Batu Belah Karya Mj Melalatoa Bagian 1
M.]. MELALATOA KUMPULAN CERITA RAKYAT BAYU
. 'f ; .f _ . I'LRI" Halal I .th L fi oBatu oBela/z M.]. Melalatoa FERPLIGTAKAAN "IDML Rl Bala! Pustaka
Batu Belah Diterb'rtkan oleh Penerbitan dan Percetakan
PT Balai Pustaka (Persero)
Jalan Bunga Na. B"BA
Matraman, Jakarta Timur 13140
Te LtFa ke. [BE-21) 358 33 69
Webaite. httpmvuxwhalaipustakaoold
BP NO. 2365 NO. KDT.398.2 Cetakan 1:1969 Cetakan 5! 2008 Penulis : nu. hllelalaba i-r + tit] hlm.; BS [116 3:25 cm)
ISBN: ETH-4015933 Penyetaras Bahasa : Febi Ramadan
Penata Letak : Andhranajrah Siswantara
Perancang Sampul : Ipe lulaaruf
Undang-Undang Republik Indonesia Nnmnr19 Tahun 2002 tentang Hal: Cipta
Lingkup Hak Cipta Pasal 2: '1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal "2: '1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat ('I) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat '1 (satu) bulan danr'atau denda paling sedikit Rp'l.DE|D.E|DE|,E|D
(satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama " (tujuh) tahun dantatau denda paling
banyak Rp5.DDD.DDD.DDD,DD (lima miliar rupiah].
2. Barang siapadengansengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dantatau denda
paling banyak RpBDD.DUD.DUD,UD (lima ratusjuta rupiah].
"ninna-um." _ _
%ta Janganlah Cerit a" cerita dongeng atau le gendapada umumnyamenarik dan asyik untuk
dibaca, baik oleh anak-anak maupun orang dewasa. Lebih-lebih kalau ceritanya
sang at berkesan di hati para pembacanya
Buku yang berisi Kumpulan Cerita Rakyat Gayo dan terdiri dari empat buah
cerita: Batu Belah, Genali, Maha, Dewa, dan Aman J empret ini memberikan
rangkaian cerita"cerita daerah dengan berbagai syarat adat kebiasaan yang
sang at mengikat. Buku ini telah mengalami cetakan yang kelima dan pada tahun 1974 pernah
dipesan oleh proyek inpres Penyediaan Buku-buku Bacaan, bagi perpustakaan
sekolah"sekolah di seluruh Indonesia.
Buku semacam ini mengetengahkan kebudayaan yang bersifat khas
Indonesia. Hasil penggalian kembali segala kekayaan kebudayaan yang
terpendam, yang pada hakikatnya akan dapat memberikan rasa kepuasan
rohani dan menanamkan kecintaan terhadap kebudayaan sendiri.
MJ . Melalatoa, penulis buku ini, ju gaberasal dari daerah Gayo AcehTengah.
Ia boleh dikatakan telah berhasil mengolah cerita rakyat daerah dari tempat
asalnya sendiri, sehingga mengangkatnya ketingkatan sastra yang bermutu.
Dan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik, cerita-ceritanya jadi
hidup dan melekat di hati rakyat.
Balai Pustaka ... ll] apah" %: Kata Peng antar ...................................................................................... iii
Batu Belah ............................................................................................. 1
Genali .................................................................................................... 15
Malim Dewa .......................................................................................... 34
Aman J empret ....................................................................................... 44
kepada ibunda: yang selalu mendangengiku
tentang kehidupan bagi: as, vivin, dan ucy yang selalu senyum
mendengar dongeng"dongeng kehidupan
fr :: fs "n" nnnnnn __ Seorang bocah bergegas meniti pematang"pematang sawah, dengan
kakinya yang mungil, yang kelihatannya sangat goyah. Kaki mungil ini
melentik-lentik karena beban yang berat dipunggungnya. Dengan diikat
selembar kain lusuh beban itu mengg andul" gandul ke kiri ke kanan. Adiknya
yang masih kecil. Langkah bergegas ini ditingkahi napas dengas"dengus,
dengan wajah pasi dan bibir yang layu. Napas ini bukan hanya karena
keletihan kakinya, tapi terlebih lagi karena beban hatinya yang meng gandulgandul bagai lonceng gereja. Lonceng ini berdentang"dentang juga meriuhi
ruang dadanya yang tipis.
Si kecil yang terdukung di punggungnya, masih sempat pulas dengan
gendongan kakaknya karena tiada dentang-dentang yang meriuhi dadanya.
Si kakak yang berkaki kecil melentik-lentik, yang mendukung si kecil
adiknya, yang diganduli pikiran yang belum waktunya dipikirkannya, yang
bernama Inah, terus meniti pematang demi pematang. Cennat kakinya
merilih bongkah-b ongkah tanah, yang bisa membuatnya terjungkir bersaina
adiknya. Kadang-kadang sempat terpeleset pada bibir pematang yang
runcing, dengan amat berat diangkatnya kembali. Pahannya yang halus
terasatertusuk ujung perdu padi yang baru disabit. Lalu hatinyajuga menjadi
perih. Napasnya kencang karena rasa ham.
Keharuaan itu dipantulkannya pada wajah adiknya. Ditatapnya dengan
sorotan yang kuyu. Dari matanya merangkak-rangkak kesedihan melalui
pipinya dan menetes ke bumi. Ia seolah berkata kepada adiknya. Adikku
lelaplah engkau tidur. Jangan menangis adikku, sayang. Kemudian ia
menyeka matanya menghilangkan pandang an yang putih berembun. Si adik
tak merasakan apa yang sedang dimamah oleh dada kakaknya dia masih
dibuai mimpi "mimpinya.
Mata Inah kembali menjamahi rumput"rumput dan tanah yang dinodai
tetes"tetes darah basah. Ia berjalan kembali. Lesu.
Waktu itu musim panen baru saja usai. Para Tani di Penarun sudah
pada meninggalkan sawah. Hasilnya sudah diangkut ke rumah, mengisi
rangkiang"rangkiang. Di tengah"tengah sawah hanya tinggal dangau"dangau
tempat mereka mengusir burung"burung. Burung pipit, burung derah, yang
datang menyisil bulir"bulir padi yang masih muda. Dari dangau"dangau ini
masih terentang tali ke tiang-tiangr| tetakut" yang meliuk-liuk ditiup angin,
untuk menakuti kawanan burung yang biasa datang berbondong-bondong.
Bangau-dangau itu didiami juga oleh para petani selama musim panen.
Sekarang perdu"perdu padi yang sudah dipotong pada menuding ke atas
di setiap petak sawah. Di sana sini menghijau selibu, tunas padi muda yang
mengacung dari celah perdu-perdu itu. Ketika Inah melandanya, sambil
mengikuti tetes"tetes darah, belalang"belalang melompat di depannya seperti
menghindarkan. Belalang"belalang ini ketakutan kalau"kalau dicomot oleh
tangan kecil Inah. Memang belalang ini selalu menjadi inceran anak"anak pada
musim memotong padi. Malah bukan saja anak-anak, para ibu-ibu pun sambil
menyabit menangkapinya untuk anak-anaknya.
Pada malam hari lebih-lebih lagi. Anak-anak biasanya membawa obor kayu
damar. Merekamengendap"endap di antaraperdu"perdu padi di sawahmereka.
Belalang"belalang itu biasa terpukau kena cahaya obor, sehingga mudah sekali
menangkapnya. Anak-anak biasanya menggigit batang rumput untukmencu cuk
belalang"belalang itu di tengkuknya. Bila cucukan itu penuh akan dibakar
dan dimakan dengan nasi. Kalau mau dipelihara lebih lama, biasanya mereka
membawa tabung"tabung bambu yang disumbat kain"kain buruk.
Kadang-kadang kalau lagi iseng, bapak-bapak dan ibu-ibu juga turun ke
sawah menangkap belalang.
Bapak Inah sendiri punya rangkiang besar untuk memelihara belalangbelalang hasil operasinya di malam hari.
Dikampung Penarunmenangkapbelalang merupakan salahsatu kesenangan
di musim panen. Pada masa inilah hati para petani bisa terhibur. Di luar masa
itu hanya keringat yang menetes karena otot-otot mereka yang terperas.
Betapa mereka tak merasa bahagia, keringat"keringat yang mengucur
selamaini, akhirnyatertebus olehsatu berkah. Padi menguning di hadapanmata
mereka Warna yang terhampar itu mengisi harapan hidup tahun berikutnya.
Betapa pun sederhananya, tapi hatimereka, hati mereka sebagai manusia telah
terpulas oleh kedamaian. Setelah usai pula dari masa panen ini, orang"orang di Penarun punya
kegemaran juga berburu rusa di hutan. Biasanya mereka punya anjing"anjing
yang galak dan setia. Padasaat berburu, gonggong"gonggong anjing bertalu"talu
riuh, seperti menjagakan hutan belantara itu dengan seluruh margasatwanya
yang sedang tidur lelap. Suara para pemburu melengking"lengking mengikuti
anjingnya, dengan lantun gema yang syahdu memecah kesunyian hutan
raya. Kaki yang cekatan berpacu menghindari duri"duri pada pendakian dan
penurunan bukit"bukit yang dilalui. Masing"masing siap pula dengan tombak"
tombak buat menjangkau mangsanya di mana saja bersua. Pengejaran yang
gigih dari para pemburu -p emburu ini ditandai oleh napas terengah-engah, tapi
tidak pernah menyatakan lelah.
Langkah-langkah yang tajam dan gairah mengikuti gema gonggong anjing
yang gigih itu, membuat mereka lupa berapa bukit sudah terlangkau. Ya,
bukit yang berbanjar, gunung yang bergulung"gulung. Gonggong anjing itu
merupakan irama musik dalam hati mereka dan mereka terhibur.
Ayah Inah termasuk di antara pemburu-pemburu itu. Ayah Inah temlasuk
seorang manusia yang juga memerlukan hiburan. Ia termasuk orang yang
memperoleh hiburan di tengah-tengah hutan dengan napas terengah-engah.
Selain itu ia pun terhibur di sawah, mencomot belalang"belalang dari atas perdu
padi. Inah masih bergegas di antara petak-petak sawah, melangkahi pematang
demi pematang. Tiba"tiba ia berhenti terpaku. Matanya sedang mengamati
seekor belalang yang terbang di mukanya. Belalang itu kemudian hinggap di
sebuah tangkai rumput. Keduannya hening seperti tatap-menatap.
Warna belalang itu begitu indahnya Hijau muda dan sedikit putih pada
sayapnya Warna cokelat muda bagian mulutnya seperti bibir orang tengah
makan sirih. Jenis belalang begini biasa disebut "lompong eres" Keindahan
belalang ini bagi Inah rupanya menimbulkan ingatan yang pedih. Ingatan itu
membuat juga darahnya tersirap dengan muka penuh dendam. Kemudian
persendiannya terasa letih sekali, seperti orang tak makan tiga hari.
Di ujung keletihan itu sorot matanya menjadi lunak, pandangannya buram
karena digenangi kesedihan. Seluruh tubuhnya terasa tergenang, yang meluap
dari hatinya yang cair. Dalam keadaan ini kaki ke cilnya yang melenting "lenting kembali melangkah
dengan berat. Dadanya juga merasa tambah berat dibebani onggokan dendam.
Dengan diantar rasa dendam itu, inah sampai di pinggiran sawah batas dengan
hutan muda yang di tumbuhi kekayuan yang tidak begitu lebat. Di kejauhan
tampak gunung bergulung"gulung.
Di bawah sebuah pokok kandis Inah berhenti. Tubuhnya penat. Ia
menggolekkan adiknya yang masih tidur nyenyak dengan muka berkeringat.
Sebelum sempat direbahkannya ke tanah, adiknya membuka mata dan
menggeliat. Sebuah senyum getir diulurkannya pada adiknya.
Tampaknya si adik kurang memerlukan senyuman itu. Ia lebih banyak
memperhatikan sekelilingnya. Di matanya tercermin keheranan. Keheranan
seorang bocah. Ia tak menemukan dinding tepas rumahnya. 'Tidak melihat
para-para di atas dapur, di mana tergantung sebuah boj ok tempat menyimpan
barang. Ia merasa asing, matanya menj amah j arnah di sekeliling alai terbuka.
Ada satu yang ingin dijamah oleh matanya, tapi ia tak menemukannya
Ibunya Ia ingin menyedot dadanya begitu pikirannya tertumpu pada ibunya,
ia pun menangislah. " Ibu, ibu," katanya.
Kakaknya gelisah dan dipeluknya rapat ke dadanya. Dalam dekapan ini si
Adik masih melanjutkan tangisnya dan memanggil-manggil ibu.
"Cep, Cep, adikku. Sebentar lagi ibu datang." Si Adik diciumnya mesra
dengan pipinya yang basah.
Kesedihan yang dirasakan Inah menyebabkan ia tak betah lama"lama
berteduh di bawah pokok kandis itu. Sekali lagi si Kecil menjangkau leher
kakaknya. Inah menyangkutkan kain gendongan dari pantat hingga menutupi
bahu adiknya. Ia bangkit dengan berat seperti seekor kerbau tua bangun dari kubangan.
Langkahnya lesu mengikuti kompas tetes"tetes darah sepanjang per"
jalanan. Kadang-kadang ia melalui semak-semak setinggi lutut, kadang-kadang
melalui j alanan kerbau berbungkah-bungkahtaj am. Sekali-sekali tampak bekas
babi di antara jalanan kerbau itu. Bersama ketabahannya ia terus mengikuti
tanda"tanda merah yang tersangkut pada rumput dan juga mata dan hatinya.
Satu kali ia harus menyuruk"nyuruk semak yang merimbun. Ranting"
ranting keringnya menyangkuti kain dan kepala adiknya Keluar dari semak itu
ia telah berhadapan dengan semacam padang rumput yang tidak begitu luas.
Di sisi lain padang itu, mata Inah terpacak pada sesosok tubuh. Jelas itu
manusia. Diyakini oleh mata dan hatinya. Inah terpesona bagai menyaksikan
keajaiban. "Tih, Utih, Adikku. Itu Ibu. Ibu kita, Dik. Ia sedang bergegas. Ia tak
menunggu kita," suaranyaparau. Iabicara dalam termangu. Bangkit dari pesona
itu, kakinya yang kecil melengking seperti melayang di permukaan bumi. Ia
mengejar dengan dukungan yang dehdoh dan kontal"kantil.
Sosok itu semakin bergegas, tapi tak terlepas dari pengamatan mata Inah.
Dalam pengamatannya tiba"tiba menyusup di balik rumpun kekayuan di
kejauhan itu. Begitu sosok itu menghilang dari pandangannya Inah berteriak
parau. "Ibu, Ibu," suaranya panjang. Ia merasa seperti tak ketemu lagi sampai
mati. Begitu Inah menjerit, si Kecil jadi bingung sendiri di punggungnya. la
pun memanggil-manggil Ibu berkepanjangan. Si Kakak tidak lagi berusaha
memadamkan tangis adiknya. Pikirannya meng gapai- gap ai menyuruki rumpun
kekayuan di mana ibunya menghilang.
Sekarang Inah dan adiknya tinggal beberapa langkah lagi dari tempat
ibunya tadi menyelinap. Ibu Inah rupanya sedang berteduh di balik rumpun itu. Dan tempat itu ia
mendengar tangis an anak-anak. Lama tangis an itu dideng amya. Suara itu telah
lama dikenalnya. Dadanya remuk seperti baru digilas roda mesin giling.
Dengan membawa dada yang remuk itu, ia berusaha menghindari anaknya.
Iamerangkak-rangkak di antarasemak-semak yang padat itu. Tangankanannya
memelukdada, sedangkantangankirinyamenj adi tumpu anbadannya Badannya
tampak lelah karena diburu rasa harunya. Ia menyandarkan diri pada sebuah
pokok kayu sebesar betis.
Ketika Inah tiba di tempat ibunya menghilang tadi, ia tak menemukan apa"
apa. Matanya liar dan isakan tangisnya seperti terbendung. Ia tahan napas,
seperti anak-anak menangkap capung, takut kalau-kalau capungnya terbang.
Kegelisahannya membumbung setelah yang dicarinya jelas tak ada lagi. Ia
merem as"remas dada membendung perasaan.
"Ibul Bu, Ibul" Ia berputar-putar menatap sekeliling. Kayu-kayuan, semaksemak, satu pun tak bergerak. Semua kaku dan bisu seolah turut merahasiakan.
Dirasakannya seluruh keadaan itu sedang memusuhi dirinya. Dipej arnkannya
mata mengikuti tangis adiknya yang semakin menderas. Ia berseru dengan
suaranya yang serak, "Ibu, di manakah engkau sekarang. Sukakah engkau
menunggu kami." Ia berhenti menunggu jawaban dari sekitarnya Suara apa
Batu Belah Karya Mj Melalatoa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun tak ada. "Tunggu kami, But Adikku sudah terlalu haus, ia ingin menyedot dadamu.
Bu, Ibutr| "Mari anakku, kemarilah sayang, Ibu sedang menunggumu!"
Demi mendengar suara itu, Inah berputar-putar seperti ayam yang kena
pukul di kepalanya. Dari jurusan mana suara itu datangnya tidak jelas ke
telinganya. Ia memanggil lagi dengan sepenuh tenaga dan nafsu. "Ibu, Ibu!
Engkau di mana[ Ibu, nantikan kamit" la diam menunggu jawaban.
" Bu, Bu ...," suaranyamerayu serak.
" Ibumu di sini, kemarilah, SayangkuI" Suara itu datang dari belakang
Inah dan ia berbalik cepat menghadapnya. Langkahnya menjurus ke arah itu,
berj alan melanda semak dengan gegapannya. Ia takut ibunya menghilang lagi.
Sesaat kemudian Inah telah melihat ibunya berdiri kuyu memandang dan
menunggunya Inah mengejarnya seperti akan terbang. Ibunya menyongsong
dengan langkah enggan, dengan muka yang perih. Begitu mereka merapat,
tangan Inah menjangkau kaki ibunya ketat, seperti kacip kepiting mencengkam
mangsanya Sang Ibu mengusap-usap dua buah kepala dengan kedua tanganya dengan
seribu kasih sayang dalam satu kepedihan. Usapan yang membelai kepala
ini membuat kacipan tangan Inah bertambah erat. Mata dan tangan si Utih
meng gapai- gap ai wajah ibunya.
"Mengapa Ibu tinggalkan kami?"
"J angan menangis lagi, Anakku!"
"Mengapa Ibu tinggalkan kami?" Ucapan ini kedengaran tersentak"sentak
oleh isakannya. "Sayangkah Ibu pada kami, Bu. Utih selalu kehausan minta
susu Ibu." Ibunya tampak menelan kepedihan yang tersumbat dikerongkongannya.
Ia tak menjawab anaknya, karena telah remuk. Ia membelokkan pertanyaan
anaknya. "J angan menangis lagi, Sayang. Nanti Ibu juga turut menangis."
Dalam genangan perasaan lain, ibunya bertanya lain pada anaknya,
"Ayahmu di mana, Nak?"
Demi mendengar pertanyaan yang tak diduganya itu, kacipan tangan Inah
merenggang. Isapannya reda perlahan"lahan. Ibunya menjangkau tubuh si
Kecil dengan tangan kirinya dan langsung menyuguhkan buah dadanya yang
sebelah kiri. Sambil menyedot dada, si Kecil tak lepas "l ep as memandang wajah
ibunya. Mata ibunya memandang dalam ke dalam tubuh Inah yang tengah
menyembah. Mereka tenggelam dalam pikiran masing"masing.
" Inah, anakkui| Inahmeng angkatmukamemandangibunyalembut."Adakah
engkau mendengar desir air di kej auhan itu?" Inah memasang telinga meyakini
yang dikatakan ibunya. " Ibu sangat haus, Nak." Ibunya menj ejaki hati Inah.
Di tengah dada Inah mengembang perasaan kasih sayang, lalu bersinar di
wajahnya yang menyerikan kasih yang salih.
ff. . .. .. . ';n- .in-'L "- (: &
...?"...nl' :":21.
"'n. .:. .. ,naw ' I . 1 '.'-_ ': *!!! "Ya, aku mendengarnya, Bu, desir itu membisik di telingaku."
Ibunya sempat senyum, tapi harum mendengar tetes hati yang salih itu.
" Pergilah, Anakku. Bawakan Ibu air dalam dedaunan atau dengan apa saja
engkau dapat membawanya Kerongkongan ibu sekarang kering, Anakku."
Karena kasih sayangnya Inah beranjak dari duduknya, tanpamenghiraukan
keletihan tubuhnya. Ia merasa bahagia bila dapat mengambilkan ibunya air.
Ibu yang sedang menderita kerongkongan kering.
Ibunya ditinggalkan dengan langkah jingkrak-jingkrak. Ia menyuruk semak,
reranting kayu yang menyukarkan perjalanannya Ulat dan harimau sewaktuwaktu mungkin membelit dan menekan tubuhnya Rasa takut itu, sedikit
pun tak melintasnya di otaknya Ia melupakan segalanya, kecuali desir air di
kejauhan yang selalu bemyanyi di telinganya. Semakin dekat suaraitu semakin
merdu nyanyian itu di hatinya.
Kini ia telah sampai pada sebuah anak sungai. Airnya jernih dan sejuk.
Dihirupnya air itu dengan sepuas hatinya. Hatinya terasa sejuk dan jernih.
Sehelai daun yang rada lebar dibuatnya semacam kerucut. Kerucut berisi
air itu dibawanya dengan hati"hati. Sedikit saja kakinya tersandung pasti air
akan tumpah. Karenanya ia tak boleh bergegas, Sedang hatinya meronta-ronta
buat menyiramkan air itu di atas dahaga ibunya Dan alangkah berbahagianya
bila sang ibu nanti mengulurkan senyum kepadanya setelah mereguk air yang
dibawanya. Dari kejauhan Inah sudah memanggil-manggil ibunya, dengan suaramesra.
Sepatah jawaban pun tak didengarnya Inah memanggil lagi. Kesunyian masih
berkuasa. Jalannya bergegas-gegas penuh tanda tanya.
Alangkah kecewanya, dia cuma menemukan adiknya yang sedang pulas. Di
tempat ibunya tadi duduk, di sisi adiknya yang tidur ini ditemukannya tetes"
tetes darah yang sudah agak layu. Inah mendekap adiknya dan menciumnya
mesra sekali. Badanya bergoyang-goyang menahan kepiluannya.
Dengan pandangan kabur ia menatap darah itu dan mengikutinya ke mana
arahnya. Dipipinya air mata rerangkak"rangkak kembali dan luruh di dagunya.
Hatinya tambah perih. Si Kecil kembali dalam gendonganya serta mulai melangkah dengan
beban rahasia di ubun kehidupanya Sang Ibu ingin kalau akhir dari ujung
jalan yang ditempuhnya bisa menjadi teka"teki pada benak anak"anak yang
dikasihinya. Kalau satu hari mereka rindu pada seorang Ibu yang hilang, yang
amat dirindukan karena Ibu mereka, adalah karena suatu perpisahan. Kalau di
hari yang lain mereka mengangankan seorang Ibu yang jauh, yang besok lusa
akan muncul di ambang pintu rumah mereka, mereka pun akan selalu terhibur.
Hiburan ini mungkin yang terindah dalam hidup mer eka.
Maka kalau pun ia harus mendengar imbauan duka anak yang memburu di
kuduknya, dengan panggilan yang tak hentinya. Ibu, tunggulah kami, adikku
menangis, ia sang at hausnya, tapi ia pun harus bergegas menjauhinya.
Antaranapas terengah, padakerongkongan yang kering, langkahmemburu,
serta diburu imbauan kasih sayang, tiba-tiba pandanganya terbentur dengan
sebuah bayangan kelabu di kejauhan. Bayangan ini seolah melambai tangan
kepadanya. Langkahnya yang terburu makin memburu.
Bayangan itu mencuat di antara pepohonan yang tumbuh agak jarang.
Pohon"pohon bengkuang yang kaku, daunya meliuk"liuk ditiup angin.
Semakin terburu langkahnya terasa bayangan itu mengulur senyum gairah
kepadanya. Semakin gairah senyum itu, semakin terburu langkahnya.
Bayangan yang tadi memberinya senyum, kini terungkap di hadapannya.
Sebuah batu besar warna kelabu, ditumbuhi lumut di sana sini. Di salah satu
sisi batu besar itu tumbuh sebuah pohon berdaun rimbun memayunginya. Di
sekelilingnya tumbuh rumput merata, yang memperkuat kesunyian batu itu.
Melihat pada rumput"rumput ini, nyata sekali daerah sekeliling batu jarang di
dekati oleh hewan"hewan penghuni hutan sekitarnya.
Sosoktubuhyangterpaku disisibatu ini, kelihatantidakbanyakmenunjukkan
kesuraman dan keanehan. Ia memandang seperti pandangan kepada seorang
sahabat yang baru sajabersua Matanya berbinar.
Sesaat kemudian, ingatannya terbang dan hinggap kembali di waj ah anakanaknya. Anak"anaknya yang manis, tapi tengah menangis pilu. Bocah"bocah
ini dilihatnya sedang menyalakan api di tengah dadanya. Jiwanya terbakar.
Karena pembakaran ini membuat badannya berkeringat hingga kuyup.
Kengerian pun datanglah. Bocah buah kasih sayangnya ini mungkin segera
akan menyusulnya. Ia menoleh curiga ke arah dari mana ia datang tadi. Dari
arah mana mungkin Inah akan muncul dengan beban berat di punggungnya,
dengan beban berat di hatinya.
Amuk pikiran yang kacau-balau, memaksa kakinya melangkah mendekati
kaki batu itu. Dan, setelah tertegun sebentar, dengan tetesan beberapa bulir air
mata, ia menjejakkan kaki kanannya pada batu. Disusul lagi dengan kaki kiri.
Begitu telapak kakinya mencium batu, batu itu menggigil seperti orang
kedingingan. Gigilan ini diikuti suara gemuruh dalam perut batu ini. Angin
bertiup dari delapan penjuru. Mengamuk puting beliung, seperti akan
mengobrak"abrik sosok tubuh yang tak berdaya ini. Ia takut. Titik pandangnya
berputar"putar. Semakin lama semakin cepat. Badannya menggigil seperti
gigilan batu yang berada di bawah telapak kakinya. Di luar kesadarannya,
kakinya melangkah tepat ke arah puncak batu yang sebesar rumah ini.
Di puncak itu terdapat semacam mulut dengan dua buah bibirnya Ia berdiri
di antara dua bibir ini. Amukan angin semakin menggila, seperti akan menghancurkan seluruh
kehidupan di sekitar daerah ini.
Di antara semak"semak di satu jurusan, ia melihat sosok tubuh sedang
menyeret"nyeret langkah yang berat sempoyongan. Sebentar"sebentar hilang
di balik rumpun semak yang meninggi, lalu mencuat lagi.
Tubuh sempoyongan ini semakin dekat kepadanya. Tangan-tangan kecil
serasa menjamah-jamah hatinya. Suara gemuruh menghantam-hantam dada,
seperti menandingi gemuruh yang tak membahana di perut batu itu.
Dengan kaki tersandung"sandung menyusuri semak"semak yang lebar itu.
Inah dengan bebannya, sudah mendekati batu. Ia bergegas di antara amukan
topan yang ajaib itu. Ia bergegas dengan membawa topan yang mengamuk di
hatinya. Inah dan Utih belum melihat orang yang dikejarnya sedang berpacu di
puncak kegelisahan yang maha tinggi itu.
Sang ibu memejamkanmatarapat"rapat, tapi pintu hatinyatak mau tertutup
buat kedatangan anaknya yang berjalan sempoyongan itu. Malah semakin lebar
terkuak. Dengan hati terjerang dan sedang mendidih di balik matanya yang
terpejam, ia mulai merayu. Dengan rayuan ini matanya terbuka pelan-pelan
dan menatap cakrawala yang sayup jauh. Menatap cakrawala, karena ia tak
mampu menyaksikan anak"anaknya terjerang kepedihan.
"Batu belah batu bertangkuplah tiba janji kita masa dahulu.rl Bersama
tembang inibatu itu bergegar dengan gigilan yang dahsyat, serta-merta dilangit
pun guruh menggelegar. Batu itu siap mengangakan mulutnya bagi mangsa
yang telah ikhlas buat ditelan. Ketika telah terdengar suara "krang krup". Mulut
batu telah terkatup kembali dan si mangsa tertelan hingga lututnya.
Suara guruh yang menggelegar tadi, rupanya telah mengenyakkan langkah
dan hati si dua bocah sempoyongan ini. Matanya terbang ke puncak batu di
mana ibunya sedang terp acak. Sebuah jeritan melengking dari mulut Inah. Utih
pun menangis keras tak mengerti.
" Ibu, Ibu,rl suara Inah serak menandingi keriuhan.
10 C: Sang Ibu mendengar suara itu dan menelannya sesak. Tapi matanya masih
tetap terpacak di cakrawala, ia tak sanggup berpaling ke arah mana pun lagi,
takut kalau"kalau matanya beradu dengan mata si bocah buah hatinya.
" Ibu, tunggu aku, tunggulah kami, Ibuku."
"Mari, Nak, mari Anakku. Aku menunggumu."
Si dua bocah lemah lunglai ini telah tertancap kakinya di sisi batu. Matanya
jernih menatap sosok yang terpacak di puncak. Mulutnya mengaga melihat
keajaiban itu. Lebih terpesona lagi ketika mendengar ibunya bertembang.
Tembang yang belum pernah didengarnya seumur hidup.
Batu belah batu bertangkuplah tiba janji kita masa dahulu!' Batu
mengangakan mulut kembali diiringi suara gemuruh, kemudian berbunyi
"krang krup." Ibu Inah sudah tenggelam hingga dadanya
"Tih, engkau melihat ibu" Itu Ibu kitalagi bernyanyi, Dik."
Si kecil ini meronta-ronta ingin melepaskan diri dari gendongan. Mata
kecilnya bundar bersinar ke arah puncak batu itu.
"Panggil Ibu, DikI PanggillahI" Suara Inah tak terlanjutkannya lagi.
Si kecil bergerak"gerak bibirnya seperti akan mengatakan sesuatu. Inah
mencium adiknya. Mukanya tenggelam dalam muka adiknya
"Alangkah kejamnya batu ini," begitu kutuk Inah dalarn dadanya. Di depan
matanya, ibunya bisa remuk begitu saja. Ia ingin mendekap ibunya Ingin ia
menyerahkan si Kecil saja buat diciuminya mesra, ciuman penghabisan. Tapi
tubuhnya yang letih merasa tak kuasa mendaki batu yang menggigil ganas ini.
Angin puting beliung segera akan merubuhkan tubuhnya di sisi batu yang licin
dan terjal. Hatinya bingung.
Tembang kembali bergema di pucak batu ini. Inah mendengarnya dengan
hati yang terasa di gi git" gigit. Air matanyameleleh dan tang annya eratmendekap
adiknya yang tampak ketakutan mendengar suara yang membahana itu.
Tembang ini rupanya tebang yang penghabisan. Di ujung tembang ini
menyusul "krang krup" penghabisan pula, yang menghabiskan riwayat Ibu,
Inah, Ibu Uti. Tubuh yang tinggal separo tadi lenyap ditelan mulut batu belah,
kecuali rambutnya masih tergerai dikibas-kibas angin.
Secara berangsur-angsur angin pun reda, gigilan dan suara gemuruh aman
kembali, seperti tak pernah terj adi apa-apa
Inah merapatkan gendongan adiknya, Inah merapatkan dukanya di pusat
ketabahannya. Batu itu mulai di daki dengan tubuhnya yang letih. Terkadang
11 kakinya terpeleset karena terinjak lumut yang licin. Adiknya di pegang erat"
erat, dikuatkannya hatinya, ia menuju puncak.
Di puncak itu ia tertegun memandang segugus rambut yang tergerai. Ia
sujud pada perdu ramput yang terjepit rapat oleh mulut batu. Digengarnnya
rambut itu sangat ketat, pada puncak keharu annya. Dua buah tangisan meledak
saling bertingkah, membungai padang sepi di sekitar batu belah yang baru
menelan ini. Perlahan-lahan Inah bangkit dari sujudnya sambil membelai-belai rambut.
Matanya lembap dan sembab. Kemudian ia memandang adiknya penuh kasih.
Inah menangis lagi sangat derasnya. Kepala si Kecil disungkapnya pada perdu
rambut itu dan ia pun sujud kembali seolah tak akan puas"puasnya hingga hari
kiamat. Keduanya bangkit dari sujudnya. Inah bersimpuh menghadap rambut.
Keduanya diam. Alam sekeliling juga hening menyaksikan tubuh kecil yang tak
beruntung ini. Terdengar Inah memanggil dengan suara terserak-serak. "Bu,
Bu," ia tampak tak mampu menuturkan perasaanya. Beberapa lembar rambut
ditarik oleh Inah. Rambut itu diciuminya Amat mesra Kemudian ia bangkit
tanpa memandang ke sekeliling. Kakinya menuruni batu yang terjal dan licin,
seperti orang yang sedang menderita kekalahan.
Inah berjalan ke arah ia datang tadi. Ia tidak menoleh ke belakang, tidak
memandang ke kanan ke kiri. Isakannya menyelingi langkahnya yang hoyong.
Rambut tadi masih dalam genggamanya. Itu akan dibawanya ke rumah buat
kenangan hidup bersama adik serta ayahnya. Ayah yang sejak dahulu mengasihi
dirinya, Ayah dari dahulu dikasihinya.
Tapi sekarang, sejak ia meninggalkan batu itu, malah sejak kemarin sore,
cintanya telah dinodai ayahnya. Noda itu bernama dendam. Dendam itu
terhunjam dihatinya sekarang.
Langkah-langkahnya tampak lesu, hatinya lesu, karena rasa lelah
menyangkuti tubuh dan pikirannya. Dan, memang tiada lagi yang diburunya,
karena tiada lagi yang menantinya, selain rumah yang sepi.
Kalau-kalau sebentar-bentar matanya menyala dan mukanya merah
terbakar adalah karena hatinya berpindah dari kenangan pada ibunya. Ia
tenggelam menatapi waj ah ayahnya yang garang.
Kemarin sore, ketika ayahnya pulang berburu, didapatinnya Utih sedang
menangis. Inah sendiri menangis waktu itu, tapi bukan tangis kesedihan.
12 C: Si Ibu murung sedang menyiapkan anyaman tikarnya. Ia baru marah pada
si Inah dan si Kecil. Kemarahan itu tergumam dalam hatinya, pada kedatangan
ayahnya. Sang Ayah tampak lelah juga ketika itu. Lelah yang dibawanya dari hutan
perburuan selama tiga hari. Ayahnya bertanya iseng dari balik kelelahanya,
"Tih, kenapa menangis?" sambil menyelipkan tombak antara kasau dan atap
rumahnya" Inah, kenapa."
Ketiga makhluk ini tak seorang pun mengabaikan pertanyaan itu. Tangis
Utih tetap seperti irama sebelum ayahnya datang. Sedangkan tangis Inah
tambah deras. Ibunya terus mengenyam tak bersemangat.
" Kamisial kali ini.Tak satu punrusayang kelu ar," Iaber ceritasep erti kep ada
dirinya sendiri. Sementara itu ia melepas ikat kepalanya dan menyangkutkanya
Batu Belah Karya Mj Melalatoa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dinding. "Mengapa engkau menangis, Inah, " bertanya kembali.
"Ayah tak bawa daging," katanya membujuk. Tangis Inah lebih menderas
lagi. " Kenapa ha, kenapa" Apa yang kau tangisi," ayahnya mendekati seperti
merayu. Ayahnya telah menduga, anak"anak ini pasti baru dimarahi istrinya.
Karenanya ia kurang bersemangat. Untuk memulihkanya, pertanda kasih
sayangnya, ia bertanya juga melanjutkan. Isakan Inah tambah menderas"deras
juga. " Katakan, Nak, katakant Dimarahi Ibu?"
Inah menggelengkan kepala.
"J adi?" Lalu ia membelokan masalahnya, maksudnya menghibur.
"Ayah kan baru lelah. Rusanya pada sembunyi semuanya. Tak satu pun
yang muncul. Ayahjuga heran, mengapa begitu sial kali ini. Tapi tak apa, lain
kali Ayah pergi lagi."
Tangis Inah bukannya reda malah tambah jadi. Utih juga rupanya ikut"
ikutan. Ayahnya jengkel. "Ayo, Inah, nanti Ayah marah."
" Jadi, kalau Inah katakan, Ayah tidak marah?" Ia berdiplomasi secara
kanak-kanak. Si Ayah tak menduga akan keluar diplomasi. Ia menggeleng
kepala hatinya jadi tertarik.
Inah menyorot mata ayahnya dalam"dalarn. Bibirnya agak bergetar.
Tangisnya reda. Si Ayah makintertarik.
;"- d-p 13 "Mengapa kau, Inah?"
" E, e, belalangnya, Ayah," suaranya terputus"putus.
" Belalang, mengapa belalang?"
Begitu Inah menyebut belalang, ibunya tersentak dan menatap anaknya
dengan ragam perasaan. Ketika suaminya didengarnya mengucapkan kata itu
kembali, ia memandang pula dengan pikiran yang membaur. Matanya bertemu
dengan mata suaminya, kemudian jatuh ke lantai.
"Mengapa belalang, Bu, " kepada istrinya kurang bersemangat.
" Habis," jawab Inah mendahului ibunya menjawab.
"Ia, habis, belalangnya habis," menyusuli keterangan anaknya lemah.
" Habis" Kok bisa habis [" Ia bangun dari cangkungannya, serta memandang
orang"orang yang dalam rumah itu sekilas. Ia menuju pintu dan menuruni
tangga. Ibu Inah tenang memandang ke satu arah. Inah tak menangis lagi, tapi
kebingungan. Sekali-kali melihat ibunya dalam satu perasaan kasih.
Sang Ayah muncul kembali, di pintu dengan mukanya yang geram.
"Perempuan apakau ini. Perempuan tak tau diri. "Ia perpancang di muka pintu.
"Aku, perempuan tak tau diri," mengulangi ucapan suaminya Matanya masih
memandang arah yang tadi. Terpaku ke dinding. Kemarahan suaminya makin
terpancing dengan ucapan ini. Melihat ketegangan ini, Inah menangis lagi.
" Engkau manusia penambah kepapaanku. Mempersakit untungku,"
suaranya melengking tinggi.
"Akulah yang melepaskanya, Ayah."
"Aku yang menyuruhnya," sahut ibunya membela anaknya.
" Kau suruh supaya dilepaskan?"
"Ayahjangan marah pada Ibu["
" Diam kau, InahI"Ayahnya membentak keras. Tangisan Inah bobol dengan
bentakan ini. "Aku tidak menyuruh melepaskannya "
"Mengapa anak yang tak berakal ini mesti mengambilnya Engakulah yang
tak berakal." "Aku perempuan tak tau diri."
" Kaujangan keras kepala," lanjut suaranya seperti diperas.
"Akulah manusia yang menambah kep ap aanmu."
" Diam kau [" Ia merapat pada istrinya seperti akan mengunyahnya.
"Ayah," Inah merangkul kaki ayahnya erat"erat. "Ayah, tadi adikku
menangis. Menangis meronta"ronta meminta ikan, Ayah. Aku buru"buru
14 Q': -'.f . 6P mengambil belalang. Tapi, Ayah, aku lupa menutupnya kembali. Jadi akulah
yang melepaskannya, akulah yang salah, A ."
" Saya bilang diamI Ibunya yang tak ada pikiran." Tangan ayahnya gemetar.
Matanya merah menyala Inah melompat merangkul ibunnya. lbunnya memeluk erat tubuh
anaknya. "Ya, aku tak membawa daging hari ini. Belalangku juga punah." Tubuhnya
semakin menggigil dan bibirnya bergerak-gerak. "Aku telah kalian jadikan
orang yang paling papah di dunia ini." Ucapannya terdengar dari hati yang
pedih. "Sore ini aku belum menebus kepapahanku kepadamu, Anakku. Besok
juga barangkali tidak. Tapi, tapi tidak." Mukannya berkerinyut"kerinyut. Inah
menyembunyikan mukanya dalam pelukkan ibunya Tapi apa wajah ibunnya
masih ter dap at ketenangan.
" Sekarang juga akan kutebus di hadapanmu, Anak-anakku." .
Dengan tekad bulat dia mencabut sebilah pisau yang masih terselip di
pinggangnya Pisau ini telah bisa menyayat daging rasa dan kijang"kijang
dalam perburuan. Pisau ini berkilau"kilau di mata istrinya. Ibu ini mengeratkan
dekapannya pada tubuh Inah. Inah menoleh pada ayahnya. Ia melepaskan
dekapan ibunya Mulutnya menganga, mulut ibunya juga menganga.
Dalam satu keterangan si Ayah mendekati istrinya. Tanpa satu reaksi dari
istrinya susunya yang sebelah kanan putus tersayat.
Si Ibu memejamkan mata menahan rasa ngilu tak terbilang. Tangannya
memeluk dadanya yang putus berlumuran darah.
Inah kejang menyaksikannya.
Tanpa keterangan apa"apa dari si Ayah, potongan daging si Ibu telah
terpangang di atas api. Di dada yang putus itu darah menetes deras. Menetes dan menetes
membasahi baju, membasahi kain dan rumahnya Dari matanya menetes air
mata membasahi baju dan kainnya, membasahi bumi dan hidupnya.
Dan, air mata Inah dan Utih yang tercurah di sekitar batu yang menelan
ibunya bulat-bulat, batu yang menjadi pelabuhan kepedihan si Ibu yang malang
ini, yang disebut anak-anak ini "batu belah", rupanya telah menjadi daerah yang
lembap dan berpaya-paya [hinggasekarang].
15 Sejak tadi ia asyik mencari sesuatu dalam pengemasannya Dari tadi anakanak mengerubunginya seperti lalat. Anak"anaknya sendiri. Anak"anak ini
kebanyakan tidak sabaran. Tapi di antaranya ada yang tenang"tenang saja.
Sang Bapak hampir tak menghiraukan kerubungan itu. Sekali ia tampak
seperti mengingat-ingat sesuatu. Lalu masuk ke dalam, diikuti oleh mata anakanaknya. Sebentar kemudian keluar lagi dengan sepotong kawat. M elihat kawat
itu, anak"anaknya pada senyum"senyum. Setelah kawat di potong tujuh kerat,
sang Bapak mulai mengasah dan membentuknya menjadi sebuah pancing.
Melihat pancing-pancing yang sudah siap dibentuk nafsu para lalar-lalarnya
tambah meluap-luap. Ada yang memandang sayu, ada pula seperti melotot.
Dalam mata mereka terbayang laut luas dan ikan"ikan yang mereka tank dari
dalam perutnya Di sela"selakerubunganitu adayang tampaktersenyum seperti
kep ada dirinya sendiri. Sang Bapak begitu asyik dan sedikitpun tak menyimak ragam laku anak"
anaknya. Ia hanya ingin memenuhi harapan anak-anaknya dengan segera.
Tiba"tiba iatarnpak mencari "cari sesuatu. Lalu menghitung potongan"poton gan
kawat tadi. Anak"anaknya agak heran melihat tingkah bapaknya.
"Apa Pak," salah seorang bertanya.
"Mana satu lagi." Ada yang pura-pura mencari dan ada pula yang sama
sekali tak menghiraukan, se olah tak ada yang terj adi.
Mata bapaknya menyorot pijar ke dalam pasangan mata anak"anaknya.
Sorotan menuduh. Itu difahami anak"anaknya. Bapaknya tak puas. Diam"diam
ia menghitung jumlah anak"anaknya. Ia kaget.
" Genali ke mana?" ia menyebut nama biji matanya yang bungsu. Yang lain
ikut meneliti jumlah mereka di antara dirinya.
" Satu dua tiga empat lima enam to?" berhenti. Kemudian seorang lagi
mencoba menghitung. " Satu dua tiga empat lima enam tujuh, cukup," katanya serta memandang
bapaknya. 16 ya:"_: "Kurang satu," sambut seorang lagi yang napasnya menghitung diam"diam.
"Ya, Genali ke mana," ulang bapaknya
Rupanya Genali telah menghilang di luar tahu mereka. Pandang menuduh
sang Bapak mulai melembut kini. Mereka telah mina yakin yang mengambil
kawat tadi adalah Genali. Bapak ini meneruskan pekerjaannya. Sambil
memandangi tanya bapaknya ada yang mengomel pada Genali.
"Ke mana dia, panggil kemari," uj ar bapaknya dari tengah"tengah
keasyikannya. Yang disuruh ada yang hanya sekadar pandang-memandang.
Sebagian tak menghiraukannya.
Genali sudah berada di pantai. Di pinggiran laut yang agak jauhjuga dari
rumah mereka Benang yang tadi dicurinya dari penj aitan ibunya, diikatkan
persis ditengah"tengah kawat lurus yang belum di runcing dan di bentuk.
Di atas sebuah ungkul-ungkui1 ia berjuntai menghadap ke tengah. Ia mulai
mencobakan pancingnya dengan seribu harapan.
Ungkul-ungkul yang ditungganginya kadang-kadang terasa goyah
oleh tendangan"tendangan ombak yang berlari dari tengah. Genali tak
mengacuhkannya. Ia tetap mencangkung seperti merenungi sesuatu. Ia lagi
menunggu seekor ikan yang diyakininya pasti akan menghampiri pancingnya.
Bila seekor saja ia mujur, dengan secepat kilat akan berlari pulang. Ia akan
berbangga pada Ibu, pada Bapak, dari saudara"saudaranya. Akan mengalirlah
kekaguman terutama dari saudara"sau dar anya, demikian lamunannya.
Di tengah kebeningan harapannya tiba-tiba terasa satu tantangan kecil
menjentik-j entik benang pancingnya. Hatinya gembira dengan debar-debar
jantung yang memukul-mukul dada seperti debar debur ombak yang menebah
pantai. Di matanyat erlukis seekorikan yang akan ditentengnya kerumah dengan
larinya yang terbirit"birit. Wajah bapaknya tampak berseri"s eri mengelu"elukan
kedatangannya. Saudara"sau daranyamengerubung kagum. Lalu menyeganinya.
Pikiran-pikiran ini begitu menyedati otaknya di atas ungkul-ungkul itu.
Rangsangan yang mengejek dari tengah perut laut itu terus menjentik"
jentik juga. Begitu hatinya yakin dan menggelorakan rasa gembira Ejekan itu
pun semakin kuat terasa di tangannya. Wajah bapaknya yang berseri semakin
jelas tergambar pada wajah laut itu. Sekali sentakkannya begitu kuat hingga
menggerakkan perahu ungkul-ungkulnya. Sentakan ini juga membuat ia lebih
wasp adadanmengu asai diri terhadap mangs anyayangsesaatlagi akan dir aihnya.
1 Ungkul"ungkul : Potongan kayu yang terapung"apung
;: dp 1" Tali pancing tambah tegang, suasana pun bertambah tegang. Tarikan dari
bawah bertambah kuat. Genali melilitkan tali beberapa kali dipergelangannya
dengan kenyakinan ia pasti menang. Tampaknya sekarang ada dua kekuatan
yang berimbang, yang membikin perahunya mengalah. Ungkul"ungkul ini
bergerak seperti kapal baru mengangkat sauh dan Genali bertengger di atasnya
bagai seorang nakhoda yang tabah. Ungkul-ungkul makin menjauh dari pantai.
Makin jauh. Itu tak diketahui oleh nakhoda muda yang sedang asyik ini. Ikan
yang diharap"harapkannya belum juga mampu di keluarkannya dari perut laut
itu. Tampak ia seperti bermain layangan mengulur dan menarik-narik benang
di tangannya. Dan tengah ketekunannya, ketika sekali ia memandang sekeliling ber"
kembanglah kegelisahannya. Pikirannya berbenturan dengan tantangan maut
yang mencengkam. Dalam kaca-kacalaut itu segeraterlukis waj ahibu bapaknya
yang sedang begitu muram. Saudara"saudaranya yang sedang dibentak"bentak
bapaknya buat mencari ke mana-mana diselimuti keharuan. Bila sore ini tiada
sempat pulang ke rumah, mereka tentu menangis amat sedihnya, apalagi Ibu.
Begitu kacau pikiran Genali pada dirinya ditengah"t engah lautan cem asnya
Dengan mata buram ia memandang ke sekeliling. Yang tampak payungan
kabut menyungkup kekalutannya. Dalam kicauan pikiran yang tak menentu itu,
tali pancingnya masih erat terlilit dipergelangannya dan masih dalam keadaan
berlayar entah ke mana. Masih selamat ia dalam artian tidak karam. Perahunya ini tak mungkin
karam dan tak akan karam, sebelum kayu itu sempat busuk.
Berbilang hari dan malam sudah Genali dalam laut dan berbilang hari dan
malam pula ia dalam duka dan resah. Tapi masih untung ketabahannya belum
sempat mencair dari dadanya Kecuali itu, perutnya telah lama keroncongan,
karena tak pernah diisi suatu apa pun, selain air laut yang tak pernah kering
kalau hanya bu at penawar dahag annya.
Pelayaran terus juga berjalan menuju pelabuhan yang tak dipahaminya.
Sedang dihatinya selalu terjerat sebuah harapan semoga ikan ini bermurah
hati buat membawanya kembali ke pantai di mana pikirannya sekarang sedang
berlabuh Ya ke pantai sedu sedan isakan ibunya. Harapan yang selebar lautan
ini, cuma dibayangi latar putih kabut sekitarnya
Seperti seorang yang kehausan seteguk air, tiba-tiba matanya yang gerah
tertumbuk bayangan hitam samar di kejauhan. Ia seperti meloncat kegirangan.
Hatinya terbuka menganga. Lalu ragu. Sorot matanya dipertaj am. Rasa cemas
mengancam karena sudah terbiasa dalam kecemasan.
Is ;; a " Kalau itu satu makhlukyang akanmenyerang, terlalu besarlahjadi lawanku
seorang," ia seperti menelan sesuatu di kerongkongannya." Dan, dan terlalu
kecil aku ini buat ditelannya "
Ia mengusap-usap mata lalu meyakininya kembali. Tiba-tiba hatinya
bersorak," Rupanya aku hanya dibebani ujian beberapa hari ini saj a," suaranya
terputus-putus gembira. Sej emput senyum kemudian mengalir tenang
dibibirnya. " Oh, aku telah selamat kembali. Telah selamat," terdengar getar bisik dari
celah komat-karnit mulutnya yang layu.
"Bapak, Ibu, ini anakmu telah datang kembali! telah berbilang hari engkau
disiksa kegelisahan. Maafkanlah aloi!"
Wajahnya bersinar"sinar kena pantulan cahaya ombak laut. Di hadapannya
hamparan bumi harapannya semakin nyata Nyatapula dalam benaknya orangorang yang dikasihinya akan ketemu dan dipeluknya kembali.
Ketika itu hujan pun turunlah. Hujan rinai, rene remene, seolah turut beria
menyongsong kedatangannya. Bagi Genali dirasakan bagai siraman setawar
sedingin yang bisa diberikan pada seorang pahlawan pulang perang.
Dataran samar ini bukan lagi teka-teki. Nyata sudah. Tapi mengapa"
Mengapa begitu kecil, pikir Genali Persis sebuah alun"alun saja. Tak tampak
olehnya pepohonan yang besar. Cuma rerumputan yang jarum jemarum, di
sana sini sedikit onggokkansemak. Seperti pulayang baru lahir agaknya. Perahu
ungkul-ungkulnya terus saja mengantarkanya lebih mendekat. Genali seperti
terbaring dalam sebuah mimpi yang indah. Betapa tidak, seumur hidupnya ia
belum pernah mengenal pulau semacam ini, dalam sebuah dongeng pun tidak.
Berkeras ia menghancurkanya mimpinya tapi alam ini tetap juga gaib.
Perahunya merapat. " Perahu yang aneh," desisnya. Ia menekur tenang. Kemudian tengadah
seperti berdoa. Pelan-pelan menekur kembali.
" Ikan aneh. Pancing yang aneh! Atas kehendak siapakah semua ini"
Kehendak Bapak atau ikan ini?" Ia melihat pergelangannya Tapi masih terlilit.
Pelan-pelan ia turun ke darat. Berdiri dan menarik napas panjang.
Dicobanya menarik pancingnya. Dengan amat mudah tali terulur ke
pihaknya, seperti orang menarik layangan dari udara.
"AnehI Sekarang iamenyerah kepadaku, setelah aku terserah dalam pelukan
pulau anehini. "Tali pancinganyatentu ditariknya Terulur ke pihaknya Ditarik,
terulur. Seekor ikan menggeliat"geliat tidak jauh dari permukaan air. Sama
;"- d-p 19 sekali tak bernafsu ia menghadapi musuh yang sedang menyerah ini. Nafsunya
telah habis menetes dalam perjalanan. Dengan lesunya tali terus ditariknya Di
ujung tali pancingnya dalam jarak yang sudah dekat, tampak satu cahaya yang
sedikit mengagumkannya Kemudian ia meng om el.
" Ikan mas kecil," menarik napas dan mengembuskannya kesal.
"Ikan kecil," ulangnya lagi seperti meyakinkan dirinya. "Mengapa bisa
menarik perahuku yang begitu besar."
"Aku tak tahu," bantahnya sendiri sambil menggelengkan kepala
Setelah lepas dari seluruh pengamatannya, ikan itu ditambatkannya pada
sebuah perdu rerumputan dunia Ia seolah tak butuh lagi. Genali melihat
pergelangannya Diusap"usapnya bekas tali yang tertanam dalam dagingnya
berhari"hari. Genali memandang ke sekitar tanpa nafsu. Seluruh wajah pulau itu dapat
Batu Belah Karya Mj Melalatoa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terjamah oleh matanya Kemudian memandang ke jurusan arah datangnya.
Sepi. Tanpa rangsangan keinginan yang mendesak, ia mulai menjelajahi pulau
ini. Ke utara, ke selatan dan ke delapan penjuru angin. Tak satu pun yang
menarik. Semua serba mencengkam. Sepi dan kuyu. Terkadang datang rasa
segar menyela di dirinya. Dari mana datangya dan apa sebabnya. Entahlah.
Karena penat oleh lelah mengembara atas benua kecil mungil ini, ia
menggolekkan diri. Di mana sajaia suka.
Diutara, diselatan, di delapanpenjuru angin tanpaada gangguan. Kep enatan
bergolek pun membuat ia harus mengembara lagi ke mana-mana sampai tinggi
hari, hinggalarut malam atau dini hari, tanpa sesuatu yang mengganggu. Kerja
yang membosankan ini diselinginya deng an kerj abermenung seperti ayam sakit.
Bermenung pun akhirnya menjadi sebagian kerja yang menjengkelkannya.
Dan semuanya ini dilaluinya tanpa makan, kecuali makan hati. Inilah kerja
berhari-hari berbulan-bulan, bahkan lebih dari berbulan-bulan. M engembara,
menggolekkan diri, bermenung dan makan hati. Sesekali ia menjenguk
sahabatnya yang tertarnbat di pantai. Inilah satu"satunya tempatnya bicara ala
kadarnya, selain bicara dapa dirinya sendiri.
Dalam perjalanan waktu sekian lama, kain yang tersangkut di tubuhnya
sedikit demi sedikit gugur. Akhimya tanggal samasekali. Tapi itu tidak menjadi
beban pikimya Ada satu hal yang tak pernah dilupakannya. Berdoa. Berdoa kepada
Khaliknya Ia yakin semua ini buah kehendak"Nya. Atas kehendak"Nya semua
zu %;; a mungkin terjadi. Begitu dulu pernah diceritakan bapaknya pada satu malam
ketika hendak tidur. Keinginan dan kehendak kita dengan izin dan kehendak"
Nya bisa terjadi. Orang yang tak pernah berdoa akan dimarahi"Nya, demikian
petuah bapaknya yang masih segar dalam ingatannya. Karenanya ia selalu
berdoa. Mudah-mudahan, begitu bisik hatinya. Mudah-mudahan apa Ia pun
tak tahu. Dengan penyendirian dan kesepian ia sudah terbiasa akhirnya. Rasa yang
datang menekan tak lagi seberat tempo hari.
Terkadang terbit sesuatu rencana, yang ia sendiri pun heran mengapa
rencana itu lahir. Dan buat apa. Bagaimana mungkin terjadi. Rencana ini
paling"paling dir embukkan sendiri. Atau pada sahabatnya di pantai. Terkadang
ia senyum sendiri karena berhasil memecahkan masalah pelik dalam dirinya.
Tapi satu hal yang tak dapat dipecahkannya, walaupun sudah berulang-ulang
dicobanya. Bagaimana mengadakan yang tiada Untuk mana ia selalu kembali
kepada Khaliknya. Pada saat yang demikian ia merasa semakin kecil di tengah
samudra raya ini. Hidup yang membosankan ini melompat dari satu penerawangan ke
penerawangan yang lain, dari satu lamunan ke lain pengelarnunan, dari
satu masalah ke masalah yang satu. Hanya debur"debur ombak yang bisa
menawarkan sebuah nyanyian yang sudah begitu indah dalam hidupnya. Tapi
terkadang begitu dibencinya bila pulau itu dibayangkannya sebuah neraka. Dan
memang nerakalah untuk hidup seorang manusia.
Pada satu pengelarnunan yang dalam, pandangannya terarah pada titik
amat jauh, ia dis ent akkan oleh satu bayang an samar sebagai satu fatamorgana.
Ingatannya jadi undur ke saat ia sedang diombang"arnbingkan perahu ungkul"
ungkulnya tempo hari. Matanya menyorot tajam meyakini fatamorgana itu.
"Aku keliru," bisiknya antara dua bibir bergetar. Matanya terpasang lebar.
"Tidak," sanggahnya sendiri. Bayangan itu semakin jelas. Hatinya semakin riuh
dan takut. " Itu pasti menuju kepadaku, ke benua kecil mungil ini." Mulut harapannya
bicara begitu riang. " Pasti mengambilku atau sedang mencari-cari atas perintah Bapak tercinta.
Ataut Atau Bapak, Ibu dan semua di atasnya" ia tampak makin pasti di
hatinya. Semakin dekat sudah. Genali melambai"lambai tangan gairah, sambil
berteriak"teriak. Jelas sudah di matanya para awak kapalnya. Awak kapal ini
21 meyaksikan Lambaian Genali. Kapal itu merayap gontai. Lalu lewat seenaknya
di hadapan Genali tampak sekelumit isyarat pun.
" Setan! Setan!" desisnya berulang"ulang.
O, sombongnya manusia Kesombongan itu telah menikam Genali dalamdalarn. Lambaian tangan si tertikam kesombongan ini semakin bernafsu.
Suaranya seperti serak sudah melontarkan harapan bercampur benci. Genali
begitu arnatmarah padakesomb ongan itu. Lantas lambaian dan teriak paraunya
lesu dan hancur pada buritan kesombongan itu. Kelesuannya berbicara sedih.
Alangkah kejamnya manusia. Manusia yang tak mengerti manusia. Hatinya
menangis dilatarnya kekejaman yang diucapkan dan dirasakannya Tangisan
itu mengutuk dalarn jutaan sesal. Mengapa manusia harus berlaku begitu atas
manusia. Manusiayang seperti kerusakan sekarang ini deng an kem anusiaanku.
Mengapa" Puncak teriakan hatinya melengking begitu tinggi ke puncak yang
maha tinggi. Kapal yang merayap gontai tadi, yang belum lepas dari sorotan mata dan
hatinya, tampak berupa haluan. Ditelitinya dengan cermat sekali.
" Sungguh, sungguh mereka balik lagi menuju kepadaku. Mengapa mau
menebus keangkuhanmu." Genali berdialog sendiri agak angkuh. Kemudian
peras aannya turun kembali menyesali kutukannya yang begitu tinggi tadinya
Mereka pun tentu kasihan. Manusia punya rasa kasih memang! Dilahirkan
pun ke dunia untuk berkasih"kasihan dan berterima kasih. Kapal tadi semakin
dekat lagi dan lambaian tangan kegembiraan dan keyakinan makin menyala.
Tapi para awak kapal menyambutnya dingin sekali. Yang mereka berikan cuma
bayang-bayang wajah keheranan dan ngeri pada Genali. Ada yang berbisik-bisik
satu dengan yang yang lain. Satu dua tampak agak tenang dan menguasai diri.
Kebanyakan penuh tanya serta dibebani rasa ng eri yang memb erat.
Makhluk apaseorang diri di atas pulau yang be ginisepi. Pastibukanmanusia.
Dialah pemilik dan penghuni pulau ini. Bisa jadi ia akan menghancurkan
keselamatan siapa pun yang berlayar di sekitar pulau ini. Inilah pikiran"pikiran
yang didukung olehsetiap awakkapal. Pikiraninipulalahyang membuat mereka
kehilangan sifat kepelautannya. Mereka sedang berhadapan dengan masalah
yang sukar dicari dalam kamus pengalaman mereka selama di laut.
"Apakah bapak pernah mengalami selama bertahun-tahun di laut," tanya
seorang kepada salah seorang yang tasnpaknya sudah berusia lanjut. Ia
menjawabnya dengan gelengan kepala saj a
22 C: _ "ia. uri-"n '.
' "_ :I*. in' I __- "Alangkah ajaibnya kapal bisa berbalik sendirinya tanpa maksud nakhoda,"
tukas yang berusia lanjut ini seolah pada dirinya. Sang nakhoda terus berusaha
menjauhkan kapalnya dari pulau dan manusia telanjang in. Kapalnya merayap
dengan kekuatan yang lebih dipaksakan. Awak kapal masih penuh tanya dan
menganga dalam menjauhkan diri dari keanehan itu.
Sekarang kekes alanGenalim embumbung tin ggilagi. Iameras akekalahannya
menjadi dua belas nol dan tertebus lagi.
"Mereka datang hanya buat mengejekku. Membakar hatiku yang sudah
panas mendidih," begitu kesannya.
"Tapi biarlah! Aku ini kan hanya sekadar meminta," menyabarkan dirinya.
Tiba"tiba ia berpikir lain, terlintas dalam curig anya.
"Barangkali kapal in bukan kapal manusia biasa. Mereka sengaja hanya
untuk menakut-nakutiku. Merekalah yang punya pulau ajaib ini. Dan, mereka
tentu marah kepadaku," menuduh pada dirinya sendiri.
"Atau merekalah yang punya laut ini seluruhnya dan sekarang meronda
pulau demi pulau. Mereka mengontrol kalau ada pihak lain yang datang
menjajahnya Nah, kalau ada, Bala tentata yang kuat dan aj aib segera akan
menghancurkannya "Ya, tapi aku inikan bukan penjajah." Genali menjelaskan dengan tandas,
entah kepada siapa "Aku kan cumaseorang yang di damparkan olehnasib kelatarpulau terkutuk
in, " kemarahannya menjadi.
"Aku masih punya negeri yang lebih damai untuk ku diami. Tapi entah di
manasekarang aku tak tau. Lu cu! Kalaulah ada orang yang sanggup melemp arku
ke tengah"tengah keluargaku, lalu di sana diriku telah jadi debu barangkali aku
memilih jalan itu. Daripada kemerdekaanku dibungai oleh kesepian. Hei, laut,
ombak dan siapa pun yang mendengarkanku sekarang, aku bukan penjajah.
Keturunan penjajah pun bukan." Mukanya kelihatan merah karena kemarahan
yang menguasai dirinya. Kapal tadi semakin jauh seolah didorong oleh kemarahan Genali. Hampir"
harnpir saja hilang ditelan kabut. Genali meyakini dirinya memang bukan
penjajah. Aku hanyalah seorang malang di tengah-tengah perut kesepian ini."
Pengamatannya belum lepas dari ujung kabut itu. Seperti sedang bermainmain, kapal itu membelokkan haluannya lagi.
"Aduh, merekat elahbermusyawarahkembali rupanyaM erekam emutuskan
aku ini tetap seb agai penjajah pulaunya. J ikatidak mengapa harus kembali lagi.
24 ;; a Mereka akan mengambil dan mencincangku lumat"lumat. Agaknya miliknya
tidak dibiarkan dikuasai oleh orang lain. Dan mereka pasti tidak mau tau bahwa
aku ini hanya kebetulan terlempar kemari." Tak sak lagi mereka menujuku.
Menuju mangsanya yang dicari siang malam atas perintah tuannya. Maka
dengan ini habislah riwayatku. Riwayat yang tak terbaca oleh siapa pun selain
diriku dan ronda laut Sekujur tubuh Genali menggigil. Mukanya menerawang
tinggi menembus angkasa. Ingatan memeluk Ibu Bapak yang dicintainya Ia
bayangkan betapabahagiasaudara"sau daranya bisahi dup di tengah kasih or ang
tua. Beberapa saat kemudian dirinya mengecil dalarn menghadap Khaliknya
yang tunggal dan agung. "Tapi tak apa. Banyak orang yang punya riwayat indah, tak pernah
diriwayatkan. Begitu puntung usianya padam, habislah berita tentangnya."
Angin laut yang dingin bertiup seperti menj amahi seluruh tubuhnya Pada
dirinya pun bertiup rasa sesal, mengapa tadinya ia harus memanggil ronda laut
itu. Kapal itu pun semakin mendekat, mendekat lagi.
Para awak kapal menyaksikan Genali dengan mulut menganga. Kekakuan
dan kesunyian tampak menguasai situasi di kapal itu.
"Alangkah ajaibnya hingga kapal kita bisa kembali sendirinya. Sesaat lagi
kalau ia mau kita akan tenggelam di sini tanpa bantuan siapa pun. Sekarang ia
sedang mempermainkan kita," seorang bercerita kep ada awak" awak kapal yang
sedang digenggam kekauan itu. Yang lain antara mendengar dan tiada. Seorang
awak kapal yang berusia lanjut menyer arnkan yang lain.
"Mari kita sama berdoa kep ada Tuhan semoga mendapat pertolongan-Nya.
Dengan bantuan-Nya-lah kita dapat terhindar dari bahaya ini. Tapi kalau Dia
memang menghendaki demikian, kita tak bisa berbuat apa"apa"
Petuah ini rupanya disambut dengan jantapnya oleh rasa takut yang telah
berkuasa. Mulut demi mulut pada komat"kamit. Ada yang sambil mengangkat
kedua belah tangannya. Kapal ini hanya jarak beberapa meter dari pantai tempat Genali berdiri.
Genali mengambil pikiran lain dan dirasakannya sebagai putusannya yang
terakhir. " Kalau aku memang mangsanya hak merekalah untuk berbuat sesuatu atas
diriku. Kalau aku dianggap penjajah, bumi ini memang bukan milikku. Bukan
pulapunya nenekmoyangku. Dan barangkali saja punyanenek moyang mer eka.
Kewajiban merekalah untuk mengawal tanah airnya dari gangguan siapa pun
kendati sejengkal. Aku yang tidak ingin tinggal di sini tidak berhak atasnya "
;"- d-p 25 Genali kemudian agak menghibur diri.
"Mungkinkah mereka tidak memiliki rasa belas barang seorang. 'I'idakkah
ada seorang pun yang punya hati lembut seperti yang pernah kukenal pada
manusia di karnpungku." Genali melamun jauh., melamun sekadar menunggu
ronda laut itu merapat ke tepi. Kapal itu pun merayap lamban dan enggan.
" Kalau kali ini mereka akan menjemputku dan mengajak hidup bersama
mereka aku akan bersedia Berarti untung usiaku bisa kunyalakan barang sesaat
lagi." Kapal merapat sudah. Para awaknya memandang demam pada manusia
telanjang bulat ini. Pandang ini diterima Genali sebagai pandang menuduh. Ia
menanti tuduhan itu meledak dan menggelepar. Ditunggunya ledakan itu pada
mata yang berkunang"kunang dan detak jantung mengencang. Ledakan tak
kunjung datang juga Kedua belah pihaktatap-menatap dan curiga-mencurigai.
Dalam satu keberanian yang dipaksakan, Genali membuka mulut dengan suara
rendah, karena jemu menunggu.
"Aku tadi memanggil Tuan"tuan." Kemudian Genali melihat wajah mereka
satu"satu, untukmengetahuisiapayang dahuluan mencurahkankemarahannya.
Tapi tak ada tanda-tanda mengguris di setiap wajah. Ia semakin tak sabar
menunggu. Ia ingin agar geledek dengan dentuman keras segera merubuhkan
jasadnya di medan siksa ini.
"Berulang"ulang aku memanggil Tuan"tuan dari kejauhan. Kulambai"
lambai tangan semoga Tuan-tuan melihatnya." Ia menunggu jawaban. Para
awak terpesona menonton. Genali j engkel dan lupa diri menguasai ucapannya.
"Tapi, Tuan-tuan begitu angkuh terhadapku. Kurasakan Tuan-tuan bermain"main dan mempermainkan."
Mendengar ini para awak kapal tampak pandang"memandang dan di
antaranya berbisik"bisik seperti berunding.
Genali seb entar seperti memikirkan sesuatu.
" Sebetulnya aku ingin minta tolong kepada Tuan"tuan, kalau Tuan"tuan
dapat." Ia agak ragu. Kata itu begitu saja keluar dari ketidak sadarannya.
"Apakah permintaan ini mungkin Tuan-tuan penuhi, " mendesak berani.
"Apakah yang Tuan maksud," salah seorang di antaranya bertanya
menjawab. Kedua belah pihak saling bertuan. Tutur ini lahir dari rasa hormat
masing"masing. Genali kembali ragu. Permintaan apa yang ingin diajukan. Kalau minta
diselamatkan. Ke mana nanti dibawanya. Akhirnya toh dibunuh juga Lebih
za ;; a baik berjuang sendiri dan akan mati sendiri. Karena belum melihat tanda"tanda
keselamatannya akan dirusakkan, ia mencoba mendahului menawarkan satu
kebaikan. "Aku ingin mengirimkan sebuah tanda mata kepada Raja Tuan-tuan.
Sukakah tuan-tuan membawanya." Mendengar itu yang di kapal pada
berpandangan, diam dan beku. Tiba-tiba seorang menjawab tanpa kompromi
dengan yang lain. "Dengan senang hati. Apa barang yang akan Tuan kirim." Genali bergegas
ke tempat ikan yang pernah ditambatnya Terlintas pula dalam kepalanya,
rupanya mereka juga ada yang baik atau terkadang baik seperti manusia.
Kepercayaan timbul dalam dirinya, sementara ia akan selamat. Entah besok
atau lusa. Sekarang aku harus mengambil hati rajanya. Itu yang penting.
" Harap Tuan-tuan berikan ikan ini kepada Paduka Raja Tuan-tuan.
Semoga Raja Tuan-tuan dapat menerimanya dengan senang hati. Ikan itu
diserahterimakan dengan suasana ramah. Kedua pihak saling mengagumi
kebaikan pihak lain. Kedua pihak juga tetap mencurigai kelanjutan peristiwa
ini. Dan yang jelas kemerdekaan kedua pihak masih belum terancam.
"Apakah Tuan tidak punya pesan lain kepada Raja kami. Kalau ada kami
juga menyanggupi untuk menyampaikannya." Genali merasa heran terhadap
tawaran yang baik ini. Taripa perundingan yang mendalam dalam dirinya ia
mengajukan. " Kalau Raja Tuan-tuan memang mau meluluskannya nanti, kirimlah aku
seekor ayam jantan putih yang keras kukuknya dan kain putih sekadar empat
hasta." Setelah segala pesan diterima dalam suasana ramah, kapala pun berangkat,
memuat berbagai tanda tanya. Kapal menyusup di ujung kabut di arah tujuan
semula. Lalu menghilang. Segera setelah mereka sampai di negeri mereka, serombongan awak kapal
pergi menghadap Raj a Dengan tergopoh"gopoh dan bernafsu mereka bercerita
di hadapan Raja tentang sebuah pengalaman yang mereka anggap aneh Raja
pun mendengar penuh perhatian, serta menerima kirim an ikan dari pulau asing
tadi. Raj a begitu gembira.
"Aku merasa mendapat kehormatan memperoleh kiriman ini. Tentu ikan
ini sangat gurih." Raja tertawa lebar. Ia perintahkan agar segera digulai dengan
bumbu yang sedap buat santapannya dan permaisuri malam nanti.
2" Tapi kemudian Raja begitu kaget ketika mendengar dalam perut ikan
ditemukan barang"barang yang tak terduga adanya Terdapat barang"barang
berharga Intan berlian yang kemilau.
Setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kemudian Raj a teringat
Batu Belah Karya Mj Melalatoa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi pada pesan lain yang turut dititip pada awak kapal. Raja kelihatan bingung
juga. Iatakmarnpu memikirkannya. Segeraiamemanggilsidang"sagi pendari'".
Sidang ini terdiri dari menteri"menteri, alum ulama, ahli nujum, dan keluarga
istana lainnya Tidak ketinggalan pula para awak kapal.
" Hari ini saya panggil kalian semua, juga para awak kapal kita Ada satu hal
yang saya anggap masalah bagi seluruh kerajaan. Bukan masalah istana, atau
menteri"menteri saja tapi barangkali menyangkut seluruh rakyat. Saya merasa
ini tak mungkin dipecahkan oleh satu dua orang, apalagi oleh saya sendiri."
Raja menceritakan seluruh pengalaman anak-anak kapal, dan metmamerkan
yang telah didapat dalam perut ikan. Semua hadirin ternganga
"Selain itu, dia minta dikirim seekor ayam jantan putih yang keras kukuknya
dan kain empat hasta." Raj a berhenti bicara dan menatap sidang dengan tenang.
"Apakah kalian sudah mendengar semua" Kalau sudah apa artinya ini
semua." Keadaanhening. Semuapada mikir. Dan tengah keheningan itu, tukang
tenung angkuh mengacung tangan.
" Saya berpendapat supaya masalah ini tidak dipersulit. Dia pasti tidak
punya maksud apa"apa tapi sekadar menawarkan kebaikannya dan dia ingin
menerima kebaikan dari kita Ya dari Paduka. Itu saj a."
Ahli tenung ini tampakmerasabang ga deng anpendapatnya. Ang gotasidang
bisik-bisik dan mengangguk-angguk. Raj a pun mukanya berseri-seri.
"Berhati"hatilah atas semuanya ini," seorang kelasi tua menyahut dan
bercerita kembali tentang peristiwa ajaib ini.
"Ahli tenung tersipu"sipu, malu akan keangkuhannya dipukul kelasi tua.
Hadirin yang lain terdiam. Masing-masing kembali dib erati pikirannya sendiri.
Semua beku, menteri"menteri, alien ulama beku.
"Ya, cobalah pikirkan dalam"dalam." Raja meuandang hadirin bergiliran
penuh harap. la menunggu pendapat dari siapa pun. Keadaan hening lama
sekali. " Kalau satu pun tak mampu menetmbusnya, ia akan memutuskan sendiri.
Pendapat ahli tenunglah yang kuterima" Ahli tenung tersentak bersama
kebanggaanya. 2 Sang Pendari : Pembantu Raja"Raja
23 C: " Kuperintahkan kepada semua anak kapal untuk mengantar apa yang
dipesannya," Raj a meng angkat dan mengetukkan palunya.
"'Tidak, tidak Ayahanda," Putri Rajamenyarnbar palu ayahnya
"Ayahanda telalu ceroboh dan sidang ini begitu tolol semuanya." Matanya
berapi"api memandang ke sekitar. Semuahadirin tersepok dan menganga. Raja
kebingungan ahli tenung begitu malu, mukanya merah menyala.
"Apakah sidang ini selalu begitu tolol menghadapi masalah-masalah
kerajaan." Ia memandang ayahnya lama.
"Ayahanda harus menarik kembali ketukan yang ceroboh tadi."
"Bagaimana Anakku?"
"Ayahanda terlalu ceroboh."
"Barangkali, Anakku!"
" Barangkali, Anakku," ia mengulangi ucapan ayanhya seperti tak sadar
karena kemarahannya. Matanya yang berkaca"kaca akhirnya meneteskan air
mata. Hadirin senyap seperti menghadapi or ang mati.
"Mengapa engkau begitu marah, Anakku, hingga melawan ayahmu sendiri,"
ibundanya menawari dengan nada lembut.
" Iniment eri -ment eri dansemua lebih-lebihitu ahlit enung," iamenu dingkan
tangan ke arah sasarannya" harus dipecat detik ini juga." Suasana begitu
bekunya dan ahli tenung mencair di tempat duduknya
Putri Raj a sendiri kemudian terdiam dan menundukkan muka di balut oleh
kesedihan. "Maafkan aku, Ayahanda," suaranya berat serta pelan"pelan mengangkat
wajah memandang Raja Yang lain terjaga.
"Maafkan kami juga, Anakku," Raja terharu.
"Apakah yang Anakku ketahui tentang ini semua, katakanlah kepada kami,"
Raj a meminta. " Palu Ayahanda tadi, adalah palu buat menurunkan malapetaka kepada
seluruh rakyat. Apa sidang ini kerj anya hanya menurunkan malapetaka?"
" Kami tak bermaksud sedikit pun, Anakku. "
"Tapi sidang ini telah melakukannya."
" Kami tidak tahu. "
" Siapakah yang mesti tahu, Ayahanda?"
" Dan kalau kami tidak tahu, lantas mala petaka itu turun, 'Tuhan-lah yang
menghendaki. Mata sang putri semakin menyala karena pembelaan ayahnya
"'Tuhan tidak akan menurunkan sesuatu kalau kita tidak berbuat sesuatu.
Ayahanda Tuhan akan menurunkan nikmatnya apabila kita berusaha ke arah
;"- d-p 29 memperoleh nikmat itu, dan Ia akan mendepakkan laknat"Nya kalau usaha ke
arah penghindaran laknat itu tak ada. Dan tukang tenung itu, juga sidang ini
adalah orang"orang yang bekerja seenaknya saj a "
" Sekali lagi kami minta maaf Anakku. Kalau engaku tahu katakanlah kep ada
sidang ini." Sang putri merunduk. Di wajahnya tampak bertengger keharuan mengusap
kegarangannya tadi. Mata hadirin meneliti keharuan itu. Pelan"pelan
diangkatnya mukanya kembali memandang Raj akemudian kep ada Permaisuri,
ibundanya. " Dia bukan memesan ayam putih, Ayahanda."
"Apa pun yang diharapkannya kerajaan akan memenuhinya. Sayang, Aku
berj anj i. Katakanlah, katakanlah," katanya berulang.
"Tak tahukah Ayahanda bahwa ia meminta" suaranya tertekan serak. Raja
dan semuan keheran-heranan.
" Ia meminta diriku. Ayam putih itu adalah hamba sendiri."
" Engkau gila." ibundannya menyambar seperti kilat. "Itu mustahil,"
sambungnya. "Itu tidak mustahil, pasti sudah dan tak perlu ditawar lagi. "
"Apakah engkau sedang bermimpi. Terus mata." ibunya menyahut galak
sambil menyebut nama anaknya
"Aku tidak bermimpi sekarang, tapi yang akan terjadi ini telah kumimpikan
beberapa malam yang lalu."
"Oh. Anakku sedang bermimpi dalam jaganya." jengkel.
" Sidang ini tidakkah merasa bermimpi mendapat ikan semacam i ."
"Ya, tapi apakah engkau sendiri rela, Terus Mata?" "Tapi, Ayahanda sudah
Kitab Serat Biru 3 Pendekar Rajawali Sakti 159 Neraka Kematian Cowok 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama