Ceritasilat Novel Online

Sepasang Walet Merah 1

Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah Bagian 1


SEPASANG WALET MERAH
oleh Teguh S. Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh S. Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Sepasang Walet Merah
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Kucing Listrik
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 Bulan bersinar penuh, menampakkan
wajah bulat indah keemasan. Angin
bertiup lembut membawa butir-butir
embun yang menitik dari pucuk-pucuk
daun pepohonan yang meliuk-liuk seperti
menari. Malam semakin indah manakala
binatang-binatang
malam mulai menembang dengan suara-suara mereka
yang merdu. Namun keindahan itu mendadak
pecah oleh suara-suara teriakan disertai
denting senjata beradu. Suara-suara itu
ternyata datang dari sebuah bukit batu
yang berdiri gagah menyerupai sebuah
batok kelapa terbelah. Di tempat itu
terlihat kilatan-kilatan
cahaya putih keperakan menyambar-nyambar di bawah
siraman cahaya bulan.
Trang! Trang! Denting senjata beradu makin sering
terdengar. Pijaran-pijaran
bunga api berpencaran ke segala penjuru. Tiba-tiba
dua orang yang saling mengadu senjata itu
melompat ke belakang sejauh dua tombak,
bersamaan dengan terdengarnya suara
tawa terbahak-bahak
"Kakang Jaka, rupanya kita kedatangan tamu kurang ajar malam ini,"
kata salah seorang dari mereka. Orang itu
bertubuh kecil ramping mengenakan
pakaian ketat berwarna serba merah.
Dari suaranya dapat dipastikan kalau
dia adalah seorang wanita. Sementara
yang diajak bicara melangkah perlahan ke
depan. Tampak jelas wajahnya yang
begitu tampan, berkeringat. Sinar matanya
tajam menyorot lurus ke depan. Pakaiannya ketat dan serba merah pula.
"Tentu maksudnya sama dengan
tamu-tamu yan lain. Bersiaplah, Adik
Wulan," sahut pemuda itu yang dipanggil Jaka."Haha ha..!"
Suara tawa itu kembali menggelegar.
Kedua muda-mudi itu sudah berdiri
berdampingan dengan senjata tombak
pendek bermata dua menyilang di depan
dada. Semakin lama suara tawa itu
semakin memekakkan telinga. Angin pun
mendadak bergemuruh disertai batu-batu
kerikil berlompatan. Jelas sekali kalau
suara tawa itu dibarengi pengerahan
tenaga dalam. Rupanya dua orang muda ini sama
sekali tidak gentar dengan kedatangan
suara tawa itu. Mereka seperti tidak
terpengaruh, bahkan tetap berdiri tegak
dengan mata menatap lurus ke depan.
"Tapak Geni!" tiba-tiba Jaka berteriak lantang.
Dengan cepat mereka mendorong
tangan kanan masing-masing ke depan
Seketika dari telapak tangan kanan yang
terbuka, meluncur deras seberkas sinar
merah yang kemudian menghantam
sebongkah batu besar.
Blar...! Batu sebesar rumah itu pun hancur
berkeping-keping menimbulkan ledakan
yang sangat dahsyat Pada saat yang sama,
melesat sebuah bayangan hitam dari
bongkahan batu yang hancur.
Debu mengepul pekat menghalangi
sinar bulan menembus permukaan bumi.
Bayangan hitam itu berputar beberapa kali
di udara sebelum mendarat manis di tanah
berumput tebal. Jaka dan Wulan sudah
menarik tangan kanannya kembali. Mereka masih berdiri tegak dengan mata
tajam memandang tubuh hitam yang telah
berdiri sekitar sepuluh langkah di depan.
"Sudah kuduga, dia pasti si Gila
Jubah Hitam," gumam Jaka begitu
mengenali sosok tubuh itu.
Si Gila Jubah Hitam, adalah tokoh
sakti yang tidak jelas golongannya.
Tingkahnya yang mirip orang gila sering
membuat bingung tokoh-tokoh rimba
persilatan, baik dari gotongan hitam
maupun putih. "He he he..., tidak percuma bertahuntahun kalian mengurung diri di Bukit
Batok," si Gila Jubah Hitam terkekeh
sambil menggaruk-garuk rambutnya yang
panjang dan kusut.
Kalau dilihat dari wajah, pakaian,
dan tubuhnya orang pasti menyangka si
Gila Jubah Hitam ini seorang kakek-kakek.
Padahal dia masih berusia tiga puluh
tahun. Hanya karena tidak pernah
mengurus diri, jadi kelihatan seperti
berumur tujuh puluhan
"Mau apa kau datang ke sini?" tanya Jaka. Matanya tetap tajam menatap si Gila
Jubah Hitam. "Hanya mengunjungi kalian. Tidak
boleh?" Jaka memandang adiknya yang
berdiri di sampingnya. Memang sulit
diduga niat dan keinginan orang itu.
Dalam sekejap saja bisa berubah. Jaka
kembali mengalihkan pandangan pada
laki-laki aneh yang kini telah duduk di
atas rerumputan. Dari kantung kulit yang
selalu dibawanya, dikeluarkan seguci arak.
"Kalian punya makanan?" tiba-tiba si Gila Jubah Hitam bertanya. Sikapnya acuh,
seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Padahal mereka tadi sempat mengadu
ilmu, meskipun hanya satu jurus saja.
"Mana ada makanan di sini?" Wulan jadi
geli juga. Rasa tegang yang menyelimuti dadanya berangsur-angsur
berkurang. "Lho, kalian selama bertahun-tahun
di sini makan apa?" si Gila Jubah Hitam seperti kebingungan. Kembali tangannya
garuk-garuk kepala.
"Apa saja, asal bisa dimakan," sahut Wulan.
"Kau punya apa saja?"
Sekelebatan Wulan melihat seekor
rusa yang kemalaman di jalan. Secepat
kilat tangannya bergerak, lalu seberkas
cahaya keperakan pun meluncur deras.
Tak pelak lagi, rusa gemuk itu terjungkal
langsung mati. Jaka tersenyum akan
ketangkasan adiknya melempar bintang
perak yang menjadi andalan senjata
rahasia mereka berdua.
"Itu!" sahut Wulan menunjuk rusa yang mati dengan leher tertembus bintang
bersegi delapan dari perak.
"He he he... !" si Gila Jubah Hitam terkekeh, lalu berdiri.
Wulan hampir saja tertawa melihat
tingkahnya yang seperti anak kecil
mendapat mainan. Dengan berjingkrak
kegirangan dihampirinya rusa yang tergeletak itu. Sambil menari-nari dan
bernyanyi-nyanyi tidak karuan, si Gila itu mengangkat
rusa gemuk bagai mengangkat sekantung kapas.
Si Gila Jubah Hitam kembali ke
tempatnya semula seraya menjatuhkan
rusa itu di depannya. Dia kembali duduk
dan meminum arak langsung dari guci.
Dengan lengan baju, disekanya mulut
yang basah oleh arak.
Orang aneh itu mencabut bintang
bersegi delapan yang menancap di leher
rusa, lalu dengan cepat dilemparkannya
kembali pada Wulan. Tangkas sekali gadis
itu menangkap senjata rahasia miliknya.
Dimasukannya kembali senjata itu ke
dalam kantung yang tersembunyi di balik
baju, setelah sebelumnya dibersihkan dari
noda darah. "Aku senang sekali rusa ini dimasak
wanita cantik yang baik hati," kata si Gila menatap Wulan.
Wulan memandang Jaka. Kakaknya
hanya tersenyum dan menganggukkan
kepala. Jaka tahu betul tabiat orang aneh
ini. Dia akan selalu baik kalau ada yang
membuatnya baik lebih dulu.
Wulan menghampiri laki-laki aneh
itu, lalu dikeluarkan sebilah pisau dari
lipatan bajunya. Kini rusa malang itu
mulai dikulitinya. Sementara Jaka mengumpulkan ranting dan membuat api.
Sebentar saja rusa itu telah terpanggang di atas api
"He he he.. ," si Gila terkekeh senang.
Perutnya mendadak lapar sekali mencium
bau harum daging panggang.
Laki-laki aneh itu menggeser duduknya mendekati rusa panggang yang
masih di atas api. Hidungnya kembang
kempis mencium bau harum yang lezat.
Tangannya menjulur hendak mencuil
daging rusa, tapi Wulan telah terlebih
dulu menepisnya.
"Nanti, belum matang!" rungut Wulan, persis seorang ibu pada anaknya.
"Aku sudah lapar, boleh mencicipi
sedikit saja," rengek si Gila Jubah Hitam.
"Kubilang nanti! Kita pesta samasama!" "Pesta.. ! Kau bilang kita akan pesta?"
mata si Gila Jubah Hitam seketika
berbinar-binar.
"Iya, kenapa?"
"Wah, wah! Nasibku memang mujur
malam Ini. Datang membuat ribut, malah


Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditawari pesta. Maafkan aku," Si Gila Jubah Hitam mendadak murung.
"Sudahlah, yang penting malam ini
kita akan pesta dan gembira!" Jaka
menimpali. "He he he..., kalian memang baik!"
orang aneh itu terkekeh lagi.
Wulan tersenyum dan mengerling
pada kakaknya. Jaka cepat memahami arti
kerlingan itu, dan segera bangkit beranjak dari situ.
"Mau ke mana kakakmu?" tanya si
Gila Jubah Hitam.
"Mengambil arak," sahut Wulan terus membalik-balik rusa panggangnya.
"Arak.."! Wah, jadi kita benar-benar
pesta?" Wulan mengangguk dan tersenyum
manis. Si Gila Jubah Hitam kembali
berjingkrak-jingkrak
kegirangan. Mulutnya tidak henti-hentinya bernyanyi.
Tawa Wulan tidak tertahankan lagi.
Sementara Jaka telah kembali dengan lima
guci arak di pelukan tangannya. Si Gila
Jubah Hitam makin gembira. Apalagi Jaka
juga membawa gelas perak indah sebagai
pelengkap pesta mereka.
* * * Laki-laki aneh yang dikenal sebagai si
Gila Jubah Hitam kini tengah duduk
bersandar di pohon. Dibiarkan saja
perutnya yang kekenyangan itu terbuka.
Jaka dan Wulan duduk tidak jauh dari
situ. Wulan sejak tadi tersenyum-senyum
melihat tingkah polah si Gila Jubah Hitam
yang selalu memancing tawa itu.
Nafsu makan si Gila ini juga luar
biasa. Setengah badan rusa gemuk Itu,
dihabiskannya sendiri. Sedangkan Wulan
dan Jaka saja hanya makan sekedarnya.
Sengaja mereka makan berlambat-lambat
untuk mengimbangi makan laki-laki aneh
itu. "Sudah berapa orang yang datang ke sini?" tanya Si Gila Jubah Hitam tibatiba. Suaranya terdengar teperti bergumam.
"Maksudmu?" tanya Jaka sambil
memandang adiknya.
"Aku yakin, aku bukan orang
pertama yang datang ke Bukit Batok ini,"
gumam si Gila Jubah Hitam tidak
menghiraukan pertanyaan Jaka.
"Memang bukan. Aku dan adikku
sudah sepuluh tahun tinggal di sini," sahut Jaka seenaknya.
"Bukan kalian, tapi yang lain!"
"O. . maksudmu orang-orang yang...,"
Jaka tidak melanjutkan kata-katanya.
"Iya, mereka yang gila pusaka!"
sambung si Gila sambil membenahi letak
bajunya. "Aku tidak mengerti, kenapa mereka
mengira kami yang menyimpan benda
pusaka itu," kata Wulan seperti mengeluh.
"Jadi kalian tidak menyimpannya?"
tanya si Gila Jubah Hitam.
"Jangankan
menyimpan, melihat bentuknya pun belum pernah! Dengar
namanya saja baru-baru ini," sahut Wulan.
Si Gila menatap Wulan tajam.
"Kau pasti tidak percaya!" dengus Wulan agak Jengkel.
"Entahlah. Yang jelas aku tidak
peduli dengan benda pusaka macam itu,"
sahut si Gila Jubah Hitam.
"Lantas, kenapa kau ke sini?" tanya Jaka. Si Gila Jubah Hitam tak menjawab.
Hanya kepalanya yang terdongak menengadah. Ada kemurungan terpencar
dari sinar matanya yang cekung. Desah
nafasnya berat, lalu perlahan-lahan kepalanya tertunduk. Sepertinya sedang
mengenang sesuatu sehingga wajahnya
kelihatan murung.
Kedua anak muda itu saling berpandangan. Mereka benar-benar tidak
mengerti dengan perubahan yang tiba-tiba
pada si Gila Jubah Hitam Beberapa saat
mereka hanya berdiam diri saja. Jaka
mengalihkan pandangannya kembali pada
laki-laki aneh itu. Wulan juga mengarahkan pandangannya ke sana. Si
Gila Jubah Hitam masih tertunduk, diam.
"Ada yang menyusahkanmu?" tanya
Wulan lembut Kembali si Gila Jubah Hitam mendesah berat. Pelan-pelan kepalanya
terangkat. Matanya langsung tertumbuk
pada wajah Wulan. Gadis ini tersentak
melihat butir-butir air bening menetes dari sudut mata laki-laki aneh ini. Wulan
menggeser duduknya lebih dekat
"Kau menangis, kenapa?" tanya
Wulan pelan dan lembut
"Oh, ah! Tidak. ., tidak !" si Gila Jubah Hitam gugup. Cepat-cepat diseka air
matanya dengan lengan baju.
"Aku menangkap kesedihan di wajahmu. Kalau kau percaya pada kami,
ungkapkanlah! Mungkin kami bisa membantu mengatasi kesedihanmu," lebih lembut suara Wulan.
"Aku tidak yakin kalian akan
menemukan," parau suara si Gila Jubah Hitam.
Wulan dan Jaka saling berpandangan. Belum dapat mengerti
maksudnya. Mereka segera menggeser
duduknya agar lebih dekat lagi pada
orang aneh ini "Kalau kau bersedia mengatakannya,
kami berjanji akan membantu kesulitanmu," kata Jaka seraya meletakkan tangannya ke punggung laki-laki itu.
"Persoalan
yang kalian hadapi sekarang, lebih berat daripada persoalanku. Aku tidak ingin menambah
beban buat kalian lagi. Dosaku akan
semakin besar dan menumpuk," lirih suara si Gila Jubah Hitam.
"Kami tidak punya persoalan apaapa. Kami mengasingkan diri ke Bukit
Batok ini karena ingin memperdalam
ilmu-ilmu yang kami miliki," kata Wulan meyakinkan.
"Jangan bohongi diri kalian sendiri!
Kalian tengah berhadapan dengan tokohtokoh rimba persilatan yang gila benda
pusaka! Mereka menyangka kalian yang
menyimpan benda itu. Atau paling tidak,
mengetahui di mana letak penyimpanannya."
Kembali sepasang anak muda itu
saling berpandangan. Memang dalam
beberapa hari ini sudah empat orang yang
datang mencari benda pusaka Cupu
Manik Tunjung Biru. Empat orang yang
hanya memiliki kepandaian tanggung itu,
tentu saja harus rela melepaskan nyawa
mereka di tangan sepasang anak muda ini.
Di kalangan rimba persilatan, sepasang
anak muda ini dikenal sebagai Sepasang
Walet Merah. Kemunculan si Gila Jubah Hitam di
Bukit Batok ini memang sedikit menambah persoalan baru bagi Sepasang
Walet Merah. Entah ada hubungannya
dengan Cupu Manik Tunjung Biru atau
tidak, tetapi yang jelas saat ini tokoh-tokoh rimba persilatan tengah geger
ingin mendapatkan benda pusaka itu.
Tidak jelas bersumber dari mulut
siapa, kini Sepasang Walet Merah menjadi
sasaran buruan. Tokoh-tokoh rimba persilatan menduga sepasang anak muda
inilah yang paling tahu tentang benda itu.
Padahal yang menjadi buruan tidak tahu
sama sekali tentang benda itu. Mengapa
orang-orang menyangka kalau Sepasang
Walet Merah yang menyimpannya"
"Dari mana kau dengar kabar bohong
itu?" tanya Jaka.
"Semua orang rimba persilatan sudah
tahu, dan mereka pasti mengatakan kalau
mereka tahu sendiri," sahut si Gila Jubah Hitam.
"Dan kau juga akan mengatakan
begitu" Juga menyangka kalau kami
menyimpan benda yang kami sendiri tidak
tahu sama sekali" Iya?" desak Jaka agak sewot juga.
"He he he...," tiba-tiba si Gila kumat lagi edannya.
"Mereka semua mengatakan aku gila.
Padahal, siapa sebenarnya yang gila?" si Gila Jubah Hitam memberi pertanyaan
yang cukup sulit.
"Baiklah! Aku tidak peduli apakah
kau, mereka, atau kami yang gila. Aku
hanya ingin tahu, untuk apa kau datang ke
sini, kenapa tiba-tiba kau sedih, dan untuk apa datang memberi kabar tidak
enak?" Jaka memberondong pertanyaan.
"Banyak amat"! Yang mana harus aku
jawab lebih dulu?" si Gila Jubah Hitam bingung.
"Terserah!" jawab Jaka.
Si Gila menggaruk-garuk kepalanya.
Mulutnya komat-kamit mengulangi pertanyaan-pertanyaan Jaka tadi. Wulan
yang memperhatikannya tidak dapat
menahan geli. Mendadak saja perutnya
mules karena menahan tawa.
"Kebanyakan, ah! Aku akan pergi!"
dengus si Gila.
"Hey.. ,!" Jaka terkejut.
Tapi laki-laki aneh itu telah lebih
cepat menghilang. Tokoh satu ini memang
boleh juga tingkat kepandaiannya. Dalam
keadaan duduk saja masih bisa mencelat
dengan cepat. Jaka yang masih sempat
mengetahui arah perginya, akan mengejar.
Tetapi Wulan telah lebih cepat mencegahnya.

Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah, Kakang. Satu saat nanti
kita pasti tahu," kata Wulan lembut.
"Aku masih penasaran. Adik Wulan,"
sahut Jaka. "Aku juga, tapi tidak ada gunanya
mendesak. Bisa-bisa dia berbalik memusuhi kita."
"Memang sulit juga menghadapi
orang seperti itu," Jaka mengangkat
bahunya. "He he he. .!"
Tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh
suara tawa. Tidak salah lagi kalau suara
itu milik si Gila Jubah Hitam. Sepasang
Walet Merah paham betul
dengan suaranya. "Terima kasih, kalian telah berbaik
hati mengundangku pesta. Lain waktu kita
jumpa lagi, sobat!"
Jaka yang akan membuka mulut
untuk menjawab, jadi mengurungkan
niatnya. Wulan telah lebih cepat menepuk
pundaknya. Dan memang suara itu tidak
terdengar lagi. Si Gila Jubah Hitam benarbenar telah pergi meninggalkan Bukit
Batok. Hebat juga pengerahan tenaga
dalam orang aneh itu. Dia dapat
mengirimkan suara dari jarak yang cukup
jauh."Aku rasa sebaiknya kita mendahului mereka." kata Jaka.
"Jadi, kita turun kembali merambah
rimba persilatan?" nada suara Wulan
seperti tidak setuju.
"Terpaksa,"
desah Jaka sambil mengangkat bahunya
"Yaaah, lagi pula kita memperdalam
ilmu silat memang untuk menjaga dan
mempersiapkan diri. Mungkin sudah
waktunya," pelan suara Wulan.
"Kita berangkat besok saat fajar."
"Baiklah."
* * * Fajar baru saja menyingsing. Dua
ekor kuda hitam berlari menuruni lereng
Bukit Batok. Penunggangnya Sepasang
Walet Merah. Wulan memperlambat lari
kudanya ketika mencapai kaki bukit.
"Sebaiknya kita lebih cepat lagi
meninggalkan bukit ini, Adik Wulan," ujar Jaka."Untuk apa " Toh tidak ada yang
harus diburu."
Jaka mengangkat bahunya. Benar
juga kata Wulan tadi. Mereka memang
tidak sedang memburu seseorang. Jadi
untuk apa harus cepat-cepat" Dan lagi,
dengan berjalan seperti ini tidak akan
menarik perhatian orang.
"Semalaman aku berpikir," kata Jaka agak bergumam.
"Tentang apa?" tanya Wulan.
"Tentang Cupu Manik Tunjung Biru."
"Apa yang kau pikirkan dari benda
itu?" "Aku berpikir sebaiknya kita mencari keterangan tentang benda itu."
"Maksudmu?"
"Yaaah, kita harus tahu jenis benda
apa, untuk apa, dan kenapa orang-orang
sampai menginginkannya" Tidak mungkin
mereka berani mempertaruhkan nyawa
untuk sebuah benda kalau tidak bermanfaat sama sekali!" Jaka mengemukakan pikirannya.
"Si Gila Jubah Hitam mengatakan
kalau benda itu merupakan benda pusaka.
Jelas banyak kegunaannya,"
Wulan menimpali. "Kau tahu benda apa itu?"
"Kalau aku tahu, kau pun pasti tahu,
Kakang." "Susah juga, ya. Kita sendiri tidak
tahu, tapi orang menyangka lain."
"Itulah hidup."
Mereka tertawa bersama, tapi tidak
tahu apa yang ditertawakan. Namun
mendadak tawa mereka berhenti. Seketika
itu juga, mereka menarik tali kekang
kudanya. Belum sempat menarik napas,
mendadak secercah sinar keemasan meluncur deras ke arah mereka.
"Awas, Kakang. .!" teriak Wulan.
Dengan sigap Jaka melompat dari
kudanya melesat ke udara sambil bersalto
dua kali. Sinar keemasan Itu lewat di
bawah kakinya, dan hampir menyambar
Wulan. Untung gadis itu tak kalah sigap
dengan Jaka. Dia melompat cepat dari
kudanya. Sepasang Walet Merah dengan manis
mendarat di atas tanah dan berdiri tegak
berdampingan. Hampir bersamaan, mereka mencabut tombak yang kedua
ujungnya bermata tajam.
Kembali dua berkas sinar keemasan
meluncur deras ke arah mereka. Tapi
Sepasang Walet Merah sama sekati tidak
bergeming. Dan ketika dua sinar keemasan itu hampir menyentuh tubuh,
dengan cepat masing-masing menggerakkan tongkatnya.
Trak! Trak! Dua sinar itu meluruk ke tanah.
Tampak sebentuk bunga anggrek dari
bahan logam keemasan menggeletak di
ujung kaki mereka.
"Dewi Anggrek Emas," desis Wulan mengenali senjata itu.
Belum lagi selesai kata-kata terucap,
tiba-tiba di depan mereka muncul seorang
wanita cantik. Dia mengenakan baju
berwarna kuning keemasan. Pada rambutnya yang panjang terkepang,
terselip bunga anggrek berwarna kuning
emas. Wanita itu adalah Dewi Anggrek
Emas. Tangannya menggenggam setangkai bunga anggrek yang sangat
besar."Panjang jodoh kita bisa bertemu di sini," suara Dewi Anggrek Emas
terdengar lembut mempesona. Kedua matanya yang
bulat indah tidak lepas menatap wajah
Jaka."Apa yang kau inginkan. Dewi
Anggrek Emas" Mengapa kau menghadang jalan kami?" tanya Wulan
ketus. Dia benci melihat pandangan mata
itu terhadap kakaknya.
"Sepuluh tahun tidak bertemu, rasa
rindu sekali. Apakah perasaanmu sama
denganku, Jaka?" Dewi Anggrek Emas
tidak menghiraukan pertanyaan Wulan.
"Tentu saja aku rindu," sahut Jaka.
"Kakang!" bentak Wulan kesal.
Jaka menatap adiknya yang kelihatan
sewot. Dia paham betul kalau Wulan
membenci wanita itu. Rasa benci itu
memang dapat dimaklumi. Sebab, meskipun Dewi Anggrek Emas memiliki
wajah cantik dan bentuk tubuh indah,
namun tingkah lakunya liar. Segala
macam cara selalu digunakannya untuk
menjerat pemuda-pemuda tampan untuk
memuaskan nafsunya.
Dewi Anggrek Emas sampai sekarang masih penasaran karena belum
juga dapat menundukkan Jaka. Hatinya
belum puas kalau pemuda tampan itu
belum lunduk di bawah kakinya. Hanya
saja yang jadi ganjalan utamanya adalah
Wulan. "Dewi Anggrek Emas! Kalau kau
tidak ada keperluan penting, sebaiknya
angkat kaki dari sini!" bentak Wulan
penuh kebencian.
"Justru aku datang memang sengaja
mencari kalian," sahut Dewi Anggrek
Emas."Kau pasti sama seperti yang lain.
Menyangka kami memiliki benda keparat
itu!" dengus Wulan.
"Sebaiknya kalian serahkan saja
benda pusaka itu padaku. Bukankah
dengan demikian kalian akan selamat?"
Dewi Anggrek Emas mengerling genit
pada Jaka. "Kami tidak tahu di mana benda itu!
Jelas"!" lantang suara Wulan.
"Benar begitu, Jaka?" tanya Dewi Anggrek Emas dengan suara dibuat
selembut mungkin.
"Mungkin,"
sahut Jaka sambil mengangkat bahunya. Dia senang membuat wanita ini jadi penasaran. Jaka
tahu betul kalau Dewi Anggrek Emas
selalu menginginkan dirinya. Maka setiap
bertemu, Jaka selalu mempermainkannya
dengan halus. "Dan itu berarti benda pusaka ada
pada kalian, bukan?"
"Tanyakan saja sendiri pada Wulan,"
kata Jaka. Wulan jadi gemas melihat sikap
kakaknya yang seperti memberi angin
pada wanita liar itu. Rasanya ingin
memaki-maki, namun saat ini bukanlah
waktu yang tepat. Wulan jadi tambah
geregetan melihat Jaka tersenyum- senyum. Di tangannya tidak lagi tergenggam tombak bermata dua. Senjata itu sejak
tadi sudah diselipkan di pinggangnya.
"Kalau benar benda itu ada padaku,
kau mau apa?" gemas Wulan menantang.
Dewi Anggrek Emas hanya tertawa
saja. "Nenek jelek, rebut benda pusaka itu dari tanganku!" teriak Wulan
mengejek. "Kadal buduk! Kurobek mulutmu!"
geram Dewi Anggrek Emas. Muka dan
telinganya merah saat itu juga ketika
dipanggil nenek jelek.
Secepat kilat Dewi Anggrek Emas


Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat sambil mengibaskan bunga
anggrek raksasa yang menjadi senjata
kebanggaannya. Wulan yang sudah muak
sejak tadi langsung menggeser kakinya ke
samping. Dan tombak bermata dua pun
digerakkan dengan cepat ke atas.
Trang! Dua senjata beradu sangat keras
sehingga menimbulkan pijaran bunga api.
Dewi Anggrek Emas lantas melesatkan
tubuhnya dan berputar satu kali tanpa
menjejak tanah lebih dulu, lalu kembali
menyerang dari atas.
Wulan segera memutar tombak
pendeknya seolah-olah memayungi kepalanya dari gempuran lawan. Namun
tanpa diduga sama sekali, Dewi Anggrek
Emas mengegos ke samping, lalu kakinya
melayang deras ke iga Tawan.
"Ih!" Wulan tersentak. Buru-buru digerakkan tangannya menangkis kaki
yang mengarah ke iganya, sambil memiringkan tubuh sedikit.
Dewi Anggrek Emas tidak ingin
mengambil resiko. Cepat ditarik kakinya
kembali dan dijejakkan di tanah. Namun
baru saja kakinya sampai di tanah, Wulan
menyerangnya dengan satu tombak mengarah dada. Tidak ada pilihan lain bagi Dewi
Anggrek Emas. Ditangkis tombak pendek
itu dengan senjatanya yang berbentuk
bunga anggrek raksasa.
Trang! Kembali dua senjata beradu keras.
Seketika tangan Wulan seperti kesemutan.
Bergegas ditarik pulang senjatanya. Demikian juga yang dialami Dewi
Anggrek Emas. Jari-jari tangannya menjadi
kaku. Hampir saja senjatanya lepas kalau
tidak segera dipindahkannya ke tangan
kiri. Pertarungan yang baru berlangsung
dua jurus itu mendapat perhatian serius
dari Jaka. Diam-diam dikaguminya kemajuan Wulan. Dua kali adu senjata,
dua kali pula Wulan hampir melontarkan
senjata lawan. Kelihatannya selama sepuluh tahun ini, Dewi Anggrek Emas
tidak mengalami perubahan. Baru dua
jurus saja, Jaka telah dapat menilainya
"Kenapa berhenti, takut?" ejek Wulan.
"Sepuluh orang sepertimu, aku tidak
akan mundur setapak pun!" dengus Dewi Anggrek Emas.
"Bersiaplah! Terima jurus 'Mata
geledek'ku!"
Selesai berkata demikian, Wulan
menggerakkan kakinya menyusur tanah
dengan cepat. Tombaknya dibolak- balikkan cepat ke depan. Dua ujung
tombak yang bermata tajam mengarah ke
dada lawan. Dewi Anggrek Emas menyambut
serangan itu dengan jurus 'Anggrek Maut'
itu diputar-putar bagai baling-baling.
Tubuhnya meliuk-liuk bagai karet.
"Lihat kaki!" teriak Wulan keras dan tiba-tiba.
Secepat itu pula ujung tombaknya
mengibas ke kaki lawan. Dewi Anggrek
Emas menggeser kakinya segera, tetapi
ternyata terpedaya. Serangan Wulan yang
mengarah ke kaki hanya tipuan saja.
Sedangkan dalam waktu yang hampir
bersamaan, kaki kanannya naik cepat dan
menyambar pinggang.
"Setan!" dengus Dewi Anggrek Emas kaget. Cepat-cepat Dewi Anggrek Emas
mengarahkan senjatanya untuk melindungi pinggangnya. Tapi lagi-lagi
tertipu. Ternyata kaki Wulan tidak sampai
menyambar pinggang. Justru pada saat
kaki itu bergerak, Wulan membarengi
dengan memutar tombaknya ke atas.
Kali ini Dewi Anggrek Emas tidak
bisa lagi mengelak Tombak itu sangat
cepat menyambar ke lehernya. Mau tidak
mau Dewi Anggrek Emas menangkis dengan tangan kirinya yang masih bebas.
"Akh!" Dewi anggrek emas memekik tertahan.
Dengan cepat dia melompat sejauh
dua tombak ke belakang. Tangan kirinya
sobek cukup lebar. Darah segar mengucur
deras. Dewi Anggrek Emas segera
menotok jalan darah di tangan yang luka
itu. Sekejap saja darah berhenti mengalir
* * * 36 Dewi Anggrek Emas memandang
sengit pada lawannya. Giginya terkatup
rapat dengan geraham bergemeletuk
menahan geram. Dia hampir tidak percaya
kalau Wulan memperoleh kemajuan
begitu pesat. Jurus-jurusnya makin berbahaya. Gerakannya sangat cepat,
sukar diduga arah dan tujuannya.
Sementara Jaka yang sejak tadi
mengawasi dengan seksama pertarungan
itu, tersenyum-senyum melihat Dewi
Anggrek Emas mendapat luka. Diacungkan ibu jarinya saat Wulan menoleh
dengan bibir tersungging senyum.
"Jangan besar kepala dulu, Wulan.
Aku belum kalah," desis Dewi Anggrek
Emas dongkol. "Kau ingin adu kesaktian?" Wulan menantang.
"Bersiaplah! Terima jurus 'Anggrek
Seribu'ku!"
Dewi Anggrek Emas memasukkan
senjata bunga anggrek raksasanya ke balik
ikat pinggang. Kemudian direntangkan
kedua belah tangannya ke samping.
Dengan diiringi jerit melengking, secara
cepat kedua tangannya bergerak. Seketika
benda-benda yang memancarkan sinar
keemasan bertebaran deras ke arah Wulan.
"Hait..!"
Wulan berjumpalitan menghindari
serbuan anggrek emas yang dilontarkan
Dewi Anggrek Emas. Senjata yang
berbentuk bunga anggrek berwarna emas
itu datang bagai hujan tumpah dari langit.
Begitu derasnya sehingga Wulan agak
kerepotan menghindarinya.
Trang! Trang! Trang!
Beberapa kali tombak bermata dua
beradu menahan serangan anggrek- anggrek emas yang datang tanpa henti.
Bahkan kini Dewi Anggrek Emas menggerakkan kakinya dengan cepat seperti
ingin memutari tubuh Wulan.
Wulan sadar betul melihat keadaan
ini. Tanpa menunggu waktu lagi, tombak
bermata dua itu pun diputar-putar bagai
baling-baling. Dewi Anggrek Emas sangat
terkejut melihat tubuh Wulan seperti
hilang di balik gulungan sinar keperakan.
Dengan hati panas diliputi penasaran yang
tinggi, Dewi Anggrek Emas makin
mempercepat gerakan sambil melontarkan
senjata andalannya.
"Habiskan semua senjatamu, Nenek
Sihir!" teriak Wulan mengejek.
"Phuih!"Dewi Anggrek Emas makin
geram hatinya mendengar ejekan itu.
Dewi Anggrek Emas semakin cepat
bergerak memutari tubuh Wulan. Senjata
anggreknya menyebar dari segala penjuru.
Namun sampai sejauh itu belum ada satu
pun yang dapat menembus benteng pertahanan Wulan. Sinar keperakan yang
menyelimuti tubuh gadis itu sulit ditembus. Dewi Anggrek Emas makin
geram. Tiba-tiba Dewi Anggrek Emas menjerit melengking, lalu tubuhnya melompat tinggi ke udara. Tangannya
bergerak cepat melontarkan senjata andalannya dari udara.
"Setan!"
dengus Wulan terkejut dengan perubahan serangan yang tibatiba. Anggrek-anggrek emas itu datang
sangat cepat dari atas kepalanya Wulan
Bdak mungkin merobah lagi pertahanannya Bagian atas memang lowong, dan tidak ada pilihan lain. Segera Wulan menjatuhkan diri dan
bergulingan di tanah. Anggrek-anggrek emas itu
meluruk deras menancap di
tanah beberapa jengkal saja dari tubuh Wulan.
"Mampus kau!" jerit Dewi Anggrek Emas.Setelah berkata demikian, dengan
cepat Dewi Anggrek Emas meluruk ke
bawah sambil tidak henti melontarkan
senjatanya. Seperti bermata saja, senjata itu mengejar
ke mana saja Wulan menghindari sambil bergulingan. Wulan
tidak punya kesempatan lagi menggunakan tombaknya.
"Pakai ujung tombakmu, Wulan.
Pinjam tenaga!" tiba-tiba Jaka berteriak keras."Baik,Kakang!"balasWulan.
Tanpa menunggu lagi, Wulan menekan ujung tongkatnya ke tanah.
Ketika sebuah senjata meluncur deras ke


Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arahnya, dengan cepat Wulan membalikkan tombaknya. Sebelah ujung
tombaknya menutuk senjata bunga anggrek itu. Kemudian dengan meminjam
tenaga dari tongkatnya, Wulan langsung
melompat ke angkasa.
"Curang!" sungut Dewi Anggrek
Emas.Manis sekali kaki Wulan mendarat di
tanah. Senjata tombak bermata dua
kembali menyilang di depan dada. Sesaat
Wulan memberikan kerlingan mata pada
Jaka, yang kemudian dibalas dengan
senyuman. Sedangkan Dewi Anggrek
Emas kelihatan bersungut-sungut setelah
lawannya mampu menandingi jurus
'Anggrek Seribu' nya tanpa mendapat
celaka sedikit pun
"Jaka, hadapi aku!" bentak Dewi
Anggrek Eams sengit.
"Tidak perlu manis. Adikku pun
sudah cukup," tenang dan lembut Jaka
menyahuti. Tetapi kelembutan suara Jaka justru
menyakitkan di telinga Dewi Anggrek
Emas. Jelas, kata-kata yang diucapkan
tenang itu mengandung nada ejekan serta
meremehkan dirinya. Dewi Anggrek Emas
makin dongkol saja.
"Bagaimana,
Nenek Sihir" Menyerah?" tantang Wulan.
"Phuih!" tambah geram hati Dewi
Anggrek Emas "Jaka, jangan salahkan aku kalau adikmu yang masih bau kencur ini
mati di tanganku!"
"Apa tidak sebaliknya?" ejek Wulan.
"Tikus busuk! Terima seranganku!"
Seketika saja Dewi Anggrek Emas
mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Lalu
dengan gerakan perlahan, tangannya
diturunkan hingga sejajar dengat ketiak.
"Hati-hati, Wulan. Dia mengeluarkan
ajian 'Wisanggeni',"
kata Jaka memperingatkan. "Lawan dengan 'Bayu
Segara'!" "Baik, Kakang," sahut Wulan.
Segera saja Wulan menekuk kaki
kanannya ke depan. Sedangkan kaki
kirinya ditarik ke belakang agak menyamping. Kemudian tangan kirinya
dipentang lurus ke depan, lalu tangan
kanannya ditempelkan di siku kiri.
"Aji 'Wisanggeni'.. !" teriak Dewi Anggrek Emas melengking.
Seketika tubuhya mencelat bagai
anak panah lepas dari busur. Pada saat
yang bersamaan kaki Wulan bergerak
cepat menyusur tanah. Tangannya merentang ke samping, lalu dengan cepat
dikebut ke depan.
Pada saat yang sama, Dewi Anggrek
Emas telah mendorong kedua tangannya
ke depan pula. Maka kedua pasang tangan
itu pun beradu keras hingga menimbulkan
suara ledakan dahsyat. Tubuh Dewi
Anggrek Emas terjengkang ke belakang
dua depa. Sedangkan Wulan melentingkan
tubuhnya ke angkasa. Dua kali berputar di
udara, kemudian dengan cepat meluruk
bagai seekor elang menerkam mangsa, terarah ke kepala Dewi Anggrek Emas.
Dewi Anggrek Emas yang terjengkang itu belum dapat menguasai
diri. Dia terkejut sekali karena Wulan telah menyerang kembali dari atas
kepalanya. "Setan!" umpat Dewi Anggrek Emas.
Tanpa pikir panjang lagi, disambutnya serangan Wulan yang mendadak. Kembali dua pasang telapak
tangan beradu. Begitu dahsyatnya serangan itu sampai-sampai kaki Dewi
Anggrek Emas melesak masuk ke tanah
hingga sebatas lutut Wulan kembali
melenting berputar dua kali di udara, lalu dengan lincah mendarat ke tanah.
"Hoek!"
Dewi Anggrek Emas memuntahkan darah kental kehitaman.
Wajah wanita itu mendadak merah.
Betapa malunya Dewi Anggrek Emas
karena dapat dikalahkan oleh seorang
gadis yang dulu menjadi bulan-bulanan
dirinya. Setelah menyeka mulutnya, Dewi
Anggrek Emas mengerahkan tenaga
dalamnya. Dan....
"Hait..!"
Tubuh Dewi Anggrek Emas terlonjak
ke atas. Kakinya telah keluar dari tanah.
Kini tubuhnya melesat ke udara dan
membuat putaran tiga kali sebelum
menjejak tanah. Tubuhnya sedikit limbung
ketika kakinya sampai di tanah. Dari
mulutnya kembali memuntahkan kental
kehitaman. Matanya menjadi perih berkunang-kunang.
"Kau terluka dalam, Dewi Anggrek
Emas. Perlu waktu satu bulan untuk
memulihkan kekuatanmu," kata Wulan
kalem. "Bocah setan! Aku tidak akan
melupakan penghinaan ini. Satu saat
kelak, akan kubalas kau!" dengus Dewi Anggrek Emas dendam.
"Aku rasa dalam satu bulan belum
tentu kau dapat memulihkan tenaga
dalammu," Jaka menimpali.
Dewi Anggrek Emas mendengus. Dia
baru tahu kalau aji 'Bayu Segara' yang
dilepaskan Wulan dapat menyedot setengah lebih tenaga dalam yang dimilikinya. Memang bukan sedikit waktu
yang dibutuhkan untuk memulihkannya
Aji 'Bayu Segara' memang tidak
kelihatan akibatnya secara langsung Tapi
siapa saja yang terkena ajian itu, dapat
dipastikan lebih dari setengah tenaga
dalamnya akan tersedot. Dan lagi jurusjurus serta ilmu-ilmu kesaktiannya juga
akan berkurang kehebatannya Tidak nyata
secara fisik, tapi mampu membuat mental
seorang tokoh jadi frustasi.
"Tunggu pembalasanku, Wulan!" teriak Dewi Anggrek Emas.
Setelah berkata demikian, Dewi
Anggrek Emas segera melompat pergi.
Tetapi tanpa diduga sekali, lompatannya
jadi lambat dan pendek seperti orang
sedang belajar ilmu olah kanuragan. Dia
benar-benar lupa kalau setengah kekuatan
tenaga dalamnya telah tersedot. Melihat
kenyataan ini, Dewi Anggrek Emas
menjadi geram setengah mati. Matanya
merah menyala menatap Wulan yang
hanya tersenyum-senyum.
"Jangan gunakan tenaga dalam, bisa
mati lemas nanti," kata Jaka kalem.
"Huh!"
Dewi Anggrek Emas bersungut-sungut.
Hatinya benar-benar tidak dapat
melupakan penghinaan ini. Dendam
terbalut rapat di dasar hatinya. Sambil
menggerutu jengkel, Dewi Anggrek Emas
melangkah pergi tanpa berani lagi
menggunakan tenaga dalamnya.
"Kau tidak apa-apa, Wulan?" tanya Jaka ketika Dewi Anggrek Emas sudah
tidak kelihatan lagu
"Tidak," sahut Wulan cepat.
"Tapi kau harus semadi sebentar
untuk memulihkan tenagamu. Barangkali
ada sedikit pengaruh aji 'Wisanggeni' di
jalan darahmu," kata Jaka penuh perhatian. Wulan tersenyum, lalu duduk bersimpuh di bawah pohon yang berumput tebal. Segera diambilnya sikap
bersemadi, memusatkan seluruh perhatian
dan semua indranya dari hubungan
dengan dunia fana. Disatukan diri dan
jiwanya kepada Sang Pencipta. Perlahanlahan Wulan merasakan tubuhnya kian
ringan, darahnya mengalir tenang. Hawa
sejuk mulai merembes masuk ke seluruh
jaringan syarafnya.
Hawa sejuk nyaman perlahan-lahaan
berganti menjadi panas. Semakin lama
panas yang menyambar ke seluruh
tubuhnya semakin menyengat. Keringat
mulai menitik di kening dan seputar
lehernya. Selanjutnya tubuh Wulan bagai
terserang demam. Dan....
"Hoek!" Wulan memuntahkan darah
merah kental dari mulutnya dua kali.
Berangsur-angsur seluruh jiwa dan
raganya kembali tenang. Wajah yang
memerah pun kembali pulih seperti
semula. Cerah bagai bayi tanpa dosa.
Perlahan-lahan Wulan membuka matanya
yang bulat bening seperti bertaburkan
bintang berkilauan. Dengan lengan baju
diseka mulutnya Segera Wulan bangkit
berdiri. Matanya langsung tertuju pada
Jaka yang duduk bersandar di bawah
pohon rindang. Kakaknya itu pun tengah
memperhatikannya
dengan bibir tersenyum. "Sudah?" tanya Jaka setelah Wulan mendekat.
Wulan mengangguk.


Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau terkena aji 'Wisanggeni' tadi,"
kata Jaka sambil bangkit dari duduknya.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Wulan.
Kakinya terus melangkah mendekati kuda
yang setia menunggu sambil merumput.
"Aku melihat noda merah pada
telapak tanganmu," sahut Jaka seraya
melompat ringan ke atas punggung kuda.
Wulan segera naik ke punggung
kudanya sendiri. Sikapnya tenang, setenang air sungai mengalir. Digebah
kudanya perlahan agar berjalan lambatlambat saja Jaka juga menyentak tali
kekang kudanya. Dua ekor kuda dengan
penunggang Sepasang Walet Merah itu
berjalan perlahan.
"Kalau saja aji 'Bayu Segara' mu
sudah sempurna, pasti perempuan itu
akan mati tanpa luka," kata Jaka setengah bergumam.
"Yah, seharusnya aku menyempurnakannya dulu baru turun
bukit lagi," desah Wulan.
"Kau bisa melakukannya dalam
perjalanan."
"Apa mungkin?"
"Kenapa tidak" Setiap lawan yang
terkena aji 'Bayu Segara' akan menitipkan
sebagian tenaga dalamnya padamu. Dengan demikian kau tidak perlu susahsusah bersemedi menyempurnakan tenaga
dalam. Enak, kan?"
"Kau lupa, Wulan. Aji 'Bayu Segara'
hanya cocok dimiliki wanita. Sedangkan
aku melatih padanannya yang dapat
menunjang ajianmu itu. Namanya, aji
'Tirta Segara'."
"Maaf, aku lupa," Wulan tersipu.
"Kita dipersiapkan eyang resi untuk
menjadi Sepasang Walet Merah. Jadi apa
yang kita miliki ini saling menunjang.
Memang tidak ada salahnya kalau dilakukan sendiri-sendiri. Tapi akan lebih
sempurna jika dilakukan bersama-sama
dalam satu jiwa."
"Itu kan pesan Eyang Resi, Kakang."
"Iya, aku hanya memperingatkan saja
kok." Wulan mendadak tercenung. Dia
ingat dengan kata-kata yang diucapkan
guru mereka sebelum meninggal. Semua
yang telah diturunkan dan dikuasai kakak
beradik ini akan lebih sempurna jika
memakan jantung burung walet merah
yang hanya ada sepasang saja di dunia ini.
Dan sepasang jantung itu telah disimpan
eyang resi dalam satu tempat. Sayang
beliau belum sempat menyebutkan, dimana jantung sepasang walet merah Ku
disimpan. "Kakang..," kata Wulan.
"Ada apa?" tanya Jaka.
"Kau Ingat pesan terakhir Eyang
Resi?" Wulan balik bertanya.
"Pesan apa?" Jaka belum mengerti.
"Coba kau ingat-ingat dulu," kata Wulan seolah-olah memberi teka-teki.
Jaka mengerutkan keningnya. Terlalu
banyak pesan yang dibenkan guru mereka
sebelum meninggal.
Jaka mencoba untuk mengingat satu
per satu. Menduduk dia tersentak ketika
teringat salah satu pesan yang hampir
terlupakan. Hanya satu kalimat saja, dan
kelihatannya tidak begitu penting.
"Aku rasa ini ada hubungannya
dengan tokoh-tokoh rimba persilatan yang
tengah mencari-cari kita," kata Wulan.
"Mungkin juga," gumam Jaka. Keningnya masih berkerut
* * * Hari sudah menjelang senja. Matahari
bersiap-siap pergi tidur. Di atas pepohonan, burung-burung nampak sibuk
kembali ke sarangnya. Sedangkan di
bawahnya, terlihat dua ekor kuda yang
tengah ditunggangi Sepasang Walet Merah. Mereka terus berjalan menyusuri
lereng Bukit Batok. Tidak jauh dari situ,
terlihat sebuah desa yang mulai kelihatan
sepi. Desa yang satu-satunya terdekat
dengan lereng bukit ini dinamakan Desa
Batok.Suasana sepi itu tiba-tiba pecah oleh teriakan keras disusul dengan
munculnya sesosok tubuh menjebol atap sebuah
rumah. Sosok tubuh berpakaian ketat
serba putih itu bersalto beberapa kali. Di sebuah dahan pohon sosok itu hinggap
dengan manis. Matanya memandang
sebentar pada rumah yang baru saja
dijebolnya, lalu kembali mendarat di
tanah. Gerakannya ringan, menandakan
orang itu memiliki kepandaian yang tidak
rendah. Sepasang Walet Merah segera menghentikan langkah kudanya. Serentak
mereka melompat turun dan menuntun
kuda mendekati sebuah pohon di pinggir
jalan utama desa itu. Wulan mengamati
rumah yang ternyata sebuah penginapan.
Tatapannya lalu beralih pada orang
berpakaian ketat serba putih yang berdiri
tegang menghadap ke pintu rumah
penginapan. "Sarmapala," desah Wulan mengenali orang itu.
Brak! Tiba-tiba saja pintu rumah penginapan itu hancur berantakan. Kemudian disusul berkelebatnya seberkas
cahaya merah meluncur deras ke arah
Sarmapala. Dalam waktu yang bersamaan,
Sarmapala melompat ke udara. Sinar
merah itu lewat di bawah kakinya, lalu
tepat menghantam pohon yang berada di
belakang laki-laki muda itu. Seketika
pohon itu meledak dan tumbang. Sarmapala kembali mendarat manis di tanah. "Klabang Hijau, ke luar kau! Jangan seperti tikus bersembunyi di parit!"
bentak Sarmapala keras.
"He he he... Sungguh besar nyalimu,
Sarmapala. Tapi lebih besar bualanmu
daripada besarnya gunung," terdengar
suara keras dari dalam penginapan.
"Nyalimu yang seperti liur! Kalau
jantan, ke luar!" balas Sarmapala dengan tajam.Belum lagi selesai bibir
Sarmapala berkata, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan hijau ke luar dari pintu rumah
penginapan yang hancur berantakan.
Sekejap saja di depan Sarmapala sudah
berdiri seorang laki-laki tua bertubuh
bungkuk dengan tongkat hijau di tangannya. Bajunya yang menyerupai
jubah, seluruhnya berwarna hijau. Bahkan
wajah dan tangannya pun berwarna hijau.
Dia kini tengah memandang Sarmapala
dengan tajam. "Sarmapala bisa mati di tangan
Klabang Hijau." desis Jaka ketika melihat laki-laki tua berdiri dengan tiba-tiba
di depan Sarmapala.
"Kau akan membantu Sarmapala,
Kakang?" tanya Wulan
"Tidak," Sahut Jaka tegas.
Seperti apapun bahayanya Sarmapala, tidak bakalan Jaka membantu.
Dia tidak pernah menyukai laki-laki itu
yang selalu saja menginginkan Wulan
menerima cintanya, meskipun Sarmapala
seorang pendekar digdaya yang berhati
lurus.Jaka masih ingat ketika Sarmapala
mempermalukannya di depan orang
banyak. Saat itu tubuh Jaka dibuat babak
belur hanya karena salah pengertian yang
sepele. Meskipun dulu hidup bergelandang dan mengemis, tapi Jaka
tidak pernah melakukan perbuatan yang
merugikan orang lain.
Waktu itu, Sarmapala masih remaja,
sama seperti dirinya yang masih berusia
sekitar lima belas tahun. Dia anak seorang pembesar kerajaan yang sangat
dihormati dan disegani. Suatu saat, di pusat kerajaan sedang diadakan pesta besar-besaran
menyambut datangnya peringatan Dasawarsa
Kerajaan. Dalam keadaan seluruh penduduk bersenang-senang,
tiba-tiba terjadi ribut-ribut
Keributan itu berawal dari seorang
wanita setengah baya yang kecopetan.
Kebetulan Jaka yang waktu itu masih
bergelandang berada dekat dengan kejadian itu. Semua orang langsung
menuduhnya mencopet wanita setengah
baya itu. Sarmapala yang saat itu juga
berada di sana bersama sejumlah prajurit,
segera bertindak tanpa bertanya lebih
dulu. Tentu saja, Jaka yang hanya seorang
gelandangan dan awam terhadap ilmu
kanuragan, menjadi babak belur. Untunglah seorang kakek tua cepat
menolongnya dan membawanya dari
tempat itu. Kakek yang bernama Eyang
Resi Suralaga lalu mengangkat Jaka
sebagai anak sekaligus murid bersama
cucu kakek itu yang bernama Wulan.
Kejadian itu tidak terlupakan bagi Jaka
hingga saat ini.


Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakang...," Wulan mencolek lengan Jaka."Oh!" Jaka tersentak dari
lamunannya. "Kita di sini terus, Kakang?" tanya Wulan
"Sebentar, biarkan mereka selesai
dulu dengan urusannya,
baru kita lanjutkan perjalanan," jawab Jaka.
Wulan tidak membantah. Dia cukup
mengerti perasaan Jaka saat ini. Wulan
pun tahu peristiwa yang sekitar dua puluh
tahun yang lalu. Saat itu dia masih berusia sekitar lima tahun. Masih jelas
dalam ingatannya bagaimana kedaan Jaka waktu
itu. Tetapi Wulan tidak menyalahkan Jaka
ataupun Sarmapala. Baginya hal itu hanya
salah pengertian saja. Lain halnya dengan
Jaka. Rupanya dia mengingatnya sebagai
sesuatu yang tidak patut dilupakan. Dan
itu memang hak seseorang, dan Wulan
tidak ingin mencampurinya.
Sementara itu Sarmapala sudah
bertarung melawan Klabang Hijau. Jaka
yang selalu memperhatikan dengan serius,
sudah bisa menghitung kalau pertarungan
itu sudah berjalan hampir lima jurus. Dan
kelihatannya Sarmapala sudah sangat
terdesak sekali.
Kepandaian Klabang Hijau memang
jauh di atas Sarmapala. Hanya saja sikap
Sarmapala yang congkak dan tinggi hati
membuatnya enggan mengakui keunggulan lawan. Hidupnya yang serba
kecukupan dan dikelilingi para pengawal,
membuatnya selalu memandang rendah
pada siapa. Rupanya ini berlanjut sampai
dewasa. Lebih-lebih sekarang menjabat
sebagai Kepala Pasukan Kerajaan, semakin
jelas sikap congkaknya. Namun demikian,
Sarmapala selalu berjalan dalam alur yang
lurus.Kini Sarmapala telah mengeluarkan
jurus-jurus ilmu pedang andalannya.
Sementara Klabang Hijau kelihatan masih
melayaninya setengah-setengah. Bahkan
sampai lewat tiga puluh jurus, Klabang
Hijau belum sekali pun membalas setiap
serangan Sarmapala. Dia hanya berkelit
menghindar, sambil terkekeh tidak hentihentinya Hal ini membuat Sarmapala
semakin gusar dan panas hatinya.
"Klabang Hijau, jangan hanya berkelit saja! Serang aku!" teriak Sarmapala
jengkel karena merasa diremehkan.
"He he he. .. Aku tidak pemah
berurusan dengan pihak kerajaan. Bahkan
selamanya aku tidak ingin berurusan!"
sahut Klabang Hijau.
"Jangan katakan aku kejam kalau
pedangku menembus jantungmu!" dengus
Sarmapala. "Silakan, kalau kau mampu."
Mendengar tantangan ini, Sarmapala
makin geram hatinya. Dia pun segera
memperhebat serangan-serangannya
Pedang pusaka warisan Ayahandanya,
berkelebat cepat mengarah ke bagianbagian tubuh lawan. Rasa penasaran di
dalam hatinya semakin menebal. Tetapi
sampai sejauh ini, pedangnya belum
sedikit pun menyentuh ujung jubah orang
tua itu. Hingga pada suatu saat..
"Tahan...!" seru Klabang Hijau keras.
"Celaka!" sentak Jaka dan Wulan
hampir berbarengan.
Apa yang dilakukan Klabang Hijau"
* * * 3 Tiba-tiba saja Klabang Hijau melesat
ke udara. Setelah berputar satu kali, dalam keadaan masih di atas, disentakkan
tangan kanannya Sepasang Walet Merah tahu
betul kalau Klabang Hijau tengah mengeluarkan jurus 'Kala Wisa' yang sangat
berbahaya. Tidak semua tokoh mampu menandingi jurus 'Kala Wisa' termasuk
Sarmapala yang hanya mengandalkan
ilmu kanuragan dan sedikit menguasai
ilmu kesaktian lainnya. Dapat dipastikan
jika 'Kala Wisa' menghantam Sarmapala,
dia pasti tewas seketika dengan tubuh
membiru. Pukulan jarak jauh 'Kala Wisa'
memiliki gelombang racun yang sangat
mematikan. Cras! Pada detik yang sangat kritis dan
mendebarkan itu, tiba-tiba saja sebuah
bayangan berkelebat cepat memapak
serangan Klabang Hijau.
"Setan belang! Siapa berani mencampuri urusanku"!" umpat Klabang
Hijau gusar, karena serangannya patah di
tengah jalan. 'Tidak kusangka, nama besar Klabang
Hijau ternyata hanya untuk menakutnakuti bocah kemarin sore," terdengar suara serak dan parau.
Semua mata langsung tertuju pada
arah suara tadi. Tampak seorang perempuan tua berambut putih seluruhnya, berdiri di atas batu besar sebesar kerbau. Orang mengenalinya dari
sabuk hitam yang melilit pinggangnya. Namanya, Nenek Sumbing.
"Tidak ada gunanya kalian mengadu
nyawa di sini," kata Nenek Sumbing lagi.
Suaranya tetap terdengar serak dan parau.
"Ha ha ha.. , ternyata mulutnya yang
somplak mampu juga memberi nasehat,"
Sarmapala tertawa mengejek.
Nenek Sumbing hanya tersenyum.
Bibirnya yang telah sobek bagian atas
semakin jelek dipandang. Senyuman itu
juga lebih mirip seringaian. Gigi-giginya
yang hitam mencuat ke luar.
"Kau datang ke desa ini tentunya
bermaksud ke Bukit Batok. Aku rasa
langkahmu hanya untuk mengantar nyawa saja, anak muda," tenang Nenek
Sumbing berkata.
Merah padam wajah Sarmapala
ketika mendengar ucapan Nenek Sumbing
yang bernada tenang itu, namun membuat
panas telinga. Jelas kalau perempuan tua
itu meremehkan dirinya.
"Nenek jelek! Semua orang tahu
kalau Cupu Manik Tunjung Biru milik
siapa saja yang berhasil mendapatkannya.
Pusaka itu bukan hanya milik kalian kaum
rimba persilatan!" kata Sarmapala keras dengan nada gusar.
Kata-kata yang diucapkan lantang
dan keras, membuat Sepasang Walet
Merah yang sejak tadi mengamati mereka,
menjadi tersentak kaget. Ternyata berita
tentang pusaka Cupu Manik Tunjung Biru
sudah tersebar begitu luas. Bukan hanya
tokoh-tokoh rimba persilatan saja yang
ingin memilikinya, tetapi orang-orang
kerajaan seperti Sarmapala ini pun juga
tertarik. "Rasanya tidak ada gunanya berdebat
di sini. Kalau kau punya nyali, kita dapat saling mengadu nyawa nanti di Goa
Larangan Bukit Batok," kata Nenek
Sumbing seraya mencelat tinggi dan
lenyap di antara rumah-rumah penduduk.
"Perhitungan kita belum selesai,
Klabang Hijau," Sarmapala langsung
menatap Klabang Hijau. Dia tidak peduli
lagi dengan Nenek Sumbing yang entah
sudah pergi ke mana.
"He he he. .," Klabang Hijau terkekeh, kemudian dibalikkan tubuhnya, lalu
melangkah. "Hey, tunggu! Kau tidak bisa pergi
begitu saja sebelum salah satu di antara
kita mati!" teriak Sarmapala lantang.
"Percuma aku melayanimu. Buangbuang tenaga saja," dengus Klabang Hijau terus saja berlalu.
Dengan kemarahan memuncak, Sarmapala berteriak nyaring sambil melompat membabatkan pedangnya. Namun ketika mata pedangnya hampir
menyentuh tubuh Klabang Hijau, sekejap
saja sasarannya telah melompat tinggi dan
telah hinggap di atas genteng rumah
penginapan. "Kutunggu kau di Goa Larangan
Bukit Batok," kata Klabang Hijau sambil melompat
dan hilang di antara pepohonan. "Pengecut!" umpat Sarmapala geram.
Sambil bersungut-sungut,
dihampiri kudanya yang ditambatkan di depan
rumah penginapan. Setelah melompat
ringan ke punggung kuda putih tunggangannya, kuda itu pun melesat bagai anak
panah lepas dari busur ketika digebah tali kekangnya.
Sepasang Walet Merah yang sejak
tadi memperhatikan, hanya diam saja
melihat kejadian itu. Masing-masing sibuk
dengan pikirannya. Sebentar saja keadaan
di depan rumah penginapan kembali
sunyi lengang. Sementara senja telah
semakin merayap menjelang malam.
Suasana gelap mulai menyelimuti desa itu.
"Mereka pasti menuju makam Eyang
Resi," gumam Jaka.
Wulan hanya memandang Jaka tanpa
bicara. "Kau dengar kata-kata Nenek Sumbing tadi, Wulan?" tanya Jaka.
"Ya," sahut Wulan.
"Mereka menyangka Cupu Manik
Tunjung Biru ada di Goa Larangan Bukit
Batok. Dan kau tahu di dalam goa itu
Eyang Resi Suralaga dimakamkan. Apakah kita hanya berdiam diri saja?"
"Aku tidak rela makam eyang
diobrak-abrik tangan-tangan kotor!" dengus Wulan geram.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka
melompat ke punggung kuda masingmasing. Secepat kilat digebah kuda
tunggangan mereka, kembali ke Bukit
Batok. Sepasang Walet Merah kini
semakin yakin bahwa benda pusaka yang


Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah diperebutkan dan dicari-cari tokohtokoh rimba persilatan adalah milik Eyang
Resi Suralaga. Benda pusaka yang bernama Cupu
Manik Tunjung Biru kini jadi rebutan
setelah pemiliknya meninggal dunia.
Eyang Resi Suralaga memang tidak pernah
cerita panjang lebar mengenai hal itu.
Tetapi kata-kata terakhirnya yang merupakan teka-teki, kini hampir terungkap. Bahkan sekarang jadi permasalahan serius.
Sepasang Walet Merah belum tahu,
apa manfaat pusaka itu bagi orang lain.
Mereka sampai rela mengadu nyawa
hanya untuk memperebutkan sebuah cupu
yang belum ketahuan bentuk dan khasiatnya. Bagi Sepasang Walet Merah cupu itu
sangat bermanfaat. Tapi bagi orang lain"
Ini yang menjadi pertanyaan.
* * * Bukit Batok tampak berdiri angkuh
terselimut kabut tebal yang bergerak
tertiup angin. Bukit yang semula tidak
dikenal, kini mendadak jadi pusat perhatian. Setiap hari selalu saja ada yang pergi ke sana. Tujuan mereka hanya
satu. Cupu Manik Tunjung Biru.
Kini Goa Larangan Bukit Batok ramai
oleh tokoh-tokoh rimba persilatan baik
dari golongan putih maupun hitam.
Mereka datang sendiri-sendiri, dan ada
pula yang bersama murid-muridnya.
Bahkan terlihat pula serombongan prajurit-prajurit kerajaan yang dibagi
beberapa kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin seorang punggawa
atau pembesar kerajaan.
Walaupun maksud memiliki Cupu
Manik Tunjung Biru berlainan, tapi yang
jelas orang-orang dari segala penjuru telah berdatangan ke Bukit batok. Tempat
itu kini seperti akan diadakan pesta saja.
Bahkan ada beberapa kelompok orang
yang hanya memiliki kepandaian paspasan ikut hadir. Mereka rata-rata hanya
ingin melihat saja tokoh-tokoh tingkat
tinggi saling bertarung untuk memperebutkan benda yang bukan miliknya. "Tidak kusangka, Cupu Manik Tunjung Biru punya daya tarik luar biasa,"
gumam seorang pemuda sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pemuda itu bertubuh kurus jangkung. Sepasang matanya bulat cekung, masuk ke dalam di antara dua
pipinya yang kempot. Namun masih juga
terlihat garis garis ketampanannya dengan
kulit yang kuning langsat. Pakaiannya
rapih perlente bagai seorang pangeran.
Disampingnya berdiri seorang pemuda dengan bentuk tubuh dan wajah yang sama.
Pakaiannya pun persis sama.
Sulit membedakan kalau mereka berdampingan
bersama. Mereka dikenal dengan julukan
si Setan Kembar.
"Kau lihat, Adik Sencaki. Pihak
kerajaan ternyata berminat juga dengan
Cupu Manik Tunjung Biru," kata pemuda itu lagi yang bernama Sencaka.
"Ya, mereka datang secara terbuka,"
sahut Sencaki. Matanya meneliti keadaan
sekitar. Sepertinya tempat ini tidak ada
lagi tempat untuk bersembunyi.
Di balik pepohonan, batu-batu, bahkan di pucuk-pucuk pohon sudah
dihuni tokoh-tokoh rimba persilatan yang
selalu mengincar kesempatan untuk menembus Goa Larangan.
Tiba-tiba mata Sencaki yang tajam
menangkap sepasang anak muda berpakaian serba merah tengah duduk di
atas punggung kuda. Memang agak jauh
dari tempat ini, tapi jelas kalau mereka
tengah mengawasi keadaan sekitarnya.
"Bukankah itu Sepasang Walet Merah?" Sencaki seperti bertanya pada diri sendiri.
"Benar. Rupanya kau melihat juga,"
sahut Sencaka. "Kelihatannya mereka tenang-tenang
saja, Kakang," kata Sencaki tidak mengalihkan perhatian pada Sepasang
Walet Mwrah. "Mungkin cupu itu telah berada di
tangannya," sahut Sencaka menebak.
"Kalau begitu, untuk apa kita berada
di sini" Bukankah lebih baik merebut cupu
itu dari tangan mereka"'
"Jangan terburu nafsu. Lihat dulu
perkembangan. Biarkan orang-orang dungu itu saling bunuh! Dengan demikian, rintangan kita berkurang."
Sencaki mengangguk-anggukan
kepalanya. Matanya tetap tidak berkedip
mengawasi Sepasang Walet Merah yang
berada di puncak bukit. Dari puncak itu
memang bisa terlihat jelas keadaan di
sekitar Goa Larangan.
"Aku yakin Sepasang Walet Merah
tidak rela tempat ini dijadikan ajang
pertempuran," gumam Sencaki.
"Mereka juga harus berpikir dua kali
untuk langsung turun tangan. Kau lihat
saja di situ. Ada Nenek Sumbing, Klabang
Hijau, Pendekar Mata Elang, dan hampir
seluruh tokoh sakti tumplek di tempat ini.
Kita sendiri belum tentu mampu menandingi salah satu di antara mereka."
"Jadi, menurutmu bagaimana, Kakang?" "Diam di sini sambil mengamati
perkembangan. Dan kau jangan lepas
mengawasi setiap gerak Sepasang Walet
Merah." Sencaki mengangguk-anggukan
kepalanya. Dia mengerti maksud kakak
kembarnya ini. Dalam keadaan seperti ini,
memang bukan tenaga dan kesaktian yang
diperlukan, tapi kelicikan dan kecerdikan
lah yang bermain. Siapa yang lebih cerdik, dia yang berhasil mendapatkan Cupu
Manik Tunjung Biru.
Tapi bukan si Setan Kembar saja yang
punya pikiran seperti itu. Tidak jauh dari mereka, juga terlihat lima orang
bertubuh kekar dengan golok tersampir di punggung. Mereka lebih di kenal dengan
sebutan Lima Golok Neraka.
"Rasanya aku sudah tidak sabar lagi,"
gumam salah seorang dari Lima Golok
Neraka yang mengenakan baju berwarna
kuning. "Sabar, Baga Kuning. Kita datang ke
sini untuk mendapatkan Cupu Manik
Tunjung Biru. Bukan untuk mengantarkan
nyawa sia-sia!" kata seorang lagi yang mengenakan baju biru.
Memang kelima orang itu dapat
dikenal namanya dari pakaian yang
dikenakan. Warna yang berbeda merupakan ciri khas dari nama mereka.
"Lalu sampai kapan kita harus
menunggu" Rasanya tanganku sudah
gatal," sembur Baga Ungu.
"Ingat, Baga Ungu, Baga Kuning, dan
kalian semua. Keadaan seperti ini sudah
kita duga sebelumnya. Dan cara yang
terbaik bukan dengan jalan adu otot dan
ilmu kesaktian, tapi!" kata Baga Biru sambil telunjuknya diketuk-ketukan ke
keningnya sendiri. Memang, adik-adiknya
sudah tidak sabaran lagi untuk mendapatkan benda pusaka itu.
"Lalu bagaimana menurut pikiranmu?" tanya Baga Putih.
Baga Biru tidak segera menjawab. Dia
sendiri tengah memikirkan cara terbaik
agar dapat memenangkan persaingan ini
tanpa terlalu

Pendekar Rajawali Sakti 3 Sepasang Walet Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menguras tenaga. Masalahnya, yang datang ke Bukit Batok
ini bukanlah orang-orang sembarangan.
Mereka rata-rata memiliki kepandaian
yang cukup tinggi. Jadi tidak mungkin
menghadapi mereka semua dengan mengandalkan ilmu olah kanuragan dan
kesaktian. Langkah yang terpenting sekarang
adalah dapat menjaga emosi, dan mencari
yang tepat tanpa harus mengeluarkan
banyak tenaga. Tentu saja hal ini
membutuhkan kerja otak yang berat.
Kecerdikan lebih berperan untuk memenangkan persaingan ini.
Pada saat Baga Biru memeras otak,
tiba-tiba terdengar ribut-ribut yang disusul suara jerit kematian. Tampak satu
pasukan berseragam prajurit kerajaan porak- poranda bagai diterjang banteng liar yang
mengamuk. Beberapa mayat terlihat bergelimpangan dengan dada tertembus
batang panah. "Ada apa?" tanya Baga Biru.
"Ada orang gila membantai prajurit
kerajaan," sahut Baga Kuning.
Mata Baga Biru membeliak melihat
anak-anak panah datang bagai hujan
membantai para prajurit itu. Bukan hanya
satu kelompok pasukan saja yang mengalami hal ini Kelompok-kelompok
lain pun ikut kacau dengan datangnya
hujan panah secara tiba-tiba itu. Jerit
melengking disertai tumbangnya beberapa
tubuh manusia mewarnai keadaan Bukit
Batok. Semua orang yang ada di situ
langsung memusatkan perhatian pada
kejadian yang datang secara tiba-tiba itu.
Terlihat beberapa prajurit yang masih
hidup berusaha menyelamatkan diri.
Namun karena derasnya anak panah yang
datang, seperti tak ada kesempatan lagi
buat mereka untuk meloloskan diri. Satu
dua anak panah dapat mereka hindari,
tapi anak panah berikutnya berhasil
menembus tubuh mereka.
Malang benar nasib mereka. Siapakah
orang yang begitu tega dan kejam
membantai puluhan orang tanpa diberi
kesempatan sedikit pun untuk balas
menyerang" Anak-anak panah itu bagai
datang dari segala penjuru. Hanya mata
yang telah terlatih baik saja yang dapat
melihat kalau anak panah itu datang dari
satu arah. Kini jeritan kematian yang menyayat
itu sebentar saja sudah tidak terdengar
lagi. Yang ada hanya tubuh-tubuh
bergelimpangan tidak tentu arah. Darah
membanjiri rerumputan. Bau anyir darah
mulai tercium dibawa angin.
* * * "Ha ha ha. ., mampus kalian semua
anjing-anjing Pasirwatu!" terdengar suara menggelegar
bersamaan dengan berhentinya hujan panah.
Terlihat seorang laki-laki muda
dengan tubuh tinggi tegap berdiri di atas
sebuah batu besar yang bertumpuktumpuk. Di tangan kanannya tergenggam
sebuah busur. Sedangkan di pinggangnya
tergantung sebuah kantong anak panah
yang telah kosong. Pongah sekali lagaknya
sambil berdiri membelakangi matahari.
Matanya tajam memandangi mayatmayat Minyak Darah Malaikat 2 Pendekar Naga Putih 92 Pengantin Ratu Pesolek Makam Bunga Mawar 14

Cari Blog Ini