Ceritasilat Novel Online

Mustika Serat Iblis 1

Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 SEBUAH kedai di sudut jalan itu tak pernah sepi
pengunjung. Bahkan sampai jauh malam kedai itu masih buka. Bukan hanya karena
kedai itu menyediakan
berbagai macam makanan dan minuman, tapi karena
kedai itu mempunyai pemanis.
Rusminah, anak gadis Ki Sumowito, pemilik kedai
itu, adalah daya tarik utama bagi para pengunjung kedai.
Rusminah perawan desa yang cantik dan menarik hati. Ia ramah dan murah senyum,
sehingga pembeli di kedai itu merasa ketagihan. Sekali mereka datang, esoknya
ingin kembali datang.
Menurut kabarnya, Rusminah bukan hanya cantik
tapi juga pandai memasak. Apa saja yang dimasaknya
selalu terasa lezat bagi para pembelinya. Entah karena memang Rusminah pandai
memasak atau karena
kecantikannya itu yang mempengaruhi setiap masakan
menjadi lezat, yang jelas setiap pembeli betah
nongkrong di kedai Ki Sumowito sampai berlama-lama.
Salah satu pelanggan tetap kedai pojok itu adalah
seorang pemuda bertubuh tegap dan berwajah tampan, ia selalu kenakan pakaian
biru muda bersabuk kuning.
Rambutnya panjang lurus dan lemas, diikat kain kuning pula. Usianya sekitar tiga
puluh tahun, lima tahun lebih tua dari Rusminah sendiri. Pemuda ini selalu
memilih tempat paling sudut, dekat dengan jalan kecil menuju meja makanan.
Karena dari tempatnya itu, ia bisa
melihat Rusminah yang mondar-mandir melayani
pembeli. Jika Rusminah menatapnya, gadis itu selalu membalas senyuman kepada
pemuda tersebut.
Siang itu, Rusminah sibuk. Pembelinya banyak. Ki
Sumowito juga ikut sibuk membawanya ke meja
pembeli sambil sesekali terima gangguan-gangguan
kecil yang sudah tak asing lagi baginya. Pemuda
berpakaian biru muda itu pun sudah ada di pojok sejak tadi. Ia sudah
menghabiskan satu poci arak dan beberapa potong ketan bakar.
Kejap berikutnya, muncul tiga orang yang masih
asing wajahnya bagi penduduk desa itu. Bahkan para
pengunjung kedai merasa belum pernah berjumpa
wajah-wajah mereka bertiga.
"Mari, Kang... silakan duduk! Masih ada tempat di sebelah situ, Kang!" sambut
Rusminah dengan ramah.
Tapi ketiga tamunya itu berwajah angker. Tak ada yang tersenyum sedikit pun.
Mata mereka memandang
sekeliling, seolah-olah tiap wajah dipandanginya secara teliti.
"Mungkin mereka mencari seseorang yang jadi
musuhnya!" bisik Ki Sumowito kepada anak gadisnya.
"Hati-hati, Nduk... jangan terlalu dekat ke sana! Nanti kalau mereka pesan
makanan dan minuman biar aku saja yang layani!"
"Iya. Aku juga ngeri lihat yang berwajah codet itu.
Angker sekali, Pak! Jangan-jangan dia baru bangkit dari kubur"!"
"Ssst...! Jangan keras-keras bicaramu, nanti didengar mereka!" Ki Sumowito
segera sentakkan pakaian
Rusminah sebagai tanda kecemasannya.
"Agaknya mereka tuli, Pak. Buktinya kusuruh duduk di tempat yang masih kosong,
mereka masih saja berdiri cari-cari tempat!"
"Bukan cari-cari tempat, tapi cari-cari perkara! Ia pandangi mereka satu
persatu, kalau ada yang
tersinggung pasti mereka bertiga sudah siap menghadapi orang yang tersinggung
itu!" "Ah, hatiku jadi tak enak kalau begini, Pak. Mestinya Bapak kasih tulisan di
depan pintu masuk sana 'wajah angker dilarang masuk' gitu, Pak! Jadi mereka tak
masuk kemari"
"Ssst...! Sudah, sudah... jangan pandangi mereka.
Mereka sedang melirikmu!" Ki Sumowito buru-buru melakukan sesuatu biar kelihatan
sibuk, demikian pula dengan Rusminah.
Si wajah codet tiba-tiba menggebrak meja kosong.
Brakkk...! Beberapa orang tersentak kaget. Setiap mata palingkan pandang ke arah
si wajah codet yang berseru,
"Minta arak tiga poci, dan ciu Mataram tiga poci!"
"Baik, Kang. Segera kami siapkan!" jawab Rusminah sambil paksakan senyum supaya
bikin senang ketiga
orang angker itu. Sementara itu, di sisi lain ada yang berbisik-bisik,
"Gila! Mereka hanya bertiga tapi pesan minuman langsung enam poci! Mau diminum
atau buat kumur-kumur saja itu minuman"!"
"Pasti mereka para setan arak yang tak pernah mabuk walau minum sepuluh poci
pun! Apalagi yang dipesan
adalah ciu Mataram! Aku saja yang sudah biasa minum, kalau sudah kena setengah
cangkir ciu Mataram, sudah tak bisa melihat orang dengan jelas. Tapi mereka mau
menghabiskan satu poci arak dan satu poci ciu Mataram tiap orang, itu benarbenar hebat!"
"Jangan-jangan mereka tidak mabuk, tapi langsung pingsan satu-persatu" Hi hi
hi...!" Orang yang tertawa cekikan itu segera berhenti
karena si wajah codet memandangnya dengan mata
tajam dan berkesan angker. Orang ini mengenakan baju merah model rompi tapi
panjang sampai bawah
pusarnya. Diberi sabuk hitam, sesuai dengan warna
celananya. Selain punya codet miring di pipi kanannya, juga bermata besar
melotot bagai mau keluar saja biji mata itu. Tubuhnya besar, rambutnya panjang
diikat kain pu-tih. Rambut itu acak-acakan hingga kepalanya
tampak besar, ia mengenakan cincin yang terbalik, batu
cincin itu ada di telapak tangan, warnanya merah,
besarnya seukuran permukaan jempol tangan.
Orang inilah yang masuk pertama kali ke dalam
kedai, lalu diikuti kedua orang di belakangnya.
Masuknya orang ini telah membuat suasana kedai tidak lagi meriah. Yang tertawa
menjadi diam, yang bicara keras segera kecilkan suara, yang semula merasa santai
sekarang merasa tegang. Bahkan yang sejak tadi
menggoda Rusminah, kali ini jadi diam tak berani
melanjutkan celoteh godaannya.
Pemuda tampan yang sejak tadi tetap tenang itu
memanggil Rusminah dengan isyarat tangan. Rusminah
mendekat dan duduk di samping pemuda berbaju biru
itu. "Suruh orang-orang ini tinggalkan kedaimu untuk sementara waktu."
"Kenapa begitu?"
"Ketiga tamu yang baru datang itu akan bikin onar di sini dan sedang cari-cari
perkara! Bisiki mereka satu persatu supaya cepat tinggalkan kedaimu ini!"
Tiba-tiba si wajah codet berseru kepada Rusminah,
"Hai, Perempuan cantik! Kerjamu melayani semua tamu di sini! Bukan hanya satu
tamu saja! Coba kau
kemari...!"
"Iyy... iya, sebentar! Sebentar, Kang!"
"Cepat kemari!"
Brakkk...! Si wajah codet menggebrak meja lagi.
"Kalau dipanggil Garong Codet jangan menunda-nunda, tahu"!"
Rusminah segera datang dengan rasa takut yang
disembunyikan. Tapi mereka menjadi tahu, bahwa orang berwajah codet yang angker
itu berjuluk Garong Codet.
Sesuai dengan namanya.
Dengan suara lantang, Garong Codet ucapkan kata
kepada Rusminah,
"Siapa namamu, Cah Ayu..."!"
"Rusminah, Kang!"
"Bagus! Begini, Rus..., kalau sekiranya di kedai ini ada orang yang tidak suka
pada kehadiranku, suruh dia berdiri dan panggil namaku dari tempat duduknya!
Kedua sahabatku ini, Tikus Ningrat dan Setan Culik, akan siap menjemput orang
itu dari tempat duduknya!"
Sambil berkata begitu, mata lebar Garong Codet
sebentar-sebentar melirik ke arah pemuda tampan
berbaju biru. Si pemuda tampan tahu dirinya sedang
dipancing dan disindir, tapi ia tidak tanggapi sindiran dan pancingan itu. Ia
meneguk minumannya dengan
tenang. Rusminah berkata dengan ramah paksaan, "Kurasa di sini tidak ada yang tidak suka
padamu, Kang! Mereka punya urusan masing-masing, jadi mereka tidak
pedulikan urusanmu, Kang."
"Aku cuma ingatkan padamu! Kalau kamu dengar
ada yang kasak-kusuk merasa tak suka dengan kehadiran kami, suruh dia berdiri!"
"Baik, Kang. Nanti akan kusampaikan padamu jika ada yang tak suka dengan
kehadiran Kang Garong
Codet!" "Bagus, bagus...!" Garong Codet sunggingkan senyum, bukan jadi tampan tapi
tambah angker, ia
tepuk-tepuk pipi Rusminah seenaknya saja. Hal itu
membuat pemuda yang duduk di pojokan jadi panas hati.
Namun ia bisa kendalikan nafsu amarahnya, ia tetap tenang dan meneguk minumannya
lagi. Orang yang dijuluki Tikus Ningrat itu memang
wajahnya mirip tikus. Wajah itu runcing, dagunya maju ke depan, hidungnya
mancung, tapi pipinya kempot.
Usianya sekitar lima puluh tahun, sebaya dengan usia Garong Codet. Matanya
kecil, alisnya tipis, kumisnya hanya beberapa lembar dan kaku. Pakaiannya abuabu, rambutnya panjang kucal, sering meriap ke depan karena tidak kenakan ikat
kepala. Mulutnya terkesan lancip karena ada sebagian gigi yang menjorok ke
depan. Tubuhnya kurus kering, menyandang golok di
pinggangnya. Yang punya nama julukan Setan Culik itu juga
bertubuh kurus, tapi lebih pendek dari si Tikus Ningrat.
Rambutnya cepak kaku, usianya sekitar empat puluh
tahun. Setan Culik punya wajah aneh, hidung kecil bulat, mata bundar licik, alis
tebal, pipi tembem mirip bakpau.
Kulitnya lebih gelap dari kulit kedua rekannya, ia
mengenakan baju hijau tanpa lengan dan celana abu-abu kusam. Di lengannya ada
gambar tato berbentuk centong nasi bersayap. Entah apa maksud gambar itu.
Ketiga orang bertampang angker itu sebentarsebentar melirik ke arah meja pojok. Pemuda tampan itu rupanya sedang jadi bahan
kasak-kusuk mereka. Si
pemuda diam saja. Tapi pada saat Tikus Ningrat angkat poci untuk tuangkan
minuman, tiba-tiba poci itu
tersentak ke samping dan jatuh bagai ada yang
menamparnya. Prangngng...!
Tikus Ningrat kaget, demikian pula Garong Codet
dan Setan Culik. Mulanya mereka berdua tak terlalu
pikirkan tumpahnya poci tersebut. Tapi Tikus Ningrat segera berbisik,
"Kurasakan ada gerakan angin yang menampar
pociku tadi!"
"O, benar begitu?" Setan Culik mulai curiga.
"Pasti ada orang berilmu tinggi di sini!" bisik Tikus Ningrat lagi. Lalu, Garong
Codet melirikkan matanya ke arah pemuda tampan itu, namun si pemuda memandang
ke arah lain, seakan tidak memperhatikan tiga manusia berwajah angker itu.
Tangan si pemuda menggaruk-garuk kepala. Wajahnya kelihatan biasa-biasa saja.
Lalu Garong Codet pandangi orang-orang di sekelilingnya.
Si pemuda melihat Setan Culik ingin menyantap
ketan bakarnya. Tapi belum sampai ketan bakar itu
dicaploknya, tiba-tiba tangan Setan Culik tersentak ke samping dan ketannya
jatuh di lantai. Plukkk...! Hal itu membuat Tikus Ningrat dan Garong Codet
terkesiap sejenak. "Ada tenaga yang menampar tanganku," kata Setan Culik dengan suara geram menahan
jengkel. Matanya
segera dipandangkan kearah si pemuda tampan. Pemuda itu biasa-biasa saja. Bahkan
dengan kalemnya dia
menuang minuman lagi ke cangkir untuk diteguknya.
Tapi tiba-tiba sebuah sentakan tak terlihat diarahkan kepadanya. Sentakan jarak
jauh itu dilakukan oleh Tikus Ningrat. Mestinya tangan si pemuda yang mau
mengangkat cangkir itu tersentak dan cangkirnya
terlempar. Tapi nyatanya pemuda itu tetap mengangkat
cangkirnya dengan pelan-pelan, seakan melawan suatu hal yang membuat berat
gerakannya. Akhirnya ia
berhasil minum dengan cangkir itu, walau gerakannya sangat lamban.
"Tak salah lagi," bisik Tikus Ningrat. "Pemuda itu berilmu tinggi. Dia bisa
melawan tenaga sentakanku dari jarak jauh."
"Kalau begitu, dialah orang yang kucari!" bisik Garong Codet dengan suara gemas,
tapi bernada girang juga. "Tapi siapa tahu di sini ada lebih dari satu orang
berilmu, jadi kita tidak perlu susah-susah mencarinya!"
Kemudian semua orang satu persatu dipandangi oleh
Garong Codet. Ia tahan napas diam-diam, dan gerakan telapak tangannya di bawah
meja bagaikan menekan
sesuatu. Terjadi suatu keanehan. Mereka yang ada di kedai
menjadi bingung. Cangkir mereka tak bisa diangkat.
Sepertinya terpatri dengan meja. Bahkan pisang goreng, ubi rebus, dan makanan
lainnya tak bisa diangkat dari tempatnya. Seakan semua makanan punya daya rekat
yang amat kuat. Bahkan sebuah kerupuk pun tak bisa
diambil dari dalam kalengnya. Pisang, tak bisa dipulir dari tandannya. Mereka
saling berkasak-kusuk gemuruh
seperti lebah bergaung. Tikus Ningrat dan Setan Culik cekikikan. Hanya mereka
berdua yang bisa mengangkat cangkir dan meneguk minumannya. Mereka tahu, ini
ulah Garong Codet.
Tetapi mereka terkejut melihat pemuda itu dengan
entengnya melakukan apa saja yang ingin dilakukan, ia dapat dengan mudah
mengangkat cangkirnya,
mengambil ubi goreng, bahkan sempat berjalan memetik pisang di meja depan dan
mengupasnya dengan tenang
sekali. Sepertinya tak mengalami hal aneh seperti yang dialami oleh pengunjung
kedai lainnya itu.
"Nah, jelas hanya dia yang berilmu tinggi, Tikus Ningrat!" bisik Garong Codet.
"Yang lainnya tak bisa angkat makanan ataupun barang apa pun di depan
mereka, tapi anak muda itu bisa melakukan dengan
mudah. Jika tidak berilmu tinggi, dia tidak akan mudah memetik pisang dari
tandanannya. Lihat, dia tuangkan poci ke dalam cangkir dengan mudah sekali!
Jelas dia orang yang kucari untuk tumbal cincinku ini! Pancing dia, Setan
Culik!" "Beres! Aku sudah punya cara untuk
memancingnya!" kata Setan Culik, lalu bergegas bangkit dan mendekati Rusminah
yang ada di balik meja
dagangan. "Rus, apa di sini ada kamar kosong?"
"Hmmm... iya, ada! Kenapa, Kang?"


Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ingin istirahat sebentar di kamar itu. Berapa sewanya?"
Ki Sumowito yang menjawab, "Kami tidak sewakan
kamar itu, tapi kalau kau ingin pakai untuk istirahat, silakan pakai!"
"Aku ingin istirahat di kamar itu, tapi harus ditemani dengan anakmu, Pak Tua!"
"Ha ha ha ha ha...!" Tikus Ningrat serukan tawa bersama Garong Codet. Tawa yang
pecah dan serak,
sangat tak enak didengar itu, ternyata telah membuat telinga pemuda tampan merah
bagai digosok pakai
amplas. Tapi ia masih tetap tenang.
"Ayo, temani aku istirahat sebentar, Rus...!" tangan Setan Culik segera meraih
tangan Rusminah. Tentu saja gadis itu segera sentakkan tangannya.
"Jangan begitu, Kang! Aku bukan wanita penghibur!"
"Sekali-sekali menghibur tamu kan tak apa-apa, Rusminah. Biar langgananmu makin
banyak! Ha ha ha
ha...!" tangan Setan Culik meremas dada. Rusminah memekik kaget dan pucat
wajahnya. "Aaah...!"
Melihat kelakuan seperti itu di depan matanya,
pemuda tampan itu tak bisa menahan kesabaran lagi. Ia segera berdiri dan
mencekal punggung baju si Setan
Culik, kemudian melemparkan tubuh itu hingga
melayang dan jatuh di meja depan Garong Codet.
Brakkkk....! Terkejut Garong Codet dan Tikus Ningrat melihat
temannya dilemparkan begitu saja oleh si pemuda
tampan. Terkejut pula semua tamu di kedai itu. Mereka mulai menyingkir satu
persatu. Terdengar suara Rusminah yang ketakutan berkata
kepada pemuda itu.
"Soka Loka...! Sudahlah, jangan layani mereka!"
Tapi pemuda yang bernama Soka Loka itu tidak
pedulikan ucapan Rusminah. Arak yang diteguknya
mempengaruhi keberanian dan kesabarannya. Soka Loka cepat melompati meja
dagangan dan dalam kejap berikut sudah berada di depan meja dagangan, menghadap
tegap ke arah ketiga manusia berwajah angker itu.
"Siapa kau"! Berani-beraninya kau berbuat tak sopan terhadap temanku ini, hah"!"
bentak Garong Codet, matanya melotot bagai ingin lompat dari kelopaknya.
"Temanmu yang lebih dulu bertindak tak sopan!
Sekarang apa mau kalian sebenarnya"!" tantang Soka Loka.
"Mauku memenggal kepalamu!" jawab Garong Codet dengan keras.
"Kalau begitu, silakan keluar lebih dulu dari kedai ini! Kita bertarung di luar
kedai, supaya tidak merugikan Ki Sumowito!"
Garong Codet segera berkata kepada kedua rekannya,
"Tikus Ningrat, Setan Culik, hadapi dia di luar!"
"Hiaaat...!" Tikus Ningrat mau bergerak menyerang, tapi punggungnya segera
dicengkeram Garong Codet, ia dibentak,
"Kataku di luar! Bukan di sini!"
"O, iya...! Baik. Aku tunggu di luar!" Tikus Ningrat kendorkan ketegangannya,
kemudian ia lompatkan diri melalui dinding kedai yang hanya separo bagian itu.
Wuttt...! Ia sudah berada di luar kedai. Setan Culik
menyusulnya. Soka Loka tetap berdiri di tempat. Garong Codet
berkata, "Lihat, kedua temanku sudah ada di luar!
Mereka siap menghadapi tantanganmu!"
"Aku memilih melawanmu lebih dulu. Hiaaah...!"
Soka Loka sentakkan tangannya dan sebuah pukulan
tenaga dalam cukup besar terlepas dari telapak tangan itu. Wusss...!
Bueggh...! Garong Codet terkena dadanya. Tubuh besarnya
terhempas menerjang bangku dan meja di belakangnya, ia tak menyangka akan datang
serangan secepat itu. Ia menjadi malu, karenanya ia geram dan marah sekali.
Cepat-cepat ia bangkit dengan mata semakin ingin
lompat dari dalam kelopaknya.
"Bangsat kau!"
Dihantamnya Soka Loka dengan tangan kiri
bertenaga dalam. Soka Loka tidak menghindar, karena ia tahu jika menghindar,
maka Rusminah dan Ki Sumowito yang ada di belakangnya akan jadi sasaran pukulan
tenaga dalam yang berbahaya itu. Maka, Soka Loka
menahan pukulan itu dengan telapak tangannya di dada.
Ia dorong kekuatan yang mendesaknya dengan kuat itu.
Ia kerahkan tenaga dalamnya sampai kedua kakinya
gemetaran. Tapi tiba-tiba, tangan kanan Garong Codet segera
diangkat ke atas. Cincin merah yang ada di telapak
tangan kanan itu pantulkan cahaya sinar matahari.
Pantulan itu segera dikibaskan ke arah leher Soka Loka.
Clapp...! Crasss...! "Aaaa...!" bukan Soka Loka yang menjerit, tapi Rusminah. Perempuan itu menjerit
sekuat tenaga karena melihat kepala Soka Loka jatuh menggelinding
terpotong rapi tanpa darah menyembur. Pemandangan
yang amat mengerikan dan di luar dugaan itu yang
membuat Rusminah menjerit sekeras-kerasnya sambil
memeluk ayahnya.
"Siapa lagi yang mau coba rasakan Cincin Mustika Serat Iblis-ku ini"!" sentak
Garong Codet sambil pandangi semua orang yang berkerumun di luar kedai.
Yang di dalam kedai sudah tak ada.
"Ayo, siapa lagi yang mau persembahkan kepalanya untuk kupenggal dengan Cincin
Mustika Serat Iblis ini"!
Mumpung masih butuh banyak tumbal! Silakan maju
yang bersedia melawanku!"
Tak ada yang berani buka suara. Mereka semua bagai
terpaku di tempat dengan kedua kaki gemetaran.
Sementara itu, kepala Soka Loka tergeletak kaku di
bawah kaki bangku, badannya jatuh di lantai.
Ki Sumowito merasa heran dan takjub terhadap
cincin yang bernama Mustika Serat Iblis itu. Padahal Soka Loka dikenal sebagai
pemuda tangkas berilmu
tinggi, murid dari Eyang Danujaya yang terkenal bijak dan sakti itu. Semudah itu
Soka Loka dipenggal pakai sinar cincin tersebut. Berarti kekuatan yang terpancar
di dalam Cincin Mustika Serat Iblis itu sungguh dahsyat.
* * * 2 SALAH seorang murid rendahan Eyang Danujaya
melihat peristiwa pemenggalan kepala Soka Loka.
Segera sang murid yang bernama Tuban itu menemui
Eyang Danujaya di padepokan. Padepokan itu tak jauh letaknya dari desa tempat
kedai Rusminah berada.
Hanya menyeberangi persawahan beberapa bentangan
sudah sampai ke padepokan Eyang Danujaya. Sejak
Eyang Danujaya mendirikan padepokan di situ, keadaan desa tersebut menjadi aman.
Baru sekarang terjadi
kerusuhan yang begitu menggemparkan seluruh
masyrakat desa.
Tuban menghadap Eyang Danujaya pada saat di
paseban terjadi perbincangan antara Eyang Danujaya
dengan ketiga murid unggulan, yaitu Jayengrono, Randu Galak, dan Roro Manis.
Sebenarnya, jika sedang terjadi satu pembicaraan di paseban, tak ada murid yang
berani datang mengganggu atau menyela pembicaraan Eyang
Danujaya. Tetapi agaknya kali ini Tuban sengaja
memberanikan diri menghadap Eyang Danujaya dengan
wajah pucat dan napas terengah-engah tegang.
"Ampun, Guru! Saya terpaksa menghadap! Sangat
terpaksa, Guru!"
Semua orang yang ada di situ sama-sama kerutkan
dahi pandangi Tuban. Terutama Eyang Danujaya,
memandang agak lama seperti sedang meneropong hati
dan pikiran Tuban, setelah itu bertanya dengan suaranya yang bernada bijak,
"Ada apa, Tuban" Kau sangat ketakutan sekali
kelihatannya!"
"Saya mau laporkan tentang Kakang Soka Loka,
Guru!" "Soka Loka"! Ada apa dengan Soka Loka?"
"Kakang Soka Loka... tewas, Guru!"
"Hah..."!" Roro Manis, Randu Galak, dan Jayengrono sama-sama tersentak kaget dan
mata terbelalak lebar.
Eyang Danujaya hanya kerutkan dahi sedikit.
Matanya menyipit. Lalu ia tarik napas dan hempaskan pelan-pelan. Duduknya tetap
tegak bersila. Matanya
lurus ke depan bagai menerawang. Kejap berikutnya,
terdengar suara Randu Galak ajukan tanya pada Tuban,
"Siapa yang membunuh Soka Loka"! Siapa, hah"!"
Sentakan suara Randu Galak yang sudah menjadi ciri
khas kegalakannya itu membuat Tuban gemetar dan
tergagap-gagap sebentar. Setelah itu, barulah Tuban bisa menjawab dengan lancar,
"Tiga orang datang ke kedai Ki Sumowito. Salah satunya bernama Garong Codet,
dan...!" "Tunggu!" potong Eyang Danujaya. "Siapa nama orang itu?"
"Garong Codet, Guru!"
"Garong Codet"!" gumam Eyang Danujaya. "Kalau tak salah dia perampok dari tanah
seberang. Perampok kawakan yang licin dan sukar dibunuh! Hmmm...
teruskan ceritamu, Tuban!"
"Baik, Guru!" Tuban menelan ludahnya sendiri untuk atasi kegugupan dalam
penuturan ceritanya, ia berkata,
"Garong Codet berhasil memenggal kepala Kakang Soka Loka, Guru!"
"Kepala Soka Loka dipenggal"!" sentak Jayengrono dengan geram.
"Betul, Kang Jayeng!"
Eyang Danujaya menyahut, "Garong Codet memang
jago main pedang. Tak heran kalau Soka Loka
terpenggal kepalanya!"
"Tapi dia memenggal kepala Kakang Soka Loka
bukan dengan pedang, Guru," sanggah Tuban.
"Bukan dengan pedang" Lantas dengan apa?"
"Dengan sebuah cincin yang dipakainya terbalik.
Mata cincin ada di telapak tangan, Guru! Cincin itu berwarna merah bening.
Garong Codet menyebutnya
Cincin Mustika Serat Iblis!"
"Apa..."!" Eyang Danujaya tersentak kaget.
"Cincin Mustika Serat Iblis, Guru!" ulang Tuban menyangka gurunya kurang jelas
pendengarannya.
Danujaya tertegun dan terkunci mulutnya beberapa
saat. Para muridnya saling berwajah tegang, pandangi gurunya, menunggu ucapan
dari sang Guru. Tetapi sang Guru justru bangkit berdiri dan melangkah ke tepian
ruangan yang berdinding separo badan itu. Ia termenung beberapa saat di sana.
Tuban melanjutkan cerita
lengkapnya kepada Roro Manis dengan suara bisikbisik. Sejenak kemudian terdengar suara Eyang Danujaya
berkata, "Jayengrono, hadapi dia!"
"Baik, Guru!" jawab Jayengrono dengan patuh.
"Hati-hati! Hindari kilatan cahaya dari cincin itu!"
"Saya paham, Guru!"
"Seret dia kemari untuk kita adili. Tapi jika terdesak, bunuh dia di tempat
supaya aman Desa Sambiroto dan
sekitarnya!"
"Baik, Guru! Saya berangkat sekarang juga!"
Eyang Danujaya berbalik dan kini mengangguk
sambil pandangi Jayengrono yang segera tinggalkan
tempat. Pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun itu
mengenakan rompi hitam dan celana biru dengan ikat
pinggang kuning. Rambutnya cepak, badannya tinggi
tegap, ia bersenjatakan sabit kembar yang diselipkan di pinggang belakang.
Ketika meninggalkan tempat, tak
ada kesan ragu sedikit pun. Justru penuh semangat
dalam langkahnya.
"Guru," kata Randu Galak. "Mengapa Jayengrono yang harus menghadapi Garong
Codet"! Mengapa bukan
saya atau Roro Manis"!"
"Jayengrono punya jurus 'Gerak Petir', ia cukup lincah dan gesit. Mustika Serat
Iblis harus dilawan dengan orang yang mampu bergerak gesit. Jika Mustika Serat
Iblis memantulkan sinar matahari, atau sinar lampu minyak, dia akan bisa dipakai
memotong benda sekeras apa pun. Bahkan jika mendapat pantulan dari sinar
rembulan, dia dapat memotong gunung baja sebesar apa
pun. Itulah kehebatan Mustika Serat Iblis. Seorang
sahabatku yang bernama Ki Madang Wengi, punya
banyak cerita tentang Mustika Serat Iblis. Dan
menurutnya, hanya orang yang bisa bergerak gesit dan lincah yang bisa selamat
dari cahaya Mustika Serat
Iblis." Jayengrono memang punya gerakan gesit, karena dia
mempelajari jurus 'Gerak Petir', ia mampu melesat ke sana kemari dan sukar
diikuti pandangan mata.
Karenanya, Jayengrono sendiri tak merasa gentar
mendapat perintah untuk melawan Garong Codet.
Waktu Jayengrono tiba di kedai Rusminah, orang
masih berkerumun di depan kepala Soka Loka. Orangorang itu menyisih setelah melihat kehadiran
Jayengrono, karena mereka tahu Jayengrono satu
perguruan dengan Soka Loka.
Melihat kepala dan raga Soka Loka terpisah, darah
Jayengrono gemuruh bagai mendidih, ia segera tarik
napas untuk menahan luapan kemarahannya. Lalu
dengan suara pelan ia bicara kepada Ki Sumowito, ayah Rusminah,
"Tolong bawa mayat saudaraku ini ke padepokan.
Serahkan kepada Eyang Guru biar dimakamkan
selayaknya."
"Baik. Kami akan bawa ke sana, Jayengrono."
"Ke mana perginya Garong Codet itu"!"
Salah seorang menyahut, "Mereka kulihat sedang menuju perbatasan desa. Kurasa
mereka belum jauh
kalau kau ingin mengejarnya, Kang Jayengrono!"
"Terima kasih!" jawab Jayengrono, lalu segera tinggalkan kedai dan menyusul tiga
manusia berwajah angker itu.
Garong Codet melangkah di tengah dengan langkah
tegapnya. Matanya masih melotot bagai tak bisa
berkedip lagi. Ia memandang sekeliling, seperti mencari sasaran lain. Ia berkata
kepada kedua anak buahnya, yaitu Tikus Ningrat dan Setan Culik,
"Masih banyak kepala yang harus kucari! Jumlahnya harus genap tiga puluh tiga
kepala sebelum purnama
muncul." "Bagaimana jika hanya tiga puluh dua yang kita peroleh?" tanya Tikus Ningrat.
"Berarti kepalaku sendiri yang akan hancur sebagai pelengkap tumbal yang ketiga
puluh tiga!"
Setan Culik menggumam, "Sembilan belas, dua
puluh, dua puluh satu yang di hutan, dua puluh dua yang di jembatan, terus...."
"Kau bicara apa, Setan Culik"!" sentak Tikus Ningrat.
"Aku menghitung jumlah kepala yang sudah


Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpenggal oleh Mustika Serat Iblis!" jawab Setan Culik sambil tetap langkahkan
kaki. Kemudian Tikus Ningrat tertawa pendek, setelah itu
berkata kepada Garong Codet.
"Apakah tumbal kepala itu harus dari orang berilmu tinggi" Jika bukan orang
berilmu tinggi, bagaimana?"
"Tidak bisa! Suara gaib yang kudengar setelah aku berhasil membunuh harimau
berbulu merah itu adalah
tiga puluh tiga kepala orang sakti harus kusediakan
sebagai tumbal Mustika Serat Iblis. Jika tidak, maka kepalaku sendiri akan
hilang alias pecah, dan Cincin Mustika Serat Iblis ini akan lenyap dengan
sendirinya. Pusaka ini sayang sekali kalau sampai lenyap, karena kabarnya tidak semua orang
bisa bertemu dengan
harimau berbulu merah api dan bisa mendapatkan
Mustika Serat Iblis ini!"
"Berarti kau termasuk tokoh dunia persilatan yang paling beruntung, Garong
Codet! Tak ada orang
seberuntung kamu!" kata Tikus Ningrat, sementara Setan Culik sibuk mengingatingat hitungan orang yang sudah jadi korban Mustika Serat Iblis, ia
menghitungnya dari awal lagi.
Angin berhembus dari arah barat. Mereka bertiga
menuju desa di balik bukit sana untuk mencari tumbal kepala orang berilmu
tinggi. Tetapi langkah itu jadi terhenti karena tiba-tiba selembar pelepah daun
pisang yang masih muda melayang deras ke arah mereka,
datangnya dari samping kanan.
"Setan Culik, awas...!" sentak Garong Codet. Ia sendiri segera melompat, dalam
satu hentakan kaki ke tanah. Tikus Ningrat berguling ke depan, sedangkan
Setan Culik cepat bersalto ke belakang.
Wutt wutt wuttt...!
Wesss...! Selembar pelepah daun pisang yang masih berwarna
hijau ranum itu melesat di tempat mereka berjalan
beriringan. Gerakannya yang cepat membuat pelepah
pisang itu langsung meluncur dan menghantam sebuah
pohon pete di pinggiran jalan itu. Crasss...! Kriett...!
Pelepah daun pisang menembus batang pohon pete
bagaikan kapak tajam yang terbang dengan cepat.
Hampir saja pohon tersebut terpotong dan tumbang.
Daun pisang itu kini menancap di dalam batang pohon, sementara hembusan angin
membuat pohon itu
bergerak-gerak hampir tumbang.
"Tumbal datang, Tikus Ningrat!" kata Garong Codet.
Tapi matanya melirik ke kanan-kiri mencari orang yang datang menyerang dengan
daun pisang. Hati Garong
Codet kegirangan, karena ia akan bertemu dengan orang berilmu tinggi. Sebab,
jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin bisa melemparkan daun pisang
menjadi seperti kapak terbang yang amat tajam dan bisa
memotong pohon pete sebesar itu.
Ketiganya segera mengambil sikap saling merapat
dan saling adu punggung. Walaupun tak sampai
punggung mereka bersentuhan, tapi sikap mereka sudah menandakan siap terima
serangan dari lawan yang ada di arah mana saja.
Zlappp...! Tiba-tiba mereka melihat sekelebat sinar atau
bayangan tak jelas. Mereka sempat terkesiap sejenak.
Garong Codet berkata,
"Sepertinya ada yang melintas di depanku, Setan Culik!"
"Ya. Memang ada. Aku rasakan angin gerakannya
cukup panas. Pasti orang itu berilmu tinggi dan cocok jadi tumbalmu!"
Mereka saling pandang ke arah sekeliling. Tak ada
manusia yang terlihat di sana-sini. Tetapi Tikus Ningrat terkejut dan cepat
tertawa geli setelah pandangi Garong Codet.
"Apa yang lucu"! Mengapa kau tertawa!" bentak Garong Codet.
Setan Culik begitu melihat Garong Codet mendelik
marah, ia jadi ikut tertawa dengan mulut ditutup tangan.
Garong Codet semakin geram ditertawakan dua
sahabatnya yang menjadi pengikutnya itu. Ia segera
meremas baju Setan Culik, wajahnya didekatkan ke
muka Setan Culik seraya ia mendelik dan berkata,
"Apa yang lucu, hah"! Mengapa kau menertawakan diriku"! Jawab!"
"Kum... kum... kum..., hi hi hi hi...!" Setan Culik tak bisa menjawab dan
menjadi geli sendiri.
Plakkk...! Garong Codet menampar wajah Setan
Culik hingga orang sedikit pendek itu jatuh ke tanah.
Tapi ia masih saja tertawa terkikik-kikik. Tawa yang ditahan mati-matian itu tak
lagi bisa dikendalikan.
Akhirnya Setan Culik melepaskan tawa keras-keras dan Tikus Ningrat pun
melepaskan tawa terbahak-bahak
sambil pegangi perutnya. Sementara itu, Garong Codet semakin geram, kemudian
kakinya menendang keras
perut Tikus Ningrat dan menyepak kepala Setan Culik yang masih terduduk di
tanah. Akibat sepakan itu, Setan Culik terpelanting dan berhenti dari tawanya,
Tikus Ningrat terlempar ke belakang dengan perut terasa mual akibat ditendang
keras, ia pun menghentikan tawanya,
sampai akhirnya Garong Codet kembali ajukan tanya,
"Apa yang membuat kalian menertawakan aku! Coba jawab!"
"Kumismu," jawab Tikus Ningrat.
"Mengapa dengan kumisku, hah"!" tanpa sadar tangan Garong Culik meraba kumisnya
dan ia tersentak kaget. Ternyata kumisnya yang tebal itu hilang separo.
Kumis kiri masih utuh, tapi kumis kanan lenyap dan...
tak tersisa sedikit pun.
"Celeng! Siapa yang berani mempermainkan aku
sedemikian rupa"!" geramnya dalam hati. Tangannya masih mengusap-usap kumis
kanannya yang plontos dan tentunya sangat lucu, karena kumis yang kiri cukup
tebal. "Alis kananmu juga," kata Setan Culik, buru-buru menutup mulutnya karena takut
semburkan tawa lagi.
Dan Garong Codet segera meraba alis kanannya.
"Monyet Bunting!" cacinya dengan geram
kejengkelan. Ternyata alis kanannya pun tercukur habis hingga plontos. Tapi alis
kirinya masih tebal menghitam.
Alangkah malunya Garong Codet berwajah seperti
itu. Tanpa alis dan kumis kanan, sementara alis dan kumis kiri sangat tebal,
sungguh merupakan
pemandangan yang menggelikan. Lucu dan aneh. Pantas jika Tikus Ningrat dan Setan
Culik menertawakannya
sampai terpingkal-pingkal.
"Pekerjaan siapa ini!" geram Garong Codet dengan mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
Giginya menggeletuk ingin melampiaskan marah tapi tak punya tempat dan
sasaran. Menurutnya, jelas ada orang berilmu tinggi yang berkelebat cepat dan
memotong kumis serta alisnya tanpa terasa.
"Tikus Ningrat! Setan Culik! Cepat cari orang yang telah berani mempermalukan
diriku seperti ini! Cari cari cari i i...!" teriak Garong Codet dengan mata
melotot, menambah lucu wajahnya.
Tetapi sebelum Tikus Ningrat dan Setan Culik
bergegas pergi, tiba-tiba Jayengrono muncul dari balik pohon seberang. Dari sana
ia berseru, "Tak perlu kalian repot-repot mencariku!"
"Itu dia orangnya!" sentak Setan Culik sambil menuding. Tangan yang menuding itu
dipukul oleh Garong Codet. Plakkk...!
"Kalau dia sudah muncul aku pun tahu di mana dia!
Goblok!" Setan Culik meringis. Tulang lengannya bagai ngilu
semua karena pukulan telapak tangan kiri Garong Codet.
Tikus Ningrat cekikikan dengan menutup mulut dan
sembunyikan wajah. Setan Culik menendang tulang kaki Tikus Ningrat. Plokk...!
Tikus Ningrat meringis
kesakitan dan menggerutu habis-habisan.
Tanpa sadar mereka kehilangan Garong Codet. Orang
yang kini berwajah angker-angker lucu itu sudah
bergegas mendekati Jayengrono ke seberang. "Bocah Kunyuk! Apa maksudmu mencukur
alis dan kumisku
yang sebelah kanan, hah"!" sentak Garong Codet.
"Untuk membuktikan bahwa aku bisa membunuh mu
dengan mudah!" jawab Jayengrono dengan berani, ia
pun sunggingkan senyum menahan rasa geli melihat
wajah Garong Codet.
"O, jadi kau ingin membunuhku"!"
"Ya. Untuk membalas kematian saudara
seperguruanku yang kau penggal di kedai Rusminah
itu!" "Aha...! Jadi kau punya perguruan" Tentunya di perguruanmu banyak orang berilmu
tinggi"! Sangat
kebetulan sekali aku membutuhkan kepala orang berilmu tinggi buat tumbal Mustika
Serat Iblis-ku!"
"Belum sampai kau pijakkan kakimu ke sana,
kepalamu sudah akan menggelinding dengan sendirinya, seperti halnya aku mencukur
kumis dan alismu, Garong Codet!"
Srekk...! Jayengrono mengeluarkan sabit kembarnya
di kanan-kiri tangan. Sabit kembar itu dipermainkan kembangan jurusnya seraya
mata Jayengrono tak
berkedip pandangi tiap gerakan lawan.
"Kuingatkan kepadamu, Kunyuk Kasap! Kau datang padaku sama saja serahkan
kepalamu untuk kujadikan
tumbal Mustika Serat Iblis. Sekali kau datang
menghadapku, berarti kau tak akan bisa pulang dengan kepala tetap menempel di
lehermu!" "Kau pun tak akan bisa lolos dari sabit kembarku!"
Jayengrono melangkah ke kiri dua tindak sambil
kelebatkan kedua sabit runcingnya ke sana-sini.
Sedangkan Garong Codet hanya pasang kuda-kuda
dengan tangan kanan menggenggam ke atas kepala, ia
siap melepaskan pantulan sinar matahari dari Mustika
Serat Iblis yang ada dalam genggamannya, ia menunggu Jayengrono sampai pada
titik di mana pantulan sinar matahari akan menjangkau tempatnya.
Zlappp...! Jayengrono bergerak cepat. Tak terlihat
oleh mata Garong Codet. Tahu-tahu ikat kepala putih putus dan terlepas dari
kepala Garong Codet. Sabit
kembarnya telah berhasil berkelebat memutuskan ikat kepala itu tanpa mengenai
kulit kepala sedikit pun.
Zlllap...! Zlappp...! Zlappp...!
Beggg...! Tangan kiri Garong Codet menyentak ke
depan. Tanpa sengaja tepat mengenai tubuh Jayengrono yang berkelebat mengitari
tubuh Garong Codet. Tubuh yang terkena sentakan telapak tangan kiri itu
terpental dan jatuh berguling-guling di tanah.
Garong Codet merasa lega dan bangga bisa kenai
tubuh lawan dengan gerak tangan yang bersifat untung-untungan tadi. Tetapi ia
menjadi curiga dan merasakan ada keanehan. Apalagi melihat Tikus Ningrat dan
Setan Culik makin menertawakan dirinya, maka segera Garong Codet meraba
wajahnya. "Hahh..."!" ia tersentak kaget. Sekarang wajahnya menjadi bersih. Tanpa kumis,
tanpa jenggot, juga tanpa alis mata. Dapat dibayangkan olehnya, betapa aneh dan
lucu wajahnya yang bertulang besar pada pipi itu tanpa kumis, alis dan jenggot
sedikit pun. "Edan!" geramnya kaget, ia meraba rambutnya yang panjang. Ternyata rambut itu
menjadi cepak. Terpotong-potong tak rapi. Panjang rambut tak sampai lewat
tengkuk. Kira-kira tiap rambut sepanjang kelingkingnya.
Bahkan bisa lebih pendek lagi. Rambut itu menjadi
rambut trondol yang tak jelas potongannya. Sedangkan Garong Codet pun merasakan
tak memiliki bulu mata
lagi. Jelas ia bisa membayangkan betapa lucu dan
memalukan sekali wajahnya itu. Karenanya ia sangat
murka dipermainkan sedemikian rupa. Pada saat
Jayengrono bergegas bangkit, Garong Codet berteriak,
"Modar kau bocah kunyuk! Hiaaat...!"
Pukulan tenaga dalam dilepaskan dari tangan kiri.
Jayengrono melompat ke kanan, tapi tangan kanan
Garong Codet segera dibuka, matahari pantulkan
sinarnya melalui batu Cincin Mustika Serat Iblis itu.
Dan, clapp...! Wesss...!
Crass...! Sinar merah seperti lidi itu memenggal putus kepala Jayengrono. Tak
ada ampun lagi, kepala itu pun menggelinding ke tanah dan tidak keluarkan darah
sedikit pun. * * * 3 SETELAH memakamkan jenazah Soka Loka, Roro
Manis berdiri murung di bawah sebuah pohon besar
yang rindang. Wajah dukanya masih terlihat jelas, ia seperti merasa kehilangan
saudara kandung. Soka Loka sudah seperti kakaknya sendiri dalam hubungan seharihari. Seperti halnya Jayengrono dan Randu Galak, sudah dianggap saudara sendiri.
Sehingga kematian Soka Loka
sangat memukul hati wanita cantik berpakaian merah
tembaga yang terang mencolok mata warnanya.
Eyang Danujaya belum kembali ke padepokan, ia dan
Randu Galak masih ada di tanah makam. Eyang
Danujaya sengaja menyediakan tempat pemakaman
khusus untuk murid-muridnya yang gugur. Letak tanah pemakaman itu ada di
belakang padepokan, dekat
sebuah sungai kecil.
Semua murid yang ikut memakamkan Soka Loka
diperintahkan untuk kembali ke padepokan. Eyang
Danujaya bersikap tenang walau menyimpan duka di
dasar hatinya, ia dekati gadis cantik bertahi lalat kecil di bawah mata kirinya
itu. Rambutnya yang panjang diikat kain biru tampak bergerai-gerai disapu angin
menjelang sore.
"Roro Manis," tegur Eyang Danujaya. Perempuan itu segera palingkan wajah, lalu
tunduk dalam duka yang disembunyikan.
"Manusia hidup tidak harus turuti kedukaan hati.
Kedukaan itu hanya boleh lewat di depan hati kita, tapi tidak boleh menetap.
Karena jika kedukaan menetap di hati, maka jiwa pun menjadi ikut mati. Relakan
kematian saudaramu, supaya arwahnya tidak terjerat oleh dukamu, Roro Manis."
"Saya... saya tidak apa-apa, Eyang Guru!" ucap Roro Manis lirih. Eyang Danujaya
pandangi Randu Galak
yang berdiri di belakangnya, lalu ucapkan kata,
"Bawa dia kembali ke padepokan, Randu Galak!
Biarkan aku di sini sendirian untuk menikmati sore tiba."
"Baik, Eyang Guru!" jawab Randu Galak dengan wajah terbungkus duka pula.
Kemudian ia melangkah
bersama Roro Manis segera tinggalkan bawah pohon
rindang itu. Tetapi baru saja ia langkahkan kaki dua tindak, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh
di depan langkahnya.
Blukk...! Sesuatu yang jatuh itu menggelinding sebentar, dan berhenti tepat di
depan kaki Roro Manis.
"Haaah..."!" Roro Manis terpekik keras, ia sangat terkejut, demikian juga Randu


Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Galak. Suara pekik itu membuat Eyang Danujaya bergegas memandang ke arah
kedua muridnya itu. Dan mata orang tua berkepala
gundul dengan uban tipis putih itu menjadi terbelalak pula setelah tahu, bahwa
benda yang jatuh
menggelinding itu adalah kepala Jayengrono.
Detak jantung mereka bagai tersentak-sentak didalam dada. Darah mereka bagaikan
mendidih dan siap
menyembur keluar dari pori-porinya. Tangan pun
gemetar karena menahan luapan amarah yang begitu
besar. Lemparan kepala Jayengrono adalah suatu
penghinaan besar dan tantangan yang mendatangkan
murka di hati mereka. Tetapi Eyang Danujaya segera
pejamkan mata dan tarik napas dalam-dalam untuk
memperoleh ketenangannya kembali.
Mata Randu Galak menjadi beringas. Mata itu terarah ke seberang sungai, dan ia
tatap tajam wajah tiga orang di sana, yaitu wajah Garong Codet, Tikus Ningrat,
dan Setan Culik. Melihat mata Randu Galak berbinar-binar
penuh dendam, Roro Manis segera mengikuti pandangan mata itu, hingga ia temukan
tiga wajah angker yang
sunggingkan senyum tantangan itu.
"Eyang Guru, izinkan saya menyeberang ke sana!"
ucap Randu Galak dengan suara gemetar karena
menahan amarah.
Danujaya pandangi wajah ketiga orang di seberang
sungai dengan mata menyipit. Kemudian tanpa berpaling memandang Randu Galak, ia
ucapkan kata datar,
"Berangkatlah ke seberang, Randu Galak! Aku akan menyusulmu!"
"Baik. Terima kasih, Guru!" Randu Galak tampak gembira dalam kobaran api amarah
dan dendam. Maka,
dengan cepat ia melesat menuju ke tanah seberang
sungai. Lebar sungai yang kira-kira lima tombak itu hanya
dilompati dengan sekaii sentak kaki. Tubuh Randu
Galak yang sedikit gendut dan berkumis lebat itu
bagaikan terbang, lalu bersalto dua kali di udara. Kejap berikutnya dia sudah
tiba di tanah seberang sungai, dalam jarak delapan langkah dari tempat Garong
Codet berdiri. "Eyang Guru, bolehkan saya ikut ke seberang
sungai"!" desak Roro Manis.
"Jangan! Kau harus bersamaku jika mau ke sana,"
jawab Eyang Danujaya. "Ambillah Pusaka Tombak Kiai Jagat di ruang panembahan!"
"Baik, Eyang Guru!" maka dengan cepat Roro Manis segera pergi untuk mengambil
Pusaka Tombak Kiai
Jagat yang menjadi andalan Eyang Danujaya itu.
Sementara di daerah seberang sungai sana, Randu
Galak sudah tak sabar menghadapi Garong Codet. Tanpa sebutkan nama, Randu Galak
sudah dapat menerka yang mana yang bernama Garong Codet. Tak salah
dugaannya, bahwa manusia berwajah angker lucu
bercodet bekas luka di pipi kanannya itulah yang
bernama Garong Codet.
"Sudah kuduga, kau pasti tertarik dengan undanganku lewat kepala kunyuk kurap
itu!" kata Garong Codet.
"Manusia iblis!" geram Randu Galak. "Kau pikir kami akan gentar walau dua kepala
orang kami sudah
kau penggal begitu saja, hah"!" Mata Randu Galak melotot lebar, dan juga
berkesan angker. Tetapi sikap galak itu justru ditertawakan oleh Tikus Ningrat
dan Setan Culik.
Randu Galak yang berpakaian coklat tua dengan
sabuk putih yang penuh pisau mengelilingi pinggangnya itu, tampak tak mau banyak
bicara lagi. Gerakannya sangat cepat, terutama dalam mencabut
dan melemparkan pisaunya. Terbukti dalam satu kejap berikut, sebuah pisau telah
melayang ke arah Tikus
Ningrat yang bergerak maju dua tindak ingin
menghadapinya. Wuttt...! Pisau itu terbang bagaikan kilat. Sangat
cepat dan hanya bisa dihindari sekejap. Tapi tetap saja Tikus Ningrat terlambat
bergerak. Lompatannya masih terjangkau oleh pisau pertama dari Randu Galak.
Jruss...! Pisau itu menancap di betis Tikus Ningrat.
"Uhh...!" Tikus Ningrat terpekik. Pisau itu tetap menancap di betis kurusnya.
Dengan cepat dicabutnya sendiri pisau itu, lalu dilemparkan kembali ke arah
Randu Galak sambil berseru,
"Makan pisaumu sendiri! Hihh...!"
Wutt...! Pisau itu meluncur cepat ke dada Randu
Galak. Orang itu tidak bergerak menghindar, tapi justru menghadangkan telapak
tangannya di dada. Lalu pisau itu membentur telapak tangan tersebut.
Tebb...! Pisau itu digenggam cepat oleh Randu Galak.
Tangannya tak terluka sedikit pun. Dan jurus seperti itu jarang dimiliki orang.
Tentu saja hanya orang berilmu tinggi yang bisa kuasai gerakan pisau dan
meredamnya dengan gelombang tenaga dalam lewat telapak tangan.
Bahkan begitu pisau terpegang tangan, Randu Galak
cepat membalikkan gerak dan melemparkan kembali ke
arah Setan Culik yang terlihat bergerak ke samping
untuk cari kesempatan menyerang. Wussst...! Pisau itu terbang cepat ke arah dada
Setan Culik. "Hiaaat...!" Setan Culik melompat ke kiri untuk menghindari pisau itu. Tetapi
tiba-tiba Randu Galak sentakkan tangannya ke arah pisau yang telah meleset
sasaran itu. Tiba-tiba pisau itu bisa berbalik arah terbangnya ke kiri, dan
menuju ke tubuh Setan Culik.
"Kurang ajar! Dia mengejarku"!" sentak Setan Culik, kemudian cepat bersalto
mundur dengan agak
menyamping. Gerakannya itu punya keterlambatan
sedikit, sehingga pisau itu melesat di samping kanannya.
Pundaknya pun tergores oleh ketajaman pisau berukuran
satu jengkal itu. Srett...!
"Auh...!" Setan Culik terpekik dan cepat mendekap pundaknya yang berdarah, ia
bersungut-sungut
melontarkan seribu makian tak jelas.
Randu Galak cepat menarik tangannya ke belakang,
dan pisau yang telah melukai pundak Setan Culik itu bergerak kembali ke arah
Randu Galak. Wusst...! Tebb..!
Pisau itu pun kini berada di tangan Randu Galak lagi.
Plok plok plok plok...! Garong Codet bertepuk tangan dengan wajah berseri riang.
Kemudian manusia yang
kini tanpa bulu di wajahnya itu ucapkan kata,
"Bagus, bagus...! Kau telah tunjukkan kehebatan ilmumu. Jadi aku tak sangsi
lagi, bahwa kau pun pantas menjadi tumbal Mustika Serat Iblis! Bagus bagus
bagus...!"
Garong Codet maju dua tindak. Tikus Ningrat dan
Setan Culik mengundurkan diri. Tugasnya sebagai
penguji ilmu lawan sudah selesai. Lawan sudah
diketahui tingkat ketinggian ilmunya. Kini Garong
Codet yang ambil alih arena pertarungan itu.
"Ilmu pisaumu cukup hebat! Tenaga dalammu pun
kulihat cukup tinggi, karena bisa kendalikan gerak pisau dari tempatmu berdiri.
Tapi kau jangan merasa bangga lebih dulu, karena sebentar lagi kepalamu pun akan
terpenggal seperti dua kepala saudara seperguruanmu itu, Kunyuk Wengur!"
"Kau pikir mudah mengalahkan Randu Galak"!
Hmm...! Tak semudah menggempur gunung karang,
kalau kau mau tahu!"
"O, namamu Randu Galak" Wah, bagus sekali!
Seperti nama seekor anjing piaraan!"
Tikus Ningrat dan Setan Culik ikut tertawa. Randu
Galak semakin panas hatinya. Tak banyak bicara lagi, langsung melepaskan pukulan
maut bertenaga dalam
cukup tinggi. Pukulan itu dinamakan pukulan 'Beruang Terbang'. Sebuah sinar
kuning berpendar-pendar keluar dari kesepuluh jari tangannya. Sinar kuning itu
berkelok-kelok dan menghantam badan lawan. Tetapi, rupanya tak semudah itu
menghantam badan besar Garong Codet.
Dengan satu lompatan ke kanan, Garong Codet
berhasil menghindari sepuluh sinar kuning berkelokkelok itu. Wusss...! Sinar kuning berkelok-kelok itu menghantam pohon. Pohon
tersebut menjadi rusak dari akar sampai ranting paling atas. Seperti habis
dikoyak-koyak oleh puluhan beruang ganas. Benturan sinar
kuning itu timbulkan suara gemerisik pada pohon
tersebut. Cras krak krak krasak cras grusuk crass...!
Seandainya tubuh Garong Codet terkena sinar kuning
itu, maka akan terkoyak habis tubuhnya seperti pohon tersebut. Untung dia bisa
menghindarkan diri dengan gerakan cepatnya. Tapi pukulan dari Randu Galak pun
kembali terlepas dalam bentuk sentakan tangan kiri yang keluarkan cahaya merah
kecil ke arah kepala Garong
Codet. Wutt...!
Blarrr...! Sinar kecil itu timbulkan suara dentuman besar ketika menghantam
gugusan batu di belakang
Garong Codet. Sebab Garong Codet berhasil berguling
ke tanah dua kali. Lalu dengan satu kaki berlutut, ia mengangkat tangan kanannya
ke atas kepala, ia buka
tangan itu hingga mendapatkan pantulan sinar matahari pada Mustika Serat Iblis.
Clappp....! Begitu cepat sinar itu melesat. Tak sempat terlihat mata datangnya.
Sinar merah itu menggores
leher Randu Galak. Crass! Dan tak urung kepala Randu Galak pun terpenggal putus
begitu saja. Plokk...! Kepala itu jatuh di tanah dan menggelinding sesaat.
Brukk...! Raga tanpa kepala itu pun rubuh ke depan
dan tak berkutik, maupun berdarah lagi. Mulut Randu Galak masih sempat keluarkan
suara serak, matanya
berkedip-kedip, kemudian tak bergerak lagi dalam
keadaan mendelik, dan suara serak pun hilang.
Eyang Danujaya melihat pertarungan itu. Ia terlambat menghantamkan pukulan jarak
jauhnya untuk menahan
sinar merah dari Mustika Serat Iblis. Gerakan sinar merah begitu cepat dan tak
diduga-duga, sehingga
pukulan penangkis jarak jauh yang dilepaskan dalam
bentuk kilatan cahaya putih itu hanya mengenai sebuah pohon. Pohon itu langsung
rubuh dalam keadaan telah hangus seluruhnya. Hampir saja rubuhnya pohon
menimbuni tubuh Setan Culik. Untung saja Setan Culik cepat melompat dengan
gesitnya, sehingga pohon yang sudah menjadi arang itu jatuh di tempat kosong.
Tapi mata Eyang Danujaya segera beradu pandang
dengan mata Garong Codet. Tangan Garong Codet
melambai, menantang Danujaya dengan sikap
meremehkan. Kemudian terdengar suaranya yang keras,
"Muridmu terpenggal lagi! Kalau kau mau, silakan datang! Tak terasa sakit
sedikit pun, Botak! Kalau tak percaya, tanyakan sendiri kepada kepala-kepala
muridmu yang sudah kupenggal itu!"
Baru saja Garong Codet katupkan mulut tanda selesai bicara, tahu-tahu dari arah
belakangnya terdengar suara,
"Aku telah datang penuhi undanganmu!"
Garong Codet cepat palingkan pandang, ia terkesiap
sejenak, karena ternyata yang di belakangnya adalah Danujaya yang berpakaian
putih-putih itu. Cepat ia
palingkan pandang ke arah seberang sungai lagi.
Ternyata di sana sudah tak ada Danujaya.
"Edan lagi orang ini! Baru selesai kuajak bicara, tahu-tahu sudah ada di
belakangku!" pikir Garong Codet.
"Mustika Serat Iblis pasti senang mendapat santapan orang sesakti dia!"
Tikus Ningrat dengan terpincang-pincang mendekati
Garong Codet dan berkata pelan, "Perlu kujajal dulu ilmu orang ini"!"
"Tak perlu! Dengan gerakannya yang tahu-tahu ada di belakang kita sudah
menunjukkan bahwa dia berilmu tinggi! Dan lagi, dia adalah Guru dari para tumbal
kita belakangan ini!"
Terdengar suara Eyang Danujaya dengan nada tetap
sabar dan bijaksana,
"Garong Codet, hentikanlah perburuanmu itu! Sudah cukup banyak korban yang
berjatuhan hanya untuk
memenuhi nafsu iblismu!"
"O, belum bisa! Masih kurang banyak kepala! Aku harus mendapatkan tiga puluh
tiga kepala sebagai
tumbal memiliki Mustika Serat Iblis!"
"Aku tahu! Tapi mustika itu hanya akan membawa hidupmu makin sesat saja! Kau
makin banyak musuh,
makin banyak orang yang menaruh dendam padamu, dan
kau akan banyak dikutuk oleh keluarga korban!"
Garong Codet melepaskan tawa walau tak keras tapi
memanjang dan bernada menyepelekan kata-kata Eyang
Danujaya. Kemudian ia pun ucapkan kata bernada
angkuh, "Siapa orangnya yang berani menaruh dendam
kepada Garong Codet" Apakah dia ingin mati terpenggal seperti yang lainnya"!
Kurasa kau tak perlu
mengguruiku, Pak Tua! Aku tak akan mundur oleh
ucapanmu itu! Bahkan semakin bernafsu untuk
memenggal kepalamu, Pak Tua!"
Danujaya berkata, "Aku sudah tua. Kalau toh aku mati memang sudah waktunya.
Layak sudah aku mati
saat ini. Tapi bagaimana jika ternyata yang terpenggal adalah kepalamu sendiri"
Kurasa kau belum layak untuk mati, Garong Codet!"
"Hah! Gertakan halusmu itu kau pikir bisa
membuatku gentar"! Tidak! Sama sekali aku tak pernah gentar berhadapan dengan
siapa pun, Pak Tua! Ha ha ha ha...!"
"Aku tahu kau tak gentar menghadapiku! Tapi
mengapa celanamu basah, Garong Codet"! Kau buang
air dalam celana"!"
Bukan Garong Codet saja yang pandangi celananya,
tapi Tikus Ningrat pun pandangi celana Garong Codet yang ternyata basah kuyup
itu. Garong Codet terkejut sekali, karena ia tak merasa ngompol, tapi mengapa
tahu-tahu celananya basah dan bau pesing"!
Eyang Danujaya ucapkan kata lagi, "Wajahmu pun pucat, Garong Codet! Apakah kau
takut padaku?"
"Tidak! Aku tidak takut padamu!" jawab Garong Codet, lalu ia palingkan wajah
kepada kedua temannya itu dan bertanya, "Apakah wajahku pucat?"
"Ya, pucat sekali!" jawab Setan Culik.
"Pucat seperti mayat?"
"Sangat seperti mayat!" jawab Tikus Ningrat.
"Aneh. Padahal aku tidak merasa takut!" gumam Garong Codet.
Danujaya segera berkata, "Jika tak merasa takut, mengapa tubuhmu gemetaran dan
menjadi menggigil?"
"Jangan ngaco bicaramu, Pak Tua! Aku tidak gemetar dan tidak menggigil! Aku
justru sangat bernafsu untuk memenggal kepalamu!" sambil berkata begitu, tanpa
sadar tubuh Garong Codet bergetar seluruhnya. Bahkan kini ia seperti kedinginan
dan menggigil dengan jelas-jelas. Tikus Ningrat jadi menegurnya,
"Mengapa tubuhmu menggigil?"
"Entahlah!" bisik Garong Codet. "Tiba-tiba aku merasa sangat kedinginan!
Wwrrr...! Seperti berada di dalam gunung es rasanya!"
"Serang dia! Dia telah mempermainkan jiwamu
dengan tiap ucapan yang kau sanggah!!"
"Iiy... iyy... iya! Akan kuserang ddi... dia...! Uuh...
dinginnya bukan main, Tikus!"
Eyang Danujaya sunggingkan senyum tipis, ia


Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhatikan tangan kanan yang bercincin Mustika Serat Iblis itu. Tangan tersebut
mulai diangkat dengan gemetar karena menggigil. Cepat-cepat Eyang Danujaya
sentakkan kaki dan melompat tinggi, lalu kakinya
menendang tangan itu. Plakkk...!
Tangan tersebut terangkat dan terlempar ke belakang akibat tendangan kilat itu.
Berat badan Garong Codet menjadi tak seimbang, ia terhempas ke belakang dan
jatuh terkapar. Blukk..!
Tanpa disengaja tangan kanan itu terbuka dari
genggaman. Sinar matahari memancar dan memantul ke
batuan merah tersebut. Pantulan sinarnya melesat ke arah tangan Danujaya.
Clapp...! Crasss...! Eyang Danujaya tersentak dalam pekik tertahan.
Tangan kanannya terpotong oleh kilatan sinar merah dari Mustika Serat Iblis, ia
terbungkuk seketika begitu tangan kanannya jatuh ke tanah.
"Serang dia! Lekas...!" seru Setan Culik.
Garong Codet bergegas bangkit dengan tertatih-tatih karena menggigil. Pada saat
itu Roro Manis tiba di
tempat tersebut sambil membawa Tombak Kiai Jagat.
Melihat tangan gurunya telah putus, Roro Manis segera melompat dan menerjang
Garong Codet dari belakang.
Tombak dihujamkan ke tubuh Garong Codet. Tetapi
karena Garong Codet menggigil dan limbung dalam
berdirinya, akibatnya tombak itu meleset sasaran. Hanya melintas di depan pundak
Garong Codet. Wuttt...!
Tapi kaki Roro Manis segera menjejak punggung
Garong Codet dengan telaknya. Bukkk...! Dan tubuh
besar itu tersentak ke depan, jatuh berguling-guling.
"Roro Manis...!" ucap Danujaya yang menahan rasa sakit akibat terpotong tangan
kanannya. "Cepat lari, hubungi Ki Madang Wengi!"
"Tapi Eyang Guru...."
"Kerjakan perintahku! Biar aku bertahan di sini dengan senjata pusaka itu!"
Clapp...! Trakk...!
Sinar merah kembali memancar dari batu Mustika
Serat Iblis. Sinar itu bukan saja memotong kaki kiri Danujaya, namun juga
memotong tombak pusaka
tersebut. Blappp...! Percikan sinar merah melesat,
pertanda kekuatan tombak telah punah dipenggal oleh sinar Mustika Serat ibiis.
"Guru..."!" pekik Roro Manis dalam keadaan bimbang.
"Lekas kerjakan perintahku, Roro Manis!" sentak Eyang Danujaya sambil menahan
rasa sakit akibat
kakinya terpotong sebatas lutut. Kini ia rubuh dan
berusaha berdiri dengan satu kaki. Roro Manis tak tega, ia menangis dalam
kebimbangan antara mengerjakan
perintah Guru atau menolong keadaan Guru"!
Garong Codet makin menggigil, ia dibantu Tikus
Ningrat dan Setan Culik agar bisa berdiri dan
pergunakan mustika itu. Karenanya, gerakan sinar
mustika tidak bisa terkendali. Memotong ke sana-sini,
walau akhirnya, clapp...! Crasss...!
Leher Danujaya pun terpenggal putus seketika. Roro
Manis memekik keras di kejauhan karena ia melihat saat kepala gurunya
menggelinding jatuh di tanah.
"Guruuu....!"
Roro Manis ingin menghamburkan tangis memeluk
gurunya. Tapi kilat cahaya merah memotong pohon di
sampingnya. Clapp...! Crass...!
Wrrr... bruk...! Pohon itu rubuh. Roro Manis merasa dalam bahaya jika mendekati
jenazah gurunya yang
sudah tidak berkepala lagi itu. Maka dengan cepat Roro Manis pun melesat pergi
tinggalkan tempat itu.
Tangisnya dibawa lari secepatnya, karena ia mendengar suara Garong Codet berseru
Bara Diatas Singgasana 25 Pendekar Bayangan Sukma Tiga Ksatria Bertopeng Hina Kelana 7

Cari Blog Ini