Ceritasilat Novel Online

Ratu Bukit Brambang 1

Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang Bagian 1


RATU BUKIT BRAMBANG Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Fuji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Ratu Bukit Brambang
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 "Aaa...!"
Suatu jeritan melengking terdengar memecah
keheningan malam. Bulan yang bersinar penuh, langsung redup tertutup awan hitam. Seakan-akan, sang
dewi malam tersentak mendengar jeritan panjang yang
menyayat hati tadi. Belum lagi gema jeritan tadi hilang, mendadak terdengar
suara genderang dipukul bertalu-talu. Suara itu datang dari sebuah bukit yang
curam dan terlihat rapuh.
Cahaya dari api unggun menyemburat, menerangi tengah-tengah bukit itu. Sekitar sepuluh orang
tampak berdiri berjajar mengeliling api unggun. Tampak sesosok tubuh menggeliat-geliat terpancang di
tiang, di tengah-tengah api unggun, Jeritan-jeritan melengking kembali terdengar
menyayat. Api yang besar kembali menjilati tubuh yang terpancang di tiang itu.
Tidak jauh dari api itu, tampak seorang wanita mengenakan jubah panjang berwarna merah menyala. Tangannya terangkat tinggi-tinggi ke atas.
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang ketika tangan wanita berjubah merah menghentak ke depan. Api
langsung berkobar membesar, menimbulkan percikan
dan suara gemuruh dari kayu-kayu yang terbakar.
Tampak di dalam api itu, sesosok tubuh menggeliat-geliat, kemudian diam lunglai tidak bergerakgerak lagi. "Hi hi hi...!"
Sambil memperdengarkan suara mengikik, perempuan berjubah merah panjang itu berbalik. Tampak raut wajahnya yang menyerupai tengkorak, hampir tertutup rambut panjang terurai. Sepuluh orang
yang mengelilinginya, menjatuhkan diri dan berlutut
dengan kepala tertunduk. Mereka semua adalah wanita muda dengan wajah cantik. Pakaian mereka semua
berwarna merah dengan ikat pinggang berwarna kuning emas. Suara genderang yang dipukul bertalu-talu oleh
seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, kini berhenti terdengar. Penabuh
genderang itu juga berlutut dengan kepala tertunduk menekuri tanah. Sebentar
wani- ta berjubah merah dan berwajah bagai tengkorak itu
memandang berkeliling, kemudian tertawa terbahakbahak. "Hi hi hi...!"
Tangan kanan wanita berwajah tengkorak itu
terangkat perlahan-lahan. Kemudian salah seorang
wanita bangkit berdiri, membawa sebuah baki dengan
sebuah cawan di atasnya. Kakinya melangkah perlahan-lahan mendekati, lalu berlutut di depan perempuan berjubah merah itu. Dengan sikap hormat, diberikannya baki itu.
Wanita berjubah merah itu mengambil cawan
dari atas baki yang disodorkan. Diangkatnya cawan itu tinggi-tinggi, lalu
berbalik menghadap api yang masih berkobar besar. Mulutnya bergerak-gerak,
kemudian perlahan-lahan tangannya turun. Ditenggaknya isi cawan itu, dan cawannya dibuang ke dalam api. Maka
mendadak saja api itu padam.
"Ha ha ha..!" perempuan berjubah merah itu
kembali tertawa terbahak-bahak. "Akulah Ratu Bukit Brambang! Mulai saat ini,
setiap malam harus ada
persembahan darah dari seorang laki-laki muda yang
sehat dan perkasa! Ha ha ha...!"
"Hamba akan melayani Yang Mulia Gusti Ratu...!" sahut semua orang yang berada di puncak bukit itu, bersamaan.
"Bagus! Kalian memang harus patuh pada perintahku! Siapa yang mencoba membangkang, yang
pantas hanya hukuman mati!" mantap dan lantang
suara wanita berjubah merah yang wajahnya mirip
tengkorak itu. "Bakti, Yang Mulia Gusti Ratu...!"
"Ha ha ha...!" perempuan berjubah merah yang mengangkat dirinya sebagai Ratu
Bukit Brambang ini
tertawa terbahak-bahak.
Sebentar Ratu Bukit Brambang memandang
berkeliling, kemudian melangkah perlahan-lahan. Sepuluh orang wanita dan seorang laki-laki bertubuh tegap, bergegas berdiri. Mereka berjalan mengikuti dari belakang. Laki-laki tegap
dan berkulit agak hitam itu melangkah paling belakang membawa genderang di
pundaknya. Mereka berjalan beriringan perlahan-lahan, melintasi
bukit ini. Suasana di Bukit Brambang itu kini menjadi hening. Tidak lagi
terdengar suara, kecuali desir angin malam saja yang menggaung di sekitar bukit
itu. Malam terus merayap semakin larut. Sementara bulan
pun kembali bersinar penuh, menyibak awan hitam
yang tadi sempat menghalanginya.
*** Kabut masih menyelimuti sebagian permukaan
bumi. Matahari belum lagi sempurna menampakkan
diri. Di sebelah Barat Bukit Brambang, tampak sebuah
per-kampungan yang tidak begitu besar. Namun bila
dilihat dari bentuk rumah yang ada, dapat dipastikan
kalau perkampungan itu sangat makmur. Hari memang masih sangat pagi, tapi penduduk Desa Gedangan ini sudah banyak yang ke luar. Bahkan tidak sedikit yang sudah sibuk di ladangnya.
Saat matahari sudah muncul sempurna di ufuk
Timur, seluruh penduduk Desa Gedangan tidak ada
lagi yang berada di dalam rumah. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Anak-anak berlarian
menuju ke sungai. Gadis-gadis bergerombol membawa
rinjing cucian dengan canda tawa serta senda gurau
mereka yang mewarnai pagi nan cerah ini. Ditingkahi
lenguhan lembu dan kicauan burung di dahan-dahan,
suasana pagi memang terasa indah.
Anak-anak muda duduk bergerombol menggoda
gadis-gadis yang hendak pergi ke sungai. Segala macam celotehan dan gurauan mewarnai canda mereka.
Dan semua yang terjadi pagi ini, selalu terjadi
di pagi-pagi sebelumnya. Keceriaan memang selalu
mewarnai Desa Gedangan. Tak ada kemurungan
membias di wajah mereka. Terlebih lagi, saat masa panen sudah dekat. Sehingga membuat keceriaan semakin bertambah di wajah mereka.
Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau di
lereng bukit dekat sungai, terlihat dua orang wanita
berbaju merah duduk di atas punggung kuda. Dua
orang wanita berwajah cantik itu memperhatikan sekelompok pemuda yang tengah menggoda gadis-gadis.
"Mana yang kau pilih, Widarti?" tanya salah seorang dari dua wanita yang
menunggang kuda di lereng bukit itu.
"Menurutmu, mana yang lebih baik, Karina?"
Widarti balik bertanya.
"Hm...," wanita yang bernama Karina hanya
menggumam tidak jelas. Dia sendiri bingung untuk
menentukan salah satu dari sekian banyak pemuda di
tepi sungai itu.
Desa Gedangan memang terkenal dengan gadisgadisnya yang cantik-cantik, serta pemudanya yang
tampan-tampan dan gagah-gagah. Tidak heran kalau
kedua wanita di lereng bukit itu kebingungan untuk
memilih. Mereka memandangi satu persatu sekelompok pemuda yang belum juga menyadari kalau tengah
diincar. "Bagaimana kalau yang memakai baju hijau, Karina?" Widarti meminta
pendapat. "Yang di bawah pohon kenanga itu?"
"Iya. Kelihatannya, dia lebih tampan dari yang
lain. Lagi pula, dia menyendiri. Jadi, mudah untuk
membawa nya."
"Penglihatanmu tajam juga, Widarti," puji Karina.
"Ayolah, selagi masih pagi."
Kedua wanita berbaju merah dan berikat pinggang kuning keemasan itu melompat turun dari punggung kuda. Mereka berlompatan menuruni lereng bukit, dengan gerakan yang sungguh ringan dan cepat.
Sehingga dalam sebentar saja, mereka sudah berada di
belakang seorang pemuda berbaju hijau yang tengah
duduk menyendiri di bawah pohon kenanga.
"Ehm-ehm...!" Widarti mendehem.
"Eh...!" pemuda itu terkejut, dan langsung menoleh. "Boleh bertanya, Kisanak?"
lembut suara Widarti. "Boleh..., boleh," sahut pemuda itu agak tergagap. Buruburu pemuda itu bangkit berdiri. Agak
heran juga dia melihat dua orang wanita cantik tahutahu sudah di belakangnya.
"Kisanak tahu, di mana Padang Saga?" tanya Widarti, tetap lembut suaranya.
"Padang Saga..."!" pemuda itu terkejut. Wajahnya langsung pucat mendengar tempat
yang dis- ebutkan itu. "Kenapa, Kisanak?"
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut saja," sahut pemuda itu
tergagap. "Untuk apa Nisanak berdua menanyakan tempat itu?" "Kami dengar, di sana tempat tumbuhnya jamur obat yang sangat mujarab. Orangtua kami sakit
keras. Dan tabib menyarankan agar mencari obat dari
jamur yang tumbuh di Padang Saga," kata Widarti, jelas semua itu hanya alasannya
saja. Paling tidak, untuk memancing pemuda itu menjauh dari keramaian.
Memang, di sana tumbuh sejenis jamur untuk
obat. Tapi sangat sukar mencapai ke sana, karena daerah itu kini dikuasai seorang perempuan iblis yang
sangat kejam. Sekarang ini, tidak ada orang yang berani ke sana. Kalaupun ada, tidak akan pernah kembali lagi," jelas pemuda itu.
"Tapi kami harus ke sana. Kau bersedia mengantarkannya, Kisanak?" bujuk Widarti.
Pemuda itu ragu-ragu menjawab. Dipandanginya kedua wanita itu bergantian. Ada rasa iba dan
sayang kalau wanita secantik ini harus menjadi korban keganasan perempuan iblis
yang menguasai Padang
Saga. "Kami tidak memintamu untuk mengantarkan
sampai ke sana. Cukup menunjukkan jalannya saja.
Kalau sudah dekat, biar kami saja yang ke sana," kata Widarti mengetahui kalau
pemuda itu kelihatan ragu-ragu.
"Kalau boleh kuberi saran, sebaiknya urungkan
saja niat Nisanak berdua," ujar pemuda itu.
"Sudah jauh kami berjalan. Dan rasanya tidak
akan mundur lagi, apa pun yang akan terjadi," mantap kata-kata Widarti.
"Baiklah. Aku akan mengantarkan kalian. Tapi
hanya sampai di persimpangan jalan saja. Setelah itu, kalian sendiri yang ke
sana," pemuda itu menyerah.
"Terima kasih," ucap Widarti senang.
Mereka bergegas berangkat. Widarti lalu mengerling pada Karina yang sejak tadi diam saja. Kedua
wanita cantik berbaju merah menyala itu berjalan di
belakang pemuda yang tidak menyadari kalau dirinya
tengah terjebak. Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak semakin jauh, meninggalkan sungai. Mereka kemudian merambah hutan, menuju ke jalan setapak yang agak mendaki.
Jalan setapak itu kelihatan tidak pernah lagi dilalui manusia. Rumput-rumput mulai tinggi menyemaki, hampir menutupi jalan kecil itu. Pemuda yang berjalan di depan, berhenti melangkah setelah sampai pada persimpangan jalan yang bercabang tiga. Tubuhnya
berbalik, dan memandang kedua wanita cantik di belakangnya. "Maaf. Aku sampai di sini saja. Kalian bisa terus mengikuti jalan ini. Tidak berapa jauh lagi, Padang Saga bisa kalian
temukan," kata pemuda itu.
"Kau baik sekali. Tapi sayang, kami harus
membawamu," kata Widarti dengan bibir mengulas senyum. "Heh...!" pemuda itu
terkejut. Tapi belum sempat pemuda itu menyadari apa
yang terjadi, mendadak Karina sudah bergerak cepat
menotok jalan darahnya. Widarti buru-buru menyangga tubuh pemuda yang kini lunglai tertotok jalan darahnya. "Gusti Ratu pasti senang menerima persembahan kita ini, Karina," kata Widarti.
"Benar. Tapi kita harus cepat sebelum ada
orang yang melihat," kata Karina.
"Cepatlah kau ambil kuda, Karina. Aku tunggu
di sini." "Jangan ke mana-mana, aku pasti segera kembali." "Cepatlah!"
Karina melesat cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat cukup
tinggi. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
dari pandangan mata. Sementara Widarti menarik tubuh pemuda yang sudah lemas tertotok jalan darahnya. Disandarkannya pemuda itu pada sebatang pohon
yang cukup rindang. Sedangkan dia sendiri duduk di
sampingnya. Matanya tidak lepas merayapi wajah
tampan itu. Entah kenapa, bibirnya tersenyum. Dan


Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya mengusap-usap wajah pemuda itu dengan
lembut. *** "Hi hi hi...! Bagus! Kau memang muridku yang
paling hebat, Widarti," puji perempuan berjubah merah. "Bukan hanya hamba
sendiri, Yang Mulia Gusti Ratu. Hamba dibantu Karina," jelas Widarti, seraya
melirik Karina yang duduk bersimpuh di sampingnya.
"Kalian patut mendapat hadiah dariku. Datanglah ke bilikku tengah malam nanti."
'Terima kasih, Gusti Ratu," ucap Widarti dan
Karina bersamaan.
Perempuan berjubah merah dan berwajah bagai
tengkorak itu melangkah meninggalkan dua orang wanita cantik yang mengenakan baju warna merah juga.
Mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama
tersenyum. Widarti bergegas mengajak Karina keluar
dari ruangan besar berlantaikan batu pualam putih
ini. Wajah mereka cerah, dengan bibir menyungging
senyum. "Mudah-mudahan saja, Gusti Ratu memberi,
kita satu ilmu yang tangguh, Karina," kata Widarti sambil terus melangkah keluar
dari ruangan besar itu.
"Kalau Gusti Ratu menawarkan, kau ingin minta apa?" tanya Karina.
Kedua wanita itu terus saja melangkah keluar
dari bangunan besar bagai istana yang terletak di puncak Bukit Brambang.
Beberapa orang wanita terlihat di sekitar halaman berumput itu. Mereka yang
tengah berlatih ilmu olah kanuragan, segera menghentikan latihannya dan langsung mengerumuni Widarti dan Karina. "Hebat kau, Widarti. Pasti Gusti Ratu memberi kalian hadiah besar," puji
salah seorang dengan perasaan kagum.
"Minta saja ilmu kesaktian yang tinggi," sambung seorang lagi mengusulkan.
"Benar. Di antara kita semua, hanya kau yang
paling tinggi tingkat kepandaiannya."
Widarti dan Karina jadi berbunga hatinya. Mereka tidak bisa berkata-kata lagi, kecuali tersenyum
dengan wajah cerah menerima pujian dan saran-saran
teman-temannya. Kedua wanita itu kemudian ikut berlatih memantapkan ilmu-ilmunya yang dipelajari dari
pemimpin, sekaligus guru mereka dalam ilmu olah kanuragan. Sementara hari terus merayap semakin tinggi.
Siang pun berganti senja, dan terus bergerak menjadi
malam. Udara yang panas di sekitar bukit itu, kini berubah dingin bagaikan
terselimut salju yang membekukan. Tampak cahaya api membias di tengah-tengah
dataran luas di depan bangunan besar bagai istana
yang hanya satu-satunya di puncak Bukit Brambang
itu. Suasana sunyi senyap mewarnai sekitar puncak bukit itu. Deru angin malam terasa kencang membawa udara dingin menggigilkan tulang. Tidak ada seorang pun yang terlihat, kecuali dua orang wanita cantik berbaju merah. Mereka adalah Widarti dan Karina.
Kedua wanita itu tengah berjalan mendekati sebuah
mulut gua yang terletak di bagian kanan bangunan besar bagai istana yang bagian belakangnya menempel
pada dinding tebing batu cadas.
Widarti dan Karina berlutut di depan mulut
gua. Kepala mereka tertunduk menekuri tanah berumput lembab tersiram titik-titik air embun. Sementara, malam terus merayap semakin larut. Angin yang
berhembus kencang membawa udara dingin tidak dipedulikan. Mereka tetap berlutut dengan kepala tertunduk dalam. "Masuklah kalian...!"
Terdengar suara kering dari dalam gua itu. Widarti dan Karina beranjak bangkit, kemudian melangkah perlahan-lahan memasuki gua itu. Keadaan di dalam sangat gelap, sehingga tidak bisa melihat apa-apa.
Namun begitu kaki mereka menginjak bagian tengah,
mendadak ruangan gua jadi terang-benderang. Entah
bagaimana datangnya, tahu-tahu di depan mereka terdapat seonggok kayu bakar yang menyala termakan
api. Di balik api, terlihat seorang wanita berambut
panjang terurai tengah duduk bersila di atas sebuah
altar batu pualam putih berkilat. Di sampingnya, tampak tergolek seorang pemuda bertelanjang dada. Pemuda berwajah tampan itu hanya tertutup selembar
kain merah dari batas pinggang ke bawah. Widarti
sempat melirik pada pemuda yang dibawanya siang tadi untuk ratunya.
"Seperti yang kukatakan siang tadi pada kalian,
aku akan memberi hadiah sebagai tanda terima kasihku pada kalian. Suatu hadiah yang tidak bisa kalian
duga sebelumnya," kata wanita berjubah merah yang selalu dipanggil Ratu Bukit
Brambang itu. 'Terima kasih, Gusti Ratu," ucap Widarti dan
Karina bersamaan.
"Kalian lihat itu..."!" Ratu Bukit Brambang menunjuk sebuah kotak yang tertutup
rapat, terletak di
sebelah kanan Widarti.
Kedua gadis itu menoleh ke arah yang ditunjuk
Ratu Bukit Brambang.
"Di dalam kotak itu terdapat sepasang pedang
yang sudah kupersiapkan untuk siapa saja yang berhasil membawa seorang pemuda pertama kali padaku.
Dan kalian yang berhasil. Maka, senjata pusaka itu
menjadi hak kalian."
Widarti dan Karina saling berpandangan. Mereka tahu, pedang itu adalah senjata pusaka yang dibanggakan Ratu Bukit Brambang. Keampuhannya tidak tertandingi sampai saat ini. Dengan sepasang pedang itu, Ratu Bukit Brambang telah berhasil menaklukkan rimba persilatan.
"Ambillah. Dan gunakan senjata itu sebaik
mungkin. Terutama, gunakan untuk mempertahankan
diri. Sebab aku mempercayakan kalian berdua untuk
me-mimpin yang lain, di saat aku tengah memusatkan
diri menyempurnakan ilmu-ilmuku," ujar Ratu Bukit Brambang.
Widarti memberi hormat, kemudian mengambil
kotak itu. Matanya agak terbeliak begitu tutup kotak terbuka. Tampak sepasang
pedang berwarna merah
berada di dalam kotak yang berlapis kain beludru merah berkilat. Widarti mengambil satu pedang, dan
memberikannya pada Karina. Kemudian satu nya lagi
diambil untuknya sendiri.
"Sarung pedang itu sudah ada di kamar kalian
masing-masing. Nah, sekarang keluarlah. Masih banyak yang harus kukerjakan malam ini."
"Hamba mohon pamit, Gusti Ratu," ucap Widarti dan Karina bersamaan.
Kedua wanita itu membungkuk memberi hormat, kemudian melangkah mundur keluar dari gua itu.
Mereka baru berbalik setelah berada di luar, dan bergegas melangkah pergi kembali ke bangunan besar bagai istana itu. Wajah mereka berseri-seri karena mendapatkan senjata yang selalu diinginkan seluruh pengikut Ratu Bukit Brambang.
Sementara di dalam gua, wanita berjubah merah dan berwajah bagai tengkorak itu memandang pemuda, yang tergolek di sampingnya. Sepasang bola
matanya berkilat. Terdengar tawanya yang mengikik
kecil dan bernada kering. Kemudian tangan kanannya
mengebut ke arah api yang berkobar melahap kayu di
tengah-tengah ruangan itu. Seketika api padam, dan
gua jadi gelap gulita.
"Hi hi hi..!"
Kembali terdengar suara tawa mengikik. Kemudian suara tawa itu menghilang, dan disusul desah
napas mendengus kencang. Tidak berapa lama berselang, terdengar erangan-erangan dan rintihan lirih disertai dengusan napas
memburu bagai kuda yang dipacu cepat mendaki bukit. Tidak lama hal itu berlangsung, karena sesaat kemudian terdengar jeritan melengking tinggi.
"Aaa...!" "Hi hi hi..!"
*** 2 Hari terus berjalan sesuai dengan peredaran
waktu. Dan waktu-waktu yang berjalan itu digunakan
pengikut Ratu Bukit Brambang untuk memamerkan
sepak terjangnya yang semakin merajalela. Dalam
waktu singkat saja, nama Ratu Bukit Brambang telah
melambung tinggi dan sangat ditakuti semua orang.
Dan pengaruh yang paling terasa adalah di Desa Gedangan, yang paling dekat dengan Bukit Brambang.
Desa yang biasanya selalu ceria, kini tampak muram
dan lengang. Tidak lagi terlihat anak-anak muda berkeliaran di jalan-jalan. Tidak terdengar lagi senda gurau pemuda yang menggoda
gadis-gadis. Mereka semua sepertinya takut menjadi korban Ratu Bukit
Brambang. Hampir tiap hari terdengar tangisan dan rintihan meratap dari rumah-rumah penduduk Desa Gedangan.
Bahkan ratapan yang sama juga terdengar di desadesa lain, di sekitar Bukit Brambang. Hampir tiap hari, pasti ada seorang pemuda
yang hilang tidak ketahuan
rimbanya. Para penculik itu tidak lagi menggunakan
kelembutan, tapi sudah menjurus kasar dan paksaan.
Tidak sedikit orang yang tewas dibantai, karena mencoba mempertahankan anaknya. Bahkan banyak para
pemuda yang mencoba melawan, terbunuh seketika itu
juga. Dan tidak sedikit yang dibawa pergi dalam keadaan tertotok pingsan.
Siang itu udara di sekitar Desa Gedangan terasa lebih panas daripada biasanya. Angin bertiup keras membawa udara kering.
Langit cerah tanpa sedikit pun
awan menggantung. Matahari memancarkan sinarnya
dengan garang, seakan-akan hendak membakar seluruh yang ada di permukaan bumi ini. Seekor kuda hitam bertubuh tinggi tegap berotot, tampak berjalan
perlahan-lahan melintasi jalan berdebu. Penunggangnya seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut
panjang meriap. Bajunya rompi putih, dengan pedang
bergagang kepala burung menyembul di balik punggungnya. Kuda hitam itu berhenti di pinggir galangan
pematang sawah. Penunggangnya melompat turun, lalu melangkah menghampiri seorang laki-laki tua yang
sedang duduk di pematang. Pandangannya lurus menatap padi yang menguning, siap untuk dipanen.
"Kapan dituainya, Ki?" tegur pemuda itu ramah.
"Oh...!" laki-laki tua itu terkejut langsung menoleh. "Maaf, aku mengejutkanmu."
"Tidak, Aku tadi sedang melamun, jadi tidak
tahu kalau ada orang datang."
Laki-laki tua itu menggeser duduknya untuk
memberi tempat. Maka pemuda itu duduk di sampingnya. Pandangannya menatap hamparan sawah yang
menguning. Agak heran juga dia, karena sepanjang
mata memandang tidak ada seorang pun terlihat. Burung-burung pipit tampak berpesta pora mengganyang
padi yang tidak terjaga. Pemuda itu menoleh menatap
laki-laki tua yang juga tengah memandang ke tengah
sawah. Pandangannya kosong, dan sepasang bola mata tuanya terlihat berkaca-kaca.
"Kau kelihatan sedih, Ki. Ada apa?" tanya pemuda itu hati-hati.
"Hhh...!" laki-laki tua itu menarik napas panjang dalam-dalam.
"Tidak lama lagi, padi-padi ini dituai. Tapi, tidak ada lagi yang mau
mengerjakannya. Jerih payah
selama berbulan-bulan ternyata harus ditinggal-kan
sia-sia." "Kenapa" Sayang sekali kalau padi sebagus ini harus ditinggalkan
begitu saja."
Laki-laki tua itu mendesah berat. Kepalanya
kemudian menoleh, menatap pemuda di sampingnya.
Begitu dalam, seakan-akan tengah menyelidik.
"Kau tentu bukan dari desa ini, atau desa-desa
lain di sekitar sini. Aku belum pernah melihatmu," pelan suara laki-laki tua
itu. "Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat di sini, Ki," sahut pemuda itu ramah, disertai senyum di bibir.
"Sebaiknya cepat tinggalkan desa ini. Terlalu
berbahaya bagimu. Kau seorang pemuda tampan dan
gagah. Mereka pasti menginginkanmu," agak tersendat suara laki-laki tua itu.
Pemuda itu mengerutkan keningnya, sehingga
sepasang alisnya yang tebal jadi bertaut. Sungguh sulit dimengerti, kenapa tibatiba laki-laki tua ini menyu-ruhnya segera pergi" Dan hal ini membuat pemuda itu
jadi bertanya-tanya.
Belum lagi pemuda itu sempat bertanya, mendadak laki-laki tua itu bangkit berdiri bagai terserang ribuan lebah berbisa.
Pandangannya lurus menatap ke
satu arah. Melihat hal ini, pemuda tampan berbaju
rompi putih itu jadi keheranan. Dia juga ikut berdiri, dan menoleh ke arah yang
sama dengan laki-laki tua
di sampingnya. Agak terkejut juga dia begitu melihat
ada empat orang wanita berwajah cantik tahu-tahu telah berdiri agak jauh darinya. Mereka semua mengenakan baju merah dengan sabuk berwarna kuning
keemasan. Di punggung masing-masing tersandang
sebilah pedang yang tangkai ujungnya berbentuk
tengkorak manusia.
'Tua-tua masih suka membual! Apa kau sudah
bosan hidup, heh"!" bentak salah seorang yang berdiri paling kanan.
"Ampun, Nini.... Aku..., aku..." laki-laki tua itu tergagap dengan tubuh
membungkuk beberapa kali.
"Phuih! Tidak ada alasan buatmu, Pembual!
Kau menyimpan seorang pemuda, tapi tidak menyerahkannya pada kami! Kau tahu, apa hukumannya,


Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang Tua" Mati...!"
"Ampun, Nini.... Ampun.,.," rintih laki-laki tua itu seraya menjatuhkan diri
berlutut. "Bersiaplah untuk mampus, Tua Bangka!
Hiyaaa...!"
Salah seorang dari empat wanita itu melompat
sambil mencabut pedangnya. Cepat sekali terjangannya. Pedangnya dikibaskan kuat-kuat, sehingga menimbulkan suara angin berdesir. Namun begitu mata
pedang hampir memenggal leher laki-laki tua itu, mendadak dia terpekik. Seketika, tubuhnya kembali mencelat ke belakang.
*** Wanita berbaju merah itu terhuyung-huyung
sambil memegangi tangan kanannya. Wajahnya kontan
merah padam, dan bibirnya mendesis bagai ular. Sedangkan yang tiga orang lagi langsung berlompatan
mengurung pemuda berbaju rompi putih yang tetap
berdiri tegak di samping laki-laki tua itu.
"Keparat kau berani melawan kami, heh!" geram perempuan itu sengit.
"Maaf, Nisanak. Aku tidak bisa membiarkanmu
untuk membunuh orang tua yang tidak berdaya begitu
saja," kalem namun bernada tantangan kata-kata pemuda itu.
"Pembual itu tidak pantas lagi hidup lebih lama. Dia harus mati. karena berani membangkang kehendak Yang Mulia Gusti Ratu Bukit Brambang!" lantang kata-kata wanita yang
berada di depan pemuda
itu. "Benar itu, Ki?" tanya pemuda itu pada laki-laki tua yang tetap berlutut dengan
tubuh bergetar.
"Anak muda! Sebaiknya, kau cepat pergi. Biarkan aku di sini. Mereka sangat kejam. Kau akan mati
jika menuruti keinginannya," kata laki-laki tua itu.
"Tutup mulutmu, Tua Bangka!"
"Hm..." gumam pemuda itu pelan. Tatapannya
tajam, lurus pada wanita yang berada di sebelah kanannya. Wanita itu yang tadi mengeluarkan bentakan.
"Kisanak, sebaiknya segera ikut kami. Dan tua
bangka itu akan bebas hidup," kata yang seorang lagi lebih lembut.
"Ke mana?" tanya pemuda itu.
"Menemui Yang Mulia Gusti Ratu."
"Untuk apa" Aku tidak kenal kalian. Dan aku
tidak pernah mendengar ratumu. Aku baru hari ini
ada di sini."
"Jangan membantah! Hanya ada dua pilihan,
mati atau ikut!"
"Edan! Untuk apa' harus ikut tanpa tahu urusannya" Kalian boleh membawaku asal mampu!"
"Keparat! Rupanya kau lebih senang mampus,
heh!" Salah seorang wanita itu segera mencabut pedangnya, lalu melompat cepat
sambil berteriak melengking. Pedangnya dikibaskan kuat-kuat. Namun
hanya sedikit saja pemuda itu menarik tubuhnya ke
belakang, maka tebasan pedang itu luput dari sasaran.
Hal ini membuat ketiga wanita lainnya jadi berang, sehingga segera berlompatan
menyerang. Sementara itu, laki-laki tua itu cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Tapi hatinya merasa penasaran, dan berhenti setelah cukup
jauh. Dengan tubuh geme-taran disaksikannya pertempuran itu. Tampak empat
orang wanita berbaju merah itu kewalahan juga menghadapi pemuda yang mengenakan baju rompi putih.
Bahkan sampai jatuh bangun, dan tidak satu pun serangannya berhasil menyentuh lawan.
"Lepas...!"
Tiba-tiba pemuda tampan itu berteriak keras.
Sedangkan tangannya menyampok tangan salah seorang penyerangnya. Orang itu memekik tertahan, dan
pedangnya melesat tinggi ke udara. Belum lagi hilang
rasa terkejutnya, mendadak satu tendangan keras
mendarat di tubuhnya.
"Akh!" kembali wanita itu memekik tertahan.
Pada saat wanita itu terjengkang, pemuda tampan berbaju rompi putih memutar tubuhnya. Langsung disampoknya dua orang lawan. Pekikan keras
tertahan terdengar saling sahut. Kemudian satu orang
lawan terakhir dibuat sampai terjungkal mencium tanah. Empat wanita pengikut Ratu Bukit Brambang sekarang mengerang kesakitan sambil berusaha bangkit.
Dan pemuda itu bergerak cepat. Tahu-tahu, di tangannya sudah tergenggam pedang-pedang lawan.
"Pergilah kalian!" bentak pemuda itu keras.
Keempat wanita itu bangkit berdiri sambil meringis menahan sakit. Mereka saling berpandangan sejenak, lalu berbalik.
"Nih, pedang kalian!" pemuda itu melemparkan pedang yang dirampasnya.
Empat batang pedang itu melayang, dan jatuh
tepat di ujung kaki mereka. Cepat-cepat keempat wanita cantik berbaju merah itu memungutnya, kemudian melompat cepat dan berlari masuk ke dalam hutan. Pemuda itu berbalik setelah keempat wanita itu
tidak terlihat lagi. Dihampirinya laki-laki tua yang masih berdiri memandanginya
dengan rasa kagum.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya pemuda itu ramah. "Oh, tidak,... Tidak apa-apa'
sahut lelaki tua itu.
"Terima kasih, Raden. Kau telah mengusir mereka." "Jangan panggil aku raden, Ki. Panggil saja Rangga," ujar pemuda itu
memperkenalkan diri. Dia memang Rangga yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti. "Aku Ki Kusha, penduduk Desa Gedangan ini,"
laki-laki tua itu juga memperkenalkan diri.
"Hm.... Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Ki"
Tampaknya mereka sudah mengenalmu," selidik Rang-ga.
"Ceritanya panjang, Rangga. Dan sebaiknya,
segera kita tinggalkan tempat ini. Mari ke rumahku sa-ja," ajak Ki Kusha.
"Dengan senang hati, Ki," sambut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti menghampiri
kudanya. Lalu melangkah menuntun kuda hitam yang bernama Dewa
Bayu. Sedangkan Ki Kusha berjalan di samping kanannya. Mereka melangkah tanpa berkata-kata lagi.
*** Rangga duduk bersila di atas dipan bambu
yang rendah, beralaskan tikar daun pandan. Di depannya duduk Ki Kusha yang didampingi istrinya. Seorang anak perempuan berusia sekitar tiga tahun tengah tiduran di pangkuan Nyai Kusha. Sebentar matanya yang bulat bening terbuka menatap Rangga, sebentar kemudian terpejam kembali.
Pendekar Rajawali Sakti mengangkat kepalanya
ketika seorang wanita muda keluar dari bilik kamar
belakang sambil membawa sebuah baki yang di atasnya terdapat beberapa gelas tanah liat mengepulkan
uap hangat. Sepiring ketela rebus terhidang juga. Wanita itu mengangguk dan tersenyum pada Rangga, kemudian menghidangkan apa yang dibawanya.
"Silakan, Rangga. Hanya ini yang masih ada,"
ucap Ki Kusha. "Terima kasih, Ki. Ini juga sudah lebih dari cukup," ujar Rangga seraya mengangkat gelas dan meng-hirup sedikit isinya.
"Beginilah keadaan di sini sekarang. Sepi, selalu dicekam ketakutan," kata Ki Kusha pelan.
"Semua ini gara-gara si Ratu Bukit Brambang
itu!" sambung Nyai Kusha. "Lihat anak ini. Ayahnya diculik. Sampai sekarang,
tidak ketahuan nasibnya.
Ibunya jadi gila dan bunuh diri di jurang."
Rangga menatap anak perempuan yang tiduran
di pangkuan Nyai Kusha, kemudian beralih pada wanita muda yang memakai baju merah muda di samping
Ki Kusha. Wanita itu hanya menunduk saja. Sore tadi,
Ki Kusha telah memperkenalkannya. Dan Rangga masih ingat, anak gadis Ki Kusha itu bernama Lasmi. Dia juga kehilangan ke
kasihnya. Padahal selesai panen ini rencananya mereka akan menikah.
"Mereka sangat kejam, Rangga. Selalu menculik
pemuda-pemuda, dan membunuh anak-anak serta
orang tua. Kalau begini terus, bisa habis semua orang sini. Mereka akan membunuh
siapa saja kalau tidak
mendapatkan pemuda," kata Ki Kusha bernada mengeluh.
"Apakah pemuka desa tidak bertindak?" tanya Rangga.
"Sudah, Rangga. Bahkan kepala desa kami tewas karena mencoba melawan. Sekarang ini, Desa Gedangan tidak punya pemimpin. Tidak ada yang memikirkan itu lagi. Yang penting, bisa selamat itu juga sudah cukup," sahut Ki
Kusha lagi. "Aneh.... Untuk apa mereka menculik anakanak muda?" gumam Rangga seperti bertanya pada di-ri sendiri.
"Mungkin buat tumbal, Rangga," celetuk Nyai Kusha."
Tumbal...?" Rangga mengernyitkan keningnya.
"Biasanya begitu, Rangga. Orang yang menganut Ilmu sesat, biasanya memerlukan tumbal untuk
kelangsungan hidup dan ilmunya. Yaaah..., macammacam saja jenis tumbalnya," Ki Kusha mencoba menjelaskan, tapi hanya mendugaduga saja. Rangga terdiam dengan kepala tertunduk. Kalau memang dugaan Ki Kusha benar, tidak ada harapan hidup lagi bagi mereka yang diculik. Biasanya,
tumbal dipersembahkan bagi sesembahan dan dalam
bentuk sudah menjadi mayat atau masih hidup yang
kemudian dibunuh.
Untuk sesaat keheningan menyelimuti mereka
semua. Tidak ada yang membuka suara. Masingmasing sibuk dengan pikirannya. Nyai Kusha bangkit
berdiri, lalu turun dari dipan bambu ini. Dia membawa cucunya ke dalam, dan
tidak lama kemudian kembali
lagi. 'Temani adikmu tidur, Lasmi," perintah Nyai Kusha. "Baik, Bu," sahut Lasmi
seraya beranjak bangkit "Tinggal dulu, Kang."
"Silakan," ucap Rangga seraya tersenyum dengan kepala sedikit terangguk.
Lasmi melangkah pergi masuk ke dalam kamar.
Entah lupa atau disengaja, pintunya tidak ditutup
kembali. Rangga sempat melirik gadis itu saat membaringkan tubuhnya di samping anak kecil yang sudah
lelap dibuai mimpi. Kemudian pandangannya dialihkan ketika Lasmi berbalik memiringkan tubuhnya. Dia
tidak ingin lama-lama menatap gadis itu.
"Desa ini sekarang hanya dihuni orang tua dan
anak-anak saja. Pemuda-pemudanya telah meninggalkan desa, dan pergi ke kota atau ke desa lain yang
jauh. Banyak juga yang tewas atau diculik mereka...,"
kata Ki Kusha setelah lama terdiam.
"Apakah mereka masih suka datang ke sini?"
tanya Rangga. "Sering, Rangga. Kalau tidak mendapatkan
yang dicari, mereka membunuh siapa saja yang ditemui. Bahkan merusak, dan membakar rumah-rumah
penduduk. Desa ini sudah menjadi neraka saja, Rangga," sahut Ki Kusha lirih.
"Oh...! Sampai sejauh itukah perbuatan mereka...?" desah Rangga sedikit terkejut.
"Mereka memang kejam, tapi sangat tangguh.
Tidak ada yang bisa menandinginya."
"Mereka harus segera dihentikan!" desis Rangga datar. "Percuma, Rangga. Sudah
ada beberapa pendekar yang mencoba menghentikan mereka, tapi semuanya tewas. Mereka sangat tangguh. Lebih-lebih yang
bernama Widarti dan Karina. Tidak ada yang sanggup
menandinginya. Apalagi, si Ratu Bukit Brambang...,"
keluh Ki Kusha pelan.
"Aku yang akan menghentikan mereka, Ki!" tegas Rangga.
"Rangga...!" Ki Kusha tersentak kaget.
"Aduh.... Jangan, Rangga. Lebih baik tinggalkan saja desa ini. Mereka sangat tangguh dan kejam...,"! ujar Nyai Kusha memohon.
"Harus ada orang yang bisa menghentikan mereka, Nyai. Mungkin sang Hyang Widi menunjukkan
jalan padaku hingga sampai ke sini," kata Rangga tanpa bermaksud menyombongkan
diri. "Rangga...."
Belum habis Ki Kusha bicara, tiba-tiba terdengar tawa terbahak-bahak mengikik. Suara tawa itu
demikian jelas terdengar. Ki Kusha dan Nyai Kusha
langsung bergetar, dan wajah mereka pucat pasi.
Rangga melompat tangkas, turun dari dipan bambu.
Dia berdiri tegak menatap ke pintu.
"Rangga...," bergetar suara Ki Kusha.
"Sebaiknya Aki dan Nyai masuk saja ke dalam.
Biar aku yang menghadapi," kata Rangga tanpa menoleh.
"Hati-hati, Rangga," ucap Ki Kusha.
Rangga tidak menjawab, dan hanya melangkah
tenang mendekati pintu. Perlahan-lahan dibukanya
pintu itu. Sementara, Ki Kusha membawa istrinya ke
dalam kamar. Di sana, Lasmi juga terbangun. Kedua
wanita itu berpelukan. Ki Kusha keluar kembali dari
kamar, dan melihat Rangga berjalan tenang ke luar.
Dan ditutupnya kembali pintu rumah itu. Ki Kusha
bergegas mendekati, dan mengintip melalui celah-celah papan pintu.
*** 3 Malam begitu pekat Angin berhembus kencang
membawa udara dingin menggigilkan. Saat ini Rangga
tengah berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah
Ki Kusha yang cukup luas. Di depannya, berdiri sekitar enam orang wanita berbaju merah dengan sabuk
kuning keemasan. Masing-masing menyandang sebilah
pedang yang bergagang kepala tengkorak di punggung.
Tampak dua orang gadis berwajah cantik berdiri paling depan. Sudah bisa ditebak,
kedua gadis yang berdiri
paling depan adalah Widarti dan Karina. Sedangkan
empat wanita lagi yang berada di belakangnya sudah
dikenali Rangga. Merekalah yang siang tadi sempat diperdaya Pendekar Rajawali Sakti. Rupanya, mereka
mengadu, dan kini datang kembali untuk membuat
perhitungan. Apalagi, kini ada dua orang yang memili

Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ki kepandaian lebih tinggi. Dan Rangga sudah menduga semua itu. "Rupanya kau memiliki nyali besar juga, Kisanak," ketus nada suara Widarti.
"Siapa namamu?" selak Karina membentak.
"Untuk apa kau tahu namaku?" sambut Rangga
sinis. "Sombong!" dengus Karina sengit.
"Sebaiknya, kalian angkat kaki dari sini. Aku
malas berurusan dengan gadis-gadis telengas macam
kalian!" kata Rangga sinis.
"Keparat! Kau belum tahu siapa kami, heh"!
Sekalipun kau tampan seperti pangeran, nyawamu berada di ujung pedang, tahu!" bentak Widarti panas.
"Aku hanya punya nyawa satu. Tapi, cukup untuk membungkam mulut kalian yang nyinyir!"
"Setan alas! Kurobek mulutmu, Keparat!"
Karina tidak bisa lagi menahan diri, sehingga
langsung berteriak keras dan melompat menerjang.
Diberikannya dua pukulan beruntun yang begitu cepat
di-sertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Tapi, Rangga hanya menggeser
kakinya sedikit sambil memiringkan tubuh, maka serangan Karina lewat begitu saja tanpa mengenai sasaran.
'Bagus! Rupanya kau punya mainan juga, Pemuda Tampan!" dengus Karina sambil bersiap menyerang kembali.
'Tahan seranganku! Hiyaaat..!"
"Hup!"
Sret! Karina tidak tanggung-tanggang lagi. Langsung
pedangnya dicabut, dan dikibaskan cepat ke arah kaki
Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan sigap, Rangga
melompat. Kemudian, kakinya melayang mengarah ke
kepala. Karina terpekik terkejut. Buru-buru kepalanya merunduk, menghindari
sepakan kaki itu. Dan belum
lagi sempurna menarik tubuhnya ke belakang, Rangga
sudah menggedor dadanya dengan satu pukulan keras. "Akh...!" Karina kembali memekik tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang.
Meskipun tadi Rangga tidak mengerahkan tenaga dalam, tapi gedoran itu cukup membuat dada Karina sesak juga. Wajahnya merah padam menahan marah. Kembali gadis itu bersiap menyerang. Dan pada
saat itu, Widarti sudah mencabut pedangnya diikuti
empat gadis lain. Mereka langsung mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas.
Dari sudut matanya, Pendekar Rajawali Sakti
memperhatikan setiap gerak gadis-gadis cantik yang
mengepungnya. Rangga mempersiapkan diri menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Dia juga siapsiap dengan perubahan cepat, menuju jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali'.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaat..!"
Teriakan-teriakan keras terdengar, disusul berlompatannya keenam gadis berbaju merah itu. Pedang
mereka berkelebatan langsung, mengurung Pendekar
Rajawali Sakti. Begitu cepat serangan mereka, tapi
sayangnya Rangga sukar didekati. Jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib' memang sangat ampuh. Gerakan kakinya begitu lincah, diimbangi tubuh yang meliuk-liuk lentur bagai belut.
Serangan yang datang dari enam jurusan, tidak
satu pun mengenai sasaran. Bahkan sekali-sekali
Rangga membalas dengan pukulan-pukulan mautnya.
Jurus demi jurus terlampau dengan cepat. Tidak terasa, enam orang pengikut Ratu Bukit Brambang itu sudah menghabiskan sepuluh jurus. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti hanya menggunakan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib' yang diseling jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Hanya dengan dua jurus saja, enam
orang gadis itu sukar mendesak. Lebih-lebih berharap
menjatuhkannya. Menyentuh ujung rambutnya saja,
tidak ada yang mampu.
"Jebol...!"
Tiba-tiba Rangga berseru keras. Tangan kanannya cepat mengibas ke samping. Pada saat itu, satu orang penyerangnya sudah melompat sambil mengibaskan pedang ke arah leher. Tapi, kibasan tangan
Rangga yang begitu cepat, tidak bisa dihindari lagi.
Gadis itu memekik keras, dan tubuhnya kontan terlontar sejauh dua batang tombak ke belakang.
Belum lagi hilang jeritan itu, Rangga sudah cepat memutar tubuhnya. Kakinya langsung melayang
deras menghantam dada seorang lagi, disusul sodokan
tangan kiri yang masuk telak ke perut seorang lagi.
Dua orang langsung menggeletak mengerang kesakitan. Pendekar Rajawali Sakti kemudian cepat melenting ke atas, lalu meluruk dengan kaki bergerak bagai
kilat. Kini, Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Aaa...! Satu jeritan melengking tinggi terdengar, begitu
ada suara sesuatu yang berderak bagai sebuah benda
keras retak. Tampak salah seorang dari gadis itu
menggelimpang sambil memegangi kepalanya. Darah
mengucur dari kepala yang pecah. Rangga melentingkan tubuhnya kembali ke atas, dan hinggap di tonggak
kayu yang menjadi pembatas halaman rumah Ki Kusha dengan jalan.
"Satu peringatan buat kalian! Cepat tinggalkan
tempat ini, sebelum aku haus darah kalian!" bentak
Rangga dingin. Widarti dan Karina saling berpandangan sejenak. Kemudian, mereka mengedarkan pandangan pada
empat tubuh yang menggeletak. Satu orang jelas sudah tewas. Sedangkan yang lainnya masih merintih
kesakitan. Kedua gadis itu memasukkan kembali pedangnya, kemudian bergegas melompat pergi tanpa
menghiraukan teman-temannya.
Ketiga gadis yang tertinggal, berusaha bangkit
meskipun harus menahan sakit. Mereka segera menyarungkan senjatanya kembali, dan menggotong yang
tewas dengan kepala hancur. Rangga masih berdiri tegak di atas tonggak bambu. Diperhatikannya gadisgadis yang melangkah tergesa-gesa membawa mayat
temannya. Pendekar Rajawali Sakti baru melompat turun setelah gadis-gadis itu tidak terlihat lagi.
*** Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahanlahan menghampiri pintu rumah yang terbuka tibatiba. Maka muncullah Ki Kusha dari dalam rumah.
Dengan tergopoh-gopoh, dihampirinya pemuda berbaju
rompi putih itu. Wajahnya masih kelihatan pucat,
meskipun sinar matanya berbinar. Dipandanginya wajah Rangga dengan perasaan kagum. Baru kali ini dia
melihat Orang-orang Ratu Bukit Brambang dibuat tidak berkutik. Bahkan salah seorang tewas dengan kepala hancur. "Wah...! Kau hebat! Mereka pasti kapok!" puji Ki Kusha tulus.
"Mereka pasti kembali lagi, Ki," sahut Rangga
kalem. Ki Kusha tampak terkejut.
"Jangan khawatir, Ki. Selama mereka masih ,
berkeliaran, aku akan tetap di sini," Rangga menjamin.
'Terima kasih, Rangga," ucap Ki Kusha.
Pendekar Rajawali Sakti mengajak laki-laki tua
itu masuk ke dalam rumahnya. Ki Kusha bergegas
menutup pintu dan menguncinya dengan palang begitu mereka berada di dalam. Rangga menghenyakkan
tubuhnya di dipan bambu. Diambilnya gelas yang berisi kopi dan diteguknya hingga tandas. Dari bilik kamar, Lasmi muncul. Gadis itu menghampiri dan mengambil gelas yang masih di tangan Rangga.
"Biar kubuatkan lagi, Kang," kata Lasmi.
'Terima kasih, tidak usah," ucap Rangga menolak. 'Tidak apa, Kang. Kau pasti haus."
"Cepat bikinkan, Lasmi," perintah Ki Kusha seraya duduk bersila di depan
Pendekar Rajawali Sakti.
Lasmi berbalik dan melangkah ke belakang.
Rangga sempat melirik ke pintu, tempat gadis itu
menghilang. Lasmi keluar lagi sambil membawa gelas yang
mengepulkan uap hangat. Diletakkannya gelas berisi
kopi itu di depan Rangga. Bibirnya yang mungil dan
selalu merah basah mengulum senyum. Rangga membalasnya dengan senyuman tipis saja. Diambilnya gelas itu dan isinya dihirup sedikit. Kemudian diletakkannya kembali di tempat
semula. "Kau past mengantuk. Tidurlah dulu," kata
Rangga lembut. "Tidak, Kang. Kantukku jadi hilang," sahut
Lasmi. "Kalau begitu, biar aku saja yang tidur," celetuk Ki Kusha tiba-tiba.
"Silakan, Ki. Aku akan jaga malam ini," kata
Rangga. Ki Kusha beranjak turun dari dipan itu, lalu
melangkah ke kamar tidur yang pintunya terbuka.
Tampak Nyai Kusha duduk di tepi pembaringan. Ki
Kusha berhenti tepat di ambang pintu. Wajahnya menoleh pada Rangga yang tetap duduk bersila di tempatnya. Sedangkan Lasmi duduk tidak jauh di depan
agak ke kanan dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Lasmi. Kalau Rangga perlu sesuatu, jangan segan-segan melayani," pesan Ki Kusha.
"Baik, Ayah," sahut Lasmi tanpa menoleh. Kepalanya selalu tertunduk menekuri
ujung bajunya. "Aku tinggal dulu, Rangga." "Silakan, Ki."
Ki Kusha masuk ke dalam kamar tidurnya. Ditutupnya pintu kamar itu, maka nyala pelita di dalam
kamar langsung meredup. Rangga mendesah panjang.
Dipandangnya gadis di depannya yang selalu tertunduk. Jari-jari tangan yang lentik itu memain-mainkan
ujung baju. "Kau tidak mengantuk, Lasmi?" tegur Rangga
pelan setengah berbisik.
Lasmi hanya menggelengkan kepala saja. Sama
sekali kepalanya tidak diangkat.
"Kuperhatikan kau selalu murung...," kata
Rangga terputus.
Saat itu, Lasmi mengangkat kepala. Tatapan
matanya langsung menembus bola mata pemuda di
depannya. Rangga segera menggeser duduknya lebih
mendekat. "Sekilas, ayahmu sudah menceritakan tentang
dirimu. Aku ikut prihatin," ucap Rangga perlahan.
"Terima kasih," ucap Lasmi, hampir tidak terdengar suaranya.
'Tapi, aku sudah mencoba melupakan-nya. Aku
tahu, Kang Jeje tidak akan kembali lagi."
Rangga menarik napas dalam-dalam. Dia kagum juga dengan ketabahan hati gadis ini.
"Boleh aku mengatakan sesuatu padamu?" pinta Lasmi berharap.
"Katakanlah," desah Rangga.
"Aku merasa, kejadian malam ini akan berbuntut panjang. Dan yang pasti, mereka akan membunuh
kami semua. Terus terang, aku tidak takut pada mereka sekalipun harus mati...," agak tersendat suara Lasmi.
"Kau menginginkan aku pergi, Lasmi?" tebak
Rangga. "Aku tidak berkata begitu, Kang. Tapi, demi kebaikan dan keselamatanmu juga. Aku tidak ingin ada
korban lagi. Kau begitu baik, dan mereka pasti menginginkanmu. Karena, kau...," lagi-lagi ucapan Lasmi terputus. Gadis itu kembali
tertunduk menekuri ujung
bajunya. "Lasmi.... Sekalipun tidak di sini, aku tetap
akan menghentikan mereka. Aku bertanggung jawab
atas keselamatan kalian semua. kalau saja aku tidak
menemui ayahmu, mereka tentu tidak akan ke rumah
ini, " kata Rangga mantap.
"Sama saja, Kakang," desah Lasmi
"Sama..." Maksudmu?"
"Mereka sudah beberapa kali datang ke sini.
Dan ayah termasuk sesepuh di sini yang masih hidup.
Mereka mendesak dan mengancam ayah untuk menyediakan seorang pemuda. Paling tidak, satu orang
dalam sepekan. Tapi ayah tidak sudi menuruti. Maka
setiap mereka menagih, selalu ada tiga orang penduduk yang dibunuh. Kalau sampai pekan depan ayah
tidak juga menyediakan seorang pemuda, mereka akan
membunuh kami semua," pelan suara Lasmi.
"Biadab!" desis Rangga geram.
"Mereka bisa lebih kejam lagi, Kakang. Apalagi
mereka sudah tahu kalau kau ada di sini," sambung Lasmi. "Dengar, Lasmi. Apa pun
yang akan terjadi pa-da diriku, aku tetap akan menyelamatkanmu dan seluruh keluargamu, serta penduduk desa ini. Mereka harus dihentikan. Aku tidak bisa berdiam diri begitu saja melihat keangkaramurkaan
merajalela," mantap kata-kata Rangga.
"Mereka begitu kuat, Kakang. Kau tidak akan
bisa melawan mereka seorang diri. Sudah banyak pendekar tangguh yang mencoba, tapi semuanya tewas.
Tidak ada seorang pun yang mampu menandingi Ratu
Bukit Brambang. Dia itu seperti iblis yang tidak bisa, mati," ujar Lasmi.
"Dia hanya manusia biasa, Lasmi. Tidak ada
satu pun makhluk di bumi ini yang hidup abadi. Kematian pasti menjemput mereka. Dan itu sudah takdir
yang dlgariskan sang Hyang Widi. Kau percaya dengan
kekuasaan sang Hyang Widi, Lasmi" Hanya dia yang
bisa menentukan segala-galanya.
Lasmi tidak berkata-kata lagi. Ucapan Rangga
barusan begitu menyentuh hatinya. Maka ditatapnya
Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, seolah-olah in

Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gin memastikan saat ini tidak berhadapan dengan dewa yang turun ke bumi. Kata-kata Rangga begitu lembut, namun sangat mengena. Entah kenapa, perasaan
gadis itu jadi tenteram. Rasanya seperti bara
api yang tersiram air dingin menyejukkan.
"Sudah larut malam. Tidurlah," ucap Rangga
melihat air muka gadis itu berubah tenang.
"Izinkan aku menemanimu, Kakang," pinta
Lasmi. "Besok kau pasti mengantuk. Kau harus membantu ibumu, bukan?"
"Tidak ada yang bisa dikerjakan. Sejak perempuan iblis itu merambah desa ini, tidak ada lagi yang perlu dikerjakan. Semuanya
seperti mati."
"Baiklah. Tapi kalau besok mengantuk, jangan
salahkan aku," pinta Rangga menyerah.
Sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti senang
juga ditemani seorang gadis cantik seperti Lasmi ini.
Namun karena hatinya terikat dengan Pandan Wangi
yang kini berada di Kerajaan Karang Setra, Rangga berusaha menekan perasaannya dalam-dalam.
"Aku senang bercakap-cakap denganmu, Kakang. Kau seperti dewa dari kahyangan yang turun ke
bumi. Kata-katamu bagai air sejuk, sehingga membuat
hati jadi damai," ujar Lasmi terus terang.
Sebenarnya Rangga ingin tertawa mendengarnya. Tapi, dia berusaha menahan perasaan geli yang
menggelitik tenggorokannya. Malam-malam begini tidak pantas tertawa. Bisa-bisa malah menimbulkan kecurigaan macam-macam. Apalagi, dalam suasana seperti ini. Malam terus merambat semakin larut. Rangga
dan Lasmi masih tetap terjaga. Bahkan kini terlibat
percakapan ringan yang tidak membosankan. Dan
Lasmi selalu terpesona bila Rangga bertutur tentang
hakikat hidup manusia.
*** Sudah tiga hari Rangga berada di rumah Ki Kusha. Dan selama itu, tidak ada lagi peristiwa yang di-alami. Sepertinya Ratu
Bukit Brambang tidak ingin
memper-panjang persoalannya dengan Pendekar Rajawali Sakti. Namun meskipun demikian, Rangga tetap
yakin kalau suatu saat mereka pasti datang lagi. Tewasnya salah seorang dari mereka, tentu tidak akan
mungkin didiamkan begitu saja.
Rangga tahu betul watak-watak tokoh rimba
persilatan golongan hitam. Mereka selalu menurut kata hati dan perasaan dendam.
Kehilangan satu nyawa,
harus ditebus sepuluh nyawa. Bahkan lebih dari itu
bisa dilakukan. Dari herannya, selama tiga hari ini tidak kelihatan seorang pun
pengikut Ratu Bukit Brambang berkeliaran. Mereka seperti menghilang begitu sa-ja.
Sementara, hubungan Rangga dengan keluarga
Ki Kusha semakin erat saja. Terlebih Lasmi. Wajah gadis itu tidak lagi murung seperti hari-hari yang lalu.
Perubahan pada diri Lasmi mendapat perhatian dari
kedua orangtuanya. Namun, mereka tidak ingin menduga lebih jauh lagi. Yang jelas, mereka sudah senang melihat anaknya tidak lagi
murung dan menyendiri di
dalam kamar. "Bu, Lasmi ke sungai dulu," kata Lasmi pagi itu.
Gadis itu sudah menjinjing keranjang cucian.
Dia hanya mengenakan selembar kain yang melilit tubuhnya. Sehingga bagian dada atas dan bahunya terbuka lebar, menampakkan kulit yang putih halus,
"He"! Apa katamu..."!" Nyai Kusha terkejut.
"Lasmi ingin ke sungai," Lasmi mengulangi perlahan-lahan dengan suara agak
dikeraskan. "Jangan macam-macam, Lasmi!" sentak ibunya.
"Sudah lama tidak ke sungai, Bu. Cucian sudah
banyak," Lasmi beralasan.
"Dengar, Lasmi. Tidak ada seorang pun di sungai. Jangan mencari penyakit!" tukas ibunya sengit.
"Jangan khawatir, Bu. Kang Rangga bersedia
menemani, kok," kalem jawaban Lasmi.
"Rangga...?" Nyai Kusha setengah tidak percaya. "Biarkan saja, Bu," tiba-tiba Ki Kusha muncul.
"Pergi dulu, Bu, Yah...!" pamit Lasmi dengan wajah ceria.
Gadis itu langsung melangkah mengepit keranjang cucian yang terbuat dari anyaman bambu. Langkahnya begitu ringan dan lincah. Bahkan terdengar
gumamannya mendendangkan satu tembang ceria.
Nyai Kusha hanya memandangi setengah tidak percaya. Bahkan sampai terbengong melihat perubahan
anak gadisnya yang begitu luar biasa. Sedangkan Ki
Kusha hanya tersenyum-senyum saja.
Lasmi menghampiri Rangga yang sedang membelah kayu bakar dengan kapak. Gadis itu berjingkatjingkat, dan menepuk bahu Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga terlonjak kaget, sedangkan Lasmi
hanya tertawa sambil berlari menghindar.
"Heh!" Awas kamu, Lasmi...!" rutuk Rangga
sambil berlari mengejar.
Lasmi terus berlari sambil tertawa renyah. Sementara, dari balik jendela Ki Kusha memperhatikan
dengan bibir menyungging senyum. Lain halnya Nyai
Kusha. Wanita tua itu tampak masih belum percaya
kalau anak gadisnya begitu riang seperti dulu-dulu la-gi. Suara tawa Lasmi
begitu lepas, pecah berderai.
"Heh! Melamun...!" tegur Ki Kusha, tahu-tahu sudah duduk di samping istrinya.
Nyai Kusha tersentak kaget. Seorang anak perempuan kecil berlari-lari menghampiri, dan langsung
duduk di pangkuan Nyai Kusha. Perempuan tua itu
memeluknya dan menggoyang-goyangkan kakinya.
Anak itu segera merebahkan kepala di dada yang
kempes. Tampaknya, bocah perempuan itu mengantuk. Sebentar saja matanya terpejam.
"Apa yang kau lamunkan, Nyai?" tegur Ki Kusha sambil mengasah goloknya dengan batu asahan.
"Lasmi...," sahut Nyai Kusha seraya melayangkan pandangannya ke depan. Namun
anak gadisnya sudah tidak terlihat lagi.
"Memangnya, Lasmi kenapa?" tanya Ki Kusha
setengah memancing.
"Apa kau tidak melihat perubahannya, Ki?"
dengus Nyai Kusha sewot.
"Biar saja. Daripada murung terus."
"Aku malah jadi cemas, Ki."
"Aneh...! Waktu dia murung dan menyendiri terus, kau cemas. Dan sekarang setelah berubah, kau
juga cemas. Memangnya Lasmi itu harus bagaimana...?" 'Tapi, Ki...."
"Kau mencurigai Rangga?" tebak Ki Kusha
langsung. "Entahlah," sahut Nyai Kusha ragu-ragu.
"Jangan berprasangka buruk, Nyai. Rangga itu
orang baik. Seorang pendekar lagi. Aku bisa merasakan keluhuran jiwanya. Mungkin saja Lasmi bisa. menyadari, setelah Rangga memberi nasihat yang mengena di hatinya. Nyai..., seharusnya kita bersyukur dan berterima kasih padanya.
Bukan malah mencurigainya
dengan prasangka buruk," Ki Kusha me-nasihati panjang lebar.
"Aku tidak berprasangka buruk padanya, Ki.
Aku hanya heran, kenapa begitu cepat Lasmi bisa berubah," bantah Nyai Kusha.
"Seseorang bisa saja berubah mendadak, Nyai."
"Dan pendekar itu juga manusia, bukan...?"
"Lagi-lagi kau menaruh kecurigaan!" dengus Ki Kusha. "Curiga itu boleh, Ki. Toh
sampai saat ini kita belum tahu tentang dia dan asal-usulnya. Ki.... Kalau ada
waktu, tanyakan asal-usulnya. Kau harus tahu,
siapa dia sebenarnya. Saat seperti ini, kita tidak boleh percaya penuh pada
siapa saja."
"Baik. Nanti akan kutanyakan," sahut Ki Kusha tidak mau memperpanjang.
Ki Kusha bangkit berdiri dan menyelipkan golok
yang baru diasah di pinggangnya. Kemudian kakinya
melangkah, menghampiri kayu-kayu bakar yang sudah
dibelah Rangga tadi. Laki-laki tua itu mengumpulkan
dan menumpuknya di samping rumah.
*** 4 Rangga duduk di atas batu memperhatikan
Lasmi yang sedang mandi di sungai, setelah selesai
mencuci gadis itu merendam tubuhnya sampai sebatas
dada dan seperti tidak peduli kalau ada seorang pemuda situ. Dia juga tidak peduli dengan beberapa bagian tubuhnya yang tersingkap ketika kain yang membelit dipermainkan arus sungai. Beberapa kali Rangga
mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
"Kau tidak mandi sekalian, Kakang..."!" seru Lasmi "Sudah tadi," sahut Rangga
seraya menoleh.
Pada saat itu Lasmi membenahi kainnya. Maka
bagian dadanya sedikit terbuka. Buru-buru Rangga
mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sebagai lakilaki yang sehat nafsunya, Rangga tak memungkiri kalau saat ini jantungnya jadi berdetak keras, dan darahnya berdesir cepat tidak teratur. Sekuat mungkin
Rangga berusaha menenangkan perasaannya yang
mendadak jadi tidak menentu. Dia bangkit berdiri, dan melompat ke batu lain yang
agak ke tepi. Lasmi keluar dari dalam sungai Sebentar dibenahinya kain yang basah, kemudian memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berada di tepi sungai.
Melihat pemuda itu memandang ke arah lain dengan
sikap memunggungi, Lasmi buru-buru mengganti
kainnya yang basah dengan kain kering. Kemudian,
kakinya melangkah ke tepi sambil mengepit rinjing cuciannya. "Pulang, yuk," ajak Lasmi yang sudah di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudah mencucinya?" tanya Rangga seenaknya.
"Sudah," sahut Lasmi seraya tersenyum. Mere-ka kemudian berjalan bersisian tanpa
bicara lagi. Tapi baru saja beberapa depa melangkah, mendadak Rangga berhenti.
Langsung ditariknya tangan Lasmi ke dekatnya. Lasmi jadi heran dan memandang pemuda itu
lekat-lekat. Dengan halus dilepaskannya, genggaman
pemuda itu. "Ada apa?" tanya Lasmi melihat Rangga memiring-miringkan kepalanya.
Belum sempat Rangga menjawab, tiba-tiba saja
dari balik semak bermunculan gadis-gadis cantik berbaju merah dengan pedang terhunus. Mereka langsung
mengepung Pendekar Rajawali Sakti dan Lasmi. Seketika, wajah gadis itu jadi pucat pasi. Tubuhnya juga
gemetar menggigil ketakutan. Gadis-gadis berbaju merah itu berjumlah sepuluh orang. Dua di antaranya
adalah Widarti dan Karina.
"Berikan rinjingmu padaku, Lasmi," ujar Rang-ga setengah berbisik.
Belum juga Lasmi memberikan keranjang cuciannya, Rangga sudah merebut dan mengepitnya di
pinggang. Kemudian ditariknya gadis itu ke belakang
tubuhnya. "Jangan jauh-jauh dariku," pinta Rangga.
"Baik," sahut Lasmi, agak bergetar suaranya.
"Kisanak! Yang Mulia Gusti Ratu memerintahkan agar kau menyerah dan bersedia ikut dengan kami
ke istana!" kata Widarti lantang.
"Kalau aku tidak mau?" tantang Rangga ketus.
"Kau benar-benar keras kepala! Gusti Ratu
menginginkanmu, dan berjanji tidak akan mengganggu
Desa Gedangan lagi!"
"Sama sekali aku tidak mempercayai janji perempuan iblis itu!" dengus Rangga dingin.
"Keparat! Kau berani menghina junjungan kami
bentak Karina. "Sebaiknya, suruh saja ratu iblismu itu menemuiku. Biar kucincang tubuhnya!" kata Rangga mengejek. "Kadal buduk! Kurobek
mulutmu, Kepa- rat...!'geram Karina yang tidak pernah bisa menahan
kesabaran. 'Setelah berkata demikian, Karina langsung melompat menerjang sambil berteriak keras. Rangga yang
harus melindungi Lasmi, tidak berani mengegos menghindari serangan itu. Maka tangannya yang bebas segera diangkat. Dengan demikian, pedang Karina yang
mengarah dadanya, langsung terjepit kedua jarinya.
Pada saat yang hampir bersamaan, kaki kanan
Pendekar Rajawali Sakti melayang ke depan. Langsung
dihantamnya perut Karina. Hantaman yang begitu keras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga
dalam, membuat Karina mengeluh pendek, Tubuhnya
terdorong beberapa langkah ke belakang begitu Rangga
melepaskan jepitan jarinya pada pedang gadis itu.
"Serang..!" seru Widarti keras.
Seketika itu juga, yang lain berlompatan menyerang Rangga. Agak repot juga Pendekar Rajawali
Sakti menghadang serangan sepuluh orang yang ratarata memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Terlebih lagi, harus juga melindungi Lasmi yang tidak mengerti sama sekali ilmu olah kanuragan. Rangga tidak
punya pilihan lain lagi. Apalagi gadis-gadis itu bukan hanya menyerang dirinya,
tapi juga mengancam nyawa
Lasmi. Sret! Cahaya biru langsung menyemburat berkilat
begitu Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti dari
warangka. Dan dengan kecepatan kilat, pedangnya dikibaskan untuk melindungi dirinya serta Lasmi dari
serangan sepuluh orang gadis itu.
Trang! Tring! "Akh...!"
Pekik tertahan terdengar saling sambut begitu
Rangga mengadukan senjatanya dengan pedangpedang yang mengurungnya. Dua orang melompat
mundur dengan bibir meringis kesakitan. Meskipun tidak mengalami luka, namun tangan mereka jadi kaku


Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akibat benturan senjata yang mengandung tenaga dalam luar biasa dahsyatnya.
"Hiyaaa...!" Rangga berteriak keras.
Seketika itu juga, kaki Pendekar Rajawali Sakti
bergerak cepat mengelilingi Lasmi. Pedangnya diputarputar bagaikan kilat, menghantam senjata-senjata
yang berkelebatan di sekitarnya. Suara denting senjata terdengar beberapa kali,
disusul pekik tertahan. Tampak gadis-gadis itu berlompatan mundur dengan bibir
meringis, seraya mengurut-urut pergelangan tangan.
"Mundur...!" seru Widarti tiba-tiba.
Sepuluh orang gadis berpakaian merah menyala itu langsung berlompatan kabur. Ilmu meringankan
tubuh yang mereka miliki memang cukup tinggi tingkatannya. Sehingga dalam sekejap saja, sudah lenyap
tidak terlihat lagi. Rangga menyarungkan kembali pedangnya. Maka, cahaya biru lenyap seketika begitu Pedang Rajawali Sakti tenggelam dalam warangka.
"Ayo kita pulang," ajak Rangga.
Setengah berlari, Lasmi mengikuti langkah
Pendekar Rajawali Sakti. Padahal Rangga terlihat
hanya berjalan biasa saja. Memang tanpa disadari,
Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dan Rangga baru sadar setelah Lasmi berteriak. "Kakang, tunggu...!"
Lasmi berlari secepat-cepatnya menyusul.
Rangga sendiri jadi terkejut, karena baru sadar kalau tadi menggunakan ilmu
meringankan tubuh. Lasmi terengah-engah begitu sampai di dekat Rangga. Wajahnya memerah kecapaian. Dia tadi berlari sekuat tenaga untuk mengimbangi langkah
Pendekar Rajawali Sakti.
Namun, Lasmi memang tidak memiliki ilmu olah kanuragan. Sehingga nafasnya jadi tersengal-sengal.
"Maaf. Aku lupa kalau kau tidak bisa...."
"Huh! Hampir habis napas ku!" dengus Lasmi memotong ucapan Rangga.
"Mari aku gendong," kata Rangga langsung.
"Apa..."!" Lasmi terbeliak kaget.
"Biar lebih cepat," Rangga beralasan.
"Tidak! Biar jalan saja!" tolak Lasmi, langsung memerah wajahnya.
"Baiklah. Tapi cepat ya," Rangga menyerah.
Lasmi tidak menyahut, dan kembali melangkah. Wajah gadis itu masih memerah jambu. Perkataan Rangga yang tadi, membuat jantungnya jadi berdegup keras. Mereka terus melangkah cepat tanpa
berkata-kata lagi. Dan Lasmi sampai lupa kalau keranjang cuciannya masih berada di tangan Rangga.
Lasmi duduk menyendiri di bangku ruangan
depan rumahnya. Pandangannya lurus ke depan, menatap jalan yang sepi lengang. Beberapa kali ditariknya napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat.
Sementara, malam sudah semakin larut. Namun gadis
itu belum juga beranjak masuk ke dalam kamar. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya begitu gelisah
malam ini. 'Belum tidur, Lasmi...?"
"Oh!" Lasmi tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar teguran dari belakang.
Gadis itu langsung berbalik, dan Rangga tahutahu sudah berdiri di dekatnya. Lasmi langsung bangkit dan melangkah ke dipan bambu, dan kembali duduk di sana. Kakinya menjulur ke depan. Gadis itu
membenahi kainnya yang tadi sedikit tersingkap.
Rangga menghampiri, dan duduk di samping gadis itu
setelah menutup jendela.
"Maaf, kata-kataku siang tadi," kata Rangga pelan.
Lasmi menghembuskan napas panjang, dan
agak terkejut juga dengan kata-kata Rangga. Memang,
tadi dia melamun karena perkataan Rangga siang tadi
yang ingin menggendongnya. Padahal, belum pernah
ada seorang pemuda yang berkata begitu padanya.
Meskipun punya kekasih yang hampir menikah, tapi
kekasihnya itu belum pernah menyentuhnya. Dan kini
kekasihnya hilang diculik anak buah Ratu Bukit
Brambang. Gadis itu sendiri tidak tahu, kenapa tidak marah atau tersinggung. Bahkan seperti ada satu dorongan kuat untuk mendengar kembali. Kini malah Lasmi
sering membanding-bandingkan antara Rangga dengan
kekasihnya dulu. Dan dia tidak menemukan apa yang
diinginkannya pada kekasihnya. Seolah-olah, apa yang
ada dalam diri Pendekar Rajawali Sakti ada dalam setiap mimpinya. Tapi, bagaimana dengan Rangga sendiri" Sebenarnya, cinta Rangga tetap pada Pandan Wangi yang
kini tinggal di Kerajaan Karang Setra. Sikapnya terhadap Lasmi hanya karena
sifat kelaki-lakiannya saja,
namun dalam batas-batas wajar. Atau boleh dibilang,
sifat ingin melindungi kaum lemah.
'Tadi aku ke Bukit Brambang," kata Rangga merasa bosan karena diam terus.
"Mau apa ke sana..."!" sentak Lasmi terkejut.
"Menyelidiki keadaan," sahut Rangga kalem.
Lasmi menatap lurus ke bola mata Pendekar
Rajawali Sakti. Ada cahaya kecemasan di dalam sinar
matanya. Entah kenapa, dia begitu cemas mendengar
pemuda itu pergi ke Bukit Brambang. Lasmi seperti
menjadi takut kehilangan.
"Cukup luas juga puncak bukit itu. Malah, cukup sulit untuk mencapainya," kata Rangga lagi.
"Kau sendiri ke sana?" tanya Lasmi tidak bisa menyembunyikan perasaannya.
"Iya," sahut Rangga mendesah.
"Lalu?"
"Aku sempat bentrok dengan beberapa orang.
Yaaah..., terpaksa lima orang di antara mereka kutewaskan." 'Terus...?" Lasmi jadi ingin tahu.
"Aku terpaksa pergi, karena jumlah mereka semakin banyak. Entah berapa pastinya. Yang jelas, lebih dari tiga puluh orang. Dan rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Tidak heran kalau banyak
pendekar yang tewas di sana," Rangga mengakui terus terang. "Mereka pasti akan
mencarimu, Kakang," desah Lasmi lirih.
"Itu yang kuharapkan," sahut Rangga kalem.
"Kau..."!" Lasmi terbeliak kaget.
Sungguh mati Lasmi tidak mengharapkan jawaban itu. Tanpa disadari, Lasmi menggamit tangan
Rangga dan menggenggamnya erat-erat. Sorot matanya
begitu banyak menyimpan arti yang sukar dilukiskan.
"Kau kelihatan cemas, Lasmi," bisik Rangga pelan.
"Aku.... Oh...!" Lasmi jadi tergagap.
Gadis itu menunduk dan melepaskan genggamannya. Tapi, Rangga malah menarik kembali tangan
gadis itu dan menggenggamnya dengan hangat. Perlahan-lahan ujung jari Pendekar Rajawali Sakti menggamit dagu Lasmi dan membawanya ke atas. Sehingga,
pandangan mereka saling beradu. Terlihat bibir gadis itu bergetar setengah
terbuka. Wajah mereka begitu
dekat, sehingga dengus napas Rangga menerpa hangat
kulit wajah gadis itu.
"Jangan pikirkan yang macam-macam. Aku sudah menyelidiki kekuatan mereka. Dan aku sudah
punya rencana untuk menghancurkannya," kata
Rangga setengah berbisik.
"Kakang..., aku...," tersekat suara Lasmi di tenggorokan.
Lasmi tidak sanggup lagi menahan gejolak hatinya. Kepalanya direbahkan di dada Pendekar Rajawali Sakti. Rangga melingkarkan tangannya, memeluk
gadis itu. Sesaat lamanya mereka terdiam. Kemudian
perlahan-lahan Lasmi melepaskan diri dan kembali
menatap pemuda itu dalam-dalam.
"Aku takut, Kakang...," desah Lasmi lirih.
"Apa yang kau takutkan?" tanya Rangga lembut. "Aku..., aku takut kehilanganmu...," tersendat suara Lasmi.
Rangga tersenyum lembut. Baru disadari kalau
gadis itu ternyata sudah menaruh hati padanya. Dan
ini yang tidak diinginkannya. Rangga tidak ingin gadis ini terlalu jauh
dihanyutkan perasaannya. Pendekar
Rajawali Sakti tidak mau menyakitkan hati wanita
lain. Dia merasa sudah menjadi milik Pandan Wangi,
seorang wanita yang sangat dicintainya. Karena itu
Rangga harus menghindarinya, tanpa harus menyakiti.
"Lasmi. Kau percaya adanya kedatangan dan
kepergian dalam kehidupan?" nada suara Rangga seperti bertanya.
Lasmi tidak menjawab, dan hanya menatap saja. Sang Hyang Widi selalu menciptakan semua
yang ada di bumi dalam berpasangan. Dan hidup semua pasangan itu sudah digariskan. Semua itu tidak
terlepas dari takdir yang berhubungan erat dengan kedatangan dan kepergian," kata Rangga, memberi we-jangan. Lasmi tetap diam.
"Manusia datang ke mayapada ini melalui kelahiran, dan akan kembali ke asalnya melalui kematian.
Begitu juga makhluk lainnya. Mereka semua ada di
bumi ini hanya untuk sementara, tidak selamanya.
Mereka datang, untuk kemudian kembali. Ibarat seorang tamu yang berkunjung, tidak akan selamanya berada di sana," lanjut Rangga.
"Jadi...," suara Lasmi terputus.
"Aku adalah tamu di sini. Bukan hanya di rumah ini, tapi juga di seluruh desa ini. Tidak mungkin aku menetap selamanya
tanpa harus kembali ke tempat asalku," kata Rangga.
"Oh, Kakang...," Lasmi menjatuhkan kepalanya di dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Lasmi. Aku bisa memahami perasaanmu. Tapi,
kau juga harus bisa mengerti keberadaanku," Rangga.
meminta pengertian gadis itu.
"Aku mengerti, Kakang," sahut Lasmi seraya
mengangkat kepalanya.
Mereka kembali saling berpandangan tanpa
berkata-kata. Sementara, malam terus merayap semakin larut. Udara dingin berhembus masuk melalui celah-celah jendela. Lasmi menggeser tubuhnya lebih
mendekat, sehingga tidak ada jarak lagi di antara mereka. "Kehadiranmu bagaikan matahari yang menerangi kegelapan hatiku, Kakang," bisik Lasmi seraya merebahkan kepala kembali di
dada pemuda itu.
Rangga memeluk tubuh ramping itu lebih erat.
Hatinya bergetar juga mendengar ucapan Lasmi yang
begitu polos dan sederhana.
"Aku pasti akan merindukanmu," bisik Lasmi
lagi. Rangga mengangkat wajah gadis itu. Ditatapnya dalam-dalam bola mata yang bening indah itu. Darah kelaki-lakian Pendekar Rajawali Sakti bergolak sejenak. Dan untuk sementara,
dilupakannya Pandan
Wangi. Paling tidak, agar Lasmi tidak kecewa. Maka
perlahan-lahan kepalanya merunduk. Nafasnya begitu
hangat menerpa kulit wajah Lasmi Sesaat, mata gadis
itu terpejam. Sedangkan bibirnya hanya bergetar ketika bibir Rangga menyentuhnya lembut. Kehangatan
menjalar seketika, membuat seluruh tubuh gadis itu
bergetar. Hanya sedikit Rangga mengecup bibir gadis itu, namun
cukup membuat perasaan Lasmi tidak menentu. Gadis
itu membuka matanya, dan langsung menyurukkan
kepalanya di dada Pendekar Rajawali Sakti. Disembunyikannya rona merah yang menjalar seketika. Ada rasa bahagia, malu, dan segudang perasaan lain yang
menyatu di dalam hati.
*** 5 Sementara itu di Istana Bukit Brambang, Ratu
Bukit Brambang tampak berang menerima laporan para gadis pengikutnya yang gagal membawa Rangga.
Terlebih lagi, siang tadi lima orang pengikutnya tewas terbunuh di bukit ini.
"Kalian semua bodoh! Dungu...!" gerutu Ratu Bukit Brambang berang.
"Ampun, Gusti Ratu. Pemuda itu sangat tangguh. Kepandaiannya sangat tinggi...," kilah Widarti seraya memberi hormat.
"Kalian memang gentong nasi! Tidak punya
otak, dengus Ratu Bukit Brambang berang.
Widarti, Karina, dan sekitar dua puluh lima
orang gadis lainnya terdiam sambil menundukkan kepala. Sejak kemunculan pemuda berbaju rompi putih
itu Ratu Bukit Brambang yang wajahnya seperti tengkorak jadi sering berang. Terlebih, sekarang ini mereka kesulitan mencari
pemuda-pemuda untuk kesempurnaan ilmu Ratu Bukit Brambang.
Memang, setiap malam harus ada seorang pemuda yang akan dijadikan tumbal untuk wanita berjubah merah yang wajahnya bagai tengkorak itu. Pemuda-pemuda itu dipaksa melayani hasratnya sebelum dibunuh dan diambil jantungnya. Dengan cara
begitu, ilmu iblis yang dimiliki Ratu Bukit Brambang tetap abadi dan semakin
sempurna. Di samping untuk
kelangsungan hidupnya dari zaman ke zaman.
"Kuperintahkan pada kalian, bawa pemuda itu
ke sini besok malam! Dan sebagian, harus menyediakan satu pemuda malam ini. Paham...!" agak keras suara Ratu Bukit Brambang.
'Paham, Gusti Ratu," sahut gadis-gadis itu serempak. "Kerjakan sekarang!" perintah Ratu Bukit
Brambang. Semua gadis itu serempak memberi hormat
dengan membungkukkan badan. Kemudian, mereka
berbalik dan melangkah ke luar.
"Widarti, Karina...!" panggil Ratu Bukit Brambang. "Hamba, Gusti Ratu," sahut Widarti dan Karina bersamaan. Mereka kembali
berbalik dan membungkuk memberi hormat.
"Ada tugas khusus untuk kalian berdua," kata Ratu Bukit Brambang seraya bangkit
dari singgasana.
Singgasananya berbentuk seperti kepala tengkorak manusia yang sangat besar. Perempuan berjubah merah itu juga berpijak pada tumpukan tengkorak-tengkorak manusia. Entah berapa puluh orang dibunuhkan untuk membuat singgasana itu. Seluruh
hiasan di ruangan pengap ini terbuat dari tulang

Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belulang manusia. Bokor pendupaan yang berada di
samping kiri dan kanan singgasana, juga tersusun dari kepala tengkorak manusia.
Suatu tempat yang membuat bulu kuduk merinding bila memandangnya.
"Berapa kali kalian bentrok dengan pemuda itu
tanya Ratu Bukit Brambang.
"Lebih dari tiga kali, Gusti Ratu," sahut Widarti seraya membungkuk memberi
hormat. "Hm.... Dari ciri-ciri yang kalian ceritakan padaku sepertinya aku pernah mendengar namanya,"
gumam Ratu Bukit Brambang pelan, seolah-olah bicara pada diri sendiri. "Apa kalian tahu namanya?"
"Tidak, Gusti Ratu. Dia tidak pernah menyebutkan namanya," sahut Widarti.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba telah menyelidiki
tentang pemuda itu. Namanya Pendekar Rajawali Sakti", selak Karina.
"Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Ratu Bukit Brambang dengan kepala menengadah
ke atas. Sebentar kemudian, wanita berwajah bagai
tengkorak itu menatap kedua gadis yang berdiri setengah membungkuk. Dia memang pernah mendengar
nama itu sebelumnya. Nama yang selalu menjadi pembicaraan di kalangan tokoh sakti rimba persilatan.
Sangat disegani dan sangat ditakuti.
Ratu Bukit Brambang mendesah panjang, lalu
berbalik dan melangkah kembali ke singgasananya.
Dia duduk di sana dengan wajah terlihat berubah agak
mendung. Dipandanginya kedua gadis cantik yang masih berdiri setengah membungkuk itu. Sementara,
yang dipandang hanya diam tidak bergeming sedikit
pun. "Dia selalu bersama-sama dengan seorang gadis Desa Gedangan, Gusti Ratu,"
kata Widarti. "Kadal buduk...! Kenapa baru sekarang kalian
bilang, heh"!" sentak Ratu Bukit Brambang.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba tidak punya kesempatan bicara," ujar Widarti takut-takut.
"Kami juga sudah mencoba menculik gadis itu,
tapi tetap saja sulit, Gusti Ratu. Pendekar Rajawali
Sakti seperti ada di mana-mana. Selalu saja bisa menolongnya," celetuk Karina.
"Rasanya, aku tidak perlu mengajarkan kalian.
Bawa gadis itu ke sini. Pancing Pendekar Rajawali Sak-ti agar datang ke sini.
Kalian mengerti maksudku?"
"Mengerti, Gusti Ratu," sahut Widarti dan Karina serempak.
"Ini tugas kalian. Dan aku tidak sudi lagi mendengar kegagalan."
"Hamba, Gusti Ratu."
"Berangkatlah sekarang juga!"
Widarti dan Karina membungkuk memberi
hormat. Mereka melangkah mundur beberapa tindak,
kemudian berbalik dan bergegas keluar dari ruangan
pengap mengerikan itu. Ratu Bukit Brambang masih
duduk di singgasananya meskipun kedua gadis pilihannya sudah keluar dari ruangan ini.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desisnya pelan.
*** Malam terus merayap semakin larut Udara dingin berhembus kencang, mempermainkan pucuk pepohonan. Langit tampak kelam tertutup awan hitam.
Desa Gedangan tampak gelap. Hanya beberapa pelita
saja terlihat redup dengan api meliuk-liuk dipermainkan angin malam. Sepanjang malam jalan utama desa
itu tampak lengang, tak terlihat seorang pun di luar
rumah. Di malam yang hening dan gelap ini, masih juga terlihat dua sosok tubuh
manusia bergerak cepat, me-nyelinap dari rumah-rumah penduduk dan balik pepohonan. Begitu cepat bergeraknya, sehingga yang terlihat hanya bayangan merah saja. Dua sosok tubuh itu
berhenti tepat di depan rumah Ki Kusha.
"Sebarkan ilmu 'Sirep', Karina," bisik salah seorang perlahan. Begitu pelannya
hampir tidak terdengar. "Aku tidak yakin ilmu 'Sirep'ku berpengaruh
bagi Pendekar Rajawali Sakti," sahut Karina.
Memang, mereka adalah Karina dan Widarti
yang mendapat tugas khusus dari Ratu Bukit Brambang. "Kalau dia tidak terpengaruh, biar aku yang hadapi. Dan kau culik gadis
itu," kata Widarti.
Karina tidak menyahut. Pandangannya lurus
menatap rumah yang tampak terang bagian dalamnya.
Malam ini, mereka hendak melaksanakan tugas menculik Lasmi untuk memancing Pendekar Rajawali Sakti
agar datang ke Bukit Brambang.
"Cepatlah, Karina. Aku masih mendengar suara
dari dalam rumah itu," desah Widarti tidak sabar.
"Hm...," Karina bergumam perlahan. Kemudian Karina mengangkat tangannya ke atas
Kaki Tiga Menjangan 9 Dewi Sri Tanjung 8 Perjalanan Yang Berbahaya Senja Jatuh Di Pajajaran 12

Cari Blog Ini