Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu Bagian 2
nya dengan kencang, menjadikan gumpalan-gumpalan
sinar yang menutupi tubuhnya.
"Kau yang harus mati, hiaat...!" memekik Sandi Antini. Tersentak lelaki itu
seketika, lalu lelaki itu bermaksud melompat mundur untuk menghindar.
Namun serangan Sandi Antini begitu cepatnya hingga
tak ayal lagi tongkat Sandi Antini menghantam batok
kepala lelaki itu yang memekik menahan sakit memutar-mutar tubuh sembari mendekap kepalanya. Beberapa saat kemudian, lelaki itupun ambruk dengan kepala bocor mengeluarkan darah dan mati.
Berbareng dengan itu, terdengar di dalam rumah pekikan Bupati Labean. Tangannya yang menggenggam keris Cokro Jinggo putung terbabat pedang
lawan. Darah seketika menyembur deras, sederas pekikan Bupati Labean yang menahan sakit.
Tanpa keris pusaka Cokro Jinggo di tangannya,
maka tak berarti apa-apa lagi Bupati Labean bagi
keempat anak buah Suro Gonggong, hingga saat itu
juga, jadilah Bupati Labean bulan-bulanan keempat
anak buah Suro Gonggong.
"Mampuslah kau, Bupati keparat!"
Berbareng dengan ucapan itu, salah seorang
dari keempatnya menghujamkan senjatanya yang berbentuk clurit membeset perut Bupati Labean. Usus
Bupati Labean seketika mengurai, keluar dari sobekan
perut yang menganga. Walaupun sudah dalam keadaan begitu, namun Bupati Labean nampak masih
sanggup berdiri bahkan balik menyerang keempat
pengeroyoknya. Terbelalak mata keempatnya menyaksikan kenyataan di hadapannya, sampai-sampai mulut mereka
menganga saking kagetnya. Betapa tidak! Tubuh Bupati Labean yang sudah terkoyak-koyak, ternyata masih mampu melanjutkan pertempuran.
"Aku rasa Bupati ini memiliki pegangan, Kakang Kiranda," berkata Sugiri pada Kiranda yang mengangguk mengiyakan.
"Benar, Adik Sugiri. Coba kau ingat kata-kata
kakang Suro Gonggong manakala kita hendak menyatroni Bupati ini."
"Ya, Kakang Suro Gonggong berkata bahwa Bupati ini memiliki ajian Lampar Urip. Ia dapat mati jika darahnya dihisap,"
berkata Sugiri.
"Hem, kalau begitu kita harus menghisap darahnya." Bergidig dua orang teman lainnya mendengar
ucapan Kiranda. Serta merta kedua orang itu berkata:
"Aku tak dapat."
"Tak apa. Biarlah aku yang akan menjalankannya," berkata Kiranda sembari memandang sesaat pa-da Sugiri yang mengangguk.
Maka dengan segera Kiranda mengibaskan tangannya, mengomandokan ketiga temannya untuk menangkap Bupati Labean.
Setelah ketiganya saling pandang sesaat, dengan segera ketiganya berkelebat cepat merangsek Bupati Labean. Ditangkapnya kaki dan tangan Bupati Labean yang berusaha berontak.
Dengan segera tanpa membuang-buang waktu
lagi, Kiranda segera menyedot darah yang keluar dari
tangan kanan Bupati Labean. Memang benar apa yang
diduga oleh keempat anak buah Suro Gonggong. Terbukti seketika itu pula tubuh Bupati Labean lemas dan mati, setelah darahnya
terminum oleh Kiranda.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini!" berseru Kiranda pada ketiga temannya setelah
menyaksikan Bupati Labean telah mati. "Hai! Ke mana Gento" Dari tadi ia tidak nongol-nongol?"
bertanya Kiranda kemudian pada ketiga temannya yang seketika itu saling pandang.
"Bukankah ia tadi mengejar kedua anak Bupa-ti?" kembali Kiranda bertanya setelah
melihat ketiga temannya hanya terdiam.
"Benar!" menjawab Sugiri.
"Lalu ke mana, dia?" dua orang temannya bertanya bareng, sepertinya pertanyaan
itu ditujukan pada diri mereka sendiri.
"Ah, sudahlah. Nanti juga ia pulang. Ayo kita
pergi," mengajak Kiranda yang segera diikuti oleh ketiga temannya.
Maka dengan segera keempat orang itu keluar
dari rumah Bupati, dengan maksud hendak meninggalkan rumah itu. Namun seketika keempatnya tersentak kaget sembari menghentikan langkahnya, manakala dilihat oleh mereka sesosok tubuh telah terbujur
kaku di halaman rumah Bupati Labean yang mereka
kenali sebagai teman mereka sendiri yang bernama
Gento. Dengan segera keempatnya mendekati tubuh
Gento yang telah menjadi mayat dengan kepala pecah
hingga menjadikan keempat orang itu saling pandang
tak mengerti. "Rupanya ada orang lain datang ke sini," berkata Sugiri setelah sekian lama
terdiam yang diangguki
oleh ketiga temannya.
"Cepat angkat mayatnya jangan sampai ketahuan oleh orang karena hari sebentar lagi menjelang
pagi," memerintahkan Kiranda pada ketiga temannya yang segera melaksanakan.
Diangkatnya tubuh Gento yang telah kaku, lalu
dengan segera keempatnya bergegas pergi meninggalkan, rumah Bupati Labean. Langkah mereka seperti
terburu, karena hari sebentar lagi akan menjelang pagi. Ke manakah perginya Sandi Anting yang membawa tubuh bocah perempuan dalam pundaknya" Ke
mana pula Rangga yang matanya tertusuk oleh keris
Gento" Hidup atau matikah dia"
*** Setelah menolong gadis cilik putri Bupati Labean, segera Sandi Antini bergegas pergi meninggalkan rumah Bupati Labean dengan
membopong tubuh gadis
kecil itu. Dibawanya tubuh gadis kecil putri Bupati Labean yang pingsan karena kekerasan yang dilakukan
oleh salah seorang anggota anak buah Suro Gonggong,
menuju tempatnya tinggal.
Direbahkan tubuh gadis kecil itu di atas pembaringan, setelah tiba di tempatnya. Dipandangi sesaat tubuh gadis kecil itu
yang masih pingsan, seketika hati Sandi Antini berkata: "Hem, perawakan gadis
kecil ini sungguh bagus. Tulang-tulangnya kokoh dan besar.
Aku rasa, gadis inilah yang Eyang Guru maksudkan."
Dengan segera Sandi Antini berkelebat pergi
meninggalkan gadis itu yang masih terbaring pingsan.
Tak lama kemudian, Sandi Antini datang kembali dengan membawa beberapa lembar dedaunan dan beberapa batang akar-akaran untuk obat.
Diraciknya daun dan akar-akaran itu menjadi
obat, lalu setelah dicampur dengan air, segera diminumkannya pada gadis kecil yang masih terbaring
pingsan. Tak berapa lama kemudian, tampak gadis kecil
itu menggeliat bagaikan habis bangun tidur. Matanya
mengejap-ngejap sesaat, memandang sekelilingnya
dengan bingung dan bertanya pada Sandi Antini yang
duduk di sampingnya mengurai senyum.
"Di manakah aku, Nyai?"
Bagaikan tak ada rasa takut, mata gadis kecil
itu menatap lekat ke wajah Sandi Antini yang tampak
tersenyum senang sembari berkata menjawab pertanyaannya: "Kau berada di gubugku, Tuan Putri."
"Ah, kenapa Nyai memanggilku Tuan Putri."
bertanya gadis kecil itu.
Makin senang Sandi Antini melihat kerendahan
hati gadis kecil ini. Tidak seperti anak bangsawan lain, gadis ini tampak
sederhana dan tidak sombong. Di wajahnya tergurat rasa kemasyarakatan, hingga
kulitnya begitu hitam lain dengan anak bangsawan lainnya
yang berkulit putih.
"Kini aku sebatang kara, Nyai," berkata gadis kecil itu tiba-tiba, menyentakkan
lamunan Sandi Antini yang sedari tadi memandangnya. Ucapan gadis itu
yang disertai rasa putus asa, menjadikan Sandi Antini turut terharu hingga tanpa
dirasakannya, air matanya
meleleh jatuh ke pipinya.
"Tidak begitu, Tuan Putri."
"Ah, kenapa Nyai masih tetap memanggilku
Tuan Putri" Aku bukan anak raja. Aku anak orang kebanyakan yang mungkin nasibnya jauh lebih buruk
dibandingkan dengan nasib teman-temanku. Ibu mati
terbunuh oleh orang-orang itu, mungkin begitu juga
ayah. Sementara kakakku, entah ke mana" Oh, nasib,
Nyai," berkata gadis kecil itu seperti menyesali nasibnya. "Sudahlah. Jangan
terlalu... siapa namamu?"
bertanya Sandi Antini menghentikan ucapannya karena ragu harus memanggil apa pada gadis kecil itu yang tidak mau disebut Tuan
Putri. "Namaku, Dewi Miranti. Nyai boleh memanggilku, Miranti," menjawab gadis kecil yang bernama Miranti itu dengan polos. Makin
membuat Sandi Antini
senang, lalu ucapnya kemudian.
"Janganlah engkau terlalu memikirkan nasibmu, Miranti. Bukankah masih ada Nyai?"
Berseri wajah Miranti seketika mendengar ucapan Sandi Antini. Serta merta, Miranti bangkit dari tidurnya memeluk erat tubuh
Sandi Antini yang menerimanya dengan penuh rasa kasih sayang. Dibelainya
rambut Miranti yang panjang terurai dengan penuh
kasih. Tak terasa air matanya kembali meleleh manakala dirasakannya Miranti menangis dalam pelukannnya. "Sudahlah, Miranti. Janganlah kau terlalu terbawa oleh perasaanmu. Kalau
kau tak keberatan,
maukah kau menganggap aku ibumu?" bertanya Sandi Antini setengah berbisik di
telinga Miranti yang seketika itu memandang wajahnya sepertinya hendak mengatakan sesuatu. "Kau mau?" lanjut Sandi Antini bertanya yang diangguki oleh
Miranti dengan senyum
mengembang di bibirnya.
"Terima kasih, Ibu?" desah Miranti sembari
makin mengeratkan pelukannya ke tubuh Sandi Antini
yang dengan rasa bahagia membalas memeluk tubuh
Miranti erat. Sepertinya, kedua wanita itu telah saling menyatu dan mengisi
sejak lama. *** 5 Kita tinggalkan Miranti yang sejak saat itu tinggal bersama Sandi Antini yang telah dianggapnya sebagai pengganti ibunya, sekaligus guru. Marilah kita
tengok, bagaimana nasib Rangga Wisnu Kakang Miranti yang saat itu lari dengan menutup mata kirinya yang hancur tertusuk keris
Gento. Dengan menahan rasa sakit yang teramat sangat akibat mata sebelah kirinya hancur, Rangga Wisnu
terus berlari meninggalkan rumahnya yang saat itu telah terjadi pertumpahan darah. Tak didengarnya lagi
teriakan adiknya Dewi Miranti, dikarenakan rasa sakit yang teramat sangat
melanda mata sebelah kirinya.
Dengan tubuh sempoyongan akibat terlalu banyak mengeluarkan darah, Rangga Wisnu terus berlari
tanpa arah dan tujuan yang pasti. Dalam gelap malam
Rangga Wisnu menyeruak hutan, menuruni sungai untuk menghindari amukan orang-orang yang malam itu
mendatangi rumahnya.
Mungkin karena terlalu lelah berlari, juga karena lemas akibat darah banyak keluar dari mata kirinya menjadikan Rangga Wisnu
akhirnya jatuh pingsan.
Manakala pagi telah datang, tampak dua orang
yang tengah berjalan menyusuri sungai terperanjat
melihat sesosok tubuh bocah belasan tahun tergeletak
di pinggir kali.
Kedua orang yang tak lain Loh Gantra dan Nyi
Mayang Sari, seketika berlari menuju ke tempat bocah
itu pingsan. Mata Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari seketika membelalak, manakala melihat mata bocah itu
hancur satu. "Sungguh biadab orang yang telah melakukannya," dengus Nyi Mayang Sari melihat mata kiri bocah itu hancur. "Kasihan bocah
ini. Bagaimana kalau kita bawa pulang saja?" lanjutnya bertanya pada Loh Gantra.
"Aku rasa juga lebih baik begitu," menjawab Loh Gantra, yang dengan segera
membopong tubuh
Rangga Wisnu. Dibawanya Rangga Wisnu menuju ke
markasnya, Loreng Ireng.
"Dilihat dari pakaian yang dikenakan bocah ini,
aku rasa ia anak seorang Ningrat."
"Benar, apa yang kau katakan, Nyi, Bocah ini
sepertinya bukan anak orang sembarangan," menyam-bungi Loh Gantra, sembari
kembali memandang pada
bocah yang berada dalam bopongannya. "Anak siapa kira-kira?" lanjutnya bergumam,
seperti pertanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri.
Perasaan kedua orang yang biasanya tak mengenal belas kasih itu, berubah menjadi iba melihat
Rangga Wisnu yang mata kirinya hancur hingga banyak mengeluarkan darah. Dengan setengah berlari,
kedua orang yang bergelar Sepasang Iblis dari Hutan
Cemara Gundul melangkah membawa tubuh Rangga
menuju ke markasnya yang terletak di Hutan Cemara.
Tak berapa lama keduanya berlari, sampailah
keduanya pada markas mereka di Hutan Cemara. Kedatangan mereka disambut hormat oleh anak buahnya
yang dipimpin Oleh Lontar. "Selamat datang, Pimpinan?" "Lontar, perintahkan pada
anak buahmu untuk mempersiapkan tempat tidur untuk anak ini," memerintah Loh
Gantra. "Siapakah gerangan anak yang berada dalam
gendongan, Pemimpin?"
"Jangan banyak bertanya, Lontar! Kerjakan dulu apa yang tadi aku perintahkan!" membentak Loh Gantra, membuat Lontar tak
berani lagi berkata dan
segera berlalu pergi.
Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapkan sebuah dipan untuk anak itu!" perintah Lontar pada anak buahnya yang
dengan segera melaksanakan perintahnya. Dengan cepat, semua
anak buahnya segera membuat sebuah dipan dari
kayu. Karena dikerjakan bergotong royong oleh hampir
seratus orang, maka dalam waktu yang singkat dipan
itu telah jadi.
Segera Loh Gantra membaringkan tubuh Rangga di atas dipan, lalu kembali ia berkata memerintahkan pada Lontar: "Ambilkan air dan obat-obatan, Lontar!" Dengan tanpa banyak
tanya, Lontar segera
menjalankan tugasnya. Tak berapa lama, Lontar telah
kembali menemui Loh Gantra dengan membawa apa
yang dimaksudkan oleh pimpinannya.
"Ini, Pimpinan?"
"Ya, bawa kemari!"
Setelah menerima sebaskom air dan segenggam
obat-obatan, Loh Gantra segera mengelap darah yang
telah mengering pada mata kiri Rangga. Dilapnya dengan perlahan, hingga benar-benar bersih. Lalu setelah itu, ditaburkan serbuk
obat pada mata kiri Rangga.
Sesaat Rangga memekik, lalu terdiam lagi.
"Carikan sebuah batu pipih," berkata Loh Gantra, memerintahkan pada Lontar dan
anak buahnya yang segera pergi mencari batu. Selang tak begitu lama kemudian, Lontar bersama
anak buahnya telah membawa batu yang dimaksud.
"Ingat oleh kalian. Anak ini telah kami angkat
menjadi anak kami," berkata Nyi Mayang Sari pada anak buahnya, setelah sekian
lama hanya terdiam
memandangi wajah Rangga dengan perasaan iba.
"Apakah hal itu sudah dipikirkan masakmasak?" tanya Lontar.
"Maksudmu, Lontar?" balik bertanya Nyi
mayang Sari. "Apakah Nyai pimpinan telah memikirkan dan
mempertimbangkannya sebelum mengangkat anak tersebut" Apakah nantinya anak ini tidak akan merepotkan kita?"
Melotot mata Nyi Mayang Sari mendengar penuturan Lontar, yang dianggapnya hendak menentangnya. Maka dengan membentak marah, Nyi Mayang Sari
berkata: "Diam! Apakah kau hendak menentangku"
Lebih tahu mana kau denganku, Lontar?"
"Ampun, Nyi Pimpinan. Bukannya saya hendak
menentang. Namun saya semata-mata ingin supaya
Nyi Pimpinan mempertimbangkan masak-masak agar
nantinya tidak terjadi hal-hal yang tidak kita ingini."
"Aku tahu Lontar! Sekarang jangan banyak
tanya," berkata Nyi Mayang Sari, menjadikan Lontar seketika itu diam tak berani
lagi berkata. "Hari ini juga, kalian harus menghormatinya.
Kalian perlu ingat, bahwa anak ini kelak akan menjadi pimpinan kalian," lanjut
Nyi Mayang Sari berkata.
"Baik, Nyi Pimpinan. Kami akan selalu menuruti apa yang menjadi keputusan Nyai," berkata serem-pak keseratus anak buahnya
sembari menjura hormat.
Sejak saat itu Rangga Wisnu resmi menjadi
anak angkat Mayang Sari dan Loh Gantra sekaligus
mewarisi segala ilmu yang bakal diturunkan padanya.
*** Hari masih begitu pagi, ketika terdengar suara
lengkingan seorang gadis memecahkan keheningan
pagi itu. Tampak seorang gadis meliuk-liukkan tubuhnya sembari melompat-lompat ke udara, sepertinya
gadis itu tengah menari. Namun bila kita memandangnya dengan seksama ternyata gadis itu sembarangan
menari, melainkan tengah berlatih ilmu silat.
"Bagus, Miranti!" terdengar suara wanita me-mujinya.
"Bagaimana, ibu?" bertanya gadis itu yang ternyata Miranti adanya pada wanita
bungkuk yang duduk di atas batu, yang tak lain Sandi Antini yang kembali berseru.
"Bagus, Miranti. Ternyata kau mampu menguasai ilmu yang aku turunkan. Jurus itu bernama Tarian
Bidadari, yang merupakan dasar dari ilmu yang nantinya bakal engkau pelajari. Nah sekarang berlatihlah lagi." Dengan penuh
semangat, Miranti kembali berlatih. Tubuhnya yang ramping, meliuk-liuk bagaikan
menari-nari di angkasa. Sesekali tubuhnya melompat
sembari memekik, lalu turun kembali dengan sigap
sempurna dan siap mengembangkan jurus Tarian Bidadari lainnya.
Bersamaan dengan itu, di Hutan Cemara tampak seorang pemuda tengah digembleng ilmu-ilmu silat
oleh dua orang tokoh yang telah mengangkatnya sebagai anak mereka. Dua tokoh silat pimpinan Loreng
Ireng yang tak lain Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari,
dengan penuh kasih sayang dan perhatian membimbing Rangga. "Kurang cepat, Rangga! Usahakan kakimu bergerak dipercepat. Kau tahu bagaimana lutung menyerang musuhnya" Nah, itulah yang harus engkau lakukan," berkata Loh Gantra, memberi semangat pada
anak angkatnya.
Dengan tanpa rasa lelah, Rangga Wisnu segera
mengulang Jurus Lutung-Menyerang disambung dengan Jurus Lutung Menangkap Ular Sanca. Gerakangerakannya begitu cepat, menjadikan Loh Gantra tersenyum puas dan kembali berseru memuji. "Bagus,
Rangga!" "Bagaimana, Ayah?" bertanya Rangga gembira
mendengar pujian Loh Gantra, ayah angkatnya.
"Bagus! Kau ternyata anak cerdas. Tak sia-sia
aku mendidikmu," berkata Loh Gantra kembali semba-ri melirik Nyi Mayang Sari
yang duduk di sampingnya
mengurai senyum.
Silih berganti keduanya mengajari ilmu-ilmu
yang mereka miliki pada Rangga. Walaupun begitu, sepertinya Rangga tak pernah bosan. Bahkan dengan cepat, dilalapnya segala ilmu yang diajarkan oleh kedua orang tua angkatnya.
Maka dalam waktu yang sangat singkat, segala
ilmu yang diajarkan oleh Loh Gantra dan Nyi Mayang
Sari dapat dengan cepat dikuasainya. Maka jadilah
Rangga Wisnu seorang pemuda yang berilmu tinggi.
Tapi karena didikannya yang salah, jadilah
Rangga Wisnu pemuda yang urakan dan nakal.
Di pihak lain, Miranti yang telah tumbuh menjadi gadis remaja nampak kecantikannya. Seperti halnya Rangga Wisnu kakaknya, Miranti pun telah menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu kedigdayaan
yang tinggi. Berbeda dengan watak kakaknya Rangga Wisnu
yang beringasan, Miranti yang berwatak lemah lembut.
Mungkin karena Miranti dididik oleh Sandi Antini yang menerapkan sifat rendah
hati, hingga menjadikannya
seorang gadis yang memiliki etika.
Saat itu Miranti dengan ditemani oleh ibu angkatnya yang sekaligus gurunya tengah membuka peti
yang berisi Kitab Selendang Ungu. Terbelalak mata
Sandi Antini manakala melihat apa yang terjadi. Ternyata Kitab Selendang Ungu memang berjodoh dengan
Miranti, terbukti dengan mudah Miranti menjamah Kitab itu dan mengangkatnya keluar dari petinya.
"Ibu lihatlah! Ternyata di bawah kitab ini terdapat sebuah selendang berwarna
ungu!" berseru Miranti dengan mata terbelalak melihat apa yang ada di dalam
peti. Sandi Antini yang berada disampingnya turut
terbelalak, manakala melihat bahwa di bawah kitab
terdapat sebuah selendang berwarna ungu.
"Pantas, kalau Kitab itu benar Kitab Selendang
Ungu," gumam Sandi Antini sembari menganggukanggukan kepalanya. "Apakah kau akan mempelajarinya hari ini juga, Miranti?" lanjutnya bertanya.
"Ya. Ibu. Miranti ingin sekali mengetahui apa
yang sebenarnya terkandung dalam Kitab Selendang
Ungu ini. Maukah Ibu menemani Miranti dan memberi
petunjuk?" bertanya Miranti yang dijawab dengan senyuman kegembiraan dibibir
Sandi Antini. "Dengan senang. hati, Anakku," menjawab
Sandi Antini. Maka dengan segera kedua anak ibu angkat itu
bergegas menuju ke belakang goa di mana terhampar
lapangan yang cukup luas dengan pohon-pohon bunga
yang tumbuh di sana.
"Di sini kau cukup aman berlatih," berkata
Sandi Antini. Maka dengan duduk bersila, Miranti segera
mengheningkan cipta sesaat. Tujuannya meminta doa
restu pada pemilik dan penulis kitab Selendang Ungu,
yang hendak ia pelajari.
Tengah Miranti khusuk mengheningkan cipta
sembari berdoa, terdengar olehnya suara seseorang
berkata. "Cucuku! Memang kaulah yang berjodoh dengan Kitab Selendang Ungu, yang
merupakan sebuah
Kitab sakti. Barang siapa yang berjodoh dengan kitab
itu dan mau mempelajarinya maka kelak orang itu
akan menjadi seorang pendekar yang mumpuni dan pilih tanding. Maka jangan sekali-kali ilmu dari Kitab Selendang Ungu digunakan
untuk berbuat kejahatan. Bila hal itu terjadi, akan hancurlah dunia persilatan.
Mintalah petunjuk ibumu, agar kau tidak salah mempelajarinya. Selamat berlatih, Cucuku."
Bersama hilangnya suara orang tua itu, angin
seketika berhembus lambat menerpa rambut Miranti
yang berterbangan terurai melambai-lambai.
Perlahan Miranti membuka matanya, lalu memandang pada Sandi Antini yang tampak tersenyum
padanya sembari berkata. "Kau memang jodohnya,
Anakku." "Terimakasih, Ibu."
Dengan berlinang-linang, dipeluknya Sandi Antini. Sesaat kedua ibu dan anak angkat itu saling
berpelukan, melepaskan rasa suka cita dan kasih
sayang. Air mata kegembiraan, menetes deras dipipi
keduanya. Lama keduanya saling berpelukan, hingga
akhirnya Sandi Antini berkata: "Berbahagialah kau, Anakku. Aku akan selalu
membimbingmu untuk
mempelajari Kitab itu."
"Terima kasih, Ibu. Hari ini juga, Miranti akan
mempelajarinya."
Habis berkata begitu, Miranti segera kembali
duduk bersilah. Dibukanya Kitab Selendang Ungu, lalu
dengan teliti dibaca dan dipelajarinya tulisan serta
gambar yang berada dalam lembaran-lembaran Kitab
itu. Tekun sekali Miranti membaca dan menghayati
arti dari gambar-gambar yang berada dalam lembaranlembaran Kitab Selendang Ungu, sampai-sampai waktu berlalu meninggalkannya tidak dihiraukannya. Dari
pagi hingga menjelang sore, Miranti dengan ditemani
oleh ibu yang juga gurunya mempelajari isi kitab itu.
Demikianlah yang dilakukan Miranti sepanjang
hari, tekun dan teliti ia terus mempelajari isi kitab itu.
Dengan ditemani Sandi Antini yang membimbingnya,
Miranti terus berlatih.
Tak terasa waktu berjalan dengan begitu cepatnya. Segala yang terdapat dalam kitab Selendang Ungu, telah mampu dihapal dan dipelajari oleh Miranti.
Seperti halnya pagi itu, tampak Miranti dengan
Sandi Antini sebagai pembimbing tengah berlatih
mempraktekkan apa yang ada di dalam kitab Selendang Ungu. Dikenakannya Selendang Ungu membelit pada
pinggangnya, lalu dengan mengikuti gambar yang ada
di dalam kitab serta tulisan-tulisan petunjuk, Miranti melakukan jurus-jurus
Selendang Ungu. Tubuhnya
meliuk-liuk bagai menari, lemah gemulai bak tak bertulang. Saat itu Miranti tengah mempraktekkan jurus
pertama dari Selendang Ungu, yang bernama Jurus
Selendang Bidadari Menyibak Awan. Setiap kibasan
ujung selendangnya, menjadikan angin topan yang besar yang mampu menerbangkan apa yang ada di sekelilingnya. Hingga Sandi Antini yang berdiri lima tombak di sampingnya, harus
mengerahkan tenaga dalam untuk mampu mempertahankan tubuhnya agar tidak
terhempas oleh angin puting beliung yang keluar dari
sibakan ujung selendang. Namun karena kerasnya angin yang berhembus, menjadikan tubuh Sandi Antini
oleng dan ambruk ke tanah mental tiga tombak.
Terbelalak mata Miranti melihat ibu angkatnya
terpental oleh angin yang keluar dari ujung selendangnya. Maka seketika itu
Miranti segera menghentikan
latihannya dan bergegas menghampiri Sandi Antini.
"Ibu! Kau tak apa-apa?" tanyanya dengan nada khawatir. Dipandangnya tubuh Sandi
Antini keseluruhan, khawatir kalau-kalau ibu angkatnya menderita
luka. Namun seketika Miranti kembali tenang, manakala Sandi Antini menggelengkan kepala sembari berkata. "Aku tak apa-apa, anakku. Berlatihlah kembali, ibu malah senang karena
ternyata kau cepat menguasai dan hapal segala yang ada di dalam kitab itu."
"Benarkah ibu tak apa-apa?" kembali Miranti bertanya, sepertinya sangat
mengkhawatirkan keadaan
ibu angkatnya. Sandi Antini hanya menggeleng sembari tersenyum, yang menjadikan Miranti akhirnya tenang dan mempercayainya bahwa ia tak apa-apa.
Maka dengan ditemani Sandi Antini dari jarak
yang agak jauh, Miranti kembali mempraktekkan jurus-jurus yang dipelajarinya dari Selendang Ungu.
Kembali tubuh Miranti meliuk-liuk bagai menari, dengan sekali-kali tangannya mengibaskan selendang
yang melilit di pinggang.
Setelah puas dengan jurus Bidadari Menyibak
Awan, Miranti segera melanjutkannya dengan jurus
Bidadari mengepak sayap menghantam karang. Tubuh
Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Miranti kembali meliuk-liuk, lalu dengan ringannya
tubuh Miranti melompat tinggi ke angkasa bagaikan
terbang. Dikepak-kepakkan selendang yang berada dalam genggaman tangannya, menjadikan angin besar
yang menderu-deru. Setelah tubuhnya dirasa telah
tinggi, dengan segera Miranti kembali turun. Bersamaan tubuhnya merosot turun, Miranti menghentakkan selendangnya ke samping. Seketika itu pula terdengar ledakan dahsyat, "Jlegar! Jlegar!" Ujung-ujung selendang itu menghantam
pepohonan, yang seketika
itu hancur berkeping-keping.
Terbelalak mata Sandi Antini menyaksikan hal
itu, sampai-sampai matanya melotot, tak percaya pada
apa yang tengah dilihatnya. Seketika itu pula, dari mulut Sandi Antini memekik
seruan. "Jagad Dewa Batara!
Betapa dahsyatnya ilmu itu!"
Belum juga hilang kekagetannya, terdengar Miranti berseru sembari berlari menuju ke arahnya. "Bagaimana, Ibu?"
Tersenyum seketika Sandi Antini, yang dengan
penuh bangga menyambut Miranti. "Kau hebat, anak-ku. Kau hebat!" ucapnya bangga
sembari memeluk tubuh Miranti, yang tertawa-tawa dengan riangnya.
Ketika senja telah datang, kedua anak dan ibu
angkat itu kembali beristrirahat. Di wajah mereka
tampak keceriaan, seperti tak pernah ada rasa cape
atau lelah. Dengan tertawa-tawa, kedua anak dan ibu
angkat itu kembali ke goa, di mana mereka tinggal.
Hari-hari dilalui Miranti dengan berlatih dan
berlatih jurus-jurus Selendang Ungu, tanpa mengenai
lelah ataupun bosan. Dari jurus pertama yaitu Bidadari Menyibak Awan, Bidadari Mengepak Sayap Menghantam Karang, Bidadari Membentang Selendang, Bidadari Menyapu Mendung, hingga jurus terakhir Bidadari menghalau Angin Topan dengan cepat dapat dikuasainya. Maka jadilah Miranti seorang pendekar wanita yang dapat disejajarkan
dengan pendekar-pendekar
Kelas Wahid, yang memiliki ilmu dan kepandaian tingkat tinggi. *** 6 Setelah dirasa oleh Loh Gantra dan Nyi Mayang
Sari bahwa Rangga Wisnu telah mampu, maka keduanya sepakat hendak menyerahkan pimpinan Loreng
Ireng yang selama ini dipegang oleh keduanya pada
Rangga anak angkatnya.
Maka hari itu pula diundangnya Rangga berserta keseratus anak buahnya untuk mengadakan pelantikan itu. Tanpa ada yang membangkang seorang pun,
semuanya segera datang menemui Loh Gantra dan Nyi
Mayang Sari yang telah duduk menunggu kedatangan
mereka. "Hamba menyampaikan hormat, Ayahanda dan
Ibunda," berkata Rangga Wisnu yang kini telah menjadi seorang pemuda gagah
dengan tubuh berisi. Dadanya bidang berisi, sorot matanya tajam memandang
pada apa yang dilihatnya.
"Aku terima hormatmu, anakku. Duduklah!"
berkata Nyi Mayang Sari.
Dengan tanpa banyak kata Rangga Wisnu segera duduk di hadapan kedua orang tua angkatnya. Sementara anak buahnya tampak pula datang dan segera
menjura hormat seraya berkata bareng.
"Hamba menyampaikan hormat, untuk junjungan kita Sepasang Iblis Dari Hutan Cemara."
"Kami terima, penghormatan kalian. Duduklah!" Mendengar ucapan Loh Gantar, dengan segera keseratus anak buahnya duduk
mengapit Rangga Wisnu. Sesaat kesemuanya terdiam hening, lalu kemudian
terdengar suara Loh Gantra berkata memecah kesunyian. "Kalian sudah mengerti, mengapa kalian kami undang?"
"Belum, Pimpinan!" menjawab bareng keseratus anak buahnya.
"Baiklah! Dengarkan oleh kalian semua. Hari
ini, tampuk kepemimpinan kami serahkan sepenuhnya
pada anakku, Rangga. Maka dari itu, kiranya kalian
akan makin bersemangat di bawah kepemimpinannya.
Tingkatkan kegiatan kita. Kita harus menjadi perkumpulan besar, di bawah panji-panji Loreng Ireng!"
Bersamaan habisnya ucapan Loh Gantra, seketika keseratus anak buahnya berseru mengelu-elukan
perkumpulannya dan pimpinannya yang baru.
"Hidup, Loreng Ireng! Hidup, Pimpinan baru!
Hidup, Rangga Wisnu!"
"Nah anakku, Rangga Wisnu. Bersiapkah kau
menjadi pimpinan?"
"Hamba siap, Ayah!" menjawab Rangga Wisnu
pasti. Tersenyum senang Loh Gantra dan Nyi Mayang
Sari demi mendengar jawaban Rangga Wisnu. Maka
saat itu juga, Rangga Wisnu diangkat menjadi pimpinan Loreng Ireng.
*** Sejak Rangga Wisnu diangkat menjadi pimpinan perkumpulan Loreng Ireng, maka sepak terjangnya sungguh menjadikan rasa bangga Loh Gantra dan
Nyi Mayang Sari. Namun sebaliknya bagi tokoh-tokoh
persilatan yang berdiri di jalur lurus. Sepak terjang Rangga Wisnu, merupakan
tantangan yang harus mereka hadapi.
Sepak terjang Loreng Ireng makin ganas saja,
menteror penduduk. Merampok, menculik, membunuh, dan tindakan-tindakan lainnya yang sangat sadis. Karena suka menculik gadis-gadis, maka nama
Rangga Wisnu mulai terkenal dengan julukan Culik
Bermata Satu. Hal itu dikarenakan mata Rangga Wisnu tinggal sebelah, sedang yang sebelahnya lagi tertutup oleh batu.
"Malam nanti, Perguruan Teratai Emas. Apakah
kalian ada yang tidak setuju?" bertanya Rangga Wisnu dengan mata yang tinggal
sebelah memandang tajam
kepada keseratus anak buahnya yang tertunduk tak
berani menentang pandangannya.
Melihat keseratus anak buahnya hanya tertunduk Rangga Wisnu kembali berkata "Baiklah! Karena semua setuju, maka malam nanti
kita melaksanakan
rencana kita. Kita tundukkan Perguruan Teratai Emas!
Ingat Pimpinan Teratai Emas adalah bagianku, kalian
boleh memilih wanita lain yang kalian sukai."
"Baik, Pimpinan," menjawab semua anak
buahnya berbarengan sembari menjura hormat. Tak
seorang pun yang berani menentangnya. Disamping ia
merupakan anak angkat Loh Gantra dan Nyi Mayang
Sari, ia juga berilmu sangat tinggi dengan ajiannya
Gugur Gunung. Malam harinya, apa yang telah direncanakan
pada siang hari segera dilaksanakan. Ketika hari menjelang tengah malam, mereka segera menyerang Perguruan Teratai Emas yang diketuai oleh seorang wanita
bergelar Teratai Putih.
Diserang begitu tiba-tiba, kalang kabutlah Perguruan Teratai Emas. Walau mereka berusaha membendung serangan Loreng Ireng, namun karena kurangnya persiapan dengan mudah anak buah Loreng
Ireng dapat menerobosnya.
"Serbu...!" berseru Rangga Wisnu mengomandokan anak buahnya.
Bagaikan air bah saja, keseratus anak buah Loreng Ireng segera berhamburan masuk menyerbu Perguruan Teratai Emas. Dengan tergesa-gesa, anggota
perguruan Teratai Emas yang keseluruhannya wanita
berusaha menghadangnya. Hingga tanpa dapat dicegah, peperangan meletus di halaman perguruan Teratai Emas. Para sesepuh Perguruan Teratai Emas yang
mendengar keributan, dengan segera bergegas keluar.
Dan manakala dilihatnya telah terjadi peperangan antara anggotanya melawan perkumpulan Loreng Ireng,
segera mereka yang terdiri dari lima wanita tua turun membantu.
Dengan kehadiran kelima sesepuh Teratai
Emas, maka terdesaklah anak buah Loreng Ireng. Melihat hal itu, dengan geram Rangga Wisnu segera berkelebat menghadang kelima nenek-nenek itu seraya
membentak. "Nenek-nenek centil! Selayaknya kalian telah
minggat dari muka bumi ini!"
"Hem. Kaukah yang bernama Rangga Wisnu
atau Culik Bermata Satu?" tanya nenek tertua.
"Ya, aku," menjawab Rangga kalem.
"Bagus! Kami ingin tahu, sampai di mana ilmu
orang yang saat ini tengah meresahkan dunia persilatan." "Ha, ha, ha...! Kalau kalian ingin merasakan-nya. Baik, terimalah ini!
Hiat...!" Dengan didahului ta-wa yang membahana, Rangga Wisnu segera berkelebat
menyerang kelima nenek sesepuh perguruan Teratai
Emas. Tersentak kelima nenek tua itu seraya melompat mundur menghindari serangan Rangga yang begitu
ganas dan cepatnya, lalu dengan segera, kelima nenek
itu balik menyerangnya.
Saat itu juga, Rangga Wisnu dikeroyok oleh lima orang tokoh Perguruan Teratai Emas, yang ratarata berilmu tinggi hingga Rangga Wisnu harus berhati-hati, tak dapat memandang remeh. Jurus-jurus kelima nenek itu seragam, bergantian mereka menyerang
Rangga Wisnu. Jurus demi jurus mereka lalui, sepertinya ilmu
yang mereka miliki seimbang. Susah untuk dapat menerka siapa yang bakal menjadi pemenangnya. Apakah
Rangga Wisnu" Atau sebaliknya kelima nenek itu?"
Sementara di lain pihak, anak buah Loreng
Ireng yang tadinya mengendor ini tumbuh semangatnya manakala dilihatnya Rangga Wisnu telah terjun
menghadapi kelima nenek sesepuh Perguruan Teratai
Emas. Rangga Wisnu melentingkan tubuhnya ke udara, manakala menginjak jurus yang ke tujuh puluh.
Ketika tubuhnya hendak turun, dengan segera Rangga
Wisnu menghantamkan kedua tangannya ke lima
orang tua pengeroyoknya.
Memekik kelima nenek itu tertahan, tatkala
mengetahui ilmu yang dilancarkan oleh Rangga. "Ah!
Ajian Gugur Gunung!" Dengan segera, kelima nenek itu berusaha menghindar. Namun
tak urung, salah
seorang dari mereka terhantam juga.
"Aaah...!"
Lebur seketika tubuh nenek termuda di antara
kelima nenek sesepuh Perguruan Teratai Emas; terhantam Ajian Gugur Gunung yang dilancarkan oleh
Rangga Wisnu. Tercekam hati keempat nenek lainnya, melihat
apa yang terjadi pada diri adiknya. Kemarahannya seketika membludag, menjadikan keempatnya menyerang dengan membabi buta. Hingga tak memperhitungkan lagi untung ruginya. Dan manakala Rangga
kembali menghantamkan ajian Gugur Gunungnya, tak
ayal lagi dua dari empat nenek itu menjerit sesaat lalu diam dengan tubuh
hancur. "Menyerahlah kalian!" berseru Rangga Wisnu.
"Persetan! Pantang bagi kami menyerah sebelum menemui ajal," menjawab nenek tertua, yang segera kembali menyerang dengan
nekad dibantu oleh
adiknya. "Hem. Rupanya kalian memilih mampus! Baik,
bersiaplah!"
Rangga Wisnu segera mengelakkan serangan
kedua nenek itu, lalu secepat itu pula ia balik menyerang dengan Ajian Gugur
Gunungnya. Kembali terdengar pekikan bersama hancurnya salah seorang dari
kedua nenek yang menyerangnya.
"Setan alas! Aku akan mengadu jiwa denganmu, Bangsat!" memaki nenek tertua. Kemudian dengan segera merapalkan ajiannya
yang bernama Aji Anggada
Murka. Seketika itu, dari tangan nenek tertua tampak
selarik sinar merah menyala berkelebat-kelebat mengarah pada Rangga.
Beruntung Rangga waspada, kalau tidak. Maka
akan melelehlah tubuhnya, bagaikan betonan tembok
yang menyangga balai-balai Perguruan Teratai Emas.
"Hem, ilmunya tinggi juga," membatin Rangga Dengan Ajian Gugur Gunungnya, Rangga
segera berkelebat cepat bermaksud menyerang nenek itu.
Namun ternyata nenek itupun kini telah berkelebat
menuju ke arahnya sama hendak menyerang. Maka
tak ayal lagi, keduanya bertemu di udara. "Duar....!"
Terdengar ledakan dahsyat akibat bertemunya dua
ajian yang dilancarkan oleh masing-masing pemiliknya. Rangga terhuyung-huyung ke belakang dengan
pundak hangus terbakar. Sementara nenek tertua,
terduduk mengejuprak di tanah dengan mulut melelehkan darah. Dari mulut yang melelehkan darah itu,
terdengar suaranya yang terputus-putus berkata:
"Kau-kau hebat anak muda. Aku mengaku kalah..."
ambruklah nenek tertua dengan nyawa melayang.
Dengan matinya kelima nenek sesepuh Pergurauan Teratai Emas, lemah pula kekuatan Teratai
Emas. Maka dengan waktu relatif singkat. Loreng Ireng pun dapat menguasainya.
Bagai orang yang baru pulang dari hutan saja
dan tak pernah melihat wanita, anak buah Loreng
Ireng segera memburu murid-murid Teratai Emas. Dan
dengan rakusnya, anak buah Loreng Ireng menyeret
gadis-gadis itu dipaksa untuk melayani nafsu bejadnya. Lain dengan anak buahnya, Rangga tanpa
menggunakan kekerasan mendapatkan diri Anggrek
Putih pimpinan Perguruan Teratai Emas, rupanya Teratai Putih pun mencintai Rangga, hingga tak bertepuk sebelah tangan.
*** Dengan tindakannya menyerang Perguruan Teratai Emas yang dapat ditaklukannya, makin menjadi
Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
momok saja nama Rangga atau Culik Bermata Satu di
dunia persilatan.
Berita itu sampai juga ditelinga Bupati Suro
Gonggong, yang turut prihatin melihat rakyatnya banyak yang ketakutan. Maka segera dipanggilnya keempat pengawalnya yaitu, Kiranda, Sugiri. Londun, dan
Kunco. "Apakah kalian telah mendengar berita tentang Culik Bermata Satu?"
"Sudah. Adakah sesuatu yang menarik?" bertanya Kiranda. "Kalian ingat kejadian lima belas tahun yang lalu?" kembali Bupati Suro Gonggong bertanya pada
keempat pengawalnya yang seketika itu mengernyitkan
kening. "Apakah tidak mungkin anak tersebut adalah anak Labean?" melanjutkan
Suro gonggong bertanya.
"Kenapa kau begitu mengkhawatirkan, Kakang
Suro?" balik bertanya Kiranda demi mendengar ucapan Suro Gonggong.
"Bagaimana mungkin bocah itu hidup" Padahal
matanya telah hancur oleh tusukan keris Gento."
"Tapi itu bisa terjadi, Kiranda. Bukankah kau
bilang, waktu itu ada orang lain yang telah membunuh
Gento" Apakah tidak mungkin kalau orang itu telah
menolong kedua anak Labean?"
Terdiam Kiranda mendengar ucapan Suro
Gonggong yang memang ada benarnya. Namun untuk
menghibur hati Suro Gonggong, Kiranda segera berkata: "kalau memang mereka ingin membalas, kurasa
kami berempat akan sanggup menghadapinya."
"Sombong!"
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita membentak, dibarengi dengan berkelebatnya tubuh pemilik
suara itu yang seketika telah berdiri di tengah-tengah mereka duduk hingga
kelima orang itu seketika melompat mundur.
"Siapa kau?" membentak Suro Gonggong, setelah hilang kagetnya.
Gadis itu hanya tersenyum, membuat marah
Kiranda segera membentaknya: "Gadis sundel! Ditanya bukannya menjawab, malah
cengengesan!"
"Dengar oleh kalian baik-baik. Akulah anak
Bupati Labean, yang kalian bunuh lima belas tahun
yang lalu. Aku dengar kalian tak takut bila anak Bupa-ti Labean menuntut balas.
Sombong!" berkata Miranti dengan senyum sinis.
"Oh, jadi kau anak Labean. Bagus! Pucuk dicinta, Ulam tiba. Hingga kami tak usah mencari-carimu
mengubek jagad, karena kau ternyata datang sendiri
mengantarkan nyawa," berkata Kiranda, seperti tak memandang sebelah matapun pada
Miranti yang dianggapnya hanya seorang gadis biasa seperti gadis kebanyakan. "Wow, rupanya kalian tengah menanti nyawaku. Baiklah! Ambillah oleh kalian sendiri bila mampu."
Mendengar ucapan Miranti yang sepertinya
mengejek, marahlah kelima orang itu. Maka dengan
segera kelima orang itu, tanpa malu-malu mengeroyok
Miranti. "Jangan menyesal, bila kami menurunkan tangan jahat!" membentak Suro
Gonggong. Namun kembali Miranti hanya tersenyum, lalu
dengan setengah mengejek Miranti kembali berkata
sembari mengelakkan serangan kelima orang pengeroyoknya. "Tak usah kau bicara, Suro Gonggong! Dari dulu memang tangan kalian
jahat dan keji. Maka tangan kalian yang telah berlumur dosa itu harus dibikin
putung." Terbelalak mata kelimanya marah, demi mendengar ucapan Miranti. Maka dengan mendengus, kelima orang itu segera mempercepat serangannya. Kelimanya silih berganti menyerang Miranti yang tampaknya mengelakkan serangan kelima pengeroyoknya
dengan tubuh meliuk-liuk bagai menari. Padahal liukan-liukan tubuh Mirantai, merupakan jurus-jurus
dari Selendang Ungu. Hingga semua serangan kelima
orang pengeroyoknya hanya menemui angin belaka.
Makin lama, makin kencang tarian tubuh Miranti. Tubuh Miranti meliuk-liuk dengan cepat, makin
memusingkan pandangan mata kelima pengeroyoknya.
Kepala mereka dibuat pening oleh gerak-gerakan Miranti yang mengajak mereka turut menari-nari. Itulah
Jurus Bidadari Menyebar Bius, hingga orang-orang didekatnya akan terbius dan mengikuti setiap gerakangerakannya yang tampaknya lembut namun ternyata
dapat menguras tenaga.
Dalam tiga puluh gerakan saja, kelima orang
pengeroyoknya dibuat lunglai bagai habis tenaganya.
Maka tanpa mengalami kesulitan, Miranti dengan mudah menghajar kelimanya. Dikibaskannya ujung selendaangnya ke arah tangan musuh-musuhnya yang
seketika itu memekik kesakitan dengan tangan putung, dua-duanya lepas dari pergelangan.
Tersenyum puas Miranti melihat musuh-musuh
ayahnya tidak bergelimpangan, lalu dengan meninggalkan gelak tawa Miranti segera berkelebat pergi.
Selang beberapa menit kemudian, tampak seorang pemuda yang sebelah matanya tertutup batu datang ke tempat itu. Sesaat matanya memandang ke
arah kelima orang yang bergelimpangan dengan kedua
tangannya putung, sembari hatinya mendesah. "Hem, rupanya ada orang yang telah
mendahuluiku."
"Ayah, ibu! Semoga arwah kalian tenang di
alam sana. Lihatlah! Akan kupisahkan kepala orangorang ini dari tubuhnya!" berseru Rangga Wisnu seraya mendongakkan mukanya ke
langit-langit. Lalu
dengan segera, tangannya bergerak cepat memenggal
kepala kelima orang itu yang hanya memekik sesaat
manakala tangan Rangga membetot kepalanya.
"Ha, ha, ha...! Kini puas sudah hatiku. Ha, ha,
ha...!" Bagaikan orang gila, Rangga tertawa bergelak-gelak. Tangannya menenteng
kepala kelima orang musuh ayahnya, yang dibawanya pergi entah kemana
sembari meninggalkan gelak tawa berkepanjangan.
*** 7 Berita ditemukannya kepala lima orang musuh
Bupati Labean di markas Loreng Ireng, menjadikan
nama Culik bermata satu atau Rangga Wisnu, makin
menjadi momok di dunia persilatan. Hal itu mengundang tokoh-tokoh persilatan untuk menghentikan sepak terjang Rangga Wisnu yang kelewat telengas.
Tak urung juga Jaka, ia pun mendengar berita
ditemukannya kepala musuh Bupati Labean. Hari itu
juga, Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah bermaksud menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi di antara pergolakan yang tengah melanda desa Wates.
"Aku jadi tak habis pikir, kenapa dulu keluarga
Bupati Labean dibantai! Dan sekarang... musuhmusuhnya yang dibantai dengan sadis. Apakah ini sebuah balas dendam dari anak Bupati Labean" Di mana
pula Sandi Antini yang biasanya menumpas kejahatan" Pusing benar aku ini..." bergumam Jaka dalam hati. Jaka kembali berjalan,
merenungi apa yang
tengah terjadi pada Kabupaten Wates. Kabupaten yang
dulu tentram, kini bergolak. Apalagi setelah muncul
Culik Bermata Satu Rangga Wisnu.
"Hem... Mungkin benar hal itu merupakan balas dendam," kembali Jaka bergumam. Dengan berlari bagaikan angin, Jaka seketika
melesat menuju ke tempat di mana markas gerombolan Loreng Ireng.
*** Sementara itu dilain tempat, tampak dua orang
wanita tengah duduk di dalam goa. Sepertinya, kedua
wanita itu tengah membicarakan sesuatu hal yang teramat penting. Kedua wanita itu tak lain Sandi Antini dengan muridnya Miranti si
Bidadari Selendang Ungu.
"Sepak terjang Loreng Ireng makin menjadi-jadi,
anakku. Rupanya kedua orang itu belum sadar akan
segala tindakannya, bahkan malah sebaliknya setelah
anak angkatnya mulai menjadi dewasa. Aku harap sahabatku Jaka Ndableg telah mendengarnya hingga
dengan segera dapat membereskan semua masalah di
Wates ini."
"Siapakah Jaka Ndableg itu, ibu?" tanya Miranti.
"Dialah Pendekar yang saat ini menjadi buah
bibir dunia persilatan. Dia bergelar Pendekar Pedang
Siluman Darah, karena senjatanya yang berupa Pedang mampu mengeluarkan Darah bila berhadapan
dengan musuh."
"Sungguh Miranti ingin mengenalnya, guru."
"Ah, nanti juga kau akan mengenalnya. Dia
adalah teman ibu. Orangnya tampan, namun tidak
sombong. Tingkahnya memang kelewatan Ndablegnya
sehingga orang-orang menjulukinya Jaka Ndableg."
Miranti mesem-mesem mendengar penuturan
Sandi Antini. Hal itu menjadikan Sandi Antini tersenyum, mengerti bahwa anak angkatnya yang sekaligus
muridnya tengah membayangkan keberadaan Jaka.
"Kenapa Miranti" Sepertinya kau melamun."
Tersentak Miranti seketika, demi mendengar
ucapan ibunya yang telah mengejutkan lamunannya.
Dengan mesem-mesem tersipu. Miranti mendesah lemah. "Ah... ibu..."
"Kau melamunkan Jaka, anakku?"
Makin merona merah wajah Miranti mendengar
sergahan ibunya yang secara tiba-tiba. Hatinya yang
memang memendam perasaan sesuatu menjadikannya
tak dapat memungkiri.
"Tak usahlah kau malu-malu mengatakannya.
Ibu mengerti perasaanmu. Ibu juga pernah muda sepertimu, anakku," kata Sandi Antini membesarkan ha-ti Miranti. "Kalau saja ibu
masih sebayamu mungkin
ibu juga akan mencintainya."
Miranti kembali tersipu-sipu. Matanya membeliak redup dan lentik, menggambar hatinya yang tengah tergetar sebuah perasaan yang sukar untuk dimengerti. Sandi Antini yang memahami segera mengalihkan pembicaraannya.
"Anakku, apakah kau akan diam saja melihat
segala perbuatan Loreng Ireng?"
"Ah..." mendesah Miranti tersentak.
"Bagaimana pendapatmu dengan segala tindakan Loreng Ireng yang semakin hari semakin merajalela?" tanya Sandi Antini kembali.
Sejenak Miranti kembali terdiam, memandang
pada ibunya yang tersenyum. Kembali Miranti menundukkan mukanya, seakan ada sesuatu yang hendak ia
sembunyikan. "Kenapa anakku...?"
Miranti terjengah, entah bayangan apa yang
menggores di hati gadis muda itu. Apakah ia benarbenar telah memendam rasa cinta" Atau perasaan
apa...." Sedang bertemu dengan Jaka saja ia belum
pernah. Setelah sesaat diam menenangkan hatinya,
Miranti pun menjawab pertanyaan sang ibu.
"Secepatnya harus kita cegah, Ibu. Kalau tidak,
aku khawatir mereka akan makin merajalela," menjawab Miranti.
"Benar! Kita sebagai seorang pendekar yang
berhaluan lurus, sepantasnyalah mencegah tindakan
mereka yang terlalu biadab dan telengas. Maka dari itu aku hendak menyuruhmu
untuk melakukan hal tersebut. Bukannya untuk kepentinganku pribadi yang
mempunyai sengketa dengan kedua tokoh Loreng
Ireng, tapi demi ketenangan dan ketentraman masyarakat pada umumnya yang kini tengah gelisah oleh
tindakan mereka. Tumpas mereka sampai ke akarakarnya. Tapi ingat! di antara mereka ada kakakmu,"
berkata Sandi Antini yang seketika mengejutkan Miranti hingga karena kagetnya, Miranti menggumam.
"Kakakku?"
"Ya, Anakku. Ketahuilah olehmu, bahwa orang
yang bergelar Culik Bermata Satu adalah Rangga Wisnu kakakmu. Dan dia juga yang telah memenggal kepala kelima orang musuh-musuh ayahmu," menerangkan Sandi Antini, makin membuat Miranti membelalakkan matanya.
"Jadi..."
"Jangan ragu, anakku. Dalam agama diterangkan "Barang siapa yang berbuat tidak searah dan setu-juan dengan dirimu maka dia
bukanlah saudaramu,
meski ia adalah ayah atau ibumu." Jadi jelasnya, kakakmu itu kini telah dikuasai
oleh iblis dengan perantara Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari," memotong Sandi
Antini berkata.
"Apakah nantinya aku tidak berdosa, Ibu?"
"Tidak Anakku. Dosa akan datang bila kau berbuat melanggar ketentuan yang oleh digariskan oleh
Yang Wenang," kembali Sandi Antini berkata menerangkan hingga Miranti akhirnya dapat mengerti, dan
berkata. "Baiklah, Ibu. Aku akan berusaha mencegah
tindakan mereka. Aku memohon doa darimu."
"Kudoakan semoga kau selalu dalam lindungan
Yang Wenang. Berangkatlah dengan segenap keteguhan hati. Serahkan segala persoalan pada Yang Wenang," berkata Sandi Antini sembari mencium kening Miranti. Hari itu juga,
Miranti dengan diantar ke muka goa oleh ibu angkatnya pergi untuk tugas mulia.
Menghentikan sepak terjang gerombolan Loreng Ireng
yang tindakannya terlalu biadab dan telengas. Dengan
mata berlinang, Sandi Antini melepaskan kepergian
anak angkatnya untuk berkelana menambah pengalaman. *** Tokoh-tokoh persilatan tampak tengah berkumpul membahas masalah sepak terjang Culik Bermata Satu yang berdiri di bawah panji-panji gerombolan Loreng Ireng.
"Makin erat saja cengkeraman Loreng Ireng setelah pimpinannya dipegang oleh Culik Bermata Satu.
Kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut tak ayal lagi ambisi Loh Gantra dan Nyi
Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mayang Sari untuk menjadi
pemimpin di dunia persilatan akan benar-benar terbukti," berkata Kebo Lanang, salah seorang tokoh persilatan dari perguruan
Mahesa Gading. "Benar apa yang dikatakan saudara Kebo Lanang. Bila kita sebagai orang-orang yang berdiri di golongan lurus hanya diam
saja sudah tentu kedudukan
kita akan makin terdesak. Maka sebelum didahului lebih baik kita mendahului," Suropati menambahkan.
Sesaat semua yang hadir terdiam, sepertinya
tengah mempertimbangkan ucapan kedua anggotanya.
Setelah sekian lama terdiam, terdengar pimpinan rapat tokoh persilatan yaitu Ki
Banyu Wangi berkata:
"Usul saudara Kebo Lanang dan Suropati sangat kami hargai. Namun kami masih bingung, bagaimana jalan yang baik untuk melaksanakannya" Saudara-saudara tahu betapa tingginya ilmu yang dimiliki oleh Culik Bermata Satu,
bukan?" Kembali semua terdiam, tak ada yang berkatakata untuk sesaat. Mereka nampaknya kembali berpikir, memutar otak, memeras pikiran untuk mencari jalan bagaimana menghadapi gerombolan Loreng Ireng.
Namun sejauh itu, tak ada seorang pun yang dapat
memutuskan bagaimana cara untuk menghadapi Gerombolan Loreng Ireng:
"Bagaimana, saudara-saudara?" kembali Ki
Banyu Wangi bertanya, setelah untuk beberapa saat
lamanya terdiam.
"Kita tetap harus mencegahnya!" berseru salah seorang anggotanya yang
spontanitas diikuti oleh yang lainnya hingga seketika ramailah suasana rapat
itu. "Benar!"
"Akur...!"
"Setuju...!"
"Lebih baik kita mati demi membela kebenaran
dan keadilan, daripada kita hidup menuruti kemauan
iblis," berkata Kebo Lanang kembali penuh semangat, yang untuk kedua kalinya
disetujui oleh teman-teman
anggota rapat lainnya. Makin ramai saja suasana rapat itu oleh teriakan-teriakan
para anggota. "Baiklah, baiklah! Hari ini juga kita berangkat
ke Hutan Cemara Sundul untuk menghentikan sepak
terjang Gerombolan Loreng Ireng, bagaimana?"
Akhirnya Ki Banyu Wangi menuruti apa yang
menjadi keputusan anggotanya.
Hari itu juga semua tokoh golongan lurus dengan dipimpin oleh Ki Banyu Wangi pergi menuju ke
Hutan Cemara Sundul untuk menemui Gerombolan
Loreng Ireng sekaligus mencegah tindakannya.
*** Demi melihat berpuluh-puluh orang datang
menuju ke Hutan Cemar Sundul, segera Lontar menyuruh anak buahnya untuk siaga di tempatnya. Sementara dia sendiri, segera bergegas pergi untuk melaporkan hal apa yang
dilihatnya pada pimpinannya
Rangga atau Culik Bermata Satu.
"Ada apa, Lontar" Sepertinya ada sesuatu yang
penting hingga kau tampak begitu terburu-buru menemuiku?" bertanya Rangga, demi melihat Lontar datang menghadapnya dengan napas
ngos-ngosan. Setelah mengatur napas sesaat, Lontar pun
berkata: "Pimpinan. Orang-orang persilatan pada berdatangan menuju ke mari."
"Apa" Orang-orang persilatan datang ke mari?"
mengulang Rangga bertanya yang diangguki oleh Lontar mengiyakan. "Apakah semua pasukan telah dipersiapkan?"
"Sudah, Pimpinan. Mereka tinggal menunggu
perintah," menjawab Lontar.
"Serang mereka dengan panah bila mereka telah masuk ke perbatasan!"
"Baik, Pimpinan."
Lontar segera bergegas pergi untuk menemui
anak buahnya kembali. Sementara Rangga dengan segera menemui kedua orang tua angkatnya Loh Gantra
dan Nyi Mayang Sari. Kedua tokoh tua Loreng Ireng
nampak tersentak mendengar laporan anak angkatnya,
perihal berdatangannya tokoh-tokoh persilatan.
"Hadang mereka! Nanti kami datang," memerintahkan Loh Gantra yang dengan segera
dilaksanakan oleh anak angkatnya, Rangga. Dengan segera Rangga
berlari menuju ke perbatasan Hutan Cemara sundul,
di mana semua anak buahnya telah berkumpul.
Memang benar apa yang dilaporkan Lontar padanya, bahwa orang-orang persilatan datang menuju
ke Hutan Cemara Sundul. Dari kejauhan tampak berpuluh-puluh pendekar berjalan dengan tergesa-gesa
menuju ke Hutan Cemar Sundul. Sepertinya mereka
membawa suatu misi, entah apa misi itu.
"Bersiaplah!" terdengar perintah Rangga. Dengan segera semua anak buahnya
bersiap-siap. Panah
tergenggam di tangan mereka masing-masing siap untuk menghujani. Mata semua anak buah Loreng Ireng
tajam memandang pada orang-orang persilatan yang
berdatangan menuju ke arahnya.
"Serang dengan anak panah!" terdengar suara Rangga memerintah manakala tampak
olehnya orang-orang persilatan telah dekat. Maka mendesinglah ratusan anak panah dari balik semak-semak, melesat
memburu ke orang-orang persilatan itu.
"Awas panah!" teriak Ki Banyu Wangi memperingatkan pada anak buahnya, sementara dirinya sendiri bersalto mengelakkan serangan anak panah. Tangannya berkelebat cepat menangkap beberapa anak
panah, lalu dikembalikannya anak panah itu ke asalnya. Seketika terdengar lengkingan kematian dari balik semak-semak. Rupanya anak
panah yang dilemparkan
Ki Banyu Wangi telah mengenai beberapa orang penyerangnya. "Serang lagi...!" Rangga kembali berseru memerintah. Seperti semula, ratusan
anak panah pun berdesing-desing melesat menyerang pada orang-orang
persilatan di bawah pimpinan Ki Banyu Wangi.
"Puih! Percuma kalian membuang-buang anak
panah! Keluar, Kalian!" berseru Kebo Lanang dengan marah sembari menangkapi
beberapa batang anak panah yang melesat ke arahnya. Namun jawaban dari teriakannya, adalah desing ratusan anak panah lagi, melesat menyerang mereka.
Korban banyak berjatuhan dari kedua belah pihak hingga makin lama makin menyusut jumlah anggota mereka. Bersamaan dengan ramainya pertempuran antara Loreng Ireng melawan kumpulan tokohtokoh persilatan, secepat kilat berkelebat dua sosok
tubuh bagaikan terbang seraya menghantamkan ajian
Gugur Gunung ke arah tokoh-tokoh persilatan.
Terbeliak mata Ki Banyu Wangi manakala melihat anak buahnya banyak yang mati terhantam ajian
Gugur Gunung yang dilancarkan oleh kedua tokoh
utama Loreng Ireng, yaitu Loh Gantra dan Mayang Sari. "Loh Gantra, ternyata dalam usiamu yang makin senja bukannya berbuat kebajikan malah menimba
dosa. Sungguh perbuatanmu benar-benar perbuatan
iblis," berkata Ki Banyu Wangi yang telah berhadap-hadapan langsung dengan dua
tokoh utama Gerombolan Loreng Ireng itu.
Tertawa bergelak-gelak Loh Gantra mendengar
ucapan Ki Banyu Wangi, lalu dengan suaranya yang
serak, Loh Gantra berkata: "Ki Banyu Wangi. Janganlah kau terlalu usil dengan
apa yang kami lakukan kalau kau ingin selamat. Ketahuilah olehmu, bahwa kami
akan menjadi pimpinan tertinggi dunia persilatan. Ha, ha, ha...!"
"Sombong! Jangan harap semua khayalanmu
dapat terlaksana," mendengus Ki Banyu Wangi.
"Hem, kenapa tidak" Nanti kau akan melihat
dari alam baka sana," berkala Loh Gantra sembari me-nyeringai, lalu dengan cepat
berkelebat menyerang Ki
Banyu Wangi. "Jangan kau bermimpi, Loh! Langkahi dulu
mayat kami! Hiat...!" berseru Ki Banyu Wangi sembari
memapaki serangan Loh Gantra.
Pertempuran makin bertambah seru dengan
datangnya tokoh utama Gerombolan Loreng Ireng yang
turut membantu. Korban telah banyak berjatuhan di
kedua belah pihak, namun sepertinya pertempuran itu
tak akan segera berakhir.
Pekikan-pekikan kematian menggema silih berganti hingga jumlah mereka semakin lama semakin
menyusut. Sementara di tempat yang agak terpisah,
tampak Loh Gantra dengan Ki Banyu Wangi tengah
bertarung. Keduanya merupakan tokoh-tokoh persilatan yang sudah malang-melintang di dunia. Namanama mereka cukup terkenal dan disegani oleh kawan,
atau lawan mereka.
Kini kedua tokoh yang berbeda aliran itu bertemu saling serang dan saling elak untuk menunjukkan siapa yang paling tinggi ilmunya. Walau mereka
telah berusia cukup tua namun gerakan-gerakan mereka nampak masih gesit dan lincah.
Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya kedua tokoh persilatan itu tak akan ada yang menang
ataupun yang kalah. Keduanya masih saling rangsek,
mengelak, menangkis berganti-ganti.
Sementara di pihak lain, Rangga bersama ibu
angkatnya, Nyi Mayang Sari nampak mengganas. Serangan-serangan keduanya begitu cepat, diselingi oleh pukulan-pukulan yang
didasari dengan ajian Gugur
Gunung. Tak ayal lagi, korban dari pihak tokoh-tokoh
persilatan makin banyak saja berjatuhan.
"Menyerahlah, kalian!" berseru Rangga dengan angkuhnya. Tangannya yang berotot
berkelebat-kelebat menghantam ajian Gugur Gunung, yang diumbar begitu rupa. Harapan Rangga dapat segera mengalahkan tokoh-tokoh persilatan. Namun dugaannya ternyata meleset, karena tokoh-tokoh persilatan bukannya menyerah bahkan sebaliknya. Dengan berprinsip
lebih baik mati daripada hidup dalam kangkangan iblis, tokoh-tokoh persilatan makin tampak berani.
"Jangan harap kami mau menyerah begitu saja.
Pantang bagi kami menyerah pada iblis-iblis macam
kalian!" berseru Kebo Lanang dengan ajian Kilat Bua-nanya memapaki serangan
Rangga Wisnu. "Duar...!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala dua
ajian itu beradu di udara. Nampak Kebo Lanang terpental tiga tombak ke belakang dengan dada terasa sesak, sementara Rangga Wisnu tersenyum sinis memandang padanya. Rangga Wisnu yang sudah kalap,
seketika berkelebat hendak kembali menyerang manakala sebuah bayangan berkelebat memapakinya.
"Siapa kau!" membentak Rangga Wisnu sembari menarik serangannya.
Pemuda di hadapannya tersenyum.
"Aku Jaka Ndableg, Pendekar Pedang Siluman
Darah!" Tersentak Rangga Wisnu dan lainnya, manakala mendengar pemuda itu
menyebutkan namanya. Mereka telah mendengar kehebatan pemuda itu, namun
mereka baru melihat rupa si pemilik nama besar yang
tengah menggemparkan dunia persilatan.
"Rangga Wisnu, apakah kau tidak menyadari
siapa sebenarnya dirimu" Apakah kau hendak menghancurkan nama baik kedua orang tuamu yang telah
membesarkanmu?"
"Setan! Apa perlumu ikut campur dengan keluargaku. Aku tahu dan sering mendengar tentang kehebatan namamu, namun jangan harap aku akan gentar padamu."
"Aku tak menyuruhmu untuk gentar padaku.
Tapi aku hanya ingin kau sadar atas segala tindakantindakanmu selama ini," menjawab Jaka tenang. "kau telah diperbudak oleh iblisiblis yang telah merasuki hati kedua orang tua angkatmu."
"Bedebah...! Rupanya kau seorang pendekar kelas kroco yang bisanya hanya memberi saran, takut
untuk menghadapi musuh."
Habis berkata begitu, Rangga Wisnu segera
berkelebat menyerang Jaka. Jaka yang enggan untuk
meladeni anak Bupati Labean nampak hanya berusaha
menghindar. Ia tahu, bahwa Rangga sebenarnya hanya
terbawa oleh lingkungan dan perasaannya untuk
membakti pada kedua orang tuanya.
Tengah pertarungan berjalan dengan serunya,
terdengar suara seorang wanita berseru memberikan
semangat pada para tokoh persilatan.
"Jangan mundur, saudara-saudara! Lebih baik
kita mati di kolong tanah, daripada hidup dalam kekangan para iblis."
Jaka yang tengah bertarung menghindari serangan-serangan Rangga Wisnu tersentak, memandang pada asal suara itu. Tampak di atas bukit seorang gadis cantik berdiri tersenyum padanya. Kedua
mata pemuda-pemudi itu saling pandang. Sementara
hati mereka seketika berkata penuh bunga.
"Siapakah gadis itu...?" bergumam Jaka.
"Hem, diakah yang bernama Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah..."
Tengah Jaka tersentak, Rangga Wisnu yang melihatnya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Seketika
dihantamnya Jaka dengan pukulan Gugur Gunung.
Miranti yang melihat Jaka terpental dihantam
ajian Gugur Gunung seketika memekik sembari berkelebat. "Aaah...!"
Miranti dengan cepat menangkap tubuh Jaka
yang terbang, terhantam ajian Gugur Gunung. Hal itu
menjadikan Jaka tersentak kaget, tersipu-sipu. Betapa tidak, gadis itu tersenyum
sembari menurunkan tubuh
Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jaka. Pipinya merona merah, terbersit rasa malu. Tak
terasa, kepala Miranti tertunduk.
"Terimakasih atas pertolonganmu, Nona."
"Kau tidak terluka?" tanya Miranti, nadanya khawatir.
"Tidak... siapa nama Nona?"
"Namaku Miranti," jawab Miranti masih tertunduk dengan bibir terurai senyuman.
Rangga Wisnu tersentak demi mendengar siapa
adanya gadis yang telah menolong Pendekar Pedang Siluman Darah. Hatinya seketika bimbang, mengakui
bahwa gadis itu memang benar-benar adiknya. Melihat
Rangga memandangnya tanpa berkedip, menjadikan
Miranti seketika itu tersentak dan balik memandang
pada Rangga dengan mulut membersitkan kata-kata.
"Kakang Rangga Wisnu, benarkah kau kakang
Rangga Wisnu?"
"Kau kenal dengan dia, Nona?" tanya Jaka yang turut terbengong-bengong
menyaksikan kedua kakak
beradik itu saling pandang bengong.
"Ya, dia kakakku," jawab Miranti yakin.
"Miranti adikku..."
Tengah kedua kakak beradik itu saling diam
membisu, tiba-tiba terdengar oleh Rangga seruan dari
Nyi Mayang Sari menyuruhnya untuk menyerang Jaka
Ndableg dan Miranti.
"Rangga, kenapa kau terbengong" Bunuh saja
pemuda dan gadis di hadapanmu...!"
Bimbang hati Rangga seketika itu untuk mengambil keputusan. Antara hatinya yang mengakui
bahwa gadis di hadapannya adalah adiknya sendiri,
dengan tugasnya sebagai seorang anak yang harus
berbakti pada orang tuanya.
"Tidaaaaaaakkkk......'" menjerit Rangga dalam bimbang.
Seketika itu pula, tubuh Rangga berkelebat
dengan cepat menyerang Nyi Mayang Sari yang tersentak kaget. "Rangga, kau.....!"
Rangga yang telah pusing dan marah tak perduli, menyerang ibu angkatnya. Nyi Mayang Sari segera mengelakkan, manakala tangan Rangga berkelebat
menghantam ke arahnya. Marahlah Nyi Mayang Sari
melihat hal itu yang dengan terlebih dahulu memaki
segera berkelebat menyerang.
"Anak dungu! Rupanya kau mencari mati!"
Rangga tak perduli lagi dengan caci maki ibu
angkatnya. Matanya gelap, sehingga ia bagaikan benteng ketaton terus memburu.
"Siapakah namamu, Tuan?" tanya Miranti yang seketika menyentakkan Jaka dari
lamunan. "Apakah engkau yang bernama Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah...?"
"Ah, darimana kau mengetahui namaku, Nona?" tanya Jaka.
Miranti hanya tersenyum manis, menjadikan
Jaka kembali terdiam bisu. Seperti hati Miranti, hati Jaka pun telah tergores
sebuah syair-syair cinta. Keduanya hanya terdiam, dengan mata mereka saling beradu pandang. "Ah, orang tua itu terdesak," mengeluh Miranti demi melihat Ki Banyu Wangi
terdesak hebat. Dengan
segera tanpa memperdulikan Jaka yang masih terdiam, Miranti segera melompat sembari kibaskan selendangnya. Selendang Ungu seketika berkelebat menangkis
pukulan yang dilontarkan Loh Gantra, yang hampir
merenggut nyawa Ki Banyu Wangi.
"Hiat...!"
"Bletar...! Bletar...!"
Selendangnya menyerang Loh Gantra. Gerakannya begitu lembut bagaikan gerakan orang menari.
Namun dirasakan, betapa kerasnya angin kebutan selendang itu sampai-sampai mampu menerbangkan apa
saja yang berada di dekatnya. Mau tak mau, Loh Gantra harus berjumpalitan mengelakkannya.
Terbelalak mata Loh Gantra dengan muka pucat, manakala dirasakannya sebatang selendang itu
begitu kerasnya bagaikan hantaman jutaan kati saja.
Kalau saja Loh Gantra tidak segera menarik mundur
tangannya maka tak dapat dibayangkan lagi tangannya pasti putung. Dengan mata melotot karena marah,
Loh Gantra segera membentak bertanya.
"Kuntilanak! Siapa kau!"
"Aku...." Akulah Bidadari Selendang Ungu,"
menjawab Miranti yang seketika mengejutkan Loh
Gantra. Dengan mata kembali terbelalak, Loh Gantra
mendesah lemah.
"Ah, aku tak percaya kalau kau adalah pewaris
Kitab Selendang Ungu yang berada di tangan Sandi
Antini." Tersenyum Miranti mendengar ucapan Loh
Gantra, lalu dengan tenang ia berkata: "Kalau kau tak percaya, tak mengapa. Yang
pasti, aku mengemban tugas dari guruku yang sekaligus ibuku Sandi Antini untuk melenyapkan kalian dari muka bumi ini."
Makin terbelalak kaget Loh Gantra setelah gadis di hadapannya mengenalkan siap dirinya. Hatinya
seketika menciut, karena ia tahu dan telah mendengar
kehebatan jurus-jurus Selendang Ungu.
"Ah, memang benar gadis ini yang berjodoh
dengan Kitab Selendang Ungu. Yaa, itu selendang yang
dipakainya mengingatkan aku pada cerita guru tentang Nyi Molek Kencana atau Bidadari Selendang Ungu. Sungguh benar ramalan guru, bahwa Bidadari Selendang Ungu akan muncul kembali lewat orang lain.
Tak diragukan," mendesah Loh Gantra mengeluh.
"Apakah kau sudah siap, Loh Gantra!"
Membelalak Loh Gantra dari lamunannya demi
mendengar seruan gadis di hadapannya. Matanya
membeliak menatap tajam pada Miranti yang tersenyum datar. Hatinya bimbang, untuk berbuat. Namun
rasa sombongnya seketika memberontak, menyuruhnya untuk menjawab ucapan Miranti si Bidadari Selendang Ungu. Maka dengan lantang bagaikan tak
mengenai rasa takut, Loh Gantra berkata: "Jangan sombong! Walaupun kau pewaris
Selendang Ungu namun aku tak akan mundur setapakpun. Akulah yang
akan menjadi Raja di raja dunia persilatan."
"Hem, rupanya iblis telah melekat di hatimu
hingga kau tak dapat lagi mengenal dan membedakan
mana yang baik dan benar. Nah, bersiaplah!"
Habis berkata begitu, seketika Miranti meliukliukan tubuhnya bagaikan menari menjadikan Loh
Gantra dan semua yang ada di situ terkesiap memandangnya. Namun ketika ia sadar, dengan segera Loh
Gantra berkelebat mengelitkan hantaman ujung selendang yang dikibaskan oleh Miranti. Loh Gantra telah
tahu kehebatan Ilmu Selendang Ungu, baik dari cerita
gurunya maupun dari apa yang barusan ia rasakan
manakala ujung selendang itu menangkis tangannya
yang hendak menghabisi nyawa Ki Banyu Wangi.
"Kunyuk!" memaki Loh Gantra seraya mengelakkan serangan ujung selendang yang dilancarkan
oleh Miranti. Belum juga Loh Gantra dapat mengatur
nafas, secepat kilat Miranti telah kembali mengibaskan selendang.
"Gadis sundel! Rupanya kau hendak mencari
mampus!" kembali terdengar makian Loh Gantra, lalu dengan nekad Loh Gantra
memapaki serangan selendang yang dilancarkan Miranti dengan ajian Gugur
Gunungnya. "Hiaat...!"
Loh Gantra segera melompat, menyerang Miranti dengan ajian Gugur Gunung yang merupakan
ajian andalannya. Melihat hal itu, Miranti dengan sege-ra kibaskan selendangnya
sembari berseru memapakinya. "Hiaaatt...!"
"Bletar! Bletar!"
"Aaaah....!" menjerit Loh Gantra seketika, manakala ujung selendang Ungu
menghantam deras
hingga tak mampu dielakkannya pada pergelangan kedua tangannya. Kedua tangan Loh Gantra seketika itu
putung, mengeluarkan darah segar.
Bersamaan dengan itu, Rangga Wisnu pun telah mengadu ajian Gugur Gunung dengan ibu angkatnya Nyi Mayang Sari yang juga menggunakan ajian
tersebut. Keduanya seketika mental jauh, dengan mulut mengeluarkan darah segar.
"Kakang...!" menjerit Miranti dan segera memburu ke tubuh Rangga yang tergeletak
di tanah. Didekapnya tubuh Rangga, yang lemah bagaikan tak bertenaga. Tampak mata Rangga berkaca-kaca seperti hendak menangis memandang ke arahnya. Dari mulutnya
yang melelehkan darah, terdengar suaranya yang terputus-putus. "Ma-af-kan, a-ku a-dik-ku. Ja-ngan-kau bersedih. A-ku bang-ga me-li-hat kau te-lah-men-ja-di seorang pen-de-kar. Se-la-mat
ting-gal..." Terkulai lemas kepala Rangga bersamaan dengan nyawanya yang
melayang meninggalkan tubuhnya. Seketika itu, Miranti
menjerit sembari mendekap erat tubuh kakaknya. "Kakang...!"
Terharu semuanya yang ada di situ termasuk
Jaka Ndableg yang segera mendekati Miranti, dan berkata lirih seperti berbisik.
"Sudahlah Nona, tak perlu kau tangisi, sebab
semuanya Yang Widilah yang telah menggariskannya.
Kami maklum akan perasaanmu. Kami juga turut berduka walaupun dulu kakakmu adalah seorang penjahat, namun sebelum mati ia sempat menyadari kesalahannya. Dia telah berkorban untuk kita."
Mendengar kata-kata Jaka Ndableg seketika
Miranti dapat tenang. Ditatapnya pemuda itu lekatlekat, seakan meminta petunjuk apa yang harus ia
perbuat dengan mayat kakaknya. Jaka Ndableg yang
tanggap dengan penuh rasa haru berkata: "Karena kakakmu termasuk seorang
pahlawan maka kami ingin
menyemayamkan tubuhnya dengan cara pendekar."
Hari itu juga tubuh Rangga Wisnu disemayamkan dengan tata cara seorang pendekar, yaitu diberi
penghormatan sebelum tubuhnya dikubur.
Suasana Hutan Cemara Sundul seketika hening oleh kebisuan dan kekusukan mereka yang tengah
membaca doa di depan makam Rangga Wisnu. Di sebelah kiri makam berdiri Miranti dan Jaka Ndableg. Miranti terus menangis, menjadikan Jaka turut iba. Keti-ka Miranti merebahkan
kepala pada pundaknya, Jaka
hanya terdiam menerimanya. Dibelainya rambut Miranti yang panjang terurai, lembut bagaikan penuh kasih. Ya, keduanya memang secara tak langsung telah
terpaut cinta di hatinya.
Senja telah tiba, manakala satu persatu dari
para hadirin yang turut serta memberikan penghormatan terakhir pada Rangga, pergi meninggalkan makamnya. Kini tinggal Miranti dengan seorang pemuda
yang tak lain Jaka Ndableg berdiri memandangi makam walau mentari telah tenggelam di balik bumi.
"Kakang Rangga, kenapa kita dipertemukan
hanya sesaat" Kenapa kau harus secepatnya meninggalkan aku untuk selama-lamanya, Kakang" Kini aku
sebatang kara tak punya saudara lagi Kakang."
"Sudahlah, Nona. Tak perlu kau tangisi kepergian kakakmu, kita hanya dapat berdoa untuknya."
Miranti seketika terjengah, memandang pada
Jaka yang tersenyum sembari menganggukkan kepala.
Dengan penuh perasaan dipeluknya tubuh Miranti,
dan dibimbingnya pergi meninggalkan Lembah Berkala
Darah di Hutan Cemara Sundul.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Kisah Sepasang Rajawali 7 Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Iblis Ular Hijau 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama