Ceritasilat Novel Online

Pendekar Empat Serangkai 2

Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai Bagian 2


huyung surut ke belakang. Sebentar ia berusaha menahan diri, tapi akhirnya ia terguncang oleh satu tenaga dorongan yang tak
terlihat itu, kemudian jatuh
menggeloso di tanah.
Sedangkan Mahesa Wulung serta Gagak Cemani
masih tetap tegak di tempatnya meski tubuh mereka
tergoyang-goyang bagaikan dua pucuk pohon cemara
yang perkasa. Itu semua membuat si kakek Gagang Aking terpaksa kagum, sebab baru kali inilah ia menjumpai pendekar-pendekar muda yang begitu tangguh dan ulet. Rasa iri tapi bercampur bangga dan takjub menyelinapi
dada si kakek yang kemudian mengangguk-angguk senang. Ia tidak tahu bahwa Mahesa Wulung telah mengetrapkan jurus "Tugu Wasesa" yang membuat tubuhnya tetap tegak berdiri dengan teguhnya, laksana tugu baja dan kedua kakinya
seolah telah terpancang dalam-dalam ke dasar tanah.
Begitu pula Gagak Cemani dikagumi oleh si kakek
Gagang Aking. Ia melihat si pendekar berkumis melintang tadi tak ubahnya seekor burung gagak yang lagi
hinggap di atas tanah. Jubah di punggungnya berkibaran ke belakang sebagai pertanda bahwa guncangan
tenaga dalam si kakek yang tengah melandanya, adalah benar-benar hebat dan menggetarkan setiap hati.
"Hmm, benar-benar keempat orang pendekar muda
ini cukup tangguh dan yang dua orang ini lebih hebat!
Keduanya sanggup menghadapi bagian awal dari ilmu
'Teleng Lesus'-ku*. Bagus, bagus," ujar Ki Gagang Aking dalam hati. "Tapi
sekarang akan kutingkatkan lebih hebat!" (* Inti topan, pusat badai)
Habis rerasan begitu, si kakek kontan menggerakkan tangannya lebih hebat. Gerakan tangannya radarada kaku dan bahkan diiringi suara berkeretekan seperti tulang-tulang beradu. Sungguh tak dapat diduga, kekuatan apakah yang
tengah disiapkan oleh si kakek
Gagang Aking ini"
Seperti Mahesa Wulung sendiri, ia lebih berwaspada
melihat gerak-gerik si kakek aneh yang pasti jauh lebih hebat dari yang sudahsudah. Maka tanpa membuang
waktu iapun bersiaga melipatkan himpunan tenaga
dalamnya dan beberapa saat kemudian terlihatlah betapa tubuh Mahesa Wulung bergetar, lalu kedua belah
kakinya perlahan-lahan melesak mengeram lebih dalam ke tanah seolah-olah mencari pegangan agar tubuhnya semakin kokoh tanpa tergoyahkan oleh getaran apapun. Hal inipun diikuti oleh Gagak Cemani, si pendekar berkumis melintang
itu. "Hyaattt! Kabur!" bentak Ki Gagang Aking serentak
mengibaskan kedua tangannya ke depan diikuti gerakan mengempos tenaga sakti ke arah Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani.
Saat itu pula, bagaikan datangnya satu prahara
yang berlipat-lipat, tubuh kedua pendekar tadi dihempas oleh satu dorongan
tenaga sakti serta angin yang tak terukur kekuatannya.
Di tempat lain, Tungkoro dan Palumpang turut merasakan tiupan santer yang melanda dari kibasan kedua belah tangan kakek Gagang Aking. Mereka serentak bertiarap ke atas tanah dengan serendahrendahnya seperti angin melekat erat. Sementara itu
satu ketakjuban timbul pula di dalam hati mereka manakala tiupan angin dahsyat tadi cuma melanda ke
arah mereka berempat. Di tempat-tempat lain, seperti di kiri kanan dan di
belakang si kakek, tak satupun
angin yang bertiup sesanter itu. Pohon-pohon di sana masih tetap tegak di tempatnya dan hanya dedaunan
saja yang bergoyang-goyang lembut. Berbeda dengan
arah di depan si kakek. Pohon-pohon berguncangan
serta dedaunan pada terombang-ambing bersuara berderak-derak menyeramkan. Bahkan semak-belukar di
sana telah sebagian terjebol dari dalam tanah sampai ke akar-akarnya.
Hal ini tampaknya seperti tak mungkin bisa terjadi
hanya disebabkan oleh tenaga manusia saja. Namun di
jaman itu memang tak tersangkal bahwa manusia dapat melakukan hal yang aneh. Mereka masih belum
banyak memikir ataupun menghayal keduniawian
yang bersifat lahiriah. Mereka banyak mendalami tentang segi batiniah, tentang Maha Pencipta Alam, yakni Tuhan Yang Esa.
Kembali Mahesa Wulung berpikir keras ketika dirasanya bahwa serangan si kakek Gagang Aking makin
bertambah hebat. "Akan celaka kami berempat jika terus-terusan diserang secara begini! Sungguh hebat il-mu si kakek! Dan aneh! Aku
mendapat kesan bahwa si
kakek tidak benar-benar bermaksud jahat kepadaku
dan juga kepada sahabat-sahabatku. Tapi, apakah aku
diam membisu saja bila ia menyerang sehebat ini"
Baiklah, aku akan menyambut serangan angin ini
dengan pukulanku 'Angin Bisu'. Biarlah akan dia ketahui, betapa akibatnya benturan angin dengan angin!"
Selagi Mahesa Wulung berpikir-pikir mendadak Ki
Gagang Aking tertawa mengejek, "Hi, hi, hi. Tinggal
dua saja yang masih berdiri tegak di atas bumi. Yang dua telah melesot-lesot di
tanah seperti cacing! Hi, hi, hi. Lucu. Empat pendekar serangkai yang kurang
baik kerja samanya. Mengapa yang dua orang berusaha untuk tetap berdiri tegak, selagi yang dua orang telah menderita cukup pahit" Hi,
hi, hi, hi. Yang dua ini ru-pa-rupanya telah kehabisan tenaga... atau kehabisan
ilmu, barangkali" Apakah salah seorang tak mampu
melawan 'Teleng Lesus'-ku ini, he" Hi, hi, hi, hi, jika begitu, jangan salahkan
kakek tua seperti aku ini, kalau mereka berempat akan terhembus ke luar dari
bumi! Hi, hi, hi."
Heranlah Mahesa Wulung. Kakek tua ini seperti
mengejek tapi setengah memperingatkan. "Hah, ia berusaha memperingatkan! Ia seperti dapat menebak
maksudku. Baik, aku akan segera membantunya dengan 'Pukulan Angin Bisu'. Tak ada jalan lain lagi. Tetapi apa maksudnya dengan
peringatan itu?" begitulah,
Mahesa Wulung diam-diam bersiaga mengerahkan
himpunan tenaga saktinya.
Wajah pendekar muda ini menjadi tegang kemerahan dengan peluh yang bersembulan dari lubanglubang kulitnya. Pandangan matanya lurus-lurus ke
depan ke arah si kakek Gagang Aking seperti hendak
menelan lawannya ini bulat-bulat.
Tiba-tiba tangan kirinya itu mendorong ke depan
dibarengi satu teriakan menggeledek. "Haaaitt!" Wusss!
Begitulah pukulan Angin Bisu yang terkenal dahsyat
itu menerjang ke depan menerobos tenaga dorongan
dari ilmu si kakek 'Teleng Lesus'. Mahesa Wulung tidak cuma sekali saja
melancarkan pukulannya itu. Selesai yang satu, segera ia menyusul dengan yang
kedua dan seterusnya. Maka sungguh-sungguh hebat akibatnya.
Dua tenaga sakti tadi berbenturan dengan bunyi
mengguntur. Mahesa Wulung masih tetap tegak di
tempatnya karena kedua kakinya telah memancang ke
dalam tanah dalam sikap Tugu Wasesa. Meskipun begitu, tubuhnya dapat terhuyung-huyung hampir jatuh.
Di sebelah Mahesa Wulung, si Gagak Cemani terpaksa tergetar surut beberapa langkah dengan setengah terhuyung akibat benturan tadi.
Di depan, kakek Gagang Aking terkejut bukan main.
Apalagi bahwa "Teleng Lesus"-nya tadi belumlah sungguh-sungguh mencapai puncaknya, sebab memang
semula ia tak menduga bahwa Mahesa Wulung memiliki ilmu sedahsyat itu.
Pukulan Angin Bisu merupakan satu pukulan dengan tenaga jarak jauh, dan mempunyai sifat-sifat
penghancur yang dahsyat. Ia mampu menerobos segala rintangan di depannya. Ibarat pohon akan tumbang
dan bebatuan akan hancur berserakan, apalagi si perintang itu hanyalah seorang kakek tua seperti Ki Gagang Aking.
Lontaran tenaga sakti "Teleng Lesus" yang cuma
bertenaga sebagian itu, kena ditembus dan dibentur
oleh pukulan Angin Bisu. Benturan singkat terjadi dan
kemudian pukulan maut jarak jauh tadi langsung menerjang si kakek Gagang Aking.* (* gagang = dahan,
tangkai; aking = kurus kering)
Menyadari bahaya yang langsung menerjangnya, si
kakek itu secepat kilat mengempeskan ilmu peringan
tubuhnya dan melesat ke atas udara, sebelum pukulan
Angin Bisu menerjangnya. Beberapa bongkah batu dan
pohon telah tumbang berserakan sewaktu kena hajar
pukulan tadi. Tapi si kakek sendiri tahu-tahu telah
hinggap di puncak pohon seraya tertawa terkekehkekeh, "Hi, hi, hi. Pukulanmu hebat, anak muda! Dengan jujur aku memuji ilmumu tadi, dan karenanya aku
rasa persenda-gurauan dan pertemuan kita kali ini,
cukup sekian! Di lain saat aku akan mencarimu untuk
membuat perhitungan kembali. Kau ingatlah baikbaik. Namaku adalah si tua Gagang Aking! Hih, hi, hi.
Sekianlah, selamat tinggal! Oo, ya, hampir lupa. Jika tidak keliru ketiga orang
lawanmu yang masih hidup
tadi, telah ngacir melarikan diri ke arah utara...."
Habis berkata begitu si kakek Gagang Aking lalu
meloncat ke atas pucuk pohon yang lain dan kemudian
berganti lagi ke pohon di sebelahnya. Sebentar saja tubuhnya lenyap di balik
pepohonan di sebelah barat,
secepat angin siang yang berlalu, menggoyanggoyangkan dedaunan dengan lembutnya.
Mahesa Wulung seperti belum percaya bahwa si kakek Gagang Aking itu telah berlalu dan lenyap dari
pandangan matanya. Ketika lebih sadar, didapatinya
dirinya masih tetap tegak di atas tanah dengan kedua belah kakinya tertanam
hampir satu mata kaki lebih.
Ia menarik napas lega. Ditengoknya ke samping,
dan tampaklah si pendekar berkumis melintang, Gagak Cemani juga masih berdiri agak condong ke depan, sedang golok hitamnya masih
tergenggam erat dan
ujungnya terhunjam ke dalam tanah. Agaknya golok
itu sengaja ditusukkan ke tanah sebagaimana sebuah
jangkar bagi sebuah kapal yang sanggup menahan tubuhnya agar tidak terbawa oleh arus maupun angin.
Melihat ini, diam-diam Mahesa Wulung menaruh rasa
kagum kepada sahabatnya dari daerah timur ini.
Gagak Cemani tersenyum ketika ia melihat bahwa
Mahesa Wulung telah menyapanya, "Bagaimana Kakang Cemani?"
"Tak kurang suatu apa, adik," ujar Gagak Cemani
seraya mencabut golok hitamnya dari tanah. Begitu
pula Mahesa Wulungpun telah menarik kedua belah
kakinya. Mereka segera teringat kedua sahabatnya yang lain,
yakni Palumpang dan Tungkoro yang belum terlihat
batang hidungnya. Keruan saja dada mereka berguncang kaget. "Hai, kemana saudara Tungkoro dan Palumpang"
Jangan-jangan kedua sobat kita ini telah terhembus
oleh ilmu sakti si kakek Gagang Aking?" nyeletuk Gagak Cemani dengan perasaan cemas. "Serangan si kakek tadi memang hebat!"
"Mari kita akan mencari mereka!" sahut Mahesa
Wulung seraya menebar pandangannya ke arah timur.
Begitu pula dengan Gagak Cemani. Mereka berdua lalu
berloncatan ke arah timur untuk mencari kedua orang
sahabatnya itu.
Tak antara lama mereka dapat melihat dua sosok
tubuh yang tertelungkup di atas tanah dengan tangantangannya berpegangan pada tonjolan-tonjolan batu
dan rerumputan.
"Celaka! Jangan-jangan, mereka telah cedera!" ujar
Mahesa Wulung penuh kekhawatiran seraya mendekati Palumpang dan Tungkoro. Hatinya kian berdebardebar keras. "Belum tentu!" sahut Gagak Cemani dalam suara
ragu. "Tak ada bekas-bekas darah, sedang tubuh merekapun baik-baik saja adanya!"
"Sobat Palumpang dan Tungkoro," ujar Gagak Cemani dan Mahesa Wulung bergantian sambil menepuk
tubuh kedua sahabatnya itu.
Tiba-tiba Tungkoro menggeliat bangun seraya melepaskan rerumputan yang digigitnya. Ternyata, selain
kedua belah tangannya yang berpegang pada batu dan
rerumputan, giginyapun ikut menahan diri dengan
menggigit rumput.
Sedang Palumpang terbangun pula seraya mencabut senjata akar baharnya yang dicobloskan ke dalam
tanah sebagai alat penahan diri. Kesemuanya ini patutlah dikagumi orang, keempat pendekar serangkai
itu ternyata memiliki kelebihan-kelebihan yang masing-masing tidak sama, tapi cukup hebatnya. Lebihlebih dengan Mahesa Wulung dan Gagak Cemani.
"Aah, asem kecut! Kiranya bahaya telah lewat!" desis Palumpang sementara ia menyimpan senjatanya,
lalu menebah-nebahkan kedua belah tangan untuk
membersihkan debu-debu yang masih melekat pada
pakaian dan tubuhnya. "Kukira, tubuhku telah terhembus ke luar dari bumi...."
"Seperti ngimpi saja rasanya!" sambung Tungkoro
serta membenahi pakaiannya yang geluprut oleh debu.
"Ilmu si kakek tadi sangat hebat. Entah ini, mungkin kita berempat akan
menderita masuk angin sekarang...!" Tungkoro tampak mengatur ikat kepalanya,
kemudian menyarungkan pedangnya.
Mahesa Wulung tersenyum, sahutnya pula dengan
setengah bergurau, "Untuk itu kita harus mencari
orang yang akan mengeroki tubuh kita...."
"Heh, heh, heh, tak usah repot-repot. Kita duduk
antri berempat," ujar Gagak Cemani sambil nyungirnyungir. "Adik Mahesa Wulung di sebelah depan, lalu
dikeroki oleh sobat Palumpang. Sedang sobat Palumpang sendiri akan dikeroki oleh sobat Tungkoro yang duduk di belakangnya.
Kemudian aku sendiri yang


Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mengeroki sobat Tungkoro. Sebaliknya... Adik
Mahesa Wulunglah yang akan mengeroki tubuhku...."
Akhir dari ucapan Gagak Cemani disambut oleh suara ketawa berbareng sampai tubuh mereka terguncang-guncang sampai bercucur air mata. Kiranya kegembiraan ini sangat tepat sebagai pengobat lelah, setelah mereka mati-matian
bertempur melawan rombongan Doyotan maupun si kakek Gagang Aking. Dalam saat-saat begini ikatan persahabatan keempat
pendekar serangkai itu terasa lebih erat dan akrabnya.
Nyit, nyit... nyiittt... nyiiitt. Tiba-tiba seekor kera yang masih muda sekali
meloncat turun dari sebuah
dahan pohon serta meloncat-loncat mendekati Mahesa
Wulung berempat.
"Heh, heh, heh, lihatlah!" lagi-lagi nyeletuk si pendekar Gagak Cemani. "Tukang
keroyoknya telah datang! Ha, ha, ha, ha, ha."
Kembali getar tertawa cerah terdengar di antara mereka. Sebaliknya, kera kecil yang telah nongol di dekat mereka itu cuma
melompong memutar-mutar kepala
sambil mengangkat alis dan dahinya berkali-kali, seolah-olah dipenuhi oleh tanda
tanya yang tak pernah
dimengertinya. Si kera kecil itu cuma berkata, nguk, nguk, dan nyit, nyit lain
tidak. Jari-jarinya yang panjang itu berkali-kali pula menggaruk-garuk kepala
tak ubahnya seorang manusia yang lagi kebingungan.
"Heh, heh, heh. Persis seperti munyuk ditulup!*"
ujar Mahesa Wulung seraya menahan ketawanya untuk sesaat berkata demikian. (*munyuk ditulup = kera disumpit) Ucapan demikian
adalah satu peribahasa
yang mengibaratkan seseorang bodoh yang tidak dapat
menanggapi sesuatu kejadian di sekelilingnya, sehing-ga ia cuma menoleh,
menengok ke kiri-kanan tanpa
berbuat sesuatu apa.
"Ya, ya. Benar, Kakang Wulung. Tapi ia lebih tepat
sebagai tukang pencari kutu! Ha, ha, ha," sambung
Tungkoro sambil menunjuk ke arah kera kecil itu.
Begitulah suasana gembira meliputi keempat pendekar itu yang selintas seperti lupa bahwa beberapa
saat yang lalu mereka telah menyabung nyawa untuk
dapat tertawa sepuas itu.
"Heei, si kera kecil ini berkalung seutas tali!" sela Mahesa Wulung yang lebih
lanjut memperhatikan kera
tersebut. "Ahh, hmmm, aneh juga hal ini," Gagak Cemani
menyelesaikan ketawanya setelah mendengar ucapan
Mahesa Wulung. Memang ia dapat melihat bahwa seutas tali teranyam halus berwarna kemerahan melingkari leher si kera kecil. Hal tersebut serentak menimbulkan tanda tanya besar di
dalam dada keempat pendekar itu. Mereka sadar bahwa tak mungkin rasanya kalau
kera kecil itu sengaja memakai seutas tali pada lehernya. Jadi pastilah ada yang
memasangkan di situ. Tapi siapakah orangnya" Itulah yang kemudian dikatakan
oleh Mahesa Wulung, "Pasti kera ini pernah mengenal
manusia atau dipelihara oleh manusia! Dan hal itulah yang pasti menarik kita!"
"Hmm, adik mampu berpikir sejauh itu!" sahut Gagak Cemani sementara tangannya mengelus-elus leher
kera kecil itu dan memperhatikan tali merah yang melingkar di situ. "Aku menjadi iri dengan kemampuan
dan cara berpikir andika."
"Yah. Kiranya perkara ini patut kita selidiki Kakang Wulung," sambung Tungkoro
pula. "Bukankah mungkin ada sangkut pautnya dengan tugas kita, membuntuti gerakan orang-orang Tangan Iblis?"
"Benar!" terdengar Palumpang ikut berkata setelah
ia memperhatikan tali merah di leher si kera kecil. "Tali ini adalah anyaman
tangan manusia!"
Nguk, nguk, nguk. Nyit... nyiitt! Suara si kera kecil seraya kedua tangannya
berganti-ganti menunjuk ke
arah utara serta diguncang-guncangkan, bagaikan sikap seseorang yang bermaksud menunjuk ataupun
meyakinkan sesuatu yang diketahuinya.
"Aneh, ia menunjuk ke arah utara!" Mahesa Wulung
berkata setengah heran dan kagumnya.
"Seperti yang diucapkan oleh si kakek Gagang Aking, tentang Doyotan dan orang-orangnya!" tukas Gagak Cemani pula. "Bukankah ia mengatakan bahwa
buronan kita telah lari ke arah utara?"
"Kita banyak menjumpai hal-hal yang aneh. Karenanya kita patut berwaspada diri!" Palumpang berkata pula. "Ayo, bagaimana kalau
kita mengikuti maksud si kera kecil ini!"
"Pergi ke arah utara?" sahut Tungkoro.
"Itu lebih baik!" Mahesa Wulung menyambung pula.
"Namun kita harus mencari kuda-kuda kita di daerah
tenggara. Setelah itu barulah kita bergerak ke utara!"
Dalam pada itu, si kera kecil lalu meloncat ke bahu
Mahesa Wulung tanpa rasa sungkan sedikitpun, seolah-olah ia telah mengangkat majikannya yang baru
sesudah beberapa waktu yang lalu meninggalkan Tangan Iblis dan rombongannya.
"Tapi, lebih dulu kita harus mencari kuda," ajak
Tungkoro lalu melangkah ke arah tenggara bersama
ketiga sahabatnya.
Dengan susah-payah dan terhitung masih ada untung, Mahesa Wulung bersama sahabat-sahabatnya telah berhasil mendapatkan kuda-kuda mereka, sesudah
ubek-ubekan mencari ke sana-sini.
Segera pulalah keempatnya meloncat ke punggung
kudanya masing-masing lalu memacunya ke arah utara, melintasi semak belukar dan pepohonan hutan
yang cukup lebatnya.
Si kera kecil tadi masih tetap mengikuti Mahesa
Wulung dengan mengemblok pada pundak si pendekar. Sesekali ia masih melenguh-lenguh sambil menunjuk-nunjuk ke arah utara, membuat Mahesa Wulung bersama ketiga sahabatnya tersenyum geli. Secara tidak dinyana, mereka menemukan sahabat baru
yang sekaligus bertindak sebagai penunjuk jalan.
Beberapa saat kemudian, mereka berempat telah
berada di tengah perjalanan menuju ke arah utara.
Mahesa Wulung yang berada di sebelah depan senantiasa menebar pandangannya ke setiap arah, ke setiap sudut pepohonan, lekuk
batu-batuan maupun dari
semak-belukar yang rimbun.
Matahari yang cerah menunjamkan sinarnya ke dasar hutan, menembusi kelebaran pohon lewat celahcelah daunnya dan kemudian sinar yang dipantulkan
ke atas oleh beberapa mata air yang mengalirkan airnya merupakan sungai-sungai kecil. Pantulan tadi segera membuat sinar bergemerlapan di atas dedaunan
dengan indahnya.
Nyiittt... nguk... nguukk! Kembali si kera kecil yang menggamblok pada punggung
Mahesa Wulung segera
menjerit-jerit seraya menunjuk-nunjukkan jarinya
yang panjang ke atas rerumputan. Bahkan kemudian
ia meloncat turun dari pundak Mahesa Wulung, sehingga "tuan baru"-nya ini terperanjat beberapa saat.
Gagak Cemani maupun Palumpang serta Tungkoro
tak kalah herannya sehingga mereka bertiga perlu
menghentikan kudanya.
"Haai, apa yang akan kau tunjukkan, sobat berekor?" ujar Mahesa Wulung setengah terbengong keheranan, sebab meskipun ia dapat meraba maksud si kera kecil itu, namun matanya tak melihat sesuatu pemandangan yang aneh ataupun sangat penting, kecuali semak-belukar dan ilalang melulu.
Krrr, nguk... nguukkk, ujar si kera kecil sambil berjingkrakan dengan masih
menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah rerumputan di dekatnya.
"Hmm, baiklah. Rupanya engkau akan memberikan
jasa," ujar Mahesa Wulung seraya meloncat turun dari kudanya. Saat itu pula.
Gagak Cemani bertiga ikut turun ke tanah.
Mereka segera mendekati si kera kecil dan memeriksa rerumputan di situ, yang sejak tadi telah ditunjuk-tunjuk oleh si kera
kecil. Satu rasa curiga telah timbul pula di dalam dada mereka.
"Darah!" desis Mahesa Wulung kaget. "Darah di balik rerumputan ini!"
"Sungguh tajam hidung si kera kecil ini!" ujar Gagak Cemani seraya menepuk-nepuk kepala kera itu
yang seketika mencungir dan menjibir-jibirkan bibirnya.
"Sudah agak kental membeku," sambung Palumpang pula. "Pasti tercecer lewat beberapa waktu yang lalu."
Sementara itu Tungkoro yang lagi menyisihnyisihkan semak di sebelah utaranya telah mendesis
pula, "Lihat sobat. Jejak-jejak kaki dan juga tetesan darah yang telah beku!"
"Pasti ini semua adalah jejak-jejak Doyotan dan kawan-kawannya!" ujar Mahesa Wulung pula. "Mereka
sekarang tinggal berempat lagi jika tidak keliru, sebab dua orang telah kita
robohkan dan tewas!"
"Benar, adik. Baiknya kita telusuri saja jejak mereka. Siapa tahu keempat orang itu akan membawa jejak-jejak ke arah rombongan lainnya!" ujar Gagak Cemani seraya menatap ke arah utara seperti hendak
menembusi hutan itu dengan sorot matanya.
"Setuju," Mahesa Wulung menerima usul yang memang tepat itu. "Tapi sementara kita akan menuntun
kuda-kuda ini, agar kita bisa lebih terperinci mencari jejak buruan kita."
Maka sebentar kemudian rombongan berempat itu
telah berjalan kembali menempuh tujuannya. Mereka
beriring-iring dengan menuntun kudanya. Di sebelah
depan Mahesa Wulung tetap berjalan bersama si kera
kecil. Sebentar-sebentar ia mengawasi sekeliling. Di belakang, Gagak Cemani juga
menuntun kudanya, diikuti oleh Tungkoro dan kemudian Palumpang.
Perjalanan mereka serasa agak lambat, tapi hal itu
dapat dimaklumi sebab mereka tengah membuntuti
buruannya dan ini bukanlah sesuatu hal yang boleh
dianggap ringan. Sebab siapa tahu buronan yang dicarinya justru lebih hebat dari mereka"
Hal tersebut tidak jarang terjadi sebab belum dapat
dipastikan bahwa seorang pendekar pasti akan lebih
unggul dari sasaran yang diburunya. Bukankah hal
yang semacam itu cukup lumrah terjadi di dalam kehidupan manusia" Dan ini semua hampir direnungkan
oleh Mahesa Wulung dan ketiga sahabatnya.
Bagi Mahesa Wulung sendiri yang paling diherani
adalah pengetahuan si kakek Gagang Aking yang dapat
mengenal jurus ilmu pedangnya Sigar Maruta. Maka
sejak tadi, terus saja Mahesa Wulung memikirkan tentang hubungan si kakek tersebut dengan mendiang Ki
Camar Seta yang telah memberi dasar-dasar ilmu pedang tersebut. Adakah keduanya saling mengenal dan
saling berhubungan" Atau barangkali mereka adalah
satu sahabat dalam satu perguruan" Soal-soal semacam itulah yang senantiasa dipikirkan oleh Mahesa
Wulung, meskipun jawabannya untuk kesekian kalinya tidak pernah ditemukannya. Maka untuk sementara Mahesa Wulung lalu melupakan tentang si kakek
tadi dan selanjutnya ia menelusur jejak-jejak rombongan Doyotan dengan harapan
nantinya dapat menemukan pula jejak si Tangan Iblis dan rombongannya.
*** BAGIAN IV DERAP KAKI KUDA terdengar bergemuruh disusul
debu berkepul ke udara. Sementara itu batu-batu kerikil mencutat ke sana kemari oleh terjangan tujuh
ekor kuda yang berlari dengan napas berdengusan.
Yang berkuda di sebelah depan ada dua orang dengan berdampingan. Mereka terdiri dari dua orang laki-laki setengah tua, namun
ada bedanya. Seorang di antaranya bertubuh gemuk pendek sedang satunya lagi
berperawakan sedang. Keduanya tidak lain adalah Ki
Dunuk dan Demang Cundraka.
Di belakangnya, Linting dan empat orang pengawal
berjajar dua-dua ke belakang dengan membekal pedang-pedang pada pinggangnya. Sedang Linting sendiri yang bertindak sebagai
kepala kawal menggenggam
sebatang tombak.
"Sungguh pagi yang nyaman, Kakang Demang!" ujar
Ki Dunuk kepada Demang Cundraka sambil menoleh
ke samping. "Hehh, mudah-mudahan perjalanan kita akan
memperolah kelancaran, Ki Dunuk," sahut Demang
Cundraka. "Sebelum siang, aku mengharap rombongan kita telah mencapai desa Genuk."
"Memang itu yang kita harapkan, Kakang Demang,"
jawab Ki Dunuk pula. "Di sana kita beristirahat beberapa waktu dan memperoleh
makanan segar."
"Sesudah Genuk, kita akan melewati daerah Karangsari dan kemudian Demak. Rasa-rasanya aku ingin cepat-cepat tiba di kota tersebut, kemudian menye-rahkan Arca Ikan Biru
kepada yang berwajib. Dengan
begitu dapat diketahui bahwa bahaya yang tidak nampak tengah mengancam kita."
Ki Dunuk menggersahkan napas, lalu ujarnya,
"Benda yang bernama Arca Ikan Biru tersebut, ternyata telah membawa bencana yang tidak sedikit, Kakang
Demang. Semoga ia selamat sampai ke kota Demak."
"Eh, aku menyadari betapa bahaya akan mengancam kita pada setiap waktu dan setiap tempat. Namun
apapun yang bakal terjadi, kita harus mati-matian
menjaga benda itu."
Ki Dunuk memanggutkan kepala dan tiba-tiba ia
mengutarakan pendapatnya, "Sebagai satu rombongan
yang membawa benda berharga dan penting, nampaknya kita terlalu menyolok. Dengan begitu kita sangat menarik perhatian dan mudah
menjadi sasaran dari
maksud-maksud jahat."
Dahi Demang Cundraka lalu berkerut sesaat ketika
ia mendengar penuturan Ki Dunuk yang cukup berharga itu, tetapi sesaat kemudian wajahnya menjadi


Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih cerah, satu pertanda bahwa ia telah menemukan
suatu gagasan yang tentu saja menyangkut soal keselamatan Arca Ikan Biru. "Sttt, dengarlah Ki Dunuk!"
ujar Ki Demang Cundraka seraya membisikkan satu
deretan kalimat ke telinga Ki Dunuk di sebelahnya.
Tampak Ki Dunuk tersenyum dan menganggukangguk, dan Ki Demang Cundraka pun merasa puas
karenanya. Sementara itu....
Jauh di sebelah timur, di balik dedaunan pakis hutan, sepasang mata setajam burung elang senantiasa
mengikuti gerak-gerik rombongan Ki Demang Cundraka. Gumam bernada gembira terdengar dari mulut si
pengintai ini yang kemudian berdiri dan menjauh dari tempatnya semula.
Dengan satu gerakan ringan, orang tersebut melesat
ke atas dahan dan selanjutnya bergayutan berayun ke
arah timur dengan berganti-ganti pohon. Gerakannya
sungguh mirip seekor kera. Gesit, cekatan dan tepat.
Apalagi orang tersebut mengenakan pakaian seragam
hitam-hitam, dengan selembar kain hitam tebal yang
menutupi mulutnya, hingga mengesankan seperti
orang sakit pilek.
Dia tidak lain adalah Si Mulut Bertudung, salah
seorang pengikut saudagar Arya Demung yang telah
tersohor di daerah barat daya Asemarang. Kini ia harus cepat-cepat mengabari pemimpinnya, sesudah
dengan cepat ia berhasil menyelesaikan tugasnya,
yakni mengintai gerakan Ki Demang Cundraka dan
orang-orangnya. Oleh karena itu tidak mengherankan
bila gerakannya lantas saja gesit seperti dikejar setan dan pohon demi pohon
dilewatinya dengan sekejap ma-ta. "Aku harus secepatnya sampai ke warung itu!"
desis Si Mulut Bertudung sendiri! "Begitu tiba di kota Genuk, aku akan melapor kepada Ki Arya Demung. Mudah-mudahan mereka telah siap di warung itu."
Pakaian yang dikenakan Si Mulut Bertudung berasal dari tenunan halus, lurik hitam kecoklatan. Pada
pinggangnya terselip sepasang pedang pendek dengan
ujung tangkai menongol ke depan, siap tercabut oleh
kedua tangannya yang lincah, sewaktu-waktu ada bahaya yang mencegatnya. Tampaknya kedua pedang
pendek tadi adalah senjata andalan Si Mulut Bertudung dan boleh dipastikan bahwa sepasang pedang tadi bukanlah sekedar senjata rahasia, bahkan juga mulutnya yang selalu bertudung itupun merupakan rahasia pula. Namun rupanya saja keanehan itulah yang
dipakai sebagai gelar nama kependekaran yang dibanggakannya. Ketika loncatan Si Mulut Bertudung melewati satu
pohon petai, mendadak saja si pendekar ini terhenyak menghentikan gerakannya,
sebab di atas sebuah dahan pohon itu, sejauh hampir empat tombak bergantunglah sesosok tubuh manusia berpakaian kulit binatang, putih berbelang-belang hitam. Kedua kaki orang itu membelit pada dahan
tadi, dengan demikian maka
kepalanya menghadap ke bawah tak ubahnya seekor
kalong atau kelelawar raksasa yang lagi bergantung di-ri. Melihat ini, Si Mulut
Bertudung hampir terpekik karena kagetnya. Apa yang ditemui di depannya ini
betul-betul membuat hatinya tercekat sehingga otomatis gerakannya terhenti dan ia berdiri termangu seperti patung.
"Hoo, hi, hi, hi. Gerakan Anda cukup lincah, sobat.
Tapi sorot matamu memperlihatkan kerja yang terburu-buru," begitu suara menegur dari mulut orang tersebut terdengar memecah kesenyapan suasana.
"Itu bukan urusanmu!" bentak Si Mulut Bertudung.
"Apakah aku tergesa-gesa atau berlambat-lambat dalam perjalananku, ini adalah kepentinganku sendiri."
"Heh, heh, heh. Kata-katamu setajam mata pisau,
sobat. Tapi tak apa. Aku senang mendengarnya!" ujar
si baju kulit yang ternyata sudah berusia tua.
"Jadi apa maksudmu dengan mencegat perjalananku ini!?" seru Si Mulut Bertudung penuh kegeraman.
"Oo, anehlah pertanyaanmu, sobat! Aku sama sekali
tidak mencegatmu! Mengapa kau berkata demikian"
Apakah lantaran dirimu terkejut, lalu melontarkan
dakwaan tadi?" ujar si tua berbaju kulit.
"Berlagak pilon, haa!" seru Si Mulut Bertudung sementara hatinya menjadi uring-uringan. Masakan
sambil berbicara, si tua itu tetap bergantung diri dan ini dirasakan oleh Si
Mulut Bertudung sebagai satu
hinaan besar. "Mulutmu berbicara tak keruan!"
"Ooo, jadi aku yang kau salahkan" Sejak tadi sebelum kau lewat di tempat ini, aku telah bergantung di sini menyepikan diri," ujar
si tua dengan tenangnya.
Masih saja bergantung dengan kedua belah kakinya.
"Keparat, kalau begitu, kaulah yang mesti menyingkir selagi aku lewat di sini! Nah dengar telingamu,
haa!?" ujar Si Mulut Bertudung dengan wajah merah.
Rupanya darah kemarahan telah naik ke kepala. Sebab hatinya sangat jengkel, selagi hendak cepat-cepat kembali ke kota Genuk,
mendadak si tua ini melenting di tengah jalannya.
"Weh, weh. Orang seperti kamu ini suka bertindak
sewenang-wenang terhadap orang lain. Lebih berbahaya lagi seandainya kamu memegang kekuasaan.
Pastilah orang-orang kecil akan kau tindas dengan semena-mena!" sahut si tua
kembali dalam nada tajam
sehingga dada Si Mulut Bertudung seperti tertusuk
olehnya. Matanya seketika mendelik.
"Sihh. Mulutmu pandai berpidato! Maka terimalah
benda-benda penyumbat untukmu, ini! Hyaatt!" teriakan si pendek terdengar membarengi berkelebatnya
tangan kanan Si Mulut Bertudung ke depan. Benda
berkejaran bersuit dan gemerlap, langsung menyambar
ke arah kepala si tua.
Trek - tek - tek! Sambaran sinar-sinar terhenti tepat di depan kepala si tua
berbaju kulit membuat si Mulut Bertudung tercengang buat sesaat.
Hampir-hampir ia tak dapat percaya ketika tiga
buah paku baja yang baru dilemparnya itu dapat ditangkap ujung-ujungnya, oleh gigitan atau jepitan gigi si orang tua.
"Nah, boleh kau terima kembali! Whaahh!" seru si
orang tua seraya mengibaskan kepalanya ke samping
dan tahu-tahu ketiga paku baja hadiah Si Mulut Bertudung telah mental balik dan meluncur ke arah tuannya sendiri dengan bunyi berdesing.
"Ahh!" desis si Mulut Bertudung seraya mengelakkan diri dengan sedikit cekakaran. Sungguh memalukan seandainya senjata-senjata tersebut menimpa tubuhnya sendiri.
Si kakek tua lalu menggerakkan tubuh yang dengan
cepat berputar ke atas, sehingga ia duduk di atas dahan pohon itu dalam sekejap
mata. Sungguh gerakan
yang sukar dan cukup mengagumkan, apalagi sambil
berputar itu kedua tangan si kakek tetap bergantung
tanpa menyentuh dahan pohon sedikitpun. Gerakan
ini hanya mampu dilakukan oleh orang yang berilmu
tinggi di samping segi-segi kecekatan yang dimilikinya.
"Heh, heh. heh. Hampir terjadi senjata makan
tuan!" gereneng si kakek tadi sekaligus melontarkan
sorot mata yang tajam ke arah Si Mulut Bertudung.
"Kau mulai menyerang dengan senjata gelap, sobat.
Satu kesalahan yang tak kecil."
"Jangan lekas sombong, kakek kurus. Setiap pendekar mampu berbuat demikian. Hanya aku lebih sedikit hebat sebab melakukan tangkapan itu sambil
bergantung diri!"
"Bagus! Jadi sambutlah pelajaran kedua buat orang
yang sok jagoan dan berbuat sewenang-wenang!" seru
si kakek sambil melesat ke depan, menyambar Si Mulut Bertudung. Jari-jari kedua tangannya mengembang
bagaikan cakar-cakar garuda siap merobek sasarannya. Tentu saja Si Mulut Bertudung melesat ke atas dengan cepat, apalagi ketika terasa olehnya bahwa sambaran si kakek itu mempunyai
kecepatan kilat.
Wesst - westt! Sambaran tangan si kakek dapat dihindari oleh Si Mulut Bertudung, namun angin tajam
yang berasal dari sambaran tadi tak urung menyerempet kedua pelipisnya sehingga terasa kepedihan yang
amat menusuk. Karenanya, Si Mulut Bertudung setengah kalang kabut menyelamatkan diri.
Dengan satu tiupan ringan, Si Mulut Bertudung
mendarat ke tanah, sekaligus melolos kedua pedang
pendeknya untuk menghadapi si orang tua. Sedang
dalam hati, Si Mulut Bertudung tak habis-habisnya uring-uringan meskipun
terselip pula rasa jerih oleh gerakan-gerakan si orang tua yang kelewat mantap
dan penuh perbawa. Si orang tua bertubuh kurus itupun meluruk turun
begitu dilihatnya Si Mulut Bertudung telah mendarat
di tanah. Ketawa pelahan yang seolah-olah berasal dari lehernya itu terdengar
menggeletar mengejutkan Si
Mulut Bertudung, seakan-akan suara hantu penjaga
hutan. Tanpa melewatkan kesempatan sedikitpun, Si Mulut Bertudung menikamkan kedua pedang pendeknya
dengan gerakan memutar dan menggunting. Tetapi entah bagaimana si orang tua itu menggerakkan tubuhnya, sebab tahu-tahu tubuhnya seperti lenyap hanya
dengan sekali berkelebat dan kedua pedang pendek Si
Mulut Bertudung tadi hanya mendapatkan udara melompong. "Setan!" desis Si Mulut Bertudung setelah ia kehilangan lawannya. Pandangan matanya disebar namun
tak juga ia menemukan jejak lawannya. Keruan saja
hati si pendekar ini berdegupan saking cemasnya, sebab seperti yang baru saja dialami, satu serangannya yang cukup matang, telah
dapat dihindari lawannya
dengan sangat mudahnya.
Mendadak saja selagi ia mencari jejak lawannya terdengarlah satu suara ketawa dari arah belakangnya,
menyebabkan bulu tengkuk Si Mulut Bertudung meremang seketika. Sadar akan bahaya di belakang, secepat kilat ia memutar gerakan ke belakang sedang
kedua pedang pendeknya langsung menyabet dan menikam berbareng, sampai berdesingan.
"Heh, heh. Tak akan semudah itu kau menyerangku! Heeitt!" Si orang tua mengibaskan tangan yang cepatnya melebihi gerakan
pedang Si Mulut Bertudung
bahkan seakan-akan mendahuluinya.
Plakk! Begitulah tiba-tiba tangan kanan si orang tua menampar lebih dahulu
pelipis Si Mulut Bertudung
sehingga tokoh ini hampir saja terpelanting roboh.
"Nah, itulah peringatan dari si kakek tua yang tak
berharga."
Sekali ini Si Mulut Bertudung lebih terkejut sebab si orang tua itu bergerak
bagai hantu. "Sambutlah kedua pedangku ini dengan senjatamu!
Lekas! Aku tak mau terhina dengan cara-caramu!"
"Bagus!" desis si kakek tua seraya mencabut sesuatu dari balik baju kulitnya dan sebentar kemudian terlihatlah dua batang logam
tergenggam pada kedua belah tangan. Memang tidak lain si kakek itu adalah Ki Gagang Aking si pendekar
tanpa juntrung, selalu berpindah-pindah tempat dan mengembara menuruti kehendak kaki. Si Mulut Bertudung tidak lagi berkata tapi bertindak dengan menyabetkan kedua pedang pendeknya
berbareng ke arah si Kakek Gagang Aking. Trang...
Traang! "Haaah"!" desis Si Mulut Bertudung begitu kedua
tangannya bergetar hebat. Hatinya serentak bagai dibakar oleh bara api dan memuntahkan amarahnya.
Namun tiba-tiba ia teringat pula bahwa ada tugas lebih penting yang harus
dikerjakan, yaitu cepat-cepat tiba di kota Genuk. Maka secepat kilat Si Mulut
Bertudung melesat ke atas dahan pohon seraya berseru lantang,
"Sayang kakek. Aku punya tugas lain. Akan kita lanjutkan lagi permainan ini di lain kesempatan!"
Kakek Gagang Aking membiarkan Si Mulut Bertudung kabur ke arah timur dan lenyap di balik pepohonan sesudah ia berloncatan melalui dahan-dahan pohon. Sedang ia sendiri cuma bergerundelan memberengut, "Tempat-tempat ini seperti tidak aman dan kurang cocok buat bersemadi.
Sudah dua kali aku terganggu. Yang pertama dengan dua rombongan di sebelah tenggara sana dan kini terganggu pula oleh orang yang mulutnya bertudung
itu! Hmm, akan kucari tempat lain."
Begitulah Ki Gagang Aking lalu mengeloyor ke arah
timur sambil menyimpan senjatanya kembali, yang
berbentuk dua batang logam pipih ke dalam bajunya.
Langkahnya tenang-tenang menunjukkan betapa kokoh jiwa dan semangatnya. Meskipun sudah tua tapi ia tidak berjalan dengan
membongkok-bongkok, seperti
seorang tua pada usia sebaya itu.
Karenanya tidak heran bila orang kadang-kadang
meragukan ketuaan usia Ki Gagang Aking. Meski rambut dan kumisnya seputih perak, namun wajahnya
masih kelihatan segar kemerahan dan kerut-kerut di
tempat itu tidak terlalu banyak, seolah-olah ia tahan terhadap usia, dan orang
lantas bisa mengingat tentang seorang pendekar yang pernah disebut-sebut dalam dongeng yang kabarnya juga tahan usia. Ia tidak
lain adalah Panji Tengkorak, si pengembara lontanglantung. Angin kencang mulai bertiup dan mengiringi lenyapnya si kakek Gagang Aking di balik semak pakis
dan belukar di sebelahnya. Seekor tupai mulai menongolkan kepalanya lalu bermain-main, sesudah beberapa saat ia ketakutan disebabkan terjadinya pertarungan antara Si Mulut Bertudung dan Ki Gagang Aking.
*** BAGIAN V KESIBUKAN warung di bawah pohon asam itu terus
saja berjalan dari pagi sampai sore dan dari malam
sampai pagi. Terlebih lagi sesudah beberapa hari beberapa orang tinggal menginap


Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan makan minum di situ. Seorang berperawakan angker duduk dengan resahnya menghadapi meja panjang. Sebentar-sebentar
ia menatap ke arah luar, seperti merenungi kaki langit
di sebelah sana. Perlahan-lahan sang matahari naik
semakin tinggi.
Tiba-tiba seorang berpakaian biru kehitaman dengan lengan bajunya yang longgar perlahan mendekati
si tokoh yang lagi resah tadi. Kedua lengan si pendatang ini berhiaskan dua
gelang hitam mengkilat berukuran kelewat tebal dan besar!
"Ki Arya Demung, Anda tampak gelisah," ujar si gelang tebal yang tidak lain adalah Wasi Sableng.
"Si Mulut Bertudung belum juga datang. Seharusnya, sudah waktunya ia sampai di tempat ini," sahut
saudagar Arya Demung sambil berkali-kali menebar
pandangnya ke arah barat dan kadangkala mulutnya
mencapak membayangkan kegelisahan.
"Apakah ia telah hafal dengan daerah ini, sehingga
tidak ada kemungkinan akan tersesat di jalan?"
Arya Demung mendongak sesaat oleh kata-kata
Wasi Sableng tadi, namun kemudian ia menjawab,
"Tersesat" Ah, itu tak akan terjadi pada Si Mulut Bertudung. Ia cukup baik
mengenal daerah ini! Yang justru aku khawatirkan tentang dia ialah kalau sampai
ia mendapat bahaya di tengah jalan."
Selagi mereka berembuk begitu terdengarlah langkah-langkah kaki kuda dari arah barat yang seketika
membuat Wasi Sableng dan saudagar Arya Demung
berjelalatan menatap ke arah sana. Tapi betapa mereka kecewanya ketika si pendatang itu bukanlah Si Mulut Bertudung yang lagi dinanti-nantinya, melainkan
adalah empat orang berkuda yang tampak keletihan.
Arya Demung menggerendeng dan meludah saking
jengkelnya, namun empat orang penunggang kuda itu
tak mengetahui tampaknya. Mereka terus mendekat ke
warung dan turun dari atas kudanya hampir berbareng. Terus saja Arya Demung dan Wasi Sableng memperhatikan keempat pendatang itu, begitu juga para
pengikut Arya Demung yang duduk bertebaran di
bangku-bangku Warung.
Keempat pendatang itu tampaknya sebagai pengembara yang kelelahan dan singgah di warung ini untuk mengisi perut dan menghilangkan haus. Untuk itu
semua, baik Wasi Sableng dan Arya Demung tidak begitu perduli sebab daerah ini dan lebih-lebih warung ini sering disinggahi oleh
pengembara maupun orang-orang yang singgah di tengah perjalanannya.
Meskipun tak perduli, tapi tak urung hati Arya Demung menjadi berdesir sewaktu ia memperhatikan salah seorang pendatang yang berkumis melintang dan
berkerudung kain batik hitam biru pada punggungnya.
Diam-diam Arya Demung menaksir mereka.
Begitu keempat orang pendatang itu lewat di sampingnya, tanpa diduga saudagar Arya Demung menggebrak meja seraya tertawa terbahak-bahak. "Heh,
heh, heh. Lihatlah, Sableng! Siang-siang begini ada
orang kedinginan berkerudung kain. Barangkali ia biasa hidup di padang pasir...!"
Meski sesaat Wasi Sableng tak dapat menangkap
maksud Arya Demung, tapi setelah ia merasakan katakata di atas, maka segera ia menyahut, "Ahh, benar
juga ujarmu. Atau barangkali pula ia salah satu anggo-ta rombongan penari
keliling yang lagi demam pilek."
Tiba-tiba Gagak Cemani, si kumis melintang yang
mengenakan jubah di punggung melempar lirikan tajam ke samping dan sebentar lagi ia pasti menggebrak ke arah Wasi Sableng dan
Arya Demung jika ia tidak
buru digamit tangannya oleh Mahesa Wulung yang
berdiri di sampingnya seraya berbisik, "Jangan ladeni mereka...."
Tanpa menunjukkan sikap mendongkol, Mahesa
Wulung justru mengangguk tersenyum kepada Wasi
Sableng dan Arya Demung untuk menghilangkan kesan-kesan yang tidak diharapkan. Akhirnya, Mahesa
Wulung, Gagak Cemani, Palumpang dan Tungkoro duduk menghadapi meja panjang sejauh dua tombok kurang lebih dari tempat Wasi Sableng dan Arya Demung
berada. Seorang wanita cantik langsung mendatangi meja
Mahesa Wulung dan menyapa ramah, "Tuan, Tuan berempat akan minum apa" Serbat, kopi atau...?"
"Satu lodong tuak dan empat cawan, ditambah juadah ketan dan lauknya sekali," ujar Gagak Cemani
ringkas. Terasa bahwa kemangkelan hatinya terhadap
sindiran Wasi Sableng, Arya Demung ikut terlontar dalam kata-kata itu, "Dan juga
setundun pisang yang
masak...."
Wanita itu tetap tersenyum ramah, lalu katanya,
"Baik tuan. Semuanya akan kami siapkan. Persilahkan
melepaskan lelah sepuasnya. Maaf, tempatnya agak
kurang baik."
"Ooh, tak apalah. Terima kasih," ujar Mahesa Wulung pula dengan iringan senyum, ketika wanita berparas cantik itu membalikkan
diri untuk mempersiapkan
hidangan tersebut. Gaya jalannya yang gemulai dan
mempesona segera terlihat, sehingga tanpa sengaja
Tungkoro mendesis kagum.
Memang sesungguhnya tidak hanya Tungkoro yang
terpesona, sedang semua rombongan Arya Demungpun
mengalami hal yang sama. Apalagi dengan Wasi Sableng sendiri. Kedua biji matanya seakan-akan meloncat keluar dari kelopaknya,
begitu melihat gerakan wanita cantik ini dalam berjalan.
Namun ada hal yang lebih penting dan inilah yang
membuat Arya Demung dan Wasi Sableng sekaligus
merasa cemburu kepada rombongan Mahesa Wulung
berempat. Seperti yang diketahuinya, wanita cantik ini adalah pemilik warung
yang jarang sekali melayani
langsung kepada para tetamunya. Sedang mereka sendiri, baik Wasi Sableng maupun Arya Demung selama
tinggal di warung itu, jarang ditemui oleh si wanita cantik. Tak disangkanya
bahwa Mahesa Wulung berempat yang baru saja datang itu, tahu-tahu disambut
langsung oleh si pemilik warung. Keruan saja Arya
Demung dan Wasi Sableng merasa terbakar hatinya
melihat hal itu, sehingga tak mengherankan bila gigi Wasi Sableng
bergemeretakan. Dasar seperti Wasi Sableng yang suka melihat wanita cantik dan
malah suatu ketika hatinya jadi tersinggung karena sikapnya tidak diacuhkan oleh
si pemilik warung tadi, maka salah-salah rasa mendongkolnya beralih menumpah
kepada Mahesa Wulung dengan ketiga rekannya.
Di sebuah meja lain duduklah pula seorang wanita
cantik ditemani oleh seorang pria berkulit hitam, bertubuh pendek. Di atas meja
mereka masih terlihat macam-macam hidangan yang tersedia di situ dan sedikit aneh bahwa mereka
tersenyum-senyum melihat sikap
Wasi Sableng yang lagi angot-angotan marah. Mereka
adalah si genit Teja Biru dan Klenteng, termasuk pengikut-pengikut saudagar Arya
Demung. Tak antara lama, si cantik pemilik warung itupun
muncul kembali dengan membawa hidangan-hidangan
yang dipesan oleh Mahesa Wulung dan Gagak Cemani.
Sekali lagi terlihatlah betapa lemah-gemulai yang
mempesona setiap insan di situ.
Akan tetapi hal itu malahan seperti membakar rasa
cemburu Wasi Sableng. Matanya yang tajam itupun
masih seterusnya melotot ke arah Mahesa Wulung dan
Gagak Cemani. Lebih-lebih ketika sesaat ia sempat melirik ke arah si genit Teja
Biru yang tersenyum-senyum ke arahnya. Senyum tadi berkesan mengejek kepada
dirinya yang terang-terangan tidak digubris oleh si
cantik pemilik warung.
"Ooh, sebentar. Maaf tuan-tuan. Tuaknya masih ketinggalan di belakang. Akan kuambil dahulu!" ujar si cantik seraya tersipu-sipu
malu dan tersenyum merun-tuhkan hati, karena kelupaannya itu. Agaknya saja ia
jarang menyambut sendiri tetamunya sebab di situ
memang ada beberapa pelayan pembantu yang siap
melayani tamu-tamu. Maka apakah keistimewaan
sambutannya kepada Mahesa Wulung berempat tadi
tidak menimbulkan rasa iri dan cemburu kepada tetamu lainnya"
Buat ketiga kalinya Wasi Sableng dapat menyaksikan betapa lenggang si cantik seumpama macan lapar
dapat memukau setiap hati pengunjung warung yang
berada di situ. Ia melangkah ke arah dapur untuk
mengambil tuak dan sebentar lagi ia pasti lewat di situ.
"Ia sengaja mengejekku!" gumam di hati Wasi Sableng. "Sekali ia lewat dengan melenggang-lenggok seperti angsa begitu, akan kugeret* ia ke mejaku ini!"
(*geret = seret, tarik)
Tak antara lama, si cantik pemilik warung itupun
muncul dan berjalan ke arah meja Mahesa Wulung.
Lenggang-lenggoknya masih saja tak ketinggalan. Ooh, seandainya ia tahu akan
tekad Wasi Sableng, pastilah akan dihentikannya lenggang-lenggoknya itu. Tapi
sayang, memang hanya Wasi Sableng sendiri saja yang
tahu. "Nah, inilah tuan. Tuak selodong yang Anda pesan,"
ujar si cantik pemilik warung seraya meletakkan empat buah cawan di atas meja
dan kemudian tuak selodong
penuh. "Bolehkah aku mengenal namamu?" tiba-tiba Tungkoro menyelonong dengan pertanyaannya.
"Ooh, tuan menanyakan namaku?" ujar si cantik
seraya tersenyum-senyum menawan. "Apakah itu perlu?" "Benar. Siapa?"
"Ken Warsih," jawab si cantik pelahan.
Mendadak saja sesuatu bayangan berkelebat dengan iringan kesiur angin deras dan tahu-tahu lengan si cantik Ken Warsih yang
lagi menuang-nuangkan lodong tuak ke dalam cawan-cawan itu, telah tergenggam oleh jari-jemari yang kokoh.
"Ooh, lepaskan ini!" seru Ken Warsih bercampur rasa kaget yang luar biasa, sebab tahu-tahu Wasi Sableng telah berada di sampingnya dengan menggenggam
lengan kanannya.
"He, he, he, he. Kau juga harus melayani aku, wong
denok ayu! Bukankah aku juga tamu di sini dan mengenalmu lebih lama dan lebih dahulu daripada empat
orang ini?" seru Wasi Sableng seraya mengurut-urut
lengan kanan Ken Warsih sampai si cantik ini mengkirik-kirik dan mengeluh ketakutan, "Hihh, lepaskan....!"
"Heh, heh, heh, kulitmu memang halus denok ayu.
Sayang kalau tinggal di warung yang penuh asap begini. Salah-salah kulitmu akan kotor dan menjadi hitam seperti sobatku yang
bernama si Klenteng itu!" ujar
Wasi Sableng seraya menunjuk Klenteng dengan tangan kirinya. "Baiknya kau ikut dan tinggal bersamaku saja! Wasi Sableng akan
menjagamu!"
"Berlakulah yang sopan, sobat!" tiba-tiba terdengar
suara pelahan tapi penuh wibawa meluncur dari bibir
Mahesa Wulung dengan tenangnya.
"Hoo, kau berlagak jagoan dengan menolong wanita
cantik ini?" geram Wasi Sableng sementara beberapa
rekannya tampak bersiap siaga melihat gelagat pendekar angot-angotan ini.
"Lepaskan jari-jarimu dari tangan wanita ini, sobat!
Kau telah menyakitinya...!" ujar Mahesa Wulung kembali. "Apa katamu" Berani kau...."
"Lepaskan, kataku!" Plakk...! Tiba-tiba tangan kiri
Mahesa Wulung berkelebat menebas ke samping dan
tahu-tahu tubuh Wasi Sableng terhuyung ke belakang
dan rebah di dekat tempat duduknya semula, tak jauh
dari kaki Arya Demung. Beruntung bahwa ia memiliki
himpunan tenaga sakti yang dapat mengurangi pengaruh lontaran itu. Tambahan pula memang ia tidak bersiap sebelumnya dan serangan datang begitu mendadak tanpa diduga sama sekali.
Cepat-cepat Wasi Sableng bangkit dengan amarah
yang meluap. Secepat kilat ia merauk beberapa tusuk
satai dan dikibaskan ke arah Mahesa Wulung. Bendabenda tadi melesat dengan pesatnya menyambar sasaran, sampai-sampai Ken Warsih yang melihat gelagat
ini mundur dengan menjerit ketakutan.
Kembali Mahesa Wulung menyentilkan tangan kanannya ke samping dengan tubuh condong ke kiri dan
tanpa terduga tusuk-tusuk satai tadi terpental berganti arah dengan kecepatan
yang tidak berubah.
"Wuaaahh!" tiga teriakan parau terdengar dari
samping kanan Mahesa Wulung yang ternyata keluar
dari mulut tiga anak buah Arya Demung dengan masing-masing telapak tangan kanannya tertembus oleh
tusuk sate dari bambu itu. Ketiga golok mereka terpelanting jatuh di lantai.
Rupanya saja ketiga orang tersebut hendak membokong serangan dari sebelah belakang. "Hei, hei, hei! Jangan bertengkar!" Satu teriakan tajam memenuhi udara berbareng
ketawa renyah keluar
dari mulut si genit Teja Biru. "Buat apa bertengkar karena soal sepele saja!
Sekarang biarlah aku memberi
ucapan selamat kepada si pendekar berkumis kecil itu.
Siapa namamu, pendekar" Terimalah ucapan selamat
dari Teja Biru. Hup!"
Sambil berkata si genit Teja Biru memungut cawan
berisi tuak dan ditimpukkan ke arah Mahesa Wulung.
Sungguh di luar dugaan, bahwa cawan berisi tuak itu
meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada si pendekar. Meski seperti tak masuk akal, tapi dapat dibayangkan bahwa lontaran dengan dilandasi himpunan tenaga sakti itu akan sanggup membuat amblas cawan berisi tuak tadi ke dalam dada Mahesa Wulung.
"Huppp!" desis Mahesa Wulung mengibaskan tangannya buat ketiga kali dan tahu-tahu cawan berisi


Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuak tadi telah lenyap disambarnya.
"Lenyap"!" desis Wasi Sableng, Arya Demung dan si
genit Teja Biru. Bagaimana mungkin bahwa cawan
yang cukup lebar itu lenyap dalam genggaman tangan
Mahesa Wulung"
Sambil tersenyum lunak, Mahesa Wulung lalu
membuka genggaman tangannya dan semua mulut
hampir berseru kagum, sebab pada telapak tangan
Mahesa Wulung terletak satu bulatan benda berwarna
coklat tua berasal dari bahan cawan tuak tadi.
"Ucapan selamatmu telah kuterima nona!" kata Mahesa Wulung seraya menggebrakkan benda bulat tadi
ke atas meja, yang seketika amblas ke dalam kayu
daun meja. Arya Demung dan orang-orangnya terkejut dan
hampir saja ia memberi aba-aba untuk mengeroyok
Mahesa Wulung berempat, jika dari arah barat tidak
muncul seorang penunggang kuda yang langsung menuju ke arah warung.
"Wah, untung si kakek Gagang Aking itu tidak menemukan kudaku ini. Hah, tapi yang penting tugasku
mengintai rombongan Demang Cundraka telah berhasil!" gumam si pendatang. Dengan cepat si penunggang kuda meloncat turun dan
Arya Demung berseru gembira, "Haa, kau telah datang adik!"
"Kita harus berangkat sekarang! Orang-orang itu
tengah dalam perjalanannya!" bisik Si Mulut Bertudung ke dekat telinga Arya Demung.
"Bagus! Ayo, anak-anak, kita berangkat sekarang,"
seru Arya Demung sambil sesaat menatap tajam ke
arah Mahesa Wulung berempat serta berkata, "Dan kalian! Cukup disini permainan tadi. Tunggulah sampai
bertemu di lain saat! Kau boleh bermain sepuaspuasmu sebelum nyawamu melayang di ujung golokku
ini!" Wesss! Sambil berkata demikian Arya Demung
menggerakkan goloknya ke atas meja dan sesaat kemudian bersama orang-orangnya meloncat ke luar dari
warung dan berpacu dengan kuda-kudanya ke arah
barat. Semua mata masih menatap ke arah rombongan
Arya Demung sambil bertanya-tanya tentang asal tujuan dari orang-orang itu, lebih-lebih dengan permainan gertak si pemimpin
rombongan dengan goloknya.
Kraakkk... byaarr! Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh meja bekas tempat Arya Demung yang semula masih tegak tanpa cacat apapun, mendadak runtuh ambyar berkeping-keping menjadi tumpukan kayu
bakar! "Bukan main!" desis Tungkoro kaget.
"Mereka berilmu tinggi pula!" sahut Mahesa Wulung. "Hmm, jika terjadi pertempuran tadi, pastilah sangat hebatnya," sambung Gagak Cemani.
"Ooh, semua ini lantaran saya tuan!" desah Ken
Warsih dengan nada penuh penyesalan. "Harap tuantuan sudi memaafkan saya...."
Si cantik ini berkata dan matanya yang jeli itu berkaca-kaca oleh air mata, maka cepat-cepat Mahesa
Wulung berkata kembali, "Anda tak usah merasa demikian. Mereka pada dasarnya tergolong orang-orang
liar dan suka bertindak semaunya sendiri. Maka sudah sewajarnya kami membela
nona!" "Terimakasih... terimakasih," ujar Ken Warsih seraya mengusap air matanya dengan ujung depan bajunya, lalu senyum manis mulai menyungging bibirnya. "Silahkan duduk kembali. Kalian akan kuambilkan tuak lagi!"
"Aku akan membantu Anda!" ujar Tungkoro seraya
bangkit dari bangku, tapi Ken Warsih buru-buru berkata, "Oooh, tidak perlu tuan. Biarlah aku kerjakan
sendiri, sebab tadi aku telah merepotkan tuan-tuan
dengan orang-orang liar itu. Kini, biarlah kami hidangkan makanan yang lezatlezat sebagai rasa terimakasih kami!" Selesai berkata, Ken Warsih lalu menuju ke
arah dapur sambil tersenyum segan. Ia telah ditolong sekali dan untuk kedua
kali, si cantik ini merasa tidak pantas sebelum ia dapat membalas budi.
Tungkoro duduk kembali ke atas bangkunya dengan tersipu sementara Mahesa Wulung, Gagak Cemani
dan Palumpang tersenyum-senyum kecil.
"Ken Warsih memang cocok untukmu, adik Tungkoro!" ujar Mahesa Wulung, diiringi senyuman penuh arti. "Haa, kalian mulai menggodaku, hah!" sahut Tungkoro dengan wajah merah saking malunya.
"Aaaa. Jangan marah sobat! Makanlah ini!" ujar
Gagak Cemani seraya menyuapkan sepotong juadah
ketan ke dalam mulut Tungkoro yang lagi ternganga.
"Hepp," gagap Tungkoro kaget. Tapi dasar sesama
sahabat, ia tidak marah, bahkan mengunyah juadah
ketan itu dengan nikmatnya dengan mata yang berputar-putar lucu. "Haem... nyaem... nyaem... nyaem...."
*** BAGIAN VI JALANAN yang menuju ke kota Genuk tampak
sunyi-senyap ketika matahari makin bergeser ke puncak kepala. Selain cahayanya memancarkan panas sehingga orang-orang segan melakukan perjalanan, juga
saat-saat tengah hari begini banyak dianggap menimbulkan bahaya dan merupakan larangan, semacam
kepercayaan yang banyak didapati pada pengembarapengembara. Meskipun hal itu sukar diterima oleh akal sehat,
namun ada beberapa segi kebenaran, bahwa matahari
memang bersinar sepanas-panasnya pada saat tengah
hari, tepat jatuhnya sinar tegak lurus di atas kita.
Dalam saat-saat demikian, tidak mustahil kalau sinar terik itu mampu menyebabkan pingsan dan apabila orangnya sangat lemah bisa juga ia meninggal.
Agaknya pula, orang lalu menghubung-hubungkan
bahwa para raksasa dalam ceritera wayang, suka mencegat manusia pada tengah hari begini.
Mereka biasanya lalu beristirahat sejenak sampai
matahari lewat dan condong ke arah barat, barulah
perjalanan yang ditempuhnya itu dilanjutkan lagi.
"Tengah hari, Kakang demang!" ujar Ki Dunuk seraya mengusap peluh yang mengalir membasahi dahinya. "Bagaimana kalau sejenak kita beristirahat melepaskan lelah?"
"Sebentar lagi kita akan tiba di Genuk. Di sanalah
kita nanti mengambil istirahat beberapa saat," sahut Demang Cundraka pendek.
"Karenanya harus cepat-cepat kita sampai kesana, adik Dunuk!"
"Tapi ini adalah saat tengah hari...."
"Memang. Tapi lebih penting Arca Ikan Biru daripada saat tengah hari...," sahut Demang Cundraka pula.
"Tambahan lagi seperti siasatmu, kita telah berganti pakaian dan benar-benar
kita tampak sebagai rombongan saudagar pedagang."
Ki Dunuk tak menyanggah lagi sebab ia tahu bahwa
Demang Cundraka mempunyai watak keras.
Maka kembali ia memperhatikan jalan di depannya
yang kelihatan selalu sepi dan panas oleh terkaman
sinar matahari. Untunglah mereka mengenakan caping-caping bambu yang agak lebar sehingga sebagian
tubuh mereka cukup terlindung olehnya.
Namun Ki Dunuk tak urung merasakan berdebardebar di dalam dadanya. Satu perasaan cemas yang
tak berujung pangkal tiba-tiba menyelinap di dalam
hati, membuat si gemuk ini sebentar-sebentar menoleh ke kanan kiri, ke arah
semak belukar dan pepohonan
yang banyak tumbuh subur di sana-sini. Dan mendadak saja.... "Hyaatt! Ha, ha, ha...." Belasan sosok tubuh meloncat ke luar dari belukar di depan rombongan Demang
Cundraka dengan sikap kasar petentang-petenteng,
tak ubahnya sikap kawanan raksasa yang tengah
mencegat seorang satria.
"Ayo berhenti kalian!" seru si pemimpin rombongan
pencegat yang bersenjata golok lebar bertangkai panjang. Dalam saat itu pula Demang Cundraka segera berbisik kepada seorang penunggang kuda yang berada di
sebelah kirinya, "Sttt, Linting. Jika terjadi pertempuran, kau cepat-cepat
berpacu kembali menuju Asemarang dan katakan kepada Angger Tuntari bahwa rombongan kita berada di dalam bahaya!"
Pengawal Linting mengangguk paham.
Para pencegat sesaat menjadi ragu, terlebih lagi
dengan Si Mulut Bertudung. Rombongan yang mereka
cegat ini ternyata adalah rombongan para pedagang
dan bukan rombongan Demang Cundraka seperti yang
pernah diintainya beberapa saat yang lalu.
"Tudung! Mereka kan rombongan pedagang!?" desis
Arya Demung dengan muka cemberut jengkel. "Apakah
kita telah salah cegat, heh" Bukan ini sasaran kita!"
"Tapi... tapi tak ada rombongan lain," sahut Si Mulut Bertudung dengan terbengong kebingungan dan
hatinya kecut juga kalau ia kena marah dan gampar
dari Arya Demung.
"Ha, ha, ha. Kita kena dikelabuhi oleh mereka!" berkata Klenteng seraya ketawa terkekeh-kekeh. "Pekerjaan kita tidak keliru. Orang-orang ini tidak lain adalah rombongan Demang
Cundraka!"
"Hah, dari mana kau tahu hal itu?" ujar Arya Demung seraya melotot heran ke arah si Klenteng yang
masih tersenyum-senyum puas.
"Lihatlah Ki Arya. Aku masih bisa mengenal baikbaik akan kudaku yang belang-belang putih itu," sahut Klenteng seraya menunjuk
ke arah kuda yang ditung-gangi oleh Ki Dunuk. "Kuda itu kujual kepada Demang
Cundraka beberapa saat yang lalu. Nah, maka kesimpulanku bahwa orang-orang ini adalah rombongan
Demang Cundraka!"
"Kurang ajar! Jadi kau telah memata-mataiku selama ini!" bentak Demang Cundraka dengan mencopot
caping dan sekali dikibas, caping tadi langsung menerjang si Klenteng tepat pada
mulutnya. Seketika ia roboh terjengkang dengan mengaduh-aduh dan mulutnya mengucurkan darah segar.
"Huh! Kau telah menunjukkan diri!" ujar si Klenteng
seraya bangun tertatih-tatih sekaligus melolos senjata rantainya yang dibelitkan
pada bahunya. "Pameranmu sungguh hebat, sobat!" seru Arya Demung beringas. "Sekarang cepat kau serahkan Arca
Ikan Biru ke dalam tangan kami! Atau kau ingin sedikit pameran dari golokku ini" Hyaattt...!" Wesss...
wess.... "Yueehhh...." Brukk! Tiba-tiba saja, sesaat sesudah
Arya Demung mengibaskan golok lebarnya, kuda Demang Cundraka lalu roboh dengan kepala terbelah dan
menghamburkan darah!
Keruan saja Demang Cundraka seketika meloncat
turun ke tanah dan berseru marah, "Setan iblis! Kau
bertingkah semena-mena. Ambillah sendiri Arca Ikan
Biru sesudah kalian dapat melangkahi mayat-mayat
kami!" "Serbu!" teriak menggeledek dari Arya Demung seraya menerjang ke arah Ki Demang Cundraka dengan
goloknya dan sesaat itu pula terjadilah pertempuran
hebat. "Linting! Sekarang tiba saatnya, segera larilah," seru Ki Demang Cundraka kepada
si pengawal yang masih
bertempur di atas kudanya.
Mendengar perintah itu, Linting seketika menggeprak kudanya dan berpacu ke arah barat dengan kencang dan gesitnya.
"Jangan biarkan ada yang lolos!" teriak Arya Demung ketika ia melihat seorang pengikut Ki Demang
Cundraka telah memutar kudanya dan berpacu ke
arah barat. "Bereskan orang itu!"
*** Hingga di sini selesailah Seri Naga Geni XXIV 'Pendekar Empat Serangkai'. Ikutilah seri selanjutnya yang ke XXV "ORANG-ORANG
LIAR". Akan kita ketahui bagaimana nasib Arca Ikan Biru. Bagaimana nasib si
pengawal Linting dan ke mana tujuan rombongan Tangan Iblis, semuanya akan pembaca temukan dalam
buku tersebut. Selamat membaca dan salam buat
ANDIKA semua. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Jodoh Rajawali 20 Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti 6

Cari Blog Ini