Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut Bagian 2
yang kelihatannya tidak berpenghuni itu. Sementara
Rangga menunggu Ki Sara Denta yang belum sadarkan
diri. Serangan gelap yang terjadi sore tadi, membuat Pendekar Rajawali Sakti
berpikir seribu kali untuk
meninggalkan si Tua Gila. Sudah beberapa kali lakilaki tua itu mendapat serangan dari orang-orang yang
menamakan dirinya Partai Naga.
Rangga sendiri tidak mengerti, mengapa justru
Ki Sara Denta yang selalu menjadi sasaran, dan bukan
dirinya atau orang lain. Pendekar Rajawali Sakti seketika teringat kata-kata si
Tua Gila, meskipun belum
begitu jelas. Namun setelah dihubung-hubungkan
dengan semua peristiwa yang terjadi, Rangga bisa
mengambil kesimpulan kalau sebenarnya orang yang
menamakan diri Partai Naga tidak menghendaki dirinya ada di tempat ini. Dan mereka seperti menyalahkan Ki Sara Denta, sehingga mencoba membunuhnya
dengan berbagai cara.
"Hm.... Siapa sebenarnya mereka...?" tanya
Rangga dalam hati.
Pertanyaan seperti itu terus mengganggu pikiran Rangga selama ini. Tetapi Pendekar Rajawali Sakti sekarang tidak bisa
berbuat apa-apa lagi, selama si
Tua Gila belum siuman. Rangga merasa dirinya seperti
seorang buruan yang tidak bisa berbuat apa-apa, selain menunggu pemburu datang untuk mencincang
tubuhnya. Posisi seperti ini yang tidak pernah disukainya. Srek! Rangga terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara
berkeresek dari balik semak yang. berasal dari arah
belakangnya. Kepalanya cepat berpaling ke arah
sumber suara. Dan secepat kilat, Pendekar Rajawali
Sakti melompat masuk ke dalam semak yang berada di
belakangnya. "Jangan..!"
Betapa terkejut Rangga begitu melihat yang
disergap ternyata seorang wanita muda berusia sekitar delapan belas tahun, dan
nyaris melayangkan pukulan. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat
bangkit sambil menjambret tangan gadis itu hingga
ikut berdiri juga.
"Siapa kau?" tanya Rangga seraya mengamati
gadis yang cukup cantik ini.
"Aku.... Aku...," gadis itu meringis kesakitan.
Rangga melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan gadis itu, lalu mundur dua tindak. Sedangkan gadis itu masih meringis menahan sakit pada pergelangan tangannya yang tadi dicengkeram kuat oleh Pendekar Rajawali Sakti. Segera tangannya yang terasa
sakit diurut-urut. Pendekar Rajawali Sakti teringat
akan Ki Sara Denta yang ditinggalkannya. Bergegas dia keluar dari semak sambil
membawa gadis yang hampir
saja menjadi sasaran kejengkelannya tadi. Tapi begitu sampai di sana, alangkah
terkejutnya Rangga karena
orang tua yang biasa dipanggil si Tua Gila itu sudah
tidak ada lagi di tempat
"He..."! Di mana dia..."!"
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada tanda-tanda sama sekali
kalau Ki Sara Denta pergi dari tempat ini. Dan seingatnya, si Tua Gila belum sadarkan diri. Rangga langsung menatap tajam gadis muda di sampingnya.
"Gara-gara kau...!" dengus Rangga melampiaskan kegusarannya pada gadis itu.
"He...! Kenapa kau marah padaku...?" gadis itu mendelik, tidak menerima dirinya
dijadikan sasaran kemarahan. "Siapakah kau ini?" tanya Rangga, agak dingin nada suaranya.
"Talia," sahut gadis itu menyebutkan namanya.
"Kenapa kau berada di sini?" tanya Rangga lagi.
"Aku..., aku mencari ayahku. Kau tahu di mana
ayahku berada" Kulihat, dia ke sini bersamamu siang
tadi." Rangga mengamati gadis itu lekat-lekat.
"Siapa ayahmu?" tanya Rangga lagi "Ki Sara Denta."
Pendekar Rajawali Sakti terhenyak mendengar
nama Ki Sara Denta disebut Yang lebih mengejutkan
lagi, gadis ini mengaku kalau Ki Sara Denta adalah
ayahnya. Sedangkan selama ini Pendekar Rajawali
Sakti tidak mengetahui secara pasti tentang diri si Tua Gila itu. Melihat
tingkahnya yang selalu konyol dan tidak mengenal santun itu, Rangga menduga
kalau si Tua Gila hidup sebatang kara. Siapa nyana, sekarang
ada seorang gadis berparas cukup cantik mengaku sebagai anak Ki Sara Denta.
*** 5 Rangga menghenyakkan tubuhnya, dan langsung terduduk lemas setelah gadis itu meyakinkan kalau dirinya benar-benar putri si Tua Gila yang kini lenyap entah ke mana.
Hilangnya Ki Sara Denta yang
begitu cepat dan tidak terduga, menimbulkan suatu
kesimpulan kalau ada seseorang yang menculiknya.
Dan tentu orang itu memiliki tingkat kepandaian tinggi. Mustahil kalau orang biasa bisa lenyap begitu saja sambil membawa seseorang
yang sedang terluka dalam
waktu yang begitu singkat.
"Jadi kau benar anak Ki Sara Denta...?" Rangga seakan-akan ingin menegaskan
dirinya pada gadis itu.
"Benar," sahut gadis itu yang mengaku berna-ma Talia.
"Aku bersamanya di lembah sana selama beberapa hari. Lalu, kenapa aku tidak bertemu denganmu?" tanya Rangga menyelidik.
"Aku memang tidak ikut ke lembah. Ayah selalu
melarangku ikut ke sana," sahut Talia.
"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Katanya di sana hanya tinggal orang-orang gila." Rangga terkejut juga mendengar keterangan gadis ini. Timbul rasa ingin tahu
di hatinya. Pendekar Rajawali Sakti juga berharap agar gadis yang mengaku putri si Tua Gila ini bisa memberi banyak petunjuk untuk mengungkapkan misteri
yang sedang dihadapinya ini.
'Talia, memang benar aku tadi bersama ayahmu di sini Tapi sekarang, tidak lagi. Ayahmu lenyap
begitu kau muncul tadi," kata Rangga mencoba menjelaskan dengan hati-hati.
"Hilang...!?" Talia seperti tidak percaya.
"Ayahmu terluka...."
"Oh, tidak...!" sentak Talia agak histeris.
Gadis itu menutupi wajah dengan kedua tangannya. Sedangkan Rangga tidak bisa meneruskan
penjelasan tentang hilangnya si Tua Gila. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa
menarik napas panjang melihat gadis itu menangis sesenggukan mendengar ayahnya
lenyap di tempat ini.
Rangga hanya mendiamkan dan membiarkan
Talia menumpahkan air mata sepuas-puasnya. Bahkan ketika gadis itu merangkul dan memeluknya, Pendekar Rajawali Sakti membiarkan tanpa berusaha untuk meredakan tangis gadis ini.
Lama juga Talia menangis di dada Pendekar Rajawali Sakti, hingga baju pemuda itu basah. Gadis itu mulai tenang setelah
dengan lembut Rangga memegang pundaknya. Perlahan-lahan kepalanya diangkat
dan air matanya dihapus dengan ujung baju. Gadis itu
menarik napas panjang, mencoba mengurangi kesedihannya. "Aku akan mencari ayahmu sampai dapat. Aku
janji," kata Rangga mencoba menenangkan gadis itu.
"Aku yang salah. Seharusnya, aku memang tidak datang ke sini tadi," rintih Talia lirih, masih terdengar terisak.
"Aku mengerti, kau pasti mencemaskan ayahmu,! ujar Rangga lembut.
"Ya.... Setiap kali ayah mendapat tugas, aku selalu cemas. Apalagi sekarang ini. Ayah selalu mendapat tugas yang begitu berat. Bahkan ayah sering mengeluh kalau sebenarnya tidak ingin menjalankan tugas
itu, tapi tidak berani menentang kehendak Gusti Prabu." Talia memandang wajah pemuda tampan berbaju rompi putih di depannya. Sedangkan yang dipandang hanya tersenyum saja.
"Kenapa kau mau diajak ayah ke sini?" tanya Talia seperti menyesalkan kehadiran
Pendekar Rajawali Sakti di daerah ini.
Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum
saja seraya berdiri. Talia ikut berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih
itu. Mereka tidak bicara lagi, dan masing-masing sibuk dengan pikirannya
sendiri. Namun pandangan mereka tidak lepas dari bangunan
istana tua yang tampak angker itu. Rangga menarik
napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Pendekar Rajawali Sakti berpaling, memandang gadis
cantik berbaju biru di sampingnya. Pada saat yang
sama, Talia juga memalingkan mukanya. Maka, mau
tak mau pandangan mereka bertemu pada satu titik.
Perlahan-lahan Talia menundukkan kepalanya. Tampak dalam keremangan cahaya rembulan, wajah gadis
itu bersemu merah dadu.
"Sebaiknya kau pulang saja, Talia. Aku janji
akan membawa pulang ayahmu dalam keadaan sehat,"
bujuk Rangga. Talia mengangkat kepalanya, dan kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Sedangkan Rangga sendiri membalasnya dengan lembut.
"Kau berjanji akan membawa ayah pulang padaku?" tanya Talia seakan tidak percaya pada ucapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku janji," sahut Rangga setengah berbisik.
"Terima kasih."
Tiba-tiba saja gadis itu memeluk, dengan tangan melingkar di leher pemuda berbaju rompi putih
itu. Akibatnya Rangga sedikit kelabakan. Namun
hanya sebentar Talia melakukan hal itu, kemudian
melepaskan kembali dan berbalik. Gadis itu langsung
berlari meninggalkan tempat ini, menuju hutan yang
cukup lebat. Pendekar Rajawali Sakti memandangi kepergian
Talia yang sebentar saja sudah lenyap ditelan kelebatan hutan dan kegelapan malam. Tapi, mendadak Pendekar Rajawali Sakti tersadar kalau dirinya tidak tahu, di mana gadis itu
tinggal. Jadi bagaimana mungkin dia akan membawa ayahnya nanti" Namun Rangga
jadi tersenyum sendiri. Tentu saja hal itu mudah dilakukan jika bisa menemukan
kembali si Tua Gila. Dan persoalannya sekarang, di mana sebenarnya si Tua Gila
itu berada..."
*** Perlahan Rangga melangkah mendekati pintu
masuk bangunan istana tua itu. Pintu yang terbuka
lebar itu seakan-akan memang sengaja diperuntukkan
bagi dirinya. Rangga berhenti setelah sampai di ambang pintu. Sebentar diamatinya keadaan dalam yang
begitu gelap, tanpa penerangan sedikit pun. Padahal
malam ini langit cerah, dan bulan bersinar penuh tanpa terhalang awan sedikit pun, Namun cahaya rembulan rupanya tidak sanggup menerobos sampai ke dalam bangunan istana tua ini.
Rangga melangkah satu tindak memasuki bangunan ini. Tapi sebelum kakinya menyentuh lantai,
mendadak dia tersentak. Langsung saja kakinya ditarik kembali ke belakang, mundur dua tindak. Keningnya berkerut memandangi lantai bangunan istana
yang gelap dan menghitam. Tidak ada kilatan cahaya
sedikit pun seperti lantai-lantai bangunan istana lain yang biasanya terbuat
dari batu pualam putih berkilat.
"Hm.... Lantai ini mengandung hawa racun ya
sangat kuat, namun kerjanya tidak begitu cepat. Bahkan bisa di kata kan lambat," gumam Rangga dalam hati. Meskipun Pendekar
Rajawali Sakti kebal terhadap segala jenis racun, namun dia tidak mau sembarangan terhadap satu jenis racun. Bagaimanapun juga,
dirinya sadar kalau hanya manusia biasa, yang tidak
akan mungkin terhindar dari kenaasan. Rangga teringat akan pengalamannya yang pernah keracunan sehingga tidak bisa mengingat dirinya sendiri (Jika ingin jelas, silakan baca
serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah "Manusia Beracun").
Rangga memandangi pintu bangunan istana
yang besar sekali, dan tidak ada penutupnya. Kembali
kakinya melangkah mundur beberapa tindak, lalu
dengan cepat melompat, melesat masuk sambil berteriak keras. "Hiyaaa...!".
Ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti
memang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Terlebih lagi ilmu meringankan tubuhnya yang begitu sempurna, sehingga lesatannya begitu cepat bagai kilat.
Dalam sekejap mata saja, Rangga sudah masuk ke dalam. Tubuhnya melayang deras dengan kedua tangan
merentang lebar ke samping. Pendekar Rajawali Sakti
rupanya tengah mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' pada tahapan yang terakhir, diimbangi ilmu meringankan tubuh. Maka tak heran kalau
dia bisa melayang bagai kapas tertiup angin.
Namun begitu, Pendekar Rajawali Sakti tidak
bisa melayang selamanya seperti seekor burung. Paling
tidak harus ada pijakan untuk memantapkan tubuhnya. "Hap!"
Rangga menjejakkan kakinya di tengah-tengah
ruangan sambil mengerahkan tenaga dalam yang digabung pengerahan hawa murni yang berpusat pada
sumber kekuatan dalam tubuh. Kini seluruh tubuhnya
terasa jadi dingin. Namun....
"Akh...!"
Entah kenapa, mendadak saja Rangga memekik
keras tertahan. Saat itu bagian telapak kakinya terasa jadi panas membara,
seolah-olah berada di atas bara
api. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Ra
Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawali Sakti melentingkan tubuhnya, dan langsung melesat keluar. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti sampai di pintu luar, mendadak dari bagian atas pintu itu meluncur jeruji yang
begitu cepat menutup jalan.
Rangga terkejut bukan main, dan seketika berusaha
untuk menarik tubuhnya. Namun terlambat. Karena
dia melesat dengan kekuatan penuh, akibatnya Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi menghindari benturan dengan pintu jeruji itu.
Brak! "Akh...!" Rangga menjerit keras.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti keras sekali
terpental balik ke belakang, dan tidak bisa dicegah la-gi. Tubuhnya jatuh
bergulingan di lantai yang hitam
pekat dan dingin itu. Seketika Rangga merasa kan seluruh tubuhnya jadi panas bagai terbakar. Dia sadar
betul kalau racun yang tersebar di seluruh lantai ista-na ini sudah merambat ke
tubuhnya. Namun berkat
kesempurnaan hawa murni yang dimiliki, racun itu tidak sampai masuk dalam jaringan darahnya. Atau
mungkin memang belum sampai. Dan Rangga tidak
yakin kalau dirinya mampu bertahan lama, meskipun
memiliki kekebalan tubuh terhadap segala jenis racun.
Tapi di dalam istana ini racunnya sungguh dahsyat
dan kuat. "Hup! Yeaaah...!"
Sret! Cring! Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar
Rajawali Sakti melompat ke atas sambil mencabut Pedang Rajawali Sakti yang tersimpan dalam warangkanya di punggung. Seketika itu cahaya biru yang
memancar dari pedang itu menerangi seluruh ruangan
ini. "Hiyaaa...!"
Rangga meluruk cepat ke bawah sambil mengayunkan pedangnya disertai pengerahan jurus
'Pedang Pemecah Sukma'. Suatu jurus yang dahsyat
dan menjadi andalan dalam setiap pertarungan.
Glarrr! Ledakan dahsyat terjadi ketika Pedang Rajawali
Sakti menghantam lantai istana. Dan seketika, seluruh bangunan istana ini
bergetar hebat bagai diguncang
gempa dahsyat. "Hiyaaat..!"
Kembali Rangga menghantamkan pedangnya dl
sertai pengerahan tenaga dalam yang sangat sempurna. Untuk kedua kalinya terdengar ledakan menggelegar seperti gunung meletus, sehingga bangunan istana
ini semakin dahsyat berguncang. Akibatnya beberapa
dindingnya ambruk, menimbulkan suara bergemuruh
disertai getaran keras.
Rangga menjejakkan kakinya sedikit ke lantai,
lalu cepat melentingkan tubuhnya. Kini Pendekar Rajawali Sakti melesat sambil mengayunkan pedangnya
dua kali ke arah pintu berjeruji besi itu.
"Hiaaat..!"
Crang...! Pintu jeruji baja itu hancur berantakan terbabat pedang bercahaya biru yang menyilaukan mata itu.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar, dan
jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Cepat-cepat dia melompat bangkit dan
memasukkan pedangnya ke
dalam warangka di punggung, lalu secepat itu pula
duduk bersila sambil merapatkan kedua tangannya di
depan dada. Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam, dan ditahannya agak lama.
Tampak asap kehitaman
mengepul dari ujung kepala. Dan kini seluruh tubuhnya bersinar merah membara, seperti besi terbakar.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras melengking tinggi, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangannya ke
samping. Lalu dengan cepat tangannya ditarik ke depan, dan bergerak perlahan sebelum ditarik panjang,
Perlahan matanya terbuka.
Dan kini Pendekar Rajawali Sakti bangkit dengan keadaan tubuh segar. Matanya memandangi bangunan istana di depannya. istana maut itu tidak lagi
berguncang, tetap kokoh berdiri tegar, seperti menantang Pendekar Rajawali Sakti untuk menaklukkannya.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjangpanjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
*** Semalaman Pendekar Rajawali Sakti memutari
seluruh bagian luar istana ini. Sama sekali tidak dike-temukan celah yang bisa
digunakan untuk masuk
tanpa melalui pintu depan. Seluruh dinding bangunan
ini terbuat dari batu keras. Sementara pagi sudah
menjelang, sedangkan Rangga belum bisa melakukan
sesuatu. Kembali Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak di depan pintu depan
bangunan istana dari batu itu.
"Hm, tidak heran kalau tidak ada seorang pun
yang sanggup memasukinya...," gumam Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti
seketika teringat akan
si Tua Gila yang juga tidak berani masuk ke dalam istana ini. Memang alasan yang dikemukakannya cukup
kuat. Tapi, Rangga mendapatkan sesuatu dari katakata Si Tua Gila itu. Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan kalau laki-laki tua
itu menyimpan sesuatu,
dan sepertinya sudah mengetahui kalau seluruh lantai
istana itu mengandung racun yang dahsyat dan sangat
mematikan. Saat Pendekar Rajawali Sakti sedang berpikir
keras, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda yang
semakin jelas dan dekat. Sebentar pandangannya beredar berkeliling, lalu tubuhnya cepat melesat ke sebatang pohon yang cukup
tinggi dan lebat daunnya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung lenyap ditelan kerimbunan daun pohon itu. Kakinya hinggap di
sebuah dahan yang cukup terhalang. Tapi dari tempat
ini, bisa melihat jelas ke sekitar bangunan istana maut itu.
Tidak lama kemudian, dari arah lembah tempat
Kerajaan Mandalika berdiri, muncul beberapa orang
berkuda. Rangga menghitung dalam hati. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang, ditambah seorang yang berkuda paling
depan. Pendekar Rajawali
Sakti mengenali betul pemuda yang berkuda paling
depan. Dialah Raden Sambung Wulung, menantu Prabu Yudanegara. Rombongan berkuda itu berhenti tepat di depan
bangunan istana maut ini. Sedangkan Rangga yang
berada di atas pohon, berada tidak seberapa jauh dari mereka. Pendekar Rajawali
Sakti bisa melihat dan
mendengar jelas apa yang dibicarakan, tanpa harus
mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Suatu
ilmu yang bisa mendengarkan suara dari jarak jauh,
dan bisa membedakan jenis-jenis suara sekecil apa
pun. "Hm, apa yang mereka lakukan di sini...?" tanya Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi Raden
Sambung Wulung yang turun dari punggung kudanya,
diikuti seorang laki-laki tua berjubah putih. Mereka berdiri berdampingan
memandangi bangunan Istana
itu. Sedangkan orang-orang yang berpakaian prajurit,
masih berada di punggung kuda masing-masing. Begitu tangan Raden Sambung Wulung memberi aba-aba,
para prajurit langsung turun dari punggung kuda.
"Istana ini semakin parah keadaannya, Eyang
Wiratma," kata Raden Sambung Wulung setengah bergumam.
"Benar, Raden," sahut laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Eyang Wiratma
tadi. "Mari, Eyang. Kita lihat ke dalam. Aku ingin lihat mayat si manusia sombong itu," ajak Raden Sambung Wulung seraya mengayunkan
kakinya meng- hampiri Istana maut itu.
"Hati-hati, Raden. Aku melihat Pendekar Rajawali Sakti itu tidak seperti pendekar-pendekar lainnya," ujar Eyang Wiratma memperingatkan.
Raden Sambung Wulung hanya tersenyum saja,
dan terus melangkah semakin mendekati pintu masuk
istana maut itu. Sementara Rangga yang berada di
atas pohon, terus memperhatikan dengan hati bertanya-tanya. Pendekar Rajawali Sakti terkejut juga melihat Raden Sambung Wulung
dan Eyang Wiratma
memasuki bangunan tua itu, tanpa khawatir kalau
lantainya sudah tersebar racun yang sangat ganas.
Namun tidak lama mereka berada di dalam, dan kini
sudah keluar kembali dengan langkah cepat dan wajah
merah padam. Raden Sambung Wulung langsung melompat ke punggung kuda, dan secepat itu menggebahnya, meninggalkan pelataran istana maut ini.
Eyang Wiratma dan para prajurit yang menyertainya
bergegas mengejar. Sementara Rangga yang memperhatikan dari tempat persembunyian, jadi heran juga.
Berbagai macam pertanyaan dan dugaan muncul di
benaknya seketika setelah melihat kejadian yang berlangsung barusan.
*** 6 Rangga baru saja melompat turun dari pohon,
hendak membuntuti rombongan Raden Sambung Wulung. Tapi, tiba-tiba dari dalam semak-semak muncul
seorang gadis cantik berbaju biru. Rangga terkejut melihat kemunculan gadis ini.
Seketika niatnya untuk
membuntuti Raden Sambung Wulung diurungkan.
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri gadis yang ternyata adalah Talia.
"Talia...," desis Rangga seraya memandangi gadis itu dalam-dalam.
"Kenapa kau berada di sini?"
"Aku ingin membantumu, Kakang," sahut Talia.
"Membantuku..." Apa yang bisa kau lakukan di
tempat ini?"
"Aku memang tidak bisa apa-apa, tapi pasti bisa membantumu menghancurkan mereka," tenang sekali jawaban Talia.
Rangga semakin dalam memandangi gadis ini,
dan jadi mendengus dalam hati. Gadis ini tidak berbeda jauh dengan ayahnya, yang selalu bermain teka-teki membingungkan. Tapi
jawaban Talia barusan sudah
mengisyaratkan kalau dirinya tahu banyak tentang
semua yang terjadi di sekitar daerah ini.
"Apa yang kau ketahui tentang mereka, Talia?"
tanya Rangga setelah berpikir sejenak.
'Tentang Partai Naga itu...?" Talia seperti ingin menegaskan.
"Jadi kau juga mengetahui tentang Partai Naga
itu?" Rangga agak terkejut juga kala Talia menyebut nama Partai Naga.
Sedangkan selama ini, si Tua Gila juga selalu
menyebut-nyebut partai itu, khususnya sejak mereka
bertemu dan saling mengenal diri. Dan sekarang, gadis ini juga menyebut nama
partai itu. Talia mengangguk membenarkan pertanyaan
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga semakin
ingin tahu, karena diyakini kalau Partai Naga erat kai-tannya dengan persoalan
ini. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti belum tahu, siapa dan di mana tempat
persembunyian Partai Naga itu. Mereka selalu muncul
tiba-tiba, tanpa diketahui pasti. Bahkan perginya juga tiba-tiba seperti hantu
saja. "Apa saja yang kau ketahui tentang Partai Naga?"' tanya Rangga lebih lanjut.
"Mereka adalah musuh besar ayah. Padahal
ayah sendiri tidak pernah menganggap mereka musuh," jelas Talia.
"Kenapa mereka memusuhi ayahmu?" tanya
Rangga lagi. "Kekuasaan," sahut Talia kalem.
"Maksudmu?" Rangga tidak mengerti.
"Dulu ayah seorang panglima perang yang paling disayangi Prabu Yudanegara. Sudah banyak ayah
melakukan peperangan dan berhasil gemilang. Tapi setelah semuanya berakhir, ayah tersingkir dari jabatannya. Bahkan beberapa kali
mengalami percobaan pembunuhan, tapi selalu gagal. Tapi ayah tidak ingin
memperpanjang urusan, dan memilih diam dengan
berpura-pura gila. Memang, ayah tersingkir selamanya
dari istana. Tapi tersingkirnya ayah, malah membuat
bencana besar bagi seluruh kerajaan ini," Talia mengi-sahkan perjalanan hidup
ayahnya. Sementara Rangga terus mendengarkan penuh
perhatian. Walaupun perebutan kedudukan dan kekuasaan adalah hal yang tidak terlalu aneh, tapi bagi
Pendekar Rajawali Sakti adalah suatu hal yang menarik. Baik itu kerajaan besar maupun kerajaan kecil.
"Orang Partai Nagalah yang menginginkan ayah
tersingkir untuk selamanya. Dan sekarang, mereka
menguasai seluruh Kerajaan Mandalika ini," sambung Talia. "Oh...!" kali ini
Rangga benar-benar terkejut.
"Ada apa, Kakang?"
'Tidak, teruskan saja," sahut Rangga.
"Mereka bahkan menjadikan Prabu Yudanegara
sebagai raja boneka yang bisa dikendalikan. Prabu Yudanegara memang tidak mungkin digulingkan, karena
akan membuat seluruh rakyat marah. Maka, kemudian dibuat suatu malapetaka bagi seluruh rakyat
dengan merubah istana ini menjadi istana maut yang
selalu merenggut nyawa siapa saja yang berani memasukinya. Bahkan juga disebarkan kabar bohong, di dalam istana ini sekarang dihuni makhluk buas yang tidak bisa mati dan selalu makan daging manusia. Mereka memang bisa mengelabui Prabu Yudanegara
Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maupun seluruh rakyat, tapi tidak bisa mengelabui
ayah. Itulah sebabnya mereka selalu mencari perkara
dan berusaha menyingkirkan ayah secara halus agar
tidak terlihat jelas di mata Prabu Yudanegara."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Disimaknya semua cerita yang dikisahkan gadis berbibir mungil ini. Pendekar Rajawali Sakti seperti tak
puas-puasnya memandangi bibir yang indah itu, seolah-olah tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Ada suatu daya tarik tersendiri kala bibir itu bergerak-gerak meluncurkan katakata. Sedangkan gadis itu tidak menyadari kalau Rangga memandangi bibirnya.
"Kenapa memandangiku terus, Kakang?" gadis
itu tersadar juga.
"Oh, tidak...," Rangga jadi tergagap.
Pendekar Rajawali Sakti buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Malu juga rasanya karena dipergoki sedang memandangi seraut wajah cantik dengan bibir indah mengagumkan. Kecantikan yang dimiliki Talia memang terletak pada bibirnya yang indah
dan selalu basah memerah.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas kuatkuat. Pendekar Rajawali Sakti mencoba menghilangkan pikiran buruk yang tiba-tiba saja memenuhi benaknya. Semalam, daya tarik yang dimiliki Talia memang tidak begitu diperhatikan. Tapi siang ini, Rangga sungguh tidak bisa
menghindar lagi. Begitu terpeso-nanya, sehingga tanpa disadari Pendekar Rajawali
Sak- ti telah menikmati kecantikan gadis itu lewat pandangan matanya. *** Rangga mengayunkan kaki mendekati bangunan istana maut itu. Begitu sampai di ambang pintu,
masih terasa adanya hawa racun di lantai istana ini.
Sementara Talia menunggu, berjarak agak jauh. Gadis
itu hanya memperhatikan saja. Rangga memutar tubuhnya, kembali menghampiri Talia yang masih tetap
menunggu. "Apakah ayah ada di dalam sana, Kakang?"
tanya Talia langsung begitu Rangga sampai di depannya. "Tidak," sahut Rangga seraya mengangkat bahunya. "Tidak...?" Talia seperti
tidak percaya. "Semalam aku sudah mencoba masuk. Tapi...,
yaaah. Istana itu memang maut. Tidak heran jika
ayahmu sendiri tidak berani memasukinya," jelas
Rangga. "Kalau tidak ada di sana, lalu di mana?" tanya Talia seperti untuk dirinya
sendiri. "Entahlah, Talia. Aku sendiri tidak tahu, di mana ayahmu sekarang berada," sahut Rangga.
"Kasihan ayah...," keluh Talia lirih. Gadis itu memandangi Pendekar Rajawali
Sakti dengan wajah
mendung dan sinar mata seakan-akan berharap.
Rangga hanya bisa menarik napas panjang tanpa dapat berbuat sesuatu. Masalahnya, dirinya sendiri tidak
tahu, di mana sekarang Ki Sara Denta berada.
Tak ada yang bisa dilakukan Pendekar Rajawali
Sakti saat ini. Dia sudah mencari ke sekeliling bangunan istana ini, tapi si Tua
Gila tetap tidak ditemukan.
Rangga menjadi iba melihat Talia yang begitu berharap. Padahal, dia sudah berjanji untuk membawa
ayahnya kembali padanya. Tapi sampai saat ini, belum
ditemukan tanda-tanda di mana si Tua Gila itu berada.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti hanya merenung, memikirkan segala kemungkinan.
Tiba-tiba Rangga tersentak. Pendekar Rajawali
Sakti baru ingat kalau Raden Sambung Wulung atau
yang juga menantu Prabu Yudanegara itu datang dan
masuk ke istana bersama seorang laki-laki tua yang
diketahuinya bernama Eyang Wiratma. Tapi, kedua
orang itu tetap segar bugar saat keluar dari istana itu.
Sedangkan seluruh lantai istana itu sudah tercemar
racun yang dahsyat dan sangat mematikan. Keadaan
ini membuat Rangga jadi bertanya-tanya sendiri.
"Ayo, Talia...," ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.
"He...! Mau ke mana...?" sentak Talia yang tertarik, dan hampir tersungkur.
Untung dia cepat-cepat
berlari mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka terus berjalan cepat setengah berlari
menuju lembah di seberang sungai. Talia menahan
langkahnya ketika mereka sampai di tepi sungai.
Rangga pun terpaksa ikut menghentikan langkahnya.
Ditatapnya dalam-dalam gadis di sebelahnya yang seakan-akan enggan menyeberangi sungai di depan sana.
Sementara Talia melepaskan cekalan tangan Rangga,
lalu melangkah mundur dua tindak. Pendekar Rajawali
Sakti jadi heran melihat sikap Talia yang jelas-jelas tidak ingin menyeberangi
sungai ini. "Ada apa, Talia?" tanya Rangga.
"Aku tidak mau ke sana!" sahut Talia.
"Kenapa...?" tanya Rangga tidak mengerti atas sikap gadis ini.
"Pokoknya aku tidak mau ke sana!" bentak Talia keras.
Rangga jadi tertegun dan terus memandangi
gadis ini. Sungguh tidak dimengerti, mengapa sikap
Talia mendadak berubah" Rangga menghampiri, lalu
dengan lembut tangannya diletakkan di bahu gadis itu.
Sedangkan Talia hanya memandangi dengan sinar mata tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda berompi putih itu.
"Kau tidak mau ke sana, tentu punya alasan,
bukan?" desak Rangga membujuk lembut.
"Apakah kau ingin aku mati di sana..."!" sentak Talia sengit. Ketus sekali nada
suaranya. Kening Rangga berkerut mendengar jawaban
yang bernada ketus itu. Sungguh tidak diduga kalau
Talia akan berkata se ketus itu. Tapi yang membuat
Pendekar Rajawali Sakti tertegun bukan keketusannya,
tapi pernyataannya yang lugas dan tegas.
"Aku menunggu saja di sini. Kau saja yang ke
sana, Kakang. Kau lebih bebas di sana, daripada aku
ujar Talia kembali lembut suaranya.
Rangga mengangkat bahunya. Meskipun gadis
ini tidak bersedia menjelaskan, namun Rangga tidak
ingin mendesak lagi. Sudah bisa ditebak kalau ketidakingian Talia ke lembah itu disebabkan ceritanya sendiri. Gadis itu telah mengatakan kalau orang-orang di lembah sana gila dan haus
kekuasaan serta nafsu du-niawi. Mengingat cerita Talia, Pendekar Rajawali Sakti
agak bingung untuk menentukan siapa lawan dan siapa kawan. Namun ada satu cara untuk mengatasi semua persoalan ini. Dan itu pun sudah ditentukan dari
mana harus memulainya.
"Baiklah. Kau tunggu saja di sini," kata Rangga menyerah.
Talia hanya mengangguk. Untuk beberapa saat
Pendekar Rajawali Sakti memandangi Talia, kemudian
membalikkan tubuhnya. Namun belum juga melangkah pergi, mendadak dari dalam sungai bersembulan
kepala-kepala manusia, yang kemudian langsung berlompatan keluar.
Rangga cepat menarik tangan Talia ke belakang. Mereka yang baru muncul dari dalam sungai itu
mengenakan baju hitam, dan ada gambar naga di dadanya. Semuanya juga memakai gelang yang tidak sama jumlahnya pada pergelangan tangan kanan. Sama
sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak mengenali mereka, kecuali satu orang. Dialah Parang Kati, orang yang memakai gelang berjumlah
lima buah. "Hm.... Rupanya kau belum mampus juga, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Parang Kati dingin.
"Jika hanya racun yang kalian taburkan di istana itu, belumlah cukup untuk membunuhku," sahut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Bagus! Aku senang ada orang yang bisa lolos
dari dalam istana maut. Tapi kali ini kau tidak mungkin bisa lolos. Ha ha ha...!" Parang Kati tertawa terbahak-bahak.
Rangga hanya mendengus saja. Memang kali ini
orang-orang yang dibawa Parang Kati berjumlah tiga
kali lipat, dan sudah siap dengan sepasang tongkat
merah di tangan. Rangga mengedarkan pandangan ke
sekelilingnya. Ternyata dirinya sudah terkepung oleh
orang-orang berbaju hitam dengan gambar naga pada
dadanya. Hanya Parang Kati yang mengenakan gelang
berjumlah lima. Sedangkan yang lainnya hanya mengenakan gelang berjumlah di bawah lima. Ini berarti
hanya Parang Katilah yang memiliki kepandaian lebih
tinggi dibanding yang lainnya.
Rangga dan Talia benar-benar sudah terkepung, dan sudah tidak ada celah untuk meloloskan diri. Jumlah mereka begitu banyak, tidak kurang dari
seratus orang. Ini merupakan jumlah kesatuan prajurit kerajaan. Rangga
menghembuskan napasnya kuat-kuat beberapa kali. Diliriknya Talia yang
kelihatannya begitu tenang, seakan-akan tidak mempedulikan kepungan orang-orang
berbaju hitam ini.
"Kau bisa menghadapi mereka, Talia?" tanya
Rangga ragu-ragu terhadap kemampuan gadis ini.
"Lihat saja nanti," sahut Talia kalem.
"Kalau begitu, bersiaplah. Kita akan menggempur mereka lebih dahulu. Hm.... Kita harus melewati
yang depan dan terus menyeberangi sungai. Bagaimana, Talia?" bisik Rangga meminta pendapat gadis itu.
"Yaaah..., memang tidak ada jalan lain lagi," Talia mengangkat bahunya sedikit.
Hanya ada satu jalan untuk bisa lolos dari kepungan, yaitu dengan menyeberangi sungai. Dengan
demikian mereka dituntut untuk menggunakan ilmu
meringankan tubuh yang tinggi. Memang, sungai ini
tidak mungkin diseberangi oleh orang yang hanya memiliki tingkat kepandaian tanggung. Inilah yang membuat Rangga berpikir, karena tidak tahu, sampai di
mana tingkat kepandaian yang dimiliki Talia. Kalau
untuk dirinya sendiri, melompati jurang yang lebar
pun tidak ada persoalan. Apalagi sungai seperti ini.
Tapi bagaimana dengan Talia..."
"Ayo, Kakang. Kita mulai," desis Talia berbisik.
Tiba-tiba saja Talia melompat secepat kilat
sambil berteriak nyaring melengking tinggi. Tubuhnya
yang ramping, meliuk dan berputaran di udara dengan
gerakan indah. Tindakan Talia ini membuat Parang
Kati dan yang lainnya jadi terkejut. Mereka segera berlompatan hendak memapak
gadis itu. Namun sebelum
bisa menyambar tubuh Talia, Rangga sudah lebih dahulu melompat sambil melontarkan beberapa pukulan
kilat bertenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Desss! Bugkh!" *** Pukulan-pukulan yang dilepaskan Pendekar
Rajawali Sakti mengenai beberapa orang hingga berjumpalitan jatuh sebelum mencapai tubuh Talia. Sedangkan gadis itu terus berjumpalitan di udara, melewati beberapa kepala. Sekali Talia menukik turun, kemudian dengan ujung jari kakinya menotok tanah di
tepi sungai. Kini tubuhnya kembali melenting menyeberangi sungai. Indah sekali gerakannya. Gadis itu
berputaran di udara, kemudian menotok permukaan
air sungai sekali, lalu kembali melesat.
Talia selamat sampai di seberang sungai. Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti harus menghadapi beberapa orang yang menyerangnya, sebelum melesat menyeberangi sungai. Dan kini hanya sekali lompat saja, Rangga sudah
berhasil sampai di seberang sungai.
"Kejar...! Jangan biarkan mereka lolos...!" teriak Parang Kati memberi perintah.
Rangga dan Talia tertegun melihat orang-orang
Partai Naga itu serentak melemparkan tongkat merahnya ke dalam sungai. Lalu, mereka berlompatan ke
atas tongkat yang mengambang di permukaan air.
Sungguh menakjubkan. Mereka bisa meluncur cepat di
atas permukaan sungai hanya dengan bertumpu pada
sebatang tongkat yang biasa dijadikan senjata dalam
pertarungan. "Ayo, Kakang...!" ajak Talia.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil. Pendekar Rajawali Sakti membungkuk sedikit dan menjumput beberapa batu kerikil. Dan dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Pendekar Rajawali Sakti melemparkan batu-batu kerikil tadi. Batu-batu itu meluncur deras ke arah orang-orang
Partai Naga yang sedang
meluncur di atas permukaan sungai.
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar,
disusul berjatuhannya orang-orang itu ke dalam sungai. Batu-batu kerikil yang dilemparkan Rangga tepat
menghantam mereka. Tindakan Pendekar Rajawali
Sakti rupanya dapat menghambat pengejaran. Tentu
saja hal ini membuat Talia senang. Gadis itu menjumput beberapa kerikil, lalu melemparnya ke arah mereka diselingi pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Jeritan-jeritan tinggi menyayat, kembali terdengar. Dan kini orang-orang berbaju hitam yang di
dadanya terdapat gambar seekor naga itu berjatuhan
ke dalam sungai. Air sungai yang semula jernih, seketika berubah warnanya menjadi merah karena tercemar darah. Talia terus melemparkan batu-batu kerikil
sambil tertawa-tawa kesenangan. Sedangkan Rangga
yang menyaksikan tingkah gadis itu tersenyumsenyum geli, dan tidak lagi melemparkan batu kerikil.
"Mundur...!" teriak Parang Kati yang masih berada di seberang sungai.
Orang-orang dari Partai Naga itu berbalik kembali ke seberang sungai. Sebentar saja hampir separuh jumlah mereka sudah
mengambang di sungai.
Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha ha ha...! Ayo, maju kalian kalau berani...!"
tantang Talia dengan suara lantang.
Tampak di seberang sungai sana, Parang Kati
memaki-maki sambil menghentak-hentakkan kakinya
dengan kesal. Wajahnya memerah menahan kemarahan yang amat sangat. Dua kali dia berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti, dan dua kali pula menderita kekalahan yang menyakitkan.
"Kubunuh kalian! Dengar...! Kubunuh kalian...!" teriak Parang Kati sambil mengacungkan kepalan tangannya.
Amarahnya memuncak luar biasa karena kekalahan yang menyakitkan ini. Sedangkan Rangga hanya
tersenyum-senyum saja. Sementara Talia terus tertawa
terbahak-bahak sambil mengejek menantang agar mereka menyeberangi sungai.
Pada saat itu, Parang Kati melompat ke sungai.
Tindakan orang bergelang lima buah itu diikuti yang
lainnya. Mereka semua berlompatan masuk ke sungai
yang sudah berwarna merah oleh darah itu. Seketika
Talia menghentikan tawanya. Sedangkan Rangga mengamati ke sungai dengan sinar mata tajam tanpa mengerjap sedikit pun. Orang-orang dari Partai Naga itu tidak muncul-muncul lagi.
Mereka seperti tenggelam ke
dalam sungai! "Mereka tidak timbul lagi, Kakang...," desis Talia setengah berbisik.
Gadis itu juga mengamati permukaan sungai
yang berwarna merah oleh darah. Sepasang bola mata
yang bulat bening itu tidak berkedip memperhatikan
permukaan sungai. Sedangkan Rangga hanya diam saja, namun benaknya terus berputar.
"Kau tunggu di sini, Talia," kata Rangga.
"He! Kau mau ke mana...?" tanya Talia tersentak.
Tapi Rangga tidak menjawab.
"Kakang...!" sentak Rangga terkejut
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melompat ke
dalam sungai. Talia kebingungan ditinggal sendirian.
Gadis itu mencari-cari Rangga yang sudah tidak kelihatan lagi setelah menceburkan diri ke dalam sungai yang bernoda darah itu.
"Kakang...!" teriak Talia memanggil.
Tapi Rangga sudah tidak timbul lagi. Gadis itu
jadi cemas juga, di samping takut berada seorang diri di tempat ini. Talia
teringat akan kata-kata ayahnya jangan sekali-kali menginjakkan kaki ke seberang
sungai ini. Apalagi sampai ke lembah sana.
"Aku menyusul, Kakang...!" seru Talia.
"Hiyaaa...!"
Byurrr...! Tanpa berpikir panjang lagi, Talia langsung
menceburkan diri ke dalam sungai, mengikuti Rangga.
Sebentar kepala Talia menyembul ke permukaan, kemudian tidak timbul-timbul lagi. Sementara permukaan air sungai terus mengalir, membawa serta tubuhtubuh yang sudah tidak bernyawa.
*** 7 Sama sekali Rangga tidak menyangka kalau
sungai ini begitu dalam, bagai tak berdasar. Pendekar Rajawali Sakti terus
menyelam semakin dalam. Tidak
ada kesulitan baginya berada di dalam air seperti ini.
Dengan ilmu yang didapat dari Satria Naga Emas,
Pendekar Rajawali Sakti bisa bernapas seperti layaknya di darat. Bahkan gerakannya begitu cepat dan lincah bagaikan ikan lumba-lumba.
"Hm...," Rangga bergumam dalam hati. Penden-garannya yang tajam dapat menangkap
suara lain dari
arah belakang. Rangga terkejut ketika berpaling. Tampak tidak jauh di belakangnya, Talia sedang berenang
cepat mengejar.
'Talia...," desis Rangga dalam hati. Wajah gadis itu sudah memerah, karena
terlalu lama berada dalam
air. Cepat Rangga memburu, dan menangkap tangannya. Pendekar Rajawali Sakti memandangi sekitarnya.
Matanya langsung tertumbuk pada sebuah mulut gua
yang berada di dasar sungai ini. Cepat dia berenang ke arah gua itu.
Tanpa pikir panjang lagi, Rangga terus menerobos ke dalam gua. Ternyata gua ini tidak terlalu panjang, dan sepertinya mengarah ke atas. Sambil mencekal tangan Talia, Pendekar Rajawali Sakti terus menembus air dalam gua ini.
"Ah...!"
Talia langsung menarik napas dalam-dalam begitu kepalanya menyembul ke permukaan air. Napasnya tersengal dan wajahnya memerah karena terlalu
lama menahan napas. Sedangkan Pendekar Rajawali
Sakti tidak sedikit pun terpengaruh. Dia terus menyeret gadis itu ke tepi, dan membantunya naik.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam saat
mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Ternyata mereka kini berada dalam sebuah
ruangan batu, atau lebih tepat dikatakan gua yang cukup besar ukurannya. Seluruh dindingnya terdiri dari
batu cadas keras berwarna hitam, di seluruh permukaannya ditumbuhi lumut tebal. Pendekar Rajawali
Sakti menyipitkan matanya ketika melihat ada undakan batu di sebelah kanan. Namun belum sempat melangkah, telinganya tiba-tiba mendengar suara orang
berbicara. Suara itu jelas dari dalam mulut gua yang
terdapat undakan batu menuju ke atas.
Rangga cepat menarik tangan Talia, lalu dibawanya ke balik sebongkah batu besar yang tidak jauh
dari air yang membentuk danau kecil di dalam gua ini.
Sementara Talia yang sedang berusaha mengatur jalan
napasnya, jadi tersentak kaget. Tapi belum juga mengungkapkan kekesalannya, tubuhnya sudah tertarik
ke balik batu besar. Pada saat itu, dari lorong yang berundak, muncul dua orang
laki-laki. Yang seorang masih terlihat muda, sedangkan seorang lagi sudah tua.
Tidak jauh di belakang mereka menyusul dua orang
lagi yang rata-rata berusia sekitar tiga puluh lima tahun. "Raden Sambung
Wulung...," desis Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti mengenali pemuda
yang berjalan di sisi laki-laki tua berjubah putih. Dan Rangga juga mengenali
mereka semua. Yang tua adalah Eyang Wiratma, sedangkan dua orang di belakang
mereka adalah para patih Kerajaan Mandalika. Rangga
tidak perlu lagi berpikir tentang keberadaan mereka di tempat ini. Jelas, mereka
adalah orang-orang Partai
Naga. Hanya saja, untuk apa mereka memusuhi rajanya sendiri..." Pertanyaan inilah yang menjadi beban dalam benak Pendekar
Rajawali Sakti.
Mereka berjalan menyeberangi danau kecil di
tengah-tengah ruangan batu ini dengan menggunakan
seutas tambang yang merentang di atasnya. Rata-rata
semua memang memiliki ilmu meringankan tubuh
yang cukup tinggi, sehingga tidak ada kesulitan berjalan di atas seutas tambang.
Buktinya, sebentar saja
sudah sampai di seberang.
Baik Rangga maupun Talia, jadi tertegun begitu
melihat dinding gua di seberang danau terbelah, bergeser ke samping. Ketika keempat orang itu melewatinya, dinding itu kembali bergerak menutup. Rangga
bergegas melompat keluar diikuti Talia yang sudah bisa menguasai napasnya kembali. Dan wajahnya pun
tidak lagi terlihat merah.
"Sudah kuduga, pasti" mereka biang keladinya!"
dengus Talia. "Ayo, Talia...," ajak Rangga seraya menggamit lengan gadis itu.
"He! Mau ke mana lagi...?" tanya Talia. Rangga tidak menjawab, dan terus
berjalan cepat menuju lorong batu yang berundak itu. Perlahan-lahan mereka
berjalan meniti undakan batu yang melingkar-lingkar
menuju ke atas. Keadaan di situ cukup terang, karena
dalam jarak tertentu terdapat obor yang terpancang di dinding. Cukup panjang
juga lorong berundak ini, sehingga membuat Talia kelelahan. Dan kini napasnya
kembali tersengal.
"Istirahat dulu, Kakang," desah Talia agak tersengal. Rangga menatap gadis itu
dalam-dalam. Meskipun diakui kalau gadis ini memiliki kepandaian yang
cukup tinggi, tapi sikap manjanya masih melekat.
Buktinya baru berjalan segitu saja sudah mengeluh
minta istirahat. Sedangkan undakan ini sepertinya
masih terlalu jauh. Pendekar Rajawali Sakti memandangi lorong yang terus berundak menuju ke atas ini.
"Sebentar lagi, ayo...," ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.
"Istirahat sebentar saja, Kakang...," rengek Talia. Rangga mengeluh di dalam
hati. Segera punggungnya disandarkan ke dinding lorong batu ini. Tangan kirinya menekan sebongkah
batu yang menonjol keluar.
Tapi mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti terkejut...
"Heh...! *** Dinding batu yang disandari Pendekar Rajawali
Sakti bergerak menggeser, memperdengarkan suara
gemuruh. Cepat Rangga melompat berbalik. Bukan
hanya dirinya saja yang terkejut. Bahkan Talia sampai ternganga melihat dinding
lorong ini bergerak ke samping. Tampak di depan mereka terdapat sebuah lorong
lain yang tampaknya cukup panjang.
Pada setiap jarak tertentu, pada dinding terpancang obor yang kelihatannya tidak pernah padam.
Rangga dan Talia saling berpandangan sejenak, kemudian memasuki lorong itu. Dinding batu kembali bergerak menggeser menutup. Mereka berjalan perlahanlahan menyusuri lorong itu.
"Ke mana ini...?" tanya Talia seperti untuk dirinya sendiri.
"Entahlah," desah Rangga setengah berbisik.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang
diterangi cahaya obor. Hingga akhirnya mereka sampai
pada ujung lorong. Rangga jadi tertegun. Ternyata
ujung lorong ini buntu. Tak ada jalan lain, karena di depannya menghadang
dinding batu yang cukup tebal.
"Kita terjebak, Kakang," kata Talia agak mengeluh.
"Tempat ini penuh rahasia, Talia. Aku yakin
ada jalan keluar dari sini," hibur Rangga.
Rangga mengedarkan pandangannya ke sekitarnya, mencari-cari kemungkinan adanya suatu rahasia untuk mencapai jalan keluar dari lorong buntu ini.
Semua dinding, lantai, dan atap lorong ini terbuat dari batu berlumut. Pendekar
Rajawali Sakti meraba-raba
setiap jengkal dinding. Keningnya berkerut ketika merasakan adanya hembusan angin saat tangannya meraba bagian bawah dinding.
Cepat Rangga mengorek batu-batuan di bawah
dinding batu ini. Memang cukup keras. Tapi jika mempergunakan tenaga dalam yang dipadu jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali', Pendekar Rajawali Sakti berhasil membuat lubang sebesar
kepalan tangan pada bagian
bawah dinding batu itu. Tampak seberkas cahaya menyemburat masuk.
"Mundur, Talia...," perintah Rangga. Pendekar Rajawali Sakti juga bergerak
mundur beberapa langkah. Sedangkan Talia berada di belakangnya. Rangga
merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Sebentar matanya terpejam. Kemudian tepat saat kelopak matanya terbuka, kedua tangannya dihentakkan
ke depan sambil berteriak lantang.
"Hiyaaa...!"
Glarrr! Ledakan keras terdengar ketika dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur seberkas sinar yang langsung menghantam dinding batu di
depannya. Seketika dinding batu itu hancur berkepingkeping menimbulkan gumpalan debu yang menyebar
sehingga napas jadi sesak. Talia terbatuk-batuk kecil.
Tangannya dikibas-kibaskan di depan hidung, mencoba mengusir debu dari reruntuhan dinding batu itu.
Setelah debu menghilang, tampak di depan terdapat
sebuah ruangan besar berlantai hitam pekat.
Bergegas Rangga melompat ke ambang pintu
yang tadi berupa dinding batu. Talia yang hendak menerobos cepat-cepat ditahannya. Ternyata Pendekar
Rajawali Sakti langsung bisa merasakan adanya hawa
racun yang tersebar di ruangan itu. Dan memang,
ruangan ini merupakan salah satu ruangan di dalam
istana maut! "Ada apa?" tanya Talia.
"Ruangan ini beracun," sahut Rangga.
"Oh..!" Talia terkejut "Jadi...?"
"Ya! Lorong ini tembus ke istana," jelas Rangga.
'Terus, bagaimana ini...?" tanya Talia cemas.
Belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menjawab, tiba-tiba terdengar suara mendesing dari arah
belakang. Cepat tubuhnya berbalik sambil mendorong
Talia ke samping. Gadis itu terkejut, dan tidak bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya. Akibatnya dia terjajar hingga merapat ke dinding. Pada saat itu terlihat dua buah benda berwarna
merah melesat bagai
Kilat. 'Hap!"
Cepat sekali Rangga mengibaskan tangannya,
menangkap dua senjata berbentuk batangan pendek
berukuran sejengkal berwarna merah itu. Lalu dengan
cepat pula dilontarkannya kembali ke arah semula.
Dua senjata yang kedua ujungnya runcing itu melesat
lebih cepat dari semula, membuat gerakan berputar.
Dan..., "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Dua jeritan melengking tinggi terdengar menyayat, menggema terpantul dinding lorong batu ini.
Sebentar kemudian terlihat dua sosok tubuh
berbaju hitam terjungkal bergelimpangan. Rupanya
tubuh mereka tertembus senjatanya sendiri yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar kedua orang
berbaju hitam yang bagian dadanya bergambar naga
itu menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi.
Belum juga Rangga bisa bernapas lega, tiba
Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba atap lorong batu ini terbuka. Seketika dari atap itu berhamburan manusiamanusia berbaju hitam. Mereka semua memegang sepasang tongkat pendek berwarna merah yang pada kedua ujungnya runcing. Panjangnya tidak lebih dari sehasta. Mereka langsung saja menyerang Pendekar
Rajawali Sakti dan Talia. Tidak
ada pilihan lain bagi mereka, kecuali menghadapi sekitar dua puluh orang berbaju
hitam ini. "Yeaaah...!"
Menyadari kalau harus juga melindungi Talia,
Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Cepat-cepat pedang pusakanya dicabut dari dalam warangka di
punggung. Cahaya biru berkilau, seketika menyemburat menyilaukan mata. Dengan Pedang Rajawali Sakti,
Rangga bagai malaikat maut pencabut nyawa.
Setiap kali pedangnya dikibaskan, terdengar jeritan melengking tinggi dan menyayat. Kemudian, disusul ambruknya tubuh berlumuran darah.
Dalam keadaan terdesak begini, Rangga memang tidak punya pilihan lain lagi. Tebasan pedangnya tak bisa terbendung lagi.
Bahkan yang coba-coba me-nangkis, langsung terpental dengan tongkat terpotong
jadi dua bagian. Bukan itu saja. Arus pedang Pendekar Rajawali Sakti juga tidak
bisa terbendung, dan terus
membabat pemilik tongkat itu. Akibatnya mereka terjungkal ambruk ke lantai lorong gua ini.
Sementara Talia yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti jadi menganggur, karena orangorang berbaju hitam tidak ada yang bisa menembus
pertahanan pemuda berbaju rompi putih itu. Satu persatu mereka bergelimpangan berlumuran darah. Jumlah yang banyak, dalam waktu sebentar sudah berkurang lebih dari separuhnya. Mereka jadi gentar juga,
sehingga agak ragu-ragu menyerang.
Pada saat itu, dari atas langit-langit lorong yang
kini terbuka, meluncur seorang berbaju putih longgar, Jatuhnya tepat di belakang
Talia, dan dengan cepat
pula menotok punggung gadis itu. Talia yang belum
menyadari, hanya bisa terpekik tertahan, dan langsung jatuh lunglai. Namun
sebelum tubuhnya menyentuh
dasar lorong gua, orang berjubah putih itu sudah menyangganya. Dia langsung melesat naik sambil memondong tubuh Talia yang lemas tertotok jalan darahnya. 'Talia...!" sentak Rangga terkejut.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti meluncur
mengejar orang berjubah putih yang membawa Talia,
Namun beberapa batang tongkat pendek berwarna merah meluncur mengancamnya. Rangga cepat mengibaskan pedangnya sambil terus melentingkan tubuh
ke atas. Tepat ketika atap lorong itu bergerak menutup, Rangga sudah melewatinya.
Talia...!"
*** Rangga jadi celingukan karena kini sudah berada di sebuah hutan, tepat di samping bangunan istana maut. Orang berjubah putih yang membawa Talia, sudah lenyap tidak ketahuan ke mana perginya.
Selagi Pendekar Rajawali Sakti kebingungan, mendadak matanya menangkap sebuah bayangan putih berkelebat di dalam hutan. Secepat kilat, tubuhnya melesat mengejar. Namun kembali Pendekar Rajawali Sakti kehilangan jejak. Ternyata bayangan putih itu cepat sekali menghilang. Tubuh Rangga
melenting ke atas, dan
hinggap di cabang pohon yang paling tinggi. Dari ketinggian ini, pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi bayangan putih yang
membawa Talia tidak juga bisa
terlihat. "Setan...!" geram Rangga gusar bukan main.
Pendekar Rajawali Sakti kembali meluruk turun ke
bawah. Namun begitu kakinya menjejak tanah, tibatiba saja dari dalam tanah bermunculan manusiamanusia berbaju hitam bergambar naga pada dadanya.
Mereka langsung berlompatan menyerang. Sejenak
Rangga tersentak kaget. Namun cepat sekali tubuhnya
berputar, langsung melontarkan beberapa pukulan
bertenaga dalam sangat sempurna.
Begitu cepatnya Rangga bergerak, sehingga pukulannya tidak terbendung lagi. Terdengar jeritan melengking tinggi saling susul. Kemudian tampak beberapa tubuh bergelimpangan di tanah dengan mulut menyemburkan darah segar. Rangga yang sedang dihinggapi kemarahan, langsung meluapkannya pada orangorang berbaju hitam itu.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Desss! Bugkh! "Aaa...!"
Dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali', Rangga mengamuk bagai banteng liar.
Gerakannya sungguh cepat luar biasa. Bahkan setiap
pukulan yang dilepaskan, selalu meminta korban nyawa. Sebentar saja orang berbaju hitam yang berjumlah dua puluh orang itu, tewas tak tersisa lagi. Bau anyir darah langsung
meresap ke hidung. Mata Pendekar Rajawali Sakti memandangi mereka yang
tergeletak tak bernyawa lagi. Mereka semua mengenakan gelang
berjumlah satu buah, sehingga jelas hanya memiliki
kepandaian tidak begitu tinggi. Tidak heran kalau
Rangga mudah sekali menghancurkannya.
Perlahan Rangga mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Matanya tajam memandang ke
sekitarnya. Bahkan tanah berumput yang dilalui tidak
luput dari perhatian. Namun sampai jauh berjalan, tidak juga ditemukan adanya tanda-tanda bekas orang
berjalan. Rangga mendengus kesal, sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Pendekar Rajawali Sakti jadi semakin kesal.
Ternyata kini baru disadari kalau dirinya hanya berputar-putar saja di sekitar
bangunan istana maut yang
masih berdiri tegak dengan angkuhnya. Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri tegak memandangi bangunan istana maut yang tampak angker itu.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Rangga menghentakkan kedua tangannya sambil berteriak keras menggelegar. Maka seketika dari kedua telapak tangannya meluncur dua
berkas sinar merah membentuk bola api yang langsung menghantam dinding istana maut. Ledakan dahsyat terdengar, bersama hancurnya istana itu. Beberapa kali Rangga melontarkan bola-bola api. Memang,
kemarahannya dilampiaskan pada bangunan istana
maut itu. "Ha ha ha...!"
Rangga menghentikan lontaran bola apinya ketika terdengar suara tawa terbahak-bahak yang begitu
keras menggema. Pendekar Rajawali Sakti memutar
tubuhnya, mencoba mencari sumbernya. Namun suara
tawa itu seperti datang dari segala penjuru mata angin.
Dan Rangga langsung bisa menebak kalau pemilik suara tawa itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi
"Siapa kau" Keluar...!" bentak Rangga keras.
"Ha ha ha...!"
*** 8 "Eyang Wiratma...," desis Rangga ketika melihat seorang laki-laki tua berjubah
putih keluar dari balik sebatang pohon di depannya.
Laki-laki tua yang dikenal bernama Eyang Wiratma itu berjalan menghampiri Rangga, dan berhenti
setelah jaraknya sekitar dua langkah lagi di depan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Jadi kau dalang dari semua ini...?" gumam Rangga seperti bertanya pada dirinya
sendiri. "Kau salah jika menyangka demikian, Pendekar
Rajawali Sakti," bantah Eyang Wiratma, terdengar kalem nada suaranya. "Bukan aku
yang merencanakan
semua ini, karena ada yang lebih tinggi lagi dariku.
Sedangkan aku hanya sekadar membantu saja, menyediakan pasukan khusus yang tangguh dan dapat
diandalkan serta dipercaya penuh."
"Apa pun alasanmu, untuk apa kau lakukan
semua itu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Kekuasaan!" sahut Eyang Wiratma tegas. "Kau tahu apa itu kekuasaan" He he
he...! Semua orang di
dunia ini pasti menghendaki kekuasaan. Dan kau juga
tidak mungkin menghindari keinginan itu, Pendekar
Rajawali Sakti!"
"Kekuasaan apa yang kau inginkan?" tanya
Rangga mulai tidak senang.
"Seluruh wilayah kerajaan ini. Bahkan seluruh
dunia!" sahut Eyang Wiratma pongah.
"Hm.... Karena itu kau membantai para pendekar?" tebak Rangga langsung.
"Ha ha ha"! Kau memang terlalu cerdik, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kau tidak bisa mengalahkan
aku!" Rangga menggumam kecil. Sedangkan Eyang
Wiratma menggeser kakinya ke belakang beberapa tindak. Mereka saling menatap tajam, seakan-akan sedang mengukur kekuatan satu sama lain. Laki-laki tua
berjubah putih itu menggeser kakinya ke samping beberapa tindak, dan berhenti setelah jaraknya sekitar
dua batang tombak dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tahu, saat ini kau adalah pendekar, digdaya yang tidak tertandingi. Tapi itu bukanlah penghalang besar bagiku, Pendekar
Rajawali Sakti. Kau boleh saja berbangga karena dapat lolos dari istana maut,
tapi tidak akan luput dari kematian!" terdengar dingin nada suara Eyang Wiratma.
Rangga hanya diam saja memperhatikan lakilaki tua itu yang sudah mencabut senjatanya berupa
tongkat pendek berwarna merah menyala. Ujung-ujung
tongkat itu dipegang dengan kedua tangannya, lalu
perlahan ditarik hingga sepanjang rentangan tangannya. Wuk! Wuk...!
Tangkas sekali tongkatnya dikebutkan, kemudian diputar-putar cepat bagai baling-baling. Kini bentuk tongkat itu jadi
hilang, dan yang terlihat hanya bu-latan lingkaran merah membentuk perisai.
Memang sepertinya permainan tongkat itu tidak berarti. Tapi
mendadak saja, Rangga merasakan adanya aliran hawa panas yang semakin lama semakin menyengat kulit
"Hawa racun...," desis Rangga perlahan.
Memang dari tongkat merah itu memancar hawa racun yang mengandung udara panas menyengat
kulit, yang semakin lama semakin terasa. Meskipun
disadari kalau dirinya memiliki kekebalan terhadap segala jenis racun, tapi
Pendekar Rajawali Sakti mencoba menandinginya dengan mengerahkan hawa murni
yang dipusatkan pada aliran jalan darah.
Rangga tetap berdiri tenang, dan tak sedikit
pun terpengaruh oleh serangan hawa racun yang dibuat oleh Eyang Wiratma melalui senjata tongkat merahnya. Sikap Pendekar Rajawali Sakti itu membuat
kening Eyang Wiratma jadi berkerut juga. Serangannya
semakin diperhebat, disertai pengerahan seluruh kekuatan untuk melumpuhkan pemuda berbaju rompi
putih itu. Wajah laki-laki tua itu sampai memerah, karena seluruh kekuatannya
dikerahkan dalam menyalurkan hawa racun dari tongkat merah kebanggaannya. "Hm..." Rangga tersenyum melihat laki-laki tua itu semakin memperhebat
serangannya. "Bocah setan...!" geram Eyang Wiratma merasa kewalahan juga.
Tiba-tiba saja laki-laki tua berjubah putih itu
berteriak nyaring melengking tinggi. Maka seketika tubuhnya melesat cepat
menerjang Pendekar Rajawali
Sakti. Sungguh luar biasa serangannya kali ini. Tongkat merah yang dikebutkan tiga kali itu menimbulkan
suara angin menderu bagai topan.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Tepat ketika ujung tongkat Eyang Wiratma meluruk ke arah dada, cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti merapatkan kedua tangannya di depan dada.
Dan,... "Hih!"
Tap! Ujung tongkat yang runcing berwarna merah
menyala itu terjepit erat di kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Hal
ini membuat Eyang Wiratma
terkejut setengah mati. Dicobanya untuk menarik pulang tongkatnya, namun jepitan tangan Rangga begitu
kuat. Akibatnya, sukar baginya untuk melepaskan
tongkat itu. Eyang Wiratma mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, tapi tetap saja jepitan itu tidak bergeming sedikit pun.
"Hih! Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalam, Eyang Wiratma menghentakkan tongkatnya
kuat-kuat. Pada saat yang bersamaan, kakinya menendang ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
manis sekali Rangga mengegoskan tubuhnya, sehingga
tendangan itu hanya lewat di samping pinggang. Pada
saat yang sama, Rangga menghentakkan tangannya ke
atas tanpa melepaskan jepitan pada ujung tongkat merah itu. "Hiyaaa...!"
Wut! "Whaaa...!"
Eyang Wiratma terpekik kaget ketika tiba-tiba
tubuhnya melayang terangkat ke udara. Dan tanpa
dapat dicegah lagi, laki-laki tua itu terpental jauh me-lambung tinggi ke
angkasa. Namun begitu tubuhnya
berada di udara, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti mengejar sambil
mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'.
"Hiyaaat...!" Rangga berteriak keras melengking.
Dua kali tangan Rangga mengibas ke tubuh laki-laki tua berjubah putih itu. Sementara Eyang Wi
Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ratma sendiri tidak bisa lagi menguasai keseimbangan
tubuhnya. Dengan demikian tidak mungkin lagi serangan Pendekar Rajawali Sakti dihindarinya. Maka, tepat sekali kedua tangan Rangga
yang mengembang lebar
berkelebat membabat tubuh Eyang Wiratma.
"Aaa...!" Eyang Wiratma menjerit melengking tinggi. Tubuh laki-laki tua itu
meluncur turun ke bawah. Dan sebelum sempat menyentuh tanah, Rangga
sudah cepat mengejar. Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras disertai pengerahan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Sepasang kakinya bergerak cepat, langsung menghantam kepala Eyang Wiratma. Tak
ada lagi jeritan yang terdengar. Laki-laki tua itu sudah tewas sebelum tubuhnya
menghantam tanah. Ringan
sekali Rangga menjejakkan kakinya di tanah. Ditariknya napas panjang, seraya memandangi mayat lakilaki tua berjubah putih itu.
*** Rangga memutar tubuhnya, langsung memandang pohon tempat Eyang Wiratma muncul tadi. Dengan sekali lesat saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah
mencapai pohon itu. Perlahan pohon itu diputari. Seketika matanya terbeliak melihat Talia tergeletak di tanah dengan tubuh hampir
tertutup dedaunan kering.
"Talia...!"
Bergegas Rangga mengangkat tubuh gadis itu,
dan membawanya ke tempat yang lebih baik. Dibaringkannya kembali gadis itu. Sebentar Rangga memeriksa tubuh Talia, kemudian menggerakkan jari-jari
tangannya ke beberapa bagian tubuh gadis itu.
"Ohhh...," Talia merintih seraya menggelenggelengkan kepala.
Gadis itu langsung menggerinjang bangkit duduk begitu tersadar dari pengaruh totokan. Dipandanginya Rangga dalam-dalam, kemudian beralih pada
seorang laki-laki tua berjubah putih yang tergeletak
berlumuran darah tidak jauh dari tempat ini. Kembali
Talia mengalihkan pandangannya ke arah Rangga yang
juga tengah memandang padanya. Kelihatan sekali kalau gadis itu hendak meminta penjelasan.
"Apa yang terjadi padaku, Kakang?" tanya Talia.
Talia mengedarkan pandangan ke sekeliling,
dan langsung terpaku pada bangunan istana yang
hancur berantakan. Bangunan itu tidak berbentuk lagi, dan telah hancur berkeping-keping menjadi puingpuing yang tak bisa ditempati lagi.
"Kau terkena totokan pada jalan darahmu," jelas Rangga.
"Oh! Kita harus membebaskan ayah secepatnya, Kakang. Ayah ada di lembah," kata Talia.
"Dari mana kau tahu?" tanya Rangga.
"Eyang Wiratma yang mengatakannya padaku.
Dia sempat membebaskan totokan pada bagian kepalaku. Katanya, sebentar lagi ayah akan mati. Mereka
kemudian akan menguasai seluruh wilayah Kerajaan
Mandalika, setelah menggulingkan Prabu Yudanegara.
Tapi yang jelas, mereka ingin membunuhmu lebih dulu
agar tidak menjadi penghalang," tutur Talia.
"Kau sudah tahu, lalu kenapa pakai tanya segala?" dengus Rangga.
"Maksudku hanya ingin meyakinkan saja, Kakang. Soalnya tadi aku antara sadar dan tidak," sahut Talia beralasan.
Rangga bangkit berdiri, lalu mengulurkan tangannya pada gadis itu. Talia langsung menerimanya
dengan bibir mengulas senyuman manis. Gadis itu
bang-kit berdiri dibantu Pendekar Rajawali Sakti.
'Talia. Kau tahu, siapa biang keladi semua ini?"
tanya Rangga seraya mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.
"Sambung Wulung," sahut Talia yang berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau yakin?"
"Sejak semula aku sudah yakin kalau dialah
biang keladinya. Hanya saja aku belum punya bukti
kuat. Dan ayah sendiri juga sudah tahu kalau Sambung Wulung selalu membuat keonaran di Kerajaan
Mandalika ini."
"Kenapa ayahmu pura-pura tidak tahu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Sengaja, karena tidak ingin menyakitkan hati
Gusti Prabu. Ayah terlalu menghormati dan mencintainya. Apalagi Sambung Wulung menantu satu-satunya Gusti Prabu yang sangat disayang. Ayah sudah
berkorban banyak. Tapi, rupanya Sambung Wulung
selalu saja mengusik kehidupan ayah. Padahal ayah
sendiri juga, sudah berjanji tidak akan mencampuri
urusannya dalam menggulingkan tahta Gusti Prabu
Yudanegara."
"Aku bisa menghargai kesetiaan ayahmu, Talia," ujar Rangga agak bergumam.
"Ya.... Ayah memang terlalu setia pada Gusti
Prabu, tapi kadang-kadang membuatku jengkel. Kalau
saja ayah mau, sudah dari dulu si keparat itu mampus!' agak jengkel terdengar nada suara Talia.
Rangga terdiam. Memang sukar dicari nilai kesetiaan seseorang. Ki Sara Denta rela mengorbankan
segalanya demi kesetiaannya pada Prabu Yudanegara.
Bahkan rela dihina dengan berpura-pura menjadi gila.
Semua itu dilakukan agar Prabu Yudanegara tetap
menduduki tahta. Raden Sambung Wulung memang
tidak akan mungkin menduduki tahta selama Prabu
Yudanegara belum mangkat. Apalagi untuk merebut
tahta secara kekerasan. Karena, itu akan membangkitkan kemarahan seluruh rakyat Kerajaan Mandalika.
Tidak ada gunanya menjadi raja jika rakyat tidak menyukai, bahkan malah membencinya. Bisa-bisa setiap
hari yang diurusi hanya pemberontakan saja.
Tapi rupanya pemuda itu tidak sabar lagi. Terlebih lagi setelah merasa gagal menyingkirkan Pendekar Rajawali Sakti. Memang matang rencana Raden
Sambung Wulung. Dia tahu kalau Ki Sara Denta memiliki banyak teman dari kalangan pendekar. Bahkan
Prabu Yudanegara sendiri menganggap seluruh pendekar di dunia ini adalah sahabatnya.
Raden Sambung Wulung sengaja melenyapkan
para pendekar untuk mengurangi kekuatan yang akan
dihadapi. Ya! Caranya adalah mencemarkan seluruh
lantai istana dengan racun. Hal itu bisa dilakukan
berkat bantuan Eyang Wiratma yang memang terkenal
pembuat racun ganas. Dan sekarang Pendekar Rajawali Sakti tinggal menangkap biang keladinya.
*** Raden Sambung Wulung terkejut ketika tibatiba Pendekar Rajawali Sakti muncul di depannya.
Saat itu dia tengah bercengkerama bersama istrinya,
putri tunggal Prabu Yudanegara. Keterkejutan Raden
Sambung Wulung semakin bertambah ketika Talia
muncul juga. "Kau terkejut, Sambung Wulung...?" terdengar sinis nada suara Talia.
'Talia..., seharusnya kau sudah mati!" desis Raden Sambung Wulung.
"Itu perkiraanmu, Sambung Wulung. Racun
yang kau berikan pada minumanku tidak berarti sama
sekali bagi diriku. Kau lupa, Sambung Wulung. Eyang
Guru telah memberiku ilmu untuk memunahkan segala jenis racun yang kau pelajari," ketus kata-kata Talia.
"Setan...! Seharusnya kupenggal kepalamu, Talia!" geram Raden Sambung Wulung.
Raden Sambung Wulung melirik Rara Ayu Arsih yang berada di sampingnya. Terlintas satu pikiran licik di benaknya. Dengan
cepat tangannya hendak
menjambret pergelangan tangan wanita itu. Namun belum juga tangannya sampai, mendadak saja Rangga
menghentakkan kakinya, menendang kerikil yang ada
tepat di ujung jari kakinya. Batu kerikil itu melesat bagai kilat menghantam
pergelangan tangan Raden Sambung Wulung. "Akh...!" Raden Sambung Wulung terpekik.
Dia langsung menarik tangannya kembali. Sementara itu, cepat sekali Talia melompat menyambar
tubuh Rara Ayu Arsih hingga mereka jatuh bergulingan menjauhi Raden Sambung Wulung.
"Ada apa ini..."!" sentak Rara Ayu Arsih tidak mengerti.
Wanita cantik itu buru-buru bangkit berdiri.
Tapi belum juga berlari ke arah suaminya, Talia sudah mencekal tangannya. Wanita
itu mencoba memberon-tak, tapi cekalan tangan Talia begitu kuat.
"Nanti akan ku jelaskan, Gusti Ayu," kata Talia.
"Talia...! Kau putri Panglima Sara Denta, bukan...?" "Benar, Gusti Ayu. Nanti ku jelaskan persoalannya," sahut Talia lembut.
Sementara Talia menjelaskan persoalannya,
Raden Sambung Wulung berteriak memanggil pengawal. Tapi yang datang bukan prajurit pengawal kerajaan, melainkan orang-orang
berpakaian serba hitam yang
pada bagian dadanya terdapat gambar naga. Bukan
hanya Rangga dan Talia yang terkejut, tapi juga Rara
Ayu Arsih juga terkejut melihat kemunculan orangorang berbaju hitam itu.
"Serang mereka! Semuanya...!" seru Raden
Sambung Wulung lantang.
"Kakang...!" sentak Rara Ayu Arsih terkejut mendengar perintah suaminya barusan.
"Kau juga harus mati, Arsih! Ha ha ha...!"
Tidak kurang dari seratus orang berpakaian
serba hitam itu berlompatan menyerang Rangga, Talia,
dan Rara Ayu Arsih. Tentu saja wanita yang tidak
mengetahui tentang ilmu olah kanuragan itu jadi terbeliak tidak percaya. Tapi tangkas sekali, Talia selalu menye-lamatkannya dari
ancaman senjata orang-orang
berbaju hitam yang menyerang ganas. Sementara
Rangga juga sudah harus menghadapi keroyokan dari
orang yang jumlahnya begitu besar.
"Hiyaaat..!"
Sret! Pendekar Rajawali Sakti langsung, mencabut
Pedang Rajawali Sakti. Seketika sinar biru menyemburat menyilaukan mata. Rangga kini tidak tanggungtanggung lagi. Langsung dikerahkannya jurus 'Pedang
Pemecah Sukma' yang belum ada tandingannya sampai saat ini. Dengan pedang di tangan dan disertai jurus dahsyat itu, Rangga
bagaikan malaikat maut pencabut nyawa. Pedang bersinar biru itu berkelebat cepat tak terbendung lagi, ditambah gerakan tubuh yang lincah dan
cepat. Setiap kali pedang itu berkelebat, tiga atau empat nyawa melayang. Belum
lagi pukulan-pukulan
dahsyatnya yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna. Tentu saja hal ini membuat para penyerangnya tak mampu lagi mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Melihat orang-orangnya jadi kacau berantakan,
Raden Sambung Wulung mencoba melarikan diri. Namun tindakannya cepat diketahui Rangga yang memang sejak tadi terus memperhatikannya. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat melewati beberapa kepala sambil membabatkan
pedangnya. Jeritan-jeritan menyayat masih terdengar saling sahut. Sementara Talia juga tidak mau kalah. Gadis itu mengamuk
sambil melindungi Rara Ayu Arsih yang semakin pucat
wajahnya. "Mau lari ke mana kau..."!" bentak Rangga begitu menjejakkan kakinya di depan
Raden Sambung Wulung. Pemuda itu jadi pucat wajahnya. Disadari kalau kemampuannya tidak akan
sanggup menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum menantu Prabu
Yudanegara itu melakukan sesuatu, Rangga sudah
bergerak cepat mengibaskan pedangnya ke arah leher
pemuda itu. Sesaat Raden Sambung Wulung terbeliak,
dan tidak mampu berkelit lagi. Akibatnya....
Cras! "Aaa...!" Raden Sambung Wulung menjerit keras menyayat. Sebentar menantu Prabu Yudanegara itu masih
mampu berdiri tegak, kemudian ambruk dengan leher
terbabat hampir buntung. Darah langsung muncrat
keluar dari leher yang menganga lebar. Raden Sambung Wulung menggeliat beberapa saat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan keras yang
datang dari arah istana kecil di lembah ini. Tampak para prajurit Kerajaan Mandalika berlarian sambil mengacung-acungkan pedang
di atas kepala.
Melihat kedatangan para prajurit itu, orang-orang berbaju hitam bergambar naga
di dada, langsung berlompatan kabur. Tapi para prajurit yang sebagian menunggang kuda itu langsung mengejar. Sementara itu
terlihat Prabu Yudanegara memacu cepat kudanya. Dia
langsung melompat turun menghampiri putrinya.
"Ayah...!" seru Rara Ayu Arsih.
Wanita itu langsung memeluk dan menangis
dalam pelukan Prabu Yudanegara. Sementara Talia
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang sudah
memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka
di punggung. "Ayah sudah tahu semuanya. Tabahlah, Anakku...," ucap Prabu Yudanegara lembut.
Rara Ayu Arsih masih menangis terisak dalam
pelukan ayahnya. Sementara Prabu Yudanegara memandang Pendekar Rajawali Sakti dan Talia. Kedua
mata laki-laki tua itu merembang berkaca-kaca.
"Terima kasih...," ucap Prabu Yudanegara agak tersendat. "Seharusnya aku sudah
bertindak dari dulu.
Sudah lama aku menaruh kecurigaan padanya,
tapi belum punya bukti kuat. Yaaah, semuanya memang sudah digariskan sang Hyang Widi.
Rangga dan Talia hanya diam saja.
'Talia, kau bisa menemui ayahmu di istana,"
sambung Prabu Yudanegara lagi.
Talia memandang Rangga sejenak. Sementara
Pendekar Rajawali Sakti 80 Istana Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Rajawali Sakti hanya menganggukkan kepalanya sedikit. Talia membungkukkan tubuhnya memberi hormat pada Prabu Yudanegara, kemudian berlari
kecil menuju istana kecil di lembah ini. Sedangkan
Prabu Yudanegara semakin erat memeluk putrinya.
Diam-diam Rangga mengayunkan kakinya meninggalkan tempat ini. Bibirnya tersenyum melihat tangis kebahagiaan dari semua penghuni lembah ini, meskipun
ada seseorang yang berduka karena kehilangan suaminya. Suami yang mengkhianati kepercayaan, demi
mencapai kekuasaan. Ya! Kekuasaan, harta, dan kedudukan memang membuat orang silau.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hong Lui Bun 4 Misteri Pulau Neraka Ta Xia Hu Pu Qui Karya Gu Long Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama