Ceritasilat Novel Online

Terjebak Di Perut Bumi 2

Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi Bagian 2


datuk sesat itu.
"He he he he...."
Terdengar gema tawa perlahan yang lembut dari
sosok bertubuh jangkung yang tak lain Petapa Gunung
Kulon. Datuk sesat yang menyembunyikan kekejamannya di balik sifat lembut dan pakaian pertapanya, kelihatannya sama sekali tidak
tersinggung oleh ucapan
Panji. "Pendekar Naga Putih! Orang-orang seperti kami
yang berdiri di barisan golongan sesat, tidak ada lagi kata licik atau sifat
rendah. Bagi kami, semua yang
kami lakukan adalah halal. Jadi, tidak ada gunanya
memancing harga diri kami agar membebaskan gadismu itu. Lebih baik, putuskanlah. Nyawamu, atau nyawa kekasihmu yang jelita itu...," ujar Pertapa Suci dengan suara lembut dan
terkesan penuh kesabaran.
"Bangsat rendah...!" maki Panji sambil bergerak
maju mendekat. Hati pemuda itu merasa geram sekali karena disodorkan pilihan yang sangat sulit.
"Jangan dekat..!" bentak seorang lelaki bertubuh gemuk dan berkepala botak. Pada
telinga kirinya
menggantung anting-anting dari emas. Dan dia langsung memerintahkan dua orang anak buahnya yang
memegang gadis berpakaian hijau itu, untuk menjauh.
"Hm..., Datuk Naga Hitam!" sentak Panji dengan suara garang, "Kau tidak pantas
menjadi seorang datuk kaum sesat, dengan jiwa yang sangat kerdil dan
pengecut!"
"He he he.... Makilah sampai mulutmu berbusa,
Pendekar Naga Putih. Semua ini kaulah yang mencarinya. Beberapa hari yang lalu, kau telah membunuh
saudara seperguruanku di Hutan Sindang. Jadi, sekarang rasakanlah pembalasanku...," sahut Datuk Naga Hitam, kalem. Bahkan makian
Pendekar Naga Putih
malah disambut dengan gelak tawa yang berkepanjangan. "Keparat! Pantas kau tidak jauh berbeda dengan
tokoh gila pemabukan itu! Rupanya kau ingin membalas dendam terhadapku. Tapi, sayangnya hatimu licik dan rendah. Kau tidak berani menghadapiku secara jantan. Sehingga, harus melakukan perbuatan sehina ini!" geram Panji lagi.
Kini, Pendekar Naga Putih mulai mengerti, mengapa Datuk Naga Hitam sampai ingin membunuhnya. Rupanya datuk sesat itu merupakan saudara seperguruan dari Pemabuk Berhati Iblis yang dibunuhnya beberapa hari yang lalu.
"Sudah! Tidak perlu banyak cakap! Cepat kau pilih!
Nyawamu, atau nyawa kekasihmu...! Ku hitung sampai
tiga...!" bentak Datuk Naga Hitam yang tidak ingin
memberi kesempatan kepada Pendekar Naga Putih untuk berpikir lebih jauh.
*** Panji menggeram gusar. Jelas, untuk mengambil
keputusan itu sangat sulit baginya. Sejenak ditatapinya wajah sosok tubuh ramping itu dengan sorot tajam. Seolah-olah ia ingin melihat wajah gadis yang tertutup rambut itu. Sayang,
Kenanga tidak sadarkan diri. Kalau saja sadar, ada kemungkinan gadis itu memberikan pilihan untuk mengambil keputusan. Kini beban itu harus ditanggung sendiri. Sehingga, tentu saja sukar sekali bagi Panji
untuk memutuskannya.
"Dua...! terdengar Datuk Naga Hitam kembali melanjutkan hitungannya.
Pendekar Naga Putih menatap wajah datuk sesat
itu berganti-ganti. Kemudian, tatapannya beralih ke
arah sosok Kenanga. Seolah-olah dia mengharapkan
agar gadis itu sadar dari pingsannya.
"Bawa gadis itu kemari...!" kembali Datuk Naga Hitam memberi perintah ketika
Panji belum juga menjawab. Segera saja kedua orang berseragam hitam itu
membawa sosok Kenanga ke dekat tebing, siap untuk
dijatuhkan ke bawah sungai yang mengalir deras.
"Ti...,"
Tahaan..!"
Cepat Panji berteriak mencegah sambil melesat
hendak mendekati tebing. Namun delapan orang berseragam hitam yang sejak tadi memperhatikannya, segera saja membentuk barisan menghadang Pendekar
Naga Putih agar tidak mendekat.
Tentu saja perbuatan orang-orang berseragam hitam itu membuat Panji jengkel. Bahkan tangannya telah siap terangkat untuk melontarkan pukulan maut.
Melihat Pendekar Naga Putih siap mengamuk, cepat Datuk Naga Hitam memerintahkan untuk melemparkan gadis tawanannya ke dalam sungai. Sehingga, Panji terpaksa menelan kembali kemarahannya. "Bangsat licik...!" umpat Pendekar Naga Putih, diiringi suara berkerotokan
dari jari-jarinya yang mengepal. Pendekar Naga Putih benar-benar dibuat tak berdaya oleh golongan sesat itu, dengan adanya Kenanga
di tangan mereka.
"Sekarang melompatlah ke dalam sungai itu, Pendekar Naga Putih. Jika masih juga membantah, kekasihmu inilah yang akan kulemparkan ke bawah sana!"
Datuk Naga Hitam yang sepertinya merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membantah kembali, segera mendorong tubuh gadis tawanannya semakin dekat ke tepi.
'Tunggu...!" seru Panji dengan wajah merah padam, karena tidak berdaya
menghadapi kelicikan datuk sesat itu. "Baiklah. Aku akan menuruti perintah
kalian, asalkan kekasihku dibebaskan terlebih dahulu."
"Ingat, Pendekar Naga Putih! Bukan kau saja yang berhak mengajukan syarat. Tapi
juga kami. Untuk itu,
kaulah yang harus menuruti perintah kami," timpal Petapa Gunung Kulon.
Sepertinya, datuk sesat yang
satu itu juga sudah tidak sabar melihat kebandelan
Pendekar Naga Putih.
"Hmmmhhh...!"
Panji mengeram gusar mendengar ucapan lawannya. Tidak ada pilihan lain baginya, kecuali menuruti kemauan lawan-lawannya.
"Rupanya, sampai di sinilah akhir petualanganku," gumam Panji dalam hati sambil melangkah ke tepi jurang.
Pendekar Naga Putih semakin melangkah mendekati jurang yang dibelah oleh sungai yang tampak
deras sekali. Langkahnya tampak mantap, penuh kepasrahan pada Yang Maha Pencipta.
"Ingat, manusia-manusia licik! Apabila aku telah tewas dan kalian tidak
membebaskan kekasihku maka
aku bersumpah akan mengejar kalian! Meskipun, aku
sudah berada di alam Iain ...! Aku tidak akan pernah
puas sebelum menghirup darah hitam kalian...!"
Demikian kata-kata terakhir pemuda itu, sehingga
membuat bulu roma para tokoh sesat sampai berdiri,
Jelas nyali mereka terasa ngeri mendengar sumpah
yang dikeluarkan dengan suara dingin dan datar itu.
Datuk-datuk sesat itu sama sekali tidak menjawab
kata-kata Panji. Mereka hanya berdiri menatap pemuda itu, yang kemudian menerjunkan dirinya ke dalam
aliran sungai yang sangat deras.
"Ha ha ha...! Dengan lenyapnya Pendekar Naga Putih, maka tidak akan ada lagi yang berani menghalangi kita...!"
Tawa Datuk Naga Hitam berderai, seiring dengan
melayangnya tubuh Pendekar Naga Putih ke dasar
sungai. Gadis tawanan yang sejak tadi tak sadarkan diri,
terlihat mengangkat kepalanya. Matanya menatap tajam ke arah tubuh Pendekar Naga Putih yang masih
melayang-layang. Sekilas, terlihat senyum dingin
menghiasi wajahnya yang masih tertutup sebagian
rambutnya yang panjang terurai.
Diiringi gelak tawa yang berkepanjangan, gembong-gembong golongan sesat itu pun pergi meninggalkan tepian sungai. Sementara tubuh Pendekar Naga
Putih telah jatuh ke dalam air, dan terus hanyut terbawa arus sungai yang demikian deras.
*** Sementara itu, tubuh Pendekar Naga Putih terus
terseret arus sungai yang mengalir deras. Panji sendiri mencoba menggapai-gapai
untuk mencari pegangan,
namun arus sungai sangatlah kuat. Di samping itu, di
sungai rupanya tidak ada satu pun yang dapat dibuat
pegangan. Apalagi, keadaan sangatlah gelap. Sehingga, Panji bagaikan orang buta
yang menggapai di kegelapan.
Air sungai yang ganas itu terus menyeret tubuh
Pendekar Naga Putih tanpa ampun. Sedangkan pemuda itu sendiri sama sekali tidak berdaya menghadapi keganasan alam, Hingga, akhirnya dia hanya pasrah sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi tubuh agar tidak sampai mengalami luka parah. Meskipun sungai itu dengan ganasnya mengombang-ambingkan dan melemparkan tubuhnya kian
kemari, Panji tetap berusaha sadar. Karena kalau
sampai jatuh pingsan maka kemungkinan untuk hidup
sangatlah tipis.
Entah, sudah berapa lama tubuh pemuda itu dipermainkan air sungai. Yang jelas, Panji merasakan
tubuhnya sangat lelah, dan tenaganya seperti terkuras habis. Sehingga, batu-batu
padas yang bertonjolan di
dinding sungai mulai menggores tubuhnya. Darah pun
mulai mengalir dari luka-luka kecil yang terasakan
sangat perih. Pakaiannya sendiri sudah compangcamping tidak karuan. Hingga akhirnya, pemuda itu
terus terbawa sebuah muara yang terdapat pusaran
maut. Rupanya, pusaran air itulah yang membuat
Lembah Bintang sangat ditakuti. Memang tidak sedikit
tokoh persilatan yang tewas di dalam pusaran maut
itu. Panji yang keadaan tubuhnya sudah semakin melemah, mengeluh ketika tahu kalau tubuhnya terseret
ke dalam pusaran maut itu. Hingga akhirnya, tubuh
pemuda itu tenggelam dan lenyap ke dalam pusaran
maut. Pada saat tubuhnya tersedot ke dalam pusaran
maut, Panji menarik napas dalam-dalam. Karena, disadari, kalau tubuhnya akan tenggelam ke dalam air
yang bagaikan tidak berdasar. Sehingga pada suatu
saat, tubuhnya bagaikan dilemparkan air ke daratan!
Bruuuggg! "Aaakh...!"
Panji menjerit kesakitan ketika tubuhnya membentur benda keras yang dasarnya tidak rata. Karena
tidak sanggup menahan rasa sakit dan rasa lelah, akhirnya Panji jatuh tak sadarkan diri.
Cukup lama tubuh pemuda perkasa itu tergolek
pingsan setelah dipermainkan air sungai yang ganas.
Keadaan sekeliling yang remang-remang, membuat
Panji yang mulai sadarkan diri itu tidak tahu, apakah hari masih malam atau
pagi. Yang jelas, pemuda itu
merasakan seluruh tubuhnya seperti remuk dan sakitsakit. Maka meskipun telah sadarkan diri, pemuda itu
masih belum sanggup untuk bangkit berdiri.
"uh...!"
Panji mengerang ketika mencoba bergerak, sekujur tubuhnya dirasakan sangat linu. Goresan-goresan di seluruh tubuhnya pun menimbulkan rasa perih yang luar biasa. Akhirnya, pemuda itu tidak berusaha bangkit, dan tetap rebah terlentang tanpa bergerak sedikit pun.
Dalam keadaan setengah sadar, Pendekar Naga Putih mencoba mengatur napas dengan maksud memulihkan tenaganya. Hatinya mulai merasa lega ketika
tenaga saktinya mulai bergerak menyebar ke seluruh
tubuhnya. Meskipun tenaga itu belum dapat digunakan untuk membuatnya sanggup berdiri, tapi Pendekar Naga Putih sudah mulai merasa tenang. Perlahan
perhatiannya mulai dialihkan ke sekeliling tempat itu.
"Di manakah sebenarnya aku berada...?" desis Pendekar Naga Putih itu dengan
wajah keheranan. Karena, sekelilingnya hanya terdapat dinding-dinding
berbatu sangat kasar, persis seperti keadaan dinding goa. Merasa belum percaya
akan apa yang dialaminya,
Pendekar Naga Putih kembali memejamkan matanya,
dan mengatur pernafasannya.
*** 6 Begitu kesehatannya terasa sudah hampir pulih,
Panji bergerak bangkit perlahan. Pemuda itu berdiri tegak sambil mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
nya. Sebentar kemudian, tampaklah lapisan kabut
bersinar putih keperakan menyelubungi sekujur tubuhnya. "Hhh...," Panji menarik napas penuh kelegaan.
Dengan wajah yang mulai nampak segar, pemuda
itu merayapi daerah sekitarnya. Namun sejauh matanya memandang, yang terlihat hanyalah dindingdinding batu kasar yang bertonjolan. Lubang-lubang
besar yang terdapat batu-batu runcing di langit-langitnya, membuat Panji sadar
kalau dirinya berada di dalam perut bumi. Selain itu ia merasa hawa lembab
berbau tanah basah, juga menandakan kalau ia berada jauh di bawah tanah.
Masih dengan pikiran tidak menentu, Panji melangkah menyusuri jalan berair dangkal. Satu-satunya
pikiran yang memenuhi benaknya saat itu ialah, mencari jalan keluar untuk mengetahui nasib kekasihnya.
Jalan berair dangkal yang semula disusurinya,
makin lama semakin dalam. Sehingga, Panji meng

Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ambil jalan melalui sebuah gua yang cukup besar. Dataran di dalam gua itu sangat berbeda jauh dengan
yang barusan dilaluinya. Tanah di tempat itu tampak
gembur, seperti mengandung pasir. Meski demikian,
Panji bertekad untuk mengetahui ke mana lorong gua
itu akan membawanya.
"Eh...!?"
Panji menancapkan kakinya kuat-kuat ketika tanah yang dipijaknya terasa bergetar. Semula getaran
itu dikira ditimbulkan oleh gempa. Namun ketika melihat adanya sesuatu yang menyembul dari dalam tanah, sadarlah Panji bahwa makhluk itulah yang telah
membuat tanah di bawahnya bergetar. Cepat pemuda
itu melangkah mundur dengan hati tegang!
"Earrrggghhh. ..I"
Makhluk yang bentuknya sangat aneh dan menyeramkan itu meraung, menatap Panji dengan sepasang mata yang merah menyala. Tubuhnya yang
panjang dan dihiasi gelang-gelang di sepanjang badannya, membuat Panji sempat terbelalak dengan kening berkerut. "Gila! Binatang apa ini...?" desis Panji sambil melangkah mundur.
Makhluk yang bentuknya mirip seekor ular raksasa itu benar-benar mengerikan. Taring-taringnya
yang tajam dengan lendir-lendir di sekitar mulutnya,
membuat Panji hendak berbalik dan lari keluar gua.
Tapi, niat itu ditundanya ketika dari belakangnya
pun mulai bermunculan makhluk-makhluk serupa.
"Aaahhh"!"
Panji kembali terpekik mundur melihat makhlukmakhluk menyeramkan itu terus bermunculan di sekelilingnya. Sadar kalau tidak mempunyai jalan lain untuk keluar kecuali menghadapinya, Panji segera mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' nya. Untunglah
tenaga saktinya telah dapat bekerja kembali dengan
baik. Kalau tidak, rasanya riwayat Pendekar Naga Putih akan berakhir amat mengenaskan!
"Hmmmhhh...!"
Disertai geraman yang menggetarkan langit-langit
gua, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya
ke depan! Serangkum angin dingin yang menusuk tulang, berhembus keras. Tubuhnya pun telah pula terlindungi lapisan kabut bersinar putih keperakan.
Broolll...! Terkejut bukan main hari Pendekar Naga Putih ketika dari bawahnya, tiba-tiba muncul seekor makhluk
yang langsung menggigit kaki kanannya. Cepat pemuda itu bertindak, mengayunkan tangannya dengan gerakan membacok!
"Hiaaahhh...!"
Whuuuttt....! Deeesss...!.
Makhluk yang berupa seekor ular raksasa dengan
tubuh bergelang-gelang itu meraung ketika sisi telapak tangan Panji menghajar
telak lehernya. Namun, Panji
sendiri sangat terkejut merasakan telapak tangannya
bagaikan menghantam sebatang benda kenyal, bagai
bongkahan karet saja.
"Gila! Tubuh makhluk celaka ini ternyata sangat
kuat dan memiliki kekebalan yang aneh...!?" desis Panji sambil melangkah mundur.
Sungguh tidak disangka kalau pukulannya hanya
membuat makhluk itu meraung kesakitan. Padahal
menurut perkiraannya, makhluk aneh itu seharusnya
tewas akibat tebasan telapak tangannya.
Pendekar Naga Putih terus berpikir keras mencari
cara untuk mengalahkan makhluk-makhluk mengerikan itu. Hingga akhirnya, diputuskannya untuk menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', yang memiliki sifat panas.
"Hm..., mengapa tidak?" desis Panji sambil menarik kembali 'Tenaga Sakti
Gerhana' Bulan' nya, "Bukankah makhluk-makhluk celaka ini memiliki tubuh yang
dingin dan kenyal. Satu-satunya jalan untuk melenyapkan hanyalah menggunakan tenaga yang bersifat panas...." Dengan mengandalkan pikiran itu, Panji segera
memancing keluar 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang
tercipta dari Pedang Naga Langit.
"Hhh...!"
Diiringi helaan nafasnya, muncullah sinar kuning
keemasan yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Seketika itu juga, hawa panas pun menebar memenuhi
lorong gua yang luas itu.
"Earrrggghhh...!
Binatang-binatang aneh itu terlihat marah ketika
merasakan adanya hawa panas yang menebar dari tubuh Pendekar Naga Putih. Tanpa memperdulikan kemarahan binatang-binatang itu, Panji segera saja
mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan.
"Heaaahhh...!"
Whuuusss...! Blaaarrr...!
Hebat dan sangat mengerikan sekali akibat dorongan sepasang tangan Panji. Balasan makhlukmakhluk mengerikan itu langsung terlempar seiring
ledakan keras yang meruntuhkan langit-langit gua.
Cepat Panji melompat menghindari batu-batu runcing
yang berjatuhan dari langit-langit gua.
Melihat pukulannya berhasil membuat makhukmakhluk itu hancur berkeping-berkeping, Panji cepat
melesat ke depan meninggalkan gua itu. Kemudian, dia
terus berlari tanpa memperdulikan air yang membasahi hingga ke lututnya.
Entah sudah berapa lama pemuda itu berlari tanpa
henti. Langkahnya baru melambat ketika sudah memasuki tempat yang cukup luas. Cepat ia melompat ke
darat, ketika melihat adanya tanah lembab di tepi aliran air itu.
"Haaaff!?"
Ketika lewat di depan sebuah mulut gua yang lebar, tiba-tiba saja Panji memekik kaget. Cepat Pendekar Naga Putih menancapkan kedua kakinya di atas
tanah hingga melesak melewati mata kaki. Memang
pemuda itu merasakan adanya suatu tenaga aneh
yang menyeretnya ke dalam gua.
"Gila! apa lagi ini...!?" seru Panji membayangkan makhluk-makhluk aneh yang
mungkin akan muncul
kembali entah dalam bentuk apa. .
Tapi, kekuatan aneh itu semakin kuat menarik tubuhnya. Sehingga Panji terpaksa mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya, untuk bertahan. Meski
demikian, karena tanah yang dipijaknya sangat lembab
dan licin, akhirnya tubuhnya terseret ke dalam gua beserta tanah yang memendam
kakinya. "Hi hi hi...!"
Bulu roma di tengkuk Panji meremang ketika telinganya menangkap suara tawa mengikik yang berkepanjangan. "Gila! Makhluk seperti apa lagi yang akan kutemui di dalam perut bumi ini...?"
desis Panji. Akhirnya Pendekar Naga Putih membiarkan tubuhnya tersedot ke dalam gua besar itu. ia hanya
mengimbangi agar tubuhnya tidak sampai terjerunuk
ke depan. *** Kegelapan dan bau tanah lembab menyambut kedatangan Pendekar Naga Putih di dalam gua itu. Namun, tubuhnya terus tersedot hingga ke sebuah ruangan lebar yang agak terang. Panji sendiri tidak menger-ti, apa yang membuat
ruangan lebar itu tidak gelap seperti lorong gua yang baru dilaluinya. Ketika
tenaga yang menyedot tubuhnya terasa telah lenyap, Panji segera mengendurkan tenaganya. Untuk bebe-rapa saat
lamanya, dia seperti merasa silau oleh pantulan cahaya yang berasal dari dinding dan langit-langit gua.
Pancaran sinar kekuningan itu membuat Pendekar
Naga Putih sadar, apa yang terkandung di dalam dinding dan langit-langit gua itu.
"Hi hi hi...! Selamat datang, anak manusia...! Akhirnya ada juga orang yang akan
menemaniku di perut
bumi ini...!"
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika mendengar suara nyaring yang bagai menusuk telinga. Cepat wajahnya menoleh ke arah sumber suara.
Dan..., hampir tidak dipercayainya ketika melihat sesosok tubuh ringkih yang rambut putihnya sudah
hampir tidak tersisa. Satu-satunya yang mem-buat
Panji mengenali kalau sosok itu wanita adalah buah
dada yang menggantung bagai baton kempes di tubuh
sosok tulang terbalut kulit keriput itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya berdiri
bengong menatapi sosok wanita yang sangat tua itu.
Nenek yang entah usianya sudah berapa ratus tahun
itu hanya mengenakan selembar kain usang, menutupi
bagian pinggang hingga ke lututnya. Sedangkan tubuh
bagian atasnya polos tanpa selembar benang pun.
"Hei, mengapa menatap ku seperti itu" Kau mempunyai pikiran jelek, ya" Kau suka dengan tubuhku,
ya" Ayo, jawab! Mengapa kau diam saja" Berbicaralah!
Sudah puluhan tahun aku tidak pernah mendengar
suara manusia di sini. Aku rindu sekali mendengar
suara manusia untuk kuajak bercakap-cakap. Berbicaralah, Anak Muda tampan! Jangan menyiksaku
dengan membisu seperti itu...."
Dari marah, suara nenek itu akhirnya terdengar
memelas. Dia meminta Panji untuk berbicara atau
mengatakan sesuatu agar telinganya bisa mendengar
suara makhluk sejenisnya kembali. Jelas, otak nenek
itu kurang waras.
Sebenarnya Panji merasa geli mendengar nenek itu
menuduhnya mempunyai pikiran jelek dan menyukai
tubuhnya. Tapi, dia tidak berusaha menyinggung perasaan nenek itu dengan senyumnya. Apalagi dengan
tawanya. "Nenek yang baik. Aku tidak tahu, siapa adanya
Nenek. aku berada di sini bukan atas kemauanku sendiri. Tapi, orang-orang jahat di luar sanalah yang
membuatku sampai di tempat celaka ini. Namaku Panji. Kau sendiri siapa, Nek...?" tanya Panji sambil berdiri tegak, karena nenek
itu tengah menghampiri-nya.
"Bodoh! Kau tidak pantas menyebutku Nenek, Pemuda tolol! Panggil aku, Uyut. Karena, usiaku jauh lebih tua daripada nenekmu
yang berada jauh di atas
sana. Dan bukan di luar! Huh! Sial betul aku ini. Dapat teman, ternyata seorang pemuda sinting yang berotak udang!" umpat nenek itu menyalahkan ucapan dan sebutan Panji.
Bahkan tanpa memperdulikan perasaan Panji,
enak saja nenek itu memakinya sebagai pemuda sinting berotak udang. Tentu saja Panji menjadi kaget
mendengarnya. "Sinting...!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih sempat merasa kesal karena
dirinya dimaki sedemikian rupa. Namun dia tidak berani mengucapkannya, karena khawatir tingkah nenek
itu akan semakin menggila. Biar bagaimanapun, ia harus bersyukur dapat bertemu manusia Iain di dalam
perut bumi ini.
"Eh, dasar pemuda sinting! Mengapa kau malah diam" Ayo, panggil aku Uyut! Atau, kau tidak suka kepadaku, ya" Kau ingin minggat, ya" Ingin meninggalkan aku sendirian, ya" Huh! Tidak bisa..., tidak bisa...," dengus nenek
itu sambil menggoyang-goyang-kan tangan dengan kepala menggeleng-geleng keras.
"Celaka ...!" desis Panji.
Sepertinya, nenek gila itu tidak akan membiarkan
Panji pergi dari alam bawah tanah itu. Tentu saja hal itu membuatnya cemas.
"Maaf, Uyut. Aku memang tidak akan pergi dari perut bumi ini. Lagi pula, mana
ada jalan keluar dari Neraka ini" Kalaupun ada, pastilah Uyut tidak akan tinggal
di sini, bukan?" sahut Panji dengan suara yang cukup keras.
Sengaja semua itu dikatakannya untuk memancing
pendapat nenek itu. Dan kalau memang ada jalan keluar, pasti nenek itu akan mengatakannya.
"Bagus, kalau kau tidak akan meninggalkan tempat ini. Tapi jangan dikira tidak ada jalan...eh"! Pasti tidak ada jalan keluar.
Ya, tidak ada jalan keluar!" kata nenek itu berulang-ulang seperti baru
menyadari kalau dirinya telah terpancing untuk me-ngatakan ada ti-daknya jalan
keluar. "Ya, tidak ada jalan keluar. Dan, aku akan terkubur hidup-hidup di sini. Atau, menanti datangnya
kematian tanpa mampu mencegah kejahatan yang berlangsung di atas sana...," desah Panji kembali hendak memancing perhatian nenek
itu tentang kejahatan
yang masih terus berkelanjutan mengotori bumi.
"Kejahatan di atas sana...?" gumam nenek itu termenung sejenak, mengulang ucapan
Panji. "Aku tidak perduli dengan segala manusia yang berada di atas sa-na! Huh!
Selama ini mereka pun tidak perduli dengan
nasibku! Tidak ada seorang pun yang menolong ku!
Aku dibiarkan terkubur hidup-hidup di tempat ini
berteman cacing-cacing raksasa dan makhlukmakhluk lain yang tidak bisa kuajak bicara. Lalu, untuk apa harus memikirkan orang-orang sinting di atas
sana?" Mendadak saja nenek itu berteriak-teriak, seolaholah ingin mengungkapkan perasaan yang selama ini
terpendam di dalam hatinya. Ketika diingatkan Panji,
maka meluncurlah semua rasa ketidakpuasan dan
dendamnya terhadap orang-orang di atas bumi yang
dianggap tidak mau menolongnya.
Panji terdiam tanpa menjawab sepatah pun. Dibiarkannya nenek itu mengungkapkan segala isi hatinya yang selama ini terpendam. la menunggu nenek
itu menyelesaikan segala perasaannya. Panji berharap,
agar perasaan dendam dan tertekan dalam diri nenek
itu dapat tersalur lewat ucapan-ucapannya.
"Uyut..," panggil Panji setelah nenek itu menghentikan ucapan dan tangisnya.


Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa ragu-ragu lagi, dipeluknya tubuh renta itu
penuh rasa iba. Sebab, apa yang selama ini dialami
nenek itu bukan tidak mungkin akan dialaminya juga.
Hanya bedanya, ia kini ditemani nenek itu.
Cukup lama nenek itu menangis di dada Panji.
Sementara Pendekar Naga Putih membiarkannya, dan
membelai-belai punggung nenek itu dengan lembut
"Aaahhh...!"
Mendadak saja, nenek itu menarik tubuhnya dan
menjauh dari Panji. Pemuda itu tetap saja tenang, menanti apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh nenek
penghuni perut bumi itu.
"Uyut..!?"
Panji yang melihat tubuh nenek itu tiba-tiba limbung dan hendak jatuh, segera saja melesat menangkap tubuh renta itu. Sehingga, tubuh kurus yang
hanya tulang terbalut kulit keriput itu tidak sampai
terbanting jatuh.
Perlahan-lahan Panji merebahkan tubuh nenek itu
di atas sebuah batu pipih, tempat semula nenek itu
duduk bersila. Hatinya merasa cemas ketika merasakan denyut jantung yang kian terdengar lemah.
Tentu saja kenyataan itu membuatnya menjadi heran. Sebab, semula nenek itu kelihatan demikian kuat
dan tidak menunjukkan tanda-tanda menderita sakit.
"Pan... ji....Itukah namamu, Cucuku...?" tiba-tiba terdengar suara nenek itu
lemah. Maka bergegas Panji
mendekat "Benar, Uyut. Itulah namaku...," sahut Panji dengan suara sedikit keras, agar
bisa terdengar nenek
itu. "Pan...ji. Kau jangan merasa heran melihat keadaan ku ini. Kalau selama ini
aku kuat bertahan, itu hanya karena tekadku demikian kuat untuk berjumpa
dengan bangsaku. Dan setelah melihatmu, penyakit
tua yang telah lama ku derita ini, kembali kambuh,"
tutur nenek itu dengan suara lirih dan hampir tidak
terdengar. Panji menjadi merasa perlu mendekatkan telinganya agar dapat menangkap jelas setiap kata yang diucapkan nenek itu. Dengan sabar, dinantinya katakata yang akan meluncur dari bibir tua itu.
'Tahukah kau, Panji" Berapa umurku sekarang"
Hampir genap seratus lima puluh tahun! Jadi seratus
tahun lebih aku terkubur di dalam perut bumi ini."
Nenek itu kembali menghentikan ucapannya. Terdengar tarikan nafasnya yang berulang-ulang. Jelas
sekali kalau untuk berbicara pun ia sudah me-rasa
sangat lelah. "Kuatkanlah hatimu, Uyut. Aku akan mencoba
mengobati dan menyembuhkan mu?" ujar Panji yang
tiba-tiba merasa iba, dan memutuskan untuk tinggal
menemani sisa-sisa umur nenek itu.
"Tidak perlu, Cucuku. Ah..., aku bisa melihat bah-wa kau adalah seorang pemuda
jujur dan sangat baik.
Kepandaian yang kau miliki pun sangat tinggi. Jauh
lebih tinggi sebelum aku terlempar ke neraka ini. Tadi pun, aku hampir tidak
sanggup menyeret mu kemari.
Kau harus keluar dari tempat ini, Cucuku. harus!" tegas nenek itu yang kemudian
terbatuk hebat.
Cepat Panji mengurut leher bagian belakang nenek
itu perlahan. 'Tapi..., bagaimana dengan Uyut sendiri" Tidak.
Aku tidak bisa meninggalkan Uyut sendirian di sini.
Biarlah aku tidak usah melihat dunia lagi. Aku akan
tinggal di sini menemani Uyut," jawab Panji tegas.
Meskipun semula hendak keluar dari dalam neraka
bumi itu, tapi hati Pendekar Naga Putih tidak tega melihat nenek itu tinggal
sendiri tanpa ada yang menemani. "Terima kasih, Cucuku. Tapi, umurku hanya tinggal beberapa hari lagi. Dan aku tidak ingin kau mengalami apa yang selama ini
kujalani. Seratus tahun lebih aku harus menekan semua penderitaan ini, akibat
ulah musuhku yang mengalahkan aku dalam sebuah
pertarungan mati-matian. Selama itu, aku telah membuat jalan keluar dengan menggunakan tanganku sendiri. Sayang, ketika aku berhasil membuat jalan keluar itu, umurku kira-kira
sudah seratus empat puluh delapan tahun. Dan aku tidak ingin akan menjadi bahan
ejekan orang kalau aku keluar kelak. Untuk itulah aku menetapkan tinggal di
perut bumi ini sambil menunggu, kalau-kalau akan ada orang yang datang. Setelah
kepergianku yang kurasa tidak lama lagi, pergilah berjalan ke Utara, Cucuku.
Kelak kau akan tiba di sebuah pantai. Nah, dari sanalah kau baru bisa menemukan
dunia luar. Jangan sia-siakan umurmu di tempat celaka ini...," jelas nenek itu.
Namun, kegembiraan Panji sudah lenyap sejak
mengetahui kalau nenek itu ternyata tidak akan berusia lama lagi. Maka iapun memutuskan untuk menemani sisa hidup nenek itu. Karena tanpa nenek itu,
bukan tidak mungkin ia akan tetap tinggal di dalam
perut bumi menanti kematian datang men-jemputnya.
"Biarlah, Uyut. Lupakan tentang jalan keluar itu.
Aku ingin pada saat-saat akhir hidup Uyut, akan ada
seorang yang menemani dan merawat secara baik. Untuk itu, aku akan tinggal di tempat ini dan merawat
Uyut" jawab Panji.
Pendekar Naga Putih terpaksa menundukkan wajahnya, karena tidak ingin kalau nenek itu sempat menangkap adanya binar kekecewaan di matanya.
Cukup lama Panji tertunduk sambil menggenggam
telapak tangan nenek itu. Kesadarannya baru bangkit
setelah merasakan, betapa telapak tangan yang digenggamnya, mulai dingin dan tidak terasa adanya denyutan. "Uyut..," panggil Panji dengan suara cemas.
Namun, nenek itu tetap diam. Dan dia masih terbaring dengan wajah mengukir senyum bahagia.
"Uyut...!"
Dengan suara yang penuh rasa cemas, Panji mengguncangkan tubuh nenek itu. Namun nenek penghuni
perut bumi itu tetap terdiam tanpa menunjukkan tanda-tanda akan terbangun. Sadarlah Panji kalau nenek
itu telah tiada.
"Aaah.... Uyut. Betapa besarnya budimu kepadaku.
Tanpa adanya kau di tempat ini, rasanya aku tidak
mungkin dapat menemukan jalan keluar," desah Panji dengan suara berduka.
Dengan perasaan yang masih tidak menentu, Panji
mengangkat mayat nenek itu. Kemudian dikuburkannya nenek itu di dalam gua.
"Uyut. Maafkan, kalau aku tidak bisa tinggal lebih lama. Setelah kepergianmu,
rasanya aku lebih baik
pergi meninggalkan tempat ini. Aku pamit, Uyut..," desah Panji, duduk di samping
makam nenek penghuni
perut bumi itu.
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu pun melangkah ke arah Utara seperti yang dikatakan nenek
penghuni perut bumi sebelum kematiannya.
*** 7 Setelah berhari-hari menelusuri lorong yang sulit
dan berliku-liku, tibalah Panji di sebuah dinding tebing karang yang menjorok ke
pantai. Debur ombak yang
terdengar dari kejauhan, membuat pemuda itu semakin bersemangat melihat dunia luar kembali. Tidak
berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih tampak
berdiri sambil menarik napas sepuas-puasnya. Ditatapinya air laut yang bagaikan tidak bertepi.
'Ya, Tuhan.... Akhirnya aku bisa juga melihat dunia
kembali...," desah Panji mengucap syukur karena masih bisa keluar dari dalam
perut bumi. Puas menatap laut lepas sambil menghirup udara
segar, Panji mulai mengalihkan perhatiannya ke sekitar tempat itu. Ia melihat kalau dirinya berada di bawah sebuah dinding tebing
setinggi kira-kira se-puluh tombak dari daratan. Segera saja pemuda itu merayap
naik, dengan menanamkan jari-jari tangan-nya ke
dinding tebing. Tentu saja perbuatan itu tidak mudah.
Untunglah tenaga sakti yang dimilikinya sudah demikian tinggi, sehingga Panji bisa tiba di atas daratan berbatu karang.
Pendekar Naga Putih yang terlalu merasa gembira
karena dapat terbebaskan dari kurungan perut bumi,
sama sekali tidak menyadari keadaan dirinya. Pakaiannya yang lebih mirip gelandangan, tidak sempat diingatnya. Rambut dan wajahnya pun tampak kotor bagaikan tidak pernah dibersihkan. Rasanya, kalau saat
itu ia mengaku sebagai Pendekar Naga Putih, orang
pasti akan senantiasa menertawakannya. Memang
keadaan pemuda itu tentu saja sangat jauh berbeda,
sebelum terjebak di dalam perut bumi.
Dengan langkah ringan, Panji mengayunkan kakinya menuju ke arah perkampungan nelayan, yang diduganya pasti tidak jauh dari tempatnya berada saat
itu. Pemuda itu pun sama sekali tidak menyadari betapa tubuhnya telah menyusut dalam beberapa hari.
Sebab, selama berada di dalam perut bumi, dia jarang
sekali menemukan makanan untuk mengisi perutnya.
Kalau beruntung, dalam dua hari barulah ia bisa mendapatkan seekor ikan yang kebetulan tersasar, atau
terjebak di ceruk tanah. Jadi, tidak aneh kalau tubuhnya jauh lebih kurus dari
semula. Ketika memasuki perkampungan nelayan, barulah
Pendekar Naga Putih menyadari keadaannya. Beberapa
gadis-gadis nelayan yang berpapasan dengannya, bergegas menyingkir sambil memijat hidungnya. Sehingga, pemuda itu tersenyum kecut menyaksikan sikap
mereka. Panji yang semula berniat menyingkir untuk membersihkan diri, menahan langkahnya ketika mendengar
jeritan yang diiringi gemuruh derap kaki kuda. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, segera saja tubuhnya
melesat secepat kilat. Kedua kakinya bagaikan tidak
menyentuh permukaan pantai berpasir. Sehingga, beberapa orang nelayan yang tengah berlarian sempat
terjatuh lemas ketika tubuh Pendekar Naga Putih lewat di sampingnya.
"Tolooong...! Tolooong...!"
Terdengar jeritan-jeritan ketakutan yang membuat
suasana semakin bising. Darah pemuda itu mendidih
seketika begitu melihat serombongan orang berkuda
mengenakan seragam serba hitam, tengah menyeretnyeret seorang lelaki tua. Tentu saja lelaki tua itu menjerit-jerit kesakitan
sambil memegangi tali yang menjerat tubuhnya. Sedangkan orang berpakaian hitam
yang berada di atas punggung kuda malah ter-bahakbahak, seperti merasa gembira melihat penderitaan lelaki tua itu. "Biadab...!" desis pemuda itu menggertakkan gi-ginya, menahan geram.
Hati Pendekar Naga Putih semakin terbakar begitu
mengenali kalau para penunggang kuda itu tak lain
adalah gerombolan Naga Hitam! Cepat bagai kilat, tubuh pemuda itu melayang dan langsung melakukan
tamparan keras ke arah wajah si penunggang kuda.
Whuuuttt! Plakkk!
"Aaakkkh...!"
Laki-laki itu tak sempat lagi menghindari Tamparan telak itu tepat menghantam kepalanya. Diiringi
jerit kematian, tubuh penunggang kuda itu terjungkal
dan tewas seketika dengan kepala retak!
Panji sendiri sudah langsung menyambar tubuh
nelayan setengah baya itu, setelah dilepaskan dari ikatan yang membelit
tubuhnya. Kemudian dia lang-sung
melarikannya ke tempat yang aman.
Setelah meletakkan tubuh lelaki setengah tua itu,
Panji kembali melesat ke luar. Sepasang matanya berputar dengan sorot menggetarkan ketika men-dengar
jeritan seorang wanita.
"Biadab...! Rupanya setan-setan keparat itu semakin merajalela ke berbagai tempat!" desis Panji melihat salah seorang anggota
rombongan penunggang
kuda itu tengah berusaha menodai seorang gadis putri
nelayan. Peristiwa yang terjadi di depan sebuah rumah nelayan itu, merupakan satu bukti kalau kelompok kaum
sesat yang semula tak dikenal itu sudah menampakkan diri secara terang-terangan, sejak mereka
menganggap Pendekar Naga Putih telah tewas di Lembah Bintang. Tanpa membuang-buang waktu, Panji kembali melesat ke dekat lelaki yang hendak memperkosa gadis
nelayan itu secara biadab. Begitu tiba, tangannya
langsung mengangkat naik tubuh lelaki itu.
"Heaaahhh!"
Dibarengi bentakan keras, Panji melemparkan tubuh lelaki itu sekuat tenaga!
Braaakkk...! Lemparan Panji yang sekuat tenaga, tentu saja berakibat sangat hebat! Tubuh orang itu melayang deras, dan membentur tiang
penyangga rumah hingga berde-rak patah! Bahkan tubuh orang itu langsung
tertancap di patahan tiang!
"Aaa...!"
Darah segar menyembur seiring jerit kematian yang
melengking merobek udara! Sebentar kemudian, tubuh
lelaki itu pun terkulai tewas.
Tanpa memperdulikan korbannya, Panji kembali
mengamuk menggiriskan! Para penunggang kuda yang
berjumlah dua puluh orang itu beterbangan bagaikan
diamuk badai! Tak satu pun dari mereka yang selamat
dari tangan maut Pendekar Naga Putih! Sehingga dalam waktu sebentar saja, habislah seluruh anggota
pembunuh bayaran Naga Hitam!
Para nelayan beserta keluarganya yang semula
bersembunyi di dalam rumah, bergegas keluar. Mereka
bersorak menyambut kemenangan Panji. Bahkan, gadis-gadis nelayan yang semula menyingkir ketika pe

Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda itu lewat di sampingnya, kini malah berebutan
mengerumuninya.
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum tanpa tahu
harus berkata apa. Perlahan kemudian, tangan pemuda itu terangkat ke atas. Anehnya, isyarat itu langsung membuat teriakanteriakan gembira lenyap. Rupanya penduduk perkampungan nelayan itu sangat
mengagumi pemuda berwajah kotor dengan pakaian
seperti jembel itu.
Pada saat suasana hening itu, tampak dua orang
lelaki gagah menyeruak mendekati Panji. Begitu berhadapan, keduanya langsung membungkuk hormat ke
arah Pendekar Naga Putih.
"Kisanak, kepandaianmu sangat hebat. Kami benar-benar sangat kagum dan berterima kasih kepadamu. Perlu kau tahu, orang-orang yang berpakaian hitam itu adalah kelompok kaum sesat yang saat
ini tengah merajalela tanpa ada yang berani mencegahnya," jelas salah satu dari kedua orang itu tanpa diminta.
Rupanya kedua orang itu sempat melihat sepak
terjang Panji yang menggiriskan, ketika menghadapi
gerombolan pembunuh bayaran Naga Hitam tadi.
"Benar, Kisanak. Melihat kepandaianmu, rasanya
orang seperti kaulah yang selama ini kami cari-cari.
Bersediakah Kisanak bergabung dengan kami untuk
memberantas gerombolan manusia laknat itu...?"
tanya orang bertubuh gemuk pendek dengan sepasang
alis hitam berbentuk golok.
"Sebenarnya kami tengah berusaha menghubungi
seorang pendekar pengelana yang berjuluk Pendekar
Naga Putih. Sayangnya kami mendapat khabar, pendekar muda yang sakti itu telah tewas di tangan Datuk Naga Hitam dan Petapa
Gunung Kulon. Padahal, saat
ini dunia persilatan sangat memerlukan orang seperti
dia...," ujar orang pertama lagi, yang tubuhnya tinggi kurus dengan sepasang
mata cerdik. "Mmm... Kalau kalian melihatku sewaktu membasmi gerombolan sesat itu, mengapa tidak turun tangan untuk mencegah mereka" Apakah kaum golongan
putih telah demikian pengecut hingga membiarkan kejahatan merajalela di mana-mana...?" tukas Panji, me-nyahuti sebelum salah
seorang di antara kedua orang
itu berbicara kembali. Nada ucapan pemuda itu jelasjelas sebuah teguran.
"Maaf, kami berdua datang terlambat," sahut lelaki pendek gemuk dengan nada
bersalah, "Kami terpaksa hanya menyaksikan ketika kau menghabisi manusia-manusia
laknat itu. Selain itu, mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Meskipun
kami berdua tidak takut mati, tapi untuk menghadapi gerombolan itu rasanya tidak akan sanggup," jawab lelaki itu membela diri. "Hm.... Kalau begitu,
mari bawa aku kepada ketua kelompok kalian...," ujar Panji tetap dengan nada
yang datar. Pendekar Naga Putih sengaja tidak memperkenalkan diri sebagai Pendekar Naga Putih, karena ingin
melihat, apakah ada di antara para tokoh golongan putih yang akan mengenalnya dalam keadaan demikian.
"Aaah...! Marilah, Kisanak. Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur,
pasti akan gembira menyambut kedatanganmu...," sambut lelaki tinggi kurus itu
cepat. Kelihatan sekali kalau ia merasa sangat gembira
mendengar pernyataan pemuda yang telah disaksikan
sendiri kesaktiannya.
Sambil melangkah meninggalkan perkampungan
nelayan, Panji meminta agar kedua orang lelaki gagah
itu menceritakan apa-apa yang telah terjadi dalam dunia persilatan.
Kedua orang lelaki gagah itu sendiri nampaknya
sangat bangga bisa menceritakan kepada pemuda itu
tentang peristiwa yang telah membuat golongan putih
kalang kabut. Pendekar Naga Putih sendiri hanya
menganggukkan kepala sambil menoleh ke arah kedua
orang itu berganti-ganti. Memang kedua lelaki gagah
itu bercerita secara bergantian.
*** Panji berhenti sejenak di depan sebuah rumah besar yang terletak di dalam sebuah hutan. Diam-diam
bibirnya tersenyum sendiri. Ingin rasanya pemuda itu
segera bertemu Pendekar Garuda Sakti. Panji bermaksud tidak akan memperkenalkan dirinya, karena
ingin melihat apakah lelaki gagah yang pernah berjumpa dengannya di Desa Jipang masih dapat mengenali dirinya yang telah berubah ini.
"Mari, Kisanak...!"
Lamunan Panji tentang pertemuan pertamanya
dengan Pendekar Garuda Sakti buyar, ketika lelaki gagah bertubuh pendek gemuk itu mempersilakannya
masuk. Segera saja pemuda itu melangkah mengikutinya. Kening pemuda itu sempat berkerut melihat banyaknya tokoh persilatan yang telah berkumpul di
tempat itu. Melihat semua itu, Pendekar Naga Putih
mulai dapat meraba kejadian yang melanda negeri itu
semenjak dirinya lenyap di dalam perut bumi.
"Selamat datang di tempat ini, Kisanak...," sapa seorang lelaki gagah berusia
sekitar lima puluh tahun lebih yang duduk di kursi terbuat dari kayu tebal.
Lelaki gagah itu segera bangkit diiringi orang di sebelah kanannya. Meskipun
telah berumur, namun orang itu
terlihat masih tampan dan segar. Kedua orang itu
membungkuk hormat ke arah Panji yang segera membalasnya. 'Terima kasih atas kesediaan kalian menerimaku...," sahut Panji menyembunyikan senyumnya.
Ternyata lelaki gagah yang dikenali sebagai Pendekar Garuda Sakti itu sama sekali tidak mengenalinya. Hanya saja, lelaki gagah yang dikenal Panji bernama Gumang itu seperti menatapnya penuh selidik.
Tapi, Panji berpura-pura bodoh.
"Kami telah mendengar laporan tentang dirimu, Kisanak. Syukurlah kau bersedia
membantu kami. Karena pada saat-saat seperti ini, kami memang sangat
membutuhkan orang-orang pandai untuk menanggulangi kaum sesat yang semakin merajalela.
"Oh.... Inikah pemuda yang telah membantai habis orang-orang biadab itu...?"
Tiba-tiba terdengar suara bening dan merdu yang
membuat wajah Panji agak pucat. Karena dikenalinya
betul suara merdu itu.
Panji yang menoleh ke arah asal suara itu, menjadi berdebar tegang. Ditahannya keinginan untuk menyebut nama seorang dara jelita berpakaian serba hijau, yang tengah berdiri menatapnya dengan wajah tegang. "Kau... ah...! Kau Kakang Panji...!?"
Tiba-tiba saja, sebelum Panji sempat menyebutkan
nama seorang dara jelita, gadis itu sudah keburu
menghambur ke dalam pelukan Panji. Gadis yang tak
lain dari Kenanga itu tampaknya dapat mengenal Panji, bagaimanapun rupa kekasihnya saat itu.
"Kakang...!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Kenanga langsung memeluk
tubuh pemuda berpakaian gembel itu erat-erat. Terdengar ledakan tangisnya yang tidak bias dibendung.
"Kenanga...,"
Akhirnya keluar juga suara itu dari mulut Panji.
Pemuda itu memeluk tubuh kekasihnya penuh kerinduan. Mereka sama sekali lupa kalau saat itu banyak orang di sekeliling yang memandang bingung.
"Kakang, ke mana saja kau selama ini" Apa yang
telah terjadi denganmu" Menurut khabar yang kudengar, kau telah tewas di dalam Lembah Bintang. Lalu, mengapa kau tiba-tiba muncul dalam keadaan seperti ini...?" Kenanga langsung memberondong kekasihnya dengan pertanyaanpertanyaan, begitu mereka
saling melepaskan rangkulan.
Mendengar pertanyaan kekasihnya, tentu saja Panji menjadi heran. Tapi Pendekar Naga Putih segera
mengerti. Dia ingat ketika disuruh memilih oleh datuk-datuk sesat itu, Kenanga
tengah tak sadarkan diri. Ja-di wajar saja kalau gadis itu tidak tahu.
"Hm.... Syukurlah Datuk Naga Hitam dan Petapa
Gunung Kulon memenuhi janjinya untuk membebaskan mu. Saat itu, kau tengah pingsan dalam tawanan mereka dan...,"
"Aku pingsan..." Ditawan mereka..." Apa maksud
mu, Kakang" Aku sama sekali tidak pernah ter-tawan
mereka. Karena, saat aku dikeroyok sewaktu di penginapan Desa Jipang, ada Pendekar Gunung Batur yang
kebetulan menyelamatkanku. Karena saat itu aku jatuh pingsan akibat racun mereka, maka Pen-dekar
Gunung Batur membawaku ke tempat tinggal-nya. Jadi, aku sama sekali tidak tertawan seperti katamu itu,"
sergah Kenanga.
"Hm..., aku ingat sekarang. Pantas saja kedua iblis itu tidak memperlihatkan
secara jelas gadis yang dita-wannya. Gadis itu rupanya sengaja diberi pakaian
hi- jau yang serupa dengan pakaianmu. Rambutnya yang
panjang ditutupi ke wajahnya. Bangsat! kalau begitu
aku telah tertipu mentah-mentah!" geram Panji.
Panji langsung teringat saat mendekati gadis tawanan berpakaian serba hijau itu, Datuk Naga Hitam dan
kawan-kawannya selalu mencegah dan berusaha agar
tidak sampai melihat jelas wajah gadis yang dikiranya sebagai Kenanga.
"Untunglah kau selamat, Pendekar Naga Putih. Sejak pertama kali kau datang tadi, aku sudah me-rasa
curiga. Tapi, aku tidak yakin kalau itu adalah kau. Sebab, tak seorang pun yang
pernah selamat dari pusaran maut di muara sungai Lembah Bintang. Syukurlah
Tuhan masih melindungimu dan kita semua." Pendekar Garuda Sakti yang memang pernah mengenal pemuda itu, segera saja menya-huti.
Tentu saja kedatangan pemuda yang ternyata Pendekar Naga Putih itu, disambut meriah tokoh-tokoh
persilatan yang tergabung di bawah pimpinan Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur.
'Terima kasih, Gumang. Dan aku pun telah mendengar semua dari dua orang tokoh yang mengajakku
ke mari tadi. Rasanya, memang sudah saatnya kejahatan manusia-manusia sesat itu kita berantas...,"
ucap Panji yang masih tak lepas dari pelukan Kenanga. Sepertinya gadis jelita itu sama sekali tidak peduli, meskipun tubuh
kekasihnya mengeluarkan bau tak
sedap saat itu. Semua itu lenyap ditelan kerinduan
dan rasa cintanya yang mendalam.
"Kalau begitu, kita harus menyusun rencana untuk menghancurkan Datuk Naga Hitam
dan begundal-begundalnya...," ujar Pendekar Naga Putih lagi.
"Rasanya, kita tidak perlu menyatroni mereka,
Pendekar Naga Putih. Menurut beberapa orang tokoh
yang menyelidiki kegiatan gerombolan pembunuh
bayaran Naga Hitam, mereka melihat adanya dua
orang anggota gerombolan itu yang sempat melarikan
diri pada waktu kau memberantas kawan-kawannya di
perkampungan nelayan. Jadi menurut perkiraan ku,
mereka sendirilah yang akan datang ke tempat kita
ini," jelas Pendekar Garuda Sakti.
"Kalau begitu, kita hanya tinggal menunggu mereka saja. Hm..., apakah kau sudah mempersiapkan penyambutan untuk mereka, Gumang?" tanya Panji dengan sorot mata kagum.
Pemuda itu merasa agak bersalah, karena sempat
mencurigai Gumang pada waktu di Desa Jipang. Tapi
kini Panji tahu, lelaki gagah itu memang merupakan
seorang pendekar yang pantas dikagumi. Terbukti, ia
dapat menyatukan tokoh-tokoh persilatan yang dimusuhi kelompok kaum sesat Naga Hitam.
'Tentu saja aku sudah mempersiapkannya dengan
baik, Panji. Hanya satu hal yang ku takutkan...," Gumang tidak segera
menyelesaikan kalimatnya. Sepertinya, ia hendak melihat sambutan Pendekar Naga Putih. "Oh, ya. Tentu saja aku akan bersiap untuk itu...,"
sahut Panji. Pendekar Naga Putih segera saja mengetahui, kalau
yang dimaksudkan Pendekar Garuda Sakti adalah kehadiran dua datuk sesat yang memang tidak mungkin
dapat ditandingi oleh Gumang maupun Pendekar Gunung Batur. Tentu saja Panji mengerti.
"Hm..., Kalau begitu, bagaimana apabila kau membersihkan tubuhmu dulu, Kakang" Menurutku, kau
pasti tidak pernah membersihkan tubuhmu sejak lenyap ditelan pusaran maut Lembah Bintang," Kenanga mengingatkan.
Gadis jelita itu menutup hidungnya untuk menggoda Panji. Semua itu jelas dari pancaran matanya
yang berbinar. "Hm.... Tapi kau tetap suka kan...," bisik Panji yang tentu saja hanya bisa
didengar oleh gadis jelita itu. Kenanga sendiri hanya tersenyum mendengar ucapan
Panji. Setelah berpamitan kepada Gumang dan Pendekar
Gunung Batur, Kenanga pun mengantarkan pemuda
itu untuk membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. *** 8 Saat itu, senja baru menampakkan kekuasaannya. Semburat cahaya kemerahan tampak menghias
kaki langit sebelah Barat. Hembusan angin bersilir
lembut, bagai elusan tangan bidadari.
Di tengah siraman senja, bangunan tua yang menjadi tempat tinggal tokoh persilatan, tampak sunyi.
Hanya satu dua orang yang terlihat hilir-mudik dengan senjata di pinggang. Sikap
mereka tampak sedikit tegang, karena menurut perhitungan Pendekar Garuda
Sakti kemungkinan malam atau senja hari itu pihak
golongan sesat akan mendatangi mereka.
Sedangkan di bagian dalam bangunan tua yang
terletak di sebelah Timur Hutan Bajang, tampak bebe

Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rapa orang berkumpul mengelilingi sebuah meja bulat.
Sepertinya, mereka tengah merencanakan untuk mengatur siasat dan pembagian tugas dalam meng-hadapi
musuh yang akan menyerang.
"Jika Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon
memang akan muncul, biarlah jadi bagian Pendekar
Naga Putih. Kita harus mengakui, kalau tidak mungkin
sanggup menghadapi kedua datuk sesat itu, kecuali
Pendekar Naga Putih. Justru karena adanya saudara
kita. Pendekar Naga Putih-lah, maka aku berani menanggung akibatnya untuk menghadapi mereka. Kalau
tidak, mungkin aku akan mengajak kalian semua untuk mengungsi, seperti yang selama ini kita laku-kan.
Rasanya, sekaranglah saatnya bagi golongan putih untuk bangkit!" kata Pendekar Garuda Sakti penuh semangat.
Tokoh lainnya hanya menganggukkan kepala tanda
setuju. Karena, apa yang dikatakan lelaki gagah itu
memang tidak berlebihan. Dan mereka semua tahu
akan hal itu. Pendekar Garuda Sakti menatapi rekan-rekannya,
seolah menunggu pendapat dari tokoh lainnya. Setelah
beberapa saat tidak ada yang angkat suara, lelaki gagah itu pun melanjutkan ucapannya.
"Kalau begitu, pertemuan ini kututup. Sebagaimana yang telah kita bicarakan tadi, semua harus siaga di tempat masing-masing. Tidak ada seorang pun
yang boleh bergerak, sebelum mendengar tanda dariku. Kurasa cukup sekian...."
Setelah berkata demikian, Pendekar Garuda Sakti
bangkit dari duduknya diikuti para tokoh lain. Satu
persatu mereka meninggalkan ruang pertemuan untuk
melaksanakan apa yang barusan dibicarakan.
Baru saja Pendekar Garuda Sakti membubarkan
pertemuan itu, mendadak dari depan telah terdengar
suara ribut-ribut. Segera saja para tokoh itu berlompatan keluar dengan senjata
di tangan. Rupanya, perhitungan mereka meleset! Padahal dugaan se-belumnya
musuh akan menyerang saat malam datang.
"Aku pergi dulu...,"
Panji yang memang tidak ikut bergabung dengan
para tokoh persilatan lain, segera saja berpamitan. Belum lagi gaung suaranya
hilang, tubuhnya telah lenyap seperti asap tertiup angin.
Setelah tubuh Pendekar Naga Putih lenyap, Pendekar Garuda Sakti, Pendekar Gunung Batur, Kenanga, serta para tokoh lainnya segera saja berlari
menuju gerbang depan. Di tangan mereka telah tergenggam senjata terhunus.
Begitu tiba di gerbang depan, para tokoh itu langsung saja menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran yang telah ramai berkobar. Meskipun rencana
mereka ternyata berantakan, namun para tokoh persilatan itu tetap berjuang gigih! Tidak ada lagi rasa takut dalam hati mereka.
Yang terpikirkan saat itu hanyalah mengusir musuh secepatnya, atau membunuh
lawan sebanyak-banyaknya.
Pendekar Garuda Sakti sendiri sudah menghadapi
seorang lelaki bertubuh gemuk yang wajahnya terlindung kain hitam. Melihat betapa laki-laki gemuk itu banyak menewaskan rekanrekannya, langsung saja
Pendekar Garuda Sakti menggempurnya dengan pedang telanjang!
"Hiaaattt..!"
Dibarengi sebuah teriakan keras, Gumang yang
berjuluk si Pendekar Garuda Sakti mengibaskan senjatanya, memapak sambaran pedang lelaki gemuk itu
yang hendak mencelakakan salah seorang rekan-nya.
Sehingga, lelaki gemuk itu membatalkan sera-ngan,
dan memutar senjatanya menyambut serangan Gumang. Sebentar saja, mereka segera terlibat dalam sebuah pertarungan sengit!
Gumang yang telah menyaksikan kehebatan lawan,
segera saja mengerahkan seluruh kepandaian untuk
menundukkan lawan secepat mungkin.
Beeettt! Beeettt!
Senjata yang berupa golok besar di tangan lelaki
gagah berkumis tebal itu berputar dan meliuk-liuk cepat. Tidak percuma Gumang mendapat julukan sebagai Pendekar Garuda Sakti. Hal ini terbukti dari gempuran-gempurannya yang cepat dan kuat laksana
amukan seekor garuda yang sedang marah!
Tapi, lelaki gemuk berseragam hitam itu pun ternyata bukan orang lemah. Senjata di tangannya yang
berupa sebilah pedang lemas, mengaung-ngaung mengincar tubuh lawan. Gerakannya pun tak kalah cepat
dibanding Gumang. Apalagi, senjata yang digunakannya dapat pula digunakan untuk melibat. Sehingga,
pertarungan di antara kedua orang tokoh itu pun berlangsung seru dan terlihat seimbang!
Di tempat lain, Kenanga juga mendapat seorang
lawan yang cukup tangguh. Wanita cantik berambut
panjang yang menjadi lawannya, ternyata seorang tokoh berilmu tinggi. Julukannya cukup membuat orang
gentar. Yakni, Peri Sungai Alur!
Sayangnya yang kali ini dihadapi Peri Sungai Alur
tidak dapat disamakan dengan lawan-lawannya yang
terdahulu, Sebelum bertemu dengan Pendekar Naga
Putih pun, Kenanga merupakan seorang gadis yang
sulit dicari tandingannya. Baik dalam ilmu silat maupun kejelitaannya. Apalagi, setelah bertemu dan melakukan petualangan bersama Pendekar Naga Putih.
Tentu saja kepandaian yang dimilikinya pun maju pesat. Dalam menghadapi Peri Sungai Alur, Kenanga yang
menggunakan Pedang Sinar Bulan, mulai mendesak
lawannya melalui jurus-jurus andalan. Bahkan dalam
kesempatan itu, dicobanya menggunakan ilmu 'Pedang
Naga Sakti' yang diajarkan kekasihnya.
Kehebatan ilmu 'Pedang Naga Sakti', tentu saja tidak dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu pedang lain
yang ada di kolong langit ini. Meskipun Kenanga baru
mempelajarinya beberapa jurus, namun kehebatannya
tampak jelas. Terbukti, Peri Sungai Alur tampak kelabakan menghadapi serangan gadis jelita itu. Sehingga dalam tiga puluh jurus saja, Peri Sungai Alur
hanya bisa bermain mundur tanpa mampu melancarkan serangan balasan.
"Yiaaattt..!"
Kenanga kembali mengeluarkan bentakan nyaring,
disertai tusukan pedangnya yang mengaung tajam! Kilatan sinar putih yang berpendar dari badan pedang,
membuat Peri Sungai Alur semakin kewalahan!
"Aaahhh...!"
Peri Sungai Alur memekik tertahan ketika hampir
saja pedang lawan menggores lengan atasnya. Untunglah tubuhnya sempat dimiringkan, sehingga pedang itu
lewat dua jari dari sasarannya.
Tapi, Kenanga rupanya jauh lebih cerdik dari lawan. Begitu tusukannya luput, cepat pedangnya ditarik pulang dengan geseran ke arah sasaran. Dan...
Breeettt..! "Aaakh...!"
Mata pedang Kenanga langsung menggores pangkal
lengan Peri Sungai Alur yang tak sempat lagi menghindar. Tubuh wanita cantik itu terjajar limbung beberapa langkah ke samping.
Dan Kenanga tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Cepat tubuhnya
melesat dengan jurus 'Bidadari Menabur Bunga'.
"Yeaaattt...!"
Sinar putih keperakan yang bergulung-gulung itu
tentu saja membuat Peri Sungai Alur menjadi gugup
bukan main! Akibatnya, ia tidak sanggup lagi menghindari gulungan sinar pedang gadis jelita yang menja-di lawannya.
Breeettt! Breeettt!
"Aaa...!"
Peri Sungai Alur meraung keras ketika gulungan
sinar putih keperakan yang ditimbulkan Pedang Sinar
Bulan di tangan Kenanga merobek-robek tubuhnya!
Darah segar kontan menyembur dari beberapa luka
berlubang di tubuh wanita cantik pengikut Datuk Naga
Hitam. Kenanga menatap tajam tubuh lawannya yang terbanting berlumuran darah. Setelah yakin kalau Peri
Sungai Alur tidak bernyawa lagi, gadis itu pun segera berpindah ke arena lain
untuk membantu rekan-rekannya
*** Setelah berpamitan kepada kawan-kawannya, Panji
segera bergerak menuju ke luar bangunan. Kemudian,
terus melesat ke arah samping dan terus ke depan. Ketika melihat beberapa orang berpakaian serba hitam
hendak menghadangnya, Pendekar Naga Putih langsung merobohkan lawan-lawannya dengan pukulanpukulan maut Enam orang berseragam hitam yang bernasib sial
langsung saja beterbangan bagaikan lalat menghampiri
pelita. Mereka tewas seketika akibat pukulan maut
yang dilontarkan Pendekar Naga Putih. Kemudian,
Panji terus melesat ke depan.
Pendekar Naga Putih baru menghentikan larinya
ketika dari kejauhan terlihat dua sosok tubuh yang tidak mungkin dapat
dilupakannya. Mereka tak lain
adalah Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon.
Rupanya, mereka hanya menyaksikan para pengikutnya yang tengah bertarung melawan tokoh-tokoh golongan putih. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dikerahkannya 'Ilmu Mengirim Suara Dari Jauh'
kepada kedua orang tokoh sesat itu.
"Hei, badut-badut konyol! Tidakkah kalian ingin
ikut meramaikan suasana denganku...?"
Suara bisikan Panji ternyata terdengar jelas di telinga kedua orang gembong kaum sesat itu.
Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon, segera saja menoleh dengan wajah terkejut. Hati mereka
semakin berdebar tegang saat melihat sesosok tubuh
berjubah putih, tengah berdiri menatap mereka dari jarak sepuluh tombak di
belakang. "Pendekar Naga Putih..."!" desis Datuk Naga Hitam dengan suara agak bergetar.
Jelas sekali kalau tokoh sesat bertubuh gemuk itu
terkejut melihat sosok Panji. Padahal setahunya pemuda itu telah tewas di dalam pusaran maut.
"Mustahil..."! Pasti ada orang yang hendak menakut-nakuti kita...," terdengar
suara Petapa Gunung Kulon yang hampir-hampir tidak terdengar.
Tokoh sesat bertubuh jangkung itu menelan ludahnya yang terasa pahit dan kering. Rupanya tokoh
yang ukuran tubuhnya melebihi manusia biasa itu merasa gentar melihat sosok Pendekar Naga Putih.
Tapi walaupun hati agak berdebar, kedua datuk
sesat itu melangkah juga menghampiri sosok Pendekar Naga Putih. Mereka mencoba meyakini, kalaukalau itu adalah orang lain yang menyamar sebagai
Pendekar Naga Putih. Padahal menurut mereka, Pendekar Naga Putih telah tewas kurang lebih sebulan
yang lalu. Dan, mereka pun menyaksikannya dengan
mata kepala sendiri.
"Hm.... Kalian terkejut melihatku, Badut-badut konyol...?" tegur Panji begitu
kedua orang gembong kaum sesat itu datang mendekat.
"Haaahhh..."!"
Baik Datuk Naga Hitam maupun Petapa Gunung
Kulon sama-sama terbelalak kaget, tak ubahnya melihat hantu di siang bolong! Mereka terpaku menatap
sosok Pendekar Naga Putih yang tersenyum membalas
tatapan kedua gembong kaum sesat itu.
"Kau.... Kau, Pendekar Naga Putih...! Bagaimana
kau bisa selamat dari pusaran maut itu...?" desis Datuk Naga Hitam, setengah tak
percaya dengan keberadaan pemuda di depannya.
"Mustahil...! Kau pasti orang lain yang sengaja menyamar sebagai Pendekar Naga
Putih untuk me-nakuti
kami. Hm.... Kau tahu, Kisanak. Tidak satu makhluk
pun yang dapat selamat dari pusaran maut itu...," kata Petapa Gunung Kulon
sambil meyakinkan hatinya
bahwa pemuda itu bukanlah Pendekar Naga Putih.
Apalagi, sosok tubuh Panji sekarang memang lebih kurus dari semula.
"Hm.... Aku tidak perduli pendapat kalian, Manusia-manusia keji! Yang penting, sekarang kedatangan ku untuk membunuh kalian. Hhh...! Kalian berdua telah membuat kesalahan besar yang tidak mungkin dapat ku maafkan. Malah, kehadiran kalian di muka bumi ini hanya membuat orang-orang lain celaka.
Jadi, tidak perlu banyak bicara lagi. Sebaik-nya, ber-siaplah menerima hukuman!"
ujar Panji de-ngan tekanan nada datar dan dingin. Sorot matanya juga tampak berkilat menatap kedua orang lawannya.
"Setan! Siapa pun adanya kau, Datuk Naga Hitam
tidak takut! Dan kaulah yang akan kukirim ke neraka...!" Sambil berkata demikian, Datuk Naga Hitam mencabut keluar sebuah pedang berwarna hitam yang jelas
mengandung racun mematikan. Kemudian pedang itu
dilintangkan di depan dadanya, siap untuk bertarung.
Begitu pula sikap yang diambil Petapa Gunung Kulon. Tokoh sesat bertubuh tinggi luar biasa itu meloloskan tasbih yang selalu
menghias lehernya. Jangan
dipandang ringan senjata itu. Meskipun ha-nya terdiri dari kayu, namun telah
direndam dalam ramuan khusus. Sehingga, kayu-kayu bulat sebesar kelereng itu
menjadi sekeras besi.
Melihat kedua orang lawan sudah saling mengeluarkan senjata, Pendekar Naga Putih memejamkan
matanya sejenak, untuk memusatkan tenaga batinnya.
Sekejap kemudian, terciptalah sebatang pedang bersinar kekuningan di tangan kanannya.
"Nah, mulailah...," desis Panji tanpa mempedulikan keterkejutan lawan-lawannya.


Pendekar Naga Putih 42 Terjebak Di Perut Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung
Kulon melihat kapan tangan pemuda itu bergerak
mencabut senjata.
"Heaaahhh...!"
Tanpa mempedulikan dari mana pemuda itu memperoleh pedang, Datuk Naga Hitam segera saja memulai serangan diiringi sebuah teriakan nyaring! Tubuh lelaki gemuk berusia sekitar lima puluh lima tahun lebih itu segera melesat disertai putaran pedangnya yang mengaung bagai
ratusan lebah marah!
Bersamaan dengan itu, Petapa Gunung Kulon tidak
mau telah dengan rekannya. Tokoh bertubuh tinggi
luar biasa itu bergerak dengan langkah-langkah panjang, mendekati Pendekar Naga Putih. Tasbih di tangannya berputaran, menyambar-nyambar menimbulkan suara yang menyakitkan telinga. Jelas tenaga
sakti kedua orang tokoh itu tidak bisa dipandang ringan. Tapi, Panji tidak mau berdiam diri menanti datangnya serangan kedua orang datuk sesat itu. Cepat
bagai kilat, pemuda itu melesat memapak serangan
pedang Datuk Naga Hitam. Pendekar Naga Putih sama
sekali tidak merasa gentar dengan racun ganas di badan pedang lawan. Karena, Pedang Naga Langitnya
sendiri adalah sebuah senjata langka yang dapat memusnahkan segala macam jenis racun.
"Yeaaattt..!"
Diiringi pekikan mengguntur, Pendekar Naga Putih
memutar senjatanya dengan jurus ilmu 'Pedang Naga
Sakti'nya. Langsung saja cahaya kekuningan berpendar menyilaukan mata. Sebentar saja pertarungan antara tokoh-tokoh sakti dunia persilatan itu berlangsung mendebarkan!
Ketiga orang tokoh menggiriskan itu saling terjang
dengan dahsyatnya! Sehingga, tubuh mereka tidak lagi
dapat terlihat mata. Mereka hanya merupakan tiga sosok bayangan yang saling desak dan saling libat!
Debu dan bebatuan yang berada di sekitar arena
pertempuran ketiga tokoh sakti itu, berpentalan ke segala arah, karena terkena
sepakan dan angin sambaran senjata. Bahkan, saking hebatnya sambaran serta
gerakan kaki mereka, batu-batu yang terpental jauh,
langsung mengenai tubuh orang-orang yang bertempur di arena lain. Padahal, jarak antara pertempuran ketiga orang tokoh itu dengan pertempuran lain
terpisah sekitar delapan tombak. Maka dapat dibayangkan, betapa mengerikannya pertarungan tokohtokoh sakti itu.
Beberapa orang tokoh persilatan yang tengah bertarung melawan kelompok Naga Hitam, tiba-tiba terpental roboh akibat batu sebesar kepalan tangan yang
mampir ke tubuh dan kepala mereka. Tidak sedikit di
antaranya yang terluka mengalirkan darah. Tentu saja, kejadian itu membuat yang
lain bergegas lari menjauh, agar tidak terkena batu-batu nyasar.
"Hiaaattt..!"
Ketika pertarungan itu telah lewat dari enam puluh
jurus, tiba-tiba saja Datuk Naga Hitam memekik nyaring dan menggetarkan! Orang-orang yang tidak terlalu
tinggi tenaga dalamnya, langsung roboh sambil menekap kedua telinga. Padahal, mereka berada se-puluh
tombak lebih dari ketiga tokoh itu. Maka dapat dibayangkan, betapa mengerikannya akibat pekikan Datuk Naga Hitam!
Tapi bagi Panji sendiri, pekikan itu tidak terlalu berarti. Tubuhnya yang
terselimut lapisan kabut bersinar putih keperakan, tentu saja tidak bisa ditembus pekikan yang bagaimanapun
kerasnya. Walaupun begitu, Pendekar Naga Putih tidak memandang enteng serangan yang dilancarkan Datuk
Naga Hitam. Maka seiring pekikan dahsyat dari lawan,
tubuh pemuda itu segera bergeser dengan lompatan
pendek. Sehingga sambaran pedang lawan hanya menembus angin kosong saja. Dan begitu senjata lawan
lewat, segera saja dilontarkan serangan balasan dengan kecepatan sukar diikuti mata.
Syuuuttt..! Terdengar suara berdecit tajam mengiringi luncuran sinar kuning yang berasal dari pedang Pendekar
Naga Putih! "Aaa...!?"
Datuk Naga Hitam memekik tertahan ketika pedang di tangan Panji meluruk deras ke arah jantungnya. Tanpa pikir panjang lagi, tokoh sesat bertubuh
gemuk itu langsung melempar tubuhnya ke belakang,
dan terus berjumpalitan beberapa kali untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Pendekar Naga Putih yang hendak menyusuli serangannya yang gagal itu, terpaksa menundanya ketika mendengar dengungan tajam dari arah kanan. Cepat tubuhnya menunduk, menghindari sambaran bijibiji tasbih yang mungkin bisa meremukkan kepalanya. Kemudian, tubuh pemuda itu berputar secepat kilat disertai sebuah tendangan mengejutkan!
Petapa Gunung Kulon yang tidak sempat lagi
menghindari diri, segera saja mengangkat tangan kirinya untuk menangkis tendangan yang mengancam
kepalanya. Tapi akibatnya...
Plaaakkk! "Aaahhh...!?"
Kakek itu kontan memekik kaget! Bahkan akibat
tangkisannya, kuda-kudanya jadi tergempur hingga
tubuhnya terjajar mundur sejauh satu tombak! Dan
tanpa diduga, telapak tangannya yang digunakan untuk menangkis terasa demikian nyeri disertai hawa
dingin yang merembes masuk sebatas siku. Hal itu
langsung membuat lengan kiri Petapa Gunung Kulon
serasa lumpuh untuk beberapa saat lamanya!
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mau menyianyiakan kesempatan baik ini selagi tubuh lawannya
terjajar mundur. Cepat ia kembali melompat, menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk Ke Dalam Bumi'
yang merupakan jurus terampuh dari 'Ilmu Silat Naga
Sakti' nya. Wueeettt! Wueeettt!
"Aaahhh...!?"
Untuk kedua kalinya, Petapa Gunung Kulon memekik kaget! Pendaran sinar kuning keemasan yang
membentuk bulatan-bulatan menyilaukan mata, membuatnya terjajar mundur beberapa langkah sambil melindungi matanya. Akibatnya...,
Breeettt! Breeettt!
Breeettt! Breeettt!
"Arrrggghhh...!"
Petapa Gunung Kulon meraung panjang ketika pedang Pendekar Naga Putih merobek-robek tubuhnya!
Pada saat itu, rupanya Datuk Naga Hitam malah
mengambil kesempatan. Dia berusaha menusuk Panji
dari belakang! "Arrrggghhh...!"
Bagai binatang luka, Petapa Gunung Kulon meraung parau saat pedang lawan merobek-robek tubuhnya! Darah segar kontan menyembur, membasahi tanah berumput kering. Dan begitu tubuh kakek jangkung itu ambruk ke tanah, terdengar suara berdebuk
keras disertai lepasnya nyawa dari raganya.
Datuk Naga Hitam rupanya hendak mempergunakan kesempatan, sewaktu Panji menikamkan pedangnya ke tubuh Petapa Gunung Kulon tampak tubuh
orang tua gemuk itu meluncur dengan ujung pedang
tertuju lurus ke punggung Pendekar Naga Putih yang
saat itu membelakanginya!
Wuuuttt..! Ujung pedang hitam di tangan Datuk Naga Hitam
meluncur lurus dengan suara mengaung tajam!
Sayang Pendekar Naga Putih tidak semudah itu dibokong. Telinganya yang tajam, sempat menangkap
adanya bahaya yang datang dari belakang. Maka dengan gerakan tak terduga, saat ujung pedang hitam itu
tinggal sejengkal dari punggungnya, tubuh Pendekar
Naga Putih cepat melenting berputar ke belakang melampaui kepala lawan. Gerakan itu masih dibarengi
pula dengan tusukan pedangnya yang tepat mendarat
di tengkuk Datuk Naga Hitam!
Craaabbb...! "Highhh...!"
Datuk Naga Hitam hanya bisa mengeluarkan suara
seperti orang tercekik, karena pedang di tangan lawannya amblas hingga tembus ke
leher depan! Darah segar
segera menyembur, saat Pendekar Naga Putih mencabut kembali pedangnya. Kemudian, pemuda itu masih juga sempat mengirimkan sebuah jejakan ke tubuh
belakang lawannya. Karuan saja tubuh tokoh sesat itu
ambruk ke tanah disertai semburan darah dan mulut!
Bagaikan seekor ayam yang disembelih, tubuh Datuk Naga Hitam menggelepar-gelepar sebelum kemudian melepaskan nyawa yang hanya satu-satunya
itu. "Hhh...,"
Terdengar helaan napas kelegaan dari mulut Pendekar Naga Putih ketika melihat kedua orang lawannya
telah tewas. Ketika tidak mendengar suara-suara pertarungan di tempat lain, Panji segera menolehkan kepala. Tampak pertarungan telah berakhir. Tiba-tiba
ada suara yang memanggil.
"Kakang...,"
Kenanga datang berlari-lari kecil menghampiri pemuda itu. "Aku sudah menemukan, siapa orang yang menyamar sebagai diriku ketika di Lembah Bintang...,"
lapor gadis jelita itu dengan napas masih memburu.
Rupanya, Kenanga baru saja menyelesaikan pertarungan terakhirnya. Tampak pedang di tangannya
masih berlumuran darah.
"Oh ya..." Siapa wanita itu...?" tanya Panji dengan wajah setengah tak percaya.
"Wanita itu berwajah cantik dan berambut panjang. Dia adalah Peri Sungai Alur. Aku bisa menduga,
karena hanya dialah satu-satunya wanita dari sekian
banyak anggota Datuk Naga Hitam...," jelas Kenanga penuh kepuasan, karena bisa
menemukan penyebab
celakanya pemuda pujaan hatinya.
"Lalu, ke mana sekarang wanita itu...?" tanya Pendekar Naga Putih lagi.
"Dia sudah kubunuh sejak tadi...," jawab Kenanga singkat. Sepertinya, dia tidak
begitu suka jika Panji menanyakan wanita cantik itu.
"Hm.... Lebih baik, kita segera pergi. Bukankah tidak ada persoalan lagi di
tempat ini...?" ujar Panji.
Pendekar Naga Putih menatap gadis jelita itu untuk
mendapat kepastian. Ketika melihat anggukan Kenanga, pemuda itu segera saja mengajaknya pergi.
"Pendekar Naga Putih.... Tunggu...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan yang menahan
langkah Panji dan Kenanga. Mereka menoleh ke arah
dua orang lelaki gagah yang tak lain dari Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar
Gunung Batur. "Maaf, sahabat-sahabat. Kami harus melanjutkan
perjalanan!" sahut Panji sambil melambaikan tangan kepada kedua orang gagah itu.
Kenanga juga ikut melambaikan tangannya. Setelah itu, tubuh mereka segera berkelebat, menerobos kegelapan malam.
Tinggallah Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar
Gunung Batur yang hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala menatap kepergian pasangan pendekar
muda yang sakti itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Adnan
Kucing Suruhan 12 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Tiga Maha Besar 5

Cari Blog Ini