Ceritasilat Novel Online

Kabut Hitam Di Karang Setra 2

Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Di Karang Setra Bagian 2


angker. Begitu sunyi di sekelilingnya, tanpa ada seorang pun terlihat. Bahkan
suara yang terdengar pun hanya desir angin saja yang mempermainkan dedaunan di
sekitar Pendekar Rajawali Sakti berdiri. Entah sudah berapa lama Rangga berada
di sana. Sedangkan saat ini, matahari sudah tepat berada di atas kepalanya.
Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak bergeming sedikit pun, seakan-akan tidak
peduli terhadap panasnya sengatan sang mentari yang bagai hendak membakar semua
yang ada di atas permukaan bumi ini.
"Dewi Mata Hijau. Hm... Siapa dia sebenarnya...?"
gumam Rangga, berbicara pada diri sendiri.
Begitu pelan suaranya, sehingga langsung menghilang terbawa angin yang bertiup
agak kencang siang ini. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti masih diam
mematung, memandangi puncak Bukit Hantu ini. Kemudian, kakinya terayun perlahan
ke depan. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja....
Wusss! "Heh..."! Uts!"
Jleb! Cepat sekali Rangga melompat ke belakang, ketika tiba-tiba saja sebatang tombak
meluncur deras ke arahnya dari depan. Tombak itu menancap di tanah, tepat di
ujung jari kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya, kembali Rangga
dikejutkan oleh munculnya dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan tegap
dari batik semak belukar. Mereka masing-masing menggenggam sebatang tombak yang
berukuran panjang.
"Hm...," Rangga menggumam kecil.
"Belum waktunya kau datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak salah
seorang yang mengenakan baju warna merah menyala.
"Aku ingin bertemu pemimpinmu," kata Rangga, tidak kalah tegasnya.
"Tunggu saja dua hari lagi," sahut seorang lagi yang mengenakan baju warna biru
tua. "Hm, lalu siapa kalian ini?" tanya Rangga.
"Aku Tombak Merah. Dan ini, Tombak Biru. Kami adalah Iblis Tombak Kembar," sahut
laki-laki berbaju merah memperkenalkan diri.
Saat itu, Rangga baru menyadari kalau wajah kedua orang ini memang mirip. Hanya
pakaiannya saja yang berbeda. Sedangkan bentuk tubuh dan tingginya sama persis.
Wajah mereka hampir tidak bisa dibe-dakan lagi. Hanya saja, yang berbaju merah
berwajah garang. Sedangkan yang berbaju biru tua kelihatan pucat, seperti mayat.
Tombak mereka juga sama persis, baik bentuk maupun ukurannya.
"Kenapa kalian mencegahku" Sedangkan
pemimpin kalian ingin bertemu denganku cepat-cepat. Bahkan sampai mengirim
utusan untuk menjemputku," kata Rangga, tetap terdengar tegas nada suaranya.
"Pemimpin kami tidak pernah mengirim utusan untuk menjemputmu, Pendekar Rajawali
Sakti. Kau memang ditunggu di sini, tapi dua hari lagi baru bisa datang," sahut
si Tombak Merah, tidak kalah tegasnya.
Rangga jadi berkerut keningnya. Dia teringat dengan si Setan Hijau Pisau
Terbang. Juga, pada Nini Ratih yang sekarang ini meringkuk di dalam kamar
tahanan Karang Setra. Mereka sengaja menemuinya untuk menjemput. Dan katanya,
hendak membawa Pendekar Rajawali Sakti menghadap pemimpinnya.
Sedangkan dua orang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun berwajah kembar
ini mengatakan, pemimpinnya tidak pernah mengirim seorang utusan pun untuk
menjemputnya. Saat itu juga, Rangga merasakan adanya sesuatu yang ganjil.
Langsung bisa diduganya kalau ada dua kelompok atau lebih yang menginginkan
kematiannya. "Sebaiknya kau kembali saja, Pendekar Rajawali Sakti. Baru purnama nanti kau
bisa datang lagi ke sini," kata si Tombak Biru, mengusir Pendekar Rajawali
Sakti. Rangga mengangkat bahunya sedikit. Rasanya memang tidak ada gunanya terus
mendesak. Terlebih lagi, saat ini sebuah teka-teki masih belum jelas terungkap.
Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, dari-mana lagi harus memulai. Tapi yang
jelas, ada beberapa orang yang menghendaki kematiannya. Dan dugaan itu sangat
diyakininya saat ini. Hanya saja, Rangga tidak tahu, siapa orang-orang yang
menginginkan kematiannya sekarang ini. Rasanya, juga sulit bila menduga satu
persatu bekas lawan-lawannya yang masih tetap hidup sampai sekarang ini. Dan dia
tidak tahu, siapa di antara sekian banyak yang mendalangi semua ini.
"Baik. Aku akan kembali nanti saat bulan purnama," kata Rangga mengalah.
Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya berbalik, dan
melangkah menghampiri kudanya. Dewa Bayu memang ditinggalkan di bawah pohon beringin yang
cukup rimbun, sehingga melindunginya dari sengatan sinar matahari. Dengan
gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung Dewa
Bayu. "Hiyaaa...!"
Sekali gebah saja, Dewa Bayu langsung melesat pergi begitu cepat. Sementara, si
Iblis Tombak Kembar masih terus berdiri tegak memandangi, sampai Pendekar
Rajawali Sakti tak terlihat lagi.
*** "Hooop...!"
"Hieeegkh...!"
Tiba-tiba saja Rangga menarik tali kekang kudanya kuat-kuat. Sehingga, membuat
kuda hitam tegap itu meringkik keras, sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi ke udara. Maka seketika Dewa Bayu berhenti berlari. Dan saat itu,
Rangga melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Begitu sempurnanya
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tak
terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah.
Tatapan mata pemuda berbaju rompi putih itu langsung tertuju pada seorang
perempuan tua bertubuh agak bungkuk. Dia berdiri dengan sikap menghadang di
tengah jalan tanah berdebu ini. Pakaiannya yang panjang dan longgar berwarna
kuning gading, tedihat berkibar dipermainkan angin. Sebatang tongkat kayu yang
tidak beraturan bentuknya tampak tergenggam di tangan kanan. Sorot matanya
begitu tajam, menentang tatapan mata Rangga yang
memang sangat tajam menusuk.
"Bocah sombong! Kemari kau..!" bentak perempuan tua itu mendengus kasar.
"Heh..."!"
Rangga jadi terkejut mendengar bentakan bernada kasar itu.
"Ke sini kataku!" bentak perempuan tua itu lagi.
"Maaf. Aku tidak mengenalmu, Nisanak. Siapa kau ini, dan mengapa menghadang
jalanku...?" Rangga mencoba bersikap ramah, walaupun perempuan tua itu kelihatan
garang sekali. "Aku Nek Srinita yang akan mengajarmu untuk berlaku sopan santun pada orang tua,
Bocah Sombong!" sahut perempuan tua itu, masih tetap terdengar kasar nada
suaranya. "Heh..."! Ada apa ini...?"
Rangga benar-benar terkejut dan tidak mengerti atas sikap dan kata-kata
perempuan tua yang tadi mengaku bernama Nek Srinita. Dan lagi, Rangga merasa
belum pernah mengenalnya. Sedangkan
perempuan tua bertubuh agak bungkuk itu seperti sudah mengenalnya begitu lama,
Seakan-akan, dia sudah tahu tentang Pendekar Rajawali Sakti sejak kecil.
"Kau seorang raja, juga seorang pendekar. Seharusnya, kau bisa memberi contoh
yang baik bagi semua rakyatmu. Tapi, kau malah tidak sudi menghormati orang tua
sepertiku. Malah panggilanku kau anggap remeh. Padahal, bukan hanya kau saja
yang terancam kehancuran. Tapi seluruh rakyat Karang Setra terancam penderitaan
seumur hidup. Huh! Kau oenar-benar tidak pantas menjadi raja, Rangga!"
masih terdengar kasar nada suara Nek Srinita.
"Kau memanggilku...?"
Rangga jadi terlongong-longong. Seketika itu juga,
dia teringat dengan si Setan Hijau Pisau Terbang.
Juga, gadis cantik yang kini meringkuk di dalam penjara Karang Setra. Mereka
datang menemuinya, karena mendapat perintah dari pemimpinnya untuk membawanya
menghadap. Saat itu juga, Rangga menduga kalau perempuan tua inilah pemimpin
mereka. Tapi, apakah perempuan tua ini yang berjuluk Dewi Mata Hijau..."
"Nisanak. Aku benar-benar tidak mengerti sikap-mu ini. Apa maksudmu
sebenarnya...?" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Kau kenal mereka, Rangga?"
Saat itu, dari balik semak dan pepohonan muncul sekitar tiga puluh orang yang
semuanya menyandang golok terselip di pinggang. Dan salah seorang dari mereka
adalah si Setan Hijau Pisau Terbang. Laki-laki yang mengenakan baju serba hijau
itu menghampiri Nek Srinita, kemudian berdiri di samping kanannya.
Tentu saja Rangga mengenali, karena mereka pernah mengeroyoknya di kedai dekat
perbatasan Kotaraja Karang Setra.
"Dan yang seorang lagi, adalah orang yang kau tawan di kamar tahananmu, Rangga.
Kau benar-benar tidak mengenal adat dan tata krama!" sambung Nek Srinita bernada
geram. "O..., jadi mereka semua orang-orangmu, Nisanak...?" desis Rangga, jadi agak
sinis nada suaranya.
"Mereka semua muridku. Dan kau sama sekali tidak menghormati mereka. Itu sama
saja tidak meng-hormatiku, Rangga. Huh...! Tidak kusangka, putra Arya Permadi
yang kuhormati ternyata pemuda liar yang tidak mengenal sopan santun dan tata
krama." "Eh, tunggu dulu...!" sentak Rangga merasa
tersinggung. "Apa maksudmu sebenarnya, Nisanak"
Mengapa kau marah-marah padaku...?"
Rangga benar-benar tidak mengerti. Makanya perempuan tua itu diminta untuk
menjelaskannya.
Dia juga terkejut, karena perempuan tua yang tidak pernah dikenalnya ini tahu
semua tentang dirinya.
Bahkan tahu nama mendiang ayahnya. Dalam benaknya, Pendekar Rajawali Sakti jadi
bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan tua yang mengaku bernama Nek Srinita
ini..." Dia seperti tahu betul tentang keadaan Kerajaan Karang Setra daripada
rajanya sendiri.
"Aku adalah ibu suri ayahmu, Rangga. Aku tahu betul tentang dirimu. Juga orang
tuamu. Seluruh tanah Karang Setra ini berada di dalam genggaman-ku. Tapi, selama
ini aku tidak pernah ingin ikut campur, selama kau bisa mempertahankannya
melalui orang-orang kepercayaanmu, dan kedua adik tirimu. Tapi sekarang..., aku
terpaksa keluar dari pertapaan. Karena, kejayaan Karang Setra tengah terancam.
Dan kau sendiri sepertinya tidak tahu keadaan kerajaanmu. Kau terlalu sibuk
mengembara, hingga melalaikan tugasmu sebagai raja. Nah!
Sekarang kau sudah jelas tentang diriku, Rangga..."
Saat itu juga Rangga tidak bisa berkata-kata.
Mulutnya ternganga, dan matanya terbuka lebar.
Seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Sungguh tidak
disangka kalau perempuan tua ini adalah ibu suri ayahnya. Tiba-tiba saja
Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri ber-lutut
"Ampunkan aku, Nek. Aku sama sekali tidak tahu kalau kau...."
"Sudahlah, Rangga. Bangunlah. Tidak pantas kau
bersikap begitu padaku. Kau seorang raja sekarang.
Dan kau juga seorang pendekar digdaya pilih tanding.
Bangunlah...," ujar Nek Srinita memutuskan ucapan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga baru bangkit berdiri setelah pundaknya disentuh lembut. Kini, tidak lagi
terlihat kegarangan di wajah dan sorot mata perempuan tua berjubah kuning gading
ini. Bahkan yang ada sekarang adalah kelembutan seorang wanita tua. Cepat-cepat
Rangga menjura, membungkukkan tubuhnya untuk memberi penghormatan. Nek Srinita
tersenyum melihat sikap penghormatan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo ikut ke pertapaanku, Rangga," ajak Nek Srinita. "Banyak yang harus kita
bicarakan."
"Tapi, Nek..."
"Ada apa lagi"! Kau akan menolak undanganku ini..."!" sentak Nek Srinita kembali
mendelik matanya.
"Bukan..., bukan itu maksudku. Aku harus membebaskan Nini Ratih. Bukankah dia
juga muridmu, Nek...?" ujar Rangga cepat-cepat.
"Kau bisa melakukannya nanti. Sekarang ada urusan yang lebih penting dari pada
mengurus Ratih,"
dengus Nek Srinita.
"Ke mana kau akan membawaku, Nek?" tanya Rangga sambil mengambil tali kekang
kudanya. "Ke Pertapaan Gonggong," sahut Nek Srinita.
"Di mana itu?"
"Sebelah Timur lereng Bukit Hantu."
Rangga tidak bertanya lagi, lalu melangkah mengikuti Nek Srinita yang sudah
lebih dulu berjalan.
Pendekar Rajawali Sakti mensejajarkan ayunan kakinya di samping kanan perempuan
tua ini. Sedangkan Setan Hijau Pisau Terbang dan murid-murid Nek Srinita lainnya
mengikuti di belakang. Tak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka terus berjalan mengikuti perempuan tua
berjubah kuning gading ini.
*** Saat malam sudah mencapai puncaknya, Rangga baru tiba kembali ke Istana Karang
Setra. Seperti biasanya, dia selalu lewat jalan rahasia di bagian belakang
bangunan istana yang megah ini. Setelah menaruh kudanya di istal, Pendekar
Rajawali Sakti langsung menuju ke bangunan penjara bawah tanah yang tidak
beberapa jauh letaknya dari istal.
Dua orang prajurit penjaga segera membungkukkan tubuhnya memberi hormat, begitu
melihat raja mereka datang menghampiri. Meskipun Rangga me-genakan baju rompi
putih, tapi semua prajurit yang ada di Kerajaan Karang Setra ini sudah
mengetahuinya. Karena, Rangga memang seringkali muncul dengan pakaian
kependekarannya.
"Buka pintunya," perintah Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut salah seorang prajurit seraya membungkuk memberi
hormat Bergegas prajurit itu membuka pintu penjara bawah tanah ini lebar-lebar.
Sebentar Rangga mengamati keadaan lorong bawah tanah yang tampak terang oleh
nyala obor, kemudian melangkah masuk.
Dituruninya anak-anak tangga batu satu persatu.
Pintu penjara itu kembali tertutup setelah Rangga berada dalam.
Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah
menelusuri lorong yang tidak seberapa besar dan pengap itu. Keadaannya cukup
bersih dan terang oleh obor yang terpancang di kiri-kanan dinding batu
lorong penjara ini. Beberapa pintu yang terbuat dari jeruji besi sudah dilewati.
Tapi, pemuda tampan berbaju rompi putih itu terus mengayunkan kakinya.
Dan, dia baru berhenti setelah sampai di depan sebuah pintu besi baja yang
tertutup rapat. Dua orang prajurit terlihat berdiri berjaga di samping kiri dan
kanan pintu itu. Mereka segera membungkuk, menjura memberi hormat.
"Buka pintunya," perintah Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu."
Salah seorang prajurit bergegas membuka pintu yang terbuat dari besi baja
berukuran tebal itu lebar-lebar. Tampak di balik pintu itu terdapat sebuah
ruangan yang cukup besar dan kelihatan bersih.
sebuah pembaringan kecil yang terletak di sudut terlihat seorang gadis berbaju
merah muda tengah terbaring diam. Rangga melangkah masuk, dan minta pintu
ditutup kembali. Kedua prajurit itu menutup pintu setelah memberi hormat.
Perlahan Rangga menghampiri gadis cantik yang masih tetap terbaring diam. Gadis
cantik berbaju merah muda yang tak lain Nini Ratih itu hanya berpaling sedikit,
dan melirik Pendekar Rajawali Sakti.
Dia tetap terbaring, walaupun Rangga sudah berada di sampingnya.
"Aku menyesal kau menderita begini, Nini Ratih,"
ajar Rangga, membuka suara lebih dulu.
"Kau raja di sini. Kau bisa berbuat apa saja sesukamu," dengus Nini Ratih ketus.
"Kalau kau memilih berterus terang, tidak bakal berada di sini, Nini Ratih,"
kata Rangga lagi, masih tetap terdengar lembut suaranya.
"Hhh!"
Nini Ratih hanya tersenyum sinis. Tubuhnya
digeser, lalu bangkit duduk di tepi pembaringan.
Sementara Rangga mengambil kursi kayu, kemudian duduk tidak jauh di depan gadis
cantik itu. Beberapa hari terkurung didialam penjara, rupanya tidak juga
memudarkan kecantikannya. Sementara Rangga sempat menikmati kecantikan gadis ini
beberapa saat. Tapi cepat-cepat dibuangnya semua pikiran buruk yang tiba-tiba
saja terlintas dalam benaknya tanpa disadari.
"Kau tidak akan bisa membujukku, Pendekar Rajawali Sakti," desis Nini Ratih
dingin. "Tidak akan ada yang membujukmu, Nini Ratih.
Aku sudah tahu semua tentang dirimu. Juga gurumu.


Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Di Karang Setra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian pula tugas yang kau emban dari gurumu,"
kata Rangga sambil tersenyum
Begitu manis senyuman yang tersungging di bibir Pendekar Rajawali Sakti. Tapi,
Nini Ratih hanya melirik saja sedikit. Walaupun, dalam hatinya sempat juga
terkejut mendengar kata-kata Rangga barusan.
Dan dengan cepat keterkejutannya bisa dihilangkan.
Bahkan langsung memalingkan muka ke arah lain.
Sehingga, Rangga tidak sempat lagi melihat perubahan yang begitu cepat terjadi
di wajah cantik itu.
"Kalau mau, kau bisa keluar sekarang juga, Nini Ratih. Tapi sebaiknya, kau
bersihkan dulu dirimu.
Emban-emban istana akan memenuhi semua yang kau perlukan," kata Rangga, tetap
terdengar lembut nada suaranya.
"Kau tidak akan bisa membujukku dengan ber-manis-manis begitu, Pendekar Rajawali
Sakti," dengus Nini Ratih sinis.
Rangga hanya tersenyum saja. Dia bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Dua
kali pintu dari besi baja
yang kokoh ini diketuknya. Prajurit yang menjaga di-luar segera membuka pintu
itu lebar-lebar. Rangga berdiri saja di samping pintu yang sudah terbuka lebar.
Ditatapnya Nini Ratih dengan bibir masih menyunggingkan senyum manis.
"Ayo! Kau bisa keluar sekarang," ujar Rangga lembut.
Nini Ratih jadi berkerut keningnya. Dipandangi pemuda tampan itu dalam-dalam,
seakan-akan tidak percaya kalau dibebaskan begitu saja. Beberapa gadis itu masih
duduk diam di pinggir pembaringan kayu ini, kemudian berdiri dengan mata masih
memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan kakinya melangkah ke pintu, dan
terus melewatinya. Dua orang prajurit segera membungkuk memberi hormat begitu
Rangga melewatinya.
"Kalian lanjutkan tugas," kata Rangga pada kedua prajurit itu.
"Gamba, Gusti Prabu," sahut kedua orang prajurit itu bersamaan, seraya menjura
memberi hormat.
Sementara Rangga terus melangkah di samping Nini Ratih yang tampaknya masih
belum mengerti sikap manis Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra
ini. Berbagai macam pertanyaan dan dugaan berkecamuk dalam kepalanya. Tapi, tak
ada satu pun yang bisa terjawab. Nini Ratih juga tidak bisa menentukan pilihan
lagi. Dia terus saja berjalan di samping pemuda tampan yang selalu mengenakan
baju rompi putih ini. Dan sesekali, matanya melirik wajah yang tampan itu. Entah
kenapa, setiap kali lirikannya bertemu dengan sorot mata Rangga, ada getaran
aneh terasa di dadanya.
*** 6 Bukan hanya Danupaksi dan Pandan Wangi saja yang terheran-heran atas sikap
Rangga dengan membebaskan Nini Ratih. Bahkan hampir semua pembesar yang ada
dalam istana itu jadi telongong tak mengerti. Malah, Rangga memberikan empat
orang emban untuk memenuhi segala kebutuhan gadis itu.
Sampai-sampai Rangga juga memberi sebuah kamar yang indah. Tapi, tak ada seorang
pun yang berani bertanya. Apalagi menegurnya. Hanya Pandan Wangi dan Danupaksi
saja yang berani bertanya. Dan itu juga saat mereka menemui Pendekar Rajawali
Sakti di kamar Cempaka. Sedangkan Cempaka sendiri masih belum boleh meninggalkan
pembaringan, walaupun sudah tampak pulih kembali kesehatannya.
"Kakang, kenapa kau bebaskan wanita itu?" tanya Pandan Wangi.
"Dia bukan musuh. Jadi, tidak layak diperlakukan demikian," sahut Rangga kalem.
"Tapi dia sudah mengganggu ketenangan istana, Kakang. Bahkan sudah menghina dan
merendahkanmu," selak Danupaksi.
Rangga tidak menanggapi, tapi malah tersenyum.
Kemudian tubuhnya dihempaskan di kursi panjang dekat jendela kamar ini.
Sementara, Cempaka hanya memandanginya saja sambil duduk bersandar di
pembaringannya. Pandan Wangi mengambil tempat di samping adik tiri Pendekar
Rajawali Sakti itu. Sedangkan Danupaksi duduk agak jauh di depan Rangga. Mereka
semua memandangi Pendekar
Rajawali Sakti, tapi yang dipandangi seperti tidak peduli.
Rangga malah memejamkan mata. Kepalanya di-topang dengan kedua tangan yang
dilipat di belakang kepala. Kakinya dijulurkan lurus ke depan. Sama sekali tidak
dipedulikan pandangan-pandangan mata yang menuntut penjelasan dari sikapnya
dengan membebaskan Nini Ratih begitu saja. Bahkan gadis itu diperlakukan seperti
seorang tamu agung yang perlu mendapat penghormatan.
Cukup lama juga Rangga memejamkan matanya.
Dan kelopak matanya baru terbuka setelah dirasakan tidak ada lagi yang bersuara.
Senyuman kecil masih terus terlihat menyungging di bibirnya. Sebentar
dipandanginya Pandan Wangi dan kedua adik tirinya, yang juga tengah
memandanginya. "Kenapa kalian harus merisaukan Nini Ratih" Dia bukan musuh yang berbahaya.
Justru kedatangannya sebenarnya ingin membantu menyelesaikan persoalan yang
sedang kita hadapi sekarang ini.
Persoalan besar yang menyangkut keutuhan serta kejayaan Kerajaan Karang Setra.
Meskipun pada pokok utamanya, akulah yang menjadi sasaran," jelas Rangga kalem.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang," selak Pandan Wangi.
"Benar, Kakang. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan kalau dia bukan musuh,
sedangkan jelas sekali sikapnya sangat bermusuhan" Bahkan dia sudah menghina,
dan merendahkanmu di depan orang banyak. Bagaimana mungkin kau bisa
mengatakan yang sebaliknya, Kakang?" sambung Danupaksi meminta penjelasan.
"Aku tidak mengatakan yang sebaliknya, Danupaksi. Aku mengatakan kenyataan yang sebenarnya,"
bantah Rangga tegas.
"Tapi...," Danupaksi tidak meneruskan ucapannya.
Beberapa saat Danupaksi memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian kepalanya
terlihat bergerak menggeleng periahan beberapa kali. Sedangkan Rangga hanya
tersenyum saja, memandangi adik tirinya ini.
"Uh! Kau membalasku, Kakang. Kau membalas kami semua," rungut Danupaksi.
"Apa yang kubalas...?" tenang sekali nada suara Rangga.
"Baiklah, Kakang. Aku mengaku kalah. Aku memang salah, dan sudah mengakui semua
kesalahanku, Kakang. Memang tidak enak bila sesuatu dirahasiakan oleh orang
terdekat," ujar Danupaksi langsung merasa saat ini Rangga tengah membalasnya.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Rangga tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Danupaksi hanya mendengus saja,
sambil menekuk wajahnya sampai dagunya berlipat.
Rangga bangkit dari kursinya, dan melangkah menghampiri adik tirinya ini.
Ditepuknya pundak Danupaksi, lalu diajaknya berdiri. Danupaksi mengikuti saja
keinginan Pendekar Rajawali Sakti yang membawanya ke pembaringan, tempat Pandan
Wangi dan Cempaka berada di sana.
"Dengar! Kalian adalah orang-orang yang terdekat denganku. Kalian adalah
saudara-saudaraku. Jadi, tidak sepatutnya di antara kita semua tersimpan
rahasia. Kecuali, rahasia pribadi kalian masing-masing yang tidak perlu
diketahui orang lain. Kalian sudah merasakan, bagaimana kalau sesuatu dirahasiakan, bukan...?" ujar Rangga lembut dan perlahan-lahan.
Danupaksi dan Cempaka hanya diam saja.
Memang sulit bisa mengalahkan Rangga dalam segala hal. Merekalah yang pasti jadi
pecundang. Kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti saling melemparkan pandangan.
"Beberapa hari ini, aku selalu keluar menyelidiki rahasia apa yang kalian
simpan. Dan Danupaksi sudah mengatakannya padaku, walaupun tidak seluruhnya
terungkap. Tapi siang tadi, aku baru bisa mengetahui semua yang terjadi dan
menjadi rahasia kalian semua. Walaupun aku sendiri masih belum tahu, siapa biang
keladi semua ini sebenarnya," jelas Rangga.
"Tapi, Kakang...," selak Pandan Wangi cepat. "Apa ini ada hubungannya dengan
pembebasan Nini Ratih?"
"Jelas ada, Pandan."
"Ada...?"
"Ya! Karena, aku sudah tahu, siapa dia sebenarnya. Dan apa maksudnya datang ke
istana ini menemuiku. Semua itu dilakukan karena hanya ingin memancingku saja.
Dan semua yang dilakukannya hanya karena menjalankan perintah dari gurunya,"
jelas Rangga lagi.
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Kakang,"
selak Cempaka yang sejak tadi diam saja mendengarkan.
Rangga jadi tersenyum. Ditepuknya pundak gadis cantik adik tirinya ini dengan
lembut penuh kasih, dan cinta seorang kakak terhadap adiknya.
"Sebaiknya, kau cepat sembuh, Cempaka. Latih-lah otot-ototmu. Purnama nanti, aku
pasti memerlu- kan tenaga dan kepandaianmu. Akan ada peristiwa besar yang akan menguras tenaga
serta kepandaian kalian semua," kata Rangga masih juga belum membuka seluruh
rahasianya. "Bulan purnama..." Jadi, kau...," suara Danupaksi jadi tercekat di tenggorokan.
"Aku akan menyelesaikan semuanya saat itu, Danupaksi," kata Rangga seraya
tersenyum manis.
"Kakang...," desah Danupaksi tidak dapat lagi berkata-kata.
Danupaksi memang sudah tahu, apa yang akan terjadi pada bulan purnama nanti. Dan
dia tidak bisa lagi memendam kecemasannya. Danupaksi tahu, Rangga akan menerima
tantangan Dewi Mata Hijau untuk bertarung sampai mati di puncak Bukit Hantu.
Walaupun tidak pernah meragukan kepandaian dan kesaktian yang dimiliki Pendekar
Rajawali Sakti, tapi tetap saja Danupaksi merasa cemas. Karena seseorang yang
berani menantang Pendekar Rajawali Sakti untuk bertarung sampai mati, pasti
bukan orang sembarangan. Dan yang pasti, memiliki tingkat kepandaian sangat
tinggi. "Persiapkanlah diri kalian sebaik mungkin. Aku tidak mau ada di antara kalian
yang terluka," kata Rangga berpesan.
Setelah berkata demikian, Rangga melangkah meninggalkan kamar ini. Tinggal
Danupaksi, Pandan Wangi, dan Cempaka masih saling berpandangan.
Sementara, Pandan Wangi dan Cempaka benar-benar tidak mengerti semua yang
dikatakan Rangga tadi.
Hanya Danupaksi saja yang kelihatan sudah tahu, apa yang bakal terjadi pada
bulan purnama nanti di puncak Bukit Hantu.
"Kenapa Kakang Rangga berkata seperti itu" Apa
sebenarnya yang akan terjadi, Danupaksi...?" tanya Pandan Wangi. Nada suaranya
terdengar seperti menggumam.
"Hhh...," Danupaksi hanya menghembuskan napas panjang saja.
"Ceritakan, Danupaksi. Tampaknya kau sudah tahu," desak Pandan Wangi.
Sebentar Danupaksi terdiam, kemudian menceritakan apa yang akan terjadi pada bulan purnama nanti. Tentu saja Pandan
Wangi dan Cempaka jadi terkejut mendengarnya. Tapi, mereka juga sama seperti
Danupaksi, tidak mungkin bisa mencegah Pendekar Rajawali Sakti untuk bertarung
melawan Dewi Mata Hijau di puncak Bukit Hantu. Mereka semua tahu, apa yang sudah
diucapkan Rangga, tidak akan bisa ditarik kembali. Terlebih hal ini sebuah
tantangan pertarungan. Pantang bagi seorang pendekar untuk menolak tantangan
seperti itu. "Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?"
tanya Cempaka setelah Danupaksi menyelesaikan ceritanya.
"Tidak ada yang bisa kita lakukan, selain menuruti semua keinginan Kakang
Rangga," sahut Danupaksi, agak mendesah.
"Mempersiapkan diri untuk menghadapi orang-orangnya Dewi Mata Hijau...?" ujar
Cempaka lagi. "Benar!" sahut Danupaksi.
"Apa boleh buat..?" ujar Pandan Wangi seraya mengangkat bahunya sedikit.
Mereka tidak bicara lagi. Dan memang, tidak ada yang bisa dibicarakan, ataupun
dilakukan lagi. Mereka hanya bisa mengikuti saja, apa yang dikatakan Pendekar
Rajawali Sakti tadi. Mereka harus mempersiapkan diri untuk menyambut sebuah
peristiwa be- sar yang akan menjadi sejarah bagi Kerajaan Karang Setra. Di puncak Bukit Hantu
nanti, nasib Karang Setra selanjutnya ditentukan. Apakah pendekar-pendekar muda
Karang Setra ini mampu mempertahan-kan kejayaan Kerajaan Karang Setra..."
*** Pagi-pagi sekali, Rangga sudah berada di
punggung kudanya. Seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap, dan dikenal bernama
Dewa Bayu. Di sebelah kiri, terlihat seekor kuda lain berkulit coklat muda yang
gagah. Bibir Pendekar Rajawali Sakti menyung-gingkan senyuman begitu melihat
Nini Ratih keluar dari dalam istana. Gadis cantik berbaju merah muda itu
melangkah menuruni anak-anak tangga istana. Dan tanpa berbicara sedikit punt dia
melompat naik ke punggung kuda yang ada di sebelah Pendekar Rajawali Sakti.
Gerakannya cukup indah dan ringan, pertanda tingkat kepandaiannya cukup tinggi.
Tak lama kemudian, kedua ekor kuda itu sudah bergerak meninggalkan Istana Karang
Setra yang megah ini. Tampak di pintu depan istana, terlihat Pandan Wangi dan
Danupaksi memandangi kepergian mereka.
"Mau ke mana mereka pergi, Danupaksi?" tanya Pandan Wangi, terus mengarahkan
pandangan ke arah Rangga dan Nini Ratih, sampai lenyap di balik pintu gerbang.
"Entahlah. Kakang Rangga tidak mengatakannya padaku," sahut Danupaksi.
"Hm...," gumam Pandan Wangi.
Dan mereka tidak bicara lagi. Danupaksi meninggalkan si Kipas Maut itu sendirian di ambang pintu. Sementara itu, Rangga
dan Nini Ratih terus berkuda perlahan-lahan, semakin jauh meninggalkan Istana
Karang Setra. Mereka terus bergerak menuju ke arah Timur. Beberapa kali Nini
Ratih melirik wajah tampan yang berada di punggung kuda hitam itu.
"Bukankah jalan ini menuju Bukit Hantu...?" kata Nini Ratih begitu mereka
berbelok memasuki jalan tanah yang tampaknya sudah jarang dilalui lagi.
"Benar," sahut Rangga tanpa menghentikan langkah kaki kudanya.
"Mau apa kau mengajakku ke sana?" tanya Nini Ratih bemada menggugat.
"Kau belum lupa dengan tujuanmu menemuiku, bukan...?" Rangga malah balik
bertanya. Nini Ratih hanya diam saja.
"Sekarang, bukan kau yang membawaku. Tapi, justru aku yang akan membawamu pada
Nek Srinita,"
sambung Rangga kalem.
"Heh..."!"
Nini Ratih jadi tersentak setengah mati, seperti mendengar suara petir rasanya.
Padahal pagi ini langit kelihatan begitu cerah dan bening sekali. Tidak mungkin
ada petir di pagi yang cerah ini. Tapi, kata-kata Rangga barusan membuat Nini
Ratih seperti mendengar petir da siang hari bolong. Bahkan langkah kaki kudanya
langsung dihentikan. Maka, Rangga ikut berhenti. Pendekar Rajawali Sakti
langsung menatap langsung ke bola mata gadis cantik ini.
"Kenapa kau terkejut" Bukankah ini yang kau inginkan...?" tanya Rangga terus
merayapi wajah gadis cantik ini.
"Tidak...," desis Nini Ratih.
"Eh, tidak..."!"
Kali ini justru Rangga yang jadi terkejut
"Aku tahu, kau baik dan berbudi luhur. Maka ku-minta, kau membiarkan aku pergi
sendiri sekarang,"
kata Nini Ratih bernada memohon.
Rangga tidak bisa lagi menahan keheranannya.
Hatinya benar-benar bingung dan tidak mengerti atas sikap gadis ini. Perlahan
Pendekar Rajawali Sakti turun dari punggung kudanya. Sementara, Nini Ratih masih
tetap duduk di punggung kuda coklat itu beberapa saat. Kemudian, gadis itu juga
melompat turun dengan gerakan indah dan ringan.
"Kau ada masalah?" tanya Rangga ingin tahu.
"Aku tidak bisa kembali ke sana lagi. Maaf...,"
sahut Nini Ratih.
"Kenapa?"
"Aku sudah gagal. Aku tidak berani lagi menghadap Nek Srinita. Biarkan aku
pergi. Katakan saja kalau aku kabur dari tahananmu," kata Nini Ratih kembali
memohon. "Tidak mungkin, Nini Ratih. Aku sudah berjanji akan membawamu kembali. Jangan
khawatir. Kau tidak gagal dalam mengemban tugasmu. Dan lagi, bukan hanya kau
sendiri yang mengemban tugas itu.
Tapi ada lagi yang lainnya. Toh mereka juga tidak bisa membawaku untuk menemui
gurunya. Tapi, mereka kembali lagi ke sana bukan sebagai orang yang gagal,"
bujuk Rangga lembut.
"Aku mohon, jangan paksa aku kembali ke sana,"
pinta Nini Ratih.
"Tentu ada alasan lain, sehingga kau tidak mau kembali lagi pada gurumu," desak
Rangga meminta penjelasan.
Nini Ratih hanya diam saja.
"Katakan padaku, Nini Ratih. Mungkin aku bisa membantumu menyelesaikan


Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Di Karang Setra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persoalan," desak Rangga lagi.
"Kau tidak akan bisa membantu. Persoalanmu sendiri lebih besar dariku."
"Aku tinggal menunggu waktu saja. Dan persoalan-ku akan selesai kalau sudah
sampai pada waktunya.
Sedangkan kau sendiri, aku yakin kau butuh seseorang yang bisa membantu
menyelesaikannya,"
kata Rangga lagi. "Percayalah. Aku akan membantu menyelesaikan persoalanmu."
"Kau yakin...?"
"Kenapa tidak...?"
"Tapi, aku sudah menghinamu. Merendahkanmu di depan orang banyak."
"Tidak ada persoalan, Nini Ratih. Mereka memaklumi semua yang kau lakukan. Kau
hanya mengemban tugas saja. Dan mereka juga akan bersikap seperti itu kalau
mendapat tugas yang harus di-laksanakan. Tidak ada seorang pun yang bisa
mengelak dari tugas yang harus dijalankan," masih terdengar lembut sekali nada
suara Rangga. Nini Ratih terdiam membisu. Dan Rangga juga tidak berkata lagi. Dia tahu, Nini
Ratih tengah memikirkan ucapannya tadi. Perlahan kepala yang tertunduk, bergerak
terangkat. Dan pandangan matanya langsung bertemu sorot mata Rangga yang begitu
lembut dan meneduhkan hati. Begitu panjang sekali gadis ini menghembuskan
napasnya. "Kau pasti akan membenci kalau sudah tahu persoalannya," kata Nini Ratih pelan.
"Katakan saja, Nini Ratih. Aku pasti bisa memper-timbangkan dari sudut pandang
yang baik," ujar Rangga lembut.
"Aku telah mencuri kitab pusaka intisari ilmu-ilmu Nek Srinita," hampir tidak
terdengar suara Nini Ratih.
Rangga tidak dapat lagi menyembunyikan keterkejutannya. Sementara, Nini Ratih
menundukkan kepalanya, seakan-akan tidak sanggup lagi menentang sorot mata
Pendekar Rajawali Sakti. Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka terdiam
membisu. Perlahan Rangga mengangkat dagu gadis itu dengan ujung jarinya,
sehingga mereka kembali saling berpandangan.
"Kenapa kau lakukan itu?" tanya Rangga lembut
"Aku terpaksa. Nyawa adikku terancam," sahut Nini Ratih.
Kedua bola mata bening gadis itu langsung terlihat berkaca-kaca. Rangga mengajak
ke tempat yang lebih teduh. Mereka kemudian duduk berhadapan di bawah rindangnya
sebatang pohon, dan membiarkan kuda-kuda mereka merumput
"Nek Srinita tahu kalau keselamatan adikmu terancam?" tanya Rangga lagi.
"Tidak. Bahkan tidak tahu kalau aku masih punya seorang adik," sahut Nini Ratih.
Rangga jadi terdiam.
"Aku ikut Nek Srinita baru tiga tahun ini. Dan kepandaian yang kuperoleh pun
belum banyak. Tapi, sebelumnya aku memang sudah menguasai jurus-jurus ilmu olah
kanuragan yang kupelajari dari mendiang ayahku sebelum meninggal. Nek Srinita
tidak tahu kalau aku masih punya adik. Dan sekarang, adikku menjadi tawanan.
Adikku akan dibunuh bila aku tidak bisa mencuri kitab pusaka intisari ilmu-ilmu
Nek Srinita. Juga, aku harus membunuhmu. Atau paling tidak, mencelakakanmu.
Setelah itu, dia baru akan membebaskan adikku,"
cerita Nini Ratih dengan nada begitu sendu.
"Seharusnya, kau berterus terang pada Nek Srinita, Nini Ratih," ujar Rangga
menyesalkan tindakan gadis ini.
"Aku tidak berani. Aku baru tiga tahun ikut dengannya."
"Lalu, kitab itu sudah kau serahkan?" tanya Rangga.
"Belum. Masih ada padaku, dan kusimpan di tempat yang tidak ada seorang pun
mengetahuinya."
"Siapa yang menyandera adikmu?" tanya Rangga lagi.
"Dewi Mata Hijau. Dia juga yang membunuh kedua orangtuaku," sahut Nini Ratih,
masih agak tersendat suaranya.
"Adikmu sudah besar?"
"Baru berumur lima tahun."
Rangga terdiam beberapa saat. Nini Ratih juga tidak berkata-kata lagi. Beberapa
saat mereka terdiam. Entah apa yang ada dalam benak masing-masing.
"Serahkan semuanya padaku, Nini Ratih. Biar persoalanmu dengan Nek Srinita aku
yang akan menyelesaikan. Aku yakin, Nek Srinita akan bertindak adil dan bijaksana," kata
Rangga. "Aku..., aku berhutang budi padamu..."
"Ah, sudahlah.... Lupakan saja. Ayo..."
Rangga bangkit berdiri. Tangannya diulurkan untuk membantu gadis cantik ini
berdiri. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah kembali berkuda menuju bagian
Timur lereng Bukit Hantu.
"Rangga... boleh aku memanggilmu Kakang...?"
tanya Nini Ratih setelah lama terdiam.
"Dengan senang hari, Ratih," sahut Rangga seraya tersenyum.
"Kau ingin membawa kitab itu juga?" Nini Ratih menawarkan.
"Aku rasa, itu akan lebih bagus lagi," sahut Rangga.
"Tapi, bagaimana dengan adikku?" tanya Nini Ratih.
"Percayalah. Aku akan membebaskannya," janji Rangga.
"Terima kasih, Kakang," desah Nini Ratih perlahan.
Begitu pelannya, sehingga hampir tak terdengar di telinga Pendekar Rajawali
Sakti. Rangga tersenyum senang. Mereka terus berkuda, tapi kali ini arah yang dituju
bukan lereng sebelah Timur Bukit Hantu. Mereka akan mengambil dulu kitab yang
dicuri Nini Ratih dari Nek Srinita, yang disembunyikan di tempat aman.
*** 7 Apa yang dikatakan Rangga memang benar. Nek Srinita bertindak sangat bijaksana
setelah mengetahui muridnya sendiri mencuri kitab intisari dari ilmu-ilmu yang
dimilikinya. Bahkan dia begitu prihatin mendengar adik Nini Ratih kini berada di
tangan Dewi Mata Hijau, sebagai sandera untuk melemahkan Pendekar Rajawali
Sakti. Setelah menyelesaikan persoalan Nini Ratih pada gurunya, Rangga kemudian
berpamitan. Tapi, Nek Srinita mencegahnya. Hal ini membuat Pendekar Rajawali
Sakti tidak jadi meninggalkan pertapaan perempuan tua ini. Dan di dalam ruangan
gua yang cukup besar ini, sekarang tinggal mereka berdua saja, setelah Nini
Ratih mohon diri.
"Kau tetap akan memenuhi tantangannya malam nanti, Rangga?" tanya Nek Srinita
ingin memastikan tekad Pendekar Rajawali Sakti dalam menanggapi tantangan Dewi
Mata Hijau. "Pantang bagiku untuk menolak tantangan, Nek,"
sahut Rangga mantap.
"Tapi kau harus berhati-hati, Rangga. Dewi Mata Hijau memiliki ilmu-ilmu yang
sangat tinggi tingkatan-nya. Bahkan aku sendiri, rasanya tidak mungkin bisa
mengalahkannya," pesan Nek Srinita.
Rangga hanya tersenyum saja. Entah apa arti senyumnya. Hanya dia sendiri yang
bisa mengetahuinya.
"Nek, apakah Dewi Mata Hijau memiliki banyak pengikut?" tanya Rangga ingin
memastikan lagi.
"Lebih besar dari pasukan prajurit yang kau miliki, Rangga. Itulah sebabnya,
kenapa aku ingin menemui-mu. Aku hanya ingin memperingatkanmu saja, kalau lawan
yang akan kau hadapi tidak bisa dipandang enteng. Buktinya, berpuluh-puluh
prajuritmu telah tewas sewaktu berusaha menggempur Dewi Mata Hijau. Tapi,
terutama sekali kau harus berhati-hati dengan senjata-senjatanya. Semua
senjatanya mengandung racun yang sangat mematikan. Terlebih lagi, senjata
rahasianya. Kau tidak boleh memandang enteng padanya. Perlu kau ingat, dia
sangat ahli dalam menggunakannya," jelas Nek Srinita memperingatkan lagi.
Rangga terdiam.
"Dan satu lagi yang harus kau hindari, Rangga,"
sambung Nek Srinita.
"Apa itu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Kau harus hindari tatapan matanya," sahut Nek Srinita.
"Maksudmu, Nek...?"
"Kalau matanya sudah berubah menjadi hijau, maka jangan sekali-sekali menentang
sorot matanya. Kau akan lemah. Bahkan seluruh kekuatan yang ada padamu akan terisap habis. Kau
bisa jadi kembali seperti bayi. Di matanya itulah sumber kekuatan yang dimiliki
Dewi Mata Hijau. Dan ini yang paling berbahaya. Karena, selama ini tak ada
seorang pun yang bisa mengalahkan sorot matanya. Kau harus bisa berusaha
menghindar. Sekali saja matamu ter-tangkap, sulit untuk melepaskannya kembali."
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
"Tapi aku yakin, kau pasti bisa menandinginya.
Karena, kau juga memiliki ilmu yang hampir sama dengan ilmu 'Mata Iblis' si Dewi
Mata Hijau itu,"
sambung Nek Srinita.
Rangga agak terkejut. Sungguh tidak disangka kalau perempuan tua ini tahu benar
akan dirinya. Sampai-sampai semua kepandaian yang dimilikinya juga diketahui. Dan memang
benar, Pendekar Rajawali Sakti memiliki satu ilmu kesaktian yang hampir sama
dengan ilmu 'Mata Iblis' si Dewi Mata Hijau. Dan ilmu itu memang menjadi ilmu
pamungkasnya yang sangat diandalkan. Ilmu yang dinamakan aji 'Cakra Buana Sukma'
memang sangat dahsyat. Terlebih lagi, Rangga sudah bisa menyempurnakannya sampai
pada tingkat terakhir.
"Rangga! Kau adalah cucu suriku. Jadi, kau tidak perlu khawatir. Aku akan selalu
berada di belakang-mu. Semua yang kuketahui tentang Dewi Mata Hijau akan
kuberikan, agar kau bisa mengambil titik kelemahannya," kata Nek Srinita lagi.
"Terima kasih, Nek," ucap Rangga terharu.
"Sudahlah. Ayo ikut aku," ajak Nek Srinita seraya bangkit berdiri.
Rangga juga ikut bangkit berdiri, dan melangkah mengikuti perempuan tua bertubuh
agak bungkuk yang mengenakan jubah panjang warna kuning gading ini. Mereka
berjalan menyusuri lorong gua yang cukup panjang tanpa berbicara lagi. Hingga
akhirnya, mereka tiba di mulut gua yang sangat kecil ukurannya.
Rangga terpaksa membungkukkan tubuhnya untuk melewati mulut gua ini. Dan
tembusan mulut gua ini temyata adalah ke sebuah air terjun kecil yang
sekelilingnya terlihat begitu indah. Rangga merasakan seperti berada di dalam
sebuah taman yang begitu indah dan alami.
"Di balik air terjun itu, aku menyimpan banyak
rahasia alam dan kehidupannya. Juga, semua manusia yang menghuni bumi ini. Kau
akan menemukan rahasia terpendam dari Dewi Mata Hijau," jelas Nek Srinita.
"Hm.... Bagaimana kau bisa mengetahui segalanya tentang Dewi Mata Hijau, Nek?"
tanya Rangga ingin tahu.
"Aku senang mengamati tokoh-tokoh persilatan yang hidup di mayapada ini, Rangga.
Dan hampir semua tokoh persilatan tingkat tinggi, tidak luput dari perhatianku.
Bahkan mereka kebanyakan tidak tahu kelemahannya sendiri. Tapi, aku bisa melihat
dan mengetahui kelemahannya. Hanya saja, aku tidak pernah senang mencari
perkara. Kalau mau, aku bisa menguasai seluruh rimba persilatan," jelas Nek
Srinita, tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Hebat..," puji Rangga tulus.
"Kau masih punya waktu, Rangga. Sebaiknya pelajarilah dulu calon lawanmu.
Terutama, kau harus bisa mengetahui kelemahannya. Aku yakin, kau akan mudah
mengalahkannya, kalau sudah mengetahui kelemahannya," ujar Nek Srinita.
Tapi Rangga hanya tersenyum saja. Kemudian kepalanya menggeleng perlahan
beberapa kali. "Maaf, Nek. Bukannya aku tidak menghargai usahamu. Tapi, aku merasa tindakan itu
tidak jujur. Sedangkan aku menginginkan pertarungan jujur,"
tolak Rangga halus.
"Kau akan menghadapi kesulitan, Rangga."
"Serahkan saja segalanya pada Sang Hyang Widi, yang menguasai seluruh mayapada
ini, Nek."
"Aku hanya ingin membantumu, Rangga. Aku tidak bisa melihat kau tewas di
tangannya. Sedangkan aku mempunyai titik-titik kelemahan lawanmu," ujar Nek
Srinita, terdengar perlahan suaranya.
"Terima kasih, Nek. Aku sangat menghargai usahamu itu. Tapi, maaf. Aku tidak
bisa menerimanya. Aku hanya ingin sebuah pertarungan jujur dan bersih,"
Rangga tetap menolak halus.
"Tapi dia sangat licik, Rangga."
"Aku akan bertindak hati-hati. Mudah-mudahan Sang Hyang Widi berkehendak
membantuku," ucap Rangga lembut
"Oh! Kau tidak jauh berbeda dengan ayahmu, Rangga. Keras dan sulit diubah
pendiriannya," desak Nek Srinita terkenang pada cucu surinya.
"Maafkan aku, Nek," ucap Rangga menyesal, karena tidak menuruti keinginan
perempuan tua ini.
"Ah, sudahlah... Aku bisa mengerti, Rangga. Aku justru menghargai tindakanmu.
Aku hanya bisa ber-harap, kau mampu menandinginya. Hanya itu...."
"Terima kasih, Nek."
Sampai hari menjelang senja, Rangga baru
meninggalkan pertapaan Nek Srinita. Dengan menunggang Dewa Bayu, Pendekar
Rajawali Sakti langsung menuju puncak Bukit Hantu.
Memang, sebenarnya tempat tinggal Nek Srinita di kaki Bukit Hantu. Tapi sampai
sejauh ini, Dewi Mata Hijau memang tidak mengetahuinya. Apalagi, tempat itu
memang tersembunyi sekali. Jarang orang yang dapat menemukan, kalau bukan
bersama tuan rumahnya. Sementara, secara diam-diam, Nek Srinita dan murid-muridnya mengikuti Pendekar
Rajawali Sakti dari jarak yang cukup jauh. Sedangkan dari arah Kotaraja Karang
Setra, terlihat Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi juga sudah bergerak menuju
ke Bukit Hantu. Di belakang mereka, terlihat para
prajurit yang berjumlah ratusan orang mengikuti.
Bahkan hampir semua panglima ikut dalam
barisan itu. Seakan-akan Kerajaan Karang Setra benar-benar akan menghadapi
perang besar. Mereka bergerak tidak terialu tergesa-gesa menuju Bukit Hantu,
tempat bersemayamnya Dewi Mata Hijau yang belum jelas orangnya itu. Di situlah
Dewi Mata Hijau menentukan tempat pertarungannya dengan
Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, matahari terus merayap semakin
tenggelam di belahan bumi bagian Barat. Cahayanya yang semula begitu terik, kini
terasa lembut menyapu kulit. Terasa begitu lembut matahari tenggelam.
Seakan-akan ingin turut menyaksikan pertarungan besar di puncak Bukit Hantu.
Sementara, Rangga sendiri sudah hampir tiba di puncak Bukit Hantu. Keadaan
begitu sunyi dan sangat mencekam. Rangga melompat turun dari punggung kudanya.
Sebentar matanya merayapi keadaan sekitarnya yang begitu sunyi senyap. Bahkan
desiran angin pun serasa tidak terdengar lagi.
"Hm.... Kenapa begitu sunyi keadaannya...?"
gumam Rangga dalam hati.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan berkeliling, kemudian
menepuk leher Dewa Bayu. Kuda bertubuh tinggi tegap itu meringkik kecil,
kemudian berlari cepat menuruni lereng Bukit Hantu ini. Binatang itu seperti
mengerti kalau Rangga meminta agar ditinggalkan sendiri saja.
"Masih cukup banyak waktu. Sebaiknya, aku cari dulu tempat persembunyian Dewi
Mata Hijau. Mudah-mudahan saja, aku masih sempat menyelamatkan adiknya Nini
Ratih," gumam Rangga lagi, berbicara sendiri dalam hati.
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat, mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu sempurnanya,
sehingga bentuk tubuhnya jadi menghilang. Dan yang teriihat kini hanya sebuah
bayangan putih yang berkelebat begitu cepat di antara lebatnya pepohonan di
Bukit Hantu ini.,
Hanya dalam waktu sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di puncak
Bukit Hantu. Keadaan di puncak bukit ini semakin terasa angker dan mengerikan.
Semua pepohonan yang tumbuh begitu besar dengan cabang-cabangnya yang menjulur,
bagaikan tangan-tangan raksasa yang siap melumat siapa saja yang berani
memasukinya. Rangga baru berhenti berlari setelah tiba di sebuah padang rumput
yang tidak begitu luas di puncak Bukit Hantu ini.
"Hm..."
Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut.
Sorot matanya begitu tajam, merayapi keadaan padang rumput yang tidak seberapa
luas ini. Seakan-akan padang rumput ini merupakan sebuah
gelanggang yang sudah siap menerima pertarungan antara hidup mati dua anak
manusia. Pandangannya langsung tertuju pada sebuah bangunan batu yang tidak
begitu besar, berdiri tegak di seberang padang rumput ini.
"Itukah tempat tinggal Dewi Mata Hijau...?" gumam Rangga perlahan, bertanya pada
diri sendiri. Setelah mengamati keadaan sekitamya beberapa saat, Rangga baru melangkah
memasuki padang rumput yang tidak begitu besar ini. Telinganya dipasang tajam

Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Di Karang Setra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajam, mencoba mendengarkan suara yang sangat halus sekalipun. Bahkan Rangga
mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi
baru saja berjalan beberapa langkah....
"Hih!"
Cepat sekali Rangga melompat, ketika tiba-tiba saja dari dalam tanah di bawah
kakinya menyembul sebuah tangan yang hampir mencengkeram kakinya.
Dan begitu kakinya menjejak tanah lagi, saat itu juga bermunculan sekitar
sepuluh sosok dari dalam tanah.
Mereka langsung mengepung Pendekar Rajawali Sakti, dengan golok yang tajam
berkilatan tergenggam di tangan masing-masing.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah..!"
Tanpa berbicara sedikit, orang-orang yang bermunculan dari da lam tanah itu
langsung berlompatan menyerang. Cepat-cepat Rangga melenting ke udara,
menghindari beberapa bilah golok yang berkelebatan di sekitar tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Saat itu juga, Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' Kedua
tangannya terkembang lebar, dan membuat gerakan-gerakan yang begitu cepat luar
biasa. Begitu cepat gerakannya, sehingga dua orang yang berada dekat dengannya
tidak sempat lagi berkelit.
Dua kali jeritan panjang melengking terdengar seketika, disusul ambruknya dua
orang dengan kepala pecah terkena hantaman tangan Pendekar Rajawali Sakti yang
mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hiyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat memutar tubuhnya. Setelah
berjumpalitan beberapa kali di udara, cepat sekali tubuhnya meluruk deras.
Kedua kakinya tampak bergerak begitu cepat luar
biasa. Plak! "Akh...!"
Satu orang lagi terjungkal, begitu kepalanya terkena tendangan dari jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Memang sungguh cepat luar biasa gerakan
jurus-jurus yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, sangat sulit
diikuti pandangan mata biasa.
Belum lagi hilang jeritan melengking yang begitu menyayat, kembali terdengar
pekikan keras yang kemudian disusul ambruknya dua orang lagi. Dalam beberapa
gebrakan saja, Rangga sudah berhasil me-lumpuhkan lima orang penyerangnya. Dan
mereka yang masih tetap hidup, cepat-cepat berlompatan mundur. Tampak di mata
mereka tedihat sinar kegentaran dalam menghadapi jurus-jurus maut yang begitu
cepat dan dahsyat dari Pendekar Rajawali Sakti.
*** "Kalau kalian ingin bernasib sama dengan mereka, ayo majulah!" dengus Rangga
dingin, sambil menunjuk lima tubuh yang bergelimpangan tak bernyawa lagi.
Tampak lima orang yang masih tersisa itu saling berpandangan satu sama lain.
Kegentaran begitu jelas tersirat dari sorot mata mereka. Sementara, Rangga sudah
menyilangkan tangan kanannya di depan dada. Sorot matanya begitu tajam, merayapi
wajah-wajah yang mencerminkan kegentaran itu.
"Ayo maju kalian semua!" sentak Rangga garang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup! Hiyaaat...!"
Begitu kelima orang itu berlompatan menyerang, bagai kilat Rangga melenting ke
udara. Lalu, cepat sekali dilepaskannya beberapa pukulan bertenaga dalam tinggi
secara beruntun. Begitu cepat pukulan yang dilepaskannya, sehingga tidak ada
seorang pun dari lawan-lawannya yang bisa lagi menghindar.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar saling susul.
Tampak kelima orang yang bersenjatakan golok itu bertumbangan ambruk menggelepar
di atas tanah berumput cukup tebal yang sudah digenangi darah. Hanya beberapa
gebrakan saja, lima orang itu sudah tidak mampu lagi meng-gerakkan tubuhnya.
Mereka tewas seketika, terkena pukulan-pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali' yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Rangga
berdiri tegak, memandangi sepuluh orang yang tergeletak tak bernyawa lagi Darah
tampak semakin membasahi
rerumputan. "Hm.... Rupanya Dewi Mata Hijau benar-benar sudah mempersiapkan penyambutan
untukku," gumam Rangga dalam hati.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kaki perlahan-lahan. Pandangan
matanya tertuju lurus ke depan, ke arah bangunan kecil yang tampaknya terbuat
dari batu di seberang padang rumput ini.
Kembali, dikerahkannya aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Matanya pun terpentang
lebar, tak berkedip sedikit pun. Kesunyian kembali menyelimuti padang rumput
yang tidak seberapa luas ini.
Saat Pendekar Rajawali Sakti berada di tengah-tengah padang rumput ini, tibatiba saja kedua
kelopak matanya jadi terbeliak lebar. Tampak tanah berumput di depannya
menggembung dan bergerak cepat ke arahnya.
"Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ketika gundukan tanah yang
bergerak itu hampir menyentuh ujung jari kakinya. Dua kali dia berputaran di
udara, lalu manis sekali mendarat di tanah berumput tebal ini. Dan pada saat
itu.... Brusss! Dari gundukan tanah yang bergerak itu menyembul seorang laki-laki tua berbaju
hitam kumal yang kotor penuh lumpur. Rambutnya yang panjang, dibiarkan meriap
tak terarur. Bahkan tampak kusut, penuh tanah melekat Tubuhnya agak bungkuk,
disangga sebatang tongkat kayu di tangan kanan.
"He he he...! Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda.
Rasanya, aku juga tidak akan sia-sia datang jauh-jauh ke sini," terasa begitu
kering suara laki-laki tua bungkuk dan kumal itu.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Rangga dengan sorot mata tajam.
"He he he... Memang tidak enak rasanya kalau di antara kita tidak saling
mengenal. Baik. Aku biasa dipanggil si Ular Tanah. Dan kau tidak perlu
memperkenalkan diri, karena aku sudah tahu siapa julukan mu Anak Muda," kata
laki-laki tua itu masih dengan suara kering sekali.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.
Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti masih terlihat begitu tajam, menusuk langsung
ke bola mata laki-laki tua berbaju kumal dan kotor penuh lumpur ini.
Meskipun belum pemah bertemu, tapi Rangga yakin kalau laki-laki tua yang mengaku
berjuluk Ular Tanah
itu mempunyai maksud yang tidak berbeda dengan Dewi Mata Hijau. Dia pasti hendak
menantang Pendekar Rajawali Sakti untuk bertarung sampai salah seorang di antara
mereka ada yang mati.
"Aku mengakui, kau memang tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Kau sanggup
mengalahkah sepuluh orang muridku dalam beberapa gebrakan saja. Tapi, itu belum
berarti kau bisa mengalahkan aku dengan mudah," kata si Ular Tanah lagi.
"O..., jadi mereka itu muridmu?" desis Rangga agak sinis. "Lalu, apa maksudmu
menghadangku di sini?"
"Tentunya kau sudah tahu jawabannya, Pendekar Rajawali Sakti. Nah,
bersiaplah...!" sahut si Ular Tanah dingin.
Bet! Cepat sekali laki-laki tua itu mengebutkan tongkatnya ke depan. Dan seketika itu
juga, dari ujung tongkatnya menyembur lidah api yang langsung menyambar ke arah
pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hup!"
Namun dengan gerakan indah sekali, Rangga berhasil menghindari jilatan api dari
ujung tongkat si Ular Tanah. Dan belum juga Rangga bisa menarik tubuhnya tegak
kembali, mendadak saja si Ular Tanah sudah melompat begitu cepat. Langsung
tongkatnya dikebutkan ke arah kepala.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
*** 8 Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Ular Tanah memang tidak
dapat lagi dihindari Dan itu memang sudah diperhitungkan Rangga sebelumnya. Dia
sudah tahu, tidak akan mungkin bisa bertemu langsung dengan si Dewi Mata Hijau.
Jelas, tidak sedikit rintangan yang harus dihadapi.
Menyadari akan hal itu, Rangga tidak lagi
tanggung-tanggung menghadapi si Ular Tanah ini.
Langsung dikeluarkannya jurus-jurus dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'
yang begitu dahsyat dan sukar dicari tandingannya. Bahkan Rangga langsung
mengerahkannya pada tingkatan yang terakhir dari setiap jurus yang dimainkannya
ini. "Uts! Setan...!"
Si Ular Tanah jadi merutuk, begitu kepalanya hampir saja terkena sambaran tangan
Rangga yang mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'
saat itu. Untung kepalanya cepat dirundukkan, sehingga serangan itu berhasil
dihindari. "Hiyaaat...!"
Tapi belum juga si Ular Tanah bisa menarik tegak kepalanya lagi, Rangga sudah
begitu cepat merubah jurusnya. Seketika dikeluarkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Cepat sekali pukulannya terlontar, begitu kepalan tangannya telah
berwarna merah bagai berlumur darah.
"Yeaaah...!"
"Heh..."!"
Si Ular Tanah jadi terbeliak setengah mati. Cepat-cepat tokoh tua itu melompat
ke belakang beberapa langkah. Tanpa diduga sama sekali, pukulan yang dilontarkan
Rangga mengandung hempasan angin yang begitu kuat, dan mengandung hawa panas
yang sangat menyengat. Si Ular Tanah yang sama sekali tidak menyangka, dan tidak
dapat lagi berkelit menghindar. Maka...
Desss! "Akh...!"
Keras sekali tubuh tua itu terpental ke belakang, begitu angin pukulan dari
jurus 'Pukulan Maut-Paruh Rajawali' tingkat terajdiir menghantam dada yang kurus
kerempeng. "Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Rangga melenting mengejar si Ular Tanah yang terpental akibat
dadanya terkena sambaran angin pukulannya tadi. Begitu cepatnya lesatan pemuda
berbaju rompi putih itu, sehingga satu pukulan lagi yang dilepaskannya langsung
menghantam dada si Ular Tanah.
Diegkh! "Aaakh...!" kembali si Ular Tanah memekik keras melengking tinggi.
Tubuh si Ular Tanah meluncur deras, dan kembali menghantam tanah begitu keras.
Sementara itu, Rangga sudah menjejakkan kakinya sekitar enam langkah lagi dari
laki-laki tua ini. Tampak darah kental agak kehitaman merembes keluar dari sudut
bibir si Ular Tanah.
"Kau.... Kau memang tangguh, Pendekar Rajawafi Sakti," puji si Ular Tanah
tersendat. Belum juga si Ular Tanah berhasil mengangkat tangannya, langsung jatuh kembali
dan tak bergerakgerak lagi. Seketika itu juga, si Ular Tanah tewas dengan dada remuk terkena dua
kali pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Hm...," Rangga menggumam kecil.
Sebentar dipandanginya tubuh si Ular Tanah yang sudah tidak bergerak lagi.
Kemudian tubuhnya diputar dan kembali melangkah menuju ke bangunan kecil yang
terbuat dari baru di seberang padang rumput ini. Keadaan bangunan rumah itu
masih tetap keUhatan sunyi, seperti tidak ada penghuninya. Dan letaknya pun
sangat terpencil, sehingga hampir ter-samar pepohonan dan bebatuan jika dilihat
dari seberang padang rumput ini.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja Rangga dikejutkan lagi oleh bentakan keras yang menggelegar.
Maka, ayunan kakinya kembali terhenti seketika. Saat itu, terlihat dua buah
bayangan berkejebat begitu cepat di depannya. Dan tahu-tahu, sekitar satu batang
tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri dua orang laki-laki
bertubuh tinggi tegap dan berotot Bukan hanya bentuk tubuhnya saja yang sama,
tapi juga wajah mereka begitu mirip. Hanya pakaiannya saja yang membedakan satu
sama lain. Yang satu mengenakan baju warna merah, dan yang satunya lagi memakai
baju warna biru tua. Mereka sama sama memegang sebatang tombak yang panjang
ukurannya. "Hm... Iblis Tombak Kembar," desis Rangga menggumam perlahan. Langsung bisa
mengenali dua orang kembar ini.
*** "Kau terlalu cepat, Pendekar Rajawali Sakti. Matahari saja belum tenggelam, tapi
kau sudah muncul di sini," terasa dingin nada suara Tombak Merah.
"Di mana aku bisa bertemu Dewi Mata Hijau?"
tanya Rangga langsung.
"Tidak semudah itu bisa menemuinya, Pendekar Rajawali Sakti. Lagi pula, ini
belum waktunya," sahut Tombak Merah agak sinis.
Rangga menatap tajam pada dua orang kembar ini. Kemudian kakinya terayun
melangkah. Tapi baru saja berjalan tiga langkah, mendadak saja Iblis Tombak
Kembar sudah menghunuskan tombaknya yang panjang ke depan. Ujung tombak yang
bermata kuning keemasan itu tertuju lurus ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Maka,
terpaksa Rangga menghentikan langkahnya.
"Kau harus menunggu sampai tengah malam nanti, Pendekar Rajawali Sakti," desis
si Tombak Merah, dingin.
"Kalau aku tidak mau..."!" dengus Rangga, tidak kalah dinginnya.
"Itu berarti kau harus melewati kami dulu," sahut si Tombak Merah tegas.
"Hhh...!"
Rangga tersenyum sinis.
"Sebaiknya jangan terlalu memaksa, Pendekar Rajawali Sakti. Lihat sekelilingmu,"
selak si Tombak Biru yang sejak tadi hanya diam saja.
Begitu si Tombak Biru mengangkat tombaknya ke atas, saat itu juga bermunculan
orang-orang yang semuanya menghunus senjata berbagai macam
bentuk. Rangga jadi terkejut. Dalam waktu yang singkat, seluruh padang rumput
ini sudah terkepung
begitu rapat. Entah berapa jumlahnya. Kemunculan mereka bagaikan keluar dari
dalam tanah. Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling.
Tampak dilihatnya juga tidak sedikit yang sudah siap dengan anak panah terpasang
di busur. Saat itu disadari kalau keadaannya saat ini sangat tidak
menguntungkan. Jelas Pendekar Rajawali Sakti tidak mungkin bisa melawan begitu
banyak orang, yang jumlahnya bisa dikatakan dua kali lipat daripada jumlah
prajurit yang ada di Kerajaan Karang Setra.
Begitu banyaknya hingga padang rumput ini jadi penuh.
"Baik... Aku akan datang lagi tengah malam nanti,"
terpaksa Rangga harus mengalah, mengingat keadaan dirinya yang tidak
menguntungkan sama sekali.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mundur. Tapi baru saja berjalan
beberapa langkah ke belakang, mendadak saja terdengar teriakan-teriakan keras
melengking yang saling susul. Tampak orang-orang yang mengepung padang rumput,
di puncak Bukit Hantu ini kontan jadi berantakan.
"Heh..."! Apa itu...?" sentak si Tombak Merah terkejut.
Keterkejutan si Tombak Merah langsung terjawab seketika. Ternyata, keributan
yang terjadi itu karena para prajurit Karang Setra sudah datang. Bahkan langsung
menggempur orang-orangnya Dewi Mata Hijau. Dan pada saat itu juga, terlihat Nek
Srinita dan murid-muridnya sampai di sini. Mereka langsung saja terjun membantu
para prajurit Karang Setra.
"Keparat kau, Pendekar Rajawali Sakti...!" desis si Tombak Merah.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah.,.!"
Cepat sekali si Iblis Tombak Kembar melompat bersamaan menyerang Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Namun dengan gerakan cepat dan ringan sekali, Rangga berhasil menghindari
serangan yang dilancarkan laki-laki kembar ini. Sementara, pertempuran di puncak
Bukit Hantu ini terus beriangsung semakin sengit. Jeritan-jeritan kematian
terdengar begitu menyayat, bercampur-baur dengan teriakan-teriakan pertempuran
dan denting senjata beradu.
Sedangkan Rangga terpaksa harus menghadapi si Iblis Tombak Kembar. Tapi dengan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' rasanya memang terlalu sulit bagi si Iblis Tombak


Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Di Karang Setra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembar untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-gerakan dari jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', membuat Pendekar Rajawali Sakti begitu sulit dijamah.
Tubuhnya begitu lentur, diimba-ngi gerakan kaki yang sangat lincah. Bahkan
terka-dang seperti bukan gerakan-gerakan ilmu olah kanuragan. Namun begitu,
masih terialu sulit bagi si Iblis Tombak Kembar untuk memasukkan serangannya.
"Hup!"
Tap! Tiba-tiba saja, Rangga mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, ketika
si Tombak Biru menghunjamkan tombak ke arahnya. Begitu cepat gerakan tangannya,
sehingga si Tombak Biru tidak sempat lagi menarik tombaknya. Dan seketika itu
juga, ujung mata tombaknya sudah terjepit kuat di antara dua telapak tangan
Rangga. "Hih! Yeaaah...!."
Dan mendadak saja, Pendekar Rajawali Sakti
menghentakkan tangannya ke depan, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah
mencapai tingkat sempurna.
"Akh...!"
Si Tombak Biru jadi tersentak kaget, tapi tidak bisa lagi berbuat sesuatu.
Seketika tubuhnya terpental deras ke belakang. Begitu tubuhnya menghantam tanah,
dia tidak bangun-bangun lagi. Pingsan! Dan pada saat itu juga, Rangga melesat
cepat bagai kilat sambil melepaskan satu pukulan dahsyat menggeledek ke arah
dada si Tombak Merah.
"Hap!"
*** Tapi si Tombak Merah sudah lebih cepat lagi berkelit menghindar. Namun belum
juga bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba saja Rangga sudah memberi
satu tendangan keras menggeledek yang begitu dahsyat. Begitu cepatnya serangan
Pendekar Rajawali Sakti, sehingga membuat si Tombak Merah tidak sempat lagi
berbicara atau berbuat sesuatu. Karena, tendangan keras menggeledek yang
dilepaskan Rangga menghantam telak dadanya.
Diegkh! "Akh...!"
Seketika itu juga si Tombak Merah terpental jauh ke belakang, sambil memekik
keras. "Hup! Hiyaaa...!"
Rangga tidak sudi lagi membuang-buang waktu. Di saat kedua lawannya tengah
mengerang merasakan sakit, Rangga sudah melompat cepat ke rumah batu yang ada di
seberang padang rumput ini. Hanya
beberapa kali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di depan pintu
yang tertutup rapat.
Tapi baru saja Rangga menjejakkan kakinya sekitar satu batang tombak di depan
pintu, mendadak saja....
Wusss! "Uts...!"
Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, ketika tiba-tiba saja dari
pintu yang mendadak terbuka melesat sebuah benda yang memancarkan cahaya kejauhijauan. Benda kecil bercahaya biru itu terus meluncur deras, melewati samping
tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Dan baru saja Rangga bisa menegakkan tubuhnya lagi, terlihat sebuah bayangan
hijau meluncur keluar begitu cepat sekali dari dalam rumah baru ini. Dan kini
tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri seorang wanita berwajah cantik. Bajunya
warna hijau ketat Kecantlkan dan kemolekan tubuhnya agak menghilang oleh sorot
mata dan raut wajah yang memancarkan kebengisan.
"Kau yang berjuluk Dewi Mata Hijau?" tanya Rangga langsung, bernada dingin
sekali. "Benar! Aku memang Dewi Mata Hijau," sahut wanita cantik berbaju hijau,
membenarkan dugaan Rangga barusan.
"Kenapa kau lakukan semua ini, Nisanak?" tanya Rangga.
"Karena kau seorang pendekar yang begitu terkenal dan pilih tanding, juga namamu
sudah terkenal di daerah Utara, itulah yang membuatku jadi penasaran. Dan aku
memang sudah bertekad untuk menantangmu bertarung, Pendekar Rajawali Sakti,"
sahut Dewi Mata Hijau berterus terang.
"Kau hanya menantangku saja...?" Rangga seperti tidak percaya dengan alasan yang
dikemukakan wanita cantik ini. Namun belum juga Rangga bisa menghilangkan
keheranannya, tiba-tiba....
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Rangga cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, ketika tiba-tiba saja Dewi Mata
Hijau menyerang begitu cepat.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Dewi Mata Hijau terus merangsek Pendekar
Rajawali Sakti dengan jurus-jurus dahsyat luar biasa.
Akibatnya Rangga terpaksa harus menghindari serangan-serangan dahsyat ini dengan
berjumpalitan di udara, sambil meliuk-liukkan tubuhnya. Jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimainkan Rangga saat ini memang belum bisa untuk
menjajagi kemampuan lawan.
Entah berapa jurus sudah berlalu, tapi pertarungan itu masih terus berjalan
sengit. Dan Rangga seperti sengaja tidak memberi serangan balasan. Hingga pada
satu saat, mereka sama-sama menghentakkan kedua tangan ke depan. Maka tak pelak
lagi, dua pasang tangan itu beradu keras, sampai menimbulkan ledakan menggelegar
bagai guntur. "Hup!"
"Hap...!"
Secara bersamaan, mereka menjejakkan kaki di tanah. Tapi, jarak mereka memang
tidak jauh, dan hanya sekitar tujuh langkah lagi saja. Sementara, Dewi Mata
Hijau sudah membuat gerakan-gerakan yang begitu cepat dengan kedua tangannya,
setelah membuang tombaknya ke samping.
"Pandang mataku, Rangga...," desis Dewi Mata
Hijau. "Oh..."!"
Rangga jadi terkejut, begitu tiba-tiba saja melihat sepasang bola mata Dewi Mata
Hijau jadi berubah hijau menyala, seperti sepasang lampu pelita. Dia jadi ingat
kata-kata Nek Srinita. Cepat-cepat pandangannya dialihkan ke arah lain. Tapi
pada saat itu juga, Rangga merasakan seluruh tubuhnya seperti ter-serang hawa
dingin yang semakin lama semakin menggigilkan.
"Oh, apa ini...?" desis Rangga bertanya sendiri dalam hati.
Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika melihat tangannya jadi
berwarna hijau. Bahkan seluruh tubuhnya juga seperti terselubung cahaya hijau.
Dan lebih terkejut lagi, begitu merasakan adanya kekuatan yang begitu mendesak,
seperti memerintah dirinya agar memandang bola mata wanita cantik yang dijuluki
Dewi Mata Hijau. itu. Kekuatan itu semakin menggila, mendesak dirinya.
"Ugkh...!"
Rangga mulai mengeluh. Cepat disadarinya kalau tadi memang sempat memandangi
bola mata yang hijau itu. Dan apa yang dikatakan Nek Srinita memang benar. Kini,
dia harus berjuang keras melawan gempuran maha dahsyat ini.
"Hih...!"
Sret! Cring...! Cepat sekali Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti dari punggungnya. Cahaya biru
terang langsung menyemburat keluar begitu pedang di punggung Rangga tercabut
dari warangka. Pendekar Rajawali Sakti langsung melintangkan pedangnya di depan
dada. Kemudian, telapak tangan kirinya menempel di mata pedang yang memancarkan
sinar biru menyilaukan mata itu.
Perlahan telapak tangan kiri itu bergerak menggosok mata pedang dari pangkal
sampai ke ujung.
Lahi, kembali lagi ke pangkal Pedang Rajawali Sakti.
Saat itu juga, sinar biru yang memancar keluar dari mata pedang langsung
menggumpal membentuk
bulatan di ujung pedang.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'. Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat Rangga menghentakkan
pedangnya ke depan.
Dan seketika itu juga, bulatan cahaya biru yang menggumpal di ujung pedang
meluncur deras ke arah Mata Hijau. Tapi pada saat yang bersamaan, dari kedua
bola mata wanita cantik berbaju serba hijau itu juga meluncur cahaya hijau yang
teramat terang.
Blarrr..! Ledakan keras menggelegar seketika terdengar menggetarkan mayapada, begitu dua
cahaya yang mengandung kekuatan dahsyat bertemu di tengah-tengah. Tampak Rangga
tergeser dua langkah ke belakang. Sementara, Dewi Mata Hijau juga terdorong
beberapa langkah ke belakang.
"Hap!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menggosok lagi mata pedangnya dengan telapak
tangan kiri. Dan begitu cehaya biru kembali menggumpal, langsung dipindahkan ke
tangannya. Secepat pedang pusaka-nya dimasukkan kembali ke dalam warangkanya di
punggung, secepat itu pula kedua tangannya yang memancarkan cahaya biru
dihentakkan ke depan, sambil berteriak keras menggelegar.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'. Hiyaaa...!"
Slap! "Yeaaah...!"
Dua cahaya kembali terlihat melesat begitu cepat.
Tapi pada saat itu, tiba-tiba saja Rangga menggeser kakinya cepat-cepat ke
kanan. Gerakan Pendekar Rajawali Sakti membuat Dewi Mata Hijau jadi terkejut
setengah mati. Tapi, dia tidak sempat lagi berbuat sesuatu. Apalagi cahaya biru
yang meluncur dari kedua telapak tangan. Pendekar Rajawali Sakti sudah
menghantam tubuhnya. Sedangkan sinar hijau yang keluar dari bola matanya terus
lewat di samping tubuh pemuda berbaju rompi putih ini.
"Akh...!"
"Hih!"
Rangga segera mengerahkan seluruh kekuatannya di dalam aji 'Cakra Buana Sukma',
saat merasakan adanya perlawanan dari wanita cantik berbaju hijau ini. Pendekar
Rajawali Sakti jadi tersentak kaget, saat merasakan kalau dirinya seperti
tertarik kekuatan yang begitu besar.
Sedikit demi sedikit kaki Pendekar Rajawali Sakti mulai bergerak ke depan.
Namun, Rangga berusaha untuk tetap bertahan. Seluruh kekuatan di dalam aji
'Cakra Buana Sukma' dikerahkan sampai tingkat terakhir. Sehingga dari telapak
kakinya yang terus bergerak menyusur tanah, terlihat asap mengepul.
Sementara, seluruh tubuh Dewi Mata Hijau sudah berselubung cahaya biru yang
memancar semakin terang dan menyilaukan dari kedua telapak tangan Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi, dari kedua bola matanya juga mengeluarkan sinar hijau yang
menyelimuti seluruh tubuh pemuda berbaju rompi putih itu. Dua kekuatan dahsyat
kini bertarung saling menarik kekuatan masing masing lawan.
"Hih!"
Rangga mulai mengeluh. Keringat mulai terlihat menitik dari pori-pori tubuhnya.
Bahkan keringat yang keluar bukan keringat biasa, melainkan titik-titik darah!
"Hm.... Akan kucoba menarik aji 'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati.
Dan begitu aji kesaktiannya yang sangat dahsyat itu ditarik, seketika tubuh
Pendekar Rajawali Sakti terpental tertarik ke depan dengan cepat sekali. Hal ini
membuat Dewi Mata Hijau jadi terperanjat setengah mati. Sungguh tidak disangka
kalau Rangga akan mencabut aji kesaktiannya begitu cepat Tapi belum juga hilang
rasa terkejutnya, tiba-tiba saja...
"Hiyaaa...!"
Sret! Bet! "Heh..."!"
Bagaikan kilat, Rangga mencabut pedang pusaka-nya dan langsung dibabatkan ke
leher wanita cantik berbaju hijau ini. Begitu cepatnya, sehingga Dewi Mata Hijau
hanya mampu terbeliak saja. Sehingga...
Cras! "Aaakh...!"
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melenting ke belakang dan berputaran beberapa kali, begitu
pedangnya membabat leher Dewi Mata Hijau. Manis sekali kakinya menjejak kembali
ke tahah. Tampak Dewi Mata Hijau berdiri tegak dengan bola mata yang berwarna
hijau terbeliak lebar. Mulutnya ternganga, seperti melihat hantu. Tapi hal itu
hanya sebentar saja. Karena beberapa saat kemudian, tubuhnya jadi limbung, dan
langsung ambruk ke tanah dengan kepala terpisah
dari leher. Darah langsung muncrat keluar dari lehernya yang buntung tak
berkepala lagi. Dewi Mata Hijau langsung tewas seketika, begitu tubuhnya
menyentuh tanah.
Jeritan panjang melengking tinggi tadi, rupanya mengejutkan mereka yang tengah
bertempur. Saat itu, si Iblis Tombak Kembar yang melihat Dewi Mata Hijau dengan
kepala buntung, langsung cepat melesat pergi. Maka, pengikut-pengikut wanita
cantik itu jadi kalang-kabut, karena pemimpinnya sudah tewas di tangan Pendekar
Rajawali Sakti.
Hal ini membuat mereka tidak mampu lagi
menahan gempuran para prajurit Karang Setra yang dibantu Nek Srinita dan muridmuridnya. Bahkan tidak sedikit yang melarikan diri mencari selamat Hingga tak
berapa lama kemudian, pertarungan pun berhenti. Sementara, Rangga berdiri tegak
mematung memandangi mayat Dewi Mata Hijau.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang dan berat.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Dan bibirnya langsung
tersenyum begitu melihat Nini Ratih melangkah menghampirinya sambil menuntun
seorang anak kecil berusia sekitar lima tahun. Di belakangnya, mengikuti Nek
Srinita, Pandan Wangi, Cempaka, dan Danupaksi. Sementara para prajurit Karang
Setra yang dipimpin panglimanya, membersihkan seluruh puncak Bukit Hantu ini
dari sisa-sisa para pengikut Dewi Mata Hijau.
"Terima kasih, Kakang. Kau telah mengembalikan adikku," ucap Nini Ratih begitu
dekat di depan Rangga.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Sejak semula, aku sudah yakin kalau kau pasti
mampu mengalahkannya," kata Nek Srinita.
"Yaaah.... Aku sendiri hampir tidak kuat tadi," desah Rangga, jujur mengakui.
Rangga kemudian mengajak mereka semua
kembali ke Karang Setra.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (dedig)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pendekar Patung Emas 1 Pendekar Gila 16 Istana Berdarah Bangau Sakti 5

Cari Blog Ini