Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Pedang Bagian 2
Madapati. "Baik, Eyang. Dan kami akan selalu mengingat pesan-pesan Eyang. Kami mohon
pamit, Eyang," ucap mereka bertiga mantap.
*** 4 Belasan pasang mata di dalam kedai makan itu inemandang ke arah pintu yang
terbuka lebar. Saat itu tampak tiga sosok tubuh melangkah tenang memasuki tempat
itu. Beberapa orang di antara pengunjung segera menundukkan kepala ketika salah
seorang dari tiga sosok tubuh itu berbisik lirih. Rupanya pengunjung kedai itu
sudah dapat menduga, siapa ketiga orang muda yang memasuki kedai.
Sedangkan ketiga anak muda yang tak lain dari Wirasaba, Samba, dan Anggini itu
terus saja mengambil tempat tanpa mempedulikan orang-orang itu.
Wirasaba mengulapkan tangannya memanggil pelayan kedai yang kemudian segera
menghampiri. Setelah menerima pesanan dari pemuda gagah itu, pelayan itu pun
kembali berlaiu.
"Hm.... Rasanya senang sekali bisa melihat tempat ramai seperti ini. Bagaimana
dengan kalian?" tanya Wirasaba memecah keheningan di antara mereka.
Wajah pemuda gagah itu nampak berseri-seri. Seakan-akan, ia memang benar-benar
menikmati perjalanan ini.
"Aku pun merasa gembira, Kakang. Di sini bisa melihat wajah-wajah asing yang
menyenangkan. Sedangkan selama ini aku hanya dapat melihat wajah-wajah kalian
yang membosankan," gurau Samba.
Seperti halnya Wirasaba, dia pun begitu menyenangi perjalanan ini. Pemuda
bertubuh sedang dan berwajah halus itu mengakhiri ucapannya dengan gelak
berkepanjangan.
Sedangkan Anggini yang semula hanya menunduk menatap lantai, mengangkat
kepalanya begitu mendengar gurauan Samba. Gadis cantik itu mencoba mengimbangi
kegembiraan kedua orang kakak seperguruannya dengan berusaha memperdengarkan
suara tawanya. Tapi sayang, Anggini tidak berhasil. Karena, suara tawanya
terdengar demikian getir dan sumbang. Gadis yang biasanya selalu lincah dan
pandai bicara itu seperti masih merasa sedih.
Terutama bila teringat kepergian Kembara yang tanpa pamit itu.
Wirasaba dan Samba saling tukar pandang ketika mendengar nada getir dalam tawa
adik seperguruannya itu. Mereka yang tidak mengetahui duduk persoalannya, tentu
saja jadi bingung.
"Ada apa, Adik Anggini" Sepertinya kau tidak menikmati perjalanan kita ini?"
tegur Samba lembut Pemuda berwajah halus ini mencoba mencari tahu, apa yang
menyebabkan gadis itu tidak gembira. Sebab, ia tidak ingin kalau kegembiraan itu
hanya milik dirinya dengan kakak seperguruannya. Samba pun ingin agar Anggini
ikut pula merasa kan kegembiraan seperti mereka.
"Hhh.... Tidak apa-apa. Aku hanya merasa sedikit pusing. Sebentar juga akan
segera pulih," kilah Anggini.
Gadis itu juga segera melebarkan senyumnya untuk menghilangkan rasa kecurigaan
kedua orang kakak seperguruannya itu.
"Hei! Itu pesanan kita sudah datang!" seru Anggini kemudian. Rupanya saat itu si
pelayan kedai sudah membawa pesanan ketiga orang itu dan menghidangkannya di
atas meja. Tanpa banyak cakap lagi, mereka segera menyantap hidangan yang jarang mereka
nikmati di lembah. Wirasaba dan Samba tampak betul-betul menikmati makanan itu.
Sehingga, sama sekali tidak memperhatikan betapa Anggini menatap keduanya dengan
hati tergelitik.
Merasakan adanya suatu keanehan, Wirasaba dan Samba menolehkan kepala
berbarengan. Mereka menjadi heran melihat Anggini tengah memandang sambil
menyembunyikan senyum dengan telapak tangan.
"Ada apa, Anggini?" tanya Wirasaba agak tersipu, karena mulai dapat menduga apa
yang menyebabkan jadis cantik itu tersenyum.
"Hi hi hi..! Kalian seperti orang yang tidak pernah makan saja. Memalukan!"
sahut gadis itu. Anggini benar-benar tidak dapat lagi menahan tawanya.
Samba dan Wirasaba saling berpandangan sejenak, kemudian sama-sama tergelak
ketika tersadar akan kelakuannya yang persis seperti orang kelaparan itu.
Selain itu, mereka gembira karena melihat Anggini yang sudah mendapatkan
kegembiraannya kembali.
Mendadak saja, kegembiraan mereka terganggu dengan masuknya seorang pemuda
jangkung berkulit coklat Di belakangnya tampak dua orang berseragam hitam
mengiringi. Begitu masuk, ia langsung menatap ke arah Wirasaba, Samba, dan
Anggini. "Hm.... Mengapa ribut sekali" Seperti kerbau saja"
Atau memang kedai ini sudah berubah menjadi kandang kerbau?" ejek laki-laki
jangkung itu, menghina.
Setelah berkata demikian sepasang matanya menjelajahi tubuh dan wajah Anggini. Sesaat ia nampak termangu melihat kecantikan
gadis itu. Namun sesaat kemudian, pemuda itu mengedikkan kepalanya dengan sikap
sombong. Anggini dan dua orang kakak seperguruannya saling bertukar pandang sejenak.
Wirasaba dan Samba mengisyaratkan adik seperguruannya agar tidak mempedulikan
pemuda sombong itu. Namun Anggini yang merasa kegembiraannya terganggu, sudah
menjadi marah. Sama sekali tidak digubris isyarat yang diberikan kedua orang kakak
seperguruannya itu. Gads cantik itu sudah bangkit dan memandang dengan sinar
mata galak. "Hei, Lutung Kesasar! Apakah kau tidak tahu jalan pulang menuju hutan, sehingga
berkaok-kaok tidak karuan!" bentak Anggini sambil bertolak pinggang, seraya
melangkah menghampiri pemuda jangkung yang melontarkan hinaan itu.
"Kurang ajar kau, Setan Betina! Jangan mentang-mentang cantik, lalu bisa berbuat
semaumu! Ketahuilah!
Aku adalah putra penguasa di desa ini, dan bisa menangkapmu karena telah berani
menghinaku di depan orang banyak!" bentak pemuda itu, pongah. Memang, sebagai
seorang putra kepala desa, ia biasa diperlakukan secara hormat oleh para
penduduk di sekitarnya.
'Tuan muda! Biar kami tangkapkan setan betina cantik itu untukmu," kata salah
seorang laki-laki berpakaian hitam yang menjadi tukang pukulnya. Sepertinya, dia
ingin mencari jasa di hadapan tuan mudanya itu.
"Hmh...!"
Terdengar suara dengusan dari pemuda jangkung itu.
Tangannya segera dikibaskan untuk mencegah tukang pukulnya yang sudah bergerak
maju. Sepasang matanya menjelajah liar setiap jengkal tubuh padat berisi milik
Anggini. "Biar aku saja yang akan menundukkannya. Kalian berjaga-jaga sajalah. Siapa
tahu, kedua kerbau itu akan membelanya," ujar si pemuda jangkung dengan sikap
sangat memandang rendah.
"Anggini. Jangan mencari keributan di sini, Adikku.
Marilah kita pergi. Jangan ladeni lutung hitam itu," bujuk Wirasaba mencoba
mencegah perkelahian yang akan terjadi.
Setelah meletakkan beberapa uang logam di atas meja, pemuda gagah itu pun
bergegas menarik lengan Anggini dan membawanya ke luar. Sementara Samba
mengikuti dari belakang sambil berjaga-jaga kalau-kalau dua orang tukang pukul
pemuda jangkung itu berbuat curang.
"Tunggu...!" cegah pemuda jangkung itu sambil melintangkan tangan di depan pintu
kedai. Wajahnya yang kecoklatan itu tampak semakin gelap ketika mendengar pemuda
gagah itu memakinya sebagai lutung hitam.
"Biarkanlah kami lewat, Kisanak. Kami tidak ingin mencari keributan di sini,"
kata Samba halus.
Samba berusaha menekan kemarahannya melihat kesombongan pemuda jangkung yang
memuakkan itu. Hal ini karena ia teringat akan pesan eyang gurunya agar tidak
mencari keributan dan berusaha sebisa mungkin untuk menghindarinya.
"Hm.... boleh saja. Tapi ada syaratnya," sahut pemuda jangkung putra kepala desa
itu sinis dan angkuh.
"Apa syaratnya?" tanya Wirasaba yang sudah hampir tidak bisa menahan rasa sebal
melihat wajah yang angkuh itu.
Memang, baru menjadi putra kepala desa, pemuda itu sudah sedemikian sombongnya.
Entah bagaimana jadinya kalau jadi putra seorang raja atau adipati" Mungkin ia
akan semakin bertambah besar kepala.
"He he he.... Kalian berdua boleh meninggalkan tempat ini dengan cara merangkak
di bawah kakiku! Tapi, tinggalkan gadis cantik yang galak itu untukku!" pemuda
jangkung itu terkekeh penuh ejekan.
"Betul.... Betul...!" sambut dua orang tukang pukul pemuda itu sambil
mengangguk-anggukkan kepala per-tanda gembira.
Merah selebar wajah Wirasaba dan Samba ketika mendengar ucapan pemuda jangkung
itu. Tubuh mereka gemetar menahan kemarahan yang menyesakkan dada.
Sedangkan tanggapan Anggini lain lagi. Begitu mendengar syarat yang diajukan
pemuda jangkung itu, tubuhnya langsung melesat dan melakukan dua kali tamparan
berturut-turut. Gerakannya demikian cepat dan tiba-tiba, sehingga tak seorang
pun yang sempat menyadarinya.
Plakl Plak! "Akh...!"
Si pemuda jangkung menjerit kesakitan. Tubuhnya langsung terjerembab menabrak
meja yang berada di belakangnya. Darah segar tampak mengucur membasahi wajah.
Rupanya selain bibimya pecah, beberapa buah giginya pun tanggal akibat tamparan
kuat yang dilepaskan Anggini.
"Bangsat kau, Setan Betina! Kau akan membayar mahal akibat perbuatanmu ini!"
ancam pemuda jangkung itu dengan suara terpatah-patah sambil memegangi wajahnya.
Tangannya bergerak meraba gagang golok yang menyembul di balik bajunya.
Dua orang berseragam hitam yang menjadi tukang pukul putra kepala desa itu
terpaku bingung. Mereka benar-benar tidak mengerti, bagaimana gadis itu tahutahu bisa menampar wajah majikannya. Dan yang lebih mem-bingungkan, kedua orang
itu sampai tidak mengetahui kapan gadis itu melakukan tamparan. Sebab, tadi
mereka hanya melihat sebuah bayangan melesat cepat dan sukar diikuti pandang
mata. "Rasakanlah, Pemuda Bobrok! Untung aku masih bermurah hati tidak langsung
membunuhmu! Ayo kita pergi, Kakang!" ajak Anggini yang segera beranjak
meninggalkan kedai makan itu.
"Tangkap ketiga orang pengacau itu!" teriak si pemuda jangkung itu.
Seketika kedua orang tukang pukulnya pun langsung melesat melakukan pengejaran
sambil berteriak-teriak memanggil kawan-kawannya.
"Berhenti..!"
Wirasaba, Samba, dan Anggini menghentikan larinya ketika belasan sosok tubuh
berdiri menghadang jalan mereka. Belasan laki-laki itu telah menghunus senjata
masing-masing dengan sikap mengancam.
Ketiga orang murid Lembah Gunung Tangger itu bergegas membalikkan tubuhnya untuk
mencari jalan lain.
Namun mereka kembali terkejut ketika di belakang pun
telah berdiri belasan orang yang juga mengenakan seragam hitam. Tampaknya, tidak
ada jalan lolos lagi bagi ketiga anak muda itu.
"Hm.... Mau lari ke mana kalian" Jangan harap bisa keluar dari desa ini dalam
keadaan hidup!" ujar salah seorang dari tukang pukul pemuda jangkung itu.
Seperti nya, dia merupakan pimpinan para pengepung itu.
Sadar kalau tidak mungkin dapat lolos, maka Samba, Wirasaba, dan Anggini pun
mulai bersiap menghadapi keroyokan orang-orang itu. Tadi pun mereka lari bukan
karena takut, tapi karena berusaha untuk menghindari keributan. Hal ini
merupakan pesan Begawan Madapati, sebelum mereka berangkat. Namun, kali ini
sepertinya mereka tidak memiliki pilihan lain.
"Bunuh kedua orang pemuda keparat itu! Dan tangkap gadis galak yang binal itu!"
perintah salah seorang dari tukang pukul putra kepala desa sambil bergerak maju
mengibas-ngibaskan goloknya.
"Heaaat..!"
Tukang pukul yang berjumlah sekitar tiga puluh orang lebih itu berlompatan
sambil mengayunkan senjata, siap merencah tubuh kedua orang pemuda itu.
"Hati-hati! Jangan sampai kesalahan tangan hingga sampai membunuh mereka, Samba,
Anggini," bisik Wirasaba kepada kedua orang adik seperguruannya.
"Jangan khawatir, Kakang," sahut Samba.
Pemuda itu tidak merasa gentar sedikit pun. Padahal, jumlah lawan lebih banyak.
Memang, hal itu telah menimbulkan kegembiraan di hatinya. Sebab, baru kali
inilah ia terlibat dalam sebuah pertarungan sung-guhsungguh. Yang jelas, bukan pertarungan main-main seperti yang sering dilakukan
bersama saudara-saudara seperguruannya atau dengan pamannya.
Wuuut! Wuuut' Dua buah sambaran golok yang datang dari sebelah kiri, dielakkan dengan mudah
oleh Samba. Kedua kakinya langsung mencelat bergantian melakukan tendangan kilat Bukkk! Desss!
"Hughk...!"
Dua orang pengeroyok Itu kontan terjungkal ketika tubuhnya tercium ujung kaki
Samba. Mereka langsung terjerembab, pingsan seketika itu juga. Memang tendangan
yang dilakukan pemuda itu telak mengenai ulu hati dan dada lawannya.
"Bangsat! Mampuslah!" bentak yang lain begitu melihat lawan telah menjatuhkan
dua orang kawannya hanya dengan sekali gebrak saja.
Samba yang tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran senjata tajam lawannya, cepat
mengegoskan tubuhnya.
Namun sebelum sempat membalas, pengeroyok lain sudah datang mengancam. Terpaksa
pemuda itu harus kembali berkelit, dan melompat ke belakang.
Sementara itu, para penduduk yang menyaksikan pertempuran dari tempat yang agak
jauh, terlihat men-cemaskan ketiga anak muda yang tidak mereka kenal itu.
Sepertinya, para penduduk memang tidak begitu suka terhadap putra kepala desa
dan para tukang pukulnya. Hal itu terbukti dari pembicaraan beberapa penduduk
yang menonton pertarungan itu.
"Kasihan sekali ketiga anak muda itu, Ki. Mereka pasti
akan tewas di tangan tukang-tukang pukul itu," bisik salah seorang pemuda
berwajah kehitaman karena terlalu sering terpanggang sinar matahari.
"Yahhh! Tapi mudah-mudahan saja mereka dapat menyelamatkan diri. Kelihatannya,
mereka bukan orang-orang sembarangan. Mungkin, mereka itulah yang disebut
sebagai pendekar. Lihat saja. Bukankah mereka tidak menggunakan senjata" Malahan
para tukang pukul itu hanya dipukul roboh. Jelas, ketiga anak muda itu adalah
orang baik-baik," sahut laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, menimpali
ucapan pemuda berwajah kehitaman itu.
Beberapa batang tombak dari kedua orang penduduk yang tengah menyaksikan
pertarungan itu, tampak seorang pemuda tampan berjubah putih, dan seorang gadis
cantik berpakaian ketat serba hijau. Pandang mata mereka bergerak mengikurJ
jalannya pertarungan. Wajah mereka juga tampak tenang, tidak seperti kedua orang
penduduk yang berbicara tadi.
"Hm.... Sepertinya ketiga anak muda itu adalah murid orang sakti. Dan mereka
pasti baru saja turun gunung, Kakang. Sebenarnya mereka dapat menjatuhkan musuhmusuhnya lebih cepat. Jelas sekali kalau ketiga orang itu memiliki ilmu-ilmu
tingkat tinggi. Ini bisa dilihat dari gerakan mereka. Hanya saja, mereka tampak
masih ragu-ragu dalam setiap melontarkan serangan balasan," kata gadis jelita
laksana bidadari itu. Sepasang matanya yang tajam dan berbentuk indah, tak
pernah lepas dari arena pertarungan.
"Hm...!" gumam pemuda tampan berjubah putih itu
tak jelas. Walaupun demikian, tampak kepala pemuda itu terangguk-angguk sebagai
tanda kalau mempunyai pendapat yang sama dengan gadis itu. Siapa lagi kedua
orang itu, kalau bukan Pendekar Naga Putih dan kekasihnya, Kenanga.
*** 5 "Haaat..!" Wuuur!
Wirasaba menarik kaki kanannya ke belakang sambil memutar tubuhnya. Begitu
sambaran golok itu lewat, secepat kilat tangan kirinya terayun menghajar dagu
lawan. Desss! "Aaakh...!"
Orang itu kontan terjengkang ke belakang. Dan sebelum tubuhnya terjatuh,
Wirasaba kembali mengirim-kan tendangan ke dada. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh
orang itu ambruk tak bangun-bangun lagi. Kini Wirasaba mengarahkan serangan pada
dua orang pengeroyoknya.
Maka akibatnya....
Bugkh! Dugkh! "Ugkh...!"
Dua orang pengeroyok seketika terpelanting pingsan saat pelipis dan ulu hati
mereka terkena sambaran tangan pemuda gagah itu. Meskipun dalam keadaan sibuk,
Wirasaba tetap menjaga pukulan agar jangan sampai membuat pengeroyok tewas.
Di tempat lain, Anggini pun sudah pula menjatuhkan dua orang pengeroyoknya.
Seperti halnya Wirasaba dan Samba, gadis itu juga mematuhi pesan gurunya agar
Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mudah menurunkan tangan kejam terhadap setiap lawan.
"Yeaaah...!"
Dua orang pengeroyok melompat tinggi sambil
mengayunkan golok bersilangan. Namun gadis itu cepat menyambut dengan gerakan
berputar. Kaki dan tangannya bergerak melakukan tamparan dan tendangan.
Plakkk! Desss! Kedua orang itu terpental balik disertai semburan darah segar yang membasahi
bumi. Setelah merasakan sakit sesaat, tubuh keduanya tak berkutik lagi. Pingsan.
Salah seorang pimpinan pengeroyok yang berseragam hitam dan berkumis tebal,
marah bukan main. Golok panjang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga
menimbulkan deru angin keras.
''Haaat..!"
Wuuut! Wuuut! Golok panjang di tangan si kumis tebal menusuk dan membacok berkali-kali. Di
sini, Anggini tampak memperlihatkan kegesitan tubuhnya. Kedua kakinya bergerak
lincah, berlompatan menghindari ancaman mata golok lawan. Sehingga, serangan si
kumis tebal selalu mengenai tempat kosong.
Setelah lima jurus menyerang tanpa hasil, napas orang itu terlihat mulai
memburu. Hal itu dikarenakan ia terlalu bernafsu dalam melancarkan serangan. Dan
tentu saja hal itu membuatnya cepat menjadi lelah.
Melihat serangan lawan mulai mengendur, Anggini pun merubah gerakannya. Tubuh
gadis itu berkelebatan cepat sambil melontarkan pukulan dan tendangan keras.
Dalam dua jurus saja, sebuah pukulan sisi telapak tangannya singgah di batang
leher lawan. Desss! "Hegkh...!"
Kedua mata si kumis tebal itu mendelik. Darah seketika meleleh di sudut bibimya.
Tubuhnya yang agak gemuk itu pun langsung roboh tanpa dapat bangkit lagi.
"Anggini, lari...!" tiba-tiba terdengar teriakan Wirasaba.
Gadis cantik itu pun bergegas menolehkan kepalanya.
Begitu kedua orang kakak seperguruannya teriihat meninggalkan tempat itu, maka
Anggini pun segera melesat meninggalkan empat orang lawannya yang hanya berdiri
bengong memandang mereka.
"Keparat! Tunggulah kau, Gadis Culas! Suatu hari, pasti kau akan dapat
ditemukan! Dan pada saat itu kau akan tahu, siapa sebenarnya aku!" si pemuda
jangkung putra kepala desa itu berteriak-teriak kalang-kabut. Dari sinar matanya
yang dipenuhi dendam, jelas bahwa itu bukan hanya gertakan!
Namun ketiga anak muda itu sama sekali tidak mempedulikan si pemuda jangkung.
Mereka terus saja berlari melewati mulut desa.
"Wah! Bagaimana ini, Kakang" Apakah kita harus kembali ke lembah?" tanya Samba
meminta pendapat Wirasaba.
Rupanya pemuda tampan itu belum puas dengan perjalanannya. Dan semuanya memang
tidak ada yang bisa menjawab. Mereka benar-benar bingung, ke mana harus pergi.
Atau, sebaiknya kembali saja"
"Hm.... Awas kau putra kepala desa yang manja! Suatu hari, aku akan datang untuk
mengambil nyawamu!"
gumam Samba geram.
Sepasang mata pemuda tampan itu mengeluarkan sinar
berkilat ketika teringat pemuda jangkung yang inerusak kegembiraan dan
perjalanan mereka. Dan ini mereka harus berpikir dua kali bila ingin melanjutkan
perjalanan. "Aku pun baru sekarang merasa geram kepada pemuda sombong itu. Ingin rasanya
batang lehemya kupuntir agar tidak mempunyai kepala lagi! Dengan begitu, ia
tidak akan dapat sombong lagi!" kata Wirasaba sambil memukulkan tinju kanan ke
telapak tangan kirinya. Jelas kalau bukan hanya Samba saja yang merasa dendam.
"Ahhh! Kalian ini bagaimana, sih" Tadi mati-matian ingin meloloskan diri dan
tidak mau memberi pelajaran kepada pemuda itu. Lalu, mengapa sekarang berubah
pikiran?" tanya Anggini yang menjadi tidak mengerti melihat sikap kedua orang
saudara seperguruannya.
"Karena baru sekarang aku sadar kalau pemuda sombong itu telah merebut
kegembiraan kita! Orang seperti itu sepantasnya memang tidak boleh dibiarkan
hidup lama-lama. Sebab, ia hanya akan mendatangkan kesusahan saja bagi orang
lain!" sahut Samba yang belum hilang rasa jengkelnya.
"Sudahlah. Kita lihat-lihat desa lain saja. Mudah-mudahan saja sebelum malam
kita sudah menemukan desa," usul Wirasaba.
"Kalau kemalaman di jalan, tidur di dalam hutan saja.
Bukankah itu lebih enak?" timpal Samba.
"Hm.... Rasanya tidak terlalu jelek," gumam Anggini sambil tersenyum.
Namun, senyum gadis itu ternyata tidak mendapat sambutan. Karena, sepertinya
baik Samba maupun Wirasaba masih teringat akan kejadian yang baru saja
dialami tadi. "Ayolah. Lebih baik kita percepat perjalanan."
Sambil berkata demikian, Wirasaba pun segera menggenjot tubuhnya yang langsung
melesat cepat. Samba dan Anggini pun tidak mau ketinggalan. Mereka bergegas
menyusul Wirasaba yang telah berada cukup jauh di depan.
*** Dalam keremangan cahaya rembulan, sesosok tubuh tinggi kekar tampak berloncatan
di antara atap-atap rumah penduduk. Pakaian serba hitam yang dikenakan, semakin
menyamarkan sosok tubuhnya yang bergerak demikian gesit dan ringan. Pijakan
kakinya sama sekali tidak menimbulkan suara yang berarti.
Sosok bayangan hitam itu terus bergerak dari satu atap rumah ke atap rumah
lainnya. Tak berapa lama kemudian, sosok itu pun menghentikan larinya di atas
sebuah rumah yang paling besar di Desa Banjar. Jika dilihat dari adanya beberapa
penjaga di halaman, dapat ditebak kalau itu pasti rumah kediaman Kepala Desa
Banjar. Pada sebuah pelataran yang sepi dan agak gelap, sosok itu pun melayang turun.
Satu persatu, ditelitinya kamar yang terdapat di dalam rumah itu dari luar.
Kemudian, tubuhnya menyelinap melalui pintu samping. Hebat!
Hanya dengan menempelkan telapak tangannya, maka pintu itu langsung terbuka!
Rupanya dia tidak mengalami kesulitan untuk membuka pintu yang semula terkunci.
Dengan mengendap-endap, sosok itu pun melangkah
hari-hari menuju ke sebuah kamar. Kemudian telapak tangannya kembali ditempelkan
pada pintu kamar, dan didorongnya periahan. Pintu itu pun terbuka. Dari caranya
membuka pintu, sudah dapat diduga kalau dia memiliki tenaga dalam tinggi!
Perlahan-lahan dihampirinya sesosok tubuh jangkung yang tengah terbaring di atas
tempat tidur dari kayu jati berukir. Sejenak dipandanginya wajah berkulit
kecoklatan yang tengah terlelap itu. Wajah yang tak lain milik si pemuda
jangkung, putra Kepala Desa Banjar.
"Bangun kau, Keparat!" bisik sosok tubuh itu. Suaranya lirih, namun mengandung
kegeraman yang amat sangat.
Tentu saja pemuda jangkung yang tengah terlelap itu tersentak kaget! Ia merasa
heran, bagaimana orang itu dapat masuk ke dalam kamarnya yang terkunci rapat"
"Si... siapa kau..." Apa..., apa maksudmu datang ke sini...?" tanya si pemuda
jangkung gugup.
Keringat dingin membasahi tubuh pemuda itu ketika goloknya yang digantung di
dinding kamar ternyata telah tergenggam di tangan orang itu.
"Hm.... Pemuda culas! Kau tidak pantas hidup lebih lama di permukaan bumi ini!
Berdoalah, agar tidak masuk ke dalam neraka!" geram sosok tubuh itu bernada maut
Setelah berkata demikian, golok itu diangkatnya tinggi-tinggi siap dihunjamkan
ke tubuh si pemuda jangkung yang menjadi pucat ketakutan.
Wuuut! "Aaah...!"
Si pemuda jangkung terpekik tertahan. Cepat-cepat tubuhnya dilempar ke belakang
untuk menghindari
sambaran golok itu.
"Tolooong...! Ada pembunuh...!" teriak pemuda itu ketakutan. Lupalah sudah dia
akan kesombongannya. Rasa takut ternyata telah mengalahkan nyalinya.
"Hm.... Berteriaklah sepuasmu, Bangsat Rendah! Biar bagaimana pun, kematian
tetap menjemputmu malam ini!" ancam sosok tubuh berpakaian serba hitam itu. Sama
sekali hatinya tidak merasa khawatir dengan teriakan pemuda jangkung itu.
Dan memang, di luar sana terdengar suara-suara ribut, ditingkahi langkah-langkah
kaki orang yang berlari mencari sumber teriakan tadi. Sua sana sepi di rumah
besar itu seketika gempar.
"Nah, terimalah kematianmu!"
Setelah berkata demikian, sosok tubuh itu pun menggerakkan golok di tangannya
dengan kecepatan begitu tinggi. Sinar putih bergulung-gulung menimbulkan suara
angin yang menderu. Satu dua serangan memang masih berhasil dielakkan pemuda
jangkung yang memang bukan orang lemah itu. Namun, kepandaian sosok berbaju
hitam itu memang jauh lebih tinggi darinya. Akibatnya, ia pun tidak mampu untuk
menyelamatkan diri dari serangan selanjutnya.
Bret! Bret! "Aaa...!"
Si pemuda jangkung menjerit setinggi langit ketika dua kali sambaran golok
berhasil membeset tubuhnya. Darah segar seketika menyembur membasahi lantai dan
tempat tidumya. Tubuh jangkung itu pun terhempas, tewas di atas pembaringan. Dua
buah luka menganga tampak pada
bagian perutnya.
Pada saat yang bersamaan, pintu kamar yang tadi telah ditutup, ditendang oleh
seseorang dari luar. Dan kini empat orang penjaga berlompatan masuk.
"Keparat! Iblis dari mana kau hingga berani membuat kerusuhan di tempat ini?"
bentak salah seorang penjaga.
Seketika mata penjaga itu terbelalak saat melihat tubuh majikan mudanya terbujur
berlumuran darah di atas pembaringan.
"Hmh...!"
Sosok tubuh berpakaian hitam itu hanya bergumam periahan. Tampaknya ia sama
sekali tidak merasa khawatir atas kedatangan para penjaga itu. Disertai bentakan
keras, tubuhnya meluncur ke arah pintu. Kedua tangannya berputaran menimbulkan
angin keras. kiri-kanan akibat tamparan dan tendangan sosok berpakaian hitam itu. Para
penjaga itu tak mampu bangkit lagi. Pingsan!
Begitu tiba di luar kamar, sosok itu menengadahkan kepala ke langit-langit
rumah. Sesaat kemudian, tubuhnya digenjot untuk menjebol atap rumah besar itu.
Dengan menggunakan kepandaian ilmu meringankan tubuhnya, sosok berpakaian hitam
itu kembali berloncatan dari satu atap ke atap rumah lainnya. Tidak lama
kemudian, dia lenyap ditelan kegelapan malam.
Sementara itu, kentongan tanda bahaya telah bergema memenuhi seluruh penjuru
desa. Obor pun tampak bermunculan dari dalam rumah-rumah penduduk. Hanya dalam
sekejap saja, malam yang semula hening dan sepi menjadi ramai oleh suara
kentongan yang ditingkahi
teriakan-teriakan ribut.
Sedangkan saat itu, si pembuat keributan dan kegemparan telah lenyap tanpa
meninggalkan jejak.
Puluhan penduduk berbondong-bondong mendatangi rumah kepala desa. Dalam sekejap
saja, halaman rumah besar yang semula sepi itu telah dipenuhi penduduk desa.
Memang, mereka ingin mengetahui, apa sebenarnya yang telah terjadi di rumah
kepala desa mereka itu.
Seorang laki-laki tinggi kurus yang berusia sekitar lima puluh tahun berdiri
tegak di serambi yang terletak di depan rumah. Matanya merayapi orang-orang di
sekitarnya, sambil menarik napas panjang berulang-ulang.
"Saudara-saudara! Kalian boleh pulang ke rumah masing-masing, karena tidak ada
yang dapat diperbuat di sini!" ujar laki-laki tinggi kurus itu yang rupanya
adalah Kepala Desa Banjar.
"Apa sebenamya yang sudah terjadi, Ki" Bolehkah kami mengetahuinya?" tanya salah
seorang laki-laki berwajah bulat. Sepertinya, ia masih merasa penasaran kalau
belum mengetahui kejadian yang menimpa keluarga kepala desanya.
"Hm.... Entah kesalahan apa yang telah diperbuat putraku, sehingga malam ini ada
seorang pembunuh yang telah menghukumnya secara kejam!" sahut kepala desa,
dengan wajah berduka. "Nah! Sekarang, kalian pulanglah.
Jangan-jangan si pembunuh itu mendatangi rumah kalian!"
Mendengar ucapan itu, para penduduk pun segera berlarian kembali ke rumah
masing-masing. Wajah-wajah mereka tampak dibayangi kecemasan hebat.
Sedangkan di dalam kamar tempat pembunuhan itu
terjadi, terdengar tangisan yang memilukan. Empat orang penjaga yang tadi
tergeletak pingsan telah digotong ke luar. Hanya mayat si pemuda jangkung itulah
yang masih tetap terbujur di atas pembaringan. Seorang wanita gemuk berusia
sekitar empat puluh tahun tampak merintih sambil membelai wajah mayat yang mulai
membeku. Sementara malam semakin bertambah larut. Sang rembulan tetap memancarkan
sinarnya, tanpa mempedulikan kejadian yang menimpa anak manusia di permukaan
bumi. Seorang pemuda tampan mengenakan jubah berwarna putih yang ditemani seorang
gadis jelita, nampak masih berdiri di halaman rumah besar itu. Mereka tak lain
adalah Panji dan Kenanga.
"Mengapa Kisanak masih juga belum pulang?" tanya seorang penjaga sambil
menghampiri pasangan muda itu.
Rupanya ia mengira kedua orang itu adalah penduduk desanya.
"Maaf. Kami berdua adalah seorang kelana, dan malam ini kebetulan menginap di
desa ini. Mmm.... Kalau boleh, aku ingin bertemu kepala desamu," pinta Panji.
Suaranya terdengar sopan.
"Wah! Aku tidak berani, Kisanak," desah penjaga itu yang sesekali mencuri
pandang ke arah Kenanga. Rupanya kecantikan gadis itu telah membuatnya tidak
bisa diam. *** 6 "Hm.... Ada keperluan apa kau ingin menemuiku, Anak Muda?" tiba-tiba terdengar
sebuah suara yang membuat ketiga orang itu menoleh.
"Ah! Maaf, Ki. Kalau diperkenankan, aku ingin melihat mayat orang yang baru saja
terbunuh itu. Barangkali saja pembunuh itu dapat kukenali melalui anda-tanda
yang terdapat di tubuh korban," sahut Panji, sehingga membuat kening lelaki
setengah baya itu berkerut
"Hm.... Bagaimana kau dapat mengetahui pembunuh itu, bila hanya melihat dari
tanda-tandanya saja, Anak Muda" Siapakah kau sebenamya?" tanya kepala desa itu.
Rupanya, dia mulai mencurigai Panji. Pertama, pemuda itu bukan penduduk desanya.
Kedua, kedatangan pemuda itu persis saat kematian putranya. Maka ia pun mulai
bersikap waspada menghadapi pemuda berjubah putih itu.
"Ketahuilah, Ki. Setiap tokoh persilatan mempunyai ciri pada ilmunya. Biasanya,
apabila si pembunuh itu berasal dari kalangan persilatan, maka akan meninggalkan
tanda ilmunya. Nah! Dengan begitu, mudah bagi kita untuk mencari pembunuh itu.
Sedangkan pemuda yang kini berada di depan Aki ini adalah Pendekar Naga Putih.
Dan kebersihan jiwanya tidak perlu diragukan lagi!" tandas Kenanga. Gadis itu]
memang merasa tidak senang melihat sinar mata Kepala Desa Banjar yang mengandung
kecurigaan itu!
"Ah...! Betulkah..., betulkah kau Pendekar Putih yang tersohor itu, Anak Muda?"
tanya kepala, desa itu, penuh harap. Kemudian, dia melangkah semakin dekat untuk
menegasi wajah pendekar muda yang telah menggetarkan rimba persilatan sekarang
ini. "Demikianlah orang-orang persilatan memberi julukan padaku, Ki," jawab Panji
tenang, tanpa kesombongan sedikit pun.
"Ah! Mari.., mari silakan Pendekar Naga Putih!" kepala Desa Banjar itu mengajak
Panji met rumahnya.
Panji dan Kenanga segera melangkah mengikuti laki-laki setengah baya itu di
belakangnya. Lalu, mereka pun memasuki sebuah kamar. Di dalamnya, tampak seorang
wanita yang tengah menangisi mayat putranya.
"Sudahlah, Nyai. Pergilah beristirahat. Biarlah tuan pendekar ini yang akan
memeriksanya. Siapa tahu pembunuh putra kita bisa ditemukannya," bujuk kepala
desa itu sambil menggandeng tangan istrinya, dibawanya pergi meninggalkan kamar
itu. Setelah mengantarkan istrinya ke kamar, ia pun segera kembali ke tempat mayat
anaknya terbaring. Sebentar ditatapnya mayat itu, kemudian perhatiannya beralih
pada Panji dan Kenanga.
"Bagaimana, Pendekar Naga Putih" Apakah kau sudah bisa menduga, siapa pembunuh
keji itu?" tanya lelaki setengah baya itu. Pada wajah tuanya tampak tersirat
setitik harapan.
"Hhh.... Sayang sekali, Ki. Pembunuh itu ternyata orang yang sangat
berpengalaman. Sengaja dia tidak mem-pergunakan pukulan atau senjatanya sendiri,
melainkan menggunakan senjata yang tergantung di dinding itu,"
jelas Panji sambil menunjuk ke arah sarung golok yang masih tergantung di
binding. Sedangkan golok yang digunakan untuk membunuh, entah berada di mana.
"Hhh.... Benar-benar licik bangsat keji itu! Mung-kinkah ia seorang pembunuh
Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bayaran?" gumam orang tua itu geram.
"Entahlah. Tapi aku pernah melihat putramu ini di kedai, dekat mulut desa. Saat
itu ia dan orang-orangnya tengah mengeroyok dua orang laki-laki dan seorang
perempuan muda. Tapi aku tidak tahu, apakah pembunuhan ini ada hubungannya
dengan kejadian pagi tadi atau tidak," jelas Panji lagi. Rupanya, Pendekar Naga
Putih sempat mengenali sewaktu pemuda jangkung dan anak buahnya mengeroyok
Wirasaba, Samba, dan Anggini.
"Ah! Jadi, tadi pagi anakku telah membuat keributan"
Hhh.... Dasar anak keras kepala! Padahal, sudah ber-ulangkali aku menasihatinya
agar tidak memancing-mancing keributan. Oh, ya. Tahukah kau, siapakah yang
memulai perseBsihan itu, Anak Muda" Jawablah, tanpa harus merasa tidak enak
kepadaku. Karena aku tahu, anakku memang keras kepala dan tidak mau kalah kepada
orang lain," tanya orang tua itu.
"Hm.... Kalau melihat dari sikap ketiga orang anak muda yang dikeroyoknya, dapat
diambil kesimpulan kalau kesalahan itu terletak pada putra Aki. Buktinya, jika
melihat gerakannya, jelas ketiga orang itu memiliki kepandaian tinggi. Dan kalau
ingin, mungkin mereka dapat membunuh para pengeroyoknya. Tapi, hal itu tidak
merela lakukan. Sebaliknya, malah ketiga orang itu berusaha meloloskan diri.
Begitulah kejadian yang kulihat tadi pagi, Ki," jelas Panji.
"Hhh.... Aku yakin, pembunuhan ini merupa buntut dari peristiwa pengeroyokan
itu. Mungkin anakku telah melakukan kesalahan besar yang menyakitkan hati ketiga
orang itu. Sebab, pembunuh itu hanya meminta korban anakku saja. Padahal kalau
mau, dapat juga membunuh keempat orang penjagaku. Jadi, jelas anakkulah yang
menjadi tujuannya," kata kepala desa itu.
Tampaknya orang tua itu menyesali perbuatan putranya yang justru telah
membahayakan dirinya sendiri.
Dan kini, menyesal rasanya sudah terlambat. Diam-diam, dia menyalahkan diri
sendiri, karena terlalu memanjakan putra satu-satunya itu.
"Aku akan menyelidiki hal ini, Ki. Aku juga ingin tahu, siapa sebenarnya yang
melakukan pembunuhan ini Dan apa yang menyebabkan orang itu melakukannya?" janji
Panji. Kepala Desa Banjar itu hanya bisa mengangguk-angguk sambil mengucapkan terima
kasih berulang kali.
Setelah berkata demikian, Panji dan Kenanga pun pamitan untuk kembali ke
penginapan. Sekali lagi orang tua itu mengucapkan rasa terima kasihnya.
Kemudian, ia mengantarkan kepergian kedua orang mendekar muda itu hingga gerbang
rumahnya. Pendekar Naga Putih dan Kenanga melangkahkan kaidnya menerobos kegelapan malam
yang mulai menjelang pagi. Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan
menyambut datangnya pagi.
*** "Tolong...! Kantung uangku dicuri! Oh, tolong...!"
Seorang wanita setengah baya berteriak-teriak minta tolong. Sedang tangannya
menunjuk ke arah seorang laki-laki kurus berwajah kumal yang berlari dan
menyelinap di antara keramaian pasar.
Sedangkan orang-orang yang tengah berbelanja dan berdagang di pasar hanya
menolehkan kepala jenak, kemudian kembali melanjutkan kegiatan tanpa
mempedulikan kejadian itu. Sepertinya, orang-orang di pasar telah mengenal betul
lelaki kurus yang nencuri kantung uang wanita itu. Mereka tidak ingin
nencampurinya, karena takut akan akibatnya. Paling tidak, pencuri itu akan
mencegat dan menganiaya bersama kawan-kawannya.
Maka, orang-orang itu terpaksa menulikan telinganya dan berpura-pura tidak tahu.
Dua orang pemuda dan seorang gadis cantik yang tengah menikmati keramaian pasar,
tersentak ketika nen-dengar jeritan minta tolong. Mereka langsung menoleh ke
arah asal teriakan tadi. Kening mereka berkerut dalam ketika melihat seorang
laki-laki kurus dan kumal berlari cepat. Di tangan kanannya tampak tergenggam
kantung uang. "Hm.... Mengapa orang-orang di pasar ini hanya diam saja?" gumam Wirasaba.
Pemuda itu benar-benar heran ketika tidak melihat seorang pun yang berusaha
mengejar si pencuri.
"Mungkin mereka takut, Kakang," sahut Samba.
Lain halnya dengan wanita cantik yang tak lain!
Anggini. Tanpa berkata sepatah pun, dia segera melesat mengejar lelaki kurus
itu. Hanya beberapa kali lompatan saja, tubuh gadis itu telah berdiri menghadang
jalan lari pencuri itu.
"Berhenti! Atau, kupatahkan kakimu!" ancaml Anggini sambil berdiri bertolak
pinggang. Wajahnya! tampak kemerahan menahan amarah yang meluap-luap dalam dada.
"Hm.... Minggirlah kau, Nisanak! Sayangilah kecantikanmu. Jangan sampai wajahmu
yang cantik itu kurusak!" pencuri itu rupanya merasa lucu mendengar ancaman
Anggini, sehingga berbalik mengancam.
"Oh! Rupanya kau minta diberi pelajaran! Baik. Nah, sambutlah kepalanku ini.
Lumayan untuk sarapan pagi!"
ujar gadis cantik itu geram melihat ke bandelan si pencuri.
Maka kedua tangannya cepat bergerak. Dan tahu-tahu saja....
Brettt! Plakkk! Desss!
"Akh...!"
Lelaki kurus berwajah kumal itu menjerit, dan! Tubuhnya langsung terbanting
jatuh. Cairan merah tampak merembes di sudut bibimya Sepasang matanya sampai
terbelalak memandang gadis di depannya. Ia benar-benar tidak mengert, mengapa
tahu-tahu saja wajah dan perutnya terasa sakit. Bahkan kantung uang di tangannya
pun telah berpindah ke tangan gadis cantik itu. Rupanya kecepatan gerak pukulan
dan tendangan tadi tidak terlihat matanya, sehingga ia tidak lahu kalau wajah
dan perutnya telah menjadi sasaran tangan kaki gadis cantik itu.
"Bedebah kau, Kuntilanak! Rupanya kau tidak patut
disayangi! Rasakanlah pembalasanku! Heaaat..!"
Disertai sebuah pekikan marah, tubuh kurus itu segera melompat menerjang
Anggini. Mau tak mau, Anggini terpaksa tersenyum melihat gerakan orang itu. Karena, ia
tahu persis kalau gerakan lelaki kurus itu hanya asal-asalan. Sama sekali tidak
mengandung unsur silat cabang mana pun. Tentu saja serangan orang itu tidak ada
artinya bagi gadis cantik murid tokoh sakti macam Anggini. Hanya dengan satu
tangan saja, maka tubuh orang itu kembali terpelanting akibat sambaran pukulan
lawan. Akibatnya, dada orang itu terasa rontok.
Sadar kalau yang dihadapinya bukanlah gadis sembarangan, maka tanpa malu-malu
lagi laki-laki kurus itu bergegas melarikan diri. Sehingga, Anggini pun
tersenyum melihatnya.
"Hebat..! Hebat..!" tiba-tiba terdengar seruan bernada memuji.
Tampak seorang pemuda tampan mengenakan pakaian dari sutra halus berwama coklat
muda telah berdiri tidak jauh dari Anggini. Ia berseru sambil bertepuk tangan
keras-keras. Sepertinya, ia telah menyaksikan gebrakan gadis itu saat
melumpuhkan si pencuri.
"Apa maksudmu, Kisanak" Dan mengapa kau tidak berusaha mencegah perbuatannya
tadi?" tanya Anggini.
Keningnya berkerut, menatap pemuda pesolek yang sebenarnya cukup gagah dan
menarik itu. "Maaf, Nisanak. Namaku Gutala. Tapi sayang sekali, aku tidak memiliki keberanian
sepertimu. Mmm....
Bolehkah aku tahu namamu?" tanya pemuda tampan
pesolek itu, setelah lebih dulu memperkenalkan nama-nya. Sama sekali da tidak
berusaha menyembunyikan rasa kagumnya melihat kecantikan dan kepandaian Anggini.
Kerutan di kening Anggini semakin dalam.
Dipandanginya wajah pemuda itu penuh selidik. Seolah-olah dia mencoba mencari
jawaban, mengapa pemuda itu sedemikian mudahnya memperkenalkan diri. Sepertinya,
hal itu memang sudah diatur olehnya. Namun karena sikap pemuda itu sangat sopan,
maka tidak enak untuk menyambutnya.
"Aku Anggini. Dan..."
Gaols itu menghentikan ucapannya ketika terdengar jerit kesakhan yang menyayat.
Anggini semakin terkejut melihat tubuh wanita setengah baya yang baru saja
kantung uangnya dikembalikan, tersungkur roboh mandi darah. Dua bilah belati
tampak menancap di dada dan lehernya.
"Hei, berhenti! Mau lari ke mana kau, Pembunuh!"
seru Wirasaba marah. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda tinggi tegap itu
segera mengejar si pembunuh.
Samba yang tidak ingin ketinggalan, bergegas pula mengejar dua orang laki-laki
yang melemparkan senjata tadi. Kedua pemuda itu melesat cepat penuh kemarahan,
sehingga melupakan Anggini yang masih berada di tempat itu.
"Sabarlah, Nisanak. Apakah dua orang temanmu itu masih belum cukup untuk
menangkap mereka" Lebih baik tunggu saja di sini. Aku yakin, tidak lama lagi
pasti kedua orang temanmu sudah kembali sambil menyeret dua orang
yang dikejarnya. Mereka memang teman si pencuri yang kau robohkan tadi. Marilah
kita tunggu mereka di dekat pohon itu," ajak si pemuda yang mengaku bernama
Gutala sambil menunjuk sebatang pohon yang cukup besar.
"Hm.... Jadi, kau pun sudah pula mengenal banyak kawanan pencuri itu" Lalu
mengapa tidak kau beri hajaran, agar mereka kapok?" tanya Anggini, seraya
melangkah ke sebuah bangku panjang di bawah pohon besar itu.
Si pemuda pesolek hanya tersenyum memikat.
Kembali dijelajahinya seluruh wajah Anggini yang cantik itu dengan matanya.
Sinar kekaguman semakin nyata terlihat pada sepasang mata pemuda itu.
"Ihhh! Mengapa kau memandangiku seperti itu, Gutala?" sergah Anggini sambil
memalingkan wajahnya.
Dia memang jengah melihat pandangan yang tajam menusuk itu.
"Hm..., Anggini. Sebuah nama yang indah dan antik.
Sungguh sesuai dengan kecantikannya. Kau tidak ubahnya seperti dewi, Anggini,"
gumam Gutala. Suaranya terdengar agak menggeletar.
"Apa... Apa maksudmu, Gutala. Kau..., kau..., ah!
Aku tidak suka mendengar ucapan itu! Sekali lagi kata itu diucapkan, aku akan
pergi meninggalkanmu!" bentak Anggini yang sudah bangkit dari duduknya.
Sepasang matanya menyiratkan kemarahan hatinya.
"Aduh...! Sabar dulu, Anggini. Mengapa marah-marah begitu" Apa yang kukatakan
itu adalah yang sebenarnya.
Apakah salah kalau aku mengatakan kau cantik" Tidak bolehkah kita mengagumi
sesuatu yang indah dan cantik"
Hhh.... Kau aneh sekali, Anggini?" bantah Gutala. Suaranya demikian lemah,
sehingga membuat kemarahan di hati gadis itu lenyap.
"Maafkan aku, Gutala. Tapi aku benar-benar tidak suka mendengar ucapan itu. Dan
kuminta, jangan kau ulangi lagi," desah Anggini.
Gutala tersenyum lega. Ternyata Anggini adalah gadis yang pemaaf. Hal ini makin
membuatnya tertarik. Diam-diam, semakin dikaguminya gadis itu.
"Eh, mengapa mereka lama sekali" Ke mana saja mereka?" tanya gadis itu yang
mulai merasa tidak enak ketika kedua orang saudara seperguruannya tidak munculmuncul. Dan lagi, pertanyaan itu memang untuk mem-belokkan ketertarikan Gutala
padanya. "Sabarlah. Sebentar lagi mereka pasti kembali," bujuk Gutala sambil menyuruh
gadis itu duduk kembali.
"Tidak, Gutala. Aku harus menyusul mereka!"
Setelah berkata demikian, Anggini pun mulai menggerakkan kakinya meninggalkan
Gutala. "Eh, eh! Sabar dulu, Anggini! Kita tunggu saja di sini!"
cegah Gutala kaget. Cepat-cepat disambarnya lengan gadis itu, sehingga
gerakannya jadi tertahan.
"Apa-apaan kau, Gutala!" bentak Anggini sambil menepiskan tangan pemuda itu yang
telah menggenggam jemarinya.
Hati gadis cantik itu sempat tergetar ketika merasakan betapa lembut dan
hangatnya genggaman tangan lelaki pesolek itu.
"Jangan pergi, Anggini. Sejak melihatmu tadi, aku....
Aku telah jatuh cinta kepadamu," Gutala terpaksa
mengutarakan perasaan hatinya. Dia pikir, mungkin pengakuannya pada Anggini akan
membatalkan niat gadis itu untuk mencari kedua orang saudara seperguruannya.
Tapi sayang, dugaan Gutala salah besar! Dugaannya semula, gadis itu akan
tertunduk malu mendengar pengakuannya. Tapi, ternyata tidak! Anggini malah
menentang pandang mata Gutala dengan wajah merah!
Bukan karena rasa malu ataupun jengah, tapi sebaliknya malah merasa marah.
"Hm.... Jadi itu maksudmu, mengapa kau menahanku di sini" Dan kau pilar,
keberadaanku di sini karena tertarik kepadamu" Huh! Kau salah, Gutala! Selamat
tinggal!" dengus Anggini.
Gadis itu segera melesat meninggalkan Gutala yang terpaku dengan wajah merah.
Pemuda itu merasa malu dan terhina sekali mendengar kata-kata yang teratur
menusuk hatinya tadi. Kata-kata yang terucap dari mulut gadis yang telah mencuri
sekeping hatinya.
"Anggini, tunggu...!" seru Gutala, bersiap mengejar.
Namun sebelum kakinya melangkah, tiba-tiba....
"Tidak pertu mengejar gadis itu, Perayu Busuk! Karena telah berani mengganggu
gadis itu, berarti kau pun telah berani untuk menghadap malaikat maut!" ancam
sebuah suara berat.
Gutala langsung menahan langkahnya. Kepalanya langsung dipalingkan ke arah asal
suara. Tampak lelaki tinggl tegap berwajah buruk dan tua telah berdiri di dekatnya.
Rambutnya yang telah berwarna dua tampak meriap dan menutupi sebagian wajah.
Penampilan orang itu benar-benar menggetarkan hati
Gutala. "Siapa... siapa kau" Dan apa maksud kata-katamu itu?"
tanya Gutala agak gugup mendengar kata-kata berbau maut itu.
'Tidak perlu banyak cakap! Bersiaplah! Kau kuberi kesempatan untuk membela
diri!" lanjut suara berat itu tanpa mengenal belas kasihan.
Gutala segera mencabut pedang yang terselip di pinggangnya. Memang disadarinya
kalau lelaki setengah baya berwajah buruk itu tidak main-main dengan ancamannya.
Maka, ia pun bersiap untuk membela diri.
"Haaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan parau, tubuh lelaki buruk itu meluncur disertai
sambaran pedangnya menimbulkan deru angin keras.
Wuuut! Wuuut! Sambaran pedang yang membawa hawa maut berkelebatan mengancam tubuh Gutala.
Cepat-cepat pemuda itu berkelit dan melempar tubuhnya ke belakang.
Memang, serangan orang aneh itu demikian gencar sekali.
Maka Gutala pun kalang-kabut dibuatnya.
*** 7 "Orang gila! Apa sebenarnya maumu?" teriak Gutala sambil berlompatan,
menghindari serangan yang menderu-deru dari orang aneh itu.
"Jangan banyak bacot! Keluarkan semua kepandaian-mu, kalau masih ingin hidup
lebih lama lagi!" bentak lelaki aneh berwajah buruk itu, semakin mempergencar
serangannya. Wuuut! "Aaah...!"
Gutala berteriak kaget ketika ujung pedang lawan hampir saja membeset kulit
tubuhnya. Untunglah tubuhnya sempat dimiringkan, sehingga ujung pedang orang
aneh itu hanya mengenai bajunya. Pemuda itu segera melempar tubuhnya, lalu
bergulingan menjauhkan diri dari lelaki buruk yang berkepandaian tinggi itu.
"Huh! Percuma melarikan diri, Pemuda Busuk!" seru lelaki aneh itu ketika melihat
lawannya hendak melarikan diri. Setelah berkata demikian, tubuhnya vang tegap
dan kokoh itu melayang mengejar calon korbannya. Senjata di tangannya diputar
sedemikan rupa, sehingga menimbulkan gulungan sinar yang menyilaukan mata.
Wuuut! Crasss! "Aaargh...!"
Terdengar jerit kematian yang menyayat pedang di tangan lelaki buruk yang aneh
itu membeset tubuh Gutala sebanyak tiga kali. Darah segar memercik membasahi
permukaan bumi. Tubuh Gutala kemudian ambruk di tanah. Dia meraung-raung
berkelojotan meregang nyawa.
Dada, perut, dan lehernya terdapat luka memanjang yang cukupdalam. Tidak berapa
lama kemudian, tubuh Gutala diam bergerak. Mati.
Setelah merasa yakin kalau korbannya telah tewas, lelaki buruk yang aneh itu
segera melesat meninggalkan mayat yang bersimbah darah.
"Pembunuhan...! Pembunuhan...!"
Terdengar teriakan dari beberapa penduduk melihat mayat Gutala. Mereka telah
mengerumuni mayat itu. Tak seorang pun yang berani mendekat apalagi sampai
menyentuhnya. Mereka hanya gerombol dalam jarak empat batang tombak.
Seorang gadis berkepang dua dan berwajah cantik, segera berlari mempercepat
langkahnya mendekati kerumunan orang itu. Ia tak lain adalah Anggini. Gadis itu
memang bermaksud menanyakan tempat berkumpulnya kawanan pencuri yang biasanya
Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjarah pasar. Pada waktu mengejar tadi, Anggini tidak berhasil menemukan kedua
orang saudara seperguruannya, meskipun telah bertanya ke sana kemari.
"Hm.... Ada apa lagi itu" Sepertinya ada kejadian yang menarik?" gumam Anggini
dalam Gadb itu pun mempercepat langkahnya. Kemudian, dia segera menyeruak di antara
kerumunan penduduk.
Orang-orang yang tengah berkerumun memberikan jalan kepada Anggini. Mereka
memang tahu kalau gadis cantik itu memiliki kepandaian hebat, karena sempat
menyaksikan pertarungan Anggini melawan pencuri di
tengah pasar tadi.
"Ada apa, Kisanak?" tanya Anggini kepada seorang laki-laki setengah baya yang
menyingkir memberi jalan.
"Ada orang terbunuh! Kata orang yang melihat pertarungan korban tadi,
pembunuhnya berumur setengah baya, juga wajahnya buruk. Tapi ia sudah menghilang
sejak tadi," jelas lelaki itu.
"Hah...!?"
Sepasang mata Anggini terbelalak lebar. Hampir sata gadis itu tidak mempercayai
pandangan matanya. Benar-benar tidak disangka kalau mayat itu tak lain adalah
Gutala. Padahal, belum lama tadi ia berada bersamanya.
Lalu, bagaimana mungkin pemuda itu dapat terbunuh sedemikian mudah" Apa yang
menyebab Gutala sampai terbunuh" Aneh! Anggini benar-benar tak habis mengert.
"Nisanak kenal orang itu?" tanya seorang pemuda berjubah putih yang juga ada
dalam kerumunan penduduk, dekat dengan Anggini. Nada pertanyaannya demikian
wajar dan tidak mengandung kecurigaan.
Anggini tidak segera menjawab pertanyaan itu.
Kepalanya menoleh, dan keningnya berkerut. Sekilas saja gadis itu tahu kalau
pemuda berjubah putih itu berkepandaian tinggi. Kemudian pandangannya dialihkan
kepada seorang wanita jelita yang menghampiri.
"Aku mengenalnya baru beberapa saat yang lalu. Tapi aku tidak tahu, siapa dia
sebenarnya" Dan penyebabnya sehingga ia sampai terbunuh" Padahal kelihatannya
dia orang baik," sahut Anggini.
"Apa dia pernah bercerita kalau mempunyai musuh?"
tanya wanita jelita berpakaian hijau, ikut menimpali.
"Hm..., tidak. Perkenalan kami belum lama. Lagi pula, tidak baik menceritakan
persoalan kepada orang yang baru dikenal," jawab Anggini. Matanya masih
memandang wanita jelita itu penuh kagum. Sekali melihat saja, ia sudah
menyukainya. sudah dapat diduga kalau wanita jelita itu bukan orang sembarangan.
"Hm.... Aneh!" gumam pemuda tampan berjubah putih yang tak lain Pendekar Naga
Putih. Sedangkan wanita jelita itu pasti Kenanga.
Kedua pendekar muda itu hanya mengamati sambil menatap kepergian Anggini. Lalu,
mereka segera berlalu setelah berpesan kepada penduduk mengurusi mayat pemuda
pesolek itu. "Apakah kau akan mengikuti gadis itu, Kakang"' tanya Kenanga setelah mereka
meninggalkan keramaian pasar.
Saat itu, mereka berjalan menyusuri utama desa.
"Hm..., begitulah. Kau tahu, saat ini kita tidak mempunyai petunjuk lain selain
gadis itu dan orang pemuda yang bersamanya," sahut Panji.
"Kau mencurigai mereka sebagai pembunuhnya"' tanya Kenanga lagi.
"Yah! Itu hanya dugaan, Kenanga. Tapi yang jelas, sumber pembunuhan itu pasti
berasal mereka. Dan satu-satunya jalan untuk membekuk pembunuh aneh itu adalah
melalui ketiga orang itu," jawab Panji yang bertekad untuk menyelidiki pembunuhpembunuh gelap yang mereka temui.
"Kalau begitu, marilah kita ikuti gadis cantik itu!" ajak Kenanga bersemangat.
Memang dia pun sudah tidak sabar untuk segera membekuk pembunuh itu.
"Ayolah!" sahut Panji Pendekar Naga Putih segera mengikuti Kenanga yang sudah
berlari mendahuluinya.
Cepat sekali! Mereka kemudian melesat cepat seperti saling berkejar-kejaran. Jelas, mereka
telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang mendekati kesempurnaan. Yang
terlihat kini hanyalah bayangan putih dan hijau. Bagi orang yang tak memiliki
kepandaian tinggi, sulit untuk menebak, bayangan apa yang tengah berkelebat
dengan kecepatan tinggi itu.
Sebentar kemudian, Pendekar Naga Putih dan Kenanga telah tiba di tempat Anggini
tadi menuju. Namun, mereka menjadi heran ketika tidak menemukan gadis itu. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Panji segera menanyakan orang yang dicarinya kepada
seorang laki-laki yang tengah berdiri di pintu rumah dan memandang ke arahnya.
"Maaf, Kisanak. Apakah kau melihat gadis cantik yang rambutnya berkepang dua?"
tanya Panji sopan.
"Apakah yang kau maksud, gadis berbaju kuning dan bercelana hitam?" orang itu
bafik bertanya.
Begitu kepala Panji terlihat mengangguk, orang itu menggerak-gerakkan tangannya
menunjuk ke satu arah.
Setelah mengucapkan terima kasih, mereka segera melesat ke arah yang ditunjuk
orang itu. Rupanya Anggini telah meninggalkan desa itu.
*** "Berhenti..!" terdengar bentakan nyaring, disertai ber-lompatannya belasan sosok
tubuh dari balik semak-semak.
Gadis cantik berkepang dua itu melangkah mundur dengan sikap waspada. Satu
persatu, dipandanginya orang-orang yang berdiri menghadang jalannya itu. Dapat
diduga kalau orang-orang yang terlihat kasar itu mempunyai niat yang tidak baik
terhadapnya. "Maaf, Kisanak. Apa keperiuan kalian hingga menghadang jalanku" " tanya gadis
cantik yang tak lain Anggini itu, curiga.
Gadis cantik yang belum berpengalaman ini sama sekali tidak mengetahui kalau
saat itu tengah berhadapan dengan para perampok.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki berkepala botak yang merupakan pimpinan para perampok itu tertawa
mendengar pertanyaan Anggini. Sepertinya, pertanyaan yang dilontarkan gadis itu
lucu. Sebab bukan hanya si botak yang tertawa, tapi hampir semua laki-laki kasar
itu tergelak mendengarnya.
"Hei, Nisanak yang cantik. Mestinya kau tahu keperluan tuanmu ini. Ketahuilah,
aku dan pasukanku sengaja datang menyambutmu. Karena, sebentar lagi kau akan
menjadi permaisuriku! Kau tidak keberatan, bukan?"
ujar si botak seraya memperdengarkan tawanya yang memuakkan.
"Maaf, Kisanak. Aku sama sekali tidak mengerti ucapanmu itu" Lebih baik, kalian
menyingkir! Biarkan aku lewat!" tegas Anggini bemada mengancam.
"Hei" Apakah kau lebih suka kalau aku menggunakan kekerasan" Hm.... Sebaiknya,
kau menurut saja, Nisanak.
Kujamin, kau akan hidup senang," ujar si botak lagi tanpa mempedulikan ancaman
gadis itu. "Sudahlah, Ki. Untuk apa bertele-tele" Tangkap saja!
Kan, beres!" selak lelaki tinggi kurus dan berwajah brewok.
Sepasang mata laki-laki yang agak sipit itu berputar liar menjelajahi sekujur
tubuh Anggini. Air liurnya nampak menetes, tak ubahnya seekor harimau yang
melihat kijang muda.
"Hm.... Rupanya kalian menganggap aku main-main!
Baiklah. Kalau kalian masih juga tidak mau menyingkir, jangan salahkan kalau
kepala kalian akan terpisah dari badan!" geram Anggini.
Gadis itu langsung mencabut pedangnya yang terselip di pinggang. Ketika melihat
sinar mata si brewok, Anggini pun tahu keinginan orang-orang kasar itu
sebenarnya. Sret! Selarik sinar berkilatan keluar dari mata pedang yang tercabut keluar dan
tergenggam di tangan gadis cantik itu.
Wajahnya yang putih halus nampak kemerahan karena kemarahannya mulai bangidt
Bagaimana ia tidak akan jengkel" Belum lagi kedua orang kakak seperguruannya
dapat ditemukan, kini ada lagi persoalan yang membuat kepalanya tambah pusing.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan kedua belah pihak, dua sosok tubuh tampak
memperhatikan dari bafik rimbunan pohon bambu kuning.
"Kakang, bagaimana kalau gadis itu terdesak" Apakah kita akan mendiamkannya
saja?" tanya sosok tubuh ramping itu. Sementara sepasang matanya yang indah
tetap menatap ke arah orang-orang itu.
"Kita tunggu saja perkembangannya," sahut yang
seorang tanpa menolehkan kepala.
"Tapi kalau dia tertangkap, bagaimana?" tanya sosok tubuh ramping itu lagi.
Sepertinya dia tidak tega melihat Anggini yang hanya seorang dhi, siap dikeroyok
oleh kawanan perampok yang jumlahnya lebih dari lima belas orang. Belum lagi
kalau mereka masih mempunyai kawan yang tengah ber-sembunyi di semak-semak.
"Sudahlah. Jangan terlalu khawatir dulu, Kenanga. Dan jangan sekali-kali
bergerak sebelum ada isyarat dariku,"
sahut sosok yang satunya. Siapa lagi kedua orang itu, kalau bukan Kenanga dan
Panji yang rupanya sudah pula tiba di tempat itu.
Sementara itu, ketegangan di kedua belah pihak semakin memuncak. Pemimpin
perampok yang berkepala botak itu sudah memerintahkan anak buahnya menyebar
mengelilingi Anggini Beberapa di antaranya tampak sudah memutar-mutar tambang
yang pada bagian tengahnya dibentuk sebuah bulatan. Sepertinya, mereka memang
bermaksud untuk menangkap gadis itu hidup-hidup.
Menuntut Balas 29 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Anak Harimau 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama