Ceritasilat Novel Online

Dewa Guntur 1

Pengemis Binal 11 Dewa Guntur Bagian 1


DEWA GUNTUR Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Dewa Guntur 128 hal. 1 Setelah berlari cukup jauh sambil membopong
tubuh Suropati, Dewi Ikata menghentikan langkah kakinya di tepi sebuah sungai. Dilemparkannya tubuh
Suropati begitu saja ke tanah, seperti melemparkan
barang tak berguna. Jerit kesakitan keluar dari mulut remaja konyol itu. Tulang
persendian lutut kanannya
yang lepas membentur sebongkah batu. Tentu saja
bukan main sakitnya.
Dewi Ikata tampaknya tak mau peduli dengan
penderitaan Suropati. Dia duduk berjongkok di tepi
sungai, memandang kilauan air jernih yang tertimpa
sinar mentari. "Aduh! Tolong aku, Ika...!" teriak Pengemis Binal.
"Kau sudah kutolong! Jangan minta tambah!"
sahut Pendekar Wanita Gila dengan ketus. Wajahnya
tetap memandang kilauan air sungai. Tanpa sedikit
pun dipalingkan.
"Aduh! Tolong aku, Ika...! Aku benar-benar tak
tahan!" "Kau sudah kutolong! Jangan merengek terus!"
Suropati mencoba berdiri untuk mendekati Dewi Ikata, tapi dia jatuh terpeleset. Lutut kanannya
yang terluka terbanting ke tanah. Jerit begitu keras kembali terdengar. Lebih
keras dari lolongan serigala!
Mendengar itu, Pendekar Wanita Gila malah
tertawa-tawa. Kontan amarah Pengemis Binal meledak.
Dipungutnya batu sebesar kepalan tangan, lalu dilemparkan. Duk...!
Dewi Ikata meraba punggungnya. Ditatapnya
Suropati dengan mata mendelik. Lemparan remaja konyol itu tepat mengenai sasaran, Dewi Ikata berkacak pinggang sejenak di hadapan
Suropati. Lalu, secara ti-ba-tiba saja telapak tangan kanannya melayang.
Plak...! "Aduh...!"
Tubuh Pengemis Binal terhempas kemudian
bergulingan di atas tanah. Ketika berhenti, tak terdengar erangan kesakitan juga
adanya gerakan. Pemuda
itu jatuh pingsan!
"Astaga...!" pekik Pendekar Wanita Gila. Dia segera meloncat untuk memeriksa
keadaan Suropati.
Untung gadis cantik itu tak melambari tamparannya
tadi dengan tenaga dalam. Bila hal demikian terjadi, kepala Suropati tentu sudah
remuk! Dengan cekatan Dewi Ikata melemaskan otototot di sekitar pergelangan kaki kanan Suropati. Kemudian, tangan kiri gadis cantik itu memegang pangkal paha Suropati. Tangan kanannya bergerak mengurut. Sebentar kemudian, betis kanan Suropati dibetotnya kuat-kuat.
Timbul suara gemeretakan. Disusul dengan lolong kesakitan Suropati yang memilukan. Remaja konyol itu langsung jatuh pingsan lagi.
Dewi Ikata memandang dengan perasaan iba.
Dibelainya anak-anak rambut Suropati yang tergerai
tak karuan. Butiran mutiara bening tampak bergulir
dari sudut mata gadis cantik itu.
"Suro...," desis Dewi Ikata.
Dengan sehelai sapu tangan, dibersihkannya
wajah Suropati yang kotor. Kening remaja konyol itu
lalu dikecupnya lembut. Senyum manis mengembang
di bibir Dewi Ikata. Air matanya langsung berhenti
mengalir. "Ha ha ha...."
Dewi Ikata tertawa bergelak. Dibopongnya tubuh Suropati, lalu dilemparkan ke dalam sungai. Begi-tu menyentuh air Suropati
langsung siuman. Tangannya bergerak menggapai-gapai berusaha mencapai tepi
sungai. Dewi Ikata hanya memandang sambil terus
mengeluarkan tawa bergelak.
"Setan Alas! Gondoruwo Dekil! Kuntilanak
Bunting! Jrangkong Congek!" Pengemis Binal mengumpat-umpat tak karuan setelah mencapai tepi sungai. Mendengar itu, Pendekar Wanita Gila malah
tertawa cekikikan sambil menuding-nuding.
"Tidak ada yang lucu! Kenapa kau tertawa"!"
bentak Suropati marah.
Dewi Ikata tetap tak menghentikan tawanya.
Suropati menggaruk-garuk kepala tak mengerti. Tanpa
sadar dia melihat bawah tubuhnya. Sadarlah dia kini!
Celananya melorot hingga membuat benda
'kesayangan'-nya hampir saja melongok keluar!
Buru-buru Suropati mengencangkan celananya
yang kendor. Saat itulah dia tahu kalau tulang persendian kaki kanannya telah
kembali pada tempatnya.
Namun, dia tak jadi girang. Pipi kirinya terasa sangat panas. "Kenapa kau
menamparku"!" tanya Pengemis Binal marah.
"Kenapa kau tak pakai baju"!" Pendekar Wanita Gila balik bertanya dengan tak
kalah garang. "Aku tak punya!"
"Pakai bajuku mau?" Dewi Ikata menawarkan
jasa. "Tidak! Nanti dikira banci!"
"Lihatlah dulu!"
Dewi Ikata lalu membawa buntalan kain yang
diikatkan di pinggang. Dilemparkannya sehelai baju hijau. Suropati menangkapnya.
Setelah diamati, ternyata baju pemberian Dewi Ikata adalah baju laki-laki yang
terbuat dari bahan mahal. Kedua alis Suropati tampak bertaut.
"Aku tak pantas memakai baju ini!"
"Siapa bilang" Bila memakai baju itu kau akan
tampak semakin gagah dan tampan."
Suropati mengibas-ngibaskan celananya. "Kau
lihat celana ku ini, Ika... penuh tambalan. Mungkin tak sedap untuk dipandang.
Bila aku pakai baju pem-berianmu ini, banyak orang mengira aku telah mencuri. Tak mungkin orang miskin sepertiku bisa membeli
baju semahal ini...."
"Bodoh! Katakan saja kalau itu pemberian
orang!" sergah Dewi Ikata.
"Ah, sudahlah! Aku tak mau pakai baju mahal.
Lebih baik bertelanjang dada!"
Suropati melemparkan baju hijau di tangannya.
Dengan kesal Dewi Ikata menyambutnya. Mendadak
saja mata gadis cantik itu terbelalak. Suropati menanggalkan celananya!
"Ap... apa yang akan kau lakukan?" tanya gadis cantik itu gugup.
Suropati tertawa terkekeh. "Kau kira, aku
mau.... Tak usah, ya...."
Sambil berucap, Pengemis Binal mencebur ke
dalam sungai. Lalu mandi sepuas-puasnya. Sejenak
dia lupa pada masalah berat yang harus diselesaikannya. Siulan nyaring pemuda konyol itu mengiringi kecipak air sungai.
*** Sang baskara telah bergeser ke barat. Suropati
menggaruk-garuk kepalanya seraya duduk di bawah
pohon besar. Dewi Ikata yang duduk di depannya memandang dengan tatapan tak mengerti.
"Sepertinya kau sedang menyandang masalah
berat, Suro," Dewi Ikata menduga-duga.
"Ya."
"Mau mengatakannya kepadaku?"
"Berjanjilah dahulu kau akan bersedia membantuku," Suropati mengajukan syarat.
"Katakan dulu masalahnya!" tolak Dewi Ikata.
"Berjanjilah dulu!"
"Katakan dulu!" Dewi Ikata bersikeras dengan keinginannya.
"Edan! Pantas kau dijuluki orang Pendekar
Wanita Gila! Otakmu memang tak waras!"
Mendengar ucapan Suropati, raut wajah Dewi
Ikata langsung berubah muram. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.
"Kau kenapa?" tanya Suropati. "Marah?"
"Aku senang dijuluki orang Pendekar Wanita
Gila. Tapi jangan sekali-kali kau menyangka aku gila sungguhan, Suro," rungut
Dewi Ikata. "Tidak! Maafkan aku, Ika...."
Pengemis Binal lalu meraih bahu Dewi Ikata.
Dipeluknya dengan erat. Dewi Ikata menikmati kebahagiaan itu. Kepalanya disandarkan di dada Suropati
yang kini telah tertutup baju hijau pemberian Dewi
Ikata. Namun baju itu telah compang-camping. Sengaja dirobek-robek oleh Suropati.
"Jangan tinggalkan aku lagi, Suro...," bisik Dewi Ikata. Pengemis Binal tak
berucap, Matanya memandang jauh menatap langit biru yang berhias gumpalan
awan. Sementara tangannya membelai-belai rambut
Dewi Ikata yang menebarkan aroma harum.
"Suro...," panggil Dewi Ikata.
"Ehm...."
"Kau tidak mendengar perkataan ku?"
"Apa?" Suropati memalingkan wajahnya.
"Aku ingin kita selalu bersama...."
"Tidak untuk saat ini, Ika. Kecuali bila kau bersedia membantuku. Tapi, nyawa
taruhannya...."
Suropati melonggarkan pelukannya. Dewi Ikata
menatap wajah jejaka pujaan hatinya itu dalam-dalam.
"Kau ingat janji kita di taman keputren Kadipaten Bumiraksa, Suro?" bisik Dewi Ikata lirih.
"Aku selalu mengingatnya. Tapi, mungkinkah
ayahanda mu menyetujui perjodohan kita?"
"Aku tak peduli, Suro. Namun aku yakin, kalau
Ayahanda seorang adipati beliau tak akan memandang
sebelah mata kepadamu. Rencana pemberontakan Patih Wiraksa begitu hebat. Kalau tidak ada kau, mana
mungkin Ayahanda masih bisa menduduki tahta Kadipaten Bumiraksa?"
"Aku tak berjasa apa-apa. Jangan kau besarbesarkan hal itu, Ika...," ucap Suropati merendahkan diri. "Tidak, Suro.
Kenyataannya memang demikian.
Aku yakin Ayahanda akan menyetujui perjodohan kita.
Oleh sebab itu, aku tak mau berpisah denganmu."
"Sudah kukatakan, tidak untuk saat ini. Aku
mempunyai persoalan pelik. Ah.... Aku tak jadi memin-ta bantuanmu," Suropati
segera berubah pikiran.
"Aku mencintaimu, Suro. Aku mau melakukan
apa saja untukmu!" bantah Dewi Ikata.
"Tapi, aku tak mau nyawamu terancam!"
"Aku pun tak mau nyawamu terancam!"
"Sungguh?" tanya Suropati penuh selidik.
"Demi Tuhan..."
Suropati memeluk Dewi Ikata kembali. "Kau
sangat cantik luar dalam, Ika...," bisiknya kemudian.
Suasana menjadi hening. Suara desir air sungai
terdengar, ditengahi kicau burung yang menari di atas dahan. Suropati menatap
wajah Dewi Ikata dalam-dalam. Kemudian, dikecupnya kening gadis cantik putri tunggal Adipati Danubraja itu.
Jiwa Dewi Ikata seperti melayang di angkasa,
bermain-main di antara tebaran awan lembut. Dewi
Ikata pun terlena dengan mata terpejam.
Mendadak, Pengemis Binal melepaskan pelukannya. "Aku bukan laki-laki normal lagi, Ika"..." keluh pemuda itu.
Pendekar Wanita Gila tersentak.
"Apa maksudmu"!"
"Dalam darahku tersimpan racun yang sangat
ganas. Aku tak bisa menjadi suami yang baik, karena
aku terlalu berbahaya...."
"Maksudmu?"
"Bila aku melakukan hubungan suami-istri,
maka racun ganas dalam darahku akan mengalir ke
tubuh pasangan ku. Dan akibatnya adalah kematian."
"Ya, Tuhan...."
"Bukan hanya itu, Ika. Aku telah menjadi seorang laki-laki lemah. Kurasa aku pun tak pantas menjadi pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
lagi. Seluruh ilmu kepandaianku telah musnah...."
"Benar apa yang kau katakan itu, Suro?" Dewi Ikata tak percaya.
Pengemis Binal mengangguk lemah. Dewi Ikata
memandang wajah jejaka pujaan hatinya itu dengan
mata berkaca-kaca. Kesedihan segera menyelimuti hatinya. Gadis itu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya seperti tidak mempercayai apa yang baru saja
didengar. "Suro...!" jerit Dewi Ikata kemudian seraya memeluk Suropati. Air mata Dewi
Ikata pun berjatuhan.
"Jangan menangis, Ika. Kau jangan membuatku sedih," ucap Suropati tak senang.
"Tidak! Tidak, Suro.... Semua ini tidak boleh
terjadi!" Dewi Ikata memeluk Suropati lebih erat. Air matanya terus bergulir,
sampai dada Suropati terasa
basah. "Tenanglah, Ika.... Ingatlah kebesaran Tuhan.
Dia tak akan menimpakan cobaan pada umatnya melebihi kekuatan manusia."
"Suro.... Aku mencintaimu! Aku Ingin mati bersamamu!" "Bodoh! Kenapa kau ingin mati bersamaku"!


Pengemis Binal 11 Dewa Guntur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku masih belum ingin mati!" bentak Suropati sambil melonggarkan pelukan Dewi
Ikata. "Hidup ini sangat berharga, Ika. Banyak orang yang menghadapi sakara-tul
maut pun masih merindukan untuk terus bisa hidup. Mereka tahu, dengan hidup banyak yang bisa diperbuat." Tak henti-hentinya air mata Dewi Ikata bergulir. Dipeluknya lagi tubuh Suropati. Wajahnya disandarkan di dada jejaka pujaan hatinya itu.
"Ika, apa yang sedang ku alami ini adalah sebuah tantangan. Meskipun sangat berat, aku harus tegar menghadapinya," lanjut Suropati.
"Suro...."
"Berilah kekuatan kepadaku, Ika.... Kau jangan
menangis terus! Itu hanya akan menambah berat
langkah kakiku."
"Suro, aku bersedia mengorbankan nyawaku
untukmu." "Hush! Apa kau lupa pada asal-usulmu, Ika"
Kau lahir ke dunia dan dapat menghirup udara kehidupan adalah dengan perantaraan ayah bundamu.
Semua pengorbanan mu seharusnya kau berikan kepada mereka, Ika...."
Suasana hening kembali. Suropati dan Dewi
Ikata saling bertatapan mata, kemudian berpelukan
erat. Hati Dewi Ikata terbawa dalam keharuan yang
sangat. Air matanya telah berhenti mengalir. Dengan
menyandarkan kepalanya di dada Suropati, dia merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
"Untuk memulihkan keadaanmu aku akan setia
mendampingimu, Suro...," bisik Dewi Ikata.
Pengemis Binal tersenyum. Dibelainya rambut
Dewi Ikata yang harum. "Terima kasih, Ika. Aku menarik kata-kataku kembali. Aku
tak jadi meminta bantuanmu. Aku ingat, kau masih mempunyai orang tua.
Aku tak man terjadi sesuatu yang tak diinginkan menimpa dirimu, hingga akan membuat kedua orangtua
mu bersedih...."
"Tapi...."
Dewi Ikata tak melanjutkan kalimatnya. Suropati keburu bangkit berdiri ketika melihat kehadiran seorang lelaki setengah
baya bertubuh tinggi tegap. Lelaki yang baru datang itu membungkukkan badannya
untuk memberi hormat. Dia adalah salah seorang kepercayaan ayahanda Dewi Ikata.
"Kenapa kau kemari, Tunggul?" tanya Dewi Ikata.
Lelaki setengah baya membungkukkan badannya kembali. "Hamba diutus Gusti Adipati untuk menyampaikan kabar kalau Tuan Putri Rara Anggi sakit,..." "Ibu sakit"!" Dewi Ikata tersentak kaget. Ditatapnya utusan ayahandanya
itu dengan sinar mata tak
percaya. Kemudian, pandangan Dewi Ikata beralih ke
wajah Suropati.
"Pulanglah, Ika...," kata Suropati dengan lembut. "Ibunda mu memerlukan
kedatanganmu."
"Tapi, Suro...."
"Jangan kau pikirkan keadaanku. Aku bisa
mengurus diriku sendiri. Hanya doa mu yang kuperlukan...." *** Ingin rasanya Suropati mengejar bayangan Dewi Ikata yang menghilang di kelokan sungai. Namun,
dia tak akan melakukan hal itu. Suropati tahu apa
yang harus dilakukannya. Lebih baik menyuruh Dewi
Ikata menengok ibunya yang sakit daripada memenuhi
permintaan gadis itu untuk menyertai dirinya. Bagi
Suropati, pada saat orang tua mengalami kesusahan,
mereka membutuhkan perhatian dari anak. Saat itulah orangtua bisa mengukur sampai di mana kesungguhan bakti si anak kepada mereka.
Sementara itu, cahaya kuning kemerahan telah
memancar dari arah barat. Sang baskara separo, tenggelam di bentangan kaki langit. Suropati beranjak dari duduknya, kemudian
berjalan meninggalkan tepian
sungai. Setelah berhasil menghilangkan bayangan Dewi Ikata, mendadak pikirannya membayangkan
Anggraini Sulistya atau Putri Cahaya Sakti.
"Benarkah putri Prabu Singgalang Manjunjung
Langit itu kakak kandungku?" tanya Pengemis Binal
dalam hati. "Bila memang benar demikian dan aku adalah satu-satunya anak lelaki
mereka, bukankah
aku putra mahkota yang kelak akan menduduki tahta
Kerajaan Pasir Luhur" Sudah menjadi tradisi di Tanah Jawa kedudukan raja
diturunkan kepada anak lela-kinya. Anak perempuan hanya bisa menjadi raja apabila anak lelaki tidak ada...."
Suropati tersenyum-senyum seorang diri.
"Kalau kelak aku menjadi raja.... Ehm... alangkah enaknya."
Mendadak, remaja konyol itu memukul kepalanya sendiri. "Bodoh sekali aku ini! Kalau melam-bungkan angan terlalu tinggi,
jatuhnya akan terasa
sakit. Aku tak mau hal itu terjadi. Aku harus mencari tahu terlebih dahulu
tentang kebenarannya. Aku harus mencari Anggraini Sulistya! Tapi...."
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepala sambil
nyengir. Otaknya dipaksa bekerja keras untuk berpikir. "Pemuda berpakaian serba hijau yang hendak membunuhku di lereng Bukit Hantu
mengatakan kalau dia telah melukai Anggraini Sulistya dengan Jarum Hitam. Aku
tak tahu apa sebabnya. Apakah masih ada
kemungkinan Anggraini Sulistya masih hidup" Kalaupun masih hidup, apakah seluruh ilmu kepandaiannya
telah hilang seperti diriku" Apakah dia juga harus
mencari Putri Air guna mendapat petunjuk di mana
Putri Racun berada?"
Remaja konyol itu terus berjalan tanpa arah tujuan. Sambil terus memeras otak, dia menyepaknyepak batu kecil yang bertebaran di jalan setapak
yang dilewatinya.
"Aku harus menentukan pilihan, mencari Putri
Air terlebih dahulu atau mencari kebenaran tentang
diriku" Kalau mencari Putri Air, aku harus ke Laut Selatan. Namun bila mencari kebenaran tentang diriku,
aku harus mencari Anggraini Sulistya. Tapi bila gadis itu memang terkena
serangan Jarum Hitam, sangat
kecil kemungkinan aku bisa menemukannya. Atau, lebih baik aku langsung ke Istana Kerajaan Pasir Luhur saja" Ah, tidak! Kalau
ternyata aku bukan putra Prabu Singgalang Manjunjung Langit, duh betapa malunya
aku.... Tidak mustahil beliau akan murka karena merasa terhina, lalu menjatuhkan hukuman kepadaku.
Wah, urusannya bisa kacau.... Kalau begitu, aku mencari Putri Air saja. Setelah Putri Racun nanti menyembuhkan diriku, aku bisa
menentukan langkah selanjutnya tanpa dibayangi perasaan takut lagi...."
Selagi Suropati berpikir demikian, tiba-tiba saja
sesosok bayangan berkelebat menghadang langkahnya.
Suropati terkejut, namun dicobanya untuk bersikap
tenang. Sosok yang menghalangi langkahnya ternyata
Saka Purdianta atau si Dewa Guntur!
"Nasib telah mempertemukan kita lagi, Suropati...," kata Saka Purdianta sambil menyunggingkan senyum mengejek.
"Nasib juga yang akan menentukan apakah aku
akan mati di tanganmu atau tidak?" balas Suropati dengan suara setenang mungkin.
"Ha ha ha...!" Saka Purdianta tertawa bergelak.
"Ehm.... Tidak kulihat sosok orang yang telah menyelamatkan nyawamu. Tahukah
kau, Suropati, kesempatanmu untuk menghirup udara segar tinggal beberapa
kejapan mata saja?"
"Kematian berkenaan dengan takdir Tuhan.
Aku tak akan mati bila Tuhan belum berkehendak."
Dewa Guntur kembali tertawa bergelak, "Karena kau percaya pada takdir Tuhan, maka kau pun harus percaya aku adalah perantara Tuhan untuk mencabut nyawamu!"
Usai mengucapkan kalimatnya, pemuda tampan berpakaian serba hijau itu menarik napas panjang. Kemudian, perlahan-lahan tangannya yang bergetar ditarik ke belakang. Pengemis Binal langsung tercekat. Dia tahu Saka
Purdianta hendak menjatuhkan
tangan mautnya.
"Tunggu dulu, Orang Baik!" kata Suropati buru-buru sambil mengangkat kedua
tangannya. "Ehm.... Apa lagi yang akan kau katakan" Sebagai Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang kesohor, kau tabu menolak tantangan!"
"Aku tahu. Tapi, tidakkah kau mau menyebutkan nama dan gelarmu terlebih dahulu. Aku khawatir apabila kau mati di tanganku, kuburmu hanya
ditandai nisan tak bernama," ucap Suropati dengan beraninya.
"Ha ha ha...!"
Dewa Guntur tertawa terbahak-bahak untuk
kesekian kalinya. Keterkejutan menghantam Suropati.
Dia merasa gendang telinganya seperti ditepuk-tepuk
keras. Jantungnya pun berdegup sangat kencang. Aliran darahnya berdesir tak karuan. Sadarlah remaja
konyol itu, tawa Saka Purdianta dialiri tenaga dalam yang mengundang kematian!
Kalau saja Suropati bebas menyalurkan hawa
murni dan tenaga dalamnya, keadaan itu tak akan
menjadi masalah. Tapi sekarang" Bila dia membentengi diri dengan tenaga dalam, itu sama saja dengan
mempercepat kematian. Begitu Suropati menghimpun
tenaga dalam, jantungnya akan langsung meledak!
Melihat Suropati meringis kesakitan sambil
mendekap kedua telinga, Saka Purdianta semakin
memperkeras suara tawanya. Hal itu dirasakan Suropati sebagai siksaan yang sangat menyakitkan. Sekujur tubuhnya bagai ditusuk-tusuk ribuan jarum. Kepalanya laksana dihantami palu godam. Jerit kesakitan
Suropati pun melengking tinggi di angkasa, membuat
satwa-satwa yang kebetulan berada di sekitar tempat
itu berlari dikejar rasa ketakutan.
"Ehm.... Rupanya kau sedikit pun tak mempunyai ilmu, Gembel Busuk!" ejek Dewa Guntur
"Argh...! Kalau kau ingin membunuhku, cepat
lakukan! Jangan siksa aku seperti ini!"
Saka Purdianta tersenyum penuh kemenangan.
Lalu dia membentak nyaring, "Mati kau!"
Malang bagi Pengemis Binal. Bentakan yang dialiri tenaga dalam penuh itu membuat tubuhnya terlontar bagai dihempaskan tangan raksasa. Dan saking
hebatnya deraan rasa sakit, dia langsung jatuh pingsan! "Aku sudah menduga Pemimpin Perkumpulan
Tongkat Sakti itu tak mempunyai kemampuan apaapa. Semua itu akibat pengaruh racun Jarum Hitam
yang mengenai pelipis kanannya..." kata Dewa Guntur dalam hati. "Tapi, kenapa
dia masih dapat bertahan sampai sedemikian lama" Menurut penuturan guruku,
tak satu pun manusia yang sanggup bertahan apabila
cairan darahnya telah tercampuri racun Jarum Hitam.
Apakah gembel busuk itu mempunyai keajaiban, sehingga dia mampu bertahan hidup dengan cairan darah bercampur racun?"
Saka Purdianta berjalan menghampiri tubuh
Suropati yang tergolek di tanah. Dengan menggunakan
telapak kaki diperiksanya pernapasan pemuda itu.
"Ehm.... Dia hanya pingsan. Harusnya aku
membunuhnya sekarang" Bila hal itu tak kulakukan,
gembel busuk ini akan menjadi duri dalam daging. Aku
telanjur mengatakan kepadanya kalau aku telah melukai Anggraini Sulistya. Walau kejadian itu tak disengaja, Prabu Singgalang
Manjunjung Langit tetap akan
murka. Dan, malapetaka akan menimpa ku. Tapi, hal
itu tidak akan terjadi bila aku melenyapkan saksi hidup ini. Ehm... Kau memang
pantas untuk mati, Gembel Busuk!"
Dewa Guntur mengangkat kaki kanannya tinggi-tinggi. Kaki yang dialiri tenaga dalam itu kemudian berkelebat cepat hendak
meremukkan kepala Suropati.
Sementara Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu sudah tak mempunyai kemampuan sedikit
pun untuk menghindar!
Ketika telapak kaki Saka Purdianta tinggal seusap lagi mencabut nyawa Pengemis Binal, mendadak
gerakannya terhenti.
"Ah! Terlalu bodoh membunuh tokoh yang cukup terpandang ini...," pikir Dewa Guntur. "Aku mempunyai rencana lain. Aku
memang akan tetap membunuhnya, tapi tidak dengan tanganku sendiri...."
Saka Purdianta kemudian tertawa terbahakbahak. Pemuda tampan putra Tumenggung Sangga
Percona itu dalam kegembiraan yang sangat. Dia telah menyusun suatu rencana jitu
untuk menuruti nafsu
membunuhnya yang menghentak!
2 Alam bangun dari tidurnya. Ranting pepohonan
menggeliat menyambut hadirnya sang surya. Hangat
terasa menerpa. Butiran embun yang mengembang di
permukaan daun bergulir jatuh membasahi rumput
dan permukaan tanah. Langit tampak cerah menghadirkan pesona indah bagi makhluk di bumi.
Seorang pengemis tampak memasuki pintu
gerbang kotapraja Kerajaan Anggarapura. Tidak seperti keadaan para pengemis
lainnya, dia berpenampilan
lumayan. Walau pakaiannya penuh tambalan, namun
kelihatan bersih. Tubuhnya tinggi tegap dengan dada
membusung. Pertanda dia mempunyai kekuatan tubuh yang bisa diandalkan. Wajahnya yang tidak seberapa tampan dihiasi julangan alis gagah laksana sayap burung rajawali
terpentang. Sorot matanya tajam dan
gerak-geriknya sangat tenang.
Pemuda pengemis berusia sekitar dua puluh
tujuh tahun itu di tangan kanannya memegang sebatang tongkat. Pangkal tongkatnya berukir kepala naga, sedangkan pada ujungnya
yang agak pipih dipeluntir
sepanjang satu jengkal. Menilik ciri-ciri tongkat yang dibawanya, agaknya dia


Pengemis Binal 11 Dewa Guntur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Di depan sebuah kedai nasi pemuda gagah
yang bernama Carang Gati itu menghentikan langkah.
Dirogohnya saku baju sebentar, lalu kakinya melangkah kembali. Kedai nasi yang dituju Carang Gati termasuk
kedai yang mempunyai kelas tersendiri. Cukup banyak
pejabat kerajaan menjadi langganan di sana. Kalau sekarang Carang Gati yang
berpakaian penuh tambalan
memasukinya, tentu saja dia menjadi pusat perhatian
orang. Hampir seluruh pengunjung mengerutkan kening. Mereka pikir, Carang Gati tentu seorang pengemis yang kesasar. Mana mampu
dia membayar makanan
di kedai yang cukup mahal ini"
Namun setelah melihat tongkat yang dipegang
Carang Gati, mereka segera mengalihkan pandangan.
Pemuda gagah itu pasti sedang mempunyai urusan.
Siapa yang tak tahu kebesaran nama Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti" Walau hanya sebuah perkumpulan pengemis, namun sepak terjang para anggotanya sangat terkenal di rimba persilatan. Bukan
hanya melindungi para gelandangan yang merupakan
teman senasib, tapi juga menyatroni kaum sesat.
Pada mulanya para pelayan pun memandang
sinis pada kehadiran Carang Gati. Tapi, seorang pelayan setengah baya segera menegur teman-temannya
itu. "Tumben Nak Gati mampir ke sini...," kata pelayan setengah baya kemudian di
depan meja Carang
Gati. Tampaknya dia sudah mengenal anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu.
"Kebetulan ada yang mengundangku, Pak
Tua...," sahut Carang Gati seraya menyunggingkan senyum. "Kau pesan apa, Nak?"
"Air putih saja."
Mendengar ucapan Carang Gati, kontan seluruh pengunjung kedai tertawa. Namun, tawa mereka
langsung terhenti ketika Carang Gati mendehem.
Tak lama kemudian, pelayan setengah baya datang mengantarkan pesanan Carang Gati. Setelah minum air putih separuh gelas, Carang Gati menyebar
pandangan. Tempat duduknya yang berada di pojok
cukup banyak membantu. Tidak kurang dua puluh lima lelaki perempuan mengisi ruangan kedai. Mereka
semua berpenampilan seperti layaknya orang kaya.
Kenyataan itu membuat Carang Gati menjadi minder.
Keinginan untuk meninggalkan kedai berkecamuk di
benaknya. Tapi, dicobanya untuk terus bertahan dengan menundukkan kepala menatap lantai kedai.
Seorang gadis cantik berusia sekitar dua puluh
tahun muncul di ambang pintu kedai. Pakaiannya
kuning merah dihiasi pernik-pernik gemerlap. Rambutnya disanggul ke atas dengan tusuk konde emas.
Giwang yang dipakainya berbentuk pipih panjang, ujungnya bermata intan. Gelang keroncong yang
juga terbuat dari emas menyembul dari ujung lengan
bajunya. Si gadis berdiri sebentar di ambang pintu depan. Setelah dilihatnya sosok Carang Gati, dia melangkah tenang lalu duduk
berhadapan dengan anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu.
Seluruh pengunjung kedai menatap kehadiran
si gadis. Mereka seperti tidak mempercayai apa yang
dilihatnya. Tampaknya Carang Gati pun terkejut. Dia
tidak menyangka orang yang ditunggunya ternyata putri Prabu Arya Dewantara. Walau bukan putri yang lahir dari rahim permaisuri, tapi kalau duduk berhadapan dengan Carang Gati yang miskin, tentu saja menjadi suatu pemandangan ganjil.
"Sudah lama menunggu, Gati?" tanya si gadis, tanpa mempedulikan tatapan orang di
sekitarnya. "Ah, hamba tidak menduga kalau yang mengundang kemari adalah Tuan Putri Rani Paramita...,"
kata Carang Gati dengan canggung. "Hamba tidak pantas duduk berhadapan dengan
Tuan Putri."
Rani Paramita buru-buru mencegah Carang
Gati yang hendak beranjak dari tempat duduknya.
"Jangan bersikap canggung seperti itu. Aku
sengaja menulis undangan dengan meminjam nama
salah seorang prajurit, agar kau bersedia datang. Aku pun sengaja tak membuat
pertemuan di istana. Aku
ingin orang-orang mengetahui kalau Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti mempunyai hubungan dekat
dengan pihak kerajaan. Jadi, kau tidak perlu bersikap
canggung seperti ini. Kau bernaung di bawah bendera
suatu perkumpulan besar. Sudah selayaknya orang
sepertimu mendapat penghormatan...."
Rani Paramita kemudian memesan masakan
yang lezat-lezat serta satu guci besar arak wangi yang termahal. Carang Gati
cuma memandang dengan tatapan tak mengerti. Ketika dia hendak bertanya perihal
maksud undangan Rani Paramita, niat itu diurung-kannya karena pesanan sudah
keburu datang. Rupanya, pemilik kedai memberikan pelayanan yang cepat agar tak mengecewakan putri Prabu Arya Dewantara. "Kita nikmati dulu hidangan ini, Gati...," kata Rani Paramita, membuat Carang
Gati salah tingkah.
Seumur hidup baru kali ini dia diperlakukan begitu
hormat oleh orang yang sangat terpandang.
Ketika di atas meja hanya tinggal guci besar berisi arak wangi dan dua gelas kecil, Carang Gati menunduk. Sementara Rani Paramita menuang arak ke
dalam gelas. Saat gadis cantik itu menyulanginya, terkejutlah Carang Gati.
Bagaimana mungkin putri seorang raja yang begitu lemah lembut tampak terbiasa
minum arak"
"Sebelum aku memulai pembicaraan, terima
kasih atas kesediaanmu datang kemari," ucap Rani Paramita seraya meletakkan
gelas araknya ke atas meja.
"Suatu kehormatan besar bagi hamba, Tuan
Putri..," sahut Carang Gati dengan agak gugup.
"Kau tahu Putra Mahkota Arya Wirapaksi, Gati?" "Kenapa, Tuan Putri?"
"Dia dan aku sama-sama senang belajar ilmu
silat. Bulan depan kami bermaksud akan bertarung
untuk mengukur ketinggian ilmu silat yang kami miliki. Arya Wirapaksi adalah kakakku, tapi sebagai adik, aku tak mau kalah
dengannya. Maka dari itu aku
mengundangmu kemari...."
Rani Paramita diam sejenak untuk menarik napas panjang. Carang Gati pun sabar menunggu sampai
gadis cantik itu menyambung ucapannya kembali. Sementara itu beberapa pengunjung kedai sudah meninggalkan ruangan.
"Untuk mengundang Suropati, aku tak tahu dia
berada di mana. Wirogundi pun aku dengar sedang
bertapa di Danau Ular. Sedangkan bila mengundang
Kakek Gede Panjalu, aku malu pada diriku sendiri. Il-mu kepandaianku masih
dangkal. Maka aku mengundangmu, Gati..."
"Untuk apa?" Carang Gati tak dapat membendung hasrat hatinya untuk bertanya.
"Aku ingin bertanding silat denganmu. Jurusjurus ilmu silat Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
tentulah lihai. Aku bermaksud menjajal ilmu kepandaianku." "Ah, mana hamba berani, Tuan Putri?" ujar Carang Gati walau merasa tersanjung.
"Jangan merendahkan diri, Gati. Aku tunggu
kau di kelokan sungai sebelah barat kotapraja...."
Usai berkata, Rani Paramita beranjak dari kursinya. Gadis itu berkelebat cepat dari hadapan Carang Gati. Untuk beberapa lama
pemuda gagah itu cuma
dapat duduk termangu. Matanya menatap tanpa arti
sekeping uang emas yang ditinggalkan Rani Paramita.
"Ah, mimpi apa aku kemarin?" kata Carang Ga-ti dalam hati. "Bisa berhadapan
dengan putri Prabu Arya Dewantara adalah pengalaman membanggakan
yang dapat kuceritakan kepada anak-cucuku kelak...."
Sengaja Carang Gati tak mempergunakan tongkatnya. Rani Paramita telah membuka pertempuran
dengan tangan kosong. Namun, Carang Gati berdecak
kagum melihat kehebatan gadis cantik itu. Walau gerak-geriknya lemah lembut, tapi ketika memperagakan
jurus-jurus silat tubuhnya bisa bergerak demikian gesit. Pukulan dan
tendangannya pun selalu mengeluarkan desir angin yang memedihkan kulit. Ternyata tenaga dalam Rani Paramita tidak bisa dianggap enteng.
"Ayo! Balas seranganku, Gati!" teriak Rani Paramita. Tendangan melingkarnya
meluncur cepat.
Carang Gati berkelit. Karena tak mau membuat
Rani Paramita kecewa, pemuda gagah itu mengawali
serangannya dengan berlambarkan jurus 'Pengemis
Menghiba Rembulan'.
Des...! Pukulan Carang Gati yang mengarah ke bahu
kiri ditangkis oleh Rani Paramita. Lengan mereka sama-sama bergetar dan terasa kesemutan. Agaknya tenaga dalam mereka seimbang.
Lewat sepuluh jurus kemudian Rani Paramita
mulai terdesak. Carang Gati telah mempergunakan jurus gabungan dari 'Pengemis Menghiba Rembulan',
'Pengemis Menebah Dada', dan 'Pengemis Meminta Sedekah'. Mendadak, Rani Paramita meloncat jauh ketika Carang Gati melancarkan
sebuah tendangan lurus.
Dan, Carang Gati terkejut melihat Rani Paramita tahu-tahu saja telah menggenggam
sebilah, pedang pendek
yang memancarkan cahaya keemasan.
"Pergunakan tongkatmu, Gati!" teriak Rani Paramita. "Hamba hanya menuruti
perintah, Tuan Putri...." Kini, dengan memainkan senjata andalannya
masing-masing kedua petarung itu bertempur semakin
seru. Kelebatan pedang Rani Paramita menimbulkan
gaung aneh yang kadang-kadang berubah jadi desingan memekakkan telinga. Pancaran keemasan pedangnya pun menyilaukan pandangan.
Tapi, Carang Gati adalah anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang sudah cukup berpengalaman. Dia juga salah satu murid Gede Panjalu yang
telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian tokoh itu.
Maka dengan mengandalkan jurus 'Tongkat Memukul
Anjing', Carang Gati dapat mengimbangi kehebatan jurus pedang Rani Paramita.
Sang surya telah naik dan memayung di atas
kepala. Seorang pemuda tampan tampak duduk di
atas dahan pohon. Hampir-hampir matanya tak berkedip memperhatikan pertempuran yang berlangsung di
bawahnya. Pemuda tampan itu menaikkan alisnya ketika melihat benturan senjata di tangan Rani Paramita dan Carang Gati.
Trang...! Walau senjata Carang Gati hanya sebatang
tongkat kayu, tapi tidak patah ketika bertemu dengan ketajaman pedang Rani
Paramita. Bahkan, ujung
tongkat berhasil menyodok jemari tangan gadis cantik itu.
"Ih...!"
Terpaksa Rani Paramita melepaskan pegangannya pada hulu pedang. Hawa panas terasa menjalar
dari jemari tangannya yang tersodok ujung tongkat Carang Gati.
Mendadak saja, pemuda tampan yang duduk di
dahan pohon menghemposkan tubuh. Disambarnya
pedang Rani Paramita yang terlontar tinggi. Saat kakinya mendarat di tanah, dia langsung menjura.
"Maafkan atas kelancangan saya...," kata pemuda tampan itu seraya menyodorkan
pedang Rani Paramita, "Siapa kau"!" bentak gadis cantik itu setelah menerima pedangnya. Carang Gati
hanya memandang
dengan kening berkerut.
Sekali lagi pemuda tampan menjura hormat.
"Nama saya Saka Purdianta. Saya hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat di
tempat ini."
Rani Paramita menatap lebih seksama sosok
Saka Purdianta. Pemuda tampan yang bergelar Dewa
Guntur itu telah mengganti pakaiannya yang serba hijau dengan kuning coklat bergaris-garis hitam. Dan
meski terbuat dari bahan murah, tapi sanggup menampilkan ketampanan pemuda itu.
"Maafkan saya. Saya telah mencuri pandang
pertempuran Nona yang cantik jelita dengan pemuda
yang gagah perkasa ini...."
"Kalau kau tahu siapa aku, kau tidak akan berani melakukannya!" sergah Rani Paramita menimpali ucapan Saka Purdianta.
"Saya yang bodoh ini memang tidak tahu siapa
Nona adanya. Tapi, saya bisa mengenali jurus pedang
yang baru saja Nona mainkan. Kalau tidak salah, jurus itu bernama 'Desingan
Pedang Membelah Gunung'."
Mendengar ucapan demikian, tahulah Rani Paramita kalau pemuda tampan yang menyambar pedangnya itu bukanlah orang sembarangan.
"Dari mana kau tahu jurus yang kumainkan
adalah 'Desingan Pedang Membelah Gunung'?"
"Suara gaung yang timbul dari kelebatan pedang Nona dapat berubah menjadi desingan memekakkan telinga. Yang lebih membuat saya yakin adalah gerak tubuh Nona. Saya
hapal betul setiap gerakan jurus 'Desingan Pedang Membelah Gunung'. Karena,
saya pernah mempelajarinya dari seorang ahli pedang
yang bernama Ki Ageng Manik Rei."
"Ketua Perguruan Pedang Kencana itu apakah
gurumu?" tanya Rani Paramita penuh selidik. Kaget juga dia mendengar penjelasan
Saka Purdianta tadi.
"Saya yang bodoh ini tidak pantas menjadi murid beliau. Ki Ageng Manik Rei pernah singgah di Ka

Pengemis Binal 11 Dewa Guntur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tumenggungan Lemah Abang di wilayah Kerajaan Pasir
Luhur. Di sanalah saya bertemu dengan beliau. Dan,
beliau berkenan mengajarkan salah satu jurus andalannya, yakni 'Desingan Pedang Membelah Gunung'"
Mendengar ucapan Saka Purdianta yang lemah
lembut, kecurigaan di hati Carang Gati langsung hilang. Semula dia menyangka Saka Purdianta seorang
tokoh usil yang suka mencampuri urusan orang lain.
Tapi dilihatnya Rani Paramita tampak mempercayai
ucapan pemuda tampan itu. Bahkan, menaruh sedikit
perhatian. "Kalau saya boleh tahu, siapakah dua tokoh
muda yang sedang berhadapan dengan saya ini?"
tanya Saka Purdianta dengan sopannya.
Buru-buru Rani Paramita mendahului Carang
Gati yang hendak memperkenalkan diri. "Saya hanyalah seorang gadis biasa yang
kebetulan mempunyai jodoh untuk berguru kepada Ki Ageng Manik Rei. Sedangkan yang baru saja memperagakan Jurus tongkatnya yang hebat adalah Carang Gati, anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti."
Mendengar penuturan Rani Paramita, Saka
Purdianta membungkukkan badannya berulang kali ke
arah Carang Gati. Carang Gati pun jadi kikuk mendapat penghormatan yang berlebihan itu.
"Rupanya saya sedang berhadapan dengan seorang pendekar gagah yang menjadi anggota suatu perkumpulan besar...."
"Saudara tidak perlu berlebihan," bantah Carang Gati.
"Jangan panggil saya dengan sebutan
'saudara.'. Nama saya Saka Purdianta. Panggil saja
'Saka'. Saya akan merasa senang bila kalian berdua
bersedia menerima uluran persahabatan dari saya"
Saka Purdianta memandang wajah Rani Paramita dan Carang Gati bergantian.
'"Desingan Pedang Membelah Gunung' adalah
jurus pedang yang hebat. Tapi, jurus tongkat yang Kakang Gati mainkan lebih
hebat lagi. Saya melihat beberapa kelemahan dari gerak tubuh Adi Rani. Karena
itu saya ingin mencoba jurus 'Desingan Pedang Membelah
Gunung' yang saya kuasai untuk melawan jurus tongkat Kakang Gati...."
Carang Gati menatap tajam wajah Saka Purdianta. Namun karena tak melihat sesuatu yang mencurigakan di sana, dia segera membungkukkan badannya menerima tantangan pemuda tampan itu. Akhirnya, Rani Paramita meminjamkan pedangnya kepada Saka Purdianta. Sebentar kemudian terjadilah pertempuran sengit. Carang Gati mengeluarkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing' nya. Dan Saka Purdianta
benar-benar memperagakan jurus 'Desingan Pedang
Membelah Gunung"!
Tapi, Carang Gati dibuat terkejut setengah mati. Walau jurus yang diperagakan Saka Purdianta sama persis dengan Rani
Paramita, namun gerakan Saka
Purdianta lebih cepat. Desingan pedangnya pun lebih
keras hingga dapat menggetarkan isi dada. Akibatnya.... Des...!
Tendangan Saka Purdianta tepat bersarang di
bahu kiri Carang Gati. Tubuh anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu terpelanting, lalu terjerembab ke tanah.
"Hebat!" puji Rani Paramita. Sementara muka Carang Gati jadi masam. Dia segera
membungkukkan badan, mengakui kehebatan lawan.
"Sebenarnya ada salah pengertian pada Adi Rani...," kata Saka Purdianta kemudian kepada Rani Paramita. "Jurus 'Desingan
Pedang Membelah Gunung'
tidak hanya bertumpu pada ketajaman pedang, melainkan juga pada tendangan. Suara desingan yang
timbul dari kelebatan pedang adalah untuk mengecoh
lawan. Ketika lawan hanya memperhatikan kelebatan
pedang, tiba saatnya kaki menunjukkan kehebatannya." "Terima kasih atas petunjuk Kakang Saka...,"
ujar Rani Paramita sambil menerima pedangnya kembali. Gadis cantik itu lalu pergi berlalu setelah berpamitan kepada Saka
Purdianta dan Carang Gati. Ada
sesuatu yang harus dia kerjakan.
*** "Maafkan saya, Kakang Gati...," ucap Saka Purdianta setelah kepergian Rani
Paramita. "Ah, tidak menjadi apa. Jurus 'Desingan dang
Membelah Gunung' memang sungguh hebat."
"Kakang terlalu memuji. Kalau boleh saya tahu,
siapakah sebenarnya gadis murid Ki Ageng Manik Rei
itu" Melihat pakaian yang dikenakannya, aku kira dia bukan tokoh silat
biasa...."
"Tentu saja, Adi Saka. Dia putri Prabu Arya
Dewantara," ujar Carang Gati dengan tersenyum.
"Penguasa Kerajaan Anggarapura ini"!" Saka Purdianta seperti tak percaya.
"Ya."
"Kenapa dia bisa berada di tempat seperti ini,
dan bertanding ilmu silat denganmu?"
Carang Gati lalu menceritakan tentang Rani Paramita yang hendak menjajal kepandaiannya, karena
bulan depan gadis cantik itu akan mengadu ilmu silat dengan kakaknya, Arya
Wirapaksi. Saka Purdianta manggut-manggut, Bibirnya
tampak menyunggingkan senyum.
"Sungguh beruntung aku hari ini, bisa berkenalan dengan putri Prabu Arya Dewantara yang cantik jelita. Tapi, lebih beruntung
lagi dapat berkenalan dengan salah seorang anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang kesohor...."
"Ah, Adi Saka terlalu berlebihan," Carang Gati tersenyum bangga mendengar
perkumpulannya dipuji
orang. "Tidak. Kenyataannya memang demikian. Jauh-jauh aku datang dari Kerajaan
Pasir Luhur adalah untuk menjumpai tokoh-tokoh penting perkumpulan besar itu." "Ada urusan apa?" selidik Carang Gati.
"Urusan penting sih tidak. Tapi sebagai pengembara seperti saya ini, tentu akan senang bila dapat berkenalan dengan tokohtokoh rimba persilatan yang
termasyhur. Oleh sebab itu, apakah Kakang Gati dapat membawaku untuk berkenalan
dengan Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang bernama Suropati?" Kening Carang Gati berkerut. Entah mengapa tiba-tiba timbul kecurigaan
dalam hatinya. Namun melihat tutur kata dan sikap Saka Purdianta yang sopan,
dia mengusir kecurigaan itu.
"Pemukiman para anggota Perkumpulan pengemis Tongkat Sakti berada di puncak Bukit Pangalasan. Namun, saat ini Suropati tidak berada di sana."
Saka Purdianta menyunggingkan senyum. "Lalu, di mana aku bisa menjumpai Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu?" tanyanya kemudian.
"Aku tidak bisa menjawabnya. Kalau Adi Saka
memang seorang pengembara, suatu saat tentu akan
berjumpa dengannya di perjalanan."
"Ehm.... Suropati tentu mempunyai seorang
yang dapat mewakili dirinya. Apakah saya bisa berjumpa dengannya?"
"Apakah Wirogundi yang kau maksud?" Carang Gati balas bertanya.
"Siapa Wirogundi?"
"Dia tangan kanan Suropati. Ilmu kepandaiannya sangat tinggi., Bila dibanding denganku, seperti bumi dan langit."
"Oh, begitu" Saya akan ke puncak Bukit Pangalasan sekarang," putus Saka Purdianta tanpa pertim-bangan lagi.
"Eit! Tunggu dulu!"
Hati Saka Purdianta langsung bersorak girang.
Pancingannya berhasil. Dia menghentikan langkah, lalu memandang wajah Carang Gati. Pura-pura tak mengerti maksud anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu. "Apakah tidak sembarang orang diperbolehkan
mengunjungi pemukiman perkumpulanmu itu, Kakang
Gati?" tanya pemuda tampan itu.
"Bukan begitu, Adi Saka. Seperti halnya Suropati. Wirogundi pun tidak berada di sana."
"Kalau begitu, di mana aku bisa menjumpai Wirogundi?" Carang Gati tampak berpikir. Namun akhirnya
dia berkata terus terang. "Wirogundi sedang menjalani hukuman..."
"Hukuman" Apakah dia mempunyai kesalahan?" Carang Gati mengangguk pelan. "Sejak kematian kekasihnya yang bernama
Anjarweni, hati Wirogundi dilanda kesedihan yang sangat. Pikirannya sering kali tak terkendali.
Sampai akhirnya dia berjumpa dengan seorang gadis yang bernama Yaniswara. Wajah
Yaniswara sangat mirip dengan Anjarweni. Mungkin
karena itulah Wirogundi hampir saja menodainya...,"
Saka Purdianta mengangguk-angguk. Raut wajahnya dibuat redup, seakan-akan ikut merasa prihatin atas peristiwa yang baru didengarnya.
"Tapi, untunglah Tuhan membuka mata hati
Wirogundi. Peristiwa memalukan yang akan mencoreng
nama besar Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
tidak sampai terjadi...."
"Aku turut bersyukur, Kakang Gati. Tapi, kenapa Wirogundi tetap menjalani hukumannya" "
"Wirogundi sangat menyesali perbuatannya,
namun pada mulanya dia tak mau mengatakan hal
yang sebenarnya. Dia harus bertapa di Danau Ular selama empat puluh hari empat puluh malam. Menurut
Kakek Gende Panjalu, dengan demikian Wirogundi
akan terbebas dari kekalutan yang terus menghantui
pikirannya."
"Ehm.... Kasihan sekali Wirogundi...," kata Saka Purdianta dengan penuh
keprihatinan. "Kau tadi menyebut 'Kakek Gede Panjalu', apakah dia sesepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti, kang Gati?"
"Ya."
"Suatu saat aku akan meminta beberapa wejangan darinya."
"Kakek Gede Panjalu selalu berada di puncak
Bukit Pangalasan, kecuali kalau ada urusan penting
yang memaksanya untuk turun bukit. Kau bisa menjumpainya di sana, Adi Saka...," Carang Gati tanpa ra-sa curiga sedikit pun
menceritakan kesemuanya.
"Terima kasih, Kakang Gati. Aku pasti akan
menjumpainya. Tapi, tidak sekarang. Aku masih mempunyai beberapa urusan...."
Saka Purdianta lalu membungkukkan badannya. Carang Gati membalas penghormatan itu. Mereka
pun berpisah. Carang Gati melangkahkan kakinya menuju kotapraja, sedangkan Saka Purdianta menuju
Danau Ular. "Ehm.... Sebentar lagi rimba persilatan akan
geger...," gumam Saka Purdianta dalam hati. "Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti akan mati
dengan cara mengenaskan. Suropati akan mati dengan
keadaan nista, penuh coreng-moreng di mukanya...."
Saka Purdianta tertawa terbahak-bahak.
Bayangan kemenangan sudah terpampang jelas di depan matanya. Maka dengan tak sabar dia berlari cepat, mengandalkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya.
*** Semua orang yang berada di depan pintu gerbang Perguruan Pedang Kencana membungkukkan
badannya dalam-dalam ketika Rani Paramita lewat di
hadapan mereka.
"Apakah Eyang Manik Rei berada di dalam?"
tanya Rani Paramita sesampai di pintu padepokan.
"Eyang Manik Rei belum turun dari semadinya,"
jawab seorang pemuda.
"Terima kasih. Kalau Eyang sudah menyelesaikan semadinya, tolong katakan pada beliau aku menunggu di halaman belakang."
"Baik."
Rani Paramita menepuk bahu pemuda di hadapannya, lalu kakinya melangkah. Di pelataran lapang
yang berada di belakang padepokan, Rani Paramita
melihat belasan pemuda sedang giat berlatih. Dada
mereka yang telanjang tampak berkilat-kilat karena
keringat. Mereka tak menghiraukan sengatan sinar
matahari yang hampir naik.
Rani Paramita tahu betul jurus yang sedang
dimainkan saudara-saudara seperguruannya itu adalah 'Desingan Pedang Membelah Gunung'. Belasan
pemuda itu murid utama Ki Ageng Manik Rei. Hanya
merekalah yang bisa memainkan jurus 'Desingan Pedang Membelah Gunung' Jurus itu memang tidak diberikan pada setiap murid-murid padepokan.
Rani Paramita duduk di undak-undakan batubatu. Hampir dia tak berkedip menatap setiap gerakan yang diperagakan kakakkakak seperguruannya. Dalam penguasaan jurus 'Desingan Pedang Membelah
Gunung' Rani Paramita sebenarnya tidak tertinggal
jauh. Hanya, dalam kekuatan tenaga dalam dia kalah.
Sehingga kelebatan pedang di tangan kakak-kakak seperguruannya terdengar lebih keras.
"Aneh...," pikir Rani Paramita. "Jurus 'Desingan Pedang Membelah Gunung' yang
dimainkan pemuda
bernama Saka Purdianta kenapa jauh lebih hebat" Padahal, kakak seperguruanku itu telah bertahun-tahun
mempelajari gerakan dasarnya. Saka Purdianta mengatakan dirinya bukan murid Eyang Manik Rei, tapi
kenapa dia dapat dengan mudah merobohkan Carang
Gati?" Rani Paramita tak meneruskan pikirannya. Dia dikejutkan oleh suara berat
berwibawa yang memanggil namanya.
"Eh, Eyang Manik Rei...," kata gadis cantik itu seraya memberi hormat
Di hadapan Rani Paramita telah berdiri seorang
kakek berusia tujuh puluh tahun. Dia memakai jubah
kuning. Walau kain jubahnya sangat longgar, tapi tak menutupi kegagahan kakek
itu yang mempunyai tubuh tinggi tegap. Wajah si kakek tampak bersih dan
memancarkan kewibawaan yang sangat. Janggutnya
putih pendek serta terawat rapi. Rambutnya dikuncir


Pengemis Binal 11 Dewa Guntur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi jalinan panjang. Dia adalah Ki Ageng Manik
Rei, pendiri Perguruan Pedang Kencana.
"Tidak seperti biasanya kau datang kemari, Rani...," kata kakek gagah itu. Ketika dia menyebut panggilan Rani Paramita, ada
getar penghormatan terselip di dalamnya.
"Saya mempunyai satu keperluan, Eyang...."
"Ehm.... Aku sudah menduganya. Tapi, biasanya urusan ayahanda mu yang meminta ku datang
ke istana."
"Ah, saya tidak ingin merepotkan Eyang. Saya
datang tidak membawa urusan penting. Namun, walau
begitu saya perlu membicarakannya secara langsung
dengan Eyang."
Ki Ageng Manik Rei merengkuh bahu Rani Paramita. Dibimbingnya gadis itu masuk ke ruang dalam.
"Saya baru saja berjumpa dengan seorang pemuda bernama Saka Purdianta. Dia memperagakan jurus 'Desingan Pedang Membelah Gunung'. Tapi, gerakannya sungguh sangat luar biasa. Dengan mudah dia
merobohkan Carang Gati yang memainkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing'...."
Rani Paramita menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya. Rupanya ke sinilah dia pergi ketika tadi berpamitan pada
Carang Gati dan Saka Purdianta.
"Saka Purdianta mengaku pernah bertemu dengan Eyang di Katumenggungan Lemah Abang, di wilayah Kerajaan Pasir Luhur. Dia mengatakan Eyang
pernah mengajar jurus 'Desingan Pedang Membelah
Gunung' kepadanya. Benarkah itu Eyang" Tapi kenapa
jurus yang dimainkannya lebih hebat dibandingkan
kakak-kakak seperguruan yang telah berlatih dasar jurus itu selama bertahuntahun?" Ki Ageng Manik Rei mengangguk-angguk pelan.
Rani Paramita kaget melihat perubahan raut wajah gurunya yang mendadak menjadi muram
"Ada apa, Eyang" Benarkah Eyang pernah
mengajarkan jurus 'Desingan Pedang Membelah Gunung' kepada Saka Purdianta?"
"Aku memang pernah berjumpa dengan pemuda itu di Katumenggungan Lemah Abang," aku Ki
Ageng Manik Rei.
"Jadi, benar Eyang telah mengajarkan jurus
'Desingan Pedang Membelah Gunung' kepada Saka
Purdianta?" tegas Rani Paramita.
"Jangan menyela cerita ku, Rani....." Ki Ageng Manik Rei buru-buru memotong.
"Peristiwa itu terjadi tujuh tahun yang lalu. Saat itu Saka Purdianta masih
berusia delapan belas tahun...."
Ki Ageng Manik Rei kemudian bercerita. Beliau
adalah seorang pengembara. Sebagian besar usianya
dipergunakan untuk malang melintang di rimba persilatan. Ketika sudah merasa tua, dia bermaksud berdiam di suatu tempat Ki Ageng Manik Rei datang
menghadap Tumenggung Sangga Percona.
"Di Katumenggungan Lemah Abang ini hamba
banyak melihat pemuda-pemuda gagah...," kata Ki Ageng Manik Rei pada waktu itu.
"Untuk itulah, hamba memberanikan diri menghadap Gusti Tumenggung.
Hamba meminta izin dari Gusti Tumenggung untuk
mendirikan sebuah perguruan silat..."
"Ehm.... Perguruan silat apa?" tanya Tumenggung Sangga Percona penuh selidik.
"Hamba mempunyai kepandaian memainkan
senjata pedang. Pedang hamba itu bernama Pedang
Kencana. Oleh sebab itu, hamba akan mendirikan suatu perguruan yang diberi nama Perguruan Pedang
Kencana." "Tujuannya?"
"Para murid akan hamba bekali ilmu olah kanuragan untuk membela diri dari kekuatan jahat yang
mengancam. Hamba akan didik mereka menjadi pendekar-pendekar yang selalu berjalan di atas kebenaran dan keadilan...."
Tak pernah disangka oleh Ki Ageng Manik Rei,
Tumenggung Sangga Percona akan tertawa bergelak
mendengar penuturannya. Dia pun menuding-nuding
muka Ki Ageng Manik Rei.
"Hei, Manik Rei! Tampangmu tak lebih bagus
dari kerbau dicocok hidungnya! Aku curiga kau mempunyai maksud buruk. Kau hanya mencari ketenaran!
Setelah itu, suatu saat kau tentu akan mengajak murid-muridmu untuk memberontak kepadaku! Itu tak
akan terjadi, Manik Rei! Kepandaianmu hanya sedalam
cawan dan setinggi telapak kaki!"
Tentu saja Ki Ageng Manik Rei terkejut dan merasa tersinggung. Dia mencoba bersabar. Sekali lagi di-jelaskan maksudnya untuk
mendirikan Perguruan Pedang Kencana. "Tak pernah terbersit dalam benak hamba merebut tahta seorang pejabat, Gusti Tumenggung. Hamba hanyalah seorang pengembara yang tak mengerti
ilmu pemerintahan. Hamba hanya ingin mendirikan
Perguruan Pedang Kencana untuk mengamalkan kepandaian ilmu silat hamba...."
"Ha ha ha...! Kalau begitu, kau sudah merasa
sangat yakin akan kemampuanmu. Baik! Sepuluh
orang prajurit akan menguji kemampuanmu, Manik
Rei!" Akhirnya, ilmu silat Ki Ageng Manik Rei benar-benar teruji. Di depan
pendopo sepuluh orang prajurit kekar bersenjata tombak dan pedang mengeroyok
tokoh tua itu. Dengan hanya mengandalkan jurus-jurus
tangan kosong, Ki Ageng Manik Rei dapat merobohkan
lawan-lawannya.
Walau para prajuritnya tidak ada yang mengalami luka parah, Tumenggung Sangga Percona tetap
murka. Dia merasa dilecehkan oleh Ki Ageng Manik
Rei. "Jangan terlalu bangga karena berhasil merobohkan sepuluh prajuritku, Manik Rei! Mendirikan
perguruan silat tidak semudah yang kau kira. Pendirinya harus seorang yang pilih tanding. Itu untuk menjaga nama baik perguruan
yang hendak didirikannya.
Karena itu, akan ku jajal kemampuanmu, Manik Rei!"
Mendengar ucapan Tumenggung Sangga Percona, Ki Ageng Manik Rei langsung tercekat Tumenggung
Sangga Percona adalah seorang pejabat yang mempunyai ilmu olah kanuragan tinggi. Tapi, bukan karena
itu hati Ki Ageng Manik Rei jadi bingung. Tumenggung Sangga Percona seorang
pejabat yang cukup terpandang, mana berani Ki Ageng Manik Rei menjatuhkan
tendangan dan pukulan kepadanya"
Selagi Ki Ageng Manik Rei sedang berpikir-pikir,
datang seorang remaja tampan. Dia menyebut namanya Saka Purdianta, putra tunggal Tumenggung
Sangga Percona.
"Hei, Pak Tua! Untuk menjajal kemampuanmu,
aku akan mewakili ayahku. Aku tak ingin tangan
ayahku ternoda karena menyentuh kulit tubuhmu
yang kotor!"
Tumenggung Sangga Percona tertawa terbahakbahak. "Baik! Kau wakili ayahmu ini, Saka. Hajar orang tua yang terlalu sok
itu!" Hati Ki Ageng Manik Rei jadi semakin tak karuan. Tapi, dia tak mempunyai waktu lama untuk berpikir. Saka Purdianta telah menyerangnya dengan penuh nafsu membunuh!
Mau tak mau Ki Ageng Manik Rei mesti melayaninya. Karena tak mau melihat Saka Purdianta terluka, Ki Ageng Manik Rei
bertempur dengan menggunakan tangan kosong. Tokoh tua itu terkejut setengah mati mendapati kelihaian
Saka Purdianta. Remaja
tampan itu tak bersenjata, namun kedua telapak tangannya mengeluarkan suara gemuruh yang memekakkan gendang telinga. Serangannya selalu mengincar jalan kematian.
Ki Ageng Manik Rei terdesak. Keadaan ini terjadi karena Ki Ageng Manik Rei tak sungguh-sungguh
dalam memberikan perlawanan. Ilmu silat tokoh tua
itu pun sebenarnya bertumpu pada jurus-jurus pedang. Namun, ketika Ki Ageng Manik Rei telah merasakan tendangan dan pukulan Saka Purdianta, tokoh
tua itu mencabut Pedang Kencananya dengan sangat
terpaksa. Ki Ageng Manik Rei memainkan jurus 'Desingan
Pedang Membelah Gunung' untuk mendesak Saka
Purdianta. Putra Tumenggung Sangga Percona itu
mencoba terus memberikan perlawanan. Padahal kelebatan pedang Ki Ageng Manik Rei telah mengurungnya. Kalau mau, tokoh tua itu bisa saja membuatnya
celaka. "Akuilah kekalahanmu, Nak Mas...," kata Ki Ageng Manik Rei.
"Tidak! Aku belum kalah!"
Saka Purdianta tak mau mundur. Karena tak
melihat cara lain untuk menyadarkan remaja tampan
itu, Ki Ageng Manik Rei menggores bahu kirinya.
Melihat putra tunggalnya terluka, Tumenggung
Sangga Percona semakin murka. Diperintahkannya seluruh prajurit Katumenggungan untuk menangkap Ki
Ageng Manik Rei. Tokoh tua itu lalu dijebloskan ke dalam penjara.
Untunglah, ada seorang prajurit yang tak tahan
melihat kesewenang-wenangan Tumenggung Sangga
Percona. Dia melaporkan peristiwa itu kepada Prabu
Singgalang Manjunjung Langit. Akhirnya, Ki Ageng
Manik Rei dapat keluar dari penjara. Tumenggung
Sangga Percona hanya mendapat teguran. Dengan kelicikannya pejabat itu dapat meyakinkan Prabu Singgalang Manjunjung Langit kalau peristiwa yang terjadi timbul karena
kesalahpahaman semata.
3 "Begitulah ceritanya, Rani..," Ki Ageng Manik Rei mengakhiri penuturannya. "Aku
kemudian meneruskan pengembaraan untuk dapat mendirikan Perguruan Pedang Kencana. Sampai akhirnya aku sampai di
tempat ini."
"Kalau begitu, Eyang tidak mengajarkan jurus
'Desingan Pedang Membelah Gunung' kepada Saka
Purdianta. Tapi kenapa pemuda itu bisa memainkannya, bahkan lebih hebat dariku yang telah belajar sekian tahun kepada Eyang?"
"Saka Purdianta seorang pemuda yang cerdas
dan sangat berbakat. Aku mempunyai dugaan ketika
kau sedang bertempur dengan Carang Gati, Saka Purdianta telah menghapalkan setiap gerakan jurus
'Desingan Pedang Membelah Gunung'."
"Kenapa dia mengatakan Eyang yang mengajarkan jurus pedang itu?"
"Entahlah. Aku juga tak tahu maksudnya. Tapi,
pada saatnya nanti kita pasti mengetahuinya. ..."
"Terima kasih atas cerita Eyang. Karena hari telah menjelang sore, saya harus
kembali ke istana."
Ki Ageng Manik Rei melepas kepergian putri
Prabu Arya Dewantara itu dengan senyum lebar. Namun begitu lenyap sosok Rani Paramita, lenyap pula
senyuman Ki Ageng Manik Rei.
"Ada apa di balik kebohongan Saka Purdianta
itu?" tanya Ki Ageng Manik Rei dalam hati. "Kedatan-gannya di wilayah Kerajaan
Anggarapura ini apakah
memang ada urusan penting atau hanya kebetulan saja" Ah, kenapa perasaanku jadi tidak enak" Mungkinkah ini firasat buruk?"
*** Danau Ular memang tak seberapa lebar. Namun, dari kemilau airnya yang jernih dan tampak tenang terkandung ancaman yang mengerikan. Pada tepinya tersembunyi ratusan liang ular berbisa. Bila di-perhatikan dengan seksama,
air danau yang jernih
pun banyak menunjukkan gerakan-gerakan aneh. Tubuh ular besar dan kecil terlihat meluncur gesit di bawah permukaan air.
Pada bagian tengah danau terdapat sebongkah
baru besar yang mencuat ke atas menyembul permukaan air. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
dua tahun tampak duduk tenang di atasnya. Tak selembar benang pun menempel di tubuh pemuda kunis
itu. Wajahnya cukup tampan, tapi menggambarkan
kedukaan yang sangat. Rambutnya dibiarkan tergerai
riap-riapan. Dia duduk bersila dengan kelopak mata tertutup rapat. Yang membuat pemandangan jadi sangat
menggiriskan adalah karena pinggang si pemuda terbelit seekor ular hitam sebesar paha manusia dewasa.
Di bahu kirinya terselampir beberapa ekor ular kecil.
Walaupun ular-ular itu tampak ganas tapi tak berani
mengusik si pemuda yang sedang bertapa brata.
Dia adalah Wirogundi. Pemuda itu harus menjalani hukumannya untuk bertapa di Danau Ular selama empat puluh hari empat puluh malam.
Mentari sudah memayung ke barat ketika seorang remaja tampan berpakaian penuh tambalan berdiri tegak di pinggiran danau. Rambut panjangnya
yang dibiarkan tergerai berkibaran dimainkan angin.
Matanya tak lepas menatap Wirogundi.
"Ehm.... Inikah pemuda yang sedang menjalani
tapa brata itu?" gumam si remaja tampan. "Wajahnya muram. Rupanya dia benarbenar sedang patah hati."
Remaja tampan itu tahu Wirogundi tak mungkin dibangunkan dengan panggilan lahir. Maka, dia
segera memejamkan mata dengan tangan bersedekap.
Hendak ditembusnya alam pikiran Wirogundi.
Pertama-tama yang ditemuinya hanyalah ruang
gelap sangat pekat. Ruang gelap itu perlahan diterangi seberkas cahaya, hingga
kemudian menjadi sebuah
pancaran besar berserat kuning. Ruang gelap itu lenyap, berganti dengan hamparan tanah luas tiada bertepi. Cahaya putih kuning memancar terang benderang. Si remaja tampan menambah kekuatan batinnya. Di ruang luas tiada bertepi itu muncullah sosok Wirogundi yang sedang duduk
bersila. "Pendekar Patah Hati...," panggil si remaja tampan. Dia menunggu sejenak. Tapi
jawaban yang dinantinya tak muncul. Maka, diulanginya panggilan itu sekali lagi.


Pengemis Binal 11 Dewa Guntur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pendekar Patah Hati...."
"Siapa yang kau panggil" Dan di mana wujud
mu, aku tak tahu...."
"Yang kupanggil adalah kau, Wirogundi. Kau
tak tahu wujud ku karena aku hanyalah pancaran kekuatan batin."
"Menyingkirlah! Jangan ganggu tapa ku!" bentak Wirogundi yang merasa terusik.
"Ada tugas yang harus segera kau laksanakan,
Pendekar Patah Hati. Hentikan dulu tapamu sampai di
sini!" "Kau menyebut aku dengan 'Pendekar Patah Hati', aku tak suka! Dan, aku
tak tahu siapa kau. Kenapa menyampaikan tugas kepadaku?"
"Aku orang yang sangat dekat denganmu. Aku
adalah pemimpinmu. Karena itu, aku berhak memberi
julukan dan tugas kepadamu...."
"Kau Suropati?"
"Bawa alam pikiranmu ke alam nyata. Bukalah
matamu. Lihat baik-baik siapa yang sedang berdiri di hadapanmu!"
"Tidak! Ini baru memasuki hari kesepuluh. Tapa ku belum selesai. Aku tak ingin melanggar perintah Kakek Gede Panjalu."
"Dengar, Pendekar Patah Hati! Aku datang atas
nama perkumpulan. Itu berarti Kakek Gede Panjalu telah menyetujui. Maka, kau tak perlu ragu. Selesaikan tapamu cukup sampai di
sini!" Tubuh Wirogundi yang telah mati rasa tampak
bergetar. Perlahan-lahan rasa lahirnya kembali. Dia
dapat merasakan hembusan angin yang menyentuh
kulitnya. Ketika Wirogundi membuka mata, terkejutlah dia mengetahui tubuhnya
dijadikan tempat bertengger
beberapa ekor ular. Dia juga melihat seorang remaja
tampan berdiri tegak di pinggir danau, menatap ke
arahnya. "Suropati...," desis Wirogundi.
"Segeralah kau menepi, Pendekar Patah Hati."
Dengan usapan lembut Wirogundi menurunkan beberapa ekor ular kecil yang bergelayutan di bahu kirinya.
Lalu, dia mengelus pelan ular besar yang melingkar di pinggangnya. Ular itu
menurut saja ketika Wirogundi
membetot tubuhnya untuk dimasukkan ke dalam air
danau. Sekejap mata kemudian tubuh Wirogundi melesat ke atas dan mendarat ke tepian. Dikenakannya
pakaian yang penuh tambalan, lalu berjalan ke arah
remaja tampan yang sedang menunggunya.
"Apakah Kakek Gede Panjalu tidak akan marah
kau membangunkan aku sebelum waktunya, Suro?"
"Jangan khawatir...," kata si remaja tampan yang dipanggil Suropati. "Apa yang
kulakukan tentu saja atas persetujuan beliau. Ketahuilah, ada tugas
penting yang harus kau lakukan hari ini juga."
"Tugas apa?"
"Kau tahu Rani Paramita?" tanya si remaja
tampan. "Putri Prabu Arya Dewantara?"
"Ya. Kau harus membawa gadis itu ke hadapanku. Kutunggu di sini sampai kokok ayam pertama.
Lewat dari waktu yang telah kutentukan, Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti tak layak menerima kehadiranmu, persaudaraan di antara kita pun harus putus!"
"Suro! Apa yang kau katakan"!" Wirogundi terkejut setengah mati. "Bagaimana aku
bisa menculik putri Prabu Arya Dewantara" Bukankah itu perbuatan
jahat yang akan membuat murka Baginda Prabu?"
"Aku mempunyai urusan dengan Rani Paramita. Kau tak perlu khawatir. Aku tak akan mencelakai
gadis itu."
"Istana selalu dijaga ketat. Bagaimana kalau
aku ketahuan?"
"Itu aku tak mau tahu. Yang penting, kau harus membawa Rani Paramita ke tempat ini nanti malam, sebelum kokok ayam pertama."
"Tapi...."
"Kau bukan orang bodoh. Aku sangat yakin
akan kemampuanmu!" sergah si remaja tampan.
"Tidakkah ini akan mencemarkan nama baik
perkumpulan kita?" Wirogundi mencoba bertanya,
"Tidak! Segera kau berangkat sekarang. Dan,
tancapkan ini di dinding dalam Istana!"
Sambil berkata demikian, si remaja tampan
mengeluarkan sebilah bambu dari balik bajunya. Separuh panjang bilah bambu dililit selembar kulit
kambing. Tampaknya itu sebuah pesan. Dengan hati
ragu dan penuh tanda tanya, Wirogundi menerima
pemberian si remaja tampan.
"Pesan ini sangat rahasia, Pendekar Patah Hati.
Hanya orang istana yang boleh mengetahuinya" Wirogundi mengangguk pelan.
"Berangkatlah sekarang.
Semoga Tuhan melindungimu...."
Wirogundi menatap dalam-dalam wajah si remaja tampan "Aku sadar sepenuhnya hati kecilku menolak
untuk melaksanakan perintahmu. Tapi, apa boleh
buat. Aku tak mau meninggalkan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Terlebih memutuskan tali persaudaraan di antara kita, Suro...."
Selesai berkata, Wirogundi segera membalikkan
badan dan berkelebat cepat meninggalkan Danau Ular.
"Tuhan melindungimu, Pendekar Patah Hati!"
Teriakan si remaja tampan menggema, mengiringi kelebatan tubuh Wirogundi.
*** Sang Dewi Malam mengambang di langit hitam.
Perguruan Pedang Kencana tampak lengang. Para murid sebagian besar tengah beristirahat di biliknya masing-masing. Pintu gerbang
halaman depan tertutup rapat. Hanya empat orang pemuda yang tampak berjagajaga di depan pintu padepokan yang dibangun seperti
rumah joglo. Di ruang belakang, seorang gadis tengah sibuk
meramu dedaunan obat. Wajah gadis itu cukup cantik.
Namun terlihat lugu sekali. Rambutnya hitam panjang
dikepang dua. Lampu damar yang bercahaya terang
menggambarkan lekuk liku tubuh si gadis yang padat
berisi. Buah dadanya tampak membusung. Karena dia
mengenakan kebaya, belahan daging kenyal itu terlihat
jelas. Pinggangnya ramping dengan pinggul besar menantang. Kain yang dikenakannya sedikit naik, sehing-ga menampakkan sepasang
betis yang indah.
Tangan si gadis sangat cekatan meramu dedaunan obat yang berserak di meja. Tak lama kemudian, dia menuang air rebusan dedaunan ke dalam gelas kecil. Dibawanya keluar gelas itu dengan menggunakan nampan. "Eyang...," panggil gadis itu setelah sampai di depan bilik Ki Ageng Manik Rei.
"Masuklah, Pertiwi...," terdengar sahutan dari dalam. Gadis yang dipanggil
Pertiwi ini membuka pintu. Diletakkannya nampan di hadapan Ki Ageng Manik
Rei yang sedang duduk bersila di atas tikar pandan.
Ki Ageng Manik Rei langsung meminum air rebusan dedaunan obat yang diramu muridnya. Kedua
mata tokoh tua itu menyipit ketika merasakan pahit.
Buru-buru dia menyambut kendi berisi air putih yang
disodorkan Pertiwi.
"Pahit, Eyang?" tanya gadis itu seraya menerima kendi kembali. Kemudian,
diletakkannya di meja
pojok ruangan. "Tentu saja pahit, Pertiwi...," kata Ki Ageng Manik Rei setelah mengusap
bibirnya dengan ujung lengan jubah. "Tapi, sesuatu yang manis biasanya memang harus ditebus dengan
kepahitan dulu. Sama
halnya dengan kebahagiaan. Kebahagiaan akan datang
apabila seseorang telah mengalami penderitaan. Namun, terkadang kebahagiaan tak kunjung datang walau seseorang telah melakukan pengorbanan. Di sinilah orang itu diuji ketabahannya atas cobaan yang di-berikan Tuhan."
"Saya mengerti, Eyang."
Pertiwi mengambil nampan. Ia hendak beranjak
keluar ruangan. Tapi, Ki Ageng Manik Rei segera mencegah. "Ada apa, Eyang?"
"Aku merasa malam ini tidak seperti biasanya...."
"Maksud, Eyang?"
"Apakah kau tidak merasakan sesuatu, Pertiwi"
Perasaan wanita biasanya lebih peka."
"Saya tidak merasakan apa-apa. Hanya, udara
malam ini memang terasa lebih dingin," sahut Pertiwi.
"Kau tidak merasakan hal yang aneh?" tegas Ki Ageng Manik Rei.
"Tidak."
"Ehm.... Mudah-mudahan firasatku yang salah," gumam kakek itu kemudian ketika melihat gelen-gan kepala Pertiwi.
"Firasat apa, Eyang?" tanya Pertiwi ingin tahu.
"Ah, tidak. Segeralah kau beristirahat di bilik-mu. Hari sudah larut malam...."
Pertiwi segera keluar ruangan. Setelah menutup
daun pintu, gadis itu tampak termangu.
"Tidak seperti biasanya Eyang Manik Rei bersikap seperti itu. Raut wajahnya seperti menggambarkan kekhawatiran yang sangat.
Ada apa, ya?" gumam gadis itu seorang diri.
Pertiwi berjalan sambil berpikir-pikir. Sesampai
di biliknya, dia merebahkan tubuh di pembaringan.
Tapi, kelopak matanya tak mau diajak terpejam.
Bayangan-bayangan buruk tiba-tiba saja muncul di
benaknya. "Aneh.... Kenapa perasaanku menjadi tidak
enak?" Pertiwi menjadi gelisah bukan main.
Sementara di luar sepi memagut. Hawa dingin
laksana menjerat tulang. Jangkrik dan satwa-satwa
tanah lainnya tak memperdengarkan suaranya. Ketika
gumpalan awan menutupi bulan, pelataran Perguruan
Pedang Kencana jadi gelap pekat.
Empat pemuda yang berjaga di depan pintu pedepokan mendongak ke atas. Mereka seperti menyayangkan sang Dewi Malam yang menghilang di balik awan. "Banyak benar gumpalan awan di langit. Apakah hari akan turun hujan?" kata salah seorang dari mereka.
"Mungkin tidak. Malam ini udara sangat dingin.
Hujan akan turun bila udara terasa gerah," sahut temannya.
"Kenapa bulu kudukku tiba-tiba meremang?"
temannya yang lain menimpali.
"Aku juga. Perasaanku terasa tak karuan...."
"Mungkinkah akan terjadi sesuatu yang tak kita inginkan?"
Di atas, gumpalan awan semakin bertumpuktumpuk. Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh. Semakin lama semakin keras. Lalu, cahaya kilat menyambar. Dan....
Blaaarrr...! Petir menerjang padepokan. Bangunan yang
mirip rumah joglo besar itu langsung hancur berantakan. Genteng berhamburan ke segala penjuru angin.
Pilar-pilar kayu jati roboh. Dindingnya yang terbuat dari bilah-bilah papan tak
luput dari kehancuran!
Jerit kesakitan para murid yang tubuhnya tertindih kayu-kayu bangunan segera membahana. Sunyi
malam dipecahkan suara hiruk-pikuk. Belasan pemuda yang dapat menyelamatkan diri dari reruntuhan
berloncatan ke pelataran. Namun belum sempat mereka menarik napas lega, jarum-jarum hitam telah membuat tubuh mereka kejang, lalu menggelosor ke tanah
dalam keadaan tanpa nyawa!
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa terbahak-bahak. Perlahan-lahan gumpalan awan di langit lenyap. Sang Dewi
Malam menampakkan diri kembali. Terlihatlah kini sosok si pemilik suara tawa. Dia mengenakan pakaian
penuh tambalan. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai. Hembusan angin malam mempermainkannya. Matanya berkilat tajam penuh ancaman
kematian. "Ki Ageng Manik Rei...!" teriak sosok itu yang ternyata seorang remaja tampan.
"Saya datang hendak menjajal kepandaian!"
Tak terdengar suara jawaban. Tapi tak lama
kemudian dari puing-puing reruntuhan muncul sesosok bayangan. Sosok itu berkelebat cepat dan mendarat tepat tiga tombak di hadapan di hadapan si remaja tampan.
Beberapa lama Ki Ageng Manik Rei menatap
puing-puing padepokannya. Hatinya terpukul bukan
main. Terlebih saat dia mengetahui tak satu pun para muridnya yang selamat.
Puluhan orang mati dengan
tubuh tergencet reruntuhan bangunan. Belasan lainnya berserakan di pelataran dengan mulut menganga
dan mata mendelik, terkena serangan jarum-jarum hitam. Si remaja tampan tertawa bergelak melihat kelakuan Ki Ageng Manik Rei. Terkejutlah Ki Ageng Manik Rei saat melihat lebih jelas wajah tokoh muda itu.
"Kau... kau...," Ki Ageng Manik Rei tergagap.
"Ha ha ha...! Tampangmu mirip kerbau tua
yang mendekati liang kubur, Manik Rei. Apakah kau
kaget melihat kehadiranku" Lihat baik-baik wajahku!
Jangan sampai kau salah lihat!"
Ki Ageng Manik Rei mempertajam penglihatannya. Apa yang dilihatnya tetap seperti semula. Sosok yang sedang berdiri di
hadapannya adalah Suropati
atau si Pengemis Binal, Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti!
"Ah, tak mungkin...!" Ki Ageng Manik Rei mem-bantah dalam hati. "Bagaimana
mungkin tokoh muda yang sangat kesohor sebagai seorang pendekar perkasa dapat
melakukan tindakan sebiadab ini" Apakah dia
telah menjadi budak iblis?"
"Ha ha ha...! Apa yang sedang kau pikirkan,
Manik Rei. Matamu tak salah melihat. Aku memang
Suropati, Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Sekali lagi kukatakan, kedatanganku ke sini
adalah untuk menjajal kepandaianmu. Maaf bila hal
ini sangat mengejutkanmu!"


Pengemis Binal 11 Dewa Guntur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak peduli siapa kau, Anak Muda! Kucincang tubuhmu untuk kujadikan santapan anjing.!"
"Ha ha ha...! Lakukan bila kau mampu, Manik
Rei!" "Matilah kau, Gembel Busuk!"
Dengan hawa amarah memenuhi isi dada, KI
Ageng Manik Rei mencabut Pedang Kencananya. Pedang baja bersepuh emas itu langsung memancarkan
cahaya gemerlap saat cahaya rembulan menimpa.
Cahaya gemerlap itu melengkung, dan menjadi
lingkaran besar tatkala Ki Ageng Manik Rei menggerakkan tangan kanannya. Gemuruh keras terdengar.
Lalu, berubah menjadi suara desingan yang sanggup
menggetarkan isi dada.
Si remaja tampan segera meloncat ke samping
ketika kelebatan cahaya keemasan menghujam ke
arahnya. Tapi, ujung pedang Ki Ageng Manik Rei terus memburu. Sebentar kemudian
tubuh si remaja tampan
telah terkurung cahaya keemasan!
"Jurus 'Desingan Pedang Membelah Gunung'
hanya cocok untuk menyembelih seekor babi, Manik
Rei!" Walau Malaikat Kematian sedang mengincar nyawanya, si remaja tampan masih
sempat berkata demikian. Sadarlah Ki Ageng Manik Rei, kelebatan pedangnya hanya dapat mengurung lawan tanpa mampu
melukai. "Keluarkan seluruh kemampuanmu, Manik
Rei!" tantang si remaja tampan.
"Baik! Terimalah jurus 'Letusan Pedang Merontokkan langit'!"
"Ha ha ha.... Nama jurus pedangmu sangat hebat. Sampai di mana kehebatannya, ingin kulihat!"
Ki Ageng Manik Rei menggeram laksana harimau terluka. Cepat dia merubah gerakan jurus pedangnya. Wujud pedang mendadak lenyap menjadi kilatan cahaya keemasan. Setiap tebasan yang dilakukan tokoh tua itu menimbulkan
suara ledakan dahsyat.
Apabila Ki Ageng Manik Rei membarengi kelebatan pedangnya dengan teriakan, bumi terasa berguncang!
Si remaja tampan terperangah. Namun, senyum
lebar segera mengembang. Tokoh muda itu melenting
ke atas lalu keluar dari kurungan cahaya keemasan.
"Matilah kau!" teriak Ki Ageng Manik Rei. Pedang di tangan Ketua Perguruan Pedang Kencana itu
mengejar, berusaha membabat pinggang si remaja
tampan. Namun selarik sinar hitam meluncur cepat!
Trang...! Ki Ageng Manik Rei terkejut bukan main bagai
disambar geledek di siang bolong. Pedang Kencananya
lepas dari pegangan. Dan, terlontar entah ke mana....
"Ha ha ha...! Bagaimana, Manik Rei" Apakah
harus kita lanjutkan pertempuran ini" Kalau kau tidak sanggup, segera
berlututlah di hadapanku!"
"Bedebah! Iblis Laknat! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!" Ki Ageng Manik Rei berang sekali. Wajahnya merah padam menahan amarah
"Kau tak layak mengadu jiwa denganku. Kau
yang sudah loyo hanya pantas bergelut dengan babi
betina. Ha ha ha...!"
Mendengar ucapan yang begitu kasar, darah Ki
Ageng Manik Rei naik sampai ke ubun-ubun. Walau
sebenarnya dia tokoh tua yang tidak gampang naik darah, tapi karena dihina sedemikian rupa, meledak juga amarahnya. Dengan nekat
dia menerjang si remaja
tampan Yang diserang hanya tertawa keras. Secepat kilat tubuhnya meluncur.
Plaaakkk...! Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Ki
Ageng Manik Rei. Walau si remaja tampan hanya mengerahkan seperdelapan dari kekuatan tenaga dalam Anak Pendekar 17 Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Dandara Dendam Empu Bharada 18

Cari Blog Ini