Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular Bagian 2
Mereka semua tahu siapa Bayangan Hitam. Dia adalah seorang tokoh sakti yang
tangguh dan sukar dicari tandingannya. Benar-benar suatu kebetulan, Bayangan
Hitam datang membawa anak buahnya. Semangat mereka timbul kembali setelah hampir
diporak-porandakan.
*** Bayangan Hitam bukan orang lain bagi Saka Lintang. Dia adik kandung Geti Ireng,
ayah angkat Saka Lintang. Jadi Bayangan Hitam adalah bibi angkatnya. Meski Saka
Lintang telah mengetahui asal-usulnya, namun dia sama sekali tidak membenci
Bayangan Hitam. Wanita kurus ini sangat baik terhadap Saka Lintang. Lagi pula,
Bayangan Hitam tidak pernah ingin ikut campur dalam urusan Geti Ireng.
(Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah Tengkorak)
"Siapa kau, anak muda"!" tanya Bayangan Hitam.
"Namaku tak ada artinya buatmu," jawab Rangga. Dari sekilas pandang saja, Rangga
sudah dapat mengukur tingkat kepandaian perempuan kurus ini. Dari julukannya,
dapat dipastikan kalau tokoh ini dari aliran hitam.
"Sombong!" dengus Bayangan Hitam sedikit gusar.
"Sebutkan namamu sebelum kau kukirim ke neraka!"
"Aku Pendekar Rajawali Sakti," lantang suara Rangga.
"Aku datang untuk mengambil Putri Intan Kemuning!"
Intan Kemuning yang masih berdiri di depan pintu rumah kayu, terkejut. Wajahnya
tampak berubah merah. Dia tidak kenal dengan pemuda tampan itu. Mendengar
namanya saja, baru kali ini. Tapi diam-diam Intan Kemuning tertarik juga
melihat ketampanannya. Lebih-lebih setelah menyaksikan sepak terjangnya yang dengan mudah
merobohkan sepuluh orang dalam satu jurus yang diulang-ulang terus.
Bukan hanya Intan Kemuning yang terkejut Ternyata Bayangan Hitam pun kaget
setengah mati. Tak disangka-sangka dia bertemu dengan pembunuh kakak lakilakinya. Apalagi si pembunuh itu masih muda dan tampan. Kalau anak muda ini dapat
membunuh Iblis Lembah Tengkorak, pasti tingkat kepandaiannya tinggi sekali.
"Kebetulan kau muncul, bocah setan! Kau berhutang nyawa padaku!" ujar Bayangan
Hitam. "Bertemu saja baru kali ini, bagaimana mungkin aku berhutang nyawa padamu?"
"Kau membunuh saudara laki-lakiku! Kau harus bayar dengan nyawamu!"
"Siapa saudaramu"'
"Geti Ireng atau Iblis Lembah Tengkorak!"
Rangga mengerutkan keningnya. Kini dia mengerti
sudah, untuk apa perempuan kurus atau Bayangan Hitam itu muncul. Kelihatannya
dia telah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
"Aku membunuh saudaramu, karena dia membantai keluargaku!" lantang dan mantap
suara Rangga. "Aku tidak peduli! Yang jelas kau harus bayar nyawa saudaraku!"
Rangga yang sudah mengukur kepandaian Bayangan
Hitam tidak sungkan-sungkan lagi. Dia segera mencabut pedangnya ketika Bayangan
Hitam telah siap dengan
pedangnya. Sret!
'Tahan seranganku!" teriak Bayangan Hitam.
Bayangan Hitam segera menyerang Rangga dengan
jurus-jurus pedang yang dahsyat Sekejap saja mereka telah bertarung dengan
jurus-jurus pedang tingkat tinggi. Pedang Rangga berputar-putar berkelebat
memancarkan sinar biru yang menyilaukan. Sedangkan pedang Bayangan Hitam
menderu-deru menimbulkan hawa panas. Sinar hitam menggulung-gulung bagai asap
tebal. Dua sinar berbeda saling sambar dengan hebat-nya.
Kian lama pertarungan kian seru. Sebentar saja sepuluh jurus telah berlalu. Kini
tubuh mereka tidak terlihat jelas.
Yang kelihatan hanya bayangan hitam, putih, dan biru saling berkelebat Semua
yang ada di situ melongo, takjub.
Trang! Dua pedang beradu menimbulkan pijaran bunga api.
Bayangan Hitam segera melompat mundur satu tombak.
Dirasakan tangannya kesemutan ketika pedangnya beradu.
Jari-jari tangannya seperti kaku.
"Edan!"
dengus Bayangan Hitam melihat ujung pedangnya buntung.
Sementara Rangga tidak bergeming sedikit pun.
Pedangnya melintang di depan dada. Bibirnya mengulum senyum, tapi sinar matanya
tajam menatap lurus Bayangan Hitam. Rangga tidak merasakan apa-apa waktu
pedangnya berbenturan tadi. Kalau saja Bayangan Hitam tadi tidak melompat, bisa
jadi tangan kanannya pisah dari badan terbabat pedang Rangga.
"Keluarkan ilmu kesaktianmu, anak setan!" geram Bayangan Hitam sambil membuang
pedangnya begitu saja.
Rangga segera memasukkan pedangnya ke dalam
sarungnya. Dia pun bersiap-siap mengerahkan jurus 'Cakar Rajawali', satu jurus
andalan tingkat pertama. Bayangan Hitam pun tak kalah siapnya. Kini dia
mengeluarkan jurus andalannya juga. Mereka telah saling berhadapan.
"Bersiaplah!"
Bayangan Hitam segera menggebrak setelah selesai memberi peringatan. Pertarungan
dua tokoh sakti itu kembali berlangsung. Rangga mengerutkan keningnya ketika
merasakan angin sambaran pukulan yang sangat dahsyat. Kini hanya dua bayangan
hitam dan putih berkelebat. Debu mengepul di udara disertai angin yang menderuderu bagai terjadi topan.
"Glaaar...!"
Suara ledakan keras terdengar ketika tangan Bayangan Hitam menghantam batu.
Seketika batu itu hancur
berkeping-keping menyebar ke segala penjuru. Rangga berdecak kagum melihat
kedahsyatan pukulan Bayangan Hitam.
"Hebat...!" desis Rangga memuji dengan tulus
"Tahan seranganku!" teriak Bayangan Hitam.
Seketika Bayangan Hitam merubah jurusnya. Kin dengan jurus 'Bayangan Maut',
tubuhnya berar-benar seperti bayangan saja. Sulit diiihat denjan mata biasa.
Rangga pun segera merubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'.
Kedua tangan Rangga mengembang. Kakinya bergerak-gerak lincah mengimbangi
gerakan Bayangan Hitam yang sangat cepat. Kedua kaki Rangga kini tidak lagi
menjejak tanah. Kedua tangainya menyambar-nyambar menimbulkan deru angin
kencang. Beberapa pohon tumbang terkena sambaran angin pukulan Rangga.
Kedua kaki Rangga makin bergerak cepat. Bayangan Hitam sampai terperanjat,
karena kaki-kaki Rengga saling susul mengarah kepala. Kedua tangan yang selalu
mengembang bagai sepasang sayap itu menyambarnyambar mengikuti gerakan tubuh Rangga yang kadang melayang, kadang menukik
"Akh!"
Tiba-tiba Bayangan Hitam memekik kesakitan. Tubuhnya
terhuyung dua tombak. Tanpa dapat dihindari lagi, kaki Rangga berhasil mengenai
pundaknya. Dia berusaha menghindari kepala, tapi tidak bisa lagi menarik
pundaknya. Bayangan Hitam mengeram menahan sekit yang luar
biasa karena menyadari tangan kirinya tidak bisa digerakkan lagi. Tulang
pundaknya patah sehingga sulit digerakkan lagi.
"Serang...!" teriak Bayangan Hitam keras melengking.
Serentak sepuluh orang berpakaian serba hitam
bergerak menyerang Rangga. Empat orang anak buah Bidadari Sungai Ular yang
tersisa membantu mengeroyok Rangga.
Mereka penasaran karena belum bisa menggoreskan pedang ke tubuh Rangga.
"Kurang ajar!" geram Rangga sengit.
*** Sementara di sungai Ular, pertempuran masih berlangsung sengit. Saka Lintang bertarung dengan Pengemis Sakti Tongkat Merah.
Sedangkan Patih Giling Wesi dan para prajuritnya menghadapi anak buah Bidadari
Sungai Ular. Denting senjata bercampur dengan jerit kematian.
Prajurit Kepatihan yang dipimpin Patih Giling Wesi itu kini berada di atas
angin. Patih itu mengamuk terus. Setiap pedangnya berkelebat selalu menimbulkan
korban. Makin lama orang-orang berpakaian serba biru semakin berkurang
jumlahnya. Yang tersisa hanya delapan orang saja.
Saka Lintang tidak mungkin membantu orang-orangnya.
Dia sendiri kewalahan menghadapi Pengemis Sakti Tongkat Merah. Saat gerombolan
perompak itu makin terdesak, tiba-tiba muncul sepuluh orang berpakaian serba
hitam dipimpin oleh Jambak.
'Tuan Putri, Bibi Bayangan Hitam datang!" teriak Jambak.
Saka Lintang berseri-seri wajah nya. Semangatnya segera
bangkit mendengar Bayangan Hitam ikut membantu.
Apalagi melihat anak buah Bayangan Hitam ikut bertempur.
Lima orang membantu anak buah Saka Lintang, lima orang lagi membantu mengeroyok
Pengemis Sakti Tongkat Merah.
Saka Lintang mendekati Jambak yang tengah mengeroyok Kakek Sakti Tongkat Merah. Kini keadaannya jadi berbalik. Orang-orang
dari Bayangan Hitam lebih tinggi tingkat kepandaiannya dan lebih ganas dalam
bertarung. "Di mana Bibi Bayangan Hitam sekarang?" tanya Saka Lintang di sela-sela
pertarungan. 'Tengah menghadapi Pendekar Rajawali Sakti," jawab Jambak.
"Apa...?" Saka Lintang terkejut. Pengemis Sakti Tongkat Merah mendengar hal itu
merasa bersyukur karena
Pendekar Rajawali Sakti telah sampai di sarang gerombolan Bidadari Sungai Ular.
"Lalu, bagaimana Intan?" tanya Saka Lintang dengan cemas.
"Berada di markas!" sahut Jambak.
Saka Lintang segera melompat keluar dari pertarungan ketika ada kesempatan.
Dengan cepat dia berlari
menggunakan ilmu peringan tubuh. Pengemis Sakti Tongkat Merah yang sejak tadi
mendengar, lalu berteriak nyaring.
Tubuhnya mencelat tinggi di udara dan jatuh tepat di samping Patih Giling Wesi.
"Cepat ke bukit Guntur! Selamatkan putrimu!" perintah Kakek Pengemis itu. "Biar
orang-orang ini aku yang hadapi!"
Patih Giling Wesi segera melompat tinggi dan bersalto di udara.
Begitu kakinya menginjak tanah, langsung dikeluarkannya ilmu lari cepat. Bagaikan kilat tubuh patih itu dan kini sudah
jauh meninggalkan pertempuran.
Pengemis Sakti Tongkat Merah mengamuk memutar-mutar tongkat saktinya.
Satu persatu orang-orang berpakaian serba hitam
tersungkur berlumuran darah disertai jerit kesakitan.
Mereka bukanlah lawan Pengemis Sakti Tongkat Merah.
Tongkatnya seperti hidup menyambar- nyambar mencari mangsa.
"Cepat susul Gustimu!" teriak Aki Lungkur kepada para prajurit.
'Tapi, Ki...!" seorang prajurit tidak tega meninggalkan orang tua itu sendirian.
"Jangan membantah!" dengus Aki Lungkur. Delapan prajurit
Kepatihan itu langsung beriari menyusul pemimpinnya. Sementara Kakek Pengemis kian waspada, selalu menghalangi setiap
orang yang akan mengejar para prajurit.
"Cari kesempatan! Kejar mereka!" teriak Jambak gusar.
Perintah Jambak seperti tertelan angin. Mereka seperti menghadapi seribu
pengemis. Aki Lungkur bergerak cepat menyambar setiap orang yang berusaha keluar
dari medan pertarungan. Jambak memutar otaknya mencari jalan agar sebagian
temannya bisa keluar dari pertarungan. Kakek sakti
menebas tongkatnya sehingga satu persatu bergelimpangan. Kini jumlah mereka makin berkurang saja.
Di markas gerombolan Bidadari Sungai Ular, pertarungan masih berlangsung sengit.
Rangga mengamuk menghadapi Bayangan Hitam yang dibantu oleh kaki tangannya.
Rangga mencabut pedangnya dan mengerahkan ilmu
pedangnya yang dipadu dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Jurus
ke-tiga dari rangkaian jurus
'Rajawali Sakti'. Gerakan kakinya lincah menghindari setiap serangan lawan,
sedangkan pedangnya berkelebat ke arah tubuh lawan yang kosong.
"Rantai Bayangan!" teriak Bayangan Hitam tiba-tiba.
Seketika sepuluh orang mengambil posisi melingkar mengepung Rangga. Empat orang
ber-pakaian biru keluar dari arena.
Mata Rangga tajam mengamati gerakan sepuluh orang yang berputar mengelilinginya
sambil pedangnya tersilang
di depan dada. Seperti mata rantai, mereka bekerja sama dengan gerakan-gerakan
yang teratur dan menunjang.
Makin lama makin cepat Yang terlihat kini hanya bayangan hitam yang bergerak
melingkar. "Hiya! Yeah...!"
Rangga kebingungan juga menghadapi pola serangan yang ganjil ini. Tetapi dengan
cepat Pendekar Rajawali Sakti dapat menguasai diri. Ternyata teriakan-teriakan
itu hanya untuk memecah konsentrasinya.
Serangan-serangan itu sulit ditebak, datang dari segala penjuru secara
berganrJan. Gencar sekali. Mata Rangga tidak lepas mengamati setiap serangan
yang datang. Tiba-tiba dia menjerit kuat sekali. Tubuhnya berputar cepat bagai baling-baling.
Trang! Trang! Trang!
Kepingan-kepingan logam pedang yang patah meluncur deras ke arah orang-orang
berpakaian serba hitam yang kebingungan. Pedang mereka terkena sambaran pedang
biru menyilaukan.
"Aaaakh...!"
Beberapa tubuh yang tidak sempat mengelak langsung bergelimpangan dengan dada
teriembus patahan pedang mereka sendiri menyusul jeritan kematian.
"Bedebah! Kurang ajar!" Bayangan Hitam menggeram melihat empat anak buahnya
roboh hanya sekali gebrakan saja. Sedangkan yang selamat hanya memegang pedang
yang tinggal setengah saja.
Dengan gerakan manis, Rangga mendarat di tanah.
Pedangnya dimasukkan ke dalam sarungnya di punggung.
Rangga tidak akan menggunakan senjata jika lawan tidak pula menggunakannya.
"Bola Rantai Hitam!" teriak Bayangan Hitam tiba-tiba.
Dengan serentak sisa anak buahnya mengeluarkan
sebuah bola besi berwarna hitam yang bergigi runcing di sekelilingnya dan
Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dihubungkan dengan rantai halus
berwarna hitam pula.
Keenam orang itu segera membentuk lingkaran. Tangan mereka memutar-mutar rantai
panjang dengan bola-bola bergigi di ujungnya. Suaranya menderu-deru bagai angin
topan. Rangga pun mengerahkan gabungan dari tiga rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Dia
masih menganggap belum perlu merubah jurus, dan hanya menggabung-gabungkan saja
dengan berbagai kombinasi.
"Serang...!" teriak Bayangan Hitam memberi komando.
Seketika bola-bola itu menderu-deru silih berganti, dilontarkan oleh keenam
orang itu. Rangga membiarkan tubuhnya terbelit rantai-rantai dengan bola bergigi
itu. Dengan satu teriakan melengking, dia melesat ke udara bagai seekor rajawali.
Tiba-tiba tubuh mereka terangkat ikut meluncur bersama Rangga yang semakin
tinggi. "Lepaskan!" teriak Bayangan Hitam.
Keenam orang itu serentak melepaskan rantai. Sebelum menjejakkan kakinya di
tanah, mereka bersalto di udara.
Rangga yang masih berada di atas, dengan gerakan cepat mengumpulkan dan
melemparkan rantai-rantai itu kepada pemiliknya.
"Aaaakh...!" seorang dari mereka menjerit keras.
Kepalanya hancur terhantam bola hitam miliknya sendiri.
Lima orang lainnya masih bisa menyelamatkan diri. Bola-bola besi lainnya
menghantam tanah lalu melesak ke dalam. Rantai-rantai hanya terlihat beberapa
jengkal saja. Sungguh hebat tenaga dalam Rangga.
"Bedebah!" geram Bayangan Hitam.
Rangga turun dengan manis. Kali ini dia tidak ingin lagi membiarkan lawan
mengatur siasat. Dia segera menyerang Bayangan Hitam dengan gabungan tiga
rangkaian jurus
'Rajawali Sakti'.
Tentu Bayangan Hitam jadi kelabakan. Apa-lagi sebelah tangannya tidak bisa
digerakkan. Kelima anak buahnya
ditambah empat anak buah kelompok Bidadari Sungai Ular, langsung membantunya.
Rangga kini dikeroyok sepuluh orang. Tapi hanya empat orang saja yang
menggunakan senjata.
"Lepas!" sentak Rangga.
Tiba-tiba saja empat pedang terlempar ke udara. Dan tanpa terduga sama sekali,
kaki Rangga melayang ke arah kepala.
Kraaak! "Aaaa..r!"
Gerakan Rangga dengan jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa' begitu cepat sehingga keempat orang itu tidak bisa melindungi
kepalanya. Mereka segera menggelepar dengan kepala pecah.
Dengan cepat Rangga segera mengganti ketiga jurusnya sehingga lawan kebingungan.
Apalagi kini mereka tanpa senjata. Bayangan Hitam pun kini hanya bisa bertahan
tanpa mampu memberikan serangan balasan. Dari
mulutnya terus keluar umpatan dan cacian yang tidak berhenti.
"Bibi...!"
Bayangan Hitam menoleh. Dilihatnya Saka Lintang berlari cepat dan segera
melompat sambil menghunus pedang.
Seketika Saka Lintang terlibat dalam pertempuran pula. Dia menggeram dengan gigi
gemerutuk melihat semua anak buahnya tewas. Bahkan lima orang anggota Bayangan
Hitam telah jadi mayat.
"Mundur...!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggelegar.
Begitu hebatnya suara bentakan tadi, sehingga pertempuran sekejap saja berhenti, Siapakah yang membentak itu"
*** Seberkas sinar merah meluncur deras menyambar
Rangga. Dengan sigap Pendekar Rajawali Sakti itu melompat menghindari sinar
merah yang datang tiba-tiba itu. Belum sempat menjejakkan kakinya ke tanah,
Rangga telah disibukkan dengan sinar merah yang datang lagi.
Terpaksa dia kini mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Mata Rangga yang tajam cepat mengetahui dari mana datangnya sinar merah itu.
Rangga cepat mengibaskan tangannya, dengan seketika dia telah menggenggam
pedangnya. Kini pedang itu terarah pada sebuah pohon besar. Dari pedang pun
meluncur sinar biru bergulung-gulung.
Blar...! Pohon besar itu hancur berkeping-keping tersambar sinar biru. Rangga kembali
memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya. Tepat saat kakinya menginjak tanah,
muncul seorang kakek tua berjubah merah. Kakek itu mencelat bersamaan dengan
hancurnya pohon itu.
"Paman Nambi...!" seru Saka Lintang.
Seorang tokoh tua sakti bernama Nambi muncul di
tengah-tengah arena pertarungan. Dia dikenal dalam rimba persilatan dengan nama
Setan Jubah Merah. Tokoh ini beraliran hitam dan dulunya merupakan suami
Bayangan Hitam.
Sampai sekarang pun mereka masih suami istri. Hanya kemunculan mereka saja yang
tidak selalu bersamaan.
Banyak tokoh menduga kalau mereka tengah bentrok.
Hanya saja watak mereka yang terbiasa malang melintang di rimba persilatan,
sehingga mereka tidak hiraukan status suami istri. Mereka sibuk mendirikan
partai sendiri-sendiri.
"Paman..., untung paman cepat datang," Saka Lintang gembira.
"Hm, apa yang terjadi, Lintang?" tanya Nambi sambil mengamati mayat-mayat yang
bergelimpangan.
"Perkumpulanku dihancurkan, paman," jawab Saka Lintang. Ada nada kesedihan daiam
suaranya. "Dan kau tidak mampu mengatasinya?"
Saka Lintang hanya tertunduk saja.
"Sudah kuperingatkan, jangan cari perkara dengan pihak kerajaan. Masih saja
membandel!" tegur paman angkat Saka Lintang.
Maksud Saka Lintang hanya ingin merubah Intan
Kemuning menjadi seorang pendekar wanita. Tetapi tak diduga sama sekali
akibatnya jadi demikian. Seluruh anak buahnya mati. Dia sadar, ini adalah
kesalahannya. Saka Lintang melirik Intan Kemuning yang masih berdiri di depan
pintu. Mungkin kalau Pengemis Sakti Tongkat Merah tidak ikut campur, Saka Lintang pasti
mampu mengalahkan Patih Giling Wesi dan para prajuritnya. Tapi sekarang" Apalagi
Pendekar Rajawali Sakti ikut membantu.
Saka Lintang memandang Rangga. Seketika hatinya
bergetar. Benih-benih cinta kembali muncul. Namun bibit dendam dan kebencian
juga bertumbuhan. Untuk kedua kalinya dia harus berhadapan dengan pemuda yang
telah merobek-robek hatinya ini. (Untuk lebih jelas, silahkan baca Pendekar
Rajawali Sakti dalam episode: Iblis Lembah Tengkorakl
"Siapa dia?" tanya Nambi atau Setan Jubah Merah.
"Pendekar Rajawali Sakti," jawab Saka Lintang.
Nambi memandang pada istrinya, Bayangan Hitam.
Matanya agak menyipit melihat ke arah pundak perempuan tua itu. Pundak itu
melesak ke dalam. Patah! Mendadak hatinya panas.
"Anak muda, hadapi aku!" bentak Setan Jubah Merah.
"Hati-hati, Kakang!" Bayangan Hitam memperingatkan.
Setan Jubah Merah melompat cepat menerjang
Pendekar Rajawali Sakti. Pertempuran sengit tidak dapat dihindari lagi. Setan
Jubah Merah segera mengerahkan
jurus-jurus andalannya. Jurus tangan kosongnya sangat dahsyat. Setiap pukulannya
mengandung hawa racun yang mematikan. Tapi semua itu tidak berpengaruh terhadap
Rangga. Rangga kebal terhadap segala je-nis racun.
Kini Rangga menghadapi lawan dengan jurus 'Cakar Rajawali'. Dengan jurus ini,
Rangga tidak bermaksud memandang enteng lawan. Dia hanya mengukur tingkat
kepandaian lawan. Sudah menjadi sifatnya untuk tidak mengeluarkan
jurus-jurus berbahaya sebelum dia mengetahui tingkat kepandaian lawan.
"Bocah setan! Jangan salahkan aku jika sampai menurunkan tangan kejam!" geram
Nambi sengit melihat Rangga hanya berkelit tanpa mem-balas serangan.
"Kalau itu keinginanmu, baiklah! Maafkan, Kakek!" sahut Rangga dengan hormat
Nambi terdongak mendengar kata-kata Rangga. Baru kali ini didapatkan lawan yang
mau menghormat pada dirinya.
Pemuda itu tidak congkak. Bahkan selalu merendah.
"Serang aku!" teriak Nambi.
"Bersiaplah, Kek!"
Rangga menyalurkan seluruh tenaga ke kedua telapak tangannya. Seketika jari-jari
tangannya meregang kaku. Lalu digerakkan tangannya yang makin lama makin cepat.
Nambi sedikit terperangah. Dengan cepat dia mengimbanginya. pertarungan pun menjadi sengit.
"Maaf!" seru Rangga.
"Akh!"
Setan Jubah Merah memekik tertahan. Dia terhuyung satu tombak ke belakang. Jarijari tangan Rangga berhasil menusuk pangkal lengan kiri Nambi. Darah mengucur
deras dari pangkal lengan yang bolong dua jari itu.
Nambi mengemerutukkan gerahamnya. Hati kecilnya
berkata kalau dia merasa salut terhadap anak muda itu. Dia sempat mendengar
permintaan maaf Rangga sebelum
melancarkan serangan. Hasilnya sungguh tak terduga
sekali. Lengan Nambi bolong oleh tusukan jari-jari Rangga.
"Kakang...!" jerit Bayangan Hitam cemas melihat darah mengucur dari lengan
suaminya. Bayangan Hitam langsung melompat menyerang Rangga.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti harus melayani serangan beruntun Bayangan Hitam.
Saka Lintang pun tidak ingin ketinggalan. Mereka segera mengeroyok Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti segera menggabungkan jurus 'Cakar Rajawali' dengan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Sedangkan Saka Lintang mengerahkan jurus 'Pukulan Geledek'nya.
Setan Jubah Merah yang telah berhasil menghentikan darah dengan totokannya,
segera ikut mengeroyok Rangga.
Kini Rangga berhadapan langsung dengan tiga orang tokoh yang memiliki kepandaian
yang luar biasa.
Posisi Rangga kian terdesak oleh serangan yang
beruntun. Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' lalu disusul
dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Sasarannya kini ke arah Bayangan Hitam. Begitu cepat perubahan jurus yang
dilakukan Rangga, sehingga
Bayangan Hitam tidak dapat menguasai diri lagi.
"Aaaakh...!" Bayangan Hitam menjerit kesakitan.
Kaki Rangga telak bersarang di kepala Bayangan Hitam.
Dia menggelepar-gelepar dengan kepala hancur, kemudian diam tak bergerak lagi.
"Bibi...!" Saka Lintang memekik kaget.
Setan Jubah Merah menggeram menahan marah.
"Kubunuh kau, bocah setan!" teriak Nambi.
Secepat kilat Setan Jubah Merah menyerang dengan jurus-jurus mautnya. Sementara
Saka Lintang kembali menyerang dengan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.
Kemarahan dan dendamnya sudah sampai ubun-ubun. Dia tidak lagi memandang
perasaan cintanya pada Rangga.
Sementara pertarungan sengit berlangsung, lima orang
anggota Bayangan Hitam yang tersisa menyeret gurunya ke tempat yang lebih baik
Tetapi salah seorang dari mereka, kebetulan melihat Intan Kemuning yang belum
beranjak dari pintu pondok. Melihat kecantikan Intan Kemuning, seketika nafsu
birahinya bangkit.
"Ah!" Intan Kemuning kaget ketika tiba-tiba seseorang telah ada di depannya.
Mata orang itu liar merayapi wajah gadis cantik di depannya. Jakunnya turun naik
menahan gejolak birahi yang bergelora dalam dada.
"Mau apa kau?" Intan Kemuning bergidik,
"Kau yang menjadi gara-gara, sekarang aku minta bayaran darimu," gertak lakilaki itu. "Ih!" Intan Kemuning menepis tangan laki-laki yang terulur hendak menjamah.
"He he he..., ternyata kau punya isi juga," orang itu menyeringai. Liumya
tertahan. "Ah, jangan!"
*** 6 Intan Kemuning makin kaget ketika orang itu telah menubruk dan memeluknya. Dia
meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Tanpa menghiraukan jeritan, laki-laki itu
menyeretnya masuk ke pondok
Rupanya perbuatan salah seorang anggota Bayangan Hitam menarik perhatian empat
orang lainnya. Mereka kini tidak peduli dengan mayat gurunya. Segera mereka
berlarian ke pondok.
Di dalam pondok, Intan Kemuning terus meronta-ronta sambil menjerit-jerit.
Tangannya memukuli tubuh lelaki kasar yang telah menindihnya. Intan Kemuning
jadi lupa kalau dia telah belajar dasar-dasar ilmu olah kanuragan.
Rasa panik dan ketakutan yang amat sangat membuat dia lupa segalanya.
"Auh! Lepaskan...!" jerit Intan Kemuning.
Laki-laki itu makin liar merejam tubuh Intan Kemuning.
Bahkan empat laki-laki anggota Bayangan Hitam lainnya telah mengelilingi serta
menatap wajah dan tubuh yang indah itu.
Bret! "Auuuh...!" Intan Kemuning memekik ketika tangan laki-laki yang menindihnya,
merobek bajunya.
Kini bagian dada yang membukit indah terbuka. Lima pasang mata menatap ke a rah
dada yang putih mulus tanpa berkedip. Intan Kemuning cepat menutupi bagian
dadanya yang terbuka, namun seorang laki-laki lainnya maju dan menarik tangan
Intan Kemuning.
'Tidak...! Lepaskan!" jerit Intan Kemuning putus asa. Bret!
Lagi-lagi baju Intan Kemuning dirobek paksa. Tubuh Intan Kemuning seketika jadi
polos. Hanya bagian bawah saja yang masih tertutup. Tangan-tangan kasar kini
menelusuri bukit yang indah itu. Keempat orang yang sebelumnya
hanya berdiri saja, tidak bisa menahan diri lagi. Mereka mendekat dan merabaraba tubuh yang putih mulus itu.
Intan Kemuning benar-benar putus asa. Air bening mulai menitik dari sudut
matanya. Dari mulutnya keluar rintihan memohon belas kasihan. Namun kelima orang
sudah tidak peduli lagi. Tangan-tangan mereka makin liar menjelajah ke seluruh
tubuh gadis cantik itu.
'Tidak, jangan...," rintih Intan Kemuning memelas.
Tepat ketika seorang laki-laki akan membuka bagian bawah pakaiannya, tibatiba.... Brak! Pintu poridok yang tertutup, hancur berantakan.
"Binatang!" Patih Giling Wesi segera menerjang marah.
Lima orang yang tengah dirasuki iblis itu terperangah.
Pedang Patih Giling Wesi berkelebat cepat Seketika saja dua kepala telah
terpisah dari tubuh.
Tiga orang lainnya segera melompat menyebar. Intan Kemuning cepat-cepat
mengenakan pakaiannya kembali yang sudah tercabik-cabik itu. Air matanya makin
deras mengalir. Dia bersyukur karena kelima laki-laki itu belum sempat merenggut
kehormatannya. "Binatang! Mampus, kalian semua!" teriak Patih Giling Wesi kalap.
Pedangnya kian cepat berputar menyerang tiga orang laiki-laki itu. Mereka hanya
bisa berkelit saja. Dengan terpaksa mereka melayani hanya dengan tangan kosong
karena tidak memiliki senjata lagi.
Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaaakh!" kematian kembali terdengar.
Salah seorang dari tiga orang yang tersisa, ambruk dengan dada tergores panjang
dan dalam. Darah segera membasahi lantai. Melihat tiga orang temannya telah
tewas, segera dua orang anggota Bayangan Hitam itu mendobrak dinding pondok,
kabur. "Ayah...!"
Patih Giling Wesi yang hendak mengejar, berbalik ketika putrinya memanggil.
Intan Kemuning berlari lalu menubruk
ayahnya. Mereka saling berpelukan menumpahkan seluruh air mata dan rindu.
"Kau tidak apa-apa, Nduk?" tanya Patih Giling Wesi dengan suara tersendat.
"Tidak, Ayah," jawab Intan Kemuning tanpa melepaskan pelukannya.
"Oh, syukurlah," desah Patih Giling Wesi.
Kembali mereka terdiam sambil berpelukan. Ditumpahkan segala kerinduan dan kegembiraan karena dapat berkumpul lagi. Pelanpelan Patih Giling Wesi melepaskan pelukannya. Sejenak ditatap putrinya. Jarijari tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi Intan Kemuning.
"Mereka tidak mengganggumu, Nak?" tanya patih itu masih diliputi perasaan cemas.
Biar bagaimana pun juga, hatinya masih khawatir
terhadap putrinya yang baru saja terbebas dari tawanan perompak itu.
"Mereka tidak ada yang menggangguku, Ayah," sahut Intan Kemuning. 'Pemimpin
perampok itu sangat baik. Dia mengangkatku sebagai adiknya."
"Maksudmu, Bidadari Sungai Ular itu?"
"Betul, Ayah. Kakak Lintang selalu melindungiku. Dia baik sekali padaku."
"Lalu, orang-orang itu?"
"Mereka bukan orang-orang Bidadari Sungai Ular. Mereka orang-orang Bayangan
Hitam," Seketika Intan Kemuning tersentak. Dia ingat kalau pemuda tampan yang telah
menggetarkan hatinya tengah bertempur di luar. Pemuda itu kini menghadapi dua
tokoh sakti. "Ada apa, Intan?" tanya Patih Giling Wesi.
"Pemuda itu...."
"Pemuda siapa?"
"Oh!" Intan seperti tersadar. Malu.
Seketika kedua pipinya merah merona. Kepalanya
tertunduk. Tanpa disadari dia telah mencemaskan
pendekar muda yang sejak tadi menarik perhatiannya.
Pendekar itu telah merebut sekeping hatinya.
Patih Giling Wesi terdongak begitu mendengar suara pertempuran di luar. Patih
Giling Wesi tersadar. Rasa haru dan gembira telah membutakan mata dan menulikan
telinganya, sehingga tidak tahu ada pertempuran di luar.
Sekelebat memang dia melihat pertempuran itu, namun Patih Giling Wesi lebih
terpusat pada suara rintihan wanita di dalam pondok itu.
Dan ketika Intan Kemuning menyebut pemuda itu..., Patih Giling Wesi seolah baru
sadar kalau putrinya telah menjadi seorang gadis remaja. Ah, apakah Intan
Kemuning jatuh cinta" Apakah dengan pemuda tampan yang kini sedang bertarung
melawan dua tokoh sakti itu" Kalau benar, siapakah pemuda itu" Berbagai
pertanyaan berkecamuk di benak patih itu.
"Intan...," lembut suara Patih Giling Wesi.
Pelan-pelan Intan Kemuning mengangkat kepalanya.
"Ayo...."
Patih Giling Wesi menggandeng anaknya ke luar pondok itu. Mereka berhenti
melangkah di depan pintu yang sudah hancur. Mereka menyaksikan pertempuran
antara Rangga melawan Saka Lintang dan Setan Jubah Merah.
Namun Intan Kemuning melangkah terus, dan baru
berhenti setelah berada dua tombak dari pondok. Patih Giling Wesi mengikutinya.
Patih Giling Wesi tersenyum melihat Intan Kemuning tidak berkedip menatap setiap
gerakan Rangga. Dalam hati dia merasa kagum juga terhadap pemuda tampan itu.
*** Pertempuran masih terus berlangsung di sungai Ular. Kini
yang dihadapi Pengemis Sakti Tongkat Merah hanya empat orang saja. Mayat
menyebar di mana-mana. Bau anyir darah menyebar terbawa angin.
"He he he...!" Pengemis Sakti Tongkat Merah terkekeh.
Cukup sekali gebrak saja, keempat orang yang memang tidak punya nyali lagi,
dibuat tidak berkutik. Ujung tongkat Pengemis Sakti itu merobek-robek dada
mereka. Darah segar menyembur disertai jeritan kesakitan saling susul.
Keempat orang itu kini ambruk kehilangan nyawa. Kakek Pengemis Sakti kembali
terkekeh. "Kasihan, kalian hanya membuang nyawa sia-sia,"
gumam Aki Lungkur atau Pengemis Sakti Tongkat Merah.
Pelan-pelan kakinya meninggalkan tempat pembantaian itu. Ironis sekali. Tempat
yang indah dan menyejukkan itu, kini jadi mengerikan. Bau anyir darah telah
mengundang anjing-anjing hutan untuk menyantap mayat-mayat yang bergelimpangan.
Tak luput, burung bangkai pun telah berkeliling di angkasa minta bagian.
Aki Lungkur mengayunkan langkah menuju bukit Guntur.
Langkah yang kelihatan pelan, tapi kenyataannya, sebentar saja kakek tua itu
telah jauh melangkah. Kakinya seperti tidak menapak tanah. Itulah ilmu 'Sayiti
Angin' yang dikeluarkannya. Orang yang menguasai ilmu ini dapat meminjam
hembusan angin untuk mendorong tubuhnya.
Layaknya kapas yang dihembus angin.
"Mudah-mudahan
Pendekar Rajawali Sakti bisa mengatasi keadaan," gumam Aki Lungkur pelan.
"He he he...!"
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh. Aki Lungkur
menghentikan langkahnya. Suara itu jelas menggunakan tenaga dalam yang luar
biasa. 'Tidak disangka, Pengemis Sakti Tongkat Merah mau mengotori tangannya hanya
untuk membantai cacing-cacing tanah," terdengar suara mengejek.
"Ah, aku malas main petak umpet," keluh Aki Lungkur
terus melanjutkan langkahnya.
Langkahnya baru tiga tindak, tiba-tiba di depan Aki Lungkur muncul seorang lakilaki gendut berkepala botak mengenakan jubah kuning. Untaian tasbih tergenggam
di tangan kanannya.
"Rupanya kau, Pendeta Murtad," dengus Aki Lungkur.
"Aku rasa kau tidak perlu ke bukit Guntur, Aki Lungkur.
Kau akan menambah kotor tanganmu saja," kata Pendeta Murtad yang nama aslinya
Pradya Dagma. "Aku rasa tanganmu tidak lebih bersih dari-pada tanganku," tenang sekali Aki
Lungkur menyahut.
'Tapi aku tidak pernah usil dengan urusan orang lain."
"Dengan menghadang jalanku, kau sudah mencampuri urusan orang lain."
'Phih! Aku sengaja menghadangmu untuk mencegah agar kau tidak ikut campur urusan
keponakanku!"
"Keponakan" Ha ha ha...! Apa aku tidak salah dengar"
Kapan kau punya keponakan!"
"O, mengapa kau lari dari Lembah Tengkorak waktu itu"
Kenapa tidak kau bantu keponakanmu" Itukah paman yang baik?"
Merah padam wajah Pradya Dagma. Kata-kata Aki
Lungkur tenang diucapkannya, tetapi sakit didengamya.
Kata-kata itu baginya adalah penghinaan yang luar biasa.
"Ah, sudahlah! Aku tidak ada urusan denganmu," kata Aki Lungkur berusaha
mengalah. Aki Lungkur melangkah melanjutkan perjalanan tanpa peduli. Melihat hal ini,
Pradya Dagma makin merasa terhina. Dengan cepat dia kembali menghadang.
"Sudah kukatakan, aku tidak ada urusan denganmu.
Minggir, aku mau pergi!" dengus Aki Lungkur sedikit jengkel.
"Kalau kau mencampuri urusan Saka Lintang, maka kau juga berurusan denganku!'
sahut Pradya Dagma.
"Heh! Rupanya kau cari penyakit?"
"Kau yang cari kematian, Aki Lungkur!"
Aki Lungkur mendelik. Dia bersiap-siap ketika melihat Pendeta Murtad itu telah
membuka jurus-jurus ampuhnya.
Tanpa dapat dicegah lagi, dua tokoh sakti berlainan aliran itu bertempur dengan
sengit Diantara mereka berdua, sebenarnya tidak ada urusan apa-apa. Aki Lungkur sendiri
sebenarnya tidak melayani meski pun Pendeta Murtad itu selalu cari perkara
dengannya. Pengemis Tongkat Merah melayaninya dengan setengah-setengah. Padahal, Pendeta
Murtad itu telah melancarkan serangan-serangan berbahaya. Kelihatannya dia ingin
membunuh Pengemis Sakti ini.
"Pradya Dagma, hentikan semua ketololanmu!" bentak Aki Lungkur gusar.
"Jangan katakan aku kejam kalau kau kukirim ke neraka, Lungkur!" sahut Pradya
Dagma keras. "Aku tidak peduli kau melawan atau tidak!"
Gigi Aki Lungkur beradu menahan geram. Pendeta
Murtad ini rupanya benar-benar ingin membunuhnya. Dia masih mengeluarkan jurusjurus andalannya. Terpaksa Aki Lungkur harus menghadapinya dengan hati- hati.
Dia tahu kalau Pradya Dagma sangat berbahaya, terutama tasbihnya yang menjadi
andalan. Antara Aki Lungkur dengan Pradya Dagma, sebenarnya masih saudara seperguruan.
Mereka sama-sama murid Resi Brahespati. Akibat suatu perselisihan, rupanya
Pradya Dagma masih menyimpan api dendam. Dia tidak mau
mengakui keunggulan Aki Lungkur. Padahal setiap kali mereka bentrok, Aki Lungkur
selalu bersikap mengalah. Dia masih memandang hormat pada Resi Brahespati. Sebab
Pradya Dagma anak tunggal dari gurunya itu. Itulah sebabnya, mengapa Aki Lungkur
selalu menolak setiap tantangan Pradya Dagma. Dia pun tak ingin mencampuri
urusan Pradya Dagma meskipun tindakan dan perbuatan Pradya Dagma selalu
merugikan orang lain.
"Maaf, aku masih ada urusan yang lebih penting," ujar Aki Lungkur masih berusaha
mengalah. Segera dia melenting cepat.
"Hey, tunggu!"
Pradya Dagma segera mengejar. Hanya beberapa kali lompatan saja, dia telah
berhasil mengejar disertai satu pukulan dengan tenaga dalam yang penuh. Aki
Lungkur terkejut. Dia segera membuang diri ke tanah.
Pukulan Pradya Dagma menghantam sebatang pohon
besar. Seketika pohon itu tumbang disertai suara gemuruh.
Aki Lungkur belum bersiap-siap, tiba-tiba datang serangan berikut. Aki Lungkur
kembali bergulingan di tanah. Secepat itu pula, dia melenting dan berdiri di
tanah dengan kokoh.
"Kelakuanmu sudah melampaui batas, Pradya Dagma!"
geram Aki Lungkur.
"Kalau kau laki-laki, jangan hanya bisa menghindar!" ejek Pradya Dagma.
"Kau memang sudah tidak bisa di beri hati, Seluruh pikiran dan hatimu sudah
tertutup iblis."
"Kau pun akan, senang tinggal di neraka bersama iblis."
"Demi Resi Brahespati, aku tidak menurunkan tangan kejam padamu!"
Rupanya Aki Lungkur sudah tidak bisa menahan
kesabarannya lagi. Dibukanya jurus 'Tongkat Sakti'. Pradya Dagma terkekeh
melihat Aki Lungkur mulai terpancing kemarahannya. Dia pun segera mengerahkan
jurus 'Tasbih Sakti'.
Kedua tokoh itu mempergunakan jurus yang didapat dari sumber yang sama. Mereka
sama-sama telah mengenal jurus masing-masing. Setelah mereka saling pandang,
maka menyusullah suara teriakan keras. Dua tokoh sakti itu pun saling menyerang.
*** Kali ini Aki Lungkur tidak main-main lagi. Kemauan saudara seperguruannya
dilayani dengan sungguh-sungguh.
Bahkan serangan-serangan balasannya tidak tanggung-tanggung mengarah ke bagianbagian tubuh lawan yang mematikan.
Lima jurus kini telah mereka lewati. Masing-masing belum ada yang terdesak.
Mereka paham betul dengan kelemahan dan kelebihan jurus-jurus masing-masing.
Jurus-jurus yang mereka pergunakan juga beraliran sama, hanya penerapannya
yang lain. Jika Pradya Dagma mempergunakannya untuk maksud-maksud kejahatan,
maka Aki Lungkur mempergunakannya untuk membela
yang lemah dan menumpas kejahatan.
Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Aki Lungkur yang selalu memperdalam dan
menyempumakan ilmunya,
kelihatan lebih unggul ketika memasuki jurus yang keseratus. Sedikit demi
sedikit Pradya Dagma mulai kewalahan dan terdesak. Beberapa kali ujung tongkat
itu hampir menyentuh tubuh Pradya Dagma, Aki Lungkur selalu membelokkannya.
Hatinya tetap tidak mengijinkan untuk melukai saudara seperguruannya ini. Tapi
Pradya Dagma sudah tidak peduli.
Dia malah mempergunakan kesempatan itu untuk
mendesak. Timbul sifat mengalah dalam hati Aki Lungkur.
Dibiarkan dirinya terdesak. Bahkan dia kelihatan tidak ada semangat lagi untuk
melanjutkan pertarungan. Hingga pada suatu saat...
"Akhl" Aki Lungkur memekik tertahan. Kaki Pradya Dagma berhasil menghantam
dadanya. Tubuh pengemis tua itu terdorong dua tombak. Matanya berkunang-kunang.
Dadanya terasa sesak. Tendangan Pradya Dagma telak, disertai tenaga dalam yang
hebat Kalau bukan Aki Lungkur, mungkin dada itu telah jebol.
"Kau menghinaku, Lungkur! Kau sengaja mengalah!"
desis Pradya Dagma.
"Aku mengaku kalah," kata Aki Lungkur ter-sendat
"Sudah aku katakan, aku tidak peduli dengan sikapmu!
Ayo lawan aku!" bentak Pradya Dagma.
Tiba-tiba di depan Aki Lungkur seperti berdiri seorang resi. Seketika pengemis
tua itu menjatuhkan diri, dan berlutut saat dia tahu yang berdiri di depannya
adalah Resi Brahespati.
"Ampunkan muridmu yang hina ini, Resi," ucap Aki Lungkur dengan kepala
tertunduk. Pradya Dagma yang melihat sikap Aki Lungkur, terheran-heran. Dia tidak mengerti,
mengapa tiba-tiba Aki Lungkur seperti ketakutan. Bahkan dia tadi menyebut-nyebut
resi. Pradya Dagma memang tidak melihat kedatangan Resi Brahespati, ayahnya itu yang
padahal tengah berdiri di depannya.
"Bangunlah, tidak layak kau berbuat begitu," lembut berwibawa suara Resi
Brahespati. "Aku berusaha mengalah, tapi Pradya Dagma...," Aki Lungkur tidak melanjutkan
kata-katanya. "Dia benar-benar sudah murtad! Aku mengijinkan kalau kau menjatuhkan tangan
padanya. Beri dia pelajaran agar matanya terbuka."
"Resi..!" Aki Lungkur terkejut menerima petuah itu.
Ketika Aki Lungkur ingin melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba Resi Brahespati
telah lenyap dari pandangan. Kini yang berdiri di depannya hanyalah Pradya
Dagma. Masih terngiang-ngiang kata-kata gurunya tadi. Rasanya memang masih
terasa berat untuk menjatukan tangan kepada Pradya Dagma. Segera Aki Lungkur
memantapkan hati untuk memberi pelajaran kepada saudara seperguruannya yang
murtad ini. Belum juga Aki Lungkur bersiap-siap, Pradya Dagma kembali menyerang dengan
jurus-jurusnya. Terpaksa Aki Lungkur harus jatuh bangun menghindari serangan
beruntun itu. Ketika posisinya menguntungkan, Aki Lungkur
segera membalas tanpa memberi ampun lagi.
Pradya Dagma yang setingkat di bawah Aki Lungkur, kembali terdesak. Sementara
kata-kata Resi Brahespati terus terngiang- ngiang di telinga Aki Lungkur. Hal
inilah yang membuat pengemis tua itu tidak memberi kesempatan kepada Pradya
Dagma untuk membalas.
Pada suatu kesempatan yang baik, dengan cepat
pukulan Aki Lungkur bersarang di dada Pradya Dagma.
Kemudian disusul dengan tendangan keras. Pendeta Murtad itu terdorong sejauh
Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiga tombak. Dari sudut bibirnya keluar darah segar.
"Demi Resi Brahespati, minta ampunlah kau pada ayahmu!" kata Aki Lungkur
lantang. "Setan!" dengus Pradya Dagma sambil menyeka darah yang terus mengalir. "Jangan
sebut-sebut ayahku!"
Setelah berkata demikian, Pradya Dagma kembali
menyerang membabi buta. Aki Lungkur tidak segan-segan lagi melayaninya.
Tongkatnya kini berkelebat cepat, dan....
"Aaaakh...!"
Jeritan melengking terdengar. Aki Lungkur mencabut tongkatnya yang menembus dada
pendeta murtad itu.
Tubuh Pradya Dagma pun ambruk dengan darah muncrat dari dadanya yang bolong. Aki
Lungkur cepat-cepat menghampiri dan merangkul tubuh gemuk itu.
"Dagma...!" suara Aki Lungkur bergetar.
Pradya Dagma tersenyum. Napasnya tersendat-sendat.
Darah makin banyak keluar.
"Aku senang bisa mati di tangan tokoh sakti sepertimu,"
lemah dan tersendat suara Pradya Dagma.
"Dagma..., kau harus hidup. Kita akan bersama-sama lagi," hibur Aki Lungkur.
'Tidak, Lungkur. Aku puas. Kini keinginanku tercapai sudah. Terima kasih, kau
mau memenuhi keinginanku."
Aki Lungkur tidak mengerti, mengapa Pradya Dagma menginginkan mati di tangannya.
"Aku sudah berjanji pada Komala, hanya kau yang boleh membunuhku."
"Dagma, kau bicara apa?" Aki Lungkur makin tidak mengerti. Ingatannya seketika
mundur puluhan tahun yang lalu. Waktu itu mereka masih sama-sama muda dan
tinggal di padepokan Resi Brahespati. Di desa dekat padepokan itu tinggallah
seorang gadis bernama Komala. Dia cantik dan menjadi kembang desa itu. Ternyata
Komala membuka hatinya pada seorang pemuda bernama Lungkur.
Hubungan mereka telah direstui oleh Resi Brahespati.
Mereka telah merencanakan untuk memasuki jenjang perkawinan. Tetapi sebelum hari
bahagia itu dilangsungkan, seluruh desa dan padepokan geger. Komala kedapatan
mati dengan leher tertembus pisau. Sejak itu, Lungkur tidak ada niat lagi
mendekati wanita. Hingga tua dia tidak pernah menikah.
"Aku merasa iri karena Komala menjatuhkan pilihan kepadamu. Malam itu, sehari
sebelum pernikahanmu dengan Komala, aku menyelinap ke kamarnya. Aku telah
memperkosa dan membunuhnya, Lungkur! Di depan
mayatnya aku berjanji, hanya tanganmu lah yang bisa membunuhku. Kini keinginanku
menebus dosa pada
Komala terlaksana sudah, Lungkur."
Aki Lungkur hanya tertunduk saja. Dia tak tahu harus bagaimana lagi. Peristiwa
itu sudah lama terjadi. Bahkan sudah hampir dilupakannya. Tapi kini, peristiwa
itu sepertinya baru saja terjadi.
"Semula aku hanya ingin memperkosa saja. Aku ingin membuatmu kecewa dan sakit
hati. Aku tidak sengaja membunuhnya, Lungkur. Dia mengambil pisau, dan aku
berusaha mencegahnya. Tapi perbuatanku malah menghilangkan nyawanya. Seharusnya malam itu kubiarkan saja dia membunuhku,"
Pradya Dagma meneruskan ceritanya.
Setitik air bening mulai menggulir di pipi Aki Lungkur.
"Maafkan aku, Lungkur. Hatiku akan tenang jika kau mau memaafkan aku," kata
Pradya Dagma lagi.
"Sejak lama aku selalu memaafkanmu," sahut Aki Lungkur. Dia tidak tahu lagi
harus berkata apa.
'Terima kasih."
Pradya Dagma menutup mata dengan tenang setelah
mengucapkan kata maaf dan terima kasih. Bibirnya menyungging senyum.
Keinginannya telah terkabul.
Menerima kenyataan itu, Aki Lungkur benar-benar sedih.
Dia baru sadar kalau perbuatan Pradya Dagma hanyalah untuk memancing kemarahan
agar dapat membunuhnya.
Kalau saja hal itu diketahuinya sejak dulu, mungkin Aki Lungkur akan segera
membunuhnya agar kesengsaraan hidup Pradya Dagma tidak berlarut-larut.
Tidak ada yang tahu kalau seluruh perbuatan Pradya Dagma hanyalah pancingan agar
Aki Lungkur dapat
membunuhnya. Ternyata di balik hatinya yang keji, masih tersimpan sedikit jiwa
ksatria. Teguh pada janji dan pendinannya Hanya sayangnya, sikap Pradya Dagma
berada di jalan yang salah.
*** 7 Pertarungan antara Rangga melawan Saka Lintang dan Setan Jubah Merah kian
berlangsung sengit di bukit Guntur.
Rangga masih tetap menggunakan empat jurus gabungan dari jurus 'Rajawali Sakti'.
Kadang dia menggabungkan dua atau tiga jurus. Bahkan kalau mungkin menggabungkan
keempatnya sekaligus.
Dalam gerakan-gerakan membingungkan itu, Rangga
selalu mengganti-ganti jurus. Dengan demikian lawannya benar-benar kerepotan.
Mereka bingung menghadapi gerakan-gerakan yang sulit diduga arah dan tujuannya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba Rangga berteriak nyaring. Seketika itu pula, tangannya mengembang
dengan cepat Tubuhnya kini
melayang. Kedua tangannya bergerak-gerak cepat mengibas mencari sasaran.
"Awas, Lintang!" teriak Setan Jubah Merah tiba-tiba.
"Hait!"
Saka Lintang melentingkan tubuhnya ke belakang sejauh dua tombak. Kibasan Rangga
berhasil dielakkan, namun bajunya harus direlakan terjambret.
"Kurang ajar" geram Saka Lintang. Mukanya merah menahan malu.
Baju di bagian dada yang memang sudah sobek, kian lebar saja terbuka. Bagian
dada yang membukit terbungkus kulit putih mulus itu tidak lepas dari tatapan
mata Patih Giling Wesi. Mata Rangga pun sempat menatap ke bagian indah itu.
Seketika darahnya seperti berhenti mengalir.
Tetapi dengan cepat dipusatkan kembali perhatiannya pada Setan Jubah Merah.
Saka Lintang sedapat mungkin menutupi bagian
tubuhnya yang terbuka itu. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah bagai kepiting
rebus. Lalu dengan cepat dia
kembali menerjang sambil menghunus pedangnya. Kali ini Saka Lintang
menggabungkan antara jurus-jurus ilmu
pedangnya. Kali ini Saka Lintang menggabungkan antara jurus-jurus ilmu pedang
dengan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.
Menyadari Saka Lintang telah menebar racun, Setan Jubah Merah menahan napas.
Tetapi Rangga malah
kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan bibimya menyungging senyum. Dia tahu kalau
hawa racun telah menyebar di sekelilingnya. Tetapi racun jenis apa pun tak ada
pengaruhnya bagi Rangga.
"Kena!" teriak Saka Lintang keras.
Pukulan tangan kiri Saka Lintang tepat menghantam dada Rangga. Gadis itu tidak
tahu kalau sebenamya Rangga sengaja membiarkan tangan beracun itu masuk ke dalam
bagian dada yang lowong.
Wajah Saka Lintang seketika berubah setelah menyadari tangannya tidak dapat
ditarik lagi dari tubuh Rangga.
Sekuat tenaga gadis itu menarik tangannya. Namun semakin
ditarik, semakin kuat telapak tangannya menempel. Saka Lintang jadi geram. Ditebaskan pedang yang ada di tangan kanannya
ke leher Rangga, namun....
Trak! Rangga hanya menyentil pedang itu dengan jurus 'Cakar Rajawali'. Seketika dari
ujung pedang sampai pangkal lengan Saka Lintang bergetar. Belum sempat gadis itu
menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba tangan Rangga bergerak menyambar gagang
pedang dalam genggaman Saka Lintang.
"Ah...!" pekik Saka Lintang tertahan.
Saka Lintang semakin panik. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam dan penyaluran racun ke
telapak tangannya, gadis itu menggedor dada Rangga sekali lagi dengan tangan
kanannya. Di luar dugaan, kedua telapak tangan Saka Lintang kini menempel erat
di dada Rangga.
"Setan!" dengus Saka Lintang geram.
Kalau Rangga mau, sebenamya dia bisa saja menebaskan pedang yang terebut tadi. Tetapi hal itu tidak dilakukannya. Dia
malah membuang pedang itu jauh-jauh.
Matanya menatap Setan Jubah Merah yang kebingungan.
Rangga menggunakan gadis itu menjadi tameng, sehingga Setan Jubah Merah tidak
tahu harus berbuat apa. Dia tidak bisa leluasa melancarkan pukulan mautnya.
"Pengecut! Lepaskan gadis itu!" bentak Setan Jubah Merah.
"Oh, tentu! Ini, terimalah!"
Tiba-tiba saja tubuh Saka Lintang terpental keras. Setan Jubah Merah terkejut.
Dengan cepat dia melompat dan menangkap tubuh gadis itu yang melayang deras.
Jika saja gerakan Setan Jubah Merah tidak cepat, tubuh Saka Lintang dipastikan
hancur menubruk batu besar.
"Akh!" tiba-tiba Setan Jubah Merah memekik keras.
Cepat-cepat dilepaskan tangannya. Dia kaget setengah mati karena tubuh Saka
Lintang masih menyebarkan hawa racun. Saka Lintang pun tak urung kaget pula.
Cepat-cepat dihilangkan hawa racun dari tubuhnya. Dihampirinya Setan Jubah Merah
yang tengah meringis memegangi tangannya sendiri.
"Paman..., kau tidak apa-apa?" tanya Saka Lintang cemas.
"Uh! Racunmu," kata Setan Jubah Merah sambil meringis.
Saka Lintang merogoh saku jubahnya, dan mengeluarkan sebuah pil berwarna merah
darah. Diberikannya pil itu kepada Setan Jubah Merah. Tanpa banyak tanya lagi,
laki-laki tua itu menelan pil yang diberikan Saka Lintang.
Seketika tubuhnya seperti terbakar.
"Semadilah, Paman," ujar Saka Lintang. Setan Jubah Merah pun bersila. Kedua
matanya dipejamkan. Perlahan-lahan dari ujung kepalanya mengepul asap tipis.
Seluruh tubuh Setan Jubah Merah bergetar. Keringat membasahi
seluruh tubuhnya.
"Hoek!"
Cairan kental berwarna kehitaman dimuntahkan oleh Setan Jubah Merah. Sedikit
demi sedikit, seluruh tubuh laki-laki tua itu mulai tenang. Setan Jubah Merah
membuka matanya ketika getaran pada tubuhnya berhenti sama sekali, dibarengi
oleh hilangnya asap tipis yang mengepul di kepala laki-laki tua itu.
Kini Pendekar Rajawali Sakti tengah duduk tenang di atas batu besar. Dia
memperhatikan saja kedua lawannya yang tengah sibuk itu. Mulutnya malah bersiulsiul dengan irama tak menentu. Sesekali matanya melirik Intan Kemuning yang
berdiri di samping ayahnya. Setiap kali Rangga melirik ke arahnya, Intan
Kemuning merasakan jantungnya berdetak keras.
Tanpa sadar Intan Kemuning melontarkan senyuman
manis pada pendekar muda itu. Tak diduga, Rangga membalasnya dengan senyum manis
pula. Kalau saja saat ini tidak ada ayahnya, ingin sekali Intan Kemuning
menghambur dan memeluk pemuda itu. Tapi semua
perasaan dan keinginan itu ditekan dalam-dalam sampai ke dasar hatinya.
Sementara, dua tokoh tingkat tinggi, Saka Lintang dan Setan Jubah Merah, telah
kembali bersiap-siap menghadapi lawannya yang tengah duduk tenang itu. Rangga
seperti tidak peduli dengan lawan yang sudah bersiap-siap menyerang kembali.
"Hiya!"
"Yeah!"
Dua teriakan keras saling susul, kemudian disambung dengan melentingnya dua
tubuh ke arah Rangga. Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak tahu sama sekali
kalau dua tokoh itu meluruk ke arahnya. Rangga masih tenang.
Sikap Rangga yang masa bodoh itu membuat Intan
Kemuning cemas. Dia gelisah karena dua tokoh sakti begitu
cepat menyerang.
"Pendekar Rajawali Sakti, awas!" Intan Kemuning tidak dapat lagi mengendalikan
diri. Peringatan gadis itu tepat bersamaan dengan dua tubuh yang meluruk menerjang
Rangga. Serangan yang dibarengi pengerahan tenaga dalam, begitu cepat datangnya.
Akibatnya memang dahsyat. Batu tempat Rangga duduk, jadi berkeping keping
disertai ledakan keras terkena pukulan itu.
"Akh!" Intan Kemuning memekik tertahan.
Jelas kalau Rangga tadi tidak sedikit pun menghindar.
Dia seperti membiarkan saja pukulan itu menghantam tubuhnya. Batu yang sebesar
kerbau itu saja hancur, bagaimana dengan Rangga" Debu masih mengepal tebal.
Intan Kemuning benar-benar tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Dia tidak
melihat pendekar itu. Apakah dia hancur bersama batu itu" Batin Intan Kemuning
bertanya-tanya penuh kecemasan.
*** Berangsur-angsur asap tebal yang mengepul sirna disapu angin. Ketika debu itu
hilang sama sekali, tampak Rangga masih duduk di atas tumpukan batu-batu yang
hancur. Sikap duduknya tidak berubah sedikit pun. Kedua tokoh sakti Itu terperanjat
melihat hasil gempurannya tidak berpengaruh apa-apa terhadap lawannya.
"Oh...," Intan Kemuning mendesah lega melihat pendekar tampan itu masih hidup.
Sikap gadis itu tidak lepas dari pengamatan Patih Giling Wesi. Dia hanya
tersenyum-senyum saja. Rupanya dia mengerti apa yang telah melanda putrinya ini.
Patih Giling Wesi kembali perhatiannya tercurah pada ketiga tokoh yang kini
telah bertarung kembali. Tanpa disadari, sepasang mata tengah mengawasi
pertarungan itu dari balik pohon.
Jelas pemilik sepasang mata itu bukan orang sembarangan. Kehadirannya saja tidak diketahui sama sekali. Sementara itu Rangga
sudah kembali melayani dua lawannya yang kian bernafsu untuk mengakhiri
pertarungan alot dan panjang ini. Kini Saka Lintang hanya sesekali saja
melontarkan pukulan beracunnya. Dia harus mempertim-bangkan kehadiran Setan
Jubah Merah. Dia tidak ingin lagi berbuat konyol yang hampir merenggut nyawa
paman angkatnya.
"Maaf, Kakek!" seru Rangga tiba-tiba.
Seketika Rangga merubah jurusnya. Dengan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tangan Rangga berhasil menghantam telak dada Setan
Jubah Merah. "Aaaa...!" Setan Jubah Merah meraung keras. Tubuhnya terlontar ke belakang
sejauh tiga tombak.
"Paman...!" pekik Saka Lintang.
Setan Jubah Merah meregang nyawa sebentar, lalu diam tak bergerak sama sekali.
Seluruh dadanya seperti hangus terbakar. Dia terkena 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' yang tak terduga dilepaskan Rangga.
"Kejam! Setan! Kubunuh kau!" pekik Saka Lintang marah.
Gadis itu segera menyerang Rangga dengan mengeluarkan jurus andalan terakhirnya. Jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun' yang
Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipadu dengan jurus 'Tarian Bidadari'. Dalam sekejap sekitar tempat pertarungan
telah terselimuti oleh hawa racun yang mematikan.
Rangga kembali merubah jurusnya. Kali ini digunakannya jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Sekejap saja tubuhnya telah melambung di udara. Kedua tangannya
merentang mengepak bagai sayap rajawali.
Secepat kilat, dirubahnya jurus itu menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Tubuhnya meluruk turun deras. Kakinya bergerak mengarah kepala lawan. Begitu
cepatnya jurus itu sehingga Saka Lintang tidak punya kesempatan lagi untuk
mengelak. "Aaaa...!" Saka Lintang memekik keras. Gadis itu ambruk dengan kepala hancur
berantakan. Darah seketika
membasahi tanah. Rangga kembali mendarat Matanya memperhatikan tubuh Saka
Lintang yang meregang nyawa, lalu diam tak bergerak lagi. Sungguh tragis
kematian gadis ini. Dia mati di tangan laki-laki yang dicintainya. Mati bersama
rasa cinta, benci dan dendam.
"He he he...." tiba-tiba terdengar suara terkekeh.
Rangga menoleh ke arah suara itu. Dari balik pohon muncul seorang kakek tua
berpakaian compang-camping.
Di tangannya tergenggam tongkat berwarna merah. Siapa lagi kalau bukan Pengemis
Sakti Tongkat Merah.
"Menakjubkan, hebat..., hebat...," Aki Lungkur atau Pengemis Sakti Tongkat Merah
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ah, kalau tidak salah, kakek yang berada di kedai minum tempo hari," kata
Rangga dengan tutur kata yang halus.
"Penglihatanmu tajam, anak muda. Aku pengemis tua yang hina," sahut Aki Lungkur.
Rangga mendekat Aki Lungkur terkekeh. "Bagaimana kalau kita makan bersama lagi
di bawah pohon sambil menikmati udara segar," kata Rangga teringat ketika dia
memberikan sebungkus bekal makanan, lalu mereka makan bersama di pinggir
tegalan. "Ah..., tawaran yang menggairahkan. Mari!!" Ketika mereka akan melangkah, tibatiba terdengar suara Patih Giling Wesi mencegah.
"Tunggu!"
Mereka menoleh dan berbalik bersamaan.
"Uts! Hampir lupa kalau di sini masih ada orang lain,"
kata Aki Lungkur.
Patih Giling Wesi mendekat diikuti Intan Kemuning. Gadis itu selalu menundukkan
kepala terus, tetapi matanya melirik pada Rangga. Hatinya makin berdebar-debar
kalau kebetulan matanya beradu pandang. Kalau sudah
demikian, cepat-cepat matanya dialihkan mencari pandangan lain.
"Kisanak, kalau boleh tahu, siapa namamu dan dari mana kau berasal?" tanya Patih
Giling Wesi. "Hamba hanya seorang pengembara hina Gusti Patih.
Nama hamba Rangga," jawab Rangga merendah.
"Rangga...," Patih Giling Wesi menggumamkan nama itu beberapa kali.
Rangga memperhatikan dengan pandangan bertanyatanya. "Namamu mirip dengan seorang putra Adipati yang hilang dua puluh tahun lalu,"
Patih Giling Wesi setengah bergumam.
Rangga terkejut juga mendengarnya. Cepat-cepat diturupi rasa kaget itu dengan
senyum. Memang benar gumaman patih ini. Rangga jadi bertanya-tanya, apakah Patih
Giling Wesi kenal dengan ayahnya"
"Nama bisa saja sama, Gusti Patih," kata Rangga buru-buru.
Dia tidak ingin masa lalunya terungkap lagi. Biarlah kenangan pahit itu dia
sendiri yang tahu.
"Nama memang bisa saja sama. Tapi...," Patih Giling Wesi mengamati wajah Rangga
dengan teliti sekali.
Patih Giling Wesi tengah berusaha mengingat-ingat.
Sepertinya dia pernah mengenal wajah itu. Tapi di mana"
Kapan pernah bertemu" Ingatannya terus berputar. Tiba-tiba dia tersentak Benar!
Tidak salah lagi. Wajahnya sangat mirip dengan Adipati Karang Setra. Dua puluh
tahun yang lalu terjadi musibah pada rombongan Sang Adipati yang hendak menuju
ke kota Kerajaan Ayahandanya. (Baca serial: Pendekar Rajawali Sakti. Episode:
Iblis Lembah Tengkorak).
Tetapi Patih Giling Wesi sedikit ragu-ragu juga.
Masalahnya, anak laki-laki Adipati hilang tanpa bekas.
Sedangkan kejadiannya tidak jauh dari jurang Lembah
Bangkai. Semua orang menduga kalau anak itu pasti masuk ke jurang Lembah
Bangkai. Karena sudah pasti, siapa saja yang masuk ke dalam jurang itu tak akan
pernah selamat.
Patih Giling Wesi seperti berperang dengan batinnya sendiri. Antara percaya dan
tidak. Antara mengakui dan membantah. Dia berusaha memecahkan teka-teki ini.
Siapakan anak muda perkasa yang ada di depannya ini"
*** 8 Beberapa saat suasana di bukit Guntur hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara,
Semua seperti menunggu
pembicaraan Patih Giling Wesi. Patih itu sendiri sampai saat ini masih berusaha
memecahkan teka-teki itu. Dia belum dapat memastikan perihal anak muda ini. Ah!
Siapa pun dia, yang jelas jasanya sangat besar. Kalau tidak ada pendekar muda
ini, entah bagaimana nasib putrinya. Batin Patih Giling Wesi bicara sendiri.
"Aku sangat berhutang budi padamu, Kisanak. Jika tidak mengganggu perjalananmu ,
sudi kau mampir sebentar di Kepatihan," Patih Giling Wesi mengundang.
Rangga menoleh pada Aki Lungkur yang berdiri di
sampingnya. Pengemis tua itu mengangguk-angguk
kepalanya. Tentu dia setuju karena antara dia dan patih itu telah terjalin suatu
persahabatan. Rangga belum menjawab. Matanya beralih memandang Intan Kemuning. Seketika dua
pasang mata saling
berpandangan. Intan Kemuning jadi gelagapan. Cepat dialihkan pandangannya ke
tempat lain. Tapi bibirnya sempat memberikan senyum manis.
"Baiklah," sahut Rangga mendesah.
"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang!" ajak Patih Giling Wesi.
Keempat orang itu segera meninggalkan tempat itu.
Mereka menuruni bukit Guntur, meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan dan
siap jadi santapan anjing-anjing hutan.
Di kaki bukit, telah menunggu delapan orang prajurit Kepatihan. Mereka segera
menghampiri patih itu. Masing-masing menunggang kuda dan menuntun seekor kuda
pula. Rapaksa segera melompat dari kudanya, diikuti oleh tujuh orang prajurit-prajurit
lain. Patih Giling Wesi
mengamati sisa prajurit-prajuritnya. Sungguh besar jasa mereka.
Nyawa mereka korbankan hanya untuk menyelamatkan seorang putri patih.
"Ampun, Gusti Patih. Hamba datang terlambat Hamba mencari kuda-kuda dulu. Dan
kini hamba hanya dapat lima belas ekor," kata Rapaksa melapor.
"Hh, sudahlah. Mari kita kembali ke Kepatihan," sahut Patih Giling Wesi mendesah
berat. Perjalanan kini dilanjutkan dengan menunggang kuda.
Semula Patih Giling Wesi khawatir juga terhadap Intan Kemuning. Setahunya Intan
Kemuning tidah pernah belajar naik kuda. Patih itu tidak tahu kalau selama jadi
tawanan perampok, Intan Kemuning telah diajari naik kuda oleh Saka Lintang.
Akhirnya pikiran patih itu tenang setelah melihat putrinya sangat lihai
menunggang kuda.
Rombongan kecU berkuda itu terus meninggalkan bukit Guntur yang terlihat hijau.
Mereka melewati jalur pintas, tidak menyusuri tepian sungai Ular. Hutan
dirambah, padang diarungi, dan kini mereka telah dekat dengan sebuah desa yang
dekat dengan bukit Guntur.
Rombongan itu terus melewati desa itu. Patih Giling Wesi selalu berada di
samping Intan Kemuning. Hatinya masih bertanya-tanya tentang kelihaian putrinya
menunggang kuda.
*** Matahari telah condong ke Barat ketika rombongan itu sampai di pintu Gerbang
Kepatihan. Penjaga pintu segera membuka pintu ketika melihat Patih Giling Wesi
yang datang bersama putrinya. Mereka pun segera masuk ke dalam benteng
Kepatihan, dan berhenti tepat di depan pendopo.
Setelah melompat turun dari kudanya, Patih Giling Wesi membantu Intan Kemuning
yang sedikit kesulitan turun dari
kudanya. Rangga memandangi bangunan indah dan megah di depannya. Seketika dia
teringat sewaktu masih tinggal di Kadipaten. Kediamannya juga tak kalah indahnya
dengan bangunan itu.
"Mari silahkan masuk. Anda berdua adalah tamu kehormatanku," kata Patih Giling
Wesi. Sementara Intan Kemuning telah berlari masuk ke dalam keputrenan. Rasa rindu
yang menggebu ingin segera bertemu ibundanya, membuat dia lupa sejenak terhadap
Rangga. Patih Giling Wesi membawa dua tamunya masuk ke bangsal utama Pendopo
itu. Mereka kemudian duduk melingkar menghadapi meja. Beberapa orang pelayan
datang menyediakan suguhan.
"Silahkan," Patih Giling Wesi menyilahkan tamunya untuk minum.
'Terima kasih," ucap Rangga sambil mengangkat gelas yang sudah terisi arak
manis. Rangga minum sedikit dengan sikap Sopan. Beda
dengan Aki Lungkur. Dia menenggak habis arak wangi mahal itu. Di mana lagi dia
dapat minum arak selezat ini kalau tidak mendapat undangan dari Patih Giling
Wesi" Patih Giling Wesi selalu memperhatikan sikap dan tutur kata Rangga. Dari situ
dia merasa sedang berhadapan dengan seorang pemuda bangsawan. Sikap Rangga
memang tidak seperti pendekar-pendekar lainnya. Biasanya tokoh-tokoh rimba
persilatan selalu tidak peduli dengan tata krama.
"Aku senang sekali jika kalian sudi menginap di sini barang satu atau dua
malam," kata Patih Giling Wesi lagi.
"Oh, tentu. Tentu saja aku tidak keberatan!" Aki Lungkur cepat menerima sebelum
Rangga membuka suara.
Sebenarnya Rangga ingin menolak. Tetapi karena Aki Lungkur sudah menerima, dia
hanya bisa angkat bahu saja.
Memang tidak ada salahnya menginap barang sehari setelah sepanjang hari menguras
tenaga menyabung
nyawa. Patih Giling Wesi menepuk tangannya dua kali. Dua orang punggawa datang
mendekat. Mereka memberi
hormat. "Antarkan tamu-tamuku ke tempat istirahatnya," perintah Patih Giling Wesi.
Kedua punggawa itu kembali memberi hormat.
"Silahkan," Patih Giling Wesi menyilahkan tamunya mengikuti
para punggawa yang mengantarkan ke peristirahatan.
Aku Lungkur bangkit dan melangkah pergi ke tempat istirahatnya. Rangga masih
duduk di kursinya. Setelah mendapat anggukan dari Patih Giling Wesi, dia pun
bangkit melangkah mengikuti punggawa.
Rangga memandangi setiap ruangan yang dilewatinya. Di sebuah kamar yang indah
dan luas, punggawa itu berhenti.
Dia menyilahkan Rangga masuk, dan segera pergi setelah tugasnya selesai.
Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Indah sekali ruangan ini.
Saat matanya menatap ke arah taman, dilihatnya Intan Kemuning tengah duduk di
bangku taman sendirian.
Diamatinya sebentar, dan memang kelihatannya Intan Kemuning juga tengah
memandang ke arahnya. Entah melihat atau tidak, yang jelas pandangan itu tertuju
pada Rangga. Rangga menoleh ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.
Bergegas dia membukanya. Aki Lungkur segera menerobos masuk dan menutup kembali.
Rangga mengernyitkan
keningnya melihat pengemis tua itu seperti terburu-buru.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga.
"Gawat!" sahut Aki Lungkur.
"Apanya yang gawat?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Patih Giling Wesi curiga padamu."
Rangga masih belum mengerti. Dia hanya menatap lakilaki tua itu tak berkedip.
"Patih Giling Wesi memerintahkan beberapa punggawa untuk menyelidiki asalusulmu. Dia menduga kau anak Adipati yang hilang dua puluh tahun yang lalu."
"Dia menduga begitu?" Rangga terkejut.
"Benar! Aku mendengar sendiri. Makanya aku segera ke sini menemuimu."
"Mengapa Aki memberitahuku?"
"Karena kau baik. Kau seorang pendekar yang banyak dibutuhkan oleh kaum lemah.
Aku tidak peduli siapa dirimu.
Yang penting aku sudah menganggapmu sahabat."
Rangga berusaha bersikap tenang, meskipun dadanya bergemuruh. Rangga tidak ingin
menjadi seorang pendekar tanpa masa lalu. Masa lalu yang tidak perlu diketahui
orang lain. 'Terima kasih, Aki," ucap Rangga.
"Hati-hatilah. Aku membaca gelagat lain di balik niat luhur Patih Giling Wesi."
"Jangan berprasangka buruk. Bukankah kalian bersahabat?"
"Aku tidak berprasangka buruk. Niatnya yang tersembunyi memang baik. Tapi aku yakin kau tidak akan menerimanya."
Rangga hanya tersenyum saja. Dia meminta Aki Lungkur untuk pergi beristirahat.
Laki-laki pengemis tua itu kembali ke luar setelah berpesan macam-macam. Rangga hanya mengangguk dan mengiyakan
saja. Dia tidak mau bertele-tele melayani segala macam prasangka. Memang hatinya
telah menduga, hal apa yang akan dikatakan Aki Lungkur tadi.
Sepeninggal Aku Lungkur, Rangga kembali memandang ke arah taman. Intan Kemuning
masih duduk di sana memandang ke arahnya. Gadis itu memang cantik. Tak ada orang
di seluruh Kepatihan yang tidak tertarik pada gadis ini.
Rangga sendiri sebenamya juga tertarik.
Rangga melangkahkan kakinya ke luar kamar. Matanya tajam mengawasi setiap tempat
yang dilalui. Setiap sudut, dua orang prajurit pasti ada di situ. Ketat sekali
penjagaan di Kepatihan ini.
*** Intan Kemuning memandang Rangga yang melangkah
menghampirinya. Dia tidak beranjak dari duduknya.
Sikapnya tetap anggun meskipun selama beberapa hari ditempa dengan latihanlatihan keras oleh Saka Lintang.
Jiwa kebangsawanannya tetap tidak luntur.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya Rangga.
"Oh! Boleh, boleh," sahut Intan Kemuning tergagap.
"Indah sekali taman ini," desah Rangga setelah duduk di samping gadis itu.
Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya," sahut Intan Kemuning.
'Tapi ada yang lebih indah lagi untuk dipandang."
"Apa?"
"Wajahmu."
Seketika wajah Intan Kemuning menyemburat merah
dadu. Jantungnya jadi berdetak tidak beraturan. Pujian Rangga mengena di
hatinya. Rasa-nya dia ingin seribu kali mendengamya.
"Sepantasnya kau mendapatkan seorang pangeran yang gagah dan tampan," kata
Rangga. "Adakah pangeran yang cocok untukku?" tanya Intan Kemuning ingin menegaskan.
"Satu saat nanti, pasti ada seorang pangeran tampan dan gagah menghampirimu."
"Kapan?"
"Satu saat nanti."
"Siapa pangeran itu?"
Rangga tidak menjawab. Dia tersenyum saja.
Beberapa saat mereka terdiam saling tatap. Pelan-pelan Intan Kemuning
menundukkan kepalanya.
"Semoga aku yang menjadi pangeran itu, Intan," bisik Rangga dekat sekali dengan
wajah Intan Kemuning.
"Oh."," Intan Kemuning tidak mampu berkata-kata lagi.
Hatinya berbunga-bunga. Kedua lengannya berkembang masuk
ke dalam pelukan Rangga. Dan mereka memperketat rangkulan-nya....
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Deeemart86
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Pendekar Bayangan Setan 1 Bara Naga Karya Yin Yong Terkurung Di Perut Gunung 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama