Ceritasilat Novel Online

Dendam Anak Pengemis 2

Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis Bagian 2


'"Kau sudah menemukannya, Ki?" tanya Dipa Sentana lagi.
"Sudah, tapi lolos!" masih bernada sengit jawaban Ki Jayakrama.
"Lolos...?" Dipa Sentana terheran-heran mendengarnya. Rasanya mustahil kalau si
Gembel itu bisa lolos dari tangan laki-laki tua yang memiliki tingkat kepandalan tinggi ini. Dipa Sentana menatap dalam-dalam wajah laki-laki tua di
sebelahnya. "Dipa! Sudah kubilang, jaga anak itu! Dia bisa jadi penghalang semua tujuan
kita!" kata Ki Jayakrama seraya memalingkan mukanya menatap pada Dipa Sentana.
"Aku tidak mengerti yang kau maksud, Ki." kata Dipa Sentana dengan alis bertaut
menjadi satu. "Huh! Kau benar-benar bodoh. Dipa! Apa sih
untungnya memperhatikan anak itu" Bertindaklah yang tegas, Dipa. Anak itu sudah
berani mencampuri urusan kita! Bahkan terang-terangan membela si Gembel itu!"
rungut Ki Jayakrama.
"Puspa Ningrum, maksudmu?" tebak Dipa Sentana.
"Siapa lagi yang kau anggap adik, heh"!"
Dipa Sentana terdiam. Tidak disangka kalau
kekesalan hati Ki Jayakrama juga disebabkan Puspa Ningrum. Memang sudah diduga
kalau Puspa Ningrum juga dapat menemukan Gota, dan menghalangi maksud Ki
Jayakrama untuk membunuhnya. Tapi Dipa Sentana juga tidak percaya begitu saja.
Dia kenal betul Ki Jayakrama, yang merupakan seorang tokoh berilmu tinggi.
Sikapnya, tidak pernah memandang saudara atau kerabat untuk meraih semua
keinginannya. Rasanya tidak masuk akal kalau Ki Jayakrama mengalah begitu saja kepada Puspa
Ningrum. Terlebih lagi, gadis itu menghalangi maksudnya untuk membunuh Gota.
Sejak usia lima belas tahun Dipa Sentana selalu mengikuti Ki Jayakrama, dan tahu
betul watak laki-laki tua ini. Baginya membunuh manusia sama saja dengan
menyembelih ayam!
"Dipa! Kau boleh-boleh saja membalas budi, tapi jangan sampai menyulitkan dirimu
sendiri. Sejak semula aku tidak setuju kalau anak itu ada di sini. Sekarang
sudah terbukti kalau dia jadi penghalang besar bagimu!
Kau harus ingat cita-cita ayahmu, dan janjimu sendiri di hadapan pusara ayahmu!"
jelas Ki Jayakrama tanpa memberi kesempatan Dipa Sentana untuk membuka mulut
Kepala Desa Watu Gayam itu hanya berdiam diri saja.
Sedikit pun tidak ada keberanian untuk membantah setiap kata yang dikeluarkan
laki-laki tua ini. Kalau bukan karena Ki Jayakrama, mungkin dirinya sudah tidak
ada lagi di dunia. Kalaupun masih hidup, pasti nasibnya jauh lebih buruk lagi
daripada Gota sekarang
ini. Di lain pihak, dirinya juga tidak setuju kalau harus menyingkirkan Puspa
Ningrum. Biar bagaimanapun dia tetap sayang pada adiknya. Di samping itu pula,
dia pun harus selalu patuh pada Ki Jayakrama, meskipun hidup laki-laki tua itu
selalu bergelimang noda dan darah. Dipa Sentana tidak akan pernah melupakan jasa
baik seseorang yang telah menyelamatkan nyawanya dari maut.
"Apa yang kau pikirkan, Dipa?" tegur Ki Jayakrama melihat Dipa Sentana hanya
diam tertunduk.
"Tidak ada," sahut Dipa Sentana mendesah seraya mengangkat kepalanya.
"Dipa, urusan Puspa Ningrum adalah urusanmu. Aku tidak ingin mencampuri,
meskipun dia telah lancang mencampuri urusanku. Hanya satu yang kuinginkan, kau
harus tegas melarang adikmu keluar rumah sebelum kubereskan si Gembel itu!"
tegas kata-kata Ki Jayakrama.
"Tidak mungkin, Ki. Dia juga punya hak di rumah ini.
Bahkan..."
"Dipa!" sentak Ki Jayakrama keras, memotong ucapan Dipa Sentana.
"Ki..., selama ini selalu kuturuti dan kuhormati keberadaanmu. Karena kau adalah
guruku, sekaligus ayah angkatku. Tapi untuk yang satu ini.... Rasanya sukar
sekali, Ki," kata Dipa Sentana seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku tidak peduli dengan segala macam alasanmu, Dipa. Tujuan kita tidak boleh
putus di tengah jalan. Kau mengerti itu, Dipa!" agak keras nada suara Ki
Jayakrama. Dipa Sentana terdiam.
Ki Jayakrama bangkit berdiri begitu matanya melihat Puspa Ningrum melangkah
menghampiri. Gadis itu menatap tidak senang pada Ki Jayakrama, namun tetap
menghampiri tempat itu. Sedangkan tanpa berkata-kata
lagi, Ki Jayakrama berlalu meninggalkan taman belakang ini. Puspa Ningrum
memandang kepergian laki-laki tua itu, kemudian duduk di samping kakaknya.
"Dari mana kau, Puspa?" tanya Dipa Sentana berusaha tersenyum. Namun senyum itu
terasa amat dipaksakan, dan getir sekali.
"Jalan-jalan." sahut Puspa Ningrum menatap wajah laki-laki setengah baya di
sampingnya "Ada apa, Kakang" Kelihatannya kusut sekali "
"Tidak ada apa-apa," sahut Dipa Sentana seraya mendesah panjang. Dia bangkit
berdiri dan melangkah pelahan-lahan mendekati kolam, di tengah-tengah taman ini.
Puspa Ningrum memandangi laki-laki yang selalu dianggap sebagai kakak satusatunya. Dirasakan kalau ada sesuatu di dalam diri Dipa Sentana. Tadi sempat
dilihatnya pandangan mata Ki Jayakrama, yang menyiratkan begitu banyak misteri
yang terkandung di dalamnya. Puspa Ningrum ikut bangkit dan melangkah mengikuti
Dipa Sentana yang sudah sampai di tepi kolam.
*** 4 Malam ini Puspa Ningrum tampak gelisah di
kamarnya yang besar dan cukup indah. Sudah larut malam, tapi gadis itu belum
dapat tidur juga.
Memejamkan mata saja rasanya sulit. Dia berjalan mondar-mandir di dalam
kamarnya. Maksudnya datang ke sini sebenarnya untuk mencari ketenangan setelah
ibunya meninggal dunia. Semua kenangan di
Padepokan Tapak Wisa di Gunung Ketanggungan ingin dilupakannya.
Malam terus merayap semakin larut. Namun Puspa Ningrum masih juga belum bisa
tenang. Sejak berada di Desa Watu Gayam ini, sudah beberapa kali ditemukan
persoalan yang dirasakan begitu janggal. Dia juga tidak mengerti akan sikap
kakaknya yang melarangnya keluar dari rumah dalam beberapa hari ini. Pikirannya
terpaut pada pemuda kurus kering yang dijuluki si Gembel.
Entah mengapa, Puspa Ningrum merasakan ada
sesuatu setiap kali menatap mata pemuda yang bertubuh kurus kering itu. Puspa
Ningrum melangkah menghampiri jendela, dan membukanya lebar-lebar.
Angin malam yang dingin, langsung menerpa wajahnya begitu jendela kamar itu
terbuka lebar. Sambil berdiri mematung, dipandanginya bulan penuh yang
bergelayut di langit kelam. Pikirannya kembali tertuju pada Gota.
"Gota..." desah Puspa Ningrum tanpa sadar.
Puspa Ningrum menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik. Pada saat itu, sebuah
bayangan hitam melesat masuk melalui jendela. Puspa Ningrum terkejut setengah
mati, sampai-sampai terpekik tertahan. Tapi bayangan hitam itu lebih cepat lagi
bergerak menotok jalan darah gadis itu, sebelum Puspa Ningrum sempat melakukan
sesuatu. "Oh...," Puspa Ningrum langsung jatuh lunglai ke lantai kamarnya.
Hanya sesaat dia bisa melihat orang berbaju serba hitam yang wajahnya juga
terbungkus kain hitam. Hanya kilatan cahaya matanya saja terlihat. Sesaat
kemudian, gadis itu sudah tidak sadarkan diri.
"Puspa...! Puspa Ningrum...!"
Tiba-tiba saja terdengar panggilan keras, disertai gedoran pintu. Panggilan itu
terdengar berulang-ulang, dan gedoran di pintu juga semakin keras. Orang berbaju
serba hitam itu agak kebingungan, namun dengan cepat dipondongnya tubuh Puspa
Ningrum. Tepat ketika pintu kamar itu didobrak dari luar, tubuh berbaju hitam
itu mencelat lewat jendela membawa gadis itu dalam pondongannya ke luar.
"Puspa...!"
Dipa Sentana menerobos masuk dari pintu yang jebol berantakan, dan langsung
berlari ke arah jendela. Tapi orang berbaju serba hitam itu sudah lenyap bagai
terbenam pekatnya malam. Dipa Sentana segera melompati jendela itu, dan berlari
cepat menerobos malam yang pekat dan dingin. Dia berhenti begitu tiba di batas
pagar baru yang tinggi.
Dipa Sentana memandangi tembok yang menjulang tinggi, kokoh menantang di
depannya. Pada saat itu, Ki Jayakrama dan enam orang anak buahnya datang
menghampiri sambil berlari-lari, Ki Jayakrama cepat melentingkan tubuhnya ke
atas tembok, dan berdiri tegak di bibir tembok yang tebal itu. Sebentar
dilayangkan pandangannya ke sekeliling luar tembok itu, kemudian melompat turun
dengan indahnya. Tanpa bersuara sedikit pun, kakinya menjejak tanah tepat di
depan Dipa Sentana.
"Ada yang menculik Puspa Ningrum...," ucap Dipa Sentana pelan.
"Aku dengar ribut-ribut tadi." kata Ki Jayakrama.
"Aku terlambat, Ki."
"Sudahlah! Besok kita cari," kata Ki Jayakrama seraya mengajak Dipa Sentana
pergi. Namun Dipa Sentana menyentakkan tangan laki-laki tua itu. Ki Jayakrama menatap
tajam pada muridnya ini, namun dibalas tidak kalah tajam pula oleh Dipa Sentana.
Sesaat mereka saling menatap tajam.
"Aku harus mencarinya malam ini juga! Tidak ada seorang pun yang boleh
mencelakakannya!" tegas Dipa Sentana. Agak keras suaranya.
"Dipa, ini sudah tengah malam," Ki Jayakrama mencoba mencegah.
"Aku tidak peduli!" seru Dipa Sentana seraya melesat cepat ke atas.
Hanya sekali lompatan saja, laki-laki setengah baya namun masih kelihatan gagah
itu, sudah melewati bibir tembok yang tinggi dan tebal. Tubuhnya kemudian
meluruk tanpa menyentuh tembok itu. Ki Jayakrama memerintahkan anak buahnya
untuk menyusul,
sedangkan dia sendiri bergegas kembali ke rumah besar yang sebagian sudah gelap
tanpa penerangan sedikit pun. Tampak jendela kamar Puspa Ningrum masih terbuka
lebar. Ki Jayakrama tidak masuk ke dalam rumah itu, tapi segera menyerukan kepada
sebagian besar anak buahnya untuk mengejar Dipa Sentana dan membawanya kembali
pulang. Sama sekali tidak disinggung-singgung tentang penculikan Puspa Ningrum,
tapi hanya ditekankan agar membawa pulang Dipa Sentana saja.
Sekitar dua puluh orang anak buahnya langsung bergerak dengan menggunakan kuda
malam itu juga. Ki Jayakrama baru masuk ke dalam rumah setelah dua puluh orang
anak buahnya meninggalkan halaman rumah besar itu.
*** Malam yang gelap dan dingin seperti ini, biasanya orang enggan untuk berada di
luar rumah. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang yang memakai baju serba
hitam. Orang itu berlari cepat bagai angin. Di pundaknya tersandang sesosok
tubuh ramping yang tidak sadarkan diri. Orang yang seluruh tubuhnya mengenakan
baju hitam itu, terus berlari masuk ke dalam hulan.
Orang itu baru berhenti berlari setelah sampai di sebuah pondok kecil beratap
daun rumbia. Diturunkan tubuh ramping di pundaknya dengan kasar. Sosok tubuh
berbaju biru muda itu menggelimpang jatuh ke tanah.
Tampak wajahnya yang cantik bagai tertidur pulas.
Orang itu membuka kedoknya yang terbuat dari kain hitam. Tampak wajahnya yang
kasar dan penuh brewok itu. "Ha ha ha...! Tidak terlalu sukar membawamu ke sini.
Anak Manis," ucap orang yang telah membuka kedoknya itu. Orang itu, melangkah
menghampiri tubuh ramping yang tergeletak di tanah tidak sadarkan diri. Diamati
wajah cantik itu dengan bola mala berbinar. Lidahnya menjulur, menjilati
bibirnya yang tebal.
"Tidak kusangka, kau begini cantik...," desah laki-laki berwajah kasar itu.
Pelahan-lahan dia berlutut di samping wanita yang ternyata adalah Puspa Ningrum.
Tangannya menjulur meraba wajah yang berkulit halus itu. Tangannya agak gemetar
begitu menyentuh kulit halus pada leher yang jenjang. Pelahan-lahan jari-jari
tangannya merayap menyentuh dada yang membusung indah terbungkus baju biru muda.
"Kau cantik sekali! Sayang sekali jika dilewatkan begitu saja," gumam laki-laki
itu. Dengan tangan agak gemetar, dicobanya untuk
membuka sabuk perak yang melilit pinggang Puspa Ningrum. Tapi dia terkejut,
karena sabuk itu sukar dilepaskan. Wajahnya jadi menegang, dan matanya liar
menatap raut wajah cantik yang masih juga belum sadarkan diri.
"Hih!"
Laki-laki berwajah penuh brewok itu, menotok bagian leher. Seketika itu juga
Puspa Ningrum terbangun dari ketidaksadarannya. Gadis itu terkejut begitu
melihat seorang laki-laki berwajah kasar penuh brewok berada di dekatnya. Lebih
terkejut lagi saat dikenalinya orang itu. "Paman Kumbana! Apa yang kau lakukan
di sini?" sentak Puspa Ningrum sambil berusaha menggelinjang.
Namun gadis itu jadi terkejut setengah mati. Seluruh tubuhnya terasa kaku, sukar
digerakkan. Puspa Ningrum menyadari kalau telah terkena totokan yang melumpuhkan
tubuhnya. Masih diingatnya kejadian yang menyebabkannya berada di sini bersama
seorang laki-laki yang dikenalnya.
"Kau masih ingat aku rupanya, Puspa Ningrum. Tidak kusangka, kau tumbuh menjadi
seorang gadis cantik menggiurkan. He he he...," laki-laki yang dikenali Puspa
Ningrum bemama Kumbana itu terkekeh. Matanya liar merayapi wajah gadis itu.
Puspa Ningrum bergidik juga mendengarnya Dia tahu betul siapa Paman Kumbana ini.
Seorang laki-laki berwajah menyeramkan, penuh brewok, dan ada luka codet
memanjang membelah pipi kanannya. Luka itu yang membuat wajahnya semakin
menyeramkan. Gadis itu ingat luka di wajah laki-laki itu dibuat oleh gurunya
ketika Kumbana ingin membawa paksa diri Puspa Ningrum dan ibunya dari Padepokan
Tapak Wisa. Sebenarnya dulu Kumbana adalah abdi setia ayah dari Dipa Sentana. Dia memisahkan
diri, lalu membentuk kekuatan baru. Setelah kekuatannya kuat dia
memberontak, meruntuhkan kekuasaan ayah dari Dipa Sentana di Desa Watu Gayam.
Dulu desa itu sebuah kadipaten yang tidak begitu besar. Tapi karena runtuh
akibat perang saudara dan banyaknya kekacauan yang terjadi, akibatnya seluruh
penduduk meninggalkan tempat itu. Dan sampai sekarang di tempat itu tinggal
segelintir orang saja yang masih bertahan. Dipa Sentana kemudian membangun
kembali bekas kadipaten itu menjadi sebuah desa. Semua itu diketahui Puspa
Ningrum dari cerita guru maupun ibunya yang selalu mendampingi di Padepokan
Tapak Wisa. "'Paman! Apa yang kau lakukan...?" sentak Puspa Ningrum terbangun dari
lamunannya. Gadis itu berusaha menggelinjang ketika tangan Kumbana berusaha menyentuh
dadanya, tapi seluruh tubuhnya sudah tidak bisa digerakkan lagi. Jari-jari
tangan Kumbana yang kasar, merayapi dada yang membukit indah itu.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Kumbana!" bentak Puspa Ningrum, merah padam wajahnya.
Tidak ada lagi rasa hormat pada laki-laki berhati binatang itu.
"He... he... he.... Kau tidak akan bisa membunuhku, Puspa Ningrum. Kau lihat
ini...!" Kumbana menunjukkan luka codet di pipi kanannya.
Puspa Ningrum bergidik melihat luka memanjang membelah pipi kanan laki-laki itu.
"Sebentar lagi akan datang seseorang yang sangat membutuhkanmu. Tapi kau pun tak
akan kulepaskan begitu saja, tanpa.... He he he..." Kumbana terkekeh
menyeringai, menambah seram wajahnya.
"Tidak...! Lepaskan aku!" bentak Puspa Ningrum bergidik ketakutan. Sudah bisa
ditebak, apa yang akan dilakukan Kumbana pada dirinya.
Puspa Ningrum berusaha memberontak melepaskan totokan di tubuhnya. Tapi totokan
itu demikan kuat.
Bahkan hawa murni di dalam tubuhnya juga tidak
mampu membebaskannya. Sementara Kumbana
dengan leluasa menggerayangi tubuh gadis itu. Napasnya mendengus bagai kuda yang
dipacu cepat. Liurnya hampir menetes, merayapi tubuh gadis itu.
"Bajingan! Keparat...! Kubunuh kau, Kumbana!" maki Puspa Ningrum sambil
menghindari serangan ciuman laki-laki itu pada wajahnya.
Tapi Kumbana tidak lagi peduli. Dengan kasar direnggutnya baju gadis itu,
sehingga bagian tubuh yang berkulit putih menyembul keluar.
"Setan! Keparat...!" maki Puspa Ningrum berang.
"Kau tidak akan bisa lepas dariku malam ini, Manis,"
desah Kumbana di sela napasnya yang memburu.
Hampir serak Puspa Ningrum memaki, tapi Kumbana benar-benar sudah kerasukan
setan. Tidak dipedulikan lagi jeritan dan makian gadis itu. Puspa Ningrum terus
memaki dan menjerit-jerit berusaha melepaskan diri dari cengkeraman laki-laki
berhati iblis itu. Tapi usahanya hanya sia-sia saja. Makian dan jeritannya
bagaikan satu alunan nyanyian merdu di telinga Kumbana.
Namun ketika seluruh penutup tubuh Puspa Ningrum hampir terbuka, mendadak saja tubuh
Kumbana mencelat ke atas, dan jatuh keras ke tanah. Belum sempat disadari apa
yang terjadi, Puspa Ningrum merasakan adanya beberapa totokan di tubuhnya. Saat
itu juga dirasakan tubuhnya bisa digerakkan lagi dengan bebas. Gadis itu
bergegas mengenakan kembali pakaiannya walaupun sudah tidak sempuma lagi. Buruburu dia bangkit berdiri.
"Setan belang! Siapa yang berani mencampuri urusanku, heh"!" bentak Kumbana
gerarn, seraya bangkit berdiri.


Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku!" terdengar sahutan dari belakang Kumbana.
Laki-laki codet itu, langsung berbalik. Dia mendelik melihat seorang pemuda
tampan tahu-tahu sudah
berdiri tidak jauh darinya. Pemuda itu berbaju rompi putih, tengah berdiri
membelakangi Puspa Ningrum, seakan-akan sengaja melindunginya.
"Keparat! Apa kau sudah bosan hidup, bocah"!"
bentak Kumbana geram.
"Asal tahu saja, aku paling tidak suka melihat iblis berkedok manusia macam
kau!" tajam sekali kata-kata pemuda itu.
"Setan alas! Berani kau berkata begitu, heh"!
"Bocah...! Sebutkan namamu sebelum kukirim ke neraka!"
"Namaku tidak ada artinya bagimu, Iblis!"
"Babi buntung! Kadal....!" maki Kumbana geram.
Tanpa mempedulikan siapa sesungguhnya pemuda berbaju rompi putih itu, langsung
dicabut senjatanya yang mirip golok penjagal hewan. Golok yang kelihatan berat
itu, terayun mengarah ke kepala pemuda itu.
Ayunannya begitu kuat, sehingga menimbulkan tiupan angin yang sangat keras.
"Uts!"
Pemuda berbaju rompi itu melompat ke belakang dua tindak. Tebasan golok besar
Kumbana hanya menyambar angin saja. Dan pada saat itu, kaki kanan pemuda itu melayang
menghajar pergelangan tangan Kumbana yang memegang senjata.
"Akh!" Kumbana memekik tertahan.
Buru-buru ditarik mundur tubuhnya beberapa tindak, sambil meringis merasakan
sakit pada pergelangan tangannya. Sebentar diurut-urut pergelangan tangan
kanannya, kemudian diayun-ayunkan goloknya di atas kepala. Suara angin menderuderu bagai hendak terjadi badai topan yang sangat dahsyat. Daun-daun ber-guguran
tertiup angin yang ditimbulkan oleh putaran golok besar itu.
"Hebat! Ayam kampung bisa mati kaku melihat golokmu, setan tua!" ejek pemuda itu
tersenyum sinis.
"Kadal buduk!" umpat Kumbana marah.
*** Kumbana benar-benar tidak dapat lagi menahan
amarahnya. Dengan kekuatan penuh, diserangnya pemuda berbaju rompi putih yang
selalu mengejek sehingga darahnya mendidih. Dengan ayunan goloknya yang besar,
diserangnya pemuda itu. Namun setiap serangannya selalu dapat dihindari dengan
manis. Bahkan satu dua pukulan bersarang di tubuh laki-laki berwajah codet itu.
Sementara dari jarak yang cukup jauh, Puspa Ningrum memperhatikan saja
pertarungan itu. Dia belum ingin terjun dalam pertempuran, meskipun hatinya
terbakar amarah akibat kekurangajaran Kumbana padanya. Pantang baginya untuk
mengeroyok seseorang dalam pertempuran. Gurunya tidak pernah mengajarkan untuk
berlaku curang meskipun dalam keadaan diliputi kemarahan.
Pertempuran antara Kumbana melawan pemuda
berbaju rompi putih, masih lerus berlangsung sengit.
Entah sudah berapa puluh jurus dimainkan Kumbana, tapi belum ada satu serangan
pun yang berhasil mengenai sasaran. Sementara sudah tidak terhitung lagi pukulan
dan tendangan pemuda itu mendarat di tubuhnya. Melihat pemuda berbaju rompi
putih itu seakan-akan sengaja memperlambat pertempuran.
Puspa Ningrum jadi tidak sabaran.
"Persetan!" geram Puspa Ningrum langsung melompat masuk dalam pertempuran itu.
"Hiyaaat..!"
Kumbana jadi kelabakan begitu pukulan Puspa Ningrum hampir bersarang di
kepalanya. Laki-laki berwajah kasar itu langsung melompat mundur, tapi Puspa
Ningrum terus mendesak sambil mengirimkan pukulan-pukulan mautnya yang bertenaga
dalam cukup tinggi.
Pada saat itu, pemuda berbaju rompi putih tidak lagi bergerak. Sambil berdiri,
perhatiannya tak lepas ke arah pertempuran itu dari jarak yang tidak seberapa
jauh. Sret! Puspa Ningrum melepas sabuknya yang berwarna keperakan. Dipegangnya sabuk itu
pada bagian kepala yang berbentuk kepala seekor macan. Dengan sekali kebut saja,
sabuk itu menegang kaku dan berubah jadi sebilah pedang tipis berwarna
keperakan. Dengan senjata andalannya ini, Puspa Ningrum semakin dahsyat mencecar
Kumbana. Tidak ada lagi kesempatan diberikan pada laki-laki itu untuk mengambil
napas dan balas menyerang.
"Mampus kau, hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Puspa Ningrum mengibaskan senjatanya ke
arah leher. Namun Kumbana gesit sekali menyampok dengan goloknya.
Tring! Begitu dua senjata beradu, Puspa Ningrum menggunakan tenaga lawannya untuk
memutar senjatanya.
Langsung saja dia berkelebat merobek dada Kumbana.
Satu gerakan tipuan yang tidak terduga sama sekali, membuat Kumbana terpekik dan
terhuyung. Darah segar mengucur deras dari dadanya yang sobek cukup panjang dan
dalam. "Hiyaaa...!"
Puspa Ningrum yang tidak lagi memberi kesempatan, segera melompat sambil
berteriak keras. Senjatanya dikebutkan ke arah leher. Pada saat itu, Kumbana
berusaha merunduk. Namun, gerakannya terlambat, karena seketika itu juga senjata
Puspa Ningrum lebih dulu menebas lehernya.
"Aaa...!" Kumbana menjerit melengking tinggi.
"Hait'"
Puspa Ningrum melayangkan satu tendangan keras mendupak dada Kumbana. Tubuh
tinggi besar itu
terjungkal ambruk dengan kepala terpisah dari leher.
Hanya sebentar Kumbana mampu berkelojotan, sesaat kemudian diam tidak bergerakgerak lagi. Darah mengucur deras dari leher yang buntung. Puspa Ningrum
melilitkan kembali sabuknya selelah dikebutkan untuk dilemaskan kembali.
"Ck... ck... ck..!"
"Eh...!" Puspa Ningrum tersentak kaget.
Gadis itu baru sadar kalau di tempat ini masih ada seorang yang telah
menyelamatkan kehormatannya dari maksud kotor Kumbana. Dia segera berbalik dan
berdiri terpaku menatap wajah tampan di depannya.
Sejenak Puspa Ningrum terpaku, sesaat kemudian dipalingkan wajahnya ke arah
lain. "Terima kasih atas pertolonganmu," ucap Puspa Ningrum tanpa memandang pemuda
berbaju rompi putih itu.
"Simpan saja rasa terima kasihmu itu, Puspa Ningrum," sahut pemuda itu.
"He...! Kau tahu namaku?" Puspa Ningrum terkejut, sampai-sampai harus menatap
pemuda itu kembali.
"Tentu. Karena kau yang kucari, dan kebetulan bertemu di sini," sahut pemuda itu
kalem. "Hhh! Siapa kau?" Puspa Ningrum jadi curiga.
"Namaku Rangga," pemuda itu memperkenalkan diri.
Dia memang Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga...," Puspa Ningrum bergumam pelan.
Dirayapi seluruh tubuh pemuda berbaju rompi putih di depannya, seolah-olah
sedang menyelidiki pemuda yang mengaku bemama Rangga itu.
"Kenapa kau menatapku demikian?" tegur Rangga agak risih.
"Sepertinya aku pernah mendengar namamu...,"
pelan suara Puspa Ningrum, hampir tidak terdengar. Dia seperti bicara dengan
dirinya sendiri.
"Mungkin salah dengar. Sebab, baru kali ini aku bertemu denganmu. Dan kau
tentunya juga demikian,"
kata Rangga tetap kalem.
"Memang, kita baru bertemu kali ini. Tapi aku yakin pernah mendengar namamu,"
sahut Puspa Ningrum tetap pada pendiriannya, tapi juga tengah mengingat-ingat.
"Ah, sudahlah. Se...," ucapan Rangga terputus seketika.
Pendengaran Pendekar Rajawali Sakti itu tajam luar biasa, karena dapat menangkap
adanya satu gerakan halus mendekati tempat ini. Tanpa berkata-kata lagi, Rangga
langsung melompat cepat bagaikan kilat menyambar tubuh gadis itu.
"Hey...!" Puspa Ningrum tersentak kaget.
Tapi Rangga cepat menyumpal mulutnya. Pendekar Rajawali Sakti itu menjejakkan
kakinya di atas sebatang dahan yang cukup tinggi dan terlindung oleh lebatnya
dedaunan pohon itu. Dilepaskan bekapannya pada mulut Puspa Ningrum.
"Kurang ajar...!" umpat Puspa Ningrum.
"Ssst..!" cepat-cepat Rangga memberi isyarat agar diam.
Puspa Ningrum ingin memaki, tapi segera diurungkan. Memang dia juga mendengar
adanya langkah kaki beberapa orang yang mendekati tempat itu. Kedua bola matanya
membeliak begitu dari balik semak dan pepohonan yang merapat di sekitar hutan
ini, muncul beberapa orang. Dan gadis itu mengenalinya....
*** 5 Rangga mencekal tangan Puspa Ningrum saat
melihat gelagat gadis itu akan melompat turun dari dahan pohon ini. Juga, buruburu disumpal mulut gadis itu dengan menyilangkan jari telunjuk di bibir gadis
itu yang mungil memerah. Puspa Ningrum menatap
sejenak, lalu perhatiannya kembali beralih pada sebelas orang yang berada di
bawahnya. Tampak salah seorang yang mengenakan jubah biru tua dengan tongkat kepala ular
di tangan, berlutut di samping mayat Kumbana. Tongkatnya dihentakkan tiga kali
ke tanah. Dia bangkit berdiri dan memandang sekitarnya. Sementara sepuluh orang
bersenjata golok terhunus, membentuk lingkaran yang cukup lebar. Sikap mereka
berjaga-jaga. Tidak lama mereka berada di tempat itu, kemudian bergegas pergi terburu-buru.
Jelas mereka menggunakan ilmu meringankan tubuh, karena sebentar saja sudah
lenyap ditelan lebatnya hutan. Rangga baru melompat turun disusul Puspa Ningrum,
dan mendarat manis di tanah. Puspa Ningrum memandangi arah kepergian sebelas
orang tadi. "Kau kenal mereka, Puspa?" tanya Rangga.
"Tentu," sahut Puspa Ningrum mendesah, seperti tidak percaya dengan apa yang
baru saja dilihatnya.
Beberapa kalimat memang terlontar dari mulut laki-laki tua berjubah biru tua
tadi. Dan kata-kata itulah yang membuat Puspa Ningrum tidak percaya. Tapi
semuanya dilihat dan didengar jelas. Dia sadar, dan tidak sedang bermimpi saat
ini. "Sebaiknya kita cepat tinggalkan tempat ini, Puspa,"
ajak Rangga. Puspa Ningrum tidak segera menyahuti, tapi malah
menatap dalam-dalam pada Pendekar Rajawali Sakti itu. Sorot matanya seperti
sedang meminta penjelasan tentang apa yang baru dilihat dan didengarnya barusan.
Rangga mendekati dan menyentuh lembut pundak gadis itu. Dengan lembut pula
diajaknya gadis itu untuk segera pergi.
"Apa artinya semua ini, Rangga?" tanya Puspa Ningrum sambil berjalan pelahan di
samping Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kenapa kau tanyakan itu padaku?" Rangga malah balik bertanya.
"Kau tiba-tiba muncul dan menolongku. Mustahil kalau berada di sini hanya secara
kebetulan. Lagi pula kau tadi mengatakan memang sengaja mencariku!" kata Puspa
Ningrum, jelas bernada curiga.
"Kau cerdik sekali, Puspa," puji Rangga tulus.
"Aku tidak butuh pujian, tapi butuh penjelasan,"
sentak Puspa Ningrum.
"Penjelasan apa?" tanya Rangga seenaknya.
"Jangan berpura-pura, Rangga. Apa maksudmu mencariku?" desak Puspa Ningrum.
"Ada seseorang yang memintaku untuk membawamu kepadanya," sahut Rangga kalem.
"Seseorang..!" Siapa?"
"Sayang sekali, dia tidak suka kalau aku mengatakannya. Dia ingin agar kau
sendiri yang mengetahuinya."
"Sepertinya kau bukan orang bayaran. Dan lagi memang aku tidak percaya kalau kau
dibayar seseorang hanya untuk mencariku tanpa alasan pasti!" dengus Puspa
Ningrum sambil bergumam.
Rangga tersenyum getir. Benar-benar patut dipuji kecerdikan gadis Ini. Tapi dia
sudah janji untuk tidak mengatakan apa pun pada gadis ini, dan hanya untuk
membawa Puspa Ningrum dengan selamat. Hanya itu saja!
"Di mana dia menungguku?" tanya Puspa Ningrum, merasa tidak mungkin bisa
mendesak Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Tidak jauh dari sini," sahut Rangga.
"Kau tidak bermaksud buruk padaku, bukan?" selidik Puspa Ningrum.
Rangga hanya tertawa saja, tawanya begitu lepas, dan terdengar renyah di
telinga. Namun Puspa Ningrum jadi bersungut. Dirinya merasa dipermainkan, tapi
jadi penasaran juga. Ingin diketahui, siapa yang menunggu-nya, dan apa maksudnya
ingin bertemu dengannya.
"Kalau tidak salah, kau katakan tadi pernah mendengar namaku. Kalau tahu siapa
aku, pasti kau tidak punya pikiran buruk terhadapku," kata Rangga setelah reda
tawanya. Puspa Ningrum terdiam. Memang pernah didengarnya nama itu. Tapi.... Mendadak
gadis itu tersentak.
Langsung saja langkahnya terhenti. Ditatapnya dalam-dalam wajah pemuda itu yang
ikut berhenti berjalan.
Hampir-hampir tidak percaya kalau sekarang ini dia tengah berjalan dengan
seorang tokoh rimba persilatan yang begitu ternama dan menjadi buah bibir di
mana-mana. Gadis itu baru ingat. Gurunya, yang bernama Eyang Lenteng, sering bercerita
tentang sepak terjang orang yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan bernama
asli Rangga Pati Permadi. Eyang Lenteng sering mengatakan padanya kalau tindakan
dan tingkah laku Pendekar Rajawali Sakti patut jadi teladan bagi pendekarpendekar lainnya di muka bumi ini. Puspa Ningrum hampir tidak percaya, kalau
orang yang disegani seluruh tokoh rimba persilatan, ternyata masih muda dan
begitu tampan. "Apa yang kau pikirkan, Puspa?" tegur Rangga lembut
"Oh...!" Puspa Ningrum tersentak dari lamunannya.
"Ayo, kita jalan lagi," ajak Rangga.
Mereka kembali melangkah menembus hutan yang semakin lebat. Sementara malam
terus merambat semakin larut. Kegelapan menyelimuti seluruh hutan ini, sehingga
harus hati-hati melangkah agar tidak ter-sangkut akar yang menyembul keluar dari
dalam tanah. "Maaf, seharusnya aku tidak bersikap ketus padamu."
ucap Puspa Ningrum setelah cukup lama terdiam.
"Lupakan saja," sahut Rangga kalem
*** Puspa Ningrum memandangi mulut goa yang
terpampang di depannya. Kedua bola matanya tiba-tiba membeliak tak berkedip
melihat seorang laki-laki kurus kering telah berdiri di depan mulut goa itu.
Sebentar tatapannya terarah ke depan, sebentar kemudian beralih pada Pendekar
Rajawali Sakti di sampingnya.
Sementara laki-laki bertubuh kurus kering dan berbaju compang-camping itu,
menghampiri. "Terima kasih atas kedatanganmu ke sini, Puspa,"
ucap laki-laki muda bertubuh kurus kering itu
"Gota...," hanya itu yang bisa terucapkan Puspa Ningrum.
"Mungkin kau sangka, aku sudah tewas di tangan Ki Jayakrama dan orang-orangnya.
Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti ini tidak menyelamatkan nyawaku, entah apa
jadinya," kata Gota seraya melirik Rangga.
"Hanya kebetulan saja," ucap Rangga merendah.
"Memang, aku yakin kau bisa selamat, Gota. Kakang Dipa pun mengatakannya
padaku," kata Puspa Ningrum.
"Baik sekali dia." agak sinis nada suara Gota.
"Gota, apa maksudmu ingin bertemu denganku?"
tanya Puspa Ningrum langsung pada pokok persoalan-nya.
Gota tidak segera menjawab, tapi malah melirik Rangga yang masih berdiri di
samping Puspa Ningrum.
Rangga, mengerti, dan segera menyingkir.
"Aku ada di dalam jika kalian membutuhkanku,"
pesan Rangga sambil terus melangkah mendekati goa.
Gota menggamit lengan gadis itu, kemudian mengajaknya duduk di bawah sebatang
pohon kemuning.
Mereka masih berdiam diri dan saling pandang saja, meskipun sudah cukup lama
Rangga meninggalkan tempat itu. Masing-masing membisu, tanpa ada yang bicara
sedikit pun.

Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau mengundangku ke sini bukan untuk jadi patung, bukan?" tegur Puspa Ningrum
jengah. "Maaf," ucap Gota buru-buru.
"Apa maksudmu sebenarnya, Gota?" tanya Puspa Ningrum tegas. Dia tidak ingin
hanyut oleh perasaan yang tiba-tiba menggayut di hatinya. Perasaan aneh yang
belum pernah dirasakan sebelumnya.
"Puspa, sebenarnya hal ini tidak boleh kukatakan padamu. Tapi juga tidak mungkin
kupendam terus-menerus, sementara Dipa Sentana dan Ki Jayakrama makin menjadijadi saja." kata Gota pelan dan terdengar berat nada suaranya.
"Gota. Aku tidak tahu, persoalan apakah yang terjadi antara kau dengan kakakku.
Sebenarnya aku tidak ingin terlibat, tapi...," Puspa Ningrum menghentikan katakatanya, dan langsung teringat ucapan Ki Jayakrama di depan mayat Kumbana.
"Puspa! Ingatkah kau ketika kau sebutkan namamu dan nama kedua orang tuamu pada
guruku?" tanya Gota mengingatkan.
"Ki Tunggul, maksudmu" Ya aku ingat," Puspa Ningrum mengangguk pasti.
"Sebenarnya Ki Tunggul tidak bermaksud menghinamu. Dia tertawa karena mendengar
keteranganmu yang menyebutkan nama Paradipa dan Wulandari sebagai kedua orang
tuamu," kata Gota tanpa bermaksud menyinggung perasaan gadis ini.
"Aku mengatakan yang sebenarnya!" sentak Puspa Ningrum agak tersinggung juga.
"Aku tahu, Puspa. Memang, kau mengatakan yang sebenarnya. Tapi tidak demikian
bagi Ki Tunggul. Dan aku sendiri sebenarnya...."
"Kau juga menertawakanku, Gota?" potong Puspa Ningrum cepat.
"Tidak," sahut Gota tegas. "Justru aku merasa iba padamu."
"Kau jangan main-main, Gota!" sentak Puspa Ningrum. Mendadak perasaannya jadi
tidak enak. "Aku tidak main-main, Puspa. Aku sungguh-sungguh iba padamu, dan ingin
mengembalikan dirimu yang sesungguhnya. Tidak ada maksud buruk terselip di
hatiku," terdengar serius nada suara Gota kali ini.
Puspa Ningrum terdiam. Perasaannya semakin tidak menentu. Terlebih lagi
mendengar nada suara Gota yang begitu serius. Selama ini kehidupannya memang
selalu dalam lingkungan padepokan yang tertutup dan terpencil, sehingga yang
dikenali hanya wajah ibunya.
Sejak kecil dia tidak pernah melihat wajah ayahnya, meskipun sering mendengar
nama ayahnya disebut-sebut.
"Puspa, apakah kau tidak pernah mendengar atau meminto ibumu menceritakan
perihal ayahmu?" tanya Gota.
"Sering," sahut Puspa Ningrum pelan.
"Kau mempercayai semua ceritanya?"
Puspa Ningrum tidak menjawab, tapi hanya menatap tajam pada laki-laki yang
kelihatan baru berusia sekitar dua puluh tahun ini. Wajahnya yang kurus dengan
mata cekung ke dalam, membuat tampang Gota jauh lebih tua.
"Aku tahu siapa Eyang Lenteng. Kami sering bertemu dan berbicara di luar
padepokan. Sebenarnya dia juga iba padamu, tapi tidak bisa berbuat banyak untuk
menolongmu. Terpaksa dirimu dijejali dengan cerita-cerita palsu," jelas Gota
lagi. "Gota, apa maksudmu sebenarnya" Kau ingin memecah belah diriku dengan Kakang
Dipa" Kau pikir aku masih bocah ingusan yang dapat dengan mudah diperdayai"
Jangan harap, Gota!" Puspa Ningrum jadi sengit. Dia menebak ada maksud buruk
yang tersembunyi dalam diri laki-laki pengemis ini.
"Jangan berprasangka buruk dulu, Puspa."
"Kalau tidak, lalu untuk apa mengatakan hal itu padaku?"
"Demi kebenaran. Puspa."
"Kebenaran untuk mempengaruhiku, sehingga harus memusuhi kakakku sendiri.
Begitu?" "Puspa..."
"Cukup, Gota!" sentak Puspa Ningrum seraya berdiri.
"Aku tidak suka lagi mendengar segala macam ocehan busukmu!"
"Memang benar apa yang dikatakan Eyang Lenteng.
Sulit menjelaskan hal ini padamu...." desah Gota setengah bergumam.
"Jangan bawa-bawa nama guruku, Gota. Beliau terlalu suci untuk disertakan dalam
kebusukan hatimu!" bentak Puspa Ningrum sengit.
"Tidak kusalahkan pendirianmu, Puspa. Kau memang punya hak untuk tidak
mempercayaiku. Tapi ketahuilah!
Dipa Sentana itu bukan kakakmu. Paradipa juga bukan ayahmu. Ayahmu yang
sebenarnya adalah Ki Sawung!
Dia tewas karena membela kehormatan ibumu Dipa Sentanalah yang membunuh ayahmu!"
agak keras suara Gota.
"Tidak! Kau bohong...! Kau dusta...!" bentak Puspa Ningrum kalap.
"Sayang sekali ibumu sudah meninggal. Kalau saja masih hidup, bisa kau desak
agar menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana waktu itu hampir diperkosa
oleh Paradipa. Kau tahu, siapa bajingan tengik itu" Dia adalah ayah kandung Dipa
Sentana. Paradipa tewas di tangan ayahmu, dan secara tidak sengaja Dipa Sentana
membunuh ayahmu. Dia menyesal, lalu membawa ibumu yang waktu itu hamil tiga
bulan ke Padepokan Tapak Wisa. Bahkan juga berjanji akan mengangkatmu sebagai
adik setelah kau lahir. Janji itu dibuktikannya untuk menebus segala dosa dan
kesalahan yang dilakukan orang tua serta dirinya!"
"Cukup!" bentak Puspa Ningrum sambil menutup teliganya.
"Tapi turunan bajingan tetap saja bajingan! Ibumu tidak kuasa, dan terpaksa
melayani kemauan Dipa Sentana. Kau tahu, apa yang terjadi setelah kau lahir"
Setelah kau berusia dua tahun, lahir kembali seorang anak laki-laki dari rahim
ibumu, yang kemudian dibuang ke dalam hutan. Dipa Sentana mengira bayi merah itu
akan dimakan binatang buas. Tapi Dewata masih melindunginya. Bayi itu ditemukan
seorang laki-laki tua yang hidup serba kekurangan. Seorang pengemis, tapi
berjiwa luhur dan satria. Kau tahu Puspa, siapa anak laki-laki itu" Aku...!"
"Tidak...! Tidak mungkin...!" Puspa Ningrum menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kita kakak beradik, Puspa. Meskipun lain ayah. Tapi, sama sekali Dipa Sentana
tidak kuakui sebagai ayahku.
Dia seorang iblis yang telah membuang darah dagingnya sendiri. Orang macam
itukah yang kau hormati, kau sanjung, dan kau anggap sebagai kakak" Buka matamu
lebar-lebar, Puspa. Lihatlah perbedaan usiamu dengan Dipa Sentana! Berapa usia
ibumu saat meninggal"
Berapa sekarang usia Dipa Sentana" Adakah seorang anak yang hanya terpaut tiga
tahun dari ibunya" Kau buta, Puspa. Bukan hanya matamu, tapi hatimu pun buta!"
"Tidak..." rintih Puspa Ningrum langsung menjatuhkan dirinya di atas rerumputan. Gadis itu tidak kuasa lagi menahan air matanya,
dan menangis sambil merintih menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara Gota
hanya berdiri saja sambil memandang lurus pada Puspa Ningrum yang menangis dan
merintih. "Maafkan aku, Puspa Ningrum. Terpaksa kubuka semua rahasia ini. Aku..., aku...,"
tersendat suara Gota.
Gota juga tidak kuasa lagi menahan perasaannya.
Dia jatuh duduk dan memukuli tanah berumput di depannya. Sementara itu, di depan
mulut goa, Rangga hanya memperhatikan saja. Semua percakapan itu telah
didengarnya. Meskipun sebelumnya sudah diberitahu oleh Gota, tapi keharuan masih
juga menyelimuti hatinya. Pertemuan yang seharusnya menggembirakan, tapi malah
sebaliknya. *** Seharian penuh Puspa Ningrum duduk memandang
matahari yang hampir tenggelam di dalam peraduannya.
Dia duduk sambil melamunkan semua kata-kata yang diucapkan Gota semalam. Memang,
semuanya tidak dipercayai begitu saja, tapi hati kecilnya membenarkan juga semua
cerita Gota, Puspa Ningrum juga tidak bisa membantah, bahwa ada satu ikatan
batin yang begitu kuat antara dirinya dengan pemuda pengemis itu.
Perasaan itu memang sudah dirasakan kerika
pertama kali bertemu. Puspa Ningrum tidak tahu, kenapa memiliki perasaan itu
pada seorang pemuda yang baru dikenalnya. Seorang pemuda gembel kurus kering
yang raut wajahnya lebih tua sepuluh tahun dari usia sebenarnya. Semakin
dipikirkan kata-kata Gota semalam, semakin bimbang hatinya. Sampai-sampai tidak
diketahui ada seseorang mendekatinya. Gadis itu pun juga tidak menyadari kalau
orang itu sudah duduk di sampingnya.
"Puspa...."
Puspa Ningrum tersentak bangun dari lamunannya, lalu menoleh. Kepalanya
tertunduk ketika mendapati Rangga sudah duduk di sampingnya. Dua kali gadis itu
menarik napas panjang dan dihembuskan kuat-kuat, seakan-akan ingin dilonggarkan
rongga dadanya yang terasa sesak seketika.
"Boleh kutemani duduk di sini?" pinta Rangga.
"Hhh...!" Puspa Ningrum hanya menghembuskan napasnya saja.
"Aku ikut prihatin dengan ..."
"Terima kasih," potong Puspa Ningrum cepat.
"Aku mendengar semua pembicaraan kalian semalam," kata Rangga lagi.
Puspa Ningrum menatap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Agak
terkejut juga mendengarnya, tapi kemudian dipalingkan mukanya.
Kembali ditatapnya matahari yang sudah hampir tenggelam.
"Memang berat untuk menghadapi kenyataan pahit ini. Tapi aku yakin kau mampu
mengatasinya dengan baik," kata Rangga, berusaha menghibur.
Puspa Ningrum hanya diam saja.
"Tidak mudah untuk menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar. Hanya kau
dan Gota yang bisa menentukannya. Aku bisa memahami perasaanmu.
Maaf kalau aku terlalu banyak ikut campur dalam hal ini," kata Rangga pelan.
Puspa Ningrum kembali menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat.
Sebentar ditenga-dahkan kepalanya menatap langit yang memerah jingga, kemudian
ditolehkan kembali wajahnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Mungkin saat ini aku membutuhkan seseorang untuk bicara." ujar Puspa Ningrum
setengah mendesah.
"Kalau kau percaya padaku...." sambut Rangga
dengan hati lapang.
"Kau terlalu baik...," ucapan Puspa Ningrum terputus.
"Bolehkah aku memanggilmu kakang?"
"Dengan senang hati."
Puspa Ningrum tersenyum tipis.
"Eyang Lenteng sering bercerita tentang dirimu.
Mungkin kau orang yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Ah.... Aku terlalu
berharap padamu, Kakang. Semua ini persoalan pribadi, tidak seharusnya kau
kusertakan."
"Ada kalanya persoalan pribadi membutuhkan orang lain untuk menyelesaikannya."
kata Rangga bijaksana.
"Terima kasih." ucap Puspa Ningrum.
"Nah, apa yang ingin kau katakan padaku?"
"Entahlah, aku masih bingung. Sepertinya aku kehilangan diriku sendiri. Tidak
tahu lagi, apa yang harus kukatakan. Aku seperti orang yang terbuang tanpa
cinta," pelan suara Puspa Ningrum.
"Tidak seburuk yang dialami Gota," timpal Rangga.
"Gota...?" Puspa Ningrum menatap Rangga.
"Kau masih beruntung, Puspa. Ada orang yang menyayangi, mencintai, mengurus,
serta memperhati-kanmu. Tapi Gota..." Sejak bayi sudah dibuang ke tengah hutan,
dan hidup bersama pengemis tua yang untuk hidup sendiri saja sudah sulit"
Puspa Ningrum terdiam, dan jadi teringat kerika pertama kali bertemu Gota.
Terbayang kembali perlakuan penduduk Desa Watu Gayam yang begitu me-rendahkan
dan menghina seperti seonggok sampah busuk.
"Kakang, benarkah yang dikatakan Gota semalam?"
tanya Puspa Ningrum.
"Menurutmu bagaimana?" Rangga malah balik bertanya.
"Entahlah! Aku bingung,'' sahut Puspa Ningrum ragu-ragu.
"Cobalah ambil dari kenyataan yang ada, Puspa," usul Rangga.
"Aku tidak tahu, mana yang benar dan mana yang palsu. Sepertinya aku ini hidup
di alam lain," keluh Puspa Ningrum.
"Sebenarnya aku tidak memihak pada siapa pun, dan hanya berada di tengah-tengah.
Tapi menurut pendapat pribadiku, Gota ada benarnya juga. Dan di pihakmu, juga
tidak semuanya salah. Orang yang kau anggap kakak selama ini, telah berbuat baik
padamu dengan alasan tertentu. Sedangkan ibumu, kurasa sangat ter-tekan,
sehingga tidak sanggup menceritakan yang sebenarnya padamu. Demikian pula dengan
Eyang Lenteng. Mungkin ada satu persoalan pada dirinya, sehingga tidak bisa
menceritakan yang seharusnya diceritakan. Dan sebenarnya, hanya kau sendirilah
yang bisa menilai," jelas Rangga panjang lebar, mencoba membuka jalan pikiran
gadis itu. "Apa yang harus kulakukan, Kakang?" tanya Puspa Ningrum meminta saran.
Rangga hanya mengangkat bahu. Tidak mudah baginya untuk memberi sedikit saran
pada Puspa Ningrum.
Masalahnya, persoalan yang dihadapi gadis itu sangat pelik, dan terlalu pribadi
sifatnya. Sampai saat ini, belum juga bisa ditentukan, mana yang salah dan mana
yang benar. Persoalan ini sangat peka, dan sukar diselesaikan.
*** 6 Hampir satu pekan Puspa Ningrum menghilang. Dan selama itu Dipa Sentana seperti
tidak bergairah lagi.
Sehari-hari, kerjanya hanya duduk melamun di beranda depan rumahnya. Sedangkan
Ki Jayakrama semakin sibuk, karena belakangan ini banyak pengemis bermunculan.
Tidak diketahui, dari mana datangnya dan apa maksudnya pengemis-pengemis itu
bermunculan di Desa Watu Gayam ini.
"Rasanya bosan melihatmu begitu terus, Dipa!" tiba-tiba Ki Jayakrama muncul
sambil bersungut-sungut.
"Hhh...!" Dipa Sentana mendesah panjang seraya mengangkat kepalanya.
"Sudah berapa kali kukatakan, jangan menyesali diri!
Kau sudah cukup menebus kesalahanmu! Biarkan Puspa Ningrum hidup dengan caranya
sendiri!" rungut Ki Jayakrama lagi.
Dipa Sentana hanya menarik napas panjang saja.
Sedikit pun tidak disahuti gerutuan itu. Pandangannya lurus menatap ke depan
"Dipa, keadaan kini semakin bertambah parah. Kian hari kian banyak pengemis yang
datang ke sini. Mereka berpakaian pengemis, tapi tidak pernah mengemis.
Bahkan untuk makan mereka membeli. Aku jadi curiga.
Perhatikanlah perubahan itu, Dipa!" kata Ki Jayakrama lagi.
"Mungkin mereka teman-temannya Gota," celetuk Dipa Sentana asal saja.
"Itu yang aku khawatirkan, Dipa!" sergah Ki Jayakrama cepat.
Dipa Sentana menoleh, langsung menatap bola mata laki-laki tua yang sudah duduk
di sampingnya. Hanya sebuah meja bundar yang menghalangi mereka. Tadi
sebenarnya dia hanya berkata seenaknya saja, tapi justru perkataannya itu yang
terpenting. "Kau tahu, Dipa. Setiap hari, satu atau dua orang kita lenyap tanpa diketahui
jejaknya. Sekarang jumlahnya tidak ada tiga puluh orang lagi. Keyakinanku, pasti
ada ancaman serius yang tidak bisa dianggap enteng. Dan ini ada hubungannya
dengan kemunculan pengemis-pengemis itu!" agak keras nada suara Ki Jayakrama.
"Mereka hanya menuntut hak saja, Ki," ujar Dipa Sentana setengah bergumam.
"Bicaramu semakin tidak karuan saja, Dipa!" dengus Ki Jayakrama sengit.
"Terus terang, beberapa hari ini sudah kupikirkan dan kutimbang masak-masak.
Kita memang tidak punya hak di sini. Kita tidak ubahnya gerombolan perampok yang
menikmati hidup dari merebut hak orang lain...."
"Dipa! Kau ini bicara apa...?" sentak Ki Jayakrama terkejut.
"Aku bicara yang sebenarnya, Ki Selama ini hidup kita selalu dipenuhi kepalsuan!
Kau gembar-gemborkan kalau akulah yang membangun dan menghidupkan kembali desa
ini setelah musnah akibat peperangan.
Padahal semua itu palsu! Bukan aku yang telah berbuat banyak begitu, tapi...."
"Dipa...!" bentak Ki Jayakrama gusar.
"Biarkan aku bicara, Ki. Rasanya beban dalam dada akan berkurang kalau sudah
kukeluarkan semua yang ada di sini!" Dipa Sentana menepuk dadanya.
"Kau hanya membesar-besarkan perasaan saja, Dipa," agak lunak suara Ki
Jayakrama. "Justru ingin kuperkecil kesalahan ini, Ki. Kau selalu mengatakan kalau aku
sudah menebus semua dosa dan kesalahanku dan orang tuaku. Tapi kenyataannya,
justru semakin besar dosa-dosaku. Tidak sepatutnya Puspa Ningrum dan ibunya
kuperlakukan seperti itu.
Dan sekarang dia lenyap. Padahal, aku sudah berjanji
pada Eyang Lenteng untuk menjaga dan memberikan haknya kelak!" lantang kata-kata
Dipa Sentana. "Cukup, Dipa! Aku tidak suka mendengar lagi ocehan tololmu!" bentak Ki Jayakrama
sengit. "Tolol..." Heh...! Siapa yang tolol!" terdengar sinis nada suara Dipa Sentana.
"Kau mulai berani padaku, Dipa. Hati-hatilah! Aku tidak segan-segan menghukum
muridku sendiri!" ancam Ki Jayakrama.
"Aku memang pantas dihukum, Ki!" tantang Dipa Sentana.


Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setan! Darah pengkhianat rupanya mengalir juga pada dirimu!" dengus Ki
Jayakrama seraya bangkit berdiri.
"Ayahku memang pengkhianat! Dan aku tidak ingin meneruskan jejaknya untuk
menghancurkan Desa Watu Gayam ini! Aku muak semua ini! Aku muak...!"
"Cukup!" bentak Ki Jayakrama geram.
Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Dipa Sentana.
Laki-laki yang usianya hampir berkepala lima itu langsung berdiri. Merah seluruh
wajahnya. Kedua bola matanya berapi-api menatap tajam orang tua yang selama ini
membimbing dan mendampinginya.
Tamparan itu memang keras, dan sangat menyakitkan.
Tapi yang lebih sakit lagi adalah hatinya!
"Dipa, ingatlah pesan mendiang ayahmu. Kau harus meneruskan cita-citanya!
Bangunlah desa ini agar menjadi lebih besar. Ubahlah menjadi sebuah kadipaten,
bahkan kalau bisa menjadi sebuah kerajaan, dan kau menjadi raja di sini. Itu
semua kulakukan untuk meneruskan cita-cita ayahmu, adik kandungku! Mengerti-kah
kau, Dipa Sentana"! Kau dengar itu..."!" agak keras suara Ki Jayakrama.
"Dengan merebut kekuasaan orang lain"! Menghancurkan sebuah kadipaten yang sudah
ada, dan membangkitkannya kembali seperti dulu" Tidak, Ki!
Kehancuran Kadipaten Watu Gayam disebabkan oleh ayahku, dan saudara-saudaraku
sendiri yang haus kekuasaan. Mereka telah membantai semua orang yang menentang,
dan membiarkan orang-orang yang patuh pada kita. Tapi coba lihat! Apakah mereka
bisa hidup dengan layak!" Apakah mereka bahagia?" Dipa Sentana menggelenggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Mereka sengsara, Ki! Tidak ubahnya hidup di atas bara api neraka. Sayang,
mereka tidak punya kekuatan untuk menentang!"
"Setan mana yang masuk ke dalam dirimu, Dipa?"
dengus Ki Jayakrama.
"Kesadaran, Ki. Kesadaran yang terlambat, tapi ingin kuperbaiki!" tegas Dipa
Sentana. "Heh! Percuma saja bicara banyak-banyak padamu, Dipa. Pengawal..!"
Empat orang bersenjata golok di pinggang bergegas menghampiri, lalu membungkuk
memberi hormat.
"Masukkan anak setan ini ke penjara!" perintah Ki Jayakrama.
Empat orang itu terperangah mendengar perintah Ki Jayakrama. Sedangkan Dipa
Sentana hanya tersenyum sinis, dan tanpa berkata apa-apa lagi langsung melangkah
pergi. "Aku akan masuk sendiri, biar kau puas!" lantang suara Dipa Sentana.
"Anak setan!" gerutu Ki Jayakrama sambil mendengus.
Bergegas laki-laki tua itu melangkah menyusul Dipa Sentana, diikuti empat orang
yang dipanggil tadi.
Sementara Dipa Sentana terus berjalan menuju ke bangunan penjara yang terletak
di belakang rumah besar yang dulunya adalah sebuah kadipaten.
Dipa Sentana terus saja melangkah masuk ke dalam bangunan yang terbuat dari baru
kali ini tanpa menoleh
sedikit pun. Dua orang penjaga tampak kebingungan, tapi langsung membungkuk
memberi hormat. Ki Jayakrama berdiri di depan pintu penjara itu, dan menguncinya
dengan rantai baja.
"Jangan biarkan seorang pun menengoknya, kecuali aku!" pesan Ki Jayakrama.
"Baik, Gusti"
"Lipat gandakan penjagaan, jangan sampai lolos!"
Setelah berkata demikian, Ki Jayakrama berbalik dan melangkah pergi. Kakinya
selalu menghentak, pertanda sedang diliputi kekesalan. Sementara delapan orang
penjaga hanya bisa bengong bertanya-tanya, mengapa pemimpin mereka dijebloskan
ke dalam tahanan"
*** Ki Jayakrama semakin kewalahan menghadapi
serbuan pengemis yang semakin hari semakin bertambah banyak jumlahnya. Tidak
sedikit penduduk yang mengadu. Para pengemis itu ternyata semakin berani, bahkan
tidak segan-segan merampas dan berlaku kasar. Ki Jayakrama mencoba mengirim anak
buahnya untuk mengusir para pengemis itu. Tapi di luar dugaan, lima orang anak
buahnya dalam keadaan babak belur begitu mereka kembali.
Mereka mengadu kalau pengemis-pengemis itu
memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Laki-laki tua yang memegang tongkat
berbentuk ular cobra itu, jadi semakin kelabakan. Dilipatgandakan penjagaan di
sekitar rumah besar itu. Hal ini dilakukan karena ada lima orang pengemis yang
mencoba menembus penjagaan, tapi semuanya tewas di tangan Ki Jayakrama.
Laki-laki tua itu berpendapat kalau pengemis-pengemis memang sengaja datang
untuk meruntuhkan kekuasa-annya di Desa Watu Gayam ini.
Siang itu Ki Jayakrama tampak gelisah, berjalan
mondar-mandir di beranda depan rumah besar yang dijaga ketat. Dia seperti
menunggu seseorang yang akan datang hari ini. Sebentar-sebentar dilayangkan
pandangannya ke arah pintu gerbang yang tertutup rapat Ki Jayakrama bergegas
turun dari beranda begitu pintu gerbang terbuka.
Terlihat tiga orang penunggang kuda menerobos masuk. Dua penjaga pintu gerbang,
bergegas menutup pintu itu kembali. Tiga penunggang kuda itu langsung
berlompatan turun dengan gerakan yang indah dan segera menghampiri Ki Jayakrama.
Ki Jayakrama tampak gembira menyambut mereka, dan segera membawa masuk ke dalam
rumah. Mereka kemudian duduk menghadapi meja bundar dari batu pualam putih.
"Terima kasih, kalian bersedia datang memenuhi undanganku," ucap Ki Jayakrama.
Wajahnya cerah berseri-seri.
"Kita berempat sudah mengikat janji untuk saling membantu. Jangan kau sangsikan
kesediaan kami untuk membelamu, Jayakrama," jelas seorang yang kelihatannya
berusia sekitar lima puluh tahun. Di tangannya tergenggam tombak panjang bermata
tiga. "Terima kasih, Tombak Iblis," ucap Ki Jayakrama.
"Dan kau juga, Pedang Setan, Cakar Maut"
"Langsung saja, Jayakrama. Apa kesulitanmu sehingga minta bantuan kami?" selak
si Pedang Setan.
"Hm..., kalian tentu sudah menyaksikan di luar sana.
Tempat ini bagaikan desa pengemis. Di mana-mana hanya ada pengemis berkeliaran,"
jelas Ki Jayakrama membuka permasalahannya.
"Hanya karena pengemis kau meminta bantuan, Jayakrama...?" si Cakar Maut
Bayangan Kematian 2 Keturunan Pendekar Karya Rajakelana Si Kumbang Merah 8

Cari Blog Ini