Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan Bagian 3
Matanya yang tajam menatap langsung ke wajah Jantara. Sedangkan bibirnya agak
melebar, menyunggingkan senyuman bernada sinis dan kejam. Jantara melangkah
mundur dua tindak. Disemburkan ludahnya yang bercampur darah.
"Setan belang! Siapa kau sebenarnya, Bocah"!" bentak Jantara menggeram hebat.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Jantara.
Karena kau berperan juga dalam membunuh Dewa Pedang, maka berlutut dan mohon
ampunlah pada Dewa Pedang!" sahut Pemuda itu.
"Kau.... Kau tahu Dewa Pedang..."!"
Jantara jadi kebingungan.
"Mampus kau, Jantara! Hiyaaa...!" "Hup!"
*** Jantara cepat melentingkan tubuhnya ke udara sambil mencabut senjata andalannya
berupa sepasang tongkat kecil dengan ujung-ujungnya berbentuk bulan sabit. Dua
kali dia bersalto di udara seraya tangannya bergerak cepat mengibas. Bersamaan
dengan itu, pemuda gagah berbaju kulit harimau juga telah berada di udara.
Satu ledakan keras terdengar ketika
senjata Jantara membentur pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu.
Tampak tubuh mereka terpental kebelakang, lalu jatuh ke tanah secara bersamaan.
Jantara segera limbung begitu kakinya menjejak tanah. Sedangkan lawannya
mendarat dengan manis. Tangannya kembali melipat di depan dada! Sepertinya tidak
merasakan apa-apa!
"Phuih!"
Jantara membuang satu tongkatnya yang patah! menjadi dua bagian. Matanya merah
menahan geram yang amat sangat. Selama berkecimpung dalam dunia persilatan, baru
kali ini dia mendapat lawan tangguh dan sanggup memperdayai di depan anak
buahnya. Harus diakui kalau hatinya sedikit gentar melihat ketangguhan lawannya.
Memang sulit diukur tingkat kepandaian pemuda berbaju kulit harimau itu.
Jantara mundur dua tindak. Kembali
disemburkan ludahnya yang telah bercampur dengan darah kental kehitaman. Dengan
punggung tangan, diseka mulutnya yang berlumuran darah.
Matanya agak membeliak melihat darahnya yang berwarna kehitaman.
"Kau.... Kau memakai ilmu 'Pukulan Racun Hitam'! Siapa kau sebenarnya?" keras
suara Jantara, namun agak tersendat. Dia juga memeriksa bagian
dadanya yang terkena pukulan ketika
bentrok di udara tadi. Tampak di dadanya terdapat gambar berbentuk telapak
tangan berwarna hitam.
"Rupanya kau masih penasaran juga, Jantara. Baiklah. Agar kau tidak mati
penasaran, dengarkanlah baik-baik. Namaku, Bayu! Putra tunggal Dewa Pedang. Aku
datang dari Pulau Neraka!" tegas kata-kata Bayu, pemuda gagah berbaju kulit
harimau itu. Jantara tidak dapat berkata-kata lagi.
Sama sekali tidak disangka kalau pemuda yang berdiri di depannya adalah putra
tunggal Dewa Pedang, ketua Padepokan Teratai Putih yang dihancurkan oleh dirinya
bersama tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya.
"Dan semua ilmu yang kumiliki berasal dari Eyang Gardika, yang telah kau
buntungi kedua kakinya dan kau butakan kedua matanya. Nah, Jantara. Apakah kau
sudah puas?"
"Jadi..., Gardika masih hidup?" Jantara hampir tidak percaya mendengarnya.
"Sekarang dia telah mati setelah, menurunkan semua ilmunya kepadaku. Dan
sekarang aku muncul untuk membalas sakit hatinya mencari orang-orang sepertimu!
Juga, orang-orang yang menghancurkan keluargaku!"
dingin suara Bayu.
Setelah berkata demikian, pemuda berbaju kulit harimau itu langsung menyerang
Jantara. Pertarungan sengit tak dapat dihindarkan lagi.
Bayu benar-benar menurunkan tangan besi kepada orang tua yang bernama Jantara
itu. Serangan-serangan yang dilancarkannya sangat berbahaya dan luar biasa
dahsyatnya. Jantara dibuat jatuh bangun tanpa mampu memberi serangan balasan.
Dalam beberapa jurus saja, kelihatan
sekali Jantara telah terdesak. Melihat pemimpinnya kewalahan, empat orang anak
buahnya yang masih tersisa langsung
berlompatan menyerang Bayu. Mereka memang sudah biasa dengan pertarungan licik
dan main keroyok. Hal ini tentu saja membuat Bayu geram.
"Bagus! Kalian memang anak buahku yang mengerti," gumam Jantara dalam hati.
"Inilah kesempatan buatku...."
DI saat Bayu sibuk menghadapi keroyokan itu, tanpa menunggu waktu lagi Jantara
segera melesat kabur. Namun perhatian Bayu tidak seluruhnya terpecah. Tindakan
pengecut laki-laki tua itu langsung dapat dilihatnya.
"Jantara! Jangan lari kau, pengecut!"
geram Bayu. Secepat kilat pemuda itu mengibaskan
tangan kanannya sambil merunduk menghindari tebasan pedang lawan. Benda yang
bernama cakra itu melesat bagai kilat menuju ke arah larinya Jantara. Begitu
cepatnya sehingga yang terlihat hanyalah secercah sinar keperakan bagai bintang
jatuh dari langit.
"Sial! Hup!"
Jantara segera menjatuhkan tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali.
Namun tak urung dia juga memekik sedikit. Punggungnya sempat tergores senjata
cakra yang dilepaskan Bayu. Jantara masih bergulingan ketika senjata berbentuk
lingkaran pipih dan bergigi bengkok berjumlah enam itu berputar kembali ke arah
pemiliknya Tap! Dengan manis Bayu melompat dan menangkap senjata maut andalannya itu. Sambil
berputar dengan
kedua tangan merentang, empat orang
pengeroyoknya segera dibabatnya habis. Gerakan Bayu memang sulit untuk diikuti
dengan mata. Akibatnya, empat orang pengeroyoknya jungkir-balik tak tertahan lagi. Jerit
melengking saling susul terdengar, bersamaan dengan ambruknya empat tubuh dengan
dada sobek mengucurkan darah.
Kesempatan yang sedikit itu, dimanfaatkan Jantara untuk melarikan diri. Dengan
cepat dia bangkit dan berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Bayu yang
melihat lawannya kabur dengan cara licik, jadi berhenti.
Jantara berlari menuju dermaga tempat kapal besar dan mewah itu bersandar. Kapal
itu kini sudah tidak memiliki tiang utama lagi. Bayu berdiri tegak. Matanya
memandang tajam ke arah Jantara yang terus berlari cepat menuju kapal itu.
"Huh! Pengecut..!" dengus Bayu, tidak melanjutkan pengejarannya.
Jantara langsung ambruk ketika sampai di atas geladak kapal. Tokoh-tokoh sakti
yang masih berada di atas kapal itu terkejut dan segera menghampiri. Demikian
pula dengan Rengganis dan tiga orang pengawal setianya yang memang masih berada
di geladak. Mereka semua terperanjat melihat keadaan Jantara yang babak-belur
bersimbah darah.
"Paman Jantara! Apa yang terjadi"!" tanya Rengganis yang diliputi rasa kaget.
"Dia.... Dia dari Pulau Neraka...," sahut Jantara terputus-putus.
"Pulau Neraka..."!"
Semua bergumam keheranan setengah tidak per caya. Mereka semua tahu kalau Pulau
Neraka tidak berpenghuni, dan tidak ada seorang pun yang pernah keluar dari
sana! "Siapa dia, Jantara?" tanya salah seorang yang bertubuh gemuk pendek dan
berperut gendut.
"Bayu.... Dia bernama Bayu, putra Dewa Pedang," sahut Jantara terengah dan
terputus-putus suaranya.
Tidak ada lagi yang bersuara. Mereka semua tidak percaya begitu saja. Rasanya
tidak mungkin seorang bayi yang baru berumur beberapa hari, bisa hidup di pulau
angker itu. Bahkan sekarang muncul dan bisa membuat Jantara, seorang tokoh sakti, babakbelur! Mereka memang tidak akan percaya kalau Jantara tidak melanjutkan....
"Di pulau itu Gardika masih hidup. Setelah ilmu-ilmunya diturunkan pada Bayu,
baru dia mati. Hhh... sungguh dahsyat dan sadis! Enam orang anak buahku
tewas...."
Kata-kata Jantara terputus ketika
terdengar suara siulan nyaring bernada aneh.
Siulan itu seolah-olah datang dari segala penjuru, dan mengandung kekuatan
tenaga dalam yang amat luar biasa. Mereka yang memiliki tingkat kepandaian
rendah, langsung menutup telinga. Sedangkan tokoh-tokoh sakti yang berjumlah
tidak kurang dari lima belas orang, segera mengimbangi dengan mengerahkan tenaga
dalam. "Siapa pun kau adanya, keluar!" bentak Rengganis keras disertai pengerahan
tenaga dalam yang tinggi pula.
Suara bentakan Rengganis langsung
menghentikan siulan itu. Sesaat suasana jadi sunyi menegangkan. Semua kepala
menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber siulan tadi.
Sementara Jantara sudah bisa bangkit dibantu beberapa orang. Tidak ada seorang
pun yang berbicara. Semua diliputi suasana penuh ketegangan.
Rengganis melangkah keluar dari kerumunan tokoh rimba persilatan lainnya. Dia
berdiri tegak di tengah-tengah geladak kapal. Matanya tajam memandang ke
sekelilingnya. Sementara Ganis, Ganang dan Gamar sudah bersiap-siap dengan
senjata masing-masing, tidak jauh di belakang wanita itu.
"Bayu! Kalau kau ingin balas dendam, hadapilah aku! Aku yang bertanggung jawab.
Keluarlah Bayu!" seru Rengganis keras bergema.
Tidak ada sahutan sedikit pun. Kata-kata Rengganis hanya terbawa angin malam,
dan hilang begitu saja bersama deburan ombak.
Wanita itu tetap melayangkan pandangannya ke seluruh arah dengan tajam. Namun
yang dilihat hanyalah kepekatan malam.
"Rengganis! Awas...!" tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras mengejutkan.
Tanpa berpikir panjang, Rengganis mencabut senjatanya berupa kipas baja putih
yang terselip di pinggang begitu matanya melihat secercah cahaya keperakan
meluncur deras ke arahnya. Tring!
Rengganis tersentak ke belakang dua
tindak. Wajahnya iangsung memerah. Tangan kirinya memegangi pergelangan tangan
kanannya yang seperti tersentuh ribuan lebah berbisa Kipasnya terpental
beberapa depa. Semua orang yang berada di atas geladak kapal terperangah melihat
kipas baja putih kebanggaan Rengganis tergeletak di lantai geladak, tertancap
sebuah bintang keperakan.
"Nyai! Ada suratnya!" kata Gamar yang telah mengambil kipas dari lantai geladak.
Rengganis buru-buru menerima senjatanya dari tangan Gamar, dan langsung
diselipkannya ke balik pinggang. Dia juga merebut secarik kain berwarna merah
darah dengan tulisan dari tinta emas. Wajahnya langsung menegang dan merah
sampai ke telinga setelah membaca tulisan di kain merah itu.
"Apa isinya, Rengganis?" tanya Jantara yang sudah menghampiri.
Rengganis tidak menjawab. Diserahkannya kain dengan tulisan dari tinta emas itu
pada Jantara. "Kutunggu kau di Pantai Selatan! Aku dari Pulau Neraka," Jantara membacakan
tulisan yang tertera pada secarik kain merah itu.
Jantara mengangkat kepalanya memandang Rengganis. Sinar matanya penuh dengan
sejuta kata-kata, namun sulit untuk diucapkan. Jelas kalau tantangan itu
ditujukan buat Rengganis.
Tapi bukannya tidak mustahil. Mereka semua juga akan mendapatkan hal yang sama.
Kini hanya tinggal waktu saja yang menentukan.
Sementara Jantara yang sudah berhadapan dengan pemuda bernama Bayu itu jadi
mencemaskan Rengganis. Memang diakui kalau ilmu silat Rengganis lebih tinggi
setingkat darinya. Tapi itu belum menjamin dapat menandingi orang yang mengaku
dari Pulau Neraka itu. Jurus-jurus Gardika jadi lebih mantap dan sempurna di
tangan Bayu. Hal ini sudah dapat dirasakan Jantara saat bertarung dengan pemuda
itu. "Aku akan menemuinya! Sebaiknya kalian semua meninggalkan kapal ini secepat
mungkin," kata Rengganis mantap.
"Rengganis...," Jantara berusaha mencegah, namun tidak melanjutkan ucapannya.
"Paman. Dia mungkin hanya menginginkan aku saja. Aku memang harus bertanggung
jawab. Semua ini memang kesalahan dan kecerobohanku,"
kata Rengganis memotong.
"Hati-hatilah," hanya itu yang bisa diucapkan Jantara.
Rengganis hanya tersenyum, dan melangkah meninggalkan kapal besar dan mewah itu.
Tiga orang pengikut setianya menyertai dari belakang. Tidak ada seorang pun yang
bisa mencegah. Mereka hanya memandangi saja dengan perasaan yang sulit
diungkapkan. "Aku yakin, ini akan berbuntut panjang,"
gumam Jantara. *** 7 Rengganis semakin jauh meninggalkan
dermaga Pesisir Pantai Selatan. Dia terus berjalan diiringi tiga orang
pengawalnya menuju tempat yang telah ditentukan dalam surat tantangan itu.
Sementara orang orang yang masih berada di kapal, mulai meninggalkan tempat itu
satu persatu. Dalam sekilas saja mereka sudah bisa mengerti, persoalan yang kini
tengah dihadapi.
Sementara Jantara masih berada di atas kapal. Matanya tidak lepas memandangi
kepergian Rengganis. Bagaimanapun juga hatinya cemas, karena orang yang akan
dihadapi wanita itu menyimpan dendam dan memiliki tingkat kepandaian yang sukar
diukur! "Kau Kelihatan gelisah sekali, Jantara."
"Oh!" Jantara tersentak kaget Buru-buru dia menoleh.
Seketika jantungnya seperti berhenti
berdetak Di tengah-tengah geladak kapal ini tiba-tiba sudah berdiri seorang
pemuda gagah mengenakan baju dari kulit harimau. Rambutnya yang panjang meriap
melambai-lambai
dipermainkan angin. Jantara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sungguh
tidak disangka kalau semua orang sudah meninggalkan kapal ini tanpa disadurinya.
Jantara membeliak kaget begitu matanya melihat mayat-mayat bergelimpangan Mayatmayat itu adalah anak buahnya yang ditugaskan untuk menjaga kapal ini. Benarbenar sulit dipercaya, bagaimana pemuda itu melakukan tanpa diketahuinya" Kenyataan ini
membuat Jantara gentar hatinya. Jelas, itu menandakan kalau pemuda berbaju kulit
harimau itu memiliki tingkat kepandaian yang sungguh sulit dinilai.
"Dia memang cantik, Jantara. Tapi sayang, hatinya tidak secantik wajahnya," kata
pemuda berbaju kulit harimau itu. Suaranya terdengar lirih tanpa nada.
Jantara tidak membuka suara sedikit pun.
Dia melangkah mundur dengan bola mata berputar mencari celah untuk bisa lari
dari maut. Di depan matanya, pemuda berbaju harimau itu bagaikan malaikat maut
yang siap mencabut nyawanya
Jantara langsung berbalik begitu kakinya menyentuh tangga. Dengan sisa-sisa
keberaniannya, dia segera berlari cepat menuruni tangga menuju dermaga. Tapi
begitu kakinya menginjak lantai dermaga, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau
itu sudah berada di depannya. Pemuda itu berdiri tegak dengan tangan melipat di
depan dada. "Kesempatanmu hanya sekali, Jantara."
Setelah berkata demikian, pemuda berbaju kulit harimau tersebut mengebutkan
kedua tangannya ke depan. Secercah sinar merah melesat cepat bagai kilat memburu
ke arah Jantara. Laki-laki tua itu buru buru menarik tubuhnya ke samping sambil
menggeser kakinya sedikit. Cahaya merah itu meluncur di depan dadanya, dan
langsung menghantam kapal besar mewah di belakangnya.
Ledakan dahsyat terdengar menggelegar bersama an dengan hancurnya kapal itu.
Sehingga terjadi getaran bagai ada gempa.
Akibatnya Jantara terpental jatuh bergulingan.
Namun dia buru-buru bangkit berdiri. Harinya terkesiap melihat kapal besar dan
mewah milik Rengganis hancur berkeping-keping bersama beberapa mayat di
dalamnya. "Uhg...!"
Mendadak saja Jantara terbatuk dan
memuntahkan darah kehitaman. Dia langsung jatuh berlutut. Tangan kanannya
menekan dada yang terasa sesak dan nyeri bagaikan tertusuk ribuan jarum. Jantara
baru sadar kalau telah terkena pukulan beracun dalam pertarungannya tadi melawan
pemuda itu. Kini racun di dalam tubuhnya mulai bekerja.
"Apa yang kau inginkan dariku, Bayu?"
tanya Jantara bernada pasrah.
"Nyawamu," sahut pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain adalah Bayu
Hanggara. Jantara bangkit pelahan-lahan. Kepalanya mulai pening, dan pandangannya
Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkunang-kunang. Tapi sebagai tokoh rimba persilatan yang sudah punya nama, dia
tidak akan menyerah begitu saja, meskipun keadaannya sudah tidak memungkinkan
lagi untuk bertarung. Racun dari jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang merasuk di
tubuhnya sudah bekerja.
"Lakukanlah kalau kau mampu, Bayu!" dengus Jantara menantang.
Memang tidak ada pilihan lain lagi
baginya. Cepat atau lambat dia akan mati.
Tidak ada seorang pun yang selamat kalau sudah terkena racun dari 'Pukulan Racun
Hitam'. "Bagus! Rupanya kau seorang yang ksatria juga, Jantara," Bayu tersenyum sinis.
"Hih!" Jantara langsung mencabut senjatanya yang tinggal sebelah.
"Bersiaplah untuk mati, Jantara!
Hiyaaa...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
*** Pertarungan antara Jantara dan Bayu, si Pendekar dari Pulau Neraka tidak dapat
dielakkan lagi. Meskipun Jantara dalam keadaan terluka. Namun masih mampu
melayani sampai sepuluh jurus. Dan setelah lewat sepuluh jurus, baru kelihatan
kalau Jantara tidak dapat lagi menandingi pemuda berbaju kulit harimau itu.
Racun yang mengendap di dalam tubuhnya akibat 'Pukulan Racun Hitam', semakin
meluas dan membuat tenaganya berkurang jauh.
Pada suatu serangan yang cepat, Jantara tidak lagi mampu menghindar. Dia
terjungkal sangat keras begitu tendangan geledek Bayu menghantam dadanya. Belum
lagi Jantara mampu berdiri, kaki Bayu sudah menekan dadanya.
"Kau yang membuntungi kaki guruku, bukan"
Kau tahu, bagaimana penderitaannya
mempertahankan hidup dengan kedua kaki buntung?" dingin dan datar suara Bayu.
"Bunuh aku, Bayu!" sentak Jantara putus asa. "Terlalu nikmat kalau kau mati
cepat, Jantara," sambut Bayu tersenyum sinis.
Bayu memungut tongkat lawan yang
tergeletak tidak jauh dari kakinya. Ditimang-timangnya tongkat pendek dengan
ujung ujungnya berbentuk bulan sabit. "Kau akan menyesali perbuatanmu, Jantara.
Telah kau hilangkan kedua kaki guruku.
Sekarang, rasakanlah bagaimana kehilangan kedua kaki!" kata Bayu tetap dingin
suaranya. Jiwa dan sifatnya jadi terbentuk sangat sadis. Ini akibat didikan dari gurunya,
dan dendam kesumat yang selalu membakar
semangatnya selama mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari Eyang Gardika!
"Tidak...!" sentak Jantara bergetar.
Tanpa banyak bicara lagi, Bayu
menggerakkan tangannya yang memegang tongkat lawannya, dan....
Cras! Cras! "Aaakh...!" Jantara menjerit keras.
Darah langsung muncrat begitu kedua kaki laki-laki tua berjubah merah itu
terpotong buntung sampai ke paha. Jantara meringis menggelepar-gelepar merasakan
sakit yang amat sangat pada kedua kakinya.
'Bunuh-aku, Bayu! Bunuh aku...! Jangan kau siksa aku seperti ini..," keluh
Jantara. "Kau merasa tersiksa, Jantara" Apa kau tidak berpikir ketika membuntungi kaki
Eyang Gardika" Apa kau tidak merasa malu mengeroyok orang tanpa senjata?"
"Bayu! Aku memang ikut mengeroyok Gardika!
Tapi bukan aku yang membuntungi kakinya!"
"Sama saja! Kau atau siapa saja yang berbuat, dimataku sama saja!"
"Ohhh..." Jantara mengeluh lirih. Bibirnya meringis merasakan perih dan sakit
pada kedua kakinya yang buntung.
"Camkan baik-baik, Jantara. Aku tahu siapa teman-temanmu yang berbuat keji pada
guruku. Aku juga tahu siapa orang-orangnya yang telah berlaku licik dan kejam pada
keluargaku. Ingat kata-kataku, Jantara! Sampai ke ujung dunia sekalipun, mereka
tidak akan aman selama aku masih hidup!"
"Jangan kau lakukan itu. Bayu. Cukup aku saja yang menanggung. Bunuh saja aku,
Bayu. Bunuh aku...," keluh Jantara putus asa.
"Sayang sekali, kata-kataku tidak dapat dirubah. Dan kau terlalu enak kalau
langsung mati, Jantara." Jantara hanya bisa mengeluh lirih. "Nah! Sekarang
giliran matamu!" dengus Bayu dingin.
"Oh, tidak...!" sentak Jantara berusaha menggeliat
Namun dalam keadaan tubuh yang lemah dan kekurangan banyak darah, Jantara benarbenar tidak punya daya sama sekali. Tanpa berkedip sedikit pun. Bayu menusuk
kedua mata Jantara dengan tongkat ditangannya.
"Aaakh...!" kembali Jantara memekik keras.
Ditutupi mukanya dengan tangan.
Darah merembes keluar dari sela-sela
jarinya. Bayu melangkah mundur dan membuang tongkat yang sudah berlumuran darah
pemiliknya sendiri. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis melihat laki-laki tua
berjubah merah itu menggelepar-gelepar sambil meraung kesakitan.
Bayu benar-benar terbentuk menjadi seorang pendekar yang sadis! Dia sungguh
ingin melampiaskan dendam kesumat atas hancurnya keluarganya dan sakit hati guru
tunggalnya! Terlebih lagi ilmu yang dimilikinya sangat sadis dan mengerikan. Lengkap sudah
penderitaan Jantara. Racun dan jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang bersarang di
tubuhnya sudah bekerja, dan lambat laun akan merenggut nyawanya.
Penderitaan itu semakin bertambah dengan kehilangan kedua kaki dan sepasang
matanya. Dalam ingatannya, kembali terbayang saat mengeroyok Gardika yang dianggap
sebagai tokoh jahat yang sangat kejam dan tidak kenal ampun.
Padahal dia sendiri bukanlah orang yang berjalan lurus. Saat itu dia hanya
mencari muka agar dapat nama di rimba persilatan dengan ikut serta dalam rencana
melenyapkan Gardika
Dunia memang aneh. Dalam tokoh aliran hitam, orang-orang yang berjalan di jalan
lurus dianggap sebagai ancaman jahat yang harus dimusnahkan. Begitu pula
sebaliknya. Sampai pada hari ini, seluruh orang rimba persilatan belum mengetahui, Gardika
berdiri di dalam golongan yang mana. Tindakannya sangat membingungkan. Kadang
membantu yang lemah dan menumpas kejahatan, kadang pula di lain waktu malah
memusuhi tokoh-tokoh rimba persilatan beraliran putih. Dalam keadaan begitu,
kedudukan seorang tokoh yang berada di tengah-tengah memang memiliki musuh
berlipat ganda. Semua orang bisa menjadi kawan, juga bisa menjadi lawan.
"Kau punya waktu tiga hari untuk hidup, Jantara Katakan pada semua teman-temanmu
kalau aku akan datang membuat perhitungan pada mereka," kata Bayu tetap dingin
suaranya. Jantara tidak dapat berkata-kata lagi.
Suara Bayu juga seperti antara terdengar dan tidak. Rasa sakit yang begitu kuat
membuatnya jatuh pingsan. Jantara tidak ingat apa-apa lagi. Bahkan ketika Bayu
pergi meninggalkannya, dia juga tidak tahu lagi.
Saat itu yang dirasakan dan diinginkan hanyalah satu, mati...!
*** Lama juga Jantara tidak sadarkan diri.
Sebelum matahari terbit, laki-laki tua berjubah merah yang kedua kakinya sudah
buntung itu mulai bergerak-gerak. Suara erangan terdengar lirih dari mulutnya.
Darah mulai membeku. Tangannya menggapai-gapai sambil menyeret tubuhnya yang
lemah. "Oh, Tuhan... kenapa kau tidak cabut saja nyawaku" Kenapa kau beri aku siksaan
begitu berat...?" rintih Jantara lirih.
Sambil menahan sakit dan perih, Jantara terus merayap menggapai-gapai. Dia
berhenti merayap ketika tangannya menyentuh sebatang tongkat pendek berujung
bulan sabit. Jantara meraih senjata tongkatnya itu. Digenggamnya erat-erat
tongkat itu dengan tangan gemetaran.
"Hidupku memang penuh berlumur dosa. Tapi, aku tidak ingin hidup menderita dan
terhina. Tuhan..., akhirilah hidupku...," kembali Jantara merintih lirih.
Pelahan-lahan tangannya terangkat tinggi.
Ujung tongkat berbentuk bulan sabit diarahkan ke dadanya. Sambil mengatupkan
rahang rapat-rapat, Jantata menikam dadanya sendiri dengan senjatanya. Keluhan
kecil terdengar, lalu tubuhnya terkulai lemah dengan dada tertembus tongkat
pendek senjata andalannya sendiri.
Darah kembali mengucur dengan deras dari dada yang tertembus tongkat pendek.
Pada saat itu tampak empat orang berlari-lari kecil menuju ke arah tubuh Jantara
yang sudah tidak bernyawa lagi. Mereka adalah Rengganis dan tiga orang pengawal
setianya. Wanita berbaju hijau yang masih kelihatan cantik itu langsung memburu dan
menubruk tubuh jantara.
"Paman...! Apa yang terjadi...?" sentak Rengganis seraya mengangkat tubuh
Jantara ke atas pangkuannya.
Rengganis hampir tidak percaya melihat keadaan tubuh laki-laki tua berjubah
merah itu. Keadaannya sungguh mengenaskan! Tanpa disadari, setitik air bening
menggulir di pipi yang putih kemerahan. Ya... Rengganis, wanita yang tegar dan
berilmu tinggi itu menangisi kepergian laki-laki tua yang dipanggil paman itu.
"Siapa yang melakukan ini padamu, Paman"
Katakan! Siapa...?" tanya Rengganis dengan suara tersendat.
Rengganis mengangkat kepalanya.
Pandangannya langsung menembus tiga orang laki-laki bersaudara yang berdiri saja
di depannya dengan wajah tertunduk. Mata wanita itu beralih menatap kapal besar
dan mewah yang sudah hancur berkeping-keping. Api masih terlihat dari puingpuing yang berserakan dipermainkan ombak. Tidak tahu lagi, perasaan apa yang
berkecamuk di dalam dadanya. Pelahanlahan ia berdiri mengangkat tubuh Jantara
yang sudah kaku itu.
Sebentar Rengganis berdiri tegak membopong tubuh yang sudah tidak utuh lagi itu.
Pandangannya lurus menatap ke tengah laut lepas Air bening masih menitik turun
di pipinya yang kemerahan. Pelahanlahan dia berbalik dan melangkah meninggalkan
dermaga itu. "Nyai, pasti ini perbuatan Pendekar Pulau Neraka itu," kata Gamar.
Rengganis hanya diam saja. Kakinya terus melangkah pelan-pelan dengan pandangan
ke depan. Dia seperti tidak mendengar kata-kata Gamar.
"Benar-benar licik! Dia sengaja memancing kita menjauhi dermaga!" kata Ganang
agak menggeram.
"Nyai, akan kau bawa ke mana mayat Itu!"
tanya Ganis. Rengganis berhenti melangkah. Dia berbalik dan menatap tajam pada Ganis. Katakata lelaki itu seperti menyentakkan hatinya. Yang ditatap hanya menundukkan
kepala saja. "Kalian siapkan kereta. Aku akan membawa jenazahnya ke makam keluarga!" perintah
Rengganis tegas.
"Nyai...," Ganis ingin membantah.
"Kalian tahu, Paman Jantara adalah adik sepupu ibuku. Dia harus dimakamkan dekat
keluarganya," kata Rengganis datar.
Ganis, Gamar dan Ganang hanya bisa diam.
Mereka baru tahu kalau Jantara atau si Tongkat Samber Nyawa adalah benar-benar
paman sedarah junjungannya ini. Pantas saja laki-laki berjubah merah itu selalu
mengkhawatirkan Rengganis. Dan tampaknya Rengganis juga begitu menghormatinya.
Padahal mereka semua tahu kalau tingkat kepandaian Rengganis satu tingkat di
atas si Tongkat Samber Nyawa.
Rupanya mereka masih ada kaitan darah keturunan.
Ganis tidak membantah lagi. Segera dijak kedua adiknya mempersiapkan kereta kuda
yang terpancang di samping sebuah kedai tidak jauh dari dermaga. Sedangkan
Rengganis kembali melanjutkan langkahnya pelan-pelan. Sedikit pun ia tidak
mengetahui kalau dari tempat tersembunyi sepasang mata tajam mengawasi gerakgeriknya sejak tadi.
*** Hampir satu harian Rengganis berdiri
mematung di depan makam Jantara. Pandangan matanya kosong menatap lurus kepada
gundukan tanah merah di ujung kakinya. Sementara tiga saudara yang mengawalnya,
berdiri agak jauh memperhatikan. Rengganis mendesah panjang sambil mengangkat
kepalanya. Dia menoleh dan menatap pada tiga orang laki-laki yang menanti dengan
setia di bawah pohon rindang.
"Apa yang harus kami kerjakan, Nyai?"
tanya Ganis seraya mendekat diikuti kedua adiknya.
Rengganis tidak menyahut, tetapi hanya berbalik dan mengayunkan langkahnya
meninggalkan pusara Jantara. Dirinya sendiri tidak tahu lagi, apa yang harus
dikerjakan. Mereka semua belum pernah bertemu dengan pemuda yang bernama Bayu, putra tunggal
Dewa Pedang yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
Yang membuat Rengganis sulit menentukan langkah selanjutnya adalah
ketidaktahuannya tentang pemuda yang muncul ingin membalas dendam itu.
Kemunculannya yang pertama sudah membawa korban tidak sedikit. Dia dapat
mengalahkan Jantara dengan mudah. Jelas tingkat kepandaiannya tinggi sekali!
"Apa tidak sebaiknya kita mendahului daripada didahului, Nyai," kata Ganis
mengusulkan. "Maksudmu?" tanya Rengganis tetap melangkah tanpa menoleh sedikit pun.
"Kita harus mencari dan menemuinya lebih dahulu," Ganis menjelaskan. "Aku rasa
kita berempat mampu menandinginya."
"Tidak semudah itu, Ganis. Sampai saat ini belum ada seorang pun yang tahu,
siapa dan bagaimana rupanya," sahut Rengganis pelan.
"Rasanya tidak begitu sulit, Nyai,"
celetuk Gamar. Rengganis berhenti melangkah dan memandang Gamar.
"Bukankah Paman Jantara pernah mengatakan kalau pemuda itu membawa senjata aneh
berbentuk cakra" Dan dia juga mengenakan baju dari kulit harimau. Tidak sulit
mencari orang dengan cin-ciri seperti itu, Nyai," lanjut Gamar.
"Dunia ini luas, Kakang Gamar," selak Ganang. "Ciri-cirinya memang menyolok dan
mudah dikenali. Tapi di mana kita harus mencarinya?"
Tidak ada yang menjawab. Semua terdiam dengan pikiran masing-masing. Posisi
mereka saat ini tidak lebih dari binatang buruan.
Maut setiap saat datang menjemput. Sekeliling mereka sudah terselimut hawa maut.
Setiap saat Pendekar Pulau Neraka yang menyeramkan itu bisa muncul mencabut
nyawa mereka. Satu posisi yang benar-benar tidak menguntungkan sama sekali.
"Sudahlah! Tidak perlu kalian ikut sibuk memikirkan orang itu. Kita tunggu saja.
Kalau dia muncul, kita sambut. Kalau dia
menginginkan main kucing-kucingan, usahakan jangan jadi tikus," kata Rengganis.
"Kalian memang sudah jadi tikus!"
Rengganis dan tiga orang pengikut setianya terkejut mendengar suara yang
menggema. Katakata itu demikian jelas terdengar, seolah-olah datang dari segala
penjuru. Belum lagi hilang gema suara itu, muncul lagi suara siulan panjang bernada
tinggi melengking. Siulan yang mengandung tenaga dalam, dan mampu membuat
gendang telinga pecah! Rengganis buru-buru mengerahkan hawa murni dan menutup
telinganya dengan
menyalurkan tenaga dalam. Sementara ketiga bersaudara itu sudah kelihatan sibuk
menutup telinga dengan tangan. Suara siulan itu semakin terdengar menyakitkan.
"Salurkan hawa mumi kalian. Tutup dengan tenaga dalam," perintah Rengganis.
Ketiga bersaudara itu segera mengikuti kata-kata junjungannya. Namun ilmu tenaga
dalam mereka memang masih kalah jauh, sehingga usaha mereka sia-sia saja. Bahkan
kini keadaan jadi bertambah buruk lagi. Ganang yang lebih muda sudah menggelepar
di tanah. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengucur darah. Keadaan kedua
kakaknya tidak kalah parahnya. Mereka seperti kehabisan napas karena memaksakan
diri mengerahkan tenaga dalam dengan menutup gendang telinga.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rengganis berteriak nyaring seraya mencabut kipas kembarnya.
Dengan cepat dikebut-kebutkan kipas itu ke depan dan ke atas. Saat itu juga di
sekitar mereka bertiup angin keras menderu-deru.
Dan bersamaan dengan menghilangnya suara siulan melengking tinggi, meluncur
sebuah benda berwarna keperakan ke arah wanita cantik berbaju hijau itu. Benda
pipih bagai piring itu mendesing ke arah Rengganis. "Hait...!"
Rengganis melentingkan tubuhnya ke udara sambil mengipaskan kipas baja putihnya
menyampok benda pipih seperti piring itu.
Namun tanpa diduga sama sekali, benda itu bisa berputar menghindar dan berbalik
arah. Buru-buru Rengganis meluruk jatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kaH
sebelum bangkit berdiri.
"Hehhh...!" hembusan napas panjang terdengar.
Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rengganis berdiri tegak dengan sepasang kipas baja menyilang terbuka di depan
dada. Matanya tajam menatap seorang laki-laki muda dan gagah berbaju kulit harimau. Di
tangan kanannya menggenggam sebuah benda bulat pipih dengan sekelilingnya
bergerigi bengkok berjumlah enam buah.
Sementara tiga saudara yang tergeletak di tanah sudah mulai bangkit berdiri.
Mereka langsung bergerak seperti melindungi
junjungannya. Sepertinya mereka tidak peduli dengan kondisi tubuh yang sudah
tidak prima lagi. Siulan panjang melengking tadi benar-benar menguras tenaga
dalam dan kekuatan.
Darah masih tampak mengucur dari hidung, mulut, dan telinga.
"Kau yang bernama Bayu, Pendekar Pulau Neraka itu?" tanya Rengganis ketus.
"Benar! Aku datang untuk menagih hutang padamu," sahut pemuda berbaju kulit
harimau itu. "Hm... rasanya kita belum pernah bertemu sebelumnya. Hutang apa yang harus
kubayar?" "Nyawa!"
Rengganis mengerutkan keningnya. Dia
memang sudah mendengarnya dari Paman Jantara.
Tapi dia belum yakin kalau bayi yang baru berumur beberapa hari bisa hidup di
pulau angker yang tidak pernah terjamah manusia itu!
Rengganis ingat. Ketika bayi itu diberi nama, di dada sebelah kiri digambar
sekuntum bunga teratai sebagai keturunan Dewa Pedang, ahli waris Padepokan
Teratai Putih. Kening wanita itu kembali berkerut melihat gambar bunga teratai tertera pada
dada sebelah kiri pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
Tidak dapat disangka! lagi, pemuda itu memang benar putra Dewa Pedang yang
berhasil dibawa lari ke Pulau Neraka oleh salah seorang murid setia Padepokan
Teratai Putih. Kini pemuda itu sudah menjelma menjadi seorang pemuda gagah dan
tampan dengan membawa sejuta dendam di hatinya. Tatapannya saja sangat sadis dan
kejam! "Baiklah, kalau kau ingin membalas kematian Ayah dan Ibumu, aku tidak akan lari
menghindar. Semua memang tanggung jawabku.
Tapi perlu kau ketahui, Bayu. Sejak peristiwa itu aku selalu dihantui perasaan
bersalah. Oleh sebab itu aku setiap tahun selalu memperingatinya. Sudah banyak orang yang
aku perintahkan mencarimu ke Pulau Neraka dengan hadiah tinggi. Tapi tidak ada
seorang pun yang menyanggupi. Aku khilaf waktu itu, Bayu. Aku terlalu
dipengaruhi hawa nafsu dan dendam.
Nah, sekarang kalau kau ingin menagih hutang, aku akan membayarnya," kata
Rengganis. "Sungguh manis kata-katamu, Rengganis.
Sayang sekali, ucapanku tidak mungkin dicabut kembali. Hutang nyawa harus
dibayar nyawa,"
sahut Bayu dingin. "Aku tidak akan melawan, Bayu. Aku memang harus menebusnya
dengan nyawa," kata Rengganis yang memang menyesali tindakannya setelah tahu
kalau yang membantai keluarganya bukan Dewa Pedang, tapi malah pamannya sendiri.
"Bedebah! Kau pikir aku akan mengampunimu, Perempuan Setan! Jangan harap! Kau
harus bertarung sampai di antara kita ada yang tewas!" geram Bayu.
"Kau yang meminta, Bayu. Dan aku tidak bisa menolak "
"Jangan banyak omong! Ayo, kita bertarung sampai mati!"
"Aku terima tantanganmu."
*** 8 Bayu mencabut senjatanya yang berbentuk cakra bersegi enam dari pergelangan
tangan kanan. Digenggamnya senjata itu dengan tangan kiri pada salah satu
ujungnya. Sepasang matanya menatap tajam, lurus kebola mata wanita cantik
berbaju hijau di depannya.
Sedikit pun tidak dipedulikannya tiga laki-laki yang sudah menghunus senjata
masing-masing. "Kenapa diam" Hayo serang aku, Putra Dewa Pedang!" seru Rengganis memanaskan.
Bayu masih tetap diam, berdiri tegak.
Sepertinya dia ragu-ragu untuk menyerang lebih dulu. Matanya tetap menatap
tajam, namun sinarnya tidak lagi menyala seperti semula.
Entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya diliputi kebimbangan. Dari keterangan yang
telah diperolehnya, pembunuh kedua orang tuanya bukan Rengganis. Tidak ada yang
tahu siapa orangnya, namun otaknya jelas wanita itu.
Wanita yang seharusnya dihormati. Karena bagaimanapun juga Rengganis adalah
istri ayahnya. Itu berarti ibu titinya juga.
Pelahan-lahan Bayu menempelkan kembali senjatanya ke pergelangan tangannya yang
terbalut kulit harimau dan sebentuk gelang berwarna perak. Dia sendiri tidak
mengerti, kenapa rasa dendam dan ke benciannya mendadak saja pudar. Tanpa bicara
lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu berbalik dan melangkah pergi.
Sementara tiga orang bersaudara saling pandang. Dan tanpa menunggu perintah
lagi, mereka berlompatan sambil mengebutkan senjata masing-masing. Desiran angin
yang halus membuat Bayu kembali berbalik, lalu secepat kilat tangan kanannya
mengibas ke depan.
Wut! Senjata cakra di pergelangan tangan
langsung melesat bagai kilat. Hal ini membuat Ganis yang berada paling dekat
jadi terpengaruh. Buru-buru dikibaskan senjatanya, tapi gerakannya kalah cepat.
Senjata cakra yang telah meluncur itu lebih cepat lagi menghujam dadanya.
"Aaakh...!" Ganis memekik nyaring.
Bersamaan dengan terjengkangnya tubuh Ganis, senjata cakra itu kembali melesat
pada pemiliknya. Dan dengan cepat pula Bayu mengibaskan tangan kanannya.
"Hiya,..!"
Secepat senjata cakra itu melesat kembali, secepat itu pula Pendekar Pulau
Neraka melenting sambil menghantamkan tangannya ke dada Ganang dan Gamar.
Serangan pemuda berbaju kulit harimau itu demikian cepat dan sulit diikuti oleh
mata biasa. Mereka tidak sempat berkelit lagi. Dua jeritan panjang terdengar
saling susul. Tidak lama kemudian, Ganang dan Gamar terjembab tak bernyawa lagi.
Bayu berdiri tegak di antara tiga tubuh yang tergeletak tak bernyawa. Tatapan
matanya tajam menusuk ke bola mata Rengganis yang tetap berdiri menyaksikan.
Namun dari sinar mata wanita itu tersirat suatu perasaan kaget bercampur kagum.
Betapa tidak"
Hanya dua kali gerakan saja, tiga orang pengawal setianya roboh tanpa mampu
memberi perlawanan sedikit pun. Mereka memang dalam keadaan terluka dalam akibat
tidak mampu menahan serangan suara tenaga dalam melalui siulan yang dikeluarkan
Bayu tadi. Tapi, rasanya sulit dipercaya kalau mereka dapat ditewaskan dalam
waktu yang begitu cepat.
"Kau benar-benar licik, Rengganis!" ketus suara Bayu.
"Mereka pengikut setiaku. Perbuatan mereka hanya untuk melindungiku," kata
Rengganis kalem.
"Dengan cara membokong" Ck..., ck..., ck...," Bayu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Rengganis diam saja. Memang diakui,
perbuatan ketiga pengawal setianya adalah licik dan tidak ksatria. Tapi dia
tidak mungkin menyalahkan tiga bersaudara itu. Dia tahu, perbuatan itu dilakukan
karena rasa tanggung jawab dan pengabdian mereka. Kejadian itu membuat mata
Rengganis terbuka. Dia seperti baru menyadari arti kesetiaan dan pengabdian.
Dan yang dilakukan Dewa Pedang memburu keluarganya ketika menjadi panglima
perang, adalah semata-mata karena tugas dan
pengabdiannya. Namun semua itu telah dikotori oleh hati busuk yang hanya
mementingkan pribadi. Kedudukan, kemuliaan, dan harta dunia memang bisa membuat
mata hari tertutup. Begitu pula dengan dendam yang juga dapat membutakan mata
hati. Rengganis merasa dirinya baru saja
terbangun dari mimpi panjang. Dia seorang wanita yang memiliki kepandaian
tinggi, namun tidak pernah digunakan untuk kebaikan selama puluhan tahun. Semua
yang dimilikinya hanya digunakan untuk membunuh dan memberantas orang-orang
tidak bersalah. Kini semua perbuatannya harus ditanggungnya sendiri.
Bahkan mereka yang hanya ikut-ikutan saja, juga harus menanggung akibatnya.
Kemunculan Pendekar Pulau Neraka merupakan awal dari kesadaran pribadinya.
"Cabut senjatamu, Rengganis!" bentak Bayu.
Rengganis kembali mencabut senjata andalannya berupa sepasang kipas baja putih
yang telah diselipkan di balik ikat pinggangnya. Dia memang tidak punya pilihan
lain, dan mau tidak mau harus bertarung melawan anak tirinya sendiri.
"Tadinya aku akan melupakanmu, Rengganis.
Kau adalah istri ayahku juga. Tapi...," Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil melihat tiga mayat yang terbujur tak tentu arah di dekatnya.
"Aku akan lebih merasa berdosa jika kau ampuni, Bayu," sahut Rengganis kalem dan
tegas. "O..., tidak kusangka! Wanita sepertimu kenal dosa juga," suara Bayu terdengar
sinis. "Cukup, Bayu! Aku tidak perlu ejekanmu.
Ayo, kita bertarung sampai mati!" sentak Rengganis. Rupanya dia tidak tahan juga
mendengar ejekan bayu.
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir menyunggingkan senyuman sinis.
Terlihat adanya kepasrahan dan sikap mengalah dari sinar mata wanita itu,
meskipun ditutupi dengan kata-kata ketus dan tegas.
"Ayo, Bayu! Kenapa diam"!" Rengganis jadi kesal juga melihat sikap Bayu.
"Kau akan mati, Rengganis. Tapi aku ingin melihat penderitaanmu dulu," jawab
Bayu dingin. "Mati pun tidak akan kusesali. Bayu."
"Ya, karena kau sudah pasrah."
"Tidak! Hiyaaa...!"
*** Kata-kata Bayu yang membuat panas telinga membuat Rengganis semakin tersinggung
dan marah, semua perbuatannya memang telah disesali dan diakui. Tapi dia pantang
dihina dan direndahkan begitu saja. Telinganya terasa panas mendengar kata-kata
penuh sindiran dan ejekan pemuda berbaju kulit harimau itu.
Pertarungan tidak bisa dielakkan lagi.
Tapi Bayu malah tersenyum sinis. Dalam beberapa jurus saja, sudah dapat ditebak
kalau Rengganis sengaja membuka pertahanannya.
Rengganis memang menyerang dengan ganas dan dahsyat, tapi tidak menghiraukan
pertahanan. Bahkan sengaja membuka pertahanannya lebar-lebar.
"Kau hanya bunuh diri saja, Rengganis,"
kata Bayu sambi! berkelit menghindari serangan wanita itu.
"Jangan banyak omong! Serang aku!" dengus Rengganis kesal melihat lawannya hanya
menghindar saja tanpa ada keinginan untuk balas menyerang.
"Tidak! Sebelum kau sungguh sungguh bertarung, Rengganis."
Merah padam muka Rengganis. Dia sungguh malu luar biasa. Ternyata lawan telah
mengetahui kalau dia bertarung tidak sungguh-sungguh. Bahkan sengaja memberi
peluang besar dengan membuka pertahanan nya. Tidak ada yang dapat dilakukan
Rengganis saat ini. Dia harus bertarung secara sungguh-sungguh. Dalam hari
dikaguminya sikap satria Bayu yang ingin bertarung dengan lawan yang benar-benar
siap. "Hup!"
Bayu menggeser kakinya ke kanan ketika satu kibasan kipas di tangan kanan
Rengganis hampir membelah dadanya. Bayu mencoba menyodok iga wanita itu dengan
tangan kirinya. Namun tanpa diduga sama sekali kipas baja putih di tangan kiri
Rengganis bergerak cepat
menyampok, "Uts!"
Buru-buru Bayu menarik kembali tangannya, lalu melentingkan tubuh sambil
berputar ke belakang begitu sebuah kipas lainnya mengibas ke arah leher. Bayu
belum sempat mengambil posisi, datang lagi serangan beruntun dari dua penjuru.
Buru-buru ditarik mundur kepalanya sambil mengangkat tangan kanannya memapak
serangan dahsyat kipas baja putih itu.
Tring! Rengganis buru-buru menarik tangannya saat ujung senjata kipasnya membentur
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Seluruh tangannya bergetar bagai
tersengat ribuan lebah. Sedangkan Bayu sedikit pun tidak merasakan apa-apa,
bahkan langsung memberikan serangan balasan dengan cepat
"Bagus! Hup, hiyaaa...!!!"
Rengganis gembira melihat lawannya sudah mulai memberikan serangan balasan. Kini
pertarungan berjalan sungguh-sungguh dan dahsyat. Masing-masing memberikan
serangan yang mematikan. Tidak terasa mereka sudah menghabiskan puluhan jurus,
namun belum ada tanda-tanda yang terdesak.
Rengganis sadar kalau tenaga dalamnya masih berada di bawah lawannya. Hal ini
terbukti ketika senjatanya beradu dengan senjata Pendekar Pulau Neraka yang
menempel di pergelangan tangan kanan. Namun dia tidak jera juga, bahkan terus
membenturkan senjatanya ke pergelangan tangan kanan lawannya. Akibatnya, dia
selalu membuka pertahanan, dan itu sangat membahayakan jiwanya sendiri.
Meskipun demikian, nampaknya Bayu tidak mau memanfaatkan kelengahan lawan. Hal
ini membuat Rengganis semakin berang. Dia merasa seolah-olah Bayu sengaja
mempermainkannya.
Selama hidupnya, belum pernah dia dipermainkan seseorang sedemikian rupa.
Keberangan harinya membuat Rengganis semakin memperhebat serangan. Tidak
disadarinya kalau hal ini justru yang diharapkan Bayu.
*** Keadaan sekitar pertarungan telah porak-poranda. Batu-batu hancur berkepingkeping Pepohonan tumbang tak tentu arah. Sementara pertarungan berjalan semakin
sengit. Berpuluh-puluh jurus sudah dilalui, belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Matahari pun semakin tinggi. Sinarnya yang terik tidak dihiraukan lagi.
"Huh! Anak ini benar-benar alot!" dengus Rengganis dalam hati.
"Tidak kusangka! Wanita ini tangguh juga,"
gumam Bayu dalam hati.
Mereka memang sama-sama tangguh. Bayu melompat keluar dari arena pertarungan.
Keringat mengucur deras dari seluruh tubuhnya.
Sebentar ditariknya nafas panjang, lalu dengan cepat tangan kanannya menghentak
ke depan. Saat itu juga senjata cakra yang ada di pergelangan tangan kanannya melesat
cepat bagai kilat.
Rengganis mengangkat tangan dan membuka kipas sambil memiringkan tubuh ke kiri.
Dengan senjata kipas baja putihnya ditangkis senjata cakra itu.
Tring! Rengganis terkejut dan langsung melompat mundur. Kipas di tangannya terpental
saat membentur cakra yang melesat cepat itu. Belum lagi hilang rasa kagetnya,
cakra itu berbalik berputar dan kembali menyerangnya dengan cepat. Mau tidak
mau, wanita itu membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali
sebelum melesat bangun.
Pada saat yang tepat, Bayu melompat cepat dan menangkap senjatanya di udara.
Sebelum Rengganis benar-benar siap, Pendekar Pulau Neraka itu sudah meluruk ke
arahnya sambil mengibaskan tangannya.
"Ah...!" Rengganis memekik terkejut.
Buru-buru diegoskan tubuhnya ke samping menghindari terjangan bagai kilat itu.
Namun yang terjadi adalah ....
"Akh!" pekikan tertahan terlontar dari mulut wanita itu.
Rengganis menekan bahu kirinya yang
tergores ujung cakra di tangan Bayu. Dan di saat tubuhnya limbung, satu pukulan
keras menghantam dadanya. Tak pelak lagi, tubuh ramping berbalut baju hijau itu
terlontar ke belakang beberapa depa.
"Saatmu sudah tiba, Rengganis!" seru Bayu keras.
Seketika itu juga Bayu menghentakkan
tangannya, dan senjata di tangan kembali terlontar cepat dengan suaranya yang
mendesing membelah udara. Rengganis terperangah sesaat, lalu cepat-cepat
dilentingkannya tubuhnya ke atas.
Namun tanpa diduga sama sekali, Pendekar Pulau Neraka itu melesat, sambil
mendorong tangan kanannya dengan mengerahkan jurus
'Pukulan Racun Hitam' Rengganis yang sedang menghindari serangan cakra, tidak
dapat lagi berkelit. Dengan telak dadanya kembali terhantam pukulan telapak
tangan lawannya.
Akibatnya deras sekali tubuh Rengganis meluncur menghunjam ke tanah.
Bayu meluruk turun setelah senjatanya menempel kembali dipergelangan tangan
kanan. Dia berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Sementar Rengganis
berusaha bangun. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah kental kehitaman. Pada
Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagian dadanya tergambar telapak tangan berwarna hitam menghanguskan bajunya.
Dua kali dia terbatuk dan memuntahkan darah kental kehitaman. Dengan terhuyunghuyung, wanita cantik berbaju hijau itu berdiri.
"Kau hebat. Bayu. Ayahmu pasti bangga kepadamu," kata Rengganis memaksakan untuk
berdiri tegap. "Terima kasih atas pujianmu, Rengganis. Tapi sayang, ajalmu sudah
dekat," sahut Bayu sinis.
"Aku akan mati tersenyum. Bayu."
Bayu hanya tersenyum sinis. Dan tanpa memicingkan mata sedikit pun, dihentakkan
tangan kanannya. Rengganis tetap berdiri tegak tak bergeming. Dia hanya menatap
saja senjata bulat pipih yang mendesing cepat ke arahnya.
Tentu saja hal ini membuat Bayu terperangah.
Tidak disangka kalau wanita itu menjadi pasrah, dan tidak melakukan perlawanan
lagi. Kelihatannya nekat sekali!
Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu mengempos tubuhnya. Dia
melesat cepat mengejar senjatanya yang sudah melayang bagaikan kilat kearah
Rengganis. Tapi tindakannya terlambat.....
"Aaakh!" Rengganis menjerit menyayat.
Sebentar tubuhnya masih berdiri tegak, lalu limbung, tak lama kemudian tubuhnya
ambruk ke tanah dengan cakra tertanam dalam di dadanya. Bayu langsung menubruk
dan mencabut senjatanya dari dada wanita itu. Diangkatnya tubuh Rengganis dan
diletakkan di pangkuannya.
"Oh..., Bayu.. ," lemah dan lirih suara Rengganis.
"Tidak...! Aku..., aku tidak bermaksud membunuhmu. Kau... Kau ibuku...," suara
Bayu tersendat.
"Aku bukan ibumu. Bayu. Aku pembunuh ibu dan ayahmu. Aku memang pantas mati di
tanganmu."
Bayu meletakkan tubuh Rengganis di atas rerumputan, kemudian berdiri dan
melangkah mundur beberapa tindak. Kepalanya menggeleng-geleng. Pandangannya
seperti orang yang tidak percaya dengan perbuatannya sendiri.
"Kau..., kau.... Tidak! Katakan padaku!
Kau bukan pembunuh orang tuaku! Katakan! Siapa yang membunuh orang tuaku"!"
sentak Bayu seolah olah kehilangan akal.
"Aku yang membunuh mereka, Bayu. Aku yang merencanakan semuanya. Aku tidak tahu.
Aku khilaf. Mata hatiku tertutup mendengar cerita mereka yang..., ah!"
"Katakan! Siapa mereka"!" desak Bayu
"Mereka.... Ugh, ugh!"
Bayu kembali mendekat, dan berlutut di samping wanita yang tengah sekarat itu.
Dia memang telah memiliki banyak keterangan tentang wanita ini. Bayu memang
tidak yakin kalau perbuatan Rengganis dalam keadaan sadar.
Pasti akibat hasutan dari orang lain. Hati pemuda itu jadi berperang sendiri.
Bagaimanapun juga, Rengganis adalah istri ayahnya, yang berarti juga ibu
tirinya. "Katakan padaku, Bibi. Siapa mereka?"
desak Bayu. "Kau..., kau memanggilku Bibi, Bayu?"
wajah Rengganis langsung berubah cerah. Namun pandangan matanya seperti tidak
percaya dengan pendengarannya.
"Katakan padaku, Bibi. Siapa yang menghasutmu" Katakan, Bibi!" desak Bayu.
"Bayu...," desah Rengganis bahagia mendengar dirinya dipanggil bibi oleh pemuda
ini. Bayu membiarkan saja tangannya digenggam.
Juga dibiarkan saja tangannya diciumi wanita itu. Mereka memang bennusuhan.
Tapi, mereka juga tidak bisa memungkiri tali ikatan yang ada pada diri mereka.
Rasa dendam, sakit hati, dan kebencian, seketika luntur diterjang perasaan haru
yang begitu kuat mendesak.
"Bibi..!" sentak Bayu saat wanita itu mengejang.
"Bayu, maafkan aku...," lirih dan tersendat suara Rengganis.
Bayu menggigit-gigit bibirnya sendiri menahan sesuatu yang hampir meledak dari
dalam dadanya. Kedua bola matanya berkaca-kaca memandangi wajah Rengganis yang
semakin pucat membiru.
"Bayu..., setelah kuketahui ayahmu tidak bersalah, aku selalu dihantui perasaan
berdosa yang tidak terampuni. Mereka memang jahat dengan memanfaatkan aku untuk
membalas sakit hati dan dendam pribadi mereka, jumlah mereka banyak, Bayu. Aku
memang bodoh, aku tidak tahu kalau aku hanya dijadikan alat dan boneka
pancingan. Aku menyesal Bayu. Maafkan aku...,"
semakin lemah dan lirih suara Rengganis.
"Bibi..," ujar Bayu tersentak.
"Mereka semua sangat tangguh. Aku tidak berdaya. Aku tidak mampu menandinginya.
Bayu. Maukah kau membalaskan sakit hatiku" Maukah kau menghancurkan mereka?"
Bayu mengangguk. "Terima kasih, Bayu...."
"Bibi...!"
Rengganis tersenyum dan pelahan-lahan matanya terpejam.
"Bibi..., katakan! Siapa mereka"! Aku nanti pasti akan membalas sakit hatimu.
Katakan, siapa mereka. .?"
Bayu menggoyang-goyang tubuh Rengganis.
Tapi wanita itu sudah tidak bergerak lagi.
Rengganis telah menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan bibir tersenyum.
Bayu tidak mampu lagi menguasai diri dan perasaannya.
Dipeluknya tubuh wanita itu. Dan tanpa dapat dibendung lagi, air matanya menitik
pelahan. Kebencian dan kesadisannya hilang sejenak.
Tatapan nya pun lesu.
*** Seharian penuh Bayu duduk mencangkung di atas batu hitam. Tidak jauh di depannya
tampak gundukan tanah merah yang masih bani. Hanya sebuah batu sebesar kepala
yang menandakan kalau gundukan tanah merah itu adalah sebuah makam yang masih
baru. Kesanalah pandangan mata pemuda berbaju kulit harimau itu menatap.
Desahan napas panjang terdengar Dari balik saku ikat pinggangnya dikeluarkannya
secarik kain merah muda penuh dengan tulisan darah yang telah kering. Tatapannya
beralih pada secarik kain itu!
"Aku harus mencari mereka. Ya..., harus!"
desahnya bergumam.
Pelahan-lahan pemuda berbaju kulit harimau itu bangkit berdiri. Sebentar matanya
menatap ke arah makam baru di depannya, kemudian dimasukkan kain merah muda ke
dalam ikat pinggangnya. Kembali dia mendesah panjang dan terdengar berat.
Pelahan-lahan kakinya terayun ke arah matahari terbenam.
"Sayang, Bibi Rengganis tidak memberi banyak keterangan. Biarpun jumlah mereka
banyak, aku harus mencari mereka dan membuat perhitungan yang setimpal. Mereka
pasti orang-orang yang kejam. Hmmm..., aku juga tidak akan bermurah hati.
Siapapun orang yang berbuat kejam didepanku, harus mati! Ya..., mati!"
gumam Bayu mendesis.
Pada saat itu di atas kepalanya melintas seekor
burung. Sejenak Bayu menatap burung itu, lalu tangan kanannya menghentak ke
atas. Cakra, di pergelangan tangannya langsung melesat cepat bagai kilat. Tak ampun
lagi, burung yang tengah terbang bebas itu meluruk jatuh begitu lehernya
terpenggal. Bayu mengangkat tangan kanannya, maka cakra itu kembali menempel di
pergelangan tangannya.
Dia membungkuk dan memungut bangkai burung yang masih mengeluarkan darah segar
dan hangat. Dipandanginya leher binatang malang itu. Leher yang sudah tidak
memiliki kepala lagi.
"Tunggulah kalian! Akan kubuat kalian seperti ini!" seru Bayu sambil mengangkat
bangkai burung tinggi-tinggi. Tatapannya sangat sadis dan penuh dendam!
Bangkai burung itu kembali melayang tinggi keudara, dilemparkan dengan
mengerahkan tenaga dalam penuh. Bayu memandanginya sampai bangkai burung malang
itu lenyap di balik lebatnya pepohonan. Sesaat kemudian kakinya kembali terayun
menuju kearah matahari terbenam.
Pada saat itu sang surya memang sedang meluncur untuk bersembunyi di balik
belahan bumi Barat. Sinarnya yang merah jingga seperti menyongsong kehadiran
seorang pendekar muda yang penuh bara dendam. Pendekar Pulau Neraka yang akan
menggegerkan rimba persilatan!
Silakan Anda tunggu kisah petualangan berikutnya. dari Pendekar Pulau Neraka
yang sadis ini!
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : ABU KEISEL
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Tusuk Kondai Pusaka 21 Si Penakluk Dewa Iblis Karya Lovely Dear Pendekar Pemanah Rajawali 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama