Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-AbuKeisel/511652568860978
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 ENTAH sudah berapa lama Suto Sinting
terkapar di dalam ruangan itu, yang jelas
ketika ia sadar, ia merasa serba bingung
dengan keadaan dirinya. Pemuda tampan
yang mengenakan baju tanpa lengan warna
coklat dan celana putih kumal itu memandang keadaan sekelilingnya, ia benarbenar tampak kebingungan dan hatinya
bertanya-tanya,
"Mengapa aku ada di sini" Sebuah gua
atau ruang bawah tanah tempat ini" Atau...
jangan-jangan aku sudah dikubur" Ah, tapi
liang kubur kok selebar ini?"
Suto Sinting yang dikenal sebagai
Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak itu, kini
bangkit dari rebahannya. Ia duduk sambil
pandangi dinding-dinding tanah cadas yang
tak rata. Pada dinding tersebut terdapat
empat obor dari bambu hitam. Dinding itu
mempunyai dua lorong berseberangan, dan
setiap jalan masuk ke lorong mempunyai dua
obor kanan-kiri. Empat obor itu yang
menerangi tempat tersebut.
Tanah ruangan beratap setinggi dua kali
tinggi tubuh Suto itu mempunyai lantai dari
tanah cadas tanpa tanaman apa pun. Lumut
memang ada, tapi hanya sedikit, dan tumbuh
di sudut-sudut ruangan. Udara di ruangan
tersebut terasa kering, tapi pada tepian
dinding terasa ada kelembaban sedikit.
"Kalau aku sudah mati dan terkubur,
mengapa tengkuk kepalaku masih terasa
sakit. Sakit karena pegal. Mungkin aku
terlalu lama berbaring tanpa alas apa pun,"
pikir Suto Sinting dalam benaknya, hatinya
berkecamuk terus sambil mencoba mengingat-ingat sesuatu yang membuatnya
sampai berada di ruangan tersebut.
"Biasanya kalau orang sudah mati, atau
sudah menjadi roh, tidak akan merasakan
pegal pada bagian tubuhnya yang mana pun.
Bahkan... coba kucubit lenganku."
Suto mencubit lengannya sendiri. "Aduh!" sentaknya kaget. "Aku masih
merasakan sakit," pikirnya kembali. "Berarti
aku belum mati. Orang mati kalau dicubit tak
akan terasa sakit. Karena itulah jika orang
mati dicubit ia tak akan membalas. Hmmm...
tapi, kalau melihat empat obor itu, rasarasanya aku berada di dalam sebuah gua. Ya,
pasti gua! Kalau liang kubur tak mungkin
diberi obor segala. Untuk apa" Dan... oh, itu
dia bumbung tuakku!"
Bumbung yang biasa berisi tuak dengan
panjang lebih kurang satu depa itu tergeletak
di salah satu sudut yang lembab. Pendekar
Mabuk segera mengambilnya dan ingin
meneguk tuak untuk penyegar tubuh. Tetapi
alangkah kecewanya ketika ia tahu bahwa
bumbung itu tidak berisi tuak. Kosong, tanpa
setetes tuak pun di dalamnya.
"Sial!" gerutunya sambil nekat menuang
bumbung ke tanah, yang keluar bukan tuak
melainkan sebuah benda kecil yang berkilauan. Benda itu tak lain adalah sebuah
cincin dengan batuan putih intan. Cincin itu
adalah cincin pusaka yang dinamakan 'Cincin
Manik Intan'. Suto memang menyimpan cincin pusaka
tersebut di dalam bumbung tuaknya agar tak
menjadi incaran para tokoh yang rakus benda
pusaka. Di samping itu, kekuatan gaib tuak
sakti yang ada di dalam bumbung membuat
cincin tersebut terjaga kesaktiannya. Di
dalam bumbung itu ada lekukan dari ruas
bumbung yang dapat membuat cincin itu
terselip dengan sendirinya, sehingga jika tuak
dituang sampai habis tidak membuat cincin
ikut keluar. Kecuali jika disentak-sentakkan
seperti yang dilakukan Suto baru saja itu.
Cincin Manik Intan akhirnya dikenakan
oleh Suto dalam keadaan terbalik, batunya
ada di telapak tangan, bukan menghadap ke
luar. Jika tangan itu menggenggam maka
batu putih intan itu tidak akan kelihatan dari
luar. Cincin pusaka itu memang harus
dikenakan secara terbalik, karena jika tidak
dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain.
Sebab cincin itu dapat melepaskan kekuatan
tenaga dalam dengan sendirinya dan menghantam apa saja yang ada di depannya,
terutama jika pemakai cincin itu sedang
dalam keadaan murka. Karena kesaktian
Cincin Manik Intan itu sungguh dahsyat,
sehingga Suto sendiri jarang menggunakannya, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Hati pendekar gagah perkasa itu
memendam kejengkelan karena tidak menemukan tuak dalam bumbungnya, ia
mencoba mengingat-ingat lagi, mengapa
sampai kehabisan tuak" Padahal biasanya
sebelum tuak sampai kering, Suto sudah
lebih dulu mengisinya dengan tuak baru
hingga penuh. Hanya dalam keadaan sangat
darurat dan terdesak sekali, Suto tak bisa
mengisi bumbungnya dengan tuak.
"Apa yang terjadi pada diriku sebenarnya, sehingga bumbung tuakku
sampai kering begini?" gumam Suto dengan
bersungut-sungut, karena ia tak berhasil
mengembalikan ingatan awalnya.
"Jika bumbung tuak sampai kering,
berarti aku sudah berhari-hari berada dalam
ruangan ini. Pingsankah aku tadi" Hmmm...
rasa-rasanya malah seperti habis bangun
tidur. Tak ada rasa kantuk sedikit pun.
Bahkan badanku terasa lemas seperti orang
terlalu banyak tidur."
Pendekar Mabuk akhirnya mendesah
sambil garuk-garuk kepala.
"Ah, sial amat aku ini! Kerongkonganku
kering, kepalaku jadi pening karena tak
minum tuak. Persendianku mulai terasa
sedikit linu."
Umumnya orang terlalu banyak minum
tuak dapat mengakibatkan kepala menjadi
pening. Tapi Pendekar Mabuk tidak begitu.
Justru jika dia kekurangan tuak kepalanya
menjadi pening, badan lemas, dan tulangtulang linu. Tapi jika ia banyak minum tuak,
maka badan menjadi segar, kepala tak
merasa pening, tulang terasa keras, otot-otot
menjadi kekar, dan gerakan menjadi lincah.
"Aku harus segera mencari tuak!"
ujarnya dalam hati. "Tapi... di sini ada dua
lorong sebagai jalan keluar. Lorong yang
mana yang menuju keluar ruangan ini" Yang
kiri atau yang kanan?"
Pendekar Mabuk mencoba mendekati
lorong yang kiri. Tampaknya lorong itu gelap
pada bagian ujungnya. Suto ragu-ragu untuk
memasuki lorong tersebut. Lebih ragu lagi
setelah ia menemukan tulisan arang di bawah
salah satu obor. Tulisan itu berbunyi: Kamar
Mandi. Lorong yang satunya segera diperiksa.
Keadaannya juga tak jelas, serba menyangsikan. Lebih sangsi lagi setelah
membaca tulisan di bawah obor yang
berbunyi: Jamban, alias WC.
"Konyol! Jadi ruangan ini terletak di
antara kamar mandi dan jamban"!" ucapnya
dengan gerutu kejengkelan. "Benar-benar
konyol! Kenapa aku bisa berada di ruangan
ini" Apa aku ini sejenis belatung atau kecoa
yang harus berada di antara jamban dan
kamar mandi"!"
Panjang ruangan itu sekitar delapan
langkah, lebarnya mencapai lima langkah. Di
ruangan itu hanya ada sebidang batu datar
seperti dipan tanpa alas tidur apa pun.
Bahkan sampah atau kotoran semak juga tak
ada. Melihat padatnya tanah lantai, agaknya
ruangan itu sering dipakai orang untuk tidur
atau melakukan kegiatan lainnya.
Pendekar Mabuk akhirnya duduk di
batu datar yang mirip dipan tak berkasur itu,
ia merenung di sana sambil memangku
bumbung tuaknya.
"Perutku lapar," gumamnya lirih, bicara
pada diri sendiri. "Tak ada warung nasi di
sini, ya?" sambil ia clingak-clinguk, seakan
tak yakin bahwa di ruangan itu tak ada
warung nasi. "Siapa pemilik ruangan ini" Benarkah
sebuah gua tanpa penghuni" Ah, tak
mungkin. Pasti ada. Lalu dari mana
munculnya?"
Pertanyaan tersebut bagai didengar oleh
dewata dan sang dewata menjawabnya
melalui kemunculan seorang gadis berparas
ayu. Pendekar Mabuk sempat terperanjat dan
menjadi tegak dalam duduknya saat melihat
kemunculan seorang gadis dari lorong
bertuliskan kamar mandi itu.
"Manusia atau peri?" pikir Suto Sinting
agak sangsi. Sebab gadis itu memang cantik;
hidungnya bangir, bibirnya ranum mungil,
matanya sedikit lebar tapi agak nakal.
Menggemaskan. Gadis itu berambut panjang, tapi
digulung asal-asalan, seakan memamerkan
lehernya yang indah berkulit kuning langsat.
Mulus tanpa cupangan, ia mengenakan
kebaya biru yang ketat dengan tubuhnya.
Padahal tubuhnya sekal dan mempunyai
dada membusung padat, walau tak terlalu
montok. Sedangkan kain kebaya itu mempunyai belahan tengah yang lebar,
sehingga sebagian bukit dadanya tampak
tersumbul menggetarkan hati.
Selain kebaya biru, gadis berusia sekitar
dua puluh dua tahun itu mengenakan kain
batik warna coklat muda bermotif bungabunga merah dan kuning. Kain batik penutup
bagian bawahnya itu hanya setinggi betis,
Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahkan sebelah kiri lebih tinggi hingga nyaris
menampakkan lututnya. Kain batik itu
dililitkan begitu saja dengan kedua ujungnya
saling diikatkan, simpulnya ada di perut kiri.
Dilihat dari penampilannya yang berpakaian sederhana, lugu, tanpa perhiasan
apa pun, gadis itu berkesan seperti seorang
pelayan. Apalagi ia datang sambil membawa
nampan berisi makanan dan minuman, persis
sekali seorang pelayan.
"Atau mungkin memang benar-benar
pelayan?" pikir Suto Sinting sambil memperhatikan gadis itu.
Ketika si gadis memandang Suto Sinting,
ia memberi senyum dan sedikit menganggukkan kepala sebagai tanpa hormat
dan sikap ramahnya. Bahkan ketika ia ingin
meletakkan nampan di batu datar mirip
ranjang itu, ia berjalan dengan terbungkukbungkuk dan sangat hati-hati sekali.
Suto Sinting berdiri sambil masih
memandangi gadis itu. Sang gadis meletakkan
nampan di batu datar, setelah itu tiba-tiba ia
memberi sembah kepada Suto Sinting, lalu
berjalan mundur dalam keadaan setengah
jongkok. Menyembah lagi, kemudian berdiri
dan bergegas pergi.
"Tunggu...!" sergah Suto yang merasa
heran sekali melihat gadis itu menyembahnya
dengan kedua tangan merapat di depan
hidung. Suara sedikit keras itu membuat si gadis
hentikan langkah, ia berdiri dengan sedikit
membungkuk dan wajah tertunduk. Sikapnya
benar-benar penuh hormat dan seolah-olah
merasa takut kepada Suto.
"Mengapa kau memberi sembah padaku?" tanya Suto dengan nada suara tak
sekeras tadi. Gadis itu justru berlutut, badannya
tegak, namun memberi sembah lagi. Setelah
itu diam dan menunduk kembali.
"Aku bertanya padamu, mengapa kau
memberi sembah kepadaku?" ulang Suto
sambil makin mendekat. Si gadis tetap
tundukkan kepala. Tapi gerakan matanya
tampak gusar dan cemas.
"Dia sepertinya sangat takut kepadaku.
Ada apa sebenarnya?" pikir Suto Sinting
sambil memperhatikan penuh rasa heran.
Kini Suto pun ikut-ikutan berlutut di depan
gadis itu. Sang gadis bertambah waswas dan
tingkah. "Jangan takut padaku," kata Suto pelan
dan mulai menampakkan kelembutan sikapnya. Kini dengan pelan-pelan sekali
dagu gadis itu dipegang Suto dan diangkat
agar wajah si gadis bisa bertatap muka
dengannya. Si gadis tak menolak dan tak
mengelak, ia menurut saja dengan sikap
patuh, walau masih tampak menyembunyikan kecemasan.
"Kau mendengar pertanyaanku tadi?"
tanya Suto Sinting dengan nada lembut
kembali. Gadis itu mengangguk tipis karena
dagunya disangga jari telunjuk Suto. Matanya
berkedip untuk memperkuat
anggukan kepalanya. Kedipan mata itu sungguh indah,
berkesan polos dan lugu. Hati Suto bergetar
oleh keindahan mata tersebut.
"Mengapa kau tak menjawab pertanyaanku tadi?"
Gadis itu diam, tampak mulai gelisah
kembali, seakan bingung menjawabnya.
Walaupun Pendekar Mabuk berkata, "Jangan
takut. Katakan saja apa alasanmu tidak
menjawab pertanyaanku." Tetapi si gadis
tetap tampak kebingungan.
"Pandanglah aku," ucap Suto lirih, dan
jari yang menyangga dagu itu dilepaskan.
Wajah si gadis tetap memandang Suto,
menunjukkan kepatuhannya terhadap orang
yang tadi disembahnya.
"Kau seorang pelayan?"
Gadis itu mengangguk lagi dengan pelan
dan penuh kesungguhan.
"Siapa yang menjadi tuanmu?"
Gadis itu bersuara dengan tangan
bergerak-gerak.
"Uh, ah, uah... uuh, uah, uah...!"
"Hah..."! Jadi... jadi kau tak bisa bicara.
Kau bisu"!"
"Uah...!"
gadis itu mengangguk, tangannya memegang mulut, lalu jari tangan
itu bergerak-gerak akhirnya tangan itu
menggeleng ke kanan-kiri bersamaan dengan
kepala yang menggeleng pula.
"Ooo... maksudmu, kau memang tidak
bisa bicara?"
"Uah...!" ia mengangguk lagi. Kemudian
menunduk bagaikan menahan rasa malu.
Pendekar Mabuk menarik napas, menahan keharuan. Hatinya iba setelah
mengetahui gadis ayu itu ternyata tunawicara
alias bisu. "Sungguh kasihan gadis ini," ucapnya
dalam hati. "Namamu siapa?" tanya Suto semakin
lembut dan lebih hati-hati.
Tangan gadis itu bagaikan memegang
gelas, lalu menuang sendok berisi gula, dan
seolah-olah mengaduk gelas itu, kemudian
meminumnya. "Ooo... namamu Minuman?"
"Uah, uah...!" gadis itu menggeleng
dengan tangan digoyangkan ke kiri-kanan.
"Bukan" Jadi siapa namamu?"
Dengan bahasa isyarat seperti tadi;
memegang gelas, mengaduknya dan meminumnya, sang gadis berharap sekali
bahasa isyaratnya dipahami oleh Suto.
Pendekar Mabuk bingung hingga berkerut
dahi. Tangannya ikut-ikutan memperagakan
bahasa isyarat tadi.
"Pegang gelas, tuang gula, diaduk, lalu
diminum.... Apa artinya, ya?" gumam Suto
Sinting. "Auh, auh...!" si gadis minta diperhatikan lagi. Setelah dipandangi Suto, ia
memperagakan minum sesuatu, kemudian
mulutnya mengecap-ngecap dengan lidah
menyapu bibir sekilas dan senyum tipis
sebagai tanda rasa senang. Suto Sinting
justru terkesima memandangi gerakan lidah
dan bibir ranum yang menggemaskan itu.
"Minum teh...?"
"Auh...!" gadis itu menggeleng, ia
mengecap-ngecapkan mulut bagai merasakan
sesuatu dengan senang.
"Ooo... manis?"
"Haaa...!"
ia mengangguk-angguk
kegirangan, pertanda membenarkan pengertian Suto.
"Jadi namamu: Manis?"
Gadis itu mengangguk lagi.
"Manis saja atau ada nama belakangnya?"
Gadis itu melayangkan tangannya
sambil menggumam panjang. "Hemmm...
huummm...."
"Apa itu?" gumam Suto lirih.
Gadis itu mengulangi bahasa isyaratnya:
melayangkan tangan sambil mengumam. Jari
tangannya bergerak-gerak seperti sayap.
"Huuummm... huuummm...."
"O, tawon?"
"Haaa...!" gadis itu mengangguk senang.
"Jadi namamu: Manis Tawon?"
"Uaah...!" ia menggeleng dengan wajah
kecewa. Lalu mengulangi gerakan tadi. Suto
menebak dengan bingung.
"Tawon..." Lebah?"
"Haaa...!" si gadis mengangguk.
"Manis Lebah"!"
"Uaaah...!" ia menggeleng kembali. Lalu
melayangkan tangan sambil mengaum lagi,
tapi tangan yang satu bergerak seperti
meneteskan sesuatu. Suto tambah bingung
lagi. "Lebah... lebah bertelur?"
"Uaaah...!"
"Bukan..." Habis apa, ya" Ooo... Lebah
beranak?" "Uaah...!"
"Bukan juga?" gumam Suto. Si gadis
segera melakukan gerakan menghirup sesuatu dari yang dikeluarkan lebah.
"Madu..."!"
"Haaaa...!" gadis itu anggukkan kepala
dengan wajah gembira.
"Ooo, jadi namamu Manis Madu?"
"A-ah... a-ah...!" ia mengangguk-angguk
tampak senang sekali.
"Huuff...!" Suto Sinting menghembuskan
napas. "Menanyakan namanya saja capeknya
bukan main. Apalagi menanyakan alamat
rumah dan hari kelahirannya, sampai
rambutku beruban semua baru bisa mengartikan bahasanya!" gerutu Suto lirih,
tapi didengar oleh Manis Madu, membuat
Manis Madu tundukkan kepala dengan wajah
murung. Suto segera menyadari ucapannya telah
menyinggung perasaan gadis cantik itu, ia
buru-buru meminta maaf dengan lembut.
"Uuah, uuah...!" Manis Madu menyuruh
Suto makan dengan tangannya bergerakgerak ke mulut. Suto mengerti maksudnya.
Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku mau makan, tapi maukah kau
menemaniku makan?"
"Uuh, akh oeh... akh oeh...."
"Tidak boleh" Siapa yang tidak membolehkan"!"
Manis Madu diam, matanya melirik ke
arah lorong tempatnya muncul tadi dengan
waswas. Suto hanya bisa berkerut dahi
dengan heran. * ** 2 RASA yang tumbuh di dalam hati
bercampur aduk; ada jengkel, ada heran, ada
geli dan juga ada rasa penasaran. Sebab
sampai dua kali ia disuguh makan oleh Manis
Madu, ia belum bisa mendapatkan keterangan secara jelas; mengapa ia berada di
tempat itu dan siapa yang menempatkannya
di situ. "Tolong panggilkan seseorang yang bisa
kumintai keterangan!" perintah Suto Sinting
dengan sikap ramah. Manis Madu hanya
menganggukkan kepala. Tapi kali ini ia sudah
berani tersenyum tipis saat ingin tinggalkan
tempat tersebut.
"Senyumannya
sungguh manis menawan hati. Sayang sulit diajak bicara,"
gumam Suto dalam hati.
Ia melirik nampan berisi makanan dan
minuman. Hati pun bergumam kembali.
"Kalau dilihat jenis makanan yang
disajikan untukku, sepertinya orang yang
menaruhku di sini adalah orang yang cukup
berada. Makanannya lezat-lezat, ada buahnya
segala sebagai cuci mulut. Oh, kali ini malah
dilengkapi dengan jamu pasak bumi. Puih...!
Untuk apa jamu pasak bumi"! Memangnya
aku lelaki yang loyo"!" gerutu Suto sambil
memeriksa kembali isi nampan itu.
"Tak ada tuak"! Sial! Sudah kubilang
kalau datang kemari bawakan aku tuak, tapi
tetap saja tak ada tuak. Aku disuruh minum
teh poci terus. Puih...! Bikin aku semakin
lemas saja kalau begini."
Tiba-tiba terbersit dalam pikirannya
untuk tidak tinggal diam di ruangan tersebut.
"Bodoh amat aku ini! Mengapa aku tidak
mengikuti jalan keluar yang dilalui Manis
Madu" Setidaknya lorong itu dapat membawaku ke tempat lain!"
Maka bergegaslah si murid sinting Gila
Tuak itu untuk meninggalkan tempat
tersebut, ia memasuki lorong yang dipakai
keluar masuk si Manis Madu tadi. Karena
keadaannya gelap, terpaksa Suto mengambil
salah satu dari kedua obor yang ada di
kanan-kiri jalan masuk ke lorong tersebut.
Beberapa saat kemudian, Pendekar
Mabuk dibuat bingung oleh keadaan lorong
tersebut. Ternyata lorong itu mempunyai
beberapa lorong lain yang sama-sama gelap
dan tak ada tanda-tanda bekas dilalui orang.
Jumlah lorong lain yang ada di situ sekitar
sepuluh lorong lebih. Lorong yang mana yang
menuju ruangan lain, tak bisa dipastikan.
"Kucoba masuk ke salah satu lorong di
samping kiriku itu!" pikir Suto Sinting.
Tetapi lorong tersebut berkelak-kelok
membingungkan, bahkan mempunyai beberapa lorong lain juga.
"Mati aku kalau begini!" gerutunya
dengan jengkel. "Mau kembali ke tempat
semula saja belum tentu bisa!"
Usaha untuk kembali ke tempat semula
ternyata memakan waktu tidak sebentar.
Pendekar Mabuk merasa semakin dibuat
jengkel oleh lorong-lorong yang membingungkan. Rasa-rasanya sejak tadi ia
hanya memutar di daerah itu-itu saja.
Keringat sampai bercucuran, tapi ruangan
lebar berpenerangan obor belum ditemukan
kembali. "Kunyuk mabuk!" geram Suto Sinting.
"Yang jelas aku berada di dalam gua gila!
Lorong-lorong ini memancingku untuk marah.
Kalau aku mengamuk sendiri di sini, atap
lorong akan runtuh dan akhirnya aku akan
mati tertimbun atap lorong. Percuma saja
marah-marah sendiri di sini! Sebaiknya
kucoba lagi mencari jalan ke ruangan yang
terang tadi...."
Rasa-rasanya Suto telah melakukan
perjalanan yang amat jauh dan melelahkan.
Ketika ruangan terang itu ditemukan kembali,
ia sudah lelah dan sekujur tubuhnya
bermandi keringat.
"Monyet salto!" makinya dalam hati.
"Jangankan jalan keluar menuju ruangan
lain, kamar mandi pun tak ada. Lalu apa
maksudnya di situ ditulis 'kamar mandi' dan
di sebelah sana ditulis 'jamban' segala"!
Benar-benar tempat yang sinting ini!"
Rasa lelahnya membuat Suto Sinting
akhirnya tertidur di atas batu datar selebar
ranjang itu. Entah berapa lama ia tertidur di
situ, tahu-tahu ketika bangun, pandangan
mata Suto menemukan sesosok tubuh kurus
mengenakan rompi merah dan celana hitam.
Tubuh kurus itu berwajah kekanak-kanakan
dengan rambutnya yang kucai dan tipis, serta
sepasang mata milik seorang bocah.
Setelah Suto mempertegas penglihatannya, ternyata yang duduk di
pinggir lorong sebelah kiri itu memang
seorang bocah lelaki berusia sekitar sepuluh
tahun. Bocah itu segera berlutut dan memberi
sembah kepada Suto Sinting. Melihat sikap
itu, Suto hanya mendesah memendam rasa
kesal di hati, karena ia tak pernah tahu apa
sebabnya ia dihormati dengan sembahan.
"Sini kau!" panggil Suto Sinting sengaja
dipertegas suaranya. Bocah itu berjalan
jongkok mendekati Suto yang duduk di atas
batu datar. Ketika ingin duduk bersila di
tanah, bocah itu memberi sembah lagi dengan
sikap menghormat dan patuh.
"Siapa namamu?"
"Congor...."
"Husy! Ditanya namanya kok malah
nyongor-nyongorkan orang"!"
Bocah itu menyembah lagi satu kali.
"Maaf, nama saya sejak dulu memang
Congor, Gusti Pangeran."
"Congor..."! Congor apa" Congor ayam
apa Congor kambing?"
"Congor Bagus Wijanarko, Gusti Pangeran."
"Bagus amat nama belakangmu"!"
"Terima kasih atas pujiannya, Gusti
Pangeran."
Suto terperanjat seakan baru menyadari
ada kejanggalan yang terjadi saat itu.
"Pangeran"! Kau memanggilku Gusti
Pangeran" Apa tidak salah itu, Cong"!"
"Tidak, Gusti Pangeran," jawab bocah
berhidung pesek itu dengan polos dan jelas.
"Namaku Suto Sinting; Pendekar Mabuk.
Tak perlu kau panggil Gusti Pangeran."
"Saya...," bocah itu menunduk takut.
"Saya tidak berani, Gusti Pangeran. Sebab...
sebab Gusti Pangeran memang sesembahan
kami. Saya hanya kawula alit, rakyat kecil
yang harus selalu hormat terhadap junjungannya, yaitu Gusti Pangeran sendiri."
Kerutan dahi Suto semakin tajam. Hati
pun membatin, "Tambah gila lagi ini! Aku
dipanggil Gusti Pangeran"!
Apa-apaan sebenarnya" Dan bocah ini... agaknya bocah
ini termasuk bocah yang cerdas dan pandai
bicara. Tutur katanya sudah seperti anak
dewasa saja."
Pendekar Mabuk terpaksa menarik
napas untuk menahan rasa serba bingungnya
itu. "Siapa yang bilang kalau aku junjunganmu" Ini membuatku bingung
sekali, Congor!"
Bocah itu menunduk penuh rasa hormat
dan takut. "Apa yang kau ketahui tentang diriku,
Cong?" "Gusti adalah Pangeran Ranggawita yang
baru saja pulang dari peperangan dan terkena
racun gila milik lawan. Dan...."
"Tunggu, tunggu...!"
sergah Suto memotong kata-kata Congor.
"Ranggawita itu siapa"! Namaku bukan
Ranggawita, tapi Suto Sinting!"
"Maaf, Gusti Pangeran... sejak dulu yang
saya tahu, Gusti adalah Pangeran Ranggawita
yang selalu membangga-banggakan kesaktian
Pendekar Mabuk bernama Suto Sinting.
Sebelum Gusti maju berperang, Gusti
Pangeran sering bercerita kepada anak-anak
seusia saya tentang kehebatan dan kesaktian
tokoh pujaan Gusti yang bernama Suto
Sinting alias Pendekar Mabuk."
"Konyol!" sentak Suto jengkel sendiri, ia
bersungut-sungut sejenak, sementara Congor
tak berani teruskan kata, ia tetap duduk
bersila dengan wajah tertunduk.
"Teruskan ceritamu itu!" perintah Suto,
karena ia menjadi lebih penasaran lagi
dengan keanehan yang dialaminya itu.
"Gusti Pangeran sedang menderita sakit
dan...." "Sakit apa aku?"
"Terkena racun dari lawan yang
dinamakan...."
Congor diam sejenak, sesuatu, lalu mengingat-ingat
melanjutkannya lagi.
"Yang dinamakan racun 'Guntur Edan'...."
Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa akibat terkena racun itu?" potong
Suto didesak rasa ingin tahu begitu besar.
"Akibatnya... Gusti Pangeran menjadi
gila." "Apa..."!" Suto terpekik.
"Maaf, mohon ampun, Gusti.... Memang
itulah yang saya ketahui tentang Gusti
Pangeran Ranggawita. Gusti terkena racun
'Guntur Edan' dan menjadi gila. Oleh sebab
itu, Gusti Pangeran diasingkan kemari agar
lekas sembuh dan ingat kepada jati dirinya."
"Siapa yang mengarang cerita seperti
itu"!"
"Ampun, Gusti... bukan saya yang
mengarang cerita, tapi memang begitulah
adanya." Bocah itu diperhatikan Suto. Kesungguhan dalam bicaranya tampak jelas.
Suto merasa bocah itu tidak sedang mainmain, sehingga rasa heran yang ada di dalam
hati Suto semakin bertambah besar lagi.
"Jadi, sekarang aku ada di mana ini?"
"Di dalam Gua Lacak Silang, Gusti."
"Gua Lacak Silang..."!" gumam Suto
Sinting, merasa asing dengan nama tersebut.
"Sejak kapan aku diasingkan di s ini?"
"Dua minggu yang lalu, Gusti."
"Edan!" geram Suto Sinting, hatinya
diguncang oleh kejengkelan yang menyesakkan dada.
"Mengapa aku tak tahu kalau aku
dibawa kemari?"
"Waktu itu Gusti Pangeran dalam
keadaan pingsan, setelah terkena racun
'Guntur Edan',!" jawab Congor dengan wajah
polosnya. "Siapa yang membawaku kemari?"
"Para prajurit, Gusti."
"Prajurit apa"!" geram Suto lagi, ia
tampak gusar, namun segera mengendalikan
kegusarannya dan berusaha untuk tetap
tenang. "Jadi para prajurit membawaku kemari
dalam keadaan aku masih pingsan?"
"Betul, Gusti Pangeran."
"Siapa yang menyuruh membawa kemari?" "Gusti Ratu sendiri."
"Gusti Ratu siapa"!" Suto semakin
menyentak karena tak tahan memendam rasa
jengkelnya. Tapi bocah berkulit hitam itu
tetap menjawab walaupun sekarang tampak
sedikit gugup karena dihinggapi rasa takut.
"Mak... maksud saya... Gusti Ratu Dewi
Kasmaran."
"Ratu mana itu"!"
Congor diam bagai merasa jengkel
dengan pertanyaan yang mendesak. Bocah
yang tampak bersikap dewasa itu menundukkan kepala lagi sampai beberapa
saat lamanya. Pendekar Mabuk mulai
mengerti kejengkelan si bocah itu, seakan ia
merasa muak karena menganggap pertanyaan
Suto itu adalah pertanyaan yang bodoh dan
berpura-pura bingung. Akhirnya Suto mulai
merubah sikapnya menjadi lebih akrab dan
ramah lagi. "Congor, terus terang saja kukatakan
padamu, sebenarnya aku tidak gila."
Congor mendongakkan
wajah dan pandangi Suto dengan wajah mulai tampak
berseri. Agaknya bocah itu juga tidak
mengharapkan Suto dianggap gila, sehingga
ketika mendengar kata-kata Suto itu, ia
tampak senang. "Betulkah Gusti Pangeran tidak gila?"
"Tidak. Aku juga tidak terkena racun apa
pun." "Oh, syukurlah.... Jika begitu Gusti
Pangeran tidak sedang sakit. Tapi... mengapa
Gusti Pangeran berpura-pura gila dan
berlagak tidak mengenali dirinya sendiri?"
"Aku mengenali diriku sendiri, Congor.
Aku kenal bahwa diriku adalah Pendekar
Mabuk yang bernama Suto Sinting."
"Oooh...," Congor mengeluh pelan dan
wajahnya murung kembali. "Kalau begitu,
Gusti Pangeran tetap gila!"
"Sial!" geram Suto Sinting sambil
melangkah menjauhi Congor, berhenti di
sudut ruangan. Di sana ia diam termenung,
tapi hatinya berkecamuk terus.
"Rupanya ada pihak yang memaksaku
mengaku sebagai Pangeran Ranggawita.
Dengan mengakui sebagai Pangeran Ranggawita maka mereka akan menganggapku waras. Tapi kalau aku
mengaku sebagai Suto Sinting mereka
menganggapku gila! Benar-benar pengalaman
yang sangat pahit dan tak mau kuulangi lagi!"
Pendekar Mabuk kembali dekati Congor
yang masih patuh duduk bersila di tanah
bagai menunggu perintah.
"Begini saja, Cong... tolong antarkan aku
bertemu dengan Gusti Ratu Dewi Kasmaran."
"Apakah Gusti Pangeran tidak tahu
jalannya?"
"Aku kan habis terkena racun 'Guntur
Edan' dan ingatanku kacau sekali. Mana
mungkin aku bisa mengingat jalan menuju
kepada Gusti Ratu Dewi Kasmaran. Aku
minta tolong padamu agar menjadi pemanduku. Nanti akan kuberi sebuah
hadiah." Bocah itu tampak ragu. "Tapi... tapi
pesan dari Gusti Ratu, siapa pun tak boleh
mengeluarkan Gusti Pangeran dari Gua Lacak
Silang sebelum Gusti Pangeran sembuh dari
sakit gilanya."
"Lalu mengapa kau datang kemari kalau
tak mau menolongku keluar?"
"Bukankah Gusti Pangeran memerintahkan Biyung Manis Madu untuk
mencarikan orang yang bisa diajak bicara"
Maka saya diperintahkan oleh Gusti Ratu
Dewi Kasmaran untuk menemani Gusti
Pangeran di sini. Tugas saya menemani bicara
Gusti Pangeran sambil mengembalikan ingatan yang telah termakan racun 'Guntur
Edan' itu."
Pendekar Mabuk tarik napas dalamdalam, menahan agar jangan sampai
kejengkelannya terlepas dalam bentuk kemarahan. Tapi ia mencoba mengancam
Congor agar mau menuruti permintaannya.
"Congor, kuminta kau menuruti perintahku agar aku jangan sampai menghajarmu di sini!"
"Saya sudah siap menerima hukuman
apa saja, Gusti Pangeran!"
"Sinting!" geram Suto dengan dongkol
sekali. "Apa tugasmu sebenarnya di luar gua
ini, Congor"!"
"Membantu ayah saya merawat kudakuda istana, Gusti!" jawab Congor dengan
tegas. "Seorang perawat kuda berhadapan
dengan seorang pangeran dalam keadaan
seperti kau, sama saja menghina pangeranmu
sendiri, tahu"!"
"Saya hanya menjalankan tugas, Gusti!"
Suto membatin, "Wah, keras juga sikap
anak ini. Mungkin terdidik begitu, sehingga
sulit digertak. Jiwanya telah dibentuk sebagai
jiwa prajurit pantang menyerah. Entah siapa
yang membentuk jiwanya begitu. Mungkin
sang Ayah atau leluhurnya yang lain.
Sebaiknya kugunakan cara lain!"
"Congor...."
"Daulat, Gusti Pangeran."
"Kau ingin menjadi seorang prajurit?"
"Ingin sekali, Gusti!"
"Menjadi prajurit harus pandai bertempur dan setidaknya mempunyai sebuah pusaka andalan. Kau sudah punya
pusaka?" "Belum, Gusti Pangeran. Kalau param
gosok mereknya Pusaka, memang punya
Gusti." Suto menahan tawa dengan menelan
napas. "Kau harus punya pusaka. Dan
sekarang kau punya kesempatan untuk
memiliki sebuah pusaka. Aku akan memberikan pusaka untukmu berupa sebuah
pedang pendek yang dinamakan 'Pedang
Sumarah'. Jika kau memegang pedang itu,
siapa pun lawanmu akan pasrah dan
menyembah kepadamu tanpa harus melalui
pertarungan berdarah."
Wajah bocah itu berbinar-binar.
"Kau mau memiliki dan merawat
pusakaku itu?"
"Mau... mau sekali, Gusti!"
"Antarkan aku mengambilnya, tapi
jangan sampai terlihat orang lain. Jika
terlihat orang lain, nanti pusaka itu dicurinya
setelah kuserahkan padamu!"
"Di mana mengambilnya, Gusti"!"
Congor tampak tidak sabar.
Dengan lagak bicara pelan seakan penuh
rahasia, Suto Sinting mendekati bocah itu
dan berlutut di depannya.
"Pedang itu kupendam di tanah belakang
istana." "Dekat sungai, Gusti?"
"Tepat sekali. Memang dekat sungai!"
kata Suto seakan membenarkan, padahal ia
tidak tahu sungai yang dimaksud Congor.
"Tak seorang pun tahu aku memiliki
Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Pedang Sumarah', bahkan Gusti Ratu-mu
pun tidak mengetahuinya," suara Suto
semakin berbisik.
"Bagaimana jika sampai ketahuan Gusti
Ratu?" "Aku akan bertanggung jawab. Kalau
kau dihukum, aku yang akan membebaskanmu! Percayalah, aku akan
melindungimu kapan saja dan di mana saja,
karena kita sekarang adalah sahabat!"
"Sahabat"!" Congor berkerut dahi dan
tampak heran. "Apakah kau tak mau bersahabat
denganku, Congor?"
"Tentu saja saya bersedia, Gusti. Tapi...
apakah untuk selamanya kita bisa bersahabat"! Jika Gusti Pangeran sudah
sembuh, apakah Gusti masih mau bersahabat
dengan saya?"
"Tentu saja masih!" jawab Suto Sinting
meyakinkan. Congor mulai tersenyum kegirangan.
"Sebelumnya carikan dulu aku tuak dan
memenuhi bumbung itu."
"Tuak..."! Sejak kapan Gusti doyan
tuak"!"
"Sejak rohnya Pendekar Mabuk masuk
ke dalam ragaku!" bisik Suto Sinting biar
kelihatan bersungguh-sungguh.
Congor terperangah kagum, menatap Suto tak
berkedip. "Jadi, roh Pendekar Mabuk masuk ke
dalam raga Gusti Pangeran" Wow... hebat
sekali"!" puji Congor dengan sorot pandangan
mata berseri-seri menandakan rasa gembiranya. "Kau tahu tempat penjual tuak, bukan?"
"Tidak tahu, Gusti. Seingat saya di
negeri kita tidak ada orang jualan tuak.
Bukankah Gusti Pangeran dan Gusti Ratu
sendiri yang mengeluarkan larangan menjual
tuak di negeri kita"!" ujar Congor membuat
Pendekar Mabuk terpaksa diam terpaku di
tempatnya berdiri.
* ** 3 TERNYATA untuk mencari jalan
keluar dari ruangan tersebut bukan hal yang
sulit. Lorong yang digunakan memang lorong
sebelah kiri yang bertuliskan kamar mandi
itu. Tetapi untuk mencari jalan menuju
ruangan lain tidak perlu sampai sejauh yang
dilakukan Suto tadi. Seharusnya Suto cukup
berjalan lima langkah dari pintu lorong, lalu
menekan sedikit dinding sebelah kanan,
maka dinding itu akan bergerak ke samping
tanpa suara dan tampaklah celah terang yang
merupakan lorong menuju ruangan lain.
Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng
kepala dan berdecak dalam hati sambil
menggerutu tak jelas ketika Congor melakukan hal itu. Ia segera mengikuti
langkah Congor yang masuk ke celah selebar
satu tombak itu.
Ternyata lorong yang terang itu adalah
sebuah ruangan yang dilengkapi dengan
dipan, bangku, meja, dan perabot lainnya. Di
situ juga terdapat kamar mandi tak tertutup
yang mempunyai tempat penampung air
berupa kolam. Air tersebut diperoleh dari
curah hujan pada musim penghujan. Jadi
kolam tersebut termasuk bak besar penampung air hujan.
"Ruangan apa ini?"
"Dapur para prajurit. Apakah Gusti
lupa?" "Seingatku tempatnya tak sekotor ini,"
ujar Suto berlagak sok tahu.
"Ya, memang seharusnya tempat ini
bersih. Tapi para prajurit penjaga gua sudah
mulai malas membersihkan tempat ini,
sehingga mirip dengan kandang kerbau."
Suto Sinting hanya manggut-manggut.
Kemudian ia terperanjat sejenak karena
seorang prajurit berpakaian rompi dengan
lempengan besi bersusun-susun memasuki
ruangan tersebut. Prajurit itu pun kaget,
demikian juga Congor. Tapi sang prajurit
segera menghaturkan sembah dengan sikap
berdiri, kaki merapat dan kepala menunduk
sebentar, tangan kanan menyilang ke dada
kiri. Kemudian ia tegak lagi dan memandang
Suto dengan sikap hormat.
"Maaf, kalau boleh hamba bertanya,
hendak ke mana Gusti Pangeran sebenarnya?"
"Mencari udara segar di luar!" jawab
Suto dengan sikap tegas, seakan menjadi
seorang pangeran yang berwibawa.
"Maaf, menurut peraturan, Gusti Pangeran tidak boleh keluar gua."
"Aku hanya sebentar dan didampingi
Congor." "Hamba tetap tak bisa mengizinkan,
Gusti!" kata prajurit itu tetap sopan
"Kalau aku nekat mau apa kau"!" Suto
berlagak ngotot.
"Apa pun jadinya, hamba tetap akan
halangi kepergian Gusti Pangeran, karena
hamba ditugaskan menjaga Gusti Pangeran."
"Siapa yang menugaskan?"
"Gusti Ratu Dewi Kasmaran!"
"Persetan dengan dia! Congor, kita jalan
sekarang!"
Prajurit itu menghadang langkah Suto.
"Maaf, Gusti. Hamba mohon jangan nekat!"
"Kalau aku nekat mau apa kau, hah"!"
Suto berlagak berang sambil ingin mengetahui akibat kengototannya itu.
"Ampun, Gusti. Mohon maaf jika hamba
sampai menggunakan kekerasan," kata
prajurit itu. Congor diam saja karena dia menjadi
bingung dan waswas. Tangannya segera
dicekal Suto Sinting dan diajak berjalan
menuju lorong depan tempat munculnya
prajurit itu. Tetapi tiba-tiba kaki prajurit
menendang ke arah perut Suto dengan cepat.
Wuuttt...! Pendekar Mabuk tak menyangka akan
ditendang, sehingga tendangan itu kenai
perut Suto dengan telak. Bukkh...!
"Heekh...!" Suto Sinting terpekik dengan
suara tertahan, ia sempat terhuyung-huyung
ke belakang namun tak sampai jatuh.
"Sial! Mules juga perutku. Padahal
hanya terkena tendangan seringan itu," pikir
Suto Sinting. "Gusti Pangeran, sebaiknya kita kembali
saja ke tempat tadi, demi menjaga kesehatan
Gusti sendiri," tutur Congor memberi saran
seperti seorang penasihat raja.
"Tidak, aku ingin jalan-jalan menghirup
udara di luar. Antarkan aku, Congor!" sambil
Suto melangkah lagi. Dan prajurit itu segera
menyerang dengan tendangan putar. Wuuuss...! Kali ini Suto Sinting menggeloyor seperti
orang mabuk mau jatuh. Gerakan menggeloyor itu membuat tendangan si
prajurit tak kenai sasaran.
Pada saat itu, Suto balas melayangkan
tendangnya setengah lingkaran. Wuuttt...!
Dukkh...! "Aaaukh...!"
prajurit itu terlempar setelah punggungnya terkena tendangan
Suto. Begitu kerasnya tubuh itu terlempar
hingga membentur dinding ruangan yang
terbuat dari batuan cadas tak rata.
Brruusss...! "Aaakkhhh...!" prajurit itu jatuh terkulai
dan menyeringai kesakitan. Wajahnya berlumur darah, tulang punggungnya terasa
patah. "Oh, terlalu keras tendanganku," ujar
Suto dalam hati. "Kusangka tendanganku
sudah tak sekeras biasanya. Ternyata masih
keras juga untuk ukuran seorang prajurit
seperti dia. Kasihan. Kalau saja bumbung ini
ada tuaknya, pasti dia dapat kusembuhkan
dengan tuakku. Sayang sekali bumbung ini
kosong, sehingga aku tak dapat memberi
pertolongan apa-apa. Hmmm...."
Prajurit itu akhirnya pingsan karena tak
kuat menahan rasa sakit. Congor tampak
sedikit tegang karena diliputi kecemasan.
Tetapi Suto Sinting segera menyuruhnya
melupakan persoalan itu. Maka Congor pun
segera membawa Suto menyusuri lorong
berikutnya. "Hati-hati, di depan sana ada tiga
prajurit, Gusti. Mereka pasti akan menghadang kita dan melarang kita keluar
dari gua!" kata Congor.
"Biar kutangani mereka. Kau segera
menjauh jika mereka mulai ngotot."
"Baik, Gusti!" jawab Congor dengan
patuh. Ternyata sebelum mereka keluar gua,
seorang prajurit sudah masuk lebih dulu
secara tidak sengaja, ia berpapasan dengan
Suto dan Congor. Prajurit itu ingin menyapa
dengan hormat, tapi Suto Sinting tahu akhir
dari sapaan sopan itu. Prajurit itu pasti akan
melarang Suto keluar gua dengan kekerasan
seperti tadi. Maka sebelum semua itu terjadi, Suto
Sinting segera dekati prajurit tersebut,
kemudian dengan tiba-tiba menotok jalan
Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
darahnya hingga si prajurit tak dapat
bergerak lagi. Tebb, dess...!
"Saya tidak melihat tangan Gusti
bergerak, tapi kenapa tiba-tiba prajurit itu
diam seperti patung?" bisik Congor.
"Tanganku tadi bergerak, tapi mungkin
karena terlalu cepat jadi kau tak bisa
melihatnya."
Kedua prajurit yang berjaga-jaga di luar
pintu gua pun mengalami nasib yang sama
dengan praju rit yang baru masuk tadi. Kedua
prajurit yang ditotok jalan darahnya serta tak
bisa bergerak lagi itu segera diseret masuk ke
dalam gua agar tidak menimbulkan kecurigaan siapa pun yang kebetulan lewat di
depan gua. Setelah mengamankan para
prajurit penjaga, Suto Sinting pun dapat
keluar dari gua dengan bebas dalam panduan
Congor, si bocah cerdas itu.
Ternyata gua itu terletak di lereng bukit.
Bukit itu tak jauh dari pedesaan. Bahkan dari
depan gua dapat dilihat pemandangan ramai
di sekitar istana yang mempunyai empat
menara pengawas menjulang tinggi. Benteng
istana terbuat dari batu bata merah yang
tampaknya tertata rapi dan kokoh. Ketebalan
benteng mencapai sekitar dua tombak lebih.
Sebuah ketebalan yang sukar dirubuhkan
atau dijebol. Pada saat itu, cuaca sedang mendung,
matahari sore surutkan sinarnya. Angin
berhembus dengan kecepatan sedang. Cukup
lumayan jika dipakai untuk menaikkan
layangan. "Kita harus melewati desa itu, Gusti.
Tapi saya khawatir."
"Apa yang kau khawatirkan"!"
"Salah satu penduduk desa mengetahui
kehadiran Gusti Pangeran, dan melaporkan
kepada Ratu Dewi Kasmaran. Habislah kita,
Gusti!" "Itu bisa diatur, Cong." sambil Suto
menepuk-nepuk punggung bocah itu.
"Gusti harus mengenakan tudung supaya tidak dikenali oleh para penduduk
desa." "Boleh juga," jawab Suto sambil hatinya
membatin, "Memangnya aku ini benar-benar
dikenali oleh mereka sebagai Pangeran
Ranggawita"! Aneh sekali jika benar-benar
begitu. Jangan-jangan wajah Pangeran Ranggawita itu mirip denganku" Serupa"
Kembar" Ah... bosan aku menghadapi
kemiripan wajah. Bikin pusing terus!"
Rasa penasaran Suto terhadap keanehan
itulah yang membuatnya tak segan-segan
menuruti saran Congor. Bocah itu dengan
mudahnya mendapatkan sebuah tudung
hitam saat Suto menunggu di bawah pohon,
sebelum memasuki desa tersebut. Dengan
mengenakan tudung itu, wajah Suto tak
terlalu terpampang jelas. Tetapi bumbung
tuaknya yang masih dibawa-bawa itu bisabisa menjadi kecurigaan pihak lain.
"Memang seharusnya bumbung itu tak
perlu dibawa-bawa lagi, Gusti. Nanti orang
akan curiga dan mengetahui bahwa Gusti
adalah Pangeran Ranggawita. Sebab bumbung bambu itu yang menjadi ciri gelar
Gusti selama ini."
"Gelar apa?"
"Pendekar Bambu Sakti."
"Edan!" geram Suto Sinting merasa
dongkol kembali begitu mendengar dirinya
juga dijuluki Pendekar Bambu Sakti.
Sebenarnya Suto ingin menanyakan
kepada Congor, seperti apa rupa Pangeran
Ranggawita alias Pendekar Bambu Sakti itu.
Tetapi pertanyaan itu akan mengundang
kecurigaan Congor yang menilai penyakit gila
Suto semakin parah. Akhirnya Suto hanya
diam saja memendam rasa penasaran yang
satu itu. Hasrat ingin bertemu muka dengan
Pangeran Ranggawita dipendam dalam-dalam,
sambil menunggu perkembangan dari hasil
keluyurannya itu.
Dua kedai telah dimasuki Suto. Kedua
kedai itu mengaku tidak menjual tuak karena
dilarang oleh Pangeran Ranggawita dan Ratu
Dewi Kasmaran. Suto menjadi sedih dan
jakunnya berkali-kali naik turun karena
sudah ngiler ingin meneguk tuak.
"Sudah saya katakan, tak ada yang
menjual tuak di negeri kita ini, Gusti. Mereka
tak ada yang berani melanggar peraturan
yang sudah Gusti tetapkan bersama Ratu
Dewi Kasmaran itu," kata Congor.
"Kita coba ke kedai yang sebelah sana."
"Apa lagi kedai kecil itu. Jelas tak ada.
Gusti!" "Kita coba saja dulu!" Suto agak ngotot.
Suto sengaja mendekati kedai itu
melalui pintu belakang, ia bicara dengan si
pemilik kedai yang berbadan bungkuk dengan
usia sekitar lima puluh tahun itu.
"Pak Tua, aku membutuhkan tuak.
Apakah kau menjualnya?"
"Aku tak menjual tuak, Anak muda!
Jangan menuduhku begitu. Kalau didengar
punggawa istana bisa-bisa aku diseret dan
dikenai hukuman!"
"Aku tidak menuduhmu, Pak Tua. Aku
hanya mengharapkan bantuanmu. Sekiranya
kau mempunyai tuak, aku ingin membelinya,"
sambil Suto mengeluarkan sekeping uang
yang diperoleh dari Congor. Suto tak tahu
bahwa uang itu diperoleh Congor dari
mengambil uangnya prajurit yang pertama
kali terkena totokan Suto tadi.
Melihat sekeping uang yang bernilai
tinggi itu, Pak Tua pemilik kedai menjadi
diam dan merenung beberapa saat. Suto
Sinting mendesaknya kembali.
"Tolonglah, Pak Tua. Aku sangat
membutuhkan tuak."
"Ah, aku tak punya tuak! Pergilah sana!"
"Jangan begitu, Pak Tua. Napasmu
sudah menyebarkan bau tuak. Aku mencium
aroma tuak dari napasmu, Pak Tua!"
Pak Tua tak bisa mengelak lagi.
Akhirnya ia pun melayani Suto dengan
mengisi bumbung tuak itu senilai uang yang
diserahkan oleh Suto.
Walau tak sampai penuh, namun hati
Pendekar Mabuk itu amat girang karena
bumbung tuaknya sekarang sudah terisi.
Cincin Manik Intan pun dimasukkan kembali
ke dalam bumbung tersebut, ia segera
mendekati Congor yang menunggu di depan
kedai. "Bagaimana, Gusti" Apakah kedai ini
menjual tuak"!"
Suto Sinting tertawa pelan. "Ternyata
masih ada warga negeri kita yang melakukan
pelanggaran secara sembunyi-sembunyi,
Congor! Pak Tua itu memang menjual tuak,
tapi tidak dijual kepada semba-rangan orang!"
Congor hanya diam saja, seakan tak
mau memberi kecaman apa pun. Ia juga
membiarkan Suto menenggak tuak sebentar,
lalu melangkah lagi menuju istana berbenteng
merah itu. Namun langkah mereka terpaksa terhenti walau belum jauh dari kedai tadi.
Karena tiba-tiba mereka mendengar suara
orang berteriak di dalam kedai dan suara
gebrakan meja yang cukup mengagetkan.
"Jangan banyak bacot kau! Kalau
memang merasa punya nyawa rangkap,
hadapi aku sekarang juga, Monyet!"
Brrakkk...! Congor segera berkata dengan sedikit
tegang. "Ada yang ribut, Gusti!"
"Hmmm...," Suto Sinting menggumam
pendek, ia berbalik arah menghadap ke kedai
tersebut. Congor kembali berbisik kepada
Suto. "Sepertinya suara si Marambang, Gusti!"
"Marambang itu siapa, Cong"!"
"Apa Gusti juga lupa" Marambang itu
Brandal Pulau Tengik yang gemar memperkosa gadis di pulaunya. Bukankah
dulu Gusti Pangeran pernah mengutus tiga
tamtama untuk melawan Marambang tapi
ketiga tamtama itu tewas dipenggal Marambang"! Sekarang agaknya Marambang
sudah mulai berani menginjakkan kakinya ke
pulau kita, Gusti!"
"Pulau Tengik itu mana"!" pikir Suto
Sinting sambil masih berdiri di bawah pohon
depan kedai. "Haruskah aku ikut campur
urusan mereka itu" Ah, sebaiknya tak perlu.
Kutinggalkan saja mereka biar aku cepat
bertemu Ratu Dewi Kasmaran!"
Tetapi sebelum Suto bergerak, tiba-tiba
sesosok tubuh kurus melayang di depan mata
Suto. Orang kurus itu agaknya dilemparkan
dari dalam kedai bagai boneka dari jerami
saja. Wuutt, brruukkk!
"Wadoww...!"
teriak orang itu menyedihkan. Kepalanya menghantam seonggok batu dengan keras hingga berdarah.
Tulang pundaknya bagaikan patah karena
terbanting cukup keras.
"Bangsat kau! Hiaaah...!"
Weesss...! Brrukk...!
"Aaa...!"
Satu lagi lelaki kurus dilemparkan dari dalam kedai dan melayang
bagaikan pelepah daun pisang yang sudah
kering. Orang itu jatuh tepat di depan kaki
Suto Sinting dalam keadaan kepala membentur tanah, dan tulang lehernya
terkilir nyaris patah.
Hati Suto tak tega melihat penderitaan
dua orang itu. Tubuhnya mulai bergetar
karena menahan gejolak amarah yang
berusaha untuk tidak dilepaskan. Pendekar
Mabuk menahan diri agar tetap tenang dan
acuh tak acuh. "Kau juga mau membelanya, hah"!
Rasakan ini, hiaaah...! Hiaah...!"
"Ampuun...!
Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ampuun...! Aduuuh, sakiiit...! Aaaakh..."
Plak, plok, bukh, brak, brak, weerss...!
Sesosok tubuh bungkuk terlempar lagi
dari dalam kedai, jatuh tersungkur mengenaskan di depan Suto Sinting. Hampir
saja kenai tubuh Congor kalau tangan Congor
tidak segera ditarik Suto.
"Pak Tua..."!" gumam Suto Sinting
dengan suara berat. Rahangnya mulai
menggeletuk melihat Pak Tua si pemilik kedai
itu babak belur dan bermandi darah akibat
dihajar di dalam kedai. Napas ditarik dalamdalam untuk menahan luapan murka.
Pendekar Mabuk hanya melirik sebentar ke
arah kedai. "Itu dia si Marambang, Gusti!" bisik
Congor bernada tegang.
Kejap berikut muncul seorang lelaki
berbadan besar dan tinggi. Kumisnya lebat,
rambutnya panjang sepunggung. Kepalanya
mengenakan ikat kain merah. Pakaiannya
serba hitam. Bajunya tak dikancing sehingga
perutnya yang sedikit buncit itu tampak jelas.
Di samping perut itu terselip sebilah golok
besar. "Itu yang namanya Marambang, Gusti.
Masih ingat, bukan"!"
"Hmmm...,"
Suto hanya manggutmanggut seolah-olah baru ingat wajah
Marambang, ia sempat berbisik kepada
Congor. "Lalu, dua orang yang di samping
kanan-kirinya itu siapa?"
"O, bukankah itu si Cambuk Neraka dan
si Kapak Kilat, anak buah Marambang"! Apa
Gusti juga lupa dengan mereka?"
"Aku baru ingat lagi sekarang," jawab
Suto sambil memperhatikan kedua orang
bertubuh kurus dan bertampang licik di
kanan-kiri Marambang. Saat itu Marambang
sedang memandang ke arah orang pertama
yang dilemparkan keluar dari kedai itu. Ia
berseru dengan suaranya yang besar.
"Ambil anak gadismu sekarang juga,
Kasmo! Kalau tidak, kubunuh kau di depan
orang banyak! Ambil anakmu, cepaaat...!"
Orang yang dipanggil Kasmo itu
menggeliat sambil mengerang kesakitan, ia
memaksakan diri untuk bangkit, padahal
sekujur tubuhnya terasa sakit sekali.
Pak Tua pemilik kedai berusaha untuk
bangkit pula. Dengan berlutut satu kaki, Pak
Tua yang sudah berlumur darah itu nekat
berseru sambil menuding Marambang.
"Terkutuk tujuh turunan kau, Marambangl"
"Masih berani nyebar bacot juga kau,
Tikus kurap!" bentak Marambang sambil
matanya melotot lebar. "Cambuk Neraka,
habisi dia sekarang juga!"
Yang bernama Cambuk Neraka segera
maju dan mencabut cambuknya. Cambuk itu
segera dilecutkan ke arah Pak Tua pemilik
kedai. Wuuttt...!
"Modar kau!" seru Cambuk Neraka
ketika cambuknya melayang ke tubuh Pak
Tua pemilik kedai.
Zlapp...! Tiba-tiba Suto melesat dan
menyambar tubuh Pak Tua. Gerakannya
begitu cepat, melebihi gerakan anak panah
melesat dari busurnya. Gerakan itu sempat
mengejutkan Congor, karena gerakan cepat
Suto yang dinamakan jurus 'Gerak Siluman'
itu membuat Suto seperti lenyap begitu saja.
Akhirnya tali cambuk panjang yang
ujungnya diberi bandul runcing dari logam
putih tajam itu menghantam tempat kosong.
Ctarrr...! Tanah menyembur ke atas akibat
terkena ujung cambuk. Sedangkan Pak Tua
pemilik kedai sudah berada di tempat lain,
jauh dari sasaran cambuk.
"Bangsat!" geram si Cambuk Neraka.
"Siapa orang bertudung hitam itu, Marambang"! Dia mau ikut campur urusan
kita rupanya!"
"Habisi sekalian!" seru Marambang
sambil bertolak pinggang.
Cambuk pun segera melayang ke arah
Suto Sinting. Weesss...! Tetapi bunyi lecutannya tidak terdengar sedikit pun.
Cambuk Neraka dan yang lainnya segera
tertegun bengong dalam dua kejap. Karena
tali cambuk itu ternyata sudah digenggam
oleh tangan orang bertudung hitam.
Suto Sinting berhasil menangkap cambuk itu. Kemudian dengan satu kekuatan
tenaga dalam, tali cambuk itu disentakkan
dengan satu larikan cepat. Wuuttt...!
Weesss...! Tubuh si Cambuk Neraka melayang
terbawa tarikan cambuk itu. Begitu tubuh itu
mendekati Suto Sinting, kaki Pendekar
Mabuk segera bergerak menggeloyor ke
samping, tahu tahu kaki yang satu berkelebat
menjejak dada si Cambuk Neraka dengan
telak. Wuuttt...!
Buhgg...! "Aaakh...!" tubuh Cambuk
Neraka terpental kembali ke tempat semula dalam
keadaan mulutnya ternganga dan darah
segera menyembur dari mulut itu. Wuursss...!
Begitu jatuh berdebam di tanah,
Cambuk Neraka tak berkutik lagi kecuali
hanya kejang-kejang dalam keadaan sekarat.
Darahnya makin banyak tersembur lewat
mulut, dan matanya masih mendelik seakan
sukar dikedipkan lagi.
Bukan hanya Marambang dan si Kapak
Kilat yang terperangah bengong melihat
kecepatan gerak pemuda bertudung hitam
itu, tetapi para penduduk lainnya yang
menonton pertarungan itu dari kejauhan juga
ikut terpengarah bengong. Congor Bagus
Wijanarko hanya geleng-geleng kepala dari
bawah pohon sambil berdecak pelan penuh
kekaguman. "Keparat, bangkai busuk, jahanam
rombeng...!" makian Marambang datang
secara beruntun. "Berani betul kau melukai
anak buahku, hah"! Mau berlagak jadi satria
di depan Marambang" Iya..."!"
Suto Sinting diam saja. Matanya
memandang tak terlalu nyata karena tertutup
tepian tudung hitam. Sikap berdirinya tetap
tegak dengan kaki sedikit merenggang, ia
tampak gagah dan mengagumkan siapa pun
yang memandangnya.
"Kapak Kilat...! Belah kepala bocah
kurap itu! Belah sekarang juga! Cepaaat...!"
teriak Marambang dengan gusar sekali.
"Heeeahhh...!"
Kapak Kilat segera lakukan lompatan bersalto sambil mencabut
kapaknya dari pinggang. Kapak bergagang
agak panjang itu segera dihantamkan dari
atas ke bawah, seakan ingin membelah kepala
bertudung hitam.
Tetapi Suto segera mengangkat bumbung tuaknya dan melintangkan bumbung itu dengan kedua tangan. Mata
kapak itu akhirnya menghantam bumbung
tuak yang mempunyai kekuatan sakti
tersebut. Trangng...! Prrraaakk...!
Pada mulanya benturan kapak dengan
bumbung bambu seperti benturan kapak
dengan sebatang besi baja. Kemudian disusul
bunyi pecahan logam. Ternyata mata kapak
yang putih mengkilap itu hancur setelah
menghantam bumbung besi dengan memercikkan cahaya api sekejap tadi.
Kapak Kilat terbelalak lebar-lebar.
Tubuhnya gemetar melihat senjata kapak
andalannya hancur tak berbentuk lagi.
Murkanya kian bertambah, sehingga Kapak
Kilat segera lakukan lompatan murka dengan
kedua tangan membentuk cakar maut.
"Kau harus menebus kehancuran kapakku dengan nyawamu, Setan juling!
Heeaaah...!"
Tubuh si Kapak Kilat melayang di udara.
Dari telapak tangan kanannya mengeluarkan
sinar merah lurus sebesar kelingking.
Claappp...! Suto segera menangkis sinar itu dengan
bumbung tuaknya. Tubb...! Weeess...! Sinar
merah itu ternyata membelok dan berbalik
arah membentuk sudut kecil. Sinar merah itu
jauh lebih cepat dan lebih besar dari aslinya.
Yang semula seukuran kelingking, kini
berubah menjadi berukuran sebesar jempol
kaki. Kapak Kilat terkejut sekali dan tak
sempat menghindar. Akhirnya sinar merah
besar itu menghantam bagian bawah pundak
si Kapak Kilat.
Jraass...! Wuutt, brruss...!
"Aaaa...!"
Pundak kanan si Kapak Kilat jebol, ia
jatuh terkapar setelah membentur dinding
kedai yang langsung rusak. Di sana ia masih
bisa meraung-raung kesakitan dengan suara
keras sekali. Marambang menggeram melihat kedua
anak buahnya tumbang. Dengan mata
mendelik, ia segera melompat menyerang
Suto Sinting dengan gerakan bersalto di
udara sebanyak dua kali.
Wuuk, wuukk...!
Dan ternyata Suto Sinting pun menyambutnya dengan lompatan lurus
menerjang tubuh besar itu. Weess...!
Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bumbung tuaknya dihantamkan ke pinggang
Marambang. Buekkh...!
"Huaaa...!" Marambang menjerit sekeraskerasnya. Karena pada saat itu tubuhnya
segera berasap dan mulutnya menyemburkan
darah kental. Buummm...! Tubuh Marambang yang
besar itu jatuh berdebam di tanah, ia terkapar
dengan napas tersentak-sentak dan mata
terbeliak-beliak. Rambutnya segera keriting
dan bau rambut terbakar menyebar ke manamana.
Sesaat kemudian, Marambang hembuskan napas terakhir dalam keadaan
sekujur tubuhnya biru legam.
"Oh, dia si Pendekar Bambu Sakti"! Itu
dia orangnya si Pendekar Bambu Sakti...!"
celoteh para penduduk saling bersahutan.
* ** 4 DERAP kaki kuda terdengar bagai gemuruh ombak di lautan. Suara derap kaki
kuda itu sudah tak asing lagi bagi Congor, ia
segera menarik tangan Suto Sinting yang
ingin membalas salam para penduduk yang
sedang mengaguminya.
"Ada apa" Cong"! Wajahmu tegang sekali
kelihatannya!"
"Pasukan istana sedang menuju kemari,
Gusti! Pasti yang dicari adalah Gusti
Pengeran!" Congor bicara dengan terburuburu hingga mirip orang kumur-kumur.
Pendekar Mabuk hanya menggumam
pelan. Matanya memandang ke arah perbatasan desa. Debu-debu beterbangan
bagai hamburan mendung di sore hari.
Tampak rombongan prajurit berkuda sedang
tergesa-gesa menuju ke arahnya.
"Gusti Pangeran, lekas tinggalkan desa
ini jika tak ingin dikembalikan ke gua!" kata
Congor semakin tegang.
Ingat gua, hati kecil Suto memberontak
karena tak ingin dimasukkan ke dalam kamar
berdinding cadas itu. Maka tanpa banyak
pertimbangan lagi, Suto menyambar tubuh
Congor dengan gerakan cepat.
Wuut...! Dalam sekejap Congor sudah
berada di pundaknya. Kemudian jurus 'Gerak
Siluman' digunakan lagi untuk melarikan diri
dari desa tersebut. Zlaappp...! Para penduduk
terperangah tegang melihat orang yang
dianggapnya Pendekar Bambu Sakti lenyap
dari pandangan mata. Tak sampai satu
kedipan, si manusia bertudung hitam itu
telah sukar diikuti jejak kepergiannya.
"Arahkan ke istana lewat tepian sungai,
Gusti!" usul Congor dari atas pundak Suto
Sinting. Usul itu diikuti oleh Suto. Semak ilalang
diterabasnya dengan kecepatan sukar digambarkan. Yang jelas dalam waktu singkat
semak ilalang telah terbelah menjadi dua
bagian karena dilalui Pendekar Mabuk.
"Mengapa kau mengusulkan ke arah
istana?" tanya Suto yang masih belum
mempunyai keputusan dalam langkahnya itu.
"Bukankah Gusti Pangeran ingin mengambil pusaka 'Pedang Sumarah' yang
Gusti tanam di tepi sungai belakang istana
itu"!"
"O, iya...!" Suto buru-buru membenarkan ingatan Congor. Hampir saja ia
lupa dengan tipuannya jika tidak diingatkan
oleh si bocah cerdas itu. Bahkan kini Suto
pun ingat bahwa ia harus segera menemui
Ratu Dewi Kasmaran untuk meminta
penjelasan tentang dirinya yang dianggap
Pangeran Ranggawita dan yang dikenal
sebagai Pendekar Bambu Sakti.
"Menurutmu," kata Suto sambil tetap
melarikan diri. "... darimana para prajurit
istana itu tahu kalau kita berada di desa itu,
Cong?" "Salah satu prajurit penjaga gua pasti
sudah sadar dan sudah melaporkan kepergian kita, Gusti. Karenanya, Gusti Ratu
pun segera mengerahkan prajurit untuk
mengembalikan Gusti Pangeran ke Gua Lacak
Silang." "Benar-benar cerdas anak ini," gumam
Suto dalam hati. "Semakin lama agaknya
bocah ini semakin enak diajak bersahabat.
Hmmm... untung ada dia, kalau tidak aku
benar-benar pusing memikirkan keanehan
ini. Bisa-bisa aku mati gila di dalam gua itu."
"Gusti, berhenti sebentar! Berhenti,
Gusti!" seru Congor tiba-tiba. Anehnya,
Pendekar Mabuk menuruti perintah bocah
itu. Langkah Suto pun segera dihentikan,
Congor diturunkan dari pundaknya.
"Ada apa menyuruhku berhenti, Cong?"
"Kita menghadapi masalah lagi, Gusti!"
"Masalah apa."
"Kita tersesat!"
"Katamu tadi kita harus mengikuti
sungai ini?"
"Tapi di sebelah sana tadi sungai ini
telah pecah menjadi dua arah, Gusti.
Mestinya kita mengambil arah ke kiri."
"Kenapa kau tidak bilang sejak tadi?"
"Saya hampir tertidur di gendongan
Gusti Pangeran," jawab Congor sambil
nyengir. "Kalau begitu kita kembali ke arah yang
tadi sampai menemukan pecahan anak
sungai." "Terlalu berbahaya, Gusti. Sebentar lagi
petang akan tiba. Tak ada cahaya untuk
menerangi langkah kita, Gusti."
"Yang penting kita ikuti saja tepian
sungai ini!"
"Berbahaya, Gusti. Kita akan menjadi
mangsa empuk bagi akar-akar setan."
Dahi Pendekar Mabuk berkerut tajam.
"Apa maksudmu, Cong!"
"Kita tadi melalui ladang 'Akar Setan',
Gusti. Hanya saja karena tadi masih ada
cahaya matahari, maka Akar Setan belum
muncul dari kedalaman tanah. Akar Setan
hanya akan tumbuh dan menjerat mangsanya
hingga terpotong-potong apabila tak ada sinar
matahari."
"Astaga! Hampir saja aku lupa tentang
Akar Setan itu, Cong!"
"Saya memaklumi, karena Gusti Pangeran baru saja sembuh dari sakit
ingatan." "Lantas bagaimana dengan nasib kita
ini, Cong"!"
Congor diam saja. Matanya memandang
sekeliling dengan dahi berkerut. Tak lama
kemudian ia kembali perdengarkan suaranya.
"Saya masih ingat, Gusti...."
"Ingat apa"!" sahut Suto.
"Di lereng bukit seberang sungai itu ada
bangunan kuno yang sudah tidak dipakai
lagi. Bangunan itu bekas pesanggrahan Resi
Banuraja."
"Ooo... ya, ya, ya... sekarang aku ingat
juga tentang bangunan kuno itu. Resi
Banuraja memang pernah membangun pesanggrahan di seberang sungai ini."
"Dari mana Gusti tahu?" tiba-tiba
Congor ajukan pertanyaan yang membingungkan Suto.
Katanya lagi, "Bangunan itu hanya saya
yang mengetahuinya, sebab saya pernah
tersesat di hutan seberang sungai ini, dan
saya belum pernah ceritakan kepada siapa
pun, bahkan kepada ayah saya pun belum
saya ceritakan, Gusti."
"Mampus aku kalau begini," gumam
Suto dalam hati. "Aku mulai terjebak dengan
kepura-puraanku sendiri."
Untuk menutupi rasa malunya, Suto
pun berkata, "Dulu ada seorang penggembala
yang datang padaku dan menceritakan
tentang bangunan tersebut. Pada waktu itu ia
sedang mencari seekor kambingnya yang
hilang." "Ooo... pantas Gusti Pangeran mengetahuinya. Hmmm... sebaiknya kita
menyeberang sekarang saja, Gusti. Sebab
tanah yang kita pijak saat ini bisa ditumbuhi
'Akar Setan." Congor mendongak ke langit.
"Sinar matahari semakin tipis, Gusti!"
Karena merasa asing dengan daerah itu
tapi harus berlagak cukup hafal, maka Suto
Sinting pun segera menyambar tubuh Congor.
Bocah kurus itu ditentengnya seperti
membawa bungkusan isi gombal-gombal
kumal. Beberapa lembar daun pohon waru
segera dilemparkan ke permukaan sungai.
Dengan menggunakan permukaan daun
yang mengambang, Suto Sinting menyeberangi sungai lebar berair bening itu.
Kakinya menapak pada daun-daun waru
tanpa tenggelam sedikit pun. Tab, tab, tab...!
Ilmu 'Layang Raga' dipakai oleh Suto agar ia
bisa seperti berjalan di atas air. Tanpa
mempunyai ilmu peringan tubuh yang cukup
tinggi, mustahil Pendekar Mabuk dapat
berjalan di atas air dengan hanya berpijak
pada daun-daun pohon waru tadi.
Ketika petang benar-benar mutlak
menyelimuti bumi, suasana petang membentang di sana-sini, mereka pun
akhirnya tiba di sebuah bangunan kuno yang
telah rapuh dan rusak. Dinding-dindingnya
berwarna hitam bercampur lumut. Atapnya
hancur sebagian, tapi masih ada yang bisa
dipakai untuk bernaung.
Bangunan bekas pesanggrahan Resi
Banuraja itu juga mempunyai ruang bawah
tanah yang menurut Congor, dulu ruangan
itu sering dipakai untuk melatih para murid
sang Resi dalam menuntut ilmu kanuragan.
Congor membawa beberapa potong kayu
kering dan membuat api unggun kecil saat
Suto Sinting memeriksa keadaan sekeliling.
Suasana di sekitar bangunan kuno itu
Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepi-sepi saja. Tak ada tanda-tanda yang
mencurigakan. Pendekar Mabuk segera
kembali kepada Congor yang nongkrong di
depan api unggun di ruang bawah tanah itu.
Ruangan tersebut memang kotor, tapi lebar
dan berlantai ubin semen. Pendekar Mabuk
sempat membawa daun-daun kering sebagai
alas tidur mereka nanti.
"Tempat ini cukup hangat juga, ya?" ujar
Suto sambil memanggang tangannya yang
tadi saat di luar bangunan terhempas angin
dingin. "Gusti merasa hangat?"
"Ya. Lebih hangat di sini ketimbang di
luar sana."
"Tentu saja karena di sini ada api
unggun, Gusti."
"O, iya... benar juga kesimpulanmu,
Cong! Benar-benar anak yang cerdas kau,"
sambil Suto Sinting yang jongkok di samping
Congor mengusap-usap kepala bocah itu.
Senyum Suto Sinting yang mekar
melebar itu tiba-tiba menjadi ciut kembali.
Wajah cerah Congor pun mulai susut dan
bocah itu tampak sedang kerutkan dahinya.
Krraakk...! Suara ranting terinjak terdengar jelas
setelah suara langkah kaki samar-samar yang
tadi mereka dengar bersama itu. Kini mata
mereka yang ada di depan api unggun samasama melirik ke arah jalan keluar dari ruang
bawah tanah itu. Tangga delapan baris
panjang-panjang menjadi pusat perhatian
mata mereka. Suto Sinting yang tadi telah
membuka tudung hitamnya, kini mengenakan
lagi dengan gerakan pelan-pelan setelah
Congor berbisik lirih kepadanya.
"Ada orang mendekati tempat ini, Gusti."
"Hmmm...," Suto menggumam pelan dan
mengangguk kecil.
Rasa penasaran membuat Suto Sinting
bangkit dan melangkah pelan-pelan. Congor
juga bangkit berdiri, tapi tangan Suto segera
memberi isyarat agar Congor tetap di tempat.
Bocah itu ikuti isyarat Suto sesaat. Namun
setelah Suto mulai menaiki tangga menuju ke
bekas serambi bangunan itu, langkah kaki
Congor pun mulai mengikuti Suto.
Cahaya rembulan ternyata menyinari
bumi walau hanya separo bagian. Cahaya itu
membuat mata Pendekar Mabuk menangkap
kelebatan benda mengkilap yang meluncur
cepat ke arahnya. Zingng...!
Dengan gerakan cepat, Pendekar Mabuk
menyambar tudungnya dan menepiskan ke
depan. Trakk...! Benda mengkilap yang
meluncur ke arahnya itu terlempar ke arah
samping dan menancap pada sebuah tiang
penyangga atap yang sudah berlumut.
Jrubb...! Ternyata benda itu adalah sebilah pisau
sepanjang satu jengkal. Pisau itu bergagang
hitam dengan ujung gagangnya berumbairumbai benang kuning emas. Entah siapa
pemiliknya, tetapi Suto yakin orang yang
memiliki pisau itu pasti bermaksud jahat
kepadanya. Weesss...! Tabb...!
Suto Sinting terkejut karena sekelebat
bayangan melintas di atas kepalanya.
Bayangan yang berkelebat itu datang dari
arah belakangnya, lalu menampakkan diri di
depan hidungnya dalam jarak tiga langkah.
Jlegg...! "Cong..."!" ucap Suto dalam nada
berbisik. Ternyata bayangan yang berkelebat tadi
adalah gerakan Congor yang melambung di
atas kepala Suto. Kini Congor berhadapan
dengan Suto. Tangan bocah itu terulur ke
depan. Mata si murid sinting Glia Tuak itu
terbelalak melihat sebilah pisau terselip di
antara jari tengah dan jari telunjuk Congor.
"Seseorang ingin mencelakai Gusti
Pangeran!" ucap Congor dengan pelan namun
bernada sungguh-sungguh.
"Bocah ini benar-benar gila!" gumam
Suto dalam hati. "Kalau dia tak menyambar
pisau itu, pasti punggungku sudah menjadi
sasaran empuk pisau tersebut. Hmmm...
diam-diam si Congor punya mainan juga
rupanya." Pisau yang di tangan Congor itu
mempunyai rumbai-rumbai benang merah.
Bentuk gagang, warna gagang dan ukuran
mata pisaunya sedikit lebih kecil dari pisau
yang tadi ditangkis Suto memakai tudung.
Dengan lain perkataan, pemilik pisau itu
berbeda dengan pemilik pisau yang menancap
pada tiang. "Kalau begitu, ada dua orang yang
sedang mengincar nyawa kita, Cong!" ucap
Pendekar Mabuk dengan suara pelan,
matanya sambil melirik sekeliling dengan
tajam. Bumbung tuak yang sejak tadi
menggantung di pundaknya kini diambil dan
tali bumbung dililitkan pada telapak tangan
kirinya. Congor juga memandang sekelilingnya
penuh waspada. Pisau masih ada di tangan,
tetap terselip di antara kedua jarinya, seperti
saat ditangkapnya tadi. Bocah cerdas yang
ternyata punya keberanian dan punya
'simpanan' ilmu itu segera berbisik kepada
Suto ketika mereka beradu punggung.
"Gusti, saya kenal pemilik pisau ini."
"Siapa...?" bisik Suto bernada tanya.
"Rikma Wengi."
"Siapa itu Rikma Wengi?"
"Mata-mata dari Muara Sesat."
"Apa lagi Muara Sesat itu" Ah, sial! Aku
jadi serba bingung selama di sini," ujar Suto
Sinting membatin.
Tiba-tiba matanya menangkap datangnya kilatan cahaya merah yang melesat
ke arahnya. Wess...! Cahaya merah itu datang
dari atas pohon. Begitu cepat gerakan cahaya
itu, hampir-hampir Suto Sinting tak bisa
menghindarinya, ia hanya mengibaskan
bumbung tuaknya, dan saat itu cahaya merah
sebesar lidi itu menghantam bumbung
tersebut. Deesss...! Wuss...!
Cahaya merah itu berbalik arah dengan
kecepatan lebih tinggi dan bentuknya yang
lebih besar. Kini cahaya merah itu menjadi
sebesar kelingking dan menghantam bagian
atas pohon. Blegaarrr...!
"Aaakh...!" suara orang terpekik pendek.
Suara itu dikenali Suto sebagai suara
perempuan di sela gelegar ledakan.
Ledakan yang timbul memang sungguh
dahsyat. Alam sekeliling sempat menjadi
terang sebentar dalam kilauan cahaya merah.
Suto dan Congor sama-sama melihat seorang
terlempar dari atas pohon dan pohon itu
segera lenyap menjadi serbuk-serbuk hitam
berhamburan. "Cindra...!"
Sebuah suara perempuan lain terdengar
menyebut sepotong nama. Bersamaan dengan
itu, Suto dan Congor melihat sekelebat
bayangan menyambar orang yang terpental
dari pohon. Sayang sekali cahaya merah
benderang itu segera padam, sehingga Suto
dan Congor tak tahu apa yang dilakukan oleh
bayangan terbang dan orang yang terpental
dari pohon itu. Yang jelas ketika Suto Sinting
berkelebat ke arah jatuhnya orang dari atas
pohon tadi, tempat itu telah sepi tanpa suara
dan bunyi. "Rupanya orang yang terpental dari atas
pohon tadi adalah Cindra Mala, Gusti," ujar
Congor setelah mereka berada di dekat api
unggun lagi. "Siapa Cindra Mala itu?"
"Sama dengan Rikma Wengi. Mereka
adalah mata-mata dari Muara Sesat, ilmu
mereka memang lumayan, Gusti. Mereka
sama-sama pandai mainkan
jurus pisau terbang. Dan pisau mereka pada umumnya
beracun ganas, Gusti Pangeran."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sambil tertegun sebentar. Ada sesuatu yang
sedang dipikirkannya, yaitu tentang pengetahuan yang dimiliki Congor.
"Agaknya kau banyak mengetahui
kehidupan di rimba persilatan ya, Cong?"
pancing Suto. "Ayah sering bercerita tentang dunia
persilatan, Gusti. Bahkan para prajurit dan
punggawa negeri sering membicarakan para
tokoh di rimba persilatan dengan kehebatankehebatannya.
Saya mencuri dengar percakapan mereka, sehingga sedikit banyak
tahu tentang tokoh-tokoh di rimba persilatan,
Gusti." Suto menggumam dan manggutmanggut lagi.
"Tapi kulihat tadi kau cukup tangkas
menyambar pisau yang hampir merenggut
nyawaku itu! Rupanya kau punya ilmu juga
ya, Cong?" ujar Suto semakin memancing
kejujuran bocah pesek itu.
Congor tersenyum malu dan tundukkan
kepaia. "Ayah mengajarkan cara membela diri
dan mempertahankan hidup, Gusti. Yang bisa
saya lakukan hanya itu."
"Hanya itu..."!" Suto sengaja berlagak
tak percaya. "Betul, Gusti. Hanya itu dan sebuah
jurus yang pernah Gusti ajarkan pada saya
beberapa waktu yang lalu, yaitu ketika saya
berhasil menjinakkan kuda Gusti Pangeran,
lalu saya menerima upah sebuah jurus hebat
Pendekar Misterius 7 Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Pedang Langit Dan Golok Naga 23
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama