Ceritasilat Novel Online

Geger Di Kayangan 1

Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan Bagian 1


GEGER DI KAYANGAN Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU KALI ini kayangan dibuat heboh
oleh kasus skandal yang memalukan para dewa. Batara Kama yang berjuluk Dewa
Penyebar Rindu, kepergok sedang mojok dengan bidadari Subang Wulan. Padahal
bidadari Subang Wulan adalah bidadari kesucian, yang tidak boleh ternoda
sedikit pun. Bahkan ditaksir dalam
hati pun tidak boleh. Subang Wulan
adalah lambang kebersihan dan
kehormatan para bidadari.
Karena terperangkap jurus 'Angin
Rindu' dari Batara Kama, maka bidadari Subang Wulan mabuk kepayang. Ia
membalas kerlingan mata Batara Kama, bahkan membalas cubitan lembut dari sang
Dewa Penyebar Rindu itu. Akhirnya mereka berdua lari ke arah pojok taman dan
berhaha-hihi di sana. Kebetulan waktu itu Dewa Pengawas sedang lakukan patroli
keliling, sehingga Batara Kama dan Subang Wulan tertangkap basah
sedang saling mengadu mulut dan
bersilat lidah. Mereka segera
ditangkap dan diadili.
Dalam pengadilan para dewa dan
bidadari, Batara Kama sempat mengajukan pembelaannya di depan siding.
"Menurut Kitab Undang-undang
Hukum Kayangan, yang disebut pelanggaran cinta adalah apabila pasangan itu sudah melakukan hubungan intim
tanpa selembar benang pun di tubuhnya.
Sedangkan apa yang kulakukan dengan Subang Wulan masih dalam batas-batas
berpakaian rapi, Tuan Hakim!"
Subang Wulan juga mengeluarkan
pembelaannya, "Betul, Paduka Hakim.
Saya belum diapa-apain kok. Cuma
dicium saja. Sedangkan 'jimat' saya masih awet, tidak robek, tidak
ternoda, tidak dijamah, sedikit pun tidak. Kalau tak percaya boleh
diperiksa."
Hakim para dewa berkata,
"Pemeriksaan tidak mungkin dilakukan karena hari ini laboratorium tutup.
Yang jelas tindakan kalian telah
melanggar kode etik kayangan. Kalian layak mendapat bintang, eh... layak
mendapat hukuman sesuai pasal lima
belas ayat dua yang berbunyi: 'barang siapa mojok dengan sengaja ataupun
tidak sengaja tanpa seizin Sang Maha Dewa, maka orang tersebut dianggap
melanggar kode etik kayangan dan
praktis dianggap juga mencemarkan
kesucian kayangan.' Sedangkan menuruti kitab undang-undang yang berlaku di sini,
pelanggaran seperti itu
dikenakan denda kurungan lima ribu
tahun atau menebusnya dengan cara
dibuang ke bumi!"
"Interupsi!" seru dewa yang berpakaian serba coklat itu. Tangannya diacungkan ke
atas, sehingga para
peserta sidang memandang kepadanya.
"Saya sebagai pembela tertuduh merasa keberatan dengan ancaman
hukuman yang Paduka Hakim bacakan
tadi." "Apa alasan keberatanmu,
Pembela?" "Tidak benar kalau hanya karena skandal mojok saja sampai membuat si tertuduh
harus dibuang ke bumi! Dalam kitab Undang-undang Kehormatan, pasal seratus satu
koma lima, ayat tiga
dikatakan; 'Pembuangan ke bumi bisa dilakukan apabila tertuduh melanggar
kesalahan sampai tiga kali. Sedangkan Batara Kama baru satu kali ketahuan mojok
dengan bidadari. Perbuatan
mojoknya yang tujuh kali kan tidak
ketahuan oleh petugas, jadi Batara
Kama tidak layak untuk dibuang ke bu-mi!"
Suara gemuruh menyebar di ruang
sidang para dewa. Paduka Hakim
mengetok-ngetok telunjuknya ke meja, suaranya keras, seperti ketokan palu.
Dok, dok, dok...! Lalu suasana
menjadi tenang karena hadirin pada bungkam.
"Jadi ternyata Batara Kama sudah melakukan perbuatan mojok seperti itu sebanyak
delapan kali"!"
"Benar!" seru Pembela. "Tapi yang ketahuan kan hanya satu kali!"
"Hukuman semakin parah. Kami baru tahu kalau Batara Kama melakukan
pelanggaran sampai delapan kali."
Batara Kama melirik Pembela
dengan sengit lalu berkata, "Tugasmu itu meringankan hukumanku, bukan
memberatkan!"
"Wah, maaf... aku keceplosan
ngomong!" Pembela tampak sedih.
"Paduka Hakim...," seru seorang bidadari berbaju ungu. "Batara Kama memang layak
dihukum berat, karena
saya sendiri pernah diajaknya mojok karena jurus 'Angin Rindu'-nya. Tapi tidak
banyak, hanya empat kali."
Salah seorang wanita cantik yang
juga termasuk bidadari berpakaian
putih mengacungkan tangannya, "Saya juga pernah, tapi baru dua kali!"
Satu bidadari berdiri dan
berseru, "Jujur saja, saya juga pernah diajak
mojok, tapi tidak sampai berbuat yang begitu-begitu. Cuma
sebatas 'cuci muka' saja."
"Berapa kali?"
"Tak banyak. Cuma delapan belas kali."
"Waaaaah...," semua yang hadir geleng-geleng kepala.
Subang Wulan tiba-tiba mendekati
Batara Kama dan menamparnya.
Plaak...! "Pendusta! Kau bilang belum
pernah berbuat begitu, ternyata kata-katamu itu hanya gombal semata!"
Batara Kama diam, hanya mengusap
pipinya yang merah karena tamparan
bertenaga dalam itu. Sebelum Subang Wulan berkata lagi, telah terdengar seruan
seorang bidadari berpakaian
jingga yang langsung maju ke depan
meja Paduka Hakim.
"Saya setuju kalau Batara Kama dibuang ke bumi, karena dia telah
mengkhianati saya dengan perbuatannya yang baru sekarang terbongkar di depan
sidang. Saya sakit hati dengan Batara Kama. Saya
terbujuk dan terayu
olehnya, sampai saya jatuh cinta dan menyerahkan segala-galanya, termasuk cincin
peninggalan orangtua saya juga saya serahkan. Ternyata dia berjiwa playboy, mata
keranjang, don yuan, dan pokoknya memuakkan!"
Paduka Hakim geleng-geleng
kepala. Para hadirin bergemuruh lagi mengomentari laporan-laporan tersebut.
Setelah Hakim mengetukkan jarinya
lagi, suasana menjadi hening, maka
terdengarlah ucapan Paduka Hakim yang bernada tegas.
"Hukuman pembuangan tetap harus dilakukan untuk Batara Kama dan Subang Wulan.
Maka dengan ini...," kata-kata itu segera terpotong,
"Interupsi! Saya sebagai Dewa
Jaksa Penuntut merasa keberatan jika Subang Wulan ikut dibuang ke bumi.
Karena Subang Wulan termasuk salah
satu dari sekian korban yang dirugikan oleh tindak pelecehan cinta dari
Batara Kama!"
"Jadi bagaimana keputusanmu?"
"Jangan buat Subang Wulan
menderita rugi dua kali; itu namanya hukum yang tidak adil. Yang jadi
korban jangan dirugikan lagi. Yang
menjadi tertuduh itulah yang wajib
menjalankan hukuman!"
"Usulmu diterima, Dewa Jaksa
Penuntut!" kata Paduka Hakim.
"Dewa Pembela," bisik Batara Kama yang memang tampan rupanya itu,
"Lakukanlah pembelaan untukku. Jangan diam saja!"
"Interupsi!" seru Dewa Pembela,
"Kami keberatan jika hukuman untuk Batara Kama adalah pembuangan atas
dirinya. Sebab, jika Batara Kama
dibuang ke bumi, maka citra dan
kehormatan para dewa akan menjadi
cemar dan diketahui oleh manusia! Ini sama saja memalukan seluruh warga
kayangan. Kami mohon keputusan
pengadilan ditinjau kembali demi
menjaga nama baik para dewa. Sebab
bagaimanapun juga Batara Kama masih termasuk dewa. Manusia akan mengecam kita
habis-habisan jika ada dewa
melakukan pelecehan cinta sampai
dibuang ke bumi. Kecuali jika Batara Kama itu bukan dewa, tak ada masalah lagi;
mau dibuang kek, digantung kek, dipancung kek, terserah! Tidak akan menimbulkan
pencemaran di kalangan
para dewa!"
"Kalau begitu, Batara Kama
dicoret dari daftar nama-nama dewa!"
"Setujuuu...!" seru yang lain.
Batara Kama melirik Dewa Pembela,
"Lagi-lagi kau memberatkan tuduhanku!
Gara-gara kau, aku bukan aja dijatuhi hukuman malah dicoret dari daftar para
dewa! Sudah, aku tak perlu kau bela lagi!"
"Wah... salah lagi kata-kataku"!"
Dewa Pembela tampak sedih dan
menyesal. Paduka Hakim berseru, "Putusan pengadilan mutlak menyatakan Batara Kama sebagai
pihak bersalah dengan
tuduhan; Mencemarkan nama para dewa, mencemarkan kesucian para bidadari
dengan pelecehan cintanya, merendahkan martabat dan kesucian kayangan, serta
merugikan beberapa bidadari yang
terbuai rayuan asmara gombalnya. Maka dengan ini Pengadilan Tertinggi
Kayangan menjatuhkan hukuman kepada Batara Kama berupa pembuangan dan
pencoretan nama!"
"Interupsi!" kata Batara Kama sendiri. "Saya minta grasi!"
"Keputusan hukuman belum
dijatuhkan sudah minta grasi"! Tidak bisa!" tegas Paduka Hakim. Lalu ia
melanjutkan membacakan hasil kepu-tusannya.
"Atas perbuatannya yang melanggar kode etik kayangan ini, maka dengan ini Batara
Kama kami nyatakan dibuang ke bumi dan berubah wujud menjadi manusia biasa;
dengan segala sifat dan kodrat manusia ada padanya!"
Hadirih bertepuk tangan. Batara
Kama tundukkan kepala.
"Tetapi...," lanjut Paduka Hakim.
"Karena Batara Kama pernah berjasa kepada masyarakat kayangan, maka
seluruh kekuatan
ilmu kedewaan dicurahkan kepadanya sebagai bekal
kehidupannya di permukaan bumi."
Batara Kama segera angkat kepala
dan memandang Paduka Hakim, ia tampak tegang karena punya kegembiraan
tersendiri, yaitu akan menerima
kekuatan ilmu kedewaan.
Dewa Pembela berseru, "Sampai
berapa lama Batara Kama menjalani
hukuman hidup sebagai manusia di
permukaan bumi, Paduka?"
"Sampai batas waktu tertentu.
Batara Kama boleh kembali ke kayangan dan menjadi dewa lagi apabila ia sudah
kawin dengan putri raja jin dan mampu menghasilkan keturunan. Apabila
anaknya lahir, maka seluruh kekuatan
kedewaan yang ada padanya akan hilang dan menitis ke anak tersebut; entah anak
laki-laki atau perempuan sama
saja. Anak itu sendiri akan menjadi dewa apabila ia berhasil menebus
kesalahan orangtuanya dengan berbuat baik dan menjadi pembela kebenaran. Ia akan
kita angkat ke kayangan apabila sudah menikah dengan warga kayangan.
Barang siapa mengabdi kepada anak itu, entah menjadi pelayannya atau menjadi
gurunya, maka orang tersebut berhak kita beri tempat sebagai manusia yang hidup
di kayangan."
Batara Kama terbengong memandangi
Dewa Hakim yang menatapnya. Semua
peserta sidang pun diam tak bersuara sedikit pun. Maka Dewa Hakim berkata lagi.
"Karena tak ada yang mengajukan protes lagi, maka sidang akan segera ditutup.
Batara Kama dibuang ke bumi sekarang juga!"
Tok, tok, tok...!
Lalu seberkas sinar putih
menyilaukan turun dari langit-langit dan menerjang Batara Kama.
Zrraaab...! Batara Kama dibungkus
cahaya putih menyilaukan. Dalam
sekejap cahaya itu pun lenyap.
Blaab...! Batara Kama jatuh terkapar tak sadarkan diri. Dewa Pembela kaget dan
segera meminta petugas keamanan sidang untuk menolong Batara Kama.
"Cepat bawa dia! Dia mengalami shock berat! Bawa ke Rugada!"
"Apa itu Rugada?"
"Ruang Gawat Darurat! Lekas...!"
Dewa Hakim berseru, "Tak perlu dibawa ke sana! Rohnya telah kukirim ke bumi,
sebentar lagi raganya akan lenyap menyatu dengan rohnya di sana.
Kerahkan petugas pengawas agar
mengawasi dia selama di bumi!"
Suara-suara itu sebenarnya
didengar oleh Batara Kama, tapi makin lama suara tersebut makin kecil dan kian
samar-samar diterima
pendengarannya. Batara Kama merasa
sedang berputar-putar memasuki
terowongan cahaya. Ia ingin berteriak minta tolong, tapi mulutnya tak bisa
digerakkan dan suaranya bagaikan
hilang tak tersisa sedikit pun di
tenggorokan. Pada saat itu muncul sesosok
tubuh kurus bermata cekung, jenggotnya panjang, kumisnya juga panjang,
semuanya berwarna putih uban. Alisnya pun panjang, sama dengan bulu matanya yang
penjang berwarna putih pula.
Sosok kurus itu mengenakan kain abu-abu membungkus tubuh dengan sisa kain
menyilang kedua pundak. Rambut tamu yang hadir di pengadilan para dewa itu
sangat tipis. Mungkin hanya delapan belas lembar.


Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kehadiran tokoh agak bungkuk ini
membuat para dewa diam terpaku dengan mata tertuju tegang ke arahnya. Tokoh
tersebut berjalan dari pintu masuk
ruang sidang sampai mendekati meja
hakim. "Begawan Dewa Gesang, aku
mengucapkan selamat datang atas
kehadiranmu di ruang sidang ini," kata Dewa Hakim. "Tapi apa penyebabnya
sehingga kau datang sebagai tamu tak diundang di sini"!"
"Aku menuntut keputusanmu, Dewa Hakim! Kau telah membuang anakku,
Batara Kama dengan keputusan berat
sebelah! Aku akan menuntutmu dengan caraku sendiri. Bersiaplah!"
"Tunggu dulu, Begawan!" cegah Dewa Hakim. "Keputusan ini kuambil berdasarkan
kitab undang-undang yang sudah kau setujui juga pada waktu
pembuatannya!"
"Kitab undang-undang itu telah kau ubah sebagian isinya! Jika hanya kasus
pelecehan cinta saja tidak ada ketentuannya yang mengatakan seorang tertuduh
harus dibuang ke bumi!"
"Itu tidak benar! Aku tidak
mengubah isi kitab undang-undang ini!"
"Omong kosong!" bentak Begawan Dewa Gesang. "Sebagai ayah Batara Kama, aku tidak
bisa menerima keputusan peradilanmu! Kalian semua bersekongkol menjauhkan Batara Kama
karena ada pihak yang menginginkan
jabatannya sebagai Dewa Penyebar
Rindu!" "Jangan kau kotori kayangan
dengan pembelaan sepihakmu, Begawan Dewa Gesang! Sadarlah bahwa kau telah mulai
dikuasai oleh nafsu pribadi,
yang mementingkan keluarga daripada tegaknya sebuah keadilan!"
"Jangan banyak bicara! Aku sakit hati mendengar anakku dibuang ke bumi!
Sebaiknya terimalah pengadilanku
sendiri untukmu, Dewa Hakim!"
Begawan Dewa Gesang segera
rentangkan tangannya ke atas. Ketika kedua tangan kurus itu diangkat ke
atas, maka datanglah angin topan yang bergemuruh dari kejauhan menuju Balai
Sidang para dewa itu. Semua hadirin yang ada di dalam ruang persidangan menjadi
cemas dan gentar. Mereka tahu bahwa Begawan Dewa Gesang mempunyai bekal ilmu
lebih tinggi dari Dewa
Hakim sendiri. Gemuruh angin segera memekakkan
telinga mereka. Bangungan itu pun
bergetar, dan atapnya tersingkap
terbang. Kraaak...! Braaak...! Angin topan raksasa menyambar bangunan itu,
memelintirnya menjadi remuk dan puing-puingnya terangkat terbang tak tentu arah.
Suasana menjadi gaduh. Pada dewa dan bidadari segera tancapkan kaki
dengan ilmu mereka yang bernama jurus
'Cakar Dewa'. Dengan menggunakan jurus
'Cakar Dewa' maka tubuh mereka tak
bisa terbawa terbang, seakan kaki
mereka tak bisa dicabut dari tempat pijakannya. Tetapi pakaian mereka
menjadi berantakan, bahkan ada yang tercabut dari tubuh dan ikut terbawa
terbang. Wruusss...! "Ooh... pakaianku"! Pakaianku..."!" teriak bidadari yang segera jongkok dan mendekam karena pakaiannya
tercabut lepas dari raganya.
"Begawan! Hentikan perbuatanmu!"
teriak Dewa Hakim yang berlindung
dengan cara merapatkan kedua tangannya di dada, tubuhnya bergerak-gerak
bagaikan menahan kekuatan yang ingin menerbangkannya.
Seruan itu tidak dihiraukan oleh
Begawan Dewa Gesang. Ruang persidangan hancur lebur. Tubuh Begawan Dewa
Gesang gemetar karena masih keluarkan jurus penghadir badainya. Tiba-tiba Dewa
Hakim berseru kepada yang lain,
"Serang dia!"
Para dewa dan bidadari yang hadir
di situ segera melepaskan pukulan
bersinar hijau muda. Dari telapak
tangan mereka melesat selarik sinar hijau menghantam ke tubuh Begawan Dewa
Gesang. Clap, clap, clap...! Berlariklarik sinar hijau menghantam telak
Begawan Dewa Gesang dari berbagai
arah. Tetapi Begawan Dewa Gesang
segera sentakkan kaki kanannya satu kali. Dug...!
Tubuhnya memancarkan sinar merah
berlarik-larik ke segala arah. Sraab!
Sinar-sinar merah itu menghantam tubuh mereka, membuat mereka saling terbang
terpental tunggang langgang. Teriakan mereka saling bersahutan. Kayangan
menjadi guncang bagai dilanda kiamat.
Dewa Hakim sendiri sempat tersentak mundur
delapan tindak. Tetapi ia
segera memutar kedua tangannya dan
dari kedua telapak tangan keluar sinar biru besar yang segera mengurung tubuh
Begawan Dewa Gesang.
Slaaap...! Suuuuzzz...!
Tubuh Begawan Dewa Gesang tidak
memancarkan sinar merah lagi. Sinar merahnya bagaikan dipadamkan oleh
sinar biru yang melapisi keadaan
sekelilingnya dalam jarak lingkar
sekitar empat langkah. Tetapi Begawan Dewa Gesang masih kurang puas,
sehingga kedua tangannya segera
disatukan di atas kepala dan pertemuan kedua telapak tangan itu memancarkan
sinar putih perak ke berbagai arah.
Sinar putih perak itu menghantam sinar biru pengurung diri.
Zraab...! Jegaaaar...!
Kayangan semakin mawut. Mereka
yang tidak berada di tempat itu pun
ikut terpental tunggang langgang.
Tanaman-tanaman di taman bidadari
menjadi rusak, bahkan ada beberapa
yang tumbang. Air kolam taman muncrat ke atas bagaikan disentakkan oleh
tenaga dalam dari bagian bawahnya.
Ledakan amat dahsyat tadi
menimbulkan nyala api yang berkobar di udara, terbang ke sana-sini bagai
memburu mangsa. Namun para dewa dan bidadari yang ingin diterjang kobaran api
segera saling rapatkan kedua
tangan di dada dan tubuh mereka
mengeluarkan asap berhawa sejuk. Ada yang sampai sekujur tubuhnya menjadi putih
bagaikan dilapisi busa-busa
salju, sehingga dari kejauhan tampak seperti segumpal kapas.
Begawan Dewa Gesang tak tahu,
bahwa akibat dari murkanya itu, bumi pun menjadi berguncang bagai dilanda gempa.
Lautan bergolak, batu-batu
karang retak, tanah di sana-sini pun mengalami kelongsoran. Pohon-pohon
tumbang, dan beberapa bangunan tempat hunian manusia ada yang roboh. Mereka yang
hidup di bumi menganggap keadaan itu sebagai keadaan datangnya klamat.
Mereka saling ketakutan dan mencari keselamatan masing-masing. Mata air di
beberapa tebing jebol, tanggul-tanggul pun pecah, sehingga banjir melanda di
beberapa tempat di permukaan bumi.
Murka sang ayah yang membela
anaknya dari hukum pembuangan itu
hampir saja membuat keadaan bumi porak poranda, terbelah menjadi beberapa
bagian. Untunglah murka itu segera
berhasli dihentikan oleh munculnya
tokoh berpakaian kain putih bintikbintik emas. Tokoh itu berparas
tampan, walau kelihatan sudah lanjut usia. Seluruh rambutnya putih rata, panjang
sebatas punggung. Kehadirannya sangat tiba-tiba, berdiri di depan
Begawan Dewa Gesang. Kedua tangannya segera diangkat sebatas dada dalam
posisi telapak tangan terbuka ke
depan. Segala sinar yang keluar dari
tubuh Begawan Dewa Gesang terhisap
masuk ke telapak tangan tokoh yang baru datang itu. Bahkan kekuatan
hembusan angin membadai itu pun bagai terhisap seluruhnya ke telapak
tangannya. Dalam waktu beberapa kejap saja suasana menjadi hening dan tenang
kembali. Getaran dan guncangan hilang.
Api yang berkobar-kobar
lenyap tersedot dua telapak tangan si tokoh berpakaian putih bintik-bintik emas itu.
Pada dewa dan bidadari pun
menjadi lega melihat kemunculan tokoh tersebut. Bahkan mereka segera
menunduk dengan badan sedikit bungkuk dan kedua kaki berdiri rapat. Mereka
memberi hormat kepada tokoh yang
datang di depan Begawan Dewa Gesang.
Bahkan sang Begawan sendiri tampak
segera tundukkan kepala memberi hormat dalam sikap.
"Murkamu kelewat batas, Dewa
Gesang! Kau membuat kayangan menjadi neraka. Jika kayangan seperti ini, lalu apa
yang terjadi di permukaan
bumi" Lebih parah dari keadaan di
sini, Dewa Gesang!"
"Mohon ampun, Sang Hyang Guru
Dewa...," ucap Begawan Dewa Gesang dengan sopan dan sangat hati-hati.
Rupanya tokoh yang hadir
menenangkan suasana itu adalah Sang Hyang Guru Dewa, tokoh tertinggi para dewa
yang berpenampilan kalem dan
bersikap bijak. Tidak ada yang berani melawan Sang Hyang Guru Dewa, karena bukan
saja beliau adalah senior
mereka, namun juga beliau adalah guru bagi para dewa-dewi. Tentu
saja Begawan Dewa Gesang takut kepadanya.
Kedua kakinya sampai gemetaran. Karena ia tahu, sekalipun Sang Hyang Guru Dewa
orangnya kalem, wajahnya selalu ramah, tapi sekali menjatuhkan hukuman tak
tanggung-tanggung.
"Setinggi apa pun ilmumu, Dewa Gesang, masih ada yang lebih tinggi lagi.
Demikian juga dengan diriku,
setinggi apa pun ilmuku, masih
ada yang berilmu lebih tinggi lagi, yaitu Sang Maha Dewa Hyang Widi Wasa!
Jadi jangan kau takabur dengan ilmumu, sehingga melepaskannya secara semena-mena
hanya untuk menuruti emosimu
belaka." "Saya membela anak saya, Sang
Hyang Guru."
"Memang, seorang ayah punya hak melakukan pembelaan terhadap anaknya.
Tetapi hendaknya pembelaan itu
berdasarkan suatu pertimbangan salah dan benar. Jika Batara Kama memang tidak
bersalah, kau berhak membelanya.
Tapi Jika Batara Kama bersalah, jangan sekali-kali membelanya. Karena itu
sama saja seorang ayah menjebloskan anaknya ke lumpur kesesatan.
Pembelaanmu terhadap anak yang salah sama saja membunuh anak sendiri,
membutakan mata hatinya untuk tidak bisa melihat lagi mana yang benar dan yang
salah! Sekalipun Batara Kama
adalah anak dewa senior, tapi jika ia bersalah harus menjalani hukuman yang
berlaku. Jangan mentang-mentang dia anak dewa senior, lalu dia bebas dari segala
tindakan yang tidak benar
karena pembelaanmu! Salah kaprah
hidupnya jika kau hanya menggunakan sistem keluarga!"
"Sekali lagi, saya mohon ampun, Sang Hyang Guru."
"Ya. Kuampuni. Tapi kembalikan lagi suasana di
kayangan menjadi
seperti semula! Aku tak ingin kayangan
rusak hanya gara-gara emosimu yang
salah!" Sang Begawan kian tertunduk
karena rasa bersalahnya.
DUA SEBUAH danau di
puncak bukit mempunyai air biru bening. Bukan
karena danau itu pernah kemasukan blau pemutih pakaian, tapi karena di dalam
danau itu ada batu sebesar anak sapi yang berwarna biru bening. Kebiruan warna
batu itulah yang memancar dalam bentuk bias cahaya dan membuat air danau itu
berwarna biru bening. Para
pengembara ataupun para pelancong
menyebut bukit itu dengan nama Bukit Biru, dan danau itu disebutnya Danau
Kedamaian. Sebab barang siapa
memandang beningnya air danau itu,
hatinya akan memancarkan kedamaian.
Konon amarah seseorang yang sampai
membuat telinganya merah legam dapat reda jika cuci muka dengan air danau itu.
Yang akan diceritakan dalam kisah
ini bukan bagaimana caranya cuci muka, melainkan tergeletaknya sesosok tubuh
yang ada di tepi danau itu. Perlu
diketahui, danau itu dikelilingi oleh
pepohonan rindang. Tempatnya teduh, semak-semaknya tidak berduri,
rumputnya halus, enak untuk bersantai di sana. Sekalipun banyak pepohonan
rindang tumbuh mengelingi danau, tapi tak satu pun daun kering yang jatuh di
permukaan air danau itu. Sekalipun
angin berhembus menerbangkan daun daun kering, tapi air danau itu tak
terjamah oleh sang daun. Tak ada
kotoran masuk ke danau tersebut,
sehingga danau itu tetap bersih dan enak dipandang mata, terutama bagi
orang yang tidak tunanetra.
Kabarnya, tidak semua orang bisa
mencapai danau itu. Pada umumnya, para pengembara dan pelancong yang berhati
bersih saja yang bisa menemukan danau tersebut. Benar dan tidaknya, sulit
dibuktikan. Yang jelas, di tepi danau yang
luasnya tak seberapa itu sekarang
sedang dipakai tidur seorang lelaki muda, kira-kira berusia sekitar dua puluh
tujuh tahun. Pemuda itu
berpakaian kumuh. Bajunya warna putih kusam. Banyak noda coklat bekas
makanan atau minuman di bajunya!
Pokoknya baju putih berlengan panjang itu kotor. Bagian tengkuk dan ujung lengan
kanannya robek sedikit. Mungkin habis kecantol duri atau digigit
macan. Celana pemuda itu warna hitam
belel. Juga kumuh dan kotor. Bagian pantatnya robek sedikit. Entah karena
menduduki paku atau habis diseruduk banteng. Pokoknya penampilannya nggak keren.
Cenderung mirip orang susah
hidup. Tapi dilihat dari badannya, ia
tampaknya seorang pemuda yang cukup banyak menelan vitamin. Badannya
kekar, walau tidak berotot seperti
binaragawan. Tingginya sedang-sedang saja, tidak membuatnya menjadi


Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangkung. Kulitnya coklat muda.
Wajahnya bersih tanpa jerawat.
Kumisnya tak ada. Mungkin memang tak mau tumbuh atau memang dibuat supaya tak
tumbuh. Pokoknya wajah bersih itu tergolong ganteng. Hidungnya bangir, matanya
sedikit besar tapi indah.
Tampak jantan. Sayang kalau harus
dicolok pakai lidi.
Rambutnya hitam, panjang sebatas
punggung, sedikit bergelombang. Rambut itu diikat dengan ikat kepala warna
putih. Sama dengan ikat pinggangnya yang juga berwarna putih, terbuat dari kain
agak tebal dan kusam.
Ketika pemuda itu terbangun dari
tidurnya, ia segera terkejut dan
memandangi alam sekitarnya. Ia juga memeriksa pakaiannya dan merasa aneh dengan
pakaian sekumal itu. Sebelum
hatinya ngomong apa-apa, ia sudah
lebih dulu mendengar orang berkata,
"Ingat, namamu sekarang adalah Yuda Lelana. Kau adalah manusia...."
"Yang bilang kucing siapa?"
gerutu pemuda itu segera menyadari
bahwa dirinya sebenarnya adalah dewa yang telah dibuang dari kayangan.
Batara Kama kini berganti nama Yuda Lelana. Orang yang bicara itu tak
tampak wujudnya. Yuda Lelana tahu,
suara itu adalah suara Sang Hyang Guru Dewa.
Sekalipun tanpa telepon seperti
zaman sekarang, tapi Yuda Lelana masih bisa bicara dengan Sang Hyang Guru
Dewa yang ada di kayangan. Rupanya
pemuda tanpa senjata itu mengajukan protes kepada pihak para dewa.
"Mengapa aku diturunkan di dekat danau ini" Mengapa pakaianku mirip
gelandangan" Apa di kayangan sudah
kehabisan busana model terbaru?"
"Kau harus menjalani bertapa yang dinamakan Tapa Melarat!"
"Apakah tidak bisa diganti dengan Tapa Kaya saja" Tapa kok melarat"!" ia
bersungut-sungut.
"Tapa Melarat gunanya untuk
membawa alam kehidupanmu sebagai Yuda Lelana menuju ke suatu tempat. Di
tempat itulah kelak kau akan menemukan kunci menuju jati dirimu kembali."
"Kalau aku merasa enak menjadi manusia, aku tidak mau jadi dewa
lagi!" katanya dengan jengkel sambil berdiri, lalu bercermin di tepian
danau. Hatinya membatin, "Ganteng juga sih. Tapi untuk apa jadi cowok ganteng
kalau melarat. Nggak bakalan disukai sama cewek-cewek!"
Rupanya kata-kata hati itu pun
didengar pula oleh Sang Hyang Guru
Dewa. Bukan karena Sang Hyang Guru Dewa seorang paranormal yang bisa
mendengar suara batin dan membaca
pikiran manusia, tapi karena memang dia guru dari segala kekuatan batin para
dewa, makanya gampang saja
mendengarkan suara batin Yuda Lelana.
Ia pun segera berkata kepada anak muda yang tampak sudah matang itu.
"Kaya atau miskin bukan ukuran mendekati seorang gadis. Yang penting bagaimana
sikapmu di depan mereka. Tak perlu salting, tak perlu over akting, kalem-kalem
saja. Maka gadis-gadis itu akan menaruh simpati padamu."
"Apakah aku juga mempunyai
kekuatan daya pikat untuk membuat para gadis tergila-gila padaku, Guru?"
"Ya. Kau mempunyai ilmu pemikat.
Tapi karena kau sebenarnya dewa, maka kau tidak boleh mengumbar ilmu pemikat
sembarangan. Nanti yang rugi kau
sendiri. Karena tugas utamamu di bumi bukan untuk koleksi cewek, tapi untuk
berbuat kebajikan! Ingat, berbuat
kebajikan! Itu tugas utamamu."
"Iya, iya... gue inget!"
gerutunya sambil bersungut-sungut.
"Ingat pula, bahwa proses
penuaanmu akan lebih cepat daripada manusia biasa," kata suara Sang Hyang Guru
Dewa. "Lho, kok gitu" Bukannya aku
punya ilmu awet muda?"
"Memang. Tapi ilmu itu tidak
berfungsi bagi dirimu. Sebab jika
tanpa proses penuaan yang lebih cepat, kau akan enak-enakan hidup di bumi
menikmati masa awet mudamu. Dengan mempercepat proses penuaan, maka kau akan
segera mencari tujuan utamamu, yaitu kembali menjadi dewa dengan
menebus kesalahanmu semasa di
kayangan, yaitu berbuat kebajikan
sebanyak mungkin dan mencari seorang istri untuk menghasilkan keturunanmu.
Tapi ingat, jika kau mendapatkan seorang istri harus dinikahi secara
baik-baik. Tidak boleh kumpul kebo.
Itu namanya perbuatan asusila. Paham?"
"Paham deh, paham...!" jawabnya dengan nada dongkol.
"Ya, sudah... percakapan kita
sampai di sini dulu. Selamat berjuang, Yuda. Dan jangan mudah menyerah
menghadapi tantangan hidup sebagai
manusia. Tantangan itu tidak harus
dihindari tapi harus kau kalahkan.
Oke?" "Oke sajalah!" jawabnya lagi dengan wajah cemberut kesal.
Telinga pun segera mendenging.
Sepertinya ada sesuatu yang melesat dari dalam telinga dan lenyap entah ke mana.
Yuda Lelana tidak pedulikan lagi denging itu, sebab ia tahu denging
tersebut tanda terputusnya pulsa
hubungan bicara dengan pihak kayangan.
Tak berapa jauh dari tepat Yuda
Lelana bercermin di permukaan air
danau, tepatnya di lereng bukit itu, terdapat suatu peristiwa yang sudah terjadi
sebelum Yuda Lelana jatuh di dekat danau tersebut. Di sana ada
pertarungan tanpa penonton.
Pertarungan itu terjadi di alam bebas, tanpa ring atau arena berpanggung.
Dua tokoh berilmu pedang cukup
handal sedang saling bertaruh nyawa.
Mereka saling mengibaskan pedangnya, berusaha membuntungi kepala lawannya.
Tapi yang terjadi adalah denting suara pedang yang saling beradu dengan
cepat. Denting suara pedang itulah
yang membuat Yuda Lelana tertarik
untuk melihat apa yang terjadi di
lereng bukit tersebut.
"Jangan-jangan di bawah sana ada tukang pandai besi yang sedang bikin senjata"
Tengok dulu, ah! Siapa tahu
punya makanan buat pengganjal
perutku!" Ternyata dua tokoh yang bertarung
itu adalah dua wanita berpakaian lebih bersih dari pakaiannya Yuda Lelana.
Yang satu berpakaian pinjung sebatas dada warna kuning, sama dengan
celananya yang sebatas betis. Pinjung dan celana itu ketat dengan tubuhnya yang
sekal dan sexy. Karena ketatnya, maka bentuk dadanya yang menonjol
sekal dan menggemaskan itu terlihat jelas di mata Yuda Lelana. Tentu saja mata
itu enggan berkedip karena memang suka dengan pemandangan yang bersifat syur
seperti itu. Sayang sekali wanita muda yang ditaksir usianya sekitar dua puluh
empat tahun itu mengenakan
pakaian jubah lengan panjang warna
abu-abu tipis, sehingga bentuk
keelokan tubuhnya tak bisa terlihat bebas.
"Cantik juga dia. Tahi lalat di dekat bibirnya itu yang membuatnya tampak cantik
dan menawan hati. Gemas sekali aku pada bibir itu!" gumam Yuda Lelana yang suka
berpikiran nakal itu.
Katanya lagi. "Tapi yang satunya lagi juga oke punya, Cing! Memang sedikit lebih tua dari yang
berjubah abu-abu itu, cuma matanya tampak galak dan melambangkan suka bercinta.
Bibirnya tipis tapi
malah yang bentuknya kayak gitu yang
bikin betah jika dipagut. Wow...!
Keren!" Mata Yuda Lelana masih pandangi
wanita yang kira-kira berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu. Sekalipun
usianya sudah sekitar segitu, tapi
bentuk tubuhnya masih menggiurkan.
Pantatnya menonjol sekal, keras,
dibungkus celana ketat warna merah
darah. Bajunya tanpa lengan warna
merah juga. Tapi belahan bajunya cukup lebar. Kalau saja bagian dadanya tidak
dilapisi kain hitam dari jenis sutera, maka tonjolan di dadanya itu akan
terlihat. Sayang dadanya ditutup kain hitam, yang membuat bagian atas
dadanya saja yang tampak tersumbul
putih mulus tanpa cacat. Bentuknya
lebih besar dari milik si gadis
berpakaian kuning dan jubah abu-abu itu. Rambut wanita berpakaian merah itu
terurai lepas sebatas punggung, kepalanya diikat dengan kain merah
juga. Rambut yang lepas terurai itu menambah daya seksinya lebih tinggi lagi.
Yuda Lelana hanyut dalam khayalan
ngeresnya untuk beberapa saat sampai tubuhnya menjadi bergidik merinding, lalu
ia tarik napas dan membuang
khayalan. Yuda Lelana sengaja tidak ikut
campur dalam pertarungan itu. Ia hanya menjadi seorang penonton yang
bersembunyi dari balik semak. Hanya kepalanya yang tampak nongol dari
sana. Jarak persembunyiannya dengan pertarungan itu sekitar enam tombak.
Jadi ia dapat melihat jelas jurusjurus yang digunakan oleh kedua wanita itu.
Pada satu kesempatan, si jubah
abu-abu itu berhasil melompat di atas kepala lawannya, lalu pedangnya
berkelebat menebas punggung. Wuuut...!
Tapi pedang lawannya tiba-tiba
bergerak ke belakang sehingga
tertangkislah tebasan pedang itu.
Traaang...! Dengan cepat si baju merah
berbalik dan tangan kirinya menyentak ke atas, wuuut...!
Claaap...! Sinar kuning bundar
melesat menghantam tubuh si jubah abu-abu yang masih melayang turun itu.
Melihat sinar kuning dilepaskan dari tangan si baju merah, maka si jubah abu-abu
pun melepaskan sinar merah
panjang dari dua jari yang disodokkan ke depan. Suuuuuut...!
Wuuut...! Blaaar...!
Benturan dua sinar menghasilkan
ledakan. Ledakan menghasilkan
geiombang. Gelombang menghasilkan
sentakan. Sentakan membuat keduanya terpental dan jatuh kehiLangan
keseimbangannya.
Brruss...! "Hiaaat...!" si baju merah cepat sentakkan pinggul yang membuat
tubuhnya melenting naik ialu berdiri dengan dua kaki sedikit merenggang dan
rendah. Jleeg...! Ternyata lawannya sudah lebih
dulu berhasil berdiri dengan kaki
berkuda-kuda kokoh. Pedangnya
melintang di atas kepala dengan tangan kirinya terangkat di depan dada.
Matanya menembus pandangan mata si
baju merah, napasnya terengah-engah tampak sedikit sesak. Bukan karena
punya sakit bengek, tapi karena
hentakan gelombang ledak tadi memukul dadanya agak keras.
"Kau tak akan bisa mengalahkan aku, Peluh Selayang!" kata si jubah abu-abu
kepada lawannya yang berbaju merah yang ternyata bernama Peluh
Selayang. Ujarnya lagi, "Sebaiknya menyerahlah sebelum keadaanmu menjadi lebih
buruk lagi. Karena jika kau
tetap ngotot, aku pun akan tetap
ngotot menangkapmu untuk diserahkan kepada Guru!"
"Aku bukan orang bodoh, Kutilang Manja!"
Hati Yuda Lelana membatin, "Oo...
yang berjubah abu-abu itu namanya
Kutilang Manja. Hmm... cantik juga nama itu. Serasi dengan wajahnya."
Lalu cowok tampan itu kembali
menyimak omongan si Peluh Selayang,
"Kalau aku mau menghadap Guru, itu berarti aku mengaku sebagai pihak yang
bersalah. Sampai mati pun aku
tidak mau diserahkan kepada Guru,
karena aku bukan orang yang bersalah!"
"Jika kau tidak bersalah mengapa kau lari dari perguruan kita?"
"Aku punya alasan lain untuk lari dari perguruan. Bukan karena aku
mencuri Kitab Pusaka Jayabadra, tapi karena aku merasa kecewa dengan sikap Guru
yang menganakemaskan dirimu!"
"Kau hanya membuat-buat alasan saja, Peluh Selayang!" tegas Kutilang Manja.
Suaranya kecil tapi merdu.
Menggelitik hati jika didengar oleh kaum lelaki. Sedangkan suara Peluh
Selayang sedikit serak, mengusik
kejantanan seorang lelaki yang
mendengarnya, seperti Yuda Lelana itu.
Suara Kutilang Manja terdengar
lagi, "Perlu kau ketahui, Peluh Selayang... tugas yang diberikan Guru padaku
bukan saja menangkapmu. Jika kau bandel, aku diperkenankan untuk membunuhmu!
Menurut Guru, daripada kau berhasil mempelajari semua jurus dalam Kitab
Jayabadra, ada baiknya kalau kau dibunuh saja. Karena jika ilmu dan
Kitab Jayabdra berhasil kau kuasai, maka kau akan menjadi orang sesat yang sukar
ditandingi! Nama perguruan pun
akan jatuh, karena setiap orang tahu bahwa kau adalah murid dari Perguruan Sekar
Bumi!" "Aku tidak mencuri kitab itu!"
bentaknya. "Jangan mengkambinghitamkan diriku, Kutilang Manja! Hilangnya
kitab itu tidak ada hubungannya dengan kepergianku dari perguruan!"
"Buktinya beberapa waktu setelah kau pergi, bumi menjadi berguncang, bencana
alam datang. Itu pertanda kau telah mempelajari ilmu 'Lumbung
Petaka' yang merupakan salah satu ilmu berbahaya di dalam Kitab Jayabadra!"
"Persetan dengan tuduhan itu! Aku benar-benar tidak menguasai ilmu
tersebut. Jika beberapa waktu yang
lalu terjadi bencana alam, itu bukan karena ulahku! Jangan kaitkan bencana itu
dengan kepergianku dari
perguruan!" sentak Peluh Selayang yang tubuhnya sudah berkeringat sejak tadi
itu. Kitab Jayabadra adalah kitab
pusaka milik guru mereka; Nyai Sirih Dewi. Salah satu ilmu berbahaya yang
terdapat dalam Kitab Jayabadra adalah jurus 'Lumbung Petaka', yang apabila
digunakan bisa menghadirkan bencana pada alam sekelilingnya. Mereka tidak tahu
bahwa bencana yang terjadi belum lama ini adalah akibat murka Begawan Dewa
Gesang, ayah Batara Kama yang
kini menjadi Yuda Lelana itu. Murka
yang menggegerkan kayangan, juga
menggegerkan kehidupan di bumi, telah disalah artikan oleh Nyai Sirih Dewi.
Karenanya ia mengutus murid tercintanya; Kutilang Manja untuk menangkap Peluh Selayang, sebab kepergian Peluh
Selayang bersamaan dengan hilangnya Kitab Jayabadra.


Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekali lagi kuperingatkan padamu, Peluh Selayang. Menyerahlah dan jangan melawan supaya aku tidak bikin
nyawamu melayang-layang!"
"Kau pikir mentang-mentang kau menjadi anak emas Guru, maka kau bisa kalahkan
ilmuku" Hmmm...! Sori aja, ya"! Bagaimanapun juga kedudukanmu
masih di bawahku, Kutilang Manja. Aku adalah atasanmu! Ilmumu belum sepadan
dengan ilmuku! Sebaliknya, akulah yang harus memperingatkan dirimu agar
jangan coba-coba melawanku. Apalagi aku merasa tidak bersalah, mati bareng pun
kujalani!"
"Kalau begitu, terimalah jurus
'Pedang Mata Malaikat'
ini! Hiaaah...!"
Suuut...! Claaap...!
Pedang ditusukkan ke depan. Dari
ujung pedang bergagang gading itu
keluar sinar merah berasap. Melesat cepat bagaikan tali panjang yang
terulur cepat. Melihat jurus 'Pedang Mata Malaikat' digunakan oleh Kutilang
Manja, Peluh Selayang sempat
terperanjat heran. Sebab jurus 'Pedang Mata Malaikat' itu hanya akan
diberikan oleh sang Guru jika seorang murid sudah hampir mencapai tingkat akhir
dalam menuntut ilmu di Perguruan Sekar Bumi itu. Peluh Selayang sendiri merasa
belum mendapatkan ilmu tersebut. Hal ini memperjelas pandangan
Peluh Selayang, bahwa gurunya benar-benar menganakemaskan Kutilang Manja.
Dengan penuh kegeraman, Peluh
Selayang segera lepaskan jurus
penanding sinar merah berasap itu. Ia mempergunakan jurus 'Pedang Mata
Maling' dengan cara memegang pedang dua tangan, satu di gagang satu lagi di
pucuknya. Pedang itu ditegakkan di depan dada dan memancarkan sinar putih
kemilau ke semua arah.
Slaaap...! Sinar merah lurus berasap itu
menghantam pedangnya Peluh Selayang.
Jraasss...! Blegaaar...!
Dentuman dahsyat terjadi lagi.
Sinar putih menyilaukan dari jurus
'Pedang Mata Maling' itu memecah lebar berubah warna menjadi merah jambu.
Sekejap setelah
bunyi ledakan menggelegar itu, sinar-sinar pada
pedang mereka lenyap seketika. Tapi tubuh mereka saling terpental mundur.
Tubuh Kutilang Manja bagai ada
yang mendorong hingga ia terpelanting mundur sampai membentur sebuah pohon.
Tapi keadaannya masih tetap berdiri dengan menahan napas beberapa saat.
Sedangkan tubuh Peluh Selayang
terlempar melayang bagaikan sampah
daun pisang yang terbuang begitu saja.
Brruk! Tubuh itu jatuh terbanting
dengan pedang lepas dari tangannya.
"Uuhg...!" terdengar suara lirih Peluh Selayang mengerang kesakitan
sambil menggeliat dalam keadaan
setengah merangkak. Ia berusaha untuk berdiri, tapi tiba-tiba kepalanya
tersentak maju dan mulutnya memuntahkan darah segar. "Hoeek...!"
Melihat keadaan Peluh Selayang
menjadi parah, Kutilang Manja segera menyerangnya lagi untuk mem-ereskan
lawannya. Pedangnya dikelebatkan ke sana-sini dengan cepat. Kemudian dari ujung
pedang yang disentakkan ke depan dengan dua tangan itu, keluar sinar merah
berasap seperti tadi.
Claaap...! Tubuh wanita berpakaian serba
merah itu akan hancur dihantam sinar maut dari ujung pedang Kutilang Manja.
Namun mendadak dari arah semak-semak melesat sinar biru bagaikan piringan
bergerigi. Berputar-putar dengan
gerakan melesat amat cepat dan
menghantam ujung sinar merah berasap sebelum ujung sinar itu menghantam
tubuh Peluh Selayang.
Blegaaarrr...! Ledakan yang timbul lebih dahsyat
lagi dari ledakan sebelumnya. Hutan di situ menjadi bergetar. Dua pohon
tumbang sebelah timur. Dahan-dahan
banyak yang retak maupun pecah karena terkena getaran gelombang ledak yang
berdaya sentak sangat tinggi itu. Tubuh Peluh Selayang sendiri terpental lagi,
mirip boneka dari kain berisi kapas yang dilemparkan seenaknya,
sedangkan tubuh Kutilang Manja juga terbang melayang tak tentu gerak, lalu jatuh
terbanting membentur gugusan
tanah yang jaraknya delapan langkah dari tempatnya berdiri.
Yuda Lelana segera melompat dan
bergerak cepat melebihi gerakan rusa.
Wuuut...! Tahu-tahu ia berada di
samping Peluh Selayang. Keadaan Peluh Selayang semakin parah. Matanya
terbeliak-beliak hampir mau terbalik.
Lukanya sangat berbahaya. Dalam
keadaan terkapar ia berusaha menghirup napas dari mulutnya. Mulut itu
tercengap-cengap mirip mulut ikan
mujair mencari gelembung hawa.
"Kasihan perempuan ini," Yuda Lelana membatin, "Napasnya tinggal sedikit.
Nyawanya sudah ada di ubun-ubun. Padahal dia belum tentu
bersalah. Hmm...! Dia harus segera
kutolong sebelum menjadi korban salah paham. Aku yakin dia tidak bersalah.
Jika ia memang punya jurus 'Lumbung
Petaka' pasti sudah digunakan untuk melawan Kutilang Manja!"
Kemudian dengan mengeraskan dua
jari tangan kanannya, Yuda Lelana
menunjuk ke arah dada Peluh Selayang.
Ujung jari itu keluarkan sinar putih bening bagaikan kaca.
Sllaaap...! Juurrssss...! Sinar
itu menghantam ulu hati, menembus
beberapa kejap, lalu padam seketika.
Zluub...! Itulah jurus para dewa yang sering digunakan untuk pengobatan,
namanya jurus 'Hawa Bening', yang
mampu sembuhkan luka dalam waktu amat singkat.
Di seberang sana, Kutilang Manja
terpukau melihat kehadiran pemuda
berpakaian kumal itu. Lebih terpukul lagi setelah melihat Peluh Selayang mulai
bisa bernapas longgar setelah mendapati tikaman sinar sebening kaca itu. Namun
keadaannya yang juga
merasakan panas di dada itu membuatnya lemah dan jatuh terduduk kembali. Yuda
Lelana segera menghampirinya untuk
memberikan pertolongan, karena ia
dapat melihat kelemahan fisik Kutilang Manja yang cukup membahayakan
keselamatannya.
"Mau apa kau kemari"!" Kutilang Manja sempat memaksakan diri membentak kehadiran
Yuda Lelana. "Kau terluka, Nona Cantik. Kau bisa mati kalau tak segera tertolong.
Jantungmu mengalami pembengkakan.
Pembuluh darahmu bisa pecah. Paruparumu bisa hangus dan kering. Ususmu bisa kusut dan...."
"Cukup! Lakukan saja apa yang kau lakukan. Aku... aku makin tak kuat.
Uuhg...!" Kutilang Manja tersentak dan dari mulutnya keluar darah kental
berwarna hitam kemerah-merahan.
TIGA PERGURUAN Sekar Bumi menjadi
tempat Yuda Lelana singgah pertama
kali terbuang di bumi. Kehadirannya yang membawa perdamaian antara Peluh
Selayang dan Kutilang Manja diterima dengan baik oleh Nyai Sirih Dewi.
Memang pada mulanya Nyai Sirih Dewi sempat curiga, menyangka Yuda Lelana memihak
Peluh Selayang.
"Seharusnya kau tidak ikut campur dalam urusan ini, Anak Muda," ujar sang Guru
yang usianya sudah mencapai delapan
puluh tahun, tapi masih
kelihatan tegar. Kulitnya berkeriput, namun tulangnya masih lurus. Tak ada
bungkuk sedikit pun. Matanya masih
memandang dengan tajam, setajam pisau cukur. Wibawa dan kharismanya masih
tinggi. Dengan pakaian hijau tuanya Nyai
Sirih Dewi menampakkan sikap kurang ramah kepada Yuda Lelana. Bahkan
dengan nada ketus ia berkata,
"Apa perlumu membela Peluh
Selayang, sehingga kau yakin betul
bahwa Peluh Selayang tidak mencuri kitab pusaka kami?"
"Kalau dia mempunyai kitab itu dan sudah pelajari jurus 'Lumbung
Petaka', tentunya perguruanmu sudah digulung habis, Nyai!" jawab Yuda Lelana
dengan santainya, cuek-cuek
menjengkelkan. Tapi lagaknya itu
diperhitungkan oleh sang Guru.
Biasanya orang yang sok berlagak cuek ilmunya tinggi.
"Alasanmu memang masuk akal, Anak Muda. Tapi aku yakin pembelaanmu
terhadap Peluh Selayang karena kau
naksir dia. Iya, kan?"
Yuda Lelana tersenyum tipis.
"Yang jelas tak mungkin aku naksir kamu, Nyai. Aku masih muda, tentu saja naksir
cewek yang masih muda juga
dong!" "Hmm...!" Nyai Sirih Dewi mencibir. "Sekarang saja kau bisa bilang begitu. Coba
dulu, ketika aku masih semuda Peluh Selayang...."
"Apakah kau juga secantik dia?"
potong Yuda Lelana.
"Kau bakalan celeng kalau lihat aku masih seusia Peluh Selayang!"
Tawa kecil Yuda Lelana terdengar
mirip orang menggumam terpatah-patah.
"Aku percaya... aku percaya...,"
sambil manggut-manggut. "Sekarang pun sebenarnya kau masih kelihatan cantik,
Nyai." "Hmm...!" Nyai Sirih Dewi semakin mencibir, padahal hatinya sempat
bergemuruh mendapat pujian seperti
itu. Tapi ia berlagak sok jual mahal dan berkata ketus, "Kau tak usah memujiku,
walau ucapanmu itu memang benar. Sekarang yang penting aku tidak suka dengan
sikapmu yang memaksaku
menerima Peluh Selayang kembali ke
perguruanku. Dia kuanggap telah
mencuri sesuatu yang amat berharga
dariku! Kalau kau tak rela aku
menuduhnya begitu, kau boleh melakukan pembelaan dengan cara apa pun!"
"Aku hanya meluruskan
kesalahpahaman saja, supaya tidak
terjadi korban yang sia-sia!"
"Lagakmu seperti orang pintar
saja! Siapa namamu"!"
"Yuda Lelana, Nyai!" jawabnya polos saja. "Dapatkah kau membuktikan bahwa Peluh
Selayang tidak mencuri
kitab itu?"
"Aku tahu apa yang tidak kau
ketahui, Nyai!"
"Hmm...! Perlu kujajal juga anak ini. Setinggi apa sih ilmunya, sok
berlagak jadi pembela kebenaran di
depanku!" kata Nyai Sirih Dewi dalam hatinya. Kemudian ia berkata,
"Kalau memang kau tahu apa yang tidak kau tahu, coba sekarang jawablah apa yang
ada di dalam tusuk kondeku ini!"
Nyai Sirih Dewi mencabut tusuk
kondenya. Rambutnya yang putih tetap tergulung di tengah walau tusuk
kondenya dicabut. Tusuk konde itu
sepertinya terbuat dari logam besi
berbentuk runcing, panjangnya satu
jengkal. Pada ujung tusuk konde itu terdapat bulatan sebesar kelereng,
mirip bola kecil. Tusuk konde itu
rupanya termasuk senjata milik Nyai Sirih Dewi juga. Keruncingan tusuk
konde itu dapat untuk melukai lawan.
Konon lawan yang terkena tusuk konde itu walau hanya tergores dapat
menderita lumpuh seketika. Nyai Sirih Dewi jarang mempergunakannya kecuali dalam
keadaan terdesak.
"Apa maksudmu menyuruhku menebak isi tusuk konde ini, Nyai" Mengapa
bukan isi dompetmu saja yang harus
kutebak?" "Aku tak punya dompet!" katanya ketus dan cemberut. "Aku ingin menjajal ilmumu.
Aku tidak tahu apa isi tusuk kondeku ini. Yang jelas itu senjataku. Nah,
sekarang coba jawab apa yang ada di dalam bulatan kecil itu!"
Tusuk konde warna putih mengkilap
bagaikan anti karat mempunyai bobot yang cukup berat. Tusuk konde itu
dipandangi oleh Yuda Lelana dengan
cengar-cengir. Ia merasa seperti
sedang dikerjain oleh tokoh tua itu.
Para murid Perguruan Sekar Bumi
mengelilinginya, memperhatikan
percakapan antara guru mereka dengan sang tamu. Di antara para murid itu duduk
paling depan Peluh Selayang dan Kutilang Manja. Mereka duduk berdua bersebelahan
dalam jarak satu
jangkauan. Mata mereka juga tertuju kepada Yuda Lelana yang masih
memperhatikan tusuk konde itu, seperti sedang menyelidiki sesuatu dengan
santai tapi pasti.
"Tusuk konde ini berisi 'Racun Kadal Buncit'. Letak racunnya ada di bulatan
seperti bola ini!"
Nyai Sirih Dewi menyunggingkan
senyum sinis. "Kau hanya mengarang-ngarang jawaban saja, Yuda Lelana!"
"Aku katakan apa yang sebenarnya kuketahui, Nyai. Kau kan nggak tahu kalau tusuk
konde ini berisi 'Racun Kadal Buncit'" Bagaimana kau bisa
menyangkal jawabanku!"
"Aku tidak percaya. Memang aku tidak tahu isi tusuk konde itu. Tapi aku tidak
percaya dengan kata-katamu.
Sekarang kalau kau benar-benar tahu,
lantas apa akibatnya jika tusuk konde itu melukai seorang lawan?"
"Lawan itu akan jatuh dan lumpuh seketika!"
Kini semua wajah terangkat
memandang Yuda Lelana dengan mata
sedikit terbuka menandakan rasa kaget mereka. Nyai Sirih Dewi sendiri
menatap dengan dahi berkerut. Yuda
Lelana masih cengar-cengir saja, kayak bocah desa yang punya sifat malu-malu
meong. "Dari mana kuperoleh tusuk konde ini kalau kau memang tahu?"
"Dari nenekmu," jawab Yuda Lelana seenaknya, para murid cekikikan.
"Siapa nama nenekku yang
memberikan tusuk konde itu?"
"Nini Sulang Rupi!" jawab Yuda Lelana cepat.
Nyai Sirih Dewi terkejut dalam


Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati. "Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaanku dengan benar" Dia juga kenal
nama nenekku. Padahal tokoh tua yang sekarang masih hidup seangkatanku saja
jarang yang tahu nama nenekku?"
Nyai Sirih Dewi membatin dalam
keheranan. "Apakah jawabanku salah?" tanya Yuda Lelana.
"Memang tidak ada yang salah,"
jawab Nyai Sirih Dewi sambil tarik
napas dan melangkah tiga tindak
meninggalkan tempatnya. Lalu badannya
berbalik arah lagi menghadap Yuda
Lelana yang masih berdiri sambil
memainkan tusuk konde itu.
"Kau hanya bisa menjawab secara kebetulan saja. Aku masih kurang yakin dengan
pengetahuanmu!" katanya bernada penasaran.
Orang-orang di pendapa menjadi
bertambah tegang, tapi hati mereka
merasakan sebentuk kesenangan yang
seru. Kali ini mereka meiihat gurunya teruji kecerdasan dengan sang tamu.
Bahkan mereka sempat berharap tegang setelah mengetahui Nyai Sirih Dewi
mengambil alih tusuk konde itu dari tangan Yuda Lelana dengan hanya
menyentakkan tangan kirinya ke depan dan menariknya sedikit. Wuuut...!
Tusuk konde tahu-tahu melayang dan
tertangkap di tangan Nyai Sirih Dewi.
"Gila! Dia mau pamer ilmu
rupanya?" pikir Yuda Lelana masih kalem-kalem saja. Senyumnya membias tipis di
bibir dengan pandangan mata bersikap tenang. Tiba-tiba ia
terperanjat melihat tusuk konde itu dilemparkan dengan gerakan cepat dan
menancap pada salah satu tiang pendapa dari kayu jati. Jeeeb...! Tusuk konde itu
masuk ke dalam kayu, tinggal sisa bulatannya yang mirip kelereng itu
yang terlihat dari tempat mereka.
Tentu saja lemparan tersebut disertai lepaskan tenaga dalam cukup tinggi,
sehingga kayu sekeras itu bisa menjadi empuk seperti batang pisang.
"Kutilang Manja, coba cabut benda itu!" perintahnya kepada sang murid
kesayangan. Kutilang Manja tak menolak, langsung bangkit dan mencabut benda itu. Tapi dengan tenaga dalam sudah
dikerahkan semua, benda itu tak bisa dicabut. Bahkan Kutilang Manja akhirnya
terpental sendiri jatuh di kaki gurunya.
"Maaf, Guru... saya tidak
sanggup!" "Memang tidak ada yang sanggup mengambilnya," kata Nyai Sirih Dewi sambii
sunggingkan senyum sinis. Lalu ia berkata kepada Yuda Lelana,
"Anak muda, aku akan mempercayai kata-katamu tentang Peluh Selayang
yang menurutmu tidak mencuri kitab
itu, jika kau berhasil mencabut tusuk konde tersebut dari tiang itu!"
Yuda Lelana diam, tersenyum dan
memandang ke sana-sini. Cengarcengirnya sempat membuat beberapa
murid di situ menjadi lebih tegang.
Peluh Selayang membatin kata,
"Jika Kutilang Manja sendiri tak mampu mencabut tusuk konde itu,
apalagi pemuda itu" Pasti tidak akan bisa, sebab tusuk konde itu
ditancapkan bukan saja dengan tenaga dalam melainkan dengan bacaan mantera
yang hanya diketahui oleh Guru
sendiri." Yuda Lelana tetap kalem. Cengarcengirnya seperti orang salah tingkah dan malu akibat tantangannya kali ini agak
berat. Nyai Sirih Dewi tersenyum kian sinis dan berkata,
"Ayo, lakukan! Katanya kau serba tahu, tentunya kau juga tahu bagaimana cara
mencabut tusuk konde itu dong!
Lakukanlah!"
"Aku malas ke sana, Nyai!"
"Ah, alasan saja kau!"
"Sungguh. Aku malas ke sana.
Sebaiknya kucabut dari sini saja, ya?"
Setelah ngomong begitu, Yuda
Lelana hentakkan kakinya ke lantai.
Duug! Dan tiba-tiba tusuk konde itu copot sendiri dari tiang tersebut.
Melesat mundur dan tertangkap oleh
Yuda Lelana. Taaab...!
"Oooh..."!" para murid menggumam kagum dan terbengong-bengong.
Nyai Sirih Dewi pun tertegun tak
berkata apa-apa. Ketika Yuda Lelana serahkan tusuk konde itu, Nyai Sirih Dewi
bagaikan tak punya lidah lagi. ia menerima dengan mulut sedikit
menganga, mirip lubang belut.
Hatinya membatin, "Manusia apa dia sebenarnya" Orang-orang tak ada yang mampu
mencabut tusuk kondeku jika sudah kubacain mantera, tapi anak muda ini dengan
mudahnya mencabut benda
ini" Sekali hentakkan kaki, tusuk
konde melayang sendiri. Wah, jangan-jangan aku berhadapan dengan anak
iblis!" Nyai Sirih Dewi jadi ngeper juga melihat kesaktian Yuda Lelana.
Tentu saja ia jadi ngeper karena ia tak tahu kalau Yuda Lelana sebenarnya adalah
dewa yang punya kesaktian
tinggi. "Siapa sebenarnya dirimu, Anak Muda?"
"Budek juga lu ya?" kata Yuda Lelana seenaknya. "Tadi aku kan sudah bilang kalau
namaku Yuda Lelana" Masa'
masih ditanyain lagi sih?"
"Maksudku, dari perguruan mana kau berasal, Yuda Lelana?"
"Dari perguruan tinggi," jawabnya seenaknya juga. "Pokoknya kamu nggak perlu
tahu dari perguruan mana aku, sebab aku tidak pernah masuk perguruan tinggi mana
pun. Aku hanya seorang
pengelana yang ingin menegakkan
kebenaran dan menolong kesulitan siapa pun. Asyik nggak?" Yuda Lelana tersenyum
sambil angkat-angkat
alisnya. Beberapa murid tersenyum,
demikian juga Nyai Sirih Dewi.
Sejak itulah sikap Nyai Sirih
Dewi menjadi baik dan ramah kepada
Yuda Lelana. Pendapat Yuda Lelana
dihargai, si baju merah abu-abu bebas dari tuduhan. Tetapi Nyai Sirih Dewi
mempunyai satu pertanyaan lagi untuk Yuda Lelana.
"Jika begitu, tentunya kau pun tahu siapa yang mencuri Kitab
Jayabadra itu, Yuda Lelana" Tolong
katakan yang sebenarnya!"
Baru saja selesai bicara dalam
bentuk pertanyaan seperti itu, tiba-tiba seorang murid yang bertugas di pintu
gerbang datang dengan tergopoh-gopoh. Kedatangan murid itu membuat mulut Yuda
Lelana yang sudah menganga untuk berikan jawaban menjadi batal.
Perhatiannya tertuju pada orang
tersebut, yang lainnya pun memusatkan perhatian kepada orang yang baru
datang itu. "Ada apa, Sugana"!" tanya Nyai Sirih Dewi.
"Utusan dari Geladak Hitam datang dan memaksa masuk, Guru!"
"Hahh..."!" para murid nampak tegang, lalu tanpa diperintah mereka menyebar.
Baik yang lelaki maupun yang perempuan, segera mempersiapkan
senjata masing-masing. Di pendopo
tinggal lima orang, Sugana, Nyai Sirih Dewi, Peluh Selayang, Kutilang Manja, dan
Yuda Lelana. Setelah mereka saling pandang,
Yuda Lelana ajukan tanya, "Siapa yang datang sebenarnya?"
"Kau pasti lebih tahu dariku,"
kata Nyai Sirih Dewi agak menyindir.
"Tidak semua kegiatan kupantau, sehingga tidak semuanya kuketahui."
Sebelum pertanyaan itu terjawab,
dua orang bertubuh besar nyelonong
masuk dengan cara mendobrak pintu
gerbang. Beberapa murid Perguruan
Sekar Bumi terlempar karena diterjang dua orang bertubuh besar itu. Mereka
bergerak dengan cepat nyaris tak bisa dilihat kelebatannya. Dalam waktu
sekejap mereka sudah berada di depan Nyai Sirih Dewi dan Yuda Lelana. Tapi di
Ksatria Negeri Salju 1 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Peti Mati Pendekar Gila 2

Cari Blog Ini