Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut Bagian 3
jauh menembus ke dalam, udara semakin terasa dingin. Matahari juga seakan tak sanggup menembus cahayanya. Sementara di dalam kereta, Permaisuri Sara Ratan tampak gelisah, tidak
tahu lagi ke mana tujuan Natapraja membawanya pergi. Belum pernah dilalui-nya
hutan ini, terlebih lagi begitu jauh masuk ke da-lamnya. Permaisuri Sara Ratan
menyingkap tirai jendela kereta kuda sedikit. Betapa terkejut hatinya begitu
melihat di sebelahnya terhampar sebuah jurang yang
sangat dalam. Buru-buru wanita itu menutup tirai. Jalan kereta kuda ini juga
terasa lebih pelahan. Ketika Permaisuri Sara Ratan berpaling ke arah lain,
mendadak matanya membeliak lebar. Mulutnya pun ternganga tak mampu bersuara lagi.
"Ssst..., tenang. Jangan bicara apa pun."
"Bagaimana kau bisa berada di sini?" tanya
Permaisuri Sara Ratan.
Sungguh sulit dimengerti. Tahu-tahu di sampingnya sudah duduk seorang pemuda berbaju rompi
putih yang menemuinya di dalam taman kaputren.
Pemuda itu tidak menjawab, tapi malah menyibakkan
tirai di sampingnya sedikit. Diamatinya keadaan di
luar sebentar. Laju kereta kuda mulai terasa biasa
kembali. Hanya saja guncangannya terasa begitu keras. "Singkap sedikit tirai itu," kata Rangga menunjuk tirai di samping Permaisuri Sara Ratan.
Dengan sikap ragu-ragu, Permaisuri Sara Ratan
menyingkapkan tirai jendela di sampingnya sedikit.
Rangga memperhatikan jalan di luar. Tampak kereta
ini sudah melewati bibir jurang, dan kini memasuki
daerah berbatu yang gersang. Dari kemiringan di dalam kereta, sudah dapat dipastikan kalau jalan yang dilalui mendaki. Rangga
meminta Permaisuri Sara Ratan menutup kembali tirai itu.
"Sejak kapan kau berada di kereta ini?" tanya
Permaisuri Sara Ratan.
"Sejak dari tengah hutan tadi," sahut Rangga
seraya mengintip ke luar melalui tirai yang disibakkan sedikit dengan ujung jari
tangannya. "Oh! Jadi kau melihat semua...?"
"Tentu! Sayangnya tidak sempat kucegah."
"Aku tidak mengerti, kenapa Pendeta Seka Gora
bisa bertindak sekejam itu?" keluh Permaisuri Sara Ratan.
Rangga diam saja, dan terus mengamati keadaan di luar. Otaknya terus berputar mencari jalan untuk menyelamatkan
Permaisuri Sara Ratan. Tapi ingin juga diketahui, ke mana arah tujuan perjalanan
yang sudah memakan waktu lebih dari setengah harian ini.
Rangga juga mencemaskan Raden Mandaka yang ditinggalkannya di Desa Kali Ajir. Hanya desa itu yang aman dan tidak terjangkau
dari para prajurit kerajaan.
Rangga khawatir kalau-kalau Raden Mandaka tidak
sabar menunggu, dan bertindak sendiri sehingga dapat mencelakakan dirinya
sendiri. "Di depan sana ada sungai. Sepertinya kita
akan menyeberangi sungai itu," kata Rangga seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Sungai...?" Permaisuri Sara Ratan menyingkapkan tirai di sampingnya, dan melongok ke luar.
Pada saat itu terlihat Natapraja dan beberapa
prajurit di depan sudah masuk ke dalam sungai. Dan
kereta ini pun mulai memasuki sungai yang tidak begi-tu besar. Masih ada lagi
sekitar lima puluh prajurit di bagian belakang.
"Oh! Ada apa ini...?" pekik Permaisuri Sara Ratan ketika tiba-tiba saja kereta yang ditumpanginya berhenti di tengah-tengah
sungai. "Maaf, Gusti," ucap Rangga.
"Eh!"
Belum juga Permaisuri Sara Ratan menyadari
apa yang akan dilakukan Rangga, mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti itu menyambar pinggangnya. Dan bagaikan kilat, melesat ke
luar setelah membuka pintu kereta itu. Pintu kereta langsung menutup cepat.
Begitu sempurnanya lesatan Rangga, sehingga tak seorang prajurit pun yang
menyadari. Saat itu kusir kereta tengah berusaha mengeluarkan roda kereta yang terperosok masuk ke dalam
lumpur. Empat orang prajurit melompat turun, dan
membantu mendorong. Kereta kembali bergerak pelahan melintasi sungai yang tidak begitu besar dan
dangkal itu. Tak ada seorang pun yang menyadari kalau kereta sudah tidak berpenumpang lagi. Sampai di tepi seberang, rombongan itu
terus bergerak melintasi padang rumput menuju sebuah hutan yang memben-tang
lebat. Sementara itu Rangga yang membawa Permaisuri Sara Ratan kembali ke seberang yang berlawanan arah. Pendekar Rajawali
Sakti itu menurunkan Permaisuri Sara Ratan dari kepitan tangannya, tidak jauh da-ri tepi sungai yang cukup
terlindung. Mereka memandang ke seberang sungai. Di sana masih terlihat rombongan yang terus bergerak
melintasi padang rumput.
"Aku tidak akan bertanya, bagaimana caranya
kau membawaku keluar tanpa diketahui mereka," kata
Permaisuri Sara Ratan seperti berbicara pada dirinya sendiri. Memang, hatinya
masih diliputi rasa heran
bercampur kagum akan tingginya kepandaian Rangga.
Rangga hanya tersenyum saja. Tentu saja dia
tadi memanfaatkan kesempatan yang sedikit, saat seluruh prajurit perhatiannya terpusat pada kereta yang terperosok masuk ke lumpur
di tengah sungai. Dan
semua itu tentu didukung oleh kecepatan dan kesempurnaan dalam menggunakan ilmu meringankan tubuh. "Mari, Gusti Permaisuri. Hamba yakin, Raden
Mandaka sudah tidak sabar menunggu," ajak Rangga.
"Oh! Aku senang sekali mendengar putraku
masih hidup," desah Permaisuri Sara Ratan gembira.
Rangga mengajak wanita itu menyusuri sungai.
Dia tahu kalau sungai ini berpusat dari sebuah mata air yang tidak jauh dari
Desa Kali Ajir. Dengan berjalan kaki, dua hari baru bisa sampai. Dan Rangga
tidak ingin para prajurit itu menyadari kehilangan bawaan
berharga mereka.
"Suiiit...!" tiba-tiba saja Rangga bersiul nyaring
melengking tinggi bernada aneh di telinga.
"Apa yang kau lakukan, Rangga?" tanya Permaisuri Sara Ratan seraya menghentikan langkahnya,
mengikuti Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Memanggil sahabatku, Gusti," sahut Rangga.
"Sahabatmu" Siapa...?"
Pertanyaan Permaisuri Sara Ratan tidak segera
dijawab, tapi Rangga malah bersiul kembali. Kali ini lebih tinggi dan panjang.
Pendekar Rajawali Sakti itu mendongakkan kepalanya, merayapi langit bening tanpa
awan sedikit pun bergantung. Sementara Permaisuri Sara Ratan jadi tidak mengerti, dan ikut-ikut mendongak menatap langit. Tapi
tak ada yang dapat dilihat di angkasa sana.
Permaisuri Sara Ratan berpaling memandangi
Rangga yang tetap mendongak memandangi langit.
Dan pada saat kembali memandang ke angkasa, terlihat sebuah benda putih agak keperakan melayanglayang. Permaisuri Sara Ratan menyipitkan matanya
saat melihat Rangga tersenyum sambil menjulurkan
tangan kanannya ke atas. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali bersiul. Kali ini
nadanya terdengar lembut dan enak di telinga.
"Ouw...!" Permaisuri Sara Ratan terkejut begitu
melihat jelas benda di angkasa itu.
Dan belum lagi hilang rasa terkejut wanita itu,
di depannya meluncur turun seekor burung rajawali
raksasa berwarna putih keperakan. Permaisuri Sara Ratan terbengong keheranan
melihat Rangga menghampiri burung rajawali raksasa itu, dan memeluk lehernya penuh kasih. Rangga
tersenyum melihat Permaisuri Sara Ratan terbengong tidak percaya terhadap apa yang disaksikannya ini.
"Mari, Gusti Permaisuri," ajak Rangga.
"Eh..., aku.... Oh! Apa ini?" Permaisuri Sara Ratan tergagap. "Rajawali Putih! Ini Permaisuri Sara Ratan. Aku
minta kau membawa kami ke Desa Kali Ajir," kata Rang-ga memperkenalkan Rajawali
Putih pada Permaisuri
Sara Ratan. "Khrrrk...!" Rajawali Putih mengkirik pelahan.
Permaisuri Sara Ratan terpekik kaget ketika
kepala burung raksasa itu menjulur kepadanya. Dan
Rangga jadi tersenyum. Kalau saja tidak berhadapan
dengan seorang wanita yang sangat dihormati dan begitu agung, tentu malah sudah tertawa.
"Rajawali Putih hanya ingin memberikan salam
perkenalan, Gusti Permaisuri," kata Rangga seraya
menahan geli. "Oh! Apakah tidak galak?"
"Tentu saja tidak. Mari, Gusti...."
Permaisuri Sara Ratan masih takut-takut. Tapi
Rangga sudah membimbingnya, lalu membantunya
naik ke punggung rajawali raksasa itu. Rangga sendiri duduk di belakangnya. Dan
begitu Rangga menepuk
punggung Rajawali Putih, burung raksasa itu langsung melesat bagaikan kilat ke
angkasa. "Khraghk...!"
"Akh!"
"Tidak apa-apa, Gusti Permaisuri. Sebentar kita
akan turun," kata Rangga menenangkan.
Entah dengar atau tidak, Permaisuri Sara Ratan hanya berpegangan erat pada bulu-bulu leher rajawali raksasa itu. Kedua matanya terpejam erat, tidak berani melihat. Saat itu,
dirasakan nyawanya melayang bersama burung raksasa yang mengerikan ini.
Dia tidak tahu, berapa tingginya burung yang ditungganginya ini bersama seorang
pemuda yang baru dikenalnya hari ini.
Sementara Rangga hanya tersenyum saja melihat sikap Permaisuri Sara Ratan yang begitu ketakutan berada pada ketinggian di atas awan ini. Memang dimaklumi, dan sudah
diperhitungkan semua ini. Tapi untuk cepat sampai ke Desa Kali Ajir, hanya
dengan Rajawali Putihlah satu-satunya. Dia juga tidak ingin
mengambil resiko harus berhadapan dengan para prajurit Kerajaan Salinga.
"Sebentar kita mendarat, Gusti," kata Rangga
memberitahu. "Oh!" hanya itu yang terlontar dari mulut Permaisuri Sara Ratan.
"Kita akan mendarat di perbatasan desa."
Permaisuri Sara Ratan tidak menjawab. Membuka mata pun tidak berani. Seluruh tubuhnya terasa lemas bagaikan mati rasanya.
Untuk bernapas pun terasa sulit. Wanita itu hanya diam tak mampu bergerak
sedikit saja. Dia takut kalau jatuh dari ketinggian yang tidak tahu seberapa.
"Khraghk...!"
"Benar, Rajawali Putih. Desa di depan itu!"
"Khraaaghk!"
*** 7 Pertemuan yang mengharukan. Sukar untuk
dikatakan, bagaimana bahagianya Permaisuri Sara Ratan mendapati putra tunggalnya masih hidup. Bahkan
dalam keadaan sehat dan segar. Ibu dan anak itu
sampai lupa pada orang-orang di sekitarnya, karena
sibuk menumpahkan kerinduan dan kebahagiaan.
Sementara Rangga yang berada di ruangan itu,
menggamit lengan Gurata untuk mengajaknya ke luar.
Tanpa bicara sedikit pun, Gurata mengikuti langkah
Pendekar Rajawali Sakti keluar dari dalam rumah Ki
Belabar, Kepala Desa Kali Ajir. Mereka langsung ke depan, dan duduk di tangga
beranda depan rumah itu.
Saat ini malam sudah tiba. Hanya sebuah pelita kecil yang menerangi beranda,
tergantung di tengah langit-langit beranda depan ini.
"Aku menangkap ada sesuatu yang tidak wajar,"
ujar Rangga setengah bergumam.
"Maksudmu?" Gurata belum bisa menangkap
perkataan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku menemukan beberapa kejanggalan dalam
peristiwa ini. Natapraja telah membunuh semua emban dan pembantu pribadi Permaisuri Sara Ratan.
Bahkan juga membunuh beberapa prajurit serta beberapa panglima dan pembesar kerajaan. Sepertinya dia memilih orang-orang yang
menjadi korbannya," Rangga mengungkapkan kecurigaannya.
"Benar! Dia juga selalu mengatakan hanya
menjalankan tugas. Tapi tidak pernah memberitahu
siapa yang memberi tugas. Itu kuketahui karena pernah bentrok dengannya sekali, sebelum aku ditangkap dan disiksa," pelan suara
Gurata. "Gurata, kau lama hidup di dalam lingkungan
istana, bahkan menjadi pengawal pribadi Permaisuri
Sara Ratan. Tentunya kau tahu kalau Pendeta Seka
Gora mempunyai anak angkat."
"Tidak. Semua orang tahu kalau Pendeta Seka
Gora tidak mempunyai anak angkat seorang pun."
"Hm.... Dia mengakui kalau Natapraja adalah
anak angkatnya. Kau pernah bentrok dengannya, tentu bisa mengenali jurusjurusnya. Apa ada kesamaan dengan yang dimiliki Pendeta Seka Gora?" tanya Rangga
kembali. "Rasanya tidak...," sahut Gurata setelah berpikir sejenak. "Kau pernah melihat Natapraja sebelumnya di
istana?" tanya Rangga lagi.
Belum juga Gurata menjawab, Permaisuri Sara
Ratan muncul bersama putranya, diikuti Ki Belabar
serta putri dan istrinya. Rangga serta Gurata bergegas bangkit berdiri. Gurata
membungkuk memberi hormat.
"Natapraja bukan apa-apa di dalam lingkungan
istana. Bahkan belum pernah kulihat di lingkungan
Kerajaan Salinga," kata Permaisuri Sara Ratan.
Rangga menatap dalam-dalam wanita yang berdiri di samping Raden Mandaka. Pandangannya beralih pada Ki Belabar yang
mengedipkan sebelah mata padanya. "Gusti Permaisuri, hamba mohon ijin untuk
berbicara sebentar dengan Ki Belabar," ucap Rangga
sopan. Permaisuri Sara Ratan memandang laki-laki
tua Kepala Desa Kali Ajir yang berada agak ke bela
Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kang di sebelah kanannya, kemudian mengangguk seraya memberikan senyum. Ki Belabar memberi hormat,
lalu melangkah menghampiri Rangga. Dengan kerdipan matanya, Rangga membalikkan tubuh mengikuti
laki-laki tua itu. Mereka terus berjalan melintas halaman depan yang cukup luas,
dan baru berhenti setelah sampai di bawah pohon. Memang cukup jauh dari beranda
depan rumah. "Ada apa, Ki?" tanya Rangga.
"Ada sesuatu yang hendak kubicarakan secara
pribadi denganmu, Rangga," kata Ki Belabar.
"Hm.... Mereka bisa mencurigaimu, Ki," Rangga
memperingatkan.
"Tidak," sahut Ki Belabar mantap.
Rangga melirik ke arah beranda. Tampak Permaisuri Sara Ratan duduk di kursi kayu didampingi
putranya. Sedangkan Nyai Belabar dan putrinya serta Gurata hanya duduk bersimpuh
di lantai beranda.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali berpaling menatap Ki Belabar.
"Semua yang akan kukatakan padamu sudah
kuungkapkan lebih dulu pada Gusti Permaisuri Sara
Ratan," kata Ki Belabar lagi.
"Apa yang akan kau katakan padaku, Ki?"
tanya Rangga. "Tentang Natapraja."
"O...!"
"Dia anak laki-lakiku, kakak Ayu Kumala."
Rangga hampir tidak percaya mendengar pengakuan itu. Ditatapnya dalam-dalam laki-laki tua itu dengan sinar mata
menyelidik. Namun yang ada di wajah Ki Belabar adalah kesungguhan dari
pengakuan- nya tadi. Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mempercayai kalau
Natapraja adalah anak Ki Belabar. "Hampir dua purnama ini Natapraja tidak pernah kembali. Dia memang
berpamitan padaku hendak
mencari pengalaman. Aku sendiri tidak menyangka kalau semua urusan ini sampai melibatkannya," kata Ki Belabar lagi.
"Ki.... Kalau memang benar Natapraja itu adalah
anakmu, tentu Permaisuri Sara Ratan sudah mengenalnya saat melihatnya pertama kali, bukan" Kenapa
sikap Permaisuri Sara Ratan seperti tidak pernah mengenalnya?" tanya Rangga
ingin lebih jelas mengetahui.
"Gusti Permaisuri memang tidak kenal. Tidak
ada yang lebih mengenal keluargaku, hanya...," Ki Belabar memutuskan kalimatnya.
"Hanya apa, Ki?" desak Rangga.
"Rangga, aku mohon padamu. Jika memang
Natapraja bersalah, serahkanlah padaku. Biar aku
yang memberi hukuman yang pantas," kata Ki Belabar
mencoba membelokkan arah pembicaraan.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Ki,"
Rangga mengingatkan.
"Sebaiknya tidak usah kuteruskan, Rangga. Tidak ada yang tahu. Bahkan Gusti Permaisuri sendiri
tidak tahu. Terlebih lagi Raden Mandaka."
"Jika kau percaya padaku, akan kupegang rahasiamu, Ki," janji Rangga meyakinkan laki-laki tua itu.
"Aku sering mendengar namamu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku kagum, bahkan sering kukatakan
pada Natapraja agar menjadi seorang pendekar tangguh sepertimu. Yaaah.... Aku percaya padamu, Rangga. Kau pasti bisa memegang rapi rahasia ini."
"Siapa lagi yang tahu, Ki?" desak Rangga.
"Gusti Prabu Jayengrana," sahut Ki Belabar setengah berbisik, seakan-akan takut kalau ada yang
mendengar selain Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa..."!" Rangga terkejut tidak menyangka.
"Setiap tahun Gusti Prabu Jayengrana datang
ke desa ini. Beliau selalu meminta padaku untuk menyediakan pemuda-pemuda berkemampuan cukup
tinggi untuk dijadikan jawara istana, atau prajurit pilihan yang tangguh dan
dapat dipercaya. Memang tidak
banyak. Paling tidak dua atau tiga orang setiap tahun-nya. Itulah sebabnya
mengapa Gusti Prabu Jayengrana mengenal betul keluargaku, bahkan seluruh penduduk desa ini selalu mengaguminya. Gusti Prabu begitu dekat terhadap rakyat kecil. Bahkan kalau beliau datang, tidak pernah suka
diperlakukan sebagaimana
layaknya seorang raja. Gusti Prabu senang berbincang-bincang, makan, dan minum
bersama kami. Itulah sebabnya aku dan seluruh warga desaku tidak percaya
kalau Natapraja sampai hati menikam seorang raja
yang begitu kami cintai," pelan suara Ki Belabar.
"Ki, apa ada persoalan antara Natapraja dengan
Prabu Jayengrana?" tanya Rangga.
Ki Belabar tidak langsung menjawab, tapi malah menatap dalam-dalam bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Pelahan kepalanya menggeleng lemah.
Rangga menarik napas panjang, seakan hendak melonggarkan rongga dadanya yang mendadak saja terasa sesak. *** Sudah lewat tengah malam, tapi Rangga masih
duduk di tangga beranda depan rumah Ki Belabar. Dalam benak Pendekar Rajawali Sakti itu masih diliputi berbagai macam pikiran akan
pengakuan Ki Belabar.
Sungguh tidak bisa dipahami, kenapa Natapraja berbuat sebodoh itu"
Memang seluruh penduduk Desa Kali Ajir ini
begitu mencintai Prabu Jayengrana. Bahkan Ki Belabar sendiri hampir tidak mempercayai kalau putranya berbuat senekad itu. Setahu
Ki Belabar, Natapraja tidak mempunyai persoalan apa pun dengan Prabu
Jayengrana. Bahkan selalu mengatakan bahwa niatnya menjadi panglima di Kerajaan
Salinga. Ingin diabdikan diri sepenuhnya pada Prabu Jayengrana dan seluruh
keluarganya. Rasanya memang tidak mudah untuk dipercaya kalau pemuda itu menikam orang yang dikaguminya tanpa alasan yang pasti.
"Belum tidur, Kakang?"
"Oh...!" Rangga tersentak ketika tiba-tiba terdengar suara teguran dari belakangnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh, dan tersenyum begitu melihat Gurata sudah berdiri di belakangnya. Digeser tubuhnya untuk memberi tempat
pada Gurata untuk duduk di sampingnya.
"Kelihatannya kau banyak pikiran, Kakang,"
kata Gurata yang sudah membiasakan memanggil kakang pada Rangga.
"Mungkin," desah Rangga.
"Kalau boleh kutahu, apa yang menjadi beban
pikiranmu, Kakang. Barangkali saja bisa kubantu meringankannya," kata Gurata lagi.
Rangga hanya tersenyum saja, lalu menepuk
pundak pemuda yang wajahnya terdapat luka garis
memanjang membelah pipi itu. Meskipun sudah tidak
ada lagi kumis dan jenggot, tapi wajah Gurata masih juga kelihatan angker.
Apalagi ditambah luka di pipinya. "Aku pergi dulu, Gurata," kata Rangga seraya
bangkit berdiri.
"Ke mana?" tanya Gurata ikut berdiri.
Rangga tidak menjawab, tapi hanya tersenyum
saja. Ditepuknya pundak Gurata, lalu berpesan agar
selalu menjaga keselamatan Permaisuri Sara Ratan
dan putranya. Sebentar kemudian Rangga melangkah
pergi. Gurata ingin mengikuti, tapi segera mengurungkan niatnya. Dia hanya
memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti itu yang terus menjauh.
Gurata masih berdiri di tangga beranda, meskipun bayangan tubuh Rangga sudah tidak terlihat, ditelan kegelapan malam. Gurata
menarik napas panjang,
lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dia berbalik hendak masuk kembali ke dalam rumah. Tapi pada saat
itu, dari dalam keluar Raden Mandaka. Gurata bergegas membungkuk seraya merapatkan kedua telapak
tangannya di depan hidung.
"Mau ke mana dia, Gurata?" tanya Raden Mandaka seraya menatap kegelapan malam.
"Ampun, Raden. Hamba tidak tahu," sahut Gurata penuh rasa hormat.
"Gurata, siapkan kuda," perintah Raden Mandaka. "Raden..."!" Gurata tersentak kaget.
"Kau tidak mendengar perintahku, Gurata"!"
"Tapi, Raden..."
"Ini persoalan kerajaan, Gurata. Aku tidak ingin
orang sebaik Rangga harus berkorban, sementara kita enak-enakan berada di sini!"
tegas kata-kata Raden
Mandaka. "Siapkan kuda, Gurata," tiba-tiba terdengar suara lembut dari belakang Raden Mandaka.
Gurata langsung membungkuk memberi hormat ketika seorang wanita muncul dari dalam rumah.
Raden Mandaka bergegas membalik, kemudian merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Pemuda ini
terkejut juga akan kemunculan ibunya.
"Aku senang dan bangga jika kau mampu mengatasi semua kemelut ini, Anakku," ujar Permaisuri
Sara Ratan. "Kau memang tidak boleh mengandalkan
Rangga seorang diri."
"Bunda...," suara Raden Mandaka terputus.
"Berangkatlah! Bunda merestui perjuanganmu."
Raden Mandaka menjatuhkan diri berlutut. Diambil dan diciumnya punggung tangan wanita yang
usianya hampir setengah baya dan masih kelihatan
cantik itu. Sedangkan Permaisuri Sara Ratan hanya
tersenyum dengan mata berkaca-kaca, kemudian
membangunkan anaknya dan membawanya berdiri.
Raden Mandaka bangkit berdiri.
"Aku bangga...! Ternyata kau sudah dewasa,
Anakku Aku yakin, ayahmu pasti bangga padamu,"
ucap Permaisuri Sara Ratan, agak tersendat nada suaranya. Raden Mandaka hanya
diam saja dengan kepala tertunduk dalam. Memang diakui, sejak adanya peristiwa ini, sikapnya jadi jauh berubah. Tidak lagi manja dan tergantung pada
orang lain. Rasanya, semua
keangkuhan dan kemanjaan dirinya sudah lenyap. Raden Mandaka sendiri mengakui kalau perubahan sikapnya ini karena Pendekar Rajawali Sakti, yang seca-ra tidak langsung telah
menempanya menjadi seorang
laki-laki muda yang berpikiran dewasa. Pantang surut dalam mengarungi kekerasan
hidup di alam fana ini.
"Pergilah! Bunda merasa aman dan terlindung
berada di desa ini. Desa yang menjadi sahabat sejati ayahmu," ujar Permaisuri
Sara Ratan. "Nanda mohon pamit, Bunda," ucap Raden
Mandaka. *** Semalaman penuh Raden Mandaka memacu
kudanya didampingi Gurata. Mereka sudah demikian
jauh meninggalkan Desa Kali Ajir. Saat matahari terbit, mereka tiba di lereng
bukit yang terjal dengan jurang menganga lebar. Raden Mandaka dan Gurata memperlambat laju kudanya. Hati-hati sekali mereka mengendalikan kuda agar tidak
tergelincir masuk ke jurang.
Raden Mandaka sengaja menyusuri jalan ini.
Jalan yang dilalui ibunya ketika dibawa keluar dari istana oleh Natapraja dan
sekitar seratus orang prajurit pengawal. Raden Mandaka tahu betul daerah ini,
karena sering melaluinya kalau berburu bersama ayahnya. Mereka berhenti setelah melewati jalan terjal di bibir jurang.
"Raden, apakah memang ini jalan yang benar?"
tanya Gurata ragu-ragu.
"Menurutmu bagaimana, Gurata?" Raden Mandaka malah balik bertanya.
"Entahlah, Raden. Hanya yang jelas, kalau kita
terus, akan menemukan sungai kecil. Dan kalau menyeberang, sampai pada Hutan Jaran. Di tengahtengah hutan itu terdapat puri tua yang telah lama tidak terpakai," Gurata
ternyata juga mengetahui persis seluk-beluk daerah ini.
"Ke sanalah tujuan kita, Gurata," ujar Raden
Mandaka mantap.
"Ke Puri Ganyong, Raden"!"
"Benar, kenapa" Kelihatannya kau terkejut sekali, Gurata."
"Raden! Rasanya tidak mungkin kalau...," suara
Gurata terputus.
"Menurut Bunda Permaisuri, mereka menyeberangi sungai. Sudah pasti tujuannya adalah Puri Ganyong. Tidak ada tempat lain lagi di sana selain puri itu." "Tapi, untuk apa
Natapraja membawa Gusti
Permaisuri ke sana?" tanya Gurata seperti untuk dirinya sendiri. "Itu yang harus kita ketahui, Gurata."
Gurata terdiam. Dia teringat kata-kata Rangga
semalam, sebelum berangkat meninggalkan Desa Kali
Ajir bersama Raden Mandaka. Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan adanya
keanehan dalam kemelut yang
terjadi di dalam keluarga Istana Salinga. Dugaannya sendiri juga sama. Hanya
saja mungkin ada perbedaan dalam hal pemikiran.
Gurata juga tidak percaya kalau Prabu Jayengrana bisa terbunuh begitu mudah oleh Natapraja
yang sampai saat ini belum jelas alasannya membunuh Prabu Jayengrana. Yang membuatnya selalu bertanya-tanya, adalah Pendeta Seka Gora. Apa maksudnya mengakui Natapraja sebagai anak angkatnya" Padahal semua orang tahu kalau pendeta itu tidak mempunyai seorang anak angkat pun. Dan kemarin Natapraja bersama seratus prajurit hendak membawa Permaisuri Sara Ratan ke Puri Ganyong. Untuk apa..."
Dan yang tidak bisa dimengerti, perintah itu datangnya dari Pendeta Seka Gora.
Berbagai macam dugaan bersembulan keluar dari benak Gurata. Tapi sampai saat ini
masih belum dipercayai kalau Pendeta Seka Gora
tengah melancarkan makar untuk menjatuhkan tahta
Prabu Jayengrana.
"Kau melamun, Gurata?" tegur Raden Mandaka. "Oh!" Gurata terbangun dari lamunannya.
Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang kau pikirkan, Gurata?" tanya Raden
Mandaka. "Tidak ada, Raden," sahut Gurata.
"Ayo kita berangkat lagi," ajak Raden Mandaka.
Mereka kembali menggebah kudanya. Tapi kali
ini mengendalikannya pelahan-lahan. Sedangkan Gurata jadi terdiam saja tanpa berbicara sedikit pun. Pikirannya terus mengambang,
berusaha mencari jawaban
dari berbagai macam pertanyaan yang timbul di dalam kepalanya. Tanpa
diketahuinya, Raden Mandaka selalu memperhatikan lewat sudut ekor matanya.
"Kau kelihatan gelisah sekali, Gurata," tegur
Raden Mandaka. "Oh, tidak.... Tidak ada apa-apa, Raden," Gurata tergagap. Raden Mandaka kembali menghentikan laju
kudanya. Dipandanginya Gurata dalam-dalam. Sedangkan yang dipandang hanya menundukkan kepala
saja. "Raden, boleh hamba memberi saran?" pelan
dan terdengar ragu-ragu nada suara Gurata.
"Hm, apa saranmu?" tanya Raden Mandaka.
"Apa tidak lebih baik langsung ke istana saja,
Raden. Hamba merasa di sana akan mendapatkan semua yang kita cari," Gurata mengemukakan sarannya.
"Apa yang akan diperoleh di istana, Gurata?"
nada suara Raden Mandaka terdengar seperti memancing. "Terus terang, Raden. Sejak semula Paman
Pendeta Seka Gora sudah hamba curigai. Mungkin darinya kita bisa memperoleh banyak yang kita butuhkan sekarang ini," Gurata mengemukakan pendapatnya. "Hm...," Raden Mandaka menggumam dengan
kening berkerut.
"Hamba yakin, kalau Pendeta Seka Gora adalah
dalang dari semua kemelut ini, Raden," lanjut Gurata.
"Kita akan langsung ke istana setelah ke Puri
Ganyong," Raden Mandaka memutuskan.
"Baiklah, Raden. Kalau begitu secepatnya kita
berangkat agar tidak kemalaman di jalan."
Mereka kembali menggebah kudanya, tapi kali
ini memacunya dengan kecepatan tinggi. Tidak mempedulikan lagi jalan yang sukar untuk dilalui.
*** 8 Sementara itu di angkasa, Rangga tengah melayang bersama Rajawali Putih tunggangannya. Burung raksasa itu berputar-putar di atas sebuah bangunan puri tua yang sudah runtuh. Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati setiap
jengkal tanah di sekitar pu-ri tua itu. Di sebelah kanan reruntuhan puri,
terlihat sebuah bangunan yang tidak begitu besar terbuat dari belahan kayu dan
beratapkan daun rumbia.
Tidak banyak yang dapat diperoleh. Suasana di
sekitar puri tampak sunyi sepi, tanpa seorang pun terlihat. Tapi mendadak saja
perhatian Pendekar Rajawali Sakti itu terpusat pada dua orang penunggang kuda
yang berpacu cepat mendekati puri itu. Rangga hampir terbeliak begitu
mengenalinya. "Raden Mandaka..., mau apa dia ke sini?" desis
Rangga dalam hati
Terlihat Raden Mandaka melompat turun dari
punggung kudanya setelah sampai di depan rumah kecil di sebelah kanan reruntuhan puri. Pemuda itu
langsung menerobos masuk ke dalam. Sedangkan Gurata masih menunggu di luar, dan tidak turun dari
punggung kudanya. Tidak lama Raden Mandaka berada di dalam, kemudian ke luar lagi dengan satu lesatan ringan, langsung hinggap
di atas punggung kudanya. "Ada apa di dalam, Raden?" tanya Gurata.
"Kosong!" sahut Raden Mandaka seraya memutar kudanya. "Tapi aku menemukan beberapa potong
pakaian Ayahanda Prabu."
"Kalau begitu, pasti Gusti Prabu masih hidup,
Raden!" "Benar. Tapi di mana sekarang...?"
Gurata tidak bisa menjawab.
"Kita ke istana sekarang juga, Gurata!" seru
Raden Mandaka. Mereka segera menggebah kudanya. Debu berkepul di udara tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu
cepat bagaikan dikejar setan. Sementara Rangga yang berada di angkasa bersama
Rajawali Putih, telah mendengar semua pembicaraan itu mempergunakan aji
'Pembeda Gerak dan Suara'. Pendekar Rajawali Sakti
itu meminta Rajawali Putih turun.
Sebentar saja burung raksasa itu sudah menukik turun, dan mendarat ringan tepat di depan pintu puri yang terbuka lebar.
Hanya sekali lesatan saja, Rangga sudah berada di dalam puri itu. Sebentar diamati keadaan di dalam puri. Memang tidak ada seorang pun di sini, tapi ada beberapa potong pakaian da-ri bahan sutra halus yang
sangat indah. Di situ juga tergeletak sepotong baju merah.
"Hm...," Rangga menggumam pelahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melesat ke
luar, langsung hinggap di punggung burung rajawali
raksasa. "Kita ke Kerajaan Salinga, Rajawali Putih," kata
Rangga. "Khraghk...!"
Bet! Bagaikan kilat, Rajawali Putih melambung tinggi ke angkasa. Burung raksasa itu berkaokan beberapa kali, dan meluncur cepat
menuju ke Kerajaan Salinga.
Dari angkasa, Rangga dapat melihat dua penunggang
kuda yang berpacu cepat membelah hutan. Kedua penunggang kuda itu tidak menyadari kalau di atas tengah meluncur seekor burung
rajawali raksasa.
*** Saat itu suasana di Istana Salinga tampak tenang tenteram, tak ada tanda-tanda kalau akan terjadi makar. Mungkin karena
keluarga Prabu Jayengrana
sudah tidak ada lagi di dalam istana. Namun suasana tenang seperti itu memang
selalu terjadi setiap hari.
Para prajurit penjaga melakukan tugasnya seperti biasa. Para pelayan dan
pengurus istana juga melakukan tugasnya masing-masing. Tak ada yang kelihatan
aneh. Semua berjalan seperti biasa.
Sementara itu Raden Mandaka dan Gurata sudah memasuki kota, dan terus cepat memacu kudanya
menuju istana. Dua orang prajurit yang menjaga pintu gerbang, bergegas membuka
pintu begitu melihat Raden Mandaka datang bersama Gurata. Tanpa menghentikan kecepatan lari kudanya, mereka menerobos
masuk melalui gerbang yang terbuka lebar.
"Hup...!"
Raden Mandaka langsung melompat turun
dengan sigapnya begitu mencapai depan undakan beranda depan istana yang megah itu. Dia berdiri tegak, dan pandangannya lurus
tajam ke depan. Enam orang
prajurit yang menjaga pintu masuk, serentak membungkuk memberi hormat. Raden Mandaka agak heran
juga melihat suasana yang tenang dan tenteram.
"Selamat datang kembali ke istana, Raden
Mandaka," terdengar ucapan sambutan dari seorang
pemuda berbaju putih ketat yang tiba-tiba saja muncul dari dalam.
"Natapraja...," desis Raden Mandaka begitu
mengenali orang yang menyambut kedatangannya bersikap ramah dan membungkuk memberi hormat.
"Silakan masuk, Raden. Gusti Prabu Jayengrana sudah tidak sabar menunggu," ucap Natapraja lagi.
"Ayahanda Prabu..."!" Raden Mandaka seperti
tidak percaya mendengarnya.
Bergegas putra mahkota itu melangkah masuk
ke dalam diikuti Gurata. Sedikit pun Raden Mandaka
tidak menghiraukan Natapraja yang menggeser menyingkir ke samping. Raden Mandaka terus saja melangkah cepat melewati ruangan depan yang luas. Dua orang prajurit penjaga pintu
pembatas ruangan, membungkuk memberi hormat. Raden Mandaka terus saja
menerobos masuk dengan langkah lebar-lebar. Di belakangnya membuntuti Gurata dan Natapraja.
Mendadak saja ayunan langkah Raden Mandaka terhenti saat melewati ambang pintu Balai Sema
Agung. Tampak di atas singgasana, duduk seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun. Terlihat
anggun dan penuh kewibawaan. Laki-laki itu bangkit
berdiri begitu melihat Raden Mandaka muncul. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, namun sepasang bola matanya berbinar agak berkaca-kaca.
"Ayahanda...," desis Raden Mandaka setengah
tidak percaya dengan penglihatannya.
Raden Mandaka seperti tengah bermimpi. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Di ruangan ini
juga ada Ki Belabar bersama istri dan anak gadisnya.
Juga ada pembesar, panglima, serta patih yang duduk bersimpuh di lantai.
Hanya Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya yang tidak kelihatan berada di ruangan luas dan indah ini. Pelahan-lahan
Raden Mandaka mengayunkan kakinya diikuti pandangan berpasang-pasang mata disertai senyuman tersungging di bibir. Raden Mandaka berlutut dan merapatkan
kedua tangannya di depan hidung, memberi hormat pada ayahnya yang juga
raja di Salinga ini.
"Bangunlah, Anakku," berat dan sangat berwibawa suara Prabu Jayengrana.
Pelahan-lahan Raden Mandaka bangkit berdiri.
"Aku benar-benar gembira kau bisa kembali
dengan selamat, Anakku," ujar Prabu Jayengrana disertai senyuman merekah di bibir.
"Ayahanda Prabu! Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Raden Mandaka setelah pikirannya sedikit bisa tenang.
"Inilah yang dinamakan permainan hidup,
Anakku," sahut Prabu Jayengrana seraya duduk kembali di singgasananya.
"Permainan hidup...?" Raden Mandaka tidak
mengerti. "Kau calon raja, Anakku. Seorang calon pemimpin, terlebih lagi jika sudah menjadi pemimpin,
harus peka terhadap segala sesuatu yang ada di sekitar lingkungannya. Kepekaan
yang tajam disertai tindakan tegas dan terencana, akan menyelamatkan kehancuran diri dan seluruh negeri," Prabu Jayengrana mencoba menjelaskan.
"Nanda belum paham, Ayahanda Prabu."
"Ketahuilah, Anakku. Beberapa waktu yang lalu, aku mencium adanya gelagat pemberontakan dari
orang-orang terdekat yang kupercayai dan kuberikan
kekuasaan penuh. Sebelum percaya, maka harus kubuktikan kebenarannya sebelum mengambil tindakan...," Prabu Jayengrana berhenti sebentar menarik napas panjang. "Tidak
sedikit dari gerombolan pemberontak yang menyusup ke dalam istana. Bahkan sudah mempengaruhi sebagian prajurit, panglima, serta beberapa patih dan pembesar
kerajaan. Bahkan, sampai para emban dan pelayan. Justru mereka itulah
kaum pemberontak. Mereka merencanakannya secara
rapi, dan tinggal menunggu waktu saja. Dan aku mencium semua itu. Aku berpikir, lebih baik mendahului daripada didahului. Yaaa...,
dengan bantuan Natapraja semuanya bisa terlaksana. Aku memerintahkan Natapraja
untuk melenyapkan pemberontak-pemberontak
itu. Memang tidak sia-sia. Akhirnya rencana mereka
bisa dihindari sebelum terjadi. Tapi sayang..., otak semua maksud buruk itu
berhasil melarikan diri."
"Apakah orang itu Pendeta Seka Gora, Ayahanda Prabu?" Raden Mandaka mulai bisa memahami.
"Kau cepat sekali tanggap, Anakku. Memang
dialah orangnya," Prabu Jayengrana tersenyum lebar.
"Ayahanda Prabu, ijinkan Ananda untuk mengejar dan menghukum pengkhianat itu," pinta Raden
Mandaka mantap.
"Aku bangga padamu, Anakku. Pergilah! Bawa
prajurit secukupnya, karena Pendeta Seka Gora dan
Patih Trunggajaya juga memiliki ratusan prajurit berkemampuan cukup tinggi."
"Nanda mohon diri, Ayahanda Prabu."
"Raden, ijinkan hamba ikut serta," selak Natapraja. Raden Mandaka berpaling menatap Natapraja
dalam-dalam. Sejak tadi dia seperti melupakan orang yang selama ini dianggapnya
jadi biang keladi kerusu-han di Kerajaan Salinga. Raden Mandaka menepuk
pundak pemuda itu, dan kemudian memberi hormat
pada Prabu Jayengrana. Tanpa berbicara lagi, putra
mahkota itu bergegas melangkah meninggalkan ruangan Balai Sema Agung, diiringi senyum dan pancaran
sinar mata penuh kebanggaan dari Prabu Jayengrana.
*** Sementara itu jauh di luar perbatasan kotaraja
sebelah utara, terlihat satu pertempuran dahsyat. Di satu pihak adalah prajurit
Kerajaan Salinga, sedangkan pihak lain adalah orang-orang berpakaian serba
hitam yang jumlahnya ratusan. Di antara pertarungan itu, terlihat Panglima
Pramoda tidak henti-hentinya membakar semangat para prajuritnya.
Namun jumlah yang tidak berimbang dan kurangnya kemampuan bertempur, membuat para prajurit Salinga jadi kedodoran. Mereka kini hanya mampu bertahan sambil menunggu
bantuan datang. Jelas sekali kalau orang-orang berbaju hitam yang dipimpin
langsung Pendeta Seka Gora dan Trunggajaya menguasai medan pertempuran.
Jerit pekik kematian dan teriakan-teriakan pertempuran berbaur menjadi satu. Sudah dapat dipastikan, tidak lama lagi, prajurit Kerajaan Salinga akan dapat dihancurkan. Sudah
tidak terhitung lagi, berapa korban yang berjatuhan. Namun demikian semangat
para prajurit itu rupanya tidak juga mengendur.
Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba saja dari
angkasa meluruk sebuah bayangan putih keperakan
yang sangat besar luar biasa! Bayangan itu langsung menukik menyambar orangorang berbaju hitam. Sebelum ada yang menyadari, mendadak saja berkelebat
lagi sebuah bayangan putih disusul kilatan cahaya bi-ru berkilau. Jerit dan
pekik melengking terdengar dari orang-orang berbaju hitam.
"Jagat Dewa Batara! Apakah aku tidak salah lihat?" Panglima Pramoda mendesis tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Panglima Pramoda memerintahkan para prajuritnya untuk mundur. Tanpa menunggu perintah dua
kali, prajurit-prajurit Salinga yang tersisa berlompatan
mundur. Mereka juga terpana dengan mata terbeliak
Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebar melihat seekor burung rajawali putih raksasa
berkelebatan menyambar orang-orang berbaju hitam.
Apalagi ditambah seorang pemuda berbaju rompi putih yang mengamuk membantai para
pemberontak itu
menggunakan pedangnya yang bersinar biru.
Sedangkan di tempat lain, tampak Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya terbeliak keheranan
menyaksikan semua itu. Belum pernah mereka menyaksikan seekor burung raksasa yang bisa dikendalikan seseorang, dan kini
mengamuk memporakporandakan anak buahnya. Dalam waktu tidak berapa
lama saja, sudah lebih dari separuhnya yang tewas
bergelimang darah.
"Mundur...!" seru Pendeta Seka Gora begitu tersadar dari keterpanaannya.
Cepat sekali orang-orang berbaju hitam itu berlompatan mundur. Dan kini pemuda berbaju rompi
putih itu berdiri tegak di tengah-tengah, antara para prajurit Salinga dengan
Pendeta Seka Gora bersama
anak buahnya yang semuanya mengenakan pakaian
serba hitam. Sedangkan di angkasa, terlihat Rajawali Putih mengepak-ngepakkan
sayapnya. "Rajawali! Kau tunggu saja di atas," kata Rangga pelan. "Khraghk...!"
Rajawali Putih membumbung tinggi ke angkasa, hingga tidak tampak oleh pandangan mata biasa.
Warnanya yang putih keperakan tersamar oleh awan
yang menggumpal menghalangi sengatan cahaya matahari. Trek! Rangga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke
dalam warangkanya di punggung. Dia berdiri tegak
menatap tajam Pendeta Seka Gora yang didampingi Patih Trunggajaya. Tatapan matanya begitu tajam dan
memancarkan sinar kebencian yang amat sangat. Pendekar Rajawali Sakti pun seorang raja di Karang Setra, dan begitu benci pada
pemberontak. Sebagai raja, pernah juga mengalami rongrongan pemberontak. Baginya
tidak ada ampun bagi pemberontak yang biasanya selalu menyengsarakan rakyat kecil dan tidak tahu apa-apa. "Kisanak, siapa kau"
Kenapa ikut campur urusanku"!" bentak Pendeta Seka Gora.
"Aku Rangga, sahabat Raden Mandaka. Aku
hanya tidak suka kau mencoba menggulingkan tahta!"
dingin jawaban Rangga.
"Ha ha ha...! Walaupun kau seorang Dewa, semua penghalang harus mampus!" Pendeta Seka Gora
tertawa terbahak-bahak.
"Kita lihat, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka! Atau nanti malah sebaliknya. Kau bakal meringkuk di dalam tahanan,
menunggu keputusan Prabu
Jayengrana!" dingin nada suara Rangga.
"Phuih! Omonganmu membuatku muak, bocah!" geram Pendeta Seka Gora.
Baru saja Pendeta Seka Gora hendak melompat
menerjang, Patih Trunggajaya sudah keburu mencegah
dengan menahan pundaknya.
Pendeta Seka Gora berpaling menatap Patih
Trunggajaya. "Biar aku yang bereskan bocah sombong itu,
Paman," kata Patih Trunggajaya.
"Hm...," Pendeta Seka Gora menggumam tidak
jelas, tapi bergerak mundur juga tiga langkah.
Patih Trunggajaya langsung melompat sambil
menghunus pedangnya. Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu segera menyerang Pendekar Rajawali
Sakti menggunakan jurusjurus pedang yang cepat dan dahsyat. Pedang berwarna keperakan itu berkelebatan cepat memperdengarkan suara bersiulan memekakkan telinga.
Sementara Rangga hanya menghadapi menggunakan jurus-jurus pendek yang ringan. Sengaja digunakan jurus tanpa membalas untuk mempelajari
sampai di mana tingkat kepandaian Patih Trunggajaya ini. Dan Rangga tersenyum
tipis, lalu berteriak keras.
Seketika tubuhnya melenting ke udara.
"Hiyaaat...!"
Dengan mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', Rangga menyerang dari atas,
tertuju langsung ke arah kepala lawannya. Kedua kakinya bergerak cepat bagai sepasang cakar rajawali.
Sedangkan tangannya terentang lebar membentuk gerakan melingkar mengepak bagai sayap rajawali. Begi-tu cepatnya gerakan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', sehingga Patih Trunggajaya tidak
sempat lagi menyadari apa yang akan terjadi.
"Awas...!" teriak Pendeta Seka Gora memperingatkan. Tapi terlambat...
Des! Des! Prak...!
"Aaa...!" Patih Trunggajaya menjerit melengking.
Dua kali tendangan beruntun mendarat di kepala Patih Trunggajaya, membuat laki-laki itu menjerit nyaring memegangi
kepalanya yang pecah! Dan sebelum Patih Trunggajaya ambruk, Rangga sudah mendarat di tanah. Kembali dilontarkan satu tendangan keras menggeledek dibarengi
pengerahan tenaga dalam yang
sangat sempurna.
"Hiaaat...!"
Bugk! "Aaa...!" untuk kedua kalinya, Patih Trunggajaya menjerit melengking tinggi.
Tubuhnya terlontar jauh ke belakang, dan tewas seketika sebelum ambruk ke tanah dengan kerasnya. Darah mengucur dari kepala dan dada yang pecah dihajar tendangan maut
Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga berdiri tegak bersikap menantang.
Pandangan matanya tajam menusuk langsung ke arah
Pendeta Seka Gora.
"Aku beri kesempatan kau menyerah, Pendeta
Seka Gora," kata Rangga dingin.
"Phuih!" Pendeta Seka Gora menyemburkan ludahnya. Pendeta Seka Gora menggerakkan tangannya,
memberi isyarat orang-orangnya untuk bergerak menyerang. Tapi belum juga orang-orang berpakaian ser-ba hitam itu bergerak,
mendadak terdengar suara gegap gempita dari kejauhan. Tampak debu mengepul
membumbung tinggi di udara. Raut wajah Pendeta Seka Gora tampak berubah. Demikian pula orang-orang
berpakaian serba hitam yang berada di belakangnya.
Mereka kelihatan gelisah.
Tapi lain lagi bagi Panglima Pramoda dan para
prajuritnya yang tampak gembira mendengar suara
gaduh gegap gempita itu dari arah belakangnya. Dan
yang pasti itu pasukan prajurit Kerajaan Salinga yang datang hendak menggempur
para pemberontak pimpi-nan Pendeta Seka Gora.
Suara gemuruh dan gegap gempita itu ternyata
datang dari pasukan Raden Mandaka yang didampingi
Natapraja. Mereka langsung memenuhi tempat itu seraya menyiapkan senjata masing-masing. Panglima
Pramoda menghampiri Raden Mandaka, lalu membungkuk memberi hormat. Ditatapnya Natapraja yang
berada di samping putra mahkota itu.
"Raden...," terputus suara Panglima Pramoda.
"Dia bukan musuh, Paman Panglima. Justru
Natapraja inilah yang menyelamatkan Prabu Jayengrana dan seluruh rakyat Salinga," tegas Raden Mandaka bisa memahami perasaan Panglima Pramoda.
"Tapi, dia anak angkat Pendeta Seka Gora, Raden." "Hanya untuk menyelidiki kebenaran berita
yang didengar Prabu Jayengrana. Dan itu memang tugas yang diberikan Ayahanda Prabu. Penikamannya
juga hanya sandiwara saja. Apakah kau lupa bahwa
Ayahanda Prabu memiliki aji 'Karang Saketi', sehingga pisau yang ditikamkan
tidak sampai menembus dada"
Semua itu siasat saja untuk menghentikan rencana
pemberontakan Pendeta Seka Gora," jelas Raden Mandaka. "Hamba belum mengerti, Raden."
"Akan kujelaskan nanti, yang penting sekarang,
kita harus menghancurkan mereka lebih dahulu. Dan
kalau bisa, menangkap hidup-hidup."
"Hamba, Raden," Panglima Pramoda membungkuk memberi hormat.
Sementara itu Pendeta Seka Gora sudah mengatur orang-orangnya untuk mengadakan pertempuran. Dan begitu Pendeta Seka Gora memberi isyarat,
anak buahnya yang semuanya berpakaian hitam, langsung berteriak gegap gempita. Mereka berlarian sambil menghunus senjata.
"Serang...!" seru Raden Mandaka memberi perintah. Pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Pekik pertempuran dan jerit
melengking kematian berbaur
menjadi satu dengan teriakan perintah pembangkit
semangat. Denting senjata mewarnai hiruk-pikuk di
lapangan luas sebelah utara Kerajaan Salinga ini.
Tubuh-tubuh berlumuran darah mulai menggelimpang. Meskipun jumlah pasukan prajurit yang setia kepada Prabu Jayengrana
lebih banyak dan berlipat
ganda, namun rupanya orang-orang Pendeta Seka Gora tidak bisa dianggap enteng. Mereka mempunyai kemampuan bertempur yang lebih tinggi daripada para
prajurit Kerajaan Salinga. Tidak heran, kalau dalam waktu yang tak lama, sudah
banyak prajurit yang ber-guguran memperdengarkan jeritan melengking tinggi.
Sementara Rangga hanya memperhatikan saja
dari jarak yang tidak seberapa jauh. Perhatiannya terpusat pada Pendeta Seka
Gora yang tidak henti-hentinya mengamuk sambil berteriak-teriak memberi semangat
anak buahnya. Entah sudah berapa nyawa melayang
di tangan laki-laki gundul berjubah kuning itu. Dan tampaknya para prajurit
Kerajaan Salinga tidak mampu menandingi kesaktian Pendeta Seka Gora.
"Hm.... Kalau begini terus, bisa habis mereka
terbantai," gumam Rangga.
Bagaikan seekor burung rajawali, Rangga melompat ke arah Pendeta Seka Gora.
"Mundur semua...!" teriaknya keras.
Satu pukulan keras bertenaga dalam sangat
sempurna dilepaskan Rangga ke arah dada Pendeta
Seka Gora. Namun laki-laki gundul berjubah kuning
itu dapat mengelakkannya dengan manis sekali. Bahkan mampu membalas lewat satu tendangan keras
menggeledek. "Hiyaaa...!"
Rangga tidak mengelakkan tendangan itu, tapi
malah mengayunkan tangan kanannya. Disampoknya
kaki Pendeta Seka Gora yang melayang deras berkekuatan tenaga dalam penuh.
Trak! Terdengar bunyi berderak begitu kaki dan tangan beradu keras.
"Akh!" Pendeta Seka Gora memekik keras tertahan. Laki-laki gundul berjubah kuning gading itu
bergegas melentingkan tubuhnya ke atas, namun
Rangga tidak membiarkannya begitu saja. Dengan kecepatan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat sambil melontarkan dua
pukulan sekaligus.
Des! Bug! Kembali Pendeta Seka Gora memekik keras melengking tinggi. Tubuh tua itu melayang deras bagai daun kering tertiup angin.
Sebongkah batu cadas yang cukup besar, hancur berkeping-keping terlanda tubuh
kurus tua berjubah kuning gading itu. Namun Pendeta Seka Gora masih mampu
bangkit kembali, meskipun
tubuhnya limbung. Tampak darah mengucur dari mulutnya. "Setan keparat! Hiyaaa...!"
Sambil menggeram marah, Pendeta Seka Gora
melompat menerjang Rangga yang sudah siap menerima serangan itu. Tak sedikit pun Rangga bergeming,
tapi juga menyiapkan kepalan tangannya ke depan.
Dan secepat dia menarik tangannya ke belakang, secepat itu pula menghentakkannya
ke depan. "Hiyaaa...!"
Satu benturan keras tidak dapat dihindari lagi.
Benturan yang menimbulkan suara ledakan dahsyat
bagai guntur di siang bolong. Akibatnya pertempuran yang berlangsung, terhenti
seketika. Tampak Pendeta Seka Gora melambung tinggi ke angkasa, sedangkan
Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berdiri tegak di atas kedua kakinya yang
kokoh. Pada saat laki-laki tua gundul berjubah kuning
gading itu melayang di angkasa, terlihat seekor burung rajawali berbulu putih
keperakan menukik deras menyambar dengan cakarnya yang besar dan kokoh.
"Khraghk...!"
"Bawa dia turun, Rajawali Putih!" seru Rangga.
"Khraghk!"
Rajawali Putih menukik deras, lalu mendarat
lunak di tanah, tepat di depan Pendekar Rajawali Sak-ti. Dilemparkan tubuh
Pendeta Seka Gora hingga bergulingan di tanah. Laki-laki tua itu berhenti tepat di depan kaki Rangga.
"Ohhh...," Pendeta Seka Gora merintih lirih.
Darah mengucur deras dari mulut, hidung dan
telinganya. Sedangkan dada sebelah kiri, melesak masuk ke dalam. Pendeta Seka
Gora menggeliat berusaha bangkit, tapi malah meringis dan kembali menggelim-pang
tidak berdaya. Seluruh tulang dada dan punggungnya remuk, membuatnya tidak mampu bangkit
berdiri lagi. "Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu, Pendeta Seka Gora," kata Rangga dingin.
"Ugh...! Keparat kau, Rangga! Tunggu pembalasanku!" umpat Pendeta Seka Gora seraya meringis
menahan sakit. Rangga hanya tersenyum saja, lalu menoleh
pada Raden Mandaka. Putra Mahkota Kerajaan Salinga
itu memerintahkan pada Panglima Pramoda untuk meringkus Pendeta Seka Gora. Sementara para prajurit
sudah meringkus anak buah Pendeta Seka Gora yang
langsung menyerah begitu pemimpinnya takluk. Raden
Mandaka menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Ujung Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak tahu, apa yang harus kuucapkan
padamu, Kakang," kata Raden Mandaka.
"Berjanji untuk menjadi pemimpin yang baik,
adil, dan bijaksana," kata Rangga.
"Terima kasih, Kakang. Kau telah membuka
mata hatiku," ucap Raden Mandaka.
Rangga menepuk pundak pemuda itu, kemudian melompat naik ke punggung Rajawali Putih tanpa berbalik lagi. Dan seketika
itu juga, Rajawali Putih melesat tinggi ke angkasa. Raden Mandaka masih berdiri
memandang kepergian Rangga bersama tunggangannya, seekor burung rajawali
raksasa. "Aku berjanji, tidak akan mengecewakan harapanmu, Kakang Rangga...," gumam Raden Mandaka
pelahan. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
PERMAINAN DI UJUNG MAUT
1 *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** *** 5 *** 6 *** *** 7 *** *** *** 8 *** *** SELESAI Lembah Nirmala 10 Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik Hikmah Pedang Hijau 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama