Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang Bagian 2
kepala, lalu perlahan-lahan kedua tangannya turun membentuk silang di depan dada. Kedua matanya terpejam dengan
kepala setengah menunduk. Sebentar kemudian, terdengar suara mendesis bagai ular. Lalu, gadis itu
mendorong tangannya ke depan dengan telapak tangan
terbuka lebar. Kedua matanya terbuka menatap tajam ke depan. Tubuhnya agak bergetar, dan dari bibirnya terdengar suara mendesis halus. Tidak berapa lama kemudian, kedua tangannya bergerak turun. Kini kepalanya menoleh pada Widarti yang sejak tadi memperhatikan rumah di depan itu.
"Bagaimana, Karina?" tanya Widarti.
"Mudah-mudahan berhasil," sahut Karina.
"Ayo, jangan buang-buang waktu." Kedua gadis berbaju merah itu segera melompat
cepat dan ringan
mendekati rumah Ki Kusha. Mereka tiba di depan pintu rumah dengan tubuh agak merapat ke dinding. Sebentar mereka terdiam dengan mata saling melempar
pandang. Widarti mendorong pintu itu, tapi kepalanya
menggeleng. Pintu itu ternyata tidak bergerak sedikit pun. Widarti menganggukkan
kepala sedikit. Sementara, Karina menggeserkan kakinya lebih ke depan di
pintu dengan jarak sekitar tiga langkah. Sebentar perhatiannya dipusatkan,
kemudian dengan cepat kedua
tangannya dihentakkan ke depan.
Brakkk! Pintu kayu itu jebol begitu tangan Karina mendorong kuat ke depan. Widarti langsung melompat masuk ke dalam, diikuti Karina. Mereka berdiri berdampingan dengan mata merayapi sekitarnya. Tidak ada
yang dapat dilihat di dalam ruangan depan yang tidak
begitu besar ini. Hanya ada sebuah dipan bambu yang
kosong, dua kursi kayu, dan sebuah meja bundar di
bawah jendela. Tidak ada seorang pun yang terlihat.
"Kau periksa setiap kamar, Karina. Biar aku
menjaga di sini," kata Widarti setengah berbisik.
"Hup!"
Karina bergegas melompat menuju ke sebuah
kamar yang pintunya sedikit terbuka. Dengan hati-hati sekali didorongnya pintu
itu. Cahaya pelita langsung
menerobos keluar. Gadis itu menggelengkan kepala,
karena di dalam kamar itu tidak terlihat seorang pun.
Karina kembali melompat mendekati pintu kamar satunya lagi. Didorongnya pintu itu perlahanlahan. Kembali kepalanya menggeleng perlahan, karena di dalam kamar ini juga tidak ada seorang pun. Karina memandang Widarti yang berdiri dengan sikap
siaga penuh di tengah-tengah ruangan depan yang
menjadi satu dengan ruangan tengah.
"Mustahil. Tadi aku mendengar ada suara di sini, desah Widarti jadi keheranan juga."
"Aku lihat ke belakang, Widarti," kata Karina.
"Cepatlah!"
Karina bergegas melompat ke bagian belakang
rumah ini, namun tidak lama kemudian sudah kembali lagi dengan bahu terangkat dan kepala menggeleng.
Widarti mendengus kesal. Dipandangnya setiap sudut
ruangan kecil ini. Keningnya sedikit berkerut. Ada keanehan di rumah ini setiap
ruangan begitu terang
benderang, tidak seperti rumah-rumah lain.
"Hm..., jangan-jangan...," gumam Widarti perlahan seperti untuk dirinya sendiri.
"Jebakan...!" desis Karina.
Kedua gadis itu berpandangan sejenak, lalu cepat melompat ke luar. Tapi alangkah terkejutnya mereka, begitu sampai di luar rumah. Ternyata sekeliling rumah ini sudah terkepung
puluhan orang bersenjata
aneka macam bentuknya. Mereka semua membawa
obor dengan senjata terhunus. Tampak di antara mereka, berdiri paling depan adalah Pendekar Rajawali
Sakti. "Keparat..!" desis Widarti geram begitu menyadari dirinya sudah terkepung
rapat. "Apa akal kita, Widarti?" tanya Karina berbisik.
"Terpaksa. Malam ini harus banjir darah," sahut Widarti datar.
"Hm..." Karina menggumam perlahan.
Sret! Kedua gadis itu langsung saja mencabut pedangnya. Pedang berwarna merah dengan tangkai berbentuk kepala tengkorak manusia. Dengan gerakan
yang hampir serentak, mereka menyilangkan pedang di
depan dada. Pandangan mata mereka begitu tajam
menatap ke sekeliling.
Rangga merentangkan tangannya ke samping,
kemudian melangkah ke depan beberapa tindak. Pendekar Rajawali Sakti berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi
di depan kedua gadis cantik berbaju merah itu. Untuk sesaat lamanya, mereka
hanya saling pandang saja. Sementara puluhan orang
yang sehari-harinya bergelut di ladang, bergerak mundur beberapa langkah. Namun, sikap mereka masih tetap waspada. Widarti menganggukkan kepalanya pada
Karina yang disambut dengan anggukan kepala juga.
Pada saat itu, Rangga sudah membuka mulutnya akan
bicara. Namun, mendadak saja kedua gadis itu berteriak nyaring sambil melompat menerjang. Pedang mereka berkelebat cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang mematikan.
"Hait...!"
Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang sambil menghindari terjangan kedua
gadis itu. Namun baru saja kakinya menjejak tanah,
serangan berikut sudah datang lagi secara beruntun.
Rangga terpaksa berlompatan dengan tubuh meliukliuk menghindari setiap serangan yang datang. Pendekar Rajawali Sakti mempergunakan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib'. Jurus yang sangat sulit ditaklukkan,
meskipun dengan jurus ampuh sekalipun.
Sementara itu, di antara penduduk Desa Gedangan yang mengepung sekitar pertarungan, terlihat
Lasmi berdiri di samping ayahnya. Gadis itu tampak
gelisah sekali melihat pertarungan antara Rangga melawan dua gadis pengikut Ratu Bukit Brambang.
Meskipun sudah beberapa kali melihat kehebatan
Pendekar Rajawali Sakti, namun kekhawatiran masih
juga menyelimuti hatinya.
"Ayah, kenapa tidak dikeroyok saja?" bisik
Lasmi tidak bisa menutupi kecemasannya.
"Rangga tidak mengizinkan. Nanti kalau sudah
diberi tanda, baru semuanya bergerak," sahut Ki Kusha. "Tapi..."
"Jangan terlalu dicemaskan, Lasmi Rangga seorang pendekar yang sudah ternama. Dia pasti bisa
mengatasi kedua perempuan iblis itu," Ki Kusha mencoba menenangkan anak
gadisnya. Lasmi tidak bicara lagi. Namun kecemasan masih menghantui seluruh relung hatinya. Sementara
pertarungan itu berjalan semakin sengit. Dan sampai
se-jauh ini, belum ada tanda-tanda kalau Rangga
memberi perlawanan berarti. Tapi, kedua gadis pengikut Ratu Bukit Brambang sudah mengeluarkan jurusjurus andalan. "Karina, cari jalan keluar. Biar ku hadang manusia keparat ini!" desah Widarti di sela nafasnya yang tersengal.
Widarti sudah merasa tidak akan mampu
menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Dan dia mengambil keputusan agar Karina bisa meloloskan diri dari kepungan ini. Namun, Karina rupanya tidak mempedulikan peringatan itu, dan terus saja merangsek
lawannya dengan jurus-jurus andalan yang terakhir.
"Karina, cepat pergi...!" sentak Widarti jadi gusar. "Kau saja yang pergi,
Widarti!" sahut Karina sambil terus melancarkan serangan-serangan dahsyat
pada Pendekar Rajawali Sakti.
Widarti jadi bimbang, tapi akhirnya mengambil
keputusan juga. Selagi Rangga sibuk melayani Karina,
gadis itu mengambil kesempatan meloloskan diri. Dan
pada saat itu, Rangga berhasil mendaratkan pukulan
mautnya ke dada Karina. Akibatnya, gadis itu memekik keras dan tubuhnya terlontar beberapa depa ke belakang. "Karina...!" jerit Widarti terkejut.
"Jangan hiraukan aku! Cepat pergi!" seru Karina seraya melompat bangkit.
Gadis itu kembali menyerang Rangga. Namun
sekali lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah menyarangkan satu pukulan telak ke arah dada, disusul tendangan ke perut. Dan belum lagi Karina ambruk, Rangga
mengibaskan tangannya mempergunakan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'.
"Aaa...!" Karina menjerit keras melengking. Dari kepala gadis itu kontan
mengucur darah segar. Kibasan tangan Rangga tepat menghantam batok kepala
hingga retak. Karina jatuh menggelepar di tanah. Sementara, Widarti jadi terpaku. Namun seketika itu juga, dia melesat kabur selagi semua orang terpana memandang kematian Karina dengan kepala pecah dan
dada melesak ke dalam.
Rupanya beberapa orang penduduk yang melihat Widarti lari, segera mencoba mengejar. Cepat-cepat Widarti mengibaskan
pedangnya sambil melompat ke
atas. Kibasan yang cepat bagai kilat itu kontan memenggal dua kepala sekaligus. Dua penduduk yang
mencoba mengejar, langsung ambruk. Dan sisanya,
langsung terpaku diam dengan hati kecut.
"Biarkan dia pergi!" seru Rangga melihat beberapa penduduk ingin mengejar
kembali. Mereka langsung menghentikan niatnya, dan
membiarkan Widarti melarikan diri. Saat itu Karina
sudah terbujur kaki dengan nyawa hilang dari badan.
Darah masih mengalir deras membasahi tanah bagian
depan halaman rumah Ki Kusha. Sementara, Ki Kusha
dan Lasmi serta para penduduk Desa Gedangan bergerak mengerumuni Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri
di samping mayat Karina.
Rangga kemudian meminta semua penduduk
Desa Gedangan untuk berjaga-jaga sepanjang malam
ini. Dan dia juga meminta beberapa orang untuk mengurus mayat Karina. Bagaimanapun juga, gadis itu
adalah manusia yang kematiannya harus disempurnakan selayaknya. Pendekar Rajawali Sakti kemudian
melangkah ke rumah Ki Kusha. Tubuhnya dihenyakkan di balai-balai bambu reot yang ada di beranda rumah itu. Ki Kusha dan Lasmi menghampiri, lalu duduk
mengapit Pendekar Rajawali Sakti.
*** "Untung kau cepat bertindak, Kakang. Tapi aku
cemas juga tadi," kata Lasmi seraya menghembuskan napas panjang untuk
melonggarkan rongga dadanya.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau mereka akan
datang ke sini?" tanya Ki Kusha.
"Aku sempat melihat kedatangan mereka tadi,
Ki. Mereka begitu ceroboh, datang secara terangterangan. Hhh...! Tadinya aku tidak mengharapkan penduduk desa ini bergerak," ucap Rangga pelan.
"Mereka sudah mendengar kehebatanmu. Makanya, begitu aku memberi tahu kedatangan iblis-iblis itu, mereka langsung saja
bersemangat. Tekanan yang
mereka derita cukup parah, Rangga. Mereka memang
menunggu saat-saat seperti ini. Bahkan tidak takut
man lagi demi membela kebenaran," kata Ki Kusha sedikit bangga bisa mengumpulkan
sekian banyak penduduk dalam waktu singkat.
"Mungkin sudah saatnya bangkit...," desah
Rangga seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Benar, Rangga," sambut Ki Kusha cepat
,Rangga menarik napas panjang. Tatapannya dilayangkan ke depan. Tampak desa yang semula gelap,
kini terang benderang oleh beberapa obor terpancang.
Rumah-rumah juga menyalakan pelita besar-besar.
Beberapa laki-laki yang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, berjaga-jaga di depan rumah masingmasing. Mereka memegang senjata apa saja yang bisa
digunakan. "Oaaah,..!" Ki Kusha menguap lebar sambil menutup mulutnya.
Tidak berapa lama kemudian, Lasmi juga menguap. Namun, gadis itu mampu menahannya. Padahal,
punggung tangannya sudah menggosok-gosok mata.
Rangga memperhatikannya dengan bibir menyunggingkan senyum. Dia tahu, rumah ini masih dipenuhi
Ilmu 'Sirep' yang dilepaskan Karina. Ilmu itu tidak
akan berpengaruh pada Pendekar Rajawali Sakti, karena hawa murni dalam tubuhnya sudah begitu sempurna dan selalu bekerja secara langsung bila mendapat rangsangan.
"Kalian terkena ilmu 'Sirep'. Tidurlah," ujar Rangga.
"Uh! Aku mengantuk sekali...!" keluh Ki Kusha seraya bangkit berdiri.
Ki Kusha melangkah masuk ke dalam rumahnya. Pintu depan yang jebol, tidak dipedulikan lagi.
Laki-laki tua itu langsung merebahkan diri di balaibalai bambu, dan tertidur seketika. Rangga sempat
melirik sebentar, kemudian menoleh menatap Lasmi
yang sudah menguap beberapa kali. Gadis itu masih
mencoba menahan rasa kantuk akibat pengaruh aji
'Strep' yang masih bekerja di rumah ini. Meskipun kekuatannya tidak begitu besar lagi, namun masih
mampu membuat orang ingin tidur.
"Tidurlah. Jangan paksakan diri menahan ajian
itu kata Rangga seraya menepuk punggung tangan gadis itu. "Aku masih ingin menemanimu, Kakang," sahut Lasmi sedikit lesu.
"Percuma. Kau pasti akan tidur tanpa disadari."
"Uh...!" Lasmi mengeluh. Kelopak matanya semakin terasa berat, dan rasanya tidak
sanggup lagi bertahan. Lasmi beranjak bangkit, namun jadi limbung.
Kalau Rangga tidak cepat-cepat menyanggah, mungkin
Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis itu sudah ambruk karena tidak kuat lagi menahan kantuknya. Rangga memapah gadis itu masuk ke
dalam. Lasmi antara sadar dan tidak, mengayunkan
kakinya dengan berat. Dan kini, Pendekar Rajawali
Sakti membawanya masuk ke dalam kamar.
Dengan hati-hati sekali, Rangga membaringkan
Lasmi di pembaringan. Gadis itu masih mencoba bertahan untuk tidak tidur. Namun, kelopak matanya semakin berat dan selalu ingin terpejam. Rangga memandanginya dengan bibir tersungging senyuman.
"Kakang, di mana kau titipkan ibu tadi?" tanya Lasmi teringat ibunya yang
terpisah ketika Rangga
menyuruh mereka keluar tadi dari rumah ini.
"Ada di tempat yang aman," sahut Rangga lembut. "Di mana?" desah Lasmi semakin
lirih. "Di rumah adiknya."
"Seharusnya aku ada di sana, Kakang. Kasihan
ibu. Pasti cemas menunggu."
"Besok pasti bisa bertemu kembali," Rangga
menjamin. Sekali lagi Lasmi menguap. Diraihnya tangan
Pendekar Rajawali Sakti, dan digenggamnya erat-erat.
Lalu dibawanya tangan pemuda itu ke dadanya, seakan-akan tidak ingin dilepaskan lagi. Rangga membiarkan saja, dan duduk di tepi pembaringan ini.
"Aku tahu kau akan pergi, Kakang. Aku tidak
bisa menghalangimu. Aku sadar, hidup kita berbeda
jauh...," ujar Lasmi seraya menahan kantuknya.
"Tidurlah," desah Rangga lembut.
"Hm...," Lasmi menggumam seraya tersenyum.
Tangan gadis itu menjulur menggapai leher
Rangga dan menariknya agar mendekat. Rangga terpaksa membungkuk, sehingga wajah mereka begitu
dekat. Dengus napas mereka terasa hangat menerpa
kulit wajah. Sesaat, mereka saling berpandangan dengan jarak begitu dekat.
"Peluklah aku, Kakang. Berilah aku kedamaian
untuk sekali lagi," pinta Lasmi mendesah.
Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Menolak saja tidak mampu. Terlebih lagi, Lasmi sudah melingkarkan tangannya di leher Pendekar Rajawali Sakti, dari menekannya ke bawah.
Sesaat kemudian, bibir
mereka sudah menyatu rapat. Hanya sebentar saja
Rangga merasakan balasan kecupan hangat itu. Sesaat
kemudian, gadis itu benar-benar tertidur.
Rangga melepaskan pelukan Lasmi, kemudian
bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya sekujur tubuh ramping yang tertidur
pulas. Kemudian, diambilnya
kain dan ditutupinya tubuh Lasmi sampai sebatas dada. Rangga melangkah ke luar, dan langsung menutup
pintu kamar itu. Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan keluar rumah Ki Kusha, dan kembali duduk di balai-balai bambu yang ada di beranda depan.
*** 6 Brakkk! Ratu Bukit Brambang menggebrak meja di depannya hingga hancur berantakan. Sepasang bola matanya yang celong ke dalam, tampak merah membara
dan berkilatan seperti bola api. Di depannya, tampak
Widarti duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk
dalam. Di belakang gadis itu, duduk bersimpuh sekitar tiga puluh orang gadis
yang semuanya memakai baju
merah menyala dengan sabuk kuning emas.
Ratu Bukit Brambang menatap tajam gadisgadis muda di depannya. Dia begitu geram, karena malam ini tidak ada seorang pun pemuda yang diperoleh
pengikutnya. Bahkan Widarti membawa laporan buruk
tentang tewasnya Karina, salah seorang pengikutnya
yang terbaik. "Kalian semua bodoh! Percuma kalian kuambil
sebagai murid kalau baru segitu saja tidak becus!"
rungut Ratu Bukit Brambang gusar.
"Maaf, Gusti Ratu. Pemuda itu tangguh sekali.
Bahkan seluruh penduduk Desa Gedangan sudah berani melawan," ujar Widarti tetap menunduk bersimpuh, "Aku tidak peduli dengan
alasanmu, Widarti!
Aku lebih senang menerima kabar kematianmu daripada kau kembali dengan kegagalan!" bentak Ratu Bukit Brambang.
Widarti tidak berkata lagi, dan diam sambil tetap menekuri lantai. Sedangkan tiga puluh gadis lain
di belakang Widarti juga tidak bergeming. sedikit pun.
Tidak ada yang berani mengangkat kepala saat Ratu
Bukit Brambang diliputi kemarahan besar begini.
"Aku tidak peduli kalian akan cari ke mana.
Malam ini, kalian harus dapatkan satu pemuda untukku! Mengerti...".'" keras suara Ratu Bukit Brambang. "Mengerti, Gusti
Ratu...!" sambut gadis-gadis itu serempak.
"Cepat kerjakan!"
Tiga puluh orang gadis berbaju seragam merah
itu segera bangkit dan menjura memberi hormat hanya
Widarti yang masih tetap duduk bersimpuh tanpa bergeming, meskipun teman-temannya sudah meninggalkan ruangan pengap menyeramkan ini. Ratu Bukit
Brambang menatap tajam pada gadis itu.
"Kalau tidak berangkat juga, Widarti...?" dengus Ratu Bukit Brambang dingin.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba mohon diberi kesempatan sekali lagi," ujar Widarti seraya memberi hormat "Kesempatan apa lagi?"
"Membawa pemuda itu ke sini."
"Percuma! Kau tidak akan mampu menghadapinya!" dengus Ratu Bukit Brambang.
"Jika Gusti Ratu memberi hamba sepuluh
orang, hamba yakin mampu membawa pemuda itu ke
sini." "Jika gagal?" Widarti diam membisu.
"Sudahlah, Widarti. Kau satu-satunya muridku
yang tertua. Aku tidak ingin lagi kehilangan murid
utamaku, Biarlah Karina menjadi korban.... Hm...," Ra-tu Bukit Brambang memutus
kata-katanya. Dan perempuan itu bergumam dengan ujung jari menggarukgaruk pipi yang terlihat seperti tulang saja.
Gusti Ratu punya pemikiran lain...?" Widarti
berharap. "Tidak," sahut Ratu Bukit Brambang seraya
bangkit berdiri dari singgasananya.
Widarti juga ikut bangkit. Badannya segera dibungkukkan begitu wanita berjubah merah dan berwajah seperti tengkorak itu melangkah melewatinya. Widarti masih membungkuk meskipun Ratu Bukit Brambang sudah meninggalkan ruangan pengap penuh
tengkorak manusia bersusun itu.
Sebentar Widarti memandangi ruangan pengap
itu, kemudian berjalan ke luar dengan langkah lesu.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam setelah berada
di luar. Angin malam yang dingin langsung menerpa
kulit wajahnya. Sejenak dia berhenti berjalan. Kepalanya lalu menengadah menatap rembulan yang menggantung penuh di langit kelam. Perlahan-lahan kakinya kembali terayun melangkah menyusuri tanah
berumput halus yang dibasahi embun.
"Widarti...!"
Widarti menoleh ketika mendengar panggilan
arah samping kanannya. Tampak tiga orang gadis berjalan cepat menghampirinya. Ketiga gadis itu masingmasing bernama Sitara, Tila, Andini. Mereka juga pernah bentrok dengan Rangga beberapa kali. Dan biasanya mereka selalu berempat, tapi yang seorang sudah tewas ketika Rangga mencoba menyelidiki Bukit
Brambang ini. Ketiga gadis itu berdiri di depan Widarti. Dari
pandangan, tampaknya mereka seperti ingin mengatakan sesuatu. Dan Widarti paham maksudnya, meskipun ketiga temannya ini belum mengatakan apa-apa.
Saat ini, nasib mereka bisa dikatakan sama. Samasama kehilangan seorang teman dekat yang selalu bersama-sama ke mana pun pergi dalam menjalankan tugas dari ratu mereka.
"Aku sedih dengan kematian Karina, Widarti,
ucap Andini pelan.
"Dia terlalu nekat. Padahal, aku sudah menyuruhnya pergi," kata Widarti menyesal.
"Widarti, kita harus membalas. Keparat itu tidak boleh terlalu lama dibiarkan hidup. Sudah banyak
teman kita tewas di tangannya!" tegas Tila.
"Hhh...!" Widarti menarik napas panjang dan berat. "Ada apa, Widarti?" tanya
Sitara melihat kemurungan menyemburat di wajah Widarti.
Lagi-lagi Widarti hanya mendesah panjang. Kepalanya menggeleng beberapa kali, kemudian melangkah pergi meninggalkan ketiga temannya yang jadi
bengong keheranan saling berpandangan. Mereka tidak
mengerti terhadap sikap Widarti yang terasa aneh. Ketiga gadis itu mengayunkan kakinya menghampiri Widarti yang terus berjalan perlahan-lahan, langsung
mensejajarkan langkah di samping gadis itu.
"Aku berharap, kau masih menganggap kami
teman, Widarti," kata Andini.
Widarti hanya diam saja.
"Kau seperti sedang mengalami kesulitan. Jika
kau masih sudi menganggap kami teman, tidak ada salahnya bila mengutarakan kesulitanmu. Sekarang ini,
nasib kita sama. Sama-sama kehilangan sahabat dekat," kata Andini lagi.
Widarti menghentikan langkahnya. Langsung
dipandanginya ketiga temannya. Desahan panjang
kembali terhembus dari sela-sela hidungnya.
"Kalian memang baik, Tapi, aku tidak tahu harus mengatakan apa pada kalian. Semua ini memang
salahku, sehingga banyak teman-teman jadi korban.
Kalau saja aku berhasil mengalahkan si keparat itu,
tidak akan begini jadinya," kata Widarti setengah mengeluh. "Kalau hanya itu,
bukan kesalahanmu, Widarti.
Pemuda itu memang tangguh. Tingkat kepandaiannya
jauh berada di atas kita semua. Aku rasa, semua teman kita juga tidak ada yang sanggup menghadapinya.
Entah kalau Gusti Ratu sendiri," sahut Andini.
"Itulah persoalannya...," desah Widarti tanpa sadar. "Maksudmu?" desak Andini.
Widarti tidak segera menyahuti. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Disadari
betul kalau tadi sudah keterlepasan bicara. Dan ini tidak mungkin ditarik
kembali. Padahal ketiga gadis temannya itu sudah mendesaknya.
"Lupakan saja. Kalian tidak akan percaya kalau
aku mengatakannya," kata Widarti setengah mendesah. "Katakan saja, Widarti,"
desak Andini. "Ah sudahlah...!" desah Widarti menghindar.
Widarti kembali melangkah meninggalkan ketiga gadis temannya, dan terus berjalan tanpa menolehnoleh lagi. Sementara ketiga gadis itu hanya saling
berpandangan saja. Mereka sama-sama mengangkat
bahu, dan membiarkan Widarti pergi entah ke mana.
*** Malam masih menyelimuti sebagian permukaan
mayapada. Suasana di Desa Gedangan juga belum
menampakkan perubahan. Meskipun penduduknya
sudah bangkit dan berani menentang Ratu Bukit
Brambang, namun sebagian masih ada yang merasa
takut akan ancamannya. Sedangkan Rangga sendiri tidak mungkin bisa menjamin keselamatan mereka semua. Desa Gedangan ini cukup besar, meskipun jumlah penduduknya tidak begitu banyak.
Di depan rumah Ki Kusha, tampak Rangga duduk menyendiri di balai-balai bambu yang terletak di bawah jendela depan rumah
itu. Sepasang bola matanya tidak lepas merayapi sekitarnya yang sunyi sepi.
Angin malam yang dingin berhembus kencang, mempermainkan rambutnya yang panjang sedikit tergelung
ke atas. "Hm...."
Pendekar Rajawali Sakti bergumam pelan ketika matanya menangkap sesosok tubuh berlindung dari
bayang-bayang pohon besar tidak jauh dari rumah ini.
Pandangan matanya seketika beralih. Pada saat itu terlihat satu bayangan merah
berkelebat cepat menyelinap ke bagian belakang rumah. Rangga langsung
menggelinjang bangkit. Dan bagaikan seekor burung
rajawali, tubuhnya melesat cepat ke atas. Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, kakinya mendarat lunak
di atap. Lututnya tertekuk hampir menyentuh atap.
Sebentar matanya mengawasi sekitarnya.
Tiba-tiba Rangga tersentak. Dia melihat satu
bayangan merah berkelebat cepat, keluar dari dalam
rumah. Rangga lebih terkejut lagi, karena bayangan
merah itu keluar dari jendela kamar Lasmi. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti
melesat cepat bagaikan kilat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga Pendekar Rajawali Sakti bisa melewati bayangan merah dan
langsung berdiri menghadang di depan.
"Berhenti...!" bentak Rangga keras.
"Keparat!" geram bayangan merah yang ternya-ta Widarti. Di pundak gadis itu
terpanggul sesosok tubuh ramping terbungkus kain.
"Tidak semudah itu kau menculik Lasmi, Perempuan Iblis!" Rangga langsung dapat menebak, siapa yang berada di pundak
Widarti. "Aku memang tidak butuh barang rongsokan
ini. Hih...!" Tiba-tiba saja Widarti melemparkan tubuh
ramping di pundaknya. Rangga terkejut bukan main.
Maka buru-buru dia melompat dan menangkap tubuh
yang melayang deras ke arahnya. Dan pada saat tubuh
itu berhasil ditangkapnya, Widarti sudah melompat
sambil mencabut pedang. Sret!
Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hiyaaat!"
"Hup! Hyaaa...!"
Begitu jari kakinya menyentuh tanah, Rangga
langsung melentingkan tubuhnya kembali. Maka kibasan pedang Widarti hanya mengenai angin kosong di
bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali Rangga
berjumpalitan di udara, kemudian hinggap di atas atap sebuah rumah.
Pendekar Rajawali Sakti meletakkan tubuh wanita yang diyakininya adalah Lasmi di situ, kemudian
cepat melesat turun. Langsung dilepaskannya dua pukulan beruntun ke arah Widarti. Namun, gadis itu sudah cepat berkelit sambil membalas menyerang dengan
mengibaskan pedangnya. Pertarungan tidak dapat dihindari lagi. Dan kali ini, rupanya Rangga tidak main-main. Langsung jurus
andalannya dikerahkan, sehingga menyulitkan Widarti menghadapinya.
"Akh...!" tiba-tiba Widarti memekik keras.
Satu sodokan keras berhasil disarangkan
Rangga pada bagian perut gadis itu. Dan selagi tubuh
Widarti terdorong limbung ke belakang, Rangga cepat
melompat sambil menggerakkan tangannya dengan
lincah. Widarti tidak bisa lagi menghindar, dan kemba-li memekik tertahan.
Tubuhnya langsung ambruk ke
tanah, tidak bergerak lagi. Hanya bagian leher ke atas saja yang masih bisa
digerakkan, Pedangnya terlepas
cukup jauh, Rangga melangkah menghampiri gadis itu.
Dia memang berhasil menotok jalan darah Widarti. Sehingga, gadis itu seperti lumpuh, tidak bisa bergerak lagi. "Keparat! Bunuhlah
aku...!" dengus Widarti geram. "Kau terlalu enak kalau cepat dibunuh, Perempuan
Iblis!" sahut Rangga dingin dan datar.
"Phuih!" Widarti menyemburkan ludahnya.
Rangga tersenyum saja melihat keberangan gadis itu. Tapi mendadak, dia jadi tersentak. Pendengarannya yang setajam pisau, mendengar desiran angin
yang halus di belakangnya. Pendekar Rajawali Sakti
langsung menoleh. Dan pada saat itu, satu bayangan
merah melesat cepat bagaikan kilat menyambar tubuh
yang ditinggalkan Rangga di atas atap.
"He...!" Rangga terkejut bukan main.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali
Sakti melenting, mengejar bayangan merah lain yang
menyambar tubuh Lasmi. Namun begitu Rangga ada di
atas atap sebuah rumah, mendadak dari arah depan
melesat satu bayangan merah ke arahnya. Sesaat,
Pendekar Rajawali Sakti terperangah.
"Hup...!"
Cepat sekali Rangga melenting, dan bayangan
merah itu lewat bagaikan kilat di bawah tubuhnya.
Rangga langsung meluruk mengejar dengan menyentilkan ujung jari kakinya pada atap. Tubuhnya kembali melenting cepat bagai
kilat. Tapi, bayangan merah itu tiba-tiba berbalik cepat dan mengibaskan sesuatu
ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Jarum beracun...!" desis Rangga tersentak.
Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Dengan
cepat tubuhnya berputar di udara, menghindari serbuan jarum-jarum beracun berwarna merah itu. Dan
begitu kakinya menjejak tanah, bayangan merah itu
sudah tidak tampak lagi. Entah pergi ke mana..."
"Sial...!" umpat Rangga kesal seraya menghentakkan kakinya ke tanah.
Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke arah Widarti. Tampak gadis itu masih tergeletak dengan jalan darah tertotok. Namun dari
bibirnya, tersungging senyuman mengejek. Bahkan tiba-tiba saja gadis itu tertawa terbahak-bahak. Rangga jadi kesal. Dihampirinya
gadis itu dan diangkatnya berdiri. Widarti masih tertawa saja, meskipun Rangga mencekal pundaknya dengan keras. "Siapa dia"!" tanya Rangga tajam.
"Kau akan terkejut kalau kuberi tahu, Pemuda
Tampan," sahut Widarti sinis.
"Siapa..."!" bentak Rangga kasar.
"Ratu Bukit Brambang!" dingin jawaban Widar-ti.
"Hih!"
Dengan kasar Rangga menyentakkan tangannya, sehingga tubuh Widarti terlempar ke belakang beberapa depa. Gadis itu memekik tertahan begitu tubuhnya menghantam tanah dengan keras. Namun, dia
tidak bisa berbuat banyak. Totokan di tubuhnya begitu kuat, dan tidak bisa
dilepaskan meskipun sudah mengerahkan hawa murni.
Pada saat itu, terlihat beberapa orang datang
membawa obor dan senjata beraneka macam. Melihat
itu, Widarti agak ciut juga hatinya. Sementara, Rangga sudah menghampiri lagi
dengan wajah menahan geram. Ada sekitar dua puluh orang penduduk yang rata-rata sudah berusia lanjut, langsung mengepung Widarti. Gadis itu memandang berkeliling dengan wajah
agak pucat. "Rangga...! Rangga...!"
Rangga menoleh. Tampak Ki Kusha berlari-lari
menghampirinya. Nafasnya tersengal begitu sampai di depan Rangga. Wajahnya
tampak pucat, dan tubuhnya
gemetar. "Lasmi, Rangga.... Lasmi hilang...," lapor Ki Kusha, terengah-engah nafasnya.
"Tenang, Ki. Aku sudah tahu," kata Rangga seraya melirik Widarti yang masih
menggeletak di tanah.
"Keparat...! kau menculik anakku...!" geram Ki
Kusha begitu melihat Widarti.
"Ki...!" Rangga langsung menarik tangan Ki Kusha. "Lepaskan! biar kubunuh
perempuan iblis ini!
dengus Ki Kusha memberontak.
Dengan sekuat tenaga, Ki Kusha memberontak
untuk melepaskan cekalan Rangga. dan begitu terlepas, langsung ditubruknya tubuh Widarti. Kedua tangannya bergerak cepat menghajar gadis berbaju me
rah yang sudah tidak berdaya itu. Tapi, Widarti malah tertawa terbahak-bahak.
"Hentikan, ki!" sentak Rangga sambil mereng-gut pundak laki-laki tua itu.
Hentakan Rangga yang begitu keras, membuat
tubuh laki-laki tua itu langsung terangkat Ki Kusha
menatap tajam Rangga. Wajahnya merah padam menahan kemarahan yang memuncak. Nafasnya mendengus kencang bagai kuda pacu yang sudah berlari
satu harian penuh.
"Dengar, Ki. mereka tidak akan mencelakakan
anakmu. Mereka hanya menginginkan diriku, percayalah. Aku akan menyelamatkannya," kata Rangga berusaha lembut.
"Aku mengerti, Rangga. Tapi Lasmi anak gadisku satu-satunya yang masih hidup. kakak lakilakinya mereka culik dan kakak perempuannya bunuh
di karena suaminya diculik juga. Sekarang mereka juga menculik anakku yang tersisa..." rintih Ki Kusha tidak bisa menahan
kesedihannya. "Percayalah, Ki. Lasmi akan selamat," Rangga meyakinkan laki-laki tua itu.
"Tolong, Rangga. selamatkan anakku. Hanya
dialah satu-satunya harapanku sekarang. Tolong,
Rangga, selamatkan anakku...."
"Aku akan menyelamatkannya, Ki."
Rangga kemudian meminta para penduduk
membawa Ki Kusha ke rumahnya. kemudian, dia sendiri menghampiri Widarti. Pendekar Rajawali Sakti
membebaskan totokannya, tapi tetap membiarkan kedua tangan gadis itu tetap tertotok. Rangga mengangkat tubuh gadis itu agar berdiri. Sedangkan Widarti
menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Dia bisa berdiri, tapi kedua tangannya tidak lagi bisa bergerak.
"Kau harus membantuku membebaskan Lasmi," kata Rangga dingin.
"Huh! kau pikir aku akan membantumu?" sinis nada suara Widarti.
"Suka atau tidak suka, aku akan membawamu
kembali ke ratumu. aku akan menukarnya dengan
Lasmi!" "Kau gila!" sentak Widarti terkejut.
"Tidak ada waktu lagi buat berdebat!"
"Hey...!"
Widarti terkejut bukan main, karena tiba-tiba
saja Pendekar Rajawali Sakti sudah menyambar tubuhnya dan langsung melompat cepat bagaikan kilat
begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sekejap saja sudah lenyap tanpa bekas. Beberapa penduduk Desa Gedangan yang masih
berada di sekitar situ jadi terperangah keheranan.
*** 7 Matahari baru saja menampakkan diri di belahan bumi Timur. Cahayanya yang hangat menyibakkan embun-embun dan kabut yang menyelimuti seluruh Bukit Brambang. Di pinggir bukit tampak Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak memandang sekitar
puncak bukit yang tidak begitu luas, namun tampak
luas dengan hamparan rumput hijau. Di sampingnya,
berdiri Widarti dengan tangan lunglai tertotok jalan darahnya. "Urungkan saja
niatmu. Kau tidak akan berhasil...," kata Widarti dengan suara pelan.
Rangga menoleh dan menatap tajam gadis di
sampingnya. Sedangkan Widarti melayangkan pandangannya ke depan. Perlahan-lahan kepalanya menoleh,
dan langsung bertumbukan dengan tatapan mata pemuda tampan itu. Tampak Widarti agak serba salah,
namun memang pandai mengatur perasaannya. Dan
gadis itu malah tersenyum tipis.
"Dengar, Widarti. Kalau terjadi apa-apa pada
Lasmi, kau akan menanggung akibatnya. Aku tidak
peduli siapa pun yang menculiknya. Tapi, aku hanya
memandangmu yang bertanggung jawab!" ancam
Rangga tegas. Widarti menoleh kembali, menatap ke arah
puncak bukit. Dia tahu, ancaman itu tidak main-main.
Meskipun diyakini Pendekar Rajawali Sakti tidak akan
mampu menandingi Ratu Bukit Brambang, namun dalam hatinya menyayangkan kalau pemuda setampan
ini akan menjadi korban ratunya. Sejak pertama kail
melihat pemuda ini, Widarti memang sudah tertarik,
Tapi dia tidak bisa mementingkan diri sendiri, karena harus patuh pada perintah
ratunya. "Di mana ruangan pribadi ratumu?" tanya
Ranggi dingin. Widarti tidak segera menjawab.
"Hm.... Mungkin aku harus menggunakan cara
lain untuk membuka mulutmu," gumam Rangga.
"He! Apa yang kau lakukan...?" bentak Widarti terkejut.
Tiba-tiba saja Rangga memondong tubuh gadis
itu. Tangannya cepat menjambret sulur pohon yang
banyak tergantung di sini. Kemudian, tubuhnya melesat tinggi dan hinggap di atas dahan yang cukup tinggi. Widarti mencoba memberontak, tapi Rangga cepatcepat bekerja. Diikatnya kedua kaki gadis itu hingga
menyatu, kemudian ujung sulur lainnya diikatkan di
dahan yang kuat. Pendekar Rajawali Sakti lalu melompat turun sambil membawa tubuh gadis itu, Dan pada
saat kakinya menjejak tanah, tubuh Widarti menggantung dengan kaki di atas.
"Keparat! Lepaskan aku...!" bentak Widarti berusaha memberontak.
"Aku akan menemui ratumu, sementara kau
menunggu di sini. Berdoalah agar nasibmu baik tidak
bertemu serigala lapar," kata Rangga kalem.
"Lepaskan aku! Lepaskan...!" jerit Widarti ketakutan juga.
Widarti tahu, di sekitar lembah ini bila malam
hari dipenuhi serigala liar yang kelaparan mencari makan. Jarak tubuhnya dengan
tanah tidak seberapa
jauh, dan mudah dicapai binatang liar. Dalam keadaan
tangan tertotok dan tubuh terikat terbalik begini, tidak mungkin bisa melepaskan
diri. Sementara Rangga sudah melangkah mundur menjauhi.
"Tunggu...!" seru Widarti keras.
"Kau berubah pikiran?" Rangga berhenti melangkah. "Akan kutunjukkan, di mana Gusti Ratu berada. Lepaskan dulu ikatan ini!" kata Widarti menyerah.
"Apa itu bukan alasanmu saja untuk kabur...?"
"Sumpah! Aku tidak akan kabur. Aku tahu, di
mana Gusti Ratu mengurung Lasmi. Aku juga tahu, di
mana biasanya Gusti Ratu berada. Kau tidak akan bisa mencapai istana itu tanpa bantuanku!" kata Widarti langsung berubah pikiran.
"Baik. Tapi, jangan coba-coba mengkhianatiku!"
ancam Rangga. "Aku bersumpah akan membantumu!" janji Widarti. Rangga melompat ke atas, dan tangannya langsung mengibas ke arah sulur yang menggantung Widarti. Gadis itu terpekik begitu tubuhnya melorot turun jatuh dengan keras di tanah. Mulutnya tampak
meringis sedikit merasakan sakit pada tubuhnya.
Rangga membuka ikatan di kaki gadis itu dan membantunya berdiri.
"Tanganku...," kata Widarti. Rangga menatap tajam. "Aku tidak bisa membawamu ke
sana dengan tangan begini. Kau tahu. Sekali saja aku ketahuan
membantumu, tidak ada ampun lagi. Gusti Ratu sudah tahu kalau aku tertawan olehmu. Kalau dia melihatku masih hidup, itu tandanya aku telah berkhianat.
Dia pasti akan membunuhku. Kau harus percaya padaku, Pen...."
"Rangga. Panggil saja aku Rangga," potong
Rangga cepat. "Kau bisa mempercayaiku, Rangga. Keadaanku
saat ini terjepit. Aku tidak mungkin kembali ke sana
dalam keadaan hidup. Sudah menjadi peraturan, siapa
saja yang tertangkap harus mati bunuh diri atau terbunuh," Widarti mencoba meyakinkan.
"Kenapa tidak kau lakukan itu?" pancing Rang-ga.
"Bodoh! Aku masih ingin hidup, tahu!" dengus Widarti. "Kau pikir aku gila,
sehingga lebih suka bunuh diri hanya karena tertangkap" Lebih baik mati dalam pertarungan, daripada mati tanpa guna!"
"Aku kagum pada pendirianmu. Tapi sayang,
kau berada di jalan yang salah," ujar Rangga tulus.
"Terima kasih. Sekarang bukan saatnya untuk
Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memuji." Rangga mengangkat bahunya, lalu kembali ke
sisi bukit. Sementara Widarti mengikuti dan berdiri di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Sementara, matahari semakin naik tinggi. Udara di sekitar Bukit Brambang ini terasa panas. Rangga masih tetap diam dengan mata menatap langsung ke bangunan besar dan
indah bagai istana itu.
*** Rangga sendiri tidak mengerti, suasana di sekitar Bukit Brambang ini tampak sepi dan tenang. Hampir setengah harian berada di sini, tapi tidak terlihat seorang pun. Sangat
berbeda dengan kunjungannya
pertama kali, yang langsung disambut gadis-gadis cantik dan serangan-serangan dahsyat mematikan. Sepertinya, puncak bukit ini sudah ditinggalkan mereka,
Pendekar Rajawali Sakti menoleh menatap Widarti. Pada saat yang bersamaan, Widarti juga menoleh ke arahnya. Sesaat mereka
saling melempar pandang.
Tanpa berkata-kata lagi, Rangga menjulurkan tangannya hendak membebaskan totokan pada kedua lengan
gadis itu. Tapi belum juga niatnya tersampaikan, mendadak dari arah belakang melesat sekitar empat orang
gadis berpakaian merah menyala, langsung menyerang
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hait..!"
Tangkas sekali Rangga mendorong tubuh Widarti. Sementara, dia sendiri melenting ke samping.
Serangan pedang keempat gadis itu luput dari sasaran.
Tiga orang kembali menyerang tanpa mengeluarkan
kata-kata, dan seorang lagi menghampiri Widarti yang
jatuh ke tanah. Dibebaskannya totokan pada kedua
tangan Widarti dan membantunya berdiri.
"Aku harus membawamu pada Gusti Ratu, Widarti," kata gadis itu.
Widarti tidak menyahuti. Matanya segera menatap Rangga yang tengah dikeroyok tiga orang gadis
bersenjata pedang berwarna merah. Kemudian, pandangannya beralih pada gadis sebayanya yang baru
membebaskan totokannya. Dia tahu, menghadap Ratu
Bukit Brambang sama saja mendapat hukuman mati.
Dan itu memang sudah peraturan yang ditetapkan Ratu Bukit Brambang.
"Katakan pada Gusti Ratu, aku akan datang
sendiri nanti," kata Widarti.
"Tidak bisa, Widarti. Gusti Ratu menginginkan
aku yang membawamu. Maaf, aku harus mengikatmu,"
kata gadis itu.
Widarti paham sekarang. Matanya langsung
menatap tajam gadis sebayanya itu. Dan tiba-tiba saja, tangannya bergerak cepat
langsung direbutnya pedang
gadis itu. Sebelum gadis itu bisa menyadari apa yang
terjadi, Widarti sudah mengibaskan pedang rampasannya ke perut.
"Haaait...!"
"Aaa...!" gadis itu menjerit melengking tinggi.
Darah langsung menyembur keluar dari perut yang
sobek terbabat pedang. Jeritan melengking itu membuat ketiga gadis yang mengeroyok Rangga jadi terperanjat. Mereka berlompatan mundur, dan memandang
Widarti setengah tidak percaya.
"Widarti! Apa yang kau lakukan"!" bentak salah seorang.
"Katakan pada Gusti Ratu, mulai saat ini aku
tidak akan kembali lagi ke sana!" lantang kata-kata Widarti. "Widarti...!"
Ketiga gadis itu terkejut.
"Cepat pergi" bentak Widarti.
Ketiga gadis itu saling berpandangan.
"Widarti! Sadarkah apa yang kau lakukan" Kau
akan menerima hukuman lebih besar kalau Gusti Ratu
tahu," salah seorang mencoba membujuk.
"Sebaiknya, menyerah dan berserah diri saja
pada Yang Mulia Gusti Ratu. Beliau pasti akan mengampunimu."
"Menyerah..." Heh! Aku tahu, apa yang akan
kuterima. Dan aku belum ingin mati sekarang! Kalian
dengar itu!" tetap lantang suara Widarti.
"Widarti! Semua peraturan yang berlaku sudah
disetujui bersama waktu menjadi pengikut Gusti Ratu.
Dan kita semua wajib mentaatinya. Beliau sudah berbuat banyak untuk kita, dan sepantasnyalah kalau...."
"Cukup!" bentak Widarti memotong cepat. "Aku tidak peduli semua peraturan. Aku
masih ingin hidup!"
"Widarti...."
"Sebaiknya, kalian cepat pergi sebelum aku berubah pikiran! Kalian semua bodoh. Kalian tahu, siapa
'Ratu Bukit Brambang"! Dia hanya nenek-nenek tua
yang menginginkan jadi gadis kembali.' Kalian semua
tidak akan diperlukan lagi kalau semua cita-citanya
terlaksana. Kalian semua akan dibunuh untuk kesempurnaan terakhir ilmu setannya!" tandas Widarti.
"Widarti! Apa yang kau katakan?" sentak gadis yang berada di tengah.
"Kalian tahu, aku sempat mendengar pembicaraan Ratu Bukit Brambang dengan Cakarang. Kalian
semua bodoh. Cakarang tidak bisu, dan tidak tuli. Dialah yang membantu semua maksud nenek-nenek itu.
Dengar! Sebelum kalian semua dibunuh, kalian akan
diserahkan pada Cakarang. Dan itu memang sudah
perjanjian mereka berdua!"
"Kau pembual, Widarti! Pengkhianat..!" geram salah seorang gadis yang berada
paling kanan. "Kau pikir kami percaya bualanmu itu, heh"!"
sambung gadis satunya lagi.
"Kau akan menanggung akibatnya, Widarti."
Ketiga gadis itu langsung melesat pergi, menuju
bangunan besar bagai istana itu dengan gerakan ringan dan cepat. Widarti menarik napas panjang dan
melangkah menghampiri Rangga. Pendekar Rajawali
Sakti hanya menatap saja setengah tidak percaya.
Sungguh sukar dipercaya kalau Widarti bisa berubah
begitu cepat, dan kini berbalik berada di pihaknya.
"Aku terpaksa mengatakan semua ini di depanmu, Rangga. Sebenarnya, aku kasihan pada mereka yang tidak tahu apa-apa. Mereka akan mati semua,
dan Cakarang akan menikmati mereka satu persatu,"
kata Widarti pelan.
Rangga diam saja.
"Sebenarnya sudah lama aku tahu tentang semua ini. Tapi, aku belum punya kesempatan untuk
pergi. Lagi pula, aku tidak tega meninggalkan mereka yang tidak tahu apa-apa.
Hanya satu yang sudah kuberi tahu, tapi sudah tewas di tanganmu. Karina memang memilih tewas dalam pertarungan daripada harus menjadi santapan Cakarang. Kasihan Karina....
Padahal, aku dan dia sudah merencanakan meninggalkan tempat ini," ada sedikit keluhan pada nada suara gadis itu.
"Siapa Cakarang itu?" tanya Rangga.
"Dia seorang laki-laki setengah baya. Tubuhnya
tinggi besar. Dan wajahnya menyeramkan seperti gorila. Selama ini, kami semua hanya tahu kalau dia pembantu setia Ratu Bukit Brambang yang sebenarnya
bernama Nyai Pancalas. Aku tidak tahu, berapa umurnya. Mungkin sudah seratus tahun lebih. Dia memiliki
ilmu yang bisa membuat umur panjang. Dan sekarang,
dia ingin menjadi muda kembali dengan bersekutu pada Cakarang yang punya ilmu awet muda. Sehingga,
Ratu Bukit Brambang masih tetap kelihatan muda
meskipun usianya sudah lebih dari seratus tahun," jelas Widarti.
"Kau tahu, apa perjanjiannya?" tanya Rangga jadi tertarik.
"Tentu! Nyai Pancalas menyanggupi menyediakan dua puluh lima gadis muda untuk Cakarang, asal
bisa memperoleh Ilmu untuk menjadi muda kembali
dan bisa hidup lebih lama lagi. Mereka juga bersekutu untuk menguasai seluruh
rimba persilatan."
"Dari mana kau tahu semua itu" tanya Rangga.
"Aku menguping ketika mereka berbicara di
ruangan pribadi Ratu Bukit Brambang. Aku sendiri
terkejut, tapi mencoba bertahan karena ingin tahu semua nya. Mereka membicarakan semua itu, karena
kau telah menewaskan banyak gadis. Cakarang khawatir kalau gadis-gadis itu akan habis dan tidak ada
dua puluh lima lagi. Padahal, Nyai Pancalas sudah
menyediakan lebih dari empat puluh. Hhh...!Sekarang
jumlahnya sudah berkurang. Tidak ada lagi tiga puluh." Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Tubuhnya segera dihenyakkan, duduk di pohon yang
tumbang. Widarti juga duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Pandangan mereka tetap tertuju ke arah
puncak Bukit Brambang, di mana berdiri sebuah bangunan besar menyerupai istana. Di bangunan besar
itulah Ratu Bukit Brambang tinggal bersama gadisgadisnya. *** Rangga benar-benar memanfaatkan kesempatan ini untuk mengorek keterangan sebanyakbanyaknya dari Widarti. Gadis pengikut Ratu Bukit
Brambang ini rupanya sudah benar-benar bertekad keluar memisahkan diri, setelah tahu maksud sebenarnya dari Nyai Pancalas atau Ratu Bukit Brambang.
"Widarti! Kenapa kau dulu ikut dengan perempuan tua itu?" tanya Rangga, ingin tahu.
"Seperti yang lain, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kedua orangtua ku tewas terbunuh ketika desa kami diserang gerombolan perampok. Aku
dendam dan ingin membalas, tapi tidak bisa berbuat
apa-apa. Lalu aku bertemu Karina yang waktu itu sudah menjadi murid Nyai Pancalas. Karina sendiri tidak tahu, siapa sebenarnya
Ratu Bukit Brambang itu. Perempuan tua itu memang datang ke desa untuk mencari gadis-gadis yang ingin belajar ilmu olah kanuragan. Aku tertarik dan bersedia ikut dengannya," Widarti menceritakan kisahnya.
"Dan langsung ke tempat ini?" tebak Rangga.
"Benar. Waktu itu, hanya aku dan Karina saja
yang ada. Karina sendiri belum tinggi tingkatannya.
Dan aku berhasil mengejar ketinggalan, sehingga bisa
melebihi Karina. Sejak saat itu kami berdua menjadi
akrab dan mendapat tugas mencari gadis-gadis lainnya. Itu pun setelah Nyai Pancalas merasa kalau ilmu
yang kami miliki sudah cukup untuk turun dari bukit
ini." "Kau mendapatkannya?"
"Tidak sulit mencari gadis-gadis. Di desaku banyak gadis yang kehilangan orangtua dan saudara.
Mereka semua menyimpan dendam, dan berharap bisa
keluar dari bukit ini setelah menamatkan pelajarannya. Ratu Bukit Brambang menyetujui dengan satu
syarat. Memang, kami semua harus patuh dan taat
akan peraturan-peraturan yang dibuatnya. Termasuk,
harus mencari pemuda-pemuda untuk kesempurnaan
ilmunya. Terus terang, kami semula tidak sadar kalau
selama ini hanya diperalat. Aku juga begitu sebelum
mengetahui siapa sebenarnya Ratu Bukit Brambang
itu." Rangga bisa merasakan ada nada penyesalan pada suara Widarti. Pendekar
Rajawali Sakti tidak bisa menyalahkan Widarti ataupun gadis-gadis lain dalam
hal ini. Dan, seharusnyalah mereka diselamatkan sebelum telanjur menjadi korban lebih jauh lagi. Rangga sadar, kalau harus
menghadapi Ratu Bukit Brambang
tanpa harus melukai salah seorang dari gadis-gadis itu lagi. Apalagi
membunuhnya. "Kau yang tahu seluk-beluk tempat ini, Widarti.
Kita harus menyelamatkan mereka secepatnya sebelum terlambat," kata Rangga.
"Kau tidak akan mampu menandingi Ratu Bukit Brambang, Rangga. Ilmunya sangat tinggi," kata Widarti pelan.
"Setinggi apa pun ilmunya, aku harus membunuhnya," tegas Rangga.
"Percuma...," Widarti menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa yang percuma?"
"Kalaupun kau berhasil, mereka pasta akan
mengeroyokmu. Kau lihat sendiri. Tiga orang sudah tidak percaya, meskipun aku sudah menjelaskan. Mereka sudah begitu patuh dan rela mati demi gurunya. Itu sudah menjadi sumpah
mereka dulu, Rangga. Aku yakin, kau juga akan bersikap begitu pada gurumu."
Rangga terdiam. Kata-kata Widarti memang sukar dibantah. Setiap orang yang berguru, pasti akan
membela gurunya. Entah itu benar, atau salah. Kalau
men-coba membangkang, jelas dianggap murid murtad. Dan hukuman yang pantas adalah mati. Itu sudah
menjadi satu hukum rimba persilatan. Seorang guru
bisa saja membunuh muridnya yang dianggap berkhianat Tidak ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Cukup lama juga mereka berdiam diri, sibuk
dengan pikiran masing-masing.
Beberapa kali Rangga mendesah panjang. Rasanya memang sulit
mencari jalan keluar, melenyapkan Ratu Bukit Brambang tanpa melukai atau membunuh salah seorang
dari gadis-gadis itu. Dan rasanya hal itu mustahil bisa dilakukan. Pendekar
Rajawali Sakti menatap Widarti,
dan tiba-tiba saja mendapat satu pikiran yang belum
terjawab. "Widarti, kenapa kau menculik Lasmi semalam?" tanya Rangga.
"Sebenarnya untuk menghindarinya dari incaran Nyai Pancalas," sahut Widarti. 'Tapi, justru dia malah diculik oleh murid
Nyai Pancalas yang lain."
"Kenapa dengan cara itu" Kau kan bisa bicara
denganku," Rangga menyesalkan.
"Kau tidak akan mempercayaiku, Rangga. Lagi
pula, aku baru tahu tentang Ratu Bukit Brambang
yang sebenarnya juga belum lama ini."
"Waktu bersama temanmu, kau sudah tahu
siapa ratumu itu?" selidik Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah," sahut Widarti.
"Kenapa masih juga melakukan pekerjaan itu?"
"Untuk yang terakhir kali. Ratu Bukit Brambang biasanya memberikan kebebasan pada siapa saja
yang berhasil melakukan tugasnya. Pada saat itu, aku
dan Karina merencanakan melarikan diri. Tapi,
yaaah.... Karina memang malang. Dia tewas sebelum
berhasil."
"Aku menyesal, Widarti. Seandainya tahu,
mungkin waktu itu aku tidak membunuh temanmu.
Bahkan dengan sukarela akan ikut kalian agar bisa
bertemu Ratu Bukit Brambang. Dengan begitu, aku
akan bisa cepat membereskannya. Tapi, semua sudah
telanjur," sesal Rangga.
"Tidak perlu disesalkan, Rangga. Karina memang menginginkan begitu. Seharusnya, aku saja yang
mati. Bukan dia."
Kembali mereka terdiam. Tampak kemurungan
menyelimuti wajah gadis itu. Sementara, Rangga sendiri kembali sibuk mencari jalan keluar dari kemelut ini.
"Apa yang harus kita lakukan, Widarti?" tanya Rangga meminta pendapat.
"Entahlah. Aku tidak tahu lagi," desah Widarti.
"Kau ingin pergi?"
Widarti tidak menjawab. Ditatapnya Rangga dalam-dalam, kemudian kepalanya menggeleng perlahan
beberapa kali. "Aku akan bersamamu membebaskan Lasmi
dan yang lain," kata Widarti.
Rangga tersenyum dan bangkit berdiri. Kakinya
melangkah lebih ke tepi lagi dari bibir bukit ini. Widarti juga ikut berdiri dan
menghampirinya. Mereka sama-sama memandang ke arah bangunan besar bagai istana itu. Dan bagaikan dua ekor kijang yang berlompatan lincah mereka menuju ke sana.
*** 8 Sementara itu di dalam ruangan depan bangunan istana di Bukit Brambang, Ratu Bukit Brambang
tampak berang mendengar laporan ketiga gadisnya
yang kembali. Ketiga gadis itulah yang tadi bertemu
Widarti. Ratu Bukit Brambang benar-benar berang, karena Widarti jelas-jelas membangkang. Bahkan berani
menguping pembicaraannya yang teramat rahasia.
Ratu Bukit Brambang berdiri, lalu menghampiri" tiga gadis yang duduk bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk. Tidak ada
lagi orang lain di ruangan itu selain mereka berempat, dan seorang laki-laki
bertubuh tinggi tegap berwajah penuh brewok lebat. Lakilaki itu juga tampak berang, dan wajahnya memerah
menambah keseramannya.
"Kalian memang setia padaku. Tapi, kalian sudah mengetahui siapa aku sebenarnya. Juga tentang
Cakarang. Rasanya, aku tidak lagi membutuhkan kalian bertiga," kata Ratu Bukit Brambang dingin.
Ketiga gadis itu terkejut, dan langsung mengangkat kepala. Namun belum juga bisa bersuara,
mendadak perempuan berjubah merah dan berwajah
bagai tengkorak itu mengibaskan pedang yang selalu
tergantung di pinggang. Begitu cepat kibasannya, sehingga ketiga gadis itu tidak bisa lagi bersuara. Kepala mereka kontan
menggelinding, tertebas pedang.
Lantai dari batu pualam putih itu jadi merah
bersimbah darah yang mengucur deras dari ketiga leher yang buntung. Ratu Bukit Brambang menyarungkan
kembali pedangnya yang berwarna merah dengan gagang berbentuk kepala tengkorak manusia. Tubuhnya
berbalik dan kembali duduk di kursinya. Pandangannya tertuju langsung pada laki-laki di sampingnya.
Ratu Bukit Brambang kemudian menjambak
rambutnya sendiri, dan mengangkatnya. Rambut putih
panjang itu terangkat dan kulit wajahnya yang menyerupai tengkorak juga terangkat. Dicampakkannya benda. itu, begitu saja ke lantai. Tampak seraut wajah
yang cantik terpampang. Lelaki berwajah kasar penuh
brewok itu memandanginya.
"Aku tidak perlu lagi topeng itu," ujar Ratu Bukit Brambang dingin.
"Wajahmu sudah berubah cantik kembali. Tapi,
suaramu masih belum sempurna, Nyai Pancalas."
"Tinggal satu pemuda lagi, Cakarang. Dan pemuda itu berada tidak jauh dari sini," kata Ratu Bukit Brambang yang sebenarnya
bernama Nyai Pancalas.
Suaranya masih terdengar seperti orang tua renta,
meskipun wajahnya cantik seperti seorang gadis berusia delapan belas tahun.
"Pemuda itu sangat tangguh, Nyai. Kau harus
ingat. Sebelum seluruhnya sempurna, kekuatanmu
sedang berkurang separuh. Aku khawatir, kau tidak
akan mampu menghadapinya," kata Cakarang memperingatkan. "Kau bisa menghadapinya, Cakarang?"
"He he he...!" Cakarang terkekeh. "Bisa saja, asal ada imbalannya."
"Setan!" rungut Nyai Pancalas.
"Bagaimana?"
"Apa imbalannya?"
"Seratus gadis lagi."
"Keparat kau, Cakarang! Dari mana aku bisa
memperoleh begitu banyak...?"
"Terserah. Satu pemuda lagi kau sudah sempurna. Dan kau bisa mendapatkan seratus gadis dengan mudah. He he he.... Kita bisa menjadi pasangan
serasi dan akan menguasai dunia, Nyai Pancalas. Dengan seratus gadis, aku akan bisa lebih muda lagi. Dan tentunya, lebih tampan
dari seorang pangeran di dunia ini."
"Apa dua puluh lima tidak cukup?"
"Itu hanya untuk kesempurnaan ilmuku saja,
Nyai. Sedangkan kau sendiri, sudah hampir mencapai
seratus pemuda. Dan sekarang tinggal membutuhkan
satu lagi. Setelah itu, seluruh ilmu dan tubuhmu benar-benar menjadi muda dan sempurna. Tidak ada lagi
yang bisa menandingi ilmu dan kecantikanmu."
"Huh!" dengus Nyai Pancalas.
"Ingat, Nyai. Semua ini karena jasaku. Kau tidak mungkin bisa seperti ini kalau bukan karena aku.
Semua itu ilmuku. Kau lihat, Aku bisa hidup lebih dari seratus tahun."
"Baiklah, aku terima syaratmu. Tapi, kau harus
serahkan pemuda itu dalam keadaan hidup. Belakangan ini, aku hanya menikmati mayat. Dan sekarang
aku inginkan yang masih hidup."
"He he he...," Cakarang terkekeh kesenangan.
"Dia ada di puncak bukit sebelah Utara. Kau
bisa ke sana dan bawa dia ke sini," kata Nyai Pancalas
lagi. "Untuk apa repot-repot ke sana" Dia pasti datang sendiri ke sini. He he
he.... Tawananmu cantik
sekali, Nyai. Dia pasti akan datang untuk membebaskan gadisnya."
"Dia tawananku, Cakarang. Aku tidak suka kalau kau menyentuhnya!" dengus Nyai Pancalas.
'Tentu saja tidak. Tapi, aku inginkan dia yang
pertama setelah aku serahkan pemuda itu padamu."
"Terserah. Asal, kau tidak menggangguku."
"He he he...!" lagi-lagi Cakarang terkekeh.
Cakarang bangkit berdiri dan menghampiri
Nyai Pancalas. Tangannya langsung diletakkan di pundak, dan segera dipeluknya wanita itu dari belakang.
Dengan liar sekali, diciumi wajah dan lehernya. Nyai
Pancalas menggelinjang, berusaha melepaskan pelukan itu. Dia berdiri dan berbalik, tapi Cakarang kembali memeluknya erat-erat. Nyai Pancalas tidak bisa la-gi menghindari ciumanciuman Cakarang yang memburu. Dia berusaha melepaskan pelukan itu, tapi Cakarang memeluknya terlalu kuat. Ciuman-ciumannya
juga gencar memburu, membuat Nyai Pancalas tidak
mampu lagi, membendung gairahnya. Perlahan namun
pasti, dia tidak memberontak lagi. Bahkan kini malah
membalasnya dengan hangat.
"Ah...!" Nyai Pancalas memekik tertahan.
Tubuhnya jatuh terguling di lantai, bersamaan
tubuh Cakarang. Tidak ada kesempatan lagi bagi wanita itu untuk melepaskan himpitan tubuh besar dan
kekar itu. Cakarang sudah mencumbunya penuh gairah menggelegak. Tidak ada lagi kata-kata yang terdengar. Semuanya berganti erangan dan rintihan lirih, disertai dengus napas
memburu. Mereka tidak lagi
mempedulikan tiga mayat yang tergeletak dengan kepala buntung. *** "Setan...!" Nyai Pancalas menggeretak geram.
Buru-buru perempuan tua yang berwajah muda itu bangkit dan merapikan pakaiannya kembali.
Cakarang juga bergegas melompat sambil membetulkan pakaiannya. Di luar sana terdengar jeritan-jeritan melengking ditingkahi
denting senjata beradu. Mereka
langsung saja melompat ke luar, dan kontan terkejut
begitu melihat Widarti mengamuk dikeroyok beberapa
orang gadis. Tidak jauh dari Widarti, tampak seorang
pemuda berbaju rompi putih menghadapi keroyokan
gadis-gadis berbaju merah.
"Berhenti...!" bentak Nyai Pancalas keras disertai pengerahan tenaga dalam pada
suaranya. Seketika pertarungan terhenti, Tidak kurang
dari dua puluh enam gadis berbaju merah berlompatan mundur. Dan tinggal Widarti serta Rangga berdiri
di tengah-tengah kepungan gadis bersenjata pedang
terhunus. Widarti menggeser kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Widarti, kemari!" bentak Nyai Pancalas keras.
"Huh! Kau tidak bisa seenaknya menyuruhku,
Nyai Pancalas. Aku bukan lagi budakmu!" sahut Widarti sinis.
"Keparat! Rupanya kau benar-benar ingin
memberontak, heh!" geram Nyai Pancalas.
"Aku tidak memberontak, tapi melepaskan diri
dari semua rencana busukmu!"
"Setan! Kubunuh kau, Widarti! Hiyaaat..!"
Nyai Pancalas tidak bisa lagi menahan amarahnya. Ratu Bukit Brambang itu melompat cepat sambil
cepat mencabut pedangnya. Dan bagaikan kilat, pedangnya dikibaskan ke arah leher Widarti. Sesaat Widarti terkesiap. Tapi sebelum pedang itu memenggal
lehernya, Rangga cepat bertindak. Pendekar Rajawali
Sakti melompat menghadang, dan menangkap pedang
itu dengan kedua telapak tangannya.
"Hih!"
Nyai Pancalas berusaha menarik kembali pedangnya, tapi jepitan Rangga begitu kuat. Dan tibatiba Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangannya kuat-kuat ke depan sambil membuka jepitannya.
"Akh!" Nyai Pancalas memekik tertahan.
Tubuh wanita tua itu terdorong hebat ke belakang. Kalau saja Cakarang tidak segera menangkapnya, wanita itu sudah jatuh tersuruk. Nyai Pancalas
menggeram dahsyat. Dan dia ingin menyerang lagi, tapi Cakarang cepat menahannya. Nyai Pancalas menatap laki-laki berwajah kasar itu.
"Kenapa tidak bicara saja, Cakarang. Kau tidak
bisu dan tuli, bukan?" ejek Widarti sinis.
Cakarang menggeram marah mendengar ejekan
itu. "Buka telinga kalian lebar-lebar! Kalian akan dijadikan tumbal oleh mereka...!"
lantang suara Widarti.
"Tutup mulutmu, Widarti!" bentak Nyai Pancalas gusar.
"O... Rupanya kau takut juga kedokmu terbuka, Nyai Pancalas. Dan rupanya topeng tengkorakmu
juga sudah terlepas," sinis nada suara Widarti.
Nyai Pancalas baru tersadar kalau tidak memakai topeng tengkorak lagi. Wajahnya merah padam, karena kedoknya sudah terbongkar muridnya sendiri.
Dengan menggeram marah, wanita berjubah merah itu
melompat menerjang Widarti. Tapi Rangga yang sudah
siap sejak tadi, lebih cepat lagi menghadang. Nyai Pancalas jadi geram setengah
mati. Dan matanya langsung
melirik Cakarang. Tapi, laki-laki berwajah kasar itu
malah diam saja.
"Cakarang, bunuh dia! Aku tidak peduli, kau
serahkan dalam keadaan hidup atau sudah mati!" seru Nyai Pancalas gusar.
Pada saat ini, Nyai Pancalas sendiri sudah kewalahan menghadang gempuran Rangga yang dahsyat
dan bertubi-tubi. Memang, kekuatan dan ilmunya sedang berkurang jauh. Bahkan hanya separuhnya saja.
Sehingga dalam menghadapi gempuran Rangga, Ratu
Bukit Brambang itu kewalahan setengah mati.
"Cakarang! Bantu aku...!" teriak Nyai Pancalas semakin terdesak.
"Maaf, Nyai. Aku tidak bisa," kata Cakarang.
"Heh...!" Nyai Pancalas terkejut Pada saat yang sama, Rangga menggedor dadanya
disertai pengerahan
tenaga dalam sempurna. Gedoran yang cepat dan tidak
terduga itu, tidak dapat dihindari lagi. Nyai Pancalas memekik keras, dan
tubuhnya terlontar jauh ke belakang sampai menghantam pilar. Belum lagi wanita
ber- jubah merah itu sanggup berdiri, Rangga sudah melompat sambil mengirimkan dua pukulan sekaligus.
"Modar!"
"Aaakh...!" Nyai Pancalas menjerit melengking tinggi. Kembali wanita berjubah
merah itu terlontar ke belakang. Tubuhnya juga kembali menghantam tembok.
Seperti juga pilar itu, tembok itu juga hancur berantakan. Nyai Pancalas
berusaha bangkit berdiri, dan langsung memuntahkan darah kental. Tubuhnya
limbung, meskipun bisa berdiri.
Rangga yang mengetahui kelemahan wanita
berjubah merah yang berjuluk Ratu Bukit Brambang,
bersiap-siap mengeluarkan ajian pamungkasnya. Dia
tidak ingin lebih lama lagi bertarung. Apalagi, membiarkan manusia berhati iblis seperti ini yang akan
menimbulkan masalah di kemudian hari.
Pendekar Rajawali Sakti 81 Ratu Bukit Brambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti
melompat dengan kedua tangan menjulur ke depan.
Nyai Pancalas terperangah sesaat, dan buru-buru melompat ke samping. Namun, gerakannya sudah lemah.
Dan dia sudah tidak keburu lagi menghindari serangan
itu. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat dan
telak menggedor dadanya.
"Aaa...!"
Dengan satu jeritan panjang melengking, Nyai
Pancalas terjungkal dan tewas seketika. Dadanya kontan hancur. Dan dari mulutnya menyembur darah
kental. Rangga berdiri tegak, dan berbalik menghadapi Cakarang.
Perlahan-lahan Rangga melangkah menghampiri laki-laki berwajah kasar penuh brewok itu. Cakarang bergerak mundur dengan
wajah pucat seketika. Tubuhnya yang tinggi tegap, jadi bergetar. Pendekar Rajawali Sakti juga jadi heran melihat perubahan lakilaki menyeramkan ini. Dia berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar
empat langkah lagi.
Sementara begitu melihat Nyai Pancalas mati,
gadis-gadis itu seperti ciut nyalinya. Jangankan untuk menyerang Pendekar
Rajawali Sakti, maju setindak sa-ja tidak mereka lakukan.
"Jangan..., jangan bunuh aku.... Aku hanya ahli obat dan ramuan. Aku tidak bersalah apa-apa...," ratap Cakarang dengan suara
tersendat dan bergetar.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga dingin.
"Aku Cakarang, seorang tabib ahli pengobatan,
Aku menemukan ramuan yang bisa membuat orang
kembali muda. Terus terang, aku sendiri tidak yakin.
Tapi, Nyai Pancalas mendesak terus dengan semua
akibatnya. Aku sendiri belum pernah mencobanya.
Sungguh. Aku tidak bisa ilmu olah kanuragan. Aku
hanya seorang tabib", kata Cakarang sungguhsungguh. "Kenapa kau pura-pura bisu?" tanya Widarti
ketus. "Aku.... Aku..., hanya disuruh Nyai Pancalas, Katanya, untuk menutupi
maksud sebenarnya."
Rangga menggeser kakinya mendekati Widarti.
Pandangannya masih tetap tajam menusuk langsung
ke bola mata Cakarang. Meskipun Rangga mendengar
adanya nada kesungguhan, tapi masih belum mempercayai semua kata-kata laki-laki tinggi besar itu. Widarti sendiri menggeser
kakinya mendekati Rangga. Dan
kini mereka berdiri bersisian.
"Kau cari Lasmi, dan bawa ke sini," kata Rangga setengah berbisik.
"Baik," Widarti mengangguk.
Gadis berbaju merah itu langsung melompat
cepat melewati kepala beberapa orang. Dia langsung
menuju bagian belakang bangunan besar bagai istana
itu. Sepertinya, Widarti sudah begitu paham tempat
Lasmi disekap. Sementara, Rangga kembali menggeser
kakinya lebih dekat lagi ke arah Cakarang..
"Cakarang! Benar kau ingin menjadikan gadisgadis ini sebagai tumbalmu?" tanya Rangga.
Cakarang tidak langsung menjawab. Dipandanginya gadis-gadis di sekitarnya. Sedangkan gadis-gadis itu tampak malah
kebingungan, tidak mengerti kejadian semua ini.
"Jawab pertanyaanku, Cakarang!" sentak Rang-ga agak keras.
"Bu..., bukan tumbal. Tapi..." jawab Cakarang tergagap.
'Tapi apa?" desak Rangga.
"Hanya sebagai alat pembayaran saja. Nyai
Pancalas membayar semua usahaku dengan gadisgadis ini. Dan itu pun masih kurang," aku Cakarang terus terang.
Tampak dua puluh tujuh gadis itu terkejut
mendengar pengakuan Cakarang.
"Itu syarat yang kau ajukan, Cakarang?" desak Rangga lagi.
Cakarang kembali diam tidak menjawab. Wajahnya semakin kelihatan pucat. Tapi, sebentar kemudian berubah memerah bagai seorang gadis menyembunyikan rasa malu.
"Jawab!" bentak Rangga keras.
"Iy... iya."
"Setan! Keparat! Kubunuh kau...!" Gadis-gadis itu menggerutu marah mendengar
pengakuan Cakarang. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka langsung berlompatan menyerbu dengan pedang terhunus. Cakarang jadi gugup, tapi buru-buru dia melompat. Entah
bagaimana, tiba-tiba saja di tangannya sudah tergenggam seutas cambuk yang tidak begitu besar dan tipis.
Ctar! Cakarang menghentakkan cambuknya kuatkuat. Dan satu kali hentakan saja, sudah membuat
seorang gadis menjerit keras sambil bergulingan di tanah. Tampak darah merembes
keluar dari wajah, dada,
dan perutnya yang sobek. Gadis itu menggelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Kejadian ini membuat yang lain semakin marah. Mereka langsung merangsek mengeroyok dengan
jurus-jurus dahsyat. Sementara, Rangga tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Pendekar Rajawali Sakti hanya
bisa memperhatikan dan menjaga kalau-kalau Cakarang bermain curang. Pada saat itu, Widarti datang
menghampiri. Di sampingnya tampak berjalan tergesagesa seorang gadis lain. Dialah Lasmi, yang diculik
semalam dari kamar tidurnya.
"Ada apa ini?" tanya Widarti begitu dekat.
"Mereka marah mendengar pengakuan Cakarang," sahut Rangga.
"Hentikan, Rangga. Cakarang punya kepandaian tinggi. Aku tidak percaya dengan pengakuannya!" sentak Widarti cemas.
"Mereka bisa mati semua, Rangga!"
"Hm...," gumam Rangga tidak jelas.
Rangga semakin tajam memperhatikan gerakan-gerakan Cakarang yang tengah menghadapi keroyokan lebih dari dua puluh orang gadis. Sementara,
sudah empat orang gadis yang menggeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan tampaknya gadis-gadis itu kesulitan untuk mendesak. Gerakan Cakarang begitu
lincah, dan sukar didekati.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Cakarang berteriak keras.
Dan seketika itu juga, tubuh Cakarang melesat
tinggi ke udara. Mendadak, tangannya cepat dikibaskan. Tampak puluhan jarum beracun berwarna
merah meluncur deras bagaikan hujan ke arah gadisgadis itu. "Hup, hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas. Langsung pedangnya dicabut, maka
cahaya biru kontan menyemburat. Cepat sekali Rangga
berlompatan memutar pedangnya bagai baling-baling,
menyampok semua jarum yang dilepaskan Cakarang.
Rangga langsung mendarat begitu jarum-jarum
merah terbabat habis selagi masih di udara. Tampak
Cakarang terkejut, dan langsung melangkah mundur
begitu kakinya mendarat di tanah.
"Pengecut! Licik...!" umpat Rangga menggeram.
"Mereka yang memulai. Aku hanya mempertahankan diri," bela Cakarang.
"Itukah yang namanya membela diri, setelah
kau tipu mereka?" sinis nada suara Rangga.
Cakarang tidak menyahuti.
"Akulah lawanmu, Cakarang! Bukan mereka!"
tantang Rangga.
Cakarang tetap diam, tapi tatapan matanya sudah demikian tajam menusuk Perlahan-lahan, kakinya
bergerak menggeser ke samping. Kedua tangannya
tampak memegang cambuk yang merentang di depan
dada. Sesaat keheningan meliputi sekitarnya. Rangga
tidak berkedip memperhatikan setiap gerak langkah
kaki laki-laki tinggi besar itu.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Cakarang menjerit keras. Seketika tubuhnya melesat ke udara. Kuat sekali cambuknya
dihentakkan begitu berada di udara. Ujung cambuk itu
menjurus ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!"
Rangga cepat mengangkat tangannya. Dan saat
ujung cambuk itu berada di depan wajah, langsung ditangkapnya dengan kedua tangan. Dengan mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti menariknya kuat-kuat. Cakarang kontan tersentak tertarik ke bawah,
namun manis sekali memutar tubuhnya. Dipinjamnya
tenaga tarikan itu untuk meluruk ke arah Rangga
sambil melayangkan satu tendangan keras bertenaga
dalam cukup tinggi.
"Hait!"
Pendekar Rajawali Sakti mengegos ke kanan.
Pada saat itu, pegangannya pada ujung cambuk dilepaskan. Lalu, dengan cepat sekali tangannya bergerak
ke bawah memapak tendangan itu. Cakarang terperanjat setengah mati, dan berusaha menarik kembali kakinya. Tapi, gerakannya kalah cepat. Pukulan tangan
Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam tulang keringnya. "Aaakh...!" Cakarang menjerit keras.
Tubuh besar itu jatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Dia berusaha bangkit berdiri, namun limbung dan kembali ambruk ke tanah. Satu kakinya patah terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti.
"Setan keparat..!" umpat Cakarang sambil berusaha bangkit berdiri.
Namun belum juga bisa bangkit, Widarti sudah
berteriak dan melompat cepat. Dengan pedang di tangan, Widarti menghambur ke arah laki-laki tinggi besar berwajah brewok itu.
Cakarang terkesiap. Buru-buru tubuhnya digelimpangkan, menghindari tebasan
pedang gadis itu.
Namun Widarti tidak berhenti sampai di situ
saja. Dia terus mencecar dengan tebasan pedangnya
yang bertubi-tubi. Cakarang bergelimpangan ke sana
ke mari, menghindari tebasan yang begitu cepat tidak
ada hentinya. "Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja gadis-gadis yang tadi diam berlompatan ke arah Cakarang. Dan mereka langsung
menghujani dengan tusukan pedang. Cakarang terkesiap, tidak bisa lagi menghindar. Dan....
"Aaa...!" Cakarang menjerit keras melengking.
Darah langsung muncrat dari tubuh Cakarang yang
terpanggang pedang. Belum lagi hilang rasa sakitnya,
datang lagi tusukan beruntun, ditambah tebasan dari
berbagai arah. Cakarang tewas seketika dengan tubuh
tercincang. Lima bilah pedang tertancap di tubuhnya.
Dan gadis-gadis itu seperti kerasukan setan saja. Selesai mencincang Cakarang,
mereka memburu mayat
Nyai Pancalas. Kembali kemarahan dilampiaskan pada
perempuan berjubah merah yang telah menjadi mayat
itu. Rangga tidak bisa lagi mencegah, dan hanya bisa mendesah panjang. Kini Pendekar Rajawali Sakti
menghampiri Lasmi yang tidak sanggup memandang
semua kejadian itu. Dirangkulnya pundak Lasmi dan
dibawanya melangkah pergi.
"Bagaimana dengan mereka, Kakang?" tanya
Lasmi sambil melirik gadis-gadis yang tengah mengeroyok, mencincang tubuh Nyai Pancalas.
"Mereka bisa pulang ke desanya masingmasing," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah.
Dan tiba-tiba, diangkatnya tubuh gadis itu dan dipondongnya. Lasmi terpekik kaget
"Kakang, turunkan...!"
"Biar cepat. Kalau takut, pejamkan matamu,"
kata Rangga. "Ah...!"
Lasmi langsung menutup matanya rapat-rapat
begitu Rangga melompat cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Pada saat itu dari kerumunan
gadis-gadis, mencuat seorang gadis. Dialah Widarti
yang sekilas mendengar pekikan ketakutan dari Lasmi
yang dipondong dan dibawa lari cepat bagaikan angin.
"Rangga...," desis Widarti seraya memandang bayangan tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. Widarti menarik napas panjang. Disadari kalau
Rangga hanya mengantarkan Lasmi pulang pada
orangtuanya. Karena pendekar muda macam Pendekar
Rajawali Sakti untuk saat ini lebih mementingkan pengabdian daripada kesenangan pribadi. Lagi pula,
Rangga seorang pendekar yang tidak pernah tinggal
menetap pada satu tempat saja. Widarti tahu itu. Pendekar Rajawali Sakti pasti akan pergi mengembara
kembali. "Aku akan pergi mengembara. Mudah-mudahan
bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti, " gumam Widarti, mendesah perlahan.
Widarti langsung melompat, meninggalkan
puncak bukit ini. Tidak dipedulikan lagi yang lain. Gadis itu berlari cepat,
berlompatan menuruni tebing Bukit Brambang yang cukup curam dan berbatu cadas
rapuh. Sebentar saja, tubuhnya lenyap di bibir lembah. Dan bersamaan dengan itu, semua gadis yang
ada di puncak Bukit Brambang bergerak pergi. Puncak
Bukit Brambang kembali sunyi. Dan akan selamanya
sunyi seperti sediakala, sebelum Ratu Bukit Brambang
muncul. SELESAl Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
Dewi Cantik Penyebar Maut 1 Pendekar Gila 26 Undangan Maut Naga Dari Selatan 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama