Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan Bagian 3
mengutarakan sesuatu ke hadapan Bapak," ujar
Mahesa Wulung dengan bernada gemetar parau.
"Oh, tak apalah, Angger. Katakanlah! Sebagai calon mertua, bapak akan bersedia
membantu," sahut Ki
Lurah dengan ramahnya.
"Tetapi aku mengharap agar hal ini tidak membuat
kesalah-pahaman terhadap Ki Lurah dan para sanak
kadang di sini," kata Mahesa Wulung pula.
"Ya, ya, katakanlah, Angger. Katakanlah, agar kami dapat memecahkan sesuatu yang
mungkin menggang-gumu!"
"Begini Bapak, anugerah itu sangat tak terduga dan teramat besar bagi diriku
ini. Aku belum dapat menerimanya sekarang."
Ki Lurah Mijen berkerut keningnya mendengar perkataan Mahesa Wulung dan demikian pula dengan Nyi
Lurah dan Endang Seruni sendiri. Sedang Sela Ganden lain sekali, ia
menyeringaikan mulutnya atas kata-kata itu. Hal itu menimbulkan satu pikiran
yang licik dan akan dipergunakannya sebagai balasan sakit hatinya terhadap
kedatangan Mahesa Wulung di tengah-tengah kehidupannya.
"Apakah itu berarti Angger Mahesa Wulung menolak
untuk kukawinkan dengan anakku, Endang Seruni?"
kata Ki Lurah Mijen kemudian. "Agaknya anakku
kurang memadai untuk menjadi isteri Angger?"
"Bukan begitu, Bapak."
"Atau mungkin Angger Mahesa Wulung telah beristeri pula?" ujar Ki Lurah mendesak.
"Belum, Bapak," jawab Mahesa Wulung.
"Nah, kalau begitu apakah ada hal-hal lain yang
menyebabkan Angger belum bersedia menerima
Endang Seruni sekarang ini?"
"Begitulah sebenarnya, Ki Lurah. Memang aku
masih mempunyai tugas yang berat, yaitu menangkap
Ki Topeng Reges dan muridnya si Rikma Rembyak!"
Serentak mereka menjadi terperanjat mendengar
ujar Mahesa Wulung itu. Nama-nama Topeng Reges
dan Rikma Rembyak adalah nama-nama yang menakutkan bagi mereka. Dan bila sekarang ini tamunya
berkata akan menangkap kedua 'hantu' itu, mereka
jadi sibuk menduga-duga, siapakah sebenarnya pemuda ini" "Di samping itu pula," sambung Mahesa Wulung,
"ada pula seorang gadis yang telah mencintaiku. Inilah yang membingungkanku, Ki
Lurah, sehingga aku
belum dapat menyatakan pendapatku."
"Jadi Angger Mahesa Wulung tidak menolak anakku
Endang Seruni, tetapi menerimanya pun belum bersedia pula?" kata Ki Lurah menegaskan.
Mahesa Wulung cuma mengangguk membenarkan.
Ia pun sadar bahwa menolak maksud Ki Lurah Mijen
itu sama dengan menghinanya terang-terangan, dan
ini bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bagi dirinya.
Tapi di saat itu pula, agaknya Sela Ganden telah
menemukan jalan bagi maksudnya membalaskan sakit
dan iri hatinya terhadap Mahesa Wulung. Dan kemudian ia menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.
Maka dengan tiba-tiba Sela Ganden menunjuk ke arah muka Mahesa Wulung sambil
membentak keras mengejutkan siapa saja, lebih-lebih bagi Mahesa Wulung sendiri.
"Bohong! Sungguh kurang ajar kowe! Kau berani menghina derajat Ki Lurah desa
ini. Semua tutur katamu tadi hanya alasan melompong belaka. Kau bermaksud merendahkan kewibawaan Bapak Lurah! Dengan
begitu secara langsung kau telah menantangku! Sebagai seorang jagabaya, aku
bertanggung jawab terhadap ketenteraman dan keamanan desa ini, dan hal ini telah
kau rusak sama sekali!"
"Nanti dulu, Sela Ganden. Aku tak menghendaki
keributan di desa ini. Bersabarlah terhadap Angger Mahesa Wulung ini. Dia adalah
tamuku," sela Ki Lurah Mijen.
Sesaat Mahesa Wulung kebingungan mendengar
kata-kata itu. Ia sadar bahwa hal ini bisa menimbulkan satu keributan. Satu
kekalutan yang telah dipancing oleh Sela Ganden dengan sengaja.
"Tamumu ini telah mempertolol kita. Betapa ia tidak merusak ketenteraman kita.
Coba Ki Lurah bayangkan, kalau betul-betul ia telah bersusah payah bertempur
melawan orang-orang gerombolan Jaramala
untuk membebaskan Endang Seruni, dan kini setelah
ia berhasil ia telah menolak kemenangannya, menolak hadiah sayembara dari Ki
Lurah!" "Maaf, Kisanak Sela Ganden. Aku tak menginginkan
keributan di sini. Toh Bapak Lurah Mijen telah dapat memahami penuturanku tadi,"
berkata Mahesa Wulung dengan sabarnya.
"Benar, Sela Ganden. Aku telah memahami alasan
Angger Mahesa Wulung, sebab ia masih mempunyai
tugas yang cukup berat," sambung Ki Lurah tua itu.
"Apa faedahnya Ki Lurah meladeni alasan dan ocehan-ocehan si Mahesa Wulung ini. Kalau dia ternyata seorang laki-laki sejati, ia
harus berani mengambil satu keputusan di saat ini juga," Sela Ganden berkata
lantang sambil melototkan mata. "Kau telah berani
secara lancang mengganggu ketenteraman kami dan
untuk itu, kau harus mendapat hajaran yang setimpal dari tangan Sela Ganden ini
dan para jagabaya lainnya. Bukankah begitu, Adi Sorogenen dan Pakisan"!"
Sela Ganden menoleh kepada kedua orang pembantunya yang duduk di belakang. Kedua orang ini pun
mengangguk kaku membenarkan. "Benar, Kakang Sela
Ganden. Itu sudah patut bagi seorang asing yang telah berani mengganggu
ketenteraman serta mencampuri
urusan kita. Biarlah ia mendapat pelajaran sekedarnya!"
Sebenarnya Mahesa Wulung merasa tidak senang
diperlakukan seperti itu. Sebagai seorang pendekar, kata-kata itu seperti sebuah
tamparan di mukanya.
Maka betapapun ia berusaha membendung perasaannya, toh akhirnya sedikit demi sedikit tak tertahankan lagi. Dan ibarat sebuah
bendungan air, jika ada satu lubang kecil saja, maka ia sudah cukup buat jalan
keluar dan besar kemungkinan lubang kecil tadi akan sanggup menjebolkan seluruh
bendungan. Begitulah ibaratnya, maka tak heranlah bila wajah
Mahesa Wulung lama-kelamaan merah membara. Suatu tanda bahwa hatinya mulai terbakar. Lebih-lebih setelah ia mendengar katakata Sela Ganden berikutnya.
"Ayo Mahesa Wulung, lekas keluar ke halaman! Kau
harus menerima pelajaran dari kami!"
Akan tetapi Mahesa Wulung masih terdiam diri,
sebab ia benar-benar tidak ingin membuat keributan di tempat ini. Dan jika
seandainya keributan terpaksa terjadi, maka hal itu janganlah dirinya yang
memulai, tetapi harus dari pihak Sela Gandenlah asalnya!
Sementara itu, Ki Lurah Mijen tak mampu berbuat
apa-apa terhadap ketiga orang jagabayanya. Ia sudah cukup hafal dengan tingkah
laku Sela Ganden yang
sok main menangnya sendiri. Semula ia bermaksud
mencegah Sela Ganden, tetapi ketika ia menatap
tubuh, gerak-gerak serta sikap Mahesa Wulung, Ki
Lurah tua yang sudah cukup banyak makan asam
garam kehidupan menjadi yakin bahwa Mahesa
Wulung bukan orang yang sembarangan.
Ketika ternyata Mahesa Wulung masih belum
beranjak dari tempat duduknya, Sela Ganden segera
mengerdipkan matanya kepada kedua orang pembantunya yang kontan tersenyum lebar menyeringai. Oleh karenanya Pakisan tampak
bangkit berdiri dan melangkah ke arah Mahesa Wulung. Tangannya menggoncang pundak Mahesa Wulung.
"Ayo, Kisanak, keluarlah! Mari kita sekadar bermain-main di halaman."
Mahesa Wulung merasa betapa pundaknya digoncang oleh Pakisan, namun sekali lagi ia masih mencoba bersabar diri, dan berkata dengan tenangnya,
"Jangan coba memaksaku untuk berbuat keributan,
Kisanak!" "Heh, kau mau membandel, ya"!" bentak Pakisan
seraya mencengkeram pundak Mahesa Wulung lebih
keras, sekeras cengkeraman cakar-cakar burung elang yang tengah menggenggam
mangsanya! Oleh hal ini,
Mahesa Wulung terperanjat dan sekarang ia sudah tak mau lebih bersabar, sebab
kesabaran toh akhirnya ada batasnya pula. Kesabaran yang kelewat batas bisa
menyebabkan seseorang diinjak-injak harga dirinya.
"Keluar! Kita sama laki-lakinya. Tunjukkan kejantananmu!" terdengar Sela Ganden
ikut membentak sambil mencibirkan bibirnya yang bernada merendahkan
terhadap Mahesa Wulung.
"Kakang Mahesa Wulung, jangan kau turuti
kehendaknya!" Endang Seruni ikut menyela dengan
rasa cemas. "Maaf Endang Seruni, ini adalah urusan laki-laki,
dan Nona tidak perlu mencampurinya! Agaknya tamu
kita ini seorang pengecut dan...."
Pakisan tak dapat meneruskan kata-katanya apabila sebuah tangan yang kokoh laksana terbuat dari baja, tahu-tahu menangkap
tangannya dan menghen-takkannya dengan kekuatan yang luar biasa hebatnya.
Maka akibatnya hebat sekali. Tubuh Pakisan terpelanting jungkir balik ke arah
halaman dengan mengaduh.
Hampir semua mulut ternganga melihat gerakan
Mahesa Wulung yang tiba-tiba dan menyebabkan Pakisan terpelanting seperti sebuah sabut tanpa daya.
Mendadak mereka lebih dikejutkan lagi dengan melesatnya tubuh Mahesa Wulung keluar pendapa, ke arah halaman di mana Pakisan jatuh
terjerembab di halaman kelurahan.
Sela Ganden dan Sorogenen sadar akan bahaya
yang mengancam jiwa Pakisan, maka keduanya segera
bangkit serta meloncat keluar menuju ke halaman. Mereka melihat betapa dengan
tenangnya Mahesa Wulung berdiri menghadap Pakisan yang tengah berusaha bangkit dari jatuhnya.
Dengan sigapnya Pakisan tadi meloncat berdiri dan
kakinya bekerja dengan cepat menyambar ke arah
lambung Mahesa Wulung. Tetapi dengan secepat angin Mahesa Wulung menggeser kaki
kirinya ke belakang
setengah lingkaran hingga serangan Pakisan ini gagal.
Berbareng itu pula Mahesa Wulung mengirim sebuah
pukulan sisi telapak tangan kanannya ke dada Pakisan. Lawan Mahesa Wulung inipun agaknya cukup
waspada. Sebelum pukulan itu bersarang ke dadanya, Pakisan telah melompat ke
samping dengan cepat. Namun bersamaan itu pula Mahesa Wulung telah mengirimkan tendangannya dan tepat mengenai paha Pakisan yang membuat orang ini kehilangan keseimbangan untuk kemudian jatuh
terjengkang ke tanah. Pandangan matanya menjadi berputaran berkunang-kunang.
Ternyata Pakisan tergolong orang yang berjasmani
kuat, maka iapun cepat-cepat berdiri tegak kembali.
Giginya gemertakan menahan marah. Ia merasa kagum sebenarnya bahwa lawannya ini mempunyai
gerakan yang cepat dan lincah. Mata Pakisan melirik ke arah Sela Ganden dan
Sorogenen yang telah berdiri di halaman pendapa, tidak jauh dari Ki Lurah Mijen,
Nyi Lurah dan Endang Seruni yang telah pula berdiri di situ.
"Adi Pakisan, ini pakailah pedangku!" terdengar
Sorogenen berseru sambil melemparkan sebilah pedang ke arah Pakisan.
Sekejap saja dengan tangkas si Pakisan menggerakkan tangannya menyambar pangkal pedang itu. Kini
tergenggamlah di tangannya sebilah senjata yang
cukup berbahaya bagi Mahesa Wulung. Karenanya
Endang Seruni terpekik kecil kecemasan dan mendekap ibunya. Pakisan tertawa terkekeh-kekeh setelah menggenggam pedang itu. Sebagai jago pedang kedua disamping Sorogenen, ia merasa
berbangga hati mendapat kesempatan memperlihatkan ilmu pedangnya di hadapan Ki
Lurah desanya. Maka diputarlah pedang itu. Sementara beberapa orang yang kebetulan lewat di depan
rumah Ki Lurah Mijen menjadi tertarik perhatiannya.
Mereka terpaksa berhenti melihat Jagabaya Pakisan
memutar-mutar pedangnya di depan seorang asing di
halaman pendapa kelurahan. Sepintas lalu mereka
mengira bahwa para jagabaya tengah mengadakan
latihan ketangkasan olah senjata.
"Ayo, cabutlah pedangmu, setan!" teriak Pakisan
kepada Mahesa Wulung. Oleh sebab itu para penonton tadi menjadi terperanjat.
Barulah sadar mereka, bahwa di halaman kelurahan itu tengah terjadi pertarungan
yang sungguh-sungguh, bukan sekadar latihan olah
senjata saja. "Tak perlu aku mencabut pedangku, Kisanak," ujar
Mahesa Wulung tenang-tenang. "Aku kuatir ia akan
kotor oleh darahmu!"
Pakisan menggeram marah mendengar kata-kata
tajam dari mulut lawannya. Maka tanpa berkata-kata lagi ia membabatkan pedangnya
ke dada Mahesa Wulung dengan kecepatan yang mengagumkan!
Wess! Pedang Pakisan ternyata hanya menebas
udara kosong sedang lawannya tahu-tahu telah berkelebat cepat dan berdiri di
belakangnya. Orang-orang yang menyaksikan terpaksa ternganga-nganga keheranan
melihat gerakan yang persis sebuah bayangan.
"Aku di sini, Pakisan!" ujar Mahesa Wulung seraya
menepuk pundak Pakisan dari belakang, hingga
membuat lawannya ini terkejut setengah mati. Ia sadar bahwa dirinya tengah
dipermainkan oleh Mahesa Wulung. Sebab bila sungguh-sungguh lawannya mau bertindak, pastilah ia telah dipukul roboh dari belakang!
"Keparat!" teriak Pakisan sambil berputar ke belakang secepat kilat sekaligus membacokkan pedangnya ke arah Mahesa Wulung.
"Hyaaat! Wah, edan!" terdengar Pakisan mengutuk lagi demi bacokan pedangnya
meleset sebab lawannya telah melesat ke udara laksana seekor belalang mencutat.
Jagabaya Pakisan menjadi lebih penasaran setelah
kedua bacokan pedangnya dengan mudah dihindari
oleh Mahesa Wulung. Sebagai jago pedang, ia menjadi malu karenanya, maka sebelum
Mahesa Wulung sempat menginjakkan kakinya ke tanah, ia cepat-cepat
menyerangnya kembali. Pedangnya menyambar hebat
ke arah kaki Mahesa Wulung.
Untuk serangan ini pun pendekar muda yang telah
kenyang akan pengalaman itu tak kurang waspadanya.
Kakinya diangkatnya sampai tertarik dan tubuhnya
sejajar di tanah mengambang di udara, sehingga
pedang Pakisan lewat sejengkal di bawah tubuhnya.
Sungguh-sungguh mendebarkan hati yang
menyaksikannya.
Kini Mahesa Wulung sudah cukup lama membiarkan lawannya memperlihatkan permainan pedangnya.
Maka iapun cepat-cepat melayang ke bawah berbareng kakinya menjejak tangan
Pakisan yang menggenggam
Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedang. "Accckh!" Pakisan berteriak ngeri dan pedangnya
terlepas dari genggamannya.
Dalam waktu yang singkat dan berbareng, tangan
kiri Pakisan menggempur dada Mahesa Wulung, hingga pendekar ini tergetar karenanya. Namun tiba-tiba pula Mahesa Wulung
melayangkan pukulan sisi telapak tangannya ke dada Pakisan. Akibatnya cukup
hebat. Biarpun ia tidak mempergunakan unsur pukulan mautnya Lebur Waja, tapi sudah cukup terasa
hebat bagi Pakisan. Tubuhnya seketika terguncang
hebat, begitu dadanya terpukul oleh tangan Mahesa
Wulung. Pandangannya jadi semrawut dan berkunangkunang, kemudian ia jatuh terhenyak ke tanah dengan tak berdaya.
"Heeeit!" sebuah teriakan hebat terdengar dan
Mahesa Wulung mengendap, sebab sebuah bayangan
manusia telah menyerang dengan tusukan padang ke
arah dirinya. Orang ini adalah Sorogenen yang telah menyerangnya dengan sebilah padang.
Sorogenen segera memutar-mutar pedangnya dan
sebentar saja senjatanya ini telah merupakan gumpalan sinar putih yang berputar amat cepat.
"Heei, Mahesa Wulung! Lihat pedangku ini!" seru
Sorogenen sambil memutar pedangnya ke atas separo
lingkaran dan tahu-tahu sebuah daun kering yang
kebetulan jatuh dari atas pohon telah terbelah dua tepat di tengahnya.
Mahesa Wulung menjadi terbuka kesadarannya
bahwa Sorogenen adalah jago pedang yang cukup hebat. Itulah sebabnya ia secepat kilat melolos pedangnya pula.
"Nah itu bagus namanya, sobat!" seru Sorogenen
kesenangan melihat lawannya telah pula melolos
pedang. "Sekarang, aku ingin tahu sampai di mana
kemahiranmu bermain pedang!"
Mahesa Wulung tanpa melihat lawannya segera
membabatkan pedangnya ke udara dari kiri bawah ke
kanan atas, dan kemudian dari atas jurus ke bawah.
Semua mata hampir terbeliak kaget, sebuah daun
kering pula yang melayang dari atas terpotong kecil menjadi empat buah!
"Kurang ajar, kau manusia sombong harus merasakan pedangku ini!" Sorogenen membacok ke arah
Mahesa Wulung yang disambut oleh lawannya dengan
tangkisan pedangnya.
Trang!! Bunga api terloncat ke udara dan tangan
Sorogenen tergetar nyeri. Cepat-cepat mengerahkan
tenaganya dan menyerang kembali ke arah Mahesa
Wulung. Sebentar saja terjadilah lingkaran pertempuran
yang seru. Masing-masing mengerahkan ilmu pedangnya. Setelah keduanya bertempur lebih dari lima belas jurus, terlihatlah bahwa
ilmu padang Mahesa Wulung sedikit lebih unggul daripada lawannya. Dan tiba-tiba
saja pedang Mahesa Wulung bergerak lebih ganas ke
arah tubuh Sorogenen dan mengurungnya laksana
kilatan halilintar.
Syrat! Bet! Bet!
"Oookh!" Sorogenen berteriak melongo ketika sekonyong-konyong ikat kepala, ikat pinggang serta kain batik dan juga pedangnya
terbabat lepas dari tubuhnya. Sorogenen terpaksa mundur-mundur ke belakang, sebab ia sudah tak berdaya lagi terhadap
lawannya. Kecepatan gerakan pedang Mahesa Wulung
betul-betul membuatnya ketakutan setengah mati.
Hati serta keberaniannya seakan-akan menjadi mengkerat sekecil biji kacang karenanya.
"Hyaat! Jebol dadamu kelakon!" teriakan yang mengguntur terlontar ke udara
bersamaan Sela Ganden menerjang Mahesa Wulung dengan sebuah tombak
cagak, semacam tombak yang berujung atau bermata
dua, mirip sebuah capit dari kalajengking yang berbisa.
"Kurang tepat, Kisanak!" ujar Mahesa Wulung
sambil berkelit ke samping, hingga Sela Ganden terdorong ke depan oleh tenaganya
sendiri. Maka Mahesa
Wulung menggerakkan kakinya, menendang ke lambung Sela Ganden.
Namun Sela Ganden lebih waspada. Sebelum kaki
Mahesa Wulung menerjang tubuhnya, ia berputar ke
kanan seraya menebaskan tombak cagaknya ke arah
kaki Mahesa Wulung! Serangan itu sangat tiba-tiba
terjadi dan hati para penonton berdesir karenanya, hingga mereka sesaat menahan
nafas. Endang Seruni yang juga menyaksikan gerakan
tombak Sela Ganden itu hampir-hampir menjerit karenanya, sebab ia sadar bahwa
Sela Ganden mempunyai
ilmu permainan tombak yang terkenal dahsyat
Sebaliknya, Mahesa Wulung dengan tenang melentingkan dirinya ke udara dan loloslah ia dari sambaran tombak cagak lawannya!
Selanjutnya, sambil mendarat ke tanah Mahesa Wulung tak tinggal diam. Diputarnya
pedang di tangan dan dengan gerakan secepat angin
ditebaskannya ke kepala lawannya.
Namun Sela Ganden benar-benar seorang tangguh.
Sebelum pedang lawannya membelah kepalanya yang
hanya satu itu, ia cepat-cepat merunduk setengah
berjongkok sedang tombaknya ditusukkannya menyambut tebasan pedang Mahesa Wulung yang meluncur deras. Traaang! Kedua senjata di tangan dua pendekar itu
beradu nyaring sampai memercikkan bunga-bunga api
ke udara. Keduanya semakin bertempur dengan hebat.
Dalam hati, Sela Ganden mengakui bahwa ia belum
pernah melihat permainan pedang yang sedemikian
dahsyatnya. Pedang di tangan Mahesa Wulung itu
menyambar-nyambar laksana burung garuda menyambar mangsanya. Ganas dan lincah. Tetapi kadang-kadang juga mematuk seperti ular, sampai menimbulkan angin yang berdesis-desis
mengerikan pendengaran.
Sela Ganden terpaksa mengerahkan segenap kekuatan jasmani serta ilmu tombaknya dengan seksama,
karena ia makin merasakan serangan pedang Mahesa
Wulung yang bergulung-gulung laksana ombak Laut
Kidul yang siap menghempas dirinya.
Demikianlah keduanya bertempur dengan dahsyat.
Masing-masing memiliki keahlian dalam menguasai
senjatanya. Ditambah dengan ketangkasan serta keuletan semangatnya, mereka menjadi semakin sengit
bertempur! Mereka pun tak kalah kagumnya menyaksikan permainan tombak cagak Sela Ganden yang menyambar
dan menyerang ke segenap tubuh Mahesa Wulung dari
semua arah. Cahaya berkilatan dari pantulan sinar
matahari siang pada mata tombak itu, kelihatan
melingkar-lingkar membingungkan pandangan.
Mata tombak cagak Sela Ganden yang berujung dua
itu sungguh berbahaya bagi Mahesa Wulung. Ia harus berhati-hati menjaga
pedangnya, apa lagi sampai kena tercepit di antara kedua ujung mata tombak cagak
itu, pastilah pedangnya bisa terbetot lepas.
Sementara itu beberapa potong awan mendung
yang kelabu kehitaman mengalir ke arah selatan,
melewati sinar matahari siang, sehingga sinar matahari itu terhalang sekalisekali. Bayangan awan tersebut bergerak di permukaan tanah, menyebabkan suasana Desa Mijen ini sekali gelap dan sekali terang ben-derang, silih berganti.
Maka pertempuran di halaman kelurahan itupun menjadi semakin seram.
Mereka masing-masing telah mencoba untuk menguasai keadaan. Malahan masing-masing telah mencoba mengerahkan segenap kekuatan
dan ilmu mereka,
maka tak heranlah bila darah mereka menjadi seperti mendidih menambah semangat
bertempurnya berlipat-lipat.
Pada suatu saat, Sela Ganden menyongsong tebasan pedang Mahesa Wulung dengan ujung tombaknya
dan apa yang selama ini diharap-harapkan, terjadilah sudah! Pedang Mahesa Wulung
kena terjepit di sela-sela antara kedua ujung mata tombak Sela Ganden.
Untuk ini, Mahesa Wulung berusaha menarik pedangnya, namun Sela Ganden bergerak lebih cepat lagi.
Sebelum pedang lawan itu berhasil lolos, ia telah lebih dahulu memilin tangkai
tombak cagaknya ke kanan
dan sekuat tenaga. Dengan begitu ia berharap agar
Mahesa Wulung melepaskan pedangnya.
Tetapi ternyata harapannya meleset sama sekali,
sebab Mahesa Wulung yang telah kaya akan pengalaman olah keprajuritan itu segera pula mempererat genggaman pedangnya. Seketika
terjadilah putar-memutar senjata antara Mahesa Wulung dengan Sela
Ganden. Tampaklah masing-masing mengerahkan
segenap tenaga hingga wajah-wajah mereka menjadi
tegang dan berkeringat. Ternyata sedikit demi sedikit Sela Ganden berhasil
mengungkit pedang lawannya
sehingga ia menjadi lebih berkeyakinan untuk bisa
menjatuhkan Mahesa Wulung.
Putaran tangkai tombak Sela Ganden memang
hebat, dan ini terasa sekali oleh Mahesa Wulung.
Kalau ia masih bersikap begitu, pastilah akan tercabut lepas pedang di
tangannya, maka terpaksalah ia berbuat lain. Ia meloncat kecil selangkah ke kiri
dan sekaligus menebaskan pukulan sisi telapak tangan kirinya
ke arah tombak Sela Ganden.
Kraak! Tangkai tombak Sela Ganden, tepat pada
lehernya, telah gemertak patah dan terpelanting lepas bersama pula dengan pedang
Mahesa Wulung ke atas
tanah. Dan kemudian disusul oleh tendangan kaki kiri Mahesa Wulung ke pinggang
Sela Ganden, sehingga
jagabaya bertubuh kekar ini terjungkir ke depan,
mencium debu tanah di halaman kelurahan.
Meski dengan muka berpupur debu dan sambil memaki-maki, Sela Ganden cepat-cepat
berdiri. "Setan alas! Kowe memang pendekar gemblengan! Namun jangan harap mampu
menghadapi ilmu remasan
tangan wesi milikku ini! Haaakh!"
Sela Ganden tiba-tiba mengangkangkan kedua
kakinya ke samping dan tubuhnya setengah condong
ke depan. Kemudian menyusul ia memukulkan kedua
telapak tangannya ke atas kedua pahanya, sebelah
kanan dan kiri berbareng.
Semua orang di halaman kelurahan itu terperanjat
keheranan, termasuk Mahesa Wulung. Apakah yang
akan diperbuat oleh Sela Ganden ini" Pukulan sisi
telapak tangan Sela Ganden tadi, mula-mula perlahan saja dan menimbulkan suara
ceplok-ceplok berbareng.
Tetapi lama-kelamaan pukulan tadi keras dan semakin keras dan berakibat luar
biasa. Setiap benturan
pukulan telapak tangan Sela Ganden ke atas pahanya, menimbulkan getaran di
tanah, seolah-olah halaman
kelurahan ikut bergoyang karenanya.
Endang Seruni menjadi kecemasan. Demikian pula
dengan Nyi Lurah Mijen, dan bahkan semua orang di
situ pada berdegupan jantungnya. Mahesa Wulung
mengeluh dalam hati bahwa keadaan berlarut-larut ke arah puncak ketegangan. Ia
merasa heran dan kagum
bahwa di tempat yang asing ini ia menjumpai ilmu
yang hebat, yang disebut oleh Sela Ganden sebagai
ilmu remasan tangan wesi.
Setelah genap tiga belas kali, Sela Ganden tiba-tiba menghentikan pukulan
anehnya tadi sambil berteriak ke arah Mahesa Wulung.
"Hee, keparat! Lihatlah ampuhnya remasan tangan
wesiku ini! Kau akan terlumat olehnya. Lihat!"
Segera Sela Ganden memungut sebuah batu hitam
dari tanah yang besarnya sebesar buah kelapa. Batu hitam tadi dijepitnya di
antara kedua telapak tangannya dan kemudian diremasnya semudah orang meremas buah tomat. Pletak! Batu sebesar buah kelapa tadi ambyar dengan berderak
keras, diiringi oleh derai
ketawa Sela Ganden kepuasan. "Hua, ha, ha, lihat
cecunguk! Kepalamu akan demikian pula jadinya!"
Karuan saja Mahesa Wulung tak mau bertangan
kosong menghadapi Sela Ganden yang telah memasang
ilmunya. Maka cepat-cepat ia pun memasang pemusatan ilmunya, pukulan maut Lebur Waja. Biarpun tidak sehebat semula dan belum
pulih akibat benturan Ki
Topeng Reges dahulu, namun masih lumayan pula
daripada bertangan hampa.
Sela Ganden segera bersiaga. Kedua jari-jari tangannya berkembang laksana kukukuku cakar garuda dan
siap meremas kepala lawannya. Keduanya segera
sama-sama melompat menyerbu.
Mendadak sebuah bayangan putih melesat dari
pepohonan di luar pagar halaman kelurahan, bersama sebuah teriakan menggeledek.
"Tahan!" Bayangan putih tadi tahu-tahu telah
berdiri di tengah, di antara ke dua pendekar yang telah saling menerjang.
Dengan mementang kedua belah tangannya
masing-masing ke samping, bayangan putih yang tidak
lain adalah Pendekar Bayangan telah mencegah dua
benturan ilmu mereka yang cukup hebat. Maka
sejurus kemudian terjadilah dua letupan berbareng.
Mahesa Wulung terbentur oleh kibasan telapak
tangan Pendekar Bayangan hingga dirinya terpental ke belakang beberapa langkah.
Tapi ia cukup cekatan
sehingga ia jatuh ke tanah dengan mendaratkan
kakinya lebih dulu! Sedang Sela Ganden yang telah
menerjangkan kedua cakaran telapak tangannya ke
depan, terbentur pula oleh kibasan tangan Pendekar Bayangan, dan seketika
pandangan matanya gelap
serta terpental ke belakang. Tubuh Sela Ganden
tersebut mencelat menabrak pagar bambu hingga
tumbang bersama-sama tubuhnya ke tanah.
Para penonton pada berteriak kagum dengan peristiwa ini. Pendekar Bayangan lalu mengangguk hormat kepada Ki Lurah Mijen.
"Maaf, Ki Lurah. Aku terpaksa berbuat demikian,
sebab aku tak ingin mereka celaka oleh benturan
kedua ilmunya yang dahsyat itu. Dan perkenalkanlah, aku adalah Pendekar
Bayangan, guru Mahesa Wulung."
"Oh, tak apa Kisanak. Sebenarnya aku pun tak
ingin mereka saling baku hantam dengan ilmunya.
Namun aku yang tua bangka ini tak mampu mencegah
mereka, sebaik yang telah Kisanak lakukan baru saja ini." ujar Ki Lurah Mijen.
"Tapi kulihat mereka terbanting jatuh."
"Itu tak apa, Ki Lurah. Biarlah aku nanti yang
merawatnya."
Ki Lurah Mijen segera menyuruh beberapa orang
untuk menggotong tubuh Sela Ganden dan Pakisan ke
Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam pendapa kelurahan.
Sementara itu, Mahesa Wulung mendekati Pendekar
Bayangan serta membungkuk hormat. "Selamat datang, Bapak. Mujurlah Bapak keburu datang. Kalau
tidak, entahlah apa jadinya dengan kami."
"Yah, sebenarnya aku selalu membayangimu, Angger. Nah, sekarang marilah kita beristirahat. Kau
terlalu keras memeras tenagamu dan Angger harus
memulihkannya kembali," ujar Pendekar Bayangan
lirih. Tak lama kemudian Pendekar Bayangan sibuk
mengobati Sela Ganden dan pembantunya itu. Dan
malam itu serta hari-hari berikutnya, Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung
tinggal di sebuah rumah di
ujung desa, untuk menjaga kalau-kalau gerombolan
Jaramala dan anak buah Ki Topeng Reges lainnya
mengganggu desa ini.
Untunglah luka-luka dan keadaan tubuh Sela
Ganden dengan seorang jagabaya lainnya tidaklah begitu mengkuatirkan. Keduanya berangsur-angsur
sem- buh dan siap untuk mengemban tugasnya kembali.
*** 4 DI KAKI BUKIT sebelah barat dari Gunung Muria,
tergeletaklah sesosok tubuh di atas rerumputan yang tebal tanpa daya. Di dekat
kepalanya tergeletak sebuah caping lusuh dan juga sebilah padang tertancap di
atas tanah tidak jauh dari tubuh itu.
Angin sore yang bertiup segar telah membelai tubuh itu dan bila luka di
lengannya terusap oleh angin, maka terasalah rasa perih dan kaku-kaku menjalar
ke ubun-ubun. Orang itu yang tidak lain adalah Ki Camar Seta,
pelan-pelan membuka matanya yang masih terasa
berat. Ia telah sadar dari pingsannya. Teringat kembali olehnya akan pertempuran
melawan Ki Topeng Reges,
seorang pendekar hitam bertopeng hantu.
Untunglah, sesudah ia terluka oleh senjata lawannya yang bernama Kiai Brahmasakti, cepat-cepat ia
meminum sebuah butiran obat yang disimpan dalam
kantong kecil pada ikat pinggangnya. Dengan meminum obat itu, maka racun jahat yang merasuk ke
dalam tubuhnya dapat dicegah agar tidak ikut mengalir mengikuti peredaran darahnya.
"Hari telah sore," desis Ki Camar Seta setengah merintih, sebab rasa pedih
kembali menghentak-hentak pundak dan lengannya yang terluka. "Entah berapa
hari aku tergeletak disini. Tapi agaknya aku belum akan mati sekarang."
Ki Camar Seta merasa bahwa kepalanya menjadi
pening berkepyur-kepyur. Dalam saat yang begitu, tiba-tiba dilihatnya sesosok
bayangan telah berkelebat dari arah utara menuju ke arahnya. Sesaat dilihatnya
bayangan itu bertubuh ramping dan termangu-mangu
memandangnya. Namun kemudian bayangan itu segera berjongkok di dekat tubuhnya.
"Kakang Camar Seta! Kakang Camar Seta, oh, kau
terluka Kakang?" terdengar kata-kata yang lembut ke telinganya, membuat Ki Camar
Seta terperanjat. Rasa-rasanya ia pernah mengenal suara itu dan hal ini
membuat Ki Camar Seta seperti bermimpi, sebab setelah ia mengenal kembali suara
itu, teringatlah sejenak pada masa remajanya.
Ya, suara itu adalah suara gadis yang pernah dicintainya, bernama Rara Sumekar.
Oleh karenanya, Ki
Camar Seta segera mencoba mengerahkan segenap
kekuatan tubuhnya dan berhasillah akhirnya. Pandangan matanya berangsur-angsur menjadi terang kembali dan betullah apa yang diduganya, wanita yang
telah berusia dan berjongkok di dekatnya itu, sesungguhnya adalah Nyi Sumekar,
bibi dari Pandan Arum
dan isteri seorang pertapa yang bernama Ki Wiratapa.
Meskipun garis-garis ketuaan telah tergores pada
lekuk hidung dan sudut bibirnya, namun masih
tampak bekas-bekas kecantikan di masa mudanya.
Dan sesungguhnya Nyi Sumekar memang cantik di
waktu remajanya dahulu.
"Akh, benar Nyi Wiratapa. Aku telah terluka oleh
senjata Ki Topeng Reges sewaktu bertempur melawannya," ujar Ki Camar Seta lirih. "Aku tak tahu lagi apakah yang terjadi
selanjutnya dengan Angger Mahesa
Wulung. Sebab setelah aku terjatuh ke tanah, Ki
Topeng Reges kemudian memburu Angger Mahesa
Wulung." "Mudah-mudahan ia selamat, Kakang," sambut Nyi
Sumekar pula. "Bagaimanakah kabarnya Angger Pandan Arum?"
"Baik-baik saja, Nyi. Ia tinggal bersama prajuritprajurit Demak yang tengah dalam perjalanannya
menuju Demak."
"Kakang, kebetulan aku habis memetik kelapa ijo
untuk kubuat obat. Nah, minumlah ini, Kakang. Ia
akan dapat menawarkan racun yang terdapat di dalam tubuhmu." Nyi Sumekar
mengambil kelapa muda tadi
dari sebuah kantong kain putih yang digendongnya di punggung. Kelapa muda itu
telah dikupas sabutnya,
sehingga dengan mudah Nyi Sumekar membuat lobang
pada ujung tempurungnya dengan sebilah pisau kecil.
Ki Camar Seta menerima buah kelapa muda itu dan
selanjutnya direguknya dengan lahap. Dasar memang
ia telah merasa haus pula. "Terima kasih, Nyi Wiratapa. Aku lebih baik
sekarang."
Nyi Sumekar lalu memeriksa lengan Ki Camar Seta
yang terluka dan kemudian lengan baju pendekar tua sahabatnya itu disobeknya
pula. Dengan cekatan ia
menaruh bubukan obat pada luka Ki Camar Seta serta dibalutnya sekali.
"Nah, Kakang. Ini cukup baik untuk mencegah
lukamu menjadi bengkak. Di pondokku nanti lukamu
akan kurawat lebih lanjut," ujar Nyi Sumekar sambil memberes-bereskan kembali
kantong kain yang berisi dedaunan untuk peramu obat.
"Nyai, bagaimanakah dengan Adi Wiratapa" Apakah
ia sehat-sehat saja?" tanya Ki Camar Seta menanyakan keselamatan Ki Wiratapa
sahabatnya, juga sebagai
suami Nyi Sumekar sampai kini.
"Yah, ia lagi sibuk mengunduh ketela pohon hari
ini. Pasti ia akan bergembira bertemu dengan Kakang Camar Seta nanti."
"Masih jauhkah pondokmu itu, Nyi?"
"Oh tidak, Kakang. Itu di balik gerumbul pohonpohon di sana itu, terletak pondokku."
Kedua orang itu kemudian berjalan ke arah utara.
Ki Camar Seta menggunakan tongkat pedangnya sebagai penumpu tangannya yang luka, sedang Nyi Sumekar berjalan di belakangnya, sambil sekali-sekali mengawasi langkah Ki Camar
Seta yang setengah
terseok-seok menempuh jalan perbukitan kaki Gunung Muria sebelah barat.
Senja makin tenggelam dan malam pun menjelang.
*** Malam itu bulan bertengger di langit biru dengan
megahnya. Sepotong awan bagai gumpalan kapas, merayap malas ke arah utara. Suasana tampak tenang
dan syahdu. Tetapi di balik gerumbul pepohonan di
halaman sebuah rumah pada ujung Desa Mijen,
tampaklah dua bayangan manusia bergerak-gerak
saling serang-menyerang dengan sangat lincahnya.
Mereka terlibat dalam pusaran gerak yang cepat,
bagaikan bayangan yang belit-membelit dan terjangmenerjang. Mereka bertarung tanpa menggunakan senjata,
kecuali dengan pukulan-pukulan tangan dan sedikit
tendang-tendangan kaki.
"Nah, kau lebih baik sekarang, Angger. Kau ada
kemajuan hari ini. Tekunkanlah gerak-gerak tadi,
Angger," ujar seorang yang mengenakan kedok putih di kepalanya.
"Terima kasih, Bapak Pendekar Bayangan. Segala
petunjukmu akan kuindahkan baik-baik," berkata
pendekar muda yang tidak lain Mahesa Wulung
sendiri. "Bagus Angger, bapak merasa senang dengan ketangguhanmu. Saya kira ada baiknya kita beristirahat sebentar. Ada sesuatu yang
akan kubicarakan pada
Angger Mahesa Wulung." Pendekar Bayangan berkata
dan mempersilakan muridnya ini duduk. "Marilah
duduk disini, Angger!"
Keduanya kemudian duduk di atas sebatang pohon
tua yang telah ditebang dan tergeletak di sudut
halaman rumah. Dengan mendehem kecil Pendekar
Bayangan memulai kata-katanya yang tampaknya
sangat penting.
"Angger Mahesa Wulung, telah beberapa kali kau
kulatih memahami dasar-dasar ilmu pukulan Angin
Bisu yang sebetulnya lebih dahsyat daripada pukulan Lebur Waja. Pukulan Angin
Bisu tadi merupakan
bagian dari ilmu pamungkas Bayu Bajra. Kalau semula Angger merasakan adanya
persamaan atau saling
mempengaruhi antara ilmu Bayu Bajra dengan Bayu
Rasa dan juga antara pukulan Lebur Waja dengan
Angin Bisu itu, Angger Mahesa Wulung tidak perlu
heran. Sebab memang kedua ilmu tadi dari sumber
yang sama, yakni dari Ki Buyut Ungaran."
"Oh jadi Bapak adalah murid Ki Buyut Ungaran dari
daerah selatan Asemarang?" gumam Mahesa Wulung
setelah terlonjak kaget. "Jadi kalau demikian, Bapak ada hubungannya dengan
guruku, Panembahan Tanah
Putih." "Tepat dugaanmu, Mahesa Wulung. Kau memang
berpikir kelewat tajam, heh, heh, he. Aku tak heran, dan memang pantas kau
adalah murid kinasih panem-bahan berjenggot itu."
"Bolehkah aku mengenal Bapak sekarang?" tanya
Mahesa Wulung disertai perasaan ingin tahunya yang semakin keras.
"Baiklah, Angger. Sekarang kau boleh mengenalku
lebih dekat, seperti yang telah aku katakan dahulu."
Pendekar Bayangan berkata sambil mencopot kedok
yang menutup sebagian besar kepalanya. "Nah, Angger Mahesa Wulung, namaku yang
sebenarnya adalah Jatilawang, saudara seperguruan dari Ki Bayu Sakti atau yang
bergelar Panembahan Tanah Putih."
Mahesa Wulung segera menatap wajah Jatilawang
yang sedikit lebih tua daripada gurunya sendiri. Wajah orang ini sangat cerah
meskipun garis-garis ketuaan menghias dahi dan matanya. Kumisnya yang melengkung putih dilengkapi oleh jenggot yang pendek, tebal dan keputihan pula.
"Panembahan Tanah Putih saya anggap seperti
saudara kandungku sendiri, sehingga apa yang dirasakan aku pun ikut merasakannya
pula. Sayang, waktu
Angger Mahesa Wulung berlibur di Asemarang beberapa waktu yang telah lewat, bapak tak sempat menjum-paimu, sebab bapak tengah
berkelana di daerah Jawa Timur. Dan atas persetujuan Panembahan Tanah
Putih pula, aku telah mencari-carimu kemana-mana.
Kalau si jenggot tua itu telah melatihmu dengan ilmu Lebur Waja dan Bayu
Rasanya, maka aku telah
bertekad pula menurunkan ilmuku kepada Angger
Mahesa Wulung."
"Terimakasih, Bapak Jatilawang," kata Mahesa
Wulung. "Ketahuilah, bahwa pukulan Lebur Waja lebih banyak memusatkan kekuatan jasmaniah," sambung
orang tua itu, "sehingga untuk memukul hancur
sebuah sasaran, pukulan sisi telapak tanganmu harus benar-benar menempel atau
membentur benda tersebut. Sedang pukulan Angin Bisu lebih memusatkan
unsur kekuatan batin serta tenaga dalam. Dengan
demikian maka sasaran yang akan Angger pukul tidak harus dalam jarak yang dekat,
tetapi dalam jarak jauh pun Angger akan dapat mengenainya."
"Wah, hebat, Bapak! Jadi dengan angin pukulannya
saja sudah cukup untuk menghancurkan sebuah sasaran?" sela Mahesa Wulung saking kagumnya. "Benarbenar seperti dalam ceritera wayang saja."
"Heh, heh, heh, rupa-rupanya Angger Mahesa Wulung adalah penggemar tokoh-tokoh dalam ceritera,"
sambung Jatilawang kemudian. "Kalau begitu tentunya Angger mengenal tokoh-tokoh wayang yang mempunyai darah bayu. Sebutkanlah beberapa di antaranya." "Mereka adalah Batara Bayu, Anoman, Werkudara,
Liman Situbanda dan lainnya maaf, saya agak lupa,
Bapak," kata Mahesa Wulung setengah malu.
"Heh, heh, heh, itu sudah cukup, Angger. Dan
ketahuilah, bahwa para darah bayu tadi dapat memakai dan mengendalikan jalannya angin dalam setiap gerak dan keperluannya.
Begitu pulalah dengan Ki
Buyut Ungaran. Beliau menggunakan unsur-unsur
angin dalam ilmunya yang dahsyat, seperti yang
Angger kenal dalam Bayu Rasa dan Bayu Bajra."
Mahesa Wulung mengangguk-angguk penuh pengertian akan segala tutur kata Ki Jatilawang atau yang lebih dikenal sebagai
Pendekar Bayangan. Juga
tentang pelajaran-pelajaran dasar yang diberikan oleh Jatilawang dalam aji
pukulan Angin Bisu telah benar-benar dipahaminya.
"Nah, Angger Mahesa Wulung," ujar Ki Jatilawang
kemudian setelah keduanya berdiam diri sesaat,
"marilah kita lanjutkan kembali latihan kita tadi."
"Baik, Bapak," Mahesa Wulung berkata sambil
bangkit dari duduknya. Demikian pula Jatilawang berdiri serta memakai kembali
kedok kainnya yang berwarna putih kelabu itu.
Maka sesaat kemudian halaman rumah di ujung
desa itu pun digetarkan kembali oleh pertarungan seru antara Mahesa Wulung
dengan Pendekar Bayangan.
Meskipun keduanya tidak bertarung sebagai musuh,
namun mereka sangat sungguh-sungguh melatih ilmunya, sehingga tampaknya di halaman rumah itu
tengah berlangsung pertempuran yang sesungguhnya.
Mahesa Wulung terkejut bila suatu ketika ia mendapat serangan pukulan tangan dari Pendekar Bayangan yang sangat cepat datangnya. Tapi dengan
tangkasnya Mahesa Wulung mengelak ke kiri, berbareng itu pula ia menyabetkan pukulan sisi telapak
tangan kirinya ke arah tangan Pendekar Bayangan
yang belum sempat ditarik kembali.
Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Plaak! Kedua tangan itu saling membentur dan
keduanya tergetar olehnya.
Pendekar Bayangan tersenyum di balik topengnya.
"Heh, heh, heh, bagus, Angger. Kau mulai menguasai Bayu Bajra dengan baik. Nah,
hati-hatilah aku akan menggunakan pukulan Angin Bisu. Perhatikanlah
baik-baik agar engkau pun bisa mengetrapkannya
secara sempurna."
Habis berkata Pendekar Bayangan melancarkan
pukulan Angin Bisunya secara cepat ke arah Mahesa
Wulung. Untuk serangan inipun Mahesa Wulung ternyata telah bersiaga pula. Begitu pukulan Angin Bisu hampir menghempas dirinya,
Mahesa Wulung secepat
kilat melentingkan tubuhnya ke udara, dan akibatnya pepohonan di belakang tubuh
Mahesa Wulung terom-bang-ambing meliuk kesana kemari serta berontokan
daunnya. Itulah akibat pukulan Angin Bisu dari Pendekar Bayangan. Memang
sesungguhnya dalam latihan
ini Pendekar Bayangan hanya separo tenaga dalam
melatih dan melancarkan pukulan-pukulan Angin Bisu kepada Mahesa Wulung, sebab
ia kuatir kalau-kalau
muridnya ini akan cedera karenanya.
Dalam pada itu sambil melayang turun ke bawah,
Mahesa Wulungpun melancarkan pukulan Angin Bisu
yang telah dipelajari, ke arah Pendekar Bayangan.
Tetapi dengan gerak yang lincah pula guru Mahesa
Wulung ini berjumpalitan ke belakang mengelakkan
pukulan muridnya dan akibatnya, rumput batu-batu
kerikil serta debu berhamburan ke udara seperti
terhempas oleh putaran angin lesus.
Melihat ini, dada Pendekar Bayangan bergelora
penuh rasa bangga. Ia sama sekali tidak mengira kalau muridnya ini dapat
menguasai dasar-dasar pukulan
Angin Bisu serta ilmu Bayu Bajra dalam waktu yang
sedemikian singkatnya. Maka ia diam-diam mengucap
syukur kepada Tuhan Yang Maha Besar bahwa ia
sempat menyelamatkan pemuda itu dari cengkeraman
Ki Topeng Reges.
Muridnya itu kini betul-betul merupakan banteng
muda yang perkasa dan tangkas. Sepasang tangannya
yang dihiasi oleh otot-otot dan urat-urat darah dengan lincahnya melancarkan
pukulan-pukulan hebat yang
menimbulkan hempasan-hempasan angin yang mendesau, sedang kakinya sanggup tegak di atas tanah
laksana tonggak-tonggak baja yang jauh menghunjam
di dalam tanah, tak tergoyangkan oleh getaran-getaran serangan gurunya.
Tetapi Pendekar Bayangan justru merasa senang
dengan serangan-serangan muridnya, sebab secara
tidak langsung iapun dapat berlatih serta menyempur-nakan bagian-bagian yang
lemah dari ilmunya itu. Karena itu, latihan tersebut berlangsung dengan serunya.
Keduanya masing-masing mempunyai kekuatan-kekuatan yang cukup seimbang.
Gerakan Pendekar Bayangan makin lama semakin
bertambah cepat dan lincah melingkar-lingkar sambil sekali-sekali menyerang
muridnya. Sungguh membingungkan pandangan gerak-gerak itu, tak ubahnya
gerakan sebuah bayangan. Tetapi Mahesa Wulung pun
dapat menanggapinya dengan baik. Ia pun lebih waspada dengan matanya, sehingga ke mana pun Pendekar Bayangan itu melontar dan menyerang, ia senantiasa siap menghadapinya.
Dalam pada itu, di antara deru angin pertarungan
antara guru dan murid, tiba-tiba menyeliplah sebuah
alunan lagu dandanggula yang dibawakan oleh gesekan senar-senar rebab dengan merdunya. Lagu tadi seolah-olah merupakan curahan
isi hati yang menyayat-nyayat terbawa oleh angin dan kemudian ikut melingkar
bersama-sama gerakan kedua orang yang
tengah berlatih itu. Karuan saja Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung menjadi
terpengaruh oleh alunan
nada rebab itu, sehingga gerak-gerak mereka seperti menjadi lamban. Mereka sibuk
bertanya-tanya dalam
hati, siapakah gerangan orang yang menggesek rebab di malam begini sepi ini. Dan
anehnya, suara rebab tadi terasa sangat dekat.
"Berhenti dulu, Angger!" ujar Pendekar Bayangan
kepada Mahesa Wulung dan keduanyapun menghentikan latihannya.
Mereka kemudian mengawasi segenap sudut halaman dan ke pepohonan untuk mencari sumber suara
dari gesekan rebab tadi.
"Hmm, waspadalah Angger, ini pasti perbuatan
orang yang sakti! Agaknya dia menginginkan latihan kita terhenti. Hah, apakah
maksud dia yang sesungguhnya?" gumam Pendekar Bayangan sambil memasang telinganya tajam-tajam.
"Tetapi rupanya ia tidak bermaksud jahat, Bapak.
Kalau ia mau menyerang kita pasti sudah dilakukannya semenjak tadi," sela Mahesa Wulung pula.
"Betapapun begitu, aku masih kurang senang,
Angger. Sebab secara tidak langsung ia telah mengganggu latihan kita," ujar Pendekar Bayangan kemudian, dan sesaat kemudian setelah ia mendapat kepastian, tiba-tiba ia menunjuk
ke atas, ke arah dahan pohon beringin yang tumbuh menaungi sebagian dari
halaman rumah itu.
"Hee, Kisanak! Hentikan gesekan rebabmu itu! Dan
lekas turun kemari! Apa maksudmu mengganggu latihan kami?"
Mahesa Wulung tak tinggal diam. Ia pun melihat ke
atas dahan beringin itu, dan terlihatlah olehnya
seorang yang berperawakan sedang agak kurus,
dengan asyiknya menggesek rebab di tangan. Begitu
asyiknya sehingga ia seolah-olah tidak memperdulikan seruan Pendekar Bayangan.
Melihat hal ini, Pendekar Bayangan merasa jengkel, maka tiba-tiba ia melancarkan
serangan pukulan ke
atas ke arah dahan yang diduduki oleh si penggesek rebab itu!
Krak! Dahan beringin itu patah dan dengan lincah
orang itu bertengger kembali ke dahan yang lain.
Mahesa Wulung sangat terkejut dengan gerakan si
penggesek rebab yang amat lincah.
Dan lebih mengejutkan lagi, Pendekar Bayangan
sekali lagi melancarkan pukulan Angin Bisunya ke
atas. Kembali dahan tersebut berderak patah. Tetapi kembali si penggesek rebab
melontarkan diri ke dahan yang lain, seolah-olah ia tak ambil pusing dengan
kedua orang yang berada di bawah itu. Ia kembali
menggesek rebabnya.
Begitulah, setelah beberapa kali Pendekar Bayangan menyerang dan sudah lima
dahan beringin yang
dipatahkan, si penggesek rebab tiba-tiba bergerak
turun. Tapi anehnya ia bukan meloncat melainkan ia berjalan pada batang pohon
beringin itu. Kakinya
seakan-akan melekat pada kulit pohon, seperti mempunyai perekat, sehingga ia berjalan dengan seenaknya. Dan lebih aneh lagi, ia
dapat berjalan dengan tetap tegak meskipun ia berjalan pada batang yang
tumbuh lurus, tegak ke atas langit. Dengan demikian ia seolah berjalan miring!
"Aji Ciret Gombel!" desis Pendekar Bayangan.
Begitu tiba di tanah, orang ini langsung menyerang Pendekar Bayangan dengan
pukulan rebab dan alat
penggeseknya yang masing-masing terpegang erat di
kedua tangannya.
Berbareng itu pula Pendekar Bayangan telah bersiaga. Ia menyambar tongkat kayunya yang tersandar di pagar bambu. Maka sebentar
saja mereka telah terlihat dalam pertempuran dahsyat. Mereka sama-sama tangguhnya. "Tenaga Anda sungguh hebat, Kisanak! Sebab tak
pernah ada orang yang sanggup menahan benturan
tongkat kayuku ini lebih dari lima kali!" ujar Pendekar Bayangan sambil terus
bergerak lincah. "Kecuali Anda seorang!"
"Kalau begitu akulah yang beruntung, sebab aku
dapat pelajaran yang lebih berharga dari Pendekar
Bayangan, ha, ha, ha," si penggesek rebab tertawa
nyaring. Mereka bertempur kembali dengan seru. Terjang
menerjang, tangkis-menangkis dengan senjatanya. Alat musik rebab dan
penggeseknya yang tergenggam erat
di tangan orang itu merupakan dua penggada yang
ampuh, bergerak susul-menyusul menyerang ganas ke
arah Pendekar Bayangan. Namun pendekar berkedok
ini pun tak kalah hebatnya. Tongkat kayunya berputar laksana kitiran memapaki
setiap serangan lawan,
sehingga sedikit demi sedikit si penggesek rebab tadi terdesak surut oleh
Pendekar Bayangan.
Merasa terdesak, si penggesek rebab mempergencar
serangan serta gerakannya sampai akhirnya mereka
mencapai kedudukan yang cukup seimbang. Meskipun
begitu, ia mengagumi gerak Pendekar Bayangan yang
mampu bergerak secepat bayangan berkelebat.
Ketika menginjak jurus yang keempat puluh lima,
tiba-tiba si penggesek rebab melontarkan diri ke belakang disertai nafasnya yang
terlonjak-lonjak.
"Tahan!" seru si penggesek rebab kepada Pendekar
Bayangan dan pendekar inipun menghentikan serangannya. Kini kedua orang itu berdiri berhadapan dengan
gagahnya, saling memandangi tubuh lawannya
masing-masing. "Heei, kita cukup seimbang, bukan" Tapi mengapa
Kisanak ingin menyudahi permainan kita ini?" seru
Pendekar Bayangan bernada keheranan.
"Maaf, sebenarnya aku ingin melanjutkannya. Aku
bangga karena Kisanak telah menambah pengalaman
si penggesek rebab yang berotak tumpul ini. Ha, ha, ha," ujar si penggesek rebab
itu. "Namun sesungguhnya aku tidak ingin bertempur lebih lanjut melawan Anda,
sebab memang semula aku tak bermaksud
demikian itu."
"Apa maksud Kisanak?" tanya Pendekar Bayangan.
"Dan siapa pula nama Andika ini"!"
"Kisanak berdua boleh menyebutku Ki Rebab
Pandan. Aku datang dari Padepokan Gunung Merapi,"
ujar orang itu disertai senyuman ramah. "Memang ada sesuatu yang ingin aku
tanyakan kepada kisanak
berdua." Mendengar Ki Rebab Pandan menyebut nama Padepokan Gunung Merapi, Mahesa Wulung menjadi teringat akan lelakon Landean Tunggal yang penuh penderitaan akibat keganasan dan
balas dendam Ki
Topeng Reges yang terkenal ganas itu.
"Apakah Kisanak murid dari Panembahan Jatiwana?" satu pertanyaan meluncur dari bibir Mahesa
Wulung, membuat Ki Rebab Pandan terlonjak kaget
setengah mati, sebab ada orang asing yang telah
menyebut nama gurunya.
"Hah, Andika telah menyebutnya" Agaknya Andika
pernah mendengar dari mulut orang-orang tua."
"Benar. Bahkan aku mengenal baik akan pendekar
Landean Tunggal, seorang murid Panembahan Jatiwana yang berbudi baik dan seorang muridnya lagi yang berkelakuan buruk, yakni
Umpakan atau yang bergelar Ki Topeng Reges."
"Hebat! Andika telah berceritera dengan tepat!" seru Ki Rebab pandan lebih kagum
lagi. "Dan sekarang, Ki Topeng Reges sering mengganas
di daerah Demak," sambung Mahesa Wulung pula.
"Heh, heh, heh. Rupa-rupanya kita ini pasangan
yang cocok sekali. Masing-masing punya simpanan
ceritera-ceritera yang hebat," sela Pendekar Bayangan.
"Jika demikian, marilah kita masuk ke dalam rumah, agar ceritera-ceritera kita
lebih nikmat didengar. Dan lagi kami masih ada ubi rebus serta wedang jahe.
Lumayan buat mencegah kantuk."
"Terima kasih, Kisanak," ujar Rebab Pandan sambil
melangkah menuruti Pendekar Bayangan yang telah
melangkah ke arah pintu masuk rumah berdinding
anyaman bambu. Di belakangnya menyusul pula Mahesa Wulung. Maka sepilah kembali halaman rumah. Tampak
Pendekar Bayangan, Ki Rebab Pandan dan Mahesa
Wulung duduk di balai-balai serta beramah tamah.
Ketiganya saling memperkenalkan diri.
Namun Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung
menjadi sangat tertarik, bila Ki Rebab Pandan akan mulai menceriterakan segala
lelakonnya, terutama
kisah tentang Panembahan Jatiwana dengan kedua
muridnya yang berbeda watak itu.
Hingga di sinilah berakhir cerita "Munculnya
Pendekar Bayangan" dan selanjutnya akan datang
mengunjungi Anda ceritera dari Seri Naga Geni yang ketujuh dengan judul: "Bara
Api Di Laut Kidul".
TAMAT E-Book: Abu Keisel
Scan/Edit: Clickers
Document Outline
1 *** 2 *** 3 *** 4 *** TAMAT Makam Asmara 2 Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas Penobatan Di Bukit Tulang Iblis 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama