Pendekar Rajawali Sakti 72 Korban Ratu Pelangi Bagian 2
terlongong bengong menyaksikan pertstiwa yang berlangsung cepat itu.
"Siapa pun kalian berdua, aku tidak ada urusan sama sekali. Aku harap kalian
jangan lagi mencari gara-gara denganku!" tegas Rangga.
Setelah memberi peringatan, Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke arah
kudanya. Manis sekali lompatan pemuda berbaju rompi putih itu. Dia langsung
hinggap di atas pelana kuda hitamnya yang selalu dipanggilnya kuda Dewa Bayu.
Pada saat yang hampir bersamaan, Pandan Wangi juga segera melompat naik ke
punggung kudanya. Tanpa berbicara sedikit pun, kedua pendekar muda dari Karang
Setra itu langsung menggebah kudanya dengan cepat meninggalkan si Tongkat Merah
Samber Nyawa yang masih berdiri terlongong seperti tengah bermimpi.
5 Rangga dan Pandan Wangi terus memacu kudanya dengan kecepatan yang tinggi,
keluar dari kota Kadipaten Kuring. Mereka baru berhenti menggebah kudanya
setelah sampai di tepi hutan yang ada di luar perbatasan kota sebelah utara.
Mereka langsung ber-lompatan turun dari punggung kudanya masing-masing. Kemudian
kuda-kuda itu dibiarkan melepas dahaga di pinggiran sebuah sungai kecil yang
mengalir jernih. Sementara itu senja semakin merayap turun. Dan, keremangan
mulai menyelimuti mayapada ini.
"Siapa mereka itu tadi, Kakang?" tanya Pandan Wangi sambil mengempaskan dirinya
di bawah pohon yang berumput cukup tebal.
"Entahlah, aku tidak kenal dengan mereka," sahut Rangga sambil mengangkat
bahunya. Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri menyandar-kan punggungnya di pohon yang
tidak seberapa jauh dari Pandan Wangi. Pandangannya tertuju pada dua ekor kuda
yang sedang melepas dahaga di pinggiran sungai kecil di tepi hutan ini.
Sedangkan Pandan Wangi mengamati wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun
sudah sering pergi mengembara bersama-sama, tidak pernah ada rasa bosan baginya
memandangi wajah tampan itu. Dan, Pandan Wangi selalu merasa senang bila dapat
berdekatan dengan Rangga dan memandangi wajah lelaki gagah itu.
"Tapi, kenapa mereka mengenalmu, dan langsung menyerangmu, Kakang?" tanya Pandan
Wangi lagi, masih belum mengerti tentang peristiwa yang dialami Rangga barusan.
"Apa kau tidak dengar apa yang mereka katakan, Pandan..." Mereka ingin
membuktikan bahwa aku benar-benar Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku rasa, mereka
menyerangku tidak dengan sungguh-sungguh. Tapi ingin membuktikan diriku yang
sebenarnya saja."
"Hm..., apa itu mungkin, Kakang?" tanya Pandan Wangi agak menggumam, seakan
pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.
"Entahlah. Terlalu dini untuk bisa menduganya.
Sikap mereka aneh sekali. Aku yakin, mereka tidak kenal denganku secara
langsung. Dan mereka tadi hanya ingin membuktikan tentang diriku yang
sesungguhnya. Hm..., ada apa sebenarnya ini...?"
"Kakang...."
Rangga berpaling menatap gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu. Dan gadis itu
langsung beranjak berdiri, melangkah menghampirinya. Dia berdiri di samping
Pendekar Rajawali Sakti, lalu memeluk lengan yang kekar dan berotot kuat itu.
Rangga membiarkan Pandan Wangi menunjukkan kemanjaannya.
Dia kembali mengarahkan pandangannya pada kuda-kuda mereka yang kini sedang
merumput dengan nikmat sekali di tepian sungai kecil itu. Rerumputan di sana
sangat subur sehingga seperti tidak akan pernah habis dilahap kuda sebanyak apa
pun. "Kau ingat ketika kita makan di kedai tadi...?" ujar Pandan Wangi bernada
bertanya. "Maksudmu...?" Rangga balik bertanya tidak mengerti.
"Dua orang yang menyerangmu tadi rasanya juga berada di kedai itu. Tapi aku
tidak begitu memperhatikan, karena masih ada orang lain lagi di sana,"
kata Pandan Wangi, agak ragu-ragu.
"Kau menduga mereka bukan penduduk Kadipaten Kuring ini, Pandan?" tanya Rangga
menebak. "Mungkin. Dan tampaknya mereka para pengembara, Kakang. Dari pakaian dan senjata
yang digunakan, aku yakin kalau mereka dari kalangan persilatan. Tapi..., apa
maksudnya mereka menyerangmu, Kakang..?"
Rangga tidak menyahut. Dia diam saja sambil mengedarkan pandangannya
berkeliling. Sementara itu matahari sudah benar-benar tenggelam di balik belahan
bumi bagian barat. Namun, beruntung sekali, saat ini bulan bersinar penuh dan
langit tampak bercahaya oleh gemerlapnya bintang-bintang yang ber-taburan di
angkasa bagai mutiara. Malam tampak begitu indahnya.
Rangga melepaskan pelukan Pandan Wangi pada tangannya. Kemudian dia mengumpulkan
ranting-ranting kering yang banyak berserakan di sekitar tepian hutan ini.
Dengan ranting-ranting kering itu, dia membuat api unggun. Pandan Wangi langsung
duduk di dekat api unggun yang dibuat Rangga. Udara di tepian hutan ini sudah
terasa dingin. meskipun malam belum begitu lama jatuh menyelimuti permukaan bumi
ini. "Tolooong..."!"
"Heh..."! "
"Apa itu...?"
Kedua pendekar muda itu terkejut mendengar teriakan itu. Suara itu terdengar
sangat jelas, tampaknya tak jauh dari tempat mereka berada saat ini. Bergegas
kedua pendekar muda dari Karang Setra bangkit berdiri. Sebentar mereka memasang
telinga, mencoba mencari sumber teriakan tadi.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Rangga melesat cepat begitu telinganya mendengar suara-suara yang
datang dari arah timur. Pandan Wangi pun tidak mau ketinggalan.
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan
hampir sempurna, si Kipas Maut bergegas melesat mengikuti Pendekar Rajawali
Sakti. *** "Hey...!" Rangga membentak keras.
Dia melihat, sekitar sepuluh orang berpakaian seragam prajurit tengah menyeret
seorang laki-laki muda yang berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti
gembel. Bentakan Rangga yang begitu keras membuat para prajurit itu terkejut
setengah mati. Mereka langsung berhenti. Sambil mencabut pedang masing-masing
yang tergantung di pinggang. Sedangkan dua di antara para prajurit itu masih
memegangi tambang yang mengikat kedua tangan pemuda pengemis.
"Apa yang kalian lakukan ini, heh...?" tanya Rangga agak mendelik, melihat para
prajurit itu menyiksa seorang pemuda pengemis.
"Siapa kau..." Jangan ikut campur urusan ini!"
bentak salah seorang prajurit dengan kasar,
"Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri,
"Kenapa kalian menyiksa pengemis itu?"
"Ini bukan urusanmu, Anak Muda! Pergi saja kau dari sini!" bentak prajurit itu
semakin kasar. Pada saat itu Pandan Wangi sudah sampai. Dia juga terkejut melihat seorang
pengemis menggeletak
di tanah dengan kedua tangan menyatu terikat tambang. Pakaiannya yang sudah
kumal dan compang-camping tampak semakin rusak karena terlalu jauh terseret Pengemis itu
merintih, menahan perih pada sekujur tubuhnya yang lecet akibat terseret tadi.
"Lepaskan dia. Kalian tidak boleh menyiksa orang yang lemah," kata Rangga tegas.
"Ha ha ha...!"
Para prajurit itu malah tertawa terbahak-bahak.
Dan empat di antaranya langsung maju mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu
dengan sikap yang pongah dan angkuh sekali. Sedang Rangga dan Pandan Wangi tetap
berdiri tegak dengan sinar mata tajam menusuk.
"Enyah dari sini. Atau kau sudah bosan hidup, heh...!" desis salah seorang
prajurit itu dingin.
"Sebaiknya, justru kalian yang harus pergi dari sini!" selak Pandan Wangi tidak
kalah dinginnya.
"He...! Bocah Ayu, kau tahu sedang berhadapan dengan siapa, heh..." Kami para
prajurit pilihan Kadipaten Kuring. Tak ada seorang pun yang bisa memerintah kami
selain Gusti Adipati Paturakan!"
"Hm..."!"
Rangga dan Pandan Wangi tampak terkejut mendengar nama Adipati Paturakan
disebut. Sedangkan keempat orang prajurit tadi makin mendekat saja.
Pedang mereka terhunus di tangan masing-masing.
"He he he.... Kalian pasti terkejut mendengar nama Gusti Adipati Paturakan.
Sebaiknya kalian cepat enyah dari sini, sebelum pedang-pedang kami me-menggal
leher kalian," kata prajurit itu lagi, yang makin pongah tingkahnya.
Namun, secara tak terduga Pandan Wangi melompat kilat ke arah pengemis muda yang masih merintih dan menggeletak di tanah
itu. Begitu cepatnya gerakan si Kipas Maut, sehingga tak ada seorang pun yang
sempat menyadarinya. Dan, tiba-tiba Pandan Wangi sudah mengeluarkan kipas baja
putihnya yang sakti. Langsung dikebutkannya kipas itu ke tambang yang mengikat
ke dua tangan si pengemis muda.
*** Tas! "Hup...!"
Secepat kilat pula, Pandan Wangi langsung menyambar pengemis muda itu. Dan,
tiba-tiba ia sudah berada sekitar sepuluh langkah di belakang Rangga, sambil
menyangga pengemis muda yang sudah terbebas dari kekangan para prajurit itu.
"Setan keparat..!" geram salah seorang prajurit yang tampaknya menjadi pemimpin
mereka. Sedangkan Rangga hanya tersenyum melihat
tindakan Pandan Wangi yang begitu cepat itu. Senyuman di bibir Pendekar Rajawali
Sakti ini semakin lebar saat Pandan Wangi memapah pengemis muda itu ke tempat
yang cukup aman.
"Bunuh mereka semua...!"
"Hiyaaa...! "
"Yeaaah...!"
Begitu keluar perintah yang keras menggelegar, sepuluh orang berseragam prajurit
itu langsung ber-hamburan menyerang Rangga.
"Hup! Yeaaah...!"
Tanpa membuang waktu lagi, Rangga langsung menyongsong serangan para prajurit
itu. Gerakannya
bagai kilat. Beberapa pukulan keras yang disertai serta tenaga dalam dilontarkan
cepat sekali, sehingga para prajurit itu tak sempat lagi berkelit.
Jeritan-jeritan panjang dan keluh kesakitan terdengar saling susul. Terlihat
segera lima prajurit bergelimpangan terkena pukulan keras Pendekar Rajawali
Sakti itu. Hanya sekali gebrakan saja, Rangga sudah mampu merobohkan lima orang
prajurit. Belum lagi lima prajurit lainnya menyadari apa yang telah terjadi, Rangga
kembali melepaskan pukulan beruntun yang luar biasa cepatnya. Kembali terdengar
jeritan-jeritan panjang yang saling susul.
Dan lagi-lagi terlihat para prajurit jatuh bergelimpangan sambil mengaduh
kesakitan. Sehingga, tak ada lagi seorang prajurit pun yang bisa berdiri.
Dan, entah bagaimana caranya, Rangga sudah me-rampas semua pedang para prajurit
yang kini bergelimpangan sambil merintih kesakitan.
"Cepat kalian pergi dari sini. Jangan sampai aku lepaskan nyawa kalian!" ancam
Rangga dingin menggetarkan.
Cring! Sekali lempar saja, sepuluh bilah pedang yang berada di tangannya langsung
menancap berbaris di dekat para prajurit yang berusaha bangkit sambil terus
menyeringai kesakitan itu. Dan, begitu bisa berdiri tanpa berkata apa-apa lagi
mereka langsung berlari berserabutan, tanpa memikirkan lagi pedangnya yang
tertancap berbaris seperti pagar di tanah.
Rangga tersenyum saja melihat tingkah para prajurit itu.
Si Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik dan melangkah menghampiri Pandan
Wangi yang tengah
merawat pengemis muda itu. Pandan Wangi langsung menyingkir, membiarkan Rangga
menggantikan dirinya memeriksa luka-luka pengemis muda itu.
"Hanya luka luar," ujar Rangga setelah memeriksa luka-luka itu.
"Terima kasih, Kisanak...," ucap pengemis itu agak lirih.
"Siapa namamu" Dan kenapa kau sampai disiksa para prajurit itu?" tanya Rangga
lembut sekali. "Namaku Wadira. Mereka mau membawaku ke puncak Gunung Tambur," sahut pengemis
muda itu, yang masih meringis menahan rasa perih di sekujur tubuhnya yang lukaluka. "Ke Gunung Tambur..." Untuk apa?" tanya Pandan Wangi menyetak.
"Sudah banyak yang dibawa mereka ke sana. Ter-utama kami, para pengemis dan
gelandangan yang ada di Kadipaten Kuring ini. Dan tak ada seorang pun yang
kembali kalau sudah dibawa ke sana," kata pengemis muda yang mengaku bernama
Wadira itu. "Aneh...," desah Pandan Wangi menggumam perlahan.
"Sejak si Tangan Api menguasai Kadipaten Kuring, semuanya langsung berubah. Dan
dia sekarang menjadi Adipati di sini. Dia menangkapi para pengemis dan
gelandangan, lalu membawanya ke Gunung Tambur. Bahkan Gusti Adipati Bayangkala
dan putra-nya, Raden Pangrona, juga dibawa ke sana. Anak angkat pemimpin kami,
Jaka Gembel, juga dibawa ke Puncak Gunung Tambur. Sampai sekarang ini tidak ada
kabarnya lagi. Sedangkan putri Gusti Adipati Bayangkala, Ayu Dewi Winarti,
sekarang berada dalam tawanan si Tangan Api itu," tanpa diminta lagi Wadira
menjelaskan keadaan yang sedang terjadi di
Kadipaten Kuring ini.
Rangga dan Pandan Wangi berpandangan. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa
sudah terjadi perubahan yang begitu besar di Kadipaten Kuring ini.
Siang tadi, sama sekali mereka tidak melihat adanya perubahan. Hanya saja,
mereka memang tidak lagi melihat pengemis dan gelandangan berkeliaran di jalanjalan seperti biasanya. Kadipataen Kuring memang dikenal sebagai kota pengemis,
karena begitu banyaknya pengemis dan gelandangan hidup di kota kadipaten ini.
Sebelumnya mereka sama sekali tidak memperhatikan hilangnya para pengemis itu.
Kini mereka baru tahu, Adipati Paturakan yang dijuluki si Tangan Api ternyata
menangkapi para pengemis dan gelandangan. Mereka lalu dibawa ke Puncak Gunung
Tambur. Kota itu sekarang benar-benar terbebas dari kaum pengemis dan
gelandangan. Memang tindakan pembersihan yang bagus, tapi Rangga melihat adanya
sesuatu yang tidak wajar di balik tindakan ini. Di samping itu, dia tidak pernah
membeda-bedakan manusia, baik itu para pembesar dan saudagar kaya, rakyat biasa,
maupun para gelandangan. Jiwa kependekaran Rangga langsung ter-sentuh mendengar
kisah yang dituturkan Wadira barusan.
"Wadira, ceritakanlah apa yang teriadi sebenarnya di Kadipaten Kuring ini,"
pinta Rangga, serius.
"Menyedihkan sekali...," sahut Wadira mendesah panjang,
"Menyedihkan..." Apa maksudmu, Wadira?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Sulit untuk dikatakan. Sebaiknya kalian tanyakan saja hal ini pada Ki Gembel
Bungkuk," sahut Wadira
seraya bangkit berdiri.
Wadira masih meringis saat bergerak berdiri. Rasa perih masih menyengat seluruh
tubuhnya yang penuh oleh luka gores. Rangga dan Pandan Wangi pun ikut berdiri.
"Siapa itu Ki Gembel Bungkuk?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Ayah angkat semua kaum gembel dan pengemis,"
sahut Wadira. "Dia tahu semua yang teriadi di Kadipaten Kuring ini. Bahkan dia
yang menjaga ke-selamatan Ayu Dewi Winarti di istana kadipaten."
"Tampaknya ini masalah yang serius sekali, Kakang. Tidak baik jika sebuah
kadipaten dipimpin oleh orang yang salah," kata Pandan Wangi. "Akibatnya akan
buruk nanti bagi seluruh rakyat Kadipaten itu sendiri. "
"Tapi Gusti Adrpati Bayangkala juga tidak baik dalam menjalankan
pemerintahannya," selak Wadira.
"Maksudmu...?" tanya Rangga.
"Dia memerintah dengan tangan besi. Apa saja yang diinginkannya harus
terlaksana, bagaimanapun sulitnya. Dia memang tak pernah memusuhi kaum pengemis
dan gelandangan. Bahkan dia memberi tempat pada kaum kami di Kadipaten ini.
Hanya saja, dia...," Wadira tidak melanjutkan kata-katanya.
"Hanya saja apa, Wadira?" desak Rangga ingin tahu.
"Dia selalu memperkaya diri. Dia tidak pernah mau memperhatikan nasib dan
kesejahteraan rakyatnya.
Bahkan dia memaksa rakyat untuk menyerahkan berbagai macam upeti yang sangat
tinggi. Maka, ketika si Tangan Api berhasil menggulingkannya, seluruh rakyat
jadi gembira. Terlebih lagi, si Tangan Api berjanji akan mengubah tata kehidupan
seluruh rakyat di
Pendekar Rajawali Sakti 72 Korban Ratu Pelangi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kadipaten Kuring ini. Tapi itu semua hanya janji kosong. Buktinya dia sudah
menangkapi para pengemis dan gelandangan, lalu membuangnya ke Puncak Gunung
Tambur. Entah bagaimana nasib mereka yang sudah dibawa ke sana. Aku yakin, kalau
tidak ada lagi pengemis dan gelandangan, rakyat pun akan mendapat giliran.
Karena...," kembali Wadira tidak melanjutkan ucapannya.
"Kenapa, Wadira?" pinta Pandan Wangi ingin tahu.
"Dia... si Tangan Api bersekutu dengan perempuan iblis penguasa puncak Gunung
Tambur," sahut Wadira dengan suara yang berbisik perlahan, seakan dia takut ada
orang lain yang mendengarkannya.
"Siapa lagi perempuan Iblis itu?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Aku... aku tidak bisa mengatakannya. Sebaiknya kalian tanyakan saja pada Ki
Gembel Bungkuk. Dia tahu lebih banyak dari aku sendiri," sahut Wadira.
Pandan Wangi menatap pada Rangga yang juga tengah memandangnya. Beberapa saat
mereka terdiam. Kemudian kedua pendekar itu sama-sama mengangkat bahu. Dari
sedikit keterangan yang keluar dari mulut Wadira, mereka sudah bisa mengambil
kesimpulan bahwa Kadipaten Kuring saat ini sedang berada di ambang pintu
kehancuran. Ke-kuasaannya dipegang oleh orang yang bersekutu dengan iblis.
"Baiklah, ayo kita pergi sekarang menemui ayah angkatmu," ajak Rangga.
"Ayo, aku antarkan," sambut Wadira.
6 Tidak lama kemudian, sampailah Rangga, Pandan Wangi, dan Wadira pada sebuah
pondok kecil di tengah-tengah sebuah ladang perkebunan. Si Gembel Bungkuk berada
di pondok itu. Kelihatannya dia memang sedang menunggu kedatangan mereka.
Rangga merasa seperti bermimpi. Dia menatap tak berkedip pada laki-laki tua
bertubuh bungkuk itu.
Wajah lelaki itu begitu buruk dan kulitnya hitam seperti arang. Rangga teringat
pada sahabatnya yang juga memiliki tubuh seperti si Gembel Bungkuk ini.
Sahabatnya itu pun biasa dipanggil si Bungkuk, karena tubuhnya juga bungkuk,
berpunuk bagai onta pada punggungnya.
"Kenapa kau memandangku seperti itu, Rangga?"
tegur si Gembel Bungkuk.
"Oh...! Kau tahu namaku...?" Rangga terperanjat.
Dia sama sekali belum memperkenalkan namanya tadi. Dan, mereka baru sekali ini
bertemu. Bahkan Wadira pun belum sempat memperkenalkan
Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut ini pada si Gembel Bungkuk itu. Tapi,
laki-laki tua berbaju hitam yang buruk rupa dan bertubuh bungkuk itu sudah
mengetahui nama Rangga.
"Tentu saja aku tahu siapa kau, Rangga. Tidak ada orang lain di dunia ini yang
sepertimu," sahut si Gembel Bungkuk.
"Dari mana kau tahu namaku?" tanya Rangga penasaran.
"Kau tentu tidak lupa dengan si Bungkuk, kan...?"
Rangga mengangguk. Rasa herannya semakin
besar menyelimuti hatinya. Berbagai macam dugaan langsung bergayut di dalam
benaknya. "Aku dan dia bersaudara. Dia telah banyak ber-cerita tentang dirimu. Makanya aku
langsung mengenalmu begitu melihat kau datang, Rangga,"
kata si Gembel Bungkuk menjelaskan dengan nada suara yang tenang sekali.
"Oh...." Rangga mendesah panjang.
Apa yang terlintas di dalam benaknya tadi ternyata memang benar. Dia sudah
menduga kalau antara si Bungkuk dan si Gembel Bungkuk ini mempunyai hubungan
yang amat dekat. Mereka memang bersaudara. Itu sebabnya mereka mirip sekali,
sehingga Rangga sempat mengira bahwa laki-laki tua ini adalah si Bungkuk,
sahabatnya yang sudah lama tidak dilihatnya lagi. Rangga dan si Bungkuk memang
sama-sama pengembara yang tidak pernah diketahui tempat tinggal dan tujuannya.
"Apa ada sesuatu yang sangat penting hendak kau sampai kan sehingga kau mau
menemui manusia hina sepertiku ini, Rangga?" tanya si Gembel Bungkuk.
"Sebenanya tidak. Kebetulan saja aku bertemu dengan Wadira. Dan sama sekali aku
tidak tahu kalau di sini ada saudara Paman Bungkuk," sahut Rangga.
"Benar, Ki," selak Wadira.
Tanpa diminta lagi, Wadira pun langsung men-ceritakan semua peristiwa yang telah
dialaminya. Cerita itu di awali dengan ditangkapnya dia oleh para prajurit Kadipaten dan di
akhiri dengan diselamat-kannya dia oleh Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas
Maut. Semuanya diceritakan Wadira dengan jelas, tanpa ada yang dikurangi atau
dilebihkan. "Hm..., jadi mereka masih juga mengejar anak-anakku...," gumam si Gembel Bungkuk
setelah Wadira menyelesaikan kisahnya.
Kepalanya terangguk beberapa kali. Sebentar dia menatap pada Wadira, salah
seorang anak angkatnya. Semua Gembel dan pengemis di Kadipaten Kuring ini memang
dianggap sebagai anak angkatnya.
Semua kaum pengemis juga menganggap laki-laki tua bertubuh bungkuk ini sebagai
pemimpinnya. Bahkan si Gembel Bungkuk ini juga memberikan pelajaran berbagai
ilmu olah kanuragan, agar para gelandangan bisa membela diri bila mendapat
perlakuan sewenang-wenang dari orang lain.
Kelompok pengemis yang dipimpin oleh si Gembel Bungkuk ini sudah sangat
terkenal. Ketenarannya tidak hanya terbatas di Kadipaten Kuring, tetapi juga
sampai ke luar wilayah Kadipaten Kuring turut meng-gabungkan diri ke dalam
kelompok ini untuk meminta perlindungan.
"Maaf, Ki... Sebenarnya apa yang teriadi di Kadipaten Kuring ini?" tanya Rangga.
"Apa Wadira tidak mengatakannya padamu, Rangga?" si Gembel Bungkuk itu malah
balik bertanya.
"Sudah, tapi katanya bisa lebih jelas lagi kalau kau sendiri yang
mengatakannya."
"Kalau kau sudah tahu, lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya si Gembel Bungkuk
lagi. "Aku seorang pendekar, Ki. Aku tidak bisa melihat ada penindasan dan kesewenangwenangan terjadi di depan mataku. Dan aku tidak akan lari dari segala
keangkaramurkaan," sahut Rangga tegas.
"Hm...!"
Si Gembel Bungkuk mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dia sudah begitu banyak mendengar sepak terjang pemuda berbaju rompi
putih yang dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti ini.
Dan, dia percaya bahwa Pendekar Rajawali Sakti akan mampu mengatasi semua
persoalan yang sedang dihadapi oleh seluruh rakyat Kadipaten Kuring ini.
Persoalan yang sangat berat itu tidak mungkin bisa dihadapi Gembel Bungkuk
seorang diri. Terlebih lagi, sudah begitu banyak anak angkatnya yang menghilang tanpa ketahuan
lagi nasibnya. Bahkan anak angkat kesayangannya pun ikut menghilang di puncak Gunung Tambur.
Hingga kini tidak ada lagi beritanya.
"Kau tentu sudah tahu kalau Kadipaten Kuring ini dikuasai oleh seseorang yang
memiliki hati iblis.
Bahkan dia bersekutu dengan perempuan iblis yang menguasai puncak Gunung Tambur.
Kau tentu sudah bisa meraba, apa yang akan terjadi jika hal ini terus
berlangsung," kata si Gembel Bungkuk, perlahan sekali.
"Aku bisa mengerti, Ki," sahut Rangga.
"Ia bukan orang sembarangan, Rangga. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Aku
sendiri belum cukup mampu menandinginya...," kata si Gembel Bungkuk, terdengar
seperti mengeluh. "Bahkan untuk menghadapi dua orang pengikutnya saja, aku tidak
bakal mampu."
"Siapa saja mereka, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Kau pasti sudah tahu. Penguasa berhati iblis itu bernama Paturakan, yang
dijuluki si Tangan Api.
Sedangkan dua orang pengikutnya adalah si Tongkat Merah Samber Nyawa dan Iblis
Rantai Baja," sahut si Gembel Bungkuk menjelaskan.
Rangga dan Pandan Wangi saiing berpandangan
setelah mendengar nama kedua orang pengikut setia si Tangan Api itu. Mereka
langsung teringat pada dua orang laki-laki separuh baya yang mencegat dan
langsung menyerang Rangga tanpa diketahui maksudnya. Dari semua penjelasan yang
mereka dengar, Rangga dan Pandan Wangi langsung bisa mengetahui bahwa kedua
orang yang mencegat itu adalah si Tongkat Merah Samber Nyawa dan Iblis Tongkat
Baja, pengikut setia si Tangan Api.
"Ki, apakah dua orang itu memakai senjata rantai dan tongkat berwarna merah...?"
tanya Pandan Wangi untuk memastikan dugaannya.
"Benar."
"Tidak salah lagi...," desis Pandan Wangi.
"Ada apa..." Apa kalian pernah bertemu dengan mereka?" tanya si Gembel Bungkuk,
sambil memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian.
*** "Terus terang, Ki. Sampai saat ini pun aku belum bisa mengerti. Mereka tiba-tiba
saja menghadang lalu menyerang tanpa alasan yang pasti," kata Rangga mencoba
menjelaskan. "Mereka sudah bertemu denganmu, Rangga?"
tanya si Gembel Bungkuk ingin memastikan.
"Benar, Ki," Pandan Wangi yang menyahuti.
"Oh...," desah si Gembel Bungkuk panjang.
"Tapi tampaknya mereka tidak begitu mengenal Kakang Rangga, Ki. Bahkan mereka
sempat mencoba meyakinkan bahwa Kakang Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti
yang sesungguhnya," kata Pandan Wangi lagi.
"Kedatanganmu ke kadipaten ini akan menguntungkan mereka, Rangga," ujar si Gembel Bungkuk agak mendesah. perlahan sekali
sehingga hampir tidak terdengar.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki..?" ujar Rangga meminta penjelasan.
"Sesungguhnya mereka memang sedang mencarimu, Rangga. Bahkan mereka sudah
mengirim utusan ke Istana Karang Setra.
Mereka tahu kalau kau bukan hanya seorang pendekar kelana, tapi juga seorang
raja di Karang Setra. Tentu kedatanganmu ke sini akan membuat mereka gembira,
Rangga. Itu berarti mereka tidak perlu susah-susah lagi mencarimu. Dan itu juga
berarti awal kehancuran bagi...," si Gembel Bungkuk tidak meneruskan.
Jelas sekali terlihat, raut wajah laki-laki tua itu berubah menjadi mendung,
berselimut kabut tebal.
Perubahan itu cepat diketahui Rangga dan Pandan Wangi, yang sejak tadi memang
selalu memperhatikan laki-laki tua bermuka buruk dan bertubuh bungkuk ini. Kedua
pendekar muda dari Karang Setra itu tertegun tidak mengerti. Mereka hanya bisa
bertanya tanya di dalam hati. Sedangkan si Gembel Bungkuk masih tetap terdiam,
dengan kepala tertunduk dan wajah tetap mendung terselimut kabut.
"Ada apa, Ki" Kau kelihatan sedih sekali," tegur Pandan Wangi.
"Kalian tahu, untuk apa Paturakan mencarimu, Rangga?" kata si Gembel Bungkuk.
"Untuk apa...?" tanya Pandan Wangi.
"Dia harus bisa membawamu pada Ratu Pelangi Maut di Gunung Tambur untuk ditukar
dengan Raden Pangrona. Itulah satu-satunya syarat agar dia bisa menyunting Ayu
Dewi Winarti putri Gusti Adipati
Bayangkala." si Gembel Bungkuk menjelaskan dengan gamblang.
"Edan...!" desis Pandan Wangi geram.
"Memang begitulah tingkah si Tangan Api. Dia merebut Kadipaten Kuring ini hanya
untuk mem-persunting Ayu Dewi Winarti. Padahal, kalau dilihat dari usianya, dia
lebih pantas menjadi ayahnya. Dia sudah terlalu tua untuk Ayu Dewi Winarti. Tapi
dia tetap saja menginginkan gadis itu untuk dijadikan istrinya."
"Tidak tahu malu!" dengus Pandan Wangi.
Rangga sendiri diam saja. Dia mencerna semua kata-kata yang diucapkan si Gembel
Bungkuk. Sungguh tidak disangka bahwa kedatangannya ke Kadipaten Kuring ternyata memang
diharapkan sekali. Tapi, yang tidak bisa dimengertinya, si Tangan Api
menginginkan dirinya untuk dijadikan barang per-tukaran. Hal itu sangat
menyinggung dan merendahkan martabatnya. Meski begitu, Rangga harus bisa menahan
diri dulu. Dia tidak ingin termakan kata-kata dari satu orang saja. Dia harus
menyelidiki terlebih dahulu, apa yang terjadi sebenarnya.
"Aku jadi ingin tahu, seperti apa si Tangan Api itu,"
desis Pandan Wangi geregetan.
"Dia bukan orang sembarangan, Pandan. Ilmu olah kanuragan dan kesakitannya
tinggi sekali. Rasanya sukar dicari tandingannya, kecuali..." si Gembel Bungkuk
tidak meneruskan ucapannya. Dia melirik pada Rangga, yang tetap saja berdiam
diri. "Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa hanya Kakang Rangga yang bisa
menandinginya, Ki?" tanya Pandan Wangi langsung bisa menebak isi hati laki-laki
tua bungkuk itu.
"Sekarang ini, tidak ada satu orang pun yang bisa
menandingi ilmu kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti. Aku yakin, Rangga pasti
bisa menandingi si Tangan Api itu," sahut si Gembel Bungkuk mantap.
Pandan Wangi melirik sedikit pada Rangga.
Sedangkan Rangga masih diam membisu. Entah apa yang ada di dalam benak Pendekar
Rajawali Sakti saat ini. Tak ada seorang pun yang bisa menduganya.
Bahkan Pandan Wangi pun, yang kerap kali men-dampinginya, tidak mampu menebak
jalan pikiran dan isi hari pemuda tampan itu.
Rangga bangkit berdiri tanpa bicara sedikit pun.
Dia melangkah keluar dari pondok kecil di tengah-tengah ladang perkebunan ini.
Dia terus melangkah tanpa menoleh lagi. Sedangkan Pandan Wangi, si Gembel
Bungkuk, dan Wadira masih tetap berada di dalam pondok kecil itu. Dan, Rangga
terus melangkah menjauhi pondok. Dia baru berhenti setelah sampai di tepi sungai
yang mengalir jernih. Ternyata si Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya
yang tengah melepas dahaga di tepian sungai itu.
"Kita menghadapi persoalan yang tidak ringan sekarang ini Dewa Bayu. Aku benarbenar sulit untuk menentukan keputusan. Aku tidak tahu, mana yang harus aku
ambil," kata Rangga kepada kudanya.
Kuda hitam Dewa Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil mendengus beberapa
kali. Seakan dia bisa mengerti semua yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Dan, Rangga mengelus-elus leher kuda hitam itu dengan penuh kasih sayang.
"Kau tahu, apa yang harus aku lakukan sekarang, Dewa Bayu...?"
Dewa bayu menghentak-hentakkan satu kaki
depannya ke tanah. Diangkatnya pula kepalanya tinggi-tinggi ke atas. Lalu dia
meringkik keras memekakkan telinga.
"Hup...!"
Tanpa membuang waktu lagi, Rangga langsung melompat naik ke punggung kudanya.
Sekali lagi kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi. Ringkikan kuda yang sangat keras itu membuat orang-orang yang ada
di dalam pondok bergegas ke luar. Mereka terkejut sekali melihat Rangga sudah
memacu kudanya dengan cepat, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.
"Kakang...! Mau kemana kau...?" teriak Pandan Wangi sekuat-kuatnya.
Tapi, Rangga sudah begitu jauh. Kemudian dia menghilang ditelan lebatnya
pepohonan. Pandan Wangi, si Gembel Bungkuk, dan Wadira hanya bisa memandangi
kepulan debu yang ditinggalkan Dewa Bayu.
"Mau ke mana dia...?" tanya si Gembel Bungkuk, seperti kepada dirinya sendiri.
*** Rangga terus mengikuti lari kudanya. Sama sekali dia tidak mengendalikan kuda
itu, walaupun tali kekang kuda hitam yang terbuat dari perak itu berada erat di
dalam genggaman tangannya. Dewa Bayu terus berlari kencang seperti terbang di
atas tanah. Debu berkepul tebal, membumbung tinggi ke angkasa.
"Hieeekh. ..!"
Sambil meringkik keras, tiba-tiba saja kuda hitam itu berhenti berlari. Dia
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Rangga langsung melompat
turun begitu kaki depan kudanya kemball menjejak tanah. Ringan sekali gerakan
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia
mendarat dengan manis sekali di tanah berumput yang basah oleh embun.
Beberapa saat Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling, merayapi sekitarnya
yang tampak begitu sunyi. Hanya pepohonan dan bebatuan yang tertihat. Kabut
sangat tebal sehingga si Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa memandang lebih jauh
lagi. Rangga tidak tahu, berada di mana dia sekarang ini.
Tapi, begitu kabut sedikit tersibak, Pendekar Rajawali Sakti pun tertegun.
"Puri..." desisnya periahan.
Dia sungguh tidak mengerti, di depannya sekarang ini berdiri sebuah bangunan
puri yang seluruhnya terbuat dari batu berselaput lumut tebal. Namun, Rangga
kemudian menyadari bahwa sekarang ini dia berada di atas Puncak Gunung Tambur.
Sebuah tempat yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi seluruh kaum
pengemis dan gelandangan di Kadipaten Kuring. Beberapa saat lamanya Pendekar
Rajawali Sakti itu mengamati bangunan yang tampak angker dan menyeramkan ini.
Keadaan sekeliling yang terselimut kabut tebal membuat suasana di sekitar puncak
Gunung Tambur ini semakin terasa mengerikan. Tak terdengar suara sedikit pun.
Pendekar Rajawali Sakti 72 Korban Ratu Pelangi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan angin sama sekali tidak terasakan. Tak ada satu binatang pun yang
terlihat. Perlahan Rangga melangkah hendak mendekati bangunan puri itu. Tapi, baru saja
dia berjalan tiga langkah, kuda hitam Dewa Bayu sudah mencegahnya.
"Hm..., ada apa. Dewa Bayu?" tanya Rangga.
Kuda hitam Dewa Bayu hanya mendengus kecil
beberapa kali, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan dia hendak mencegah
niatnya sambil menggelengkan kepalanya. Seakan dia hendak mencegah si Pendekar
Rajawali Sakti untuk mendekati bangunan puri itu. Rangga bisa mengerti maksud
kuda tunggangannya ini. Dia tidak jadi melangkah mendekati puri itu. Dia hanya
memandanginya dengan benak diliputi berbagai macam pertanyaan yang tidak mungkin
bisa terjawab dengan cepat Dia memang pernah mendengar tentang puri ini dari
cerita si Gembel Bungkuk dan Wadira. Tapi, dia tidak tahu, ada apa di dalam puri
angker itu. "Kenapa kau mengajakku ke sini, Dewa Bayu?"
tanya Rangga. Tapi, kuda hitam itu hanya diam saja. Dia malah memandangi Rangga dengan sinar
mata yang merah dan begitu dalam. Rangga tidak mengerti sama sekali arti
pandangan kuda tunggangannya ini. Dia memegang tali kekang kudanya yang terbuat
dari perak itu. Kemudian Rangga melompat naik ke punggung Dewa Bayu dengan
gerakan yang manis dan ringan sekali.
"Ayo kita kembali," ajak Rangga, sambil menghentakkan tali kekang kudanya ini.
Tapi, kuda hitam itu tidak juga mau bergerak.
Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti hilang rasa keheranannya dengan sikap kuda
tunggangannya ini, mendadak saja dari balik pepohonan bermunculan pemuda-pemuda
yang mengenakan baju kumal
penuh tambalan, seperti kaum pengemis dan gelandangan. Mereka bergerak perlahan
mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Rangga benar-benar terkejut, karena
sekelilingnya sekarang sudah terkepung oleh puluhan orang mengenakan baju kumal
penuh tambalan. Dan, semuanya menggenggam tongkat kayu yang beraneka macam ukurannya.
"Mau apa mereka...?" Rangga bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Dan, pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung terjawab ketika tiba-tiba
salah seorang dari pengemis itu melompat cepat sambil berteriak keras
menggelegar. "Hiyaaat..!"
"Heh..."! Uts!"
Rangga terkejut setengah mati mendapat
serangan yang sangat mendadak itu. Buru-buru dia membungkukkan tubuhnya.
menghindari sabetan tongkat dari pengemis muda tadi. Tongkat kayu itu pun
langsung lewat di atas tubuhnya yang membungkuk dii punggung kuda. Tapi, belum
juga Rangga bisa menegakkan tubuhnya kembali, sudah datang lagi dua serangan
sekaligus dari arah kanan dan kirinya.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti terpaksa melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu, sambil
mengerahkan Jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Dia meluruk turun dengan deras sekali.
Kedua kakinya bergerak cepat menghantam dua orang pengemis itu
sekaligus. Jeritan keras melengking tinggi seketika, disusul ambruknya dua orang
pengemis berusia muda itu.
"Hap! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Rangga merundukkan tubuhnya
begitu sebatang tongkat berkelebat cepat mengarah ke kepalanya. Padahal, dia
baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Sementara itu, kuda hitam Dewa Bayu
menyingkir perlahan, menjauhi pertarungan itu.
Dia dengan tenang mengawasi Rangga yang terus diserang oleh puluhan pemuda
berpakaian pengemis itu. Tampaknya Pendekar Rajawali Sakti akan mampu menghadapi
keroyokan para pengemis ini.
"Hap!"
Cepat sekali Rangga menarik napasnya dalam-dalam dan menahannya di dalam perut.
Dipindahkannya jalan pernapasannya melalui perut. Kemudian, langsung dia
mengerahkan jurus-jurus dari
'Rangkaian Lima Jurus Rajawali' yang dikuasainya secara bertahap dari tingkatan
pertama. Tapi, begitu hampir pada Jurus 'Seribu Rajawali".
Rangga langsung memindahkannya ke jurus yang pertama. Pendekar Rajawali Sakti
itu belum menganggap perlu menggunakan jurus 'Seribu Rajawali'.
Dan, ketika dia mengeluarkan jurus 'Cakar Rajawali', beberapa orang pengemis
yang mengeroyoknya langsung bertumbangan dengan hanya beberapa gebrakan saja.
Cepat Rangga mengubah jurusnya kembali. Dikeluarkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. "Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar
Rajawali Sakti itu luar biasa cepatnya. Para pengeroyoknya menjadi kesulitan
untuk mendesak.
Tubuh-tubuh yang bergelimpangan sudah tidak ter-hitung lagi jumlahnya. Rangga
terus berkelebatan cepat sambil melontarkan pukulan beruntun yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi, disertai sesekali tendangan menggeledek dari
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Lawan-lawannya pun semakin tidak berdaya
menghadapi-nya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Dan, begitu Rangga meiliki kesempatan. cepat-cepat dia melompat, langsung
hinggap di punggung kudanya. Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti
itu langsung menggebah kudanya dengan cepat. Kuda hitam itu meringkik keras.
Seketika itu juga dia melesat cepat bagai angin.
"Hiya! Hiyaaa...!"
7 Belum jauh melarikan kudanya, mendadak sebuah bayangan merah muda berkelebat
cepat bagai kilat di atas kepalanya. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu
merundukkan kepalanya, sambil menarik tali kekang kudanya hingga berhenti
mendadak. Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu terpaksa melompat sebetum
terlempar dari pungung kuda itu.
"Hap!"
Dengan gerakan yang manis sekali, Rangga berjumpalitan di udara. Dan, dengan
manis sekali dia menjejakkan kakinya di tanah. Kelopak mata Pendekar Rajawali
Sakti itu menyipit, begitu dilihat di depannya kini sudah berdiri seorang wanita
cantik mengenakan baju merah muda yang ketat dan tipis sekali.
"Lama sekali aku menunggu kedatanganmu, Rangga," kata wanita cantik berbaju
merah muda yang sangat tipis itu dengan lembutnya.
"Hm..., kau yang bernama Ratu Pelangi..?" tanya Rangga datar.
"Tepat..! Aku Ratu Pelangi. Dan kau akan menjadi pendampingku, Rangga. Sudah
lama aku menunggu kesempatan ini. Hanya kau satu-satunya yang pantas untuk
menjadi pendampingku di Puri Tambur."
"Aku tidak kenal dengan dirimu. Bagaimana mungkin kau bisa menetapkan begitu,
Ratu Pelangi?"
"Ha ha ha...! Kau memang belum mengenalku,
Rangga. Aku tahu banyak dirimu sebelum kau lahir. "
"Hmmm..." Rangga hanya menggumam sedikit.
"Sekarang kau sudah datang, Rangga. Dan kau tidak bisa lagi pergi dariku," tegas
Ratu Pelangi Maut.
"Begitukah...?"
"Ya! Kau harus tinggal bersamaku, selamanya."
"Hmm... Bagaimana lelaki yang kau simpan?"
pancing Rangga.
"Heh..."! Laki-laki mana...?" Ratu Pelangi Maut tampak terkejut.
"Kau tidak perlu berpura-pura, Ratu Pelangi. Aku tahu kalau kau menyimpan
beberapa laki-laki di sini.
Dan aku rasa, kau tidak lagi memerlukan diriku."
"Huh! Dari mana kau tahu?" dengus Ratu Pelangi Maut.
"Itu tak penying bagimu, Ratu Pelangi. Kalau kau benar-benar menginginkan aku
tinggal di sini, aku tidak ingin ada laki-laki lain kecuali diriku sendiri. Dan
kau harus membebaskan mereka semua, tanpa kecuali."
"Siapa yang mengirimmu ke sini, Rangga?" tanya Ratu Pelangi Maut, dengan nada
suara yang jelas sekali mengandung curiga
"Tidak ada. Aku datang sendiri ke sini bersama kudaku," sahut Rangga kalem.
"Kau jangan dusta, Rangga. Kedatanganmu atas permintaan Paturakan, bukan..."
Katakan terus terang, kau datang karena dia atau bukan...?" desak Ratu Pelangi
Maut tegas. "Tidak! Aku tidak kenal dengan orang yang kau sebutkan itu. Aku datang sendiri
bersama kudaku,"
sahut Rangga tidak kalah tegasnya.
"Lalu, dari mana kau tahu kalau aku menyimpan laki-laki di sini?"
Rangga tidak langsung bisa menjawab pertanyaan itu. Memang terlalu sulit
baginya. Tidak mungkin mengatakan bahwa sebenarnya dia sudah tahu semuanya dari
si Gembel Bungkuk dan Wadira, yang sekarang ini pasti sedang mencarinya bersama
Pandan Wangi. "Baiklah, Rangga. Kalau kau tidak mau menjawab.
aku akan melenyapkan mereka semua. Dan tinggal kau sendiri yang ada di sini
bersamaku," kata Ratu Pelangi Maut tegas.
"Apa maksudmu, Ratu Pelangi..?" sentak Rangga terkejut.
"Mereka memang tidak ada gunanya. Aku hanya memakai mereka untuk memancingmu ke
sini. Dan sekarang kau sudah ada di sini, itu berarti mereka tidak ada gunanya
lagi bagiku. Mereka sudah sepantasnya dilenyapkan," kata Ratu Pelangi Maut
dengan tenangnya.
"Kau tidak bisa berbuat seenaknya, Ratu Pelangi...!
Biarkan mereka bebas," sentak Rangga.
"Ini wilayah kekuasaanku, Rangga. Aku bebas melakukan apa saja yang kusukai di
sini. Jadi, jangan berlagak di depanku. Kalau aku bilang mereka harus lenyap,
tidak ada yang bisa mencegahku Dan kau juga tidak...!" sentak Dewi Pelangi Maut
lantang menggelegar.
"Aku tetap akan mencegahmu membunuh mereka, Ratu Pelangi," desis Rangga tegas
menggetarkan. "Hhh! Sudah kuduga sejak semula. Kau memang tidak mudah ditaklukkan, Rangga.
Baik... kita adakan perjanjian."
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.
"Kalau kau berhasil mengalahkan aku, kau dan semua laki-laki yang ada di sini
bisa bebas pergi. Tapi
kalau kau kalah, kau harus tunduk padaku dan jangan sekali-sekali menentang.
Bagaimana...?" Ratu Pelangi Maut mengajukan persyaratan.
"Baik, aku terima syaratmu," sambut Rangga tanpa berpikir panjang lagi.
Ratu Pelangi Maut tersenyum lebar mendengar sambutan Rangga yang begitu cepat
dan tegas itu. Dia memang sudah menduga kalau Pendekar
Rajawali Sakti itu akan menerima tawarannya. Ini memang yang diinginkannya sejak
semula. Itu berarti dia bisa menjajal tingkat kepandaian yang dimiliki si
Pendekar Rajawali Sakti.
"Nah...! Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti.
Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi. Ratu Pelangi Maut langsung menyerang
Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurusnya yang sangat dahsyat dan berbahaya.
Tapi, Rangga malah hanya mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Dia memang
belum tahu, sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki wanita cantik
penguasa Puncak Gunung Tambur ini.
Sebentar saja Ratu Pelangi Maut sudah menghabiskan lima jurus. Sedangkan Rangga
baru mengeluarkan satu jurus. Namun, wanita cantik berbaju merah muda yang tipis
itu belum juga bisa mendesak Pendekar Rajawali Sakti ini Jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimainkan Rangga memang terlalu sukar untuk
ditembus. Rangga seakan akan selalu mengetahui ke arah mana serangan Ratu
Pelangi Maut dilancarkan. Dan, dengan gerakan tubuh yang begitu manis, Pendekar
Rajawali Sakti itu selalu saja berhasil menghindari
setiap serangan.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga mengubah jurusnya begitu Ratu Pelangi Maut sudah
menghabiskan sepuluh jurus. Pemuda berbaju rompi putih itu kini mengeluarkan
jurus 'Cakar Rajawali'. Semua jari tangannya terkembang kaku seperti cakar
seekor burung Rajawali yang siap hendak merobek-robek tubuh mangsanya. Gerakangerakan kedua tangannya juga begitu cepat, yang dimbangi pula dengan gerakangerakan tubuh yang meliuk indah dan gerakan kaki yang begitu lincah dan ringan.
Baru beberapa gebrakan. Rangga sudah bisa membuat Ratu Pelangi Maut kelabakan
setengah mati. Dan, ketika Rangga mengubah jurusnya dengan cepat, wanita cantik
itu semakin bertambah kelabakan. Bahkan, kini Pendekar Rajawali Sakti itu cepat
sekali mengubah jurus-jurusnya, membuat Ratu Pelangi Maut terdesak.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Ratu Pelangi Maut melentingkan tubuhnya ke udara dan melakukan
beberapa kali putaran. Lalu wanita itu kembali menjejak tanah sejauh dua batang
tombak dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Phuih! Kau benar-benar hebat, Rangga," puji Ratu Pelangi Maut dengan tulus.
"Terima kasih," ucap Rangga sambil tersenyum,
"Tapi kau belum menang, Rangga. Dan aku juga belum kalah."
"Terserah apa katamu, Ratu Pelangi."
"Hep...!"
Ratu Pelangi Maut cepat merapat kedua
tangannya di depan dada. Kemudian dia menarik
napasnya dalam-dalam. Lalu direntangkan kedua kakinya lebar-lebar ke samping.
Sorot matanya tajam sekali, menusuk langsung ke bola mata Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu masih tampak berdiri tenang, walaupun dia tahu bahwa
Ratu Pelangi Maut sedang bersiap mengerahkan ilmu kesaktiannya.
"Hap! Yeaaah....!"
Cepat sekali Ratu Pelangi Maut menghentakkan tangannya ke depan. Dan, ketika itu
juga, dari kedua telapak tangannya meluncur secercah cahaya yang berwarna-warni
bagai pelangi. Begitu indahnya cahaya pelangi itu, hingga membuat Rangga
tertegun sejenak. Namun, begitu ujung cahaya pelangi itu hampir menyentuh
tubuhnya, cepat-cepat Rangga membanting diri ke tanah dan bergulingan beberapa
kali. Glarrr....! Ledakan dahsyat terdengar begitu keras menggelegar. Ujung cahaya pelangi yang
keluar dari telapak tangan wanita cantik itu menghantam sebuah pohon yang tadi
berada di belakang Rangga. Cepa-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat bangkit
berdiri, setelah beberapa kali bergulingan di tanah.
Namun, sebelum dia berdiri tegak dengan
sempurna, tiba-tiba cahaya pelangi yang memancar dari telapak tangan Ratu
Pelangi Maut itu sudah meliuk cepat meluruk bagai anak panah ke arah dada pemuda
itu. "Hup! Hiyaaa...!"
Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari terjangan cahaya
pelangi itu. Tapi, dia kini terkejut setengah mati. Cahaya pelangi itu tampak seperti
memiliki mata saja. Cahaya itu terus mengejar ke mana pun Pendekar Rajawali
Sakti itu bergerak menghindar. Hal ini membuat Rangga harus berjumpalitan di udara.
"Hap!"
Rangga cepat-cepat merapatkan kedua tangannya di depan dada begitu kakinya bisa
menjejak tanah.
Tapi, belum juga dia bisa mengeluarkan aji kesaktiannya, cahaya pelangi itu
sudah kembali menyerang dengan kecepatan yang begitu tinggi. Dia berputar dua
kali di udara. "Huh! Akan kukecoh dia dengan Jurus 'Seribu Rajawali'," dengus Rangga dalam
hati. Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti itu berhasil lagi menjejakkan kakinya di
tanah, dengan cepat dia kembali melesat ke samping. Lalu dia terus berpindahpindah dengan kecepatan yang begitu tinggi.
Bahkan kini Rangga bergerak cepat mengitari tubuh Ratu Pelangi Maut. Begitu
cepatnya gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga
seolah-olah pemuda berbaju rompi putih itu menjadi banyak jumlahnya.
"Setan...! Ilmu apa yang dia pakai...?" dengus Ratu Pelangi Maut kebingungan.
Beberapa kali dia menghantamkan cahaya
pelanginya. Tapi, setiap kali ujung cahaya itu tampak sudah mengenal tubuh
Pendekar Rajawali Sakti 72 Korban Ratu Pelangi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga, ternyata hanya bayangan Pendekar Rajawali Sakti itu yang terkena.
Ratu Pelangi Maut sama sekali sudah tidak bisa menemukan tubuh Rangga yang
sesungguhnya. Kini dia seperti dikelilingi oleh seribu Rangga yang mengeluarkan
Jurus 'Seribu Rajawali'.
"Setan keparat..! Hiyaaat...!"
Ratu Pelangi Maut marah setengah mati. Sambil mengangkat dan memutar tubuhnya
dengan cepat, dia merentangkan kedua tangannya ke samping.
Sehingga, cahaya pelangi yang memancar dari kedua telapak tangannya itu
bergulung-gulung menyambar setiap tubuh Rangga yang berada di sekelilingnya.
Ledakan pun terdengar saling susul dengan dahsyatnya. Pepohonan dan batu-batuan
yang ada di sekitar ajang pertarungan ini hancur berkeping-keping terkena
hantaman sinar pelangi itu
"Hiyaaa...!"
"Heh..."!"
*** Ratu Pelangi Maut terkejut setengah mati ketika tiba-tiba saja dari atas
kepalanya meluncur Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu dia juga melihat di
sekelilingnya begitu banyak Pendekar Rajawali Sakti lainnya. Tapi, hanya sesaat
dia terkejut. Dengan cepat sekali wanita cantik itu menjatuhkan tubuhnya ke
tanah, lalu bergulingan menghindari serangan Rangga yang datang dari atas
kepalanya tadi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu melompat bangkit kembali Ratu Pelangi Maut langsung menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Saat itu juga Rangga-Rangga palsu menghilang. Dan, pada saat
yang sama, Rangga yang kini kembali menjadi satu orang juga menghentakkan kedua
tangannya ke depan.
"Aji Cakra Buana Sukma! Yeaaah...!"
Seleret cahaya biru berkilauan memancar seketika dari kedua telapak tangan
Rangga begitu dia mengerahkan 'Aji Cakra Buana Sukma', salah satu ilmu
kesaktiannya yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya sampai saat ini.
Tepat di tengah-tengah, dua cahaya yang saling
berlawanan itu beradu, hingga menimbulkan ledakan yang menggelegar. Begitu
dahsyatnya ledakan itu, sehingga tanah yang mereka pijak bergetar hebat bagai
diguncang gempa.
"Akh....!" Ratu Pelangi Maul memekik agak tertahan.
Cahaya pelangi yang memancar dari kedua telapak tangannya menghilang seketika.
Tapi, cahaya biru yang memancar dari telapak tangan Rangga terus meluruk deras
bagai kilat. Tak ada waku lagi bagi Ratu Pelangi Maut untuk menghindar. Seketika
itu juga seluruh tubuhnya langsung tergulung cahaya biru yang semakin banyak
keluar dari telapak tangan si Pendekar Rajawali Sakti.
"Aaa...!" Ratu Pelangi Maut melengking tinggi.
Tubuhnya menggeliat-geliat di dalam selubung cahaya biru dari 'Aji Cakra Buana
Sukma'. Sedangkan Rangga mengayunkan kakinya sedikit demi sedikit mendekati
wanita yang kini sudah hampir tidak berdaya itu.
Ratu Pelangi Maut terus menggeliat-geliat sambil berteriak-teriak, mencoba
melepaskan diri dari selubung sinar biru itu. Tapi, semakin banyak dia
mengerahkan tenaga, semakin banyak pula ke-kuatannya yang tersedot, tanpa dapat
dikendalikan lagi. Akhirnya, gerakan-gerakan tubuh wanita itu semakin mengendor
dan kemudian tidak bergerak sama sekali.
Begitu Rangga mencabut aji kesaktiannya, tubuh Ratu Pelangi langsung terjatuh
menggeletak ke tanah dengan seluruh tubuh lemas tak bertenaga. Hanya gerak
perlahan di dadanya yang menandakan kalau dia masih hkiup. Sedangkan sinar
matanya sudah begitu redup, bagai tak ada lagi gairah hidup.
Perlahan Rangga menghampiri wanita cantik yang kini
sudah tidak lagi memiliki daya itu.
"Di mana mereka?" tanya Rangga langsung.
"Untuk apa kau tanyakan mereka, Rangga...?"
sahut Ratu Pelangi Maut, lemah sekali.
"Kau sudah kalah, Ratu Pelangi. Kau harus memenuhi janjimu sendiri," kata Rangga
tegas. "Katakan, di mana mereka...?"
"Di dalam puri," Jawab Ratu Pelangi lesu.
Rangga menggerakkan jari tangannya beberapa kali, memberikan totokan di dada
wanita cantik itu.
Perlahan kemudian Ratu Pelangi Maut bisa menggerakkan tubuhnya kembali. Lalu dia
bangkit berdiri.
Tapi, wanita itu kini benar-benar sudah tidak mempunyai daya lagi. Dia sudah
tidak mungkin bisa melanjutkan pertarungannya. Tenaganya benar-benar terkuras
habis. Bahkan mungkin kesaktiannya pun sudah lenyap.
"Kau bisa memulihkan kembali kekuatanmu, Ratu Pelangi. Tapi kau harus menunggu
paling tidak satu tahun," kata Rangga memberi tahu.
"Ilmu apa yang gunakan tadi?" tanya Ratu Pelangi Maut.
"Aji Cakra Buana Sukma," sahut Rangga tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Selama ini belum ada yang bisa menandingiku.
Baru kau seorang yang bisa melumpuhkanku, Rangga. Kenapa tidak kau bunuh saja
aku..?" "Tidak ada gunanya membunuhmu, Ratu Pelangi.
Aku bukan pembunuh. Dan aku tak berhak mencabut nyawamu. Dewata sajalah yang
berhak." "Apa yang kau inginkan dariku, Rangga?"
"Bebaskan semua yang kau kurung," sahut Rangga tegas.
"Mereka ada di dalam puri."
"Kau bisa tunjukkan di mana tempatnya?"
Tidak ada pilihan lain bagi Ratu Pelangi Maut selain menunjukkan jalan masuk ke
dalam puri. Rangga mengikuti wanita itu dari belakang. Ayunan kaki wanita cantik itu gontai
sekali. Dia sama sekali tidak bergairah. Dia sudah menyadari bahwa tidak ada
lagi kekuatan di dalam dirinya. Sekarang Ratu Pelangi Maut benar-benar menjadi
wanita lemah tanpa daya.
Akhir dari pertarungan itu sungguh menyakitkan bagi Ratu Pelangi Maut. Tapi, dia
tidak menyesali kekalahannya ini. Dia justru malah senang, karena dikalahkan
oleh seorang pemuda yang ber-kepandaian lebih tinggi darinya, yang juga
disukainya selama ini. Meskipun, tidak ada harapan lagi baginya untuk bisa
mendapatkan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Boleh aku tahu sesuatu darimu, Rangga?"
"Katakanlah."
"Apa yang akan kau lakukan setelah mereka semua bebas?"
"Mengembalikan mereka."
"Itu berarti kau harus berhadapan dengan Paturakan dan para pengikutnya "
"Semua sudah aku perhitungkan, Ratu Pelangi."
"Aku yakin, kau pasti bisa mengalahkan mereka, karena kau sudah bisa mengalahkan
aku." Rangga hanya tersenyum.
8 Sementara itu, di dalam istana Kadipaten Kuring, Adipati Paturakan tampak
gelisah sekali. Entah sudah berapa kali dia berjalan mondar-mandir di dalam
ruangan balai agung yang luas ini. Sedangkan dua orang pengikut setianya hanya
berdiri dengan mulut terkatup rapat memperhatikan si Tangan Api yang kelihatan
gelisah itu. "Kalian yakin kalau anak muda itu Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Adipati
Paturakan "Yakin sekali, Kakang Paturakan," sahut Tongkat Merah Samber Nyawa mantap.
"Lalu, kenapa kalian tidak bisa menangkap Pendekar Rajawali Sakti itu?"
"Kepandalannya sangat tinggi, Kakang. Aku dan Rantai Baja sudah berusaha,
tapi...." "Kalian dapat dikalahkannya" Begitu...?" selak Adipati Paturakan.
Tongkat Merah Samber Nyawa langsung bungkam.
Sedangkan Adipati Paturakan kini berdiri mematung di depan jendela. Dan, baru
saja dia hendak memutar tubuhnya berbalik, tiba-tiba matanya menangkap sebuah
bayangan putih berkelebat cepat melewati jendela itu.
"Heh..."!"
Bukan Adipati Paturakan saja yang terkejut. Dua orang pengikut setianya pun
terperanjat setengah mati. Tiba-tiba saja di dalam ruangan ini sudah berdiri
seorang pemuda tampan yang mengenakan baju rompi putih. Gagang pedang berbentuk
kepala burung tersembul di punggung pemuda itu.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Adipati Paturakan langsung mengenali pemuda
tampan berbaju rompi putih yang muncul seperti setan itu.
"Kenapa terkejut, Tangan Api..." Bukankah kau menghendaki aku?" datar sekali
nada suara Rangga.
"Dari mana kau tahu...?" tanya Adipati Paturakan tambah terkejut.
"Aku."
Terdengar sahutan berat dari pintu depan. Adipati Paturakan dan kedua orang
pengikut setianya terbeliak saat berpaling bersamaan ke arah datangnya suara
itu. Tampak di ambang pintu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh
bungkuk, dengan wajah yang buruk dan berkulit hitam seperti arang.
Pakaiannya sangat kumal dan penuh dengan
tambalan. "Ki Gembel Bungkuk...," desis Adipati Paturakan langsung mengenali.
Laki-laki tua bertubuh bungkuk yang ternyata memang si Gembel Bungkuk itu
melangkah masuk ke dalam ruangan yang sangat luas dan indah ini.
Kemudian menyusul pula Pandan Wangi dan Wadira.
Keterkejutan si Tangan Api dan dua orang pengikut setianya semakin bertambah,
ketika di belakang Pandan Wangi dan Wadira muncul pula Adipati Bayangkala, Raden
Pangrona, Jaka Gembel, dan beberapa orang berpakaian kumal penuh tambalan yang
semuanya sudah dikirim ke puncak Gunung Tambur. Semuanya langsung mengambil
tempat di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Hanya Ki Gembel Bungkuk dan Adipati
Bayangkaia yang berdiri sejajar dengan pemuda berbaju rompi putih itu.
"Sekeliling istana ini sudah terkepung. Tidak ada
lagi prajurit yang mau setia padamu, Paturakan," kata Adipati Bayangkaia agak
lantang. "Ba... bagaimana kalian bisa ke luar dari puri...?"
tanya Paturakan, tergagap.
"Rangga menyediakan diri untuk ditukar dengan Raden Pangrona. Tapi sayang, Ratu
Pelangi Maut junjunganmu itu tidak sanggup menandingi kesaktian Pendekar
Rajawali Sakti ini. Dia menyerah dan membebaskan semua tawanannya," jelas Ki
Gembel Bungkuk dengan singkat
Seluruh tubuh Paturakan menggeletar sedikit mendengar Ratu Pelangi Maut sudah
berhasil ditundukkan oleh Pendekar Rajawali Sakti. Dia langsung menyadari bahwa
dia tak akan mungkin bisa mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Tingkat kepandian
yang dimilikinya saja masih berada di bawah tingkat kepandaian Ratu Pelangi
Maut. Dan, wanita penguasa puncak Gunung Tambur itu sudah ditundukkan oleh
pemuda berbaju rompi putih yang berjuluk si Pendekar Rajawali Sakti. Tapi,
Paturakan yang dikenal dengan julukan si Tangan Api ini tidak mau menyerah
begitu saja. Meskipun, dia menyadari bahwa keadaannya tidak lagi menguntungkan.
*** "Sebaiknya kau menyerah saja, Paturakan. Tidak ada gunanya lagi kau bertahan,"
kata Adipati Bayangkala tegas. "Kau lihat sekeliling istana ini sudah terkepung.
Tidak ada lagi kesempatan untukmu meloloskan diri."
"Phuih! Kau tidak bisa menggertakku begitu saja.
Bayangkala! Aku belum kalah...!" dengus Paturakan lantang.
Sret! Si Tangan Api langsung saja mencabut pedangnya yang tersembunyi di balik jubah
birunya yang panjang.
Cahaya keperakan langsung membersit dari pedang yang sudah terhunus melintang di
depan dada itu.
Tongkat Merah Samber Nyawa dan Iblis Rantai Baja juga sudah siap dengan
senjatanya masing-masing. Mereka benar-benar tidak ingin menyerah, meskipun
sadar tidak mungkin bisa meloloskan diri lagi.
"Hiyaaat..!"
Tanpa berpikir panjang, Adi Paturakan langsung melompat cepat sambil mengebutkan
pedangnya ke arah Rangga yang berdiri di tengah-tengah. Pada saat itu juga,
Rangga menghentakkan kedua tangannya ke samping, mendorong Adipati Bayangkala
dan Ki Gembel Bungkuk, sehingga mereka menyingkir.
Langsung Pendekar Rajawali Sakti itu merundukkan kepalanya, menghindari tebasan
pedang si Tangan Api
"Hih!"
Dan, tanpa diduga sama sekali, tangan kanan Rangga menghentak ke depan,
memberikan sodokan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi, ke arah
perut si Tangan Api. Begitu cepatnya sodokan tangan Pendekar Rajawali Sakti itu,
sehingga si Tangan Api terbeliak kaget.
"Hah...!"
Cepat-cepat si Tangan Api memutar tubuhnya.
berjumpalitan ke belakang dua kali. Dan, begitu kakinya kembali menjejak tanah,
langsung pedangnya dikebutkan ke depan mengarah ke dada
Pendekar Rajawali Sakti. Namun, sedikit pun Rangga tidak berusaha menghindar.
Dan, begitu ujung
pedang bercahaya keperakan itu hampir menghunjam dadanya, dengan cepat sekali
Pendekar Rajawali Sakti itu mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
Tap! "Heh.."!"
Paturakan terkejut setengah mati. Ujung pedangnya dijepit oleh kedua telapak
tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan, pada saat itu, Tongkat Merah Samber Nyawa
melompat secepat kilat hendak membantu si Tangan Api. Namun....
"Hiyaaa...!"
Secepat itu pula Pandan Wangi melesat
menghadang serangan si Tongkat Merah Samber Nyawa. Gadis itu langsung
mengebutkan kipas baja putihnya yang terkenal maut itu. Si Tongkat Merah Samber
Nyawa pun harus memutar tubuhnya,
berjumpalitan menghindari tebasan kipas baja putih berujung runcing itu.
Sementara itu Rangga sudah menghentakkan
kedua tangannya ke atas, sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah
mencapai pada tingkat kesempurnaan. Begitu kuatnya hentakan tangan pendekar
Rajawali Sakti itu, sehingga Adipati Paturakan tidak mampu lagi bertahan. Dan...
"Hiyaaa...!"
Wuk! Pedang bercahaya keperakan itu langsung
melayang tinggi ke udara, terlepas dari genggaman si Tangan Api. Dan, pada saat
yang bersamaan, Rangga menghentakkan kaki kanannya, memberikan satu tendangan
keras menggeledek yang begitu cepat.
"Hiyaaa...!"
Des! "Akh...!" Adipati Paturakan terpekik keras.
Tendangan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti itu tepat menghantam dada si
Tangan Api. Tak pelak lagi, seketika itu juga Adipati Paturakan terpental ke
belakang dengan keras sekali. Punggungnya langsung menghantam dinding begitu
kerasnya. Dinding itu jadi bergetar bagai diguncang gempa.
"Hiyaaa...!"
Cring! Belum lagi Rangga memburu si Tangan Api itu, tiba-tiba saja iblis Rantai Baja
sudah melontarkan rantai baja hitamnya yang berbandul tiga buah bola besi baja
berduri. '"Uts!"
Buru-buru Rangga membungkukkan tubuhnya,
sehingga tiga bola besi berduri di ujung rantai baja hitam itu lewat di atas
kepalanya. Pada saat itu pula, dengan cepat sekali Rangga meliukkan tubuhnya dan
langsung berdiri tegak kembali. Lalu, dengan kecepatan yang luar biasa,
tangannya bergerak mengelebat. Dan ...
Tap! Cring! Rrrt .! "Heh...?"
Iblis Rantai Baja terkejut setengah mati begitu tangan Rangga tiba-tiba sudah
merenggut bagian tengah rantai baja hitam itu. Dan, belum lagi hilang rasa
terkejutnya, mendadak Rangga menghentakkan ujung rantai berbandul tiga bola besi
itu ke arah pemiliknya sendiri.
"Oh..."! Hait..!"
Buru-buru Iblis Rantai Baja melentingkan tubuhnya, berputar-putaran ke belakang. Dan, pada saat yang bersamaan, Rangga
Pendekar Rajawali Sakti 72 Korban Ratu Pelangi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghentakkan tangannya yang menggenggam rantai baja itu ke belakang dengan
cepat sekali. Tidak pelak lagi, tubuh iblis Rantai Baja tertarik ke depan tanpa
keseimbangan dan dapat dikendalikan lagi. Pada saat itu juga, Rangga
menghentakkan kaki kanannya ke depan menyambut tubuh Iblis Rantai Baja yang
meluncur deras ke arah nya. Dan....
Diekh! "Akh....!"
Iblis Rantai Baja langsung terpental balik ke belakang sambil memekik keras.
Dadanya terkena tendangan kencang bertenaga dalam tinggi dari Pendekar Rajawali
Sakti. Sedangkan rantai kebang-gaannya kini sudah berpindah ke tangan pemuda
berbaju rompi putih itu. Dan, pada saat yang bersamaan, beberapa orang pemuda
berpakaian pengemis langsung meluruk deras menyerang si iblis Rantai Baja yang sudah tidak
berdaya itu. Tendangan Rangga yang begitu keras pada dadanya tadi membuatnya
tidak mampu lagi bergerak.
"Bunuh...!"
"Cincang...!"
Jleb! Crasss! "Aaaa...!"
Para pengemis muda yang memang menyimpan
dendam itu tidak bertindak tanggung-tanggung.
Mereka langsung menghujani tubuh si Iblis Rantai Baja dengan golok dan ujung
tongkat yang runcing.
Sehingga, laki-laki separuh baya berbaju hitam itu benar-benar tidak dapat lagi
berbuat lebih banyak.
Dia hanya bisa menjerit melengking tinggi, mengiringi
kematiannya. Melihat Iblis Rantai Baja tewas dicincang para pengemis, Tongkat Merah Samber
Nyawa yang masih bertarung melawan Pandan Wangi bergetar juga hatinya. Dan,
tanpa berpikir panjang lagi, dia berusaha melompat ke jendela untuk melarikan
diri. Tapi, belum juga dia bisa melompati jendela balai agung yang cukup besar itu,
tiba-tiba puluhan panah sudah datang menyerbu dengan cepat sekali.
Sehingga, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Dan, tak pelak
lagi, tubuh si Tongkat Merah Samber Nyawa menjadi sasaran yang sangat empuk
panah para prajurit itu.
Crab! Zleb! "Aaaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tampak tubuh si Tongkat
Merah Samber Nyawa ambruk menggelepar dengan puluhan anak panah menghunjam di
tubuhnya. Darah seketika bercucuran ke luar, hanya sebentar dia mampu
menggeliat. Tubuhnya kemudian terdiam kaku tak bernyawa lagi. Sementara itu,
Adipati Paturakan yang sudah bisa berdiri kembali terlongong bengong melihat dua
orang pengikut setianya telah menjadi mayat dalam keadaan yang mengerikan
sekali. Seluruh tubuh si Tongkat Samber Nyawa penuh dengan anak panah. Sedangkan tubuh
Iblis Rantai Baja sudah tidak ketahuan lagi bentuknya. Tubuh itu dicincangcincang oleh para pengemis muda yang merasa dendam karena berhari-hari terkurung
di dalam puri wanita Iblis si Ratu Pelangi Maut
*** "Tidak ada gunanya lagi kau melawan, Paturakan.
Sebaiknya kau menyerah saja." kata Adipati Bayangkala.
"Phuih!" Paturakan hanya mendengus sambil menyemburkan ludahnya.
Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Rangga, dengan sinar
yang memancarkan dendam. Dia begitu dendamnya kepada
Pendekar Rajawali Sakti itu. Akibat campur tangan pendekar muda itu, apa yang
selama ini diimpikannya menjadi berantakan. Bahkan dua orang pengikut setianya
sudah menggeletak tak bernyawa lagi.
"Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan adil, Paturakan." kata Adipati
Bayangkala membujuk lagi.
"Jangan banyak omong, Bayangkala! Bunuh saja aku...!" sentak Paturakan garang.
Adipati Bayangkala hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan dia melangkah
mendekati si Tangan Api. Tapi, baru saja dia melangkah beberapa tindak, tibatiba Paturakan mengeluarkan sebuah ptsau dari balik jubah birunya. Dan, pisau
itu diangkatnya tinggi-tinggi tertuju lurus ke dadanya sendiri.
"Jangan berbuat bodoh, Paturakan...!" sentak Adipati Bayangkala
"Ha ha ha...! Kau pikir aku mau menyerah begitu saja, Bayangkala" Aku lebih baik
mati daripada..."
Sebelum Adipati Paturakan menyelesaikan
ucapannya, tiba-tiba Rangga melemparkan rantai baja hitam yang masih berada di
tangannya dengan cepat sekali, disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
Rrrt...! "Akh...!" Adipati Paturakan terpekik keras.
Rantai baja hitam itu langsung menghantam pergelangan tangan Adipati Paturakan,
sehingga pisau yang digenggamnya terpental lepas. Dan, sebelum si Tangan Api
menyadari apa yang baru saja terjadi, Rangga sudah melompat cepat bagai kilat.
Dan, tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada dekat sekali di depan si
Tangan Api. "Hih!"
Cepat sekali Rangga memberikan tiga kali totokan di dada Adipati Paturakan,
sebelum si Tangan Api itu bisa berbuat lebih banyak lagi. Seketika itu juga
tubuh Adipati Paturakan jatuh lemas tak bertenaga.
Pusat jalan darahnya telah terkena totokan jari tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Setan keparat...!" desis Paturakan dengan berang.
Namun, dia sudah tidak bisa lagi berbuat sesuatu.
Jalan darahnya sudah tertotok dengan kuat sehingga dia tidak lagi mampu bergerak
sedikit pun. Seluruh tubuhnya menjadi lumpuh. Hanya sorot matanya yang masih
menatap tajam pada Rangga, memancarkan sinar dendam yang meluap-luap di dalam
dada. "Ringkus dia...!" seru Adipati Bayangkaia cepat-cepat.
Dua orang prajurit yang berada di ambang pintu bergegas berlari dan langsung
meringkus si Tangan Api. Mereka menyeretnya keluar, setelah mengikat tangan,
kaki, dan seluruh tubuh laki-laki tua berjubah biru itu dengan rantai yang kuat.
Adipati Bayangkaia melangkah menghampiri Rangga yang sudah
didampingi Pandan Wangi. Pada saat itu, dari ruangan lain, muncul Ayu Dewi
Winarti. Gadis itu langsung berlari menghampiri ayahnya dan memeluk-nya dengan
rasa kasih dan rindu yang mendalam.
"Ayo kita pergi Pandan," ajak Rangga berbisik.
Tapi, sebelum kedua pendekar muda itu bergerak meninggalkan balai agung Istana
Kadipaten Kuring, Adipati Bayangkala sudah mengetahui dan langsung mencegahnya.
"Kalian tinggal dulu beberapa hari di sini. Dan kau juga, Ki Gembel Bungkuk.
Kalian semua menjadi tamu agungku di istana ini," kata Adipati Bayangkala.
Tidak ada yang bisa menolak. Mereka hanya bisa mengangkat bahu. Rangga dan
Pandan Wangi pun tidak mungkin lagi bisa menolak permintaan tulus dari Adipati
Bayangkala ini.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Si Rase Kumala 6 Candika Dewi Penyebar Maut X I I Geger Topeng Sang Pendekar 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama