Pendekar Slebor 24 Dagelan Setan Bagian 1
1 Hari pasaran jatuh pada hari ini. Seperti telah berlangsung selama ratusan
tahun, malam pasaran di Desa Wetan akan banyak menyedot pengunjung.
Maklum, di samping digelar panggung hiburan di alun-alun, juga para pedagang
dari berbagai penjuru akan menggelar pula dagangan masing-masing.
Malam seperti itu biasanya menjadi kesempatan bagi para penduduk untuk membeli
barang-barang murah.
Dari panci sampai terasi. Dari sandal bakiak sampai pewangi ketiak. Bagaimana
tidak murah, kalau setiap pedagang bersaing mencuri minat para pembeli"
Sejak matahari terlelap dalam buaiannya di ufuk barat, alun-alun sudah seperti
satu-satunya bunga mekar dirubungi segerombolan lebah haus madu.
Sendiri-sendiri atau bergerombol, para penduduk sekitar Desa Wetan datang dengan
harapan sama. Tak muda. Tak tua. Tak lelaki, tak wanita. Semuanya bersama-sama memadati tempat
tersebut. Dan kalau ada seorang kakek jompo tak ingat mati, tentu juga ingin
datang dengan senyum berseri. Biarpun tak punya gigi!
Syukur, langit cukup ramah. Tak ada ancaman dari gerombolan awan kelabu pekat.
Tak ada. Bentangan langit tampak polos. Namun sesekali diusap oleh sapuan-sapuan
awan halus. Sementara bulan di atas sana, menjadi penghias utama keriangan malam
pesta rakyat itu.
Utara, selatan, barat, dan timur sisi alun-alun menjadi ajang tarung para
pedagang dalam bersilat
lidah untuk berebut pembeli. Meja-meja sesak dagangan berjejer tak begitu
teratur. Ada juga pedagang yang tak ingin repot-repot. Cukup dengan alas tikar
pandan lebar untuk memajang dagangan.
Suara mereka tak kalah nyaring dengan pekikan kawanan manyar laut. Belum selesai
teriakan di sini, sudah menyambung teriakan di sana. Suasana jadi hingar-bingar.
Karena terlalu bersemangatnya, seorang pedagang malah sempat terbatuk-batuk.
Bahkan sampai terkencing di celana, karena tersedak suaranya sendiri.
Dagangannya jadi bau pesing!
"Ayo, ayo! Jangan ragu-ragu memilih! Jangan ragu membeli. Dagangan ini memang
agak bau. Tapi, itu karena dagangan ini berasal dari luar negeri yang dibawa
bersama ikan mentah di dalam kapal dagang dari negeri antah berantah!" kelit
pedagang itu, asal cuap.
Dasar penipu! Untuk menarik perhatian, seorang pedagang yang lain pakai mencak-mencak. Kakinya
menendang kiri dan kanan. Saking semangatnya....
Bret! Celananya kontan robek di bagian yang terlarang.
Dengan wajah merah dia langsung menutup bagian yang robek dengan kedua tangan
sambil cengar-cengir.
Tepat di tengah kesimpangsiuran, panggung besar dari susunan bambu kuning telah
berdiri. Lampu-lampu minyak di pinggirannya tak kalahterang dibanding lampulampu milik para pedagang. Sepertinya, sinar terang lampu minyak panggung hendak
menyombong pada temaram cahaya purnama.
Ketika pengunjung kian membludak, ketika ke-bisingan makin merangkak, ketika
waktu terus merayap mendekati pekatnya malam, acara di atas panggung pun dimulai.
Tampak panggung dinaiki seorang penghulu desa yang memberikan sambutan
membosankan. Suaranya parau, tak mengundang selera siapa pun. Basa-basinya
terlalu banyak. Dengan enaknya dia meng-obral banyak janji pada rakyat yang
sering dibodohi.
Khususnya, sewaktu lelaki itu mendukung pemilihan kepala desa tahun lalu.
"Saudara-saudara yang aku cintai, penduduk desa yang kuhormati, betapa
gembiranya hari ini karena menyaksikan kegembiraan saudara sekalian...."
Dan seterusnya..., dan seterusnya.... Semuanya lebih banyak bumbu pepesan
kosong! Sewaktu para pengunjung mulai menggerutu, barulah acara hiburan dimulai. Hiburan
pertama diisi penyanyi-penyanyi kampung yang akrab dipanggil
'sinden', diiringi tetabuhan gamelan. Lagu-lagu ber-irama kedaerahan
dilambungkan. Rakyat ikut melambung. Memang! Lantunan suara seorang sinden pun
ternyata lebih diharapkan, ketimbang gembar-gembor sesepuh desa bermuka dua.
Penduduk bertempik-sorak pekat sekali, sewaktu rombongan kesenian daerah turun
dari panggung. Mereka puas. Tapi belum cukup puas buat meninggalkan alun-alun. Apalagi malam
belum terlalu larut, dan masih ada dua acara lagi. Satu hiburan dagelan. Dan
puncaknya, pagelaran wayang sampai pagi!
Plok...! Plok...! Plok...!
"Suit..., suit...!"
"Dagelannya yang lucu! Kalau tak lucu, mending jadi tukang sunat saja!" teriak
para penonton. "Ayo, Kang! Buat supaya kita lupa dengan kesusahan! Kalau bisa, sampean aku jodohkan sama mbahku!"
Demikian sambutan penduduk sewaktu seorang lelaki pendagel daerah naik ke
panggung. Wajahnya terlihat tolol sekali. Malah anak kambing tak punya otak pun
masih kalah bodoh. Dan itu saja sudah membuat pengunjung terbahak-bahak. Apalagi
sewaktu lelaki itu menaik-naikkan kumis tanggungnya yang kurang pupuk.
"Saudara-saudara.... Anu, maaf. Hamba mau mendagel. Tolong jangan ditertawakan,
ya.... Anu, hamba masih kikuk. Kalau ditertawakan, hamba nanti tak bisa
mendagel...," mulai si pendagel. Tetap dengan tampang bloonnya yang kelewat
mengenaskan. "Hua-hua-ha!"
Penonton menyambut.
"Anu.... Mohon maaf kalau ada kata yang salah.
terus terang saja, hamba baru jadi pendagel. Hamba hanya meneruskan kepandaian
bapak hamba juga yang jadi pendagel. Bapak hamba itu nerusin kakeknya. Kakek
saya itu sudah tua.... Eh, anu...
pendagel juga maksud saya."
"Hua-ha-ha!"
"Hua-ha-ha! Lucu juga sampean! Sialan!"
Terus dan terus pendagel bertampang tolol itu bercuap-cuap. Setiap kali
kalimatnya terhenti, tawa gelak penduduk pecah.
Beberapa saat berselang, masuk lagi lelaki pendagel lain, kira-kira berusia tiga
puluh tahun. Yang satu ini berwajah tak kalah mengenaskan dibanding yang
pertama. Hanya saja, dia mengenakan semacam polesan hitam arang di sekujur
wajahnya itu. Di atas mata, dibuat garis putih seperti alis yang melengkung berkepanjangan,
dan mengeriting pada
ujungnya. Baru dua langkah dari anak tangga panggung, lelaki celemongan itu tersandung
palang lampu minyak. Dia kontan jatuh berdebam sampai panggung bersuara laksana
beduk. Penonton kontan terpingkal-pingkal.
Sementara si pendagel yang baru masuk melilit-lilit di lantai panggung, karena
keningnya mencium bambu.
"Sampean siapa?" tanya pendagel pertama.
"Sampean brengsek! Masa' kawan jatuh malah ditanya begitu"! Biar disambar
geledek pelan-pelan baru tahu rasa!" umpat pendagel yang baru saja terjatuh.
Ditepuk-tepuknya pakaian serba hitamnya yang kedodoran. Bibirnya yang dipoles
semerah bibir janda genit meringis berkepanjangan.
"Ah! Aku tak kenal sampean" Sampean jangan main-main. Nanti kupanggilkan
keamanan, lho!"
"Lho" Wong keamanannya sudah aku sogok, kok!
Kantongnya kusisipkan uang.... Ditambah, bambu panjang ke perutnya. He-he-he.
Namanya juga disogok!"
"Hua-ha-ha!"
Tontonan sepertinya menjadi lebih meriah.
Dagelan yang dipertontonkan makin seru. Pengunjung tak henti tergelak-gelak.
Sementara, si pendagel pertama sesungguhnya bukanlah sedang mendagel.
Dia sungguh-sungguh waktu menanyakan rekan tak dikenalnya. Matanya berkilat,
gusar campur bingung.
Tapi, tak satu mata penonton pun yang menangkap kejadian ini.
"Paijo! Paijo! Sampean bagaimana sih, jadi pemimpin dagelan! Masa' ada orang
naik panggung sampean diem saja"!" seru si pendagel pertama, di
antara riuh-rendah suara penonton. Teriakannya ditujuan pada kawannya di
belakang panggung.
Tak ada jawaban. Tentu saja itu membuatnya penasaran.
"Paijo! Aku tahu telinga sampean setengah budek!
Tapi sampean dengar teriakanku, toh"!" teriak si pendagel berwajah tolol itu
lagi, sengit. Pendagel berwajah coreng-moreng mendekatinya.
"Ssst..., sssttt! Sampean jangan begitu.... Damai saja, damai...."
Kegusaran si pendagel pertama memuncak sudah.
Mendadak, didorongnya lelaki itu dengan kasar. Dan dia segera turun memanggil
keamanan. Sementara lelaki yang didorong terjatuh kembali.
Pantatnya terantuk ujung panggung, membuat matanya mendelik sebesar mata buto
ijo. Ledakan tawa penonton terpancing kembali.
Mereka masih mengira kalau kejadian barusan adalah satu babak dagelan. Sayang,
mereka tak menyadari sedikit pun kalau satu adegan kematian di panggung akan
segera dimulai....
"Sampean brengsek! Sampean brengsek apa tidak, sih"!" maki pendagel berwajah
coreng-moreng seraya bangkit. "Jangan tinggal aku sendirian di panggung!
Aku bisa mati berdiri! Kalau aku mati berdiri, bagaimana nanti menguburnya"!"
Tiba-tiba lelaki berwajah coreng-moreng ini menarik pendagel berwajah tolol
keras-keras. Sampai-sampai, pendagel itu terlempar ke tengah panggung kembali.
Cara terlemparnya di mata penonton seperti wajar-wajar saja. Bahkan kembali
mengundang tawa.
Sampai pendagel berwajah coreng-moreng mendekati, tubuh lelaki itu belum juga
bangkit. "Sampean bagaimana, toh" Mau mendagel, apa
mau tidur" Kalau mau tidur, kenapa tak mengajak bini sekalian?"
Dijemputnya tangan lelaki yang tergeletak itu, masih di dalam kepungan gelak
tawa penonton. Begitu tangan tadi ditarik untuk membangunkan, ketika itu juga gelak tawa
berganti teriakan dan pekikan kengerian!
Apa yang terjadi"
Ternyata, tubuh pendagel pertama sudah tak utuh lagi! Bagian-bagian tubuhnya
menjadi rapuh. Buktinya, tangannya terlepas ketika ditarik pendagel coreng-moreng....
"Wah! Sampean tak tahu terima kasih. Aku sudah mau menolong berdiri, sampean
malah ngasih tangan. He-he-he...!" celoteh pendagel berwajah coreng-moreng.
Bibirnya memperlihatkan senyum samar, yang berkesan begitu bengis!
"Apa-apaan ini!"
Tiba-tiba seorang keamanan desa bertubuh kekar dan berkumis baplang melompat ke
atas panggung. Tangan kanannya sudah menghunus golok besar.
"He-he-he.... Sampean linglung" Ini kan hanya dagelan...," kilah pendagel
coreng-moreng sambil melambai-lambaikan potongan tangan yang di-pegangnya.
Darah dari potongan tangan itu tampak masih menetes-netes ke permukaan panggung.
"Dia bukan anggota dagelan kami, Kang!" jerit seorang perempuan di tengah-tengah
penonton. "Kalau begitu, siapa kau sebenarnya"!" tanya centeng tadi, lantang dengan sikap
siaga penuh. Wajahnya sendiri tak bisa menyembunyikan kengerian melihat bagaimana mayat di
atas panggung seperti terpotong-potong.
"Hie-he-he! Kau mau tahu siapa aku sebelum tubuhmu pun kubuat seperti lelaki
itu" Aku adalah Pendagel Setan! Dengar aku" Pendagel Setan! Hei, dunia
persilatan! Kalian dengar aku"! Akulah Pendagel Setan yang akan siap membuat
nyali kalian semua menciut!"
*** 2 "Kau benar-benar manusia biadab!"
Bersama makian kalap, centeng alun-alun berkumis baplang itu melabrak lelaki
asing yang menyebut dirinya Pendagel Setan. Satu sebutan yang bukan saja aneh,
tapi juga ganjil!
Golok di tangan keamanan itu menebas deras bagian dada Pendagel Setan. Tentunya
dia sudah benar-benar mata gelap, menyadari kebiadaban orang di depannya.
Sebenarnya, centeng itu pun juga merasa ngeri di dasar hatinya. Dari hasil
tindakannya pada korban saja, sudah bisa dilihat bagaimana dalamnya kesaktian
Pendagel Setan. Ilmu silatnya mungkin hanya seujung jari dibanding Pendagel
Setan. Hanya karena nyalinya besar, maka dengan nekat centeng alun-alun itu
melabrak juga dengan golok bergerak membabat.
Wuk! Srat! "Heh"!"
Centeng alun-alun menjadi terperanjat sekaligus gembira. Sulit dipercaya kalau
golok yang diayunkan ternyata mengenai sasaran. Matanya jelas-jelas menyaksikan
baju hitam Pendagel Setan tersayat.
Setelah terhuyung sejenak, tubuh Pendagel Setan ambruk.
Si centeng terdiam dengan napas memburu.
Dadanya turun naik tak teratur. Sedang matanya menatap tanpa kedip ke tubuh
lawan yang ter-telungkup.
"Benarkah aku telah berhasil merobohkannya?"
tanya hati si centeng bimbang.
Untuk memastikan, lelaki kekar ini melirik mata goloknya. Tak ada darah! Kejap
itu juga, disadarinya permainan licik lawan.
Sayang kesadarannya terlambat. Karena....
"He-he-he..,."
Wrrr! Tubuh yang semula tergeletak diam di depan centeng itu tiba-tiba memperdengarkan
tawa menggidikkan, disusul gerakkan meluncur di atas permukaan panggung. Bagai
gerak menerjang seekor ular lapar, tubuh Pendagel Setan tiba di dekat sasaran.
Lalu.... Crep! Cengkeraman kilat tangan Pendagel Setan tahu-tahu telah 'mencuri' benda berharga
di selangkangan si centeng! Untuk sebuah serangan, sasaran di daerah itu akan
menjadi serangan mematikan.
Apalagi, Pendagel Setan melakukannya dengan cara telengas. Seketika 'benda
simpanan' centeng itu tercerabut dari tempatnya!
Crot...! "Aaa...!"
Darah cepat membanjiri celana bagian
selangkangan centeng malang itu. Untuk beberapa saat tubuhnya mengejang kuat
dengan tangan mendekap erat bagian terluka. Kelopak matanya membeliak. Mulutnya
membuka, seperti hendak menggugurkan erangan kematian yang terkunci di
tenggorokan. Setelah itu, centeng yang berani mati ini ambruk menemani korban sebelumnya di
permukaan panggung. Sementara, Pendagel Setan hanya terkekeh
panjang, menyaksikan hasil kerjanya. Raut wajahnya bengis diperlihatkan berkawal
kilatan kebiadaban di kedua biji matanya.
Melihat kejadian itu, penduduk makin berubah kalang-kabut. Jeritan dan pekik
bertumbukan, saling tindih, saling penggal. Gerombolan orang yang sebelumnya
memadat cukup teratur, kini serabutan kian kemari seperti gerombolan semut
terusik tangan jahil.
Yang mampu lari dalam kekacauan, akan segera mencari jalan keluar. Tak peduli
apakah akan menginjak tubuh-tubuh yang terjatuh atau tidak.
Beberapa wanita bergelimpangan pingsan. Tubuh mereka nenjadi sasaran empuk
jejakan kaki-kaki liar.
Kegemparan memuncak begitu kekacauan merembet pada tempat-tempat para pedagang menggelar dagangan. Lampu-lampu minyak
terlanggar, lalu membakar. Api pun lahir, membakar apa-apa yang bisa dibakar.
Temaram langit malam pun disaput jilatan warna merah.
"Kebakaraaan!"
"Tolong! Tolong.... Jempolku hilang!"
"Copet! Copeeet! Manusia kutu kupret tidak tahu adat! Kalau mau nyopet jangan
lagi kacau begini!"
Pendekar Slebor 24 Dagelan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan serentetan kekacauan berlanjut.... Di antara semua itu, menerabas teriakan
lantang berisi tantangan!
"Pendekar Slebor! Dengarlah tantanganku! Dunia persilatan boleh kau buat
terkagum pada kehebatan-mu. Tapi tidak denganku. Suatu saat nanti, akan kita
buktikan siapa sesungguhnya manusia terhebat di
'panggung gila' ini!"
*** Pagi baru saja lahir. Dimulai sapuan cahaya merah saganya di cakrawala belahan
timur, matahari mulai merambah naik. Satwa menyambutnya dengan suka cita,
bertolakbelakang dengan keadaan di alun-alun Desa Wetan. Di sana, asap tipis
masih mengambang lambat menodai udara. Kebakaran semalam tinggal sisa. Puingpuing arang berserakan masih mengepul-kan asap tipis. Delapan mayat berserakan
di sekitar panggung yang telah porak-poranda.
Seorang wanita berkebaya merah muda terisak-isak di tengah-tengah kehancuran
itu. Dengan selendangnya yang sudah terkena hitam arang di sana-sini, tubuhnya
bersimpuh di dekat serakan mayat. Wajahnya sebenarnya cukup ayu. Hanya karena
kejadian semalam, membuat wajahnya agak tak karuan.
"Ada apa, Neng?"
Terdengar sapaan halus, seramah hawa pagi.
Wanita itu menghentikan tangisnya. Kepalanya menoleh. Tampak sosok gagah berotot
berdiri di sampingnya. Wajahnya tampan. Dari wajah itu pula perempuan ini bisa
menemukan keramahan. Terlebih dengan sebaris senyum yang sanggup menjerat hati
banyak dara. Pakaiannya tak bisa dibilang resik.
Berwarna hijau pupus, dan terlihat tak begitu terurus.
"Kakang siapa?" tanya perempuan ini dengan suara tersendat-sendat.
"Aku hanya seorang pengelana, Neng," jawab pemuda berbaju hijau pupus dengan
kain bercorak catur tersampir di bahunya, menyembunyikan jati diri sesungguhnya.
"Sudikah kau menerangkan apa yang sesungguhnya terjadi di tempat ini?"
Mendapati pertanyaan pemuda berpakaian hijau
ini, si wanita berkebaya malah menyambung tangisnya yang sudah kekeringan air
mata. Sepertinya, tangis sebelumnya belum dituntaskan.
"Tujuh mayat ini adalah teman-teman serom-bonganku yang mestinya manggung
semalam. Satu orang lagi, mayat keamanan desa. Bagaimana aku tidak sedih" Mereka
itu kawan senasib se-penanggungan. Mereka sudah seperti saudara...."
tutur wanita ini.
"Sudahlah, Neng. Relakan mereka." hibur pemuda itu. "Kenapa mereka sebenarnya,
Neng?" Pemuda itu bertanya lagi, karena jawaban perempuan yang ditanya tidak cukup
jelas baginya. "Mereka dibunuh, Kang...."
"Siapa yang melakukannya?"
"Aku tidak tahu. Lelaki bajingan itu tahu-tahu saja datang dengan menyamar
menjadi satu anggota rombongan dagelan kami. Dia mengaku sebagai Pendagel
Setan...."
"Pendagel Setan?" bisik pemuda tampan ini mengulangi. Di telinganya nama itu
begitu asing dan aneh.
"Setelah membunuh, dia mengancam orang-orang persilatan, Kang. Apa Kakang orang
persilatan?"
lanjut perempuan itu lagi.
"Kenapa, Neng?"
"Kalau Kakang orang persilatan, sebaiknya hati-hati terhadap orang itu."
Anggota rombongan dagelan yang tersisa itu berhenti sejenak. Dia seperti
mengingat sesuatu.
"Dan kalau Kakang bertemu..., Pendekar Slebor, bilang pula padanya agar hatihati," lanjut peremuan itu lagi.
Pemuda berpakaian hijau menjadi tertarik pada
kalimat terakhir wanita di sampingnya. Terlihat jelas dari perubahan raut
wajahnya. "Kudengar, lelaki iblis itu sempat mengancam Pendekar Slebor. Katanya, dia akan
menantang Pendekar Slebor. Apa Kakang kenal Pendekar Slebor?"
Pemuda ini tidak menyahut, tidak juga meng-gerakkan kepala sebagai jawaban.
Bukannya karena tak ingin menanggapi pertanyaan perempuan anggota rombongan
dagelan itu. Tapi dalam pikirannya saat itu hanya ada satu kecamuk yang
mengusik. Sampai semuanya dituntaskan oleh....
"Pendekar Sleeebooorrr! Oiii, apa itu kau"!"
Terdengar teriakan mengguntur dari seseorang di kejauhan. Pemuda yang dipanggil
dan tak lain Pendekar Slebor sendiri, cepat menoleh ke asal panggilan bernada
serampangan tadi. Wajahnya berubah asam, demi menyaksikan siapa yang sedang
berlari serabutan menuju tempatnya.
Orang itu adalah lelaki besar bertelanjang dada. Di seluruh tubuh hingga
wajahnya ditumbuhi bulu-bulu kasar panjang. Dengan berlari sambil melompatlompati puing-puing, orang yang datang itu sudah seperti biang kera dari hutan.
"Kiamat.... Kenapa orang gila seperti dia mesti bertemu aku lagi," rutuk
Pendekar Slebor.
Wanita di dekat Andika langsung memekik melihat kehadiran lelaki seram itu.
Dalam benaknya, ter-gambar seekor gorila besar tersasar yang bisa saja mengoyakngoyaknya dengan cakarnya yang setajam mata pisau.
"Tenang, Neng. Dia tidak apa-apa. Sudah jinak,"
ujar Andika, setengah memaki lelaki yang dimaksud.
Siapa lelaki tinggi besar dipenuhi bulu di manamana itu" Andika mengenalnya sebagai Lelaki Berbulu Hitam, tokoh tua sakti yang
malang melintang lebih dahulu beberapa puluh tahun dibanding Andika sendiri.
Hanya karena awet muda saja, lelaki itu tidak seperti tokoh-tokoh seangkatannya.
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang tokoh satu ini, bacalah episode: "Manusia
Dari Pusat Bumi" dan
"Pengadilan Perut Bumi"!).
Lelaki Berbulu Hitam adalah salah satu tokoh sinting jajaran atas yang
berperangai kasar.
Kemarahannya mudah terpancing, seperti mudahnya minyak terbakar api. Dunia
persilatan sulit menentukan dari golongan mana asalnya. Hitam tidak, putih pun
bukan. Dia hanya bertarung mengikuti ke-marahan. Tapi kalau sudah bertemu anak
muda buyut Pendekar Lembah Kutukan, sikapnya secara mengherankan bisa berubah
sama sekali. "Aooo, kita bertemu kembali, Tuan Penolong," seru Lelaki Berbulu Hitam seraya
menubruk Andika.
Langsung dipeluknya Andika keras-keras, lalu mengguncang-guncangkannya.
"Berhenti!" bentak Andika. Isi perutnya bisa keluar semua kalau terus diurakurak seperti ini.
Lelaki Berbulu Hitam tidak peduli. Mungkin hatinya terlalu girang bertemu Tuan
Penolong yang bisa menolong menghilangkan sifat pemarahnya, sesuai wangsit yang
dulu didapat. "Sudah! Sudah!" Pendekar Slebor mulai berteriak-teriak kalap.
Bagaimana Andika tidak mengkelap" Sudah
pelukan manusia setengah serigala itu kerasnya seperti jepitan bukit karang,
baunya pun lebih menyengat daripada seratus ekor bandot!
Karena tak juga dilepas, Andika jadi tak sabar lagi.
Daripada muntah, lebih baik diberinya teman lamanya yang sinting itu sedikit
bogem. Begh! Tinju Andika yang sengaja disalurkan tenaga sakti segera memangsa perut Lelaki
Berbulu Hitam. Biji mata lelaki itu membeliak seketika. Bibirnya meringis lebarlebar. Sebentar kemudian....
"Khoeeekkh!"
Isi perut Lelaki Berbulu Hitam termuntahkan semua.... Untung Andika cepat
menghindar. Kalau tidak, tahu sendiri.
"Tuan Penolong! Apa kau melihat seorang jelek di sekitar tempat ini?" tanya
Lelaki Berbulu Hitam beberapa saat kemudian.
"Siapa yang kau maksud?" tanya Andika.
"Orang jelek, ya jelek."
"Yang kumaksud namanya!"
"Aku tidak tahu. Hanya wajahnya saja yang kuingat.
Hitam berlumur arang. Wajah jelek itu benar-benar membuatku sebal. Ingin kucopot
wajah orang itu!"
jelas Lelaki Berbulu Hitam dengan gigi-giginya bergemeletuk menahan geram.
"Ya dialah orangnya, Kang!" sambut wanita anggota rombongan dagelan itu tibatiba. "Orang ber-ciri-ciri seperti itulah yang telah melakukan pem-bantaian
semua ini!"
Andika tercenung. Menurut cerita wanita di dekatnya, namanya disebut-sebut oleh
bajingan itu. Dan jika bajingan itu masih di sekitar tempat ini, kemungkinan
besar dirinya sedang diawasi.
"Hebat," bisik Andika samar. "Seberapa tinggi ilmu kesaktiannya, hingga aku
tidak menyadari sedang diawasi?"
3 Tindakan Pendagel Setan di Desa Wetan sebenarnya merupakan kelanjutan dari sepak
terjangnya yang keji selama sepekan ini. Sejak kemunculan pertamanya, lelaki
aneh itu terus mencuri nyawa demi nyawa. Tak peduli, apakah korbannya adalah
orang persilatan atau bukan. Bahkan tega-teganya dia menjatuhkan tangan pada
seorang bocah tak berdosa sekalipun!
Dalam sepekan saja, sudah lebih dari lima belas orang kehilangan nyawa. Sembilan
di antaranya mati dalam keadaan serupa seperti nasib naas yang menimpa pendagel
di Desa Wetan. Tubuh mereka menjadi amat rapuh. Sampai usikan seekor gagak pun
dapat dengan mudah mencabut bagian-bagian tubuh mereka! Sedangkan sisanya, mati
dengan cara tak kalah aneh. Mayat mereka mengejang dengan tangan mendekap perut.
Sebenarnya, hal itu tidak aneh. Yang aneh justru wajah-wajah mereka
memperlihatkan kalau saat menemui ajal mereka sedang tertawa.
Sulit dipahami, apa mau tokoh sesat yang mendadak saja melambung namanya karena
kebiadabannya. Di samping karena belum pernah dikenal dunia persilatan
sebelumnya. Juga karena kesimpang-siurannya dalam menelan korban.
Lalu, anggapan pun merebak. Banyak kalangan persilatan menganggap Pendagel Setan
tak lebih dari orang sinting yang haus darah. Dia tak bisa disebut sebagai orang
golongan hitam. Apalagi, golongan putih.
Tak sedikit tokoh hitam sendiri menjadi muak mendengar sepak terjang Pendagel
Setan. Bagi sebagian golongan hitam, membunuh seorang bocah tak berdaya, tak
lebih dari tindakan meludahi kepala sendiri. Harga diri mereka akan dicemooh
oleh selaksa bibir warga persilatan.
Namun, Pendagel Setan justru sebaliknya. Dengan kesan penuh kebanggaan, sehabis
membunuh, ditinggalkannya tanda berupa boneka kayu berwajah hitam, tepat di atas
tubuh mayat si bocah yang tertimpa kemalangan.
Waktu terus melaju menyiduk hari demi hari.
Tiga pekan setelah kejadian di Desa Wetan, terjadi keributan antara beberapa
bocah hijau di sebentang persawahan kering. Ada empat bocah lelaki berlarian di
pematang. Anak yang terdepan membawa lari sesuatu di tangannya. Sementara tiga
yang lainnya ngotot mengejar, hendak merebutnya.
Perebutan benda di tangan bocah di depan rupanya sudah berlangsung cukup lama
dan seru. Keadaan mereka semua sudah tak karuan. Badan mereka yang bertelanjang dada sudah
dilumuri lumpur coklat. Rambut mereka kotor dan basah.
"Oi, Pitak! Kasih boneka itu padaku! Kalau kau terus lari, nanti akan kutambah
pitakmu jadi dua belas!" teriak salah seorang bocah terbesar, bernada dongkol.
"Kalau mau boneka ini, tangkap aku! Dasar gede bohong! Bisanya cuma makan!"
balas anak yang dikejar seraya melompati lubang di pematang dengan kelincahan
seekor menjangan.
Kejar-kejaran berlangsung sengit. Anak yang di-buru rupanya jauh lebih gesit dan
lincah dibanding para pengejarnya. Padahal untuk ukuran tubuh, anak
itu jauh lebih kecil dari yang lain.
Kejar-kejaran tiba di atas desa. Kalau saja tak menabrak seorang wanita yang
menghadang larinya, tentu anak hitam dekil si pembawa boneka itu sudah
menghilang dari para pemburunya.
"Waduh! Maaf, Kak!" ucap si bocah, merasa bersalah karena telah menabrak.
Yang ditabrak adalah seorang wanita berpakaian pendekar. Wajahnya tak cantik.
Tapi memendarkan kesan ayu jika diperhatikan. Tanpa pupur atau tambalan di
wajah. Pakaiannya cenderung seder-hana. Warnanya hitam dari atas hingga ke
bawah. "Kenapa kau lari-lari tak karuan, Adik Kecil?" tanya wanita berpakaian pendekar
seraya menyibak rambut panjangnya yang menutupi wajah.
"Itu, Kak. Ada anak-anak brengsek mau merebut boneka yang kudapat," lapor bocah
dekil ini. Sambil berkata, kepala bocah ini terus menoleh ke belakang. Sinar matanya
sebentar-sebentar terlihat takut. Sebentar kemudian, terlihat memelas. Tentu
saja bocah cerdik itu hendak memancing rasa kasihan orang yang baru ditemuinya.
"Kakak seorang pendekar, bukan?" tanya bocah ini kemudian.
Wanita berpakaian hitam mengangguk.
"Kalau begitu, tolong aku, ya?"
Wanita itu mengangguk lagi.
"Memangnya kau kenapa, Adik Kecil?"
Bibir si bocah memancung. Dengan bibir itu pula, ditunjuknya anak-anak yang
mengejarnya. Mereka sudah tampak pula di kejauhan.
"Itu...! Mereka mau merebut bonekaku ini, Kak!"
lapor bocah pitak ini kelimpungan.
Beberapa saat, bocah ini sudah berlari mengitari
tubuh si pendekar wanita. Dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan. Seolah-olah,
kawanan bocah yang mengejarnya sudah sampai di dekatnya.
Sementara itu anak-anak yang mengejar makin dekat. Dan ini membuat si bocah
dekil kian kelimpungan. Sampai akhirnya, dia tak bisa lagi menahan kakinya,
hendak lari kembali.
"Tunggu dulu!" cegah pendekar wanita. Dicekalnya pergelangan tangan anak itu.
Sengaja ditahannya, karena tertarik pada boneka di tangan si bocah.
Bentuk boneka itu mengingatkannya pada desas-desus yang belakangan terdengar
santer. "Lepaskan aku, Kak! Mereka mau menjadikan aku perkedel!" teriak si Bocah.
"Biar kulihat boneka itu dulu," ujar pendekar wanita berpakaian hitam ini.
Mata si bocah mendelik.
"Apa"! Jadi kakak mau boneka ini juga"!"
"Aku mesti melihatnya. Hanya melihat apa tidak boleh. Nanti akan kukembalikan,"
bujuk pendekar wanita ini.
"Nih, ambil saja sekalian!" tukas si bocah sengit.
Bocah ini segera menyodorkan boneka di tangannya kasar-kasar. Setelah itu, dia
buron. Apa lagi yang mau diperbuatnya kalau kawanan anak-anak yang mengejar
sudah demikian dekat"
"Pendekar kok masih senang boneka! Pendekar apa itu"!" maki bocah itu di
kejauhan. Sementara para bocah pengejar sudah melewat pendekar wanita itu setelah
sebelumnya berhenti sebentar untuk melihat boneka yang diperebutkan.
Sepeninggalan anak-anak kampung tadi, si pendekar wanita mengamati baik-baik
boneka di tangannya.
"Jelas. Ini memang boneka yang digemparkan orang persilatan. Ini pasti milik
Pendagel Setan,"
gumam wanita ini.
Sebentar kemudian, kepalanya menoleh ke arah bocah kecil tadi menghilang, seraya
menghentak napas.
"Sayang..., aku tak sempat menanyakan di mana boneka maut ini ditemukan," desah
wanita ini, menyesali.
Setahu wanita ini, boneka itu adalah tanda khusus Pendagel Setan pada korban
kebiadabannya. "Tentu Pendagel Setan telah kembali bertindak keji di sekitar sini. Manusia
busuk itu!" geram pendekar itu.
Lalu. Wanita ini pun berpikir untuk mencari tahu.
Akan diperiksanya daerah sekitar. Dia yakin, mayat korban Pendagel Setan masih
ada. Entah di mana.
Bahkan ada kemungkinan juga Pendagel Setan pun masih berkeliaran.
"Rasanya ingin sekali aku memecahkan tempurung kepala manusia busuk itu!"
Baru saja kakinya hendak melangkah, mendadak saja naluri kependekaran wanita ini
menangkap ketidakberesan. Tubuhnya menegang. Seluruh kemampuan inderanya segera
dikerahkan. Sekarang perasaannya makin jelas menangkap adanya ketidakberesan.
Telinganya menangkap desir halus dari arah utara yang begitu cepat, berkekuatan,
serta lurus sepanjang jalan setapak menuju dirinya.
Segera pendekar wanita ini bersiaga.
Sekejap kemudian, matanya menangkap gerakan cepat sosok seseorang. Tidak bisa
dipastikan, wanita atau lelaki. Gerakanya begitu cepat, hingga matanya sulit
memperhatikan bentuk tubuh serta wajah orang
Pendekar Slebor 24 Dagelan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang baru datang.
Wanita itu sendiri sempat terkejut, menyaksikan kecepatan yang mengagumkan di
depan matanya. Untuk ukuran dirinya, gerakan itu sudah jauh beberapa tingkat di atasnya. Karena
itu tubuhnya makin menegang. Hatinya merasa yakin, bahaya yang akan dihadapinya
mungkin bisa membuang nyawa ke neraka!
Sampai.... "Minggir! Minggir! Jangan halangi jalanku! Terdengar teriakan mengguntur orang
yang sedang berlari deras di depan.
Wush! Begitu sampai, si pendekar wanita sepenuh tenaga melenting ke udara seraya
berputaran tiga kali. Dan tindakannya ternyata cukup untuk menghindari terjangan
sosok tadi. Begitu menjejakkan kakinya di tanah, wanita ini menjadi heran. Ternyata orang
yang melesat tadi tidak melakukan serangan lanjutan. Sosok ber-kecepatan tinggi
itu malah terus memaju geraknya.
Sepertinya, keberadaan si pendekar wanita cuma dianggap kentut!
"Hei, berhenti kau!" hardik si pendekar wanita.
"Jidatmu empuk!" balas orang tadi, lebih sengit.
Meski belum yakin bisa menandingi ilmu meringankan tubuh orang tadi, si pendekar
wanita memutuskan untuk mengejar. Namun belum sempat kakinya digerakkan, sudah
terdengar lagi desir yang sama dari arah yang sama pula.
Wanita ini cepat berbalik. Dan persis seperti tadi, tampak pula sesosok tubuh
bergerak demikian cepat.
Tak kalah gesit dan tak kalah mengagumkan. Bahkan tampaknya memiliki ilmu
meringankan tubuh yang
tinggi. Sekali lagi, si pendekar wanita dipaksa terperanjat tak alang-kepalang. Siapa
lagi ini" Kenapa jalan ini tiba-tiba disantroni orang-orang kelas atas dunia
persilatan" Tanpa bisa berpikir lebih jauh, dia harus menyelamatkan diri dari
labrakan orang brengsek ini.
Seperti cara menghindar sebelumnya, pendekar wanita berpakaian hitam-hitam itu
melenting ke udara tinggi-tinggi. Segenap kekuatan harus dikerahkan, karena
kecepatan yang harus dihindari begitu dahsyat.
"Bagus! Lompat yang tinggi! Aku mau lewat!" seru orang tadi, enteng. Suaranya
seperti seorang pemuda. Sedang gaya seruannya terlalu acuh.
"Berhenti!" teriak wanita ini, begitu mendarat.
Si pendekar wanita berusaha menahan. Tapi, teriakannya dianggap angin lalu saja
oleh orang tadi.
Siapa yang tak gusar dibegitukan" Maka, wanita ini tak ingin membiarkan orang
tak tahu adat tadi lewat begitu saja, seperti orang sebelumnya.
Tahu kalau orang yang dikejar tak mungkin di-bekuk dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh tanggung-tanggung, wanita ayu itu langsung meng-empos seluruh
kemampuan lari cepatnya sampai puncak.
Beberapa saat, si pendekar wanita ini memang masih mampu menguntit. Namun selang
sekian saat berikutnya, dia sudah keteter jauh. Buruannya lari bagai setan
kesiangan. Maka sebentar saja, buruan-nya sudah lenyap di batas hutan kecil.
"Kunyuk dekil! Brengsek!"
Sumpah serapah terlempar dari mulut mungil pendekar wanita ini. Siapa sebenarnya
dua orang penuh teka-teki tadi" Apa hubungannya dengan
Pendagel Setan yang dicurigai si pendekar wanita telah menyatroni daerah itu"
*** 4 Di pinggir sebentang sungai dangkal berair jernih dua sosok tubuh menghentikan
larinya begitu sampai di tempat itu. Yang pertama tiba, langsung saja melompat
ke batu besar di tengah-tengah sungai. Belum dua puluh tarikan napas celana
buluknya sudah dilorotkan sambil tergesa-gesa jongkok. Lalu bau tak sedap pun
mencemari udara.
Sementara yang tiba belakangan mulutnya tak henti-hentinya menggerutu. Dengan
agak terengah-engah di tepian sungai, dikutukinya habis-habisan orang yang kini
begitu khusuk membuang limbah perutnya!
Memang kedua orang itulah yang telah
menyerobot jalan pendekar wanita berpakaian hitam-hitam tadi. Siapa mereka" Tak
lain tak bukan, Pendekar Slebor dan Lelaki Berbulu Hitam.
"Biar mati disambar geledek nyasar kau!" rutuk Andika, dongkol bukan main.
Sewaktu mereka berjalan bersama tadi, tiba-tiba saja si tua bangka awet muda itu
lari kelimpungan sepenuh tenaga. Andika tentu saja terkejut. Dikiranya, ada
bahaya yang ditangkap naluri Lelaki Berbulu Hitam. Karena setahu Andika, si tua
tak waras itu memang memiliki naluri tajam. Bukankah dia memang setengah
serigala" Andika pun mengejar.
Kejar-kejaran berlangsung seru, tanpa juntrungan.
Lelaki Berbulu Hitam berlari seperti hendak mampus di tengah jalan. Andika tentu
saja makin ke- bingungan. Makanya dia tak kalah ngotot menguntit manusia batu itu.
Untuk mengejar tokoh sekelas Lelaki Berbulu Hitam, bukan kerja mudah buat
Andika. Biarpun dirinya telah dibekali ilmu warisan Pendekar Lembah Kutukan yang
kecepatannya begitu menghebohkan.
Asal tahu saja, Lelaki Berbulu Hitam adalah tokoh bangkotan yang telah lebih
dahulu malang melintang di tengah dunia persilatan puluhan tahun silam. Dia
adalah salah satu dedengkot yang sulit dicari tandingannya. Kalaupun perawakan
dan wajahnya tak menjadi keriput atau keropos, itu karena pengaruh campuran
darah serigala dan manusia dalam dirinya. Bahkan kalau Andika bertarung
dengannya, belum tentu dapat menang.
Jika kini tokoh pemberang itu seperti kerbau dicocok hidungnya terhadap pendekar
muda dari Lembah Kutukan, penyebabnya karena muslihat tokoh seangkatannya, Raja
Penyamar. Raja Penyamar telah memberikan wangsit palsu kepada Lelaki Berbulu Hitam. Dalam
wangsitnya, disebutkan bahwa hanya Pendekar Slebor yang bisa menolong Lelaki
Berbulu Hitam dalam mengenyahkan sifat pemberangnya yang kelewatan.
(Untuk mengetahui cerita itu, bacalah episode: Pengadilan Perut Bumi")
Bahkan Andika tak mempedulikan si pendekar wanita yang sedang melintasi jalan
tadi. Padahal, matanya sempat berbinar-binar sewaktu menemukan betapa ayunya
gadis itu. Lalu setelah kejar-kejaran gila itu berujung di tepi sungai, kedongkolan Andika
pun meletus. Yang semula dikira keadaan genting, ternyata hanya keadaan
'darurat' buat perut sial Lelaki Berbulu
Hitam. Apa tidak keterlaluan"
Belum puas Andika menumpahkan kedongkolannya, mendadak terdengar teriakan sengit
seorang wanita melabrak angkasa. Telinga pemuda dari Lembah Kutukan
mendengarnya. Sementara Lelaki Berbulu Hitam di tengah sungai sampai menahan
kembali 'sesuatu' yang hendak keluar, karena begitu terkejut.
Selanjutnya, ketajaman telinga Pendekar Slebor menangkap pula suara-suara yang
selama ini sudah begitu dikenalnya. Semacam kericuhan dalam sebuah pertarungan.
"Apa yang terjadi?" tanya Andika, pada diri sendiri.
Sementara itu, pendengarannya dipusatkan untuk menentukan arah kericuhan
barusan. Begitu bisa ditentukan, Andika tak menunggu lama lagi segenap kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya digenjot.
"Hei, jangan tinggalkan aku!" teriak Lelaki Berbulu Hitam. "Tuan Penolong!
Sudikah Tuan bersabar sebentar sampai aku menuntaskan 'kewajibanku' ini!"
"Sisakan saja buat besok!"
*** Begitu sampai, Andika melihat seorang wanita berpakaian hitam sedang bertempur
dengan orang berpakaian aneh. Wajah dipenuhi coreng-moreng.
Belakangan, nama dan sepak terjangnya menggemparkan dunia persilatan. Dialah
Pendagel Setan!
Wanita ini tampak begitu bernafsu menghambur-kan serangan pada Pendagel Setan.
Tampaknya kekejian tokoh aneh yang didengar selama ini, telah
membuat hasratnya menggebu untuk mengenyah-kannya.
Segenap jurus telah dikerahkan wanita berpakaian berwarna hitam itu. Namun
hingga saat itu, tak ada satu pun serangannya membawa hasil. Rupanya si pendekar
wanita itu telah salah duga. Karena memang, Pendagel Setan bukan tokoh sesat
sembarangan. Bahkan Pendekar Slebor sendiri pun belum tentu memiliki kesempatan
untuk mengalah-kannya.
"Ciaaah!"
Satu tusukan jari berkuku panjang milik pendekar wanita berpakaian hitam mencoba
merobek tenggorokan Pendagel Setan lewat jurus puncaknya yang diberi nama
'Amukan Macan Hitam Betina'. Setiap sambaran kuku tangannya, bisa berarti
kematian. Jangankan kulit manusia. Bahkan kayu paling keras di jagad ini pun bisa
dicaciknya dengan mudah.
Menghadapi serangan liar ini, Pendagel Setan tak tampak kelimpungan. Santai saja
kepalanya melengos. Sepertinya, dia tak bergerak. Tapi hasilnya ternyata bisa
mementahkan sambaran kuku ke kerongkongannya.
Wukh! Luputnya serangan tadi membuat pendekar wanita yang baru saja turun ke dunia
persilatan menyusuli-nya dengan cabikan tangan yang lain. Ulu hati Pendagel
Setan hendak dikoyak dari arah samping.
Untuk serangan berikutnya, entah kenapa
Pendagel Setan tak tampak berniat menghindar. Dia hanya menanti. Sekejap
kemudian, cakar wanita itu pun sampai.
Blep! Terdengar suara lembut yang nyaris tersamar
dengan hempasan napas Pendagel Setan, tepat ketika cakaran pendekar wanita itu
mendarat. Di kejauhan Andika tak mempercayai kenyataan itu. Kalau serangan pertama yang
tak kalah hebat dapat dimentahkan begitu gampang, tak mungkin serangan
berikutnya dapat mudah sekali menemui sasaran. Ada sesuatu yang ganjil. Begitu
pikir Andika Meski tangan kiri pendekar wanita itu tampak ter-sangkut di perut
Pendagel Setan.
Ketajaman pengamatan Pendekar Slebor memang beralasan. Buktinya di kancah
pertarungan sana, Pendagel Setan melontarkan tawa keangkuhannya.
Wajah coreng-morengnya menengadah ke langit, seakan mengejek malaikat maut yang
gagal men-jemputnya.
Apa yang sesungguhnya terjadi"
Dengan kemahirannya memainkan otot, dengan menakjubkan Pendagel Setan telah
menjepit kuku wanita itu di lipatan perutnya! Sungguh satu tindakan yang teramat
sulit, sekaligus berjudi dengan nyawa sendiri. Bagaimana tidak sulit dan
berbahaya" Sebab kalau saja salah perhitungan dalam meredam sambaran tenaga
cakar tadi, tak ayal lagi kulit perutnya akan terkoyak! Bahkan isinya akan
ambrol keluar. Kalau Andika sebelumnya curiga, wanita itu justru sebaliknya. Saat ini dia sudah
yakin kalau tengah melangkah pada satu kemenangan. Dalam perkiraannya, tentu
cakar tangannya telah merejam dalam-lalam ke perut lawan. Dan kini siap membedolnya. Sewaktu hendak melakukan hentakan ke sisi perut Pendagel Setan. Pendekar wanita
ini dipaksa menyadari perhitungannya yang luput.
"Hiii!"
Berawal lengkingan seperti erang macan betina, pendekar wanita itu berusaha
melepaskan jepitan perut lawan.
Gagal. Dua-tiga kali dicobanya lagi. Hasilnya, tetap nihil.
Malah jari-jari kukunya terasa seperti hendak terlepas. Pedih bukan main.
Menyaksikan ketidakberdayaan lawan, Pendagel Setan melepas tawa kembali.
Ocehannya pun mengalir. Suaranya cempreng. Menyakitkan untuk didengar siapa pun.
"Percuma kau terus mencoba menarik kukumu.
Nanti malah yang lain keluar dari bagian belakang-mu!" oceh Pendagel Setan.
Ucapannya seperti hendak mendagel. Sayang, yang terdengar justru nada
menggidikkan. "Jangan harap kau bisa membunuh Macan Hitam Betina"!" bentak wanita yang
menyebut dirinya Macan Hitam Betina.
Cepat sekali satu kaki wanita ini bergerak menyapu ke atas. Gerakan yang
dilakukannya benar-benar mempesona. Kakinya menebas ke atas, melewati tangannya
yang terjepit. Bagian selang-kangannya seperti tak memiliki tulang. Begitu
lentur bergerak. Bahkan dengan lentur, dicobanya mem-beset kening Pendagel Setan
dengan kuku jarinya.
Padahal, tubuh laki-laki itu jauh lebih tinggi darinya.
Tap! Sewaktu Pendagel Setan menangkap kakinya Macan Hitam Betina membuat satu gerakan
lentur kembali. Sebelah kakinya yang lain menyapu pulang ke atas. Gerakan ini
pun tak mudah dilakukan.
Karena, kaki yang digunakan untuk menyapu harus
pula dijadikan jejakan, sekaligus untuk melompat.
Usaha wanita itu kali ini berhasil membuat Pendagel Setan agak kelimpungan. Dua
serangan kaki tak terduga, membuatnya harus membuang tubuh ke belakang.
Sebelah tangan Macan Hitam Betina memang terbebas. Tapi akibatnya, pendekar
wanita pemberani ini harus membayarnya dengan kehilangan empat kuku jarinya yang
telah tertarik paksa, karena kulit perut lawan masih menjepitnya.
"Aaakh!"
Begitu merasakan sakit pada tangannya, Macan Hitam Betina mengeluh tertahan.
Darah menetes dari keempat kuku jarinya. Perihnya sudah pasti tak terkira.
Menahan siksaan rasa sakit. Wajah ayunya sampai menjadi memucat. Sementara,
matanya me-merah dan agak tergenang.
"Kenapa, Cah Ayu" Kau tak bisa lagi menggaruk dengan jari kirimu?" cemooh
Pendagel Setan, diiringi seringai memuakkan di pandangan Macan Hitam Betina.
Dan dengan gaya padat ejekan, Pendagel Setan mengumpulkan kuku-kuku wanita ini
yang masih terjepit di kulit perutnya.
"Kau membutuhkan ini?" tanya Pendagel Setan.
"Chih! Manusia tengik!" maki wanita ini penuh gejolak kemurkaan.
Macan Hitam Betina meludah kasar.
"Karena aku tak memerlukannya," lanjut Pendagel Setan. "Nih, ambil kembali!"
Wush! Pendagel Setan seketika melemparkan potongan kuku tadi ke arah pemiliknya.
Derasnya luncuran kuku demikian sulit terukur. Sampai-sampai, mata
Macan Hitam Betina tak dapat menangkap gerakannya.
Tanpa mau menanggung akibatnya, Macan Hitam Betina mengerahkan seluruh kemampuan
ilmu meringankan tubuhnya untuk menghindari hujaman kuku-kukunya sendiri.
Seketika tubuh sintalnya melenting ke udara seraya berputar seperti seekor
manyar yang pamer dengan gerakan lincahnya.
Namun siapa sangka wanita ini telah terkecoh"
Tak heran Macan Hitam Betina menyangka kalau lawan ternyata sama sekali belum
melempar kuku-kuku di tangannya. Gerakan melempar tadi dibuat Pendagel Setan
hanya untuk menipu. Jadi, kalau tadi mata Macan Hitam Betina tak menangkap gerak
laju kuku-kukunya, itu bukan karena kecepatan yang demikian tinggi! Tapi karena
Pendagel Setan belum melepas kuku-kuku itu.
Saat diudara seperti itu, Macan Hitam Betina bisa dibilang mati. Di lain pihak,
Pendagel Setan menganggapnya sebagai peluang emas. Maka dengan licik,
dilemparnya kuku-kuku yang masih ditangannya. Kali ini memang benar-benar
dilakukan! Wush! Srrr! Tampaknya, si pendekar wanita perkasa akan mengalami nasib mengenaskan, terhujam
kukunya sendiri! Senjata makan tuan"
*** 5 Mati memang selamanya tidak ditentukan manusia.
Kalaupun keadaan mungkin sudah tak memungkin-kan seorang bisa hidup, dengan
keputusan Penguasa Semesta, hal itu tak akan terjadi.
Tak! Tak! Pada saat-saat genting, mendadak serbuan empat potongan kuku yang mengancam
nyawa Macan Hitam Betina tersapu sesuatu di udara. Maka laju menggila dari kukukuku itu kontan terjegal. Kekuatan pem-bunuh yang terkandung di dalamnya saat
itu pula terpedaya. Penyebabnya hanya oleh empat butir kerikil kecil yang
mendadak meluncur penuh kekuatan, tepat memapas laju gerak semua kuku!
Seketika, kuku-kuku itu berserakan di tanah.
Jelas, ada orang yang ikut campur tangan dalam serangan itu. Namun tak sulit
untuk mengira, perbuatan siapa itu. Ya, hasil kerajinan tangan Pendekar Slebor!
"Bukankah tak jantan jika seorang lelaki harus bersikap telengas pada lawan yang
sudah tak berdaya" Apalagi lawannya seorang wanita...," kata Pendekar Slebor,
Pendekar Slebor 24 Dagelan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sok berlagak bagai seorang bijaksana.
Andika keluar dari persembunyian, tak jauh di belakang calon lawannya.
Terdengar decak pemuda urakan ini kemudian.
"Kalau kau baru saja melakukan itu, aku jadi sangsi apakah kau masih memiliki
kejantanan. Ufh, maaf! Aku tak bermaksud mengatakan kalau kau
sudah tak memiliki...."
Andika terkekeh memenggal kata-katanya
sebentar. "Tak memiliki 'gagak' simpanan lagi!" tambah Pendekar Slebor pedas sekali,
berteriak menirukan suara gagak.
"Akhirnya kau keluar juga dari lubang per-sembunyianmu...," kata Pendagel Setan,
tanpa menoleh. Andika mengangkat kening.
Bagaimana tokoh sesat ini bisa mengetahui kehadirannya secara jelas" Hati
pendekar muda itu langsung bertanya heran. Padahal setahu dia, selama bertarung
dengan Macan Hitam Betina, tak sekalipun Pendagel Setan memperhatikan tempat
persembunyiannya.
"Sialan! Apa di belakang kepalanya dia memiliki biji mata simpanan!" rutuk
Andika. "Boleh juga orang ini...."
"Dari tadi aku menunggumu untuk ambil bagian dalam dolanan ini. Sayang sekali,
sekarang seleraku susut sudah," kata tokoh aneh ini, enteng.
Andika merasa calon lawannya hendak menyingkir.
Dugaan Pendekar Slebor terbukti. Tanpa sempat membiarkan Andika melakukan apaapa, bahkan untuk satu tarikan napas pun, tangan tokoh bertabiat ganjil itu
bergerak cepat. Dikeluarkannya sesuatu dari balik baju. Lalu....
Buhs! Tepat ketika tangan Pendagel Setan menghempas mengembangkan kepulan asap kelabu
pekat, menyelimuti seluruh tubuhnya beberapa saat.
Menghilangnya kabut kelabu secara perlahan, diikuti pula oleh lenyapnya tubuh
Pendagel Setan!
"Kunyuk buduk atau tengik!" maki Andika jengkel sekali.
"Belum waktunya kita bertemu, Pendekar Slebor.
Memang aku ingin sekali menggelitiki perutmu atau mencabuti bulu-bulumu. Tapi,
aku harus bersabar.
Karena aku telah mempersiapkan tempat istimewa untuk kencan kita. O, ya....
Jangan lupa bawa bunga!
He-he-he!"
Tak lama berselang, telinga pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu menerima
kiriman suara dari kejauhan. Bisikannya begitu halus, seolah-olah terdengar
langsung dari lubang telinga Pendekar Slebor. Hebatnya, yang mendengarnya hanya
Andika. Tentu saja itu dilakukan dengan keahlian mengirim suara yang tinggi.
Andika mendengus. Muak sekali tantangan itu terdengar.
Sepeninggal Pendagel Setan, Andika mendekati Macan Hitam Betina yang masih
berkutat menahan pedih luar biasa di ujung jari-jari kirinya. Di samping ingin
tahu siapa sesungguhnya si ayu itu, anak muda mata bongsang ini ingin juga
mendekatinya. Bukankah pada kesempatan sebelumnya dia hanya sempat melewati
perempuan berwajah sejuk itu" Kalau sekarang ada kesempatan buat jadi pahlawan,
tunggu apa lagi" Begitu pikir pendekar urakan ini.
Kucing mana mau menyia-nyiakan daging empuk!
"Biar aku bantu, Nona...," kata Andika, me-nawarkan jasa.
"Siapa kau?" Wanita ayu itu malah bertanya.
Tatapannya memendam bara kecurigaan.
"Aku" Ah, Nona cukup memanggilku Andika," sahut Andika, lugas.
"Julukanmu! Aku ingin tahu julukanmu!" bentak
Macan Hitam Betina galak.
Andika tak menyangka wanita berwajah sejuk seperti dia, ternyata ketusnya
seperti setan perempuan.
"Biarkan aku menolongmu dulu...."
"Tak perlu!"
Andika menggaruk-garuk jidat, menggaruk-garuk pantat, dan menggaruk-garuk
hidung. Mulutnya cengengesan serba salah. Kalau biji matanya bisa digaruk, tentu
sudah digaruknya pula.
"Jangan cengengesan seperti itu! Kau sudah melakukan kesalahan, tahu"!" hardik
Macan Hitam Betina. Sepasang bola matanya membesar, meng-gemaskan.
"Aku melakukan kesalahan" Kesalahan apa?"
tukas Andika. "Gara-gara kau, manusia busuk itu pergi! Padahal aku sudah akan membuat remuk
batok kepalanya!"
tuding Macan Hitam Betina, sengit.
"Ah! Yang kutahu, kepala kaulah yang hampir bocor," tukas Andika.
Di samping ketus, ternyata perempuan ini juga sedikit tinggi hati. Tapi Andika
senang. Rasanya sifat ugal-ugalannya menjadi gatal kalau bertemu makhluk betina
seperti ini. "Bicara sekali lagi seperti itu, kepalamu akan menjadi ganti kepala manusia
busuk itu!" dengus Macan Hitam Betina.
"Jangan," sergah Andika. "Rugilah aku kalau begitu.
Kau tahu sendiri, kepalaku jauh lebih bagus daripada kepala si tengik tadi.
Lihat! Betapa tampannya aku.
Sedangkan orang itu, ah! Monyet jelek saja mungkin masih kalah jelek!"
Andika sengaja melantur. Biasa, sifat urakannya
yang pernah terbentuk sebagai bocah gelandangan kotapraja dulu mulai kambuh.
"Kau memang minta dihajar, heh!"
"Salah! Yang betul, aku ingin sekali minta di...."
Andika memonyongkan bibir. Matanya dipejamkan.
Dasar buaya! "Lelaki bajingan!"
Setumpuk kekesalan yang menggelayuti tenggorokan, diwujudkan Macan Hitam Betina
dengan meraih batu sekepalan tangan di dekat kakinya. Lalu langsung dilemparnya
wajah Pendekar Slebor.
Didasari rasa gemas, lemparannya pun bukan sembarangan. Disalurkannya setengah
tenaga dalam tingkat ke sekian. Dia berharap, moncong pemuda di depannya remuk!
Wukh! Batu meluncur deras menuju sasaran. Arahnya begitu tepat menuju bibir Andika
yang masih saja memancung hebat. Dan pemuda urakan itu
tampaknya seperti tak mengindahkan bahaya yang bisa membuat bibirnya cacat. Dia
masih monyong. Matanya masih terpejam. Apa maunya pemuda urakan satu ini" Apa dia sudah bosan
memiliki wajah tampan"
Tepat ketika batu itu sudah tinggal sejengkal lagi dari bibirnya. Andika
melengos. Walhasil, batu itu meluncur terus ke belakang. Jauh ke belakang.
Sampai.... Bletak! "Wiaaauuu!"
Terdengar teriakan seseorang. Suaranya menggelegar seperti salakan binatang buas
dari pojok bumi. Itu pun kalau bumi ini ada pojoknya.
"Sshiaapaaa yang berani-berani membuat jidatku
bengkak seperti ini!"
Lelaki Berbulu Hitam tahu-tahu muncul di sana dengan mendekap jidat. Bibirnya
meringis-ringis parah. Sementara matanya mendelik-delik liar, sepertinya siap
menelan siapa saja yang berada di dekatnya!
Demi melihat wujud mengerikan orang yang baru muncul. Macan Hitam Betina nyaris
memekik. Untung mulutnya cepat ditutup. Selama turun ke dunia persilatan
beberapa purnama lalu, belum pernah ditemukannya manusia seseram ini. Saking
terkejut-nya, rasa pedih di ujung jari kirinya terlupakan.
Berbulu hitam. Taring di mulutnya. Tinggi besar. Kalau bukan raja dari segala
raja monyet, barangkali orang ini setan penunggu keramat yang keluar siang
bolong! Begitu pikir si pendekar wanita.
"Siapa?" ulang Lelaki Berbulu Hitam. Suara laki-laki ini makin menggelegar,
sanggup menggetarkan nyali siapa pun. Pendekar Slebor sendiri jadi sempat ngeri
juga. Manusia tak waras satu ini tak akan memandang siapa-siapa, kalau sudah
berang. Andika hanya takut ubun-ubunnya digeragot!
"Oh! Rupanya ada Tuan Penolong juga di sini."
Kalimat lelaki berdarah setengah serigala itu berubah melunak, mendapati
Pendekar Slebor. Biarpun tampak dipaksakan, bibirnya masih berusaha tersenyum.
Akhirnya, yang muncul malah raut wajah orang telat buang hajat.
"Apa Tuan Penolong tahu, siapa yang telah melempar batu sembarangan?" tanya
Lelaki berbulu Hitam.
Andika meringis.
"Memangnya akan kau apakan orang itu?" tukas Andika.
Lelaki Berbulu Hitam memperlihatkan taringnya.
"Akan kukunyah dagingnya! Grrr!"
Melihat itu, maka tubuh Macan Hitam Betina pun menciut.
Andika melirik. Dia senang sekali menyaksikan si ayu itu mengkeret seperti karet
terjemur. Permainan usilnya pun diperpanjang.
"Kalau aku jadi kau, Pak Tua. Bukan saja akan kukunyah daging orang itu! Bahkan
akan kujemur dagingnya untuk persediaan makan selama satu bulan!" kata Andika
memanas-manasi.
"Betul. Tuan Penolong! Akan kujemur dagingnya!
Grrr!" Macan Hitam Betina makin menciut. Biarpun menganggap dirinya sebagai pendekar,
namun jiwa kewanitaannya tetap tak bisa dilenyapkan sama sekali. Kalau dia,
berani menghadapi Pendagel Setan, semata-mata karena kesombongannya yang
kelewat. Macan Hitam Betina menganggap ilmu yang dimiliki sudah hebat. Padahal, dia
tergolong hijau di dunia persilatan. Masih belum kenyang makan asam garam. Jadi,
tak heran kalau sikapnya begitu.
Memang baru seumur hidup dilihatnya orang se-mengerikan itu.
Wajah ayu Macan Hitam Betina jadi memucat.
Kalau Andika terus mengompori Lelaki Berbulu Hitam, sebentar saja tentu wanita
ini akan pingsan.
"Jadi, siapa yang telah melempar batu itu. Tuan Penolong?" desak Lelaki Berbulu
Hitam, tak sabar.
Andika melirik lagi Macan Hitam Betina.
Perempuan itu kian memucat.
"Ah! Barangkali batu itu hanya terbawa angin. Pak Tua...," kata Pendekar Slebor
kemudian, melegakan hati si wanita ayu di dekatnya.
Lelaki Berbulu Hitam menggerutu. Sekarang keberangannya tak bisa ditumpahkan
pada siapa-siapa.
Pada angin pun percuma. Bagaimana bisa melabrak angin"
Kemarahan yang tertahan itu berakibat buruk buat diri laki-laki berdarah
serigala ini. Perutnya jadi demikian mulas melilit-lilit. Sebentar saja, dia
sudah berlari kembali ke arah kedatangannya.
"Mau ke mana, Pak Tua"!" teriak Andika.
"Sungai!"
"Dasar otak bekas! Mana ada batu sekepal tangan terbawa angin sepoi-sepoi
seperti ini." gumam Andika.
cengengesan. *** 6 Ada sebuah tempat rahasia yang tersembunyi dari jangkauan orang-orang
persilatan. Tempat yang bisa dibilang kelewat mengerikan bagi siapa saja. Bahkan
untuk seorang pemberani sekali pun!
Di sana, menghampar luas sebuah padang kering.
Bahkan terlalu kering. Rumput liar yang biasa sanggup bertahan hidup di tanah
gersang, tak mampu bertahan di tempat tersebut. Dataran yang lowong. Gundul
seperti gurun. Tanahnya berwarna hitam, terlihat rapuh ketika diterjang angin.
Sementara beberapa batang pepohonan yang masih berdiri hanya tinggal batangbatang kering. Cabang dan rantingnya gundul meranggas, seperti gapaian tangan-tangan makhluk
dari alam lain. Di atas cabang-cabangnya, berhimpun ratusan burung pemakan
bangkai yang bertengger berjajar, seperti serdadu kematian menanti perang. Warna
hitam mereka seperti menggantikan daun.
Di atas sana, langit diselubungi mega kelam.
Bukan. Gumpalan-gumpalan yang tak beranjak itu bukanlah awan. Itu tak lebih dari
kabut beracun yang telah mengungkung tempat ini selama ratusan tahun.
Sari pati tanah langka di bawahnya, telah mengikat secara aneh gumpalan-gumpalan
kabut beracun itu.
Dari tahun ke tahun.
Hanya burung-burung pemakan bangkai di atas cabang-cabang kering yang tetap
bertahan hidup, seakan-akan menjadi penghuni tetap. Jumlah mereka begitu banyak,
mendirikan bulu roma. Mereka
memang telah beranak-pinak. Kadang mereka pergi bergerombol keluar jika harus
mencari mayat untuk santapan!
Di samping mereka, ada manusia yang juga dapat bertahan hidup. Kini, dia berdiri
memandangi hasil kerjanya, membangun panggung dari susunan ke-rangka tulang
manusia! Orang itu tak lain dari Pendagel Setan.
Kerangka terakhir telah ditancapkan ke tanah, sebagai bagian terakhir dari
panggung ganjil menggidikkan yang dibangun selama sekian pekan. Di salah satu
sudut panggung, dia berdiri berkacak pinggang. Dipandanginya panggung hasil
karyanya dengan kepuasan pekat di mata.
"Semuanya sudah siap. Tempatku membuktikan diri selaku penguasa rimba persilatan
telah ku-bangun! Tinggal tunggu tamu kehormatanku, Pendekar Slebor! He-he-he,
Pendekar Slebor! Dia aka tiba di sini pada hari yang kurencanakan untuk
mengantar nyawa! Ya, mengantar nyawa!" kata Pendagel Setan sesumbar.
Kembali Pendagel Setan memandangi bentangan tonggak-tonggak tulang manusia
berbentuk panggung. Cukup lama, hingga hatinya yang keji merasa puas.
"Padang Mega Racun! Kau akan menjadi saksi untukku. Menjadi saksi terbunuhnya
pendekar muda besar tanah Jawa di tanganku. Pada saatnya nanti!"
pekik Pendagel Setan ke segenap penjuru dataran kerontang di sekelilingnya.
Burung-burung pemakan bangkai di ranting-ranting pohon kering menyambutinya
dengan koakan ramai, bersama suara kepakan sayap riuh.
Ringan, kaki Pendagel Setan menjejaki tonggaktonggak tulang manusia. Satu demi satu, menuju tengah-tengah panggung ganjil
yang dibangunnya.
Setibanya di sana, lelaki itu berdiri untuk beberapa tarikan napas.
Selanjutnya, kedua tangan lelaki ini bergerak lamban seirama setiap hembusan
napasnya. Selang berikutnya, sepasang tangan kerempengnya menghasilkan suara
berkecipak. Terdengar seperti permukaan air yang dimainkan. Dari gerakan lamban,
tangan itu terus bergerak kian cepat. Cepat dan terus bertambah cepat.
Pada saatnya, gerak tangan itu membentuk bayangan sayap seekor burung raksasa.
Angin besar itu terlahir, berputar-putar liar di sekeliling arah gerak kedua
tangan tersebut.
Dua pusaran angin dengan arah berbeda terbentuk sudah. Pusarannya terus
meninggi, meng-gapai kabut pekat beracun. Seperti memiliki kekuatan, pusaran
angin ciptaan itu menarik inti racun dari kabut di atas sana, menuju sepasang
tangan lelaki ganjil itu. Semuanya terserap perlahan, seakan air terhisap tanah.
Tak lama, tangan Pendagel Setan pun berubah warna. Warnanya kini seperti kabut
pekat di atas. Kelabu dan terus makin kelabu. Lalu...
"Khhh!"
Drrrttt! Dari kebutan sepasang tangan yang terus bergerak itu, meluncur deras hawa kasap
mata menuju satu sasaran.
Trash! Zhhh! Seketika kawanan burung pemakan bangkai se-batang pohon beterbangan kacau
seperti baru digebah angin ribut. Dan memang, pohon kering
besar itu telah menjadi sasarannya. Sebentar batang kokoh pohon tersebut
bergetar seperti baru saja ada gempa. Begitu angin melewatinya, seluruh kulit
pohon itu terkelupas bersamaan! Tak hanya itu. Serat-serat kayu bagian dalamnya
pun turut bertebaran.
"Lihatlah, kawan-kawanku!" seru Pendagel Setan pada seluruh burung pemakan
bangkai yang setia, memperhatikan gerak-geriknya. "Dengan sempurna-nya tenaga
'Kepak Racun Pemakan Bangkai'-ku, tubuh Pendekar Slebor akan kubuat bernasib
sama dengan pohon itu!"
Lagi-lagi binatang-binatang menjijikkan di atas sana menyambuti seruan Pendagel
Setan dengan koakan serta kepakan sayap yang ramai.
"Nah! Kini, tibalah kalian menjalankan tugas!"
Pendekar Slebor 24 Dagelan Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendagel Setan melanjutkan seruannya pada seluruh burung pemakan bangkai di
sana. Dari tengah-tengah panggung ganjil miliknya, tubuh kerempeng itu melompat ringan
jauh ke depan. Lalu manis sekali dia hinggap kembali sekitar lima belas tombak dari tempat
semula. Di sana, tepat di bawah kakinya, sudah tersedia tumpukan gulungangulungan kecil tanah berwarna hitam.
Plokk! Pendagel Setan bertepuk tangan sekali.
Tampaknya, tepukan itu amat berarti bagi kawanan burung di atas ranting-ranting
pepohonan kering. Satu persatu binatang-binatang itu terbang menuju ke arah
Pendagel Setan. Ketika tiba, tangan Pendagel Setan menjemput satu gulungan tanah
hitam, lalu melemparkannya kepada burung tadi.
Saat itu juga burung itu mencengkeram tanah hitam, dan segera terbang ke
angkasa, meninggalkan Padang Mega Racun. Satu persatu begitu. Sampai
seluruhnya menghilang di balik kabut kelabu pekat.
*** "Hei, jangan pergi!"
Andika mengurungkan langkahnya. Kepalanya menoleh ke arah Macan Hitam Betina
dengan tatapan gemas.
"Tadi kau menolak niat baikku menolongmu.
Sekarang, ketika aku mau pergi, kau malah menahan-ku! Jadi apa maumu sebenarnya
heh"!" tanya Andika, sewot.
"Aku mau kau mengatakan siapa dirimu sesungguhnya!" tandas Macan Hitam Betina.
Memang, sejak Andika keluar dari persembunyian tadi, wanita itu masih saja
ngotot ingin mengetahui julukannya.
"Yang pasti, aku bukan siluman pasar burung.
Atau, tengkulak kebun singkong. Atau, monyet lupa diri...."
"Diam!"
"Atau kecoak jompo...," kata Andika seraya melanjutkan langkah santai.
"Diam!"
"Atau..., perempuan brengsek seperti kau!" Andika berbalik lagi dengan mata
melotot. Dongkol setengah mampus dia diperlakukan seperti anak tiri seperti itu.
"Kau benar-benar mau tahu siapa aku"!" hardik Pendekar Slebor keras-keras,
sampai otot-otot di lehernya seperti hendak meletus.
"Katakan kalau kau tak ingin mampus di tanganku!" teriak Macan Hitam Betina, tak
kalah keras. "Aku...."
"Tuan Muda!"
Mendadak seseorang menjegal niat Andika. Dari arah tenggara, datang tergopohgopoh petani tua.
Tubuhnya masih berlumur lumpur sawah. Masih basah. Besar kemungkinan, dia baru
saja meninggalkan pekerjaannya. Menilik parasnya, orang itu tampaknya sedang
dicekam ketakutan.
"Apa Tuan Muda seorang pendekar?" susul petani tua itu tergesa.
Tahu keadaan mendesak, Andika tak ingin ber-lama-lama lagi. Dianggukinya
pertanyaan si bapak petani cepat.
"Ada apa, Orang Tua?" tanya Andika.
"Di desa..., di Desa Wetan...."
"Perlahan-lahan, Orang Tua. Biar aku bisa jelas mengerti keadaannya."
"Ah! Aku sulit menjelaskannya, Tuan Muda.
Sebaiknya Tuan Muda ikut aku segera," pinta si petani tua mendesak.
"Baik!" sahut Andika mengangguk mantap.
Petani tua ini cepat beranjak. Dan Andika mengikuti dari belakang.
"Tunggu! Aku ikut!" ujar Macan Hitam Betina belakang Andika.
*** Andika, Macan Hitam Betina, dan si petani tua tiba di pinggir desa yang
dimaksud. Di pematang sawah yang tergelar megah sepanjang tepi desa, mereka
berdiri menatap langit. Petani tua telah menunjukkan sesuatu pada Andika clan
Macan Hitam Betina.
"Ah! Bukankah itu hanya awan mendung saja.
Orang Tua?" kata Andika, menyaksikan gerombolangerombolan kecil awan kelabu berarak terpisah angkasa. "Tapi, tunggu...."
Andika langsung menajamkan pandangan.
"Memang aneh," bisik Pendekar Slebor kemudian.
"Benar, Tuan Muda. Gumpalan-gumpalan awan kelabu itu selalu mengikuti ke mana
kawanan burung-burung pemakan bangkai melayang."
"Benar, Orang Tua," dukung Andika. "Lalu, kenapa keanehan itu membuat kau merasa
harus memberitahukan aku, Orang Tua?"
"Karena sekitar lima belas tahun silam di Desa Wetan ini terjadi hal yang sama,"
papar si petani tua.
"Dan apa Tuan Muda ingin tahu kejadian selanjutnya?"
Andika mengangguk. Sementara Macan Hitam Betina di sisinya menampakkan wajah
sungguh-sungguh, menanti kelanjutan cerita petani tua itu.
"Puluhan warga desa mati dalam satu hari!"
"Apa sebabnya, Orang Tua?" selak Matan Hitam Betina. Mulut ketusnya rupanya tak
bisa ditahan lagi.
"Arakan-arakan awan yang mengikuti kawanan burung pemakan bangkai itu ternyata
mengandung racun mengerikan! Begitu tiba di atas desa kami, kabut itu menurunkan
semacam embun tipis ke segenap penjuru desa. Siapa saja yang menghirup, akan
mati di tempat. Keadaan seluruh korban begitu menggidikkan.... Tuan-tuan Muda
mau tahu, apa yang terjadi?"
"Mau, mau!" terjang Macan Hitam Betina bernafsu.
"Mereka mati dengan tubuh menjadi rapuh! Ihhh!
Bayangkan saja, tubuh mereka bahkan dengan mudah dipreteli kawanan burung-burung
pemakan bangkai. Sepertinya daging dan tulang mereka telah berubah selunak
lumut!" papar orang tua ini.
Andika bergidik. Terlebih perempuan di sebelah-nya.
"Kebetulan waktu itu ada beberapa pendekar yang singgah di desa kami. Mereka
berusaha mencari tahu, apakah semua itu hanya kejadian alam biasa.
Atau, perbuatan seseorang. Sebelum tahu apa yang sesungguhnya tengah
berlangsung, mereka semua ditemukan tewas di tengah sawah," lanjut orang tu ini.
Lelaki berkulit gesang itu berhenti sebentar.
Tampaknya dia pun nyaris tak bisa menguasai rasa ngeri yang melata liar dalam
dirinya "Salah seorang yang sekarat sempat member-tahukan pada kami, bahwa kejadian itu
adalah perbuatan seorang wanita yang terusir dari desa.
Sayang, sebelum semuanya jadi jelas, ajal men-jemputnya...."
Andika menatap kembali langit di atas sana. Laju gumpalan-gumpalan kabut kelabu
di atas sana kian dekat ke arah Desa Wetan, bersama meluncurnya kawanan burung
pemakan bangkai tepat di bawah gumpalan-gumpalan kabut. Matanya menyempit.
Kerutan tegang terlihat.
Kalau Andika memperhatikan keadaan para
korban dalam cerita bapak tua tadi, didapatinya ada kemiripan dengan korban
perbuatan Pendagel Setan beberapa waktu sebelumnya. Tapi, kenapa pendekar
sekarat dalam cerita si petani tua justru mengatakan bahwa kejadian itu
didalangi seorang wanita" Lalu apa kaitannya dengan peristiwa kini" Apa pula
kaitannya dengan Pendagel Setan" Andika belum bisa menemukan titik terang dalam
masalah ini. Semuanya masih samar baginya.
"Begini saja, Orang Tua. Sebaiknya ccpatlah pergi ke desa. Ingatkan mereka untuk
segera mengungsi
ke tempat yang lebih aman. Sementara itu, aku akan mencoba semampuku menghalangi
gumpalan-gumpalan kabut beracun itu, kalau bisa akan kucoba
menyingkirkannya...," ujar Andika mantap.
"Bagaimana denganku?" tukas pendekar wanita di dekatnya.
"Kau" Sebaiknya cepat mencari kain gombal, lalu sumpal mulutmu!"
Andika memang masih menyimpan kejengkelannya pada Macan Hitam Betina.
*** 7 "Koakk! Koakk!"
Angkasa dicemari teriakan-teriakan memekakkan kawanan burung pemakan bangkai.
Berjumlah ratusan. Mereka telah tiba di atas desa yang dituju.
Desa yang lima belas tahun lalu telah menjadi korban, kini hendak dimangsa
kembali! Seperti cerita bapak petani tua, saksi hidup kejadian terdahulu, kawanan burung
pemakan bangkai itu akan menggiring gumpalan-gumpalan kabut beracun menuju atas
desa. Di beberapa sudut desa, beberapa ekor burung melepaskan gulungan tanah
sehitam jelaga dari cakarnya. Gulungan tanah sebesar kepalan tangan itu meluncur
jatuh, siap menebar bencana. Demikian pula kejadian di beberapa sudut lain.
Sesungguhnya, bukan gulungan tanah hitam itu yang mengancam nyawa penduduk.
Melainkan, awan pekat kelabu di atasnya. Seperti diketahui, gulungan-gulungan
tanah itu berasal dari Padang Mega Racun yang memang jenis tanah langka. Dan
tanah itu memiliki daya tarik kuat ke bawah, terhadap gumpalan-gumpalan kabut
yang mengandung racun tertentu.
Seperti daya pada besi sembrani yang bisa menarik besi lain.
Maka, jika gumpalan-gumpalan tanah itu dijatuh-kan di tempat tertentu akan ada
gumpalan-gumpalan kabut beracun di angkasa! Kabut beracun itulah yang telah
membantai puluhan bahkan ratusan warga
Desa Wetan ini, lima belas tahun silam! Dan kali ini, gumpalan-gumpalan kabut
racun itu pun siap menebar maut.
Di atas sana, para makhluk yang telah andil menggiring kabut tersebut melayanglayang tiada henti.
Mereka terbang dalam gerak bergairah menebar kematian. Bukankah mereka hanya
menunggu beberapa saat untuk mendapatkan limpahan makanan lezat bagi mereka yang
berupa bangkai-bangkai manusia!
Benarkah mereka akan segera merayakan pesta besar" Tidak! Sebelum mereka tiba,
nyatanya penduduk desa telah berhasil diungsikan secepatnya, atas pemberitahuan
petani tua tadi. Desa kini menjadi melompong. Suasana senyap meraja. Jalan-jalan
lengang. Yang jelas, desa itu berubah menjadi desa mati tak berpenghuni.
Senja datang perlahan. Ketika itu, bobot kabut kelabu pekat yang menggelantung
di angkasa menjadi lebih berat. Lambat tapi pasti, gumpalan-gumpalan itu merayap
turun dari angkasa, menjamah hampir segenap bagian desa. Jalan-jalan menjadi
ladang kabut. Begitu juga pekarangan-pekarangan rumah penduduk, kebun-kebun,
atau petak-petak tempat bermain para bocah.
Binatang-binatang ternak yang tak sempat dibawa mengungsi mengalami nasib naas
saat itu juga. Mereka bergelimpangan di sana sini, dalam lautan kabut yang menggerayang lamban
namun mematikan.
Tak lebih dari empat tarikan, kabut beracun tadi telah berhasil melempar keluar
nyawa binatang-binatang ternak malang dari jasadnya. Ayam, kambing. bahkan
seekor kerbau jantan kekar sekali
pun. Lalu, bagaimana bila manusia"
Kalau hanya sampai di sana. mungkin tak terlalu menggidikkan. Namun daya kerja
racun yang dibawa kabut tadi rupanya tak berhenti sampai di situ saja.
Setelah tubuh binatang-binatang mangsanya bergelimpangan, secara lambat
kekenyalan daging serta kekerasan tulangnya mulai digerogoti. Tak lama, daging
dan tulang bangkai-bangkai itu menjadi demikian rapuh. Begitu rapuh, sampai
tiupan angin sepoi-sepoi pun mampu menerbangkan bulu-bulu mereka. Atau lebih
mengerikan lagi, dapat membuat kulit terkelupas!
Lebih mengerikan dari itu, ternyata kejadian itu berlangsung ketika korban
sedang sekarat. Artinya, mereka akan begitu tersiksa luar biasa, saat bagian
demi bagian tubuh terlepas dan terkelupas!
Pendekar Aneh Naga Langit 10 Imbauan Pendekar Karya Khu Lung Pendekar Gelandangan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama