Pendekar Rajawali Sakti 126 Mawar Berbisa Bagian 1
1 Brak! Merah padam seluruh wajah Ki Gopar melihat
bungkusan daun waru yang tergeletak di tanah, ternyata berisi kepala anaknya.
Sebuah meja kayu jati di sebelahnya
hancur berkeping keping-seketika,
terhantam pukulan tangannya yang besar dan berbulu.
Sementara lima orang yang berada di depannya tidak ada yang berani mengangkat
kepala. Sedangkan seorang laki laki tua duduk bersimpuh di lantai dengan tubuh
-menggeletar hebat, seperti terserang demam.
Dia juga tidak berani memandang wajah Ki Gopar yang memerah, dengan mata bagai
sepasang bola api.
"Katakan! Siapa yang menyuruhmu mengantarkan ini, Ki Lamput..."!" tanya Ki Gopar
mendesis dingin, pada laki laki tua yang duduk bersimpuh di lantai.
-"Aku..., aku tidak kenal. Aku hanya disuruh mengantarkan bungkusan itu...,"
sahut laki laki tua bernama Ki Lamput keringat dingin sudah membasahi tubuhnya
-yang tidak mengenakan baju.
"Bohong! Kau pasti tahu!" bentak Ki Gopar berang.
"Sungguh..., Gusti. Aku tidak tahu...."
"Cambuk dia!" perintah Ki Gopar dengan bentakan menggelegar.
Seketika seorang laki laki bertubuh tegap dan berotot, melangkah maju mendekati
-Ki Lamput. Seutas cambuk kulit tampak tergenggam di tangan kanannya yang sudah
terangkat ke atas. Dan....
"Hih!"
Ctar! "Akh...!"
Ki Lamput menjerit keras, ketika cambuk kulit itu menghantam tubuhnya. Seketika
kulit punggungnya robek mengeluarkan darah. Tubuh tua yang kurus dan tidak
berbaju itu langsung tersungkur jatuh, mencium lantai yang keras dan berkilat
ini. Mulutnya merintih, merasakan sakit yang amat sangat pada punggungnya.
Ctar! "Akh...!"
Kembali orang tua itu memekik ketika cambuk itu kembali menyengat kulit
punggungnya. Beberapa kali cambuk itu menyengat punggungnya, hingga orang tua
itu tidak dapat lagi bergerak. Dia langsung menggeletak di lantai dengan
punggung hancur berlumuran darah.
Dan ketika tukang pukul Ki Gopar itu ingin mengayunkan cambuknya lagi, Ki Gopar
cepat menghentikannya.
"Cukup, Bantar!"
Laki laki bertubuh tegap dan berotot yang bernama Bantar itu menghentikan ayunan-cambuknya yang sudah terangkat naik. Tubuhnya dibungkukkan memberi hormat pada
Ki Gopar, kemudian melangkah mundur beberapa tindak.
"Bawa dia keluar. Lemparkan ke dalam hutan. Biar jadi santapan anjing anjing
-hutan," perintah Ki Gopar.
Dua orang yang berada di belakang Bantar langsung melangkah mendekati Ki Lamput
yang sudah tidak bergerak gerak lagi. Mereka menggotongnya, setelah memberi
-hormat pada Ki Gopar dengan membungkuk.
Ki Gopar sendiri langsung beranjak pergi meninggalkan ruangan depan rumahnya
yang besar dan megah.
Beberapa orang yang ada di ruangan itu langsung membungkuk dengan sikap begitu
hormat. Tapi sebelum melewati pintu yang langsung menuju ke bagian tengah rumah ini, langkah
kakinya terhenti.
"Cari tubuh anakku sampai ketemu. Lalu, kuburkan dekat makam ibunya," perintah
Ki Gopar tanpa berbalik sedikit pun.
Setelah memberi perintah, Ki Gopar langsung
menghilang di balik pintu yang kembali tertutup.
Sementara semua orang yang ada di dalam ruangan itu segera beranjak pergi,
menjalankan perintah majikan-nya. Sebentar saja, ruangan yang besar dan megah
itu sudah sunyi, tanpa seorang pun terlihat lagi. Sementara Ki Gopar masuk ke
dalam kamar tidurnya yang berukuran cukup besar.
Tampak di atas ranjang yang besar dan beralas sehelai kain sutera halus berwarna
merah muda, tergolek seorang wanita cantik. Tubuhnya hanya ditutupi selembar
kain yang sangat tipis, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya terlihat jelas.
"Lama kau menungguku, Manis...?" kata Ki Gopar dengan senyum yang merekah lebar.
Wanita itu hanya tersenyum saja. Sebuah senyum yang manis sekali. Tubuhnya
digeliatkan sedikit. Dan gerakannya membuat kedua bola mata Ki Gopar jadi
terbeliak lebar, karena kain tipis penutup pahanya tersingkap. Laki laki
-bertubuh gemuk ini menghampiri wanita itu, lalu beranjak naik ke atas
pembaringan. Tanpa bicara lagi, lalu langsung dipeluknya wanita itu.
*** Senja baru saja beranjak turun menyelimuti seluruh daerah kaki Gunung Cagarasa.
Di dalam kamar yang besar dan indah, Ki Gopar tergolek di atas pembaringan
bertelanjang dada. Keringat masih membasahi sekujur tubuhnya. Dan di sebelahnya,
tergolek sesosok tubuh indah berkulit putih yang hanya tertutup selembar kain
putih tipis sebatas pinggang. Sehingga, seluruh bagian punggungnya terbuka
lebar. Laki laki yang tampak berusia sekitar lima puluh empat tahun itu beranjak turun -dari pembaringan ini.
Dia memandangi tubuh indah berkulit putih halus yang tertelungkup di atas
pembaringan tanpa gerakan sedikit pun. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar
penuh kepuasan. Diambilnya pakaiannya yang teronggok di lantai, lalu
dikenakannya kembali. Sebilah golok yang tergeletak di atas meja diselipkan ke
balik ikat pinggangnya.
"He he he he...!"
Ki Gopar seakan lupa kalau siang tadi ada seorang laki laki tua dari Desa
-Sembilit, mengantarkan kepala anaknya. Dia terus terkekeh sambil melangkah
keluar dari dalam kamar ini. Sekilas ditatapnya tubuh wanita yang masih tergolek
di atas pembaringan, sebelum tangannya membuka pintu kamar ini. Dua orang lakilaki berusia muda yang menjaga pintu kamar segera membungkukkan tubuhnya memberi
hormat. "Bawa perempuan itu keluar. Buang mayatnya ke dalam jurang," perintah Ki Gopar.
"Baik, Ki," sahut kedua pemuda itu dengan sikap hormat.
Tanpa diperintah dua kali, dua orang pemuda yang
diperintah Ki Gopar bergegas masuk ke dalam kamar.
Sedangkan Ki Gopar sudah kembali menghilang ke dalam kamar lain yang ada di
sebelah kamar ini. Dan dua orang pemuda itu segera menggotong tubuh wanita muda
yang ternyata sudah menjadi mayat keluar dari kamar ini. Hanya sehelai kain
sutera tipis berwarna putih yang membungkus tubuh indah dan berkulit putih mulus
tanpa cacat ini.
Tanpa banyak bicara, mereka menggotong wanita itu keluar melalui jalan belakang.
Sebuah gerobak yang ditarik seekor kuda sudah siap menanti bersama kusirnya di
depan pintu belakang rumah besar yang dikelilingi pagar tinggi seperti benteng
ini. Tubuh wanita itu diletakkan di bagian belakang gerobak. Dan kedua pemuda
itu segera naik ke atas gerobak kayu itu.
"Jalan...," perintah salah seorang pemuda pada kusir tua ini.
"Hus...!"
Ctar! Kuda penarik gerobak itu meringkik, ketika cambuk di tangan kusir itu menggetar
tubuhnya. Dan gerobak itu bergerak cepat meninggalkan bagian belakang rumah yang
dikelilingi pagar tinggi seperti benteng ini.
Gerobak kayu yang ditarik seekor kuda itu terus meninggalkan bangunan di kaki
Gunung Cagarasa ini, melalui pintu belakang yang dijaga empat orang laki laki
- muda bersenjata tombak panjang.
Gerobak kayu itu terus meluncur, membelah jalan tanah berdebu. Tidak ada seorang
pun yang membuka suara sepanjang perjalanan. Kusir gerobak itu seakan sudah
tahu, ke mana harus membawa mayat wanita ini.
Kudanya lantas dibelokkan memasuki hutan yang tidak seberapa lebat. Dan hewan
itu terus dicambuki sambil berteriak teriak, menyuruh lebih cepat lagi berlari.-Sehingga, gerobak itu terguncang guncang melintasi jalan yang penuh lubang dan
-berbatu ini. Dan tidak berapa lama, mereka pun tiba di tepi sebuah jurang yang ada di lereng
Gunung Cagarasa.
Serentak kedua pemuda itu melompat turun dengan gerakan sigap. Mereka menurunkan
mayat perempuan itu dari dalam gerobak kayu ini. Dan tanpa berkata kata sedikit
-pun, dilemparkannya mayat wanita itu ke dalam jurang. Beberapa saat mereka
memandangi, sampai tubuh wanita itu lenyap tertelan kabut yang tebal dalam
jurang ini. "Ayo, kita kembali," ajak pemuda yang berbaju ketat warna merah.
Mereka lantas kembali naik ke atas gerobak kayu.
Sementara kusir tua yang sejak tadi tidak banyak bicara, segera menghela kuda
penarik gerobak. Mereka kembali bergerak tanpa ada yang bicara sedikit pun
melintasi jalan yang tadi dilalui.
"Ke mana, Den?" tanya kusir tua itu memecah kebisuan yang terjadi sejak tadi.
"Langsung pulang," sahut pemuda yang berbaju ketat warna merah.
"Tidak mencari wanita lain untuk Ki Gopar, Den?"
tanya kusir tua itu lagi.
"Belum ada perintah," sahut pemuda berbaju merah.
"Tapi biasanya kan begitu, Den. Aku takut kena marah nanti. Sebaiknya, jangan
langsung pulang. Cari dulu wanita buat Ki Gopar."
"Sudah, jangan cerewet! Ikuti saja perintahku!"
bentak pemuda berbaju merah itu.
Kusir tua ini langsung diam, tidak berani membuka suara lagi. Dia tahu, dua
orang pemuda itu merupakan orang kepercayaan Ki Gopar. Dan yang pasti memiliki
kepandaian yang tidak bisa dipandang rendah lagi. Kusir tua itu terus
mengendalikan tali kekang kudanya, dan terus menuju bangunan besar dikelilingi
benteng yang ada di kaki Gunung Cagarasa ini. Tidak ada seorang pun yang bicara,
sampai mereka tiba di bagian belakang bangunan itu. Dan gerobak kayu ini terus
masuk melewati pintu belakang yang masih dijaga empat orang pemuda bersenjatakan
tombak. Kusir tua itu mengantarkan dua orang pemuda ini ke depan pintu belakang, sebelum
membawa kuda dan gerobaknya ke tempat penyimpanan di halaman
belakang. Sementara dua orang pemuda itu langsung menemui Ki Gopar yang sejak
tadi memang menunggu di ruangan tengah. Laki laki setengah baya bertubuh gemuk -itu tertawa terbahak bahak, mengetahui kedua pemuda itu menjalankan perintahnya
-dengan baik. *** Malam sudah cukup larut menyelimuti sekitar
Gunung Cagarasa. Jeritan serangga malam yang ditingkahi lolongan anjing hutan
terdengar saling sambut, membuat suasana malam ini terasa begitu mencekam.
Tampak di dalam hutan yang sunyi dan gelap, terlihat sesosok tubuh kurus dengan
punggung hancur bekas cambukan, tergolek diam tidak bergerak
-gerak. Dari balik semak belukar yang berada tidak jauh dari tubuh tua itu, terlihat
seekor anjing hutan mengendap-endap menghampiri. Kedua bola matanya yang merah,
menatap tajam sosok tubuh tua yang tanpa gerakan sedikit pun juga. Bau darah
yang keluar dari luka di punggung,
membuat anjing liar itu makin mendekatinya. "Ghrrrr...!"
Sambil menggereng kecil, anjing hutan yang liar ini terus mendekati. Dan
binatang buas itu berhenti sebentar dengan tubuh merendah, hampir merapat tanah.
Lalu tiba tiba saja tubuhnya melompat hendak menerkam tubuh tua yang tergolek
-diam seperti mati.
Tapi belum juga anjing hutan itu sampai, mendadak saja terlihat sebuah bayangan
putih berkelebat cepat menerjang anjing liar itu.
"Kaing...!"
Keras sekali terjangan bayangan putih itu, hingga anjing hutan itu terpental
jauh ke belakang dan membentur sebatang pohon keras sekali. Seketika binatang
liar itu tewas dengan tulang punggung hancur terhempas pohon tadi. Sementara di
dekat tubuh tua yang tergolek itu tahu tahu sudah berdiri sesosok tubuh berbaju
-ketat warna putih. Kepala dan seluruh wajahnya terbungkus kain putih, seperti
kerudung. Hanya bagian matanya saja yang tidak tertutup.
Dari tubuhnya yang ramping, dan kulit tangan serta betisnya yang putih halus,
jelas sekali kalau dia seorang wanita. Dia merendahkan tubuhnya, berjongkok di
samping tubuh tua yang tertelungkup ini. Sedikit ujung
jari tangannya disentuhkan ke bagian bawah leher laki-laki tua yang ternyata Ki
Lamput. "Oh.... Syukurlah kau masih hidup, Ki...," desah wanita berbaju putih itu pelan.
Sebentar wanita berbaju putih itu memeriksa luka-luka di punggung Ki Lamput.
Kemudian diberikannya beberapa totokan lembut di sekitar luka itu. Sebentar
pandangannya beredar berkeliling. Tidak ada yang bisa dilihat, selain kegelapan
dan pepohonan yang merapat di sekitarnya.
"Kau harus sembuh, Ki. Akan kubalaskan perbuatan mereka padamu," kata wanita itu
agak tertekan suaranya.
Sebentar dia terdiam. Kemudian....
"Hup!"
Cepat sekali wanita ini mengangkat tubuh Ki Lamput, bagai mengangkat segumpal
karung berisi kapas saja.
Kemudian tubuhnya melesat cepat sekali, sehingga dalam sekejapan mata saja,
bayangan tubuhnya sudah lenyap tertelan gelapnya malam dan lebatnya
pepohonan di dalam hutan ini. Dan kesunyian pun kembali menyelimuti sekitarnya.
Hanya gerit binatang malam dan lolong anjing hutan saja yang masih terdengar
mengisi kesunyian malam, bagai sebuah tembang alam yang membuat bulu bulu halus -di tubuh meremang berdiri.
*** Sementara itu di bagian halaman belakang rumah besar yang dikelilingi pagar
tinggi seperti benteng,
terlihat Ki Gopar berdiri mematung di depan tiga buah kuburan. Salah satu tampak
masih terlihat baru, yang di atasnya ditaburi bunga bunga. Entah, sudah berapa
-lama Ki Gopar berada di sana. Agak jauh, terlihat dua orang pemuda, serta lima
orang laki laki tua me-mandanginya tanpa ada seorang pun yang bersuara.
-"Istirahatlah kalian dengan tenang. Percayalah, aku akan mencari pembunuh kalian
semua. Akan kukubur dia hidup hidup," desis Ki Gopar pelan, bicara pada diri
-sendiri. Beberapa saat, Ki Gopar masih berdiri diam di depan kuburan keluarganya. Memang,
satu persatu keluarganya mati terbunuh, tanpa dapat diketahui pembunuhnya sampai
sekarang. Dan terakhir, anak laki lakinya yang mati secara mengenaskan sekali
-siang tadi. Hanya kepalanya saja yang dikirim padanya. Sedangkan tubuhnya
tergantung di atas pohon, di tepi hutan tidak jauh dari tempat tinggalnya yang
bagaikan istana kecil ini.
Ki Gopar memutar tubuhnya berbalik. Kakinya lantas melangkah menghampiri orang
kepercayaannya yang berjumlah tujuh orang itu. Mereka langsung membungkuk,
memberi hormat, begitu Ki Gopar sudah berada dekat di depan. Laki laki berusia
- setengah baya yang bertubuh gemuk, namun otot ototnya bersem-bulan itu hanya -diam saja memandangi anak buahnya satu persatu.
"Dengar.... Aku tidak peduli, apa yang akan kalian lakukan di luar sana. Aku
inginkan setan keparat itu hidup atau mati. Bawa dia ke sini...," perintah Ki
Gopar, tegas. "Aku sudah menyebar semua anak buahku ke segala
penjuru, Ki," kata laki laki tua berbaju hitam ketat, dengan sebilah pedang
-tergantung di pinggang.
"Aku juga sudah menyebar semua orangku, Ki,"
sambung laki laki setengah baya bertubuh kurus. Bajunya longgar warna kuning,
-dengan sebatang tongkat putih tergenggam di tangan kanan.
"Aku percaya kalian sudah melakukan semua perintahku dengan baik. Tapi, aku
menginginkan kalian berusaha lebih keras lagi. Kalau perlu, gunakan segala cara.
Kalau perlu, gunakan kekerasan pada semua orang yang dicurigai. Atau pada siapa
pun," tegas Ki Gopar.
Semua hanya bisa mengangguk saja.
"Dan untuk kalian berdua...," lanjut Ki Gopar sambil menatap dua orang anak muda
yang berada tepat di depannya.
"Apa yang harus kami lakukan, Ki?" tanya pemuda berbaju merah ketat.
"Kalian tetap pada tugas semula," kata Ki Gopar memberi tugas.
"Akan kami lakukan sebaik mungkin."
"Tiga hari lagi, bulan purnama datang. Kalian harus sediakan seorang gadis yang
Pendekar Rajawali Sakti 126 Mawar Berbisa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih suci. Dengan gadis itu, kekuatanku akan semakin bertambah. Aku ingin
menguasai seluruh jagad raya ini, tanpa ada seorang pun yang bisa menandingiku.
Kalian semua mengerti"!"
"Kami paham, Ki...," sahut mereka serentak.
"Pergilah kalian."
Tanpa ada yang bicara lagi, tujuh orang kepercayaan Ki Gopar segera pergi
setelah memberi penghormatan dengan membungkuk. Ki Gopar sendiri langsung masuk
ke dalam rumah besarnya yang dikelilingi pagar tinggi
bagai benteng pertahanan.
Tanpa ada seorang pun yang tahu, semua yang terjadi di belakang rumah itu
diawasi seorang laki laki tua yang bersembunyi di balik sebuah pohon. Laki laki
- -tua yang menjadi kusir gerobak kayu dan selalu dipanggil Ki Jambun itu bergegas
pergi dari halaman belakang ini. Dia terus saja keluar dari bangunan benteng
itu, melalui pintu belakang yang dijaga empat orang anak muda bersenjata tombak.
Ki Jambun memang bebas keluar masuk bangunan ini melalui jalan belakang. Dia
terus berjalan dengan langkah tergesa gesa, menyusuri jalan setapak yang
- berbatu. Malam yang gelap, tidak menghalangi orang tua ini menyusuri jalan kecil
itu. Terus saja kakinya melangkah cepat menuju sebuah perkampungan yang berada
tidak seberapa jauh dari bangunan besar bagai benteng itu. Sebuah desa yang
kelihatan terang benderang oleh cahaya lampu pelita.
Namun belum juga kusir tua itu sampai di desa yang sudah terlihat di depannya,
mendadak saja terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat.
Seketika Ki Jambun jadi terpekik kaget setengah mati.
Dan tahu tahu di depannya sudah berdiri sesosok tubuh ramping yang berbaju warna-putih ketat, dengan seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain putih.
Hanya pada bagian kedua matanya saja yang terlihat.
"Oh, kau...," desah Ki Jambun langsung merasa lega, begitu mengetahui orang yang
mencegatnya. Wanita berbaju serba putih itu melangkah mendekati, dan berhenti setelah
berjarak sekitar tiga langkah lagi di depan kusir tua itu.
"Ada hal penting yang ingin kau sampaikan hingga tergesa gesa begitu, Ki?" tegur
-wanita itu langsung.
"Benar, Nini," sahut Ki Jambun setelah dapat mengatur jalan napasnya kembali.
"Katakan...."
"Ki Gopar memerintahkan semua orangnya untuk mencari pembunuh istri dan anak
-anaknya. Mereka diperintahkan untuk melakukan segala cara. Bahkan kalau perlu
dengan kekerasan. Dia ingin menangkapmu, Nini," kata Ki Jambun memberitahu.
"Hm... Sudah lama aku menantikan itu, Ki Jambun.
Kembalilah ke sana. Amati terus setiap gerak yang dilakukan Ki Gopar dan semua
orangnya. Dan jangan lupa, terus laporkan semuanya padaku," ujar wanita berbaju
putih itu tegas.
"Nini...."
"Apa...?"
"Bagaimana keadaan Ki Lamput?" tanya Ki Jambun.
Nada suaranya terdengar cemas.
"Dia akan segera pulih kembali. Mereka menyiksanya dengan kejam. Untung saja Ki
Lamput punya daya tahan tubuh kuat," sahut wanita itu, memberitahu keadaan Ki
Lamput yang ditemuinya di tengah hutan dalam keadaan pingsan dan punggung hancur
bekas cambukan. "Mereka menyiksanya dengan mencambuk sampai pingsan, Nini," desis Ki Jambun.
"Aku tahu, Ki. Sebaiknya mulai sekarang, kau harus lebih berhati hati lagi.
-Jangan sampai ada yang tahu kau menjadi mata mataku. Mungkin, nasibmu tidak akan
-seberuntung Ki Lamput kalau mereka sampai tahu siapa
dirimu sebenarnya," ujar wanita itu, mengingatkan.
"Aku akan selalu hati hati, Nini."-"Kembalilah
segera. Jangan sampai mereka mencurigaimu."
"Ah...! Tenang saja, Nini. Mereka pasti menyangka aku mencari hiburan di Desa
Watukan. Aku biasa pulang larut malam. Tidak ada yang mencurigaiku," kata Ki
Jambun. "Tapi kau tetap harus selalu waspada, Ki," wanita itu tetap memperingatkan.
"Terima kasih, Nini. Aku akan selalu hati hati."
-"Aku pergi dulu, Ki."
"Sebentar, Nini..."
"Ada apa lagi?"
"Tiga hari lagi bulan purnama. Ki Gopar membutuhkan seorang gadis yang masih
suci, untuk menyempurnakan ilmu ilmunya. Sarkam dan Karun ditugaskan mencari
-gadis itu," lapor Ki Jambun lagi.
"Baiklah, Ki. Aku akan mencegah mereka. Aku pergi dulu, Ki. Hup...!"
Tanpa banyak bicara lagi, wanita berbaju serba putih itu segera melesat cepat
bagai kilat. Sehingga dalam sekejapan mata saja, sudah lenyap dari pandangan Ki
Jambun. Dan orang tua itu meneruskan langkahnya menuju Desa Watukan yang
jaraknya sudah tidak seberapa jauh lagi dari jalan ini. Kali ini jalannya tidak
lagi bergegas seperti tadi. Orang tua yang bertugas menjadi kusir di benteng Ki
Gopar itu berjalan ringan sambil bersiul siul.
-*** 2 Dua orang pemuda kepercayaan Ki Gopar yang bernama Sarkam dan Karun sudah tiba
di Desa Kranggan. Di desa ini, mereka harus mendapatkan seorang gadis yang masih
suci untuk persembahan Ki Gopar dalam menyempurnakan ilmu ilmunya. Memang aneh
-ilmu yang dituntut Ki Gopar. Dia harus merenggut dan menikmati mahkota seorang
gadis suci setiap bulan purnama datang. Dan setelah itu kekuatannya semakin
bertambah dan semakin sempurna saja. Bahkan setiap tiga hari sekali, dua orang
pemuda ini harus menyediakan seorang wanita padanya.
Anehnya, setiap wanita yang berhubungan badan dengan Ki Gopar selalu tewas tanpa
ada luka sedikit pun. Memang, wanita wanita itulah yang membuat Ki Gopar tetap -bisa hidup dengan bentuk tubuh dan wajah tetap, tanpa sedikit pun ada kerutan.
Padahal, sebenarnya usianya sudah lebih dari seratus tahun. Tapi tetap saja dia
terlihat seperti masih berusia di bawah lima puluh tahun. Bahkan setiap kali
selesai berhubungan, Ki Gopar semakin terlihat muda saja.
"Sarkam! Kau tahu, siapa sebenarnya Ki Gopar itu...?" tanya Karun mengisi
kebisuan yang terjadi sejak tadi.
"Tidak," sahut Karun, singkat.
"Dia itu sebenarnya orang tua yang sudah berumur lebih dari seratus tahun," kata
Sarkam memberitahu.
"Dari mana kau tahu?" tanya Karun, heran.
"Ki Gopar sendiri yang menceritakan padaku.
Katanya, aku akan diajarkan ilmunya yang langka itu.
Dengan ilmu itu kita bisa hidup abadi, tanpa takut dimakan usia dan kematian,"
jelas Sarkam. Kau perhatikan saja. Setiap kali kita mempersembahkan seorang
wanita, dia semakin kelihatan muda. Dan katanya, kalau sudah kembali pada usia
dua puluh lima tahun, wanita wanita itu hanya untuk kesempurnaan ilmunya saja.
-Tanpa harus memudakan usianya lagi."
"Ilmu apa yang dimilikinya?" tanya Karun jadi ingin tahu.
"Dia tidak mengatakannya padaku. Tapi, dia berjanji akan menurunkannya padaku,
setelah malam purnama nanti. Bahkan aku juga akan diberikan ilmu ilmu olah
-kanuragan dan kedigdayaan tingkat tinggi yang tidak ada tandingannya di dunia
ini," sambung Sarkam.
"Kau percaya pada janjinya?"
"Tentu saja. Ki Gopar tidak pernah mengingkari janji.
Asal, kita selalu taat dan patuh pada semua perintahnya."
"Kenapa hanya kau saja yang ditawarkan, sedang aku tidak...?"
"Entahlah.... Mungkin kau juga akan mendapatkan giliran nanti. Sabar saja,
Karun. Aku yakin, kau juga akan mendapatkannya. Dan kalaupun tidak, aku yang
akan memberikannya padamu."
"Kau harus janji, Sarkam."
"Tentu, aku janji."
Karun diam saja. Dan Sarkam pun juga tidak bicara lagi. Sementara mereka sudah
semakin dekat dengan Desa Kranggan yang selalu sunyi jika malam sudah
datang menjelang. Dan di desa kecil itu, hanya ada satu buah kedai saja yang
buka sampai malam hari.
Sedangkan kedai kedai lain hanya buka pada siang hari.-"Sarkam! Sudah kau dapatkan sasaran kita malam ini" Gadis mana yang akan kau
berikan pada Ki Gopar?"
tanya Karun setelah cukup lama berdiam diri.
"Sudah," sahut Sarkam. "Anaknya Ki Sarumpat"
"Kepala Desa Kranggan..." Kau gila, Sarkam! Apa kau tidak tahu Ki Sarumpat
memiliki kepandaian tinggi dan juga dikelilingi orang orang tangguh yang tidak
-sedikit jumlahnya..." Dia juga punya hubungan dekat dengan pendekar pendekar
-tangguh. Jangan, Sarkam.... Aku tidak ingin mencari kesulitan dengan mereka,"
sentak Karun terkejut mendengar rencana temannya.
"Hanya gadis itu yang kuketahui masih suci, Karun."
"Tapi masih banyak gadis lain..."
"Gadis gadis lain di Desa Kranggan tidak ada yang secantik Selasih, putri Ki
-Sarumpat."
"Aku sarankan padamu, Sarkam. Jangan cari perkara dengan Ki Sarumpat. Aku tahu
betul, siapa dia. Kan aku berasal dari Desa Kranggan juga," Karun tetap mencoba
mencegah rencana temannya yang dianggap sudah gila ini.
"Kau tenang saja, Karun. Kalau tidak berani, tunggu saja di luar desa. Biar aku
sendiri yang melakukannya,"
tandas Sarkam tidak peduli.
"Sebaiknya jangan, Sarkam. Biar aku yang mencari gadis lainnya saja."
"Kau boleh mencari yang lain. Tapi aku tetap yang itu. Kita lihat saja. Mana
yang dipilih Ki Gopar. Gadis pilihanmu, atau gadis pilihanku," tantang Sarkam.
"Sarkam...."
"Sudahlah... Untuk kali ini, kita mengambil jalan masing masing saja. Aku janji
-tidak akan melibatkanmu kalau terjadi sesuatu," potong Sarkam, cepat.
Karun tidak dapat berbuat apa apa lagi, untuk mencegah Sarkam yang ingin
-menculik putri Kepala Desa Kranggan. Dia hanya berharap, tidak terjadi sesuatu
yang akan susah nantinya. Dia tahu betul, Kepala Desa Kranggan bukan orang
sembarangan. Bahkan juga memiliki hubungan yang luas dengan pendekar pendekar digdaya. Tapi,
-Karun juga tahu kalau Sarkam tidak mungkin bisa dicegah lagi.
"Baiklah, Sarkam. Pergilah ke Desa Kranggan. Aku akan ke Desa Kampil," Karun
akhirnya memutuskan.
"Kita lihat saja nanti, Karun," kata Sarkam sambil tersenyum lebar.
Karun segera menghentikan langkahnya. Sedangkan Sarkam terus saja melangkah
menuju Desa Kranggan sambil tertawa tawa seperti ada yang menggelitik
-tenggorokannya. Sementara, Karun hanya memandangi saja dengan kepala menggeleng
perlahan beberapa kali.
Dan tanpa banyak bicara lagi, pemuda itu bergegas berbelok arah menuju Desa
Kampil yang memang bersebelahan dengan Desa Kranggan di kaki Gunung Cagarasa
ini. Sementara malam terus merayap semakin larut.
Tidak ada seorang pun dari kedua anak muda itu yang tahu kalau sepasang bola
mata indah telah sejak tadi memperhatikan. Sepasang bola mata yang bersembunyi
di balik kerudung putih itu menutupi seluruh wajah dan kepalanya. Dia adalah
seorang wanita yang mengena-kan baju serba putih dan ketat. Sebilah pedang bergagang kuning keemasan tampak
tergantung di pinggangnya yang ramping. Wanita itu baru keluar dari balik pohon, setelah
Sarkam terlihat masuk ke Desa Kranggan.
"Kau akan rasakan, Sarkam...," desis wanita berbaju serba putih itu.
Dan bagaikan kilat, wanita itu melesat begitu cepat.
Sehingga hanya bayangan tubuhnya saja yang terlihat berkelebat, menembus
kegelapan malam. Dalam waktu sekejapan mata saja bayangannya sudah lenyap tidak
terlihat lagi. *** Dari balik pohon yang cukup tersembunyi, Sarkam memandangi rumah Ki Sarumpat
yang tampak terang-benderang. Tampak ada dua orang tamu di rumah itu.
Seorang pemuda yang sebaya dengan dirinya dan berwajah tampan. Bajunya rompi
berwarna putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung di punggung. Sedang
yang satu lagi, seorang gadis berbaju biru muda yang sangat cantik. Dengan
sebuah kipas putih keperakan terkembang di depan dada, dia bagai seorang putri
raja. Duduk dengan anggunnya di samping pemuda tampan berbaju rompi putih ini.
Tidak terlihat ada satu senjata pun tersandang di tubuhnya. Sarkam jadi menduga
kalau dia hanya seorang gadis biasa yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan dan
kedigdayaan. Jakun Sarkam jadi bergerak turun naik, melihat paras gadis itu bagai bidadari
dari kayangan. Malah gadis itu
jauh lebih cantik daripada Selasih, putri Kepala Desa Kranggan ini.
"Hm.... Ki Gopar tentu akan semakin senang kalau aku bisa mendapatkan gadis
itu...," pikir Sarkam. "Baik!
Akan kutunggu dia di sini."
Sarkam memang harus bisa menahan sabar,
menunggu gadis cantik di rumah Ki Sarumpat itu.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara yang dingin membuat tubuh
Sarkam jadi menggigil.
Pandangannya diedarkan ke sekeliling. Sudah tidak terlihat seorang pun berada di
luar rumah. Begitu sunyi keadaannya. Sementara, dua orang itu masih saja
terlibat pembicaraan dengan Ki Sarumpat di ruangan depan rumahnya yang terang-benderang ini.
Cukup lama juga Sarkam menunggu. Tapi,
penantiannya tidak sia sia. Pemuda berbaju rompi putih itu keluar dari rumah
-kepala desa ini. Sedangkan gadis cantik berbaju biru muda tetap tinggal bersama
Ki Sarumpat. Mereka mengantarkan pemuda ini sampai ke depan pintu pagar halaman
yang terbuat dari bambu.
Dari balik pohon tempat bersembunyi, Sarkam bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Ingat kata kataku tadi, Pandan," ujar pemuda berbaju rompi putih itu, sebelum
-meninggalkan rumah kepala desa ini.
Dan gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan itu hanya mengangguk.
"Jangan sampai Naga Geni hilang, Ki," pesan pemuda itu pada Ki Sarumpat.
"Akan kujaga dengan baik, Rangga. Percayalah padaku...," sahut Ki Sarumpat.
Pemuda yang dipanggil Rangga itu tersenyum. Kaki pemuda yang berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti itu melangkah
dengan ayunan lebar dan cepat, meninggalkan mereka berdua. Setelah tidak terlihat lagi, Ki Sarumpat dan gadis
cantik yang memang Pandan Wangi itu atau si Kipas Maut baru masuk kembali ke
dalam rumah. Tidak ada yang bicara sedikit pun.
Sementara dari balik persembunyiannya, Sarkam tersenyum lebar melihat gadis
cantik itu masuk ke dalam kamar depan. Sedangkan Ki Sarumpat masuk ke dalam
kamarnya sendiri, setelah mematikan lampu ruangan depan rumahnya.
"Kesempatanku sekarang...," bisik Sarkam dalam hati.
Sebentar Sarkam mengamati keadaan sekitarnya, kemudian bergerak cepat dan ringan
sekali mendekati rumah Ki Sarumpat. Sebentar saja, pemuda itu sudah merapatkan
punggungnya di dinding samping rumah kepala desa itu. Kembali diamatinya keadaan
sekitarnya yang tetap sunyi, tanpa terlihat seorang pun.
Perlahan lahan Sarkam menghampiri jendela kamar depan. Telinganya langsung
-ditempelkan pada lubang jendela itu. Tidak terdengar suara sedikit pun. Sarkam
menduga kalau gadis cantik itu sudah tidur. Dengan ujung golok, dicongkelnya
jendela itu. Mudah sekali hal itu dilakukannya. Jendela itu kini terbuka lebar,
hingga Sarkam dapat melihat jelas ke dalam kamar ini. Bibirnya tersenyum melihat
gadis yang diincarnya tertidur lelap di atas pembaringan, bersama anak gadis Ki
Sarumpat. "Beruntung sekali aku malam ini. Mereka berdua akan kubawa...," bisik Sarkam
gembira dalam hati,
melihat di dalam kamar ini ternyata ada dua orang gadis cantik yang sedang tidur
lelap. "Hup!"
Dengan gerakan ringan sekali, Sarkam melompat masuk ke dalam kamar. Hanya
sedikit saja suara yang ditimbulkannya saat kakinya menjejak lantai kamar dari
papan ini. Dan tanpa membuang buang waktu lagi, diberikannya totokan pada pusat -jalan darah kedua gadis itu.
Tuk! Tuk! "Uhh...!"
Terdengar lenguhan pendek dari bibir gadis yang tidur di sebelah Pandan Wangi.
Sedangkan Pandan Wangi yang dikenal sebagai si Kipas Maut, tidak bergerak
Pendekar Rajawali Sakti 126 Mawar Berbisa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedikit pun. Kedua bola matanya tetap terpejam seperti mati.
"He he he he...."
Sarkam tertawa terkekeh melihat kemudahan yang diperolehnya malam ini. Tanpa
membuang buang -waktu lagi, langsung dipanggulnya kedua gadis itu di pundaknya. Lalu dengan
gerakan ringan, dia melompat keluar melalui jendela.
"Hup!"
Sarkam langsung berlari cepat membawa dua orang gadis yang sudah tertotok pusat
jalan darahnya. Cepat sekali larinya yang mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
walaupun membawa beban dua orang gadis di pundaknya. Pemuda itu tersenyum
senang, merasa malam ini merupakan keberuntungannya. Sama sekali dia tidak tahu
kalau semua yang dilakukannya tengah diamati sepasang mata sejak tadi dari dalam
rumah kepala desa itu. Bahkan di luar, dua pasang mata yang saling berjauhan jaraknya
juga mengamatinya.
Sarkam terus berlari keluar dari Desa Kranggan ini.
Dan suara tawanya baru terdengar keras menggelegar, setelah sampai di luar desa.
Tapi, mendadak saja suara tawanya terhenti, ketika terlihat sebuah bayangan
putih berkelebat begitu cepat memotong arah larinya di depan.
"Heh..."!"
Sarkam jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba tiba di depannya sudah
-berdiri sesosok tubuh ramping berbaju serba putih bersih. Seluruh kepala dan
wajahnya tampak tertutup kain kerudung putih yang cukup tebal. Hanya kedua
matanya saja yang terlihat jelas.
"Tinggalkan gadis gadis itu di sini, Iblis...!" desis wanita berbaju putih itu, -dingin menggetarkan.
"Siapa kau..."!" bentak Sarkam agak bergetar suaranya.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Pokoknya, tinggalkan gadis gadis itu...!" sahut
-wanita berbaju putih itu membentak.
"Phuih!"
Sarkam menyemburkan ludahnya. Perlahan diturunkannya kedua gadis itu dari pundaknya. Dan langsung goloknya yang
terselip di pinggang dicabut.
"Phuih!"
Kembali Sarkam menyemburkan ludahnya dengan
sengit. Dan goloknya cepat dilintangkan di depan dada.
Sementara wanita berbaju serba putih itu tetap diam, tidak bergerak sedikit pun
juga. Hanya pandangan
matanya saja yang terlihat menyorot tajam, memperhatikan setiap gerakan kaki pemuda ini.
"Hiyaaat..!"
Tanpa membuang buang waktu lagi, Sarkam
-langsung saja melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga
goloknya dikebutkan tepat mengarah ke batang leher yang tertutup kerudung putih
ini. Bet! "Haiiit...!"
Namun hanya sedikit saja wanita itu mengegoskan kepala, maka tebasan golok
Sarkam hanya lewat sedikit di depan leher. Dan pada saat Sarkam belum bisa
menarik golok kembali, wanita itu sudah memberi satu sodokan yang keras ke dada
pemuda ini. Sodokan yang cepat itu, membuat Sarkam tidak sempat lagi
menghindarinya. Dan....
Des! "Akh...!"
Sarkam jadi terpekik, begitu dadanya telak dan keras sekali terkena sodokan
wanita itu. Seketika tubuhnya terpental ke belakang sejauh beberapa langkah, dia
cepat bisa menguasai keseimbangannya kembali.
Langsung goloknya disilangkan di depan dada. Kalau saja sodokan itu disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi, mungkin dada pemuda ini sudah remuk.
"Keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
Sambil membentak geram, Sarkam kembali melompat cepat sekali. Goloknya sudah langsung dihantamkan ke dada wanita
berbaju putih ini. Namun kembali tebasan golok itu hanya mengenai angin saja,
ketika wanita itu hanya mengegoskan saja sedikit.
Bahkan wanita itu langsung berputar sambil melepaskan satu tendangan keras ke pinggang Sarkam.
Begkh! "Akh...!"
Kembali Sarkam memekik, terkena tendangan yang cukup keras dari lawannya.
Tubuhnya bergulingan beberapa kali di tanah, namun cepat bisa bangkit berdiri.
Langsung goloknya kembali disilangkan di depan dada. Sarkam semakin geram saja.
Dua kali dia terkena serangan balasan wanita itu. Dan, dua kali juga serangannya
tidak membawa hasil yang diinginkan.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Sarkam kembali melompat cepat memberi
serangan. Kali ini goloknya dikibaskan beberapa kali, diimbangi gerakan tubuh
yang meliuk menyerang wanita berbaju serba putih itu.
"Haiiit..!"
Namun dengan gerakan tubuh cepat dan indah
sekali, wanita itu berhasil menghindari semua serangan Sarkam. Bahkan tanpa
diduga sama sekali, pukulannya kembali mendarat di dada pemuda itu, disusul
tendangan keras yang mendarat tepat di perut. Kembali Sarkam menjerit dan
bergulingan beberapa kali, setelah tubuhnya menghantam tanah cukup keras. Sarkam
tidak dapat lagi mempertahankan goloknya yang terlepas entah ke mana.
Pemuda itu terus bergulingan, dan baru berhenti setelah tubuhnya menyentuh tubuh
Pandan Wangi yang masih tergolek diam bersebelahan dengan anak gadis Kepala Desa
Kranggan. "Hoeeekh. .!"
Sarkam memuntahkan darah kental agak kehitaman dari mulutnya, ketika mencoba
bangkit berdiri. Seluruh rongga dadanya terasa seperti terhimpit bongkahan baru
yang sangat besar dan berat sekali. Napasnya jadi tersendat, dan kepalanya juga
terasa pening. Beberapa kali kepalanya digeleng gelengkan, mencoba mengusir rasa-pening yang menyerang.
"Phuuuh...!"
Sarkam menyemburkan ludah yang bercampur darah
di mulut. Kemudian dia bangkit berdiri, dan menatap wanita berbaju serba putih
itu dengan sinar mata memancarkan kebencian mendalam. Kemudian matanya melirik
sedikit pada Pandan Wangi yang masih tergolek diam di sebelahnya. Lalu dengan
gerakan cepat, Sarkam mengangkat tubuh gadis itu dan memanggulnya di pundak.
Tanpa membuang buang
-waktu lagi, tubuhnya cepat memutar berbalik, lalu melompat. Seketika seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hei! Jangan lari kau, Iblis...! Hup! Yeaaah...!"
Wanita berbaju serba putih itu segera melesat mengejar Sarkam yang sudah
menghilang dengan cepat, ditelan kegelapan malam dan lebatnya pepohonan di
pinggiran Desa Kranggan ini. Sementara, anak gadis Ki Sarumpat masih tergeletak
diam tidak sadarkan diri di tanah. Tubuhnya yang hanya ditutupi selembar kain,
jadi berlumuran tanah yang agak becek.
Teriakan teriakan Sarkam dan wanita berbaju serba putih itu sudah tidak
-terdengar lagi. Sementara, malam
terus beranjak semakin bertambah larut saja. Dan pada saat itu, terlihat sebuah
bayangan putih berkelebat begitu cepat, langsung menyambar tubuh gadis kepala
desa itu. Cepat sekali gerakannya, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa.
Tahu tahu, gadis itu sudah lenyap tidak berbekas lagi, bersamaan lenyapnya
-bayangan putih yang menyambarnya tadi.
*** 3 "Kasihan Kak Pandan. Seharusnya aku yang dibawa.
Bukan dia...," lirih sekali suara Selasih.
"Jangan menyesali diri, Selasih. Semua ini memang di luar dari rencana semula,"
kata Rangga. "Tapi, seharusnya tidak begini jadinya kalau aku tak menginginkan tidur
bersamanya dalam satu kamar,"
Selasih masih juga menyesali sikapnya.
"Sudahlah, Selasih. Jangan terlalu menyesali diri. Nini Pandan tentu bisa
menjaga diri," hibur Ki Sarumpat.
Selasih hanya diam saja dengan wajah terselimut duka. Sedangkan Rangga juga diam
membisu. Pendekar Rajawali Sakti beranjak bangkit dari kursinya, kemudian
melangkah keluar dari dalam kamar ini. Ki Sarumpat segera mengikutinya.
Sedangkan Selasih tetap di dalam kamar bersama ibu dan dua orang kakak laki-lakinya.
Di beranda depan, Rangga menghenyakkan tubuhnya di kursi bambu. Sedangkan Ki
Sarumpat berdiri saja, menyandarkan punggungnya pada tiang beranda depan
rumahnya. Beberapa saat mereka masih terdiam membisu, tanpa bicara sedikit pun.
"Siapa wanita yang menghadang orangnya Ki Gopar itu, Rangga?" tanya Ki Sarumpat.
"Entahlah, Ki. Wajahnya ditutupi selendang putih.
Sulit bagiku untuk mengenalinya," sahut Rangga.
"Tampaknya ada juga yang ingin meruntuhkan Ki Gopar," desah Ki Sarumpat,
perlahan. "Tapi kemunculannya justru membuat semua
rencana kita berantakan, Ki. Kita tidak tahu lagi, di mana tempat tinggal
mereka," kata Rangga tetap pelan suaranya.
"Mereka mengincar anakku, Rangga. Aku yakin, ada yang kembali lagi ke sini,"
kata Ki Sarumpat.
"Dan kalau kita menunggu terus, mungkin Pandan Wangi sudah menjadi korban iblis
itu, Ki," desah Rangga.
"Ya..., tinggal dua malam lagi waktunya," ujar Ki Sarumpat seraya menghembuskan
napas panjang. Mereka kembali terdiam membisu.
"Mudah mudahan saja malam nanti Ki Jambun datang memberi keterangan lagi, -Rangga," ujar Ki Sarumpat, mencoba membesarkan hati Pendekar
Rajawali Sakti.
"Sarang mereka harus bisa kuketahui sebelum malam, Ki. Aku mengkhawatirkan
keselamatan Pandan Wangi. Dia sama sekali tidak bersenjata," kata Rangga tetap
mencemaskan kekasihnya.
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Rangga," ujar Ki Sarumpat.
"Sebaiknya aku pergi dulu, Ki. Mudah mudahan saja aku memperoleh sesuatu."
-Ki Sarumpat tidak bisa mencegah keinginan
Pendekar Rajawali Sakti. Kepala desa itu memang mengundang pendekar ini ke Desa
Kranggan untuk menghadapi Ki Gopar dan orang orangnya yang
-tindakannya senjakin sulit saja dihadapi. Entah sudah berapa puluh gadis yang
diculik untuk menjadi korban laki laki tua yang sebenarnya sudah berusia lebih
-dari seratus tahun itu.
Tapi memang, bukan hanya gadis dan wanita baik-baik saja yang diculik. Bahkan
mereka juga mengambil wanita wanita nakal yang dijanjikan bayaran besar, untuk
-melayani nafsu iblis Ki Gopar. Dan tidak ada seorang pun yang kembali lagi kalau
sudah masuk ke dalam sarang mereka. Entah, bagaimana nasib mereka.
Tidak ada seorang pun yang tahu.
Sementara, Rangga sudah jauh meninggalkan rumah
kepala desa itu. Kudanya dijalankan perlahan lahan, melintasi jalan desa yang
-berdebu ini. Beberapa orang yang berpapasan dengannya hanya memandangi saja,
tanpa tahu apa yang sedang bergulat dalam hati Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Ki Sarumpat terus memandangi kepergian pemuda itu sampai lenyap dari
pandangan mata.
Sementara itu, dalam sebuah kamar berukuran besar yang sangat mewah, Pandan
Wangi tergolek diam dengan mata terpejam di atas pembaringan beralaskan kain
sutera halus berwarna merah muda. Gadis itu masih mengenakan baju biru muda yang
ketat, tanpa satu senjata terlihat tersandang di tubuhnya. Dan tidak jauh dari
pembaringan, terlihat Ki Gopar tersenyum-senyum memandangi sekujur tubuh Pandan
Wangi. Di sebelahnya Sarkam juga tersenyum senyum puas, walau hanya bisa membawa
-satu gadis saja.
"Di mana kau dapatkan gadis secantik ini, Sarkam?"
tanya Ki Gopar.
"Di Desa Kranggan, Ki," sahut Sarkam.
"Dia masih gadis suci?" tanya Ki Gopar lagi.
Sarkam tidak langsung menjawab. Dia tidak tahu, apakah gadis yang dibawanya
masih suci atau sudah
pernah bersuami. Ki Gopar memandangi anak buahnya ini dengan kelopak mata agak
menyipit. "Kenapa diam, Sarkam?" tanya Ki Gopar meminta jawaban.
"Aku.... Aku tidak tahu, Ki," sahut Sarkam tergagap.
"Kau tidak tahu...?"
"Dia kubawa dari rumah Ki Sarumpat, Kepala Desa Kranggan," jelas Sarkam.
"Jelaskan yang sebenarnya, Sarkam," pinta Ki Gopar.
"Aku menginginkan kepastian, apakah ini masih suci atau sudah bersuami."
Sarkam terdiam sebentar. Beberapa kali ludahnya tertelan dengan sendirinya.
Terasa sulit sekali baginya untuk menjelaskannya. Beberapa kali dipandanginya
wajah cantik gadis yang terbaring seperti tidur di pembaringan beralaskan kain
sutera merah muda ini.
"Jelaskan, Sarkam...," desak Ki Gopar.
"Dia..., dia tamu Ki Sarumpat, Ki. Kulihat dia datang bersama seorang laki-laki...," jelas Sarkam semakin tergagap suaranya.
"Laki laki...?" terdengar agak tinggi nada suara Ki Gopar.
-"Benar, Ki."
"Kau tahu, siapa laki laki itu?"
-Sarkam hanya menggelengkan kepala saja.
"Goblok! Kenapa tidak diselidiki dulu, heh..."!"
Sarkam hanya diam saja tanpa berani mengangkat wajahnya, untuk menatap wajah Ki
Gopar yang kini kelihatan semakin bertambah muda itu. Bahkan, sepertinya lebih
muda dari Sarkam.
"Dengar, Sarkam. Untuk malam purnama nanti, kau
harus sediakan seorang gadis yang masih suci, belum terjamah laki laki sama
-sekali. Dan kau harus mendapatkannya sekarang juga. Bulan purnama tinggal dua
hari lagi, Sarkam. Ingat itu...," terdengar agak mendesis suara Ki Gopar.
Sarkam hanya menganggukkan kepala saja.
"Sarkam! Kau tahu, Ki Sarumpat mempunyai anak gadis yang masih suci, kan...?"
bisik Ki Gopar.
"Benar, Ki," sahut Sarkam dengan dada menggemuruh. "Culik gadis itu, dan bawa ke sini."
"Sekarang, Ki...?"
"Sekarang sudah hampir pagi. Besok malam saja."
"Baik, Ki. Besok malam gadis itu sudah ada di sini."
"Tapi ingat, Sarkam. Kalau tidak berhasil, kepalamu jadi gantinya."
Sarkam jadi bergidik mendengar ancaman itu.
Sedangkan Ki Gopar sudah melangkah, meninggalkan kamar ini. Di depan pintu,
Karun langsung membungkukkan tubuhnya, begitu Ki Gopar
Pendekar Rajawali Sakti 126 Mawar Berbisa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melewatinya. Karun bergegas masuk ke dalam kamar itu. Langsung ditemuinya Sarkam
yang masih tetap diam dengan seluruh tubuh terasa lemas.
"Ada apa, Sarkam?" tanya Karun ingin tahu.
"Ki Gopar menginginkan anak gadis Ki Sarumpat,"
sahut Sarkam lesu, seraya melangkah keluar dari kamar ini.
Karun mengikuti. Ditutupnya pintu kamar itu
kembali. Mereka berhenti di depan pintu. Tampak Sarkam begitu lesu seperti tidak
lagi bersemangat.
Karun terus memperhatikan dengan wajah mencermin-kan keheranan dan rasa ingin tahu.
"Semalam, bukankah kau ingin menculik Selasih"
Kenapa jadi perempuan lain yang dibawa ke sini?" tanya Karun ingin tahu.
"Dia juga ada di rumah Ki Sarumpat. Tadinya, aku mengambil dua duanya," sahut
-Sarkam mencoba menjelaskan.
"Dua duanya...?"
-"Dia dan Selasih tidur dalam satu kamar. Keduanya sudah kubawa, tapi di tengah
jalan seseorang mencoba menghadang dan merebut mereka berdua. Dan aku berhasil
membawa yang ini. Sedangkan Selasih terpaksa kutinggalkan di tengah jalan,"
jelas Sarkam. "Lalu, Ki Gopar ingin kepastian kalau gadis itu masih suci atau sudah bersuami.
Begitu...?" desak Karun lagi.
Sarkam hanya mengangguk saja.
"Malah aku diperintah harus menculik Selasih besok malam."
"Mampus kau, Sarkam...," desis Karun.
"Jangan menyumpahiku begitu, Karun. Bantulah aku...," rengek Sarkam.
"Bagaimana aku harus membantumu..." Ki Gopar sudah memberiku tugas lain malam
nanti," sahut Karun, seraya mengangkat bahunya sedikit.
Sarkam semakin lemas. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Tidak
mungkin rumah Ki Sarumpat didatangi lagi. Sudah pasti dia menjaga rumahnya malam
nanti. "Sudah istirahat dulu sana. Biar aku yang jaga di sini,"
kata Karun. "Hhhh...!"
Sarkam hanya menghembuskan napas panjang.
Kakinya melangkah gontai meninggalkan temannya.
Entah kenapa, Karun jadi merasa kasihan juga melihat Sarkam jadi lemas begitu,
seperti tidak ada gairah hidup lagi. Karun menyadari, Sarkam memang tidak
mungkin mendatangi rumah Ki Sarumpat lagi untuk menculik anak gadisnya malam
nanti. Karena sudah barang tentu rumah akan terjaga dengan ketat. Sedangkan
perintah yang diberikan Ki Gopar, tidak mungkin diabaikan begitu saja. Hanya
kematian saja yang akan didapat, kalau sampai tidak menjalankan perintah.
"Kasihan kau, Sarkam...," desah Karun pelan.
*** Sementara itu di dalam kamar, Pandan Wangi baru membuka matanya, setelah tidak
lagi terdengar suara.
Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, mengamati keadaan kamar yang cukup
besar dan indah ini.
Kemudian gadis itu bergegas melompat turun dari pembaringan.
Memang tidak sukar bagi Pandan Wangi untuk bisa cepat sadar. Dan sebenarnya,
totokan Sarkam semalam tidak berarti apa apa baginya. Karena, tubuhnya dialiri -hawa mumi, ketika Sarkam masuk ke dalam kamar di rumah Ki Sarumpat. Dan
sebenarnya pula, Pandan Wangi sama sekali tidak pingsan. Dia hanya berpura-pura
saja untuk mengetahui sarang Ki Gopar.
"Hm..., rupanya di sini tempat tinggalnya," gumam Pandan Wangi dalam hati.
"Hebat... Seperti istana saja keadaannya."
Sebentar Pandan Wangi merayapi keadaan dalam kamar ini. Kemudian kakinya
melangkah dengan ayunan begitu ringan mendekati pintu. Sedikit telinganya
ditempelkan ke daun pintu yang tertutup rapat ini.
Memang bisa terdengar adanya tarikan napas di balik pintu ini. Pandan Wangi
langsung tahu kalau hanya satu orang saja yang menjaga. Tapi dari tarikan
napasnya yang teratur dan ringan, sudah bisa ditebak kalau orang yang menjaga di
depan pintu ini memiliki kepandaian yang tidak bisa dikatakan rendah.
"Ah... mudah mudahan saja jendela itu tidak terjaga," desah Pandan Wangi dalam -hati, begitu matanya tertumbuk pada jendela besar di kamar ini.
Bergegas si Kipas Maut melangkah mendekati
jendela yang tertutup rapat itu. Sedikit telinganya ditempelkan pada daun
jendela itu. Dan bibirnya jadi tersenyum, saat tidak terdengarnya tarikan napas
di balik jendela ini. Perlahan Pandan Wangi membuka jendela itu sedikit. Dia
mengintip keluar, memperhatikan keadaan yang masih terlihat gelap. Saat ini
memang sudah menjelang pagi, dan tidak ada seorang pun terlihat di luar sana.
Pandan Wangi cepat membuka jendela itu lebar-lebar. Dan tanpa membuang buang
-waktu lagi dia melompat keluar, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang
sudah hampir sempurna. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya
menjejak tanah di luar kamar itu. Dengan tubuh membungkuk, Pandan Wangi
mengamati keadaan sekitarnya sebentar.
Lalu... "Aku harus mencapai pagar itu. Hup...!" Tanpa
banyak omong lagi, Pandan Wangi cepat melompat mendekati pagar tinggi yang
terbuat dari gelondongan kayu pohon ini. Hanya tiga kali lesatan saja, tubuhnya
sudah mencapai pagar itu. Kembali tubuhnya
merunduk, berlindung ke dalam semak yang tumbuh dekat pagar seperti benteng
pertahanan ini. Tidak ada seorang pun terlihat di sekitar halaman samping
bangunan besar seperti sebuah istana ini. Keadaannya begitu sunyi. Sejenak
Pandan Wangi mendongak ke atas, dan bibirnya pun tersenyum sedikit.
"Hup...!"
Hanya sekali genjot saja, tubuh gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut
itu sudah melesat naik ke atas, hingga melewati bagian ujung pagar benteng yang
mengelilingi istana kecil ini. Lalu manis sekali ujung jari kakinya menotol
ujung pagar yang berbentuk runcing ini, maka kembali tubuhnya melenting dengan
gerakan begitu indah keluar dari lingkungan tempat tinggal Ki Gopar.
Dua kali Pandan Wangi berputaran di udara,
kemudian manis sekali menjejakkan kakinya di tanah.
Sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Dan tanpa
membuang buang waktu lagi, Pandan Wangi cepat berlari menembus hutan di samping -bangunan berpagar tinggi ini. Sebentar saja, gadis itu sudah lenyap ditelan
lebatnya pepohonan dan keadaan yang masih gelap ini.
Pandan Wangi terus berlari menembus hutan yang cukup lebat di kaki Gunung
Cagarasa. Begitu lincah dan ringan gerakan kakinya, sehingga sebentar saja sudah
jauh meninggalkan istana kecil tempat tinggal Ki Gopar.
Si Kipas Maut baru berhenti, setelah dirasakan cukup jauh. Kini dia berada di
tempat yang cukup tinggi, untuk melihat keadaan di bagian dalam pagar tinggi
seperti benteng itu.
"Biar besok pagi saja. Kalau sudah terang, aku baru ke Desa Kranggan. Mudah
-mudahan Kakang Rangga masih di sana," gumam Pandan Wangi bicara pada diri
sendiri. Pandan Wangi menyandarkan punggung ke pohon, dengan mata tidak lepas dari
bangunan besar berpagar tinggi di kaki gunung ini.
"Sayang, semua senjataku tertinggal di sana. Kalau salah satu ada saja...,"
gumam Pandan Wangi terputus.
Kening gadis itu jadi berkerut, saat melihat seorang laki laki yang kelihatan
-masih muda berdiri di depan jendela kamar yang mengurungnya tadi. Dan di
belakangnya, terlihat beberapa orang. Tampak jelas sekali kalau laki laki
-berpakaian indah gemerlapan itu sedang marah marah.
-"Oh..."!"
Pandan Wangi jadi terpekik sendiri, ketika laki laki itu mencabut pedangnya dan
-langsung dikebutkan ke leher Sarkam yang berada tepat di depannya. Sekali tebas
saja, kepala Sarkam menggelinding jatuh ke tanah. Dan dari lehernya yang buntung
itu langsung menyembur darah segar. Tampak tubuh Sarkam ambruk menggelepar ke
lantai. Tidak terdengar jeritan sedikit pun.
Sementara, terlihat dua orang pemuda menggotong tubuh Sarkam yang sudah tidak
berkepala lagi itu keluar dari kamar. Sedangkan seorang lagi membawa
kepalanya keluar.
Saat itu laki laki yang kelihatan muda kembali memutar tubuhnya berbalik.
-Matanya langsung memandang keluar jendela yang masih tetap terbuka lebar.
Tampaknya dia begitu marah mengetahui wanita yang dipersiapkannya untuk korban
malam purnama nanti, bisa meloloskan diri. Entah apa yang dikatakannya. Tapi
Pandan Wangi bisa melihat kalau semua orang yang ada di dalam kamar itu langsung
keluar. Dan tidak lama kemudian, terlihat puluhan orang keluar dari dalam benteng itu
dengan menunggang kuda. Salah satu di antaranya terlihat Karun yang menunggang
kuda hitam berbelang putih pada keempat kakinya. Sementara dari lereng gunung
yang cukup tinggi ini, Pandan Wangi bisa melihat jelas ke arah laki-laki yang
tampak seperti masih muda. Dia tetap berdiri menghadap ke jendela kamar yang
tetap terbuka lebar.
Beberapa saat kemudian dia berbalik, dan melangkah meninggalkan kamar. Dan
perhatian Pandan Wangi kini beralih pada orang orang yang keluar dengan berkuda -dari dalam benteng itu. Jelas kalau mereka mencari dirinya.
"Hm.... Anak muda yang bicara dengan penculikku menuju ke Desa Kranggan.
Sebaiknya, aku cepat ke sana sebelum mereka sampai," gumam Pandan Wangi, saat
melihat Karun berkuda menuju Desa Kranggan, bersama empat orang anak muda yang
juga menunggang kuda.
Dan tanpa pikir panjang lagi, Pandan Wangi langsung melesat. Dia berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah hampir sempurna.
Begitu cepatnya, hingga yang terlihat hanya kelebatan
bayangan biru saja di antara pepohonan yang cukup rapat dan menghitam terselimut
kegelapan. *** 4 Ki Gopar menghempaskan tubuhnya ke kursi kayu jati yang berukir disertai
hembusan napasnya yang berat.
Seorang wanita yang sedang merajut, langsung menghentikan
pekerjaannya. Matanya langsung memandang laki laki yang kini sudah kelihatan muda seperti berusia tiga puluh
-tahun itu, wajah Ki Gopar kelihatan merah, dengan napas memburu cepat.
Sedangkan wanita cantik yang ada di dalam ruangan ini segera menghampiri, sambil
membawa sebuah gelas perak yang berisi arak manis. Disodorkannya gelas itu pada
Ki Gopar. "Kau kelihatan tidak senang. Ada apa...?" tegur wanita itu lembut.
"Aku kesal...!" dengus Ki Gopar. Langsung disambarnya gelas perak itu. Isinya
segera direguk hingga tidak tersisa sedikit pun. Diletakkannya gelas itu di atas
meja dengan keras sekali, hingga suaranya mengejutkan wanita yang berdiri di
depannya. "Kesal pada siapa?" tanya wanita itu lagi.
"Sarkam."
"Kenapa Sarkam?"
"Dia membawa perempuan yang membuatku marah.
Tapi dia sudah menerima ganjarannya."
"Kau bunuh dia...?"
"Hanya itu yang pantas untuknya."
"Apa yang dilakukannya sampai kau membunuhnya...?"
"Dia bawa perempuan setan ke rumah ini.
Perempuan itu sekarang kabur entah ke mana. Sarkam benar benar tidak berguna -lagi. Aku tidak menyesal kehilangan orang goblok seperti dia."
"Perempuan apa yang dia bawa?"
"Perempuan untuk korbanku malam purnama nanti.
Dia seharusnya membawa gadis yang masih suci dan tidak tahu apa apa tentang ilmu
-olah kanuragan. Tapi, Sarkam
malah membawa perempuan yang berkepandaian tinggi. Dan perempuan itu bisa melepaskan totokannya dengan mudah,
lalu kabur."
"Kenapa kau masih saja menculik perempuan-perempuan untuk korban..." Bukankah
kau tidak membutuhkan mereka lagi" Semua yang kau inginkan sudah terkabul.
Lantas apa lagi yang kau inginkan" Tidak ada gunanya lagi mengorbankan perempuan
malam purnama nanti."
"Aku ingin kembali muda. Aku tidak ingin kelihatan tua."
"Tapi itu akan membuat dirimu susah nanti.
Sudahlah... Jangan turutkan kata hatimu. Aku tahu sekarang, semua yang kau
lakukan selama ini hanya untuk memuaskan nafsu setanmu saja. Kau hanya berkedok
menculik perempuan untuk korban. Tapi yang sebenarnya, kau hanya memuaskan
nafsumu saja, Gopar. Aku jadi tidak mengerti. Harusnya kau sudah puas dengan
keadaanmu sekarang. Jangan lagi mencari perempuan untuk korban. Sudah saatnya
kau menghentikan petualanganmu, Gopar. Jangan mencaricari kesulitan dalam hidupmu
lagi. Ingat, apa pesan ayahku. Ilmu itu tidak akan berguna kalau digunakan
pada jalan yang sesat. Kau memang bisa kelihatan muda kembali, tapi tenaga dan
kekuatanmu akan terus berkurang...."
"Kenapa kau jadi ceriwis begitu, Lestari..." Sebaiknya kau diam. Dan, jangan
mencampuri urusanku!" bentak Ki Gopar.
"Urusanmu adalah urusanku juga, Gopar. Kalau terjadi apa apa aku juga akan -terbawa bawa. Kau harus ingat, Gopar. Kau sekarang ini berada di mana..." Ini
-tempat tinggalku. Kau hanya menumpang saja di sini, bersama orang orangmu. Aku
-tidak ingin nama baik tempat ini menjadi rusak oleh ulahmu!" sentak wanita
berwajah cantik ini jadi berang.
"Sejak kapan kau berani menentangku, Lestari...?"
dengus Ki Gopar, jadi dingin nada suaranya.
Wanita berwajah cantik yang dipanggil Lestari itu hanya diam saja.
"Dengar, Lestari. Kalau mau, aku bisa membunuhmu sekarang juga. Bahkan aku bisa
menjadikanmu korban.
Tapi aku tidak mau melakukannya. Kau adalah putri sahabatku. Dan, dari ayahmulah
aku mendapatkan ilmu ini. Kau sendiri menggunakannya, hingga selalu kelihatan
muda dan cantik."
"Tapi aku mengamalkannya tidak dengan korban manusia, Gopar. Aku melakukannya
dengan jalan benar."
"Itu menurut jalanmu, Lestari. Sedangkan aku, mempunyai jalan sendiri. Jadi
kuminta sekali lagi, jangan mencampuri urusanku. Dan mulai sekarang, aku yang
berkuasa di sini. Bukan kau...!"
"Kau akan menyesal, Gopar," desis Lestari.
"Tutup mulutmu...!" bentak Ki Gopar, keras menggelegar.
Lestari langsung terdiam. Tapi, tatapan matanya terlihat begitu tajam memandang
Ki Gopar yang wajahnya kini sudah tidak lagi terlihat kerutan sedikit pun. Wajah
yang dulu renta, kini kembali muda dan gagah.
Dalam sinar mata wanita itu, terbetik rasa kebencian melihat sikap Ki Gopar.
Apalagi, laki laki ini sudah berkata terang terangan merebut bangunan ini
- -darinya. Istana kecil yang dibangunnya bersama sama ayahnya yang kini sudah tiada,
-setelah semua ilmu yang membuat orang tampak selalu muda dan tidak takut akan
datangnya kematian dilepaskannya.
Ilmu itu memang sangat langka, dan tidak banyak orang bisa memilikinya. Ki Gopar
sendiri sebenarnya juga tidak memiliki ilmu itu. Dan dia memperolehnya dari
ayahnya Lestari, sebelum orang tua itu menghembuskan
napasnya yang terakhir dan menitipkan Lestari padanya.
Tapi setelah menguasai ilmu itu dengan sempurna, sikap dan tingkah laku Ki Gopar
jadi berubah. Dan laki-laki bertubuh gemuk itu bukan lagi menjadi pelindung
Lestari, tapi malah seperti memenjarakannya. Bahkan Lestari sama sekali jadi
tidak punya hak atas rumahnya sendiri. Semuanya sudah diambil alih Ki Gopar
dengan halus. Namun, baru sekarang inilah Ki Gopar mengatakannya terus terang.
Tentu saja hal ini membuat seluruh aliran darah di dalam tubuh Lestari jadi
bergolak mendidih. Tapi dia tidak bisa berbuat apa apa. Dia sadar, kepandaian -yang
dimiliki Ki Gopar jauh lebih tinggi daripada yang dikuasainya. Dan rasanya,
tidak mungkin laki laki ini bisa ditentangnya.
-"Dengar, Gopar. Apapun yang kau lakukan, aku tidak akan ikut campur. Semua yang
sudah kau lakukan, adalah tanggung jawabmu sendiri. Jangan memohon
pertolonganku, nanti," kata Lestari seraya berbalik, dan melangkah pergi
meninggalkan ruangan ini.
"Mau ke mana kau..."!" bentak Ki Gopar, ketika melihat Lestari membalikkan
tubuhnya hendak
meninggalkan ruangan ini.
"Jangan mengurusi aku lagi, Gopar. Urus saja dirimu sendiri!" bentak Lestari,
Pendekar Rajawali Sakti 126 Mawar Berbisa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengus. "Lestari...!"
Lestari sudah tidak mau lagi mendengarkan. Wanita itu terus saja melangkah pergi
meninggalkan ruangan itu. Dan ini membuat Ki Gopar tidak dapat berbuat apa-apa
lagi. Laki laki gemuk itu hanya diam saja memandangi
-Lestari yang melangkah cepat meninggalkan ruangan ini. Ki Gopar menyambar guci arak, dan menuangkan isinya ke
dalam gelas perak yang kosong. Lalu diteguknya arak manis itu hingga tandas tak
bersisa lagi. "Phuih! Kalau saja bukan putri sahabatku, sudah aku cabik cabik tubuhmu...!"
-umpat Ki Gopar sengit.
*** Sementara itu, Pandan Wangi sudah sampai di Desa
Kranggan. Dan saat ini matahari sudah membiaskan cahayanya di ufuk timur. Napas
kehidupan sudah
kembali terasa di desa ini. Semua penduduknya sudah terbangun dan keluar dari
rumahnya untuk mengisi kehidupan dengan kesibukan masing masing. Dan Pandan -Wangi langsung saja menuju rumah Ki
Sarumpat. "Pandan...," desis Ki Sarumpat ketika melihat Pandan Wangi memasuki halaman
rumahnya. Kepala desa itu bergegas menghampiri si Kipas Maut ini. Wajahnya kelihatan
begitu gembira melihat kedatangan Pandan Wangi yang membuatnya cemas semalaman
ini, hingga tidak dapat memejamkan mata sedikit pun.
"Ayo.... Mari masuk," ajak Ki Sarumpat.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Mereka lantas
melangkah beriringan, menyeberangi halaman depan yang tidak begitu luas ini. Dan
kedua orang yang usianya berbeda jauh itu terus masuk ke dalam ruangan depan
rumah kepala desa ini. Dari dalam, muncul Selasih bersama ibu dan saudara
-saudaranya. Mereka kelihatan senang melihat Pandan Wangi datang lagi tanpa
kurang suatu apa pun. Bahkan begitu gembiranya, Selasih langsung menangis
memeluk si Kipas Maut ini. Dan itu membuat Pandan Wangi jadi kelabakan sendiri.
Selasih baru melepaskan pelukannya, setelah ibunya menepuk lembut pundaknya dari
belakang. Selasih kemudian duduk di sebelah gadis Pendekar dari Karang Setra
ini. "Bagaimana kau bisa lolos dari mereka, Pandan?"
tanya Ki Sarumpat ingin tahu.
"Mereka menganggapku seperti gadis lainnya. Dan aku sama sekali tidak terjaga,"
sahut Pandan Wangi menjelaskan dengan singkat.
"Kau tahu di mana sarang mereka sekarang?" tanya Ki Sarumpat.
"Ya," sahut Pandan Wangi seraya mengangguk.
"Di mana Pandan...?"
Pandan Wangi langsung berpaling ketika mendengar
suara dari ambang pintu di belakangnya. Bibirnya langsung mengembangkan senyum
melihat Rangga tahu tahu sudah ada di ambang pintu ini. Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang
-tiba tiba mengejutkan semua yang ada di dalam ruangan ini. Hanya Pandan Wangi
-saja yang kelihatan biasa, tidak terkejut sedikit pun.
Ki Sarumpat segera menggeser duduknya, memberi tempat pada Pendekar Rajawali
Sakti untuk duduk di sebelahnya. Dengan bibir menyunggingkan senyum, Rangga
kemudian duduk bersila di sebelah kepala desa itu. Tidak lagi tergambar
kecemasan di wajahnya seperti semalam.
"Kakang pasti tidak percaya kalau aku sudah tahu sarang mereka," kata Pandan
Wangi. "Katakan saja, di mana sarang mereka, Pandan, "
desak Rangga tidak sabar ingin tahu.
"Di kaki Gunung Cagarasa ini," sahut Pandan Wangi.
"Di sini...?" desis Ki Sarumpat heran.
"Benar!"
"Di dalam benteng Nyai Lestari," jelas Pandan Wangi.
"Kau jangan main main, Pandan," sentak Rangga tidak percaya.-Bukan hanya Rangga yang tidak percaya, tapi Ki Sarumpat pun sampai memandangi
Pandan Wangi dengan sinar mata tidak percaya. Mereka semua tahu,
Nyai Lestari adalah seorang tabib wanita yang sangat sakti dan tidak pernah
berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Apalagi, sampai mencelakakannya.
Bahkan semua orang yang tinggal di desa desa sekitar kaki Gunung Cagarasa ini
-mengenalnya dengan baik.
Nyai Lestari tidak pernah memandang golongan dalam menolong orang. Siapa saja
yang membutuhkan pertolongannya akan dilayani dengan baik. Bahkan dia tidak
pernah meminta imbalan dari orang yang ditolongnya. Karena kehidupannya sudah
serba berkecukupan. Tinggalnya saja di dalam sebuah bangunan seperti istana yang
dikelilingi pagar benteng, dengan pelayan pelayan dan pengawal yang tidak
-sedikit jumlahnya. Karena, memang Nyai Lestari bukan hanya seorang tabib wanita.
Tapi, dia juga seorang guru ilmu olah kanuragan. Tempat tinggalnya juga selalu
disebut padepokan. Hanya saja, Nyai Lestari tidak pernah menggunakan nama untuk
tempat tinggalnya.
Dan dia juga tidak pernah mau menyebutkan kalau tempat tinggalnya adalah sebuah
padepokan silat.
"Aku tidak main main, Kakang. Aku dibawa ke sana.
-Aku bahkan, tahu siapa itu Ki Gopar. Dia ternyata masih muda. Ya..., seusiamu,
Kakang," jelas Pandan Wangi, meyakinkan.
"Tidak mungkin...," desis Ki Sarumpat.
"Apanya yang tidak mungkin, Ki" Aku benar benar jelas melihatnya. Bahkan dia
-sempat bicara pada orang yang menculikku. Semua yang dibicarakannya kudengar.
Dia memang membutuhkan seorang gadis yang masih suci untuk dijadikan korban pada
malam purnama nanti.
Untung dia meragukan kesucianku, karena orang
suruhannya melihatmu di rumah ini, Kakang Rangga. Ki Gopar menduga, kalau kau
adalah suamiku. Dan dia menyuruh orangnya untuk menculik Selasih malam nanti,"
jelas Pandan Wangi lagi. "Tapi..."
"Tapi kenapa, Pandan?" desak Rangga minta diteruskan.
"Aku memang tidak melihat Nyai Lestari ada di sana," sahut Pandan Wangi.
*** Rangga dan Ki Sarumpat jadi saling berpandangan.
Mereka langsung menduga, kalau telah terjadi sesuatu pada diri tabib wanita itu.
Tapi, mereka memang tidak berani menduga terlalu jauh. Sementara, Pandan Wangi
sudah melanjutkan ceritanya tanpa diminta lagi. Dan mereka kembali terdiam,
mendengarkan cerita si Kipas Maut ini.
"Setelah dia tahu aku kabur, Ki Gopar langsung membunuh orang suruhannya yang
menculikku. Dan sekarang, orang orangnya sedang mencariku. Bahkan aku melihat -ada yang menuju ke desa ini," jelas Pandan Wangi lagi.
"Kau kenali orang orangnya?" tanya Rangga lagi.
-Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Dan Rangga
tidak bertanya lagi. Dia percaya, Pandan Wangi bisa melihat jelas pada jarak
yang cukup jauh, walau keadaan sekelilingnya gelap. Karena, gadis itu sudah
diajarkan sedikit ilmu 'Tatar Netra'. Ilmu yang digunakan untuk membuat
pandangan mata menjadi lebih terang, walau dalam keadaan gelap bagaimanapun.
Tapi memang Pandan Wangi belum sempurna mempelajarinya, sehingga pandangannya masih tetap terbatas, tidak seperti yang
telah dikuasai Pendekar Rajawali Sakti.
"Sekarang ini mereka tentu sudah sampai di batas desa, karena menunggang kuda,"
sambung Pandan Wangi memberitahu lagi.
"Rangga! Sebaiknya hadang mereka sebelum membuat kekacauan di sini," pinta Ki
Sarumpat langsung.
Rangga hanya diam saja, tapi kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke pintu.
Pandan Wangi bergegas mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Tapi belum juga sampai
ke pintu, Ki Sarumpat sudah memanggilnya.
"Senjatamu, Pandan...," Ki Sarumpat mengingatkan.
Pandan Wangi langsung menghentikan langkahnya, dan memutar tubuhnya kembali.
Sementara Ki Sarumpat sudah menghilang ke dalam kamarnya. Tapi, tidak lama dia kembali lagi
sambil membawa sebilah pedang bergagang kepala naga hitam dan sebuah kipas
berwarna putih keperakan.
Pandan Wangi menerima kedua senjatanya ini dan langsung mengenakannya. Tanpa
membuang buang-waktu lagi, gadis itu bergegas keluar menyusul Rangga yang sudah berada di depan
pintu pagar halaman rumah kepala desa ini. Si Kipas Maut segera menjajarkan
langkahnya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka pun terus
berjalan tanpa ada yang bicara lagi.
Sementara Ki Sarumpat langsung memerintahkan
anak dan istrinya menutup semua pintu dan jendela.
Sedangkan dia sendiri keluar dari rumahnya, ingin memberitahukan semua
penduduknya agar tidak ada yang keluar dari rumah. Terutama, anak anak gadis
-yang bisa saja menjadi incaran orang orangnya Ki Gopar untuk dijadikan korban
-malam purnama nanti.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi sudah jauh berjalan menuju perbatasan desa
itu. Mereka mendengar suara kentongan di pukul saling sambut.
Kedua Pendekar dari Karang Setra ini tahu arti suara kentongan itu menandakan
desa ini terancam bahaya, dan meminta semua orang masuk ke dalam rumah masing
-masing. "Ki Sarumpat benar benar seorang kepala desa yang baik," desah Pandan Wangi
-menggumam pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Ya! Dia selalu memikirkan keselamatan warganya,"
sambut Rangga. "Kukira tindakannya sangat tepat dengan meminta kita datang ke sini untuk
melindungi warga desanya dari Ki Gopar dan orang orangnya," kata Pandan Wangi
-lagi. "Benar, Pandan. Tapi sudah ada delapan orang gadis dari desa ini yang hilang."
"Mudah mudahan saja tidak ada lagi gadis yang hilang diculik," desah Pandan
-Wangi berharap.
Dan mereka tidak lagi berbicara. Sementara,
keadaan di Desa Kranggan ini sudah sunyi. Tidak terlihat seorang pun berada di
luar rumah. Rangga dan Pandan Wangi terus saja berjalan tanpa bicara lagi.
*** Rangga menghentikan langkah kakinya, setelah tiba di luar perbatasan Desa
Kranggan. Dan saat itu, terlihat lima orang menunggang kuda dengan cepat menuju
desa ini. Pandan Wangi langsung mengenali mereka yang memang orang orang suruhan-Ki Gopar. Dan salah seorang adalah Karun. Mereka langsung menghentikan kudanya,
begitu melihat ada dua orang menghadang di tengah jalan.
"Itu dia orangnya!" seru Karun langsung mengenali Pandan Wangi. "Tangkaaap...!"
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Empat orang yang bersama Karun, langsung
berlompatan turun dari punggung kuda masing masing.
-Dan mereka langsung saja berlompatan mengepung dua orang pendekar muda dari
Karang Setra ini. Tapi, tidak ada seorang pun di belakang kedua pendekar ini.
Sementara, Karun sendiri tetap berada di punggung kudanya. Dan empat orang itu
sudah mencabut golok masing masing. Rangga dan Pandan Wangi hanya memperhatikan
-saja dengan sinar mata tajam.
"Biar aku yang hadapi mereka, Kakang," pinta Pandan Wangi.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.
Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya juga ke belakang, memberi kesempatan
pada Pandan Wangi untuk menghadapi orang orang ini. Sepertinya, diyakininya
-betul kalau Pandan Wangi bisa mengatasi mereka dengan mudah. Sehingga, Pendekar
Rajawali Sakti merasa tidak perlu harus turun tangan sendiri.
Sementara, Pandan Wangi sudah mengembangkan
Kipas Mautnya di depan dada.
"Serang! Tangkap gadis itu...!" perintah Karun tiba-tiba, dengan suara keras
menggelegar. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, empat orang itu langsung berlompatan menyerang Pandan Wangi
dengan sabetan golok yang cepat. Tapi Pandan Wangi yang sudah siap menerima
serangan sejak tadi, cepat melompat ke belakang. Kipas putihnya langsung
dikebutkan ke depan, menyampok tebasan golok salah seorang lawannya yang berada
tepat di depannya.
Trang! "Yeaaah...!"
Begitu golok lawannya terpental terkena sambaran Kipas Maut, Pandan Wangi
langsung saja melesat dengan tubuh sedikit meliuk ke kiri. Langsung
dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi. Begitu cepat tendangannya, sehingga lawan yang berada tepat di
depannya tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....
Diegkh! "Akh...!"
Pemuda itu menjerit keras, begitu tendangan Pandan Wangi menghantam tepat
dadanya. Seketika orang itu terbanting keras sekali ke tanah. Hanya sedikit saja
dia menggeliat, kemudian diam tidak bergerak gerak lagi.-"Hap! Yeaaah...!"
Saat itu Pandan Wangi sudah harus cepat merunduk, ketika satu sambaran golok
datang dari sebelah kanan.
Cepat tangan kanannya dikibaskan ke samping, di saat
golok itu menyambar lewat di atas kepala. Begitu cepat kibasan tangan kanan yang
memegang kipas putih ini, hingga lawan yang berada di sebelah kanan tidak sempat
lagi menyadarinya.
Bret! "Aaaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, disusul ambruknya seorang
lagi dengan perut terbelah mengeluarkan darah segar.
Dalam beberapa gebrakan saja, Pandan Wangi sudah
bisa merobohkan dua orang. Dan ini membuat kedua bola mata Karun jadi terbeliak
lebar, seakan tidak percaya kalau gadis yang semalam diculik temannya memiliki
kepandaian yang begitu tinggi. Sehingga dalam waktu yang begitu singkat, dua
orang bisa dirobohkannya. Dan dua orang lagi yang tersisa, kelihatan ragu ragu untuk menyerang. Namun
-ketika mereka mendengar teriakan perintah dari Karun, mereka langsung saja
berlompatan secara bersamaan menyerang si Kipas Maut ini.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hap! Shyaaa...!"
Sungguh cepat gerakan Pandan Wangi, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa.
Hanya kilatan cahaya putih dari kipasnya saja yang terlihat berkelebat begitu
cepat, menyambar dua orang penyerangnya. Dan entah bagaimana caranya, tahu tahu
-dua orang pemuda itu sudah ambruk ke tanah disertai jeritan panjang yang
menyayat hati. Tampak dada dan leher mereka
terbelah, membuat darah mengucur deras membasahi tanah.
"Hah..."!"
Karun jadi tersentak kaget setengah mati. Seakan tidak dipercayai kalau empat
orang yang dibawanya dengan mudah sekali dapat dirobohkan oleh seorang gadis
cantik yang semalam diculik Sarkam.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Karun langsung saja memutar kuda dan cepat
menggebahnya meninggalkan
kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Sebentar saja, Karun sudah tidak
terlihat lagi tertelan lebatnya pepohonan di dalam hutan yang berbatasan
langsung dengan Desa Kranggan ini. Hanya debu saja yang masih terlihat mengepul
membumbung tinggi di angkasa.
Sementara, Pandan Wangi hanya berdiri tegak
memandangi di antara empat sosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Sedangkan
Tiga Mutiara Mustika 1 Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen Manusia Srigala 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama