Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati Bagian 3
Apalagi dari pagi sampai petang saya selalu bekerja paksa."
Sejak terjadi perkelahian itu, Midun sudah agak senang bekerja sedikit. Sekalipun
berat, tetapi tidak mengerjakan pekerjaan yang hina lagi. Sebab sudah biasa dari sehari
kemari, tidak lagi terasa berat oleh Midun. Orang hukuman seorang pun tak ada pula yang
berani mengganggunya. Biar bagaimana jua pegawai penjara mengasut akan berkelahi
dengan Midun, mereka tidak mau. Apalagi Midun dengan Turigi sudah seperti anak dengan
bapak, makin menambah takut orang kepada Midun. Setiap petang Midun datang kepada
Turigi belajar ilmu obat-obatan dan lain-lain yang berguna kepadanya kelak. Demikianlah
pekerjaan Midun tiap-tiap hari.
Pada suatu hari, kira-kira pukul sebelas lewat, Midun dudukduduk dengan Turigi,
karena sudah hampir waktu makan. Tibatiba kelihatan oleh Midun seseorang dibelenggu
masuk penjara. Darah Midun tersiap pula, karena orang itu ialah Lenggang yang akan
dikirim ke negeri tempatnya menjalankan hukuman. Menanti kapal mesti Lenggang
bermalam di penjara. Ia terus dimasukkan tukang kunci ke dalam sebuah kamar. Midun
tidak kelihatan olehnya waktu masuk ke dalam. Ketika Lenggang dibawa tukang kunci,
Midun berkata kepada Turigi, "Bapak! Itulah orang yang hendak membinasakan saya di
pacuan kuda Bukittinggi dahulu. Rupanya baru sekarang ia dikirim ke negeri tempatnya
dibuang." Ketika Turigi melihat Lenggang itu, timbul pikirannya hendak bertanya, bagaimana
pikiran Midun terhadap kepada musuh yang hampir menewaskan nyawanya itu. Turigi
berkata, katanya, "Midun, orang itu barangkali ada seminggu di sini menanti kapal. Jika
engkau hendak membalaskan sakit hatimu, sekaranglah waktunya. Maukah engkau, boleh
bapak katakan kepada tukang kunci?"
"Kasihan, Bapak, jika begitu tentu dia jatuh ditimpa tangga, dalam basah kehujanan
pula," ujar Midun. "Sungguhpun ia seorang jahat, tetapi sekarang tentu ia menyesal atas
perbuatannya itu. Ia bukan musuh saya, melainkan karena makan upah. Sebab tamak akan
uang, mau ia membunuh orang. Sekarang ia tentu menyesal amat sangat, dibuang sekian
lama ke negeri lain, meninggalkan negeri tumpah darahnya. Jika saya hendak membalas
tentu boleh, tetapi tak ada angan-angan saya macam itu. Cukuplah sudah ia menerima
hukuman atas kesalahannya karena loba akan uang, tidak usah ditambah lagi."
Turigi terdiam diri mendengar perkataan Midun. Dalam hatinya ia amat memuji pikiran
Midun yang mulia itu. Sudah hampir sebulan Turigi bergaul dengan dia nyata kepadanya,
bahwa Midun, biarpun masih anak muda, amat baik dan lanjut pikirannya. Sedang Turigi
berpikir-pikir itu, datang tukang kunci kepada Midun, mengatakan ada opas dari Bukittinggi
hendak bertemu sebentar dengan dia. Midun maklum, tak dapat tiada Gempa Alam yang
hendak bertemu itu. Ia segera keluar mendapatkan Gempa Alam.
"Saya kira engkau telah mati, Midun, kiranya tidak kurang suatu apa," ujar Gempa
Alam. "Adakah selamat saja engkau di sini?"
"Berkat doa Mamak, insya Allah adalah baik saja, " ujar Midun. Karena Midun hanya
diizinkan sebentar saja boleh bertemu, dengan ringkas saja ia menceritakan
penanggungannya selama di dalam penjara Padang itu. Gempa Alam memuji dan
bersenang hati melihat Midun selamat. Kemudian diceritakan Gempa Alam sesalan
Lenggang telah menganiaya Midun. Setelah itu Gempa Alam bersalam memberi selamat
tinggal. Keesokan harinya pagi-pagi, sedang Midun menyapu di dalam penjara, dilihatnya
Lenggang sudah berkelahi dengan Ganjil. Midun berhenti menyapu, karena ingin hendak
melihat Lenggang berkelahi, seorang yang sudah masyhur jahat itu. Dalam perkelahian itu
Lenggang amat payah. Tiap-tiap Lenggang mendatangi Ganjil, selalu ia jatuh. Sungguhpun
demikian, Lenggang tak ubah seperti orang kebal. Setelah ia jatuh, bangun dan menyerang
pula. Demikianlah berturut-turut beberapa kali. Ketika itu nyata kepada Midun, bahwa Ganjil
seorang yang tangkas, dan patut terbilang berani di penjara itu. Melihat Lenggang jatuh dan
tidak bergerak lagi kena kaki Ganjil, Midun amat kasihan. Biarpun Lenggang musuhnya,
tetapi dapat ia menahin hati. Midun segera melompat, lalu berkata, "Ini dia yang lawanmu,
Ganjil! Mari kita ulang sekali lagi, sebab tempo hari belum sam-sama puas hati kita!"
Ganjil menganjur langkah surut, sambil memandang kepada tukang kunci yang
melihat perkelahian itu dari jauh. Setelah itu dengan tidak berkata sepatah jua, Ganjil
berjalan. Ia tidak berani lagi bertentangan dengan Midun, sebab sudah dirasainya bekas
kaki orang muda itu bulan yang lalu. Midun dengan segera mengambil tangan Lenggang,
lalu dibimbingnya ke kamar. Lenggang amat malu melihat muka Midun. Dengan
memberanikan diri, maka iapun meminta maaf akan segala kesalahannya kepada Midun.
Setelah ia meminta terima kasih atas pertolongan Midun kepadanya, maka
diceritakannyalah sejak bermula sampai kesudahan akan halnya diupah oleh Kacak hendak
membunuh Midun dahulu itu. Bahkan Midun diberinya pula nasihat, supaya jangan pulang
ke kampung, karena Kacak sangat benci kepadanya.
Mendengar cerita Lenggang itu, Midun baru insaf benarbenar, bahwa Kacak itu sudah
menjadi musuh besar kepadanya, hingga hendak menewaskan jiwa orang.
Setelah dua bulan lebih Midun menjalankan hukuman, ia disuruh bekerja di luar.
Dalam pekerjaan itu dimandori oleh Saman yang bengis itu juga. Tetapi mandor Saman
tidak berani memukuli Midun, sebab ia sudah melihat keberanian anak muda itu berkelahi.
Lagi ia takut kepada Turigi, yang sangat mengasihi Midun itu. Sungguhpun demikian, Midun
selalu dapat ancaman jua. Ia disuruh mandor Saman bekerja paksa. Bila Midun lalai sedikit
saja atau berhenti sebentar, ia sudah menghardik dan mengatakan, "Midun lalai, nanti aku
adukan kepada sipir, supaya bertambah hukumanmu." Dengan hal yang demikian Midun
tiap-tiap hari bekerja keras, berhujan berpanas dengan tidak berhenti-hentinya.
Kadang-kadang timbul pikiran Midun hendak melawan, tetapi ia takut hukumannya akan
bertambah. Sedang hari yang telah dua bulan lebih itu, seraso dua abad kepada Midun.
Rasakan ditariknya hari supaya sampai 4 bulan, supaya lekas ia bertemu dengan ibu bapak,
adik, dan kawan-kawannya.
Tidak sanggup Midun melihat beberapa hal yang sangat menyedihkan dalam penjara
jahanam itu. Ngeri dan tegak bulu romanya melihat penganiayaan yang dilakukan oleh
pegawai penjaga kepada orang-orang hukuman.
Sebulan Midun bekerja menyapu jalan di kota Padang. Mulamula ia menyapu di
Kampung Jawa. Kemudian dipindahkan pula ke Muara, pada jalan di tepi laut. Di sana
Midun agak senang sedikit, sebab jalan-jalan di situ tidak kotor benar, karena sunyi dan
jarang orang lalu lintas. Tetapi meskipun senang ia bekerja, hatinya bertambah sedih.
Memang laut lepas itu jauhlah pikiran Midun daii timbullah beberapa kenangkenangan
dalam hatinya. Apalagi pagi-pagi matahari yang baru terbit, tersembul dari muka air,
menyinari segala alam jagat ini, amat memilukan hatinya. Perahu pengail yang dilamunlamun ombak di tengah lautan dan gelombang turun naik beralun dan sabung-menyabung,
seakan-akan memanggil Midun akan membawanya ke seberang lautan.
Sekali peristiwa hari amat cerah, langit pun hijau laksana tabir wilis tampaknya. Panas
terik amat sangat, hingga orang tidak ada yang tahan tinggal di dalam rumah. Baik laki-laki,
baik pun perempuan banyak keluar dari rumah akan mendinginkan badan. Orang yang
tinggal dekat-dekat Muara itu banyak datang ke tepi laut, berlindung sambil bermain di
bawah pohon-pohon. Sungguh senang dan sejuk berlindung di bawah pohon kayu waktu
hari panas. Apalagi jika diembus angin timur yang datang dari laut dengan lunak lembut.
Segala orang hukuman sudah berhenti menyapu, karena waktu makan sudah datang.
Setelah matahari turun dan panas kurang teriknya, mereka yang berlindung itu kembali ke
rumahnya masingmasing. Midun dan orang hukuman yang lain mulai pula menyapu. Ketika
Midun menyapu di bawah sebatang pohon kenari, kelihatan olehnya sebuah kalung berlian
terletak di atas urat kayu yang tersembul ke atas. Barang itu segera diambilnya, lalu
dimasukkannya ke dalam saku bajunya. Ia berniat hendak mengembalikan barang itu
kepada yang punya. Tetapi timbul pula pikiran lain dalam hati Midun. Melihat berlian itu,
bolak-balik pikirannya akan mengembalikannya. Sedang Midun termenung mengenangkan
barang itu, lalu ia berkata dalam hatinya, "Kalau saya tidak salah, yang duduk di sini tadi,
ada seorang perempuan cantik. Melihat kepada tampan perempuan itu, rupanya ia anak
gadis. Benarlah dia dan saya kenal tempat tinggalnya ketika saya menyapu jalan di muka
gedung itu. Rumah gadis itu gedung yang amat indah. Orang Belandakah gadis itu" Tetapi
jika saya jual barang ini, tentu banyak juga saya beroleh uang dan berapakah gerangan
harganya" Seratus rupiah tentu dapat. Boleh aku pakai jadi pokok berniaga, bila hukumanku
habis. Tetapi, ah, rupanya pikiran saya sesat. Apa gunanya saya beragama, jika takkan
pandai menahan hati kepada pekerjaan yang salah. Hak milik orang harus saya kembalikan.
Lagi pula orang hukuman mempunyai barang macam ini, tentu mudah orang mempeduli
saya mencuri. Mudah-mudahan karena dia orang kaya, kalau saya menanam budi ada juga
baiknya kelak." Midun melihat kian kemari, sebagai ada yang dicarinya. Setelah diketahuinya mandor
Saman pergi ke Kampung Jawa, Midun segera berjalan ke gedung tempat gadis itu tinggal.
Sampai di pintu gapura, Midun disalak anjing. Tidak lama keluar seorang perempuan, amat
pucat dan kurus rupanya. Payah benar perempuan itu berjalan, agaknya dalam sakit atau
baru sembuh dari sakit. Perempuan itn dipimpin oleh seorang gadis yang amat cantik, yaitu
gadis yang dilihat Midun di bawah pohon kenari tadi. Ketika kedua perempuan itu melihat
orang hukuman, mereka itu terkejut ketakutan. Dengan gagap, perempuan pucat itu berkata,
"Masuklah, apa kabar?"
"Bukan orang Belanda kiranya orang ini!" pikir Midun dalam hatinya. Ia maklum bahwa
perempuan itu dalam ketakutan melihat dia seorang hukuman. Midun berkata sambil masuk
pekarangan rumah, katanya, "Kabar baik, orang kaya. Meskipun saya orang hukuman, tak
usah orang kaya khawatir, karena saya membawa kabar baik. Kalau saya tidak salah,
Unikah yang datang ke Muara tadi dan berlindung di bawah pohon kenari?"
"Benar," ujar gadis itu dengan heran bercampur takut, karena ia tidak mengerti apa
maksud pertanyaan orang hukuman itu kepadanya.
"Adakah Uni ketinggalan apa-apa di bawah pohon itu ketika hendak kembali?" ujar
Midun sambil memandang gadis itu dengan sopan.
Gadis itu meraba lehernya, lalu lari ke dalam seolah-olah ada yang dicarinya. Tidak
lama ia kembali, mukanya pucat, lalu berkata, "Ibu, kalung berlian hamba tidak ada lagi.
Sudah hamba cari di lemari dan di bawah bantal tidak bertemu. Tadi rasanya hamba pakai
bermain-main ke Muara. Waktu balik ke rumah, entah masih hamba pakai entah tidak,
hamba tidak ingat. Adakah Ibu melihatnya?"
"Tidak," ujar perempuan itu dengan cemas, ibu dari gadis itu agaknya. "Ketika kau
pulang tadi, tidak memakai kalung saya lihat. Aduhai, cukuplah rasanya saya makan hati
dan menahan sedih selama bercerai dengan bapakmu, tetapi sekarang ada-ada pula yang
terjadi. Tak dapat tiada, jika bapak tirimu tahu hal ini, alamat tidak baik jadinya. Sedangkan
perkara kecil saja boleh menjadikan sengketa di rumah ini, apalagi kehilangan kalung
berlian yang semahal itu harganya."
Ketika Midun melihat ibu dan anak itu dalam kecemasan, ia pun berkata sambil
mengeluarkan kalung itu dari saku bajunya, katanya, "Janganlah Orang kaya dan Uni
cemas, sebab saya ada mendapat kalung itu. Inikah kalung itu, Uni?"
Midun lalu memberikan kalung itu kepada gadis itu. Serta gadis lalu melihat,
diambilnya kalung itu dan segera dikenalinya; lalu ia pun berteriak, melompat-lompat karena
riang seraya berkata, "Betul, inilah kalung saya. Terima kasih, Udo. Terima kasih
banyak-banyak. Untung Udo yang mendapatkannya, jika orang lain barangkali tidak akan
dikembalikannya." Gadis itu memandang kepada ibunya, sebagai ada yang hendak dikatakannya. Ibu itu
rupanya mengerti apa maksud anaknya. Maka ia pun berkata kepada Midun, "Masuklah
dulu, orang muda!" "Tak usah lagi, Orang kaya," ujar Midun. "Saya orang hukuman, tidak boleh lama-lama
di sini. Saya mohon permisi hendak balik ke tempat saya bekerja."
Sambil mengeluarkan uang kertas lima rupiah, ibu gadis itu berkata, "Jika orang muda
tidak mau masuk, baiklah. Sebagai tanda kami bergirang hati mendapat barang itu kembali
dan tanda terima kasih saya, saya harap uang yang sedikit ini orang muda terimalah dengan
suka hati." Perempuan itu memberikan uang kepada Midun. Tetapi Midun tidak mau
menerimanya, lalu berkata, "Terima kasih banyak! Saya harap Orang kaya jangan gusar,
karena saya belum pernah menerima uang hadiah macam ini. Saya wajib mengembalikan
barang ini kepada yang punya, karena bukan hak saya. Dan saya tidak mengharapkan
sesuatu dari perbuatan saya itu. Yang saya lakukan ini adalah menurut agama dan
kemauan Tuhan, karena itu saya harap janganlah orang kaya memberi saya hadiah."
Biar bagaimana jua mereka itu keduanya menyuruh mengambi uang itu, Midun selalu
menolak. Setelah itu ia pun kembali ke tempatnya bekerja, lalu menyapu pula. Sedang
menyapu jalan, Midun terkenang akan perkataan perempuan itu kepada anaknya. Maka ia
berkata dalam hatinya, "Sungguh ajaib dunia ini. Apakah sebabnya perempuan itu makan
hati" Apakah yang disedihkannya" Ia tinggal dalam sebuah gedung yang indah di tepi jalan
besar. Kehendaknya boleh, pintanya berlaku, sebab uang banyak di peti. Berjongos dan
berkoki, beranak seorang permainan mata. Keinginan apakah lagi yang dikehendakinya
dengan hidup cara demikian" Sungguh heran, siapa yang akan menyangka orang yang
sesenang itu ada menanggung kesedihan" Benarlah ada juga seperti kata pepatah: ayam
bertelur dalam padi mati kelaparan, itik berenang dalam air mad kehausan."
Dalam berpikir-pikir hari sudah petang, lalu Midun kembali ke perkara. Malam itu ia
amat bersenang hati, karena meskipun dia orang hukuman, dapat juga berbuat pahala.
Tampaktampak dalam pikiran Midun wajah gadis itu bergirang hati setelah barangnya
dikembalikan. "Orang manakah gadis itu" Siapakah bapak tirinya" Sungguh cantik dan elok rupanya,
sukar didapat, mahal dicari."
Pertanyaan itu timbul sekonyong-konyong dalam pikiran Midun. Kemudian ia tertidur
dengan nyenyaknya sampai pagi.
Hukuman Midun sudah hampir habis. Menurut hematnya tingga115 hari lagi. Rasakan
dibelanya hari yang 15 hari itu, karena ingin hendak pulang menemui keluarganya. Makin
dekat hari ia akan dilepaskan, makin rajin Midun bekerja. Kemauan mandor Saman
diturutnya belaka, biar apa saja yang disuruhkannya. Midun amat sabar, dan harapan
jangan hendaknya terjadi apa-apa sampai ia bebas. Tengah hari ketika Midun hendak pergi
mengambil ransum, tibatiba datang seorang perempuan tua kepadanya, lalu berkata, "Ibu
Halimah menyuruh mengantarkan nasi untuk orang muda."
"Halimah?" ujar Midun dengan heran, "Siapa Halimah itu, Nek" Saya belum ada
berkenalan di sini. Barangkali nenek salah, bukan saya yang dimaksud ibu Halimah itu
agaknya." Orang tua itu bingung, karena tidak tentu akan jawabnya. Ia hanya disuruh orang
mengantarkan nasi kepada Midun, diantarkannya. Bagaimana seluk-beluk ibu Halimah
dengan Midun, sedikit pun ia tidak tahu. Sebab itu ia melihat ke sana kemari, seakan-akan
Ada yang dicari orang tua itu.
"Ibu saya menyuruh mengantarkan nasi untuk Udo," ujar Halimah, sambil keluar dari
balik pohon kenari, sebab dilihatnya nenek itu dalam keragu-raguan akan menjawab
pertanyaan Midun. "O, Uni gerangan yang bernama Halimah!" ujar Midun dengan hormat. "Maaf, Uni,
karena saya belum tahu nama Uni, saya katakan tadi kepada nenek ini, bahwa saya belum
berkenalan seorang jua di sini. Mengapakah ibu Uni menyuruh mengantarkan nasi benar
untuk saya, orang hukuman ini" Saya harap jangan Uni berkecil hati, karena saya tidak
sanggup menerima pembawaan ini. Terima kasih banyak, sudilah kiranya Uni membawa
nasi ini pulang kembali!"
"Benar,h sayalah yang bernama Halimah," ujar gadis yang kehilangan kalung kemarin
itu. "Ibu meminta benar dengan sangat, supaya Udo suka memakan nasi ini. Saya harap
janganlah Udo bertangguh seperti, kemarin pula!"
"Tidak, Uni, sekali-kali tidak," ujar Midun pula. "Saya mengucapkan terima kasih
banyak saja atas kemurahan Uni dan ibu itu. Takut saya akan terbiasa, sebab orang
hukuman hanya makan nasi dengan garam. Bawalah balik pulang!"
"Saya sudah payah memasak, tetapi Udo tidak mau pula memakan," ujar Halimah
sebagai orang beriba hati dan merayu. "Perkataan Udo mengenai hati saya. Tidak baik
begitu, Udo! Jika Udo tak hendak memakan nasi ini, buangkan sajalah ke laut itu! Ikan di
laut barangkali ada yang suka memakannya."
"Marilah kita pulang, Nenek!" ujar Halimah pula kepada orang tua itu. "Sebentar lagi
kita ambil rantang ini kemari."
Halimah dan nenek itu pulang. Midun tinggal seorang diri dengan rantang terletak di
hadapannya. Ia duduk sebagai orang teringa-inga. Perkataan Halimah sebagai bunyi buluh
perindu masuk ke telinganya. Merdu sungguh, entah di mana perasaan Midun ketika itu.
Akan menolak permintaan Halimah sekali lagi, ia rasa tak sanggup. Lagi pula Halimah
sudah bergulut saja pulang, sesudah habis berkata tadi.
"Ah, kalau saya .... Tidak boleh jadi, tak dapat tiada sebagai si pungguk merindukah
bulan. Dan mustahil makanan enggang akan tertelan oleh pipit," demikianlah pikir Midun
dalam hatinya. Ketika Midun hendak membuka rantang, tiba-tiba bahunya '' ditarik orang dari
belakang dengan kuat. Sambil menghardik, orang itu berkata, "Eh, binatang, engkau tidak
tahu, orang hukuman sekalikali tidak boleh bercakap dengan orang preman" Berani
sungguh, itu siapa" Ingat! Hukumanmu boleh bertambah lagi!"
Mendengar perkataan itu, Midun rasa disambar petir, sebab terkejut.
Kerongkongannya tersumbat, napasnya turun naik menahan hati, ketika dilihatnya mandor
Saman yang menarik dia. Hampir tidak dapat Midun menahan marahnya mendengar cerita
yang amat keji itu. Lama baru Midun dapat menjawab perkataan mandor Saman itu. Maka ia
pun berkata, "Jangan terlampau penaik darah, Mamak! Marah gampang, semua orang
dapat berbuat demikian. Tanyakan dulu sebab-sebabnya, kemudian kalau nyata saya
bersalah, biar sepuluh tahun lagi hukuman saya bertambah, apa boleh buat. Bukan saya
yang membawa orang itu bercakap, melainkan dia yang datang kepada saya."
Mandor Saman undur ke belakang mendengar perkataan Midun yang lunak, tetapi
pedas itu. Biasanya bila ia melihat orang hukuman berbuat salah tidak ditanyainya lagi,
melainkan pukulan saja yang tiba di punggung. Tetapi kepada Midun, mandor Saman agak
gentar, karena sudah dilihatnya ketangkasan anak muda itu. Maka katanya, "Ya, siapa, ini
apa" Dan jalan apa kepadamu orang itu?" Midun menerangkan dengan pendek, apa yang
telah terjadi maka ia mengenali anak gadis itu, lalu berkata sambil membuka rantang,
katanya, "Maafkanlah saya, Mamak! Bukankah selera Mamak juga yang akan puas. Bagi
saya lebih-lebihnya saja jadilah. Kita tidak usah berjerih payah lagi mengambil ransum ke
penjara." Melihat goreng ayam, semur, sambal petai, dan lain-lain itu, mandor Saman
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lekas-lekas menelan air liurnya yang hendak berleleran. Sudah 10 tahun dia menjalani
hukuman, dan karena dipercayai sipir sampai diangkat menjadi mandor, lamun makanannya
sama juga dengan orang hukuman yang lain. Tetapi melihat nasi dengan lauk-pauknya itu,
lekum mandor Saman turun-naik, hampir makanan itu dirampasnya. Maka ia berkata
dengan pendek, "Baiklah, asal setiap hari begini. Tetapi saya menyesal kalung itu engkau
kembalikan. Bodoh benar, jika dijual betapa baiknya...."
Bukan main mandor Saman mencaruk nasi dengan lauknya. Hampir tidak dikunyah,
terus masuk perutnya. Setelah kenyang ia pergi. Midun mengangguk-anggukkan kepala
saja melihat mandor Saman yang tamak itu. Bagiannya tinggal sedikit lagi, tetapi tidak pula
dimakannya. Midun merasa malu jika isi rantang itu habis sama sekali. Mengetahui nama
anak gadis itu saja lebih mengenyangkan daripada makan nasi pada perasaan Midun. Maka
rantang itu disusunnya baik-baik. Ketika orang hukuman akan pergi mengambil ransum, ia
meminta tolong saja kepada temannya menyuruh bungkus ransum bagiannya. Tengah hari
Halimah kembali pula dengan nenek akan mengambil rantang. Masa itu Midun masih
duduk-duduk, karena waktu kerja belum tiba. Baru saja Halimah dekat, Midun berkata,
"Terima kasih, Uni! Bersusah payah benar rupanya Uni memasak, tidak ubah sebagai
makanan engku-engku. Segala isi rantang ini sudah hampir habis oleh saya. Maklumlah,
Uni, tiaptiap orang suka kepada yang enak, apalagi yang belum dirasainya. Tolonglah
sampaikan salam saya kepada ibu Uni, dan terima kasih saya atas kemurahan beliau
kepada anak dagang yang daif ini."
"Terima kasih kembali, " ujar Halimah. "Janganlah membalikkan hujan ke langit itu,
Udo! Sementara saya orang dagang, jangan terlampau benar menyindir. Udo nyata kepada
saya orang sini, tetapi saya orang jauh-jauh di seberang laut."
"Sebenarnya, Uni, sekali-kali saya tidak menyindir!" ujar
Midun dengan heran. "Negeri saya di Bukittinggi, saya dihukum kemari. Uni siapa dan
orang mana?" "Bukittinggi itu bukankah sudah Padang juga namanya," ujar Halimah. "Tetapi kami
orang dari tanah Jawa, dagang larat yang sudah 10 tahun dibawa untungnya kemari. Jika
tidak beralangan kepada Udo, sudilah Udo menerangkan apa sebabnya Udo dihukum ini"
Ibu pun heran, karena Udo berlainan dengan orang hukuman yang biasa beliau lihat."
"Benar, sungguhpun Bukittinggi Padang juga, tetapi bukankah saya sudah
meninggalkan kaum keluarga."
Midun menerangkan dengan pendek halnya sampai dihukum ke Padang itu. Ketika
Midun hendak bertanyakan asal dan siapa bapak tiri Halimah, mandor Saman berkata pula,
"Midun, ayoh kerja, waktu sudah habis."
Hingga itu percakapan mereka terhenti. Halimah dan nenek itu pulang ke rumahnya.
Halimah tahu sudah nama anak muda itu, ketika mandor Saman memanggil namanya.
Demikianlah hal Midun, setiap hari diantari nasi oleh Halimah ke Muara. Halimah hanya tiga
kali datang, sebab sakit ibunya semakin keras. Ia perlu menjaga ibunya, sebab itu nenek itu
saja yang pergi ke Muara mengantarkan nasi. Tetapi yang memakan nasi itu boleh
dikatakan mandor Saman saja. Yang dimakan Midun hanya sisa-sisa mandor Saman.
Kadang-kadang timbul pikiran Midun hendak melawan, karena tingkah laku mandor Saman
yang tidak senonoh itu. Tetapi mengingat hukumannya yang hanya tinggal beberapa hari
lagi, terpaksa ia sabar dan menurut kemauan mandor itu saja.
Setelah sepekan lamanya, Midun tidak diantari Halimah nasi lagi. Nenek itu pun tidak
pula datang-datang ke Muara. Hal itu pada pikiran Midun tidak menjadikan apa-apa, karena
tentu tidak boleh jadi ia akan terus-menerus saja diantari orang nasi. Sungguhpun demikian
hatinya tidak senang karena kabar tidak beripa pun tidak. Berdebar hatinya ketika terkenang
olehnya bahwa ibu Halimah dalam sakit-sakit. Oleh sebab itu pada suatu pagi Midun lalu
pada jalan di muka rumah Halimah. la ingin hendak mengetahui keadaan mereka itu.
Setelah sampai di muka rumah, dilihatnya pintu tertutup, seorang pun tidak ada kelihatan.
Ketika seorang babu keluar dari gedung sebelah rumah itu, Midun bertanya, "Uni, bolehkah
saya bertanya sedikit" Gedung ini mengapa bertutup saja" Ke manakah orang di gedung
ini" Pindah rumahkah dan atau tidak di sini lagi?"
"Yang tinggal di gedung ini Nyai Asmanah, baru tiga hari ini meninggal dunia," ujar
babu itu. "Anaknya Halimah kemarin ada juga saya lihat, tetapi pagi ini, ketika saya hendak
menumpang mandi, tidak ada lagi."
Babu itu masuk, sebab dipanggil induk semangnya ke dalam. Midun sebagai terpaku
di muka jalan itu. Ia amat kasihan mengenangkan gadis itu ditinggalkan ibunya di negeri
orang pula. Ketika babu menyebutkan Nyai Asmanah, Midun maklum bahwa bapak tiri
Halimah itu orang putih, tidak sebangsa dengan dia.
"Ah, apakah jadinya gadis itu" Kemanakah dia" Kasihan!" Demikianlah timbul
pertanyaan dalam pikiran Midun. Dengan tidak disangka-sangka ia telah sampai ke
tempatnya bekerja setiap hari. Dalam pekerjaan, pikiran Midun kepada anak gadis yang
baru kematian ibu saja. Biar bagaimana jua pun ia menghilangkan, tetapi seakan-akan
tampak-tampak oleh Midun penanggungan Halimah.
Tengah hari ia duduk di bawah pohon kayu yang rindang sambil merenung ke laut
lepas. Sekonyong-konyong bahunya diraba orang dari belakang. Midun melihat kiranya
nenek itu suruh-suruhan Halimah. Ketika ia hendak bertanya, nenek itu meletakkan jari
telunjuk ke bibirnya, lalu memberikan sepucuk surat. Kemudian ia berjalan dengan
tergopoh-gopoh sebagai ketakutan.
Melihat tingkah nenek yang ganjil itu, Midun amat heran dan bingung. Ia tidak
mengerti sedikit jua akan perbuatan nenek yang demikian itu. Surat itu segera dibukanya,
tetapi Midun tidak pandai membaca, karena bertulis dengan huruf Belanda. Hatinya ingin
benar mengetahui isi surat itu, tetapi apa daya badan tidak bersekolah. Amat sakit hati
Midun, karena ia terpaksa menyimpan surat itu, menanti orang yang akan menolong
membacakannya. Ketika pulang ke penjara, ia berjalan memencil di belakang. Tiba-tiba
kelihatan olehnya seorang anak sedang membaca buku sepanjang jalan. Midun lalu
menghampirinya, serta ditegurnya, "Buyung, bolehkah saya meminta tolong sedikit" Tadi
saya ada menerima sepucuk surat. Sukakah Buyung menolong membacakannya sebentar,
supaya kuketahui isinya" Saya tidak pandai membaca tulisan macam ini."
Midun mengunjukkan surat, lalu diambil anak itu. Demikianlah bunyinya:
Udo Midun! Tolong, Udo, saya di dalam bahaya. Saya harap dengan sungguh, Udo
datang mengambil saya ke rumah No. 12 di Pondok. Jika Udo datang ke sana,
hendaklah antara pukul 11 dan 12 malam. Nenek akan menantikan Udo di
rumah itu. Kasihanilah saya; kalau Udo tidak datang saya binasa.
Wassalam saya, H. Bab 10: Lepas dari Hukuman SETELAH dibacanya, surat itu dikembalikan anak itu. Maka Midun meminta terima
kasih kepada anak itu, lalu berjalan pula. Ia maklum, bahwa surat itu dari Halimah. Hati
Midun bertambah kabut, pikirannya makin kusut mendengar bunyi surat itu. Amat kasihan ia
mengenangkan Halimah. Sampai di penjara, pikirannya sudah tetap akan menolong gadis
itu sedapat-dapatnya. Tetapi bagaimana akan menolong, karena ia masih dalam hukuman"
Sampai di kamarnya, Midun menghitung-hitung hari, bila ia akan dilepaskan. Dalam pada itu
datang seorang tukang kunci memanggil, lalu ia dibawanya kepada sipir. Hati Midun mulai
tidak senang pula, karena sudah 4 bulan ia dihukum, belum pernah dipanggil sipir. Sampai
di kantor, sipir berkata, "Midun, tadi saya dapat perintah, bahwa engkau sudah bebas dari
hukuman. Besok pagi engkau dapat surat dari saya, supaya perai ongkos kereta api untuk
pulang ke kampungmu."
Mendengar perkataan itu hampir tidak dapat Midun menjawab, karena sangat girang
hatinya mendengar kabar itu. Ia bergirang hati bukannya karena hendak pulang ke
kampung, melainkan berhubung dengan surat Halimah. Tetapi kegirangan hatinya itu tidak
lama, karena sipir menyuruh dia pulang ke kampung. Cemas hatinya memikirkan hal itu,
takut kalau-kalau dipaksa sipir mesti pulang juga. Hati Midun memang agak malas pulang,
mengingat permusuhannya dengan Kacak.
Tentu saja kalau ia pulang Kacak tidak bersenang hati, dan mencari ikhtiar supaya ia
binasa juga. Midun berkata dengan lemah lembut sambil memohon permintaan, katanya,
"Jika ada kemurahan Engku kepada saya, harap Engku mengizinkan saya tinggal di sini.
Saya tidak hendak pulang, biarlah saya mencari penghidupan di kota ini saja. Dan kalau tak
ada keberatan kepada Engku, saya bermaksud hendak keluar sekarang."
"Tidak boleh, karena orang hukuman yang sudah bebas mesti pulang kembali ke
kampungnya." "Atas rahim dan belas kasihan Engku kepada saya, sudi apalah kiranya Engku
mengabulkan permintaan saya itu. Saya takut pulang, karena saya dimusuhi orang
berpangkat di negeri saya. Yang menghukum saya kemari pun, sebab orang itulah.
Oleh sebab itu, saya berniat hendak tinggal di Padang ini saja mencari pekerjaan."
Karena Midun meminta dengan sungguh-sungguh dan dengan suara lemah lembut,
maka timbul juga kasihan sipir kepadanya. Ia pun berkata, katanya, "Sebetulnya hal ini tidak
boleh. Tetapi sebab engkau sangat meminta, biarlah saya kabulkan. Jika engkau bebas
sekarang, di mana engkau akan tinggal" Bukankah engkau tidak berkenalan di sini dan hari
pun sudah petang pula."
"Di rumah Pak Karto, tempat Engku menyuruh mengantarkan cucian kepada saya tiap
pekan. Orang itu suka menerima saya tinggal di rumahnya. Dan ia pun mau pula menerima
saya bekerja dengan dia."
"Baiklah, tunggu sebentar, saya buat sebuah surat kepada Penghulu Kampung
Ganting. Besok pagi-pagi hendaklah engkau berikan surat saya kepadanya, supaya engkau
jangan beralangan tinggal di sini."
Midun bebas, lalu ia pergi menukar pakaian. Uangnya yang f15,- dahulu diberikan
tukang kunci kembali kepadanya. Sudah itu ia pergi kepada sipir mengambil surat yang
dijanjikan kepadanya itu. Kemudian ia pergi kepada Turigi akan meminta maaf dan memberi
selamat tinggal. Setelah Midun dinasihati Turigi, mereka kedua bertangis-tangisan, tak
ubahnya sebagai seorang bapak dengan anaknya yang bercerai takkan bertemu lagi.
Setelah itu Midun bersalam dengan kawannya sama orang hukuman, lalu terus berjalan ke
luar penjara. Midun terlepas dari neraka dunia. Ia berjalan ke Ganting akan menemui tukang
menatu Pak Karto. Memang Midun sudah berjanji dengan Pak Karto, manakala lepas dari
hukuman akan bekerja menjadi tukang cucinya.
Sepanjang jalan pikiran Midun kepada Halimah saja, maka ia pun berkata dalam
hatinya, "Bahaya apakah yang menimpa Halimah" Jika saya tidak tolong, kasihan gadis itu.
Akan tetapi bila saya tolong, boleh jadi hidup saya celaka pula. Saya belum tahu seluk beluk
perkaranya dan dalam bahaya apa dia sekarang. Lagi pula dia seorang gadis, saya bujang,
bukankah ini pekerjaan sia-sia saja. Ya, serba salah. Tetapi lebih baik saya bertanya kepada
Pak Karto, bagaimana pikirannya tentang Halimah itu. Perlukah ditolong atau tidak?"
Pikiran Midun bolak-balik saja, hingga sampai ke muka rumah Pak Karto. Didapatinya
Pak Karto sedang makan, lalu
Midun dipersilakan orang tua itu makan bersama-sama. Sudah makan hari baru pukul
8 malam. Mereka itu bercakap-cakap menceritakan ini dan itu. Setelah beberapa lamanya,
Midun lalu menceritakan hal Halimah dan surat yang diterimanya itu. Mendengar cerita
Midun, apalagi gadis itu berasal dari tanah Jawa, sebangsa dengan dia, Pak Karto sangat
belas kasihan. Pak Karto sepakat menyuruh Midun membela Halimah, sebab gadis itu
sebatang kara saja di kota Padang. la tidak lupa menasihati Midun, supaya pekerjaan itu
dilakukan dengan diam-diam, jangan hendaknya orang tahu. Bahaya yang boleh menimpa
Midun diingatkannya pula oleh Pak Karto. Midun disuruhnya hati-hati melakukan pekerjaan
itu, sebab Halimah seorang gadis. Kira-kira pukul 10 malam, Midun berangkat dari rumah
Pak Karto akan menepati apa yang dikatakan dalam surat itu.
Karena hari baru pukul 10, pergilah ia berjalan-jalan ke kampung Jawa akan melihat
keadaan kota itu pada malam hari. Setelah lewat pukul 11, Midun berjalan menuju arah ke
Pondok. Hari gelap amat sangat, jalan sunyi pula. Karena pakaian Midun disuruh ganti oleh
Pak Karto dengan pakaian yang segala hitam, maka ia tiada lekas bertemu oleh nenek
suruhan Halimah yang telah menantikannya. Midun sangat berhati-hati dan selalu ingat
melalui jalan itu. Tiba-tiba kedengaran olehnya orang memanggil namanya. Maka ia pun
berhenti, lalu berjalan ke arah suara itu.
"Engkau ini Midun?" ujar orang itu dengan suara gemetar, sebagai orang ketakutan.
"Saya ini nenek, turutkanlah saya dari belakang."
Midun sebagai jawi ditarik talinya menurutkan nenek itu dari belakang. Entah ke mana
ia dibawa nenek itu, tidaklah diketahuinya, karena hari amat gelap. Hanya yang diketahuinya, ia dua kali menyuruki pagar dan menempuh jalan yang bersemak-semak.
Sekonyong-konyong tertumbuk pada sebuah dinding rumah.
"Neeeek?" bunyi suara perlahan-lahan dari jendela rumah. "Ada Udo Midun"
Sambutlah barang-barang ini!"
"Ada, ini dia bersama nenek," ujar nenek itu perlahanlahan. "Midun, tolonglah sambut
Halimah dari jendela."
Midun lalu mengambil pinggang Halimah, dipangkunya ke bawah. Sampai di bawah,
Halimah berkata, "Ingat-ingat, Udo! Boleh jadi Udo dipukul orang. Bawalah saya ke mana
Udo sukai, tapi jangan dapat hendaknya kita dicari orang."
Midun yang dalam kebingung-bingungan dan tidak mengerti suatu apa perkara itu, lalu
menjawab, "Ke mana Uni akan saya bawa, karena saya belum berkenalan di sini. Lain
daripada ke Ganting, tak ada lagi rumah lain. Maukah Uni ke sana?"
"Baiklah, asal saya terhindar dari rumah ini, " ujar Halimah dengan berbisik.
Mereka itu berjalan perlahan-lahan, takut akan diketahui orang. Tangan Halimah
dipegang oleh Midun, lalu dipimpinnya ke jalan besar. Ketika hampir sampai di jalan besar,
Midun menyuruh Halimah dan nenek berundung-rundung dengan kain, supaya mukanya
jangan dilihat orang. Dan Midun membenamkan kopiahnya dalam-dalam menutupi
telinganya, supaya jangan nyata mukanya kelihatan. Sampai di jalan, kebetulan lalu sebuah
bendi. Bendi itu ditahan oleh Midun, mereka ketiga lalu naik ke atas bendi itu.
"Ke Alanglawas," ujar Midun kepada kusir bendi itu.
Di atas bendi seorang pun tak ada yang berani berkata sepatah kata jua pun. Mereka
itu di dalam ketakutan, takut akan dilihat orang lalu lintas di jalan. Ketika bendi itu sampai di
Alanglawas, Midun berkata, katanya, "Berhenti di sini, Mamak!"
Mereka itu pun turun dari atas bendi. Belum jauh berjalan, Halimah berkata, "Mengapa
kita di sini turun" Tadi Udo mengatakan ke Ganting."
"Ya, dari sini kita berjalan kaki saja. Bukankah tidak berapa jauh dari sini ke Ganting"
Maka kita turun di sini, supaya jangan diketahui kusir bendi tadi ke mana tujuan kita."
Setelah sampai di muka rumah Pak Karto, Midun berseru perlahan-lahan menyuruh
membukakan pintu. Baru sekali saja ia berseru, pintu sudah terbuka. Memang Pak Karto
tidak tidur, karena menanti-nanti kedatangan Midun. Setelah naik ke rumah, barulah nyata
kepada Midun wajah Halimah yang sangat pucat dan kurus itu. Midun tidak berani bertanya,
karena ia tahu bahwa Halimah masih di dalam ketakutan.
"Udo Midun!" ujar Halimah, setelah kurang takutnya. "Saya mengucapkan terima kasih
atas pertolongan Udo kepada saya, anak dagang yang telah dirundung malang ini. Saya
berharap, jika Udo ada belas kasihan kepada saya, tolonglah saya antarkan ke Betawi,
kepada bapak saya di Bogor. Jika di sini juga, tak dapat tiada hidup saya celaka."
"Janganlah Uni khawatir, saya siap akan menolong Uni bilamana perlu," ujar Midun.
"Permintaan Uni itu insya Allah akan saya kabulkan. Sungguhpun demikian, cobalah
ceritakan hal Uni, supaya dapat kami ketahui. Lagi pula jika Uni ceritakan, dapat kami
memikirkan jalan mana yang harus kami turut untuk menjaga keselamatan diri Uni.
Sebabnya maka saya ingin tahu, pekerjaan saya ini sangat sia-sia, karena Uni seorang anak
gadis." "Sebab hati saya masih di dalam gusar, tak dapat saya menceritakan hal saya ini
dengan panjang lebar," ujar Halimah. "Oleh sebab itu Udo dan Bapak tanyakan sajalah
kepada nenek ini. Nenek dapat menerangkan hal saya, sejak dari bermula sampai kepada
kesudahannya." Pak Karto pun bertanyalah kepada nenek itu tentang hal gadis itu. Maka nenek itu
menerangkan dengan pendek sekadar yang perlu saja, yaitu hal Halimah akan diperkosa
oleh bapak tiri dan orang Tionghoa yang mula-mula pura-pura hendak menolong gadis itu.
Setelah sudah nenek itu bercerita, Pak Karto berkata, "Midun, hal itu memang sulit.
Jika kurang ingat, kita boleh pula terbawa-bawa dalam perkara ini. Bahkan boleh jadi diri kita
celaka karenanya. Oleh sebab itu hendaklah kita bekerja dengan diam-diam benar, seorang
pun jangan orang tahu. Biarlah sekarang juga nenek ini saya antarkan ke rumahnya."
"Jangan, Bapak," ujar Midun, "kalau nenek bertemu di jalan dengan orang yang
dikenalinya, tentu kurang baik jadinya. Tak dapat tiada orang akan heran melihat Bapak
berjalan bersamasama dengan nenek. Apalagi rumah Bapak diketahui orang di Padang ini.
Biarlah saya saja mengantarkan nenek ke rumahnya."
"Benar juga kata Midun itu!" ujar Pak Karto pula. "Pergilah engkau antarkan nenek
sekarang juga. Lekas balik!"
Sesudah Halimah bermaaf-maafan dengan nenek itu, maka Midun pergilah
mengantarkan nenek itu ke rumahnya. Di tengah jalan, Midun berkata kepada nenek itu,
bahwa hal itu jangan sekali-kali dibukakan kepada seorang juga. Setelah sampai di muka
rumah nenek itu, Midun memberikan uang f5,-kepadanya. Nenek itu pun berjanji, biar
nyawanya akan melayang, tidaklah ia akan membukakan hal itu.
Tidak lama antaranya, Midun sudah kembali dari mengantarkan nenek itu. Halimah
disuruh mereka itu bersembunyi dalam bilik Pak Karto. Baik siang atau pun malam, Halimah
mesti tinggal di dalam bilik saja untuk sementara.
Semalam-malaman Midun dan Pak Karto mufakat tentang diri Halimah. Sudah padat
hatinya hendak mengantarkan Halimah ke Bogor. Karena hari sudah jauh larut malam,
mereka pergi tidur. Halimah tidur dengan istri Pak Karto. Midun tak dapat tidur, sebab pikirannya berkacau
saja. Kemudian Midun berkata dalam hatinya, "Jika saya pulang, tentu hidup saya makin
berbahaya lagi. Sekarang telah ada jalan bagi saya akan menghindarkan kampung. Bahkan
saya pergi ini, akan menolong seorang anak gadis. Apa boleh buat, biarlah, besok saya tulis
surat kepada ayah di kampung."
Pagi-pagi benar Midun sudah bangun, lalu pergi mandi. Sudah mandi ia menulis surat
ke kampung, ditulisnya dengan huruf Arab, demikian bunyinya,
Padang, 12 Januari 19.. Ayah bundaku yang mulia, ampunilah kiranya anakanda! Sekarang
anakanda sudah bebas dari hukuman dengan selamat. Menurut hemat
anakanda, jika anakanda pulang, tak dapat tiada akan binasa juga oleh musuh
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anakanda yang bekerja dengan diam-diam itu. Sebab itu agar terhindar daripada
malapetaka itu, Ayah bunda izinkan apakah kiranya anakanda membawa untung
nasib anakanda barang ke mana. Nanti manakala hati musuh anakanda itu
sudah lega dan dendamnya sudah agak dingin, tentu dengan segera jua
anakanda pulang. Bukankah setinggi-tinggi terbang bangau, surutnya ke
kubangan juga, Ayah! Ayah bunda yang tercinta! Nyawa di dalam tangan Allah, tidak tentu besok
atau lusa diambil oleh yang punya. Karena itu anakanda berharap dengan
sepenuh-penuh pengharapan, sudilah kiranya Ayah bunda merelakan jerih lelah
Ayah bunda kepada anakanda sejak anakanda dilahirkan. Baikpun segala
kesalahan anakanda, yang bakal memberati anakanda di akhirat nanti, Ayah
bunda maafkan pula hendaknya.
Sekianlah isi surat ini, dan dengan surat ini pula anakanda mengucapkan
selamat tinggal kepada Ayah bunda, karena anakanda akan berlayar ke tanah
Jawa. Kepada Bapak Haji Abbas dan Bapak Pendekar Sutan tolong Ayahanda
sampaikan sembah sujud anakanda. Dan wassalam anakanda kepada Maun,
sahabat anakanda yang tercinta itu. Jangan hendaknya Ayah
bunda perubahkan Maun dengan anakanda, karena dialah yang akan
menggantikan anakanda selama anakanda jauh dari negeri tumpah darah
anakanda. Peluk cium anakanda kepada adik-adik!
Sembah sujud anakanda, MIDUN Setelah sudah surat itu dibuatnya, lalu ia minta tolong kepada Halimah membuatkan
alamatnya. Sudah memasukkan surat, pergilah Midun mengantarkan surat yang diberikan
sipir itu untuk Penghulu Kampung Ganting. Setelah Penghulu Kampung itu membaca surat
sipir, diceritakannyalah Midun sebagai anak buahnya di kampung itu. Midun bekerjalah
sebagai tukang cuci Pak Karto.
Pada malam hari, Midun berkata, katanya, "Pak Karto, bagaimana akal saya akan
mengantarkan Halimah ke negerinya" Jika ditahan lama-lama di sini, tentu diketahui orang
juga." "Benar katamu itu, sehari ini sudah saya pikirkan benarbenar hal ini;" ujar Pak Karto.
"Midun dan Halimah mesti ada surat pas. Kalau tidak, tentu ia tidak dapat berlayar ke Jawa."
Mendengar perkataan Pak Karto demikian itu, Midun terperanjat amat sangat. Dalam
pikirannya tak ada terbayangbayang perkara surat pas itu. Maka ia pun berkata, "Jika tidak
memakai surat pas, tidakkah boleh berlayar, Bapak?"
"Tidak boleh! Jika berlayar juga, ditangkap polisi." Midun termenung, pikirannya
berkacau memikirkan hal itu. Tentu saja tidak dapat meminta surat pas untuk Halimah, jika
dimintakan surat pasnya, tak dapat tiada halnya diketahui orang. Padahal ia sengaja
menyembunyikan gadis itu. Darah Midun tidak senang, takut dan khawatir silih berganti
dalam hatinya. Dalam pada ia termenung-menung itu, Pak Karto berkata pula, katanya,
"Jangan engkau susahkan hal itu, Midun. Sayalah yang akan berikhtiar mencarikan surat
pas untuk engkau dan Halimah. Engkau tidak sebangsa dengannya, mau menentang
bahaya untuk menolong Halimah. Apalagi saya sebangsa dengan gadis itu. Tentu saja
sedapat-dapatnya akan saya tolong pula mengusahakan surat pas itu. Sabarlah engkau
dalam tiga empat hari ini. Barangkali saya dapat mengusahakannya. Banyak orang yang
akan menolong saya di sini, sebab saya banyak berkenalan. Penghulu Kampung di sini pun
berkenalan baik dengan saya. Sebab itu biarlah saya pikirkan dahulu, bagaimana jalan yang
baik mencari surat pas. Seboleh-bolehnya nama Halimah jangan tersebut-sebut."
"Terima kasih, Bapak!" jawab Midun. "Bagi saya, gelap perkara surat pas itu. Sebab
itu saya harap Bapaklah yang akan menolong perkara itu."
Sepekan kemudian daripada itu, pada malam hari Pak Karto pulang dari berjalan.
Sampai di rumah, ia pun berkata kepada Midun, katanya, "Ini surat pas dua buah sudah
dapat saya ikhtiarkan. Besok pergilah Midun tanyakan ke kantor K.P.M., bila kapal
berangkat ke Betawi."
Midun dan Halimah sangat berbesar hati mendapat surat pas itu. Mereka kedua minta
terima kasih akan pertolongan Pak Karto. Midun lalu bertanya, katanya, "Bagaimana Bapak
dapat memperoleh surat pas ini?"
"Hal itu tak usah Midun tanyakan, karena kedua surat pas ini dengan jalan rahasia
makanya saya peroleh. Asal kamu kedua terlepas, sudahlah."
Midun tidak berani bertanya lagi. Dalam hatinya ia meminta syukur kepada Tuhan,
karena kedua surat pas itu dengan mudah dapat diikhtiarkan oleh Pak Karto.
Keesokan harinya Midun pergi menanyakan bila kapal berangkat ke Betawi. Ketika ia
akan pergi, Halimah memberikan sehelai uang kertas f 50,-, lalu berkata, "Bawalah uang ini,
Udo! Siapa tahu barangkali ada kapal yang akan berangkat ke Betawi. Jika ada, belilah tiket
kapal sekali." Sambil menerima uang itu, Midun berkata, "Maklumlah Uni, saya baru lepas dari
hukuman. Sebab itu uang ini saya terima saja." Halimah tersenyum sambil memalingkan
mukanya. Midunpun pergi menanyakan kapal. Setelah ditanyakannya, kebetulan besoknya
ada kapal yang akan berangkat ke Betawi. Dengan segera Midun membeIi dua buah tiket
kapal, lalu pulang ke Ganting.
Pada keesokan harinya Midun dan Halimah bermaaf-maafan dengan Pak Karto laki
istri. Setelah itu mereka berangkat ke Teluk Bayur.
Dengan tiada kurang suatu apa, mereka itu selamat naik kapal. Tidak lama menanti,
kapal pun bertolak meninggalkan pelabuhan Teluk Bayur. Penumpang di kapal itu
menyangka Midun dan Halimah dua laki istri. Sebab itu seorang pun tak ada yang
menghiraukannya. Bab 11: Meninggalkan Tanah Air DI ATAS kapal, berlainan pula keadaan Midun dengan waktu ia berangkat dari
Bukittinggi ke Padang dahulu. Ia berdiri di geladak kipal, memandang air yang berbuih di
buritan kapal. Sekali-kali Midun melayangkan pemandangannya ke bukit barisan Pulau
Sumatra, yang makin lama makin kecil juga kelihatannya. Perasaannya jauh, jauh entah di
mana ketika itu. Amat sedih hati Midun meninggalkan kampung halamannya yang sangat
dicintainya itu. Tampak terbayang dalam pikirannya ibu bapak, adik, dan kawan-kawannya
semua di kampung. Tampaktampak oleh Midun, bagaimana kesedihan ibu dan adiknya,
setelah menerima suratnya itu. Rasa-rasa terdengar olehnya, tangis ibunya menerima kabar
itu. Bertambah hancur lagi hati Midun, mengenangkan nasibnya yang celaka itu. Pada
pikirannya, nasibnya sangat buruk, berlainan dengan nasib kebanyakan manusia ini.
Dengan tidak diketahuinya air mata-nya jatuh berderai, karena makin dipikirkannya, semakin
remuk hatinya. Dalam Midun termenung-menung itu, Halimah datang menghampiri, katanya,
"Menyesalkah Udo menolong saya yang celaka ini, Udo" Apakah yang Udo renungkan"
Sedihkah hati Udo meninggalkan kampung, bercerai dengan ibu bapak, adik, dan kaum
keluarga Udo" Ah, kasihan, karena Halimah, Udo jadi bersedih hati rupanya."
"Tidak, Uni," ujar Midun sambil berpaling akan menghilangkan dukanya. "Sungguhpun
tidak karena Uni, memang saya tidak akan pulang juga ke kampung. Saya sudah berjanji
dengan diri saya, jikalau saya lepas dari hukuman, akan tinggal mencari penghidupan di
Padang. Kalau tak dapat di Padang, di mana pun jua, asal dapat mencari rezeki untuk
sesuap pagi dan sesuap petang.
Sekarang ada jalan kepada saya untuk meninggalkan kampung yang lebih baik lagi.
Apa pula yang akan saya sesalkan. Jika saya akan bersedih hati ataupun menyesal, tentu
saja Uni tidak saya antarkan. Bukankah sudah saya katakan, bahwa saya siap akan
menolong Uni bilamana perlu. Jangankan ke tanah Jawa, ke laut api sekalipun saya turut,
jika menurut rasa Uni perlu saya ke sana. Hanya saya termenung itu memikirkan nasib saya
jua. O ya, hampir saya lupa, Uni! Uang
Uni masih ada lebihnya f 25,-. Ambillah uang ini nanti boleh jadi saya lupa
mengembalikan." "Saya harap Udo janganlah memanggil uni juga kepada saya," ujar Halimah dengan
senyumnya. "Jika kedengaran kepada orang lain, tentu janggal, dan boleh menimbulkan
pikiran yang salah. Sebab itu panggilkan sajalah 'adik'. Sudilah Udo beradikkan saya"
Tentang uang itu, biarlah pada Udo. Ini ada lagi, simpanlah oleh Udo semua. Kalau saya
yang menyimpan, boleh jadi hilang, apalagi kita di dalam kapal."
Perkataan Halimah itu terbenar pula dalam pikiran Midun, karena boleh jadi jika
didengar orang menimbulkan salah tampa. Demikian pula nyata kepada Midun, bahwa
Halimah percaya sungguh kepadanya. Maka ia pun berkata dengan hormat sambil
bergurau, katanya, "Tidakkah hina nama Uni berkakakkan saya" Percayakah Halimah
mempertaruhkan uang kepada orang hukuman. Bagi saya tidak ada halangan, sekali
dikatakan, seribu kali menerima syukur."
"Sejak saya kenal kepada Udo, Udo selalu merendahkan diri dan amat pandai
menjentik jantung saya," ujar Halimah. "Biarlah yang sudah itu, tetapi sekarang saya tidak
suka lagi mendengar perkataan yang demikian. Jangankan senang hati saya
mendengarnya, malahan makin mengiris jantung saya. Hal itu menunjukkan, bahwa saya
masih Udo sangka seperti orang lain. Masakan saya tidak percaya kepada Udo, sedang
badan dan nyawa saya sudah saya serahkan, konon pula uang."
Mendengar perkataan "nyawa dan badan" itu, hati anak muda yang alim dan saleh itu
berdebar jua. Kaku lidah Midun akan berkata, karena harap-harap cemas. Untung ia lekas
dapat menahan hati, lalu berkata, "Jika demikian permintaan Adik, baiklah. Sekarang
sebagai seoran kakak dengan adiknya, si kakak itu harus mengetahui hal adiknya.
Perkataan ibu Adik dahulu yang mengatakan 'cukuplah saya makan hati dan menahan
sedih' selalu menjadi kenang-kenangan kepada saya sampai kini. Dan perkataan Adik
'dirundung malang' itu menyebabkan saya amat heran dan tidak mengerti sedikit juga.
Sebabnya ialah karena saya lihat hidup Adik tinggal di gedung besar dan beruang banyak.
Cobalah Adik ceritakan kepada saya sejak bermula sampai kita di kapal ini."
"Baik, dengarkanlah, Udo, " ujar Halimah, lalu memandang kepada Midun dengan
tajam. "Saya bercerita ialah menurut keterangan ibu dan mana yang saya ketahui. Adapun
negeri saya di Bogor, jauhnya dari Betawi hampir sebagai Padang dengan Padang Panjang.
Bapak saya orang Bogor juga, bernama Raden Soemintadireja. Beliau bekerja pada sebuah
kantor Gubernemen di sana. Kini entah masih di situ juga ayah bekerja, entah tidak, tidaklah
saya tahu. Sejak beliau bercerai dengan ibu, belum pernah kami dapat surat dari ayah.
Meninggal dunia tidak mungkin, sebab tentu ada kabar dari keluarga saya. Sampai kini saya
masih ingat bagaimana kasih sayang ayah kepada saya semasa kecil. Beliau sangat
memanjakan saya, tidak ubah sebagai menatang minyak penuh. Baik pulang atau pergi ke
kantor, tidak lupa ayah mencium sambil memangku saya. Makan selamanya berdua.
Apabila saya menangis, ayah tiba dahulu. Permintaan saya, satu pun tak ada yang tidak
beliau kabulkan. Jika tidur selalu dininabobokkan; nyamuk seekor beliau buru. Kerap kali
kami bermain di pekarangan, bergurau dan berkejar-kejaran akan menyukakan hati. Pada
petang hari kami berjalan-jalan di kota Bogor. Pulangnya saya sudah mendukung makanan.
Permainan, missalnya popi-popi, tidak lupa beliau belikan untuk saya. Karena masa itu anak
beliau baru saya seorang, adalah keadaan saya jerat semata, obat jerih pelerai demam
kepada ayah. Hari Minggu ayah libur bekerja. Maka kami pergi"kadang-kadang ibu serta
pula"berjalan-jalan ke Kebun Raya, akan menyenangnyenangkan hati.
Adapun Kebun Raja itu, ialah kepunyaan T.B. Gubernur Jenderal yang memerintah
negeri ini. Sungguh amat bagus taman itu. Segala pohon-pohonan ada di sana.
Bunga-bungaan tidak pula kurang amat cantik dan harum baunya. Segala macam warna
bunga ada belaka di taman itu. Jalannya turun naik bersimpang siur amat bersih. Pada tepi
jalan itu ditaruh beberapa bangku tempat untuk orang berhenti melepaskan lelah. Dekat
istana ada pula sebuah telaga yang dihiasi dengan berbagai-bagai bunga air. Amat
indah-indah rupanya. Di tengah-tengah taman itu ada air mancur, memancar tinggi ke atas
dengan permainya. Pada keliling air mancur itu diperbuat jalan dan ditaruh beberapa bangku
tempat duduk. Ah, tak ubahnya seperti di surga dunia kita rasanya duduk di sana,. Udo!
Mudah-mudahan selamat saja pelayaran kita, tentu Udo dapat juga melihat taman yang
indah itu." Halimah berhenti bercakap, karena pikirannya melayang kepada penghidupannya
semasa anak-anak. Ia terkenang akan tempat kelahirannya yang sudah sepuluh tahun ditinggalkannya itu.
Midun sebagai orang bermimpi mendengar berita Halimah. Matanya tidak berasak dari bibir
yang merah jambu itu. Apalagi melihat pipi Halimah yang sebentarsebentar memperlihatkan
lesung pipit karena senyumnya, jantung Midun bunyi orang memukul di dadanya. Imannya
berkocak, karena pemandangan Halimah yang lunak lembut itu. Melihat kulit yang kuning
langsat itu, Midun hampir didaya iblis. Ia terkenang akan sebuah pantun:
Kayu rukam jangan diketam, kemuning tua dikerat-kerat. Jika hitam, banyak yang
hitam, yang kuning jua membawa larat.
"Sungguh saya jadi larat," Midun berkata dalam hatinya "Jika tidak karena anak gadis
ini, tidaklah saya menyeberang laut." "Aduhai?"
Untung lekas ia menahan hati, ketika hendak mengeluarkan perkataan, "Ah, alangkah
senangnya jika kita berdua saja duduk pada bangku di dalam taman itu, Adikku!"
Midun segera insaf akan diri dan mengetahui siapa dia dan siapa pula Halimah. Api
asmara yang sedang berkobar di hatinya itu seperti disiram dengan air layaknya. Hati Midun
kembali bagai semula. "Lain daripada itu, kami pergi pula ke museum* (Museum Zoologi di Bogor), yaitu
sebuah gedung tempat menyimpan segala macam binatang dan burung," ujar Halimah
meneruskan ceritanya. "Burung apa saja dan macam-macam binatang, baik pun yang
melata ada di sana. Segalanya itu sudah mati, tetapi kalau dilibat selintas lalu, sebagai
hidup jua. Amat indah-indah dan bagus nian rupanya, Udo! O, sudah jauh kita terpisah dari
ujud yang akan adinda ceritakan. Maaf, Udo, saya bermimpi gila mabuk kenang-kenangan."
"Kenang-kenangan yang akan sampai, mimpi yang boleh terjadi," ujar Midun tiba-tiba.
"Susahnya yang sebagai si pungguk merindukan bulan. Badan loyang disangka emas."
Midun menyesal, karena perkataan itu tidak sengaja terhambur saja dari mulutnya.
Rasakan hendak dijahitnya bibirnya, karena terdorong itu. "Di manakah Midun yang
saleh itu" Apakah arti perkataan yang demikian" Senonoh dan layakkah itu" Tidakkah
melanggar kesopanan hidup pergaulan" Pantaskah seorang yang telah mengaku kakak
kepadanya mendengar perkataan macam itu?" Berbagai-bagai pertanyaan timbul dalam
pikiran Midun. Malu benar ia akan dirinya, apalagi jika Halimah salah tampa dan ... pula.
"Apa boleh buat," kata Midun sendirinya. "Kata telanjur emas padahannya!"
Muka Halimah merah padam mendengar perkataan Midun yang amat dalam
pengertiannya itu. Ia memalingkan muka kemalu-maluan. Dalam hati Halimah, "Rupanya
bertepuk tidak mau sebelah tangan."
Maka ia pun berkata, "Ah, terlampau tinggi benar pikiran Udo itu. Tiap-tiap sesuatu
dengan padannya. Biar bagaimana pipit itil akan tinggal pipit jua. Mudah-mudahan yang
dicita datang, yang dimaksud sampai."
Siiir, jantung Midun bekerja lebih keras lagi memompa darah ke seluruh batang
tubuhnya mendengar jawab Halimah itu. Hatinya mundur maju tidak tentu lagi. Muka
Halimah ditatapnya, tetapi ini tidak dapat berkata-kata. Pikiran Midun berkacau, suka dan
girang silih berganti. Dalam pada itu Halimah berkata pula, katanya, "Demikianlah kasih sayang ayah
kepada saya. Hal itu tidak pula dapat disesalkan, karena anak beliau baru saja seorang.
Rupanya saya bagi ayah, buah hati pengarang jantung, timbangan nyawa, semangat badan.
Sangat benar beliau memanjakan saya. Manakala saya demam sedikit saja sudah cemas,
tidak tentu lagi yang akan beliau kerjakan. Saya selalu dalam pangkuan beliau, dinyanyikan
hilir mudik sepanjang rumah. Kepada ibu, ayah sangat pula sayang dan cinta. Tidak pernah
saya mendengar beliau bertengkar, apalagi berkelahi. Mereka itu keduanya selalu hidup
damai. Tidak pernah berselisih, melainkan sepakat dalam segala hal. Karena itu kami selalu
hidup dalam suka dan riang. Satu pun tak ada yang mengganggu, senang sungguh masa
itu. Hidup ini sebagai roda, Udo! Sekali naik, sekali turun, tiaptiap kesenangan mesti ada
kesusahan. Ayah saya itu di Bogor masuk orang bangsawan, sebab itu bergelar Raden.
Orang yang dipanggilkan Raden di tanah Jawa, biasanya orang bangsawan. Ayah terpaksa
kawin seorang lagi. Beliau terpaksa menerima, karena perempuan itu anak bapak kecil ayah
sendiri. Tidak dapat ayah mengatakan 'tidak mau', karena yang membelanjai beliau sejak
kecil dan yang menyerahkan sekolah bapak kecil ayah itulah. Beliau dibesarkan di rumah
istri bapak kecil beliau, karena sejak kecil ayah sudah yatim piatu. Sebab itu ayah terpaksa
mesti menerima. Ibu ada mengatakan, bahwa ada ayah meminta pertimbangan ibu saya,
bagaimana yang akan baiknya. Ibu pun tidak dapat berkata apa-apa, terpaksa pula
mengizinkan ayah beristri seorang lagi. Kepada ibu hal itu tidak menjadi alangan, asal
kesenangan beliau tidak terganggu, dan keadaan rumah tangga tetap sebagaimana biasa.
Maka ayah pun beristri sudah. Sungguhpun ayah sudah beristri, tetapi keadaan kami
tidak berubah. Hanya waktu siang ayah hilang sebentar-sebentar, tetapi malam beliau tetap
juga di rumah ibu. Kupanya ayah tidak sanggup bercerai dengan saya malam hari, karena
saya acap kali sedang tidur memanggil 'papa'. Dengan tidak d isangka-sangka, tiga bulan
sesudah itu, keadaan di rumah berubah. Masa itu saya sudah bersekolah. Pada suatu hari,
ketika saya pulang dari sekolah, saya dapati ibu sedang menangis. Menurut keterangan ibu,
sebabnya karena ayah marah-marah dengan tidak keruan. Ayah pulang sudah mulai
berganti hari. Tiap-tiap beliau pulang, selalu bermuram durja. Saya sudah kurang beliau
pedulikan. Sebab sedikit saja, beliau sudah marah-marah. Hidup kami tidak berketentuan
lagi, ibu tak pernah bermata kering.
Kesudahannya ayah tidak pulangpulang lagi, dan belanja sudah berkurang-kurang.
Jika beliau pulang sekali-sekali, jangankan menegur saya, malahan muka masam yang saya
terima. Karena takut, saya tidak pula berani mendekati beliau. Ibu terpaksa mencari untuk
mencukupkan belanja hari-hari. Saya pun berhenti sekolah, pergi menurutkan ibu bekal ini
dan itu untuk dimakan. Jika tidak begitu tentu kami mati kelaparan, sebab kami orang
miskin. Belanja dari ayah tidak dapat diharap lagi. Sekali sebulan pun beliau jarang
menemui kami. Entah apa sebabnya ayah jadi demikian, ibu sendiri sangat heran, karena
tidak ada sebab karenanya. Keadaan kami sudah kocar-kacir, dan terpaksa pindah ke
pondok-pondok, menyewa rumah yang berharga f 1,50,-. Akan lari ke rumah famili, tidak
ada yang kandung. Meskipun ada famili jauh, mereka itu pun miskin pula. Tidak lama
kemudian, ibu diceraikan ayah. Ibu dan saya hidup jatuh melarat. Ibu hampir tidak dapat
menanggungkan kesengsaraan itu. Beruang sesen pun tidak, makan pagi, tidak petang.
Malu sangat pula, tidak terlihat lagi muka orang di Bogor. Karena tidak tertahan, ibu
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membulatkan pikiran, lalu menjual barangbarang yang ada. Maka kami pun melarik.m diri ke
Betawi. Umur saya masa itu sudah 8 tahun. Bagaimana penghidupan kami mula datang di
Betawi, Allah yang akan tahu. Maklumlah, Udo, walaupun dekat, kami belum pernah sekali
jua ke negeri itu." Halimah terhenti berkata, karena air matanya jatuh berlinang ke pipinya. Pikirannya
melayang kepada penghidupannya masa dahulu. Ia terkenangkan ibunya yang sangat
dikasihinya, tinggal seorang diri di negeri orang, jauh terpisah dari tanah air, kaum famili
semua. Tampak terbayang oleh Halimah, ketika ibunya akin meninggal dunia memberi
nasihat dengan suara putus-putus. Maka ia pun menangis tersedu-sedu, karena amat sedih
mengenangkan nasibnya yang malang itu.
Melihat hal itu, Midun amat belas kasihan. Ia bersedih hati pula mendengar cerita itu.
Sambil membujuk Halimah, Midun berkata, "Tidak ada gunanya disedihkan lagi, Halimah!
Hal itu sudah terjadi dan sudah lalu, tidak usah dipikirkan jua. Memang demikianlah
kehendak Tuhan dan kemauan alam. Tidak boleh kita menyesali, karena sudah nasib sejak
di rahim bunda kandung. Kata Adik tadi, 'hidup ini sebagai roda'. Mudahmudahan hingga ini
ke atas, senang sentosalah hidup Adik."
Halimah menghapus air matanya dengan saputangan. Kemudian ia pun berkata pula
meneruskan ceritanya, "Sampai di Betawi, uang ibu tinggal f1,- lagi. Tiga hari ibu mencari
pekerjaan ke sana kemari, tidak juga dapat. Hanya uang yang serupiah itulah yang kami
sedang-sedangkan. Supaya jangan lekas habis, kami tidak makan nasi, melainkan ubi,
singkong, kata orang Betawi. Dalam tiga hari itu kami menumpang di pondok-pondok orang.
Kami tidur di tanah, di atas tikar yang sudah buruk. Karena pagi-pagi ibu mencuci baju anak
orang pondok itu, ada juga saya diberinya nasi dengan garam. Pada hari yang keempat ibu
pergi pula mencari pekerjaan.
Saya selalu beliau bawa, setapak pun tidak beliau ceraikan. Hari itu kami tidak
beruang sesen jua. Sampai tengah hari, ibu tidak juga dapat pekerjaan. Hampir semua
rumah orang Belanda kami jalani, tetapi tidak ada yang mencari babu, koki, dan lain-lain.
Panas amat terik, haus dan lapar tak dapat ditahankan. Ibu membawa saya kepada sebuah
sumur bor, diambilnya air dengan tangan, lalu diminumkannya kepada saya. Kemudian kami
berhenti di tepi jalan, berlindung di bawah sepohon kayu yang rindang akan melepaskan
lelah. Sambil memandang saya, ibu menangis amat sedih. Muka ibu saya lihat sangat pucat,
agaknya menahan lapar. Saya pun begitu pula, sebab pagi itu satu pun tak ada yang masuk
perut. Karena lelah dan letih, saya pun tertidur di bawah pohon kayu itu. Entah berapa
lamanya saya tertidur, tidaklah saya tahu. Ketika saya terbangun, saya lihat ibu sedang
menangis. Ibu mengajak berjalan pula akan mencari pekerjaan. Tetapi saya hampir tak
dapat berjalan, karena sangat lapar. Sungguhpun demikian kami berjalan jua dengan
perlahan-lahan. Tiba-tiba saya melihat sebuah uang tali di tepi jalan, ibu rupanya melihat uang itu pula.
Dengan segera ibu mengambil uang itu. Girang benar hati kami mendapat uang tali yang
sebuah itu. Lima sen dibelikan kepada ubi. Untuk saya beliau beli nasi dengan sayur lima
sen pula. Lebihnya disimpari untuk malam.. Sudah makan badan kami agak segar, lalu
meneruskan perjalanan mencari kerja. Tidak jauh kami berjalan, bertemu dengan seorang
babu sedang mendukung anak. Ibu bertanya kalau-kalau ada tuan-tuan yang mencari babu,
koki, dan lain-lain. Untung benar jawab babu itu mengatakan ada seorang tuan mencari
babu kamar. Maka kami dibawanya kepada sebuah gedung, yang tidak berapa jauhnya dari
situ, ibu pun bekerjalah di sana, di rumah orang Belanda.
Adapun tuan tempat ibu bekerja itu, beranak seorang perempuan yang telah berumur
4 tahun. Ibu menjadi babu kamar, saya menjadi babu noni anaknya. Gaji ibu f 15,- dan saya
f 5,-. Kami bekerja dapat makan dan tinggal dt sana. Tiaptiap bulan ibu selalu menyimpan
separuh dari gaji kami, takut kalau-kalau ditimpa kesusahan pula sekali lagi. Setelah enam
bulan kami bekerja, maka tuan itu pun pindah kerja ke Padang. Di Padang ia menjadi kepala
pada sebuah kantor Maskapai. Tuan dan nyonya mengajak kami ikut bersama-sama.
Dijanjikannya, jika ibu mau pergi, akan ditambah gaji, begitu pula saya. Kendatipun gaji tidak
bertambah, ibu memang hendak ikut juga. Maka demikian, karena ibu tidak suka lagi tinggal
di tanah Jawa. Waktu akan berangkat, ibu berkirim surat ke Bogor, memberitahukan bahwa
kami akan berlayar ke Padang. Alamat kalau hendak berkirim surat pun kami sebutkan di
dalam surat itu. Maka kami pun berlayarlah.
Di Padang, kami bekerja sebagaimana biasa. Dengan permintaan ibu kepada tuan,
sebab saya masih berumur 8 tahun lebih, maka saya diizinkan meneruskan sekolah. Lima
tahun kemudian saya tamat sekolah. Selama itu penghidupan kami senang saja, tidak
kurang suatu apa. Uang simpanan kami sudah ada f 500,-. Uang itu kami simpan di
Padangsche Spaarbank. Setelah setahun saya berhenti sekolah, tuan dapat perlop. Ia
dengan anak-anaknya akan pulang ke negeri Belanda. Karena mereka itu akan singgah ke
Betawi dulu, maka ibu diajaknya pulang. Kata tuan, di mana kamu saya ambil, saya
antarkan pula pulang kembali ke situ. Tetapi ibu tidak mau ke Betawi lagi, beliau hendak
tinggal di Padang saja menunggu tuan balik. Maka kami dua beranak tinggallah di Padang.
Ibu pindah kerja ke gedung lain, tetapi tidak tinggal di sana. Kami pun menyewa sebuah
rumah yang berharga f 5,- sebulan.
Waktu itu saya sudah gadis tanggung. Ibu berniat hendak membeli rumah yang kami
sewa itu. Pada suatu hari, ibu pergi kepada yang punya rumah, akan menanyakan
kalau-kalau ia mau menjual rumahnya. Kebetulan orang yang punya rumah hendak menjual
rumahnya karena ia hendak bermenantu. Besok pagi ia pun datang dengan suaminya akan
memutuskan penjualan rumah itu. Selesai surat-menyurat ibu berjanji bahwa uang beli
rumah itu besoknya akan diberikan di muka saksi. Setelah itu kami pergi ke kantor bank
mengambil uang sebanyak beli rumah, yaitu f 300,-.
Malam itu terjadi suatu hal yang ngeri, Udo! Sungguh ngeri, sehingga hampir jiwa saya
melayang karenanya. Tengah malam sedang kami tidur nyenyak, saya terkejut karena bunyi
derak pintu yang ditolakkan orang. Sekonyong-konyong saya, melihat seorang besar tinggi
berbaju hitam. Saya diancamnya kalau memekik akan dibunuhnya. Orang itu melompat ke
jendela melarikan diri. Ibu terbangun pula, lalu meraba uang di bawah bantal. Apa yang
akan dicari, uang sudah hilang dicuri maling. Ketika itu ibu dan saya memekik meminta
tolong. Tetapi sudah terlambat, karena maling sudah jauh melenyapkan diri.
Rumah itu tidak jadi dibeli, keadaan kami tidak berketentuan lagi. Roda penghidupan
kami sudah mulai turun pula. Tiga hari sesudah kemalingan, ibu jatuh sakit. Makin sehari
penyakit beliau makin hebat. Bermacam-macam obat yang dimakannya, jangankan sembuh
melainkan makin jadi. Uang yang masih tinggal di bank, sudah berangsur habis pembeli
obat dan untuk belanja. Akan bekerja saja tidak dapat, karena tak ada yang akan membela
ibu di rumah. Tiga bulan ibu tidak turun tanah, baru mulai sembuh. Tetapi badan beliau
lemah saja. Uang hampir habis, hanya tinggal beberapa rupiah saja lagi.
Di sebelah rumah kami ada tinggal seorang Belanda peranakan. Ia hidup membujang
dan bekerja pada sebuah kantor di Padang. Ketika ibu sakit, kerap kali dia datang ke rumah.
Amat baik dan penyantun benar ia kepada kami. Banyak kali ibu diberinya uang,
dibelikannya obat dan kadang-kadang disuruhnya antarkan makanan oleh babunya.
Adakalanya ibuku ditanyanya, apa yang enak dimakan ibu. Tiap-tiap pulang bekerja, acap
kali ibu dibawakannya makanan dari toko. Bahkan ia serta pula menyelenggarakan ibu
dalam sakit itu. Sungguh amat baik benar budi bahasa orang Belanda itu. Tak dapat
dikatakan bagaimana besarnya terima kasih kepadanya, karena uang kami telah habis dan
pertolongannya datang. Setelah ibu segar dan sehat benar, dinyatakannya maksudnya,
bahwa ia hendak memelihara ibu. Bermacam-macam bujukannya agar ibu suka meluluskan
permintaannya yang sungguhsungguh itu. Pandai benar ia berkata-kata manis bagai
tengguli. Barang siapa yang mendengar perkataannya, tak dapat tiada akan lembut hatinya.
Bukankah perkataan yang lemah lembut itu anak kunci hati segala manusia. Apalagi ibu
terkenang pula akan pantun yang demikian bunyinya.
Pisang emas bawa berlayar
masak sebiji di atas peti.
Utang emas boleh dibayar Utang budi dibawa mati. Pulau Pandan jauh di tengah,
di balik Pulau Angsa Dua.
Hancur badan dikandung tanah
budi baik terkenang jua."
Midun kena sindir, tepat benar kenanya. Perjalanan darahnya, sekonyong-konyong
berubah. Hatinya kembang kempis, darah Midun berdebar, tetapi ia tidak dapat
berkata-kata. "Mengingat keadaan kami masa itu dan mengingat budinya selama ibu sakit, terpaksa
ibu mengabulkan permintaannya itu," ujar Halimah sambil tersenyum, karena ia melihat perubahan muka Midun tiba-tiba itu. "Maka orang Belanda peranakan itupun menjadi bapak tiri
sayalah. Kami hidup senang, tak ada yang akan disusahkan lagi. Bahkan pula tempat
tinggal kami sebagai sudah Udo lihat gedung besar. Kepada ibu sangat sayang bapak tiri
saya itu, kepada saya apalagi, lebih dari patut. Kira-kira setahun sesudah itu datang pula
perubahan. Saya dengar ibu sudah acap kali berkelahi dengan bapak tiri saya itu. Ia selalu
marah-marah saja di rumah. Aduhai, ganas benar kiranya dia, main sepak terjang saja.
Beberapa kali saya tanyakan kepada ibu, apa sebab bapak tiri marah-marah itu, ibu tidak
mengatakan. Hanya beliau berkata, 'Jagalah dirimu, Halimah!' Tetapi saya amat heran,
sungguhpun kepada ibu ia selalu marah, kepada saya makin sayang dia. Apa saja yang
saya minta, selalu dikabulkannya. Dengan hal yang demikian, kesudahannya ibu jatuh sakit.
Tak ubahnya sebagai orang merana, makin sehari makin sengsara hadan beliau. Udo
pun bukankah sudah mempersaksikan hal itu lengan mata sendiri" Obat apa yang tidak
beliau makan, tetapi semuanya sia-sia saja. Ajal ibu hampir datang, sakit beliau sudah ayah
benar. Ketika ibu akan meninggal, bapak tiri saya sedang di kantor. Beliau melarang keras,
jangan ada orang pergi memberitahukan hal itu. Saya selalu duduk dekat ibu. Beliau pun
berkata dengan suara putus-putus, katanya, 'Anakku, Halimah! Ketahuilah olehmu, bahwa
penyakit saya ini takkan dapat diobati lagi. Penyakit saya ini bukanlah sakit badan,
melainkan penyakit hati yang sudah 10 tahun saya tanggungkan. Hancur luluh hati saya
mengenangkan perceraianku dengan ayahmu. Dengan jalan meninggalkan negeri itu, saya
sangka kesedihan hati saya itu akan berobat dan dapat dihilang-kan. Kiranya tidaklah
demikian, bahkan bertambah pula dengan makan hati berulam jantung. Bermacam-macam
penanggungan yang telah kita rasai, disebabkan untuk nasib kita yang celaka jua. Tidak di
dalam hal penghidupan saja, godaan pun tidak sedikit pula. Tetapi sekaliannya itu saya
terima dengan sabar dan tulus ikhlas. Sekarang tak dapat lagi saya menanggungkan, dan
boleh jadi saya tewas olehnya.
Baru sekian ibu berkata, napas beliau turun naik amat cepatnya. Sakit ibu bertambah
payah. Matanya terkatup, kaki beliau amat dingin. Saya amat cemas melihat wajahnya yang
sangat pucat itu. Tidak lama beliau membukakan mata pula. Sambil menarik napas panjang,
ibu meneruskan perkataannya,
'Jika tidak mengingat budi orang dan memikirkan engkau, tidaklah saya mau sebagai
perempuan dukana ini. Bukankah saya sudah melakukan perbuatan yang di luar agama.
Apa boleh buat, Halimah! Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Tetapi
yang lebih menyakitkan hati saya, kita tertipu. Mulut bapak tirimu yang manis dan
perbuatannya yang baik itu, rupanya berudang di balik batu. Dia bukanlah mencintai saya,
melainkan Halimahlah yang dimaksudnya. Hatinya tertarik kepadamu, karena itu dicarinya
jalan dengan mengambil saya jadi nyainya. Dengan jalan itu, pada pikirannya, burung sudah
di tangan, tidakkan ke mana terbang lagi. Saya disiksanya setiap hari, tetapi engkau selalu
disayanginya. Aduhai, cukuplah saya seorang yang telah mencemarkan diri, tetapi kamu saya harap
jangan pula begitu hendaknya. Ambillah keadaan saya ini akan jadi cermin perbandingan,
dan sekaii-kali jangan dapat engkau diperbuatnya sesuka-sukanya. Halimah telah remaja,
sudah dapat menimbang buruk dan baik. Engkau sudah besar, sebab itu jagalah dirimu,
jangan sampai seperti saya yang keparat ini. Biarpun di negeri orang, saya tidaklah khawatir
meninggalkan engkau. Bukankah engkau sudah banyak berkenalan di sini, pohonkanlah
pertolongannya dan pergilah kepada ayahmu. Midun, orang hukuman itu, menurut hemat
saya ia amat baik. Lagi pula menurut katanya kepadamu tempo hari, tidak lama lagi
hukumannya akan habis. Ia bebas. Mintalah pertolongannya. Tentu ia akan suka
menolongmu setiap waktu. Sampaikanlah salam saya kepada ayahmu, katakan bahwa saya
meminta maaf lahir dan batin, demikian pula kalau ada kesalahannya saya maafkan.
Selamat tinggal, Halimah, jaga diri baik-baik...!'
Ibu meninggal dunia, saya menangis amat sangat, tidak tahu lagi akan diri. Entah
berapa lamanya saya pingsan, tidaklah saya tahu. Setelah saya sadarkan diri, orang sudah
banyak. Bapak tiri saya itu sudah datang dari kantor. Melihat kepada roman mukanya tidak
sedikit juga ia berdukacita. Amat sakit hati saya, ketika ia mendekati saya akan membujuk
saya. Hari itu juga ibu dikuburkan dengan selamat. Saya pergi ke pekuburan mengantarkan
beliau. Petang hari pulang dari pekuburan, saya terus ke kamar, lalu saya kunci pintu dari
dalam. Maka saya pun menangis mengenangkan badan. Saya tinggal seorang diri, jauh dari
kaum keluarga saya dan tanah air saya. Dengan tidak makan dan minum saya pun tertidur
sampai pada keesokan harinya. Orang pun tak ada yang berani mengusik saya, tahu ia
agaknya bahwa saya dalam bersedih hati amat sangat."
Halimah berhenti berkata karena menahan air matanya yang hendak jatuh,
mengenangkan waktu ibunya meninggal dunia itu.
Setelah itu ia pun berkata pula, katanya, "Pada keesokan harinya, bapak tiri saya tidak
bekerja. Sehari itu ia membujuk saya, supaya jangan memikirkan ibuku yang telah
meninggal. 'Ibu sudah terseberang,' katanya. 'Dirimulah lagi yang akan dipikirkan, Sayang! Apa
gunanya dikenangkan juga, akan hidup dia kembali tidak boleh jadi. Senangkanlah hatimu,
mudahmudahan kita hidup berdua dalam bahagia. Mari kita berjalanjalan merintang-rintang
hari rusuh.' Mendengar perkataan itu, jangankan hati senang, melainkan sebagai tercocok duri
jantung saya. Hampir saja keluar perkataan, 'Kalau tidak karena engkau, ibuku tidak akan
mati.' Untung lekas saya menahan hati. Saya berdiam diri saja seperti patung, mendengar
kata-katanya itu. Sebab ibu baru saja meninggal, maka saya turut saja kemauan bapak tiri
saya itu. Hari itu saya dibawanya pesiar di seluruh kota Padang. Sesudah pesiar, pergi
berbiduk-biduk ke Muara. Penat pula berbiduk, pergi ke Gunung Padang berjalan-jalan.
Sehari-harian itu kami tidak pulang. Bapak tiri saya itu amat suka dan riang benar
kelihatannya. Ia biasa saja, jangankan berdukacita, melainkan makin banyak gurau
sendanya. Saya sudah maklum apa maksudnya maka ia berbuat demikian itu. Tetapi karena
ibu saya baru meninggal, tentu belum berani ia menyatakan niatnya itu. Setelah hari malam,
kami pulang kembali ke rumah. Heran, jongos dan koki yang biasa ada di rumah, kami
dapati tidak ada. Hanya yang ada nenek seorang di rumah. Waktu saya masuk kamar,
bapak tiri saya masuk pula, katanya ada barang yang hendak diambilnya di kamar saya itu.
Dengan cepat ia mengunci pintu, lalu berkata, 'Halimah! Sudah 4 tahun saya menahan hati,
sekaranglah baru dapat saya lepaskan. Sesungguhnya saya tidak mencintai ibumu,
melainkan engkau sendirilah, Adikku! Maka ibumu saya pelihara, hanya karena saya takut
Halimah akan diambil orang lain. Sejak engkau bersekolah, sudah timbul keinginan saya
hendak hidup berdua dengan engkau. Sekarang ibumu sudah meninggal, saya harap
engkau kabulkan permintaan saya. Sukakah Halimah bersuamikan saya" Baik secara Islam
atau cara Kristen saya turut. Bahkan jika Halimah kehendaki saya masuk orang Islam, pun
saya suka.' Baru sehari ibu saya meninggal, belum kering air mata saya, sudah demikian katanya.
Amat sakit hati saya mendengar perkataannya itu. Dengan marah amat sangat, saya
memaki-maki dia dengan perkataan yang keji-keji. Segala perkataan yang tidak senonoh,
saya keluarkan. Macam-macam perkataan saya mengata-ngatai dia. Mukanya merah, urat
keningnya membengkak mendengar perkataan saya yang pedas itu. Dengan marah ia
berkata, 'Saya sudah banyak rugi. Malam ini juga mesti engkau kabulkan permintaan saya.
Jika engkau tidak mau, saya tembak.'
Saya tidak sedikit juga gentar mendengar gertak itu. Pada pikiran saya, daripada
hidup macam ini, lebih baik mati bersama ibu. Maka saya pun berkata dengan lantang, 'Jika
Tuan tidak keluar dari kamar ini, saya memekik meminta tolong. Kalau Tuan mau
menembak saya, tembak sajalah!' .
Dengan perkataan itu rupanya ia undur, lalu keluar sambil merengut. Saya segera
mengunci pintu dari dalam. Semalammalaman itu saya tidak tidur. Tidak satu-dua yang
mengacau pikiran saya. Takut saya pun ada pula, kalau-kalau pintu didupaknya. Setelah
hari siang, kedengaran nenek memanggil. Ketika dinyatakannya bahwa tuan sudah pergi,
baru saya berani membuka pintu. Dengan ringkas saya ceritakan kepada nenek, hal saya
semalam itu. Rupanya nenek ada pula mendengar perkelahian kami"yang saya ceritakan
ini, sudah diceritakan nenek di rumah Pak Karto tempo hari. Tetapi supaya lebih terang,
biarlah saya ulang sekali lagi.-Saya mengajak nenek segera lari dari rumah itu. Maka saya
pun berkemas mana yang perlu dibawa saja. Sudah itu saya tulis surat kepada bapak tiri
saya. Saya katakan dalam surat itu, bahwa dengan kereta pagi saya berangkat ke
Sawahlunto. Dan keperluan saya ke sana ialah akan menemui famili saya yang sudah 6
tahun meninggalkan kampung. Setelah sebulan di Sawahlunto, saya kembali ke Padang. Isi
surat itu sebenarnya bohong belaka. Kemudian kunci rumah saya tinggalkan kepada jongos,
lalu kami naik bendi. Di tengah jalan saya bertemu dengan seorang Tionghoa. Menurut
keterangan nenek, orang itu induk semangnya dahulu. Ia adalah seorang yang amat baik
hati dan kaya raya. Nenek ditegurnya, dan ditanyakannya hendak ke mana kami. Dengan beriba-iba
nenek menerangkan hal saya. Belas kasihan ia rupanya mendengar cerita nenek, lalu saya
diajaknya pergi dengan dia. Ia menanggung, bahwa di rumahnya tidak akan terjadi apa-apa.
Nenek menanggung pula, bahasa di sana ada aman sementara menanti kapal ke Betawi.
Saya menurut saja, asal nenek tidak bercerai dengan saya. Maka kami pun berbendilah ke
Pondok, rumah No. 12. Aduhai, Udo! Pada pikiran saya sebenarnya akan senang tinggal di situ. Kiranya saya
pergi ke rumahnya itu masuk jerat semata-mata; dan tidaklah salah rasanya bila dikatakan,
hal saya waktu itu adalah seperti lepas dari mulut harimau jatuh ke dalam mulut buaya.
Semalam-malaman itu saya dirayu dan dibujuknya; agar suka mengikut dia. Dijanjikannya,
bahwa saya akan dipeliharanya baik-baik. Dan dikatakannya pula, sejak saya datang
dengan bapak tiri saya ke tokonya, ia telah menaruh cinta kepada saya. Supaya jangan
terjadi apa-apa, pura-pura saya mau menerima permintaan itu. Saya katakan, 'Burung
dalam sangkar tidak akan ke mana. Sebab itu sabarlah Baba dulu sampai duka nestapa
saya agak hilang, karena sekarang saya sedang berkabung kematian ibu.' Senang benar
hati orang Tionghoa itu mendengar jawab saya. Setelah ia pergi, dengan segera saya tulis
surat kepada Udo memohonkan pertolongan. Itulah surat yang diantarkan nenek kepada
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Udo itu. Demikianlah penanggungan kami sejak ibu bercerai dengan ayah sampai pada waktu
ini. Sekarang tentu Udo sudah maklum, apa arti perkataan ibu yang mengatakan: 'menahan
sedih dan makan hati itu'. Begitu pula arti perkataan saya, 'dirundung malang', Udo!"
Midun mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar cerita Halimah yang
menyedihkan hati itu. Setelah habis Halimah bercerita sepatah pun ia tidak berkata-kata.
Midun bermenung saja, sebagai ada yang dipikirkannya. Amat kasihan ia kepada gadis
yang malu itu. Dalam pada itu, Halimah berkata, "Hari sudah malam kiranya Udo! Karena
asyik bercerita, tahu-tahu sudah gelap saja. Malam tadi, saya rasa Udo tidak tidur. Saya pun
demikian pula. Tidak mengantukkah Udo?"
"Tidak, Halimah!" ujar Midun. "Saya sudah biasa bertanggang* (Tidak tidur
semalam-malaman) . Adik nyata kurang tidur, sebab muka adik amat pucat saya lihat.
Sebab itu tidurlah sesenang-senangnya."
"Benar, Udo!" ujar Halimah. "Memang sejak ibu sakit payah sampai kini saya tidak
tidur amat. Tetapi jika saya tidur, Udo jangan tidur pula, sebab di kapal banyak juga pencuri.
Biarlah kita berganti-ganti tidur, ya, Udo?"
"Siapa pula pencuri di kapal ini?" ujar Midun dengan heran.
"Tidak saja sama-sama penumpang, kelasi pun ada juga," ujar Halimah. "Dahulu
waktu kami berlayar ke Padang, ada seorang saudagar kehilangan uang lebih f 200,-. Lain
daripada itu, waktu kami sampai di Bangkahulu, seorang perempuan beranak kehilangan
gelang emas seharga f 150,- lebih. Waktu akan tidur gelang itu ditaruhnya di bawah bantal.
Kasihan kami melihiat perempuan itu menangis. Biar bagaimana pun kami menolong,
mencarikan, tidak bertemu."
"Baiklah," ujar Midun, "insya Allah tidak akan apa-apa, tidurlah Adik!"
Belum lama Halimah meletakkan kepala ke bantal, ia pun tertidur amat nyenyaknya.
Midun duduk seorang diri memikirkan cerita gadis itu. Kemudian ia memandang muka
Halimah, lalu berkata dalam hatinya. "Sungguh cantik gadis ini, tidak ada cacat celanya. Hati
siapa takkan gila, iman siapa takkan bergoyang memandang yang seelok ini. Kalau alang
kepalang iman mungkin sesat olehnya. Tingkah lakunya pun bersamaan pula dengan
rupanya. Kulitnya kuning langsat, perawakannya sederhana besarnya, kecil tidak besar pun
tidak, gemuk bukan kurus pun bukan, sedang manis dipandang mata. Rambutnya ikal
sebagai awan berarak. Mukanya bulat bulan penuh. Matanya laksana bintang timur
bersanding dua, dan hidungnya bagai dasun tunggal. Pipinya seperti pauh dilayang, bibirnya
limau seulas, mulutnya delima merekah, yang tersedia untuk memperlihatkan
senyum-senyum simpul, sehingga kelihatan lesung-lesung pipit, yang seolah-olah
menambah kemolekannya jua."
Midun mengambil kain, lalu menyelimuti betis Halimah yang terbuka itu
perlahan-lahan. Pikiran Midun berubah-ubah, sebentar begini, sebentar begitu.
Kadang-kadang melihat muka gadis itu terkenang ia akan adiknya Juriah. Halimah
dipandangnya sebagai adik kandungnya sendiri. Sebentar lagi sesat, dan berharap kalau
Halimah jadi istrinya, amat beruntung hidupnya di dunia ini. Perkataan Halimah "pipit sama
pipit" dan "maksud sampai" itu tak hendak hilang dalam pikiran Midun. Tidak lama timbul
pula pikiran lain, lalu ia berkata pula dalam hatinya, "Penanggungan saya belum lagi
sepersepuluh penanggungan ibu Halimah. Sedangkan perempuan demikian berani dan
sabarnya merasai cobaan Tuhan, apalagi saya seorang laki-laki."
Pada keesokan harinya, setelah jauh lewat Bangkahulu, Midun bertanya pula kepada
Halimah, katanya, "Sungguh sedih ceritanya Adik kemarin. Tetapi ada pula yang
menimbulkan pertanyaan dalam hati saya. Setelah ibu bercerai dengan ayah Halimah,
apakah sebabnya beliau tidak bersuami lagi" Jika sesudah bercerai segera bersuami, saya
rasa tidaklah akan demikian benar penanggungan ibu dan Adik."
"Saya pun amat heran," ujar Halimah. "Sejak saya berakal, berulang-ulang saya
menyuruh beliau bersuami, tetapi ibu selalu menggelengkan kepalanya. Ibu menerangkan,
bahwa cukuplah beliau menanggung kesedihan yang hampir tidak terperikan itu. Jika beliau
bersuami pula, dan timbul lagi sesuatu hal yang menyedihkan, ia tak dapat tiada nyawa
tentangannya. Kiranya perkataan beliau itu benar jua. Sekarang tentu Udo sudah maklum,
apa sebabnya yang menyebabkan ibu meninggal dunia. Lagi pula ibu sangat cinta kepada
ayah, sebab itu tidak sampai hati beliau akan mengganti ayah dengan orang lain. Jika tidak
karena budi dan keadaan kami yang sangat susah, istimewa di negeri orang, tidaklah ibu
akan mau dipelihara orang Belanda peranakan itu."
"Sungguh pandai ibu Adinda menahan hati," ujar Midun. "Jika orang lain berhal
demikian itu, boleh jadi menimbulkan pikiran yang kurang baik di dalam hatinya. Hati siapa
takkan sakit, awak di dalam berkasih-kasihan diganggu orang. Rupanya ibu Adik maklum
apa yang menyebabkan perceraian itu. Bagi saya sendiri pun sudah terbayang hal itu."
"Dapatkah Udo menerangkannya?" ujar Halimah. "Saya kerap kali menanyakan
kepada ibu, tetapi selalu beliau sembunyikan dan tidak mau menerangkan sebab perceraian
itu." "Percayalah Halimah," ujar Midun, "sekalipun waktu ayah akan beristri diizinkan oleh
ibu Adik, tetapi di hati beliau sendiri tidaklah menerima dan tidak izin ayah Adik beristri itu.
Benar perempuan amat pandai menahan hati. Apakah Adik mendengar cerita anak Nabi
Muhammad saw?" "Tidak, Udo, bagaimanakah ceritanya?" ujar Halimah.
"Pada suatu hari suami Fatimah itu memanggil istrinya," ujar Midun. "Setelah istrinya
datang, maka Saidina 'Ali, demikianlah nama suaminya itu, meminta izin akan beristri.
Dengan rela hati dan tersenyum manis diizinkan Fatimah suaminya itu beristri seorang lagi.
Tetapi telur mentah yang ketika itu dipegang Fatimah di tangannya, sekonyong-konyong
telah masak. Demikianlah pandainya Fatimah menahan hati. Sungguhpun di luar manis,
tetapi di dalam sudah remuk dan badannya panas sebagai api, hingga telur masak di
tangannya. Lebih bertambah sedih lagi, karena ibu Adik mengetahui, bahwa perceraian ibu dan
ayah tidak kasih sayang lagi kepada Adik, ialah disebabkan perbuatan orang. Saya berani
bertaruh, tak dapat tiada ayah Adik sudah kena guna-guna. Tidak di negeri Adik saja hal itu
terjadi, tetapi di negeri saya pun banyak pula yang demikian. Tidak sedikit korban yang
disebabkan guna-guna jahanam itu. Orang yang berkasihkasihan laki istri putus cerai-berai.
Dan adakalanya menjadikan maut kepada kami. Inilah bahaya yang terutama bagi orang
yang suka beristri dua, tiga, sampai empat orang. Masingmasing si istri itu berlomba-lomba,
agar dia sendiri hendaknya dikasihi suaminya. Karena itu timbul dalam hati mereka
bermacammacam pikiran jahat. Si A misalnya, pergi kepada dukun B memintakan
guna-guna untuk suaminya. Si B mengetahui bahwa si A perlu meminta obat itu kepadanya.
Nah, di sana lalulah jarum B akan membujuk uang A untuk pengisi kantungnya. Dengan
beberapa tipu muslihat B, uang A tercurah kepadanya. A yang sangat percaya kepada
dukun B, tidak kayu janjang dikeping, tidak emas bungkal diasah, tidak air talang dipancung.
Belanja yang diberikan suami, dijadikan untuk keperluan itu. Bahkan kain di badan dijual
atau digadaikan untuk itu, supaya suami kasih dan sayang kepadanya seorang.
Kesudahannya arang habis besi binasa, uang habis badan celaka. Maksud tak sampai,
badan diceraikan suami. Sebabnya: karena urusan rumah tangga, makanan dan pakaian
suami dan lain-lain, tentu tidak berketentuan lagi. Jika syaratsyarat bersuami tidak
dipakaikan, tak dapat tiada laki-laki itu memisahkan dirinya.
Menurut pendengaran saya, guna-guna itu terjadi dari benda yang kotor-kotor.
Misalnya tahi orang dan kotoran kuku dan lainlain sebagainya. Hal itu makin celaka lagi,
kalau makanan itu tidak bersetuju dengan perut suami. Karena kotornya, boleh jadi
mendatangkan penyakit. Akhirnya si suami itu seperti sirih kerkap tumbuh di batu, mati
enggan hidup tak mau, merana. Lebih berbahaya lagi kalau dukun B itu bermusuhan
dengan suaminya. Dengan gampang saja ia dapat memberikan racun atau lain-lain.
Manakala dendamnya lepas karena musuhnya lenyap dari dunia ini, tentu si B akan
bersenang hati. Padahal si A sekali-kali tidak mengetahui, sebab kepercayaannya penuh
kepada dukun B itu. Hal ini sudah terjadi pada salah seorang istri mamak saya. Tidak putusputusnya ia menyesali hidupnya karena perbuatannya itu. Orang pun takut memperistri dia
lagi. Maka tinggallah ia menjadi perempuan balu, hidup terpencil dengan tiga orang anak
yang masilI kecil-kecil pula.
Jika maksud A itu sampai, tentu ia bersenang hati. Tetapi istri suami yang lain
teraniaya pula karena perbuatannya itu. Istri yang diceraikan suami itu tentu menanggung
sedih. Tidak saja bersedih hati, hidupnya pun kocar-kacir, apalagi kalau sudah
beranak-anak. Lihatlah sebagai ibu Adik, sedangkan baru beranak seorang demikian
jadinya. Malu tumbuh, sedih pun datang, hingga berlarat-larat ke negeri orang membawakan
untung nasib diri." Midun berhenti berkata, karena waktu makan sudah datang. Maka ia pun pergi
mengambil nasi, lalu makan bersama-sama dengan Halimah. Di dalam makan itu, Halimah
baru maklum akan mengenangkan segala perbuatan perempuan yang sekalikali tidak
bersetuju dengan pikirannya. Setelah sudah makan, Midun menyambung perkataannya,
katanya, "Sungguhpun demikian, perbuatan perempuan kepada suaminya tidak pula dapat
disalahkan. Jika ia melakukan perbuatan itu tiada pula disesalkan. Hanya iman yang kurang
pada perempuan itu. Tidak seperti Fatimah yang saya ceritakan tadi. Tetapi sukar dicari,
mahal didapat perempuan yang berhati begitu. Apa yang takkan terkerjakan, jika ia
dipermadukan. Apalagi yang lebih sakit daripada itu. Coba kalau hal itu terjadi sebaliknya,
artinya si lakilaki dipermadukan perempuan. Barangkali ... ya, entah apa yang akan terjadi.
Sedangkan dilihat orang saja istrinya, rasanya hendak diulurnya hidup-hidup orang itu,
apalagi dipermadukan."
Di sini Midun berhenti berkata-kata sebentar, karena ia teringat akan nasibnya sendiri.
Bukankah terjadinya perkelahiannya dengan Kacak di tepi sungai, karena cemburuan, dan...
sehingga Kacak lupa akan pertolongannya atas Katijah" Kemudian ia berkata pula, ujarnya,
"Hal ini memang tidak bersesuaian sedikit jua dengan pikiran saya. Benar agama
mengizinkan beristri dari satu sampai empat, tetapi jika ditilik dalam-dalam, tidak gampang
saja mengerjakannya. Menurut pikiran saya, banyak syarat-syaratnya yang amat sulit.
Dalam seribu sukar seorang yang akan dapat melakukannya. Saya rasa tidak seorang jua
yang akan dapat berlaku adil, seadil-adilnya kepada keempat istrinya itu; karena
demikianlah kehendak agama. Bahkan yang banyak saya lihat, perempuan itu
dipandangnya sebagai suatu barang untuk pemuaskan hawa nafsunya saja. Sungguh sedih
hati memikirkan nasib perempuan yang diperbuat suami semau-maunya itu. Tidak berhati
berjantung, tidak menaruh belas kasihan kepada teman sehidup. Tak ada ubahnya dengan
laki-laki gangsang, beranak satu dibuang, kawin lagi.
Demikianlah terus-menerus. Entah bagaimana nasib perempuan itu ditinggalkannya,
tidak dipedulikannya. Jangankan memikirkan nasib perempuan itu setelah ditalakkan, sedangkan masih dalam tangannya belanja berkurang-kurang.
Sekianlah cerita saya; bagi Adik janganlah terjadi demikian dan jangan pula mendapat
suami seperti saya katakan itu kelak. Saya berharap, moga-moga Adik bersuamikan
seorang laki-laki yang sebenarnya laki-laki. Dapat hendaknya Adik suami istri hidup
sandar-menyandar sebagai aur dengan tebing. Di dalam segala hal sepakat dan sesuai,
percaya-mempercayai seorang dengan yang lain. Sakit susah sama ditangguhkan, senang
suka sama dirasai. Dan dalam pergaulan selalu berkasihkasihan dan beramah-ramahan
hendaknya. Dengan hal itu tak dapat tiada kekallah suami istri. Tidaklah bercerai hidup,
melainkan bercerai tembilang."
Midun menatap muka Halimah, seakan-akan mengajuk bagaimana pikiran gadis itu
tentang perkataannya yang penghabisan itu. Nyata kepadanya pada muka Halimah,
terbayang hati suka dan riang, seolah-olah seseorang mendapat suatu barang yang tidak
ternilai harganya. Halimah tidak berkata sepatah jua pun. Kemudian sebagai terpaksa, ia
pun berkata juga dengan kemalu-maluan, katanya, "Mudahmudahan dapatlah sebagai yang
Udo cita-citakan itu. Jika untung, ikan di laut asam di gunung, lamun akan bertemu takkan
dapat disangkal. Sungguhpun demikian, hanya bergantung kepada nasib jua, Udo!"
Setelah habis perkataan Halimah, maka ia memandang kepada Midun dengan manis,
tetapi mengandung pengharapan. Kemudian dengan senyum yang amat dalam
pengertiannya, Halimah pura-pura melayangkan pemandangannya ke laut lepas, melihat
ombak Tanjung Cina yang segunung-gunung tingginya itu. Midun maklum akan arti
perkataan dan pemandangan Halimah. Rasa di awing-awang perasaannya ketika itu.
Napasnya surut lalu semakin cepat, sebentar pula lambat. Kemudian Midun menarik napas,
sebagai orang yang hendak memutuskan kenang-kenangannya.
Dengan tidak kurang suatu apa, kedua mereka pun sampailah ke Tanjung Priok, di
pelabuhan kota Betawi. Midun dan Halimali turun dari kapal, lalu terus ke stasiun. Karena
hari masih pagi dan kebetulan ada kereta api ke Bogor, maka Halimah pun membeli karcis,
terus ke negerinya. Bab 12: Tertipu HARI amat panas, angin berembus lunak lembut. Ketika itu tengah hari tepat, sedang
buntar bayang-bayang. Burungburung beterbangan dari pohon ke pohon sambil bersiul-siul
dan berbunyi dengan suka dan riangnya. Ada pula yang melompat-lompat di atas rumput
mencari tempat yang kelindungan, akan melepaskan lelah pulang dan mencari mangsanya.
Pada sebuah bangku dekat sebuah telaga Kebun Raya di Bogor, duduk seorang muda.
Itulah Midun yang sedang melihat angsa dua sekawan hilir mudik di telaga. Amat berlainan
keadaannya dengan burung-burung di kebun itu. Ia duduk tidak bergerak, memandang air
yang amat jernih dengan tenangnya. Sungguhpun matanya terbuka, tetapi pikiran Midun
melayang entah ke mana. Entah apa yang terjadi pada sekelilingnya, tiadalah diketahui
Midun. Ia bermenung, seakanakan ada suatu masalah yang sulit dipikirkannya. Lebih sejam
Midun dengan hal demikian itu, ia pun menarik napas panjang, sebagai memutuskan
pikirannya. Kemudian ia berkata dalam hatinya, "Sudah hampir sebulan saya di sini, makan
tidur saja sepanjang hari. Akan tinggal menetap saja di sini, apakah yang akan dapat saya
kerjakan, karena di negeri orang. Akan pergi, berat hatiku meninggalkan Halimah, dan ia
sendiri beserta ayahnya menahani saya pula. Menurut hemat saya, mengingat pergaulan
kami yang sudah-sudah, jika saya katakan apa yang tercantum di hati saya kepada
Halimah, tak dapat tiada enggan ia menolak, dan tentu diterimanya. Hal itu nyata benar
kepada saya, ketika kami berjalan-jalan berdua saja di kebun ini. Tidak saya saja yang
sangat bercintakan dia, tetapi Halimah kalau tidakkan lebih, samalah agaknya dengan saya
pula. Bukankah ketika kami duduk di sini, Halimah ada berkata, 'Udo, alangkah bagusnya
angsa dua sekawan itu berenang kian kemari dengan senangnya, tidak ada yang
disusahkannya"' Ketika kami duduk di bangku dekat sungai sebelah sana, ia berkata pula,
'Aduhai, Udo! Tampak-tampak oleh saya negeri Padang dan kuburan ibu. Tahun mana
musim pabila, dan dengan jalan apakah lagi maka tercapai oleh saya negeri yang sangat
saya cintai itu"' Nah, apa lagi, sungguhpun kawat yang dibentuk, ikan di tebat yang dituju. Bukankah
hanya tinggal pada saya saja lagi.
Tetapi, tetapi, kalau saya nyatakan pula perasaan saya dan diterimanya, apakah yang
akan kami makan kelak, karena saya tidak ada berpencarian. Ah, sudahlah, rezeki elang tak
dapat oleh musang. Jika jodohku tiadakan ke mana, saya perlu mencari penghidupan dulu.
Bukankah pangkal kesenangan itu uang" Jika ada uang, yang dimaksud sampai dan yang
dicita datang. Tetapi kalau tidak ada uang ... celakalah hidup."
Midun berdiri lalu berjalan menuju Kampung Empang tempat ayah Halimah tinggal.
Pikirannya sudah putus hendak meninggalkan negeri itu. Segala perasaannya kepada
Halimah, disimpannya dalam peti wasiat di sanubarinya. Nanti jika sudah datang waktunya,
baru ia berani membukakannya. Hampir sampai ke rumah, dari jauh sudah kelihatan
olehnya Halimah berdiri di tepi jalan di muka rumahnya. Setelah dekat, Halimah berkata, "Ke
mana, Udo" Sudah lama saya menanti belum juga pulang" Saya sangka Udo sudah sesat,
atau ditipu Werak* (Werner, orang yang mencari-cari kuli kontrak untuk onderneming dan tambang)
supaya Udo suka jadi kontrak." Halimah berkata itu dengan senyum dan bersenda gurau.
Maka Midun berkata pula, katanya, "Asal orang di sini menipu saya, apa boleh buat.
Sengaja menyeberang kemari, memang akan ditipu orang, tetapi sampai kini belum juga
ada orang yang hendak menipu."
Kedua mereka naik ke rumah. Hidangan sudah tersedia, lalu mereka itu makan
bersama-sama. Setelah sudah makan, ibu tiri dan ayah Halimah, Midun dan Halimah duduk
ke beranda muka. Tidak lama antaranya, Midunpun berkatalah, "Bapak! Yang saya maksud
dari Padang akan mengantarkan Halimah kemari, sudah sampai dan selamat tidak kurang
suatu apa. Sudah hampir sebulan saya di sini, hilir mudik tidak keruan saja. Sekarang
biarlah saya mencarikan untung nasib saya barang ke mana. Akan begini saja sepanjang
hari, tentu tidak boleh jadi. Tidak saja janggal pada pemandangan orang keadaan saya ini,
tetapi bersalahan pula. Saya berjalan tidak jauh, melainkan di tanah Jawa ini juga.
Akan pulang sekali-kali tidak, karena alangan yang sudah saya ceritakan kepada
Bapak. Sebab itu saya harap Bapak izinkanlah saya pergi dari sini. Mudah-mudahan kelak,
jika ada hayat dikandung badan, kita bertemu pula."
Muka Halimah pucat mendengar perkataan Midun yang sekonyong-konyong itu
datangnya. Sudah sebulan di Bogor tak ada disebut-sebut Midun kepadanya tentang hal itu.
Setiba-tiba ia hendak pergi saja. Halimah berpikir kalau-kalau ada perkataannya yang salah,
atau ada yang tidak menyenangkan hati Midun di rumah itu. Biar bagaimanapun jua ia
berpikir, satu pun tak ada teringat kepadanya. Dalam pada itu, bapak Halimah berkata,
katanya, "Bagi bapak, kalau boleh, Anak tinggal di sini saja. Anak, bapak pandang tidak
sebagai orang lain lagi, melainkan sudah sama dengan Halimah. Ada sama kita makan,
tidak sama ditahan. Lagi pula Halimah tentu akan canggung Anak tinggalkan, sebab Anak
sudah disangkanya ... tidak sebagai orang lain lagi."
"Benar kata Bapak itu," ujar Midun, "tetapi akan begini sajakah selamanya" Syukur
kalau Bapak masih mencari, tetapi jika Bapak tidak kuat lagi, bagaimana" Sebab itu saya
berharap benar-benar, Bapak izinkan juga saya pergi hendaknya. Tentang Halimah, saya
rasa tentu dia akan mengizinkan, sebab saya berjalan ini dengan maksud baik, lagi tidak
jauh. Besok sebolehbolehnya dengan kereta api pagi saya berangkat ke Betawi."
Walau bagaimana juga ketiga beranak itu menahaninya, tetapi Midun keras jua
hendak pergi. Oleh sebab itu maka diizinkanlah oleh mereka, tetapi jangan jauh dari Bogor,
dan berharap bertemu jua kelak. Midun berjanji pula, bahwa ia tidak akan jauh, dan bila
akan kembali ke Padang, tentu ia menemui mereka itu lebih dahulu.
Pada malam itu Midun membuat sepucuk surat untuk Halimah, yang akan
diberikannya. Jika dikatakan dengan mulut tidak akan terkeluarkan, apalagi di muka bapak
Halimah. Surat itu ditulisnya dengan tulisan cara surau saja. Demikian bunyinya:
Bogor, 20 Februari 19.. Adikku Halimah! Sungguhpun Adinda sudah mengaku kakak kepada kakanda, tetapi
perasaan sudah sama-sama dimaklumi. Pada ruangan mata Adinda, nyata
Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Misteri Karibia 4 Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti Medali Wasiat 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama