Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak Bagian 2
mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih yang telah mempertemukannya kembali dengan putrinya itu.
Di pagi yang cerah dan berudara segar, Ki Surotani
telah berdiri di pagar halaman rumahnya bersamasama para penduduk Desa Sekayu lainnya. Pagi itu,
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Gagak Cemani telah bersiap akan berangkat, meninggalkan Desa Sekayu untuk kembali ke Demak.
Tiga ekor kuda yang tangguh dan segar telah pula
siap dengan pelana di punggung dan beberapa bungkusan bekal di perjalanan. Sesudah mereka bertiga
berpamitan kepada Ki Surotani serta orang-orang desa yang berdiri di situ,
segeralah ketiganya meloncat ke punggung kudanya masing-masing.
"Selamat jalan, Angger bertiga!" ujar Ki Surotani seraya melambaikan tangannya
ke arah Pandan Arum,
Mahesa Wulung dan Gagak Cemani. "Berhati-hatilah
dalam menjalankan tugas kalian!"
"Terima kasih, Bapak," berkata Mahesa Wulung seraya mengangguk dan tersenyum manis. "Kami akan
segera berkunjung kemari jika tugas-tugas telah selesai."
"Yah, jagalah si Pandan Arum itu olehmu baik-baik,
Angger Wulung!" berkata pula Ki Surotani, sementara Pandan Arum sendiri
tertunduk dengan wajah merah
tersipu malu. Mahesa Wulung sekali lagi mengangguk hormat sebelum ia menderapkan kudanya meninggalkan halaman rumah Ki Surotani diikuti oleh Pandan Arum dan
Gagak Cemani. Ketiganya memacu kudanya seperti berlomba berkejaran dengan ujung sinar matahari yang telah dipanahkan ke permukaan tanah.
Sambil berpacu itu, hati Mahesa Wulung senantiasa
mencemaskan keselamatan Pakerti yang ditinggalnya
di Demak. Lebih-lebih bila ia teringat akan peristiwa kemarin senja ketika ia
berhasil memergoki seorang
pengintai yang telah memata-matainya dengan diamdiam. Selain itupun ia sangat heran kepada orang yang bernama Jagal Wesi yang
telah menyelamatkan jiwa
Pakerti. Sungguh-sungguh ia ingin mengetahui siapakah sebenarnya si Jagal Wesi tersebut.
Menilik namanya, agaknya dia berkekuatan dan
bertubuh kokoh seperti besi. Tapi sekali lagi, semua itu akan menjadi jelas bila
ia telah bertemu dengan Pakerti serta menanyainya pula.
Tanpa terasa, ketiganya telah melewati kota Asemarang dan berbelok ke arah timur, menuju ke pintu gerbang timur kota. Mereka
mengikuti jalan besar yang
menuju ke arah kota Demak dengan kecepatan bagai
ketiga buah anak panah yang ditembakkan!
Matahari semakin tinggi mengarungi angkasa dan
sinarnya menerangi permukaan bumi dengan terangnya. Sebentar lagi siangpun akan tiba bersamaan Mahesa Wulung bertiga telah mendekati pintu gerbang
luar Kota Demak.
"Kita akan langsung menuju ke tempat Pakerti?"
bertanya Gagak Cemani kepada Mahesa Wulung.
"Tidak, Kakang Cemani," sahut Mahesa Wulung.
"Kita singgah dulu ke Balai Kesatrian, untuk melaporkan diri dan menitipkan kuda
di sana. Setelah itu, kita berjalan kaki menuju ke tempat Pakerti. Aku sambil
la-lu ingin menunjukkan keramaian dan suasana Kota
Demak kepadamu."
"Eeh terima kasih, Adi Wulung," ujar Gagak Cemani
pula. "Kebetulan aku ingin mencicipi buah belimbing dari kota ini."
"Heh, heh, heh. Kakang Cemani ternyata mempunyai selera yang baik. Memanglah, buah belimbing dari Kota Demak ini terkenal di
mana-mana. Buahnya besar, manis dan kuning-kuning," ujar Mahesa Wulung.
"Nah, kita berbelok sedikit ke selatan dan kita masuk ke pintu gerbang rumah
yang berhalaman luas itu. Inilah Balai Kesatrian yang aku ceriterakan tadi."
Mereka bertiga masuk dan segera menitipkan kudanya, serta kemudian Mahesa Wulung memberikan
laporan tentang kedatangannya kepada seorang petugas di situ. Sesudah selesai, ketiganyapun berjalan kaki menuju pintu gerbang keluar untuk mencari si Pakerti. Sementara itu, sambil berjalan
tadi kelihatan Gagak Cemani memperhatikan keadaan Balai Kesatrian.
Tampak oleh Gagak Cemani, beberapa orang perwira tengah berlatih diri di halaman Balai Kesatrian ini dengan berolah senjata
bermacam-macam. Pendekar
dari timur ini mau tak mau menjadi kagum juga oleh
latihan-latihan mereka.
Di sebelah yang lain, tampak pula sedang dudukduduk di bawah pohon beringin yang rindang, beberapa orang perwira membicarakan sesuatu yang kelihatannya sangat penting. Hal ini terlihat dari wajah-wajah mereka yang tegang
dan penuh perhatian.
Tiba-tiba saja percakapan mereka terhenti seketika, apabila Mahesa Wulung,
Pandan Arum dan Gagak Cemani melewati tempat mereka. Semua pandangan mata para perwira tadi tertumpah kepada Mahesa Wulung bertiga, lebih-lebih kepada
Gagak Cemani, si pendekar berjubah itu.
"Kakangmas Mahesa Wulung!" terdengar sebuah seruan yang nyaring dari arah para perwira tadi. "Tunggulah sebentar!"
Mendapat panggilan tersebut, Mahesa Wulung bertiga serentak berhenti dan berpaling ke arah mereka.
"Oo engkau, Adi Surowo. Telah lama kita tak berjumpa, bukan" Heh, makin gagah saja engkau ini,"
ujar Mahesa Wulung kepada salah seorang perwira
yang baru saja menyapa dirinya tadi.
"Eeeeh, Kakang Mahesa Wulung terlalu memanjakanku dengan pujian-pujian tadi," sahut perwira Surowo seraya tertawa lebar. "Dan kami baru saja membicarakan perihal Kakang Mahesa Wulung beserta
tuan pendekar berjubah ini."
"Wah, tampaknya kami tengah menjadi tokoh dari
ceritera kalian itu," ujar Mahesa Wulung. "Kenalkanlah sekarang. Inilah Kakang
Gagak Cemani dari daerah
timur." Tak lama kemudian, mereka telah saling berkenalan
dengan akrabnya, dan beberapa saat itu pula, Surowo telah berkata, "Kakangmas
Mahesa Wulung, secara kebetulan pada beberapa hari yang lalu aku telah sempat
menyaksikan pertempuran Tuan pendekar Gagak Cemani di daerah pinggiran kota
Demak di sebelah timur dan kemudian aku ceriterakan hal itu kepada teman-temanku
ini. Akan tetapi, di antara mereka ini ada
yang menyangsikan ceriteraku tadi. Mereka menyangka bahwa aku telah mengarang-ngarang tokoh yang
bernama Gagak Cemani! Tak tahunya sekarang ini,
mereka telah berhadapan dengan orangnya." Surowo
berhenti sejenak sambil melayangkan pandangan matanya ke wajah salah seorang di antara perwira-perwira tadi yang berwajah kaku dan berhidung lebar.
"Bagaimana, Kakang Tungkoro?" bertanya Surowo kepada si wajah kaku. "Apakah Kakang masih belum
percaya akan ceriteraku tadi?"
"Ehmm, yah aku percaya sekarang, Adi," jawab
Tungkoro seraya menatap pendekar Gagak Cemani dengan pandangan penuh selidik.
"Dan apakah Kakang juga masih akan melaksanakan maksud Kakang semula?" kembali Surowo bertanya. "Eh, agaknya kalian mempunyai persoalan yang
menarik sekali," sahut Mahesa Wulung pula. "Katakanlah. Jika boleh, kami ingin mengetahuinya!"
"Maaf, Kakangmas Mahesa Wulung," ujar Tungkoro.
"Kami tadi telah saling berjanji ketika Adi Surowo ber-ceritera, jika tokoh
pendekar Gagak Cemani tadi betul-betul ada, saya ingin sekali untuk sedikit
mendapat pelajaran dan bermain-main dalam beberapa gebrakan
jurus silat dari Tuan pendekar Gagak Cemani."
Mahesa Wulung termangu sesaat dan berpaling ke
arah Gagak Cemani. Tapi apa yang dilihatnya cuma
sebuah senyuman yang menghias pada bibir sahabatnya itu, dan karenanya pula Mahesa Wulung berkata.
"Apakah ini berarti tantangan buat Kakang Gagak Cemani?" "Ooo, harap dimaafkan, Kakangmas Mahesa Wulung," kata Tungkoro tergagap bingung. "Bukan sekali-kali saya bermaksud
menantang Tuan Gagak Cemani
ini. Tapi karena terdorong oleh kekaguman dan keingi-nan saya untuk berkenalan
lebih erat lagi, maka terla-hirlah maksud itu tadi."
"Heh heh heh," tawa pendekar Gagak Cemani seraya mengelus-ngelus kumisnya yang melintang. "Anda
tak usah sungkan-sungkan terhadap saya, Tuan Tungkoro. Aku sangat senang dan menghargai maksudmu
tadi. Dan untuk itu, saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya."
"Eh, syukurlah jika Kakang Cemani tidak menjadi
salah paham oleh maksud Adi Tungkoro ini," ujar Mahesa Wulung. "Nah, sekarang mulailah, Tuan Tungkoro," ujar Gagak Cemani seraya bersiaga. "Apakah Anda menghendaki bermain-main dengan tangan kosong dahulu
ataukah langsung menggunakan senjata kita?"
"Jika Andika tidak keberatan, baiklah kita terlebih dahulu memakai tangan kosong
saja," berkata Tungkoro sambil memasang kuda-kuda jurus silatnya ke arah Gagak
Cemani. Hampir setiap dada orang-orang di situ tergetar melihat kedua orang itu mulai bersiaga dengan jurusjurus serangannya. Bagi perwira-perwira muda yang
berada di situ, mereka telah tahu bahwa Tungkoro
termasuk pula pendekar yang tangguh dan ulet. Sedang Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Surowo yang
pernah menyaksikan tandang dan gerakan Gagak Cemani menjadi berdebar-debar pula jantungnya.
"Hyaaaat!" terdengar pekikan Tungkoro berbareng
tubuhnya menyerbu ke arah Gagak Cemani. Sebuah
pukulan tangan yang sederas badai meluncur kepada
Gagak Cemani. Wuuuut! Gagak Cemani tercengang sesaat oleh serangan
Tungkoro. Dan begitu jarak pukulan itu tinggal sejengkal dari dadanya, dengan
manisnya Gagak Cemani
menggeser kaki kirinya ke kanan dalam, dan dengan
sedikit menarik dadanya ke belakang, maka loloslah
pukulan tangan Tungkoro tadi dari sasarannya.
Maka terdengarlah desis kagum dari mulut para
penonton oleh kejadian tadi. Namun belum lagi mereda, mendadak Tungkoro menutup serangannya yang
gagal tadi dengan sebuah tendangan kaki kanan yang
menyambar ke arah pinggang Gagak Cemani dalam
kecepatan yang mengagumkan.
Betapapun Gagak Cemani telah matang dalam ilmu
silatnya, namun melihat serangan-serangan dari Tungkoro tadi ia tak mau mainmain. Maka di saat tendangan tadi meluncur dengan derasnya, Gagak Cemani
segera mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya berbareng kakinya menggenjot tanah. Dan bagaikan seekor belalang, maka melentinglah tubuh Gagak Cemani
ke udara disertai beberapa kali jungkir balik yang sangat lincah. Dengan begitu,
maka sekali lagi serangan Tungkoro cuma melanda udara kosong belaka!
Untuk kedua kalinya pula para penonton bergumam saking kagumnya, sedang Tungkoro dengan sendirinya menjadi semakin panas hatinya sehingga terpaksalah ia mengerahkan segenap ilmu dan kekuatan
tubuhnya dalam menghujankan serangan-serangan
dahsyat ke arah Gagak Cemani!
Diikuti oleh desau angin dan bunyi bersuit, serangan Tungkoro bertubi-tubi menggempur pertahanan
Gagak Cemani yang teguh bagaikan benteng gunung
karang. Sepintas lalu, serangan Tungkoro tadi seperti topan ganas yang haus akan
korbannya, bersambung-sambung susul-menyusul tak ada redanya. Jika lawannya
hanyalah orang kebanyakan belaka, pastilah dalam
sekejap mata akan terpukul roboh.
Gagak Cemani memang bukan pendekar sembarangan yang lekas terpengaruh ataupun berkecil hati
menjumpai lawan setangguh itu. Mula-mula ia memberi kesempatan kepada Tungkoro untuk terus-menerus
menghimpun serta mencecar dengan seranganserangannya. Setelah ia mendapat sedikit ukuran akan kekuatan Tungkoro, maka
cepat-cepat ia menyela-raskan dirinya sedikit berada di atas Tungkoro. Dengan
demikian, maka Gagak Cemani selalu berhasil menanggulangi semua serangan yang menuju ke dirinya.
Beberapa saat kemudian Gagak Cemani telah memulai serangan-serangan beratnya. Dimulai dari jurus-jurus ringan yang kemudian
meningkat semakin dahsyat, sehingga membuat Tungkoro makin terperanjat.
Bagi dirinya, Tungkoro mulai dapat merasakan perubahan dari serangan Gagak Cemani tersebut yang
selincah burung sikatan tapi sedahsyat banteng mengamuk!
Kendatipun Tungkoro telah mengeluarkan segenap
ilmu silat serta ketrampilannya, rasanya toh belum
memadai tandang Gagak Cemani.
Merasa kalau lawannya itu dapat mengatasi segala
serangannya, maka Tungkoro menjadi lebih beringas
dan diam-diam ia telah mengetrapkan pukulan ujung
jarinya yang telah berkali-kali sanggup menjatuhkan
lawan-lawannya, bahkan tidak jarang menimbulkan
kematian di pihak mereka.
Tungkoro sekali ini ingin mengetahui apakah pendekar Gagak Cemani, si kumis melintang ini, mampu
menyambut pukulannya pula!
Apa yang tengah dipikirkan oleh Tungkoro itu ternyata dapat diduga oleh si pendekar berjubah sebelumnya. Begitu ia melihat Tungkoro mengambil sikap
pukulan tertentu, Gagak Cemani cepat-cepat bersiaga seraya meloncat ke samping.
"Hmm, dia telah bersiaga pula!" pikir Tungkoro diam-diam. "Sekarang akan kuuji si Gagak Cemani ini
dengan pukulan dari perguruan Kedungjati yang telah aku siapkan!"
Semua penonton pada menahan napas, seperti halnya Mahesa Wulung berdebar-debar jantungnya menyaksikan kedua pendekar itu telah saling bersiaga
Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepenuhnya. "Hyaattt!"
Teriakan yang memekakkan telinga terdengar dan
mengejutkan setiap telinga yang mendengarnya, disusul oleh tubuh Tungkoro yang melesat ke depan menerjang ke arah Gagak Cemani.
Sesaat dada Gagak Cemani berdesir, namun ia telah
bersiaga sejak semula, dan kini dengan tegar dan
tangguhnya ia menyilangkan kedua telapak tangannya
di depan tubuh, siap untuk menyambut pukulan
Tungkoro. Blaaang! Suara benturan keras terdengar, seperti dua bilah
papan yang diadu dengan dahsyatnya. Dan apa yang
terlihat kemudian sungguh menggoncangkan setiap
dada orang yang berada di tempat itu.
Tampaklah tubuh Gagak Cemani masih tegak pada
tempatnya dengan cuma bergoyang-goyang sedikit, sedang Tungkoro seketika mencelat ke belakang beberapa tombak untuk kemudian bergulingan jatuh di.
tanah sambil meringis dan mendesis.
Dada Tungkoro dapat terlihat oleh setiap mata, betapa ia berkempas-kempis seperti ikan kekeringan air.
Teranglah bahwa ia kehabisan napas dan tenaga.
Tetapi dasar ia pendekar pilihan dari Kedungjati,
maka sejurus kemudian ia duduk bersila di tanah untuk mengatur napas dan tenaganya yang telah banyak
lolos dan setengah membalik akibat tolakan pukulan
dari Gagak Cemani.
Beberapa saat suasana menjadi lengang ketika setiap mata yang menatapi sikap Tungkoro yang lagi
memulihkan tenaganya, termasuk pula Gagak Cemani
yang dengan tenangnya menantikan lawannya itu.
Ketika Tungkoro telah memperoleh tenaganya kembali yang telah terlontar keluar tadi, kemudian ia menatap Gagak Cemani dengan
mata setengah menyipit,
sebagai pertanda kekagumannya terhadap si pendekar
berjubah itu. "Memang hebat Gagak Cemani!" pikir Tungkoro sendiri. "Ternyata tenaga dalamku berada di bawah ting-katannya! Tapi bagaimana
dengan permainan senjatanya" Hm, aku harus pula mencobanya!"
Sambil berpikir demikian, Tungkoro lalu meraba
hulu pedangnya yang tergantung di pinggang kiri dan selama ini belum
dipergunakannya.
Mendadak saja, dengan kecepatan yang mengagumkan, Tungkoro telah mencabut senjatanya seraya
meloncat ke depan. Pedang di tangannya terjulur lurus menyambar ke dada Gagak
Cemani yang masih saja
berdiri dengan tenangnya.
Yah, memang si pendekar berjubah sengaja berdiam
diri, sebab dengan ketenangan itu berarti ia dengan mudahnya bisa memperhatikan
Tungkoro. Hanya dengan sedikit menggeser kakinya dan mencondongkan badan ke kiri, maka ujung pedang yang
telah meluncur ke dadanya berhasil dielakkannya.
Bahkan tidak hanya sampai di sini saja Gagak Cemani beraksi. Sambil menghindar tadi, tangan kanannya menyampok ke kanan ke arah tangan Tungkoro
yang menggenggam pedang!
Untunglah saja Tungkoro masih cukup mempunyai
kewaspadaan diri. Begitu ia melihat tangan kanannya terancam oleh pukulan tangan
Gagak Cemani, secepat
itu pula ia menarik kembali serangannya disusul tubuhnya meloncat ke samping.
"Ayo, Tuan! Silakan cabut senjatamu biar kita lebih sedap untuk bermain-main!"
seru Tungkoro sambil
melesat ke depan sambil menggerakkan pedangnya
langsung mematuk dada Gagak Cemani.
Setiap dada seperti berdentang keras melihat cara
Tungkoro melancarkan serangannya. Benar-benar
trampil dan cekatan seperti gerakan seekor elang yang siap mematuk korbannya
dengan paruhnya yang tajam!
Gagak Cemani merasa bahwa serangan pedang
Tungkoro ini berbahaya sekali untuk disepelekan. Ma-ka secara tangkas pula Gagak
Cemani menarik tubuhnya selangkah ke samping serentak kakinya menggenjot tanah. Gerakan si pendekar berjubah ini ternyata tak kalah hebatnya. Laksana seekor
burung sikatan yang tubuhnya melenting ke atas, berbareng pula ia melolos golok
hitamnya! Sreeett! Masih dalam gerakan selincah burung sikatan, si
Gagak Cemani menyambar ke bawah dengan golok hitamnya menebas ke arah kepala Tungkoro.
Sriiingngng! Sambil menggerutu Tungkoro terpaksa mengendap
dan dengan cekakaran menggulingkan tubuhnya di
tanah untuk menjaga agar kepalanya tidak copot oleh tebasan golok Gagak Cemani!
Dalam saat itu pula tahulah Tungkoro bahwa ceritera tentang Gagak Cemani yang diceriterakan oleh sahabatnya, Surowo, ternyata
memang cocok dengan kenyataannya! Meskipun demikian Tungkoro belum merasa puas
sebelum ia mengetahui kelebihan Gagak Cemani dalam
berolah senjata. Itu pula sebabnya mengapa Tungkoro memutar dan menggerakkan
pedangnya untuk menyerang Gagak Cemani dengan hebatnya, hingga kemudian yang terlihat pusaran adalah si putih yang meloncat-loncat ke sana kemari,
mengancam setiap kelengahan dan kelowongan dari pertahanan Gagak Cemani.
Tetapi si pendekar berjubah itupun bergerak semakin dahsyat dengan senjata golok hitamnya. Golok tersebut seolah-olah menarinari ke sana kemari menyambut setiap libatan pedang Tungkoro, bagaikan seorang gadis yang selalu
menyongsong setiap gerak tarian seorang jejaka.
Tidak jarang kedua senjata itu saling bersentuhan,
bahkan berbenturan dengan suara gemerincing dibarengi letupan bunga api. Dalam saat-saat demikian
Tungkoro selalu berhati-hati, sebab setiap benturan itu terasalah betapa tangan
kanannya menjadi nyeri.
Begitulah, setiap orang yang menyaksikan pertarungan tersebut telah dicengkam oleh kekaguman serta
rasa yang tidak dapat terpahami, tak ubahnya orang
yang lagi bermimpi.
Wajah orang-orang tersebut semakin menegang, seperti seutas benang yang direntang pula kedua ujungnya, tanpa sedikitpun
kesempatan untuk mengendor.
Apalagi ketika kedua pendekar itu semakin cepat bergerak hingga seolah-olah tubuh mereka lenyap, kecuali dua bayangan hitam dan
lingkaran-lingkaran sinar pedang dan golok hitam yang tertampak.
Tungkoro tidak mengira bahwa ia dapat menjumpai
seorang pendekar muda sakti di luar lingkungan keprajuritan Demak. Kalau dengan Wira Tamtama Mahesa Wulung, ia telah pula mengenalnya. Nama-nama
tokoh sakti di luar Demak telah ia dengar pula, seperti Macan Kuping, Ki Topeng
Reges, Rikma Rembyak, Pendekar Bayangan, Ki Camar Seta dan sebagainya. Namun kesemuanya itu toh terbilang dari kalangan tokoh-tokoh tua. Sedang kini, ia menjumpai pendekar
muda Gagak Cemani, yang masih sebaya dengan dirinya dan sedikit lebih tua dari Mahesa Wulung.
Oleh sebab itulah, di dalam hati Tungkoro timbul
perasaan bangga karena ia sempat berkenalan dengan
Gagak Cemani dengan cara yang dikehendaki, yaitu
bertanding olah tenaga dan kelincahan bermain senja-ta. Habislah puluhan jurus
berlalu, tapi pertempuran mereka belum mereda, bahkan makin sengit. Apalagi
ketika Tungkoro telah memahami bahwa lawannya cukup tangguh untuk menghadapinya, maka ia tidak segan-segan untuk menumpahkan segala ilmu pedangnya terhadap Gagak Cemani tanpa perlu kuatir bila
Gagak Cemani akan mengalami cedera oleh senjata
pedangnya. Adalah sudah sepatutnya bila masing-masing ingin
segera mengakhiri pertandingan tersebut, dengan menunjukkan kelebihannya kepada lawannya dan menang. Hanya saja satu hal yang tidak boleh terjadi pa-da mereka, yaitu masingmasing tidak boleh melukai
lawannya. Yah, itu sudah tentu demikian. Bukankah mereka
bertarung hanya sekadar sebagai mempererat persahabatan belaka" Jadi dalam hati mereka, tidak ada se-kelumit pun perasaan untuk
membunuh ataupun melukai lawannya. Mereka sekadar ingin menunjukkan
kelebihan yang dipunyainya. Lain tidak!
Akhirnya Tungkoro telah merasa cukup lama dan ia
bermaksud menggunakan jurus pedangnya, 'Menyobek
Daun Ilalang', untuk memenangkan pertandingan itu.
"Haaiittt!"
Teriakan keras terdengar dari mulut Tungkoro bersamaan tubuhnya melesat ke arah Gagak Cemani. Jurus yang dipergunakannya mempunyai dua gerakan.
Pertama menusuk, kemudian menebas ke samping, di
mana lawan berada. Dengan begitu maka lawannya
akan menjadi bingung, sebab kedua gerakan tadi saling berhubungan tapi tidak terduga-duga datangnya.
Melihat hal ini, Gagak Cemani tidak tinggal diam
begitu saja. Ia pun dengan sebatnya meloncat ke atas menyambut serangan Tungkoro
tadi. Maka terlihatlah dua bayangan manusia itu meluncur ke atas saling menyongsong dengan senjata-senjata siap beraksi, dan apa yang kemudian terjadi sungguh mencengkam perasaan.
Wessss. Sreettt, sret, sret. Traaang!
Begitulah, berbagai suara terdengar ketika Gagak
Cemani dan Tungkoro saling berpapasan di udara.
Sesaat kemudian, keduanya telah mendarat kembali di tanah, namun itu bukan berarti bahwa suasana
yang tegang tadi telah mereda. Bahkan sebaliknya.
Saat-saat itu adalah saat yang menentukan dan merupakan puncak daripada pertandingan itu. Kini semua orang ingin melihat apakah yang telah terjadi pa-da mereka" Siapakah yang
kalah dan siapa yang menang" Begitu Gagak Cemani dan Tungkoro mendarat dan
tiba di tanah, keduanya segera berhadapan kembali
dalam jarak sejauh tiga tombak lebih.
Yang pertama-tama memeriksa dirinya adalah Gagak Cemani. Ia merasa bahwa tubuhnya tidak mendapat cedera sedikitpun, namun toh ia merasa ada sesuatu yang tidak beres pada
dirinya. Benarkah pedang
Tungkoro telah berhasil menyentuh dirinya"
Tiba-tiba saja Tungkoro tersenyum dan begitu pula
semua orang yang berada di tempat itu, ketika, Gagak Cemani mendesis kaget
sesudah ia merentang sisi ju-bahnya yang kanan.
"Oooh!"
Ya, ternyata pada sisi jubah tersebut terlihat sobekan sepanjang setengah
jengkal! Dan karenanya pula
Gagak Cemani mengakui dalam hati akan kehebatan
Tungkoro. Sesaat kemudian Gagak Cemani menyarungkan
kembali golok hitamnya, sementara Tungkoro masih
saja tersenyum-senyum karena kelebihannya itu!
Suara bergumam terdengar dari mulut orang-orang
yang berada di tempat itu, yang ternyata telah penuh oleh para tamtama prajurit
dan petugas lainnya.
Ketika bergumam itu, semua pandangan mata beralih dari Gagak Cemani kepada Tungkoro. Mengapakah
demikian itu" Mungkin orang-orang di situ ingin memuji kehebatan permainan pedang Tungkoro yang telah berhasil menyobek sisi jubah si Gagak Cemani.
Sekarang giliran Tungkoro ingin memeriksa tubuhnya, apalagi ketika ia merasa bahwa dadanya menjadi dingin oleh sentuhan angin.
Tungkoro cepat-cepat meraba dadanya. Selama ini
ia kurang menyadari dirinya dan berkeyakinan bahwa
golok Gagak Cemani tidak bakal sanggup menyentuh
dirinya. Namun benarkah kiranya anggapan Tungkoro tadi"
Sayang ia tidak mengetahui, bahwa Gagak Cemanipun
telah menggunakan jurusnya 'Seriti Meminum Embun'
yang hebat. "Waaakhhh!" seru Tungkoro, demikian ia meraba
dadanya! Ternyata bajunya telah terbelah mulai dari leher sampai pusat dan
sepertiga ikat pinggangnyapun turut tersayat pula! Inilah hebatnya. Meskipun
bajunya itu terbelah, kulit dadanya tidak mendapat cedera sedikitpun.
Hal tersebut tentu pula mustahil. Sebab jika seandainya mau, Gagak Cemanipun sanggup menggores
ataupun membelah dada Tungkoro tadi.
Tetapi toh hal itu tidak dilakukannya. Sebab lawannya bertanding bukanlah orang jahat ataupun lawan
yang sebenarnya, melainkan hanya lawan sementara
sebagai pengikat perkenalan dan persahabatan saja.
Tungkoro buru-buru melangkah ke arah Gagak
Cemani seraya tersenyum tulus dan berkata, "Hebat!
Anda memang pendekar gemblengan, Saudara Gagak
Cemani! Akh, aku merasa berterima kasih oleh pelajaran dari Saudara ini. Dengan
demikian aku dapat
mengetahui sampai di mana kemampuanku!"
"Tak usah berkecil hati, Tuan!" ujar Gagak Cemani
seraya menyambut jabatan tangan dari Tungkoro kepadanya. "Andika pun punya kelebihan yang mengagumkan hatiku."
"Eeh, Andika berdua telah bermain dengan baik!"
berkata Mahesa Wulung yang mendapatkan kedua
pendekar itu bersama Pandan Arum. Sementara itu
orang-orang di situ satu demi satu berlalu dan kembali kepada kesibukannya
semula. "Sobat sekalian, aku permisi dahulu untuk meninggalkan kalian, karena aku harus mengganti bajuku ini lekas-lekas. Jika tidak,
pasti aku akan masuk angin.
Heh, heh, heh," ujar Tungkoro seraya mendekap dadanya. Sesudah mengangguk hormat kepada ketiga sahabatnya itu, Tungkoro berlalu meninggalkan tempat tersebut ke arah barat, sedang
Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Surowopun berjalan pula di sampingnya.
"Adimas Mahesa Wulung. Waktu kita telah tertahan
di sini beberapa saat," berkata Gagak Cemani. "Apakah kita tidak perlu lekaslekas pergi mendapatkan Pakerti?" "Benar, Kakang Cemani!" sahut Mahesa Wulung
pu-la seraya menatap ke langit, melihat matahari yang telah mulai condong ke
arah barat. "Marilah kita berangkat segera!"
Ketiganya lalu bergegas melewati pintu gerbang Balai Kesatrian, kemudian berjalan ke arah timur untuk mendapatkan Pakerti yang
telah ditempatkannya di
rumah pemondokan para prajurit Demak.
Jarak yang mereka tuju tidaklah terlalu jauh, sehingga dalam beberapa saat saja sampailah mereka di tempat tujuan.
Seorang prajurit tua segera tergopoh mendapatkan
Mahesa Wulung bertiga dan berkatalah orang tua ini.
"Anakmas Mahesa Wulung! Selamat datang... tapi...
tapi di manakah si Pakerti itu" Bukankah tadi Anakmas telah memerintahkan beberapa orang untuk menjemput Pakerti?"
"Hah, bagaimanakah duduk perkara sebenarnya,
Bapak?" sahut Mahesa Wulung seraya tercengang heran. "Aku tak mengerti maksud itu. Baru sekarang inilah kami datang kemari untuk
menjemput Pakerti!"
"Oh, jadi... Anakmas tidak menyuruh orang-orang
untuk menjemput Angger Pakerti?" ujar prajurit tua itu dengan melongo.
"Tidak, Bapak. Sekarang cobalah Bapak ceriterakan
hal itu dengan jelas, agar kami dapat mengetahui duduk perkara yang sebenarnya."
"Baik, Anakmas Wulung," berkata orang tua itu seraya mengatur kata-katanya. "Kejadian ini telah berlalu, kira-kira sepenanak
nasi lamanya dari sekarang.
Beberapa orang telah datang ke tempat ini katanya untuk menjemput Pakerti. Aku
masih dapat mengingat
bahwa salah seorang dari mereka mempunyai bengkak
dan sedikit luka pada pelipisnya. Mereka berkata kepada Pakerti yang waktu itu
lagi duduk-duduk bersama saya, bahwa mereka diutus oleh Anakmas Mahesa
Wulung untuk menjemput Pakerti yang katanya ada
urusan penting dan harus segera pergi ke sebelah timur kota Demak ini. Kami tak
merasa curiga apapun
dan Pakerti menyetujui ajakan mereka. Sesudah ia
berganti pakaian sebentar, berangkatlah Angger Paker-ti bersama mereka ke arah
timur. Nah, demikianlah
kejadian yang sejelasnya, Anakmas Wulung."
"Aduh, ketiwasan kita!" seru Mahesa Wulung. "Mereka justru adalah lawan-lawan kita, Bapak. Sebab
kami tidak menyuruh seorangpun untuk menjemput si
Pakerti!" "Lalu apakah tindakan kita, Anakmas Wulung" Bagaimana kalau kita kerahkan beberapa orang prajurit untuk mengejar mereka?" kata
si prajurit tua.
"Jangan, Bapak. Hal itu tentu akan menimbulkan
keributan pada umum. Maka biarlah kami saja yang
akan mencari mereka!" berkata Mahesa Wulung pula.
"Marilah, Kakang Cemani dan Adi Pandan Arum, kita
cepat-cepat mengejar mereka. Permisi saja Bapak, ka-mi pergi sekarang!"
Hati siapa yang tidak akan panik oleh keterangan si prajurit tua tadi, terlebih
lagi bagi Mahesa Wulung.
Apa yang dikuatirkan tentang keselamatan Pakerti ternyata kini telah benar-benar
terjadi. Dan apabila Mahesa Wulung mengingat keterangan si prajurit tua
yang menyatakan bahwa salah seorang di antara para
penjemput Pakerti itu mempunyai ciri luka dan bengkak pada pelipisnya, ia lalu menjadi teringat oleh kejadian di Asemarang
beberapa hari yang lalu. Di sana ia telah melukai seorang pengintai gelap, dan
tidak mustahil bahwa si pengintai gelap tadi adalah orang yang mendatangi
Pakerti. Begitulah Mahesa Wulung bertiga berjalan dengan
cepatnya ke arah timur. Pintu gerbang kota telah kelihatan dan sebentar lagi
mereka akan melewatinya.
Udara sore semilir bertiup sangat segarnya membawa hawa laut yang menyongsong dedaunan pohon
yang sesiang tadi telah kepanasan oleh teriknya sinar surya.
*** 4 DI SEBUAH hutan kecil tidak jauh dari daerah timur kota Demak, tampaklah beberapa orang berjalan
beriringan menerobos semak-semak ilalang.
Yang paling depan bertubuh kekar dengan kumis
dan jenggotnya yang kasar serupa ijuk. Pada pelipisnya terdapat sebuah bengkak
kebiruan dan luka kecil yang sedikit agak kering.
Di belakangnya lagi, berjalan seorang yang berperawakan jauh lebih tinggi daripada si kumis ijuk yang ada di muka. Ikat kepalanya
merah membara war-nanya. Ia memakai baju berwarna coklat tua berkilat seperti
beludru dan pada bagian dadanya dihiasi oleh bulatan logam selebar telapak
tangan lebih, merupakan perisai kecil yang selalu melindunginya dari setiap
bahaya. Berjalan nomor tiga adalah si Pakerti, yakni si pemuda yang saat ini tengah dicari-cari oleh Mahesa Wulung dan kedua rekannya.
Sedang di belakangnya lagi, tampak empat orang
berperawakan tinggi kekar yang selalu mengawasi Pakerti dengan seksama dan cermatnya.
Ketika mereka semakin jauh menerobos semak ilalang tadi, diam-diam Pakerti menjadi semakin cemas
dan menjadi setengah curiga.
Oleh sebab itu, Pakerti selalu mencoba meninggalkan jejaknya dengan kadang-kadang mematah ranting
pohon ataupun membuat lobang telapak kakinya lebih
dalam di tanah. Ia berharap semoga ada orang lain
yang dapat melihat jejaknya itu.
"Tuan, di manakah kalian akan mempertemukanku
dengan Tuan pendekar Mahesa Wulung?" bertanya Pakerti kepada si baju perisai. "Mengapakah ia mengutus kalian dan tidak datang
sendiri menemaniku"!"
"Jangan banyak cerewet, anak muda!" bentak si baju perisai. "Ikuti saja langkah kami dengan menurut agar kau tidak mendapat
kesukaran!"
"Heiii, itu kata-kata ancaman! Apa maksud kalian
sebenarnya. Di mana Tuan Mahesa Wulung berada"!"
seru Pakerti dengan cemas dan paniknya, sementara
satu perasaan aneh mulai merayapi dadanya.
"Diam! Kau tidak dengar kataku tadi"!" teriak si ba-ju perisai. "Atau aku harus
menyumbat mulutmu dengan pedangku ini supaya engkau diam"!"
"Lhoo, kemana kalian akan membawaku"!" berseru
Pakerti ketakutan dengan dada berdentang-dentang.
"Ke neraka!" bentak si baju perisai lagi seraya menoleh ke arah Pakerti. "Oleh karenanya, engkau tak
perlu banyak tingkah, bocah ingusan!"
"Heee, jadi kalian telah menipuku"! Keparat!" teriak Pakerti sekaligus
melancarkan pukulan tangan kirinya ke lambung si baju perisai di depannya. Api
kemara- han telah membakar dadanya.
Breeeekkk! "Aaaauuuhhh!"
Kembali Pakerti berteriak kesakitan ketika pukulan
tangannya mendarat di lambung si baju perisai, terasa seperti membentur bukit
karang. Pakerti terpental ke belakang serta mengibas-ngibaskan tangan kirinya dan sebentar pula menghembus-hembusnya lantaran pukulannya tadi serasa
membentur dinding karang yang tebal. Sedang si baju perisai cuma tertawa
tergelak-gelak.
Merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya, maka
Pakerti dengan sebat meloncat ke samping untuk kabur. Tetapi sekali lagi ia terkejut, begitu si baju perisai menggerakkan
tangannya separuh lingkaran dan tahu-tahu kesepuluh jari-jari tangannya telah
menyambar pinggang Pakerti dan kemudian membantingnya sekali
ke tanah, hingga tak ampun lagi si Pakerti jatuh ter-jengkang dan mengaduh
kesakitan. "Seret bocah ingusan ini!" teriakan perintah dari si baju perisai kepada keempat
rekan di sebelah belakang yang secepat kilat menyeret dan mengikat tangan
Pakerti dengan kuat.
Bagaimanapun juga pemuda itu masih mempunyai
keberanian dan dengan sekuat tenaganya ia berontak
sekeras mungkin. Namun rupanya para penyergapnya
ini sungguh-sungguh orang pilihan, sehingga usahanya tadi adalah sia-sia belaka.
"Lepaskan aku! Lepaskan!" teriak Pakerti seperti cacing kepanasan dijepit
tangan-tangan perkasa.
"Heh, heh, heh. Berteriaklah sampai mulutmu sobek! Toh, akhirnya engkau akan mampus juga!" bentak si baju perisai disertai
ketawa yang memuakkan telinga.
Akhirnya Pakerti tak berdaya sama sekali. Selain ia
kalah tenaga, iapun kurang cukup mempunyai bekalbekal kepandaian silat.
"Hemmm, sekarang kau tak berdaya, setan kecil!"
ejek si baju perisai dan mulutnya kemudian tersenyum lebar. "Tangan kirimu tadi
telah lancang menyentuh
tubuhku, dan untuk itu kau harus menerima hukuman!" "Heh heh heh, ha, ha," terdengar derai ketawa para
pengikut si baju perisai tadi seraya mengganggu si Pakerti dengan tamparantamparan dan tendangan kaki.
"Keparat! Iblis!" umpat Pakerti dengan beraninya.
"Ayo, bunuhlah aku jika kalian berani!"
"Bagus! Kau masih berani berlagak di hadapanku!
Kau tahu siapa aku ini, haah"! Akulah Surokolo, si
dada besi yang tak terkalahkan!" demikian seru si baju perisai yang menyebutkan
dirinya, menyebabkan dada
Pakerti berdesir seketika, sebab ia pernah mendengar nama itu. Nama yang banyak
dikenal dalam deretan
tokoh-tokoh rimba persilatan yang berulang kali melakukan kejahatan.
"Ayo, kawan-kawan. Ikat bocah bandel ini di batang
pohon!" terdengar kembali seruan Surokolo kepada pa-ra pengikutnya yang kemudian
dengan cekatan melaksanakan perintah tersebut.
Sekejap mata saja tubuh Pakerti telah terikat dan
melekat pada batang pohon oleh belitan-belitan tali yang melilit dengan
kerasnya, ibarat otot-otot raksasa.
Sriiingng! Tiba-tiba saja Surokolo telah mencabut pedang panjangnya. Matanya dengan liar menatap ke wajah Paker-ti, lalu berkata, "Engkau
tadi berkata supaya kami
membunuhmu"! Hah, memang kami telah memikirkan
hal itu. Tapi kami punya cara-cara tersendiri untuk-mu. Hah, hah, he, he, he.
Terlalu enak jika engkau ma-ti dengan cepat. Lihatlah, kami akan membuatmu mati
dengan cara yang perlahan-lahan dan lambat!"
Begitu selesai berkata-kata, Surokolo secepat kilat mengayunkan pedangnya ke
depan dan sekejap kemudian terdengarlah jerit yang mengerikan berbareng terpelantingnya sebuah lengan berlumur darah ke atas
tanah. "Aaaaeerh!" Rintih memilukan keluar dari mulut
Pakerti ketika ia merasa bahwa lengannya telah copot dari tubuhnya oleh tebasan
pedang Surokolo.
Penglihatan Pakerti menjadi semakin kabur, seolaholah ia berada di tengah kabut. Darah segar terus
mengalir dari luka-lukanya tanpa bisa ditahan lagi.
Namun sedikit banyak ia masih dapat menangkap
bayangan wajah Surokolo dan orang-orangnya. Terdengarlah kemudian gumamnya perlahan. "Kalian pengecut... tunggulah kelak pembalasanku... tunggulah!"
"Hua, ha, ha, ha, ha," tertawa Surokolo diikuti oleh pengikut-pengikutnya.
"Lihatlah kawan-kawan. Bocah
ini masih berani mengancam kita, padahal sebentar la-gi ia akan mampus kehabisan
darah!" "Kakang Surokolo! Biarlah dia mampus di sini dan
menjadi makanan binatang. Sekarang ke manakah tujuan kita"!?" bertanya si kumis ijuk.
"Kita segera pulang, Bedor!" ujar Surokolo kepada si kumis ijuk serta kemudian
menyarungkan kembali pedangnya dan memberi isyarat kepada para pengikutnya untuk meninggalkan tempat tersebut.
Sambil meludah, sekali lagi Surokolo menatap ke
arah Pakerti lalu berseru, "Katakan saja jika engkau masih sempat hidup, bahwa
perbuatan ini adalah pembalasan dari Rikma Rembyak!"
Pakerti masih bisa mendengar kata itu namun perlahan sekali, dan sesaat kemudian kepalanya terkulai ke bawah karena pingsan.
Surokolo, Bedor dan keempat pengikutnya telah
berloncatan ke arah barat dan lenyap di sebelah sana.
Kini tinggallah Pakerti di tempat tersebut dalam keadaan pingsan dan terikat
pada sebatang pohon.
Sungguh malang nasib Pakerti ini. Kalau dahulu ia
masih bisa lolos dari tangan maut Ki Rikma Rembyak
sendiri, kini ia telah tertangkap buat kedua kalinya dan tangan kirinya
terpenggal putus! Darahpun masih menetes dari luka-lukanya dan suatu ketika
pasti habis mengalir keluar semua darahnya. Dengan demikian tentulah Pakerti
akan mati secara lambat! Sungguh
mengerikan akibatnya. Tapi apakah hal ini akan benar-benar terjadi" Tak seorangpun dapat menjawabnya. *** Pakerti masih saja tak sadarkan diri ketika dari
arah timur terlihat tiga sosok bayangan manusia menerobos dan menguakkan semakbelukar dan gerumbul pohon yang lebat-lebat.
Matahari sudah sangat rendah pada langit barat,
namun cahayanya masih cukup menerangi wajah ketiga bayangan manusia tersebut.
Yang berada di sebelah muka, sebentar membungkuk ke bawah serta memeriksa rerumputan serta tanah-tanah di depannya dengan telitinya.
Tak antara lama iapun memungut sebuah ranting
pohon yang telah dipatahkan. Oleh kedua orang lainnya, maka ranting tersebut diperiksanya pula, dan
kemudian berkatalah salah seorang di antaranya.
"Kakang Gagak Cemani, aku yakin bahwa ranting
ini bekas dipatahkan oleh tenaga tangan manusia. Patahan yang ujung membuatnya
tertanggal lepas dari
batang pohonnya, sedang patahan kedua cuma menimbulkan separuh patah."
"Ternyata aku pun menduga demikian, Adimas Ma
Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hesa Wulung. Dan lihatlah di depan kita ini. Kau lihat adanya rerumputan ilalang
yang kusut dan mosak-masik itu?" ujar Gagak Cemani sambil menunjuk ke
depan. "Mudah-mudahan saja hal ini akan memberi petunjuk-petunjuk tentang jejak Pakerti, Kakang," kata Mahesa Wulung pula.
"Marilah kita lekas-lekas maju ke depan," ajak si
Gagak Cemani, dan mereka bertiga segera meneruskan
perjalanannya. Makin jauh mereka melangkah, makin banyaklah
semak daun ilalang yang rebah dan kusut ke sana kemari, sehingga diam-diam ketiga orang ini menjadi
berdebar-debar jantungnya.
Mereka telah bersiap-siap pula untuk menghadapi
setiap kemungkinan, dan dengan seksama dilihatnya
setiap sudut pepohonan di dekatnya.
Tiba-tiba saja Pandan Arum menjerit kecil seraya
menunjukkan jarinya ke arah sebuah pohon dengan
wajah kepucatan dan mata melotot.
"Ooookh! Ses... siapa orang itu"! Lihatlah ke sana!"
seru Pandan Arum, sehingga Mahesa Wulung serta
Gagak Cemani melihat ke arah yang sama.
"Itulah... Pakerti!" seru Gagak Cemani, serta Mahesa Wulung berbareng serta berlarian mendekati tubuh Pakerti yang terikat pada
sebatang pohon dalam keadaan mengharukan.
Tangan kirinya telah buntung, berlumuran darah
kental yang setengah kering. Untuk ini Pandan Arum
terpaksa berpaling serta menutup matanya untuk
menghindari pemandangan yang ngeri dan mengharukan tersebut. Tanpa menunggu lebih lama, Mahesa Wulung serta
Gagak Cemani berloncatan untuk menolong Pakerti.
Tali-temali yang mengikat tubuhnya segera dilepaskan
dan di saat itu pula tubuh Pakerti merosot ke bawah menggelusur di tanah.
"Celaka!" desis Gagak Cemani dengan wajah muram. "Dia telah banyak kehilangan darah!"
"Jika demikian, apakah ia tidak mempunyai kesempatan untuk hidup"!" sambut Mahesa Wulung dengan
cemasnya. "Masih ada! Cuma aku sangsi apakah daya tahan
tubuhnya cukup baik untuk menghadapi luka-lukanya
itu," berkata Gagak Cemani seraya memeriksa luka
Pakerti yang selalu meneteskan darah itu. "Marilah ki-ta gotong si Pakerti ini
dan kita bawa pulang ke Demak!"
"Benar, Kakang Cemani," sambung Mahesa Wulung.
"Di sana kita akan dapat merawatnya lebih baik!"
Akan tetapi tiba-tiba saja terjadilah sesuatu yang
mengejutkan Mahesa Wulung bertiga. Sebuah bayangan manusia telah muncul di bawah rerumpun pisang serta meloncat ke arah mereka serta berseru,
"Tahan!"
Mahesa Wulung, Gagak Cemani dan Pandan Arum
secepat kilat bersiaga dengan senjatanya karena
bayangan itu telah begitu dekat dengan mereka.
Namun sekali lagi mereka dibikin kaget ketika dalam sinar senja itu, Mahesa Wulung bertiga dapat mengenal wajah orang itu yang
tidak lain adalah Wisamala. "Hee, angin apakah yang membawamu datang kemari, sobat"!" seru Gagak Cemani heran.
"Maaf jika aku telah mengejutkan kalian!" ujar Wisamala. "Kami akan menolong sahabatku ini," Mahesa Wulung berkata. "Luka-lukanya cukup berat."
"Tapi aku yakin bahwa kalian tidak menghendaki
anak ini mati, bukan?" sahut Wisamala. "Jika ia terlalu
banyak bergerak, maka lukanya akan bertambah parah, demikian pula darahnya akan semakin banyak keluar dan tidak mustahil bila kematian akan merenggutnya!" "Jadi, apakah maksud Anda?" tanya Gagak Cemani
kepada Wisamala.
"Aku sanggup menolong pemuda ini, sobat," jawab
Wisamala. "Dan ijinkanlah aku merawatnya sampai
sembuh. Kebetulan sekali aku belum mempunyai murid." "Tapi ia mempunyai kepentingan dengan kami,"
sambung Mahesa Wulung. "Dan bagaimana nantinya?"
"Itu Andika tidak perlu kuatir. Jika kelak ia telah sembuh pasti akan datang
menemui Andika!" ujar Wisamala seraya memeriksa tubuh dan luka-luka Pakerti. "Biarlah sekarang aku menghentikan darahnya
yang menetes dari luka-lukanya ini."
Selesai berkata, Wisamala kemudian menotokkan
ujung jarinya ke atas pundak kiri Pakerti serta memi-jitnya beberapa kali,
sedang Mahesa Wulung bertiga
selalu mengamatinya.
Sungguh mengagumkan jadinya. Beberapa saat kemudian darah yang selalu menetes dari luka Pakerti
telah berhenti dan Pakerti sendiri telah mulai merintih.
Dari mulutnya terdengar gerenengan pelahan, "Surokolo, kalian pengecut. Hanya
berani terhadap orang
yang tak berdaya...."
Mendengar nama Surokolo disebut-sebut oleh Pakerti, Mahesa Wulung serta Wisamala mengangkat mukanya saking kagetnya.
"Wah, jika demikian," ujar Mahesa Wulung, "pastilah yang membuntungi tangan Pakerti ini adalah Surokolo dan komplotannya."
"Kiranya memang begitu," Wisamala berkata sambil
menyelesaikan pekerjaannya membalut luka Pakerti
dengan selembar kain bersih.
"Baiklah, Kisanak," kata Mahesa Wulung kemudian.
"Aku serahkan perawatan Pakerti ini kepada Anda.
Semoga ia dapat sembuh dan menjadi murid Anda
yang baik."
"Terima kasih, terima kasih!" ujar Wisamala dengan
gembiranya. "Aku berjanji akan merawatnya dan memberi didikan yang baik kepadanya!"
Dengan bantuan Mahesa Wulung dan Gagak Cemani akhirnya Wisamala telah memondong tubuh Pakerti
di dadanya. "Sayang, aku tak dapat lama-lama tinggal di tempat
ini, sebab keadaan pemuda ini sangat menguatirkan
sekali!" Wisamala berkata. "Aku minta diri sekarang."
"Berangkatlah, sobat. Kami mengucapkan terima
kasih atas kesediaan Anda untuk mengobati Pakerti,"
berkata Mahesa Wulung seraya menepuk pundak Wisamala. Sekali lagi Wisamala mengangguk tersenyum dan
kemudian, dengan sebuah loncatan panjang ia telah
melesat ke arah selatan bagaikan seekor belalang yang mengejar cahaya senja yang
sebentar lagi akan tengge-lam dan hilang di langit sebelah barat.
Dalam pada itu Mahesa Wulung bertigapun telah
melangkah ke arah selatan untuk kembali ke Demak.
Dan ketika mereka memasuki gerbang timur kota Demak, kini telah senyap-sepi terbuai oleh dekapan sang malam yang hitam pekat.
*** Sebuah pondok sementara yang terbuat dari bambu
dan beberapa lembar papan kayu serta beratapkan
rumput ilalang berdiri di lekukan kaki pegunungan
kapur di sebelah timur Kali Serang.
Di depan pondok tadi, terlihatlah seorang laki-laki
tengah membelah kayu bakar dengan sebilah parang
yang besar dan berkilap.
Menilik balok-balok kayu yang besar-besar di dekatnya, pastilah orang tidak bakal percaya bila semua itu adalah persediaan dari
kayu bakar yang tengah di-buatnya di situ.
Dengan enaknya laki-laki tadi berkali-kali mengayunkan parangnya dan setiap kali mata parang tersebut menimpa potongan balok-balok kayu di depannya, maka terbelahlah pecahan dari balok tadi menjadi pecahan-pecahan kayu.
Dari sebab itu maka dapatlah ditarik kesimpulan,
bahwa laki-laki tersebut memiliki kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat. Jika
pekerjaan tadi hanya
mengandalkan tenaga kosong saja, pastilah selesainya akan memakan waktu yang
lama. Di samping itu, ma-ka paling-paling mata parang tadi hanya akan menancap pada permukaan balok kayu saja.
Namun hal itu tidak pernah terjadi. Setiap mata parang tadi membacok, maka ia akan terus membelah
sampai ke bawah terus, seolah-olah ia cuma membelah gumpalan batang pohon pisang
saja. Dan laki-laki itu terus saja bekerja seperti tidak mengenal rasa lelah. Dalam
beberapa saat saja maka telah bertumpuk-tumpuk di sebelahnya pecahan kayu
bakar menggunung.
Sambil bekerja tadi, sekali-sekali ia menoleh ke
arah pondoknya, seperti ia menguatirkan sesuatu yang berada di dalam pondok
tersebut. Memang demikianlah sesungguhnya, dalam hatinya
selalu saja ia bertanya-tanya tentang nasib seseorang yang sampai saat ini masih
terbaring menggeletak di atas balai-balai bambu di dalam pondoknya itu, dengan
badan yang masih panas.
Orang ini bermandikan peluh dan tergeletak di situ
dengan nafas yang sedikit lebih cepat dari nafas kebanyakan orang. Peluh yang
keluar dari pori-pori kulitnya, sebentar-sebentar jatuh dan menetes di atas
balai-balai. Agaknya ia mulai sadar dan dengan lambat sekali ia
membuka kedua belah matanya.
Yang pertama-tama ditatap oleh pandangan matanya adalah atap daun ilalang dan bambu yang sederhana buatannya. Terasa perubahan pada wajah orang
ini, yang tergambar pada bulatan bola mata yang melebar dan melotot.
"Hehhh... di mana aku ini?" desah orang tersebut
seraya mencoba bangkit berdiri dari balai-balai.
Ia merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tidak sempurna pada dirinya. Ya! Ingat ia sekarang. Di saat ia bangkit, ternyata
tangan kirinya tidak mau
membantu dan bekerja seperti biasanya.
"Ooh, ada apakah dengan tangan kiriku" Lumpuhkah, sehingga tidak mau bekerja?" begitu pertanyaan orang tadi seraya
mengacungkan kedua belah tangannya ke depan.
Sekonyong-konyong menjeritlah ia, bila yang dapat
teracung ke depan serta dilihat oleh matanya, hanyalah tangan yang sebelah
kanan, sedang yang kiri sama sekali tidak dapat!
Meskipun maksud diri juga mengacungkan tangan
kirinya ke depan, tapi berkali-kali ia tak berhasil. Sehingga akhirnya tangan
kanannya dengan geragapan
dan gugup meraba dan meremas tangan kiri.
"Tidak ada!" desahan keras terdengar.
Yah, ia tak menjumpai lagi tangan kirinya! Berkalikali ia merabanya tapi memang tak dijumpainya!
"Aku... telah cacad!" gumamnya pelahan. "Tangan
kiriku telah hilang!" Ia mulai berdiri dan tiba-tiba ber-teriaklah ia dengan
nada keputus-asaan yang sangat.
"Aku telaaah buntuuuuuungng!"
Sambil berteriak, orang ini berlari ke arah pintu untuk ke luar dari pondok
bambu, dan begitu tiba di luar seakan-akan seluruh sendi-sendi tulangnya seperti
lumpuh dan iapun jatuh terduduk di tanah sambil menangis tersedu-sedu.
"Ooh, engkau telah sadar kembali Pakerti!" seru
seorang bertubuh kekar yang terburu-buru mendekati
si buntung tersebut. "Syukurlah, Pakerti. Selama ini aku selalu mencemaskanmu.
Berhari-hari engkau tergeletak pingsan di balai-balai itu."
"Tu... Tuan Wisamala?" desis Pakerti seraya menatap orang yang berdiri di dekatnya.
"Ya, akulah ini," ujar Wisamala seraya mengulurkan
tangannya kepada Pakerti, yang telah buntung tangan kirinya saat kini.
"Berdirilah, Pakerti."
"Terima kasih!" sahut si pemuda Pakerti sambil
berdiri. "Andika telah menolongku, Tuan Wisamala."
Pakerti masih bisa mengenal kembali wajah Wisamala yang dahulu pernah bertempur dengan Gagak
Cemani akibat kesalah-pahaman.
"Jangan putus asa ataupun berkecil hati, Pakerti,"
kata Wisamala seraya membimbing Pakerti ke arah
samping pondok. Keduanya kemudian duduk di atas
sebuah gumpalan batu. "Meskipun engkau telah cacat, tapi hidupmu akan tetap
berarti!" "Tapi, dengan tangan yang cuma sebelah ini, apakah yang dapat aku perbuat"!"
"Banyak! Engkau masih dapat bekerja seperti sediakala. Dengan memerlukan latihan yang rajin, maka tanganmu yang cuma sebelah
itu akan lebih trampil
kerjanya."
"Benar, Tuan Wisamala. Namun apakah dengan
tangan yang tinggal sebelah ini aku mampu membela
diriku dari bahaya yang mengancam"!"
"Heh, heh, heh, pertanyaanmu itu sudah wajar, Pakerti. Sebaiknya dengarlah lebih dulu ceriteraku ini.
Pernahkah engkau memperhatikan ceritera wayang
tentang Raden Kumbakarna" Nah ketika perang Alengka, kedua tangannya telah buntung oleh senjata lawan. Tapi toh ia masih bisa mengamuk dengan dahsyat, malahan lebih dahsyat daripada saat-saat ia masih bertangan. Dengan
berdasarkan itu pula, maka
saya percaya bahwa meskipun engkau telah kehilangan tangan kirimu, tak akan menjadi halangan untuk mempertahankan dirimu,"
demikian tutur kata Wisamala kepada Pakerti yang duduk di sebelahnya. "Ketika aku menjumpaimu, engkau tengah ditolong Tuan
Mahesa Wulung bertiga. Namun aku telah melihat bahaya maut yang sedang mengancammu. Maka aku
minta kepada mereka untuk menolong dan mengangkat murid kepadamu."
"Aaaah, benarkah itu, Tuan?" ujar Pakerti dengan
ragu-ragu bercampur rasa senang, sebab ia telah tahu bahwa Wisamala adalah
seorang pendekar gemblengan.
"Heh, heh, heh, heh. Apakah engkau belum meyakini terhadap kata-kataku ini, Pakerti"!" sahut Wisamala serta tersenyum lebar.
"Wisamala tidak senang
bermain-main. Apa yang dikatakan adalah pula cetusan hatinya."
Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maaf, Tuan," sambung Pakerti dengan nada merendah. "Bukannya aku tak mempercayainya. Justru
saking gembiranya dan bahagianya maka aku hampir
tak percaya oleh kebaikan Tuan untuk mengangkatku
sebagai murid Andika."
"Jadi bersediakah engkau menjadi muridku?" tanya
Wisamala kembali.
"Aku senang sekali, Tuan Wisamala!"
"Bagus, dan sejak saat ini kau harus memanggilku
bapak guru."
*** Mulai saat itulah maka Pakerti telah diangkat sebagai murid Wisamala. Langkah pertama, kepada Pakerti diajarkan dasar-dasar ilmu
pengetahuan tentang hidup. Bagaimana ia harus hidup dan bergaul dengan
masyarakat dan bebrayan hidup. Bagaimana cara-cara bekerja yang baik dan masih
banyak lagi lainnya.
Pada tahap berikutnya oleh Wisamala, diajarkanlah
gerakan-gerakan lincah kepada Pakerti. Terutama Wisamala menekankan kepada muridnya agar ia memiliki
kelincahan yang sempurna.
Mengapakah demikian" Hal tersebut disebabkan
oleh keadaan tubuh Pakerti yang kini telah cacat. Kalau dahulu ia mampu
menangkis serangan lawan dengan tangan kirinya, sekarang tidak mungkin lagi hal itu dialaminya, sebab
tangan kirinya telah buntung!
Maka satu-satunya jalan ialah menangkis dengan
tangan kanannya, dan tentu saja hal tersebut bisa dilakukan bila dirinya mampu
bergerak cepat ke kiri
atau ke kanan, juga ke setiap arah yang diperlukannya. Dan pada suatu hari Pakerti harus menghadapi percobaan dan latihan-latihan dari Wisamala. Keduanya
berdiri saling berhadapan tak jauh dari pondok mereka dalam sikap yang bersiaga.
Sesudah Wisamala mengawasi dan menyaksikan
kesiapan muridnya, berserulah ia, "Pakerti! Perhatikan dengan baik batu-batu
kerikil yang ada pada telapak tanganku ini. Nah, sudah kau lihat" Semua ada lima
butir dan kesemuanya harus kau tangkis dengan baik.
Untuk itu pakailah tangan kosong saja!"
"Baik, Bapak Guru. Aku telah siap," Pakerti berkata serta sekaligus mengambil
sikap, sedang Wisamala
berkisar ke kanan untuk menjauhi tangan kanan Pakerti. Dengan demikian ia mencoba untuk menyerang
titik kelemahan dari pertahanan Pakerti, yaitu bagian kiri tubuhnya yang tidak
mempunyai pertahanan.
Hal itu agaknya telah dipahami sepenuhnya oleh
Pakerti. Apalagi gurunyapun telah sering mengajarnya tentang taktik menyerang
dan pertahanan diri.
"Yaaaahh!" berteriak Wisamala seraya mengibaskan
tangannya dengan tiba-tiba ke arah Pakerti disambung oleh dua leret sinar hitam
yang menyambar si pemuda buntung itu.
Weessstt! Pakerti cepat bertindak. Ia berputar ke kiri, secepat itu pula tangan kanannya
menyampok seperempat
lingkaran, memapaki kedua sinar hitam tadi.
Plak! Plaaakk! Suara keras bagai benturan benda keras terdengar
begitu kedua sinar hitam tersebut kena tersampok,
dan runtuh ke tanahlah dua buah batu hitam.
Akan tetapi Wisamala sekali lagi mengibaskan tangannya seraya meloncat ke atas, disusul tiga sinar hitam seperti semula
meluncur ke tubuh Pakerti.
Si pemuda buntung tidak menjadi gugup karenanya. Iapun mengendap ke kiri dan kembali tangan kanannya menyampok ke arah sinar-sinar tersebut. Di
samping itu, kaki kanannya juga tak ketinggalan menyampok ke atas.
Tak. Takk. Taaakk!
Tiga buah benturan keras berturut-turut terdengar
dan kembali tiga batu lemparan dari Wisamala runtuh ke tanah oleh tangkisan
Pakerti yang menakjubkan.
"Hmm, cukup bagus, Pakerti!" ujar Wisamala. Senyum puasnya mengembang pada bibirnya. "Sekarang
pakailah parang itu, Nak. Sebab serangan yang mengancammu akan lebih besar. Nah, cabutlah dia!"
Di saat Pakerti melolos parang dari pinggang kirinya, Wisamala telah siap menyediakan batu-batu kerikil di tangannya.
Sesaat kemudian, Wisamala bergerak cepat melingkari tubuh Pakerti dari arah kiri dan tidak ketinggalan kedua tangannya saling
bergantian mengibas ke arah
Pakerti. Maka di saat itulah sinar-sinar hitam yang berasal
dari batu-batu bersambaran menyerang Pakerti, tak
bedanya dengan hujan meteor yang mengurung si pemuda buntung. Parang Pakerti menjadi sibuk akibatnya, terlebih la-gi berada di tangan si
pendekar buntung ini. Maka begitu bergerak mata parang tadi seolah-olah menjadi
puluhan jadinya.
Bunyi berdentang maupun benturan beruntun terdengar memenuhi udara, dan runtuhan batu-batu besar hitam berkali-kali rontok ke tanah.
"Toblas! Toblas! Tidak terlalu jelek, Pakerti!" berseru Wisamala dan tahu-tahu
tangan kanannya telah menyambar sebilah tongkat logam yang sejak tadi tersandar
pada sebongkah batu.
Melihat hal itu, Pakerti merasa berdesir hatinya.
Gurunya telah menggenggam senjata tongkatnya yang
selama ini belum pernah dilihat permainannya.
"Perhatikan tongkatku ini, Pakerti! Cobalah engkau
menangkisnya bila ia menyerangmu. Aku akan senang
jika serangan berikut ini berhasil engkau patahkan pu-la!" begitu kata-kata
Wisamala seraya bersiap melancarkan serangan.
Kesiagaan Pakerti yang dipersiapkan masak-masak
ternyata banyak membawa hasil. Begitu ia melihat gurunya meloncat ke arah
dirinya sambil mengayunkan
tongkat logam, Pakerti segera berkelit ke samping, diiringi parangnya menebas ke
kanan menangkis tongkat
logam. Bunyi gemeroncang terdengar keras dan kedua tangan yang menggenggam senjata itu masing-masing
bergetar hebat.
Pakerti meringis, karena telapak tangannya sangat
panas serasa memegang bara api. Tahulah ia, bahwa
gurunya mempunyai tenaga dalam yang bebat, dan baru sekaranglah ia merasakannya ketika parangnya tadi membentur tongkat logam
Wisamala. Sedangkan Wisamala sendiri mengangguk-angguk
puas. Meskipun telapak tangannya tidak merasakan
apa-apa akibat bentrokan senjata tadi, namun ia kagum juga oleh tangkisan Pakerti.
Ia melihat bahwa parang Pakerti masih tetap tergenggam erat di tangannya dan tidak mencelat lepas seperti yang diduga semula.
Dengan demikian, maka teranglah bahwa muridnya
yang bertangan satu itu sudah cukup memiliki pertahanan untuk membela dirinya. Biarpun itu masih mewujudkan langkah-langkah pertama, Wisamala telah
lebih dari puas.
"Haaaitt!" Wisamala berseru serta meloncat kembali
kepada muridnya dan menyerang dengan tongkat logamnya. Dalam pada itu Pakertipun telah bersiaga.
Maka sebentar kemudian, keduanya bertempur
kembali dengan serunya. Begitu cepat dan lincah gera-kannya, sampai-sampai tubuh
mereka lenyap dan merupakan bayangan yang saling melibat diseling oleh
sebentar-sebentar benturan senjata yang berdenting
mengumandang di udara.
Demikianlah Pakerti dan gurunya bertempur untuk
melatih ketrampilan mereka. Mulai saat itu terbukalah mata hati Pakerti bahwa
dirinya ternyata tidak sebu-ruk yang ia duga. Ia melihat kemungkinan-kemungkinan pada dirinya, bahwa kecacadan dan ketidaklengkapan tubuhnya, tidak akan membawa kemerosotan dirinya. Bahkan ia bisa mengangkatnya sejajar dengan kemampuan orang lain.
Dan itu semua berhasil
dicapainya berkat latihan dan ketekunan yang tidak
pernah kenal akan putus asa.
*** 5 SAMPAI SAAT ITU, Mahesa Wulung masih saja berpikir-pikir tentang siapakah Surokolo yang telah disebut-sebut oleh Pakerti
beberapa waktu yang lalu.
Yang terang saja, pastilah orang itu ada hubungannya dengan pengintai gelap yang berhasil ia lukai ketika berada di Asemarang.
Dari peristiwa-peristiwa yang dijumpainya dapatlah
Mahesa Wulung menghubungkan kesemuanya itu.
Mulai dari perkenalan dan persahabatannya dengan
Gagak Cemani, kemudian menjumpai sebuah kejadian
di mana Pakerti hampir mati dikeroyok oleh Gombong
dan pengikut-pengikutnya.
Kemudian ketika hampir memasuki gerbang kota
Demak, sebuah insiden dengan Wisamala telah terjadi akibat usaha adu domba dari
Dobleh Kelana yang
mendendam kepada Gagak Cemani.
Ketika ia berada di Asemarang ia telah menyaksikan
sebuah perahu yang mati semua awak perahunya. Dan
itu mirip dengan korban-korban dari Kapal Hantu.
Dari sebuah pesan yang diterimanya dari Pakerti,
dapatlah ia mengetahui bahwa Ki Rikma Rembyak tengah mempersiapkan balas dendamnya.
Tentu saja mereka tidak akan tinggal diam terhadap
Pakerti yang telah lolos dari Pulau Mondoliko itu. Sedang kenyataannya kini Pakerti telah cedera dan disiksa oleh segerombolan orang.
Dengan kejadian itu pula maka Mahesa Wulung telah dapat mengambil kesimpulan bahwa setidak-tidaknya gerombolan orang-orang tadi ada hubungannya
dengan Ki Rikma Rembyak. Dan seorang di antara mereka ialah bernama Surokolo!
Untung saja Pakerti sempat diselamatkan oleh Wisamala yang sekaligus mengambilnya sebagai murid.
Akan tetapi Mahesa Wulung masih belum mengerti, di
mana Surokolo dan orang-orangnya berada sekarang.
Jika orang-orang ini telah mampu mencederai si
Pakerti, apakah tidak mungkin bila mereka melakukan pengacauan terhadap keamanan
di daerah sekitar Demak"
Persoalan yang berbelit-belit ini menyebabkan Mahesa Wulung beberapa hari ini agak sering termenung berdiam diri.
Dan tentu saja Pandan Arum menjadi bingung oleh
sikap kekasihnya itu.
"Mengapakah Kakang Wulung ini?" pikir Pandan
Arum. "Ia selalu termenung-menung saja, tanpa memberitahukan kepadaku apakah kesulitan yang ditemuinya." Dengan diam-diam Pandan Arum menceriterakan
hal ini kepada Gagak Cemani, dan kemudian keduanya
selalu mengawasi Mahesa Wulung secara rahasia.
Pada suatu hari, Mahesa Wulung sengaja berjalanjalan melihat keramaian kota Demak seorang diri. Sengaja dalam hati ia berusaha
membayangi dan mencari jejak Surokolo dan orang-orangnya.
Sampailah ia di bagian utara kota Demak yang sangat ramainya. Di situ terdapat beberapa warung-warung yang menjual barang makanan dan dagangan
lainnya. Mahesa Wulung yang telah banyak pengalaman itu
tahu, bahwa warung-warung tadi merupakan tempat
pertemuan yang sangat tepat bagi setiap orang. Dan tidak mustahil bila di antara
mereka itu, terdapat orang-orang jahat yang menyamarkan diri. Dari kemungkinan itu, Mahesa Wulung berharap untuk dapat mencium jejak Surokolo yang tengah dicarinya.
Di sebuah warung yang cukup ramai Mahesa Wulung berhenti. Dipesannya segelas minuman setelah ia mengambil tempat duduk.
Pandangan matanya mulai
disebar ke segenap sudut kamar warung itu.
Semua wajah orang yang ada di situ diamatinya dengan teliti satu persatu dan mencoba untuk menyelidiki mereka. Tiba-tiba salah seorang dari pengunjung warung itu
ada yang dikenalnya. Berwajah keras dan bermata sipit, itulah dia si Gombong.
Orang ini bangkit dari duduknya ketika Mahesa
Wulung menatap ke arah dirinya. Gombong sedikit tersenyum dan kemudian dengan
perlahan-lahan ia mendekati tempat duduk Mahesa Wulung.
"Maaf, Tuan. Bolehkah aku duduk bersama Tuan?"
ujar Gombong kepada Mahesa Wulung. "Ada sebuah
berita penting untuk Tuan."
"Ehh, tentu, Kisanak. Aku tak keberatan. Marilah
duduk di sini," jawab Mahesa Wulung. "Apakah yang
hendak kau katakan?"
"Sebuah kecelakaan kecil Tuan," ujar Gombong setengah berbisik-bisik. "Namun cukup menarik untuk
kusampaikan kepada Andika. Di pantai utara, aku
menjumpai sebuah perahu kecil terdampar dengan ketiga awak perahunya mati dalam keadaan tubuh yang
mengerikan, yaitu kering kebiruan!"
"Hah! Tidak kelirukah kata-katamu itu, Kisanak?"
berkata dengan gugupnya Mahesa Wulung.
"Tidak, Tuan. Andika boleh membuktikannya sendiri, dan untuk itu aku bersedia mengantarkan Tuan
ke tempat perahu tersebut."
Mahesa Wulung terdiam sejenak dan ia berpikir,
agaknya ia telah mulai mencium jejak orang-orangnya Rikma Rembyak, dan
selanjutnya iapun berkata kepada Gombong di sebelahnya. "Terima kasih, Kisanak.
Kapankah kita berangkat?"
"Jika tak keberatan, sekarang juga kita berangkat
ke sana, Tuan," Gombong berkata dengan meyakinkan.
"Baik, Kisanak. Marilah," sahut Mahesa Wulung pula. "Tapi aku tak membawa kuda."
"Itu mudah saja, Tuan," kata Gombong. "Biarlah
aku meminjam seekor kuda lagi dari temanku untuk
Andika." Keduanya segera bangkit dan berjalan ke arah pin
Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tu, sementara tiga pasang mata mengawasi gerak-gerik Gombong dan Mahesa Wulung
dengan diam-diam dari
sebuah jendela warung.
Sebentar kemudian, keduanya telah berpacu ke
arah utara meninggalkan debu berkepulan menuju ke
pantai. Ketiga orang pengintai itupun cepat pula bergerak. Dari belakang warung
mereka telah menyediakan
tiga ekor kuda. Kemudian mereka berkuda ke arah
utara, menuruti jejak Mahesa Wulung dan Gombong.
"Awas! Jagalah jarak kita kepada mereka berdua.
Jangan terlalu dekat, tapi juga jangan sampai kita kehilangan jejak mereka!"
ujar seorang di antaranya,
yang agaknya tertua sendiri.
Mahesa Wulung dan Gombong yang berpacu di depan, tidak begitu memperhatikan bahwa keduanya tengah diikuti oleh ketiga orang pengintai yang berkuda.
Apalagi pikiran Mahesa Wulung yang kini lagi diliputi tanda tanya besar tentang
Surokolo dan ketambahan
lagi dengan berita tentang sebuah perahu yang terdampar di pantai.
Matahari bersinar dengan teriknya. Gumpalan-gumpalan awan mendung yang mengalir di angkasa menambah rasa panas dan gerah di badan. Peluh kudakuda mereka mengalir deras membasahi kulit bulunya, sehingga badan mereka
berkilatan karenanya.
Tanpa terasa, Mahesa Wulung dan Gombong telah
tiba di daerah pantai utara. Dari jauh telah terlihat ombak-ombak putih yang
dengan tenangnya berleret-leret memecah ke pasir pantai.
Pohon-pohon bakau yang tumbuh di pantai-pantai
menghijau dengan indahnya dan di sana tergoleklah
sebuah perahu kecil.
"Itulah, Tuan!" kata Gombong serta menunjuk ke
arah perahu kecil tadi. "Ia kutemukan di sana dengan ketiga penumpangnya yang
mati." "Hmmm, Kisanak benar." Mahesa Wulung berkata
sambil mempercepat lari kudanya untuk mendekati
perahu tersebut. "Ayo, marilah lebih cepat!"
Seperti orang kehausan yang melihat seguci air, begitulah Mahesa Wulung memacu kudanya untuk cepat-cepat mendapatkan perahu tadi.
Sekonyong-konyong satu kejadian yang tak terduga
sama sekali telah mengejutkan Mahesa Wulung. Sebuah bunyi berdesing muncul dari balik semak-semak
pohon bakau langsung menyambar ke arahnya.
"Anak panah!" desis Mahesa Wulung kaget.
Tapi rupanya anak panah tadi cuma ditujukan kepada kuda Mahesa Wulung, yang dengan tepatnya menancap di lambung kuda, tak jauh dari paha Mahesa
Wulung sendiri.
Hiieeehhh...! Jerit dan ringkikan kuda itu terdengar, disusul tubuhnya terjungkal roboh diikuti oleh tubuh Mahesa
Wulung. Namun pendekar Demak ini tidak begitu bodoh untuk membiarkan tubuhnya tergencet roboh bersama
kudanya. Maka secepat kilat ia melenting ke udara
dengan gesit dan lincahnya.
"Hiaaattt! Siapa yang berlaku kurang ajar ini"!"
Dengan beberapa kali putaran manis di udara, Mahesa Wulung kemudian mendarat turun di pasir pantai. Namun kaget juga dia. Beberapa ujung senjata tersembul dari sela dedaunan
pohon bakau. "Hua, hah, hah, ha. Kau memang gesit, sobat!" terdengar suara manusia yang disusul oleh munculnya
beberapa orang dari balik semak pohon bakau yang
rimbun. "Maafkan atas sambutan kami yang agak gegabah ini!"
Sementara itu pula, Gombong telah turun dan berdiri di dekat kudanya sambil memandang ke arah Mahesa Wulung dengan tatapan mata yang kosong.
Oleh karenanya pula maka Mahesa Wulung berkata
kepada Gombong. "Hai, sobat! Lelucon apakah ini?"
"Hah, hah, ha, ha," ketawa si wajah garang yang baru muncul itu. "Kau telah bertugas dengan baik, Gombong! Terima kasih! Terima
kasih!" Bagai mendengar ledakan petir, Mahesa Wulung
sangat kaget oleh tutur kata si wajah garang tadi, dan buru-buru ia berpaling ke
arah Gombong sambil berteriak, "Gombong"! Jadi... jadi kau telah kenal dengan
orang-orang ini"!"
"Hi, haa, haa, Gombong memang anak buahku yang
paling pandai dan panjang akal," seru si wajah garang sambil mengelus-elus
perhiasan perisai yang menem-pel pada dada bajunya.
"Gombong! Jadi kau telah berkhianat kepadaku"!
Keparat!" teriak Mahesa Wulung dengan jengkel dan
marahnya sambil sekaligus bersiaga untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Sadarlah sudah Mahesa Wulung, bahwa ia telah
masuk dalam jebakan lawan. Sekelumit penyesalan diri terhadap kecerobohannya tergores dalam hati.
Meskipun begitu, Mahesa Wulung masih ingin menyelidiki perihal Gombong untuk mengetahui sampai
di manakah peranan orang itu dalam gerombolan Surokolo. Dengan pandangan tajamnya seperti tusukan
ujung pedang, Mahesa Wulung menatap ke arah Gombong. Tetapi prajurit kekar bermata sipit ini buru-buru
membuang muka untuk menghindari tatapan mata
Mahesa Wulung, dan ia kembali terkejut bila pendekar Demak itupun berseru
kembali. "Gombong! Sadarkah perbuatanmu ini" Engkau telah mengkhianati atasanmu!"
Gombong tidak segera bisa menjawab atau menanggapi terhadap kata-kata Mahesa Wulung tadi. Kepada
Wiratama Mahesa Wulung yang seolah-olah telah terkepung itu, Gombong tidak lagi berani menatapnya.
Wajahnya lalu tunduk ke bawah, seperti merenungi
bumi dan menebak berapa butir pasir yang ada di bawahnya ini. "Hia, ha, ha, ha. Pendekar Mahesa Wulung!" bentak
Surokolo keras-keras. "Tak perlu kau kini banyak
omong dengan bualmu kepada si Gombong. Hadapilah
kenyataan! Kini kau berhadapan langsung dengan Surokolo! Akulah yang bernama Surokolo! Kau dengar
dan tahu kini, heeii!"
"Hmm, aku sudah menduga sebelumnya! Dan memang aku tengah mencari-carimu untuk membuat perhitungan dengan dirimu! Kau telah menyiksa si Pakerti dengan cara yang keji!"
ujar Mahesa Wulung seraya
mengawasi keadaan sekeliling. Yah, ia telah terkepung kini dan sekali lagi ia
menatap ke arah Surokolo yang tampaknya tenang berdiri seraya mengelus-elus
logam perisai yang menghiasi dada bajunya.
Nah, bagaimanakah nasib Mahesa Wulung selanjutnya akan segera Andika jumpai dalam "Seribu Keping
Emas Buat Mahesa Wulung". Dengan adegan-adegan
yang lebih menarik, memikat dan seru! Sampai di sini, selesailah seri Naga Geni
"Pembalasan Rikma Rembyak".
TAMAT Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** *** 2 *** *** 3 *** 4 *** *** *** *** 5 TAMAT Bende Mataram 26 Delapan Kitab Pusaka Iblis Kwi Po Cin Keng Pat Karya Rajakelana Pendekar Pemetik Harpa 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama