasanya aku
perlu bikin perhitungan dengannya sekarang juga."
"Apakah kau perlu bantuan"!" tanya Pendekar
Mabuk. "Tidak perlu. Urusan ini masih mampu kuselesaikan
sendiri, Suto. Uruslah Kejora dan pusaka yang harus
dikembalikan kepada pihak keluarganya itu!"
Darah Prabu sedikit terperanjat, ingin bicara dengan
Suto Sinting, namun telanjur Tua Bangka bicara lebih
dulu. "Kita berpisah di sini dulu. Suatu saat pasti akan
jumpa lagi."
"Boleh aku berpesan padamu, Ki?" ujar Suto Sinting.
"Apa pesanmu, Suto?"
"Jangan sampai kau dan cucumu mati di tangan
Balekubang!"
Tua Bangka tarik napas dalam-dalam, lalu berkata,
"Aku tak berani jamin apakah pesanmu itu bisa kupenuhi
atau tidak. Yang jelas aku sudah pesan tanah kuburan
sendiri untuk memakamkan diriku kapan saja."
Pendekar Mabuk hanya angkat bahu sambil
tersenyum lesu, Darah Prabu tertawa kecil dan pendek
seperti orang mendengus kesal. Tapi ia segera ditegur
oleh Cawan Pamujan,
"Apakah kau tak ingin berpesan pada kakekku juga?"
"Oh, hmm... iy... iya, aku ingin berpesan padamu, Ki
Sanupati."
"Apa pesanmu, Darah Prabu?"
"Kalau kau tewas, jangan ajak-ajak aku. Karena aku
sekarang sedang kasmaran dengan seorang gadis."
Cawan Pamujan menyahut, "Hmmm... baru saja kita
bertemu kau sudah kasmaran" Mana mungkin suci
cintamu itu nantinya?"
"Maksudku bukan kasmaran padamu, Nona cerewet!
Aku kasmaran pada gadis lain."
"Ooh..."!" Cawan Pamujan terperangah malu,
wajahnya menjadi merah dadu.
* ** 3 KEPERGIAN Tua Bangka bersama cucu manjanya
itu tidak membuat semangat kedua pemuda tampan itu
berkurang. Terutama Pendekar Mabuk yang merasa
punya beban berat atas penculikan diri Kejora itu,
merasa tak sabar ingin lekas sampai ke Biara Ungu dan
bertemu dengan Nyi Mas Gandrung Arum. Bila perlu,
Suto Sinting sudah siap beradu nyawa dengan Nyi Mas
Gandrung Arum atau siapa saja demi membebaskan
Kejora. Darah Prabu mengalami perubahan begitu pesat dan
sukar diterima oleh akal sehat. Perubahan itu ada di
lubuk hatinya yang paling dalam. Rasa simpatinya
terhadap Kejora telah berubah menjadi rasa ingin
memiliki gadis itu. Kuncup-kuncup cinta mekar dan
tumbuh semakin subur dalam setiap kali khayalannya
terbang membayangi wajah cantik yang lugu milik
Kejora. Setiap tarikan napas seakan denyut nadi untuk
memburu asmaranya yang tertunda. Sebab itulah Darah
Prabu pun penuh semangat dalam perjalanannya menuju
Biara Ungu. "Tapi apakah benar Nyi Mas Gandrung Arum yang
menculik Kejora"!" ujarnya kepada Suto Sinting saat
mereka menuruni sebuah lembah.
Langkah Suto Sinting pun terhenti bagai sadar akan
adanya sesuatu yang perlu dipikirkan lebih dalam lagi.
"Iya, ya..."! Belum tentu Nyi Mas Gandrung Arum
yang menculik Kejora. Seandainya orang lain yang
menculiknya, berarti kita membuang-buang waktu dan
tenaga menuju ke Biara Ungu ini."
Darah Prabu memandang ke arah timur sambil
menarik napas dalam-dalam. Di seberang sana sudah
terlihat gugusan tanah berhutan renggang yang
membukit tak seberapa tinggi, itulah yang dinamakan
Bukit Esa, tempat berdirinya sebuah bangunan yang
dikenai dengan nama Biara Ungu. Di seberang bukit itu
tampak genangan air membiru sebagai tanda bahwa
bukit itu terletak tak jauh dari sebuah pantai yang
bernama Pantai Tawar.
"Kurang dari setengah hari kita akan sampai ke bukit
itu," ujar Darah Prabu seperti bicara pada diri sendiri.
"Kita akan bertemu dengan orang-orangnya Nyi Mas
Gandrung Arum dan bertarung melawan mereka sampai


Pendekar Mabuk 057 Misteri Bayangan Ungu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa menembus masuk ke Biara Ungu. Tentunya untuk
menembus masuk ke sana tidak mudah, karena muridmurid Biara Ungu pasti rata-rata berilmu lumayan tinggi.
Salah satu contoh, si Peluh Setanggi yang licin bagai
belut sehingga selalu lolos dari buruanku. Dan jika
ternyata di sana tidak ada Kejora, lalu untuk apa kita
melabrak dan menyerang orang-orang Biara Ungu
dengan pertaruhkan nyawa"!"
"Setidaknya kau dapat bertemu-dengan gadis
buronanmu; Peluh Setanggi," kata Suto Sinting mirip
orang menggumam. Mata si Pendekar Mabuk juga
memandang ke arah Bukit Esa, beberapa saat kemudian
ia menenggak tuaknya beberapa teguk.
"Hmmm... Peluh Setanggi!" Darah Prabu bagaikan
menggeram penuh dendam kepada gadis buronannya itu.
Tak disangka pengejarannya terhadap diri Peluh
Setanggi membuatnya kenal dengan Kejora, padahal
sebelumnya ia tak pernah tahu ada gadis cantik yang
bersifat polos dan lugu bernama Dewi Kejora. Di hati
Darah Prabu masih tersimpan perasaan bangga kala ia
menyelamatkan Kejora dari ancaman pedang Peluh
Setanggi. Tapi sayang Peluh Setanggi disambar
seseorang dan dibawanya lari setelah berhasil
dilumpuhkan dengan totokan jarak jauh, sehingga gadis
buronan itu tak sempat tertangkap oleh Darah Prabu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pembantai Raksasa").
Pengejaran itulah yang semula membuat Pendekar
Mabuk dan Tua Bangka merasa heran serta bertanyatanya; apa alasan Darah Prabu mengejar Peluh Setanggi.
Padahal menurut keterangan Tua Bangka, Nyi Mas
Gandrung Arum adalah kakaknya Resi Badranaya, dan
Resi Badranaya guru Darah Prabu. Semestinya Darah
Prabu tidak berani mengusik para murid Nyi Mas
Gandrung Arum karena gurunya sendiri tak berani
mencampuri urusan Nyi Mas Gandrung Arum. Jika
sampai Darah Prabu berani mengejar-ngejar Peluh
Setanggi, berarti akan ada masalah besar antara kedua
belah pihak; Nyi Mas Gandrung Arum dengan Resi
Badranaya. "Menurut keterangan Tua Bangka, gurumu adalah
adik dari Nyi Mas Gandrung Arum. Apa benar itu?"
"Ya, memang benar. Dan selama ini aku dilarang
mengusik apa pun urusan Nyi Mas Gandrung Arum,
karena Guru tak mau berurusan dengan kakak
perempuannya itu."
"Lalu, apa yang membuatmu berani mengejar-ngejar
Peluh Setanggi sebagai murid Nyi Mas Gandrung
Arum?" "Guru yang perintahkan menangkap gadis itu."
"O, berarti pihakmu sudah mulai berani mencampuri
urusan Nyi Mas Gandrung Arum"!"
"Ya, karena pihak Nyi Mas Gandrung Arum sendiri
sudah mulai berani mengusik ketenangan kami."
Pendekar Mabuk palingkan pandang ke arah Darah
Prabu dengan dahi sedikit berkerut "Ada persoalan apa
sebenarnya dengan si Peluh Setanggi itu"!"
Darah Prabu menarik, napas panjang, dadanya
membusung kekar, pandangan matanya yang tertuju ke
Bukit Esa tampak dingin. Kejap berikut terdengar
suaranya menjawab pertanyaan Suto Sinting tadi.
"Sebuah pusaka telah dicuri oleh si Peluh Setanggi."
"Pusaka apa"!" Pendekar Mabuk semakin penasaran..
"Pusaka seorang sahabat yang dititipkan kepada
Guru. Sudah lama Guru mempertaruhkan nyawanya
untuk pertahankan pusaka itu agar jangan jatuh ke
tangan orang lain, karena Guru tahu persis siapa orang
yang berhak mewarisi pusaka Panji-panji Mayat."
"Oh..."!" Pendekar Mabuk tersentak kaget. Tubuhnya
sampai merinding ketika Darah Prabu menyebutkan
nama pusaka Panji-panji Mayat. Padahal Suto pun tahu
banyak tentang Panji-panji Mayat yang sering
disebutnya sebagai Panji-panji Agung.
Justru karena masalah pusaka Panji-panji Agung
itulah Suto menjadi kenal Kejora, Dewi Hening dan
Menik. Karena mereka bertiga adalah pewaris pusaka
Panji-panji Agung yang beberapa waktu sebelumnya
selalu menjadi bahan incaran si Raja Iblis; Barakoak.
Pusaka itu adalah pusaka warisan leluhur keluarga
Kejora. Ayah, ibu, dan kedua kakak Kejora mati garagara pusaka tersebut. Rupanya nenek mereka, Nyai
Parisupit, telah menitipkan pusaka itu kepada
sahabatnya; Resi Badranaya demi keselamatan pusaka
itu agar tak jatuh di tangan keturunan Eyang Kurupati.
Keturunan Eyang Kurupati yang terakhir adalah
Barakoak; si Raja iblis yang dulu bercokol di Candi
Bangkai, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Utusan Raja Iblis").
Candi Bangkai dan si Raja Iblis sendiri sekarang
sudah tiada, dibabat habis oleh Pendekar Mabuk dalam
kisah "Pembantai Raksasa" itu. Pada mulanya Pendekar
Mabuk masih bertanya-tanya, di mana pusaka Panjipanji Agung itu tersimpan. Siapa orang yang mendapat
titipan pusaka itu: Batuk Maragam, Resi Badranaya,
Galak Gantung, atau Guru Suto sendiri yang dikenal
dengan nama si Gila Tuak itu" Dan ternyata pertanyaan
tersebut kini telah terjawab, bahwa pusaka itu dititipkan
kepada Resi Badranaya. Sekarang justru pusaka itu
dicuri oleh Peluh Setanggi dari pihak Nyi Mas Gandrung
Arum yang beraliran sesat. Padahal, barang siapa
memegang pusaka Panji-panji Agung, maka aliran
silatnya tak akan punah sampai akhir zaman Di samping
itu, Panji-panji Agung juga bisa dipakai untuk
membangkitkan mayat orang yang telah mati hanya
dengan cara dibawa melewati dekat orang yang telah
mati itu, sehingga pusaka tersebut dinamakan pula Panjipanji Mayat.
Mendengar cerita Suto Sinting tentang keluarga
Kejora dan pusaka warisannya itu, Darah Prabu semakin
bertambah bersemangat untuk melabrak ke Biara Ungu.
Rasa-rasanya tak salah lagi firasat batinnya bahwa
Kejora memang ada di dalam Biara Ungu. Bahkan
timbul kecemasan di hati Darah Prabu, bahwa Kejora
akan dibunuh oleh Nyi Mas Gandrung Arum yang
beraliran hitam itu untuk melenyapkan pewaris pusaka
tersebut. Dengan demikian maka Nyi Mas Gandrung
Arum akan bebas dan merasa aman memiliki pusaka
Panji-panji Agung.
"Kita tidak boleh terlambat, Suto! Sebelum mereka
membunuh Kejora, kita harus sudah sampai ke Biara
Ungu dan membebaskannya. Aku akan berusaha
merebut pusaka itu, dan kau bertugas membebaskan
Kejora!" "Aku setuju!" jawab Pendekar Mabuk dengan tegas.
"Bahkan bila perlu kau tak perlu ikut masuk ke dalam
biara, biar aku sendiri yang merampungkan dua
persoalan itu; merebut kembali pusaka Panji-panji Mayat
dan membebaskan Kejora"
"O, tak bisa begitu! Itu namanya kau meremehkan
kemampuanku melawan orang-orang Biara Ungu. Aku
tak suka dengan caramu itu, Suto!" Darah Prabu
tersinggung. Suto Sinting segera sunggingkan senyum
sebagai pertanda rasa tersinggungnya Darah Prabu itu.
"Kalau perlu kau yang menunggu di luar dan aku
yang menerobos masuk ke dalam biara menyelamatkan
dua pusaka itu."
"Dua pusaka"!" Suto Sinting tertawa pendek.
"Panji-panji Mayat dan Kejora. Gadis itu kuanggap
sebagai pusaka pribadiku!" ujar Darah Prabu terangterangan yang membuat Pendekar Mabuk kian lebarkan
senyum geli. "Kita masuk bersama saja. Kita kerjakan apa yang
bisa kita lakukan saat nanti!" Suto Sinting memutuskan
demikian, dan agaknya Darah Prabu tak keberatan.
Namun sebelum mereka bergegas menuju Biara
Ungu, tiba-tiba mereka melihat sekelebat bayangan
orang yang berlari di sela-sela hutan di kaki lembah.
Orang itu berlari tak seberapa cepat, namun dari
kejauhan tampak seperti kiasan bayangan warna ungu.
"Siapa orang itu"!" sentak Darah Prabu sambil
menuding ke arah kaki lembah. Pendekar Mabuk pun
cepat lemparkan pandangannya ke arah yang dituding
Darah Prabu itu.
"Bayangan Ungu..."!" gumam Suto Sinting "Apakah
dia yang menyambar Kejora?"
"Kejar dia!" sentak Darah Prabu dengan suara
tertahan, lalu ia mendahului bergerak dengan
menggunakan jurus peringan tubuhnya yang mampu
berlari secepat kilat. Wuuttt...!
Zlaaap...! Suto Sinting berlari lebih cepat karena ia
mempunyai jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya
melebihi kecepatan anak panah terlepas dari busurnya.
Bahkan Pendekar Mabuk mampu berlari menyamai
kecepatan badai yang mengamuk menerjang pepohonan
besar. Darah Prabu sempat tertinggal karena tak mampu
menyamai kecepatan 'Gerak Siluman' si Pendekar
Mabuk. Rupanya bayangan ungu yang berkelebat itu menuju
ke arah pantai sebelah utara. Bagi kedua pemuda itu,
menuju ke mana pun tak jadi soal yang penting mereka
bisa selamatkan Kejora lebih dulu, setidaknya bisa
mengorek keterangan dari mulut si bayangan ungu itu
tentang keberadaan Kejora.
"Sssttt...!" Pendekar Mabuk menahan gerakan Darah
Prabu yang baru saja tiba di baiik pohon tempat
perlindungan. Rupanya Suto Sinting sudah sejak tadi
tiba di balik pohon besar itu dan mengintai ke arah
pantai. Duaaarr...! Sebongkah batu karang pecah menyebar
karena terkena pukulan jarak jauh dalam bentuk seberkas
sinar merah sebesar jeruk peras. Pukulan itu dilepaskan
oleh orang berjubah ungu, sasarannya seorang lawan
yang sedang dalam pengejarannya. Agaknya sang lawan
cukup lincah dalam menghadapi serangan, sehingga
dengan satu lompatan ke samping dan melambung
tinggi, ia dapat selamat dari sinar merah penghancur
karang itu. Ternyata orang yang mampu hindari serangan sinar
merah itu adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh
lima tahun, hanya mengenakan kutang hijau bersulam
benang emas dengan tali pengikat kutang dari rantai
emas melilit ke belakang. Gadis itu cukup montok, di
atas gumpalan dada kirinya terdapat tato gambar naga
berukuran sejengkal, ia mengenakan pakaian bawah
berupa kain hijau berbelahan empat lapis, yang mudah
menyingkap dengan sedikit angkat kaki. Ia menyandang
pedang di pinggang. Sedangkan rambutnya tampak
lebat, ikal dan terurai mekar sebatas punggung. Gadis itu
tak lain adalah si Peluh Setanggi.
"Itu dia gadis buronanku!" bisik Darah Prabu mulai
tampak berang, ia ingin berkelebat ke arah pantai, tapi
segera ditahan oleh genggaman tangan Suto Sinting pada
bajunya. "Tahan dulu gerakanmu!?"
"Aku tak mau kehilangan gadis buronanku lagi!"
"Iya, tapi lihat dulu pertarungan itu."
Darah Prabu menarik napas untuk meredam nafsu
memburu gadis yang diserang oleh orang berjubah ungu
itu. "Kau kenal siapa perempuan berjubah ungu itu?"
tanyanya dalam bisik.
"Sangat kenal!" jawab Suto Sinting tegas sekali.
"Perempuan berjubah ungu itulah yang tadi kusebutkan
namanya; Sumbaruni alias Pelangi Sutera."
Kedua pemuda tampan mengarahkan pandangannya
kepada perempuan awet muda yang punya kecantikan
mengundang gairah bercumbu bagi lawan jenisnya.
Pelangi Sutera atau Sumbaruni memang berpakaian
serba ungu, rambutnya disanggul sebagian, pedangnya
dililit kain beludru warna ungu masih tersandang di
punggungnya. "Kau temui Sumbaruni, Suto. Minta kembalikan
Kejora baik secara halus maupun kasar. Aku akan
tangkap si Peluh Setanggi dan memaksanya agar
menyerahkan pusaka itu!"
"Iya, iya... tapi sabar dulu!" sentak Pendekar Mabuk
dengan suara berbisik. "Kita lihat dulu siapa yang
unggul dalam pertarungan ini dan apa persoalan yang
mereka pertarungkan sebenarnya"!"
Kedua perempuan itu saling mencabut pedang
masing-masing. Sraaang...! Kemudian keduanya samasama lakukan lompatan menyerang, dan tubuh mereka
saiing bertemu di udara.
"Heeaaat...!"
Trang, trang, trang, trang...!
Weess...! Craass...!
Sumbaruni berhasil menyambar lambung Peluh
Setanggi dengan pedangnya. Lambung itu pun robek dan
Peluh Setanggi mendaratkan kakinya saling memunggungi dengan mendekap luka menggunakan
tangan kirinya. Darah merembes basah dari sela-sela jari
yang digunakan mendekap luka.
Sumbaruni segera balikkan badan dan berseru,
"Jemputlah ajalmu sekarang juga, Peluh Setanggi.
Heeeaaat...!"
Perempuan cantik yang galak itu segera lakukan satu
lompatan dengan pedang siap menebas leher Peluh
Setanggi. Tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan
menerjangnya dari samping kiri. Wuuut...! Brrruusss...!
Sumbaruni tak menduga datangnya sekelebat bayangan
itu, sehingga tubuhnya yang terkena tendangan kedua
kaki bayangan itu terpental jungkir balik di tepian hutan
pinggir pantai. Brruk...!


Pendekar Mabuk 057 Misteri Bayangan Ungu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keparat kauu...!" geram Sumbaruni sambil segera
bangkit dalam satu sentakan pinggul, wuuutt...!
Tubuhnya melambung dan berdiri tegak dengan kedua
kaki sedikit merenggang, pedang terangkat ke atas siap
untuk lakukan serangan lagi. Tapi sebuah suara segera
memanggilnya, "Sumbaruni!"
Gerakan Sumbaruni terhenti, matanya melirik ke
samping karena saat itu Suto Sinting segera
mendekatinya. "Tahan dulu amarahmu, Sumbaruni!"
"Jangan campuri urusanku dulu, Suto!" ujar
Sumbaruni menggeram sambil matanya memandang ke
arah Darah Prabu. Rupanya orang yang menerjangnya
tadi adalah Darah Prabu. Pemuda itu tak menghendaki
kematian Peluh Setanggi sebelum gadis buronannya
serahkan kembali pusaka Panji-panji Mayat yang
tentunya sudah disembunyikan di suatu tempat.
Darah Prabu sedang hampiri Peluh Setanggi yang
berlutut sambil mendekap luka. Namun tiba-tiba
Sumbaruni melesat dalam satu sentakan kaki ke tanah.
Gerakannya seperti seekor burung terbang yang segera
menebaskan pedangnya ke arah leher Darah Prabu.
Wuuttt...! Darah Prabu cukup cekatan. Melihat kelebatan logam
panjang mengkilat datang dari arah sampingnya, ia
segera rundukkan kepala dan gulingkan badan ke pasir
pantai. Wuuusss...! Dalam sekejap ia telah bangkit lagi
dan lepaskan pukulan bercahaya kuning seperti telur
ayam. Claappp...! Sinar kuning itu meluncur cepat ke
punggung Sumbaruni. Perempuan itu cepat balikkan
badan, begitu melihat sinar kuning mendekatinya ia pun
segera lepaskan jurus pedang bersinarnya. Claaapp...!
Dari ujung pedangnya keluar selarik sinar biru lurus
bagaikan besi. Sinar biru itu menghantam sinar kuning
dan terjadilah ledakan cukup dahsyat yang melepaskan
gelombang panas menghentak kuat.
Jlegaaar...! Wuusss...! Hawa panas menyebar dan kekuatan
sentakannya membuat Darah Prabu terjungkal
berjungkir balik ke arah belakang, Sumbaruni sendiri
segera terlempar ke arah perairan pantai. Byuurr...!
Pendekar Mabuk yang tak bersalah pun terkena
sentakan gelombang panas itu hingga tubuhnya
terpelanting dan membentur sebatang pohon kelapa.
Bruukkk...! Duuurrr...! Pohon kelapa itu bergetar hingga
merontokkan dua buah kelapa kering. Wuuutt...!
Pletok...! "Aaaauuh...!" Pendekar Mabuk memekik kesakitan,
kepalanya kejatuhan kelapa kering. Tidak berbahaya tapi
sakitnya sangat menjengkelkan.
Gelombang hawa panas itu tak sampai membuat kulit
melepuh, hanya merasa perih dalam beberapa kejap.
Rasa perih itu tak dihiraukan oleh mereka, sebab
perhatian mereka tercurah kembali kepada Peluh
Setanggi, terutama setelah Pendekar Mabuk berseru,
"Peluh Setanggi, mau ke mana kau"! Berhenti!"
Peluh Setanggi melarikan diri dalam keadaan terluka.
Darah Prabu sangat terkejut melihat Peluh Setanggi
sudah sampai jauh. Ia pun segera menggeram dengan
kedua tangan menggenggam kuat-kuat.
"Setan! Mau lari ke mana lagi perempuan itu!"
Wuuutt...! Darah Prabu mengejar Peluh Setanggi
setelah berseru,
"Suto, ambi; Kejora dari si jubah ungu itu!"
Sementara itu, Sumbaruni pun berteriak dari
tempatnya berdiri,
"Berhenti kalian, atau kuhancurkan keduanya dari
sini!" Sumbaruni tampak bersiap melepaskan jurus mautnya
yang dapat menjangkau lawan dalam jarak jauh. Tapi
Suto Sinting yang paham maksud tindakan Darah Prabu
tadi segera melompat dan bersalto di udara satu kali.
Wuuukkk...! Jleeg...! Tahu-tahu ia sudah berdiri di
depan Sumbaruni, menghalangi serangan perempuan
galak namun beraliran putih itu.
Sumbaruni tak berani lepaskan pukulannya, takut
mengenai Suto Sinting, sedangkan di hati Sumbaruni
masih menyimpan rasa cinta kepada Suto Sinting sampai
kapan pun juga.
"Menyingkirlah, Suto! Kau bisa mati oleh pukulanku
ini kalau tak segera menyingkir!"
"Coba lepaskan pukulanmu, aku ingin tahu apakah
kau tega membunuhku, Sumbaruni"!"
"Keparat kau! Aku harus mengejar Peluh Setanggi
yang telah melukai anakku dengan pukulan beracun!
Hampir saja, Logo, anakku tak tertolong jiwanya jika
tidak segera kutemukan terkapar di lereng bukit! Dan
pemuda sahabatmu itu pun harus kuhajar biar tahu adat,
tidak sembarangan main terjang orang yang sedang
lakukan pertarungan!"
"Darah Prabu adalah murid Resi Badranaya. Kurasa
kau mengenal nama Resi Badranaya. Darah Prabu punya
urusan sendiri dengan Peluh Setanggi, karenanya ia tak
ingin kau membunuh gadis itu sebelum pada akhirnya
nanti mungkin gadis itu akan dibunuhnya pula!"
Mendengar Darah Prabu sendiri mengancam jiwa
Peluh Setanggi, akhirnya Sumbaruni mulai meredakan
amarah dengan hempasan napas kedongkolannya.
Pedang pun dimasukkan kembali ke sarungnya sambil
wajah galak itu cemberut dan berkata dalam gerutuan.
"Untung kau yang menghalangiku, kalau bukan kau
sudah kuhancurkan juga orang yang menjadi
penghalangku!"
"Sudah kuizinkan kau melepaskan pukulanmu
padaku, kenapa tidak kau lakukan?"
"Terlalu sulit bagiku memukul seorang kekasih yang
tak tahu diri dan muka tembok!"
Pendekar Mabuk tertawa dalam gumam mendengar
ucapan itu. Ia mengikuti langkah kaki Sumbaruni
menuju ke tempat teduh. Di sana ada batu setinggi betis.
Sumbaruni berdiri dengan menaikkan kaki kanannya ke
atas batu itu, sedangkan kaki kirinya tetap berdiri tegang
di pasir pantai, ia bertolak pinggang sebelah saat
memandangi kehadiran Suto Sinting yang mendekatinya.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Sumbaruni dengan
nada masih ketus dan wajah masih cemberut.
"Aku baik-baik saja, Sumbaruni. Kurasa kau pun tahu
apa yang sedang kulakukan saat ini."
"Aku tak mengerti maksudmu. Bagaimana aku tahu
apa yang sedang kau lakukan saat ini jika kau tak
menceritakannya padaku"!" alis Sumbaruni berkerut
tajam. Suto Sinting lebih dekat lagi dan berkata dengan
lembut namun punya ketegasan tersendiri.
"Kembalikan gadis itu, Sumbaruni. Dia dalam
tanggung jawabku."
Kerutan alis perempuan bekas panglima Ratu
Asmaradani dari negeri bawah laut itu semakin tajam.
Tatapan matanya menampakkan perasaan heran
mendengar ucapan Suto Sinting tadi.
"Sumbaruni," Suto membujuk,"... bisa ataupun tak
bisa, kuminta kau melepaskan gadis itu. Barangkali kita
bisa bicarakan persoalanmu dengan gadis itu secara
baik-baik."
"Kau bicara soal apa"! Aku tak tahu arah
pembicaraanmu, Suto! Apa kau benar-benar telah
sinting"!"
"Aku bicara tentang Kejora!" tegas Suto Sinting.
"Kejora..."! Siapa itu Kejora"!"
"Gadis yang kau culik itu!"
Sumbaruni menatap Suto Sinting lebih tajam lagi.
"Tanda-tandanya kau ingin menantang pertarungan
denganku, Suto. Tak ada hujan tak ada mendung, tahutahu kau menuduhku menculik seorang gadis bernama
Kejora. Apa-apaan kali ini"!"
"Sudahlah, tak perlu pakai hujan dan mendung, gadis
itu dalam tanggung jawabku, Sumbaruni. Kumohon
jangan kau persulit tanggung jawabku terhadap gadis
itu." "Aku tidak menculik siapa pun!" bentak Sumbaruni
tiba-tiba. "Kalau aku mau menculik, mendingan kau saja
yang kuculik!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Kau akan dimarahi
guruku jika menculikku, Manis!"
Suto Sinting ingin mencubit dagu Sumbaruni, tapi
perempuan itu menepiskan tangan Suto dan berpindah
tempat berdiri.
"Tak perlu pakai merayu segala! Aku sedang marah!
Dan kau menambah kemarahanku dengan menuduhku
menculik seorang gadis. Aku tak suka dengan caramu
itu! Bila perlu kita bertarung sampai mati untuk
membuktikan bahwa aku tidak menculik gadis itu!"
"Jika bukan kau, lalu siapa si bayangan ungu itu"!"
* ** 4 SETELAH mendengar cerita dari Suto Sinting
tentang Kejora dan pusaka Panji-panji Agung, akhirnya
Sumbaruni dapat memaklumi tuduhan Suto Sinting
terhadap dirinya. Dengan kesungguhan sikap,
Sumbaruni mengaku bahwa dia sama sekali tidak
mengenal Kejora dan bukan penculik gadis itu.
"Setelah kau ceritakan tentang Nyai Parisupit, barulah
aku ingat bahwa Jaima Dupi mempunyai lima anak
perempuan semua. Tapi aku tak hafal nama mereka satu
persatu." "Dan tentunya kau juga tahu banyak tentang Panjipanji Agung itu, bukan?"
"Mungkin tak terlalu banyak," jawab Sumbaruni
merendah diri. "Yang kutahu hanyalah, Panji-panji
Mayat adalah sebuah bendera pusaka milik Eyang Resi
Demang Sudra. Almarhum adalah guru dari Sabang
Wirata dan Kurupati. Panji-panji itu bisa bangkitkan
orang mati. Pemiliknya bisa sedot ilmu yang dimiliki
mayat semasa hidupnya jika orang tersebut tahu cara
menggunakan panji-panji itu. Semua mayat tunduk
kepada pemegang pusaka Panji-panji Agung, sehingga ia
bisa memiliki sejumlah prajurit yang terdiri dari para
mayat hidup."
"Cukup sakti juga pusaka itu," gumam Suto Sinting.
"Tapi tidak semua orang yang memegang atau
memiliki Panji-panji Mayat dapat pergunakan panjipanji itu untuk menyedot ilmu para mayat semasa
hidupnya. Hanya beberapa orang saja yang tahu tentang
cara tersebut. Bahkan Jaima Dupi dan Sang Ratri sendiri
tak mendapat penjelasan dari Nyai Parisupit tentang cara
menggunakan panji-panji untuk menyedot ilmu mayat
semasa hidupnya."
"Apakah kau tahu caranya?"
"Tidak. Tapi aku tahu beberapa orang yang
mengetahui tentang cara menyedot ilmu mayat dengan
menggunakan panji-panji itu. Orang-orang yang
mengetahuinya antara lain; Ki Gendeng Sekarat serta
kedua gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
"Ki Gendeng Sekarat..."! Hmmm... pantas ia pernah
punya pasukan mayat sebelum ia kembali menjadi
pelayan calon istriku; Dyah Sariningrum, Ratu Negeri
Gerbang Surgawi di Putau Serindu"!" pikir Suto Sinting
sambil membayangkan sesosok tubuh agak gemuk yang
gemar mengenakan pakaian merah dan bisa bertarung
dalam keadaan tertidur nyenyak, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Prahara Pulau Mayat").
"Tapi perlu kau ingat, Suto...," ujar Sumbaruni, si
tokoh tua yang masih tampak muda dan cantik itu.
"Beberapa waktu yang lalu, pernah terjadi heboh pusaka
Panji-panji Agung yang sampai membuat beberapa
tokoh kalangan atas turun tangan. Peristiwa itu terjadi
sekitar tiga puluh tahun yang lalu...."
"Aku belum lahir," sela Suto Sinting
Sumbaruni lanjutkan ucapannya, "Nyai Parisupit
segera bersekongkol dengan seseorang untuk membuat
tiruan bendera Panji-panji Mayat atau Panji-panji Agung
itu. Jadi yang perlu kau pertimbangkan, apakah Panjipanji Mayat yang dititipkan kepada Resi Badranaya itu
adalah yang asli" Siapa tahu Nyai Parisupit kala itu
menitipkan Panji-panji Mayat yang palsu kepada Resi
Badranaya"!"
"Wah, semakin rumit masalahnya jika begitu," ujar
Suto Sinting. "Paling tidak aku harus mempelajari Panjipanji Mayat yang asli dan mengetahui yang palsu adalah
yang bagaimana."
"Itulah kesulitanmu. Karenanya aku ingin sarankan
padamu agar mundur dari persoalan itu. Kau akan dibuat
pusing sendiri oleh keaslian pusaka tersebut. Lebih baik
kau mengurus masalah lain, sebab masalah itu sudah
dianggap masalah kuno oleh para tokoh persilatan
kalangan atas."
"Tapi bagaimana dengan Kejora"! Kejora diculik
orang, dan Kejora adalah keturunan dari Sang Ratri.
Padahal perempuan yang bernama Sang Ratri adalah
mantan prajurit Puri Gerbang Surgawi di alam gaib yang
dikuasai oleh calon mertuaku; Ratu Kartika Wangi.
Sedangkan aku adalah Manggala Yudha Kinasih dari
negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib itu. Lalu apa
kata ibu Ratu Kartika Wangi jika aku hanya tinggal diam
menghadapi kematian mantan prajuritku itu" Bisa-bisa
aku dipecat tak jadi calon menantunya!"
"Bicaralah yang baik, jangan singgung-singgung soal
kekasihmu; Dyah Sariningrum dan keluarganya. Bisabisa kalau aku tak sabar mulutmu akan kurobek dengan
pedangku, Suto!" ujar Sumbaruni dengan nada cemburu.
Pendekar Mabuk nyengir takut, ia sadar bahwa
Sumbaruni adalah lawan berat bagi Dyah Sariningrum
dalam urusan cinta. Sumbaruni mencintai Suto Sinting,


Pendekar Mabuk 057 Misteri Bayangan Ungu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Suto Sinting sudah menjadi calon suami dari anak
Ratu Kartika Wangi, yaitu Gusti Mahkota Sejati yang
bernama asli Dyah Sariningrum. Tentu saja
kecemburuan Sumbaruni akan terbakar jika Suto Sinting
banyak bicara tentang kekasihnya.
Cinta Sumbaruni kepada Pendekar Mabuk sungguh
besar, sehingga perempuan itu sempat punya rencana
untuk menantang pertarungan nyawa dengan Dyah
Sariningrum. Namun rencana itu sampai sekarang belum
sempat terlaksana karena Sumbaruni terlalu banyak
punya urusan di rimba persilatan.
"Suatu saat aku pasti akan menantang Dyah
Sariningrum untuk menentukan siapa yang berhak
memilikimu, Suto!" ujar Sumbaruni yang tidak terlalu
digapai oleh Pendekar Mabuk.
"Kalau begitu aku harus tetap menuju ke Biara Ungu
untuk bebaskan Kejora."
"Apakah kau yakin bahwa Kejora ada di Biara
Ungu"! Buktinya kau sudah salah duga dengan
menyangkaku sebagai penculik Kejora, hanya gara-gara
aku mengenakan pakaian serba ungu. Padahal yang
namanya Nyi Mas Gandrung Arum itu tidak
mengenakan pakaian ungu, walaupun biaranya adalah
Biara Ungu."
"Kalau begitu, aku harus bagaimana menghadapi
masalah ini, Sumbaruni"!"
"Temuilah gurumu dan tanyakan ciri-ciri pusaka
Panji-panji Mayat yang asli, dan tanyakan di mana letak
perbedaannya antara yang asli dengan yang tiruan!"
"Baiklah, tapi setidaknya aku perlu menemui Nyi
Mas Gandrung Arum untuk membicarakan tentang
Kejora. Setelah itu aku akan temui Guru untuk
membicarakan pusaka pembangkit mayat itu."
"Terserah langkahmu. Yang jelas aku akan merawat
anakku; Logo, yang habis terkena racunnya si Peluh
Setanggi. Untung aku bisa menyedot keluar racun itu,
jika tidak maka anakku bukan saja akan menderita luka
namun juga akan mati direnggut racun 'Lidah Malaikat'
milik si Peluh Setanggi!"
Sumbaruni mendekati Suto Sinting, berdiri di
depannya persis dalam jarak kurang dari satu langkah.
Pemuda tampan itu dipandanginya dengan sorot
pandangan mata penuh pribadi. Guratan kedongkolannya
mulai sirna, berubah rona lembut bermata sayu.
Pendekar Mabuk juga menatapnya dengan sunggingkan
senyum tipis menawan.
"Apakah kau kecewa jika aku tak membantumu
dalam membebaskan Kejora"!"
Pendekar Mabuk gelengkan kepala dengan lembut.
Lalu berucap dengan lirih, "Aku mampu tangani sendiri
masalah ini, Sumbaruni."
"Kalau begitu aku harus segera pergi, kita berpisah
dulu, Suto," ucap Sumbaruni bersuara bisik, tangannya
meraba pipi Suto Sinting dengan mesra. Pemuda tampan
itu hanya anggukkan kepala samar-samar.
"Kau tak ingin... tak ingin menciumku?"
Pendekar Mabuk lebarkan senyum geli dan gelengkan
kepala. Sumbaruni menarik napas menyimpan rasa kecewa.
Tapi ia segera berkata dengan suara lirihnya,
"Baiklah, kalau memang kau tak mau menciumku tak
apa, aku yang akan menciummu...."
Cuup...! Dengan gerakan cepat bibir Sumbaruni
mengecup pipi Suto Sinting. Gerakan cepat itu sukar
dihindari oleh Suto Sinting, bahkan ditangkis pun sulit.
Mau tak mau pipi itu terkena jurus kasmaran Sumbaruni
yang menghangat sampai ke dasar hati. Sumbaruni pun
menarik diri secepatnya, kemudian melesat pergi tanpa
pamit lagi. Weeess...!
Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala pandangi
kepergian Sumbaruni sambil mengusap-usap pipi yang
habis terkena jurus ciuman itu. Suaranya terdengar
menggumam lirih dengan senyum masih mengembang
samar-samar. "Dasar perempuan... tidak diberi malah nyolong!
Hmmm... awas kau, lain waktu akan kubalas dengan
lebih nakal lagi!"
Sinar matahari menyorot tajam ke permukaan bumi.
Pendekar Mabuk bergegas menyusuri pantai, karena dari
situ tampak jelas Bukit Esa yang tak jauh dari pantai.
Setidaknya jarak itu lebih mudah ditempuh ketimbang
melewati hutan belantara.
Gugusan karang yang membukit di pantai itu
membentang bagai menghalangi langkah Pendekar
Mabuk, ia terpaksa harus mendaki bukit karang yang tak
seberapa tinggi untuk pencapai dataran pantai
seberangnya. Tapi tiba-tiba langkahnya yang ingin mendaki
tertahan oleh suara ledakan menggelegar di dalam hutan.
Blegerrr...! Getaran daya ledak itu sampai terasa ke tanah yang
dipijak Pendekar Mabuk. Rasa ingin tahu membuat
Pendekar Mabuk akhirnya belokkan arah dan menerabas
hutan belantara untuk melihat pertarungan yang terjadi
di sana. "Pasti pertarungan itu sangat seru, suara ledakannya
sampai terasa menggetarkan tanah sekitar sini! Hmmm...
siapa kira-kira yang lakukan pertarungan itu"!" pikir
Suto sambil memperhatikan kepulan asap di kejauhan
sana dan ia segera memburu ke arah kepulan asap itu.
Zlappp, zlappp..!
Dalam sekejap saja Pendekar Mabuk telah sampai di
suatu tempat menyerupai danau yang cukup lebar.
Danau itu berair hijau buram dengan garis tengah
lingkaran lebih dari dua puluh langkah. Di bagian tengah
danau terdapat beberapa tonjolan batu yang mencuat dari
kedalaman air danau. Seseorang yang ingin mencapai ke
pertengahan danau harus mampu melakukan lompatanlompatan yang tepat pada pucuk-pucuk bebatuan. Jarak
dari batu ke batu cukup lebar, tak bisa dilakukan hanya
sekedar dengan melangkah biasa.
Dan di atas batu-batu di pertengahan danau itu,
tampak tiga orang sedang mengadu kesaktian mereka.
Pendekar Mabuk mengintai dari atas pohon, dan merasa
kaget melihat salah satu dari ketiga orang tersebut.
Orang itu berpakaian model biksu warna putih, rambut
putih tipis berkesan botak, jenggotnya agak panjang
berwarna putih, menandakan usianya sekitar delapan
puluh tahun. Tubuhnya agak gemuk, namun gerakannya
masih kelihatan lincah. Pendekar Mabuk tak asing lagi
dengan tokoh tua yang dikenal dengan nama Resi Pakar
Pantun itu. Tetapi yang membuat Pendekar Mabuk lebih heran
lagi adalah kedua lawan Resi Pakar Pantun. Tokoh tua
itu bertarung melawan dua gadis berjubah ungu
mengenakan kutang hijau bersulam benang emas, talinya
dari rantai kuning emas yang melingkar ke belakang.
Pakaian bawahnya hijau berbelahan empat yang mudah
tersingkap sampai batas pinggang jika dipakai untuk
menendang, sehingga kemulusan kulit paha kedua gadis
itu akan terlihat jelas. Keduanya sama-sama
menyandang pedang di pinggang. Keduanya sama-sama
berambut lebat ikal terurai mekar. Keduanya sama-sama
pula mempunyai wajah serupa dengan Peluh Setanggi.
"Jangan-jangan salah satu dari kedua gadis itu adalah
Peluh Setanggi"!" pikir Suto Sinting, namun ia segera
merasa kewalahan membedakan yang mana Peluh
Setanggi dan yang mana saudara kembarnya.
Resi Pakar Pantun tampak mulai terdesak karena
kedua gadis itu sama-sama mencabut pedangnya.
Mereka menyerang bersama dalam satu lompatan
menyerupai dua pasang burung terbang. Wuuuttt...!
Pedang mereka dikibaskan dari kanan-kiri ke arah
dada Resi Pakar Pantun. Weesss...!
Hampir saja Resi Pakar Pantun terkena tebasan
pedang mereka kalau tak cepat menghindar dengan
bersaito ke belakang dan kakinya tepat menapak pada
sebuah batu runcing. Tebb...! ia pergunakan ilmu
peringan tubuhnya hingga dapat berdiri di atas batu
seruncing tombak itu. Hanya dengan satu kaki menapak,
Resi Pakar Pantun segera lepaskan pukulan bertenaga
dalam dari kedua tangan yang disentakkan ke depan.
Wuuttt...! Clap, clap...! Dua sinar merah berbentuk piringan
melayang cepat menghantam dua gadis yang sedang
turun dari lompatannya. Yang sebelah kiri sempat
menahan sinar merah itu dengan melepaskan sinar biru
lebar dari tangan kirinya. Blaaarrr...! Tapi yang sebelah
kanan masih mampu berkelit dengan meliukkan
tubuhnya, hingga sinar merah Resi Pakar Pantun melesat
jauh dan menghantam pohon di daratan. Jlegarrr...!
Gadis yang lolos dari serangan sinar merah segera
menapakkan kakinya di atas sebongkah batu lebih
rendah dari batu yang dipakai berpijak Resi Pakar
Pantun. Tetapi gadis yang mengadu kekuatan tenaga
dalamnya dengan melepas sinar biru itu terpental ke
belakang, hilang keseimbangan badannya. Akhirnya
ketika kakinya ingin berpijak pada salah satu batu, ia
tergelincir jatuh.
"Aaahh...!"
"Ambar..."!" seru gadis yang satunya dengan tegang
sekali. Byuurr...! Gadis yang rupanya bernama Ambar itu
jatuh ke danau. Pendekar Mabuk memandang dengan
mata terbelalak penuh keheranan. Tubuh yang jatuh ke
danau segera hangus seketika, seperti besi panas masuk
ke dalam air. Jrrooss...! Wuuusss...!
Asap mengepul putih membubung tinggi, lenyap
dalam sekejap. Tubuh yang jatuh ke perairan danau itu
segera menjadi tulang belulang yang berwarna hitam
arang. Kemudian tenggelam perlahan-lahan dengan sisa
asap yang semakin menipis dan segera lenyap.
"Gila!" gumam Suto Sinting berwajah tegang.
"Rupanya air danau itu sangat berbahaya. Ganasnya
melebihi lahar panas sebuah gunung berapi"! Uuh...
untung aku tidak gegabah bermain air itu!"
Gadis itu memekik dengan berang. "Jahanaaam...!
Kau bunuh adikku dengan keji, Manusia bejat! Kubalas
kau sekarang juga, hheeeaaah...!"
Wuuut...! Tubuh gadis itu berkelebat cepat menerjang
Resi Pakar Pantun dengan pedang ditebas-tebaskan
membabi buta. Resi Pakar Pantun sentakkan kaki dan
tahu-tahu sudah ada di batu lainnya. Wees...! Si gadis
tak sempat berhenti bergerak. Kakinya menyentak ujung
batu dan tubuhnya melesat ke arah Resi Pakar Pantun
berada. "Hiaaah...!"
Wuuuss...! Bet, bet, bet, bet...!
Pedang ditebas-tebaskan hingga memancarkan
kilatan-kilatan sinar biru bagaikan lidah petir. Resi Pakar
Pantun hanya diam saja. Kedua tangannya saling
bertemu di dada. Mata terpejam, kepala tetap tegak.
Kilatan cahaya biru itu menyambarnya secara bertubitubi.
Duaar, duaar... blaaarr...!
Tubuh sang Resi masih utuh. Seakan sinar-sinar biru
itu meledak dengan sendirinya sebelum menyentuh
tubuh sang Resi.
Namun ketika tubuh si gadis mendekatinya dengan
pedang menebas berserabutan, kedua tangan sang Resi
menyentak membuka dengan suara pekik terlontar dari
mulutnya. "Heeeah...!"
Claaap...! . Sinar merah menyebar lebar menghantam tubuh gadis
yang melayang. Zeebb...!
"Uuhhg...!" gadis itu memekik tertahan, tubuhnya
Pendekar Bayangan Malaikat 10 Playboy Dari Nanking Karya Batara Kisah Si Rase Terbang 14

Cari Blog Ini