Ceritasilat Novel Online

Hantu Karang Bolong 1

Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong Bagian 1


HANTU KARANG BOLONG
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Arie
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode; Hantu Karang Bolong
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Angin bertiup kencang menaburkan udara
dingin yang membekukan tulang. Kabut tebal bergulung-gulung bercampur awan hitam
menghalangi pandangan mata empat orang yang berjalan tertatih-tatih menembus
rinai hujan. Mereka adalah seorang laki-laki tua, seorang pemuda, seorang
wanita, dan seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun. Mereka terus
berjalan meskipun hujan semakin besar.
"Sebaiknya kita berhenti dulu, Yah.
Kasihan Surya Paku," kata yang wanita dengan suara menggigil kedinginan.
"Tidak di sini. Terlalu berbahaya...,"
sahut laki-laki tua yang berjalan paling depan.
"Tapi hujan semakin besar, Yah," kata wanita itu lagi.
"Sebentar. Di depan sana ada dangau."
Wanita yang masih muda itu kembali diam.
Digamitnya lengan bocah kecil yang berjalan di sampingnya, kemudian
digendongnya. Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi.
Sementara cuaca semakin buruk. Kegelapan menyelimuti sekitarnya. Hujan yang
semakin besar itu, dihiasi pula oleh sambaran kilat yang membelah angkasa.
Suaranya mengguntur memekakkan telinga. Setiap kali kilat menyambar, wanita yang
berjalan di belakang laki-laki tua itu memekik kecil. Tubuhnya semakin keras
menggigil kedinginan.
Memang benar apa yang dikatakan laki-laki tua tadi. Mereka kini sudah melihat
suatu bangunan terbuka yang hanya beratapkan daun rumbia, dan bersama-sama
bergegas melangkah setengah berlari. Sementara tanah yang dipijak sudah berair
dan berlumpur. Mereka menuju ke dangau kecil tanpa dinding itu. Untung di dangau
itu terdapat sebuah balai-balai kecil yang beralaskan anyaman tikar daun pandan.
Meskipun sudah koyak, tapi cukup untuk beristirahat sambil menunggu hujan reda.
"Hhh...! Seharusnya kita tidak berangkat hari ini...," wanita itu mengeluh lirih
seraya duduk di balai-balai sambil memangku bocah laki-laki.
"Jangan mengeluh begitu, Laras. Apa pun yang terjadi kita harus cepat sampai,"
kata laki-laki muda yang duduk di sebelahnya.
Sedangkan laki-laki tua yang memakai baju berjubah putih hanya berdiri saja
sambil bersandar pada tiang dangau itu. Pandangannya tertuju lurus ke depan.
"Hhh...! Kenapa nasib kita selalu malang, Kakang" Sepertinya tidak ada tempat
lagi di dunia ini yang bersedia menampung kita," lagi-lagi wanita yang dipanggil
Laras mengeluh.
"Sudahlah, Laras. Tidak baik mengeluh terus seperti itu," lembut nada suara
laki-laki itu. Tangannya merentang memeluk pundak Laras.
Sesaat kemudian tidak lagi kata-kata yang terucapkan. Sementara hujan terus
turun deras sekali, seakan-akan tidak mau berhenti.
Secercah kilat menyambar membuat keadaan sekelilingnya terang sejenak dan
disusul oleh suara mengguntur keras. Laras kontan memekik kaget.
"Ih.... Perasaanku jadi tidak enak, Kakang," rintih Laras lirih.
"Hssst..!"
"Prakasa...!" panggil laki-laki tua yang tetap berdiri bersandar pada tiang
dangau. "Ya, Ayah," sahut laki-laki muda yang dipanggil Prakasa itu.
Pandu Prakasa berdiri dan menghampiri laki-laki yang sebenarnya bernama Ki
Selong. Laki-laki tua itu Ayah dari Pandu Prakasa, dan Laras adalah istri pemuda itu.
Pandu Prakasa berdiri di samping ayahnya.
"Kau tahu, jalan mana yang terdekat?"
tanya Ki Selong.
"Hanya ini jalan satu-satunya. Ayah, "
sahut Pandu Prakasa.
"Istrimu tahu?"
Prakasa hanya menggeleng saja.
Kembali secercah kilat menyambar membuat suasana terang benderang sesaat Dua
orang laki-laki itu menatap ke arah yang sama.
Tampaklah sebuah ba ngunan batu yang ditumpuk menyerupai kuil kecil, begitu
sinar kilat yang sesaat itu menerangi sekitarnya. Mereka sama-sama terkesiap dan
terkejut begitu menyadari bentuk bangunan itu. Batu-batu yang bertumpuk itu
membentuk kerucut yang tingginya tidak lebih dari tinggi orang dewasa. Bagian
bawah bangunan itu sudah terendam air bercampur lumpur.
"Ayah, apakah jalan yang kita lalui tidak salah?" tanya Pandu Praka sa tanpa
berpaling sedikit pun.
"Kenapa?" Ki Selong balik bertanya.
"Bukankah ini..," Pandu Prakasa tidak melanjutkan kata-katanya. Matanya tidak
berkedip menatap tumpukan batu berbentuk kuil di depannya.
"Kau yang memilih jalan ini, bukan?" pelan suara Ki Selong
"Benar! Tapi...," kembali suara Pandu Prakasa terputus.
Saat itu kembali secercah kilat menyambar.
Dan ujung kilat itu menghantam tumpukan batu berbentuk kuil kecil itu, sehingga
menimbulkan suara ledakan dahsyat Tumpukan batu itu hancur berkeping-keping,
menyebar ke segala arah. Ki Selong bergegas menarik tangan anaknya, lalu
melangkah mundur mendekati Laras yang memeluk erat-erat anaknya.
Cahaya pun menyemburat dari kobaran api yang membakar batu-batu itu. Tampak
wajah Ki Selong dan Pandu Prakasa pucat pasi. Mata mereka sama-sama tidak
berkedip memandangi kobaran api itu.
Suasana yang semula gelap, berubah terang benderang oleh kobaran api yang
ditimbulkan sambaran kilat tadi..
"Ada apa, Ayah" Kakang....?" tanya Laras yang ketakutan melihat wajah ayah
mertua dan suaminya pucat pasi.
Baik Ki Setong mau pun Pandu Prakasa tidak menjawab, tapi malah saling
berpandangan satu sama lain. Saat itu, tiba-tiba saja suatu ledakan keras
terdengar menggelegar dari api yang berkobar besar. Percikan bunga api menyebar
ke segala arah, dan salah satunya menyambar atap dangau yang terbuat dari daun
rumbia. Api itu langsung melalap atap dangau.
"Cepat, pergi...!" seru Ki Selong.
Pandu Prakasa bergegas menarik tangan istrinya dan membawanya keluar dari dalam
dangau. Sedangkan Ki Selong bergegas melompat keluar menyusul anak dan
menantunya. Bocah laki-laki berusia tujuh tahun, memeluk erat ibunya dan
menyembunyikan wajahnya di dada wanita itu. Mereka berlari-lari menjauhi tempat
itu. *** Api terus berkobar semakin besar. Hujan pun turun deras bagai ditumpahkan dari
langit Ki Selong bersama anak, menantu, dan cucunya terus berlari semakin jauh
masuk ke dalam hutan. Cahaya api yang begitu besar menerangi alam sekitarnya.
Sesekali mereka menoleh ke belakang melihat sumber api itu. Dan ketika menoleh
untuk kesekian kalinya, mendadak mereka berhenti berlari.
Saat itu secercah kilat kembali menyambar ke arah kobaran api. Satu ledakan
keras terdengar dahsyat, menggetarkan bumi yang dipijak. Tidak berapa lama
berselang, terdengar suara raungan keras disusul padamnya api itu.
"Jagat Dewa Batara...!" desah Ki Selong terperanjat Matanya membeliak tidak
berkedip. Tampak dari reruntuhan batu itu, berdiri sesosok tubuh tinggi besar dengan kedua
tangan terangkat tinggi ke atas. Kepalanya menengadah lurus ke atas, dan
mulutnya terbuka lebar sambil meraung keras menggelegar. Sepasang bola matanya
terlihat merah menyala bagai.bara api yang berkobar-kobar. Gigi-giginya
bertaring tajam dan berkilat Pakaiannya koyak dan penuh lumpur, tidak jelas lagi
warnanya. "Graaagh...!" makhluk itu menggerung keras, lalu menoleh ke arah orang-orang
yang memperhatikan-nya.
"Kakang...," Laras merapatkan tubuhnya di belakang suaminya.
Makhluk mengerikan itu melompat cepat ke arah orang-orang itu. Dengan kecepatan
kilat, diterkamnya Ki Selong yang masih terperangah.
Laki-laki tua itu memekik keras. Lehernya dicengkeram kuat oleh kuku-kuku yang
panjang dan berlumpur.
"Ayah...!" jerit Laras tersentak kaget ketakutan.
"Akh...! Lari...! Cepat lari...!" teriak Ki Selong.
Laki-laki tua itu memberontak berusaha melepaskan diri dari cengkeraman itu. Dia
berteriak-teriak memerintahkan anak dan menantunya untuk cepat lari. Tapi Pandu
Prakasa seperti terkesima melihat kejadian mengerikan itu, dan hanya berdiri
serta membeliak tidak berkedip. Sementara Ki Selong semakin lemah gerakannya.
Suaranya juga tertelan gemuruh hujan yang masih deras.
"Lepaskan ayahku...!" teriak Pandu Prakasa begitu melihat tubuh ayahnya sudah
tidak bergerak-gerak lagi.
Pandu Prakasa melompat sambil mencabut goloknya yang terselip di pinggang.
Dengan kekuatan penuh, dibabarkan goloknya ke punggung makhluk liar mengerikan
itu. Tapi goloknya malah terpental begitu menghantam punggung makhluk itu.
"Gragh...!" makhluk itu menggeram keras.
Cepat sekali dia memutar tubuhnya sambil mengibaskan tangannya yang penuh
lumpur. Pandu Prakasa yang tengah terpana, tidak bisa lagi berkelit dari
sampokan itu. Mulutnya hanya mampu menjerit melengking, dan tubuhnya terlontar
keras menghantam sebatang pohon.
"Graaah...!"
Kembali makhluk itu menggerung keras, lalu melompat menerkam Pandu Prakasa.
Dengan buas dikoyaknya leher laki-laki muda itu dengan taringnya. Pandu Prakasa
menjerit keras, dan tubuhnya menggelepar kuat. Darah langsung muncrat dari leher
yang koyak. "Kakang...! Oh, tidaaak...!" jerit Laras histeris.
"Ibuuu...," rintih Surya Paku menangis dalam gendongan ibunya.
Makhluk itu menggerung dan menoleh pada Laras. Sepasang bola matanya berkilat
merah begitu melihat wanita muda berdiri bergetar menggendong seorang bocah.
Laras terpaku seketika, dan tubuhnya semakin keras menggigil. Tapi entah dari
mana, tiba-tiba datang suatu kekuatan yang membuatnya harus berbalik cepat dan
segera berlari kencang.
"Graaagh...!" Makhluk itu menggerung keras.
Dilepaskan cengkeramannya pada Pandu Prakasa. Bergegas makhluk itu melompat
hendak mengejar Laras. Namun, Pandu yang masih mampu berlahan hidup, cepat
melompat menerkam dengan
sisa-sisa tenaganya. Tidak dipedulikannya lagi lehernya yang koyak mengeluarkan
darah. Pandu memeluk erat-erat tubuh makhluk itu dari belakang.
"Ghraaaghk...!" Makhluk itu menggeram marah.
Kuat sekali sibakan kedua tangannya, sehingga dekapan Pandu terlepas. Tubuh
laki-laki muda itu terpelanting jatuh dengan kerasnya ke tanah. Makhluk itu
menjadi marah, dan kembali menerkam Pandu yang menggeletak di tanah basah.
Dengan buas sekali
dicabik-cabiknya tubuh laki-laki muda itu.
Jeritan melengking mengiringi kematiannya.
Makhluk aneh mengerikan itu meraung keras, dan kepalanya berputar memandang ke
sekeliling. Tapi Laras sudah tidak terlihat lagi bayangannya, lenyap ditelan
kegelapan malam dan lebatnya hutan. Kembali makhluk itu meraung keras
menggetarkan seluruh alam persada ini. Dua mayat bergelimpangan, bersimbah
darah. Makhluk itu kemudian melampiaskan kemarahannya dengan mencabik-cabik
kedua mayat laki-laki yang menjadi korbannya.
Sementara itu Laras terus berlari-lari sekuat tenaga. Tidak dipedulikannya lagi
arah yang ditempuh. Beberapa kali kakinya tersangkut akar yang menyembul dari
dalam tanah, sehingga wanita itu terjerembab. Namun segala rintangan sudah tidak
dipedulikannya lagi, dan terus berlari sekuat tenaga. Air matanya bercucuran
bercampur air hujan yang turun deras sekali.
"Ibuuu...," Surya Paku merintih lirih dalam pelukan ibunya.
"Oh!" Laras tersentak mendengar rintihan lirih anaknya.
Wanita itu berhenti berlari, dan jatuh duduk di tanah yang berlumpur sambil
menangis dan menciumi anaknya. Seluruh tubuhnya terasa letih, seakan tidak kuat
lagi untuk melangkah.
Apalagi untuk berlari. Laras memandang sekelilingnya. Naluri keibuannya
mengatakan kalau putra satu-satunya ini harus diselamatkan.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Laras bangkit berdiri dan berjalan tertatih-tatih
menembus kelebatan hujan sambil memeluk anaknya.
Dilindunginya anak itu dari terpaan air hujan yang begitu deras menyakitkan.
Laras tidak tahu lagi arah yang dituju, dan di mana sekarang berada. Hanya satu
tekadnya. Menyelamatkan Surya Paku dari makhluk buas yang telah merenggut nyawa ayah
mertua dan suaminya!
*** Pagi begitu bening. Matahari bersinar indah dengan cahayanya yang hangat
menyinari bumi. Burung-burung berkicau membangunkan seluruh makhluk di muka bumi
ini yang semalaman terlelap dalam buaian curah hujan.
Titik-titik air hujan masih terlihat di puncak-puncak pohon, memantulkan cahaya
indah membentuk lingkaran pelangi.
Di atas rerumputan basah, tampak tergolek seorang wanita muda berpakaian basah
dan kotor. Di sampingnya tergolek seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh
tahun. Hangatnya cahaya matahari pagi membuat dua orang itu menggeliat. Kelopak mata
mereka mengerjap.
"Oh...!"
Wanita itu langsung beranjak bangun, dan memandang berkeliling. Kicauan burung
seakan-akan menyambutnya. Wanita itu menoleh menatap bocah laki-laki kecil yang
juga sudah terbangua Tubuhnya masih tergolek, meskipun matanya terbuka penuh.
Raut wajah mereka tampak begitu letih, dan pandangan mata sayu.
Sesaat kemudian, wanita itu menutup wajah dengan kedua tangannya. Terdengar
suara isak lirih. Bahunya pun terguncang pelahan.
"Ibu...," pelan sekali suara bocah kecil itu. Dia bangkit dan beringsut duduk di
samping ibunya.
"Oh, Anakku...."
Wanita itu menggamit dan memeluk anaknya.
Dia terus menangis sambil menciumi wajah laki-laki kecil yang kelihatan
kebingungan. Tidak berapa lama kemudian wanita itu menghapus air matanya.
Tubuhnya masih terduduk lesu, dan pandangannya kosong ke depan, menatap hutan
yang lebat. Ingatannya kembali pada peristiwa
mengerikan yang merenggut nyawa ayah mertua serta suaminya semalam. Wanita yang
tidak lain adalah Laras, kembali menitikkan air matanya.
Kedua telapak tangannya menutup muka, tidak sanggup mengingat peristiwa itu.
Sedangkan anak laki-laki di sampingnya hanya bisa memeluk. Hatinya yang masih
polos dapat merasakan kesedihan yang dirasakan ibunya.
Meskipun belum mengerti, tapi dia ikut menyaksikan peristiwa yang mengerikan
itu. "Bu..., Ayah mana?" tanya Surya Paku pelan.
"Oh...!"
Laras memeluk anaknya, dan kembali menangis mendengar pertanyaan polos itu.
Surya Paku semakin tidak mengerti. Dibiarkan saja
ibunya memeluk dan menciuminya, bagai baru saja bertemu setelah berpisah sekian
tahun lamanya. Namun tiba-tiba Laras melepaskan pelukannya ketika mendengar
derap langkah kaki kuda dari kejauhan, yang jelas mengarah ke tempatnya.
Bergegas Laras bangkit berdiri dan menggendong anaknya, lalu cepat-cepat berlari
ke arah semak belukar yang tidak jauh dari tempat itu. Dia bersembunyi di
dalamnya. Tidak lama berselang, muncul seorang pemuda tampan menunggang kuda
hitam. Langkah kaki kuda itu tidak tergesa-gesa. Dan penunggangnya seperti
tengah menikmati keindahan di sekelilingnya sambil menghirup udara segar
sebanyak-banyaknya.
Penunggang kuda hitam itu menghentikan langkah binatang jinak tinggi besar itu,
di tempat Laras dan anaknya tadi berada. Pemuda tampan penunggang kuda itu
melompat turun.


Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gerakannya indah tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Sebentar dipandangi
keadaan sekeliling, kemudian ditekuk lututnya hingga menyentuh tanah. Tangan
kanannya meraba-raba rumput yang rebah bekas tertindih benda berat.
"Hm..., tampaknya masih baru," gumam pemuda itu pelan.
Sebentar kemudian kepalanya terangkat naik. Pada saat itu, Laras menyembulkan
kepalanya keluar
dari semak. Tapi buru-buru ditarik kembali kepalanya. Namun pemuda tampan
berbaju rompi putih itu sudah melihatnya. Dia berdiri dan melangkah ke arah
semak belukar itu.
"Nisanak, keluarlah. Kenapa takut?" lembut suara pemuda itu menyapa.
Tapi Laras tidak kunjung keluar. Semak belukar itu bergoyang menimbulkan suara
gemerisik. Pemuda tampan itu melangkah lebih mendekat Dan begitu disibakkan
semak itu, tampak Laras merungkut memeluk erat anak laki-lakinya. Pemuda itu
mengerutkan alis melihat keadaan wanita muda bersama seorang anak laki-laki yang
tampak ketakutan. Seluruh tubuhnya menggigil, dan wajahnya pucat pasi.
"Oh, tidak...! Jangan, jangan sakiti aku...," rintih laras memelas.
"Nisanak...."
"Jangan..!" jerit wanita itu langsung bangkit berdiri dan berlari kencang
menerobos semak itu.
Pemuda berbaju rompi putih itu melompat menghindari terjangan Laras. Wanita muda
itu terus berlari sambil menggendong anaknya dalam pelukan yang begitu erat.
Tapi belum lama berlari, kakinya terantuk sebongkah batu. Tak ayal lagi,
tubuhnya terjerembab bergulingan.
Surya Paku terlepas dari pelukannya, dan melayang hampir mencium tanah.
"Hup!"
Cepat sekali pemuda itu melompat, seraya menangkap Surya Paku sebelum bocah itu
jatuh ke tanah. Sementara wanita itu bangkit kembali, dan langsung menjerit
melihat anaknya berada di dalam gendongan pemuda asing yang belum dikenalnya.
"Lepaskan anakku...!"
jeritnya keras. Wanita itu berlari cepat menubruk pemuda tampan berbaju rompi
itu. Dengan paksa direbutnya Surya Paku dari gendongan pemuda itu, kemudian beringsut
mundur dengan wajah pucat ketakutan. Seluruh tubuhnya menggigil keras bagai
terserang demam. Sedangkan bocah laki-laki di dalam gendongan-nya memeluk ibunya
erat-erat. Sementara pemuda itu kelihatan bingung dan keheranan melihat sikap wanita muda
itu. Dia tidak mengerti, mengapa wanita itu jadi histeris ketakutan melihatnya.
Sepertinya tengah melihat sosok makhluk mengerikan yang siap mencabik-cabik
seluruh tubuhnya.
"Nisanak...," pemuda itu mencoba bicara lembut. "Jangan! Pergi kau...!
Pergiii...!"
jerit Laras melengking.
Pemuda itu mengurungkan niatnya untuk mendekati. Sementara Laras terus melangkah
mundur menjauh. Dipeluk anaknya erat-erat.
Seluruh tubuhnya yang kotor berlumpur, masih terlihat menggigil ketakutan.
Wajahnya semakin pucat bagai tidak teralirkan darah.
"Jangan sakiti aku. Aku tidak bersalah.
Aku tidak tahu apa-apa. Pergi kau....!
Pergi....!" jerit Laras.
"Nisanak, aku tidak akan menyakitimu. Apa yang terjadi denganmu?" tanya pemuda
itu lembut. "Jangan dekat!"
Kembali pemuda itu mengurungkan
langkahnya. "Baiklah, aku akan pergi," kata pemuda itu menyerah.
Pemuda itu melangkah menghampiri kudanya, lalu melompat naik ke punggung kuda
hitam itu. Sebentar dipandangi wanita bersama anaknya itu, kemudian dihela kudanya pelahanlahan. Kuda hitam itu berjalan pelan-pelan masuk ke dalam hutan. Laras langsung
menjatuhkan dirinya berlutut Seluruh tubuh dan perasaannya terasa lemas.
*** 2 Hari terus merayap semakin tinggi. Laras terus melangkah tertatih-tatih menuntun
anaknya yang berjalan pelan di sampingnya.
Hampir seharian mereka berjalan, namun belum juga menemukan perkampungan.
Sepanjang jalan yang dilalui hanya padang gersang dan hutan lebat. Laras sengaja
menghindari hutan karena takut kalau-kalau bertemu makhluk aneh mengerikan yang
telah membunuh ayah mertua serta suaminya secara liar dan buas.
"Bu, ke mana kita pergi?" tanya Surya Paku lesu.
"Entahlah," sahut Laras yang juga lesu.
"Kau lelah, Sayang?"
"He-eh." Surya Paku mengangguk.
"Kita istirahat sebentar di sini."
Tempat itu memang cocok untuk
beristirahat. Pemandangannya cukup indah, dan terdapat juga sungai kecil yang
mengalir jernih. Surya Paku menceburkan dirinya ke dalam sungai itu. Dibersihkan
tubuhnya yang kotor berlumpur. Sedangkan Laras juga membersihkan tubuh dan
pakaiannya. Mereka beristirahat sambil menikmati segarnya air jernih sungai
kecil itu. Tidak lama mereka berada di dalam sungai, kemudian naik ke darat dengan pakaian
basah kuyup. Memang hanya itu satu-satunya pakaian yang bisa dibawa. Mereka
tidak sempat lagi menyelamatkan barang bawaan yang tertinggal di dangau. Laras
duduk di atas batu ceper yang menyerupai piring.
"Ha ha ha..!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras.
Laras tersentak kaget dan buru-buru bangkit berdiri seraya menggendong anaknya.
Suara tawa itu terdengar menggema, seolah-olah datang dari segala penjuru. Laras
jadi bingung. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak terlihat ada orang
lain di tempat ini.
Belum juga Laras bisa menyadari apa yang bakal terjadi, tiba-tiba saja empat
orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar bermunculan dari balik
semak belukar. Mereka tertawa-tawa terkekeh sambil menatap liar pada Laras. Tentu saja wanita
itu jadi ketakutan dan beringsut mundur. Tapi....
"Ah...!" Laras memekik kaget.
Entah kapan dimulainya, tahu-tahu salah seorang dari empat laki-laki kasar itu
sudah melompat dan menerkamnya. Wanita itu tidak bisa lagi mengimbangi tubuhnya,
lalu jatuh bergulingan bersama laki-laki yang menerkamnya. Surya Paku terlepas
dari gendongan Ibunya. Tiga laki-laki lainnya hanya tertawa-tawa melihat
pergumulan seorang temannya.
"Lepaskan! Bajingan...! Auh!" Laras menjerit-jerit sambil meronta berusaha
melepaskan diri.
Tapi dengan kasar laki-laki itu merenggut pakaian yang dikenakan Laras, sehingga
wanita itu terpekik. Dengan berusaha susah payah ditutupi tubuhnya yang mulai
terbuka. Tiga laki-laki lainnya semakin keras tertawa, dan mulai berlompatan
mendekati. Tatapan matanya begitu liar, dan lidahnya menjulur ke depan menjilati
bibirnya sendiri.
Laras benar-benar tidak berdaya lagi.
Tubuhnya menggeliat-geliat di tanah dikeroyok empat orang laki-laki. Sementara
Surya Paku hanya bisa menangis menyaksikan ibunya direjam empat orang dengan
buas. Namun ibu anak kecil itu masih juga berusaha meronta melepaskan diri,
meskipun seluruh pakaiannya sudah cabik-cabik tidak karuan lagi.
Namun pada saat yang kritis, tiba-tiba saja laki-laki yang mengerubuti Laras
berpentalan ke udara. Mereka memekik keras dan bergelimpangan di tanah. Laras
buru-buru beringsut sambil membenahi pakaiannya yang sudah tidak berbentuk lagi.
Tidak jauh darinya berdiri seorang laki-laki muda dan tampan.
Empat orang laki-laki itu bergegas bangkit, langsung menggeram marah.
"Aku muak melihat manusia-manusia berhati iblis macam kalian!" dengus pemuda itu
dingin. "Kurang ajar! Kau cari mampus rupanya, heh!" geram salah seorang.
"Seharusnya kalian malu, mengeroyok wanita lemah tanpa daya."
"Setan! Kubunuh kau, keparat..!" Empat orang laki-laki itu segera mencabut
goloknya, dan melompat menerjang pemuda yang memakai baju rompi putih. Namun
terjangan itu manis sekali dapat dielakkan. Bahkan- pemuda itu mampu
menyarangkan pukulannya secara beruntun.
Empat orang laki-laki berwajah kasar itu memekik keras, dan tubuhnya berpentalan
bagai daun kering.
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu senjata mereka sudah berpindah tangan. Pemuda
itu melemparkan golok yang dirampasnya, dan senjata itu menancap tepat di depan
empat orang itu. Mata mereka membeliak lebar melihat goloknya terbenam dalam
sampai ke tangkal
"Cepat pergi, sebelum pikiranku berubah!"
tetap dingin suara pemuda itu.
Empat laki-laki itu saling berpandangan, lalu bergegas meninggalkan tempat itu.
Mereka tidak peduli lagi dengan goloknya yang tertanam dalam di tanah. Pemuda
itu berbalik menghadap pada Laras yang sudah berada di samping anaknya. Pakaian
wanita itu sudah tidak karuan lagi sehingga beberapa bagian tubuhnya terbuka.
"Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu lembut.
"Tidak, terima kasih," sahut Laras.
"Suit!" pemuda itu bersiul pendek.
Terdengar ringkikan, kemudian disusul oleh munculnya seekor kuda hitam yang
tinggi dan tegap. Kuda itu menghampiri pemuda berbaju rompi putih sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pemuda itu mengambil buntalan kain usang dari
pelana kudanya, dan menyerahkannya pada Laras.
"Aku menemukan ini tidak jauh dari sini,"
kata pemuda itu. "Hanya ada beberapa potong pakaian, mungkin pas ukurannya
denganmu."
"Oh, di mana Tuan temukan ini?" Laras mengenali buntalan kain miliknya itu.
"Di sebuah dangau," sahut pemuda itu.
"Hm..., sebaiknya jangan memanggil aku tuan.
Panggil saja Rangga. Itu namaku."
Laras memberikan senyuman sedikit.
Dibukanya buntalan kain itu, lalu diambilnya selembar kain yang terlipat rapi.
Sesaat kemudian dililitkan kain itu ke tubuhnya Pemuda berbaju rompi putih yang
ternyata adalah Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti, melangkah menjauhi dan
membalikkan tubuhnya menghadap ke arah lain.
Sejenak Laras memandanginya, kemudian bergegas mengambil sepotong baju yang
dengan cepat dikenakannya. Dia pun harus mengganti baju anaknya yang sudah kotor
itu. Laras kelihaian cantik dengan baju merah muda yang bersih. Sengaja
dipakainya celana sebatas lutut untuk memudahkannya bergerak. Kembali dipandangi
punggung Rangga yang menghadap ke arah lain.
"Tuan...," pelan suara Laras memanggil.
Rangga menoleh sedikit, lalu berbalik menghadap wanita itu. Pendekar Rajawali
Sakti itu bersiul kecil melihat Laras sudah berganti pakaian. Seketika wajah
wanita itu jadi merah tersipu malu. Pelahan-lahan Rangga melangkah menghampiri
dan berlutut di depan anak laki-laki kecil.
"Siapa namamu?" tanya Rangga lembut.
Surya Paku tidak langsung menjawab, tapi hanya menengadah menatap ibunya.
"Surya," Laras yang menyahuti.
"Nama yang bagus," ucap Rangga seraya berdiri.
"Terima kasih, Tuan...."
"A a a...," Rangga menggerak-gerakkan jari telunjuk di depan mulutnya dengan
kepala menggeleng-geleng. "Jangan panggil aku tuan, panggil saja Rangga."
"Maaf," ucap Laras kembali tersipu.
Laras menundukkan kepalanya. Dia tadi telah menyangka buruk terhadap pemuda itu.
Tapi sekarang, pemuda itu telah menolongnya, bahkan membawakan pakaiannya
kembali. Laras jadi malu dan tidak sanggup memandang wajah laki-laki tampan di
depannya. Untuk beberapa saat, dirinya hanya bisa diam sambil tertunduk.
*** Rangga memutar-mutar dahan kecil di atas api yang dibuatnya. Pada ujung dahan
kecil itu terpanggang seekor kelinci gemuk yang ditangkap tadi. Di sampingnya
duduk Surya Paku, yang kelihatan lahap sekali menikmati daging kelinci panggang.
Sedangkan di depannya, Laras juga tengah menikmati daging
yang sama. Masih ada seekor lagi yang belum dipanggang.
"Kau bilang barang-barang itu milikmu, kenapa ditinggalkan di dangau?" tanya
Rangga seraya mengangkat kepalanya menatap Laras.
Mulut Laras yang sudah terbuka hendak menggigit daging kelinci, jadi terkatup
kembali mendengar pertanyaan itu. Sesaat wanita itu menatap Rangga, kemudian
kepalanya tertunduk. Terpancar kesedihan yang amat dalam pada raut wajahnya.
Kilatan sinar matanya juga menunjukkan perasaan takut dan kengerian yang
mendalam. "Aku juga menemukan bekas-bekas...."
"Ah!" Laras terpekik tanpa sadar, dan langsung mengangkat kepalanya.
Rangga jadi heran melihat wajah Laras jadi pucat pasi. Tubuhnya mendadak saja
bergetar bagai terserang demam. Wanita itu beringsut mendekati anaknya, lalu
memeluknya erat-erat.
Tatapannya masih tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau sakit, Laras?" tanya Rangga tidak mengerti akan sikap wanita itu.
"Oh, tid..., tidak," sahut Laras tergagap.
"Tapi..., wajahmu pucat."
"Aku..., aku...," suara Laras jadi tercekat di tenggorokan.
"Hssst..., sudah. Maaf, aku tidak akan menyinggung lagi tentang itu," Rangga
menenangkan. Laras kembali tertunduk. Tubuhnya masih terlihat bergetar. Wajahnya juga masih
memucat. Di benaknya terbayang kembali peristiwa mengerikan yang merenggut
orang-orang yang dicintainya, yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup.
Sungguh mengerikan!
Rasanya Laras tidak sanggup membayangkannya
lagi. Tubuhnya selalu bergetar jika teringat peristiwa malam itu.
"Boleh aku tahu, ke mana tujuanmu?" tanya Rangga membelokkan pembicaraan.
Laras tidak langsung menjawab. Diangkat kepalanya pelahan-lahan, langsung
ditatap bola mata pemuda di sampingnya. Pelahan sekali kepalanya bergerak
menggeleng, hampir tidak kelihatan.
"Jarang orang yang datang ke daerah ini.
Apa kau dari Desa Caruban?" kembali Rangga membuka suara.
"Caruban..."!" nada suara Laras seperti baru saja mendengar nama desa itu.
"Iya, Caruban. Desa itu tidak jauh dari sini. Hanya setengah hari perjalanan.
Kau bukan dari sana?" Rangga ingin kejelasan.
"Bukan," sahut Laras pelan seraya menggeleng lemah.
"Ha.., tidak ada desa lagi di sekitar Gunung Puring ini," suara Rangga terdengar
bergumam. "Apakah ini Gunung Puring?" Laras jadi bertanya.
"Benar! Kita sekarang berada di sebelah Timur Lereng Gunung Puring. Kenapa kau
bertanya begitu" Kau tidak tahu, Laras?"
Rangga jadi heran.
"Oh...," Laras menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Desahannya begitu
berat dan panjangi Tangannya mengusap-usap kepala anaknya yang hanya diam saja
di pangkuan ibunya.
"Aneh.... Kau berada di sini bersama anakmu, tapi tidak tahu nama tempat
ini...," gumam Rangga pelan, seolah untuk dirinya sendiri.
"Rangga...," panggil Laras pelan.
"Hem...."
"Kau berasal dari mana?" tanya Laras seraya menatap wajah Pendekar Rajawali
Sakti itu. "Aku hanya seorang pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal pasti.
"Kau bukan orang suruhan...," suara Laras terputus.
"Tidak ada yang bisa menyuruhku," kata Rangga seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Meskipun kelihatannya biasa saja, namun hati Pendekar Rajawali Sakti itu sudah
bisa menebak kalau Laras mempunyai persoalan, sehingga berada di tempat yang
sangat terasing dan tidak pernah didatangi orang ini. Tapi Rangga tidak ingin
mendesaknya, khawatir akan menyinggung perasaannya dan mem buat wanita itu pucat
dan menggigil. Laras terdiam, mungkin sedang
mempertimbangkan pemuda tampan yang telah menolongnya dari tangan-tangan kotor
tadi. Kembali dinikmati daging kelinci panggangnya.
Sementara Rangga juga menyantap kelinci bakar, lalu memanggang seekor lagi.


Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara Surya Paku tetap tenang, seperti tidak mengetahui yang ada di dalam
hati dan pikiran ibunya.
Mereka menghabiskan kelinci panggang itu tanpa berbicara lagi. Sampai kelinci
panggang tak tersisa, belum ada yang membuka suara.
Rangga bangkit berdiri dan mendekati kudanya yang tertambat di pohon, lantas
memasang pelana pada kuda hitam itu. Sebentar diliriknya Laras yang sudah
bersiap untuk meninggalkan tempat ini. Buntalan kain sudah tersandang di
pundaknya yang kecil. Tangan kirinya menggandeng Surya Paku.
"Ke mana tujuanmu?" tanya Rangga baru membuka suara kembali.
"Entahlah," desah Laras menjawab.
"Bu, katanya...."
"Ssst...!" Laras menyentakkan tangan anaknya, sehingga Surya Paku langsung diam.
"Bukannya aku menakut-nakuti, tapi rasanya tidak aman jalan seorang diri,
apalagi membawa anak. Tempat ini penuh manusia-manusia liar tidak beradab," kata
Rangga memperingatkan.
"Terima kasih, tapi...," ucap Laras terputus.
"Aku berharap kau bisa selamat. Sampai ketemu lagi," ucap Rangga seraya melompat
naik ke punggung kuda Dewa Bayu.
"Eh..!"
Rangga tidak jadi menggebah kudanya.
Ditatpnya Laras yang kelihatan bimbang.
"Ada yang ingin kau katakan?" lembut suara Rangga.
"Tid..., eh, iya," Laras jadi gugup.
"Katakanlah," pinta Rangga seraya turun kembali dari punggung Dewa Bayu.
"Aku percaya kau orang baik...," kembali kata-kata Laras terputus.
Rangga menghampiri sambil menuntun kudanya.
"Jangan katakan apa-apa kalau tidak ingin mengatakannya. Tapi aku bersedia
mengantar sampai tujuanmu," kata Rangga melihat Laras masih tampak bimbang.
Rangga meraih tubuh Surya Paku dan menaikkan-nya ke kudanya. Bocah itu kelihatan
senang berada di atas punggung Dewa Bayu yang hitam dan gagah.
"Mau jalan kaki, atau naik kuda ini?"
Rangga menawarkan.
"Terima kasih," hanya itu yang bisa terucapkan dari bibir Laras.
Tanpa berkata-kata lagi, mereka berjalan pelahan-lahan meninggalkan tempat itu.
Rangga berjalan di samping Laras sambil menuntun kudanya. Wanita itu kelihatan
masih bimbang dan terus berpikir. Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini.
Dia sendiri tidak tahu arah yang di tuju sekarang.
Rangga dan Laras terus berjalan pelahan-lahan memutari Lereng Gunung Puring.
Mereka berjalan tanpa arah dan tujuan pasti. Hari terus berjalan demikian cepat.
Tak terasa keadaan sekitarnya telah gelap.
Saat Rangga, Laras, dan Surya Paku, terdiam membisu, tiba-tiba terdengar suara
raungan dahsyat bagai seekor binatang buas.
Raungan itu demikian keras, sehingga terdengar jelas. Seketika itu juga wajah
Laras pucat pasi, dan tubuhnya menggigil bagai terserang demam mendadak. Rangga
sampai terlonjak dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Rangga, awas...!" seru Laras tiba-tiba.
Rangga membalikkan tubuhnya cepat. Pada saat yang sama sesosok makhluk tinggi
besar dan berwajah mengerikan muncul. Makhluk itu menggeram keras memperlihatkan
giginya yang bertaring tajam. Seluruh tubuhnya kotor berlumpur. Hampir-hampir
Rangga tidak percaya dengan penglihatannya. Belum pernah dia melihat makhluk
seram seperti ini.
"Grauuugh...!" makhluk itu menggeram dahsyat. Tiba-tiba saja makhluk itu
melompat cepat bagaikan kilat menerkam Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu Rangga
masih terpaku. Perasaannya diliputi berbagai macam perasaan melihat makhluk yang baru pertama
kali dilihatnya ini. Rangga benar-benar tidak sempat lagi menghindar. Jari-jari
tangan yang kotor dan berkuku panjang, kini telah
mencengkeram leher Pendekar Rajawali Sakti itu.
Seketika itu juga Rangga merasakan pernapasan-nya terganggu. Dicobanya untuk
melepaskan cengkeraman makhluk itu. Tapi semakin berusaha, semakin keras cekikan
itu pada lehernya.
"Ugh! Cekikan ini...!" dengus Rangga dalam hati.
*** 3 Rangga menghimpun tenaga dalamnya.
Ditekankan kakinya ke perut makhluk itu, dan tangannya menekan dada. Sambil
mengerahkan kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai kesempurnaan, Pendekar
Rajawali Sakti itu menghentakkan makhluk itu kuat-kuat.
"Hiyaaa...!"
"Graghk...!"
Makhluk itu melayang deras ke angkasa, lalu jatuh menghantam sebongkah batu
besar hingga bumi terasa bergetar begitu tubuh makhluk besar itu jatuh
menghantam batu.
Sementara Rangga bergegas melompat bangkit berdiri. Sebentar dipegangi lehernya
yang terasa perih. Untung tidak ada luka, tapi cukup membuat napasnya sesak.
"Graghk...!"
Makhluk besar dan berlumpur itu kembali melompat cepat. Namun kali ini Rangga
sudah siap. Dia segera melompat ke kiri, sambil melayangkan satu tendangan keras
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi apa yang terjadi sungguh di luar
dugaan sama sekali.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti justru malah
terpental menabrak pohon hingga tumbang.
Sedangkan makhluk itu berdiri tegak sambil menggeram keras.
"Gila! Makhluk apa ini..?" rungut Rangga seraya bangkit berdiri.
Sementara, makhluk besar dan kotor itu sudah melangkah menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti. Geramannya begitu keras' sehingga mendirikan bulu roma. Matanya
merah menyala bagai kobaran api. Rangga melangkah ke samping sambil
mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Kedua
tangannya jadi merah bagai terbakar.
"Ghraaakh...!"
"Hiyaaat..!"
Begitu makhluk itu menyerang, dengan cepat Rangga melompat ke atas. Tubuhnya
kemudian menukik tajam sambil melontarkan dua pukulan mautnya ke arah kepala,
dan tepat menghantam sasaran. Tapi, makhluk itu bukannya roboh!
Justru Pendekar Rajawali Sakti-lah yang terpental dan bergulingan di tanah.
Rangga bergegas bangkit berdiri. Hatinya benar-benar heran menghadapi makhluk
yang begitu kuat Tidak sedikit pun terpengaruh jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' tingkat terakhir. Bahkan makhluk itu masih tetap tegar, dan kini sudah
kembali menyerang ganas
Menghadapi lawan seperti ini. Rangga tidak punya pilihan lagi. Langsung
dikerahkannya jurus-jurus andalan yang jarang dikeluarkan dalam pertarungan.
Tapi setiap jurus yang dikeluarkan, tidak berpengaruh sama sekali.
Makhluk itu tetap tegar, bahkan kini semakin liar saja. Kali ini Rangga benarbenar kewalahan menghadapinya. "Hup!"
Rangga melompat jauh ke belakang sambil memutar tubuhnya di udara. Dengan manis
sekali kakinya mendarat di tanah, tidak jauh dari Laras dan Surya Paku. Wanita itu
sudah menggendong anaknya dengan tubuh gemetar ketakutan. Sementara makhluk itu
menggerung-gerung marah. Tenaganya begitu luar biasa.
Pohon besar hancur begitu terkena amukannya.
"Cepat kalian tinggalkan tempat ini,"
perintah Rangga.
"Kau...?" nada suara Laras terdengar cemas.
"Pakai kudaku! Dia tahu ke mana harus membawamu," kata Rangga lagi.
Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu meringkik, seakan-akan bisa mengerti apa
yang dikatakan Rangga. Kuda Dewa Bayu melangkah mendekati, dan menganggukanggukkan kepalanya.
Rangga tidak banyak bicara lagi. Diangkatnya tubuh Laras yang menggendong
anaknya, lalu ditempatkan di punggung kuda hitam itu.
"Kau tahu ke mana harus membawa mereka?"
tanya Rangga pada kuda Dewa Bayu sambil menepuk leher kuda itu.
Kuda Dewa Bayu meringkik keras, lalu berlari kencang membawa dua orang di
punggungnya. Sementara Rangga kembali bersiap-siap menghadapi makhluk aneh
mengerikan itu.
Makhluk itu kelihatan marah melihat Laras pergi menunggang kuda. Dia menggeram
keras, lalu melompat hendak mengejar. Tapi Rangga tidak bisa mendiamkan begitu
saja, dan cepat-cepat ikut melompat sambil mengirimkan beberapa pukulan keras
bertenaga dalam tinggi.
Tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat. Makhluk itu kini memusatkan
perhatiannya pada Rangga. Kemarahannya ditumpahkan pada Pendekar Rajawali Sakti
itu, lalu mengamuk membabi buta. Rangga tahu kalau
makhluk ini tidak pandai ilmu silat, tapi hanya mengandalkan kekuatan tubuh
saja. Sret! Rangga mencabut pedang pusakanya, dan mempersiapkan jurus 'Pedang Pemecah
Sukma'. Makhluk itu menggeram dahsyat melihat pedang yang bersinar biru itu. Kembali
diserangnya Rangga dengan ganas. Dengan pedang di tangan, Rangga semakin lincah
dan sukar didekati.
"Modar!" seru Rangga keras.
Seketika itu juga Rangga menyabetkan pedangnya ke dada yang terbuka. Gerakan
makhluk itu memang cepat, tapi terasa lamban bagi Pendekar Rajawali Sakti.
Tebasan pedang itu tepat menghantam dadanya.
Semula Rangga mengira makhluk itu akan meraung dan menggelepar di tanah. Tapi,
kenyataan yang dihadapi sungguh di luar dugaan sama sekali. Tidak ada luka
sedikit pun di dadanya. Bahkan Rangga kini merasakan jari-jari tangannya menjadi
kaku. Buru-buru dia melompat mundur beberapa tombak. "Hiyaaat...!"
Kembali Rangga menerjang sambil
membabatkan pedangnya beberapa kali ke tubuh makhluk itu. Tidak ada satu pun
tebasannya yang luput dari sasaran. Namun makhluk besar dan kotor itu tetap
tegar, dan tidak terluka sedikit pun. Hal ini membuat Rangga perasaran,
bercampur heran. Baru kafi ini Pedang Rajawali Sakti tidak bermanfaat
"Phuih! Dari mana setan ini muncul..."
Huh! Bisa habis tenagaku kalau begini terus!"
dengus Rangg seraya melompat mundur sejauh tiga batang tombak.
*** Rangga tidak ingin membuang-buang tenaga menghadapi makhluk kebal itu. Segera
dikerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Pendekar Rajawali Sakti itu menekuk
lututnya, hingga tubuhnya sedikit merendah. Kemudian tangan kirinya menggosok
mata pedang yang melintang di depan dada. Sementara makhluk itu menggerung pelan
memperhatikan. Pelahan-lahan cahaya biru kemilau
bergulung membentuk lingkaran bulat seperti bola di ujung pedang. Dan lingkaran
itu bergerak menggulung seluruh mata pedang Rajawali Sakti, hingga ke
tangkainya. "Grrrh...!" makhluk itu menggerung pelahan sambil menggerakkan kepalanya miring
ke kanan. Namun tiba-tiba saja makhluk itu melompat cepat, lalu masuk ke dalam hutan
lebat. Rangga tersentak kaget melihat makhluk tinggi besar berlumpur itu kabur.
Cepat-cepat dihentakkan pedangnya ke depan, maka bola biru itu melesat cepat
bagai anak panah lepas dari busurnya.
Satu ledakan keras terdengar menggelegar begitu bola biru menghantam pepohonan.
Trak! Rangga memasukkan kembali pedang ke dalam warangkanya di balik punggung.
Dipandangi pepohonan yang tumbang, hancur berkeping-keping terhantam aji 'Cakra
Buana Sukma'. Kini tidak terlihat lagi makhluk itu. Rangga jadi keheranan juga
melihat makhluk itu lari begitu dikerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
"Hhh...! Makhluk apa itu" Bentuknya seperti manusia. Tapi..," Rangga bergumam
sendiri disertai hembusan napas panjang.
Rangga jadi teringat akan sikap Laras yang begitu ketakutan ketika mendengar
suara makhluk itu. Padahal bentuknya saja belum kelihatan. Sepertinya, makhluk
itu memang mengincar Laras. Pendekar Rajawali Sakti jadi bertanya-tanya sendiri di dalam
hati. Dicobanya untuk menghubung-hubungkan keberadaan Laras di hutan Lereng Gunung
Puring ini, dengan sikap aneh wanita itu.
"Memang aneh sikap Laras. Tapi, apa hubungan-nya dengan makhluk itu?" Rangga
bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti itu menggeleng-geleng kan kepalanya. Belum bisa dijawab
semua pertanyaan yang mengalir di dalam benaknya.
Langkah Rangga cepat ke arah perginya kuda Dewa Bayu membawa Laras dan Surya
Paku. Sudah diketahui ke mana kuda Dewa Bayu membawa wanita dan anaknya itu
pergi. Rangga mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang diimbangi ilmu lari cepat. Ilmu
yang dimilikinya sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga gerakannya begitu
cepat. Larinya saja seperti tanpa menyentuh tanah. Rangga terus berlari
menerobos hutan. Kadang-kadang harus melompat di pohon yang satu ke pohon yang
lain. Pendekar Rajawali Sakti itu terus berlari cepat, dan baru berhenti setelah tiba
pada sebuah perkampungan yang ada di kaki Lereng Gunung Puring. Perkampungan itu
tidak terlalu besar, tapi cukup padat penghuninya. Rangga melangkah tenang
menyusuri jalan utama perkampungan itu.
"Laras...!" teriak Rangga ketika melihat seorang wanita berjalan menuntun kuda
hitam yang di punggungnya duduk seorang anak laki-laki.
Wanita itu berhenti melangkah dan menoleh.
Dia langsung berlari menghampiri Rangga yang melangkah cepat ke arahnya. Kuda
hitam itu juga berbalik dan melangkah menghampiri majikannya.
"Oh! Aku cemas sekali, Rangga," ucap Laras. Wajahnya masih terlihat pucat.
Rangga hanya tersenyum saja. Diambilnya tali pelana kudanya, lalu kembali
melangkah sambil menuntun kuda itu. Laras juga ikut berjalan di sampingnya.
Mereka melangkah tanpa bicara lagi, dan baru berhenti setelah tiba di depan
rumah kecil berdinding papan. Seorang laki-laki tua yang tengah duduk di balaibalai bambu, langsung melompat dan menghampiri.
"Den...," laki-laki itu tampaknya sudah kenal dengan Rangga.
"Ki, aku ingin menumpang lagi untuk beberapa hari di sini," kata Rangga ramah.
"Oh, tentu. Tentu saja boleh, Den. Silakan masuk," sambut laki-laki tua itu
ramah. "Laras, ini Ki Giri. Aku pernah menginap di sini beberapa hari," Rangga
memperkenalkan.
"Ha ha ha.... Rumah ini selalu terbuka untuk Den Rangga, dan Den Ayu," sambut Ki
Giri. "Panggil saja aku Laras, Ki," kata Laras.
"Oh ya..., silakan masuk! Tentunya kalian semua sudah lelah dan lapar. Tadi aku
mencabut ketela di kebun, dan sudah ada yang kurebus.
Ayo, masuk."
"Terima kasih," ucap Laras.
Rangga menurunkan Surya Paku dari punggung kuda Dewa Bayu, kemudian
menambatkannya di bawah pohon kemuning. Sementara Ki Giri sudah membawa masuk
Laras dan anaknya ke dalam rumahnya. Rangga memandangi sekitarnya beberapa saat.
Kemudian melangkah masuk ke dalam rumah itu. Dihenyakkan tubuhnya di dipan kayu
yang hanya beralaskan tikar daun pandan.
Sedangkan Laras duduk di dipan itu juga, tidak jauh dari Pendekar Rajawali
Sakti, dipan ini memang cukup besar dan tampaknya kuat, dan terbuat dari kayu
jati yang sudah tua usianya.
Ki Giri keluar dari ruangan belakang membawa sepiring ketela rebus yang masih
mengepulkan uap. Diletakkannya piring yang penuh ketela itu di meja dekat dipan
itu. "Ayo dimakan, mumpung masih hangat," Ki Giri mempersilakan.
"Terima kasih, Ki," ucap Laras seraya mengambil sepotong dan sebelahnya.
Diberikan yang sebelah itu pada anaknya. Sedangkan Rangga juga mengambil
sepotong. Ki Giri menuangkan air ke dalam gelas bambu dari dalam kendi tanah liat.
Kemudian diambil tembakau dan digulungnya dengan daun kawung. Tidak lama Ki Giri
sudah asyik bersama asap tembakaunya.
"Tadinya, kukira Den Rangga tidak akan kembali lagi ke sini," celoteh Ki Giri
membuka pembicaraan kembali.
"Siapa bilang, Ki. Kan sudah kukatakan, pasti aku akan kembali lagi ke sini,"
sambut Rangga ringan.
"Hampir seluruh penduduk Desa Caruban ini selalu menanyakanmu, Den. Hampir


Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kewalahan aku menjawabnya. Lebih-lebih Ki Bonang," kata Ki Giri lagi.
"Ada apa dengan kepala desa itu?" tanya Rangga.
"He he he..., dia berharap kau bersedia meminang anak gadisnya," Ki Giri
terkekeh. "Ada-ada saja Aki ini...," Rangga tersenyum kecut
"Dia benar-benar menyesali sikapnya terhadapmu, Den. Katanya, kalau tahu Aden
seorang pendekar yang digdaya, pasti dia tidak
akan bersikap kaku. Perasaannya malu sekali, karena telah menyepelekan Aden yang
telah menyelamatkan nyawanya. He he he.... Biasa, Den. Penyesalan itu datangnya
selalu belakangan," kembali Ki Giri terkekeh.
Rangga hanya tersenyum saja. Memang desa ini belum ada satu pekan ditinggalkan.
Desa yang semula seperti mati akibat tekanan satu gerombolan liar. Semula
gerombolan itu hanya menjarah harta benda penduduk saja. Tapi semakin lama
semakin liar saja. Bahkan dengan berani, kepala rombongan itu meminta anak gadis
kepala desa untuk dijadikan istrinya.
Sebenarnya waktu itu Rangga tidak ingin ikut campur. Dia hanya kebetulan saja
lewat di desa ini. Tapi melihat kebrutalan gerombolan itu, jelas tidak bisa
tinggal diam. Lebih-lebih setelah Ayu Kumala meminta untuk membebaskan dirinya
dan seluruh penduduk desa ini dari tekanan gerombolan liar itu. Ya, Ayu Kumala
memang cantik. Apalagi dia putri bungsu Kepala Desa Caruban. Kakak laki-lakinya
tewas di tangan pemimpin gerombolan itu, sedangkan kakak perempuannya bunuh
diri, karena hendak diperkosa.
"He he he.... Kau ingat dengan Ayu, Raden?" goda Ki Giri.
"Ah, Ki Giri...," wajah Rangga menyemburat merah. "Kau tidak istirahat, Laras?"
Rangga mengalih kan perhatiannya pada Laras, ingin menghindari godaan Ki Giri.
"Ya, rasanya lelah sekali," sahut Laras.
"Oh, mari.... Mari kutunjukkan kamar untukmu Den Ayu," kata Ki Giri seraya
bangkit berdiri.
Laras menggendong anaknya yang kelihatan sudah mengantuk, kemudian turun dari
dipan, dan melangkah mengikuti Ki Giri. Rangga
menyandarkan tubuhnya pada dinding papan.
Tidak berapa lama kemudian Ki Giri sudah muncul kembali.
"Tidak ada kamar lagi, Dea Terpaksa kamar bekas Aden dipakai," kata Ki Giri
sambil duduk kembali di kursinya.
"Tidak apa, Ki. Aku bisa tidur di sini,"
sahut Rangga. "Jangan! Raden bisa tidur di kamarku, dan biar aku saja yang tidur di sini."
"Terima kasih, aku sudah begitu merepotkan.
"Aaah.... Kalau dibandingkan jasa Aden, ini belum seberapa."
Lagi-lagi Rangga tersenyum saja.
"Den, wanita itu siapa?" tanya Ki Giri setengah berbisik.
Rangga kembali tersenyum dan menceritakan pertemuannya dengan Laras. Juga
diceritakannya peristiwa yang terjadi, hingga diputuskanlah untuk kembali lagi
ke sini. Ki Giri mendengarkan penuh perhatian. Raut wajahnya langsung berubah
begitu mendengar adanya makhluk aneh mengerikan yang muncul di sebelah Selatan
Lereng Gunung Puring. Rangga melihat perubahan wajah itu, tapi tidak ingin
menanyakannya sekarang. Rasanya saat ini ingin istirahat saja, melepaskan lelah
setelah pertarungannya yang begitu banyak menguras tenaga.
*** Kedatangan kembali Pendekar Rajawali Sakti ke Desa Caruban cepat menyebar.
Sehingga, banyak penduduk yang berdatangan ke rumah Ki Giri, hanya untuk melihat
dan berbicara dengan orang yang telah membebaskan desa ini dari
tekanan gerombolan orang liar dan tak beradab.
Sebagian besar penduduk desa ini memang belum pernah melihat, meskipun sudah
mendengar tentang kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tidak bisa menolak kehadiran mereka. Sampai jauh malam, dia baru bisa
tenang setelah tidak ada lagi penduduk desa yang datang. Rangga baru saja akan
merebahkan diri di dipan kayu yang berada di ruangan depan rumah Ki Giri, ketika
pintu rumah itu diketuk dari luar. Sambil mendengus panjang, Pendekar Rajawali
Sakti bangkit dan melangkah ke pintu.
"Siapa?" tanya Rangga sebelum membuka pintu.
"Aku.... Ayu," terdengar sahutan halus.
Rangga tersentak kaget. Buru-buru
dibukanya pintu itu. Tampak seorang gadis muda berusia sekitar sembilan belas
tahun, berdiri di ambang pintu. Gadis itu mengenakan baju hijau muda yang cukup
ketat! Rambutnya yang hitam panjang, terkepang menjuntai di depan dada. Rangga
buru-buru keluar, kemudian menutup kembali pintunya.
"Ada apa ke sini?" tanya Rangga setengah berbisik, karena tidak ingin mengganggu
tidur Ki Giri. "Kau tidak suka kedatanganku, Kakang?" Ayu Kumala memberengut manja.
"Bukannya aku tidak suka, tapi ini sudah larut malam Ayu."
"Memangnya, kenapa?"
Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rasanya malu jika kedatangan
gadis ini ada yang melihat. Saat ini memang telah larut malam, dan tidak ada
lagi yang berada di luar rumah. Seluruh penduduk
Desa Caruban ini sudah terlelap dalam tidur. Rangga menarik tangan gadis itu,
lalu membawanya ke samping rumah. Mereka kemudian duduk di kayu pohon ara,
persediaan kayu bakar yang belum dibelah.
"Kau pasti tidak suka dengan kedatanganku, Kakang," tebak Ayu Kumala masih
memberengut manja.
"Aku suka," sahut Rangga tidak ingin mengecewakan gadis ini
"Tapi, mengapa sikapmu begitu?" "Begitu, bagaimana?"
"Kau tidak menyuruh masuk, tapi malah membawaku ke sini."
"Ayu..., Ki Giri sudah tidur. Aku tidak mau mengganggunya. Ini kan sudah larut
malam. Lagi pula, tidak baik kalau dilihat orang,"
Rangga coba memberi pengertian.
"Masa bodoh dengan mereka!" dengus Ayu Kumala.
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sejak bertemu gadis ini, sulit rasanya memberi pengertian pada Ayu Kumala.
Sebagai anak bungsu, apalagi kedua kakaknya telah tewas, maka kedua orang tuanya
sangat memanjakannya.
Jadi, sikapnya sering seenaknya sendiri saja.
Tapi gadis ini cukup pintar, dan ilmu olah kanuragannya juga lumayan.
"Baiklah," Rangga menyerah. "Apa keperluanmu datang malam-malam begini?"
"Hanya ingin bertemu," sahut Ayu kalem.
"Tidak ada hal lain?" desak Rangga.
Ayu tidak menjawab, tapi hanya
mempermainkan ujung rambutnya dengan sikap manja. Matanya mengerling pada
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan Rangga sempat menelan ludahnya melihat
kerlingan mata yang indah itu.
"Kakang tidak marah jika aku tanya sesuatu?" manja sekali suara gadis itu.
"Kamu ini ada-ada saja, Ayu. Katakan saja, apa yang ingin ditanyakan."
"Hm...," Ayu Kumala ragu-ragu.
"Katakan saja, mengapa ragu-ragu?" desak Rangga.
"Benar Kakang datang bersama seorang wanita?" tanya Ayu agak ditekan suaranya.
Tawa Rangga hampir meledak mendengar pertanyaan itu, tapi masih mampu
ditahannya. Dia tidak ingin gadis itu marah dan tersinggung. Bagaimanapun juga harus bisa
dijaga perasaan gadis manja ini.
"Benar," sahut Rangga. "Memangnya kenapa?"
"Kekasihmu?" tanya Ayu Kumala langsung.
"Bukan."
"Istrimu?"
Rangga menggeleng. Sudah bisa ditebak arah pembicaraan ini. Pasti Ayu cemburu.
Mungkin itu sebabnya gadis itu tidak ikut bersama ayahnya datang ke sini sore
tadi Rupanya tengah menyimpan sesuatu yang baru sekarang dibuka.
"Sungguh?" Ayu Kumala ingin memastikan.
"Kau ini aneh. Apa sih sebenarnya yang diinginkan?"
"Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja,"
sahut Ayu kalem.
"Sekarang sudah tahu, lalu?"
"Ya sudah. Toh dia bukan apa-apamu. Lagi pula, kalau memang kekasihmu, aku juga
tidak apa-apa," ada sedikit tekanan pada nada suara Ayu Kumala.
Rangga mengangkat bahunya, lalu bangkit berdiri.
"Sudah larut malam. Ayu. Sebaiknya pulanglah dulu. Aku antar, ya...?" kata
Rangga tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini.
Ayu Kumala bangkit berdiri dan melangkah ringan. Rangga menyamakan langkahnya di
samping gadis ini. Mereka berjalan menembus kegelapan tanpa berkata-kata. Dan
Rangga memang enggan untuk berkata lagi. Apalagi untuk memikirkan sikap gadis
ini Hanya saja, dia tidak ingin hubungan yang sudah baik ini retak karena
persoalan sepele. Persoalan yang seharusnya tidak perlu timbul.
*** 4 Matahari belum lagi naik tinggi. Tapi udara sekitar Desa Caruban begitu terasa
panas menyengat sehingga seperti membuat semua orang cepat lelah. Dan biasanya
mereka memilih berendam di dalam sungai. Tapi para petani, seperti tidak
terpengaruh. Padahal, sengatan matahari begitu panas, bagai hendak menghanguskan
seluruh benda yang ada di belahan muka bumi ini.
Sungai yang membelah Desa Caruban siang ini dipenuhi anak-anak dan wanita.
Mereka begitu bergembira sambil bermain air. Di antara mereka, terlihat Surya
Paku bermain bersama anak-anak sebayanya. Anak laki-laki itu cepat sekali akrab.
Lain dengan ibunya, yang kelihatan duduk menyendiri di atas sebongkah batu di
tepi sungai. Tubuhnya hanya dililit selembar kain usang.
"Nyi Laras...?"
"Oh!" Laras tersentak dari lamunan ketika mendengar suara lembut menyebut
namanya. Laras langsung menoleh. Tampaklah seorang gadis cantik memakai baju kuning
gading sudah berdiri di dekatnya. Laras belum mengenal gadis ini. Memang sudah
hampir satu pekan berada di desa ini, rasanya belum pernah melihat gadis yang
baru saja menyebut namanya.
"Aku Ayu Kumala," gadis itu memperkenalkan diri.
"Oh, aku...."
"Tidak perlu memperkenalkan diri, Nyi. Aku tahu siapa namamu," potong Ayu Kumala
cepat. Laras menggeser duduknya agak ke tepi, dan nempersilahkan Ayu Kumala duduk. Tapi
dengan halus gadis itu menolak, dan tetap berdiri memandang ke arah anak-anak
bermain di sungai.
Sementara Laras memandanginya sampai tidak berkedip. Memang pernah didengar nama
gadis ini, karena sering jadi bahan pembicaraan Ki Giri dan Rangga. Pembicaraan
yang bernada menggoda Pendekar Rajawali Sakti.
"Kita memang belum pernah saling mengenal dan bertemu muka. Tapi aku yakin, di
antara kita sudah sering mendengar perihal diri masing-masing," kata Ayu Kumala,
tenang suaranya. "Ya," desah Laras.
"Mungkin sekarang saatnya yang tepat untuk saling mengenal lebih jauh. Nyi
Laras," sambung Ayu Kumala.
Laras diam saja. Hanya diduga-duga saja arah pembicaraan gadis itu. Tapi
dugaannya selalu tertuju pada hubungan antara Ayu Kumala dengan Rangga. Laras
sering mendengar gurauan Ki Giri tentang Ayu Kumala yang ditujukan kepada
Rangga. Meskipun kedengarannya hanya gurauan, namun Laras dapat menangkap maksud
yang sebenarnya. Ayu Kumala memang cantik, dan tampaknya memiliki ilmu kanuragan
yang lumayan. Lebih-lebih dia seorang anak kepala
desa ini. Tapi Laras tidak mempedulikan semua itu. Dia sudah cukup senang jika
bisa tinggal di desa ini dan melupakan semua yang telah terjadi terhadap
dirinya. "Kakang Rangga pernah cerita tentang dirimu, dan pengalaman pahitmu, Nyi Laras.
Tapi aku ingin sekali mendengar sendiri darimu. Kau tidak keberatan, kan?" Ayu
Kumala membuka suara lagi.
"Untuk apa?" tanya Laras, enggan membuka lembaran penderitaannya lagi. Lembaran
yang hanya menimbulkan rasa belas kasihan saja.
Padahal dia tidak ingin dikasihani.
"Mungkin ada gunanya. Atau mungkin juga, aku bisa mengurangi penderitaanmu,"
sahut Ayu Kumala.
"Terima kasih. Aku sudah begitu banyak merepotkan. Bukan hanya Ki Giri, tapi
Ayahmu dan seluruh penduduk desa ini begitu baik padaku. Mereka semua bersedia
menerimaku yang tidak punya apa-apa ini," ucap Laras terharu.
"Penduduk di sini memang mencintai persahabatan. Aku juga...," terdengar
terputus nada suara Ayu Kumala.
Laras kembali menatap dalam-dalam wajah gadis itu. Bisa dirasakan adanya tekanan
pada suara Ayu Kumala. Dan ini sudah bisa diduga apa penyebabnya. Entah kenapa, dirinya jadi
bergetar, dan jantungnya terasa lebih cepat berdetak. Tiba-tiba saja Laras jadi
tidak suka dengan pembicaraan ini.
"Sudah lama aku di sini dan harus segera pulang. Aku belum menyiapkan makan
untuk Ki Giri," kata Laras seraya bangkit berdiri.
"Untuk apa buru-buru" Ki Giri biasa hidup sendiri," cegah Ayu Kumala.
Laras hanya tersenyum saja. Diambilnya keranjang cucian, lalu melangkah pergi.
Ayu Kumala hanya memandangi saja tanpa mencegah lagi. Tapi belum begitu lama
Laras pergi, tiba-tiba terdengar jeritan nyaring melengking tinggi.
"Nyi Laras...!" sentak Ayu Kumala mendesis.
Jeritan itu jelas terdengar dari arah kepergian Laras tadi. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Ayu Kumala bergegas melompat dan berlari cepat menuju arah jeritan
tadi Bukan itu saja. Orang-orang yang ada di sungai ternyata juga bergegas
berlari mengikutinya.
*** Sementara di jalan setapak tidak jauh dari sungai, tampak Laras menggigil
ketakutan dengan wajah pucat pasi. Jarak beberapa tombak di depannya, berdiri
sesosok makhluk tinggi besar. Tubuhnya penuh berlumur lumpur. Makhluk itu
menyeringai memperlihatkan taringnya yang menyembul.
"Grauuugh...!" makhluk aneh menyeramkan itu meraung keras sambil mengangkat
tangannya tinggi-tinggi.
"Akh!" Laras memekik tertahan.
Wanita itu seperti akan pingsan begitu makhluk tinggi besar itu melompat ke
arahnya. Namun belum sempat mencapai tubuh yang hanya terlilit selembar kain itu,
mendadak satu bayangan putih melesat cepat menghajarnya.
Makhluk itu meraung keras, dan tubuhnya terlontar balik ke belakang. Sebatang
pohon besar hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya yang besar penuh lumpur
itu. Saat itu dari arah sungai muncul Ayu Kumala. Gadis itu membeliak setengah tidak
percaya melihat makhluk tinggi besar dan berwajah menyeramkan itu berdiri tegak
sambil meraung-raung. Sedangkan di depan Laras, berdiri Pendekar Rajawali Sakti.
Tidak berapa lama, muncul orang-orang yang tadi berlarian dari sungai. Mereka
langsung berhenti, dan bergerak mundur begitu mendapati makhluk mengerikan
menggeram dahsyat sambil mengangkat tangannya ke atas.
"Kakang...," Ayu Kumala mendekati Rangga.
"Tinggalkan tempat ini, cepat!" seru Rangga tegas.
Ayu Kumala kelihatan bingung.
"Ayu, bawa Laras dan yang lainnya pergi.
Makhluk ini sangat berbahaya! Ayo, cepat..!"
"Kau...," suara Ayu Kumala tertahan di tenggo rokan.
"Jangan hiraukan aku. Cepat pergi!" Ayu Kumala bergerak mundur mendekati Laras
yang sudah menggendong anaknya. Tidak
dipedulikannya lagi keranjang cuciannya yang tergeletak berentakan. Ayu Kumala
menyuruh orang-orang yang berkerumun itu segera pergi, dan segera membawa Laras
menyingkir dari tempat itu. Mereka mengambil jalan memutar menuju ke Desa
Caruban. Sementara itu Rangga memutar tubuhnya, untuk memancing perhatian makhluk itu.
Diambilnya sepotong ranting yang cukup besar dan panjang. Dengan mengerahkan
tenaga dalam, ranting tadi dilemparkan ke arah makhluk itu.
"Gragh...!" makhluk itu meraung marah sambil menyambar ranting itu dengan tangan
kanannya. Dengan cepat makhluk itu melompat
menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Kali ini
Rangga memang hanya ingin memancing makhluk itu agar menjauhi penduduk yang
sedang menuju kembali ke desanya. Digunakannya jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga tubuhnya bergerak lincah memutari tubuh
makhluk itu. Rangga menggiringnya masuk ke dalam hutan.


Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Makhluk itu semakin marah, karena tidak bisa menyentuh manusia kecil yang
berlompatan mengitari tubuhnya. Pepohonan dan bebatuan hancur berantakan
diterjang makhluk liar dan kotor berlumpur itu.
Rangga terus menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Sesekali dirubah
jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Meskipun dikerahkan sampai pada tingkat terakhir, tetapi sama sekali tak berarti
bagi tubuh makhluk itu. Walaupun demikian Rangga tetap menggunakannya. "Hup...!"
Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang, sejauh empat batang tombak. Makhluk
itu menggeram dahsyat, lalu mencabut pohon besar di dekatnya. Pohon itu bagai
segumpal kapas saja di tangannya, dengan kuat dilemparkan pohon itu ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan, menyambut lemparan pohon itu.
Satu ledakan keras terdengar, bersama hancurnya pohon itu. Tapi belum juga
Rangga menarik pulang tangannya, makhluk itu sudah mengangkat sebongkah batu
sebesar kerbau, dan dilemparkan ke arah Rangga.
Kali ini Rangga tidak sempat lagi melawan lemparan batu itu. Cepat-cepat
dijatuhkan dirinya ke samping, lalu berguling beberapa kali di tanah, sebelum
melompat bangkit berdiri. Batu sebesar kerbau menghantam tanah
dengan keras, membuat bumi yang dipijak bergetar hebat bagai terjadi gempa.
"Keluarkan semua kekuatanmu, keparat!"
tantang Rangga memanasi.
"Graaaghk...!" makhluk itu menggeram marah. Makhluk itu melompat, dan kembali
menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kini tidak main-main lagi. Jelas bahwa
makhluk berbentuk manusia itu begitu luar biasa kuatnya bagai binatang liar.
Dikeluarkanlah jurus-jurus andalannya yang dahsyat, dibarengi pengerahan ajian
kesaktian simpanannya.
Tapi makhluk liar itu memang luar biasa.
Tubuhnya benar-benar kebal terhadap segala macam bentuk kesaktian yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan pedang pusaka Rajawali Sakti tak ada artinya
sama sekali pada tubuhnya. Benar-benar kebal! Belum pernah Rangga mendapatkan
lawan seperti ini.
Dirasakan tenaganya makin terkuras, karena tidak ada satu ajian atau jurus yang
mampu membinasakan makhluk itu.
"Hm.... Akan kucoba dengan aji 'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati.
Rangga memasukkan pedangnya ke dalam warangkanya di punggung. Kini aji 'Cakra
Buana Sukma' siap-siap dikerahkannya tanpa menggunakan pedang. Tidak tanggungtanggung lagi, ajian itu dikerahkan pada tahap terakhir, yang belum pernah
digunakan sebelumnya selama ini. "Graghk...!" makhluk itu menggeram sambil
melantangkan tangannya lebar-lebar, seolah-olah menantang.
Cahaya biru bergulung-gulung pada kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan
semakin lama semakin membesar membuat bulatan. Makhluk itu meraung-raung keras
bersikap menantang.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga keras.
Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil menghentakkan
tangannya ke depan kuat-kuat. Aneh, makhluk itu tidak bergerak sedikit pun!
Bahkan menanti dengan tangan terbuka lebar. Tak pelak lagi, dadanya menjadi
sasaran kedua belah tangan Rangga yang mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Glarrr...! Satu ledakan keras dan dahsyat terjadi begitu kedua telapak tangan Pendekar
Rajawali Sakti menghantam-dada makhluk besar mengerikan itu. Sukar untuk
dipercaya! Makhluk itu tetap berdiri tegap. Bahkan sebaliknya, Pendekar Rajawali
Sakti terlontar jauh ke belakang.
Entah berapa pohon yang hancur terlanda tubuhnya. Rangga baru berhenti meluncur
setelah menghantam dinding batu cadas hingga berguguran.
Rangga bergegas melompat, menghindari batu-batu cadas yang berguguran. Namun
begitu kakinya menyentuh tanah, tubuhnya limbung dan ambruk menggelimpang.
Pendekar Rajawali Sakti itu berusah bangkit berdiri sambil memuntahkan darah
kenlal kehitaman dua kali. Seluruh tubuhnya terasa remuk.
Kepalanya berat, dan matanya berkunang-kunang. Napasnya tersengal, karena
dadanya seperti pecah.
"Ugh! Gila...!" dengus Rangga seraya bangkit berdiri.
Pendekar Rajawali Sakti itu masih limbung, dan belum bisa berdiri tegak.
Sebentar digosok-gosok matanya. Hatinya terkesiap begitu melihat makhluk tinggi
besar itu masih tetap berdiri tegak bersikap menantang. Namun pelahan-lahan
terjadi keanehan.
*** Makhluk bertubuh tinggi besar dan penuh lumpur itu, tampak menggigil bagai
terserang demam. Dari mulutnya yang menyeringai, keluar suara erangan lirih.
Sementara Rangga pelahan-lahan melangkah lebih mendekat. Dia juga sedang
mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni untuk mengembalikan kondisi
tubuhnya. Makhluk itu menggeletar semakin kuat. Dan erangannya kini terdengar keras bagai
raungan seekor binatang buas. Dengan tubuh masih menggeletar, dia duduk bersila.
Tangannya dilipat di depan dada. Pelahan-lahan kelopak matanya terpejam, namun
bibirnya masih terlihat menyeringai.
"Eh...!" Rangga terkejut.
Dari tubuh makhluk itu mengepul asap tipis berwarna putih kehitam-hitaman. Asap
itu semakin lama semakin menebal, dan pada akhirnya menyelimuti seluruh tubuh
makhluk itu. Sementara Rangga terus memperhatikan tanpa berkedip. Asap itu terus
berkepul menebal dan semakin banyak, menutupi seluruh tubuh makhluk itu. Siap!
Tiba-tiba saja secercah kilat menyambar ke arah asap yang berkepul itu. Disusul
kemudian terdengar suara ledakan keras menggelegar.
Begitu kerasnya, sampai-sampai bumi ini bergetar. Memang sukar dipercaya. Hari
yang begini cerah dan panas, bisa terjadi petir.
Tapi itu memang kejadian yang dilihat Rangga.
Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu tidak berkedip memandanginya. Kini asap
tebal yang menyelimuti seluruh tubuh makhluk besar kotor
berlumpur dan mengerikan itu, langsung lenyap setelah tersambar kilat.
"Oh..., apakah aku tidak salah lihat...?"
desah Rangga setengah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya kini.
Kini, di tempat makhluk mengerikan tadi duduk bersila, duduk seorang laki-laki
muda berwajah tampan, namun terlihat keras.
Pakaiannya begitu indah dan bersih, bagaikan seorang pengeran. Namun sinar
matanya begitu tajam, memerah bagai mata seekor banteng marah. Pemuda itu
bangkit berdiri dengan tenangnya. Baju yang longgar pada bagian bawah, berkibar
tertiup angin. Sedangkan pada bagian atasnya cukup ketat, sehingga memetakan
bentuk tubuh yang tegap dan berotot Warna hijau muda sungguh cocok menimpali
kulitnya yang putih.
Pemuda itu tetap berdiri tegak, kemudian pelahan-lahan kedua tangannya terangkat
ke atas. Kepalanya menengadah menatap lurus ke langit biru tanpa awan. Sementara
dari tempat yang tidak begitu jauh, Rangga memperhatikan tanpa berkedip. Dia
ingin tahu, apa yang akan dilakukan laki-laki muda jelmaan makhluk aneh
berlumpur itu. "Wahai iblis-iblis yang bersemayam di neraka! Berilah aku kekuatan abadi untuk
menguasai seluruh dunia...!" lantang suara pemuda itu.
Secercah kilat menyambar angkasa, disusul ledakan dahsyat mengguruh. Tiba-tiba
saja angkasa jadi hitam, terselimut awan tebal.
Angin bertiup kencang, bagai terjadi badai topan. Semakin lama angin semakin
kencang menerbangkan pohon-pohon, melontarkan bebatuan, dan mengguncangkan bumi.
Saat ini sepertinya dunia akan kiamat!
Tidak lama peristiwa itu beriangsung, maka alam pun kembali seperti semula.
Langit kembali cerah, tanpa awan sedikit pun menggantung di angkasa. Sementara
Rangga masih berdiri mematung memandangi laki-laki muda jelmaan dari makhluk
buas dan liar. Memang, tidak ada yang tahu asalnya, kecuali Laras dan anaknya.
Laki-laki muda itu berbalik, dan nampak terkejut melihat Pendekar Rajawali Sakti
ada di tempat ini. Namun cepat dibiasakan dirinya kembali, seperti pernah
terjadi apa-apa.
"Aku tidak kenal denganmu. Sebaiknya jangan mencampuri urusanku!" kata laki-laki
muda itu dingin dan datar nada suaranya.
Rangga ingin membuka mulutnya. Tapi belum juga sempat berbicara, pemuda aneh itu
sudah lenyap bagaikan hilang begitu saja. Rangga jadi celingukan mencari-cari.
Tapi bayangan laki-laki itu tidak nampak lagi. Hilang bagai ditelan bumi.
Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuhnya, bisa lenyap tanpa dapat diketahui
arahnya oleh Rangga!
*** 5 "Kakang..!"
Rangga membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara panggilan dari belakang.
Tampak Ayu Kumala bersama ayahnya, dan diikuti beberapa penduduk Desa Caruban
serta Ki Giri berlari-lari menghampirinya. Mereka semua membawa senjata yang bermacam-macam bentuknya.
Bahkan ada yang membawa cangkul, ataupun arit penyabit rumput. Ayu Kumala lebih
dahulu yang mencapai tempat itu.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Ayu Kumala dengan perasaan cemas, yang tidak
dapat disembunyikan,
"Tidak," sahut Rangga tersenyum tipis.
Pendekar Rajawali Sakti itu memandang orang-orang yang sudah berada di depannya.
Mereka adalah penduduk desa yang setiap hari bergelut dengan lumpur dan ladang,
dan bukanlah orang rimba persilatan. Mereka tidak mengerti ilmu olah kanuragan
sedikit pun, tapi berani mengambil resiko tinggi untuk mengamankan desanya.
"Mana makhluk itu...?" tanya Ayu Kumala lagi.
"Pergi," sahut Rangga singkat.
"Aku yakin, kau pasti sudah
mengalahkannya," celetuk Ki Bonang memuji.
Rangga tersenyum tipis dan menggeleng pelan. kemudian melangkah pelahan-lahan.
Semua oraing mengikutinya. Ki Bonang berjalan di samping kanan Pendekar Rajawali
Sakti itu, diikuti Ki Giri. Sedangkan Ayu Kumala tidak lepas memegangi lengan
kiri pendekar muda itu.
Untuk beberapa saat mereka berjalan tanpa berbicara sedikit pun.
Sementara Rangga sendiri masih diliputi berbagi macam pertanyaan yang sukar
dijawab. Masih belum bisa dipahami kejadian yang dilihatnya tadi. Sangat sulit untuk
diterima akal sehat. Juga sulit dimengerti, bagaimana mungkin makhluk liar bagai
binatang buas itu tiba-tiba berubah ujud menjadi seorang laki-laki muda. Bahkan
hanya mengeluarkan satu kalimat saja untuknya. Ya..., satu kalimat yang hanya
ditujukan untuk Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga memperlambat langkahnya, dan membiarkan orang-orang itu berjalan lebih
dahulu. Sedangkan Ayu Kumala masih tetap berjalan di sampingnya meskipun ayahnya
sudah berjalan lebih dahulu bersama penduduk Desa Caruban. Ki Giri sendiri masih
tetap berada di belakang.
"Sejak tadi kau diam saja, Kakang. Apa yang kau pikirkan?" Ayu Kumala membuka
suara. Rangga menghentikan langkahnya. Dengan halus dilepaskan pegangan tangan Ayu
Kumala pada lengan-nya. Sebentar dia menarik napas panjang, lalu menatap Ki Giri
yang juga berhenti melangkah. Laki-laki tua itu cengar-cengir, dan melangkah
pelahan. "Mau ke mana, Ki?" tanya Rangga.
"Pulang," sahut Ki Giri tanpa berhenti melangkah.
"Aku memerlukan dirimu, Ki," kata Rangga.
Ki Giri berhenti dan berbalik. Agak terkejut juga keningnya mendengar kata-kata
Pendekar Rajawali Sakti itu tadi. Namun dihampirinya juga, ketika melihat wajah
Rangga begitu sungguh-sungguh. Sementara Ayu Kumala memandang wajah tampan
pemuda itu dengan alis hampir menyatu rapat.
"Ada apa?" tanya Ki Giri.
"Ki, kau masih ingat ceritaku ketika datang membawa Laras?" tanya Rangga.
Ki Giri mengangguk, dan alisnya bertaut.
"Waktu itu memang tidak lengkap kuceritakan, tapi sempat kulihat kau terkejut,"
lanjut Rangga. "Ada apa ini?" celetuk Ayu Kumala tidak mengerti.
"Kau akan tahu nanti, Ayu," kata Rangga.
"Den, apakah makhluk itu sama dengan yang pertama kau jumpai di lereng sebelah
Selatan?" tanya Ki Giri pelahan.
"Benar, Ki," sahut Rangga. "Hanya....
"Hanya apa?" tanya Ki Giri mulai serius. "Aku tidak tahu, Ki. Rasanya sulit
untuk dipercaya.
Kejadiannya begitu cepat, dan...," Rangga terputus kata-katanya.
"Teruskan, Den," pinta Ki Giri serius.
"Terus terang, Ki. Aku sering menghadapi berbagai peristiwa, baik yang masuk
akal maupun yang tidak. Tapi yang ini rasanya sukar untuk dimengerti. Hampirhampir aku tidak percaya dengan penglihatan ku sendiri. Rasanya sulit
dibayangkan, Ki. Terlalu ganjil...,"
suara Rangga bernada kurang percaya dengan yang diucapkannya.
"Sebaiknya Aden istirahat dulu, tenangkan diri dan pikiran. Nanti kita bicarakan
lagi hal ini," kata Ki Giri bijaksana.
"Entahlah, Ki. Rasanya belum tenang kalau hal ini belum terpecahkan," desah
Rangga pelan. "Kita pulang dulu, Den," ajak Ki Giri.
Rangga tidak menolak saat Ki Giri
menggamit tangannya, dan mengajaknya pergi meninggalkan hutan ini Sementara Ayu
Kumala yang sejak tadi diam saja, belum bisa memahami pembicaraan itu.
Langkahnya juga kurang mantap, karena benaknya diliputi berbagai macam pikiran.
Dia berusaha mengerti, namun sulit untuk dicapai oleh jalan pikirannya.
Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi.
*** Sejak peristiwa di dalam Hutan Lereng Gunung Puring itu Rangga jadi lebih banyak
diam. Sedang Laras sendiri iebih senang menyendiri di dalam rumah.
Dia jadi takut pergi ke mana-mana seorang diri. Sosok makhluk mengerikan bagai
mayat hidup, masih terus menghantui pikirannya.
Sementara Ayu Kumala jadi sering
mengunjungi rumah Ki Giri. Beberapa kali gadis itu mendesak untuk lebih tahu
kejadian di Lereng Gunung Puring, tapi Pendekar Rajawali Sakti enggan untuk
membicarakannya. Lebih-lebih lagi setelah tahu kalau makhluk itu adalah seorang
tokoh sakti yang hidup entah berapa tahun silam. Mungkin puluhan atau bahkan
ratusan tahun lalu.
"Sudah lama orang melupakan tentang Hantu Karang Bolong itu, Den. Semua orang
Kisah Tiga Kerajaan 30 Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemanah Rajawali 15

Cari Blog Ini