Ceritasilat Novel Online

Siluman Gurun Setan 1

Pendekar Naga Putih 66 Siluman Gurun Setan Bagian 1


SILUMAN GURUN SETAN Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Siluman Gurun Setan
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking merobek keheningan
malam itu. Desa Bandul yang semula sunyi, mendadak
riuh. Para penduduk yang tengah terbuai mimpi tersentak bangkit. Sebentar saja, suasana yang semula pekat menjadi terangbenderang oleh api-api obor yang bermunculan dari tiap rumah penduduk.
Enam orang keamanan desa yang tengah meronda,
mendadak terhenti. Mereka saling berpandangan satu
sama lain. Seolah hendak memastikan, apakah mereka
semua mendengar jeritan itu.
"Kedengarannya seperti dari tempat kediaman kepala desa?" desis salah seorang peronda. Sepasang matanya menatap ragu, meminta pendapat kawankawannya. "Menurutku juga begitu...," sahut peronda lain,
yang bertubuh kurus dan bermata jeli.
Empat peronda lainnya terlihat menganggukkan
kepala. Tampaknya mereka sependapat dengan kedua
kawan mereka. Kendati demikian, tak seorang pun
yang bertindak.
"Hm.... Apa lagi yang kalian tunggu" Jeritan tadi jelas menandakan orang itu
tengah menghadapi
maut...!" salah seorang peronda yang bertubuh tegap, berusia sekitar empat puluh
tahun, mengingatkan kawan-kawannya. Kemudian lelaki itu bergegas menuju
asal jeritan itu.
Tanpa banyak cakap lagi, kelima peronda lainnya
pun segera menghambur. Mereka berlarian menuju
tempat kediaman kepala desa. Karena dari situlah sua-ra jeritan berasal.
Para penduduk yang tengah bergerombol dengan
obor di tangan, segera menggabungkan diri dengan
keenam peronda itu. Rombongan itu pun kian bertambah banyak. Karena sepanjang jalan, selalu saja ada penduduk yang ikut
bergabung. Sehingga, sebentar sa-ja telah terbentuk barisan yang cukup panjang
bergerak menuju tempat kediaman kepala desa.
"Berhenti...!"
Rombongan peronda dan para penduduk itu sama
menghentikan langkah. Di depan pintu gerbang Kepala Desa Bandul, telah berdiri
empat orang pengawal.
"Kakang Dirja. Kami mendengar suara jeritan kematian yang berasal dari sekitar tempat ini. Apakah Kakang tidak mendengarnya...?"
peronda bertubuh tegap yang bertindak sebagai pimpinan, melangkah maju
dan melaporkan apa yang didengarnya.
"Aku pun mendengarnya, Rajulit Sayang, kedatangan kalian sudah terlambat..," sahut lelaki tinggi kurus yang bernama Dirja.
Raut wajahnya membayangkan
kedukaan dan penasaran yang dalam.
"Jadi..., apa yang kami dengar tadi...?" Rajulit tidak melanjutkan kalimatnya.
Sepasang matanya menatap
dengan seribu pertanyaan di dalamnya.
"Salah satu keluarga kepala desa kita kedapatan telah menjadi mayat Sedangkan pembunuhnya belum
diketahui...," Dirja menjelaskan kepada Rajulit Sepasang mata lelaki kurus itu
menerawang ke langit kelam. Ada api dendam di matanya yang tajam.
"Apakah tidak ada orang yang melihat pembunuh
itu, Kakang?" tanya Rajulit penasaran.
Dirja hanya menghela napas sambil menggeleng
perlahan. Itu sudah merupakan sebuah jawaban. Peronda bertubuh tegap itu pun menghela napas penuh
sesal. "Saudara-saudara sekalian...!" Dirja mengalihkan
pandangan matanya ke rombongan penduduk, "Sebaiknya kalian kembali ke rumah masing-masing. Satu persatu. Mulai malam ini,
kalian semua harus berhati-hati. Meski kita semua mengharap peristiwa itu tidak
berlanjutan, tapi kita harus meningkatkan kesiagaan.
Jika di antara kalian ada yang melihat seseorang yang mencurigakan, segera
laporkan kepadaku...."
Setelah mendengar ucapan Dirja, yang merupakan
salah seorang sesepuh Desa Bandul, para penduduk
pun bergerak meninggalkan tempat itu dengan suara
ribut. Suara-suara itu berasal dari pembicaraan para penduduk.
"Kakang. Kalau diizinkan, kami ingin melihat mayat
korban...," Rajulit memecahkan keheningan, setelah di tempat itu hanya tinggal
para keamanan desa saja.
"Hm.... Sebaiknya kita tetap di sini, Rajulit. Aku tidak berani mengganggu
keluarga Ki Bajuri yang tengah berkabung...," sahut Ki Dirja meminta pengertian Rajulit.
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan selanjutnya...?" tanya Rajulit yang memaklumi jawaban Ki Dir-ja. Sehingga ia mengalihkan
pembicaraan. "Entahlah. Aku sendiri belum memikirkannya. Yang
jelas, kita harus meningkatkan kewaspadaan. Seperti yang telah kukatakan tadi.
Kita harus memasang mata dan telinga. Desa kita banyak didatangi pendatang.
Bukan mustahil pembunuh itu adalah salah satu dari
kaum pendatang. Untuk itu, mulai sekarang kalian harus lebih memusatkan
perhatian kepada kaum pendatang. Bila di antara mereka ada yang bersikap mencurigakan, segera laporkan
padaku...," jelas Ki Dirja.
Keenam peronda itu menganggukkan kepala.
Sebentar kemudian, suasana kembali hening. Sepuluh orang keamanan Desa Bandul membiarkan dirinya
hanyut dalam alam pikiran masing-masing. Tak seorang pun yang mengeluarkan suara.
"Rajulit...," panggilan Ki Dirja memecah keheningan.
"Ada apa, Kakang...?" sigap Rajulit menyahuti panggilan itu. "Sebaiknya kalian lanjutkan perondaan. Saat ini
sudah tengah malam. Siapa tahu pembunuh itu masih
berkeliaran mencari mangsa...," ujar Ki Dirja.
"Baiklah, Kakang...," sahut Rajulit. Kemudian minta diri bersama kelima orang
kawannya. Tidak berapa
lama kemudian, sosok keenam peronda itu hilang ditelan kegelapan malam.
Malam terus merayap perlahan. Sinar bulan sabit
yang menggantung di langit kelam tak mampu menembus kepekatan malam. Suara burung malam terdengar saling bersahutan meningkahi bunyi jangkrik
dan binatang-binatang malam. Seluruh penghuni Desa
Bandul tak dapat tenang seperti semula. Pembunuhan
yang terjadi malam itu, membuat mereka merasa tegang dan gelisah. Desa mereka yang semula aman dan
tenteram, kini mulai dilanda malapetaka yang setiap waktu bisa terulang kembali.
*** Di bawah siraman sinar matahari pagi yang hangat
menyentuh kulit, tampak sepasang insan muda bergerak menyusuri jalan berdebu. Langkah kudanya diperlambat ketika melewati wilayah pekuburan desa. Tanah pemakaman itu dibanjiri orang-orang yang tengah bergerak meninggalkan tempat
itu. Wajah-wajah yang
tengah dirundung kedukaan itu, telah menarik perhatian keduanya. Terlihat dari kerutan pada kening mereka berdua.
Rombongan penduduk Desa Bandul yang baru saja
selesai memakamkan anggota keluarga kepala desanya, bergerak meninggalkan tanah pekuburan. Beberapa di antara mereka sempat mengerling ke arah
pasangan insan muda yang berdiri di tepi jalan yang mereka lalui.
"Hm.... Lagi-lagi kita memasuki desa yang penduduknya tidak bersikap ramah, Kakang...," gumam dara jelita berpakaian serba
hijau kepada pemuda tampan
berjubah putih yang berdiri di sebelahnya. Kerlingan beberapa penduduk memang
terlihat sinis dan memancarkan kecurigaan.
"Kau harus memakluminya. Mungkin hal itu disebabkan oleh kedukaan di hati mereka. Siapa tahu di balik sikap mereka itu
tersembunyi keramahan. Jangan kau masukkan ke dalam hati...," sahut pemuda
tampan berjubah putih. Pemuda itu tampaknya memaklumi sikap para penduduk yang terlihat tidak begi-tu ramah kepada mereka
berdua. Dara berparas jelita itu menghela napas panjang.
Kendati demikian, ia tidak membantah ucapan pemuda tampan berjubah putih.
"Paman, harap berhenti sebentar...!" seru pemuda
tampan itu perlahan kepada salah seorang penduduk
yang berjalan paling belakang.
"Ada perlu apa, Kisanak...?" tukas lelaki gemuk berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya kecoklatan, pertanda ia seorang petani.
Suara lelaki itu terdengar ketus dan tidak senang.
Pemuda tampan berjubah putih itu menyunggingkan senyum. Tak sedikit pun ia merasa tersinggung
dengan sambutan yang tak ramah itu. Pemuda itu tidak mempedulikan jawaban ketus itu.
"Hmmm.... Bolehkah aku bertanya sedikit...?" lanjut pemuda tampan berjubah
putih. Tetap dengan ramah
dan sopan. "Hm.... Kau sudah mengajukan pertanyaan, bukan?" tukas petani gemuk itu menyunggingkan senyum sinis. Senyum pemuda tampan berjubah putih bertambah
lebar. Kendati ucapan petani gemuk itu jelas-jelas
hendak memancing kemarahannya, namun ia tetap
sabar. Keramahan dan kesabarannya masih terpancar
jelas pada raut wajah dan sinar matanya. Sehingga,
kening petani itu berkerut heran.
"Tampaknya, Paman dan para penduduk lainnya
baru saja memakamkan orang penting. Kalau boleh ku
tahu, siapakah yang baru saja dimakamkan?" tanya
pemuda tampan berjubah putih tanpa mempedulikan
keheranan di wajah petani gemuk itu.
"Kalau kau ingin mengetahuinya, tanyakan saja kepada semua penghuni kuburan itu!" setelah memberikan jawaban yang ketus, petani gemuk berwajah coklat membalikkan tubuh dan
bergerak menyusul kawan-kawannya.
"Nah, kau lihat sendiri, bukan" Keramahan yang
kau tunjukkan, mereka balas dengan sikap sinis dan menjengkelkan. Sudah
kukatakan, orang-orang desa
itu jelas tidak menyukai kehadiran kita," dara jelita berpakaian serba hijau itu
menyindir kawannya dengan senyum sinis.
"Tidak mengapa, Adikku. Cepat atau lambat, kita
akan mendapatkan apa yang kita inginkan...," tukas
pemuda tampan berjubah putih, masih tetap tersenyum sabar. Tidak sedikit pun terlihat kemarahan di wajahnya, seperti yang
ditunjukkan dara jelita berpakaian serba hijau itu.
"Hm.... Pada siapa lagi kau akan bertanya, Kakang?" tanya dara jelita itu seraya mengerutkan kening.
"Hm...," pemuda tampan berjubah putih hanya bergumam pelan. Kakinya melangkah menyusuri jalan lebar yang menghubungkan Desa Bandul.
Tanpa banyak tanya lagi, dara jelita berpakaian ser-ba hijau bergegas mengikuti.
Rasa penasaran masih
tersisa pada raut wajahnya. Namun, semua itu hanya
disimpannya dalam hati. Karena ia tahu akan sia-sia saja mengatakannya. Gadis
itu pun memutuskan untuk berdiam diri.
*** Di bawah terik sinar matahari, kedua sosok tubuh
itu melangkah memasuki perbatasan Desa Bandul.
Dan langsung menuju sebuah kedai makan yang cukup banyak didatangi pengunjung.
Kedatangan pemuda tampan berjubah putih dan
dara jelita berpakaian serba hijau itu, telah menarik perhatian pengunjung.
Sosok keduanya memang sangat menarik Terutama dara jelita yang memiliki sepasang
mata mempesona. Sehingga, hampir seluruh mata laki-laki tertuju kepadanya. Mereka memandang
dengan penuh kagum. Bahkan beberapa di antaranya
sampai meneguk air liur. Sedangkan sepasang orang
muda itu tampak tidak peduli. Dengan tenang, mereka melangkah menuju sebuah meja
kosong. Kemudian
memanggil pelayan dan memesan makanan.
"Di tempat seperti ini, kita bisa memperoleh banyak keterangan...," ujar pemuda
tampan berjubah putih itu
kepada temannya.
Dara Jelita berpakaian serba hijau mengangguk. Sejenak sepasang mata beningnya memandang berkeliling, memperhatikan pengunjung kedai. Kemudian
kembali menatap pemuda di depannya.
"Tapi, kelihatannya tidak ada orang yang membicarakan keterangan yang kau inginkan, Kakang...," tukas dara jelita itu setelah
terdiam beberapa saat lamanya.
Rupanya, tadi tengah mencari-cari kalau-kalau ada di antara pengunjung yang
tengah bercerita tentang kematian yang mereka lihat penguburannya.
"Tidak perlu terburu-buru, dan jangan menimbulkan kecurigaan...," desah pemuda tampan berjubah
putih. Kemudian terdiam, karena pelayan kedai sudah datang membawa pesanan
mereka. "Kalian pasti bukan penduduk desa ini...," desis pelayan kedai berbisik, "Hatihatilah...," lanjutnya mengingatkan. Lalu, pelayan itu bergegas pergi. Sehingga
pemuda tampan dan dara jelita itu tidak sempat me-nanggapi.
Ketika pemuda tampan berjubah putih itu hendak
bergerak bangkit untuk memanggil pelayan itu, tibatiba beberapa orang melangkah masuk. Lelaki terdepan yang berperawakan tegap, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kedai. Dan berhenti di wajah pemuda tampan berjubah
putih, yang duduk ber

Pendekar Naga Putih 66 Siluman Gurun Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama kawannya. Kemudian bergerak mendekat dengan
sikap tidak bersahabat.
Empat orang lelaki lainnya yang berpakaian serba
hitam, mengikuti langkah lelaki tegap itu. Langkah
mereka berhenti tepat di hadapan kedua orang muda
itu. "Kalian siapa" Dan apa tujuan kalian singgah di de-sa ini?" tegur lelaki
bertubuh tegap dengan sikap dingin dan tanpa basa-basi. Bahkan jelas-jelas menunjukkan rasa tidak sukanya.
Untuk sesaat, pasangan muda itu saling bertukar
pandang. Ada bias keheranan pada wajah keduanya.
Mereka tidak mengerti, mengapa sikap lelaki tegap itu tidak menghormati mereka.
"Kisanak. Namaku Panji. Sedangkan kawanku ini
Kenanga. Kami berdua adalah perantau yang kebetulan lewat dan hendak melewatkan malam di desa ini,"
jawab pemuda tampan berjubah putih, yang ternyata
adalah Panji atau yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Hm...," lelaki bertubuh tegap yang tidak lain Rajulit, memperdengarkan gumaman
kasar. Kemudian melangkah berputar dengan pandangan penuh selidik.
Kelihatan sekali ia sangat mencurigai sepasang insan muda itu. Langkahnya
berhenti, dan memandang ke
arah pinggang dara jelita berpakaian serba hijau. Pada pinggang dara itu
terlihat gagang pedang.
"Kalian tentu tidak ingin mencari kesulitan, bukan?" tanya Rajulit tiba-tiba.
"Maaf, kami tidak mengerti maksud ucapan Kisanak," sahut Panji meminta penjelasan.
"Jawab saja pertanyaanku!" tukas lelaki tegap itu
dengan agak keras. "Kalian tidak ingin mendapat kesulitan, bukan?" Rajulit
mengulang pertanyaannya.
"Tentu tidak," sahut Panji tenang dan tidak menunjukkan wajah tersinggung.
Lain halnya dengan Kenanga. Raut wajah dara jelita
itu berubah. Rupanya ia merasa tersinggung mendengar bantahan itu. Kalau saja tidak bersama Panji,
mungkin sudah dilabraknya lelaki tegap itu.
"Nah. Kalau begitu, cepat serahkan senjatamu," Rajulit melanjutkan ucapannya seraya memandang dara
jelita berpakaian hijau yang berada di sebelah kanannya. Memang hanya Kenanga yang kelihatan membawa
senjata. Sedangkan Panji tak terlihat membawa pedang atau senjata lainnya.
Karena itu ucapannya ditujukan pada Kenanga.
"Hm...," mendengar ucapan lelaki tegap itu, Kenanga menggeram gusar. Darahnya mulai panas. Sebab,
tanpa alasan yang jelas senjatanya hendak diambil.
Tentu saja ia tidak sudi.
Pendekar Naga Putih yang mengetahui gelagat itu,
segera mengedipkan matanya ke arah Kenanga. Sehingga, dara jelita itu tidak jadi bangkit dari duduknya, dan mempercayakan
jawabannya kepada Panji.
"Kalau boleh kami tahu apa alasannya hingga kami
tidak boleh membawa senjata" Dan, apa sebenarnya
yang tengah terjadi di desa ini?" Panji kembali meminta penjelasan. Karena kalau
tanpa alasan yang masuk akal, ia pun tidak akan mau menyerahkan Pedang Sinar
Bulan kepada lelaki tegap itu. Apa pun yang akan terjadi. Pedang itu merupakan
lambang pertunangan
mereka. "Hm.... Kalau hanya membantah, mungkin aku masih bisa memaafkan! Tapi, karena kau telah lancang
hendak mengetahui keadaan desa kami, sudah cukup
rasanya alasan untuk menahan kalian berdua!" tukas
Rajulit marah mendengar jawaban pemuda tampan
berjubah putih.
Brakkk! Mendengar ucapan itu, Kenanga langsung menggebrak meja. Sehingga makanan yang berada di atasnya
terpental ke udara. Sedangkan dara jelita itu sudah bangkit berdiri dengan sorot
mata tajam. "Kurang ajar! Siapa dirimu sehingga berani berkata
demikian kepadaku! Hm... Ingin kulihat, bagaimana
kau mengambil senjataku ini dari tanganku!" geram
Kenanga seraya memandang Rajulit dengan sinar mata
mengancam. Agaknya, dara jelita itu sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi.
Rajulit dan kawan-kawannya serentak bergerak
mundur, tidak menduga akan sikap Kenanga. Namun,
keterkejutan itu hanya sesaat. Kemudian berubah
menjadi kemarahan.
"Hm.... Sudah kuduga kalian memang bukan orang
baik-baik! Untuk itu aku tidak akan segan-segan lagi...," Rajulit yang gusar dengan sikap Kenanga segera bersiap menghadapi dara
jelita itu. "Jaga seranganku...!" seru Rajulit. Tangannya diulurkan hendak merampas pedang di pinggang dara jelita itu. Wuttt...! Sambaran tangan Rajulit memang cukup cepat dan
mengandung tenaga dalam. Sayang, yang kali ini dihadapinya adalah seorang
pendekar wanita berkepandaian tinggi. Sehingga, serangannya luput dan mengenai tempat kosong.
"Hm.... Apa yang hendak kau tangkap, Orang Kasar?" ejek Kenanga yang sudah menggeser langkahnya
ke samping. Tentu saja serangan yang gagal itu membuat Rajulit semakin naik darah.
"Setan!" geram Rajulit, kembali mempersiapkan serangan berikutnya. Kali ini tak hanya sekadar merampas senjata Kenanga. Tapi
juga melontarkan serangan yang bertujuan melukai dara jelita itu.
"Hm...," gumam Kenanga lirih. Gadis itu ingin
memberi pelajaran pada lawan dengan tidak berusaha
mengelakkan serangan Rajulit. Tangan kanannya diangkat memapaki pukulan lawan.
Dukkk! "Aaah..."!"
Rajulit memekik kesakitan! Tubuhnya terjajar mundur dan menabrak meja di belakangnya, hingga pengunjung kedai berlarian keluar. Rajulit berusaha
bangkit sambil memijat lengannya!
"Perempuan setan!" umpat Rajulit ketika menyadari
gadis berparas jelita itu ternyata bukan orang lemah.
Lelaki itu hampir tidak percaya hanya dalam sekali gebrak dirinya dapat
dirobohkan! Padahal dara jelita itu hanya menangkis dan bukan memukulnya.
"Kepung dan tangkap mereka...!" Merasa tidak bisa
menghadapi seorang diri, Rajulit segera memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu. Ia sendiri sudah menghunus pedang.
Melihat keadaan yang akan merugikan pemilik kedai, Panji memberi isyarat pada kekasihnya untuk keluar. Seketika itu juga,
tubuh keduanya mencelat keluar kedai.
"Kejar...!" teriak Rajulit sambil berlari keluar diikuti kawan-kawannya.
*** 2 Jleggg! Kenanga dan Panji mendarat di halaman depan kedai. Keduanya menunggu kedatangan Rajulit dan kawan-kawannya. Panji sengaja tidak menghindari perse-lisihan itu. Pemuda itu
ingin mengetahui, apa alasan keenam lelaki berseragam serba hitam, yang dengan
sengaja ingin mencari keributan.
Beberapa saat kemudian, Rajulit dan kawankawannya muncul dengan senjata di tangan. Kali ini, mereka bukan sekadar
menakut-nakuti. Tapi hendak
melukai Panji dan Kenanga. Semua itu terlihat jelas dalam sinar mata mereka yang
menunjukkan kemarahan.
"Haiiit..!"
Begitu menjejakkan kakinya ke tanah, Rajulit langsung melesat ke arah Kenanga dengan pedang di tangan. Kelihatan ia sangat dendam terhadap dara jelita itu, yang telah
mengalahkannya di dalam kedai tadi.
Lelaki tegap itu hendak membalas kekalahannya.
Wuttt..! Desingan angin tajam mengiringi datangnya serangan Rajulit. Pedangnya berkelebat cepat mengarah tubuh Kenanga. Namun, dara
jelita itu tidak gentar. Kakinya melangkah ke kanan dengan tubuh miring. Kemudian membalas dengan sebuah pukulan lurus ke
dada lawan. Bukkk! "Hukh...!"
Tubuh Rajulit terpental balik dan jatuh bergulingan.
Darah segar mengalir turun di sudut bibirnya. Rupanya, pukulan yang cukup keras itu telah mengguncangkan isi dadanya. Sehingga, lelaki berperawakan
tegap itu tidak dapat segera bangkit Dadanya terasa sesak, dan sulit untuk
bernapas. Melihat kenyataan itu, lima orang kawan Rajulit serentak berlompatan menyerbu. Senjata mereka berdesingan membawa hawa maut!
Wuttt.., bwettt.!
Tapi, apalah artinya serangan kelima keamanan desa itu bagi pendekar seperti Kenanga. Dengan hanya
menggeser langkahnya sedikit, seraya mengibaskan
lengannya ke kiri dan kanan, pedang di tangan para
pengeroyok itu terpental lepas dari genggaman. Bahkan mereka mendapat tendangan dan pukulan dari
dara jelita itu. Sehingga, tak seorang pun yang masih berdiri tegak. Semuanya
jatuh sambil merintih kesakitan.
"Hm.... Kalau saat ini aku bermaksud mencabut
nyawa kalian, siapa yang bisa mencegah?" geram dara jelita itu yang tampaknya
kurang puas. Ditatapnya
keenam lelaki yang masih terduduk di tanah itu dengan sorot mata tajam. Sehingga, para keamanan desa
itu menundukkan kepala dengan wajah seputih kertas.
Keberanian maupun kegarangan mereka telah lenyap
setelah merasakan hajaran dara jelita itu.
"Hm.... Siapa lagi yang hendak membuat kerusuhan
di desa ini...?" tiba-tiba terdengar sebuah suara berat dan dalam.
Panji dan Kenanga menoleh ke kanan. Terlihat seorang lelaki gagah datang menghampiri bersama belasan orang berseragam hitam. Lelaki gagah itu tidak
lain Ki Dirja, salah seorang sesepuh Desa Bandul yang sangat dihormati.
Melihat sosok lelaki gagah itu, Panji segera dapat
menilai bahwa orang itu memiliki sikap bijaksana. Ma-ka ia segera melangkah,
menyambut kedatangan Ki
Dirja yang menatap pemuda itu dengan kening berkerut. "Siapa kau, Kisanak?" Mengapa bentrok dengan Rajulit dan keamanan desa lainnya?" tegur Ki Dirja seraya meneliti sosok pemuda
tampan berjubah putih,
yang kelihatan sangat tenang.
Panji dan Kenanga memperkenalkan diri pada lelaki
gagah itu. Menurut Panji, lelaki itu akan mempertimbangkan tindakannya tadi
terhadap Rajulit dan kawan-kawannya. Pemuda itu pun menceritakan kejadian itu mulai dari awal sampai yang dilihat Ki Dirja.
Tentu dengan harapan agar lelaki gagah itu mempertimbangkan ucapannya.
"Hm...," Ki Dirja bergumam lirih. Sepasang matanya
meneliti sosok Panji dan Kenanga dengan lebih cermat Keningnya berkerut,
pertanda lelaki gagah itu tengah berpikir keras.
"Kalau memang benar demikian kejadiannya, aku
memaafkan tindakan kalian berdua. Kuharap kalian
mau memaafkan kelakuan orang-orangku...," ujar Ki
Dirja setelah berpikir sesaat lamanya. Jawaban yang sangat diharapkan itu
membuat Panji dan Kenanga
merasa lega. "Terima kasih atas kebijaksanaanmu, Ki...," Panji
tidak meneruskan ucapannya. Dirinya memang belum
mengetahui nama lelaki gagah yang bijaksana itu.
"Dirja. Namaku Ki Dirja...," tukas lelaki gagah itu seraya tersenyum, karena
lupa memperkenalkan namanya pada Panji dan Kenanga.
"Baiklah, Ki Dirja. Aku ingin meminta izin kepadamu untuk bermalam di desa ini. Karena kalau kami
melanjutkan perjalanan, kemungkinan besar akan
kemalaman di jalan."
Kesempatan baik itu dipergunakan Panji untuk
meminta izin singgah di Desa Bandul. Bagaimanapun
kejadian dengan Rajulit dan kawan-kawannya telah
menimbulkan perasaan tidak enak di hati Panji. Sehingga, ia memberikan alasan seperti itu agar Ki Dirja tidak mencurigainya.
"Silakan..., silakan. Kuharap kalian bisa bermalam
dengan tenang di desa yang tidak begitu ramai ini,"
sahut Ki Dirja, kemudian mengajak orang-orangnya
meninggalkan tempat itu.
Panji dan Kenanga menganggukkan kepala membalas penghormatan lelaki gagah itu. Mereka tidak bergerak dari tempatnya, sampai
rombongan Ki Dirja lenyap
dari pandangan.
"Hm.... Kalau saja Rajulit dan kawan-kawannya dapat bersikap bijaksana seperti Ki Dirja, rasanya per-tengkaran tadi tidak perlu
terjadi...," gumam Kenanga kemudian. Dara jelita itu tampaknya menyesali sikap
Rajulit dan kawan-kawannya.
"Yah. Untunglah Ki Dirja bijaksana, dan tidak menimpakan kesalahan kepada kita. Biar bagaimanapun
aku tidak ingin menanam bibit permusuhan...," timpal Panji perlahan. Kemudian
bergegas mengajak Kenanga
menuju kedai yang juga menyediakan penginapan. Selain itu, mereka pun belum membayar makanan. Kedua orang muda itu berniat mengganti kerugian akibat perkelahian tadi, yang
sedikit banyak telah menimbulkan kerusakan di dalam kedai.
*** Kegelapan malam menyelimuti permukaan bumi,
termasuk juga Desa Bandul. Suasana desa itu kelihatan sunyi. Terlebih setelah terjadinya pembunuhan
terhadap salah seorang keluarga dekat kepala desa itu.
Kematian yang misterius itu membuat warga desa telah pergi tidur meskipun hari belum jauh malam. Bahkan lampu-lampu di dalam
rumah mereka dipadamkan, kecuali obor yang digunakan untuk menerangi
halaman rumah. Tok! Tok! Tok! Saat malam semakin merayap, terdengar suara kentongan para peronda desa yang berkeliling menjaga


Pendekar Naga Putih 66 Siluman Gurun Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keamanan. Penjagaan memang diperketat Mereka
khawatir pembunuh misterius itu akan beraksi kembali. Sehingga, hati para peronda itu selalu dilanda ketegangan! Di salah satu kamar rumah penginapan, Panji terbaring menghadap langit-langit. Keanehan-keanehan
yang dialami di desa itu, membuat Panji tidak bisa
memicingkan mata. Terlebih ketika ia menangkap suara kentongan peronda. Seringnya suara itu terdengar menimbulkan dugaan, bahwa
penduduk Desa Bandul
tengah menghadapi sesuatu yang menakutkan. Pikiran-pikiran itu membuatnya tidak dapat tidur. Yang
amat disayangkannya, penduduk desa itu sangat tertutup terhadap para pendatang seperti dirinya dan Kenanga. Sehingga, ia harus
memutar otak untuk mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti hatinya. "Hhh...," Panji menghela napas panjang berulangulang. Kemudian bangkit duduk dari tidurnya, dan
bergegas turun dari atas pembaringan. Kelihatan sekali betapa Panji tidak bisa
mengindahkan keanehan-keanehan yang terjadi.
Tok! Tok! Ketukan pada dua n pintu kamarnya membuyarkan
lamunan Panji. "Siapa...?" tanya Panji seraya menoleh ke arah pintu, kemudian melangkah menghampiri.
"Aku, Kakang...," sahut sebuah suara yang terdengar merdu di telinga. Cepat Panji membuka pintu kamarnya. Ia tahu suara itu
milik kekasihnya. Kena iga.
"Mengapa belum tidur, Kenanga...?" tanya Panji,
kembali menutup daun pintu setelah Kenanga masuk.
Mereka memang memesan dua kamar untuk menginap. "Aku tidak bisa tidur, Kakang. Apa kau juga merasakan hal yang sama denganku?" tukas Kenanga yang
duduk di tepi pembaringan dan menatap kekasihnya
dengan sorot mata menuntut jawaban.
"Maksudmu, tentang keanehan sikap penduduk desa ini...?" Panji menegasi arah pertanyaan dara jelita itu. Ia pun duduk di tepi
pembaringan dekat gadis itu.
Keduanya saling tatap.
Panji bangkit dari duduknya ketika melihat Kenanga mengangguk. Kemudian melangkah dan membuka
jendela. Angin malam yang dingin menerobos masuk
menyejukkan udara dalam kamar. Panji berdiri di depan jendela memandang
kepekatan malam.
"Penduduk desa ini sepertinya tidak menghendaki
campur-tangan orang lain. Terutama para pendatang
seperti kita. Aku sendiri tidak mengerti, apa yang
membuat mereka bersikap demikian tertutup. Apa sebenarnya yang hendak mereka sembunyikan dari para
pendatang...?" gumam Panji tanpa mengalihkan pandang matanya. Seolah tengah berbicara pada dirinya
sendiri untuk mengungkap penasaran dalam hatinya.
"Sepertinya di Desa Bandul ini tengah terjadi sesua-tu, Kakang. Buktinya, para
keamanan desa sangat ketat melakukan perondaan. Hampir setiap saat terdengar bunyi kentongan. Kalau tidak ada apa-apa, tidak mungkin mereka demikian giat
melakukan perondaan!" Kenanga yang juga memperhatikan keadaan di
desa itu, mengutarakan ganjalan pikirannya.
Panji membalikkan tubuhnya menghadap Kenanga.
Kembali terdengar helaan napas yang panjang. Ternya-ta, yang mengganggu
pikirannya juga dirasakan dara
jelita itu. Semua itu membuat keduanya tidak bisa melewatkan malam dengan baik.
Sampai-sampai Kenanga
memerlukan datang ke kamarnya untuk mengutarakan keresahan hatinya.
"Hm.... Lalu apa yang hendak kau lakukan, Kenanga?" tanya Panji, ingin tahu pendapat kekasihnya
mengenai persoalan yang mengganggu mereka berdua.
"Aku bermaksud menyelidikinya, Kakang. Hatiku
akan tetap penasaran kalau belum mengetahui apa
yang sebenarnya tengah terjadi di desa ini," jawab Kenanga tegas dengan semangat
terpancar pada sepasang matanya. Panji tersenyum lebar melihat semangat kekasihnya. Seraya melangkah kembali dan duduk di dekat
dara itu. Ditepuknya bahu dara jelita itu dengan lembut "Kapan kau akan
memulainya...?" tanya Panji lagi sambil membelai lembut bahu dara jelita itu.
Tampaknya Panji memberi angin terhadap keinginan kekasihnya. "Sekarang juga, Kakang! Apa kau tidak tergerak untuk menyelidikinya?" jawab Kenanga, heran melihat sikap Panji yang tidak
memperlihatkan rasa penasarannya. Sehingga ia mengajukan pertanyaan seperti itu.
"Tentu saja aku pun penasaran dan ingin menyelidikinya. Tapi, karena penduduk desa ini tidak ingin ki-ta mencampuri urusannya,
kita harus hati-hati dalam melakukan penyelidikan. Jangan sampai mereka
mengetahuinya...," ujar Panji yang jelas-jelas merupakan ungkapan bahwa dirinya
akan menyertai dara jelita
itu. Kenanga mengerti perasaan kekasihnya, dan tersenyum lebar. Dara jelita itu sangat senang mendengarnya. "Kalau begitu, apa lagi yang harus kita tunggu...?"
tukas Kenanga seraya bangkit dari duduknya.
Panji segera bangkit berdiri. Ia melesat melalui jendela kamar setelah mematikan
pelita yang menerangi
kamar. Kenanga sendiri sudah lebih dulu keluar melalui jendela, dan melompat
naik ke atas atap rumah
penginapan. Setelah merapatkan daun jendela kamarnya, Panji
bergegas menyusul Kenanga. Sebentar kemudian, terlihat dua sosok bayangan berkelebat di atas atap rumah-rumah penduduk. Mereka
sengaja melewati tempat-tempat yang tersembunyi di kegelapan. Karena tidak ingin bayangan mereka
terlihat para peronda yang sedang berkeliling.
*** Harapan Panji dan Kenanga untuk dapat mengungkapkan keanehan sikap penduduk Desa Bandul musnah. Kendati sepanjang malam mereka mengitari seluruh wilayah desa itu, namun tidak ada sesuatu pun
yang mencurigakan. Sampai fajar datang, tidak ada
suatu kejadian yang menyentakkan keheningan malam. Setelah sekali lagi mereka mengitari seluruh pelosok Desa Bandul, akhirnya Panji
memutuskan untuk kembali ke penginapan. Karena kokok ayam sudah terdengar di sana-sini. Mereka harus segera kembali, agar perbuatan mereka tidak
diketahui penduduk desa.
"Hhh.... Malam yang membosankan...!" sungut Kenanga. Tubuhnya dihempaskan ke atas pembaringan.
Dara jelita itu agaknya lupa bahwa ia berada di dalam kamar kekasihnya.
"Kenanga...," panggil Panji ketika melihat dara jelita itu hendak memejamkan
mata. Kalau Kenanga sampai
tertidur di kamarnya, tentu akan menimbulkan pertanyaan bagi pemilik penginapan. Panji tidak ingin
membuat mereka curiga.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Kenanga tanpa membuka mata. Sepertinya dara jelita itu hendak tidur di
kamar kekasihnya.
"Kau harus segera kembali ke kamarmu...," ujar
Panji mengingatkan.
"Biarlah aku tidur di sini saja, Kakang...," jawab
Kenanga tetap tidak membuka matanya. Jawaban itu
tentu membuat Panji kaget. Berarti Kenanga sadar
dengan apa yang diperbuatnya. Melihat dara jelita itu masih tetap berbaring.
Panji bergegas menghampiri
dan duduk di tepi pembaringan.
"Tidak, Kenanga. Kau harus kembali ke kamarmu.
Perbuatanmu bisa menimbulkan berbagai pertanyaan
pemilik maupun pelayan kedai. Kalau memang hendak
tidur sekamar, mengapa kita harus meminta dua kamar" Kuharap kau mengerti bahwa yang kau lakukan
ini tidak benar, Adikku. Terlebih lagi, aku khawatir tak sanggup menahan godaan
setan...," jelas Panji, berusaha memberi pengertian kepada kekasihnya.
Mendengar ucapan kekasihnya yang penuh kekhawatiran, Kenanga membuka mata dan menatap wajah
Panji lekat-lekat Keduanya saling bertatapan untuk
beberapa saat lamanya.
"Kau tidak ingin berada di dekatku, Kakang?" tibatiba saja terlontar pertanyaan yang terdengar aneh di telinga Panji.
"Hm.... Mengapa kau bertanya demikian, Kenanga.
Lelaki yang paling tolol sekalipun, rasanya bisa menjawab pertanyaanmu. Apalagi
aku yang sangat mencintaimu. Tapi, kita harus melihat keadaan. Saat ini kita tengah menyelidiki
sesuatu. Kalau ingin berhasil, kita harus berhati-hati dan pandai-pandai membawa
diri," jawab Panji tersenyum seraya membelai rambut kekasihnya. "Tapi.... Mengapa kau katakan takut tergoda setan,
Kakang. Padahal aku sudah menyerahkan seluruh hidupku kepadamu. Dan meskipun kita belum resmi
menjadi suami-istri, aku sudah merasa aku adalah is-trimu. Aku tidak takut dan
siap melakukan apa saja
untukmu, Kakang...," dara jelita itu masih membantah. Mungkin ucapan itu keluar tanpa disadarinya.
Panji agaknya mengetahui hal itu.
"Aku tidak ragu-ragu mempertaruhkan nyawa demi
kau, Kenanga. Tapi, kau harus ingat tujuan kita bermalam di desa ini...," tegas
Panji. Kemudian memeluk dan mengecup bibir menantang itu. Sehingga, suasana
seketika menjadi sunyi. Yang terdengar hanya deru
napas mereka. "Kembalilah ke kamarmu, Adikku. Jangan biarkan
kesucian cinta kita ternoda oleh sebuah keinginan...,"
ujar Panji seraya melepaskan pelukan dengan napas
terengah. Pemuda itu rupanya mulai terbuai oleh kenikmatan yang barusan mereka rasakan. Panji tidak
ingin terseret semakin jauh.
"Baiklah, Kakang...," sahut Kenanga lalu bangkit
dan bergegas menuju kamarnya.
Panji memandangi kepergian kekasihnya sampai lenyap di balik pintu. Pemuda tampan itu menghembuskan napas panjang-panjang. Hampir dirinya tidak
sanggup menahan nafsu yang bergejolak di dada. Untunglah ia masih memiliki sedikit kesadaran. Kalau tidak, tentu segalanya akan
terjadi. Jika sudah demikian, penyesalan akan selalu menghantui hidupnya.
"Kakang...."
"Ya...," Panji tersentak dan menoleh ke pintu. Dilihatnya dara jelita itu
berdiri di ambang pintu dan tersenyum manis. Wajah jelita itu tampak kemerahan,
membuat sosoknya semakin mempesona.
"Tidurlah Kenanga, agar esok tubuhmu kembali segar...," ujar Panji.
Dan melangkah ke pintu, lalu menutupnya rapatrapat saat kekasihnya berlalu meninggalkan tempat
itu. Panji merebahkan tubuhnya di atas pembaringan.
Sebentar kemudian, terdengar dengkurnya yang halus.
Pendekar muda itu telah terlelap....
*** 3 Tok! Tok! Tok! Panji tersentak bangkit dari tidurnya ketika mendengar ketukan pada pintu kamarnya. Kakinya melangkah perlahan menghampiri.
"Siapa...?" tanya Panji sebelum membuka pintu. Ia
merasa orang yang mengetuk pintu kamarnya bukan
Kenanga. Kalau dara jelita itu yang datang, pasti telah memanggilnya terlebih
dulu. "Pelayan, Tuan...," sahut suara di luar kamar yang
kedengaran agak takut-takut.
"Hm.... Ada apa...?" tanya Panji setelah membuka
pintu kamarnya. Dilihatnya seorang lelaki bertubuh
sedang mengenakan pakaian seorang pelayan, berdiri
sambil membungkukkan tubuh dalam-dalam.
"Di luar ada Ki Dirja. Beliau ingin bertemu dengan
Tuan," sahut pelayan itu mengutarakan maksud kedatangannya. "Ki Dirja...?" desis Panji. Sesaat pemuda itu terdiam berusaha mengingat orang
yang bernama Ki Dirja.
"Benar, Tuan," tukas pelayan menegasi.
"Baik. Sekarang pergilah, dan katakan pada Ki Dirja bahwa aku akan segera
menemuinya," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih menutup pintu kamar, setelah
pelayan rumah penginapan itu berlalu dari hadapannya. Sepeninggal pelayan, Panji bergegas menuju kamar Kenanga. Keduanya kemudian menemui Ki Dirja,
orang kepercayaan Kepala Desa Bandul.
"Maaf, kalau kedatanganku telah mengganggu istirahat kalian berdua," sambut Ki Dirja ketika Panji dan Kenanga datang menemuinya
di ruangan kedai. Lelaki
gagah itu ditemani dua orang berseragam hitam di kiri dan kanannya. Ketiganya
mengangguk hormat pada
Panji dan Kenanga.
"Tidak mengapa, Ki. Kami hanya merasa heran ketika pelayan menyampaikan pada kami. Kedatangan Ki
Dirja yang tidak disangka-sangka, membuat hati kami bertanya-tanya. Ada
keperluan apakah kiranya, Ki?"
sambut Panji membalas hormat lelaki gagah dan kedua pengawalnya. Mereka duduk di ruangan kedai
yang saat itu masih lengang.
"Kedatanganku kemari ingin menyampaikan undangan Ki Legawa kepala desa kami, untuk kau dan
Kenanga. Hanya itu," jelas Ki Dirja. Kenanga maupun Panji mengerutkan kening.
Mereka berdua belum mengenal atau bertemu Ki Legawa. Undangan yang mendadak itu membuat mereka heran, hingga keduanya
bertukar pandang sesaat
"Apakah kami telah melakukan sesuatu yang tidak
menyenangkan hati beliau...?" tanya Kenanga. Langsung mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya
saat itu. Gadis itu teringat pernah menjatuhkan beberapa orang keamanan desa
sewaktu mereka berdua


Pendekar Naga Putih 66 Siluman Gurun Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru tiba di tempat itu.
"Tidak. Kalian sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun! Ki Legawa hanya ingin berkenalan, keti-ka aku menceritakan perihal
kalian kepadanya. Jadi, kalian tidak perlu khawatir. Lagi pula, Ki Legawa seorang yang bijaksana dan selalu ingin berkenalan dengan orang-orang gagah.
Kuharap kalian berdua tidak
menolaknya...," jelas Ki Dirja. Pasangan pendekar mu-da itu kembali bertukar
pandang sekilas.
"Baiklah. Kami akan segera menemuinya," Panji
mengambil keputusan, setelah melihat Kenanga menyerahkan persoalan itu kepadanya.
"Ahhh. Terima kasih. Kalau demikian, mari kita segera berangkat. Kami sudah menyiapkan kuda yang
baik untuk kalian berdua," sahut Ki Dirja yang kelihatan sangat gembira
mendengar Panji menerima undangan kepala desanya.
"Wah. Mengapa harus repot-repot, Ki...," ujar Panji yang agak kaget mendengar Ki
Legawa telah menyiapkan kuda untuk dirinya dan Kenanga.
"Tidak perlu merasa sungkan, Panji. Bukankah itu
berati Ki Legawa menghormati kalian...," tukas Ki Dirja tersenyum lebar ketika
mendengar ucapan pemuda
tampan berjubah putih itu.
Tanpa banyak cakap lagi, pasangan pendekar muda
itu bergegas mengikuti langkah Ki Dirja. Kendati demikian, Panji merasa agak
aneh. Kepala Desa Bandul kelihatan demikian menaruh perhatian terhadap mereka
berdua. Sampai, merepotkan diri dengan mengirim kuda-kuda terbaik untuk mereka. Panji menduga ada
maksud tersembunyi di balik semua ini. Dan pemuda
itu ingin mengetahuinya.
Dengan diiringi Ki Dirja dan dua orang pembantunya, Panji dan Kenanga menjalankan kudanya perlahan menuju tempat kediaman Kepala Desa Bandul.
Pemuda itu sengaja tidak berbicara apa-apa sepanjang perjalanan. Semua membisu.
Sampai akhirnya mereka
tiba di depan sebuah rumah batu yang besar dan
berkesan megah.
"Silakan, Saudara Panji...," ujar Ki Dirja setelah mereka berlompatan turun dari
atas punggung kuda.
"Terima kasih...," ucap Panji segera mengayunkan
langkah memasuki halaman rumah besar itu. Dan terus mengikuti langkah Ki Dirja menuju ruang tamu
yang cukup luas.
"Selamat datang di gubukku, Pendekar Naga Putih...," sambut seorang lelaki setengah baya bertubuh tinggi besar. Separo
rambut di kepalanya botak. Kendati tanpa kumis, wajah lelaki yang diduga Panji
adalah Ki Legawa tampak sangat berwibawa. Ada kesan
angker pada sikapnya.
Meskipun dadanya berdebar ketika mendengar lelaki tinggi besar itu dapat mengenalinya dengan baik, Panji mencoba untuk tetap
tenang. Dengan pandainya
pemuda itu menyembunyikan keterkejutan hatinya.
Dan tersenyum lebar membalas anggukan Ki Legawa.
Namun, sikap hormat Ki Legawa seperti mengandung serangan tersembunyi. Dari sepasang tangan
yang menangkup di depan dada dan didorong ke depan, menyambar serangkum angin pukulan yang kuat.
Panji segera sadar orang tua itu hendak mengujinya.
"Aku benar-benar kagum dengan ketajaman matamu, Ki. Terimalah hormatku...," ujar Panji sambil me-nyatukan kedua tangannya
dan didorongkan ke depan
dengan tubuh membungkuk.
Dua gelombang tenaga dalam yang kuat saling bertemu tanpa menimbulkan suara yang mencurigakan.
Ki Legawa yang merasakan kuda-kudanya goyah, cepat
melangkah mundur empat tindak. Wajahnya tampak
memerah. Ia hampir saja terjatuh akibat ulahnya sendiri.
"Kau memang tidak mengecewakan, Pendekar Naga
Putih...," puji lelaki tinggi besar itu jujur.
Kemudian kembali menyimpan tenaganya, dan tersenyum. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada mereka berdua.
"Kau pun membuat aku kagum, Ki...," sambung
Panji tanpa bermaksud menghibur.
Pemuda itu merasa bahwa tenaga dalam lelaki tinggi besar itu memang sangat hebat. Menurutnya,
mungkin tidak kalah oleh tenaga dalam yang dimiliki Kenanga. Untuk ukuran
seorang kepala desa, tenaga
dalam Ki Legawa sudah terhitung sangat hebat.
"Heh heh heh.... Jangan mengejekku, Pendekar Naga Putih. Sudahlah. Kita tidak perlu saling memuji. Silakan duduk," tukas Ki
Legawa menyilakan Panji dan
Kenanga. Kemudian lelaki gagah itu menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah kursi bergagang gading.
"Terima kasih," ucap Panji segera mengajak kekasihnya duduk. Sikap pemuda itu tetap tenang, seperti tidak pernah terjadi
sesuatu di antara mereka. Padahal Kenanga tahu apa yang terjadi tadi. Tapi dara
jelita itu tidak berkata apa-apa.
Ki Legawa memanggil pelayan. Lalu memerintahkan
untuk menyiapkan jamuan bagi kedua orang tamu
terhormatnya itu. Sedangkan Ki Dirja sudah semenjak tadi pergi. Laki-laki gagah
itu hanya bertugas mengan-tarkan Panji dan Kenanga menemui majikannya. Setelah itu, Ki Legawa memerintahkan untuk meninggalkan mereka bertiga.
"Mungkin kau merasa heran karena aku bisa mengenalmu dengan baik, Saudara Panji. Menurutku sendiri hal itu tidak aneh. Nama besarmu telah menggema di kalangan persilatan,
sampai ke pelosok-pelosok desa seperti Desa Bandul ini. Hingga aku langsung bisa
menduga orang yang diceritakan Ki Dirja adalah Pendekar Naga Putih. Ciri-ciri yang digambarkan pembantuku itu sangat tepat dengan sosok Pendekar Naga Putih yang selama ini telah
banyak kudengar," Tanpa diminta, Ki Legawa menceritakan alasan mengapa ia
langsung mengenal Panji sebagai Pendekar Naga Putih.
Panji tersenyum dan menganggukkan kepala. Sekarang ia baru mengerti, mengapa Ki Legawa mengirimkan dua ekor kuda terbaik untuk mereka berdua. Kiranya Kepala Desa Bandul itu telah dapat, menduga
dirinya adalah Pendekar Naga Putih. Hal itu tidak ter-pikir oleh Panji.
Ki Legawa sendiri kelihatan sangat gembira melihat
kedatangan pendekar muda yang tersohor itu. Sejak
kedatangan Panji, lelaki tinggi besar itu selalu tersenyum lebar dengan mata
berbinar. Bahkan tidak jarang Ki Legawa mengakhiri ucapannya dengan sebuah
tawa. Sehingga, pasangan pendekar muda itu merasa
senang dengan sambutan tuan rumah yang sangat
ramah. Pembicaraan mereka terhenti sejenak ketika
pelayan datang menghidangkan jamuan. Setelah menata hidangan di atas meja, pelayan itu bergegas pergi.
"Silakan dicicipi, Pendekar Naga Putih, Kenanga...,"
ujar Ki Legawa seraya tertawa. Sehingga, pasangan
pendekar muda itu tidak merasa sungkan untuk mencicipi hidangan itu.
"Ki Legawa...," ujar Panji setelah keadaan hening sejenak, "Boleh aku mengajukan
sedikit pertanyaan yang mengganggu pikiranku sejak tiba di desa ini?" tanya
Panji Ki Legawa menatap pemuda tampan itu lekat-lekat
"Tentu saja boleh, Pendekar Naga Putih. Aku akan
senang sekali seandainya dapat meringankan beban
pikiranmu. Apa yang hendak kau tanyakan padaku...?"
sahut Ki Legawa masih tetap tersenyum meski terlihat kerutan di keningnya.
Panji lalu mengutarakan apa yang selama ini mengganggu pikirannya. Sedangkan Ki Legawa mendengarkan dengan penuh perhatian. Lelaki tinggi bear berusia lima puluh tahun itu
kelihatan sangat bersungguh-sungguh mendengarkan ucapan Panji. Hingga tidak
memotong cerita pemuda itu sampai selesai.
"Ah. Kiranya persoalan itu yang membuatmu terganggu, Pendekar Naga Putih. Kalau begitu, maafkan
sikap penduduk desa ini yang tidak ramah kepadamu,"
ujar Ki Legawa agak berduka dan prihatin mendengar
cerita Panji. "Seharusnya para penduduk memang tidak perlu bersikap demikian terhadap pendatang yang singgah di desa ini.
Kematian adikku yang saat penguburannya sempat kau lihat itu, telah membuat
warga desa ini merasa sangat terpukul! Adikku memang sangat disukai dan dihormati oleh mereka. Sehingga kematiannya membuat warga desa ini membenci dan tidak menyukai para pendatang, tanpa peduli siapa pun pendatang itu," lanjut Ki
Legawa dengan wajah tertun-duk dan kelihatan agak berduka.
"Maaf kalau pertanyaanku telah mendatangkan kedukaan di hatimu, Ki...," ucap Panji yang merasa tidak enak melihat wajah Ki
Legawa mendadak keruh.
"Tidak mengapa, Pendekar Naga Putih. Aku sudah
merelakan kepergiannya...," tukas Ki Legawa kemudian mengangkat wajahnya dan
mencoba tersenyum.
"Kalau boleh aku tahu, mengapa warga desa ini
menimpakan kesalahan pada para pendatang?" tanya
Panji. Setelah yakin Ki Legawa telah siap menjawab
pertanyaan selanjutnya.
"Begini...," ujar Ki Legawa setelah menarik napas
panjang berulang-ulang, "Beberapa belas tahun silam, ada seorang pemuda tampan
dan kaya singgah di desa
ini. Pemuda itu rupanya mata keranjang. Ia berani
mengganggu istri adikku. Celakanya, perempuan itu
menyambut dengan baik. Bahkan nekat melarikan diri
bersama pemuda keparat itu. Nah, sejak itulah adikku sering sakit-sakitan. Ia
memang sangat mencintai istrinya. Sampai akhirnya penyakit itu membawanya ke
lubang kubur. Itu sebabnya, mengapa penduduk desa
ini sangat membenci para pendatang...."
Panji menganggukkan kepala mendengar jawaban
yang melegakan hatinya itu. Dugaan Kenanga dan dirinya ternyata salah. Kematian adik kandung Ki Lega-wa bukan karena dibunuh
orang. Dan, Panji tidak menyalahkan penduduk Desa Bandul yang membenci para pendatang. Perbuatan pemuda kaya itu memang
sangat keji. Jadi, wajar bila warga Desa Bandul membenci mereka berdua. Karena
mereka adalah pendatang di desa itu.
"Apakah Ki Legawa tidak berusaha mencari pemuda
mata keranjang itu...?" Kenanga rupanya cukup menaruh perhatian terhadap penjelasan Ki Legawa. Hingga mengajukan pertanyaan yang
mengganggu pikirannya.
"Tidak. Menurutku, seorang istri yang lari bersama
lelaki lain, tidak perlu dicari. Jelas perempuan seperti itu tidak mempunyai
kesetiaan. Dan tidak perlu diper-tahankan. Itu pendapatku. Entah pendapat kalian
berdua. Karena pikiran setiap orang berlainan...," jawab Ki Legawa dengan tegas
dan jelas. "Kami pun berpendapat demikian, Ki...," tukas Panji menimpali.
Panji memang mendukung pendapat lelaki tinggi
besar itu. "Jika demikian kejadiannya, kami minta diri, Ki.
Kami harus melanjutkan perjalanan...." Setelah pembicaraan di antara mereka
selesai, Panji bergegas bangkit dan minta diri untuk melanjutkan perjalanannya.
Karena Desa Bandul ternyata aman-aman saja.
"Mengapa terburu-buru, Pendekar Naga Putih"
Menginaplah semalam lagi di desa ini. Setelah hari ini, aku yakin warga Desa
Bandul akan menerima kebera-daan kalian tanpa rasa benci lagi...," Ki Legawa
berusaha mencegah kepergian Panji dan Kenanga. Kelihatannya ia masih ingin berbincang-bincang lebih lama dengan pendekar muda itu.
"Sekali lagi, terima kasih, Ki. Kami tidak ingin merepotkan. Selain itu, kami
memang harus meneruskan
perjalanan. Harap Ki Legawa dapat memaklumi dan
memaafkan penolakanku ini...."
Panji bersikeras hendak pergi. Sehingga, Ki Legawa
tidak bisa berkata apa-apa lagi. Orang tua itu menyadari bahwa keinginan
pendekar muda itu tidak bisa
dibantah lagi. Ki Legawa pun mengalah dan mengantarkan pemuda itu sampai ke halaman rumah.
"Kalian boleh pakai kuda itu. Aku menghadiahkannya pada kalian berdua...," ujar Ki Legawa menunjuk dua ekor kuda yang besar dan
terlihat kuat Kali ini Panji maupun Kenanga tidak menolak. Mereka merasa tidak enak kalau harus menolak pemberian Kepala Desa Bandul itu. Sehingga, Panji memutuskan untuk menerimanya.
"Kami mohon pamit, Ki..," sebelum membedal kudanya, Panji kembali berpamitan. Orang tua itu mengangguk dan tersenyum lebar.
Ki Legawa masih berdiri memandangi kepulan debu
yang ditimbulkan derap kaki kuda. Setelah bayangan
sepasang pendekar itu lenyap barulah Ki Legawa melangkah ke dalam rumah.
*** Sosok bayangan putih itu bergerak cepat di atas
atap rumah-rumah penduduk Desa Bandul. Jubahnya
yang longgar dan berwarna putih berkibaran ditiup
angin. Rambutnya yang panjang dan juga putih dibiarkan terlepas, sehingga
menutupi sebagian wajahnya.
Sosok yang cukup menyeramkan dan bisa membuat
seorang penakut jatuh pingsan bila melihatnya.
Dengan diterangi cahaya rembulan yang redup, sosok bayangan putih itu terus bergerak menuju pusat
desa. Dan melayang turun di halaman samping sebuah
rumah besar yang megah. Rumah yang megah itu adalah tempat kediaman Kepala Desa Bandul, Ki Legawa.
Rupanya tempat itulah tujuan sosok itu.
"Legawa...! Aku datang menagih darahmu...!" sosok
berjubah putih itu berkata. Tidak terlalu keras, namun terdengar menyeramkan dan
jelas. Seperti datang dari alam lain. Sosok bayangan putih itu berdiri tegak di
halaman samping rumah Ki Legawa.
Suara yang parau dan bergetar itu, membuat pengawal-pengawal Ki Legawa berdebar tegang. Wajah mereka berubah pucat! Kendati demikian, mereka memberanikan diri mendatangi asa suara itu.
"Hei. Siapa kau..."!" terdengar teguran setengah
membentak dari seorang lelaki gagah. Dia adalah Ki
Dirja. Rupanya, lelaki itu pun mendengar seruan barusan. Dan, bergegas keluar
mencari sumber suara.
Sosok berjubah putih yang berperawakan jangkung
itu bergerak ke tempat yang terlindung kegelapan. Kemudian berlari tegak dengan
angkernya. Kelihatan ia tidak gentar, meskipun lelaki gagah itu datang bersama
belasan pengawal Kepala Desa Bandul.
"Hm.... Kau tidak perlu tahu siapa aku, Dirja. Malam ini bukan bagianmu. Kau tidak perlu ikut cam

Pendekar Naga Putih 66 Siluman Gurun Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pur...," desis sosok jangkung berpakaian serba putih
memperingatkan. Dalam ucapannya jelas tersembunyi
ancaman maut! Ki Dirja kelihatan sangat terkejut mendengar sosok
berjubah putih itu mengenalinya. Padahal, saat itu suasana agak gelap dan cukup
sulit untuk mengenali
orang. Kecuali bila telah mengenalnya dengan baik.
Sosok berjubah putih itu sepertinya sangat mengenal dirinya. Terbukti, ia bisa
menebaknya dengan tepat
Hingga Ki Dirja heran dibuatnya.
"Hm.... Siapa kau sebenarnya! Dan apa maksud
ucapanmu itu?" bentak Ki Dirja marah mendengar
ucapan sombong sosok berjubah putih.
"Hah hah hah...!" sosok berjubah putih itu malah
memperdengarkan tawa yang mendirikan bulu roma.
Ditatapnya wajah Ki Dirja lekat-lekat dengan sorot ma-ta tajam menggetarkan.
Melihat sorot mata itu, Ki Dirja bergidig ngeri. Mata itu seperti bukan milik
seorang manusia. Tapi, lebih mirip mata iblis! Sehingga, lelaki gagah itu
melangkah mundur beberapa tindak.
"Keparat sombong! Ingin kulihat seperti apa wajahmu...!" desis Ki Dirja. Disambarnya sebatang obor dari tangan anak buahnya.
Kemudian dikibaskan ke depan
untuk menerangi wajah sosok mengerikan itu.
"Hm...," sosok berjubah putih bergumam lirih. Tangan kanannya didorong ke depan.
Wusss...! Serangkum angin keras berhembus, hingga obor di
tangan lelaki gagah itu padam seketika. Padahal jarak mereka terpisah cukup
jauh, kira-kira dua tombak lebih. Tenaga dalam sosok tubuh tinggi kurus itu
ternyata sangat tinggi. Dan Ki Dirja menyadari hal itu.
"Hm.... Aku tahu sekarang! Rupanya, kau yang telah membunuh adik kandung Ki Legawa! Mengakulah!
Siapa kau sebenarnya" Dan mengapa melakukan
pembunuhan keji itu?" bentak Ki Dirja mencoba mengorek keterangan dari sosok berjubah putih itu.
"Benar! Akulah Siluman Gurun Setan, yang akan
memusnahkan seluruh keluarga Legawa beserta begundal-begundalnya...!" jawab sosok tinggi kurus itu menyebutkan julukannya.
"Keparat! Kalau begitu, aku harus segera meringkusmu...! Anak-anak! Kepung dan tangkap keparat keji itu...!" perintah Ki Dirja seraya meloloskan pedang.
Lelaki gagah itu tahu orang yang mengaku berjuluk Siluman Gurun Setan itu pasti
bukan tokoh sembarangan. Dia pernah mendengar nama itu disebut orang.
Sayang ia lupa, di mana pernah mendengarnya.
Siluman Gurun Setan hanya tertawa parau dan
menyeramkan. Sosoknya tidak bergerak sedikit pun
ketika Ki Dirja dan para pengawal Ki Legawa telah bergerak maju untuk
mengeroyoknya. "Hm.... Kalian terlalu memaksa!" desis Siluman Gurun Setan. "Sebaiknya kalian beri tahukan kedatanganku pada majikan kalian. Karena hari ini aku akan mengambil salah satu nyawa
keluarganya...," ujar Siluman Gurun Setan yang merasa yakin perbuatannya
akan berhasil. "Siluman keparat! Jangan harap kau dapat berbuat
semaumu! Selama aku masih ada, tak akan kubiarkan
kau menyentuh anggota keluarga Ki Legawa. Untuk
melaksanakan niatmu itu kau harus melangkahi
mayatku dulu...!" geram Ki Dirja. Pedangnya dikibaskan ke kiri dan kanan. Kemudian berhenti melintang di atas kepala dengan kedudukan mendatar.
Siluman Gurun Setan kembali bergumam. Sesaat
kemudian, sosoknya melayang ke atas atap rumah.
Kemudian melesat menerobos kegelapan malam.
"Kejar...!" perintah Ki Legawa pada kawankawannya. Ia sendiri sudah berlari mengejar. Sebentar saja, suasana malam yang
semula hening berubah ribut oleh derap kaki orang yang berlarian.
*** 4 Sosok berjubah putih itu terus bergerak dengan kecepatan yang hampir tidak bisa ditangkap mata. Kemudian melayang turun. Kali ini di bagian belakang
bangunan. Tapi baru saja kedua kakinya menyentuh
tanah, terdengar bentakan yang mengejutkan!
"Hm.... Mau lari ke mana, Pembunuh Keji...!" suara
yang mengandung tenaga dalam itu, membuat Siluman Gurun Setan menoleh kepala ke sebuah sudut
yang agak gelap.
Dengan kening berkerut, Siluman Gurun Setan bergerak mundur. Rupanya, di dapat menilai kepandaian
lawan dari bentakan itu. Tampak dua sosok tubuh
bergerak menghampiri dengan senjata di tangan. Kelihatannya mereka memang telah
menunggu kedatangannya. "Siapa kalian...?" tanya Siluman Gurun Setan pada
kedua orang bertampang angker itu. Melihat sikapnya, agaknya sosok tinggi kurus
itu baru kali ini berjumpa dengan mereka.
"Hm.... Rupanya kau belum mengenal kami, Penjahat Hina! Nah, dengarkan baik-baik! Kami berdua yang berjuluk Sepasang Golok
Perak. Tugas kami adalah
mengantarmu ke akhirat. Bersiap-siaplah...!" salah
seorang dari mereka berkata sombong. Rupanya mereka merasa yakin akan dapat menundukkan Siluman
Gurun Setan. "Sebutkan julukanmu, agar kematianmu tidak siasia...!" bentak yang satunya. Tubuh orang itu lebih tinggi dari kawannya dan
agak kurus. Kendati demikian, sikapnya tidak kalah angker.
"Hm.... Rupanya, keparat busuk Legawa telah menyewa jago-jago bayaran untuk menjaga keselamatan
keluarganya! Bagus! Majulah kalian berdua...."
Siluman Gurun Setan kelihatan tidak kaget meski
kedua orang itu memiliki julukan yang cukup bagus.
Julukan mereka tidak mengubah pandangannya. Siluman Gurun Setan tetap angker dan garang.
"Keparat..!" desis salah seorang dari kedua jago
bayaran itu. Golok perak di tangan kanannya segera
dikibaskan. Gerakannya terlihat mantap, menandakan
julukan yang disandangnya bukan nama kosong.
Bwettt..! Kelebatan sinar keperakan itu membuat Siluman
Gurun Setan mendengus kasar. Tokoh itu tidak bergerak sedikit pun. Sosoknya tetap tenang dan angker.
Kelihatan sekali kalau ia memandang rendah kedua
lawannya. "Haaat...!"
Lelaki bertubuh sedang, yang merupakan orang
pertama dari Sepasang Golok Perak, membentak keras!
Tubuhnya melayang dengan kelebatan sinar perak
yang berdesingan tajam. Tokoh itu nampak sangat
bernafsu untuk menghabisi Siluman Gurun Setan, dalam jurus-jurus awal ia langsung mempergunakan ilmu andalannya. Belum lagi serangan orang pertama itu tiba, orang
kedua sudah melesat membantu saudaranya. Golok di
tangan kirinya tidak kalah ampuh! Bahkan sedikit
membingungkan. Karena ia ternyata kidal!
Bwettt....bwettt...!
"Hmmm...."
Siluman Gurun Setan menarik mundur tubuhnya
dua langkah. Sehingga serangan kedua orang itu
hanya mengenai tempat kosong. Kendati demikian, serangan Sepasang Golok Perak terus bersambungan.
Kedua jago itu tidak ingin memberi peluang pada lawan untuk membuka jurus.
"Yiaaah...!"
Setelah lewat lima jurus, Siluman Gurun Setan mulai menunjukkan kemampuannya. Dalam lima jurus
itu ia telah memperhatikan inti ilmu silat lawan yang hanya mengandalkan
kekuatan penyerangan. Sedangkan untuk pertahanan hanya terdapat kelemahan di
sana-sini. Siluman Gurun Setan mencoba menerobos
pertahanan yang tidak terlalu kuat itu.
Bwettt.., bwettt..!
Kendati hanya menggunakan tangan kosong, serangan lelaki tua berwajah buruk itu tidak kalah berbahaya dengan senjata kedua
lawannya. Dari sambaran
angin pukulannya, kelihatan tenaga dalam Siluman
Gurun Setan masih berada di atas lawan-lawannya.
Dan itu dirasakan Sepasang Golok Perak. Mereka tampak kewalahan menghadapi serangan balasan lelaki
tua berjubah putih itu. Kedua orang itu mulai tertekan!
"Keparat..!" umpat orang pertama dari Sepasang Golok Perak. Lelaki bertubuh sedang itu kelihatannya
sangat penasaran ketika merasa sulit untuk melepaskan diri dari tekanan-tekanan lawannya. Bahkan,
beberapa kali pukulan lawan nyaris mengenai tubuhnya. Untunglah ia masih sempat menghindar meskipun dengan susah-payah!
Demikian pula dengan kawannya. Lelaki bertubuh
agak gemuk dengan wajah terhias brewok itu, hanya
bisa menyumpah-nyumpah ketika merasakan gencarnya serangan lawan. Sehingga, gerakan goloknya agak kacau dan sulit berkembang.
Lelaki gemuk itu penasaran bukan main!
"Haaah...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus kedua puluh
lima, Siluman Gurun Setan tiba-tiba membentak nyaring! Berbarengan dengan itu, sepasang kepalan tangannya bersarang di tubuh salah satu lawannya.!
Bukkk! "Hukh...!"
Lelaki bertubuh sedang itu terjungkal ke belakang.
Darah segar menyembur dari mulutnya. Kepalan Siluman Gurun Setan yang menghantam dada telah menyumbat pernapasan lelaki itu untuk beberapa saat
lamanya. Sehingga, ia terdiam sejenak untuk mengatur jalan napas.
"Haiiit..!"
Lelaki gemuk brewok kelihatan sangat geram melihat saudaranya terluka. Golok di tangannya bergerak semakin cepat dan ganas.
Membentuk kilatan sinar
perak yang berpendaran mengurung tubuh lawan.
Siluman Gurun Setan hanya mendengus kasar. Tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan menghindari serangan lawan. Gerakannya yang cepat dan mantap,
membuat sambaran golok lawan sia-sia. Ke manapun
golok itu menyambar, tubuh Siluman Gurun Setan selalu sudah berpindah. Akibatnya, serangan lawan tak satu pun yang menyentuhnya.
Bahkan.... "Haaah...!"
Di saat yang menurutnya sangat tepat, tiba-tiba Siluman Gurun Setan membentak! Kemudian mengirimkan sebuah tendangan berputar yang kuat dan terarah baik!
Desss...! "Aaakh...!"
Tendangan Siluman Gurun Setan telah menghajar
rahang lawan. Akibatnya, tubuh lelaki gemuk itu tersentak melintir! Suara tawa
yang terdengar menandakan tulang rahang lelaki itu kemungkinan besar remuk. "Fhangshaaat..!" Lelaki gemuk brewok itu memaki
kasar. Suaranya terdengar tidak jelas karena tendangan Siluman Gurun Setan telah
merontokkan beberapa buah giginya. Darah segar mengalir tak henti dari mulutnya. Tentu sakitnya
tidak bisa dibayangkan lagi.
"Hm.... Kalau begitu, sebagai gantinya malam ini
aku akan mengirim kalian berdua ke neraka...!" desis Siluman Gurun Setan. Dan
melangkah maju dengan
angkernya. Namun sebelum Siluman Gurun Setan melaksanakan keinginannya, tiba-tiba terdengar suara langkah orang banyak mendatangi
tempat itu. Dan sebelum pa-ra pemilik suara langkah itu muncul, sesosok bayangan hitam telah berkelebat menghadang jalang Siluman Gurun Setan.
"Heaaat..!"
Dalam keadaan masih melayang di udara, sosok
bayangan hitam melontarkan serangan ke arah Siluman Gurun Setan. Sambaran angin pukulannya menunjukkan kekuatan sosok bayangan hitam itu tidak
bisa dipandang remeh!
Wusss...! Siluman Gurun Setan kelihatan agak kaget juga.
Dan cepat bertindak ketika sadar serangan itu sangat berbahaya. Kedua tangannya
diputar di depan dada.
Kemudian didorongkan ke depan menyambut serangan
lawan! Breshhh...! Dua kekuatan hebat saling berbenturan di udara.
Akibatnya, tubuh keduanya terjajar mundur dengan
tanpa luka. Kenyataan itu membuat mereka kaget dan
saling mengagumi kekuatan lawan.
"Legawa..."!" desis Siluman Gurun Setan ketika
mengenali sosok berpakaian serba hitam itu. "Hm....
Kepandaianmu rupanya telah maju pesat selama beberapa tahun belakangan ini...!" lanjut lelaki tinggi kurus tanpa menyembunyikan
kekagumannya. "Hm.... Siapa kau sebenarnya, Manusia Licik" Mengapa memusuhi keluargaku?" tanya lelaki gagah berpakaian serba hitam yang tak lain Ki Legawa, Kepala Desa Bandul. Rupanya dialah
yang telah menyelamatkan nyawa Sepasang Golok Perak.
"Belum saatnya kau tahu siapa aku, Legawa! Yang
jelas, sampai kiamat pun aku tidak sudi membiarkan
kau dan keluargamu hidup tenang!" desis Siluman Gurun Setan yang kelihatan sangat dendam terhadap Ki
Legawa. Perasaan itu tergambar jelas pada sorot matanya yang merah menyala.
"Keparat! Kalau begitu, kau harus segera kulenyapkan!" geram Ki Legawa yang segera mempersiapkan jurusnya untuk menggempur Siluman Gurun
Setan. "Hm.... Belum saatnya kita berhadapan, Legawa.
Kau harus kusiksa sebelum kukirim ke neraka...!" desis Siluman Gurun Setan
menolak bertarung dengan


Pendekar Naga Putih 66 Siluman Gurun Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kepala Desa Bandul. Panggilannya di tempat kediaman Ki Legawa tadi ternyata
hanya sekadar ingin menyiksa hati dan pikiran Kepala Desa Bandul itu.
Ki Legawa tidak bisa menerima begitu saja. Ia tidak
sudi melepas tokoh itu pergi meninggalkan tempat itu.
Ketika melihat Ki Dirja dan para pengawalnya telah berdatangan, Ki Legawa
langsung memberi perintah!
"Dirja! Jangan biarkan manusia keparat itu melarikan diri! Kita harus menangkap hidup-hidup!" teriak Ki Legawa yang sudah
meloloskan sebatang pedang yang
kelihatan sangat ampuh. Lalu bergerak mengejar, melihat Siluman Gurun Setan hendak melarikan diri. Sedangkan Ki Dirja dan para
pengawal sudah mengejar
lebih dahulu. Mereka berlompatan menghadang dan
mengurung lelaki misterius itu.
"Jangan lari kau, Keparat...!" bentak Ki Dirja. Pedangnya diayunkan ke arah Siluman Gurun Setan.
Bwettt..! "Huhhh!"
Tokoh berjubah putih itu mendengus melihat serangan pedang Dirja. Tangan kirinya bergerak memapaki bacokan pedang. Sedangkan tangan kanannya
menyusuli dengan sebuah pukulan keras!
Plakkk! "Uhhh..."!"
Ki Dirja mengeluh kesakitan ketika lengan kanannya membentur lengan lawan yang seperti batang besi.
Dan dalam keadaan terhuyung, ia masih diincar pukulan lawan yang mengandung tenaga dalam kuat!
Wuttt..! "Aihhh..."!"
Siluman Gurun Setan segera menarik serangan, ketika pedang Ki Legawa datang membacok tangannya.
Namun, lagi-lagi tokoh misterius tinggi kurus itu menunjukkan kehebatannya.
Tangan yang ditarik itu
berputar dan meliuk bagai seekor ular. Jari-jari tangannya yang semula mengepal
berubah menjadi cengkeraman. Kemudian meluncur hendak mencekal pergelangan Ki Legawa.
Tapi, gerakan Ki Legawa tidak kalah cepat dan hebat Melihat cengkeraman lawan datang mengancam,
cepat lelaki gagah itu bertindak. Cengkeraman tangan itu tidak bisa diremehkan
begitu saja. Kalau sampai pergelangannya terkena jari-jari lawan, bukan mustahil
tulang-tulangnya akan remuk. Dan Ki Legawa tidak sudi pergelangannya diremukkan
lawan. Maka begitu
bacokannya gagal, pergelangannya segera diputar. Lalu menyambar cepat ke arah
leher lawan. Wettt...! Hebat dan sangat cepat serangan Ki Legawa. Keadaan Siluman Gurun Setan sungguh berbahaya sekali!
"Heaaah...!"
Plakkk! "Uhhh..."!"
Tokoh tinggi kurus berjubah putih itu ternyata masih sanggup menyelamatkan lehernya dari ancaman
pedang lawan. Cengkeramannya berubah, dan menepis
lengan Ki Legawa dengan telapak tangan terbuka. Sehingga, kuda-kuda Ki Legawa tergempur. Tubuh Kepala Desa Bandul itu terjajar mundur beberapa langkah!
Perbuatan Siluman Gurun Setan tidak berhenti
sampai di situ. Kakinya melesat cepat menyusuli tang-kisan barusan dengan sebuah
tendangan kilat lurus ke depan. Dan....
Bukkk! "Ukh...!"
Ki Legawa tak lagi sempat menghindar. Tubuhnya
terjengkang ke belakang, dan terbanting ke tanah. Darah segar meleleh dari sudut
bibirnya. Agaknya, isi dadanya terguncang oleh kerasnya tendangan lawan.
"Keparat..!"
Ki Dirja dan salah seorang dari Sepasang Golok Perak memapaki gusar. Serentak keduanya bergerak dari belakang dan samping Siluman
Gurun Setan! Pedang
di tangan mereka berkelebat mengancam tokoh misterius itu. Tapi....
"Hahhh...!"
Siluman Gurun Setan membentak keras. Tubuhnya
merunduk dengan kuda-kuda rendah. Kemudian mengirimkan sebuah tendangan ke arah Ki Dirja, yang
langsung terjungkal roboh. Lalu berputar setengah
lingkaran. Cengkeraman diulurkan ke leher salah seorang Sepasang Golok Perak,
setelah terlebih dahulu
menepiskan senjata lawan.
Kreppp! "Highhh!"
Lelaki bertubuh sedang itu tak sempat menyelamatkan diri. Ketika Siluman Gurun Setan memperketat cengkeramannya, terdengar suara gemeretak tulang patah. Darah segar
membasahi jari-jari tangan Siluman Gurun Setan. Karena ujung jari-jari tangannya
terbenam dalam daging leher lawan.
"Hihhh!"
Diiringi sebuah bentakan keras, Siluman Gurun Setan mengangkat tubuh lawan dengan satu tangan.
Kemudian melemparkannya, setelah diputar beberapa
kali di atas kepala.
Ngekkk! Tubuh lelaki malang itu jatuh dengan kepala lebih
dulu. Namun karena nyawanya sudah pergi sejak tadi, ia tidak lagi merasakan
sakit. Tubuh berperawakan
sedang itu diam tak bergerak lagi.
"Khfuhunuh khauuu...!" Lelaki gemuk brewok, kawan lelaki malang itu berteriak marah. Meski katakatanya terdengar kurang jelas karena luka di rahangnya sangat parah, ia
menyerbu dengan senjata di tangan. Kematian saudaranya telah membuatnya lupa
akan luka-lukanya.
"Hmh!"
Siluman Gurun Setan mendengus kasar. Sebelum
serangan lawan tiba, ia sudah melesat lebih dulu dengan serangan mautnya.
Bukkk, desss...!
Hebat dan cepat bukan main serangan Siluman Gurun Setan. Sehingga, lawannya tidak sempat menyelamatkan diri. Sebuah tendangan dan pukulan keras
bertubi-tubi mendarat di tubuh lawan. Akibatnya, lelaki gemuk brewok itu terjungkal dalam keadaan
seka- rat! Melihat tubuh lawannya masih bergerak-gerak, Siluman Gurun Setan melenting
ke udara. Kemudian
meluncur turun dengan kedua kaki siap dijejakkan ke tubuh lawan!
Ngekkk! Lelaki gemuk itu terbatuk memuntahkan darah segar. Sepasang matanya mendelik bagai hendak melompat keluar. Sebentar kemudian, ia pun tewas menyusul saudaranya. Siluman Gurun Setan telah membuktikan ucapannya. Setelah mengakhiri hidup Sepasang Golok Perak, Siluman Gurun Setan berpaling ke
arah Ki Legawa dan para pengawalnya.
"Ingat, Legawa! Kematian demi kematian akan datang menimpa seluruh sanak keluargamu...!"
Setelah berkata demikian, Siluman Gurun Setan
melesat pergi. Dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Tinggallah Ki Legawa dan pengawal-pengawal berdiri terpaku memandangi kepergian
tokoh misterius itu.
*** 5 Ki Legawa mondar-mandir di ruang utama tempat
kediamannya. Tangannya digendong di belakang tubuh. Wajah lelaki gagah itu kelihatan keruh, dan
menggambarkan rasa penasaran yang dalam.
Di dalam ruangan utama masih terdapat empat
orang lain. Dua di antaranya Ki Dirja dan Rajulit Wajah-wajah mereka kelihatan
murung, dan sesekali
tampak sedang berpikir keras memecahkan masalah
yang mereka hadapi.
"Keparat! Siapa sebenarnya lelaki buruk rupa yang
mengaku berjuluk Siluman Gurun Setan" Padahal,
nama tokoh itu sudah lama tidak terdengar di kalangan persilatan. Anehnya, ia kelihatan sangat dendam terhadap seluruh sanak
keluargaku. Gila! Benar-benar gila aku dibuatnya...!" geram Ki Legawa sambil
tetap mondar-mondir dengan kedua tangan di belakang tubuh.
Ki Dirja dan para sesepuh desa lainnya, hanya bisa
menundukkan kepala dalam-dalam dengan menghela
napas panjang tanda keresahan hati mereka. Sepertinya, tidak ada satu pun yang dapat diharapkan bisa mencari jalan keluar bagi
masalah yang tengah diha-dapi kepala desanya.
"Cobalah kalian bantu aku berpikir! Jangan diam
saja seperti kambing congek!" karena tidak mendapat sambutan dari para
pembantunya, kemarahan Ki Legawa meledak. Ia membentak keempat orang itu dengan wajah merah padam.
"Kami pun tengah berusaha mencari jalan keluarnya, Ki...," sahut Ki Dirja dengan wajah agak pucat ketika melihat majikannya
sangat marah. "Ki...," laki-laki berusia tiga puluh lima tahun, salah satu dari pembantu Ki
Legawa, membuka suara. Ki Legawa mengalihkan pandang matanya ke arah orang gila. "Kau mempunyai usul untuk mengenyahkan manusia laknat itu, Malingga...?" tanya Ki Legawa dengan sepasang mata penuh harap.
"Hm.... Apakah tidak sebaiknya kita menyewa jagojago persilatan, seperti yang telah kau lakukan...," ujar Malingga mengutarakan
pikirannya. "Benar, Ki. Meskipun Sepasang Golok Perak telah
tewas di tangan Siluman Gurun Setan, tapi masih banyak jago-jago lainnya yang bersedia dibayar untuk
menjaga keselamatan kita...," Ki Dirja langsung menyetujui usul Malingga.
Menurutnya, hanya usul itulah
yang paling tepat saat itu.
"Hmh. Percuma!" tolak Ki Legawa mendengus kasar,
"Kepandaian Siluman Gurun Setan sangat tinggi. Kalian lihat sendiri buktinya, bukan" Kedua jagoan yang kubayar mahal itu ternyata
tidak mempunyai kemampuan. Mereka hanya besar mulut saja!"
Mendengar bantahan Ki Legawa, Ki Dirja dan yang
lainnya terdiam. Kemudian kembali berpikir keras untuk menghadapi ancaman
Siluman Gurun Setan, yang
sewaktu-waktu bisa mencabut nyawa mereka.
"Ah! Aku mempunyai usul yang baik, Ki!" tiba-tiba
Rajulit yang sejak tadi hanya diam mendengarkan,
berseru dengan sepasang mata berbinar.
"Coba katakan!" ujar Ki Legawa cepat. Kendati demikian, lelaki gagah itu kelihatan tidak begitu bersemangat.
"Bagaimana kalau kita panggil guru Sepasang Golok
Perak. Melihat kepandaian Sepasang Golok Perak, aku yakin gurunya seorang tokoh
yang berkepandaian
tinggi!" jelas Rajulit Ki Legawa dan para sesepuh Desa Bandul terlihat agak
kaget Usul Rajulit jelas sangat baik.
"Tapi, apa mungkin guru Sepasang Golok Perak
bersedia kita bayar...?" gumam Ki Legawa yang rupanya menyetujui usul Rajulit. Hanya ia merasa bimbang tokoh itu bersedia membantunya demi uang.
"Kita tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun,
Ki," lanjut Rajulit. Ucapan itu tentu membuat yang
lainnya saling bertukar pandang. Mereka mulai khawatir Rajulit telah terganggu
otaknya karena ancaman Siluman Gurun Setan.
"Apa maksudmu, Rajulit!" bentak Ki Legawa, merasa dipermainkan pembantunya itu. Wajahnya semakin
merah dan sepasang matanya menyorot tajam.
"Aku tidak main-main, Ki," sahut Rajulit seraya
memamerkan senyum. Kelihatan ia sangat yakin dengan jalan pikirannya. Sehingga, merasa bangga ketika tak seorang pun dapat
menebak apa yang akan disampaikannya.
"Kalau begitu, cepat katakan! Apa kau hendak
membuatku marah?" kembali Ki Legawa membentak.
Melihat Rajulit masih belum juga mengutarakan usulnya. "Begini, Ki...," Rajulit melangkah mendekati Ki Legawa. Kemudian berbisik di telinga lelaki gagah itu.
"Ahhh"!"
Ki Legawa terkejut ketika mendengar usul yang dibisikkan Rajulit Kendati demikian, wajahnya yang semula keruh kini tampak
berseri. Jelas ia menerima
usul yang diajukan Rajulit
"Bagaimana, Ki...?" tanya Rajulit menanyakan usulnya. Wajah lelaki tegap itu tampak cerah, ketika melihat raut wajah kepala
desanya sudah berubah cerah
dan berseri. "Kau sungguh hebat, Rajulit. Untuk itu, aku akan
memberikan hadiah padamu...," ujar Ki Legawa tersenyum menepuk-nepuk bahu Rajulit Sehingga, lelaki
tegap itu tertawa gembira.
Tinggallah Ki Dirja dan yang lainnya terbengongbengong. Mereka tidak mengetahui usul Rajulit Terlihat wajah mereka
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 8 Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw Gelang Kemala 7

Cari Blog Ini