Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba Bagian 1
1 Suara gamelan mengalun merdu mengiringi langkah-langkah rombongan manusia yang
berjalan pelahan-lahan, menyusuri jalan setapak di sebuah bukit batu.
Tampak delapan orang laki-laki bertubuh kekar, menggotong tandu berhiaskan kain
warna-warni dan bunga-bunga indah. Berjalan paling depan adalah seorang lakilaki yang mengenakan jubah kuning gading dan berkepala gundul. Di tangan kanan
laki-laki itu, tergenggam seuntai tasbih dari rangkaian batu hitam pekat dan
berkilat. Di belakang orang berjubah kuning gading itu, berjalan dengan rapi sekitar tiga
puluh orang pemuda tampan yang mengenakan jubah warna putih. Mereka terus
berjalan pelahan-lahan dengan tangan melipat di dada. Lengan baju mereka yang
panjang dan longgar, tergulung sampai ke siku. Pada bagian belakang tandu,
tampak orang-orang dari berbagai golongan. Laki-laki, perempuan, tua dan muda,
bahkan juga anak-anak. Mereka terus mengikuti dengan wajah tertunduk, tanpa
mengeluarkan satu patah kata pun.
Para nayaga terus memainkan gamelan bernada lembut dan syahdu. Sedangkan
rombongan itu pun terus mendaki ke Puncak Bukit Batu itu. Beberapa saat
kemudian, suara gamelan terhenti setelah mereka mencapai puncak bukit tersebut.
Tampak di depan mereka berdiri dengan megahnya dua buah batu yang menyerupai
sebuah pintu gerbang.
Laki-laki yang berada paling depan, langsung
berlutut, diikuti oleh para pengikutnya. Kemudian tandu segera diturunkan,
disusul dengan berlututnya semua orang yang berjalan di belakang tandu.
Keadaan di sekitar Puncak Bukit Batu itu sunyi senyap. Tampak laki-laki yang
berkepala gundul dan berjubah kuning gading itu mulai bangkit berdiri.
Sejenak tubuhnya membungkuk tiga kali dengan telapak tangan merapat di depan
dada. "Dewata yang bersemayam di Swargaloka, terima-lah persembahan kami ini...!"
lantang dan besar suara laki-laki itu.
Setelah berkata demikian dia kembali membungkukkan badannya tiga kali, kemudian menoleh ke belakang. Tampak delapan
orang yang masih berlutut di samping tandu, segera bangkit. Mereka juga
membungkuk tiga kali, dan kembali mengangkat tandu itu. Sementara itu tiga puluh
orang yang berbaju seragam putih sedikit menggeser kakinya ke samping, memberi
jalan. Lalu dengan langkah pelan-pelan, delapan orang bertubuh tegap dan kekar
itu mulai berjalan menggotong tandu.
Dan pada saat delapan orang tersebut melewati celah batu yang menyerupai pintu
gerbang itu, terdengarlah isak pelan dan tertahan. Tampak seorang perempuan yang
berbaju hitam dan berkerudung, terisak dalam pelukan seorang laki-laki berbaju
hitam juga. "Cepat, masukkan!" perintah laki-laki gundul itu.
Delapan orang bertubuh tegap yang menggotong tandu, bergegas melewati celah batu
itu, dan meletakkannya pada sebuah batu ceper yang cukup lebar. Kemudian mereka
segera berbalik lagi dan melangkah ke luar. Dan pada saat yang hampir bersamaan,
di angkasa tampak sebuah bayangan hitam
besar melayang-layang. Seketika semua orang yang berada di Puncak Bukit Batu itu
langsung berlutut.
Bayangan hitam yang melayang-layang di angkasa itu bergerak turun dengan
kecepatan tinggi, lalu menyambar tandu itu hingga hancur berantakan.
Seketika terdengar satu jeritan melengking, bersamaan dengan melesatnya kembali
bayangan itu ke angkasa, lalu lenyap di balik gumpalan awan.
Tidak lama setelah kejadian itu, laki-laki berkepala gundul segera melangkah dan
menuruni Puncak Bukit Batu itu. Sementara para pengikutnya segera mengikutinya
dari belakang. Dan para nayaga pun kembali mengalunkan gending mengiringi
langkah-langkah mereka meninggalkan tempat itu.
*** Keadaan di Desa Gampil tampak tenang dan
damai. Sehari-harinya para penduduk sibuk bekerja mengolah ladang, berniaga,
atau pekerjaan lain yang dapat menunjang kelangsungan hidup. Sementara anak-anak
dengan cerianya bermain, seakan-akan mereka tidak peduli dengan orang-orang tua
mereka yang memeras keringat demi kelangsungan hidup mereka. Kedamaian memang
sangat terasa di desa itu. Namun kedamaian dan keceriaan itu kelihatan-nya tidak
dinikmati oleh sepasang suami istri setengah baya, yang tinggal di sebuah rumah
kecil berdinding papan. Mereka adalah Ki Sudra dan Nyi Sudra. Kini mereka tengah
duduk dengan wajah murung di balai-balai bambu, di beranda rumahnya.
Sejenak mereka mengangkat kepalanya, ketika tampak seorang gadis yang berkulit
kuning langsat keluar dari dalam rumah itu. Dia mengenakan baju
warna biru yang ketat, sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping.
Sedangkan tangannya
menenteng sebuah bungkusan kain yang tidak begitu besar. Gadis itu berdiri di
ambang pintu dengan kepala tertunduk dan mata merembang berkaca-kaca.
"Mau ke mana?" tanya Ki Sudra pelan.
"Pergi," sahut gadis itu singkat.
Nyi Sudra segera bangkit dan menghampiri gadis itu, kemudian membimbingnya ke
dalam kembali. Sedangkan Ki Sudra juga ikut bangkit dan mengikuti mereka dan duduk di lantai
beralaskan selembar tikar dari daun pandan.
"Kau akan pergi ke mana?" tanya Ki Sudra lagi.
Suaranya terdengar pelan tanpa gairah.
"Ke mana saja, Pak," sahut gadis itu getir.
"Lastri, ke mana pun kau akan pergi, Pendeta Pasanta pasti akan tahu. Kau tidak
mungkin bisa terlepas dari pengamatannya," kata Nyi Sudra lirih.
"Lastri, aku sudah tua, juga Mak-mu. Kami sudah tidak kuat lagi bekerja di
ladang. Hanya kaulah satu-satunya harapan kami. Apa kau tega meninggalkan orang
tuamu yang sudah jompo ini?" agak bergetar suara Ki Sudra.
"Tapi, Pak...," gadis yang bernama Lastri itu mau membantah, namun suaranya
seperti tercekat di tenggorokan. Hanya matanya saja yang terus memandang kedua
orang tuanya dengan sejuta kata-kata.
"Aku mengerti, Lastri. Tapi coba kau lihat, semua gadis sebayamu tidak ada yang
mau menentang Pendeta Pasanta, mereka semua pasrah, dan tetap bergembira."
"Mereka bodoh, Pak!" sentak Lastri.
"Lastri...!" Nyi Sudra tersentak kaget. Buru-buru dia menggeser duduknya
mendekati gadis itu.
"Mereka memang kelihatan gembira, tapi di hati mereka sebenarnya sedih dan
gelisah. Juga orang-orang tua di desa ini, semuanya tidak ada yang gembira. Juga
Bapak dan Mak, memangnya aku tidak tahu, kalau sebenarnya Bapak dan Mak juga
sedih!" agak keras suara Lastri, meskipun terdengar bergetar.
Ki Sudra dan Nyi Sudra tidak bisa lagi berkata apa-apa. Dalam hati mereka memang
membenarkan kata-kata anak gadisnya itu. Bagaimanapun kuatnya mereka berusaha memendam
perasaan, namun tidak mungkin bisa berlangsung lama. Selama ini mereka selalu
menunjukkan wajah gembira di depan Lastri, namun dalam hati mereka sebenarnya
tidak gembira. Sudah beberapa kali Lastri memergoki kedua orang tuanya duduk termenung, dengan
pandangan kosong dan mata berkaca-kaca. Dan Lastri sendiri bisa merasakan, apa
yang tengah dirasakan oleh kedua orang tuanya. Lalu dia memutuskan untuk segera
meninggalkan desa itu.
"Bagaimanapun juga, aku harus pergi!" kata Lastri seraya bangkit dari duduknya.
"Lastri...!" Nyi Sudra bergegas berdiri dan menahan langkah gadis itu. Dia
memegangi tangan Lastri dengan mata berkaca-kaca.
"Biarkan aku pergi, Mak," pinta Lastri memohon.
"Lastri, pikirkan dulu niatmu itu. Sebenarnya aku tidak keberatan jika kau mau
pergi juga, tapi Pendeta Pasanta sudah memilihmu untuk.. ."
"Tidak!" sentak Lastri cepat memotong ucapan Ki Sudra.
"Lastri...," melemah suara Ki Sudra.
"Lastri memang sayang sama Mak dan Bapak, tapi Lastri harus pergi...," kata
Lastri bersikeras dengan niatnya.
Ki Sudra hanya menunduk. Memang sulit untuk menghalangi niat anak gadisnya itu.
Sementara Nyi Sudra tampak sudah terisak-isak. Lastri terus memandangi kedua
orang tuanya itu dengan terharu.
Orang tua yang telah mengasuh dan merawatnya sejak dia masih bayi.
"Maafkan kelancangan Lastri, Mak," ucap Lastri pelan.
"Lastri, biarpun bukan aku yang telah melahir-kanmu, tapi aku sangat sayang
padamu, tidak pernah membeda-bedakan kasih sayangku antara kau
dengan semua anak-anakku...," kata Nyi Sudra di tengah-tengah isaknya.
Ingin rasanya Lastri memeluk perempuan tua itu, dan mengurungkan niatnya. Namun
dia tetap berusaha menguatkan hati untuk tetap pergi meninggalkan orang tua yang
telah begitu besar budinya, merawatnya sejak dia masih berumur satu bulan.
Lastri tahu semua itu karena Ki Sudra dan Nyi Sudra selalu menceritakan asalusul anak-anak angkatnya yang berjumlah tiga orang. Meskipun mereka sendiri
punya dua orang anak kandung. Kini semuanya sudah tidak ada lagi di rumah ini.
Tinggal Lastri sendiri yang masih ada. Dan kini giliran dia juga harus pergi
meninggalkan orang tua itu. Berat memang, tapi tekadnya sudah bulat. Pelan-pelan
Lastri melangkah mundur mendekati pintu.
"Lastri, Anakku...," rintih Nyi Sudra lirih.
"Maafkan aku, Mak..., Bapak...," ucap Lastri pelan, hampir tidak terdengar
suaranya. Setelah berkata begitu, dengan cepat Lastri berbalik dan melangkah ke luar Nyi Sudra ingin mengejar, namun keburu dicegah
suaminya. Kemudian kedua orang tua itu saling berpelukan sambil memandangi tubuh Lastri
yang semakin jauh melangkah.
"Lastri..." rintih Nyi Sudra. Semakin deras air matanya mengalir.
"Sudahlah, Mak. Mungkin itu sudah menjadi pilihannya yang terbaik. Kita doakan
saja agar Hyang Widi melindunginya," kata Ki Sudra berusaha meng-hibur, padahal
dia tak bisa menahan air matanya.
"Semoga Hyang Widi akan mempertemukan kita kembali...," bisik Nyi Sudra disela
isaknya. Beberapa saat lamanya, suami istri itu masih berdiri saja di ambang pintu sambil
berpelukan. Pandangan mereka tetap ke arah kepergian Lastri.
*** Hari terus berjalan dengan pasti. Senja pun berganti dengan malam. Tampak bulan
yang bersinar di atas sana tersaput oleh awan tipis yang meng-gantung. Sementara
itu seluruh penduduk Desa Gampil sudah beristirahat di dalam rumahnya masingmasing. Kini tidak lagi terdengar canda ria anak-anak yang bermain, tidak ada
lagi gurauan gadis-gadis atau celetukan usil para pemuda. Malam ini suasana Desa
Gampil benar-benar sunyi senyap.
Hanya mereka yang tengah meronda saja yang masih berada di luar rumah.
Dan kesunyian itu semakin terasa di dalam rumah Ki Sudra. Rumah yang tidak
begitu besar itu, kini hanya dihuni oleh sepasang suami istri setengah baya yang
tengah dirundung duka. Tidak ada seorang pun
yang mau peduli dengan kedukaan mereka. Dan Ki Sudra memang tidak pernah
menunjukkan kedukaan-nya pada orang lain.
Di malam yang sunyi dan dingin itu. Tampak Nyi Sudra masih saja duduk merenung
di balai-balai bambu sambil memandang bulan dari balik jendela.
Tatapan matanya tampak kosong, dan wajahnya tak menyiratkan suatu perasaan apa
pun. Sepertinya seluruh jiwanya sudah hilang dari raga. Tidak jauh darinya, Ki
Sudra terlihat tengah duduk di kursi goyang. Asap tembakaunya yang keluar dari
pipa hitamnya, mengepul dipermainkan oleh angin malam yang dingin.
"Sudah larut malam, Mak. Sebaiknya kau segera tidur saja. Serahkan saja semuanya
pada kekuasaan Hyang Widi," kata Ki Sudra pelan.
"Hhh...," Nyi Sudra hanya mendesah saja.
"Setelah kupikir-pikir, sebaiknya kita, juga segera meninggalkan desa ini, Mak.
Rasanya tidak ada gunanya lagi bertahan di desa yang keadaannya panas bagai
neraka," kata Ki Sudra lagi.
"Kalau kau juga mau pergi, pergilah sana!" dingin dan datar suara Nyi Sudra.
Sedikit pun dia tidak menoleh.
"Memang tidak ada gunanya kita melakukan sesuatu apa pun. Ke mana kita pergi,
Pendeta Pasanta pasti akan segera mengetahui. Yah..., memang sama saja. Tetap
tinggal di sini, atau pergi dari desa ini tidak ada bedanya," nada suara Ki
Sudra terdengar mengeluh putus asa.
"Kalau kau sudah tahu, kenapa masih juga ber-pikiran begitu" Kau selalu bisa
bilang, pasrahkan saja segalanya pada Hyang Widi, tapi hatimu tidak mau pasrah,"
Nyi Sudra membalikkan tubuhnya dan menatap pada suaminya.
Kali ini Ki Sudralah yang mendesah panjang. Kata-kata istrinya itu memang benar,
dan dia pun meng-akuinya. Dalam keadaan seperti ini, memang jarang orang yang
hanya pasrah. Pasti ada sedikit terbetik di hatinya untuk memberontak. Dan
itulah yang kini dirasakan oleh Ki Sudra.
Pada saat mereka berdua tengah terdiam itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan di
pintu. Sejenak pasangan tua itu saling berpandangan, lalu hampir bersamaan
mereka menoleh ke arah pintu yang tertutup. Ketukan itu terdengar kembali, kali
ini ketukannya lebih keras dan yang pertama.
"Siapa...?" tanya Ki Sudra seraya bangkit dari duduknya.
Namun tak ada sahutan dari luar. Ki Sudra
melangkah mendekati pintu rumahnya. Sejenak dia ragu-ragu untuk membuka pintu.
Matanya melirik istrinya.
"Ah...!" Ki Sudra tersentak ketika dia membuka pintu.
*** Tampak laki-laki gemuk dan berperut buncit sudah berdiri di depannya. Jubahnya
yang berwarna kuning gading, terus berkibar-kibar tertiup angin. Sedang di
belakangnya tampak berdiri empat orang berpakaian serba putih, dengan tangan
yang terlipat di depan dada. Sejenak Ki Sudra melangkah mundur dengan wajah yang
pucat pasi. "Tuan Pendeta..., ada apa gerangan hingga malam-malam begini datang ke rumahku?"
tanya Ki Sudra, agak bergetar suaranya.
"Boleh aku masuk?"
"Oh, silakan. Silakan, Tuan Pendeta."
Laki-laki gundul yang ternyata adalah Pendeta Pasanta itu melangkah masuk.
Sementara empat orang laki-laki muda yang mengawalnya juga segera mengikutinya.
Mereka kemudian berdiri berjajar dan membelakangi pintu. Sedang Ki Sudra segera
mendekati istrinya, dan duduk di tepi balai-balai bambu itu. Sejenak Pendeta
Pasanta menyeret sebuah kursi kayu, dan duduk di depan pasangan tua itu.
"Aku datang hanya ingin menanyakan anakmu.
Apakah dia ada di rumah?" pelan dan lembut kata-kata Pendeta Pasanta.
Ki Sudra tidak segera menjawab. Dia malah
menoleh ke arah istrinya. Pertanyaan Pendeta Pasanta itu membuat seluruh
tubuhnya jadi bergetar.
Dan jantungnya pun ikut berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Aku sudah mengenalmu cukup lama, Ki Sudra.
Karena sebagai bekas kepala desa, kau sangat disegani. Dan aku pun menaruh
hormat padamu. Maka kuharap agar kau tidak menodai rasa hormatku ini, Ki Sudra," tetap lembut
kata-kata Pendeta Pasanta, namun mengandung ancaman yang tidak bisa dipandang
remeh. "Maaf, Tuan Pendeta. Aku tidak mengerti maksudmu," kata Ki Sudra dengan suara
semakin bergetar.
"Lastri sudah tidak ada di rumah, kan?" kali ini nada suara pendeta itu makin
dingin. Tatapan matanya juga tajam menusuk.
Kini Ki Sudra tidak bisa lagi berkata-kata. Rasa kecemasan yang sejak tadi
melanda dirinya, kini benar-benar meledak. Baru siang tadi Lastri pergi
meninggalkan rumah ini, dan sekarang Pendeta
Pasanta sudah mengetahuinya. Ki Sudra sudah bisa membayangkan, malapetaka apa
yang bakal menimpa dirinya. Sedangkan Nyi Sudra sudah tidak dapat berbuat apaapa lagi. Tubuhnya terasa lemas, dan wajahnya pucat pasi dengan keringat dingin
membasahi seluruh wajah dan lehernya.
"Aku tidak akan melakukan apa-apa padamu, Ki Sudra. Aku hanya minta agar kau
segera mencari Lastri, dan bawa dia padaku," tegas kata-kata Pendeta Pasanta,
namun suaranya masih juga
terdengar lembut.
"Tuan Pendeta, aku tidak tahu ke mana anakku pergi. Tadinya aku sudah mencoba
melarangnya, tapi dia tetap saja pergi. Maafkan aku, Tuan Pendeta," lirih suara
Ki Sudra. "Sayang sekali, aku tidak bisa memutuskan. Aku hanya menyampaikan pesan saja."
Ki Sudra hanya bisa tertunduk lemas. Sedang Pendeta Pasanta segera menjentikkan
jarinya. Lalu tampak dua orang dari pengawalnya segera mendekat, dan menyeret
tangan Nyi Sudra yang masih duduk dengan wajah pucat.
Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pak...," ratap Nyi Sudra.
"Tuan Pendeta, hendak kau apakan istriku?"
"Hanya untuk jaminan akan tugasmu, Ki Sudra,"
sahut Pendeta Pasanta kalem seraya bangkit dari duduknya. "Bawa dia ke luar!"
"Tuan...."
Ki Sudra ingin mencegah dua orang yang sudah memegangi tangan istrinya, tapi dua
orang lagi segera melompat dan menekan tubuh laki-laki tua itu, sehingga dia
kembali terduduk di balai-balai bambu.
Sementara Nyi Sudra tidak mampu lagi untuk berbuat apa-apa. Dia kemudian diseret
ke luar tanpa dapat
melakukan perlawanan. Hanya suaranya saja yang lirih terdengar meminta tolong
pada suaminya. Namun Ki Sudra hanya bisa duduk dengan pundak ditekan oleh dua orang.
"Waktumu hanya satu pekan, Ki Sudra. Kalau sampai batas waktu itu kau tidak bisa
menyerahkan anakmu, maka dengan berat hati aku harus me-misahkanmu dengan
istrimu untuk selamanya,"
dingin kata-kata Pendeta Pasanta.
"Tuan Pendeta, tolong..., ampuni aku. Aku benar-benar tidak tahu ke mana harus
mencari Lastri.
Tolong, Tuan Pendeta...," rintih Ki Sudra memelas.
"Sebenarnya aku ingin menolongmu, Ki Sudra...
Tapi aku tidak bisa melakukannya. Rasanya hanya Lastrilah yang bisa menolongmu
keluar dari kesulitan ini," pelan suara Pendeta Pasanta.
Ki Sudra hanya bisa tertunduk lemas. Sementara Pendeta Pasanta pun segera ke
luar diiringi semua pengawalnya. Beberapa saat lamanya, Ki Sudra masih terduduk
lemas tanpa daya. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus diperbuatnya. Memang tidak
ada cara lain, dia harus mencari Lastri. Satu pekan..., bukan waktu yang
panjang! 2 Pagi baru saja datang menjelang. Sementara di ufuk Timur, matahari belum
menampakkan diri dengan penuh. Hanya cahayanya saja yang membias merah jingga di
celah-celah dedaunan. Kabut pun masih menyelimuti sebagian permukaan bumi. Udara
juga masih terasa dingin menusuk kulit. Namun suasana pagi yang indah itu tidak
menggugah hati seorang gadis muda berbaju hijau dari kesedihannya.
Gadis itu kelihatan sangat lelah, langkahnya ter-seok-seok merambah hutan di
Lereng Gunung Cangking. Udara pagi yang dingin tidak menghalangi keringatnya yang mengucur
deras, membasahi wajah dan tubuhnya. Kakinya terus terayun gontai menuju sebuah
sungai yang mengalir jemih menuruni lereng gunung itu.
Gadis itu langsung menjatuhkan dirinya begitu sampai di tepi sungai yang berair
jernih. Begitu jernihnya, sehingga dasar sungai itu tampak jelas seperti dalam
kaca. Dengan pelahan tangan yang kecil halus itu terulur berusaha menarik
tubuhnya untuk lebih ke tepi. Seperti seorang musafir yang sudah tiga hari tidak
bertemu air, gadis itu segera membasuh muka dan tubuhnya. Lalu tanpa
menghiraukan dinginnya air itu, dia pun meneguknya sepuas-puasnya.
"Ohhh...," gadis itu mendesah lirih, dan meng-gelimpangkan tubuhnya kembali
menjauh dari tepi sungai.
Kelopak matanya yang dihiasi bulu mata lentik,
terpejam rapat. Buru-buru gadis itu membuka matanya ketika mendengar suara
ranting patah. Dia langsung membeliak kaget dan segera bangkit berdiri.
"Maaf, kalau aku telah mengejutkanmu," terdengar sebuah suara lembut.
Gadis itu memperhatikan seorang pemuda gagah, tampan dan tegap yang sudah
berdiri di depannya.
Senyum pemuda itu begitu memikat, sedang sinar matanya juga lembut, namun
menyiratkan ketajaman dan kekerasan. Lalu tanpa menghiraukan tatapan jadis itu,
pemuda itu segera melangkah ke sungai, dan membasuh wajahnya. Sebentar kepalanya
menoleh, dan kembali tersenyum.
"Silakan, kalau ingin melanjutkan istirahatnya. Aku hanya ingin membasuh muka
sebentar," kata pemuda itu, tetap lembut suaranya.
Gadis itu masih berdiri terpaku dengan wajah yang kelihatan gelisah. Sejenak
matanya berputar mengamati ke sekitarnya. Tak terlihat seorang manusia pun di
hutan ini kecuali mereka berdua. Tak lama kemudian, pemuda itu menghenyakkan
tubuhnya dan bersandar pada sebatang pohon tua yang hampir mati. Dia lalu
mengeluarkan sebuah bungkusan dari daun waru dari balik ikat pinggangnya, dan
meletakkan bungkusan itu di depannya. Perlahan-lahan dia membuka bungkusan itu,
maka tampaklah tiga ekor kelinci yang sudah matang, tergolek di bungkusan itu.
Pemuda itu segera mengambil seekor dan mendekatkannya ke mulut. Tapi dia tidak
jadi menggigitnya. Sejenak matanya memandang gadis yang masih berdiri tidak jauh
darinya. "Mau?" pemuda itu menawarkan.
Gadis itu kelihatan ragu-ragu.
"Bekas makanan semalam. Memang sudah tidak hangat lagi, tapi cukup untuk
mengganjal perut sampai tengah hari nanti," kata pemuda itu seraya mengambil
satu lagi, dan menjulurkannya pada gadis itu.
Gadis itu masih kelihatan ragu-ragu, namun
lehernya tampak bergerak-gerak. Pertanda bahwa dia sebenarnya menginginkannya.
Sinar matanya masih memancarkan rasa curiga dan takut.
"Ambillah. Aku tidak akan habis makan sendirian,"
kata pemuda itu lagi.
Lalu dengan perasaan was-was, gadis itu pun melangkah mendekat, dan duduk di
depan pemuda itu. Tangannya agak gemetar saat menerima daging itu. Namun setelah
daging itu berada di tangannya, langsung disantap dengan rakus. Perutnya memang
lapar, karena sejak kemarin siang belum terisi.
Pemuda itu hanya tersenyum dan mulai menikmati makanannya.
"Siapa namamu?" tanya pemuda itu setelah cukup lama mereka terdiam sambil
menikmati daging kelinci.
"Lastri," sahut gadis itu pelan.
"Nama yang cantik, secantik orangnya."
"Terima kasih," sahut Lastri tersipu.
"Oh, ya. Kenapa kau berada-di hutan ini sendirian?" tanya pemuda itu lagi.
Suaranya tetap lembut.
"Aku..., oh, eh...," gadis yang ternyata bernama Lastri itu menjawab dengan
tergagap. "Ah, sudahlah. Kau tidak perlu menjawab. Aku hanya iseng saja kok bertanya."
Lastri hanya diam. Dia kembali menikmati daging kelinci yang sudah dingin itu.
Sedangkan pemuda itu
juga ikut menikmati lagi makan paginya yang sangat sederhana itu. Untuk beberapa
saat lamanya mereka kemudian terdiam.
"Kau punya minuman?" tanya pemuda itu.
Lastri menggeleng lemah.
"Ah, ya! Tentu saja tidak. Bodohnya aku, bertanya begitu!" rutuk pemuda itu
sambil memukul kepalanya sendiri.
Lastri jadi tersenyum melihat kekocakan pemuda itu. Rasa takut dan curiga yang
tadinya sudah menghinggapi dirinya, berangsur menghilang.
Sikapnya yang ramah dan sesekali membuat canda, membuat kemurungan dan
kegelisahan di wajah gadis itu mulai sirna. Kini wajahnya mulai
menyemburat kemerahan, dan senyumnya beberapa kali terukir indah di bibirnya
yang selalu nampak merah basah itu.
Mereka terus menikmati sisa-sisa daging kelinci panggang dingin itu. Dan
keduanya terpaksa minum air sungai, karena memang tidak ada lagi yang bisa
mereka minum. Sebentar saja keakraban sudah terlihat di antara mereka. Pemuda
itu memang pandai membuat suasana akrab dan menyenangkan.
*** "Rasanya sudah terlalu lama kita berada di sini.
Aku harus segera melanjutkan perjalanan. Oh, ya....
Ke mana tujuanmu?" tanya pemuda itu sambil beranjak bangun dari duduknya.
Lastri tidak segera menjawab. Dia tidak tahu, ke mana tujuannya. Dia pergi
meninggalkan rumah dan orang tuanya karena suatu sebab, dan ini masih tersimpan
rapi di dalam hatinya. Dan dari tadi
pemuda itu memang tidak menanyakan soal itu sedikit pun.
"Tampaknya kau bingung, ada masalah?" tanya pemuda itu.
Lastri masih diam. Wajah yang tadi mulai ceria, kini kembali termenung. Matanya
tetap menatap kosong jauh ke depan. Dan pemuda itu memperhatikan dengan mata
agak menyipit dan kening berkerut.
"Maaf, kalau aku terlalu jauh ingin tahu urusan pribadimu. Memang seharusnya aku
tidak bertanya begitu," kata pemuda itu seperti menyesal.
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa," sahut Lastri buru-buru dan sedikit tergagap.
"Oh, ya. Kita akan berpisah di sini. Senang aku berteman denganmu, Gadis Manis."
ujar pemuda itu sambil melangkahkan kakinya.
"Eh, tunggu...," cegah Lastri sambil beranjak.
Pemuda gagah, tampan dan berbaju kulit harimau itu tidak jadi melangkah. Dia
kembali menatap wajah gadis di depannya itu dalam-dalam. Hatinya langsung bisa
menebak, kalau gadis itu tengah menyimpan persoalan. Dari tadi sebenarnya dia
sudah heran, di dalam hutan yang lebat ini, dan tak seorang manusia pun sudi
menginjakkan kakinya di sini, ada seorang gadis muda yang cantik.
"Boleh aku tahu, ke mana tujuanmu?" tanya Lastri agak ragu-ragu.
"'Untuk apa kau tanyakan itu?" pemuda itu malah balik bertanya.
"Aku..., eh, tidak. Maaf, memang tidak sepantas-nya aku bertanya begitu," kata
Lastri semakin tergagap.
"Aku hanya seorang pengembara yang tidak menentu tujuannya. Ke mana kakiku
melangkah, ke sanalah aku menuju," kata pemuda itu tnenjelaskan.
"Boleh aku ikut?" tanya Lastri memberanikan diri.
"Ikut..."!" pemuda itu tersentak heran.
"Aku tahu, kau pasti keberatan. Tapi aku merasa bahwa kau bukan orang jahat. Dan
aku hanyalah seorang wanita lemah yang tentunya akan mem-buatmu kerepotan. Ah,
sudahlah. Kita berpisah saja di sini," kata Lastri lesu.
"Sebentar...," cegah pemuda itu saat gadis di depannya mau pergi.
Kini ganti Lastri yang mengurungkan niatnya.
Sebentar mereka berdiri saling berpandangan.
Namun baru sejenak, kepala gadis itu sudah
tertunduk dengan wajah bersemu merah dadu. Sinar mata pemuda itu telah
membuatnya gugup dan tak menentu perasaannya. Lastri sendiri tidak tahu, kenapa
dia jadi begitu saja percaya pada laki-laki yang baru dikenalnya.
"Aku melihat ada persoalan pada wajahmu.
Memang terasa aneh bertemu seorang gadis cantik di dalam hutan yang sepi begini.
Kau mau mengatakan persoalanmu padaku?" kata pemuda itu lagi. Kali ini dia tidak
lagi bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Untuk apa" Rasanya percuma saja kau tahu,"
pelan dan lirih suara Lastri.
"Barangkali aku bisa membantu untuk menyelesaikan persoalanmu," sahut pemuda
itu. "Tidak ada gunanya," kata Lastri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau tadi bilang akan ikut denganku. Sebenarnya aku keberatan. Soalnya aku belum
tahu sebabnya, kenapa kau mau ikut denganku?" pemuda itu memancing.
"Aku tidak tahu, tapi...."
"Kenapa?"
"Aku merasa kalau kau tidak akan berbuat yang tidak-tidak padaku. Aku merasa
Dewata memang mengirimmu kemari. Entahlah, perasaan itu tiba-tiba saja datang
padaku," kata Lastri pelan. Kata-kata itu seolah meluncur begitu saja tanpa
disadari. "Ha ha ha...! Kau ini lucu, Gadis Manis. Aku datang ke sini tidak sengaja. Dan
bertemu denganmu di tempat ini tentu saja juga hanya kebetulan. Ah, sudahlah! Ke
mana sebenarnya tujuanmu, dan aku akan dengan senang hati mengantarmu sampai
tempat tujuan. Tanpa imbalan...," pemuda itu sempat juga bergurau.
"Terima kasih, tapi aku tidak punya tujuan," sahut Lastri pelan. Namun seulas
senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Aku tidak percaya kalau kau adalah seorang pengembara."
"Memang bukan, dan ini baru pertama kalinya aku meninggalkan rumah, kampung
halaman dan...,"
Lastri tidak jadi meneruskan kata-katanya.
"Kekasih?" pemuda itu langsung menebak.
Lastri segera menggeleng dan tersenyum pahit.
"Seorang gadis muda, cantik, telah meninggalkan rumah seorang diri tanpa tujuan
yang pasti. Tentu ada sebabnya, kan?" pemuda itu seperti bicara pada dirinya
sendiri. "Ya...," desah Lastri tak sadar.
"Boleh aku tahu?"
Lastri tidak segera menjawab. Dia kemudian
malah berbalik dan mengayunkan kakinya pelan-pelan. Kepalanya tetap tertunduk
memandangi ujung kakinya yang berjalan pelan di atas daun-daun kering.
Sementara pemuda itu masih tetap berdiri sambil
memandanginya. Kemudian dia pun segera
melangkah menyusul gadis itu. Rasa penasarannya membuat dia semakin ingin tahu.
*** Sementara itu matahari terus merambat semakin tinggi. Sinarnya yang terik telah
menghalau kabut, dan seakan ingin membakar seluruh makhluk yang ada di atas
permukaan bumi. Namun teriknya sinar matahari itu tidak mampu untuk menghentikan
langkah dua orang yang tengah berjalan pelahan-lahan, merambah hutan di Lereng
Gunung Cangking.
Mereka terus berjalan ke arah Barat dari lereng gunung itu.
Semakin jauh mereka berjalan, pohon-pohon
semakin teriihat jarang. Namun langkah mereka tidak juga berhenti. Mereka terus
saja melangkah ke kaki lereng gunung. Kedua orang itu kemudian berhenti setelah
sampai pada sebuah danau kecil yang ada air terjunnya. Sebenarnya tempat itu
bukan merupakan danau, hanya cekungan tanah yang terkikis dan membesar akibat
irisan air yang mengalir cukup deras dari dataran yang tinggi. Ada beberapa
sungai yang membawa air itu mengalir ke tempat yang lebih rendah.
Kini mereka beristirahat di sebuah batu pipih yang menjorok ke danau itu. Pada
bagian ini air kelihatan tenang, karena banyak batu-batu yang menghambat lajunya
arus. Gadis berbaju hijau itu lalu
menceburkan sebagian kakinya ke dalam air, dan membasuh wajahnya yang berdebu
dan disimbahi keringat. Sedangkan pemuda di sampingnya hanya duduk mencangkung
sambil memandangi air terjun di
seberangnya. "Sudah setengah hari kita bersama-sama, dan kau sudah tahu tentang diriku. Tapi
aku belum tahu tentang dirimu," kata gadis itu beberapa saat kemudian.
"Apa itu perlu?" tanya pemuda itu tanpa menoleh.
"Kalau kau tidak keberatan."
"Namaku Bayu Hanggara, tapi kau cukup
memanggilku dengan sebutan Bayu," pemuda itu mulai memperkenalkan diri.
"Umurmu pasti lebih tua dariku. Boleh aku memanggilmu dengan sebutan Kakang?"
"Sama sekali tidak keberatan."
"Dan kau juga jangan memanggilku lagi dengan sebutan Gadis Manis. Panggil saja
aku Lastri," pinta gadis itu setengah tersipu.
"Boleh juga," sahut Bayu seraya menoleh ke arah gadis itu.
Lastri tersenyum manis.
"Kau tadi bilang, bahwa kau adalah seorang pengembara. Apakah kau seorang
pendekar?" tanya Lastri lagi.
"Apakah seorang pengembara sudah berarti pendekar?" Bayu balik bertanya.
"Biasanya memang begitu. Dan biasanya juga, seorang pendekar selalu punya nama
julukan. Apa nama julukanmu?"
"Kau ini seperti sudah tahu saja tentang dunia kependekaran."
"Sedikit-sedikit aku sudah tahu tentang rimba persilatan."
"Oh, ya" Dari mana kau tahu?"
"Ayahku sering cerita, juga pamanku yang memang seorang pendekar. Tapi itu dulu,
ketika Paman masih
hidup. Dan Ayah juga masih tampak gagah," Lastri seperti mengenang. "Pamanku
dulu berjuluk Pendekar Cakar Maut. Dia memang kejam pada
musuh-musuhnya, tapi hatinya baik dan lembut.
Selalu menolong siapa saja yang membutuhkan."
"Kau pernah belajar ilmu olah kanuragan?" tanya Bayu tertarik juga.
"Tidak," sahut Lastri.
"Kenapa?"
"Ayah tidak pernah mengijinkan."
"Tentu ada alasannya, kan?"
"Entahlah, yang jelas aku tidak diperbolehkan untuk belajar ilmu olah kanuragan.
Padahal itu kan penting, apalagi kalau dalam keadaan seperti ini.
Yaaah..., seandainya aku dulu sempat belajar, pasti tidak akan melarikan diri
seperti ini," agak pelan suara Lastri.
Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku yakin, ayahmu pasti punya alasan atas tindakannya itu," Bayu membesarkan
hati gadis itu.
"Mungkin," desah Lastri. "Oh, ya. Siapa sebenarnya nama julukanmu?" tanya Lastri
kembali teringat dengan pertanyaannya yang belum terjawab.
"Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu berterus terang.
"Ihhh...!" mendadak Lastri bergidik.
"Kenapa?"
"Seram! Kenapa memilih nama julukan itu" Kan masih banyak nama julukan yang
baik. Julukan itu bisa menyiratkan akan watakmu yang kejam, sadis.
Seperti Paman dulu, tindakannya juga selalu kejam, tidak pernah mengampuni
setiap lawannya. Jadi banyak orang memusuhinya, tapi juga banyak yang
menyenanginya."
"Mungkin keadaan pamanmu dan aku ada
persamaan," kata Bayu bisa merasakan kalau kata-kata Lastri itu seperti sedang
menelanjangi dirinya.
"Siapa yang telah memberimu nama julukan seperti itu?" tanya Lastri mau tahu.
"Aku sendiri," sahut Bayu terus terang.
"Kausuka?"
"Ya."
"Bangga?"
"Tentu saja, setiap pendekar selalu bangga dengan nama julukannya."
"Tidak takut?"
"Kau ini ada-ada saja, Lastri. Apa yang harus kutakutkan?" Bayu merasa geli
sendiri mendengar pertanyaan-pertanyaan gadis itu.
"Pendekar Pulau Neraka..., sebuah nama julukan yang bisa membangkitkah bulu
kuduk. Orang pasti akan menyangka kalau kau adalah seorang yang kejam, sadis dan
jahat!" Bayu hanya tersenyum. Dia sama sekali tidak tersinggung dengan dugaan Lastri.
Dan hal itu justru malah membuat hatinya merasa bangga. Dalam
hatinya Bayu memuji kecerdasan gadis itu. Meskipun Lastri tidak pernah belajar
ilmu olah kanuragan, tapi dia sendiri sudah tahu betul seluk-beluk dunia
kependekaran. "Tapi aku sendiri tidak percaya kalau kau adalah seorang yang berhati kejam. Aku
tidak melihat adanya sifat kekejaman pada wajahmu, Kakang," sambung Lastri.
Sepertinya tahu, apa yang tengah dipikirkan Bayu.
"Mudah-mudahan kau salah menduga," kata Bayu tersenyum geli.
"Maksudmu, dugaan yang baik atau yang buruk?"
"Yang baik."
Lastri hanya tertawa. Dan tawanya kali ini adalah tawa yang pertama kali sejak
beberapa hari belakangan ini. Dia merasa kalau Bayu hanya berolok-olok saja. Dan Pendekar
Pulau Neraka itu pun tersenyum saja. Entah apa arti senyumnya itu.
Mungkin juga dia merasa senang begitu melihat adanya keceriaan lagi pada wajah
gadis itu. 3 Tidak sulit bagi Bayu untuk membuat seorang gadis bersikap terbuka dan berterus
terang padanya.
Pendekar Pulau Neraka itu mempunyai cara sendiri untuk mengorek keluar semua isi
hati seseorang, apalagi seorang gadis seperti Lastri. Dalam perjalanan, Pendekar
Pulau Neraka itu terus-menerus menanyakan semua kesulitan yang tengah dialami
Lastri. Dan cara yang dilakukan oleh Bayu itu telah berhasil membuat Lastri
semakin merasa dekat dan menaruh kepercayaan padanya.
"Sudah berapa lama hal itu berlangsung?" tanya Bayu.
"Sejak ayahku tidak menjabat sebagai kepala desa lagi, kira-kira lima tahun
lalu," sahut Lastri.
"Lalu, siapa yang telah menggantikan kedudukan ayahmu?"
"Adik Pendeta Pasanta, namanya Ki Durangga."
"Ah, sebuah persoalan biasa. Membodohi penduduk desa demi kepentingan pribadi,"
nada suara Bayu seolah mengeluh.
"Kelihatannya memang persoalan biasa, tapi hal itu bisa menjadi berlarut-larut
kalau tidak segera ditangani," kata Lastri.
"Apa di desamu tidak ada sebuah padepokan?"
tanya Bayu lagi.
"Desa Gampil adalah sebuah desa yang tentram.
Selama ini tidak pernah terjadi kerusuhan. Bahkan pencoleng kecil pun tidak ada
di sana, jadi mungkin para penduduknya merasa tidak perlu untuk
mendirikan sebuah padepokan. Lagi pula seluruh penduduknya memang tidak menyukai
kekerasan,"
Lastri menjelaskan keadaan desanya.
"Kamu ini aneh, Lastri. Belum lama bilang, bahwa desamu sedang mengalami
kehancuran pelan-pelan.
Dan sekarang sudah berubah, kalau desamu aman tentram dan damai. Mana yang
benar?" "Dulu Desa Gampil memang keadaannya aman, tentram dan damai. Tapi sekarang tidak
lagi." "O..., jadi kau kabur karena takut melihat kehancuran desamu, begitu?"
"Bukan hanya itu, tapi ada sesuatu yang lebih penting. Tapi rasanya kau tidak
akan percaya kalau kujelaskan. Sebaiknya buktikan saja sendiri."
"Bagaimana mungkin" Sedangkan aku sendiri tidak tahu, di mana letak desamu itu.
Apalagi kau sendiri sedang menjauhi desa itu...."
"Aku mau mengantarkan kau pergi ke sana, asalkan kau janji mau menyelamatkan dan
membebaskan keadaan desa itu dari belenggu."
"Siapa mereka?"
"Kau akan tahu sendiri nanti."
Bayu hanya bisa mengangkat bahunya saja. Untuk saat ini dia memang masih
diliputi oleh berbagai macam tanda tanya, tapi sebagian besar sudah bisa
dimengerti. Dia merasakan, kalau kali ini dia harus segera kembali bertualang
untuk menumpas keangkaramurkaan.
"Ayo, sebaiknya kita segera menuju Desa Gampil,"
ajak Bayu kemudian.
"Tapi kau harus janji...," tagih Lastri.
"Iya..., aku janji. Keselamatanmu aku yang tanggung," potong Bayu cepat.
Lastri segera tersenyum lebar. Entah apa
sebenarnya arti senyumannya itu. Kemudian mereka mulai melangkah menuju Desa
Gampil. *** Malam kian merambat semakin larut. Seluruh
permukaan bumi sudah terselimuti oleh kegelapan.
Bayu dan Lastri telah tiba di perbatasan Desa Gampil, di saat seluruh penduduk
desa itu tengah terbuai dalam mimpi. Sejenak mereka berhenti sambil memandang ke
desa yang keadaannya sudah sepi itu. Tak terlihat seorang pun yang berada di
luar rumah. Suasana desa itu memang damai, aman dan
tentram. Namun Pendekar Pulau Neraka itu segera merasakan adanya hawa lain
menyelimuti desa di depannya itu. Indra keenamnya yang tajam dan terlatih baik,
langsung merasakan kalau dirinya tengah diawasi. Dan perasaan itu semakin
menebal kala telinganya mendengar suara gemerisik yang halus.
"Hm...," Bayu bergumam pelan, hampir tidak terdengar.
"Ada apa, Kakang?" tanya Lastri yang sempat mendengar gumaman itu.
"Tidak ada apa-apa," sahut Bayu pelan seperti bergumam. "Rumahmu masih jauh dari
sini" "Tidak lama lagi. Dari sini saja sudah kelihatan. Itu yang tampak gelap, tidak
ada lampunya...," suara Lastri jadi pelan.
"Kenapa?" tanya Bayu yang merasakan kalau nada suara gadis itu telah berubah.
Seperti ada yang dicemaskannya.
"Aneh..., tidak biasanya gelap begitu," sahut Lastri
seperti untuk dirinya sendiri.
Bayu menatap ke arah rumah yang tidak begitu besar itu. Memang tidak seperti
rumah-rumah lainnya, yang semuanya menaruh pelita pada bagian depan rumahnya.
Bayu sedikit menggeser kakinya untuk lebih
mendekati Lastri. Telinganya yang selalu terpasang tajam, kembali mendengar
suara gemerisik dari arah samping kanan. Suara itu sangat halus, dan Lastri
pasti tidak merasakannya. Kini Pendekar Pulau Neraka itu semakin yakin, pasti
ada seseorang yang sedang mengintainya. Dan orang itu tentu memiliki tingkat
kepandaian yang cukup tinggi. Terbukti dari desahan napasnya yang halus tersamar
oleh hembusan angin.
Bayu sengaja tidak memberitahukan hal itu pada Lastri. Dia tidak ingin melihat
gadis itu jadi terkejut dan ketakutan. Bayu memang baru sekali datang ke desa
itu. Makanya harus bersikap hati-hati agar tidak mengundang perhatian.
"Perasaanku jadi tidak enak, Kang...," bisik Lastri.
"Kau mencemaskan keadaan orang tuamu?" tanya Bayu menebak.
"Ya. Aku khawatir telah terjadi sesuatu yang menimpa Ayah dan Ibuku. Tidak
biasanya mereka mematikan semua lampu di rumah," sahut Lastri cemas.
"Kau ingin agar aku segera memeriksa ke sana?"
Lastri tidak segera menyahut. Tatapan matanya tetap lurus ke arah rumahnya.
Hatinya terus berkecamuk penuh dengan rasa kekhawatiran.
"Kau tunggu sebentar di sini, aku tidak akan lama,"
kata Bayu seraya melangkah.
"Hati-hati, Kang," hanya itu yang bisa diucapkan
Lastri. Bayu hanya tersenyum. Tampak telinganya
bergerak-gerak, pertanda dia semakin jelas
mendengar suara yang mencurigakan sejak tadi.
Maka tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Pulau Neraka itu segera melesat cepat
bagai kilat. Begitu cepatnya dia bergerak, sehingga bagaikan hilang saja.
Sejenak Lastri terkejut, dan dia celingukan mencari-cari, namun bayangan pemuda
itu sudah tidak tampak lagi. Entah menghilang ke mana..."
Belum lagi hilang rasa terkejut dan herannya gadis itu, tiba-tiba di depannya
muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap. Dia memakai baju putih yang
ketat dan berlengan panjang yang lebar. Tentu saja Lastri jadi semakin
ketakutan. Apalagi kini dari arah samping kanan dan kirinya juga muncul dua
orang laki-laki yang perawakan tubuh dan pakaiannya sama dengan yang pertama.
"Mau apa kalian?" sentak Lastri, agak bergetar suaranya.
"Kami hanya menjalankan perintah untuk segera membawamu pulang," sahut seorang
yang berdiri paling depan.
"Tidak...!" pekik Lastri. Buru-buru dia berbalik, namun di belakangnya tiba-tiba
sudah berdiri seorang laki-laki lain lagi.
Kini Lastri jadi panik. Dia sudah terkepung oleh empat orang laki-laki yang
muncul secara tiba-tiba bagaikan setan saja. Lalu hampir bersamaan, empat orang
berpakaian putih itu bergerak ringan
mendekati. Dan Lastri semakin kebingungan.
"Tidak! Jangan dekati aku...! Pergi kalian semua...!"
jerit Lastri histeris.
Namun mereka tetap saja bergerak mendekati.
Lastri terus menjerit-jerit, dia berusaha memberontak ketika salah seorang
secara tiba-tiba melompat dan mencengkeramnya. Namun pada saat itu mendadak
terdengar suara bentakan keras menggelegar.
"Lepaskan gadis itu!"
Seketika empat orang laki-laki berbaju putih itu terkejut dan langsung menoleh.
Tampak seorang pemuda tampan dan berbaju kulit harimau, telah berdiri tegak
dengan tangan melipat di depan dada.
"Kakang...! Tolong aku...," jerit Lastri sambil memberontak berusaha melepaskan
diri dari ringkusan salah seorang laki-laki berbaju putih itu.
"Kisanak, sebaiknya kau jangan ikut campur urusan kami," kata salah seorang yang
berdiri paling depan. Suaranya tegas penuh nada ancaman.
"Lepaskan! Iblis, kalian semua...!" bentak Lastri terus memberontak.
Tapi pemberontakan gadis itu hanya sampai di situ saja, karena tiba-tiba dia
jadi lemas lunglai tertotok jalan darahnya. Sedangkan seorang laki-laki yang
dari tadi meringkusnya, langsung memanggul tubuh ramping gadis itu. Sedangkan
tiga orang lainnya segera berdiri di depannya dengan sikap melindungi.
"Kisanak, sebaiknya kau cepat pergi dari sini sebelum aku mengambil tindakan
tegas," kembali orang yang kini berdiri di tengah berkata mengancam.
"O..., kalian main ancam rupanya. Baik, Pendekar Pulau Neraka pantang digertak!"
sambung Bayu dingin.
Mendengar tantangan itu, laki-laki yang berdiri di tengah, segera menjentikkan
jarinya. Seketika dua orang yang berada di sampingnya langsung bergerak maju.
Hampir bersamaan, kedua orang itu
mengeluarkan seuntai kalung yang terbuat dari batu
hitam, namun berkilat. Sejenak mereka maju ke depan tiga langkah.
Bayu segera bersiap-siap untuk menyambut
serangan. Dia sudah bisa menduga kalau empat orang itu pasti memiliki tingkat
kepandaian yang tinggi, dan ini sudah disadarinya sebelum
meninggalkan Lastri. Dia berbuat begitu hanya untuk memancing saja, dan
dugaannya ternyata tepat!
"Kami beri kesempatan sekali lagi padamu, Kisanak," kata orang itu lagi.
Suaranya tetap dingin.
"Aku akan segera pergi, jika kalian melepaskan gadis itu!" sahut Bayu tegas.
"Rupanya kau seorang yang keras kepala juga, Kisanak. Beri dia pelajaran!"
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Dua orang yang sejak tadi sudah mengeluarkan seuntai kalung hitam, langsung
berlompatan menerjang Pendekar Pulau Neraka. Gerakan mereka sangat cepat dan tiba-tiba
sekali, sehingga Bayu terpaksa melentingkan tubuhnya ke belakang.
Namun dengan cepat salah seorang penyerangnya telah mengebutkan untaian kalung
di tangan kanannya. Wut! "Uts!"
Bayu segera memiringkan tubuhnya sedikit, dan untaian kalung itu lewat sedikit
di depan dadanya.
Dan belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu sempat menarik tubuhnya kembali, satu
tendangan sudah keburu mendarat di punggungnya. Tubuh Bayu
langsung terjungkal keras ke depan. Dan dua kali dia bergulingan di tanah, namun
dengan cepat dia segera bangkit kembali.
*** Pendekar Pulau Neraka benar-benar terkejut!
Sama sekali dia tidak menyangka, kalau serangan dua orang itu sangat cepat dan
terpadu rapi. Untung saja tendangan yang sempat mendarat di
punggungnya tidak disertai dengan pengerahan tenaga dalam penuh, sehingga tidak
menimbulkan luka dalam. Namun begitu, tendangan orang itu sangat keras dan
membuat punggungnya terasa nyeri.
"Itu baru peringatan, Kisanak. Dan jika kau tidak segera meninggalkan desa ini,
kami akan berbuat lebih dari itu!" kata laki-laki yang mungkin sebagai
pemimpinnya. "Heh! Jangan besar kepala dulu, Sobat! Ak mampu membunuh kalian semua jika
kuinginkan!' sahut Bayu sengit.
"Dan kami bisa lebih kejam darimu!" sahut salah seorang dari mereka tak kalah
ketus. Bayu benar-benar jengkel. Selama ini belum
pernah ada seorang pun yang berani merendahkan dirinya begitu rupa. Biasanya,
baru mendengar namanya saja orang pasti sudah gemetar! Tapi empat orang lakilaki di hadapannya itu sama sekali tidak gentar sedikit pun walau sudah digertak
dengan menyebutkan nama julukannya yang angker itu.
"Cepat! Beri dia pelajaran yang lebih keras!'
perintah yang diduga sebagai pemimpinnya.
Langsung saja dua orang laki-laki itu kembal berlompatan menerjang. Sedangkan
Bayu segera melayani dengan sungguh-sungguh. Dia langsung saja mengeluarkan
jurus andalannya! Hatinya sudah
benar benar panas dan jengkel. Dan pertarungan kali ini pun segera berlangsung
dengan sangat dahsyat.
Sementara keempat musuhnya itu seakan baru
menyadari, lebih- lebih dua orang yang kini tengah berhadapan langsung dengan
Pendekar Pulau Neraka itu. Mereka telah merasakan bagaimana hebatnya angin
pukulan Pendeka Pulau Neraka itu! Sebuah hempasan yang menebarkan hawa panas dan
dingin secara bergantian.
Dan pada saat pertarungan memasuki jurus ke sepuluh, Bayu sudah bisa mengukur
Pendekar Pulau Neraka 05 Pengantin Dewa Rimba di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tingkat kemampuan lawan-lawannya itu. Otaknya yang cerdas terus bekerja, namun sedikit
pun dia tidak mengurangi daya serangnya. Dan pada saat salah seorang lawannya mengebutkan
untaian kalungnya ke arah kepala, dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu
merunduk sambil melayangkan pukulan tangan kirinya ke arah perut.
Buk! "Hugh!" seketika orang itu mengeluh pendek.
Bayu tidak membuang kesempatan itu, secepat kilat melentingkan tubuhnya ke atas
sambil mengirimkan tendangan geledeknya ke arah dada orang itu. Seketika orang berbaju
putih itu terpental sejauh tiga batang tombak ke belakang. Dan pada saat itu
juga tubuh Pendekar Pulau Neraka sudah mendarat di tanah dengan manis.
Lalu secepat kilat tangan kanannya berkelebat ke depan dengan tubuh agak
membungkuk. Seketika secercah sinar keperakan meluncur deras ke arah musuhnya
yang baru saja bisa bangkit. Dan tanpa ampun lagi, senjata cakra bergerigi enam
dan berwarna keperakan itu langsung menembus
dadanya. "Aaakh...!" laki-laki itu menjerit melengking tinggi.
Sejenak Bayu menghentakkan tangan kanannya
ke depan dada. Dan senjata cakra andalannya itu pun kembali meluncur ke arahnya.
Dan sambil melompat ke atas, Pendekar Pulau Neraka itu menangkap senjatanya itu.
Tepat pada saat itu sebuah bayangan putih tiba-tiba meluncur deras ke arahnya.
Buru-buru Bayu meluruk turun ke bawah. Namun tanpa diduga sama sekali, sebuah
tendangan menggeledek langsung menghantam punggungnya.
"Akh!"
Bayu tersungkur ke tanah dan bergulingan
beberapa kali sebelum melompat bangkit. Tampak seorang lawannya lagi sudah
menerjangnya kembali dengan dahsyat. Kini seluruh perhatian Bayu benar-benar
terpusat pada pertarungannya itu. Belum habis dia menikmati hasilnya menjatuhkan
satu lawan, kini datang kembali serangan dari lawan satunya lagi.
Sepertinya Pendekar Pulau Neraka itu benar-benar tidak diberi kesempatan untuk
menarik napas sedikit pun. Serangan-serangan lawannya kali ini sangat cepat dan
dahsyat, sepertinya dia tidak ingin memberi kesempatan pada Bayu untuk
melepaskan senjatanya. Dalam pertarungan jarak pendek begini, biasanya Pendekar Pulau Neraka
mengandalkan kelincahan gerak tubuhnya, dan kedahsyatan pukulan-pukulannya.
Namun menghadapi lawan yang tingkat kepandaiannya cukup tinggi itu, dia terpaksa
menggenggam erat senjatanya, untuk mengimbangi senjata lawan yang berupa seuntai
kalung dari batu hitam.
*** "Mampus kau!" bentak Bayu ketika dia punya kesempatan untuk mengeluarkan jurus
'Pukulan Racun Hitam'nya.
Kini telapak tangan kirinya tampak terbuka lebar, dan mengarah langsung ke depan
dada lawannya. Namun tanpa diduga sama sekali, lawannya itu mampu berkelit dengan cepat. Dan
dia juga sempat mengibaskan kalungnya ke arah kaki Bayu.
"Uts!"
Buru-buru Bayu melompat sedikit menghindari senjata lawannya itu. Dan dia segera
memutar tubuhnya sambil melayangkan kaki kanannya. Buk!
Satu benturan keras langsung terjadi. Seketika lawannya terhuyung-huyung ke
belakang. Dan belum lagi sempat menguasai tubuhnya, tiba-tiba Pendekar Pula
Neraka itu berteriak nyaring.
"Hiyaaa...!"
Kali ini jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang
dikerahkan Bayu, langsung mendarat telak di dada lawannya. Kembali orang itu
terjengkang ke belakang dengan tubuh limbung.
Rupanya Pendekar Pulau Neraka tidak mau lagi memberi kesempatan. Maka sambil
berteriak nyaring dia segera melompat ke atas sambil melontarkan senjata
mautnya. Seketika senjata cakra itu meluncur deras, dan langsung memenggal leher
lawannya. Dan tanpa mengeluarkan keluhan sedikit pun, tubuh laki-laki berbaju
putih itu langsung ambruk ke tanah!
Sejenak Bayu berdiri tegak sambil memandang kedua mayat yang menggeletak di
tanah. Lalu buru-buru dia memalingkan kepalanya. Dan betapa
terkejutnya dia, karena dua orang lawannya lagi
sudah hilang sambil membawa Lastri. Rupanya mereka telah mengambil kesempatan di
saat seluruh perhatian Pendekar Pulau Neraka itu terpusat penuh pada
pertarungannya.
"Pengecut! Licik...!" geram Bayu.
Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Hanya kegelapan yang menyelimuti sekitar
tempat itu. Bayu benar-benar menyesal karena telah terlalu memusatkan
perhatiannya pada dua orang lawannya.
"Hhh! Ke mana mereka membawa Lastri...?"
dengus Bayu seorang diri.
Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu kini terpusat pada rumah yang tampak
gelap gulita. Rumah itu telah dikatakan Lastri sebagai rumahnya.
Dan ada orang tuanya di sana. Tapi kenapa
keadaannya begitu gelap" Bayu belum bisa
menjawabnya. Dia tadi perginya untuk memancing orang-orang yang mengintainya ke
luar. Dan ternyata mereka tidak bermaksud baik. Bahkan mereka telah berhasil
membawa Lastri kabur. Gadis yang telah dijanjikan keselamatannya.
"Fiuh! Aku jadi merasa berhutang pada gadis itu,"
dengus Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu segera berlari cepat dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya.
Tubuhnya bagaikan sebuah bayangan yang
terbawa angin, meluncur cepat ke arah rumah yang tampak gelap itu. Dan dalam
waktu yang singkat saja, dia sudah berada di depan pintu rumah itu. Sebentar
matanya memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sepi, tak terlihat satu manusia pun
di tempat itu. Pelahan-lahan Bayu mendekati pintu rumah itu.
keningnya agak berkerut, karena pintu itu tidak
tertutup sepenuhnya. Maka dengan pelahan,
tangannya terjulur dan membuka pintu yang memang sudah sedikit terbuka itu.
Sejenak Bayu mengerjap-kan matanya, membiasakan penglihatan-nya dalam keadaan
gelap. Kemudian dengan hati-hati sekali kakinya melangkah masuk. Namun belum
lagi Pendekar Pulau Neraka itu masuk lebih ke dalam, mendadak telinganya mendengar
desiran angin halus dari arah belakang. Buru-buru dia mengegoskan tubuhnya ke
samping. Dan seleret cahaya kemerahan membersit di samping kepalanya.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka itu segera melompat ke luar. Matanya yang tajam langsung
dapat melihat berkelebatnya sebuah bayangan dari atap sebuah rumah di depan
rumah yang gelap itu. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Bayu segera melompat dan mengejar. Matanya terus
memperhatikan bayangan yang berlompatan dari satu atap ke atap rumah lainnya. Gerakannya
begitu cepat dan ringan.
"Hup! Hih...!"
Bayu mengempos seluruh ilmu meringankan
tubuhnya. Dan lompatannya semakin cepat bagai kilat. Jarak mereka pun semakin
tambah dekat saja.
Tampak Pendekar Pulau Neraka itu sedikit
berkerenyit keningnya, karena bayangan itu menuju perbatasan Desa Gampil dengan
hutan yang dilewatinya tadi.
*** "Berhenti...!" seru Bayu lantang.
Bersamaan dengan itu, Pendekar Pulau Neraka itu segera melentingkan tubuhnya,
dan melompati kepala orang yang tengah dikejarnya itu. Dan dengar manis sekali kakinya segera
mendarat persis di depan orang itu. Bayu langsung berbalik, bertepatan dengar
berhentinya lari orang itu. Tampak seorang laki-laki tua yang berbaju kumal dan
penuh dehgan tambalan. Di tangannya tergenggam sebatang
tongkat berwarna hitam.
Bayu terus mengamati laki-laki yang kelihatan seperti seorang pengemis itu.
Rupanya orang tua berongkat hitam itu juga tengah mengamati pemuda di depannya.
Beberapa saat lamanya mereka saling berdiam diri, dengan mata sama-sama
memperhatikan dengan tajam. Seakan-akan mereka tengah mengukur tingkat
kepandaian masing-masing.
"Kakek tua, siapa kau" Kenapa membokongku?"
tanya Bayu tetap berwaspada.
"He he he...," laki-laki tua itu terkekeh. "Seharusnya akulah yang bertanya
padamu, Bocah!"
"Heh!" Bayu terperanjat.
"Apa maksudmu masuk ke rumah Ki Sudra" Mau mencuri?" tanya laki-laki bertongkat
hitam itu tanpa menghiraukan keterkejutan Bayu.
"Jangan menuduh serabarangan, Kakek Tua!"
dengus Bayu sengit.
"Sudah biasa, seorang pencuri akan berlaku kasar kalau kepergok."
"Gila! Siapa yang mau mencuri?"
"Kalau tidak mau mencuri, untuk apa kau masuk ke rumah yang sudah ditinggalkan
oleh penghuninya?"
"Justru aku bermaksud mencari pemilik rumah itu!"
"Untuk apa" Malam-malam begini, Ki Sudra tidak pernah membuka kedainya. Lagi
pula dia memang tidak ada."
"Tidak ada..."! Ke mana?"
"Huh! Pakai tanya segala!"
"Kakek tua, jangan menambah-nambah persoalan.
Kau telah membokongku dengan licik. Berarti kau lebih tahu keadaan rumah itu.
Apa sebenarnya yang kau inginkan" Apakah kau ini sebenarnya Ki Sudra"
"He he he...!" laki-laki tua itu kembali terkekeh.
"Huh! Memang susah ngomong sama orang
gendeng!" dengus Bayu kesal.
"Heh, Bocah! Jaga mulutmu!" bentak laki-laki itu.
"Kau sendiri yang harus hati-hati, Kakek Tua. Kau tahu, dengan siapa kini kau
berhadapan" Akulah orang yang bergelar Pendekar Pulau Neraka!" Bayu mencoba
menggertak. "Ha ha ha...!" kali ini tawa laki-laki tua itu terbahak-bahak. Telinganya
seperti tergelitik mendengar gertakan itu.
"Benar-benar sudah gila dia!" rungut Bayu dalam hati.
"Kau pikir aku akan gentar mendengar nama kosongmu, Bocah" Orang lain mungkin
bisa mati berdiri mendengarnya. Tapi Pengemis Tongkat Hitam tidak gentar!" kata
laki-laki tua itu menyebutkan nama julukannya.
"O...! Ternyata kaulah orang yang berjuluk Pengemis Tongkat Hitam...!" kini
Bayulah yang terkejut mendengarnya.
"Kau kaget, kan" He he he...!"
"Aku sedikit kaget bukan karena namamu yang sedikit tersohor, Pengemis Tongkat
Hitam. Aku hanya heran, jauh-jauh dari daerah Selatan ke sini, tentu ada
maksudnya," sahut Bayu.
"Dan kau sendiri juga berasal dari daerah Selatan.
untuk apa kau datang ke sini?" Pengemis Tongkat
Hitam balik bertanya.
"Aku pergi ke mana aku suka!" sahut Bayu jadi sengit lagi.
"Sama. Aku juga mau pergi ke mana aku suka,"
sahut Pengemis Tongkat Hitam tak kalah ketus.
Bayu menggeram jengkel. Laki-laki tua itu benar-benar membuatnya kesal. Pintar
memutarbalikkan kata-kata. Bayu memang sudah sering mendengar nama Pengemis
Tongkat Hitam. Tapi baru sekali ini dia bertemu muka dengan orangnya. Dan
pertemuannya itu malah membuatnya jengkel.
Pendekar Pulau Neraka itu tetap yakin, kalau kehadiran Pengemis Tongkat Hitam
Raja Iblis Berhati Hitam 1 Tokoh Besar Karya Khu Lung Lauw Pang Vs Hang Ie 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama