Ceritasilat Novel Online

Beruang Gunung Es 2

Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es Bagian 2


lama lenyap dari kalangan persilatan...," jawab Pisau Kilat sejujurnya. Tentu
saja kejujuran itu karena ia mengharapkan keterangan lebih jauh.
"Hmmm...."
Melihat kesungguhan Pisau Kilat, Hantu Tangan
Merah hanya bergumam pelan. Keningnya berkerut,
seolah ada sesuatu yang dipikirkan. Sepasang matanya menatap wajah Pisau Kilat lekat-lekat. Ia belum yakin sepenuhnya dengan
ucapan kepala perampok
itu. "Maafkan, Hantu Tangan Merah. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk menemanimu. Sudah banyak tokoh lain yang datang lebih dahulu ke tempat ini...," lalu, Pisau Kilat
berbalik dan memerintahkan para pengikutnya melanjutkan perjalanan.
"Tunggu, Pisau Kilat...!" cegah Hantu Tangan Merah. Lelaki tinggi besar itu agak kaget mendengar ada orang telah tiba lebih
dahulu dari mereka. Wajahnya kelihatan sedikit tegang. Khawatir akan kedahuluan
orang lain. "Ada apa lagi, Hantu Tangan Merah?" tanya Pisau
Kilat tak senang. Meski demikian, tubuhnya berbalik menghadap tokoh tinggi besar
itu. "Kalau bilang kita telah kedahuluan orang. Apa kau mengenali siapa mereka" Dan
dari golongan mana?"
Hantu Tangan Merah kelihatan sangat ingin mengetahui hal itu. "Aku sendiri tidak tahu. Karena aku hanya melihat
banyak jejak tertinggal di atas rumput," jelas Pisau Kilat. Kemudian berbalik, dan melangkah meninggalkan Hantu Tangan Merah yang
termangu dengan wajah
tercenung. Pisau Kilat bergerak menjauh bersama para pengikutnya yang kelihatan agak lemah. Hal itu disebabkan oleh serangan tawa Hantu
Tangan Merah yang seperti menguras tenaga. Hanya karena patuh pada Pisau Kilat
saja, maka mereka tidak mengeluh.
Saat rombongan Pisau Kilat sudah semakin jauh,
dan hampir lenyap ditelan kelebatan pohon, Hantu
Tangan Merah baru tersadar dari lamunannya. Ia
langsung berkelebat menyusul rombongan Pisau Kilat Dan menjaga jarak agar tidak
terlalu dekat Semua itu adalah akal licik Hantu Tangan Merah. Sebab bila
rombongan Pisau Kilat mendapat bahaya, ia tidak per-lu repot-repot. Tinggal
menyaksikan dari jauh, bagaimana Pisau Kilat dan para pengikutnya menghadapi
kemungkinan itu.
*** Pisau Kilat yang berjalan paling depan, mendadak
menghentikan langkah. Sepasang matanya terbelalak
menyaksikan pemandangan di depannya. Para pengikutnya yang juga menyaksikan pemandangan itu berhenti dengan wajah pucat!
"Gila...!?" desis Pisau Kilat.
Tampak kaget melihat enam sosok mayat bergeletakan di tanah berumput Kendati kematian dan penyiksaan bukan hal aneh lagi. Tapi, tak urung tokoh berdarah dingin itu terkejut
menyaksikan keadaan tubuh keenam mayat, yang menurut dugaannya adalah kaum
rimba persilatan. Tubuh mayat-mayat itu nyaris tidak bisa dikenali. Anggota
tubuhnya tidak utuh lagi. Bahkan ada di antaranya yang bagian tubuhnya hancur.
Diam-diam hati tokoh sesat berdarah dingin itu bergi-dik ngeri.
"Pastilah beruang Gunung Es yang melakukannya...," tanpa sadar, Tangkar bergumam seorang diri.
Tapi, ucapan itu cukup jelas terdengar di telinga Pisau Kilat Tangkar memang
berada di samping kepala perampok itu.
"Kau yakin...?" desis Pisau Kilat Belum percaya kalau kematian keenam kaum rimba
persilatan itu disebabkan oleh beruang Gunung Es, yang pernah ditemui Tangkar. "Kau bisa melihat dari luka-luka mayat itu, Pisau
Kilat Bukankah itu bekas kuku-kuku yang besar dan kuat" Siapa lagi yang
melakukannya kalau bukan binatang raksasa itu...?" sahut Tangkar. Wajahnya
kelihatan pucat Baginya, kematian keenam orang itu terlalu mengerikan.
"Hm...," Pisau Kilat tidak berkata lagi. Ia pun mempunyai dugaan serupa. Hanya
tidak dikeluarkannya.
"Kita lanjutkan perjalanan...!" teriaknya lantang. Para pengikutnya, yang
meskipun sudah lenyap keberaniannya setelah menyaksikan mayat-mayat itu, tidak
berani membantah. Mereka terpaksa mengikuti langkah pemimpinnya.
Korban-korban yang bergeletakan di rumput semakin bertambah ketika Pisau Kilat melangkah semakin jauh. Hati tokoh sesat itu
mulai dilanda ketegangan.
Pemandangan itu membuatnya semakin berhati-hati
dan melangkah dengan perlahan. Lelaki gemuk itu yakin kalau pembunuh itu akan
muncul menghadang
rombongannya. "Groooaaahhh...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah geraman keras menggetarkan jantung. Beberapa pengikut Pisau Kilat roboh.
Sebab, kedua kaki mereka mendadak gemetar. Hingga
tidak mampu menahan berat tubuhnya sendiri. Kenyataan membuktikan kalau geraman keras tadi sangat
hebat! Pisau Kilat sendiri sudah meraba gagang pedang di
pinggangnya. Saat mendengar geraman itu. Ia yakin
beruang Gunung Es berada di sekitar tempat itu. Dan bisa muncul sewaktu-waktu.
Saat ketegangan Pisau Kilat dan anggota rombongannya semakin memuncak, tiba-tiba terdengar suara berdebum yang menggetarkan
bumi. Dengan diiringi
geraman keras, muncullah binatang yang sangat besar, berlari cepat ke arah rombongan! Dan...,
"Aaakh...!"
Empat orang anggota rombongan Pisau Kilat menjerit ngeri. Beruang Gunung Es yang kelihatan sangat murka itu menangkap dan
mencabik tubuh mereka.
Tanpa ampun lagi, keempat orang itu tewas seketika itu juga!
"Munduuur...!"
Pisau Kilat bertindak cepat dengan memerintahkan
para pengikutnya untuk menjauhi binatang buas yang tengah mengamuk itu. Pedang
tergenggam di tangan
kanan lelaki gemuk itu. Pisau Kilat segera memerintahkan kedua pembantu utamanya
untuk bersama- sama menghadapi binatang itu.
"Haaattt..!"
Ketika beruang Gunung Es berlari mengejar anggota
rombongannya, Pisau Kilat berteriak nyaring untuk
menarik perhatian binatang itu. Kemudian melepaskan empat batang pisau terbang
dengan kecepatan kilat!
Singngng... singngng...!
Empat batang pisau terbang itu meluncur deras
mengancam tubuh beruang Gunung Es. Namun hanya
dengan sampokan kedua tangannya, binatang itu berhasil meruntuhkan pisau-pisau terbang kepala perampok itu. Padahal, gerakan
binatang itu terlihat lamban.
Hingga Pisau Kilat hampir tidak percaya melihat kejadian itu. "Para pemburu itu
ternyata tidak berbohong. Beruang Gunung Es memang memiliki dasardasar ilmu silat tinggi. Binatang itu mampu menghalau pisau terbang ku. Padahal,
jarang ada tokoh persilatan yang mampu atau pun berani melakukannya..."!" desis
Pisau Kilat Terbelalak kagum melihat kehebatan binatang itu.
"Binatang itu jelas dapat bersilat, Ketua...," ujar Tonggala dengan penuh
ketegangan. Melihat binatang besar dan sangat kuat itu mampu mengatasi kecepatan
laju pisau terbang pemimpinnya. Ia sendiri tidak mungkin sanggup melakukannya.
Kegentaran pun mulai menguasai hati lelaki itu.
Demikian pula dengan Janaga. Lelaki bertubuh sedang dan berkumis lebat itu pun sangat kaget melihat kehebatan beruang Gunung
Es. Apalagi, ketika teringat korban akibat keganasan binatang itu. Gerakannya
menjadi ragu. Sebab, dalam hatinya telah terselip rasa takut
"Jangan takut! Ayo kita hadapi binatang keparat
itu...!" Pisau Kilat agaknya dapat menduga kegentaran
yang menguasai hati kedua pembantunya. Maka lelaki gemuk itu segera berteriak,
memerintahkan Tonggala dan Janaga untuk mengepung dan mengeroyok beruang Gunung
Es. "Haaattt..!"
Untuk membangkitkan keberanian kedua pembantunya, Pisau Kilat melesat menerjang binatang raksasa
itu. Pedang di tangannya berputaran seperti baling-baling. Kemudian membacok
dengan kekuatan penuh!
Whukkk! Namun meski dengan gerak yang kelihatan agak
lambat Beruang Gunung Es mampu mengelakkan bacokan pedang Pisau Kilat Sehingga, lelaki gemuk itu semakin terkejut
Wrettt! "Aaaiiihhh!?"
Pisau Kilat memekik kaget. Kuku-kuku runcing bagai mata pedang datang menyambar tubuhnya. Untung ia cepat menyadari ancaman maut itu. Tubuhnya dilempar ke belakang, dan
terus berjumpalitan ke udara. Dalam keadaan demikian, tangan kirinya masih
sempat melepaskan dua buah pisau terbang ke arah
binatang itu. Trakkk! Trakkk!
Lagi-lagi Pisau Kilat harus menahan seruan kagetnya. Senjata yang sangat diandalkannya ternyata tidak mampu menembus kulit dan
bulu tebal binatang itu
Padahal, ia telah mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk melemparkan pisau-pisau
itu. Tapi, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Senjata kebanggaannya runtuh
ketika membentur kulit yang dilindungi bulu tebal itu. Beruang Gunung Es
ternyata memiliki kekebalan tubuh yang hebat!
"Celaka! Kalau begini terus aku bisa menjadi korban keganasan binatang itu...,"
gumam Pisau Kilat Lelaki gemuk itu tampaknya menyadari tidak akan sanggup
menundukkan binatang yang kuat dan kebal itu.
Kesadaran itu membuat Pisau Kilat berpaling ke
tempat Hantu Tangan Merah berada. Ia tahu tokoh
bertubuh tinggi besar itu mengikuti rombongannya da-ri jarak jauh. Maka tanpa
malu-malu, Pisau Kilat memanggil tokoh itu.
"Hei, Hantu Tangan Merah! Kalau kau ingin mendapatkan peninggalan Malaikat Salju, ayo bantu aku
menghadapi binatang gila ini!" teriak Pisau Kilat
Hantu Tangan Merah sepertinya menyadari akan
perlunya mereka bergabung. Kelihatan ia bergerak
mendekati Pisau Kilat yang meminta bantuannya.
"Pisau Kilat Untuk menghadapi binatang liar yang
tangguh itu, diperlukan waktu yang cukup lama. Aku khawatir nanti kita akan
kehabisan tenaga. Jika sudah demikian, orang-orang yang datang belakangan akan
dengan mudah mendapatkan harta peninggalan Malaikat Salju tanpa halangan apa pun...," ujar Hantu Tangan Merah, setelah tiba di
dekat Pisau Kilat
"Hm...," Pisau Kilat tampak mengerutkan kening
mendengar ucapan Hantu Tangan Merah. "Kalau begitu, biar aku suruh anak buahku mengambil harta peninggalan Malaikat Salju. Sementara kita menghadapi beruang gila itu. Aku yakin,
tempat penyimpanan harta itu tidak jauh dari tempat ini. Bagaimana...?" usul
Pisau Kilat yang sepertinya telah mendapatkan cara cukup baik.
"Baiklah...," sahut Hantu Tangan Merah langsung
menyetujui. Sebab, mereka tidak mempunyai banyak
waktu untuk mengatur rencana lain.
Setelah mendapat kata sepakat, kedua tokoh itu
bergerak maju menghadapi beruang Gunung Es. Sedangkan Tonggala dan Janaga diperintahkan mencari
tempat penyimpanan harta peninggalan Malaikat Salju. Kedua pembantu Pisau Kilat itu bergegas mengajak kawan-kawannya meninggalkan
tempat itu. Mereka ju-ga mengajak Ki Lodana dan tiga pemburu lainnya.
Tinggallah Hantu Tangan Merah dan Pisau Kilat
yang bersama mencegah beruang Gunung Es, agar tidak mengejar rombongan para pengikut Pisau Kilat
Akibatnya, binatang yang seperti dapat menduga apa yang dicari orang-orang itu
murka bukan main. Kepalanya tegak menatap langit. Dan geramannya terdengar
berkali-kali, membuat dada kedua lawannya berdebar.
"Haaaiiit..!"
Sebelum beruang Gunung Es menyerbu, Hantu
Tangan Merah sudah melesat maju dengan serangan
sepasang telapak tangannya. Tercium bau amis saat
tokoh tinggi besar itu melakukan tamparan-tamparan yang mendatangkan sambaran
angin berciutan. Sepasang telapak tangan tokoh itu berubah merah sampai batas
pergelangan. Rupanya, itu yang membuatnya di-juluki Hantu Tangan Merah.
Gerakannya sendiri memang cepat laksana bayangan hantu.
Beruang Gunung Es agaknya dapat mencium bahaya maut serangan itu. Binatang itu bergerak mundur beberapa langkah. Hawa beracun yang berasal dari telapak tangan Hantu Tangan
Merah telah membuat
agak pening. Itu terlihat dari gelengan kepalanya yang berkali-kali. Tampaknya,
beruang itu hendak mengusir rasa pening yang dideritanya.
Pisau Kilat pun tidak tinggal diam. Lelaki gemuk
berkumis lebat itu menerjang dengan pedang di tangan. Kendati sadar binatang itu kebal terhadap senjata tajam. Tapi Pisau Kilat
mencoba mengarahkan serangan itu pada bagian yang dianggapnya terlemah, dan
tidak mungkin dilindungi kekebalan. Serangan pedangnya diarahkan pada sepasang
mata binatang itu.
Sedangkan Hantu Tangan Merah menambah kecepatan. Melihat binatang itu agak gentar menghadapi pukulan tangan merahnya.
Sehingga, sepasang tangan tokoh tinggi besar itu tidak tampak lagi bentuknya.
"Groooaaah...!"
Beruang Gunung Es kelihatan seperti penasaran.
Dengan menggeram marah, binatang itu membalas serangan Hantu Tangan Merah. Bahkan, berani memapaki pukulan telapak tangan lawan.
"Heeeaaah...!"
Meski agak repot menghindari serangan balasan binatang buas itu, tetapi Hantu Tangan Merah tidak
mengurangi serangannya. Bahkan semakin dipergencar. Sasarannya selalu pada bagian terlemah tubuh
binatang itu. Whuuusss...! Diiringi suara berkesiutan, asap tipis berwarna merah mengepul dari telapak
tangan tokoh tinggi besar itu. Sasarannya adalah dada kiri beruang Gunung Es.
Plaggg! "Uuuhhh...!"
Tanpa disangka-sangka, beruang Gunung Es mengangkat lengannya untuk menangkis. Benturan keras
pun tak dapat dihindarkan lagi. Dan, tubuh Hantu
Tangan Merah terhuyung mundur. Jelas, ia kalah tenaga dengan binatang itu. Kendati sangat sedikit per-bedaannya. Sebab beruang
itu pun terjajar beberapa langkah ke belakang.
"Kurang ajar...!" desis Hantu Tangan Merah geram.


Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tenaga binatang itu ternyata lebih besar dari dugaannya. Maka, ia segera
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menggempur binatang itu.
"Haaaiiittt..!"
Pisau Kilat tampaknya memang sangat pandai memanfaatkan kesempatan. Sewaktu binatang itu terjajar mundur, cepat digunakannya
untuk menyerang dengan tusukan pedang.
Syuuuttt! Ujung pedang Pisau Kilat meluncur cepat mengarah
mata kanan binatang itu. Hati lelaki gemuk itu sudah merasa gembira ketika
serangan hampir tiba pada sasaran. Tapi....
Krakkk! "Aaahhh..."!"
Pada saat ujung pedang Pisau Kilat hampir mengenai sasaran, beruang itu memapaki dengan mengangkat lengannya. Sambaran kuku-kukunya yang besar
dan kuat, membuat pedang di tangan lelaki gemuk itu patah seketika! Bahkan,
tubuh Pisau Kilat terhuyung sejauh satu tombak. Kuda-kudanya tergempur oleh
kekuatan tangkisan binatang itu. Selagi tubuh Pisau Kilat terhuyung dan tengah
berusaha mengatur ke-seimbangan tubuhnya, sambaran cakar beruang itu
meluncur datang. Siap meremukkan batok kepala lela-ki gemuk berkumis lebat itu!
"Haaaiiihhh!"
Untunglah pada saat yang sangat berbahaya itu,
Hantu Tangan Merah datang menolong. Sepasang telapak tangan tokoh tinggi besar itu meluncur dengan
suara berkesiutan!
Bukkk! "Graaauuuhhh!"
Beruang Gunung Es sempat menangkis hantaman
tangan kiri lawan. Tapi, tidak sanggup menghalangi datangnya gedoran pukulan
beracun pada dada kirinya. Akibatnya, tubuh binatang itu terhuyung hampir jatuh.
Meskipun begitu, binatang itu tampaknya mengalami luka dalam. Pada dada kirinya
terdapat tanda merah akibat pukulan Hantu Tangan Merah,
yang memang sangat ampuh dan kuat Walaupun demikian, beruang Gunung Es tidak menjadi gentar. Binatang itu siap merangsek
maju. *** 6 "Haaattt..!"
Hantu Tangan Merah rupanya dapat menduga kalau pukulannya tadi telah melukai binatang itu. Maka, lelaki tinggi besar itu
pun tidak membuang-buang
waktu lagi. Serangan-serangannya kembali datang laksana air bah!
Bweeet! Bweeet!
Dengan sangat bernafsu, Hantu Tangan Merah melancarkan serangkaian serangan maut Sambaran angin tajam yang disertai hawa beracun datang silih berganti. Hingga beruang
Gunung Es agak kewalahan
menghindarinya. Kendati demikian, binatang itu ber-juang keras untuk mengimbangi
serangan-serangan
lawan. Sayang, pengaruh racun pukulan Hantu Tangan Merah mempengaruhi kekuatannya. Gerakan binatang itu kelihatan bertambah lambat Bahkan, benturan lengan yang terjadi membuat binatang itu terhuyung-huyung. Akibatnya Hantu
Tangan Merah mampu mendesak, dan menekan dengan seranganserangan yang kian gencar!
Bukkk! "Grooahhh...!"
Sebuah hantaman telapak tangan kanan lawan, tak
dapat dihindari lagi. Tubuh binatang itu terhuyung sejauh setengah tombak.
Kesempatan yang sangat baik
pun digunakan Hantu Tangan Merah. Sepasang telapak tangannya yang mengandung racun jahat didorongkan ke depan!
Deeesss...! Dorongan sepasang telapak tangan tokoh tinggi besar itu, membuat tubuh beruang Gunung Es terjengkang. Binatang itu melenguh merasakan dadanya tera-sa panas seperti terbakar.
Kendatipun demikian, beruang Gunung Es berusaha merangkak bangkit untuk
melanjutkan pertempuran. Binatang itu berdiri bergoyang-goyang karena rasa pening di kepalanya. Matanya pun sudah tidak bisa
melihat dengan baik. Semua yang dilihatnya berbayang-bayang dan kelihatan samarsamar. Binatang itu jelas mengalami luka yang sangat parah!
"Hm.... Sekarang tamatlah riwayatmu, Binatang Keparat...!" teriak Hantu Tangan Merah seraya melesat dengan dorongan sepasang
telapak tangan yang berisi tenaga dalam penuh.
"Haaattt..!"
Dibarengi pekik mengguntur, Hantu Tangan Merah
melayang dengan kecepatan tinggi. Kali ini beruang Gunung Es tidak mungkin
sanggup bertahan lagi!
Whuuusss...! Asap tipis kemerahan yang disertai bau amis memuakkan, meluncur datang mengancam nyawa beruang Gunung Es!
Blaaarrr...! "Aaakh..."!"
Akibatnya membuat Hantu Tangan Merah memekik
heran. Tubuhnya terlempar sejauh satu setengah tombak, dengan diiringi ledakan
keras yang menggetarkan tanah di sekitar tempat itu. Lelaki tinggi besar itu
merasakan dadanya sesak! Kendati demikian, Hantu Tangan Merah masih sempat
berjumpalitan menyelamatkan diri agar tidak terbanting ke tanah. Tokoh itu meluncur turun dengan
kedua kaki lebih dahulu.
Sepasang mata lelaki tinggi besar itu tampak menyipit Menatap sosok pemuda tampan berjubah putih
yang berdiri di depan beruang Gunung Es. Mengertilah Hantu Tangan Merah kalau
yang memapaki pukulan
mautnya adalah pemuda tampan berjubah putih itu.
Wajah seramnya terlihat berubah tegang. Tenaga yang membentur pukulannya
mengandung hawa dingin
menusuk tulang. Dan, sosok berjubah itu terbungkus kabut bersinar putih
keperakan. Ciri-ciri itulah yang membuat Hantu Tangan Merah berdebar tegang.
Hingga tergambar jelas pada wajahnya.
"Kau... apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga
Putih...?" tanya Hantu Tangan Merah dengan suara
berdesis. Sosok pemuda tampan berjubah putih itu maju beberapa tindak. Sikapnya tampak tenang dan sedikit
pun tidak menampakkan kesombongan. Meskipun tadi
telah memapaki pukulan Hantu Tangan Merah hingga
tokoh itu terdorong.
"Demikianlah orang-orang memberikan julukan kepadaku, Hantu Tangan Merah," sahut pemuda tampan
berjubah putih, yang ternyata memang Panji.
Deg! Jawaban itu membuat hati Hantu Tangan Merah gelisah. Sebab keinginannya mendapat halangan berat
Padahal ia sudah hampir menundukkan beruang Gunung Es. Kehadiran pendekar muda yang tersohor itu, akan mengacaukan rencananya
bersama Pisau Kilat.
Begitu pun dengan Pisau Kilat Mendengar pemuda
tampan berjubah putih itu Pendekar Naga Putih, kege-lisahan tergambar jelas pada
raut wajahnya. Nama tokoh muda itu sudah demikian terkenal di kalangan
persilatan. Dan lagi ia sudah sering mendengar sepak-terjang pemuda itu, yang
selalu menentang segala bentuk kejahatan. Pisau Kilat hanya bisa menyumpah dalam hati. Pendekar muda itu pasti akan menghancurkan harapannya untuk memperoleh peninggalan Malaikat Salju. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Hantu
Tangan Merah...?" tanya Pisau Kilat berbisik.
Hantu Tangan Merah mendengus jengkel. Pertanyaan Pisau Kilat tidak segera dijawabnya. Tampaknya, tokoh tinggi besar itu sedang mencari jalan keluar agar terbebas dari
Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Sebaiknya kita cegah dulu pendekar muda
itu. Bukankah para pengikutmu tengah mencari tempat penyimpanan peninggalan Malaikat Salju" Kemungkinan besar Pendekar Naga Putih tidak tahu
akan hal itu. Setelah para pengikutmu memberi tanda, baru kita tinggalkan tempat
ini...," jawab Hantu Tangan Merah, yang rupanya telah mendapat jalan keluar.
"Bagus! Usulmu tepat sekali, Hantu Tangan Merah...," puji Pisau Kilat, meskipun hatinya terkejut Ia memang menyuruh para
pengikutnya memberi
tanda bila sudah berhasil menemukan peninggalan
Malaikat Salju. Tapi, tidak dikatakannya kepada Hantu Tangan Merah. Tentu saja
ia jadi heran mendengar
ucapan tokoh tinggi besar itu. Padahal, Hantu Tangan Merah tidak mengetahuinya.
Pisau Kilat tidak tahu kalau tokoh tinggi besar itu telah terbiasa dengan segala
bentuk kejahatan dan kelicikan. Sehingga, Hantu Tangan Merah tahu kebiasaan orang-orang jahat. Bahkan, ia sendiri sudah
mempunyai rencana yang tidak diketahui Pisau Kilat Tokoh tinggi besar itu ingin
menguasai peninggalan Malaikat Salju seluruhnya.
Panji sendiri tidak menaruh curiga dengan sikap
kedua lawannya yang saling berbisik. Sosoknya tetap tegak. Siap menghadapi kedua
tokoh sesat itu. Dan
bam bergeser ketika melihat Hantu Tangan Merah dan lelaki gemuk berkumis tebal,
yang belum dikenalnya, merenggang melakukan kepungan. Kedua tokoh sesaat
itu hendak mengeroyok Panji,
Cwiiit... cwiiit!
Pisau Kilat kali ini menggunakan sepasang senjata
andalannya. Seraya mengibaskan senjatanya, lelaki
gemuk itu bergerak maju dari arah kanan. Sedangkan Hantu Tangan Merah bergerak
dari sebelah kiri. Sepasang telapak tangan tokoh sesat bertubuh tinggi besar itu
berwarna merah. Rupanya, lelaki itu menggunakan ilmu andalannya untuk menghadapi
Pendekar Naga Putih, yang kehebatannya telah sering ia dengar. Hingga Hantu Tangan Merah tidak
ingin bertindak ceroboh.
Dan, langsung mengerahkan ilmu andalannya.
"Hm...."
Panji bergumam perlahan melihat kehebatan Hantu
Tangan Merah. Kakinya terus bergerak membentuk
langkah-langkah kokoh dan indah. Kemudian sepasang tangannya digerakkan membentuk cakar naga.
Jelas Pendekar Naga Putih tidak memandang enteng
lawan. Terbukti ia langsung menggunakan Ilmu Silat Naga Sakti untuk menghadapi
keroyokan tokoh-tokoh
sesat itu. "Heaaattt..!"
Pisau Kilat berseru keras memulai serangan. Sepasang pisau terbang yang berada di tangannya bergerak cepat, menimbulkan kilatankilatan sinar putih. Kepala perampok itu telah mengerahkan segenap kekuatannya dalam serangan itu.
"Haiiittt..!"
Sesaat setelah tubuh Pisau Kilat bergerak, Hantu
Tangan Merah menyusuli. Asap tipis kemerahan serta bau busuk yang menyengat
menyertai sambaran telapak tangannya. Serangan tokoh tinggi besar itu jauh lebih berbahaya dibanding
sepasang pisau di tangan Pisau Kilat
Cwiiit.. cwiiit..!
Whuuukkk...! Serangan kedua lawannya yang datang susulmenyusul tidak membuat Panji gugup. Dengan tenang
kakinya bergeser menghindari. Bahkan melontarkan
serangan balasan dengan sambaran sepasang tangannya yang disertai hembusan angin dingin. Sebentar sa-ja ketiganya telah terlibat
dalam pertarungan sengit!
Hantu Tangan Merah dan Pisau Kilat kelihatan sangat bernafsu menyarangkan serangannya ke tubuh
Panji Sayang, gerakan Pendekar Naga Putih demikian cepat, hingga sangat sulit
menyentuhnya. Setelah lewat dua puluh jurus, serangan mereka belum satu
pun yang mengenai sasaran. Justru mereka sendiri
yang mulai kepayahan. Sebab hawa dingin yang keluar dari tubuh Pendekar Naga
Putih telah membekukan
urat-urat tubuh. Sehingga, tidak jarang mereka harus berlompatan menjauhi arena
pertarungan untuk
menghindari serbuan hawa dingin itu.
"Haaahhh...!"
Panji memekik mengejutkan. Ketika untuk kesekian
kalinya Pisau Kilat dan Hantu Tangan Merah berlompatan menjauh. Seketika itu juga, tubuhnya melesat ke depan dengan sambaran
sepasang telapak tangan.
Bweeettt.. bweeettt..!
"Aaahhh..."!"
"Heeeiii..."!"
Hantu Tangan Merah dan Pisau Kilat terpekik kaget
Serbuan hawa dingin yang mendahului datangnya serangan Pendekar Naga Putih, membuat keduanya kalap. Mereka tidak sempat lagi melihat tujuan serangan
Panji. Hingga....
Bukkk! Deeesss...! Tubuh Pisau Kilat terjengkang oleh tamparan punggung tangan Pendekar Naga Putih pada bahunya. Sedangkan Hantu Tangan Merah jatuh terguling-guling.
Dada kanannya terkena hantaman telapak tangan pemuda itu. "Uhhh...."
Rupanya, pukulan Pendekar Naga Putih tidak dimaksudkan untuk membunuh. Terbukti Hantu Tangan Merah hanya menggigil sesaat Kemudian bangkit
kendati sambil mendekap dada. Melihat tetesan darah yang mengalir di sudut bibir
tokoh tinggi besar itu, jelas pukulan Panji telah membuat isi dadanya
terguncang. Namun demikian, tidak mengalami luka dalam
yang mengkhawatirkan.
Lain dengan Pisau Kilat yang kekuatannya berada
di bawah Hantu Tangan Merah. Kendati tamparan
punggung tangan Pendekar Naga Putih tidak dilakukan sekuat tenaga, tapi terasa terlalu keras bagi kepala perampok itu. Sehingga
untuk beberapa saat lamanya, tangan kiri Pisau Kilat menjadi lumpuh. Dan untuk
memulihkannya diperlukan waktu beberapa hari. Sebab, bahu yang terkena tamparan itu terlihat membengkak. "Suuuiiittt..!"
Tiba-tiba terdengar siulan panjang yang cukup
nyaring. Pisau Kilat dan Hantu Tangan Merah saling bertukar pandang sesaat
Seperti telah mendapat kata sepakat, keduanya berbalik meninggalkan tempat itu.
Kedua tokoh sesat itu telah mengetahui makna siulan tadi.
Panji yang tidak mengetahui makna siulan itu, memandang kepergian lawan-lawannya dengan kening


Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkerut Menduga bahwa siulan itu hanya merupakan
tanda bagi Hantu Tangan Merah dan Pisau Kilat untuk lari meninggalkan
pertarungan, pemuda itu pun tidak berniat mengejar. Dan membiarkan kedua tokoh
sesat itu melarikan diri.
"Kakang...."
Suara merdu yang memanggilnya dari arah belakang, membalikkan tubuh Panji. Dilihatnya dara jelita berpakaian serba hijau
yang tidak lain Kenanga, tengah duduk di samping beruang putih. Sedangkan
binatang itu menggeletak dengan napas satu-satu. Beruang Gunung Es tengah
merasakan luka akibat pukulan beracun Hantu Tangan Merah. Panji pun bergegas
meng- hampiri. "Luka yang diderita binatang ini sangat parah, Kakang. Kalau tidak segera diobati, kemungkinan besar ia tidak akan sanggup
bertahan...," jelas Kenanga setelah Panji duduk di sampingnya.
Tanpa banyak bicara lagi, Panji langsung memeriksa tubuh beruang berbulu putih itu. Keningnya berkerut ketika mendapat kenyataan
racun akibat pukulan Hantu Tangan Merah ternyata sangat ganas. Untung
beruang es memiliki daya tahan tubuh melebih binatang lain. Kalau tidak, sudah pasti binatang itu telah tewas.
Panji membuka bungkusan pakaian, dan menjejalkan obat luka beracun ke mulut binatang itu. Kemudian mengangkatnya agar dapat duduk tegak. Sepasang telapak tangannya ditempelkan ke punggung beruang Gunung Es. Dan mengerahkan tenaga dalamnya
untuk mendorong keluar racun yang berada di dalam
tubuh binatang itu.
Kenanga yang mengetahui perbuatan kekasihnya
tidak boleh terganggu. Gadis itu pun segera bangkit dan memandang berkeliling.
Ia harus berjaga-jaga jika saja ada musuh datang ke tempat itu.
Apa yang dilakukan Panji tidak terlalu lama. Beberapa saat kemudian, pengobatan itu pun selesai. Meski tidak kelihatan sangat
lelah, namun pada kening pemuda itu ada titik-titik keringat. Menandakan ia
telah banyak mengeluarkan tenaga untuk mengobati beruang Gunung Es.
"Nggguuuhhh...."
Panji dan Kenanga menarik napas lega, saat melihat binatang itu mulai bergerak
bangkit, kendati masih agak lemah. Walaupun begitu mereka tampak waspada. Bukan
tidak mungkin beruang Gunung Es akan
menyerang mereka. Tapi, beruang itu ternyata hanya memandang keduanya dengan
sorot mata agak sayu.
Kemudian melangkah perlahan meninggalkan tempat
itu. Beruang Gunung Es terus bergerak menjauh diiringi pandang mata Panji dan
Kenanga. Sampai sejauh
itu, keduanya belum tahu apa yang akan mereka lakukan. Apakah mengikuti langkah binatang itu, atau membiarkannya, dan pergi
meninggalkan tempat itu"
"Kakang...," tiba-tiba suara Kenanga memecah kebisuan di antara mereka.
"Hm...," Panji bergumam pelan. Tanpa mengalihkan
pandang dari sosok beruang Gunung Es yang semakin
menjauh. "Benarkah binatang itu peliharaan Malaikat Salju
seperti yang tersiar di kalangan rimba persilatan...?"
tanya dara jelita itu seraya berpaling dan menatap wajah kekasihnya dari
samping. "Kemungkinan besar begitu. Sebab, tubuh binatang
itu telah terlatih baik. Bahkan ketika menghadapi Hantu Tangan Merah dan kawannya, binatang itu menunjukkan gerak-gerak dasar ilmu silat tinggi. Tapi anehnya, pertarungan yang cukup
ribut itu tidak membuat Malaikat Salju datang melihat. Hal ini terasa janggal
bagiku," desah Panji menjawab pertanyaan kekasihnya. Sementara bayangan beruang
Gunung Es sudah
semakin kecil. Kemudian lenyap di balik rimbunan pepohonan.
"Mungkin yang dikabarkan orang benar, Kang. Siapa tahu Malaikat Salju memang telah tewas. Dan beruang Gunung Es peliharaannya, ditugaskan untuk
menjaga peninggalan majikannya. Bukankah kabar itu pula yang membuat kita berada
di sini...?" ujar Kenanga lagi.
"Hmmm.... Kau benar, Adikku. Kalau begitu, kita
harus mengikuti binatang itu. Tapi kita harus berhati-hati. Bukan mustahil
binatang itu akan menyerang bi-la melihat kita membuntutinya. Sebab, ia menduga
ki-ta hendak menguasai peninggalan majikannya...," tukas Panji.
Lalu melesat dengan ilmu lari cepatnya. Pemuda itu hendak mengejar beruang
Gunung Es. Tanpa banyak
cakap, Kenanga segera melesat mengejar kekasihnya.
Karena Panji tidak mengerahkan seluruh kekuatan il-mu larinya, maka sebentar
kemudian Kenanga sudah
bisa menjajari langkah pemuda itu.
*** 7 Kendati beruang Gunung Es telah lenyap dari pandangan, namun karena binatang itu bergerak lambat,
akhirnya Panji dan Kenanga dapat menemukannya.
Lari sepasang pendekar muda itu diperlambat saat sosok beruang putih sudah
kelihatan beberapa belas
tombak di depan mereka. Keduanya menjaga jarak,
agar tidak terlalu dekat dengan binatang itu.
"Menurutku, binatang itu hendak menuju tempat
tinggal majikannya, Kang," ujar Kenanga mendugaduga. "Ya...," sahut Panji perlahan sambil tetap mengawa-si sosok beruang Gunung Es,
yang mulai mendaki lereng gunung. Pemuda itu menghentikan larinya. Karena jalan
yang dilalui mulai agak sulit. Dan gerak beruang Gunung Es semakin lambat.
Kenanga maklum akan maksud kekasihnya. Hingga tidak membantah saat lengannya dipegang Panji agar dara jelita itu menghentikan larinya.
"Hm.... Apakah Malaikat Salju mendirikan tempat
tinggalnya di puncak gunung ini...?" gumam Kenanga perlahan. Seperti bertanya
pada diri sendiri. Melihat beruang putih itu terus mendaki lereng gunung.
"Kita lihat saja nanti," tukas Panji menyahuti. Kemudian kembali mengajak dara
jelita itu untuk mengejar. Sebab, beruang Gunung Es sudah menghilang di
sebuah kelokan.
Kali ini jalan yang mereka lalui mulai mendatar dan tidak sesulit tadi. Dan
beberapa tombak kemudian mereka bergerak turun. Sepertinya langkah beruang
Gunung Es menuju lembah. Mereka pun terus mengikuti.
"Sudah kuduga Malaikat Salju tidak tinggal di atas puncak gunung ini. Kalau
benar tokoh sakti itu mendirikan tempat tinggal di atas sana, tidak mungkin
binatang peliharaannya akan berjaga di kaki gunung...,"
gumam Panji. Rupanya pemuda itu sudah sejak semula menduga kalau tempat tinggal tokoh yang berjuluk Malaikat Salju tidak mungkin
berada di atas puncak gunung.
"Mengapa Kakang tidak mengatakannya kepadaku...?" tegur Kenanga ketika mendengar ucapan kekasihnya.
"Aku baru menduganya. Tapi melihat jalan yang ditempuh beruang putih itu semakin menurun, jelas
kemungkinan besar ia menuju lembah," jawab Panji
menjelaskan kepada kekasihnya.
Kenanga diam, saja dan menganggukkan kepala.
Saat itu, mereka sudah tiba di sebuah lapangan berumput segar yang cukup luas. Udara di tempat itu
sangat dingin menusuk tulang. Kalau saja mereka bukan orang-orang yang memiliki
tenaga dalam kuat,
pasti tidak akan mudah tiba di tempat itu.
"Hm.... Rupanya banyak sekali orang yang mengincar peninggalan Malaikat Salju. Sayang mereka tidak mengukur kemampuan
dirinya...," gumam Kenanga
ketika melihat belasan sosok mayat bergeletakan di tempat itu. Melihat
keadaannya, jelas sosok-sosok itu mati karena tak kuat menahan serangan hawa
dingin. Sedangkan Panji hanya menghela napas panjang
melihat manusia-manusia serakah itu, yang mengorbankan nyawa dengan percuma. Pemandangan itu
membuktikan betapa manusia memiliki sifat serakah
dan tak pernah puas terhadap apa yang dimilikinya.
Tujuan kedatangan dirinya dan Kenanga ke tempat ini tidak sama seperti yang
diinginkan orang-orang serakah itu. Gemblengan guru mereka membuat pemuda
itu tidak pernah menginginkan apa yang dipunyai
orang lain. Menurut gurunya, apa yang dimiliki pemu-da itu telah lebih dari
cukup. Hanya tinggal menyem-purnakannya saja. Wejangan itulah yang membuat
Panji tidak merasa kekurangan, dan mensyukuri apa
yang dimiliki. "Kakang, lihat..!" seruan Kenanga membuyarkan
lamunan Panji. Pemuda itu mengalihkan pandang matanya ke arah
yang ditunjuk kekasihnya. Dilihatnya sosok beruang putih memasuki sebuah mulut
goa yang semula tertutup semak-semak. Lalu beruang itu lenyap di dalamnya. Semula Panji berniat mengajak kekasihnya masuk
ke dalam goa. Namun pemuda itu segera membatalkan
niatnya. Saat itu beruang putih tampak melesat keluar seraya menggeram marah.
Cepat Panji menarik lengan Kenanga untuk bersembunyi di semak-semak.
"Apa yang menyebabkan beruang itu marah,
Kang...?" tanya Kenanga mengintip dari semak-semak.
"Entahlah," sahut Panji. Seperti halnya Kenanga,
Panji pun memperhatikan gerak-gerik binatang murka itu dari celah-celah
dedaunan. Dan tetap berada di tempat persembunyiannya ketika beruang Gunung Es
berlari meninggalkan lembah.
Setelah sosok beruang berbulu putih itu lenyap dari pandangan, bergegas keduanya
melihat keluar. Untuk beberapa saat mereka masih memperhatikan ke arah
beruang itu lenyap. Kemudian berbalik memperhatikan goa yang tadi dimasuki
beruang Gunung Es. Pada wajah keduanya tergambar rasa penasaran yang sangat
"Mari kita lihat. Apa yang telah membuat binatang
itu demikian murka...?" ajak Kenanga. Lalu melesat ke arah mulut goa yang cukup
besar itu. Kenanga yang agaknya juga berpikiran sama segera
menjajari langkah kekasihnya. Meskipun menduga
tempat itu tidak ada penghuninya, namun sepasang
pendekar muda itu tetap waspada dan tidak bertindak
ceroboh. Mereka memasuki mulut goa dengan hatihati. Ruangan di dalam goa ternyata cukup luas. Tak
ubahnya sebuah tempat tinggal. Sayang, goa yang tidak seberapa dalam itu
terlihat kosong. Hanya ada beberapa peti berukuran sedang yang juga kosong!
"Celaka! Rupanya ada orang yang berhasil menemukan tempat penyimpanan peninggalan Malaikat Salju! Inilah yang menyebabkan binatang itu murka...,"
ujar Panji segera dapat menduga penyebab kemarahan beruang Gunung Es.
"Tapi..., siapa kira-kira yang telah mencurinya,
Kang...?" tanya Kenanga gusar.
"Mengingat berita ini sudah tersebar luas di kalangan persilatan, sulit rasanya
untuk menerka siapa
pencuri laknat itu. Yang jelas bila peninggalan Malaikat Salju tidak segera kita
ketemukan, rimba persilatan akan dilanda bahaya besar! Pencuri itu pasti kaum
golongan sesat," jawab Panji yang juga kelihatan cemas dengan lenyapnya
peninggalan Malaikat Salju.
Peninggalan tokoh sakti yang telah lama lenyap dari kalangan persilatan itu,
sudah pasti berupa kitab ilmu silat dan benda-benda pusaka lainnya. Kalau
pencuri itu sempat mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Malaikat Salju, jelas akan
membahayakan banyak orang.
Dan kemungkinan besar akan sulit sekali menundukkannya. Mengingat Malaikat Salju merupakan salah
seorang tokoh puncak yang banyak memiliki ilmu-ilmu tinggi dan langka.
"Kalau begitu, orang pertama yang harus kita cari
adalah Hantu Tangan Merah. Sebab, bukan tak mungkin tokoh itu tahu orang yang telah melakukan perbuatan keji ini...," ujar
Kenanga. Mengingatkan kekasihnya akan tokoh tinggi besar itu.
"Ya. Tapi, sayangnya Hantu Tangan Merah tidak
memiliki tempat tinggal tetap. Ia seorang pengembara seperti kita...," tukas
Panji tampak berpikir keras. Pemuda itu merasa ikut bertanggung jawab atas
lenyapnya peninggalan Malaikat Salju.
"Meskipun demikian kita harus segera mencarinya,
Kang...," lanjut Kenanga. Gadis jelita itu merasa tokoh sesat itulah satusatunya yang dapat dijadikan petun-juk saat itu.
"Tentu saja. Ayolah...," ajak Panji yang segera meninggalkan lembah Gunung Es.
Sebentar kemudian,
bayangan keduanya sudah terlihat samar. Kemudian
lenyap sama sekali.
*** "Tolooong... tolooong...!"
Penduduk Desa Warangan berlarian kian kemari
sambil berteriak-teriak ketakutan. Wajah mereka
menggambarkan rasa takut dan ngeri yang hebat! Masing-masing mencari keselamatan
diri sendiri. "Groaaahhh...!"
Rupanya, makhluk besar berbulu putih itu yang
membuat penduduk desa kalang kabut. Binatang yang
seperti telah menjadi gila itu mengamuk, membunuh
siapa saja yang ditemuinya. Tidak peduli korbannya wanita tua atau anak-anak.
Siapa saja yang mendekat, pasti akan menjadi sasaran kuku-kuku dan taringnya
yang tajam seperti mata pedang.
"Keparat! Dari mana datangnya binatang gila itu...!"
desis seorang lelaki bertubuh sedang yang mengenakan pakaian serba hitam. Ia memimpin belasan orang kawannya untuk menghadang
binatang itu agar tidak
menambah jumlah korban lagi.
Sedangkan binatang raksasa berbulu putih yang tidak lain beruang Gunung Es, semakin bertambah marah melihat orang-orang mengepungnya. Geramannya
terdengar semakin keras. Binatang itu menubruk
orang yang berada di depannya.
"Aaahhh...!"
Lelaki bertubuh gemuk yang merupakan salah seorang keamanan Desa Warangan, kaget bukan main.
Cepat ia melompat ke belakang menyelamatkan diri.
Tapi.... Breeettt..! "Aaakhhh..."!"
Lelaki malang itu menjerit ngeri. Cakar beruang
Gunung Es telah merobek perutnya. Bahkan tidak
sampai di situ saja. Tubuh lelaki gemuk itu diangkat dan dilemparkan dengan
sekuat tenaga. Sehingga tanpa ampun lagi terbanting ke tanah. Sudah pasti lelaki
itu tidak mungkin selamat Apalagi pada bagian perutnya terdapat luka yang dalam.
"Binatang Gila!" maki lelaki bertubuh sedang itu.
Merasa dirinya paling bertanggung jawab atas keselamatan warga desanya, ia
segera bertindak maju dengan pedang di tangan. Kemudian membabatkan senjatanya ke tubuh beruang Gunung Es.
Whuuuttt..!

Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Secercah sinar putih berkilau saat pedang di tangan lelaki itu bergerak
menyilang mengarah tubuh bagian depan binatang itu. Dari suara sambaran
anginnya, tenaga yang dipergunakan lelaki bertubuh sedang itu jelas cukup kuat Tapi....
"Heiii..."!"
Lelaki bertubuh sedang menahan seruan kaget
Sambaran pedangnya dapat dielakkan binatang itu
dengan gerakan yang menunjukkan jurus silat Kenyataan itu hampir-hampir tidak dapat dipercayainya. Sehingga lelaki itu tertegun,
dan lupa akan bahaya yang siap merenggut nyawanya!
"Ki Bayak, awaaas...!" melihat lelaki bertubuh sedang itu belum juga sadar kendati beruang Gunung Es sudah mengulurkan lengannya,
salah seorang kawan
lelaki bernama Ki Bayak itu berseru memperingatkan.
Teriakan itu membuat Ki Bayak tersentak dari keterkejutannya. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang dengan lompatan panjang.
Tapi, gerakan beruang Gunung Es itu masih lebih cepat Sehingga....
Tappp! Kuku-kuku tajam dan kuat itu tahu-tahu telah
mencekik batang leher Ki Bayak.
"Groooaaarrr...!"
Diiringi geraman keras beruang Gunung Es mengangkat tubuh lelaki itu hingga mempererat cekikannya. Ki Bayak tidak sempat
berteriak lagi. Lelaki bertubuh sedang itu tewas seketika itu juga dengan tulang
leher remuk! Kematian Ki Bayak yang merupakan pimpinan
keamanan desa, membuat yang lainnya menjadi pucat!
Kendati demikian, beberapa di antaranya berlaku nekat. Mereka berlompatan maju
seraya membabatkan
pedangnya ke tubuh binatang itu. Tapi....
Trakkk! Trakkk!
"Aaahhh..."!"
Mereka berteriak kaget hampir bersamaan! Sebab
bukan tubuh binatang itu yang terluka, tapi senjata mereka malah patah! Tubuh
beruang Gunung Es tidak
dapat dilukai senjata tajam. Tentu kenyataan itu sukar mereka percayai.
"Beruang Setan..."!"
"Binatang Iblis..."!"
Terdengar seruan-seruan bernada gentar dari para
keamanan desa. Semakin sadarlah mereka kalau beruang besar berbulu putih itu tidak mungkin dapat di-kalahkan. Kenyataan itu
langsung menerbangkan keberanian yang memang hanya sedikit di hati mereka.
Para keamanan desa pun mengambil keputusan untuk
lari! Sementara beruang Gunung Es terus melangkah,
sambil memperdengarkan geramannya yang sanggup
membuat lutut orang gemetar dan sukar dilangkahkan. Tentu saja penduduk desa semakin ketakutan.
Dan buru-buru mengunci pintu rumahnya.
Seperti tidak puas dengan korban-korbannya, beruang Gunung Es tiba-tiba membelokkan langkahnya
ke sebuah kedai makan. Sepasang mata binatang itu
menangkap beberapa kepala mengintai dari jendela
kedai. Kedatangan binatang yang tengah murka itu
membuat seisi kedai kalang kabut. Mereka segera berlarian keluar melalui pintu
belakang. Sehingga tidak ada korban jiwa. Hanya bangunan kedai itu saja yang
roboh diamuk beruang Gunung Es.
Karena tidak menemukan sesosok tubuh pun di dalam kedai itu, beruang Gunung Es bergerak meninggalkan tempat itu. Dan melanjutkan langkahnya menyusuri jalan utama desa yang menjadi lengang dan
sunyi. Geraman-geramannya terdengar terus sepanjang jalan, mengiringi langkah kakinya. Tak seorang pun berani menampakkan diri.
Meski binatang itu telah merobohkan rumah-rumah penduduk di sepanjang
jalan yang dilalui. Ketika tiba di pertigaan jalan, beruang Gunung Es tampak
menghentikan langkahnya.
Kepalanya menggeleng ke kiri-kanan. Seolah hendak
menentukan arah mana yang harus dituju.
Belum lagi binatang itu mengambil keputusan, tibatiba terdengar suara derap kaki kuda dari sebelah kirinya. Binatang itu langsung
menoleh sambil memperdengarkan geramannya yang menggetarkan dada. Seorang lelaki berperawakan gagah berusia sekitar lima puluh lima tahun, terlihat
mengerutkan kening. Lelaki gagah itu melompat turun dari atas punggung kuda
dalam jarak empat tombak lebih. Kemudian menoleh
ke kanan. "Binatang itukah yang kau katakan sangat kebal
dan pandai bersilat..."!" tanya lelaki gagah itu kembali mengalihkan
perhatiannya ke arah beruang Gunung
Es. "Benar, Ki. Binatang laknat itu telah membunuh Ki Bayak serta beberapa
penduduk dan keamanan de-sa...," sahut lelaki berperawakan tinggi kurus. Rupanya
lelaki itu telah melaporkan beruang yang dianggapnya gila kepada kepala desanya.
"Hm...," lelaki berperawakan gagah bergumam sambil tetap mengawasi binatang berbulu putih itu. Ia segera teringat akan kabar
yang tersebar di kalangan persilatan. Hingga menduga binatang itulah yang tengah
dibicarakan orang banyak.
"Kalian berdua ikut aku...!" perintah lelaki gagah seraya menghunus senjata.
Kendati ia merasa ragu dapat menundukkan beruang besar itu. Namun tanggung
jawab yang ada di bahunya, membuatnya melangkah
maju dengan senjata di tangan.
Dua orang pembantu utama Kepala Desa Warangan, bergegas mengiringi langkah lelaki gagah itu. Di tangan mereka tergenggam
sebatang pedang. Ketegangan tergambar jelas pada wajah keduanya. Beruang
Gunung Es tampak bergerak menyongsong ketiga
orang itu. Sesekali terdengar geramannya. Membuat
dada ketiga lelaki itu berdebar keras.
"Hati-hati. Binatang ini kelihatannya sangat berbahaya, " lelaki berperawakan
gagah mengingatkan kedua pembantunya. Dan memberi isyarat untuk menyebar agar perhatian beruang itu terpecah.
Whuuuttt.. whuuuttt..!
Terdengar suara sambaran angin berkesiutan saat
pedang di tangan lelaki gagah itu bergerak menyilang.
Kelihatan sekali ia telah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menggempur
binatang itu. Kepala Desa
Warangan tidak ingin bertindak gegabah dengan memandang rendah beruang putih itu. Apalagi mengingat kepala keamanan desa telah
tewas di tangan binatang itu. "Tunggu...!"
Saat Kepala Desa Warangan dan kedua pembantunya sudah siap menerjang maju, tiba-tiba terdengar teriakan keras. Bersamaan
dengan itu, sesosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang putih telah berdiri di
dekat ketiga lelaki itu, langsung menghadapi beruang Gunung Es.
Ki Drupada, Kepala Desa Warangan dan kedua
pembantunya terkejut bukan main! Sosok berjubah
putih Itu muncul begitu saja tanpa mereka ketahui kedatangannya. Seolah muncul
dari dalam bumi bagai
hantu. Sehingga, Ki Drupada dan kedua pembantunya
bergerak mundur dengan wajah agak pucat!
"Maaf, kalau kedatanganku telah mengejutkan kalian...," ujar sosok berjubah putih yang ternyata seorang pemuda tampan. Seraya
berkata demikian, langkahnya digeser ke samping dengan tetap mengawasi
beruang Gunung Es.
Belum lagi Ki Drupada sempat membuka suara,
kembali ia dikejutkan dengan kelebatan sesosok
bayangan hijau. Sepasang mata lelaki tua itu terbelalak melihat seorang dara
jelita telah berdiri di sebelah pemuda tampan berjubah putih itu. Seolah belum
mempercayai penglihatannya, Ki Drupada menggeleng
perlahan sambil mengerjapkan sepasang matanya. Hatinya baru yakin akan keberadaan sepasang orang
muda itu, setelah mengerjap beberapa kali. Sosok pemuda tampan dan dara jelita
itu tetap berada di tempat semula.
"Siapa kalian" Apakah binatang itu peliharaan kalian yang terlepas...?" setelah beberapa saat lamanya, akhirnya keluar juga
pertanyaan itu dari mulut Ki
Drupada. "Namaku Panji. Sedangkan kawanku ini Kenanga.
Binatang itu bukan peliharaan kami. Tapi kami tahu dari mana beruang putih itu
berasal. Kami berdua
mengikutinya sejak dari Gunung Es. Sayang kami
sempat kehilangan jejak, hingga terlambat mencegah kejadian yang menimpa
penduduk desa ini..," jawab
pemuda tampan berjubah putih yang memang Panji.
Suara dan sikapnya yang sopan serta menunjukkan
persahabatan, membuat Ki Drupada langsung merasa
suka dengan pemuda itu. Lelaki tua itu langsung mengangguk dan membalas senyum
Panji. "Lalu, apa yang hendak kalian perbuat pada binatang berbahaya itu?" tanya Ki Drupada lagi. Sepertinya merasa khawatir akan
keselamatan pasangan muda
yang menarik hatinya itu. Perasaan yang tergambar jelas pada wajahnya, membuat
Panji dan Kenanga maklum. Hingga keduanya tidak berkata apa-apa.
"Maaf, Ki. Pada dasarnya binatang ini tidak jahat
Tapi karena suatu hal, maka ia berubah ganas dan
mencelakai siapa saja yang ditemuinya. Kami akan
mencoba menjinakkannya kembali. Mudah-mudahan
berhasil...," jawab Panji tanpa menyombongkan diri.
Bahkan pemuda itu terkesan memiliki kerendahan hati. "Tapi..., beruang itu sangat berbahaya. Aku khawatir nanti kalian akan
celaka...," bantah Ki Drupada.
Jawaban orang tua itu membuat Panji dan Kenanga
tersenyum. Dari ucapan itu dapat diduga kemuliaan
hati Kepala Desa Warangan. Lelaki itu tidak ingin melihat orang lain celaka
hanya karena hendak membelanya. Kenyataan itu menimbulkan rasa kagum mereka pada Ki Drupada.
"Tidak perlu khawatir, Ki. Kami tahu cara untuk
menjinakkannya," tukas Panji.
Lalu melangkah mendekati beruang Gunung "Es,
yang sepertinya telah mengenali pemuda tampan berjubah putih itu: Buktinya, semenjak tadi binatang itu hanya menggeram saja tanpa
menyerang. Beruang
Gunung Es kelihatan menjadi ragu ketika melihat pemuda yang pernah menyelamatkan
nyawanya dari kematian. "Aku tahu kau marah dengan lenyapnya peninggalan majikanmu," ujar Panji yang menduga beruang itu mengerti akan kata-katanya,
meski hanya dengan naluri. "Tapi kau tidak perlu khawatir. Aku dan kawanku akan
membantu menemukan kembali benda-benda
milik majikanmu itu. Ikutlah bersama kami untuk
mencari pencuri keparat itu...," Panji melanjutkannya ucapannya ketika melihat
beruang Gunung Es terdiam seraya memperdengarkan lenguhannya. Sehingga, pemuda
itu bertambah yakin kalau binatang itu dapat
menangkap arti kata-katanya.
Ki Drupada serta para pembantunya terbengongbengong melihat pemuda itu berbicara seperti tengah berhadapan dengan manusia.
Keheranan mereka semakin bertambah ketika melihat sepasang mata kecil binatang ganas itu tampak
meredup. Tak ubahnya
seekor binatang manja yang tengah berhadapan dengan majikannya. Panji tersenyum melihat gerak-gerik beruang Gunung Es. Pemuda
itu merasa yakin kalau
binatang itu ingin menunjukkan bahwa kata-katanya
barusan hendak dipatuhi. Maka, ia segera berpamitan kepada Ki Drupada.
"Beruang itu adalah piaraan seorang tokoh sakti
yang menyepi di lembah Gunung Es. Itulah sebabnya, ia mengerti kata-kata yang
kuucapkan. Biarlah aku
memintakan maaf atas segala yang telah dilakukannya. Aku akan membawa binatang ini mencari pencuri harta pusaka majikannya...,"
jelas Panji. Ki Drupada serta orang-orangnya hanya bisa menganggukkan kepala
dengan wajah bodoh.
"Anak Muda, siapa kau sebenarnya...?" seru Ki
Drupada. Yang baru tersadar dari keheranannya saat Panji,
Kenanga, dan beruang Gunung Es telah berjalan jauh.
Lelaki tua itu merasa penasaran melihat pemuda itu dapat dengan mudah
menundukkan beruang besar
dan ganas itu. Sehingga, ia mulai menduga pemuda
tampan berjubah putih pasti bukan orang sembarangan. Sayang, ia terlambat menyadarinya.
Panji tidak menjawab pertanyaan Ki Drupada. Pemuda itu membalikkan tubuh dan tersenyum sambil
melambaikan tangan. Hingga Ki Drupada tak bisa berkata apa-apa, kecuali
mengiringi kepergian mereka
dengan pandangan mata.
"Pemuda tampan itu pasti seorang tokoh muda yang
digdaya. Sayang, aku tidak sempat mengenalnya lebih jauh...," desah Ki Drupada
setelah sosok Panji lenyap dari pandangan mata. Tidak satu pun dari pembantupembantunya yang menimpalinya. Mereka memang tidak mengerti dan tidak merasa perlu mengenal pemuda tampan berjubah putih itu.
Ki Drupada lalu memerintahkan orang-orangnya
untuk menguburkan mayat-mayat korban beruang
Gunung Es, serta merapikan rumah-rumah yang dirobohkan binatang itu. Sedangkan ia sendiri melompat ke atas punggung kuda. Dan
menggebah binatang
tunggangan itu menuju tempat kediamannya.
*** 8 Lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu
melangkah terseok-seok. Tubuhnya dibanjiri oleh peluh yang tak henti-henti
mengalir dari wajah dan tubuhnya. Nafasnya terdengar berat Menandakan bahwa
ia sangat lelah. Kendati demikian, lelaki gagah itu terus melangkah. Sesekali ia
berhenti untuk mengatur nafasnya yang hampir putus dengan bersandar pada
batang pohon. Kemudian kembali berjalan setelah se-belumnya menoleh ke belakang.
Seperti merasa khawatir ada orang yang mengikutinya.
Ketika baru saja lelaki gagah itu menyeberangi sebuah sungai kecil, tubuhnya terlonjak mundur hampir jatuh. Dari arah sampingnya,
muncul tiga sosok tubuh yang membuat jantungnya hampir putus. Untung salah satu
dari ketiga sosok tubuh itu, yang mengenakan jubah putih, bertindak cepat dengan
mengulurkan tangannya. Sehingga, lelaki gagah itu tidak terjatuh ke sungai.
"Sssiapa... kau, Anak Muda...?" tanya lelaki gagah
itu dengan gugup. Sinar kecurigaan terpancar jelas pada sepasang matanya.
Pemuda yang tidak lain Panji itu hanya tersenyum.
Tapi menduga kalau orang itu tengah melarikan diri dari sesuatu yang ditakuti,
Panji pun tidak ingin membuat lelaki tua itu semakin gelisah. Maka, ia segera


Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjawabnya dengan ramah dan penuh persahabatan.
"Itu... itu...," desis lelaki gagah seraya menudingkan jari telunjuknya ke arah
beruang Gunung Es, setelah Panji dan Kenanga memperkenalkan diri. Tampaknya
lelaki gagah itu sangat takut melihat beruang Gunung Es yang datang bersama
Panji dan Kenanga. Apalagi, ketika beruang itu memperdengarkan geramannya saat
melihat lelaki gagah itu.
"Tenanglah, Putih. Jangan membuat orang ini bertambah takut," ujar Panji kepada binatang itu. Meski kelihatan patuh, namun
beruang itu masih menggeram lemah dan menunjukkan taringnya.
"Kelihatannya Paman seorang pemburu. Mengapa
Paman ketakutan" Adakah sesuatu yang menyusahkan, Paman?" tanya Panji hati-hati dan berusaha agar lelaki tua itu
mempercayainya.
Lelaki gagah yang tidak lain Ki Lodana memandang
Panji dan Kenanga sesaat. Kemudian menceritakan
semua peristiwa yang menimpa dirinya. Meski ceritanya terpatah-patah karena nafasnya masih membu-ru, namun semuanya dapat
ditangkap jelas oleh Panji dan Kenanga. Sepasang pendekar muda itu tampak
terkejut mendengar cerita Ki Lodana.
"Mereka membunuh ketiga kawanku setelah menemukan goa tempat penyimpanan peninggalan Malaikat
Salju. Untung aku tergelincir cukup jauh ketika ditendang salah seorang pengikut
Pisau Kilat Mereka men-gira aku telah tewas. Begitu mereka pergi, aku bergegas meninggalkan Gunung Es untuk pulang ke desaku..." Ki Lodana mengakhiri ceritanya dengan helaan napas panjang. Setelah menjelaskan semua itu kepada
Panji dan Kenanga, hati Ki Lodana terasa agak lega.
Baginya, cerita itu merupakan tumpahan kesedihan
dan kedukaan hati karena kematian kawan-kawannya.
"Hm.... Jadi, yang mencuri peninggalan Malaikat
Salju orang-orang Pisau Kilat Kalau tidak salah, bukankah tokoh berjuluk Pisau
Kilat berperawakan gemuk dan berkumis lebat yang bersama-sama Hantu
Tangan Merah?" ujar Panji. Segera dapat menebak
bahwa Pisau Kilat lelaki gemuk berkumis lebat yang mengeroyoknya bersama Hantu
Tangan Merah. "Benar. Dialah yang berjuluk Pisau Kilat. Seorang
kepala perampok yang berhati kejam...," sahut Ki Lodana membenarkan dugaan
Panji. "Tahukah Paman, di mana markas para perampok
itu?" tanya Panji membuat Ki Lodana gelisah. Lelaki tua itu agaknya merasa takut
dengan tokoh yang berjuluk Pisau Kilat
"Bantulah kami, Paman. Kami berdua hendak mengembalikan barang-barang Malaikat Salju ke tempatnya semula. Binatang peliharaan tokoh sakti itu akan terus berkeliaran mencari
pencuri peninggalan majikannya, selama benda-benda itu belum diketemukan,"
bujuk Panji. Pemuda itu dapat membaca rasa cemas di hati Ki Lodana.
"Kami menjamin keselamatan Paman. Percayalah,
kami akan memberi hukuman yang setimpal kepada
orang-orang jahat itu. Mereka tidak akan lagi menimbulkan keresahan bagi orang
banyak," Kenanga ikut
menimpali, agar Ki Lodana merasa terlindung dan mau menunjukkan markas Pisau
Kilat. "Baiklah. Aku akan membantu kalian...," akhirnya
Ki Lodana bersedia menunjukkan markas gerombolan
Pisau Kilat, setelah berpikir cukup lama.
"Terima kasih, Paman. Keselamatan Paman akan
kami jamin. Beruang Gunung Es pun akan ikut menjaga keselamatan Paman. Bukanlah begitu, Putih...?"
ujar Panji menoleh ke arah beruang Gunung Es. Lalu dibelainya tubuh binatang
itu, yang menggeram lirih.
Ki Lodana menyimpan keheranan hatinya melihat
beruang besar itu sangat patuh kepada Panji dan Kenanga. Lelaki gemuk itu
menduga kalau sepasang
orang muda itu pasti bukan orang sembarangan. Sebab, ia sendiri tahu akan kehebatan dan kelebihan binatang raksasa itu. Setelah
Ki Lodana menyetujui
permintaan Panji, pemuda itu memberi sebutir pil berwarna putih untuk memulihkan
kekuatan lelaki gagah itu. Dan Ki Lodana tidak merasa ragu. Obat itu langsung
dimasukkan ke dalam mulutnya.
"Wah. Ternyata kau seorang tabib yang sangat pandai, Panji. Obatmu benar-benar manjur...," puji Ki Lodana. Lelaki itu merasa ada
aliran hawa hangat setelah menelan pil putih seperti salju itu.
"Terima kasih atas pujian Paman...," ujar Panji tan-pa terkesan sombong
Kemudian bergegas mengikuti langkah orang tua
itu, yang kelihatan sangat bersemangat menunjukkan markas gerombolan Pisau Kilat
Setelah merasakan
kemujaraban obat pemberian Panji, Ki Lodana semakin bertambah yakin kedua orang
muda itu bukan orang
sembarangan. Menurutnya, hanya orang-orang pandai
saja memiliki obat demikian luar biasa. Ia menduga sepasang orang muda itu murid
tokoh silat tingkat
tinggi. *** "Tunggu...!"
Ketika mereka telah melewati hutan karet, tiba-tiba Panji berseru perlahan
Hingga langkah Ki Lodana yang berada di depan terhenti, dan menoleh ke arah
pemuda itu. "Ada apa, Kang?" tanya Kenanga. Meskipun telah
menduga apa yang membuat kekasihnya berhenti,
namun pertanyaan itu terlontar juga dari bibirnya.
"Paman, di sebelah manakah arah markas Gerombolan Pisau Kilat?" tanya Panji. Tanpa menjawab pertanyaan kekasihnya.
"Di sebelah utara," sahut Ki Lodana dengan wajah
heran. Ia belum mengerti, mengapa Panji tiba-tiba bertanya demikian kepadanya.
"Hm.... Kalau begitu kita harus bergegas. Aku mendengar suara pertempuran dari sebelah utara...," tukas Panji. Hingga Ki Lodana
terkejut bukan main. Sebab, ia tidak mendengar suara pertempuran sedikit pun.
"Tapi...," Ki Lodana mencoba membantah.
"Paman, naiklah ke punggung si putih...," potong
Panji cepat Kemudian memberi isyarat kepada beruang besar itu. Dan, beruang
Gunung Es tidak memberon-tak ketika Ki Lodana naik ke punggungnya Binatang
itu segera melesat mengikuti Panji dan Kenanga yang sudah berlari lebih dulu.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di dekat sebuah bukit yang subur. Apa yang didengar Panji memang tidak keliru. Di
tempat itu tengah berlangsung sebuah pertempuran yang cukup seru. Yang
membuat Panji heran adalah orang-orang yang tengah melakukan pertempuran itu.
Pemuda itu melihat Hantu Tangan Merah tengah dikeroyok Pisau Kilat dan para pengikutnya. Namun, keheranan itu tidak berlangsung lama. Panji segera
teringat akan sifat tokoh-tokoh golongan sesat yang berwatak licik dan serakah.
Hingga, langsung dapat menduga kalau Pisau Kilat ingin menguasai barang curian
itu seluruhnya. Sehingga
Hantu Tangan Merah marah dan menggempurnya.
Pertempuran yang kelihatan tidak seimbang itu
langsung berhenti ketika Hantu Tangan Merah melihat kemunculan Panji. Dan tokoh
tinggi besar itu bertambah kaget melihat beruang Gunung Es datang bersama
Pendekar Naga Putih. Sekali pandang saja, tahulah
Hantu Tangan Merah kalau beruang itu telah diselamatkan Panji. Buktinya binatang itu terlihat patuh kepada pemuda itu.
Pisau Kilat pun tidak kalah kagetnya melihat kemunculan Pendekar Naga Putih, bersama beruang Gunung Es serta Ki Lodana. Tahulah kepala perampok itu bahwa yang memberitahukan
tempat tinggalnya pemburu kawakan itu. Diam-diam ia merasa geram dan
berjanji akan mencincang tubuh Ki Lodana.
"Kepung mereka...!" perintah Pisau Kilat yang maklum akan maksud kedatangan Pendekar Naga Putih.
Lelaki itu melompat menyongsong kedatangan pemuda
tampan itu. Sifat kaum golongan sesat memang terkadang tidak
lumrah. Padahal Hantu Tangan Merah dan Pisau Kilat baru saja bertarung matimatian tadi. Tapi setelah melihat kehadiran pemuda itu, keduanya langsung bergabung meski tanpa kata sepakat.
Melihat orang-orang itu bergerak menyongsong kedatangannya, Panji memberi isyarat kepada Kenanga
dan Ki Lodana untuk tetap di tempatnya. Demikian ju-ga beruang Gunung Es.
Sedangkan pemuda itu sendiri sudah bergerak maju menghadapi para pengeroyoknya. Sikapnya tetap tenang. Tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Rupanya, kau
pun menghendaki peninggalan Malaikat Salju! Tidak
kusangka pendekar sehebat dirimu masih merasa kurang dengan apa yang kau miliki," geram Pisau Kilat marah bukan main karena
campur tangan pendekar
muda itu. Hingga dengan liciknya, menuduh Pendekar Naga Putih salah seorang
pemburu peninggalan Malaikat Salju.
Panji kelihatan tidak terpancing meski dituduh demikian. Pemuda itu malah menyunggingkan senyumnya. Dan menatap wajah Pisau Kilat dengan sorot ma-ta tajam menusuk jantung.
"Pisau Kilat Kau boleh menuduhku apa saja. Aku
tidak peduli. Yang jelas, aku memang hendak mengambil barang-barang curian itu darimu. Dan akan
mengembalikannya ke tempat semula," sahut Panji tenang. Namun mengandung perbawa
yang amat kuat Hingga dada Pisau Kilat berdebar.
"Huh! Tidak kusangka pendekar muda yang namanya tersohor di kolong langit ternyata seorang munafik! Meskipun aku dikenal
sebagai orang jahat, tapi aku tidak serendah dirimu, Pendekar Naga Putih! Dan
aku tidak perlu menggunakan segala macam dalih. Sebab, aku memang menginginkan
benda peninggalan
Malaikat Salju yang berupa kitab ilmu silat serta pedang pusaka langka. Nah,
bukankah aku lebih jujur
darimu"!"
Hantu Tangan Merah yang juga merasa marah kepada Pendekar Naga Patih, dan ikut menyudutkan pe-muda tampan itu. Bahkan, kata-kata yang dilontarkannya jauh lebih tajam dari ucapan Pisau Kilat.
Meskipun begitu, Panji tetap tenang. Dan tidak menunjukkan tanda-tanda amarahnya terpancing. Bahkan, senyumnya semakin bertambah lebar. Membuat
lawan-lawannya jengkel melihatnya.
"Bunuh pemuda munafik itu...!"
Karena tidak bisa menahan kesabarannya lagi, Pisau Kilat langsung memerintahkan anak buahnya
menggempur Pendekar Naga Putih. Ia sendiri tidak
bergerak maju. Hanya berdiri menunggu kesempatan
baik untuk melakukan serangan.
Namun belum Panji bergerak melakukan perlawanan, tiba-tiba terdengar geraman keras. Disusul dengan melesatnya beruang Gunung
Es menyambut kedatangan para pengikut Pisau Kilat!
"Putih, jangan...!"
Panji mencoba mencegah beruang itu. Namun, beruang Gunung Es tidak mematuhi teriakan pemuda
itu. Binatang itu terus menerjang para pengikut Pisau Kilat yang tentu saja
sangat terkejut!
"Yeaaahhh...!"
Merasa marah dengan majunya binatang itu, Pisau
Kilat langsung mengibaskan kedua lengannya bergantian. Sinar-sinar putih berkilauan disertai suara berdesing tajam. Empat batang
pisau terbang bergerak
mengancam keselamatan Ki Lodana yang saat itu berdiri di dekat Kenanga. Sungguh licik sekali perbuatan kepala perampok itu!
"Bangsat Curang!" seru Kenanga geram. Melihat kelicikan lelaki gemuk berkumis lebat itu. Tangannya cepat bergerak mencabut
Pedang Sinar Bulan yang melibat pinggangnya. Kemudian, dikibaskan menyilang
meruntuhkan senjata gelap itu. Sehingga, Ki Lodana menarik napas lega.
"Haaattt...!"
Hantu Tangan Merah pun mempergunakan kesempatan selagi perhatian Pendekar Naga Putih terpecah.
Tokoh tinggi besar itu melesat dengan seranganserangan mautnya yang mengandung racun ganas!
Bwettt.. bweeettt..!
Sepasang telapak tangan yang mengeluarkan pukulan beracun berhawa panas itu, datang berganti-ganti mengancam tubuh Pendekar
Naga Putih. Pada saat
yang hampir bersamaan, Pisau Kilat melayang ke uda-ra dan berjumpalitan beberapa
kali. Dari sebelah atas, tokoh itu melepaskan sebuah serangan gelap secara tiba-tiba! Syuttt.. syuttt...!
Enam batang pisau terbang langsung melesat mengancam enam jalan darah kematian di tubuh Panji.
Benar-benar sebuah serangan keji!
"Hm...."
Panji bergumam datar melihat serangan-serangan
maut kedua lawannya. Untuk menghadapi serbuan
Hantu Tangan Merah, pemuda itu menggunakan sepasang tangannya yang membentuk cakar naga. Tubuhnya meliuk-liuk dengan indah. Dan sambil menyambut terjangan Hantu Tangan Merah,
Pendekar Naga Putih
menghindari senjata Pisau Kilat.
Plakkk! Plakkk!
"Aaaihhh..."!"
Meski telah tahu akan kepandaian pemuda tampan
itu, Hantu Tangan Merah tidak urung terkejut juga ketika serangannya disambut
baik oleh lawan. Akibatnya, tubuh tinggi besar itu terhuyung mundur. Kekuatan tenaga dalamnya ternyata
masih kalah dengan
pemuda tampan berjubah putih. Sadar akan kekurangannya, Hantu Tangan Merah mulai mengatur serangan baru. Kali ini ia berusaha menghindari benturan dengan pemuda itu. Sebab,
hal itu hanya akan merugikan dirinya. "Haaattt..!"
Pisau Kilat yang kali ini menggunakan sebatang pedang, langsung menyabetkan senjatanya ke tubuh lawan. Terdengar desingan menderu ketika mata pedang Pisau Kilat mengarah leher
belakang Pendekar Naga
Putih. Kepala perampok itu hendak memenggal kepala lawan yang sangat dibencinya
itu. Whuttt..! Panji menggeser kaki kanannya ke samping sambil
memutar kepala untuk menghindari sabetan pedang
lawan. Belum lagi ia sempat mengirimkan serangan
balasan, gempuran Hantu Tangan Merah telah datang
menyusul. Pertempuran pun semakin bertambah seru.
Sebab selain harus menghindari sabetan pedang Pisau Kilat, Panji pun harus
berhati-hati dengan pukulan beracun Hantu Tangan Merah.
Jurus demi jurus berlalu tanpa terasa. Lima puluh
jurus telah lewat, tanpa ada tanda-tanda pihak mana yang akan kalah. Itu bukan
berarti kepandaian Pisau Kilat telah maju. Kalau saja kepala perampok itu tidak
dibantu Hantu Tangan Merah, rasanya dalam tiga puluh jurus Panji dapat


Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merobohkan lelaki gemuk itu.
Tapi karena Hantu Tangan Merah membantunya, maka Pisau Kilat dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Dan ia boleh bangga akan
hal itu. "Haiiittt...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus keenam puluh, tiba-tiba Pendekar Naga Putih mengeluarkan pekikan nyaring. Seiring dengan
itu, tubuhnya bergerak semakin cepat Sepasang tangannya sudah tidak kelihatan
lagi bentuk aslinya. Apalagi, hawa dingin yang menebar dari tubuh pendekar muda
itu terasa membekukan urat-urat tubuh mereka. Hingga Hantu Tangan Merah dan Pisau Kilat kewalahan dibuatnya.
Bukkk! "Huaaakkk...!"
Karena gerak tangan pemuda itu sukar ditangkap
mata, Pisau Kilat terpaksa harus menerima pil pahit Dadanya terkena gedoran
telapak tangan Pendekar
Naga Putih. Tubuh kepala perampok itu terpental dan jatuh terguling-guling.
Darah segar termuntah keluar dari mulutnya. Pukulan yang keras itu, membuatnya
tidak sanggup lagi bangkit. Bahkan beberapa saat kemudian, nafasnya berhenti
untuk selamanya. Pisau Kilat tewas di tangan Pendekar Naga Putih.
Terpentalnya tubuh Pisau Kilat, membuat Hantu
Tangan Merah agak gugup. Perasaan itu tentu sangat merugikan dirinya. Gerakannya
menjadi kacau dan tidak terkendali. Akibatnya, sebuah sambaran cakar na-ga lawan
membuat tubuhnya terlempar sejauh satu
tombak! Brettt..! "Aaarghhh...!"
Hantu Tangan Merah memekik kesakitan. Kendati
demikian, tubuhnya tidak terbanting ke tanah. Tokoh tinggi besar itu dapat
menyelamatkan diri dengan berjumpalitan di udara. Dan mendarat dengan kedua kaki
lebih dahulu. "Heaaahhh...!"
Kali ini, Pendekar Naga Putih tidak memberi kesempatan lagi kepala Hantu Tangan Merah. Sebelum lawan sempat membangun serangan,
sepasang telapak tangan pemuda itu telah meluncur ke arah dada Hantu
Tangan Merah. Hingga....
Deeesss...! Hantaman yang sangat kuat itu membuat Hantu
Tangan Merah memekik ngeri! Tubuhnya terpental bagai daun kering diterbangkan angin. Dan jatuh berde-buk di atas tanah dengan
kerasnya. Sesaat tokoh tinggi besar itu seperti hendak bangkit berdiri. Namun
kembali roboh. Darah segar tak henti-hentinya mengalir dari bibirnya. Nafasnya
terlihat satu-satu dan sangat pelan. Sampai akhirnya lenyap sama sekali. Hantu
Tangan Merah telah terbang ke alam baka.
Setelah menyelesaikan lawan-lawannya, Pendekar
Naga Putih kelihatan termenung memandang mayatmayat pengikut Pisau Kilat yang menjadi korban beruang Gunung Es ini. Sedangkan binatang itu tidak
ada. Begitu juga Kenanga dan Ki Lodana. Hingga Panji mengerutkan kening heran.
Tapi, Panji tidak perlu menunggu lama untuk menemukan Kenanga, Ki Lodana, dan beruang Gunung
Es. Ketiga sosok tubuh itu muncul dari dalam sebuah pondok besar.
"Apa kalian sudah menemukan barang-barang yang
dicuri Pisau Kilat bersama anggotanya?" tanya Panji.
Kendati melihat kedua tangan bertiang Gunung Es
membawa dua peti kayu berukir yang cukup besar.
"Sudah, Panji. Aku yakin semuanya masih lengkap...," sahut Ki Lodana yang kelihatan semakin dekat dengan beruang Gunung Es.
Kenyataan itu membuat
Panji merasa senang. Ia tidak perlu merasa khawatir lagi. Hingga bisa
meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan.
"Panji, aku akan tinggal di Gunung Es. Sebab, aku
sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi. Kuharap kau bersedia menemani kami
untuk beberapa hari.
Kenanga sudah setuju dengan usulku itu...," ujar Ki Lodana. Lelaki gagah itu
agaknya memutuskan untuk
menetap di Gunung Es bersama binatang peliharaan
Malaikat Salju.
"Hm.... Kalau sudah begitu, untuk apa kau bertanya kepadaku, Paman. Sudah pasti aku akan setuju...," jawab Panji tertawa perlahan, membuat Ki Lodana berseri wajahnya.
Beruang Gunung Es melenguh memperlihatkan taring-taringnya. Tampaknya, binatang itu ikut gembira dan tertawa. Padahal, suara
yang keluar dari mon-congnya tetap saja berupa geraman. Sebab, mana
mungkin seekor beruang dapat terkekeh. Jelas suatu hal yang mustahil....
SELESAI Scan by Clickers
Edited By CulanOde
PDF By Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** *** 3 *** 4 *** *** 5 *** *** 6 *** 7 *** *** 8 *** SELESAI Pedang Keadilan 24 Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan Naga Beracun 19

Cari Blog Ini