Pendekar Slebor 21 Neraka Keraton Barat Bagian 1
1 Malam semakin membentang. Suasana begitu sunyi mencekam. Rembulan di angkasa tak
mampu menghalangi timbunan awan hitam yang seperti enggan berpindah tempat.
Sementara sebuah bangunan di bawah sinar
rembulan yang tipis, kelihatan sunyi senyap. Bau anyir darah tercium. Suara
burung gagak yang mengerikan berkaok-kaok, memecah keheningan malam.
Bangunan itu adalah Keraton Kerajaan Pakuan yang kini semakin porak poranda
saja. Sementara mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman keraton, bertumpuk
tanpa dipedulikan. Rata-rata mereka berpakaian prajurit. Namun dilihat dari
seragamnya, mereka memang para prajurit Kerajaan Labuan yang membantu Kerajaan
Pakuan, yang saat ini dikuasai Tidar alias Raia Akherat.
Kekejaman Tidar memang sangat mengerikan, iImunya pun sangat dahsyat. Di antara
yang mati terlihat tiga sosok tubuh berpakaian putih, dan dua sosok tubuh
berpakaian warna hitam. Kelimanya adalah prajurit-prajurit Kerajaan Labuan yang
mencoba menyerang Raja Akherat. Namun, akhirnya harus menerima ajal secara
mengenaskan. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode: "Raja Akherat").
Sementara saat ini, Sari yang ikut dalam
penyerbuan ke Keraton Pakuan masih dalam
keadaan pingsan setelah bertarung melawan Raja
Akherat. Gadis ini kini terbaring di kamar Prabu Adiwarman.
Pendekar Slebor yang bermaksud menyusup ke keraton itu, terpaksa harus menyusuri
lorong bawah tanah dalam keadaan merangkak. Namun semakin jauh merangkak mulai
disadari, kalau saat ini ia tersesat. Setiap Andika mencari jalan tembus, tak
pernah ketemu. Bahkan Andika merasakan kalau sudah terlalu lama berada di dalam
lorong rahasia ini.
Itu sebabnya, waktu Senapati Monoseta menunggu-nunggu, Pendekar Slebor tak
muncul-muncul. "Kutu kupret! Mengapa lorong ini jadi panjang sekali?" gerutu Pendekar Slebor.
"Padahal menurut Prabu Adiwarman..., jaraknya tidak terlalu jauh.
Tetapi, mengapa jadi begini?"
Andika menghentikan merangkaknya. Dan kini pinggangnya terasa pegal-pegal.
"Lebih baik aku kembali ke tempat semula.
Barangkali saja aku memang tersesat...."
Lalu dengan susah payah sambil menekuk tubuhnya ke dinding tanah yang pengap,
Andika berbalik ke jalan yang dilaluinya tadi. Dan kembali dia harus merangkak.
Tetapi lagi-lagi kening Pendekar Slebor harus berkerut. Karena justru dia
merangkak bukan melalui jalan semula yang dilalui.
"Kambing congek! Kenapa jadi begini"! Apa dikiranya aku ular tanah"!" rutuk
Pendekar Slebor.
"Apakah Prabu Adiwarman membohongiku" Kalau benar membohongiku, aku bersumpah
akan kusunat lagi dia!"
Dengan tekad bulat, Andika meneruskan
rangkakannya. Tetapi sekian lama merangkak, tidak juga menemukan tempatnya tadi.
Tubuhnya sudah pegal bukan main. Rasanya linu sekali. Sebentar ia menghentikan rangkakannya,
lalu duduk dengan cara menekuk kedua kakinya.
"Ke mana lagi jalan yang harus kutempuh?"
gumam Pendekar Slebor, "Aku tidak ingin mati konyol di sini...."
Belum lagi Andika memutuskan untuk berbuat sesuatu, tiba-tiba saja matanya
melihat sinar dari ujung sana. Maka cepat dia merangkak mendekati sinar itu.
"Heran"! Mengapa sejak tadi aku tidak melihat sinar ini, ya?" kata Andika sambil
memperhatikan sinar itu yang menerobos dari sebuah lubang kecil.
Begitu sampai Andika cepat menggaruk lubang sebesar kepingan uang logam tempat
sinar masuk. Beberapa tanah berguguran. Dan semakin lama menggaruk tanah, terlihatlah sebuah
lubang yang cukup besar.
Udara segar langsung menyergap indera
pernapasan Pendekar Slebor. Andika bisa bernapas lega sekarang. Tidak
dipedulikan lagi di mana harus keluar. Yang penting pindah dari tempat ini.
Perlahan demi perlahan Andika menyusupkan kepalanya ke lubang yang telah dibuat.
Matanya langsung beredar ke sekelilingnya. Alangkah terkejutnya Pendekar Slebor
ketika mendapati dirinya berada di sebuah dataran tinggi, penuh pepohonan dan
bukit-bukit! Cepat Andika menarik kepala sambil menepuk-nepuk dadanya.
"Amit-amit! Kenapa aku berada di sini?" gumam Pendekar Slebor.
Lalu perlahan-lahan Andika kembali menongolkan kepalanya. Tetap suasana yang
sama yang terpampang di matanya.
"Gila, berada di manakah aku ini?" tanya Pendekar Slebor dalam hati.
Lalu dengan sekali menghentakkan tubuhnya, Pendekar Slebor sudah keluar dari
lorong rahasia yang pengap dan gelap!
Begitu bangkit berdiri, Andika celingukan. Matanya memperhatikan sekitarnya
dengan kening berkerut.
Menurut perkiraan, seharusnya Pendekar Slebor berada di belakang keraton, tepat
di istal kuda seperti yang dikatakan Prabu Adiwarman. Tetapi, mengapa berada di
sini" Suasana sekelilingnya sunyi sekali. Bahkan Andika tidak mendengar suara binatang
malam seperti biasanya yang banyak hidup di tempat seperti ini.
Rembulan di atas sana tak nampak, mungkin tertutup awan tebal.
Perlahan-lahan Andika melangkah menyusuri tempat itu. Gila! Semuanya semakin
asing saja dirasakannya. Dan ini semakin membuat jantungnya berdebar-debar.
"Oh, Gusti.... Tempat apakah ini?" tanya Andika dalam hati dengan sikap bingung.
Tiba-tiba Pendekar Slebor teringat pada para prajurit Kerajaan Labuan yang
tengah menyerang Raja Akherat. Apakah mereka berhasil mengalahkan-nya" Ataukah
malah tewas semuanya" Andika pun teringat pada Sari, gadis penunggang harimau
yang jelita berpakaian dari kulit harimau. Bagaimana keadaannya" Dan Andika
tetap tidak mengerti, mengapa akhir dari lorong rahasia yang dikatakan Prabu
Adiwarman berakhir di sini"
Belum lagi Andika memutuskan untuk berbuat apa....
"Anak muda..., selamat datang di Alam Sunyi...."
Tiba-tiba terdengar suara bernada nyaring dan keras.
Andika celingukan memandang sekitarnya. Matanya tidak melihat siapa-siapa berada
di sini, kecuali dirinya. Lalu, siapakah yang bersuara barusan"
"Hei, kau yang bersuara tadi!" teriak Andika lantang. Suaranya menggema ke lima
penjuru. "Kalau memang wajahmu tampan sepertiku, keluarlah!
Kalau cuma pas-pasan, lebih baik sembunyi saja!"
Tak ada sahutan apa-apa. Andika menunggu
sesaat. Namun tetap tak ada suara apa-apa. Hatinya pun menjadi penasaran.
"Apakah kau budek, hah"! Ataukah sebangsa siluman penghuni tempat ini yang
kerjanya mengganggu orang saja?" teriak Pendekar Slebor.
"Ha... ha... ha...!"
Kali ini terdengar tawa yang berat, bernada geli.
"Kau memang telah lama ditunggu, Anak Muda.
Seratus tahun aku menunggu kedatanganmu. Dan tak kusangka..., kau telah hadir di
sini...," sahut suara tanpa wujud itu.
"Menungguku seratus tahun lamanya?" seru Andika kaget. "Kasihan sekali.... Apa
tak punya pekerjaan lain, kecuali menungguku" He he he...
Kalau begitu berapa tahun usiamu?"
"Kalau kau ingin tahu usiaku, kukatakan dengan jujur. Usiaku sekitar seratus
tiga puluh tahun. Seratus tahun lamanya aku mendiami Alam Sunyi ini, tanpa tahu
harus berbuat apa. Dan aku selalu berharap ada orang lain yang akan membawaku
keluar dari sini...."
Andika sebenarnya jengkel, karena sejak tadi sosok yang bersuara itu tidak
muncul juga. Kakinya melangkah, hendak pergi.
"Kalau kau tidak mau muncul juga, aku pergi saja dari sini! Lagi pula, aku toh
tidak ada urusannya denganmu!" kata Pendekar Slebor, sok ketus.
"Ha ha ha...! Silakan, Anak Muda. Silakan. Seratus tahun lamanya aku mencari
jalan keluar dari Alam Sunyi ini. Tetapi hingga kau datang, aku belum juga
menemukan jalannya...," balas suara itu.
Andika tersentak kaget, dan langsung menghentikan langkahnya. Tangannya langsung
menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Makanya, keluarlah!" teriak Pendekar Slebor.
"Jawab dulu pertanyaanku, maukah kau membawa ku keluar dari Alam Sunyi ini?"
"Enaknya! Aku sendiri belum mengenalmu!"
"Kau pasti akan mengenalku, bila mau berjanji akan membawaku keluar dari sini!"
"Aku saja bingung mengapa jalan rahasia yang..., Oh! Aku tahu sekarang!" seru
Andika tiba-tiba. "Rupanya kau keturunan manusia yang sengaja menjebak dan
membuatku bingung dengan lorong rahasia itu!"
?"Ha... ha... ha...!"
Suara tanpa wujud itu terbahak-bahak lagi.
"Karena aku membutuhkan pertolonganmu."
"Siapa sudi menolong orang jahat sepertimu!
Kalau kau tidak iseng, aku kan tidak berada di sini!"
kata Andika sewot.
Apalagi bila Pendekar Slebor teringat akan nasib orang-orang segolongan
dengannya yang menyerang Raja Akherat. Terutama, Sari. Semakin sewot saja
dirinya. "Cepat kau keluar dari sini! Biar aku bisa melihat tampang pas-pasanmu!" teriak
Pendekar Slebor, lantang.
Tak ada suara apa-apa. Andika makin jengkel.
"Hei, Manusia Keturunan Lelembut! Cepat keluar!"
teriak Andika. "Ha... ha... ha...! Sebelum kau berjanji untuk membawaku keluar dari Alam Sunyi
ini, aku tak akan memperlihatkan diriku! Ingat, Anak Muda.... Kau akan tersesat
dan terpendam di Alam Sunyi ini beratus-ratus tahun lamanya!" sahut suara itu,
bernada mengancam.
"Iya, iya! Aku akan membawamu keluar dari sini, meskipun aku tidak tahu harus
lewat mana!" kata Andika, meskipun penasaran bercampur kesal.
"Bagus!"
"Kalau begitu, keluarlah!"
"Aku akan keluar. Tetapi jangan kau injak kakiku!"
Mendengar kata-kata itu, Andika terperanjat. Cepat kedua kakinya terangkat
dengan melompat dua tindak. Ketika matanya melihat apa yang diinjaknya tadi tak
ada tanda-tanda yang aneh. Jelas sekali kalau kakinya hanya menginjak tanah
berumput yang basah belaka.
"Kau ini mau main-main denganku, ya?" kata Andika mendongkol.
"Tidak, akan kuperlihatkan wujudku!" sahut suara itu.
Mendadak saja tanah yang diinjak Andika tadi bergerak. Lalu, terlihatlah sebuah
kepala yang perlahan-lahan bergerak naik. Kemudian terlihat badannya, lalu
kakinya.... Dan kini sosok itu telah berdiri tegak. Sekujur tubuhnya ditutupi
tanah. Andika sendiri sedikit terkejut melihatnya.
"Kau..., kau ini sebangsa siluman tanah rupanya...," kata Pendekar Slebor sambil
memperhatikan sosok itu.
"Goblok! Namaku Eyang Sasongko Murti!" bentak
sosok itu sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Perlahan-lahan nampaklah di mata Andika satu sosok tubuh yang sudah penuh
keriput. Wajahnya sukar dipastikan, apakah tampan atau buruk. Jenggot putih yang
banyak tumbuh di sekitar wajahnya, semakin sulit memastikan keadaan wajahnya.
Yang terlihat hanyalah segaris cahaya yang keluar dari matanya yang menyipit
Lalu tangan itu kembali mengusap seluruh tanah yang membaluri tubuhnya. Kini,
terlihat kalau sosok aneh di depannya berpakaian hitam yang sudah compangcamping. Keriput di seluruh tubuhnya terutama di badannya, nampak sekali. Dan
seperti sosok itu tak lebih dari mayat hidup belaka!
"Nah! Apakah kau sekarang yakin, kalau wajahku tampan?" kata orang aneh yang
mengaku bernama Eyang Sasongko Murti, bernada menyombong.
"Ha... ha... ha...!"
Andika terbahak-bahak mendengar kata-katanya.
"Lucu, lucu sekali! Mana bisa wajah seperti mayat begitu dibilang tampan!" ejek
Andika, ceplas-ceplos.
"Jangan sembarangan omong, Anak Muda!" desis Eyang Sasongko Murti.
"Heran! Orang bicara jujur, kok masih disalahkan?"
sahut Andika tanpa merasa bersalah. "Apakah kau senang kalau aku tidak bicara
jujur" Baiklah wajahmu...."
Eyang Sasongko Murti mengulapkan tangannya.
"Sudahlah.... Kini kau ikut aku!"
"Hei" Katanya kau hendak kukeluarkan dari tempat ini?" seru Andika yang ikutikutan menjadi sedikit gila. Karena., ia sendiri saja tidak tahu., jalan mana
yang harus ditempuh agar keluar dari tempat
sunyi ini. "Itu nanti! Kita harus menyusun rencana lebih dulu!" seru tokoh aneh dari dalam
tanah sambil melangkah.
Andika menggerutu panjang pendek. Heran!
Mengapa tahu-tahu ia bisa berjumpa manusia aneh seperti itu" Tetapi mau tidak
mau Andika pun mengikuti langkah Eyang Sasongko Murti.
Yang dituju tokoh aneh itu adalah sebuah gua yang berada sekitar sepuluh tombak
dari tempat mereka semula. Gua itu sangat besar. Banyak batu besar yang tinggi
berada di dalamnya. Keadaannya gelap tak ada penerangan apa-apa.
Andika mendengus sebal.
"Tempat apa ini?" tanya Pendekar Slebor.
"Inilah istanaku...," sahut Eyang Sasongko Murti sambil duduk di sebuah batu
besar. Gerakannya sangat ringan, malah terlihat tidak seperti melompat.
"Ha... ha... ha...!"
Andika terbahak-bahak mendengarnya.
"Apa pendengaranku sudah kurang sejak bertemu denganmu?" kata Andika, enteng.
"Pendengaranmu tidak berkurang. Kau jelas mendengar kata-kataku tadi," sahut
Eyang Sasongko Murti kalem.
Mendapat jawaban yang bernada tak acuh itu, Andika mendengus.
"Tempat begini kau sebut istana"!" cibir Andika.
"Karena, tempat inilah satu-satunya yang paling aman di Alam Sunyi ini!" sahut
Eyang Sasongko Murti, mantap.
Andika duduk di batu besar, tepat di depan orang tua aneh itu. Gerakannya pun
tak kalah ringan.
Keduanya membisu. Tak ada suara apa-apa yang
terdengar. Bahkan angin pun tak terdengar suaranya.
"Eyang..., saat ini aku sedang mengemban sebuah tugas yang sangat besar. Kalau
di alamku sana...."
"Hei! Di sana pun alamku!" potong Eyang Sasongko Murti jengkel.
"Iya, ya!" sahut Andika jengkel pula. "Jangan main potong dulu! Pokoknya, saat
ini ada sebuah kerajaan yang dikuasai tokoh sesat yang berjuluk Raja Akherat.
Kejahatannya tidak bisa dibendung lagi! Dan sekarang, kawan-kawanku tengah
menyerang Kerajaan Pakuan!"
"Aku tahu."
Andika terbelalak. "Kau tahu?"
"Ya."
"Lalu kalau tahu, mengapa kau sesatkan aku hingga ke sini, heh"!" dengus Andika.
Jengkel juga dia mendapat jawaban Eyang Sasongko Murti yang enteng-enteng saja.
"Karena aku juga membutuhkan pertolonganmu!"
sahut Eyang Sasongko Murti kalem.
"Manusia culas!" rungut Andika sambil melompat.
Kakinya lantas melangkah meninggalkan Eyang Sasongko Murti yang tersenyumsenyum. "Heh"!"
Dan mendadak, Andika merasa susah sekali
mengangkat kedua kakinya untuk melangkah. Tenaga sakti warisan Pendekar Lembah
Kutukan langsung dikerahkan. Namun, hasilnya tidak ada.
"Suittt!"
"Suittt...!"
Dan terdengar siulan Eyang Sasongko Murti yang aneh, bernada mengejek.
Tahulah Andika. Jelas ini ulah Eyang Sasongko Murti.
"Hei! Lepaskan aku!"
Eyang Sasongko Murti hanya bersiul-siul saja.
"Hei! Lepaskan, manusia tanah. Kau pasti sebangsa tikus tanah yang suka
mengganggu orang!"
teriak Andika. "Kalau kau berjanji tidak akan pergi dari sini, maka akan kujelaskan!" sahut
Eyang Sasongko Murti kalem.
Tidak ada lagi yang bisa diperbuat Andika kecuali menyetujui permintaan itu.
Namun lagi-lagi terbayang di benaknya, bagaimana susah payahnya orang-orang yang
Pendekar Slebor 21 Neraka Keraton Barat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedang menghadapi Raja Akherat. Karena Andika tahu, kesaktian Raja Akherat
tinggi sekali. "Iya, ya! Lepaskan sekarang juga!" seru Andika ngotot sambil mengerahkan tenaga
sakti. Dan mendadak saja.
"Heh"!" Andika terkejut setengah mati ketika tubuhnya terpental ke depan.
Rupanya, Eyang Sasongko Murti sudah membebaskannya. Karena dorongan tenaga
saktinya, maka tubuhnya jadi terpental.
"Sialan!" maki Pendekar Slebor bersungut-sungut.
"Duduklah kembali ke tempatmu tadi! Aku akan memperlihatkan sesuatu kepadamu!"
ujar Eyang Sasongko Murti.
Andika yang berotak cerdas yakin, kalau tokoh aneh yang berada di sisinya adalah
seorang yang sangat sakti. Makanya diturutinya permintaan itu.
"Apa yang ingin kau perlihatkan kepadaku?" tanya Pendekar Slebor.
"Pejamkan matamu!"
"Apa lagi yang sedang kau mainkan ini" Aku hendak menolong... empph!"
Mulut Andika mendadak terkatup rapat. Lalu perlahan-lahan matanya merapat pula.
Andika berusaha membebaskan diri. Namun semakin
meronta semakin kuat dua alat inderanya mengatup.
Perlahan-lahan Eyang Sasongko Murti pun meng-asupkan kedua tangannya di dada.
Lalu dengan hembusan lembut, mulutnya meniup ke arah Andika.
Dan mendadak saja, mata Pendekar Slebor seperti terbuka. Padahal dalam keadaan
terpejam! Di depan Pendekar Slebor terbayang suasana di Kerajaan Pakuan yang dalam keadaan
porak-poranda. Bahkan Andika melihat mayat-mayat prajurit Kerajaan Labuan yang
bergelimpangan. Termasuk juga, mayat dua prajurit pilihan kerajaan itu yang
mengenakan pakaian hitam.
Hati Andika kian tercekat.
Lalu Pendekar Slebor melihat keadaan Sari yang masih pingsan. Sementara, tampak
pula empat orang gadis cantik berpakaian menerawang, sedang meng-ganti baju
Sari. Tanpa sadar Andika memalingkan wajahnya.
Tetapi pemandangan selanjutnya tetap terpampang di mata. Tampak bagaimana
pakaian Sari yang dalam keadaan pingsan dibuka satu persatu. Lalu empat gadis
berpakaian menerawang mengenakan pakaian pada tubuh Sari. Sebuah pakaian
berwarna putih keemasan yang indah berkilau.
Tatapan Andika mengedar kembali. Tampak Raja Akherat sedang terbahak-bahak
sambil menuangkan air. Sejenak rasa amarahnya muncul. Andika kontan bergerak
seperti hendak menyerang Raja Akherat.
Tetapi lagi-lagi keanehan terjadi. Karena seolah tubuhnya tidak bisa digerakkan.
Bahkan matanya hanya memandangi penuh kegeraman pada Raja Akherat yang sedang
terbahak-bahak.
Lalu tahu-tahu di depan Andika sudah terpampang
suasana di Jurang Setan. Tampak sepuluh prajurit Kerajaan Labuan yang dipimpin
Tiroseta telah tiba di dasar Jurang Setan. Rupanya si Belang, harimau besar
peliharaan Sari, berhasil menunjukkan jalan menuju ke dasar Jurang Setan.
Andika ingin memanggil, untuk menceritakan dimana dirinya berada. Namun lagilagi mulutnya tak sanggup untuk bersuara.
Andika juga melihat Danji yang sedang duduk termenung. Begitu pula Putri Permata
Delima yang sedang mengelus-elus si Belang, yang sesekali mengaum pelan. Rupanya
harimau itu merindukan tuannya.
Lalu mendadak saja semuanya lenyap. Dan
bersamaan dengan itu, sepasang mata dan mulut Andika pun membuka. Matanya
langsung memandang ke sekeliling, kini yang nampak hanyalah dataran tinggi penuh
perbukitan yang memanjang, hanya diterangi sedikit sinar rembulan.
Serentak Andika menoleh pada Eyang Sasongko Murti yang tersenyum-senyum. Semakin
sadarlah Andika, kalau laki-laki yang mengaku sudah seratus tahun berada di Alam
Sunyi ini adalah seorang tokoh sakti.
*** 2 "Eyang...!" panggil Pendekar Slebor.
"Kau sudah melihat bagaimana keadaan teman-temanmu itu, bukan?" tanya Eyang
Sasongko Murti.
"Termasuk gadis berpakaian dari kulit harimau, bukan" Bagaimana" Enak juga
melihat tubuhnya?"
Andika tertawa dalam hati, namun wajahnya terlihat tegang.
"Sari membutuhkan pertolongan, Eyang. Kita harus menolongnya...," gumam Pendekar
Slebor. "Kau betul," sahut Eyang Sasongko Murti, pendek.
"Keluarkan aku dari sini!"
Eyang Sasongko Murti melotot.
"Enaknya kau ngomong! Aku saja bingung untuk keluar dari sini! Tetapi...,
Andika...."
"Eyang tahu namaku?" tanya Andika heran.
Eyang Sasongko Murti terbahak-bahak lebar.
Suaranya menggema keras.
"Aku tahu siapa kau, Anak Muda. Namamu Andika, kau berjuluk Pendekar Slebor. Kau
banyak disanjung orang-orang dari golongan putih. Dan kau dibenci orang-orang
golongan hitam. Kau juga memiliki kemampuan tinggi, karena kau adalah buyut dari
Pendekar Lembuh Kutukan. Cuma, sayang. Kau terkadang bego!" sahut Eyang Sasongko
Murti seenaknya.
Andika memaki-maki dalam hati. Kalau tak ingat kesaktian orang tua di depannya,
ingin rasanya Andika mencabuti jenggotnya satu persatu. Kata terakhir yang
diucapkan Eyang Sasongko Murti
memang membuatnya kesal bukan main.
"Sudahlah, Eyang.... Bagaimana kita harus keluar sekarang?" potong Andika jemu.
"Pertama, kita akan menyelamatkan gadis. Yang bernama Sari," jelas Eyang
Sasongko Murti.
"Bagaimana caranya?" kejar Andika.
"Itu urusanku!" sahut Eyang Sasongko Murti, memotong. "Kedua, aku meminta
bantuanmu, Andika."
"Dalam soal apa?" tanya Pendekar Slebor.
"Aku membutuhkan darahmu."
Andika serentak berdiri dengan mata mendelik.
"Enak saja! Nyamuk yang menghisap darahku saja, ku pencet sampai gepeng! Dan kau
mau minta darahku!"
sentak Pendekar Slebor.
"Apakah kau tidak ingin keluar dari sini?" balas Eyang Sasongko Murti, galak.
"Kalau pakai darah, tidak usah saja. Biar kita berdua berada di sini sampai
mampus!" rutuk Andika.
"Bagaimana dengan Sari" Bagaimana dengan Prabu Adiwarman yang sedang bersembunyi
di Jurang Setan" Dan, apakah kau akan membiarkan Raja Akherat menguasai dunia
persilatan dengan mem-bunuhi para tokoh!" sergah Eyang Sasongko Murti keras.
Agaknya kata-kata itu menyadarkan Pendekar Slebor. Memang, masih banyaknya
tanggung jawab yang harus diembannya dan belum dituntaskan.
Sebagai pewaris terakhir Pendekar Lembah Kutukan, pemuda berpakaian hijau-hijau
dengan kain bercorak catur tersampir di bahu, memang telah mengemban tugas
sangat berat. Yang terkadang juga meng-haruskannya bertaruh nyawa!
Kini Pendekar Slebor pun memahami kata-kata
Eyang Sasongko Murti, meskipun hatinya masih mendongkol.
"Baik! Kalau tidak banyak darahku yang diperlukan aku akan memberinya!" sahut
Pendekar Slebor, mengalah.
"Bagus!" sambut Eyang Sasongko Murti, kegirangan.
"Tetapi, mengapa harus memakai darahku, sih!
Mengapa bukan darahmu saja?"
Kali ini Eyang Sasongko Murti mendelik. "Bodoh!
Setelah seratus tahun hidup seorang diri di Alam Sunyi ini, dengan hanya memakan
dedaunan saja, seluruh darahku sudah beku begitu saja."
"Membeku?"
Andika mengerutkan keningnya.
"Ya! Membeku!"
"Bagaimana kau bisa hidup dengan darah yang sudah membeku begitu?" ejek Andika
sinis. "Mana aku tahu"! Itu kan urusan Yang Maha Kuasa!"
"Ha... ha... ha...!"
Andika mendadak terbahak-bahak.
"Kenapa tertawa, hah"!" bentak Eyang Sasongko Murti.
"Jangan-jangan itu hanya alasanmu saja, sehingga kau menolak darahmu
dikorbankan?"
Eyang Sasongko Murti menggeram marah. Lalu tangan kirinya diangkat, dan digigit
hingga menimbulkan luka cukup besar.
"Lihat sendiri, Anak Bego! Apakah ada darah yang menetes?" ujar Eyang Sasongko
Murti, jengkel.
Kening Andika berkerut. Apa yang dikatakan manusia aneh itu memang benar. Karena
Andika tidak melihat ada setetes darah pun yang keluar. Kini
hatinya yakin, kalau darah laki-laki tua itu memang sudah membeku. Tetapi lagilagi yang membuatnya heran, bagaimana Eyang Sasongko Murti masih bisa hidup
tanpa darah yang mengalir pada tubuhnya"
"Kau percaya sekarang, hah"! Puas"!" cecar Eyang Sasongko Murti mangkel.
"Kalaupun darahku belum membeku, tak dapat pula kugunakan sebagai
'penerang' untuk keluar dari sini. Nah, kau puas hah"!"
Andika nyengit-nyengir kuda. Baru tahu rasa dia.
Malu juga hatinya melihat kenyataan ini.
"Jangan cepat marah. Nanti kau cepat tua. Eh!
Bukankah kau sudah tua, ya. He he he.... Aku lupa!"
Andika malah mengajak berseloroh.
Eyang Sasongko Murti mendengus jengkel melihat tingkah Pendekar Slebor.
"Sekarang, dengarkan penjelasanku. Dulu, aku adalah seorang pemuda yang banyak
belajar ilmu. Baik ilmu siIat, maupun ilmu batin. Karena terlalu banyak yang kupelajari, aku
tidak tahu kalau telah menganut ilmu sesat yang mengerikan," papar Eyang
Sasongko Murti.
"Ilmu apakah itu, Eyang?" tanya Pendekar Slebor.
Kali ini Pendekar Slebor kelihatan lebih sungguh-sungguh.
"Diam dulu! Aku tidak suka dipotong begitu!"
dengus Eyang Sasongko Murti. "Semula..., aku tidak tahu kalau ilmu yang
kupelajari dari Hutan Waringin adalah ilmu sesat, ilmu pemuja setan. Hingga
tanpa sadar, aku pun terjerat dalam lingkaran bangsa siluman yang kejam dan
mengerikan. Aku baru tersadar, ketika suatu pagi hendak menolong seorang wanita
yang hendak melahirkan, tetapi tak seorang pun yang berada di dekatnya. Dalam
hatiku, aku berniat menolongnya. Namun, alangkah terkejutnya aku, ketika tanpa sadar
tanganku mengepruk kepala wanita itu hingga tewas. Dengan ganas perutnya
kucabik-cabik, lalu bayi merah yang masih hidup kukeluarkan. Bayi merah yang
masih berlumur darah itu kubawa ke Hutan Waringin. Dan tanpa sadar jantungnya
kuambil dan kutelan."
Eyang Sasongko Murti terdiam. Pandangannya melayang ke masa seratus tahun yang
silam. "Saat itulah aku menyadari, kalau ilmu yang kuanut ternyata ilmu sesat. Baru
pula kusadari, kalau guruku selama ini ternyata bangsa siluman. Aku pun
memberontak dari mereka. Namun, siluman-siluman itu sangat kuat dan sakti. Aku
pun dapat tertangkap.
Akan tetapi, suatu malam, aku berhasil melarikan diri melalui penjara yang
kugali. Hanya saja yang mengherankan, aku tiba-tiba muncul di Alam Sunyi ini,
setelah melalui jalan yang sangat panjang sekali.
Saat itulah aku menyadari sesuatu, kalau sebenarnya mereka mengetahui rencanaku
melarikan diri, namun membiarkan saja," lanjut Eyang Sasongko Murti.
"Jadi..., Alam Sunyi ini adalah penjara milik bangsa siluman?" tanya Andika
terkejut. "Kau benar, Andika," sahut Eyang Sasongko Murti lirih.
"Tetapi, mengapa hanya kau saja yang masih hidup di sini?" tanya Andika dengan
kening berkerut.
Eyang Sasongko Murti tersenyum.
"Karena, memang akulah satu-satunya penghuni penjara ini! Akulah satu-satunya
yang menganut ilmu dari Hutan Waringin yang memberontak dari para siluman itu!"
papar laki-laki tua aneh itu.
Andika manggut-manggut mengerti.
"Lalu apa hubungannya denganku" Dan, mengapa
teganya kau membawaku ke sini?" cecar Pendekar Slebor.
"Selama bertahun-tahun kulewati hidupku di sini, dngan memakan dedaunan belaka.
Dan bertahun-tahun aku menanti seseorang yang datang ke sini, hingga kulihat kau
sedang merangkak melalui lorong rahasia yang terletak tak jauh dari Kerajaan
Pakuan. Saat itu pula kulihat sebuah sinar keemasan yang sangat aneh sekali di kepalamu.
Seolah sinar itu sebagai isyarat bagiku, bahwa kaulah yang akan bisa
membebaskanku dari sini. Lalu dengan bantuan tenaga dan pandangan batinku,
kugiring kau ke sini.
Bahkan kau tidak akan pernah menemukan jalan tembus menuju istal kuda di
belakang Keraton Pakuan," jelas Eyang Sasongko Murti.
"Jahat!"
"Kau lihat pohon besar itu, Andika?"
Eyang Sasongko Murti tidak menghiraukan
gerutuan Andika.
"Sejak seratus tahun yang lalu, aku berada di sini.
Dan pohon itu tetap tumbuh rindang hingga sekarang," lanjut laki-laki tua aneh
itu. Andika mendesah panjang. Kini bisa disadari betapa tersiksanya orang tua yang
berusia ratusan tahun ini disini. Yah! Sedikit banyak, Andika akan membantunya.
Juga, berharap dapat keluar dari Alam Sunyi yang mengerikan ini!
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Eyang?" tanya Pendekar Slebor.
Eyang Sasongko Murti tak segera menjawab.
*** Sementara itu di Keraton Pakuan, Sari yang masih dalam keadaan pingsan, sudah
disalinkan baju oleh empat gadis manis yang diculik Raja Akherat. Gadis-gadis
yang dulu diculik Raja Akherat memang sudah seperti terbuang, setelah puas dan
bosan digumuli tokoh sesat itu. Karena, kini Raja Akherat mendapatkan banyak
gadis cantik yang berhasil diculik dan dapat digaulinya kapan saja mau. Apalagi
sekarang, memang cukup lama juga Raja Akherat menghendaki Sari. Dan malam ini,
segalanya yang telah lama terpendam akan dituntaskan!
Keempat gadis manis itu mengangkat kepala begitu mendengar suara tawa Raja
Akherat yang sangat keras. Mereka segera minggir, duduk bersimpuh sambil tetap
menundukkan kepala.
Raja Akherat mendekati Sari. Tatapannya berkilat-kilat penuh birahi.
"Ha ha ha.... Kini akhirnya kau menjadi milikku, Manis.... Kau tak akan bisa
menolak lagi...."
Lalu dengan buasnya, Raja Akherat menciumi wajah dan sekujur tubuh Sari.
Keempat gadis yang bersimpuh tadi bermaksud hendak menyingkir. Mereka muak
melihat perbuatan Raja Akherat, sekaligus kasihan melihat nasib Sari.
Tetapi Raja Akherat yang melihat tindakan mereka segera mengangkat wajah.
"Kalian jangan pergi! Tontonlah pemandangan yang mengasyikkan ini! Bila
melanggar, berarti kalian ingin mati!" ujar Raja Akherat sambil membuka bajunya.
Tubuhnya yang penuh bulu tampak terpampang sekarang.
Lalu dengan buasnya, Raja Akherat kembali menciumi sekujur tubuh Sari. Dan
perlahan-lahan namun pasti, tangannya merobek pakaian di bagian dada.
Breeet! Seketika terlihat bagian dada Sari. Keempat gadis itu yang terpaksa mengangkat
kepala karena takut Raja Akherat marah, hanya bisa menghela napas dalam-dalam.
"Ha ha ha.... Montok, bagus, indah! Tidak sia-sia aku mengincarmu, Manis!"
Lalu dengan gerakan kasar dan tatapan berkilat-kilat, laki-laki ini bersiap
menerkam dada yang montok. Tetapi, mendadak saja gerakannya terhenti.
Sudah tentu hal ini mengejutkan keempat gadis yang sejak tadi sudah tegang.
Mengapa Raja Akherat menghentikan perbuatannya" Namun diam-diam, mereka merasa
bersyukur karena kehancuran tidak jadi menerpa diri gadis itu.
Raja Akherat mendadak saja berdiri. Ada sesuatu yang merasuki otaknya. Dan tibatiba saja, nafsunya tak berselera pada gadis itu. Segera pakaiannya dikenakan
dengan wajah geram, namun penuh keheranan.
"Rapikan pakaian gadis itu! Tunggu sampai sadar dari pingsannya!" ujar Raja
Akherat sambil melangkah keluar.
Keempat gadis itu pun segera merapikan pakaian Sari. Meskipun telah menjadi
budak nafsu Raja Akherat, mereka tidak iri dengan keberuntungan gadis itu.
Pendekar Slebor 21 Neraka Keraton Barat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan mereka gembira, karena gadis yang pingsan ini tidak mengalami hal yang
amat menggiriskan.
Begitu tiba di luar, Raja Akherat menuang tuaknya ke mulut. Terdengar bunyi
tegukan yang keras. Dalam hati, laki-laki ini merasa aneh. Karena, keinginannya
untuk menggumuli tubuh gadis itu mendadak saja surut. Padahal, birahinya sudah
begitu bergolak.
Bahkan hatinya yakin, saat itu seluruh gairahnya akan dituntaskannya. Tetapi,
mengapa mendadak saja nafsunya surut"
Karena kesalnya tidak jadi menyalurkan birahi, Raja Akherat mengangkat kedua
tangan ke depan, lalu menyentaknya kuat-kuat.
Werrr...! Seketika keluar angin dahsyat bergulung-gulung menyambar dan menerbangkan mayatmayat yang bergeletakkan di sana. Jauh terpental dari keraton ini.
"Bajingan! Mengapa aku jadi tidak menginginkan gadis itu, hah"!" maki Raja
Akherat tidak mengerti.
*** "Secepatnya kita harus keluar dari sini. Karena.., tepat seratus tahun ini,
bangsa siluman akan datang ke sini untuk mencabut nyawaku! Apalagi, bila mereka
mengetahui kalau aku telah mendapat seseorang berdarah suci yang dapat
mengeluarkanku dari sini," ujar Eyang Sasongko Murti panjang lebar, setelah
cukup lama terdiam.
"Gusti! Kalau begitu, kita harus cepat, Eyang!"
sentak Andika. "Bersabarlah, Andika.... Bahaya apa pun, kau tetap akan kujaga. Sekarang yang
terpenting adalah, menolong gadis berbaju dari kulit harimau itu lebih dulu,"
ujar Eyang Sasongko Murti, bijaksana.
Kali ini kening Andika berkerut lagi. Edan ini orang!
Bagaimana caranya menolong Sari kalau kini mereka terperangkap di sini" Tetapi
Andika kemudian sadar, kalau tokoh aneh ini memiliki ilmu batin yang hebat.
Apalagi tadi diperlihatkan padanya, bagaimana keadaan Kerajaan Pakuan. Dan juga,
Sari. Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Kalau begitu, lakukanlah, Eyang."
"Sudah," sahut Eyang Sasongko Murti, singkat.
"Sudah?" ulang Andika dengan mata melotot.
"Ya, sudah kulakukan. Gadis itu aman-aman saja.
Raja Akherat sudah kubuat tak berselera menyentuh-nya!" papar Eyang Sasongko
Murti. "Kapan kau melakukannya, Eyang?" cecar Pendekar Slebor.
"Edan! Mengapa di dunia luar kau disegani orang-orang rimba persilatan, tapi di
sini ternyata begitu dungu?" gerutu Eyang Sasongko Murti.
Andika nyengir saja. Sungguh, begitu banyak kejadian yang tak pernah
diketahuinya. Seperti yang dialaminya sekarang ini. Pendekar Slebor yakin, Eyang
Sasongko Murti tidak berbohong. Paling tidak, sudah menjaga Sari dari nafsu
birahi Raja Akherat yang mengerikan. Entah bagaimana caranya, yang pasti hati
Pendekar Slebor sedikit tenang.
"Sekarang, kita akan bersiap-siap melarikan diri dari Alam Sunyi ini. Yah...,
dengan darahmu yang belum pernah berhubungan badan dengan seorang wanita, akan
menjadi penerang jalan untuk kita keluar dari tempat ini. Andika, ulurkan tangan
kirimu...," ujar Eyang Sasonmgko Murti.
Dengan keberanian dan keikhlasan yang dalam, Andika perlahan-lahan mengangsurkan
tangan kirinya. Sementara Eyang Sasongko Murti merobek pakaiannya yang telah
compang-camping, sehingga lebih menampakkan bagian tubuhnya yang penuh keriput.
Dengan cepat, laki-laki tua aneh ini menotok urat di bawah lengan Pendekar
Slebor, agar darah yang mengalir nanti terhenti. Lalu dengan ujung kukunya
yang kumal, digoresnya lengan Andika perlahan-lahan.
Andika tak merasakan perih. Bahkan merasa kalau kuku itu hanya berada di atas
kulitnya saja. Meskipun halinya bergidik melihat betapa kotornya ujung kuku itu.
Lalu dengan cepat Eyang Sasongko Murti
menadahi darah yang keluar dengan kain kumal tadi.
Setelah dua belas tetes, seperti gerakan pertama tadi, laki-laki tua ini
menggores lagi lengan kiri Andika.
Anehnya, luka yang menganga tadi itu terkatup kembali!
Dengan gerakan cepat Eyang Sasongko Murti membuka totokan pada Andika. Untuk
selanjutnya, Andika hanya memperhatikan saja, ketika Eyang Sasongko Murti
membuntal darah dengan kain kumal tadi. Lalu digenggamnya kuat-kuat kain itu,
sementara mulutnya komat-kamit. Matanya yang hanya segaris semakin menyipit
saja. Rambutnya yang acak-acakan kelihatan semakin menambah keseraman sosok
wajahnya. Andika yang memperhatikan jadi mengerutkan keningnya.
"Kau sebenarnya tidur atau baca mantera, ya?"
usik Pendekar Slebor.
"Diam!" tiba-tiba Eyang Sasongko Murti membetak.
"Eh, copot!" desis Pendekar Slebor sambil tertawa.
"Bagaimana, Eyang" Apakah kita bisa segera keluar dari sini?"
Eyang Sasongko Murti menatap ke langit yang gelap. Tiba-tiba kepalanya
menggeleng-geleng.
"Andika..., bersiap-siaplah.... Tamu tak diundang sudah datang sekarang?" ujar
Eyang Sasongko Murti dengan suara tegang.
"Hei, apa maksudmu?" seru Andika yang ikut-ikutan menjadi tegang.
*** 3 Di Alam Sunyi, keadaan semakin mengerikan saja.
Suasana yang dingin kini semakin menggigit. Andika melihat Eyang Sasongko Murti
menegak. Sementara darahnya yang tadi ditampung di kain compang-camping kini
diikat di pinggangnya. Lalu perlahan-lahan tubuh Eyang Sasongko Murti berdiri.
"Andika..., bersiaplah.... Kita kedatangan tamu yang tak diundang...," ujar
Eyang Sasongko Murti lagi dengan suara tenang. Ketenangannya pun terpancar dari
wajahnya yang sukar dilukiskan.
Andika pun ikut-ikutan berdiri. Matanya
memandang ke sekeliling dengan mata kecut. Tak ada yang berubah, kecuali cuaca
yang mendadak bertambah dingin, dan menimbulkan rasa ngeri yang menjadi-jadi.
Kalau tadi hatinya sudah ngeri berada di tempat yang sepi dan seperti mati ini,
kini lebih ngeri lagi melihat perubahan yang terjadi begitu tiba-tiba!
"Eyang..., apakah siluman-siluman itu sudah datang?" tanya Pendekar Slebor
sambil masih memperhatikan sekelilingnya.
"Bersiaplah, Andika...."
Wesss...! Mendadak saja angin berhembus keras, dengan suara menderu-deru. Beberapa pohon
yang tumbuh di sana pun tumbang. Daun-daunnya berguguran beterbangan. Andika
cepat mengerahkan tenaga sakti warisan Pendekar Slebor yang dialirkan pada kaki
dan kekuatan tubuhnya. Dia berusaha bertahan untuk menjaga agar tidak terhempas
angin keras. Sementara itu Pendekar Slebor pun memandang heran pada Eyang Sasongko Murti yang
kelihatan tetap tenang. Bahkan tidak bergeming sedikit pun.
Padahal angin tampak bergulung-gulung keras!
Rambutnya yang acak-acakan semakin tak karuan.
Pakaiannya yang compang-camping pun berkibaran seperti ingin tanggal satu
persatu. "Andika..., ikuti setiap gerakanku...," ujar Eyang Sasongko Murti tiba-tiba.
Sementara matanya menatap kejauhan, ke arah bukit-bukit yang tinggi itu.
"Apa maksudmu, Eyang"!" tanya Andika setengah berteriak untuk mengalahkan suara
deru angin yang keras menderu-deru.
Mata Pendekar Slebor ikut-ikutan menatap ke arah perbukitan. Tidak ada yang aneh
menurutnya. Bukit-bukit itu tetap berdiri tegar, bagai menyimpan teka-teki yang
dalam. "Setiap kali aku bergerak, kau harus mengikutinya.
Usahakan, agar kau bisa melakukannya sama dengan gerakanku...!" sahut Eyang
Sasongko Murti, juga setengah berteriak.
"Bagaimana kalau tidak sama, Eyang?" tanya Andika lagi.
"Kau akan merasakan sendiri akibatnya...."
"Eyang..., aku semakin tidak mengerti. Kau tidak bisa menyuruhku begitu saja"
Memangnya aku muridmu yang sudah tahu siap langkahmu?" gerutu Andika.
"Tidak ada lagi waktu untuk berdebat! Seperti kata ku tadi, kau harus berusaha
untuk menyamakan gerakanmu dengan gerakanku, Andika!"
"Bagaimana...?"
"Ikuti langkahku, Andika!" ujar Eyang Sasongko Murti tiba-tiba, memotong katakata Andika. Lalu tubuh laki-laki tua itu bergerak ke kiri dua tindak. Kemudian tubuhnya
membungkuk dengan kaki kanan di tekuk, dan kedua tangan berada di dalam.
Serentak Andika berbuat yang sama meskipun tidak mengerti mengapa harus berbuat
seperti itu. "Jangan bicara!" ujar Eyang Sasongko Murti lagi.
Andika hanya mendengus. Namun mendadak
saja.... Blarrr...! Telinga Andika menangkap ledakan keras. Tampak kedua batu besar yang tadi mereka
duduki meledak.
Tidak terlihat suatu serangan apa pun di mata Andika.
Hatinya heran, apa yang telah menerpa kedua batu besar itu"
Tetapi kemudian, mata Pendekar Slebor pun melihat sesuatu yang aneh. Tampak
sebuah angin bergulung keras, lalu berhenti di depan mereka yang masih dalam
keadaan membungkuk dengan kedua tangan di depan dada.
Wing...! Wing...!
Terdengar suara desingan yang memekakkan
telinga. Andika bermaksud menutup kedua telinganya dengan tangan, tetapi
teringat akan perintah Eyang Sasangko Murti agar selalu mengikuti setiap
gerakannya. "Seratus tahun lamanya kau kubiarkan hidup di sini, Sasongko! Tak kusangka, kau
masih mampu bertahan hidup!"
Tiba-tiba terdengar suara dari balik gulungan angin yang berdesir-desir di
hadapan mereka.
"Kini, setelah seratus tahun..., aku datang untuk menjemput nyawamu! Dan akan
kujadikan kau salah seorang siluman penjaga Hutan Waringin!" lanjut
suara di balik angin.
Sebelum Eyang Sasongko Murti menyahuti,
mendadak.... "Hei, Siluman Kudis!"
Andika sudah mendahului. Hatinya benar-benar jengkel karena jadi terlibat dalam
masalah yang tidak di mengertinya. Yang dibayangkan saat ini adalah keadaan Sari
dan Prabu Adiwarman yang menunggu di Jurang Setan.
"Lebih baik kau pergi sebelum kuhancurkan sampai tunggang langgang!" dengus
Pendekar Slebor.
"Ha... ha... ha...!"
Terdengar suara terbahak-bahak dari desingan putaran angin yang keras itu.
"Sasongko! Rupanya kau sudah mendapatkan jalan keluar dari Alam Sunyi ini. Hanya
sayang, tumbalmu justru akan mampus hari ini juga!" kata suara itu.
Eyang Sasongko Murti mendesah panjang, di samping jengkel karena Andika tidak
menuruti kata-katanya.
"Siluman Hutan Waringin!" Urusan ini adalah urusan kau dan aku! Jangan libatkan
pemuda itu!"
sahut Eyang Sasongko Murti, mantap.
"Dia akan menjadi jalan keluar untukmu, Sasongko. Berarti dia pun harus mampus!"
Mendadak saja pusaran angin yang menggulung-gulung menerjang ke arah mereka.
Suaranya memekakkan telinga. Bahkan gulungan angin itu mampu menerbang kan
bukit-bukit yang banyak berdiri tegar di Alam Sunyi.
"Andika! Ikuti langkahku!" ujar Eyang Sasongko Murti berteriak.
Laki-laki tua itu cepat melompat lima tindak
samping kanan. Kalau tadi kedua tangannya berada depan dada, kini mengibas ke
arah pusaran angin.
"Pusatkan tenaga dalammu di pusar. Lontarkan dengan hembusan napas! Mulai!" ujar
Eyang Sasongko Murti.
Bersamaan dengan itu, Andika pun menuruti perintah Eyang Sasongko Murti,
walaupun tidak dimengerti sama sekali. Namun karena kecerdikan otaknya, Pendekar
Slebor mampu mengikuti dan menyamakan gerakan Eyang Sasongko Murti.
Werrr...! Werrr...!
Dua rangkum tenaga dalam yang kuat keluar dari tangan Eyang Sasongko Murti dan
Andika. Akan tetapi pusaran angin itu terus saja
mengguIung, tanpa berhenti. Bahkan terasa semakin dahsyat, dengan suara
bertambah keras.
"Tahan napasmu sekuat tenaga! Jangan bergeser dari tempatmu! Maka, kau akan
selamat!" terdengar lagi perintah Eyang Sasongko Murti.
Lagi-lagi Andika melakukan perintah. Pusaran angin yang kuat itu memasuki tubuh
mereka, mencoba mengangkat dan menerbangkan. Tetapi keduanya tetap tak
bergeming. Hanya saja, Andika merasakan wajahnya sakit, bagai ditampar tangan
raksasa yang besar. Namun semua itu ditahannya sekuat tenaga. Karena dia juga
tidak ingin melanggar kata-kata Eyang Sasongko Murti.
Pusaran angin terus berusaha menumbangkan.
Dan sekuat tenaga, keduanya bertahan. Terutama yang dilakukan Andika.
"Kita akan keluar dari pusaran angin ini!" teriak Eyang Sasongko Murti di antara
suara pusaran angin yang keras. "Kali ini, pusatkan tenaga dalammu di dada.
Tarik napas tiga kali ke perut. Lalu, melompat.
Ingat! Pada hitungan ketiga. Satu! Dua! Tigaaa!"
Serentak tubuh mereka melompat keluar dari pusaran angin dalam keadaan merunduk,
dengan sebelah tangan kanan menyentuh tanah.
"Ha... ha... ha...!"
Suara dalam pusaran angin itu terbahak-bahak lagi.
"Kau memang pandai menjaga 'jalan keluar'mu, Sasongko! Hanya sayang, kau tak
akan bisa melindunginya terus menerus!" kata suara itu lagi.
"Seperti sudah kukatakan tadi, ini adalah urusanmu denganku! Jangan bawa-bawa
dia!" sahut Eyang Sasongko Murti.
"Ha... ha... ha...! Dengan begitu, kau akan mempunyai kesempatan untuk melarikan
diri, bukan"
'Jalan keluar'mu pun harus mampus, Sasongko!"
balas suara itu.
"Kalau kau berjanji untuk membiarkannya hidup kita akan bertarung habishabisan!" "Ha... ha... ha...! Kau terlalu bermimpi untuk dapat mengalahkan bangsa siluman,
Sasongko! Meskipun kau banyak mendapatkan ajian sakti dari bangsa siluman namun
tak akan bisa menghancurkan aku!
Gurumu sendiri!"
"Berjanjilah!"
"Berkhianat adalah kerja bangsa siluman!
Menghancurkan dunia adalah kegemaran bangsa siluman. Dan memusnahkan orang-orang
seperti itu, adalah tujuan bangsa siluman! Tak akan kubiarkan kau dan 'jalan
keluar'mu berhasil meloloskan diri!"
Dan mendadak saja pusaran angin berhenti. Lalu perlahan-lahan, keluar asap putih
tebal. Dan asap itu terus membubung, setinggi pohon kelapa. Ketika asap putih
itu menghilang, terlihatlah sosok raksasa
mengerikan. Wajahnya bulat lonjong, dengan kedua telinga lebar berbentuk
kerucut. Di bibirnya yang panjang, terdapat dua buah caling mengkilat. Sekujur
tubuhnya ditumbuhi bulu yang mengerikan. Raksasa itu mengenakan sebuah cawat.
Yang lebih mengerikan lagi, matanya yang hanya sebuah dan terletak tepat di kening, di atas
hidung yang panjang seperti badi!
Andika tercekat melihatnya.
"Gila! Inikah bangsa siluman yang menjadi guru dari Eyang Sasongko Murti?" tanya
Pendekar Slebor dalam hati.
Lalu di depan mata Pendekar Slebor, terjadilah pertarungan dua raksasa yang
sangat aneh. Setiap kali mereka bergerak, terdengar goncangan sangat hebat. Dan
akibatnya, membuat perut Pendekar Slebor menjadi mual.
Andika berusaha menahan agar tubuhnya tidak berpindah tempat. Dan dia juga
berusaha agar kepalanya tidak terangkat, seperti yang diperintahkan Eyang
Sasongko Murti.
Biar bagaimanapun juga, yang ada di hadapan Pendekar Slebor ini adalah dua
makhluk dari alam berbeda, namun merupakan murid dan guru yang sedang bertarung.
Pertarungan berlangsung sengit. Kedua raksasa itu selain bertukar jurus, juga
mengeluarkan suara memekakkan telinga. Bukan hanya pepohonan yang tumbang,
tetapi perbukitan yang ada di sana pun menggugurkan tanahnya, hingga
Pendekar Slebor 21 Neraka Keraton Barat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beterbangan. Diam-diam sambil menundukkan kepala, Andika mempergunakan tenaga batin untuk
menghitung jurus yang telah berlalu. Namun sungguh tidak bisa dimengerti. Karena
ilmu yang diperlihatkan kedua
raksasa mengerikan itu adalah ilmu bangsa siluman.
Sehingga, sangat sulit bagi Andika untuk menghitung jumlah jurus yang telah
digelar. Untuk mengetahui aba-aba yang akan dilakukan Eyang Sasongko Murti, Andika
membuka kedua telinganya lebar-lebar. Tetapi seketika pendengaran-nya ditutup
dengan tenaga batinnya, karena gendang telinganya bagai hendak pecah mendengar
seruan dan serangan yang ganas.
Tiba-tiba Pendekar Slebor melihat tubuh Eyang Sasongko Murti yang menjelma
menjadi raksasa terhuyung ke belakang, karena terkena hantaman tak terlihat yang
dilakukan Siluman Hutan Waringin.
Suaranya begitu keras sekali ketika jatuh ke tanah, menabrak sebuah pohon yang
langsung tercabut, karena tak kuat menahan berat tubuh Eyang Sasongko Murti.
Andika perlahan-lahan mengangkat kepalanya juga. Toh pikirnya, yang penting
jangan sampai melihat mata satu dari Siluman Hutan Waringin.
Tampak kini Siluman Hutan Waringin sedang mengejar tubuh Eyang Sasongko Murti
dengan ganas. Sebelah kakinya siap menginjak remuk kepala tokoh aneh yang menjelma menjadi
raksasa itu. Melihat hal itu, Andika bermaksud membantunya.
Namun sekali lagi, dia teringat kata-kata Eyang Sasongko Murti, kalau tidak
boleh berpindah tempat.
Akan tetapi, hati kecilnya tidak menginginkan melihat Eyang Sasongko Murti harus
mampus diinjak siluman mengerikan itu!
"Hiaaa...!"
Dengan mengerahkan tenaga sakti, mendadak saja Andika melesat ke atas, siap
menghantam perut Siluman Hutan Waringin. Namun....
Wesss...! Desss...! "Aaakh...!"
Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor bagai seringan kapas, terhempas hingga
ambruk ke tanah disertai keluhan tertahan. Andika merasakan dadanya bagai jebol.
Dan dari mulutnya termuntah darah berkali-kali, sebelum pingsan.
"Bodoh! Sudah kubilang jangan bergerak dari tempatmu!" dengus Eyang Sasongko
Murti dengan suara keras menggelegar.
Pada saat yang sama Eyang Sasongko Murti harus menangkis injakan kaki Siluman
Hutan Waringin yang siap menghancurkan kepala dengan tangan. Lalu dicobanya
untuk mendorong. Namun tenaga bangsa siluman sudah tentu sangat sulit
ditandingi, meskipun Eyang Sasongko Murti menguasai pula ajian-ajian aneh bangsa
siluman. Dan mendadak saja, Eyang Sasongko Murti
menyambar kain yang berisikan tetesan darah Andika. Cepat dilemparkannya
buntalan kain kecil itu ke arah Siluman Hutan Waringin.
Wuuut! Plak! "Aduhhh...!"
Mendadak saja, Siluman Hutan Waringin menjerit-jerit kesakitan. Rupanya, dia
tidak tahan mencium bau darah pemuda suci yang memang milik Pendekar Slebor.
Ketika Siluman Hutan Waringin termundur
beberapa langkah, kesempatan itu dipergunakan Eyang Sasongko Murti untuk
menendang. Duk!
Laki-laki aneh ini memang dapat menendang siluman itu. Karena, sedikit banyak
Eyang Sasongko Murti bisa menguasai ajian bangsa siluman. Dan dengan gerakan cepat, disambarnya
buntalan kecil berisi tetesan darah Pendekar Slebor, yang herannya tidak menjadi
kering. Ketika Siluman Hutan Waringin terjajar, dengan cepat Eyang Sasongko Murti
menyambar tangan Pendekar Slebor. Tepat ketika tangan itu dipegang tubuh
raksasanya menciut kembali, menjelma pada ukuran semula.
Eyang Sasongko Murti langsung memanggul tubuh Pendekar Slebor yang masih dalam
keadaan pingsan lalu melompat ke atas. Seketika tubuhnya meluncur keras ke
tanah, menembus masuk ke dalamnya.
Laki-laki tua itu terus berlari di dalam lorong yang dengan mudah ditemukannya.
Diangkatnya kain berisi tetesan darah Andika. Dan seketika, matanya melihat
sebuah sinar bagaikan cahaya penolong yang menunjukkan jalan.
Sekuat tenaga, Eyang Sasongko Murti melarikan diri. Hatinya yakin, Siluman Hutan
Waringin tidak akan berani mengejarnya, karena tetesan darah milik Andika lah
yang menjadi penghalang. Namun dia juga yakin Siluman Hutan Waringin tidak akan
pernah melepaskannya.
Apa yang diduga memang benar. Siluman Hutan Waringin yang menjelma menjadi
raksasa tampak mengamuk dengan sengit. Tangannya menampar pepohonan yang tumbuh
di sana, hingga tercabut sampai ke akar-akarnya. Lalu kakinya menendang
perbukitan yang langsung ambrol dan menimbulkan suara keras.
"Sasongko!" seru Siluman Hutan Waringin bergemuruh. "Kau tidak akan bisa
melarikan diri dari Alam Sunyi ini! Tempatmu di sini. Dan kau harus
mampus sini, sebagai peringatan bahwa inilah akhir dari hidup orang yang berani
mengkhianati bangsa siluman!"
Lalu mendadak saja, tubuh yang besar itu
menjelma menjadi pusaran angin kuat. Seperti datangnya yang tidak ketahuan tadi,
menghilangnya pun tidak ketahuan pula. Entah, ke mana perginya!
*** 4 Di Jurang Setan, Prabu Adiwarman tengah menerima kedatangan Tiroseta dan sepuluh
prajurit Kerajaan Labuan. Banyak sekali yang mereka telah bicarakan.
Sambil berbincang-bincang, mereka juga menunggu kedatangan yang lainnya.
Meskipun, di hati mereka sedikit cemas. Karena, sudah dua hari ini belum juga
ada kabar berita.
"Prabu..., izinkanlah hamba untuk melihat keadaan Keraton Pakuan. Menurut hemat
hamba, telah terjadi sesuatu pada saudara-saudara hamba...," kata Tirose
senapati dari Kerajaan Labuan.
Prabu Adiwarman mendesah pendek. Sebenarnya ia pun memikirkan soal itu. Mengapa
Pendekar Slebor belum datang juga" Padahal, Prabu Adiwarman sangat yakin akan
kemampuan Pendekar Slebor.
"Aku pun sebenarnya merisaukan soal itu. Tetapi biarlah kita tunggu sampai
matahari tepat di atas kepala," sahut Prabu Adiwarman.
Tiroseta tidak berani membantah. Rasa hormatnya pada Prabu Adiwarman penguasa
Kerajaan Pakuan, sama besarnya dengan rasa hormatnya pada Prabu Srigiwarman,
penguasa Kerajaan Labuan. Maka kepalanya pun hanya mengangguk.
Sementara itu di atas Jurang Setan, Danji yang sejak tadi pagi menunggu
kedatangan Pendekar Slebor bersama dua orang prajurit Kerajaan Labuan, diam-diam
menghela napas panjang. Hatinya yakin, kalau telah terjadi sesuatu terhadap
prajurit Kerajaan
Labuan. Bahkan mungkin, pada Pendekar Slebor sendiri!
"Tunggal! Bagaimana bila kita secara sembunyi-sembunyi melihat keadaan keraton
Kerajaan Pakuan?" tanya Danji pada salah seorang prajurit Kerajaan Labuan yang
bernama Tunggal.
"Saudara Danji, keinginan itu ada di hatiku, dan Riaka. Tetapi kami tidak berani
melakukannya, sebelum mendapat perintah dari Kakang Tiroseta.
Juga, dari sang Mulia Prabu Adiwarman," sahut Tunggal, seorang laki-laki
berwajah keras dengan tatapan tajam. Dari riak suaranya, Danji bisa melihat
kalau prajurit itu pun berkeinginan untuk menyusul yang lain ke Keraton Kerajaan
Pakuan. Tetapi, Danji pun mengerti. Sebagai seorang prajurit, Tunggal harus taat pada
pimpinannya. "Kalau begitu, biarlah aku yang pergi ke sana,"
cetus Danji. "Saudara Danji, itu terlalu berbahaya," tukasnya.
Danji menatap tajam pada Tunggal.
"Tunggal, meskipun tidak menguasai ilmu olah kanugaran tinggi, tetapi aku tidak
enak berpangku tangan saja di sini. Aku akan pergi secara diam-diam.
Dan kau tidak perlu mengatakannya pada Prabu Adiwarman. Juga yang lainnya,"
tandas Danji, mantap.
"Tetapi, Saudara Danji...."
"Tidak apa-apa," potong Danji, disertai senyum manis. "Aku akan baik-baik saja.
Setelah melihat keadaan Keraton, aku akan cepat kembali ke sini.
Seperti kataku tadi, bila aku belum kembali, jangan beritahukan pada siapa pun
juga...." Tunggal tidak bisa menghalangi niat Danji, meskipun sebenarnya ingin sekali
ikut. "Baiklah kalau begitu," desah Tunggal.
"Bila lewat tengah hari aku belum kembali, barulah ceritakan soal kepergianku
pada Prabu Adiwarman."
tambah Danji. Tunggal mengangguk lagi. Sementara pengawal yang bernama Riaka, hanya memandang
saja. Sebenarnya Riaka pun ingin ikut serta. Tetapi lagi-lagi, sebelum perintah ada,
dia tidak berani melakukannya.
Mendadak saja sebelum Danji berlari meninggalkan tempat itu....
"Hauuum...!"
Terdengar auman yang cukup keras yang disertai dengan munculnya si Belang dari
jalan rahasia menuju dasar Jurang Setan. Dan binatang itu berjalan perlahan
mendekati Danji.
Danji yang semula takut pada harimau besar peliharaan Sari, kini telah bersikap
biasa. Dia tahu, naluri hewan besar itu mengatakan bahwa dia adalah temannya.
Lalu perlahan-lahan Danji membelai wajah si Belang yang menyeramkan.
"Ada apa, Belang?" tanya Danji, lembut.
Si Belang mengelus-eluskan wajahnya ke tubuh Danji.
"Oh! Tidak, Belang. Kau tidak boleh ikut," kata Danji, yang seolah mengerti
keinginan si Belang.
Dan pemuda itu bisa melihat tatapan si Belang yang mendadak saja meredup. Hati
Danji tercekat.
Sungguh hewan ini sangat pandai bersikap. Entahlah, bagaimana pemiliknya
mengajarkan binatang buas itu sedemikian rupa.
"Belang..., aku mengerti betapa rindunya kau pada majikanmu. Tetapi,
kedatanganku ke keraton sangat berbahaya. Dan aku tidak ingin ketahuan gara-gara
kau," ujar Danji.
Si Belang kini menjilat-jilat tangan Danji. Sikapnya merajuk. Tubuhnya lantas
direbahkan di sisi Danji.
Danji mendesah pendek.
"Belang..., kau berjagalah di sini. Dengan kehadiranmu, kekuatan kita akan
bertambah, bila ada musuh yang menyerang. Ayolah, Belang....
Mengertilah...," bujuk Danji.
Tetapi si Belang tetap menjilat-jilat tangan Danji.
"Baiklah, kau boleh ikut. Tetapi, jangan sekali-sekali menampakkan diri," kata
Danji akhirnya.
Kembali si Belang menjilat-jilat sebagai jawaban tetapi, kali ini dengan sinar
mata cerah. Danji mendesah sekali lagi.
"Heran, bagaimana pemilikmu bisa mengajarkan-mu seperti itu, Belang?" tanya
Danji, seraya berdiri.
"Ayo, kita pergi sekarang!"
Si Belang menegakkan tubuhnya, seolah
menyuruh Danji menaiki punggungnya. Danji hanya tersenyum, lalu perlahanperlahan dinaikinya punggung harimau besar itu. Dan....
Wuttt! Si Belang pun melesat dengan cepatnya,
meninggalkan Tunggal dan Riaka yang hanya saling berpandangan.
"Sebenarnya, aku ingin ikut dengan pemuda yang pemberani itu, Riaka...," kata
Tunggal. "Begitu pula aku, Tunggal. Hanya saja, kita tidak bias melakukannya sebelum
mendapatkan perintah dari Kakang Tiroseta," sahut Riaka.
Lalu mereka pun melangkah ke rimbunnya semak untuk melihat-lihat keadaan.
*** Di dasar Jurang Setan, kali ini tak ada yang suara.
Putri Permata Delima yang baru saja memasak ayam hutan yang diburu Danji tadi,
kini menghidangkannya untuk ayahandanya.
"Ayahanda..., makanlah dulu.... Sejak semalam ayahanda tidak makan...," ujar
gadis cantik ini dengan bibir tersenyum.
Prabu Adiwarman pun tersenyum. Hatinya bangga melihat ketabahan putrinya yang
dulu selalu di-kelilingi kebahagiaan, kemewahan, dan kemudahan.
Tetapi sekarang, di saat yang genting dan mencekam ini, bibirnya masih bisa
mengulas senyum.
Namun hal itu sebenarnya tidak terlalu mengherankan untuk Prabu Adiwarman.
Karena putrinya; walaupun tumbuh dalam lingkungan keraton, tetapi sifatnya
sangat merakyat. Dan hatinya bangga melihat Permata Delima yang tetap bersikap
tabah, meskipun kini keadaan sangat memprihatinkan.
Tiba-tiba saja Prabu Adiwarman merasakan lapar yang luar biasa.
"Terima kasih, Permata...," kata Prabu Adiwarman sambil menyantap ayam hutan
panggang itu. Putri Permata Delima pun menyediakan ayam panggang itu pada Tiroseta yang sedang
mengangkat kepala, menatap sesuatu yang menarik perhatiannya di dinding Jurang
Setan. "Kakang Tiroseta..., makanlah dulu...," ujar Permata Delima.
"Oh! Terima kasih, Tuan Putri. Tidak perlu repot.
Aku biasa tidak makan bila sedang dalam tugas...,"
sahut Tiroseta dengan wajah memerah. Senapati ini sebenarnya malu karena justru
seorang putri seperti Permata Delima yang melayaninya.
"Tetapi, ayam panggang ini sangat lezat sekali,
Kakang," bujuk Putri Permata Delima, membuat hati Tiroseta terenyuh.
Memang, betapa bahagianya rakyat Kerajaan Pakuan memiliki seorang putri yang
bisa dijadikan panutan.
"Oh, ya... ya..., terima kasih, Putri."
Tiroseta kembali menatap sesuatu yang menarik perhatiannya. Hingga kemudian,
Putri Permata Delima pun mengikuti arah pandangan Tiroseta.
Di dinding Jurang Setan, Putri Permata Delima melihat seekor burung hantu
berwarna abu-abu dengan sepasang mata memerah menyalang.
"Kenapa dengan burung hantu itu, Kakang?" tanya gadis itu kemudian, ingin
mengetahui mengapa Tiroseta memandangi burung hantu itu dengan sikap penuh
perhatian. "Tidak, tidak apa-apa," desah Tiroseta.
"Kalau tidak apa-apa, mengapa begitu tertarik memperhatikannya?" cecar Putri
Permata Delima.
Tiroseta menyadari kesalahannya. Senapati ini memang telah mendengar tentang
kecantikan Putri Permata Delima yang sangat jelita dan meng-hanyutkan. Tetapi,
ia kurang tahu kalau Putri Permata Delima mempunyai naluri ingin tahu yang
tinggi. "Tuan Putri..., selama dua hari hamba berada di sini, hanya..., baru pagi ini
melihat burung hantu itu.
Tuan Putri sendiri bagaimana?" tanya Tiroseta.
Putri Permata Delima terdiam. Ia mengingat-ingat.
Yah, rasanya ia pun baru melihatnya.
"Aku juga, Kakang. Sepertinya, aku memang baru melihat burung hantu itu.
Memangnya kenapa?" kata Putri Permata Delima, balik bertanya.
Kisah Tiga Kerajaan 18 Perguruan Sejati Karya Khu Lung Wanita Iblis 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama