Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut Bagian 1
PERMAINAN DI UJUNG MAUT Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G.
1 Seekor kuda hitam pekat berpacu cepat membelah jalan berdebu. Penunggangnya seorang pemuda
berwajah cukup tampan mengenakan baju biru dari
sutra halus bersulamkan benang emas. Dari pakaian
yang berdebu dan keringat bercucuran deras, bisa diduga kalau penunggang kuda
itu habis melakukan per
jalanan jauh. Kuda hitam itu terus berpacu cepat menerjang daun-daun kering dan
menyepak debu-debu
hingga mengepul ke udara.
"Hooop...!"
Tiba-tiba pemuda itu menarik tali kekang kuda
hitamnya, membuat tunggangannya itu meringkik keras, langsung berhenti sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Bergegas dia melompat turun.
Gerakannya indah dan ringan sekali. Ditepuk-tepuk
leher kudanya agar kuda hitam itu menjadi tenang.
Sepasang bola matanya menyorot tajam, merayapi empat orang laki-laki berseragam prajurit yang berdiri menghadang di tengah-tengah
jalan. Mereka semua
memegang tombak panjang.
"Beritahu Gusti Prabu Jayengrana. Aku, Natapraja datang," ujar pemuda penunggang kuda hitam
itu. Lantang suaranya.
"Maaf, Kisanak. Gusti Prabu sedang bersemadi,
tidak boleh diganggu," sahut salah seorang prajurit yang berdiri paling pinggir
kanan. "Kurang ajar! Berani kau bantah perintahku,
heh!" bentak Natapraja mendelik
Empat orang prajurit itu saling berpandangan.
Mereka tidak kenal pemuda tampan yang datang menunggang kuda hitam itu. Apalagi tugas mereka adalah menjaga junjungannya agar tenang bersemadi di
dalam puri. Tiba-tiba salah seorang prajurit bersiul nyaring. Dan sebentar saja
tempat itu sudah dipenuhi sekitar lima puluh orang prajurit bersenjata tombak
dan pedang. Natapraja menggereng dan menyemburkan ludahnya beberapa kali. Matanya tajam merayapi para
prajurit yang telah mengepung membawa senjata terhunus. Seorang laki-laki berusia setengah baya mengenakan seragam panglima
melangkah di depan, lalu
berdiri tegak sekitar lima langkah di depan Natapraja.
"Aku Panglima Pramoda, Kepala Pasukan Pengawal Gusti Prabu Jayengrana. Apa keperluan Kisanak sehingga datang pada saat
Gusti Prabu tengah bersemadi?" laki-laki setengah baya itu memperkenalkan di-ri
dan bertanya sopan.
"Namaku Natapraja. Datang ke sini hendak bertemu Gusti Prabu Jayengrana," mantap nada suara
Natapraja. "Sayang sekali. Untuk waktu yang tidak diketahui, Gusti Prabu Jayengrana tidak bisa ditemui oleh siapa pun," sahut Panglima
Pramoda tetap sopan.
"Keperluanku mendesak dan penting sekali,
Panglima."
"Jika Kisanak bersabar, bisa menanti sampai
Gusti Prabu selesai bersemadi," Panglima Pramoda
menawarkan. "Jika aku memaksa...?"
Panglima Pramoda terperanjat mendengar nada
tantangan itu, tapi tetap berusaha tenang. Sungguh
dia tidak ingin terjadi keributan di saat junjungannya, penguasa Kerajaan
Salinga tengah menjalankan semadi, mendekatkan diri pada sang Pencipta jagat
raya ini. Terlebih lagi Prabu Jayengrana sudah berpesan agar
jangan diganggu selama melakukan semadinya.
"Kisanak, sebegitu pentingkah urusanmu sehingga harus memaksa Gusti Prabu menghentikan
semadinya?" agak jengkel nada suara Panglima Pramoda. "Jika terpaksa...!" tegas jawaban Natapraja.
"Kalau boleh tahu, apa keperluanmu dengan
Gusti Prabu?" tanya Panglima Pramoda.
"Hanya Gusti Prabu Jayengrana yang boleh tahu!" tetap tegas jawaban Natapraja.
"Hm.... Kau hanya cari perkara saja, Anak Muda," dengus Panglima Pramoda. Laki-laki setengah
baya itu tidak dapat lagi menahan geramnya, melihat tingkah pemuda yang mengaku
bernama Natapraja.
"Ha ha ha...!" Natapraja terbahak-bahak
Sementara Panglima Pramoda sudah memberi
isyarat pada para prajurit untuk bersiap siaga penuh.
Tampak sekitar sepuluh orang prajurit sudah siap-siap dengan panah terpasang di
busur yang merentang me-negang. Sedangkan Natapraja hanya melirik saja sambil mengulas senyuman meremehkan.
Panglima Pramoda langsung bisa membaca gelagat kurang baik pemuda berwajah tampan, dan berpakaian seperti seorang anak pembesar. Tapi masih
dicoba untuk menahan kesabarannya. Panglima itu
sudah banyak berpengalaman dalam menghadapi pemuda sombong seperti ini. Dan dia tidak ingin terjebak oleh sikap congkak dan
meremehkan seperti itu.
Belum lagi Panglima Pramoda membuka mulut
kembali, mendadak saja Natapraja berlutut sambil merapatkan kedua telapak
tangannya ke depan hidung.
Sikap pemuda itu diikuti para prajurit yang berada di belakangnya, sehingga
membuat Panglima Pramoda
terbengong. Terlebih lagi, seluruh prajuritnya juga berlutut dengan sikap sama. Panglima Pramoda bergegas
membalikkan tubuhnya, dan langsung terbeliak. Buruburu dijatuhkan dirinya berlutut sambil merapatkan
kedua telapak tangan di depan hidung.
Tidak ada yang tahu, kapan seorang laki-laki berusia sekitar enam puluhan tahun muncul, dan tahutahu sudah berada di tempat itu. Pakaiannya terbuat dari kain sutra putih
berbentuk seperti seorang pertapa.
Wajahnya memancarkan cahaya, dan sinar matanya
bagai bintang pagi yang indah. Di tangan kanannya ter-genggam seuntai tasbih
dari batu biru berkilau yang memancarkan cahaya apabila terpantul sinar
matahari. "Panglima Pramoda...," berat dan berwibawa
suara orang itu
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Panglima Pramoda sambil memberikan sembah.
"Siapa anak muda itu?" tanya orang tuh yang
ternyata adalah Prabu Jayengrana.
"Ampun, Gusti Prabu. Anak muda ini mengaku
bernama Natapraja. Dia ke sini memaksa ingin bertemu dengan Gusti Prabu," sahut Panglima Pramoda
bersikap penuh hormat.
"Hm...," Prabu Jayengrana menggumam tidak
jelas. Pandangannya beralih pada pemuda yang berlutut menundukkan kepalanya di belakang Panglima
Pramoda. Prabu Jayengrana mengayunkan kakinya. Begitu ringannya melangkah, seakan-akan kakinya tidak
bergerak sama sekali. Tak ada suara terdengar sedikit pun saat laki-laki
berpakaian putih bagai pertapa itu berjalan. Pasti dia telah memiliki
kesempurnaan dalam ilmu meringankan tubuh. Prabu Jayengrana berhenti
sekitar dua langkah di depan Natapraja. Pemuda itu
kembali memberikan sembah dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung.
"Anak muda, Apa keperluanmu ingin menemuiku?" tanya Prabu Jayengrana.
Natapraja tidak segera menjawab. Diberinya
hormat sekali lagi, lalu perlahan-lahan berdiri. Melihat sikap pemuda itu,
Panglima Pramoda bergegas berdiri sambil mencabut pedangnya. Namun belum juga
dicabut seluruh pedangnya, sudah keburu dicegah Prabu
Jayengrana dengan merentangkan tangannya. Natapraja berdiri tegak. Ditatapnya dalam-dalam, bola mata laki-laki bagai pertapa
itu. "Maaf, Gusti Prabu. Hamba datang untuk
membunuhmu," kata Natapraja tegas.
Dan sebelum ada yang menyadari ucapan Natapraja, tiba-tiba saja pemuda itu mengibaskan tangan kanannya. Begitu cepat
gerakannya, sehingga Prabu
Jayengrana sendiri tidak sempat menyadari akan hal
itu. Mendadak sebilah pisau bergagang kepala ular sudah tertancap di dada Raja
Salinga itu. "Hiyaaa...!"
Natapraja bergegas melompat ke punggung kudanya. Secepat kilat kuda hitam itu berlari melewati beberapa orang prajurit
yang hanya terperangah menyaksikan kejadian yang begitu cepat dan tidak terdu-ga
sama sekali. "Kejar dia! Cepat...!" teriak Panglima Pramoda
begitu tersadar dari keterkejutannya.
Seketika para prajurit yang masih terpana,
langsung bergerak mengejar Natapraja. Sedangkan
Panglima Pramoda bergegas menghampiri Prabu
Jayengrana yang masih berdiri tegak walaupun sebilah pisau tertancap di dadanya.
"Gusti...," tercekat suara Panglima Pramoda.
"Biarkan, jangan dicabut," sergah Prabu Jayengrana ketika Panglima Pramoda hendak mencabut pisau di dadanya.
Panglima Pramoda hanya bisa memandangi
disertai roman wajah yang tidak menentu. Sedangkan
Prabu Jayengrana membalikkan tubuhnya, lalu berjalan ringan menuju kembali dalam puri tempatnya bersemadi. Panglima Pramoda mengikuti. Masih ada dua
puluh prajurit di sekitar tempat itu. Sedangkan lainnya sudah tidak terlihat
lagi karena mengejar Natapraja.
Prabu Jayengrana melangkah pelahan memasuki puri. Sebuah bangunan yang tidak begitu besar
dari tumpukan batu berukir berwarna hitam pekat.
Laki-laki berusia enam puluh tahun itu duduk bersila di sebuah batu pipih
berwarna putih berkilat. Sementara Panglima Pramoda segera mengambil tempat di
depannya, seraya duduk bersila dan memberi hormat.
Panglima itu agak heran juga. Ternyata, walaupun dadanya tertancap pisau, Prabu
Jayengrana masih bertahan. Bahkan tidak setetes pun darah keluar dari dadanya. "Gusti..., apakah
Gusti Prabu...?" terputus suara Panglima Pramoda.
"Aku tidak apa-apa, Paman Panglima," ujar
Prabu Jayengrana dengan bibir mengulas senyum.
"Kembalilah ke istana. Katakan saja semua yang terja-di di sini tadi. Aku
menunggu seluruh pembesar kerajaan untuk berkumpul di sini," kata Prabu
Jayengrana. Suaranya masih bernada penuh wibawa.
"Gusti...," Panglima Pramoda mengangkat kepalanya. Hatinya tak tega meninggalkan junjungannya
dalam keadaan seperti ini.
"Berangkatlah, Paman Panglima," lembut, namun terdengar tegas suara Prabu Jayengrana.
Panglima Pramoda tepekur sesaat, kemudian
bangkit berdiri dan memberi hormat. Bergegas kakinya melangkah ke luar diiringi
pandangan mata Prabu
Jayengrana. Panglima Pramoda hanya membawa lima
orang prajurit, sedangkan sisanya diperintahkan untuk berjaga-jaga tidak jauh di sekitar puri. Dengan menunggang kuda, Panglima
Pramoda dan lima prajuritnya bergegas pergi menuju ke Istana Salinga.
*** Seluruh rakyat dari pelosok yang masih dalam
wilayah Kerajaan Salinga menjadi berkabung. Mereka
mendengar tentang mangkatnya Prabu Jayengrana yang
terbunuh oleh seorang pemuda yang mengaku bernama
Natapraja. Sudah tujuh hari penuh, suasana berkabung masih menyelimuti Kerajaan
Salinga. Seluruh rakyat
seperti tidak punya semangat lagi untuk bekerja. Mendung menyelimuti seluruh
langit kerajaan itu.
"Sudah tujuh hari Gusti Prabu mangkat. Kenapa tidak ada upacara penguburan, ya...?"
Pertanyaan seperti itu sudah mulai menggelayuti benak seluruh rakyat Kerajaan Salinga. Mereka menunggu-nunggu saat
upacara penguburan Prabu
Jayengrana. Tapi yang ditunggu-tunggu tidak segera
kunjung datang. Pertanyaan itu membuat semua penduduk jadi semakin bertanya-tanya dan mendugaduga. Bahkan mulai tersebar kabar angin yang tidak
bisa dicari kebenarannya. Berbagai macam dugaan
timbul, dan berbagai macam pembicaraan simpangsiur terlontar. Tapi semua berasal dari rasa heran dan berbagai macam pertanyaan
tentang tidak adanya
upacara pemakaman bagi mendiang Prabu Jayengrana. Bukan hanya dari kalangan rakyat, bahkan
permaisuri dan putra mahkota sendiri pun jadi bertanya-tanya. Sudah tujuh hari setelah terdengar kabar tewasnya Prabu Jayengrana
di kuil semadi pribadinya, tapi belum pernah terlihat jenazahnya. Raden Mandaka
yang sudah berusia hampir dua puluh tahun, jadi
tidak percaya kalau ayahandanya tewas oleh seorang
pemuda bernama Natapraja di kuil semadi.
"Kenapa jasad Ayahanda Prabu belum juga dibawa ke istana, Bunda?" tanya Raden Mandaka saat
berdua bersama ibunya di dalam taman kaputren.
"Entahlah, Anakku. Tapi kata Paman Trunggajaya, itu memang sudah pesan Ayahanda Prabu. Jenazahnya harus berada di kuil selama empat puluh hari,"
sahut Permaisuri Sara Ratan sayu.
"Aneh...," desis Raden Mandaka hampir tidak
terdengar suaranya.
"Apanya yang aneh, Anakku?" tanya Permaisuri
Sara Ratan. "Tidakkah Bunda merasakan adanya keanehan" Sejak pertama mendengar kabar Ayahanda Prabu
Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tewas terbunuh, tidak ada seorang pun yang diijinkan melihat jasadnya, kecuali
Paman Trunggajaya dan Paman Pendeta Seka Gora. Bahkan aku dan Bunda sendiri tidak diperkenankan menengoknya. Apa ini tidak aneh?" agak tinggi nada
suara Raden Mandaka.
"Bunda rasa itu tidak aneh, Anakku. Mungkin
Ayahandamu punya maksud tertentu," kilah Permaisuri Sara Ratan lembut.
"Itu berarti Bunda tidak percaya kalau Ayahanda Prabu tewas, bukan?" tebak Raden Mandaka.
"Entahlah...," suara Permaisuri Sara Ratan terdengar mengambang.
"Bunda.... Nanda juga sempat berpikir seperti
itu. Rasanya tidak mungkin kalau Ayahanda Prabu tewas hanya karena tertikam sebilah pisau oleh seorang pemuda yang tidak diketahui
asalnya. Lagi pula, untuk apa membunuh Ayahanda Prabu..." Sedangkan yang
Nanda ketahui, Ayahanda Prabu memiliki ilmu kebal.
Bahkan aji 'Karang Saketi' yang menjadikan kulit Ayahanda Prabu sekeras baja,
adalah ajian yang menjadi tameng bagi tubuh Ayahanda. Tak ada satu senjata
pun yang bisa melukainya, apalagi hanya sebilah pisau kecil...," agak ragu-ragu
nada suara Raden Mandaka.
"Anakku.... Bagaimanapun digdayanya seseorang, dan bagaimanapun saktinya seseorang, tentu ada saatnya ajal menjemput.
Hari naas tidak akan pernah dapat terelakkan. Itu namanya sudah takdir. Janganlah mengandalkan ilmu olah kanuragan dan kesaktian, sehingga jadi besar kepala.
Apalagi menganggap diri tidak akan pernah bisa mati. Ingat, Anakku. Semua
makhluk hidup pasti mati. Begitu juga Ayahanda Prabu," tetap lembut nada suara Permaisuri Sara Ratan.
Raden Mandaka menatap dalam-dalam, lurus
ke bola mata wanita berusia hampir mencapai empat
puluh tahun di depannya. Entah apa yang dicari dari sepasang mata bening dan
raut wajah lembut penuh
ketenangan itu. Seakan-akan tidak percaya kalau
ibunya seperti tidak berduka sejak menerima kabar
kematian suaminya. Bahkan sikapnya begitu tenang,
seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu pada diri
Prabu Jayengrana. Perlahan-lahan Raden Mandaka
bangkit berdiri. Pandangannya tetap tertuju pada seraut wajah yang masih
kelihatan cantik itu.
"Bunda sepertinya tidak berduka sama sekali,"
pelan suara Raden Mandaka, seolah berbicara untuk dirinya sendiri.
"Tidak, Anakku. Bunda merasa sedih, tapi tidak
mungkin untuk hanyut terus-menerus dalam kedukaan. Masih banyak yang harus Bunda kerjakan selama Gusti Prabu tidak ada. Bunda saat ini masih punya tugas penting yang harus
dilaksanakan, yaitu mempersiapkan dirimu agar menjadi raja. Tentu saja seorang
raja yang jadi tauladan bagi seluruh rakyat negeri ini," tetap tenang dan lembut
suara Permaisuri Sara Ratan. "Kenapa Bunda selalu berpikir begitu" Sejak
Ayahanda diberitakan tewas, Bunda selalu berkata
demikian setiap kali aku membicarakan perihal kematian Ayahanda. Kenapa, Bunda?"
"Kau tidak juga mengerti, Anakku. Setelah empat puluh hari, jasad Ayahandamu akan datang ke istana. Dan di saat itulah kau akan dinobatkan menjadi raja. Hanya itu tugas Bunda
padamu. Mengantarmu
sampai duduk di singgasana."
"Tidak, Bunda. Aku tidak akan mempersiapkan
diri jika belum melihat sendiri jasad Ayahanda Prabu.
Itu pun kalau memang Ayahanda Prabu sudah meninggal!" jawab Raden Mandaka tegas.
"Jangan sia-siakan kesempatan ini, Ananda.
Atau kau ingin tahta itu diserahkan pada adikmu"
Adik dari selir, Anakku."
"Bukan itu maksudku, Bunda. Yang kuinginkan hanyalah menduduki tahta sesuai adat dan peraturan yang berlaku. Terus terang, aku masih belum
percaya jika Ayahanda tewas hanya karena tertikam
sebilah pisau. Harus kuselidiki, Bunda. Harus...!" tegas nada suara Raden
Mandaka. "Mandaka...!"
Tapi Mandaka sudah lebih cepat meninggalkan
taman kaputren itu. Permaisuri Sara Ratan bergegas
berdiri dan mengejar, namun anaknya sudah berjalan
jauh, melangkah cepat keluar dari taman kaputren.
Permaisuri Sara Ratan hanya bisa memandangi kepergian putranya yang diliputi hati panas.
"Oh, Dewata Yang Agung..., jangan biarkan putraku masuk dalam kemelut ini," desah Permaisuri Sara Ratan lirih.
Wanita berusia hampir empat puluhan tapi masih terlihat cantik itu mengayunkan langkahnya menyusuri jalan setapak yang melingkari taman bunga di kaputren ini. Tapi belum
seberapa jauh melangkah,
tampak seorang laki-laki berusia lanjut menghampiri. Ja-lannya dibantu sebatang
tongkat berwarna hitam kemerahan. Laki-laki berusia lanjut yang mengenakan
baju berbentuk jubah warna kuning gading itu membungkuk memberi hormat. Kepalanya yang gundul
tampak berkilat dijilat cahaya matahari senja.
"Ada apa, Paman Pendeta Seka Gora?" tanya
Permaisuri Sara Ratan.
"Ampun, Gusti Permaisuri. Apakah Gusti Permaisuri mengijinkan Ananda Raden Mandaka pergi ke
kuil?" terdengar sopan nada suara Pendeta Seka Gora.
"Ke kuil..."!" Permaisuri Sara Ratan nampak terkejut. "Benar, Gusti Permaisuri. Ananda Raden Mandaka bahkan membawa para prajurit setia dan sepuluh orang jawara yang sudah disumpah untuk selalu
setia padanya."
"Tidak! Aku tidak pernah mengijinkannya untuk pergi ke sana!" sentak Permaisuri Sara Ratan tegas.
"Kalau begitu, apa yang harus hamba lakukan,
Gusti Permaisuri?" tanya Pendeta Seka Gora.
"Cegah sebelum terlambat!"
"Baik, Gusti Permaisuri."
2 Raden Mandaka memacu cepat kudanya diikuti
sekitar lima puluh prajurit dan sepuluh orang jawara pilihan yang telah disumpah
untuk selalu setia pada putra mahkota itu. Jawara di Kerajaan Salinga adalah
para jago yang memiliki kepandaian tinggi, yang terdiri dari orang-orang
pilihan. Mereka rela mengorbankan
nyawa demi kesetiaan pada junjungannya.
Kuda-kuda itu dipacu cepat bagai terbang di
atas tanah, sehingga tidak berapa lama mereka sudah melewati batas kota Kerajaan
Salinga. Sepanjang jalan yang dilalui, debu mengepul tersepak kaki-kaki kuda.
Namun belum begitu jauh melewati perbatasan kota,
mendadak sekitar sepuluh orang mengenakan baju hitam menghadang di depan.
"Hup...!"
Raden Mandaka bergegas melompat turun dari
punggung kudanya, sebelum kuda coklat itu berhenti
berpacu. Sepuluh orang jawara yang mendampingi juga bergegas melompat turun. Demikian juga lima puluh prajurit yang dibawa Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu. Dan belum sempat ada yang mengeluarkan
satu suara pun, dari balik semak dan pepohonan bermunculan orang berpakaian serba hitam yang seluruh
kepalanya terselubung kain hitam pula. Hanya bagian mata saja yang terlihat.
"Siapa kalian" Mengapa menghadang jalanku?"
bentak Raden Mandaka.
"Raden tidak perlu tahu siapa kami, dan sebaiknya segeralah kembali ke istana," sahut salah seorang yang entah berada di
mana. Suara itu seakan datang dari segala penjuru.
"Kalian tidak berhak mengaturku! Minggir...!"
bentak Raden Mandaka gusar.
"Kembalilah, Raden. Sebelum semuanya terlambat," kata orang yang tidak jelas ada di mana.
"Phuih! Siapa pun kalian, minggir! Atau prajurit-prajuritku yang akan menyingkirkan kalian dari
hadapanku!" geram Raden Mandaka.
"Dengar, Raden. Demi kebaikan Raden sendiri,
kembalilah ke istana. Tidak ada gunanya Raden pergi ke kuil," kata suara itu
lagi. "Heh! Kau tahu tujuanku..."! Siapa kau?" Raden
Mandaka terkejut juga.
"Aku tahu semuanya, Raden. Itulah sebabnya
mengapa kuminta Raden kembali ke istana. Ini semua
demi kebaikan Raden sendiri juga," suara itu tetap
membujuk. "Hm..., aku tahu. Kau sengaja menghalangiku
untuk mengetahui kematian Ayahanda Prabu," nada
suara Raden Mandaka terdengar agak bergumam.
"Dengar baik-baik! Aku tidak percaya kalau Ayahanda Prabu sudah mangkat! Pasti
kalian yang menyebar berita bohong itu! Apa pun alasannya, akan kuhukum
kalian semua!"
Setelah berkata demikian, Raden Mandaka
memberikan isyarat agar para prajuritnya bersiap sia-ga. Demikian juga sepuluh
orang jawara setianya. Mereka segera menghunus senjata masing-masing. Sedangkan Raden Mandaka sendiri sudah menghunus
pedangnya yang sejak tadi tersampir di pinggang.
Sementara orang-orang berbaju hitam dengan
seluruh kepala terselubung kain hitam pekat, hanya
berdiri tegak saja. Sedikit pun tidak melakukan gerakan, meskipun yang dikepung
sudah bersiap hendak
bertempur dan menghunus senjata masing-masing.
"Siapa pun yang mencoba menghalangi langkahku, harus siap mati di ujung pedang!" lantang sua-ra Raden Mandaka.
Raden Mandaka melangkah cepat sambil mengibaskan pedangnya ke depan. Dan orang-orang yang
berada di bagian depan, bergegas berlompatan menghindari tebasan pedang itu. Tak ada yang terkena, tapi cukup untuk Raden Mandaka
lewat. Namun sebelum
pemuda belia itu bisa melewati jalan yang terbuka,
mendadak.... "Jangan biarkan mereka ke kuil!"
Seketika jalan yang sudah terbuka itu kembali
tertutup. Raden Mandaka jadi gusar, lalu melompat
sambil berteriak nyaring. Pedangnya berkelebatan cepat mencoba membuka kepungan
orang-orang berbaju
hitam pekat itu.
Trang! Entah kapan senjata itu tercabut, tahu-tahu di
tangan orang-orang berbaju hitam itu sudah tergenggam pedang bergagang kepala ular. Raden Mandaka
melompat mundur begitu pedangnya membentur salah
satu senjata pedang orang yang terdekat.
Seluruh persendian tangannya terasa nyeri,
dan tubuhnya bergetar hebat. Raden Mandaka merasakan adanya satu aliran yang dahsyat menggetarkan
jantung dan jalan darahnya. Sebentar Putra Mahkota
Kerajaan Salinga itu terpaku, namun sesaat kemudian sudah kembali melompat
menerjang sambil berteriak
keras melengking tinggi.
"Hiyaaat...!"
Trang! Wut...! Raden Mandaka tidak lagi peduli, meskipun
merasakan tangannya bergetar saat pedangnya beradu
dengan pedang manusia berselubung serba hitam itu.
Raden Mandaka memerintahkan para prajurit dan sepuluh orang jawaranya untuk membuka jalan. Lantang
dan sangat keras seruannya, maka pertempuran tidak
dapat dihindari lagi. Senja yang semula tenang, kini berubah riuh oleh teriakan
pertempuran dan denting
senjata beradu.
Sebentar saja sudah terdengar jeritan melengking mengiringi beberapa tubuh terjungkal bersimbah
darah. Raden Mandaka semakin bertambah geram menyaksikan sepuluh orang prajuritnya roboh hanya dalam waktu sebentar saja. Bahkan tidak ada seorang
lawan pun yang roboh.
Sementara sepuluh orang jawara yang dibawa
Raden Mandaka rupanya kini mendapat lawan tangguh. Mereka tidak bisa berbuat banyak. Terlebih lagi jumlah yang harus dihadapi
berlipat ganda. Raden
Mandaka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun sudah mengerahkan seluruh
kekuatannya. Pertempuran terus berlangsung sengit, tanpa dapat dicegah lagi.
Satu per satu korban mulai berjatuhan kembali, baik dari pihak Raden Mandaka
maupun dari orang-orang
berbaju hitam itu. Jerit pekik pertempuran berbaur
menjadi satu dengan jerit lengking kematian, ditingkahi denting senjata berada
"Hentikan, Raden. Tidak ada gunanya mengumbar amarah," terdengar lagi suara tanpa ujud.
"Setan! Berani bicara lagi, kurobek mulutmu,
keparat!" geram Raden Mandaka.
Kemarahan yang memuncak, membuat Raden
Mandaka sukar mengendalikan dirinya lagi. Ilmu olah kanuragannya memang cukup
tinggi, tapi hawa amarah yang menyelimuti seluruh dadanya membuatnya
kehilangan kendali. Serangan-serangannya tidak bera-turan lagi, sehingga membuat
lawan-lawannya tidak
mengalami kesulitan untuk menghindari. Bahkan beberapa kali pemuda belia itu harus rela menerima pukulan maupun tendangan yang
cukup keras. Raden Mandaka tahu kalau setiap pukulan dan
tendangan yang diterimanya tidak diimbangi pengerahan tenaga dalam. Tentu saja hal ini membuatnya semakin marah. Hatinya merasa tersinggung, karena dianggap remeh. Bertarung tanpa mempergunakan tenaga dalam, baginya sama saja bertarung melawan orang berkemampuan rendah.
Padahal, tenaga dalam adalah
senjata andalan yang tak dapat ditinggalkan begitu sa-ja bagi orang yang
memiliki ilmu olah kanuragan. Bertarung tanpa mempergunakan tenaga dalam merupakan penghinaan besar. Atau sama saja menganggap
remeh lawan, sehingga merasa dirinya lebih tinggi
tingkat kepandaiannya. Tapi di balik itu semua, memang ada maksud-maksud tertentu yang biasanya tidak akan bisa dipahami lawan. Tetapi tetap saja perbuatan itu selalu dianggap
merendahkan. "Phuih! Jangan menyesal kalau kalian mampus
di tanganku!" geram Raden Mandaka.
Pemuda belia itu semakin meningkatkan serangan-serangannya. Tidak lagi mempedulikan keadaan
tubuhnya yang sudah babak-belur. Bahkan juga tidak
Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi mempedulikan jumlah prajuritnya yang semakin
berkurang. Malah tiga orang jawaranya sudah tergeletak tidak bernyawa lagi.
Raden Mandaka terus bertarung disertai hawa amarah meluap dalam dada.
"Mampus kalian! Hiyaaa! Hiyaaat...!"
Pedang di tangan Raden Mandaka berkelebat
cepat bagaikan kilat. Sungguh berbahaya jurus-jurus terakhir yang dimainkan
Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu. Namun tiga orang lawannya ternyata masih
mampu mengimbangi menggunakan gerakan-gerakan
ringan. Bahkan masih sempat mendaratkan pukulan
maupun tendangan telak, namun tetap tanpa pengerahan tenaga dalam sedikit pun. Hanya menggunakan
tenaga luar saja. Hal ini membuat Raden Mandaka semakin berang. Namun begitu, darah mulai mengucur
juga dari sudut bibirnya.
"Mundur semua...! Biar kuhadapi mereka!" seru
Raden Mandaka tiba-tiba.
Bersamaan dengan itu, Raden Mandaka melompat keluar dari arena pertarungan. Matanya seketi-ka jadi terbeliak lebar
begitu melihat seluruh pengi-kutnya sudah tergeletak tidak bernyawa lagi!
Sedangkan pihak lawan hanya sepuluh atau dua belas orang
yang tewas. Raden Mandaka menggeretak geram menyadari dirinya tinggal sendirian saja.
"Maaf, Raden. Terpaksa mereka harus disingkirkan," terdengar lagi satu suara tanpa ujud.
"Kalian telah berani membantai prajuritprajuritku! Ini namanya pemberontakan!" geram Raden Mandaka.
"Kami tidak memberontak, Raden. Mereka memang sudah sepatutnya disingkirkan," kata orang yang tidak diketahui di mana
adanya itu. "Siapa kau" Keluar!" bentak Raden Mandaka
tambah berang. "Sayang sekali, aku tidak diijinkan menampakkan diri. Sungguh kami tidak bermaksud memberontak, tapi hanya ingin menyelamatkan kerajaan dari kehancuran. Kami menginginkan
Raden tetap menggantikan kedudukan Gusti Prabu Jayengrana," sahut suara tanpa ujud itu lagi.
"Phuih! Apa pun alasannya, kalian telah berani
menentangku! Jelas, ini berarti kalian ingin memberontak!" "Raden...."
Tapi Raden Mandaka sudah melompat menerjang dengan kecepatan tinggi. Maka dua orang yang
berada di dekatnya tidak sempat lagi berkelit. Mereka menjerit keras, lalu
ambruk dengan leher buntung,
Raden Mandaka mengamuk bagai banteng terluka.
Tiap gerakan pedangnya mengandung hawa maut yang
setiap saat dapat merenggut nyawa. Namun orangorang berbaju serba hitam itu rupanya memiliki kepandaian rata-rata di atas Raden Mandaka, sehingga
mampu pula menandingi tanpa membuat luka yang
parah. "Cukup, Raden. Bisa berbahaya bagi Raden
sendiri!" suara itu keras memperingatkan.
"Hiyaaat...!"
Tapi Raden Mandaka tidak peduli dan terus
menyerang ganas. Mendadak saja terdengar seruan keras menggelegar, menyuruh semua orang yang mengepung Raden Mandaka mundur. Tanpa menunggu waktu lagi, mereka bergegas berlompatan mundur. Dan
pada saat itu, melesat bayangan merah. Kini di depan Raden Mandaka sudah berdiri
sesosok tubuh berbaju
merah ketat. Wajahnya tertutup kain tipis yang membuatnya jadi tersamar.
"Hhh...! Akhirnya kau muncul juga, keparat!"
geram Raden Mandaka.
"Dengar, Raden. Meskipun aku mendapat kekuasaan untuk berlaku keras, tapi tetap tidak akan
kugunakan kekerasan. Ini peringatanku yang terakhir, Raden. Kembalilah ke
istana, atau Raden akan kembali terusung!" dingin nada suara orang berbaju merah
ketat itu. "Kau sudah membunuh banyak prajurit dan
para jawara setiaku. Dan sekarang kau mengancamku!
Baik, kesalahanmu sudah bertumpuk, manusia keparat!" sambut Raden Mandaka. Sedikit pun hatinya tidak gentar meskipun menyadari tidak akan mungkin
mampu menandingi orang berbaju merah itu. Padahal
jelas, orang itu pasti lebih tinggi kepandaiannya dari mereka yang berpakaian
serba hitam. "Kepala batu...!" desis orang itu, agak tertahan
suaranya. "Kepalaku lebih keras dari batu!" tantang Raden Mandaka. "Kau memilih jalan yang tidak enak, Raden."
"Majulah, bila kau bisa mengusungku pulang!"
sambut Raden Mandaka lantang.
"Hhh! Semoga Gusti Prabu mengampuniku,"
dengus orang itu.
Dan tiba-tiba saja orang berbaju merah itu
menghentakkan tangannya ke depan. Seketika dari sela-sela jari tangannya meluncur benda-benda bulat kecil berwarna merah. Raden
Mandaka cepat menggerakkan pedangnya. Dan dia jadi terkejut ketika merasakan pedangnya seperti
terbakar begitu membabat
benda-benda merah bulat kecil itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Buru-buru Raden Mandaka melentingkan tubuhnya ke udara. Namun belum juga sempat melakukan sesuatu, terasa adanya sambaran angin keras
mengarah ke tubuhnya. Raden Mandaka terperanjat,
karena orang berbaju merah itu sudah melesat sambil melontarkan dua pukulan
beruntun. "Yap!"
"Aaakh...!" Raden Mandaka terpekik keras tertahan. Meskipun pemuda belia itu sudah berusaha
berkelit, namun satu pukulan keras orang berbaju merah itu sempat juga menghantam punggungnya. Tak
pelak lagi, tubuh Raden Mandaka meluncur deras ke
bawah. Namun belum juga tubuh pemuda itu sampai
ke tanah, mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat, dan langsung menyambarnya!
Begitu cepatnya bayangan putih itu berkelebat.
Dan sebelum ada yang bisa menyadari, bayangan putih itu sudah lenyap bagai tertelan bumi. Orang berbaju merah itu jadi
terperanjat. Kakinya mendarat manis, dan langsung mengedarkan pandangannya ke
arah seharusnya Raden Mandaka terguling.
"Monyet buntung! Siapa pula ingin cari penyakit!" geramnya sengit.
Orang berbaju merah ketat itu mengarahkan
pandangannya berkeliling, tapi tetap saja tidak menemukan bayangan putih yang
menyambar Raden Mandaka. Sambil menggeram, orang itu memerintahkan
semua orang yang mengenakan baju hitam untuk
mencari sampai dapat. Tanpa menunggu perintah dua
kali, mereka bergegas membereskan mayat-mayat yang
bergelimpangan. Mereka membuat lubang dan menguburkannya secara layak.
"Hhh...! Apa yang harus kukatakan nanti...?"
desah orang berbaju merah ketat itu.
Sambil mengawasi mereka yang tengah menguburkan mayat-mayat, orang berbaju merah itu terus
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia berharap akan melihat bayangan berkelebat, dan berharap
pula masih bisa menyusulnya. Tapi harapan memang
tinggal harapan. Sampai orang-orang berbaju serba hitam itu selesai menguburkan
mayat yang berserakan,
tetap saja tidak ditemukan satu petunjuk pun tentang Raden Mandaka berada.
Pemuda belia Putra Mahkota
Salinga itu benar-benar bagaikan lenyap ditelan bumi.
"Hhh..., semoga saja Raden Mandaka selamat
dan tetap hidup," desahnya lagi seraya mengayunkan
kakinya meninggalkan tempat itu.
*** Sukar buat Permaisuri Sara Ratan untuk menerima kenyataan pahit yang datang secara beruntun
ini. Semalaman dia menangis setelah mendengar kabar putranya hilang dan seluruh
prajurit serta sepuluh jawara yang menyertainya telah tewas.
Sampai pagi Permaisuri Sara Ratan tidak keluar dari kamarnya, dan baru keluar setelah matahari naik tinggi. Wanita yang
usianya sudah mencapai kepala empat itu duduk menyendiri dalam taman kaputren, yang biasa digunakan untuk bercengkrama bersama putranya. Dia tidak ingin ada seorang pun yang menemaninya. Permaisuri Sara
Ratan tetap diam, dan
sama sekali tidak mengetahui kalau di sampingnya
ada seseorang. "Gusti...."
Permaisuri Sara Ratan menoleh sedikit, tapi
kembali memalingkan mukanya setelah mengetahui
kalau Pendeta Seka Gora yang berada di sampingnya.
Laki-laki tua berkepala gundul itu memberi hormat, la-lu duduk di depan
Permaisuri Sara Ratan. Sikapnya
begitu hormat. "Ampunkan hamba, Gusti Permaisuri. Seharusnya hamba tidak cepat-cepat melaporkan semua
ini," ujar Pendeta Seka Gora pelan.
"Hhh...!" Permaisuri Sara Ratan hanya mendesah panjang saja.
"Hamba sudah meminta pada Panglima Pramoda dan Patih Trunggajaya untuk mencari Nanda Raden
Mandaka," ujar Pendeta Seka Gora lagi.
"Untuk apa" Untuk membawa mayat putraku
ke sini" Agar kepedihanku semakin bertambah?" agak
ketus nada suara Permaisuri Sara Ratan.
"Gusti Permaisuri...," Pendeta Seka Gora tersentak mendengar nada ketus itu, sehingga sampaisampai terangkat kepalanya.
"Paman! Hanya aku dan dirimu yang tahu, ke
mana anakku pergi. Aku yakin, ada yang tidak beres di dalam istana ini," tegas
kata-kata Permaisuri Sara Ratan. Tatapan matanya tajam, menusuk langsung ke
bola mata Pendeta Seka Gora.
"Ampun, Gusti Permaisuri. Bukan hanya hamba, tapi yang lainnya pun tahu. Bahkan hampir semua patih, panglima, dan
pembesar kerajaan tahu ke mana Nanda Raden Mandaka pergi," elak Pendeta Seka
Gora. "Oh..."!" Permaisuri Sara Ratan tampak tidak
percaya. "Nanda Raden Mandaka selalu mengatakan
hendak ke kuil setiap kali ditanya sebelum berangkat pergi. Hamba bertanya pada
Gusti hanya untuk me-mastikan saja, karena hamba melihat Nanda Raden
Mandaka keluar dari taman kaputren ini," jelas Pende-ta Seka Gora.
"Putraku memang pemberang. Tapi itu tidak
berarti harus mengobral tujuan kepergiannya. Aku ta-hu persis watak Raden
Mandaka, Paman Pendeta,"
agak sinis nada suara Permaisuri Sara Ratan.
"Ampun, Gusti Permaisuri. Apakah Gusti mencurigai hamba?" Pendeta Seka Gora merasa tidak enak juga. "Rupanya kau cepat
tanggap juga, Paman Pendeta. Memang tidak seharusnya mencurigaimu. Tapi
dalam keadaan seperti ini, aku merasa ada usaha untuk menggulingkan tahta Kerajaan Salinga secara kotor. Tapi aku yang masih berada di istana tidak akan membiarkannya begitu saja.
Maaf, Paman Pendeta.
Terpaksa harus kucurigai siapa saja. Aku yakin, semua yang terjadi belakangan ini sudah diatur. Suatu permainan...!" tegas katakata Permaisuri Sara Ratan.
"Gusti Permaisuri. Hamba belum memahami
maksud Gusti," tanya Pendeta Seka Gora seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua tangannya di
depan hidung. "Seharusnya kau lebih mengerti, Paman Pendeta. Kau seorang pendeta agung di Kerajaan Salinga ini, dan dipercayakan menjadi
penasehat pribadi keluarga istana. Aku tidak percaya kalau kau tidak menangkap
gejala lain dari semua peristiwa ini," tetap sinis nada suara Permaisuri Sara
Ratan. Pendeta Seka Gora terdiam sambil menundukkan kepalanya. Cukup lama juga kepalanya tertunduk
tepekur dengan kening berkerut lebih dalam lagi. Disadari kalau Permaisuri Sara
Ratan menaruh kecurigaan padanya untuk melakukan makar, menjatuhkan
tahta dan kekuasaan Prabu Jayengrana di Kerajaan
Salinga ini. Kecurigaan yang beralasan dan tidak
membabi-buta. Pendeta Seka Gora bisa memahami.
Ditariknya napas panjang-panjang, lalu dihembuskannya kuat-kuat. "Gusti Permaisuri, apakah hamba yang sudah
mengabdi separuh lebih usia hamba ini patut mendapat kecurigaan seperti itu" Tidakkah Gusti memberikan sedikit kepercayaan pada hamba untuk membuktikan kecurigaan itu?" mohon Pendeta Seka Gora, penuh rasa hormat.
"Aku memang belum mendapatkan bukti yang
cukup, Paman Pendeta. Semua akan menjadi jelas kalau Kanda Prabu ada di istana," kata Permaisuri Sara Ratan tegas. "Hhh..., aku
jadi berpikir lain. Mungkin dugaan putraku benar...."
"Dugaan apa, Gusti?" tanya Pendeta Seka Gora.
"Sebaiknya kau tidak perlu tahu, Paman. Kalau
aku sudah yakin bahwa kau tidak punya niat jahat di hati, mungkin aku bisa
mempercayaimu penuh kembali. Maaf, Paman Pendeta. Keadaan yang memaksaku
untuk bersikap demikian," ujar Permaisuri Sara Ratan.
Pendeta Seka Gora langsung terdiam. Dirapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung saat Permaisuri Sara Ratan
bangkit berdiri. Tanpa berkata sedikit pun, Permaisuri Kerajaan Salinga itu
melangkah pergi meninggalkan taman kaputren. Pendeta Seka Gora baru beranjak
setelah Permaisuri Sara Ratan
menghilang di balik tembok pemisah.
*** 3 Kecurigaan Permaisuri Sara Ratan terhadap
dugaan adanya makar di Kerajaan Salinga, rupanya
mempengaruhi pikiran para pembesar istana. Mereka
jadi saling curiga satu sama lain. Bahkan para panglima mulai mencari pengaruh,
dan menunjukkan kalau
Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirinya setia. Demikian juga para patih, yang jadi bersaing satu sama lain. Hal
ini membuat suasana di dalam lingkungan istana menjadi tak menentu. Tidak ada
lagi kata sepakat. Masing-masing menonjolkan diri
sendiri dan saling menjegal.
Keresahan di dalam lingkungan istana juga merambat sampai ke seluruh pelosok negeri. Rakyat jadi ikut gelisah. Desas-desus
tentang akan adanya peng-gulingan tahta kerajaan semakin keras mendengung.
Bahkan rakyat mulai dihinggapi keresahan. Mereka
mulai membentuk kelompok-kelompok yang tidak jelas
arah tujuannya. Kecemasan akan runtuhnya Kerajaan
Salinga semakin gencar melanda seluruh rakyat. Terlebih lagi keadaan semakin bertambah buruk. Keamanan tak terkendali lagi. Perampokan, pembunuhan,
bahkan perkosaan dan perbuatan keji lainnya tumbuh
subur bagai jamur di musim hujan. Orang-orang yang
suka mengambil keuntungan pribadi, memanfaatkan
keadaan kacau ini.
Kabar burung itu juga rupanya sampai ke telinga Raden Mandaka yang saat ini berada di Desa Kali
Ajir, yang letaknya di sebelah selatan Kota Kerajaan Salinga. Desa yang cukup
terpencil dan dipisahkan
oleh hutan yang tidak begitu lebat. Hanya ada satu jalan setapak yang
menghubungkan desa itu dengan kotaraja. Raden Mandaka memang telah dibawa ke rumah kepala desa oleh penolongnya ketika bertarung
melawan orang tidak dikenal yang membunuh habis
para prajurit dan sepuluh orang jawaranya.
"Aku benar-benar tidak mengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi...?" gumam Raden Mandaka
seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
"Satu ujian, Raden," celetuk seorang laki-laki tua
berusia lanjut yang duduk bersila di depan Raden
Mandaka. Di samping laki-laki tua itu duduk seorang pemuda berbaju rompi putih. Masih ada dua orang lagi
yang ada di ruangan tengah rumah kepala desa ini.
Mereka adalah wanita. Yang seorang sudah cukup tua,
yang merupakan istri kepala desa. Sedangkan seorang lagi berusia sekitar delapan
belas tahun, dan merupakan anak gadis Kepala Desa Kali Ajir. Raden Mandaka
menghela napas panjang. Ditatapnya pemuda berbaju
rompi putih yang telah membawanya ke tempat ini.
"Seharusnya kau biarkan saja aku tewas, Kakang Rangga. Rasanya tidak sanggup lagi menyaksikan kekacauan dan keruntuhan
Kerajaan Salinga," lirih
suara Raden Mandaka.
Pemuda berbaju putih tanpa lengan yang ternyata memang Rangga si Pendekar Rajawali Sakti,
hanya tersenyum dikulum saja. Diliriknya laki-laki tua yang duduk di sampingnya.
Yang dilirik juga hanya
tersenyum-senyum saja penuh arti. Sementara Raden
Mandaka memandanginya tidak mengerti. Hatinya bertanya-tanya mengapa kedua orang ini hanya tersenyum-senyum saja.
"Kenapa kalian tersenyum"! Ada apa"!" agak
keras suara Raden Mandaka. Pemuda ini memang
berwatak pemberang, dan mudah sekali tersinggung.
"Maaf, Raden. Bukannya hamba ingin membuat
Raden tersinggung," ucap laki-laki tua itu buru-buru.
"Jangan cepat tersinggung, Raden. Ki Belabar
tidak bermaksud apa-apa. Terus terang, kami tadi
hanya merasa geli karena Raden seperti berputus asa,"
selak Rangga. "Aku memang putus asa!" rungut Raden Mandaka. "Ah..., kenapa Raden begitu cepat putus asa"
Bukankah Raden masih punya kesempatan untuk
memperbaiki keadaan?" ucap Ki Belabar lagi.
"Percuma!"
"Tidak ada yang percuma, Raden. Hamba rasa,
semuanya masih dapat diatasi. Saat ini tahta Salinga
sedang kosong tanpa pemimpin. Justru keadaan seperti inilah yang membuat suasana jadi tidak menentu.
Bahkan bukan tidak mungkin ada segelintir orang
yang memanfaatkan untuk menduduki tahta. Raden
harus mencegah, dan memulihkan keadaan secepatnya. Hamba yakin, Den Rangga bersedia membantu.
Bahkan seluruh warga Desa kali Ajir akan ikut mengorbankan darah demi kejayaan Kerajaan Salinga,
Raden," tegas Ki Belabar memberi dorongan semangat
pada Raden Mandaka yang sudah pupus.
"Hanya orang desa.... Tidak mungkin mereka
menandingi kekuatan prajurit yang berjumlah besar,
Ki Belabar!" dengus Raden Mandaka bernada meremehkan. "Desa Kali Ajir sudah terkenal gudangnya para
jawara, Raden. Bahkan sebagian besar jawara di istana berasal dari sini. Hamba
yakin, para jawara istana
yang berasal dari desa ini tetap setia pada Raden, dan Gusti Prabu Jayengrana,"
kata Ki Belabar tanpa ada
rasa tersinggung.
"Bagaimana kalau justru mereka yang memberontak?" "Raden bisa membumihanguskan seluruh desa
ini," Ki Belabar menjamin.
"Membumihanguskan"! Kau pikir aku sekejam
itu, Ki?" Raden Mandaka mendelik.
"Tentu saja tidak, Raden. Hamba hanya menjamin kesetiaan warga Desa Kali Ajir ini saja. Hamba percaya Raden adalah calon
pemimpin yang adil dan
bijaksana. Itulah sebabnya hamba bisa menjamin dan
selalu setia pada Raden dan Gusti Prabu Jayengrana,"
tegas Ki Belabar lagi.
"Terima kasih, Ki. Tapi..., aku masih belum yakin mampu mengatasi keadaan yang sudah tidak terkendali ini," ucap Raden Mandaka pelan. Nada suaranya memang seperti putus asa.
"Kenapa harus sangsi, Raden" Semua pasti bisa teratasi. Yang pertama harus dilakukan adalah
mencari bukti kalau Prabu Jayengrana masih hidup,"
celetuk Rangga yang mengetahui keadaan di Kerajaan
Salinga saat ini dari Ki Belabar.
"Itulah sulitnya. Tidak mudah menuju ke kuil
semadi sekarang ini. Seluruh jalan ke situ sudah dija-ga ketat. Aku sendiri
tidak mengerti, kenapa sampai begitu," suara Raden Mandaka bernada mengeluh.
"Serahkan semua itu pada Den Rangga, Raden," sergah Ki Belabar.
"Ah! Ki Belabar ini hanya berolok saja," gurau
Rangga merendah.
Tapi ucapan Ki Belabar membuat Raden Mandaka menatap dalam-dalam Pendekar Rajawali Sakti
itu. Memang ada sesuatu yang dirasakannya ketika
melihat pancaran sinar mata pemuda tampan berbaju
rompi putih itu. Dan entah kenapa, Raden Mandaka
begitu yakin kalau Rangga memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Terbukti bisa membawanya begitu cepat hingga tidak terkejar. Dan
itu pun hampir tidak dis-adarinya, tahu-tahu sudah berada di perbatasan Desa
Kali Ajir ini. Sudah hampir tiga hari Raden Mandaka berada
di rumah kepala desa ini, tapi belum begitu jelas mengetahui diri Rangga yang
sebenarnya. Ki Belabar sendiri mengatakan belum tahu jelas. Laki-laki tua itu
baru seminggu yang lalu mengenalnya. Saat itu Rangga me-nolongnya dari ancaman
maut terkaman seekor harimau lapar di tepi hutan, ketika Ki Belabar hendak berburu. Sedangkan Rangga
sendiri mengatakan kalau dirinya hanyalah pengembara. Tapi tutur kata dan perawakannya tidak seperti seorang pengelana sesungguhnya. Dengan tubuh tegap, berkulit kuning langsat dan wajah tampan, Rangga lebih
tepat sebagai putra seorang pembesar kerajaan daripada seorang pengembara. Bahkan Raden Mandaka sendiri merasakan dirinya
tidak setampan dan segagah Pendekar Rajawali Sakti
ini. "Rasanya sudah siang dan matahari sudah
tinggi. Apakah kau sudah menyiapkan makan, Nyai?"
Ki Belabar menoleh pada istrinya.
"Sudah sejak tadi, barangkali sudah dingin,"
sahut Nyai Belabar seraya bangkit berdiri.
Wanita tua itu mengajak putrinya untuk menyiapkan makan siang. Sementara ketiga laki-laki itu terus berbincang-bincang
sambil menunggu siapnya
hidangan. Saat itu matahari memang sudah tinggi, dan perut mereka juga sudah
menagih minta diisi. Mereka melanjutkan obrolan di ruangan tengah sambil menikmati hidangan yang sederhana.
*** Senja baru saja merayap turun menyelimuti sebagian permukaan bumi. Dua ekor kuda hitam berpacu cepat membelah jalan berdebu. Kedua kuda yang
masing-masing ditunggangi seorang pemuda itu baru
saja keluar dari hutan kecil yang berada di sebelah selatan Kerajaan Salinga.
Kedua pemuda itu terus menggebah kudanya melewati gerbang pembatas kotaraja
yang nampak kosong tanpa terlihat seorang penjaga
pun. Namun belum beberapa jauh melewati batas gerbang, mendadak melintas sebuah bayangan merah,
langsung menghadang kedua penunggang kuda itu.
"Berhenti...!"
"Hooop...!"
Kedua penunggang kuda itu langsung menghentikan lari kudanya. Debu seketika mengepul tinggi ke udara, menutupi hampir
dua tubuh kuda hitam pekat itu. Tampak di depan kedua penunggang kuda itu
berdiri tegak seorang berpakaian serba merah, dan seluruh kepalanya terselubung
kain tipis yang menyamarkan wajahnya.
"Hm, rupanya kau masih hidup, Raden Mandaka," gumam orang yang berdiri menghadang itu. Kedua bola matanya menatap tajam
pada salah seorang penunggang kuda hitam itu.
"Kau lagi!" dengus Raden Mandaka.
"Raden, sebaiknya tidak usah datang ke istana.
Suasana saat ini tidak menguntungkan untuk kembali
ke istana," kata orang berbaju serba merah itu lantang.
"Apa hakmu melarangku, heh"!" bentak Raden
Mandaka tidak senang.
"Turuti saja apa kataku, Raden. Semua ini demi
keselamatan Raden sendiri," tenang, namun terdengar lantang suara orang berbaju
merah itu. "Kukira malah sebaliknya, Kisanak. Kehadiran
Raden Mandaka akan memperbaiki kekacauan yang
terjadi di istana," celetuk pemuda berbaju rompi putih yang duduk di atas
punggung kuda hitam di samping
kanan Raden Mandaka.
"Hm.... Siapa kau, Kisanak?" dengus orang itu
bernada kurang senang.
"Aku sahabat Raden Mandaka. Aku tahu maksudmu menghadang Raden Mandaka kembali ke istana, dan menghalanginya pergi ke kuil semadi Prabu
Jayengrana!" mantap kata-kata pemuda berbaju rompi
putih itu. "Anak muda! Siapa pun kau adanya, jangan
ikut campur urusan dalam istana!" bentak orang itu
gusar. "O..., jadi kau termasuk orang istana juga?"
"Setan belang!" orang berbaju merah itu menggeram sengit. Kalau saja tidak terselubung kain sutra tipis,
pasti wajahnya akan terlihat memerah. Jelas kata-kata pemuda berbaju rompi putih
itu seakan-akan sudah
menelanjanginya, meskipun belum seberapa banyak.
"Siapa kau sebenarnya, Kisanak?" bentak Raden Mandaka yang terkejut juga mendengar kata-kata
pancingan yang mengena telak dari pemuda berbaju
rompi putih di sampingnya.
"Aku penyelamat keutuhan keluarga Istana Salinga!" sahut orang itu lantang.
"Seluruh keluarga dan rakyat Salinga aman
tentram sebelum kemunculanmu!" celetuk pemuda
berbaju rompi putih itu lagi.
"Kurang ajar!" desis orang berbaju merah itu
menggeram. "Kau terlalu banyak ikut campur, Kisanak. Mulutmu harus dibungkam!"
Setelah menggeram seram, orang berbaju merah ketat itu langsung melompat cepat bagaikan kilat menyambar pemuda berbaju
rompi putih yang duduk
di punggung kuda hitam. Tapi pemuda itu hanya tenang saja, bahkan hanya menghentakkan tali kekang
kudanya. Dan kuda hitam itu meringkik keras seraya
mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
Buk! Orang berbaju merah itu tidak menyangka sama sekali, dan terlambat untuk menarik serangannya.
Akibatnya, satu kaki depan kuda hitam itu menghantam bagian iganya. Sedikit dia mengeluh pendek, dan
tubuhnya terdorong beberapa tombak ke belakang.
Sungguh ringan kakinya mendarat di tanah.
"Setan alas...!" ia mengumpat geram.
"Hiyaaa...!"
Sret! Sambil mencabut pedangnya, orang berbaju
merah itu kembali melompat menerjang penunggang
kuda hitam di samping Raden Mandaka. Pemuda itu
masih kelihatan tenang duduk di punggung kudanya.
Dan begitu orang berbaju merah dekat, kembali dihentakkan tali kekang kudanya.
Tepat pada saat yang sa-ma, tubuhnya melenting ke atas, melewati kepala
orang berbaju serba merah itu.
"Yap!"
Sukar untuk diikuti oleh pandangan mata biasa. Tahu-tahu pemuda berbaju rompi putih itu
menghentakkan kakinya, dan mendupak punggung
orang itu hingga terjungkal sebelum sempat mengibaskan pedangnya. Sedangkan kuda hitam meringkik
keras sambil menyepakkan kaki depannya, tepat
menghantam dada orang berbaju merah itu.
Bug! "Heghk...! Keparat...!"
Orang berbaju merah itu segera bangkit berdiri
Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah bergulingan beberapa kali di tanah. Sambil
mengumpat geram, kembali diserangnya pemuda berbaju rompi putih dengan ganas. Pedang di tangannya
berkelebat cepat, menyambar, mengurung gerak tubuh
pemuda berbaju rompi putih itu. Namun dengan gerakan-gerakan yang indah dan lincah, pemuda berbaju
rompi putih itu dapat mengelak. Bahkan tanpa diduga sama sekali, satu pukulan
telak bertenaga dalam sangat tinggi berhasil disarangkan ke dada lawan.
"Hiyaaat...!"
Buk! "Akh!" orang itu memekik tertahan.
Seketika tubuh serba merah itu terdorong sejauh tiga batang tombak ke belakang. Saat tubuhnya
limbung, Raden Mandaka cepat melesat ke arahnya.
Dengan tangan kanan, disambarnya dengan cepat kain
yang menyelubungi kepala orang berbaju merah itu.
Bret! Hampir bersamaan, Raden Mandaka mengibaskan sebelah tangannya lagi, langsung menghajar
bagian pipi orang itu, hingga tubuhnya melintir bagai gasing! Dan sebelum
tubuhnya seimbang, kembali Raden Mandaka mengirimkan satu pukulan telak ditambah dua tendangan beruntun. Tak pelak lagi, orang
berbaju merah itu terjungkal mencium tanah! Darah
mengucur deras dari mulut dan hidungnya. Dia merintih berusaha bangkit, namun kaki Raden Mandaka sudah menjejak dadanya. Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu memungut pedang yang menggeletak di tanah,
lalu menempelkan ujungnya pada leher orang berbaju
merah itu. Tanpa selubung kain sutra yang menutupi
seluruh kepalanya, tampak jelas seraut wajah laki-laki muda berusia sekitar dua
puluh lima tahun. Kumis
tebal yang menempel di bawah hidung, membuat wajahnya kelihatan tua. Belum lagi segores luka yang
memancang membelah pipinya, membuat tampangnya
semakin kelihatan seram.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Raden Mandaka. "Gurata!" sahut orang itu sambil meringis menahan nyeri pada seluruh tubuhnya.
"Siapa yang memerintahmu?" tanya Raden
Mandaka lagi. "Tidak ada, Raden," jawab orang itu yang mengaku bernama Gurata.
"Tidak ada..."!" Raden Mandaka menggeram.
Ditekan pedang itu hingga menggores kulit leher orang berbaju merah yang
tergeletak dengan dada terinjak
kaki kanan Raden Mandaka.
Orang yang mengaku bernama Gurata itu meringis menahan perih oleh sayatan ujung pedangnya
sendiri di leher. Dia berusaha menggerinjang, tapi Raden Mandaka malah menekan
pijakannya kuat-kuat.
"Mau berontak, heh"!" desis Raden Mandaka.
"Tidak..., tidak, Raden," rintih Gurata meringis.
"Jawab pertanyaanku dengan jujur! Siapa yang
menyuruhmu melakukan semua ini?" tanya Raden
Mandaka, dingin nada suaranya.
"Sungguh, Raden. Hamba melakukan sendiri
tanpa disuruh orang lain. Berani sumpah, Raden. Biar disambar petir, hamba
berkata jujur," sahut Gurata
masih juga bisa bercanda.
Sementara pemuda berbaju rompi putih yang
berdiri di belakang agak ke samping Raden Mandaka,
jadi mengulum senyum. Hatinya mendengus juga
mendengar nada bercanda dari Gurata, meskipun keadaan orang itu tergantung dari kesabaran Raden Mandaka yang terkenal pemberang ini.
"Raden...," pemuda berbaju rompi putih itu
menepuk pundak Raden Mandaka.
"Hm.... Ada apa, Kakang Rangga?" tanya Raden
Mandaka yang sudah terbiasa memanggil kakang pada
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku rasa dia berkata jujur, Raden. Ada sesuatu yang lain pada dirinya," kata Rangga agak menggumam. Raden Mandaka berpaling
menatap Pendekar
Rajawali Sakti itu, kemudian menoleh menatap pada
Gurata. Pelahan-lahan Raden Mandaka menjauhkan
ujung pedang dari leher laki-laki berkumis tebal dengan luka codet memanjang di
pipinya. Kemudian kakinya melangkah mundur, melemparkan pedang itu ke
tanah. Gurata menggelinjang, lalu bangkit berdiri pelahan-lahan. Kemudian dia
membungkukkan badannya untuk memberi hormat.
"Kau tentu bukan orang yang menyerang dan
membunuh semua prajurit Raden Mandaka. Kenapa
sekarang kau menghadang kami?" tanya Rangga agak
menatap tajam. "Ampun, Raden. Hamba memang mendengar
tentang penyerangan yang dilakukan sekelompok
orang terhadap Raden Mandaka dan beberapa prajurit
serta jawara. Tapi bukan hamba yang melakukan itu
semua. Hamba hanya mendengar, lalu menyamar jadi
pemimpinnya dengan pakaian yang sama," jelas Gurata. "Kenapa kau lakukan itu, Gurata?" tanya
Rangga menyelak.
"Aku dendam! Kau lihat ini...!" Gurata menunjukkan luka codet di pipinya. Juga segera dibuka bajunya, maka terlihatlah lukaluka bekas cambukan di seluruh tubuhnya!
Rangga dan Raden Mandaka saling berpandangan. Sungguh tidak disangka kalau laki-laki berkumis tebal yang kelihatan garang
ini menderita begitu banyak luka.
"Siapa yang melakukan itu padamu?" tanya
Raden Mandaka. "Siapa lagi kalau bukan si pendeta jahanam itu!"
sahut Gurata memberengut.
"Paman Pendeta Seka Gora, maksudmu?" Raden Mandaka terbeliak terkejut.
"Huh! Dialah dalang dari semua kekacauan ini!"
dengus Gurata. Rangga menepuk pundak Raden Mandaka yang
terlihat memerah wajahnya. Kedua tangan putra mah Si Kumbang Merah 14 Dewa Arak 24 Pertarungan Raja-raja Arak Bagus Sajiwo 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama