Ceritasilat Novel Online

Rahasia Candi Tua 2

Pendekar Rajawali Sakti 125 Rahasia Candi Tua Bagian 2


"Mau kemana, Kakang?" tegur Pandan Wangi ketika Rangga bangkit berdiri.
"Jalan-jalan," sahut Rangga.
"Aku ikut," Pandan Wangi bergegas berdiri.
Rangga memandang pada Ki Sarpa.
"Pergilah kalian, mengendurkan ketegangan memang perlu," kata Ki Sarpa, seakan ia menger?ti arti dari pandangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Tinggal dulu, Ki," ujar Pandan Wangi.
Mereka kemudian berjalan perlahan mening?galkan tempat itu. Pandan Wangi melingkarkan tangannya ke lengan Pendekar Rajawali Sakti yang berjalan di sampingnya. Sedangkan Rangga membiarkan saja gadis itu bersikap manja padanya. Dia bisa mengerti kalau kesempatan seperti itu memang sangat jarang sekali mereka dapatkan. Dan Pandan Wangi selalu berharap bisa menyisihkan waktu sedikit saja untuk berdua de?ngan kekasihnya.
Mereka semakin jauh meninggalkan Kaki Bukit Gandrik yang semakin dipenuhi orang-orang dari rimba persilatan. Suasana tegang dan bising sudah tidak terdengar lagi. Pandan Wangi semakin merapatkan tubuhnya dengan Pendekar Rajawali Sakti, dia benar-benar ingin melepaskan semua persoalan yang sedang mereka hadapi sekarang ini. Persoalan yang sebenarnya tidak dia inginkan sama sekali.
"Kakang...," lembut sekali suara Pandan Wangi.
"Hmmm,..," Rangga hanya menggumam.
"Kakang sudah punya cara lain untuk pergi ke sana?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab. Sebenar?nya inilah kesempatan sempit yang terbaik untuk bisa mencapai puncak bukit itu tanpa mengambil resiko yang tinggi. Hanya saja dia tidak siap un?tuk mengenalkan Rajawali Putih dengan Pandan Wangi. Atau mungkin juga Pandan Wangi yang belum siap.
"Sebenarnya aku mudah saja untuk bisa men?capai kesana, Pandan," kata Rangga setelah dia berpikir agak lama.
"Kalau begitu, kenapa tidak segera saja Ka?kang lakukan" Semakin cepat, semakin baik," kata Pandan Wangi yang memang ingin menyelesaikan semua ini dengan cepat.
"Aku khawatir kau belum siap," kata Rangga.
"Aku selalu siap untuk melakukan apa saja, Kakang," sahut Pandan Wangi mantap.
"Sudah berapa lama kau kenal denganku, Pandan?" tanya Rangga agak mendesah suara?nya.
"Kenapa Kakang tanyakan hal itu?" Pandan Wangi balik bertanya dengan heran.
Rangga tidak langsung menjawab. Lidahnya mendadak jadi kelu. Dia ingin mengatakan kalau memiliki tunggangan seekor burung rajawali rak?sasa. Tapi dia tidak ingin Pandan Wangi terkejut dan menuduhnya yang tidak-tidak, karena burung rajawali raksasa bukan burung biasa. Burung itu bagaikan dewa yang menjelma untuk memberantas keangkaramurkaan dengan menjadikan seorang manusia sebagai pendekar tangguh yang sukar dicari tandingannya.
"O..., aku tahu. Kau tentu saja bisa dengan mudah ke puncak bukit itu. Kau kan mempunyai tunggangan rajawali raksasa, Kakang. Kenapa ti?dak kau gunakan saja...?" ujar Pandan Wangi.
"Heh...! Dari mana kau tahu?" Rangga terperanjat.
"Sudah lama aku tahu. Kakang," sahut Pan?dan Wangi kalem.
Rangga memandangi gadis itu dalam-dalam. Sungguh dia tidak menyangka kalau Pandan Wangi mengetahui tentang Burung Rajawali Pu?tih Raksasa. Seingatnya, Rangga tidak pernah memberitahukan tentang Rajawali Putih pada siapapun. Bisa dihitung dengan jari tangan, orang-orang yang mengetahui tentang tung?gangannya itu.
"Kakang ingat peristiwa di Rimba Teng?korak?" kata Pandan Wangi mencoba mengingatkan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Maksudmu...?" tanya Rangga tidak menger?ti.
"Waktu aku pernah dijuluki Perawan Rimba Tengkorak, Kakang. Aku tahu tentang Rajawali Putih di sana. Bahkan aku melihat kau menungganginya. Rasanya aku pernah katakan itu padamu, kan" Dan aku juga pernah melihat burung raksasa itu mengamuk, membantai orang-orang Tengkorak Putih. Masa sih sudah lupa...," Pandan Wangi kembali mengingatkan.
"Gundul apek...!" desis Rangga seraya menepak keningnya sendiri.
Dia baru ingat kalau Pandan Wangi sudah mengetahui tentang Rajawali Putih. Bahkan ketika mereka bersama-sama lagi setelah menumpas gerombolan Tengkorak Putih, dia membawa Pandan Wangi mengarungi angkasa bersama Rajawali Putih. Tentu saja Pandan Wangi sudah mengetahui. Dan mereka sudah mengenal satu sama lainnya. Rangga benar-benar merutuki dirinya sendiri yang sudah melupakan peristiwa itu.
Sejak siang tadi dia selalu memikirkan hal ini. Dan ternyata Pandan Wangi sendiri sudah me?ngetahui tentang Rajawali Putih. Kalau saja dia ingat. untuk apa bersusah payah memikirkan se?suatu yang tidak perlu dilakukan. Lagi-lagi Rangga merutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Ayo, Pandan. Kita jangan buang waktu," ujar Rangga.
"Mau kemana...?" tanya Pandan Wangi.
"Mencari tempat yang baik untuk memanggil Rajawali Putih." sahut Rangga langsung menyeret gadis itu.
"Bagatmana dengan Ki Sarpa, Kakang?" Pan?dan Wangi kembali mengingatkan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku tidak mungkin membawanya sekalian, Pandan," sahut Rangga.
Tapi...." "Dia bisa menjaga dirinya," sentak Rangga memutuskan ucapan gadis itu.
Pandan Wangi hanya mengangkat bahu saja.
"Lagi pula aku tidak suka dengan tujuannya datang ke sini, Pandan," sambung Rangga.
"Kenapa?" Pandan Wangi ingin tahu.
"Dia sama saja dengan yang lainnya. Men?cari benda pusaka hanya untuk kepuasan diri sendiri."
"Tapi tujuannya mulia, Kakang."
"Apapun tujuannya, aku tidak suka orang-orang yang selalu meributkan sesuatu yang bukan miliknya. Saling bunuh dan sering terjadi jika semua orang selalu meributkan benda-benda pusaka."
"Lantas, jika kau yang mendapatkannya, bagaimana?" tanya Pandan Wangi ingin mengetahui isi hati Pendekar Rajawali Sakti.
"Memberikannya pada yang berhak. Kalau pun tidak ada, aku tinggalkan di tempatnya semula, karena aku tidak berhak memilikinya," tegas sekali jawaban Rangga.
Pandan Wangi kembali terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Yang jelas, kekagumannya pada pemuda berbaju rompi pu?tih itu semakin menebal. Sementara mereka se?makin jauh saja meninggalkan kaki Bukit Gan?drik, dan pepohonanpun semakin terlihat jarang. Suasana semakin meremang, sebentar lagi ke?gelapan akan menyelimuti sekitarnya.
? *** ? "Suiiit...!"
Pandan Wangi menutup telinganya ketika Rangga bersiul nyaring dengan nada yang tinggi dan terdengar aneh sekali. Tampak Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak dengan kepala terdongak memandang lurus ke langit yang semakin terlihat gelap. Sementara matahari sudah demikian condong kearah barat.
Pandan Wangi yang berdiri tidak jauh di be?lakang pemuda berbaju rompi putih itu, ikut menengadahkan kepalanya ke atas. Tapi belum juga dia melihat adanya tanda-tanda kalau Rajawali Putih akan datang memenuhi panggilan Rangga.
"Suiiiit...!" kembali Rangga bersiul nyaring.
Kembali mereka menunggu dengan kepala terdongak ke atas. Namun tak berapa lama berselang, mereka sudah melihat adanya satu titik keperakan yang terlihat seperti titik hitam di angkasa. Semakin dekat, titik itu semakin terlihat jelas bentuknya. Pandan Wangi tak berkedip me?mandang Rajawali Putih yang sudah kelihatan jelas sekali, melayang-layang di angkasa sambil berkaokan keras dan serak.
"Khraaaaghk...!"
Rajawali Putih menukik turun dengan cepat sekali. Tahu-tahu dia sudah mendarat tidak seberapa jauh di depan Rangga. Sementara Pandan Wangi masih memandanginya dengan kagum dan keheranan yang amat sangat. Meskipun dia sudah pernah melihat sebelumnya, tapi tetap saja merasakan adanya kengerian bercampur keheranan dan kekaguman pada burung rajawali raksasa ini. Saat itu Rangga sudah melangkah mendekati. Rajawali Putih menyorongkan kepalanya. Rang?ga langsung memeluknya dengan hangat. Dia menepuk-nepuk leher burung raksasa berbulu putih keperakan itu.
"Aku memerlukan bantuanmu, Rajawali," kata Rangga setelah dia melepaskan pelukan pada leher burung raksasa itu.
"Khrrrkh...," Rajawali Putih hanya mengkirik mendekati.
"Apa..." Oooo..., itu Pandan Wangi. Kau su?dah pernah mengenalnya, kan...?" Rangga seperti bisa berbicara langsung dengan rajawali itu.
"Khragkh...!"
"Ha ha ha ha...! Ternyata kau dikenali, Pan?dan," ujar Rangga seraya tertawa terbahak-bahak.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja agak meringis. Gadis itu melangkah menghampiri. Rajawali Putih menyorongkan kepalanya pada Pandan Wangi. Karena tadi melihat Rangga memeluk burung itu dengan mesra sekali, Pandan Wangi langsung memeluk leher burung raksasa, meskipun ada sedikit kengerian di hatinya.
"Ayo. Kita berangkat sekarang," ajak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti segera naik ke punggung burung raksasa berbulu putih keperak?an. Sedangkan Pandan Wangi masih berdiri saja memandangi Rangga tampak gagah sekali berada di punggung Rajawali Putih.
"Ayo, Pandan. Cepat naik...!" ajak Rangga agak keras suaranya.
"Kau saja sendiri, Kakang," Pandan Wangi menolak halus.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian di sini, Pandan. Cepatlah naik, sebelum ada orang yang lewat ke sini," desah Rangga.
Pandan Wangi terlihat ragu-ragu. Masih terbayang saat pertama kali dia menunggangi bu?rung raksasa ini. Kengerian berada jauh di angkasa. tak bisa terlupakan selama hidupnya. Mes?kipun tidak akan mungkin Rajawali Putih menjatuhkannya, tapi tetap saja dia merasakan kengerian bila berada tinggi di angkasa.
"Kau saja sendiri, Kakang," kata Pandan Wangi tetap menolak dengan halus.
"Tidak! Kau harus ikut, Pandan," Rangga memaksa.
"Tapi...!"
Belum juga Pandan Wangi selesai dengan ucapannya, mendadak saja Rangga melesat dan langsung menyambar gadis itu. Tentu saja Pan?dan Wangi terkejut bukan main. Dia sampai ter?pekik kaget. Namun belum juga dia bisa me?nyadari apa yang terjadi, Pandan Wangi sudah merasakan dirinya melambung tinggi ke angkasa.
"Kakang...!" jerit Pandan Wangi begitu dia sadar sudah berada di punggung Rajawali yang melayang tinggi ke angkasa.
"Tidak apa-apa, Pandan. Nanti juga kau terbiasa," kata Rangga kalem.
Pandan Wangi tidak sanggup melihat ke bawah. Dia memegangi tangan Rangga kuat-kuat. Telinganya terasa pekak mendengar deru angin yang begitu keras. Sementara Rajawali Putih semakin tinggi berada di udara.
"Ke bukit itu, Rajawali...!" seru Rangga se?raya menunjuk puncak Bukit Gandrik.
"Khraghk...!"
Rangga mengerahkan Aji Tatar Netra agar bisa melihat lebih jelas ke sekitar puncak Bukit Gandrik yang mulai terselimuti kegelapan. Perhatiannya kemudian tertuju langsung ke arah bangunan candi yang sudah tua, terletak tepat di tengah-tengah puncak bukit gersang berbatu. Agak heran juga dia, karena tidak seorangpun terlihat disekitar puncak bukit itu.
Turun di belakang candi itu, Rajawali!" seru Rangga keras. Mengalahkan deru angin yang memekakkan telinga.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih menukik deras ke bawah. Se?mentara Pandan Wangi yang berada di depan Rangga, memejamkan matanya, tidak sanggup melihat ke bawah lagi. Jantungnya seperti ber?henti berdetak seketika begitu merasakan Raja?wali Putih yang ditungganginya menukik turun dengan kecepatan melebihi kilat.
"Hup.....!"
Rangga langsung melompat turun begitu Rajawali Putih mendarat dengan manis sekali dipuncak Bukit Gandrik yang seluruhnya terdiri dari bebatuan keras.
Merasakan Rajawali Putih sudah mendarat, Pandan Wangi membuka matanya. Dia langsung melompat turun dengan cepat. Wajahnya agak memucat. Dia bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lebih dulu turun dari punggung Rajawali Putih tunggangannya.
"Kau jangan kemana-mana, Rajawali," pesan Rangga.
"Khrrrk...," sahut Rajawali Putih mengkirik perlahan.
"Ayo, Pandan."
Rangga melangkah menuju ke bangunan can?di tua itu seraya mengapit tangan Pandan Wangi. Bergegas gadis itu mengikuti dan melangkah di sampingnya. Kengerian masih membayang pada sorot mata gadis itu. Beberapa kali dia menoleh ke belakang, memandang Rajawali Putih yang sudah mendekam menunggu. Sementara mereka semakin dekat pada candi tua yang seluruhnya terbuat dari batu. Mereka sengaja mengambil jalan memutar menuju ke bagian depan.
Mereka baru berhenti melangkah setelah sampai di bagian depan candi itu. Rangga mengamati candi tua itu dengan mata tidak berkedip. Sementara Pandan Wangi mengedarkan pandangannya berkeliling. Suasana disekitar candi tua ini begitu sunyi sekali. Tak ada seorangpun terlihat. Bahkan tak ada sedikitpun suara yang terdengar. Hanya desiran angin saja yang terde?ngar mengusik gendang telinga.
"Aku mau lihat ke dalam. Kau mau ikut, Pan?dan?" ujar Rangga tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun.
"Iya," sahut Pandan Wangi agak mendesah suaranya.
Kembali mereka mengayunkan kakinya per?lahan mendekati pintu candi yang terbuka lebar tanpa penutup. Namun belum juga mereka mendekat, mendadak saja...
"Awas, Pandan...!" teriak Rangga.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke samping sambil mendorong Pandan Wangi ke arah yang berlawanan. Secercah sinar kuning kehijauan, mendadak melesat lewat dari dalam candi. Sinar kuning kehijauan berbentuk bulat itu, langsung menghantam sebongkah batu besar yang berada tidak jauh dari tepi puncak bukit.
Glarrrr! Suara ledakan keras terdengar bersamaan dengan hancurnya batu itu hingga berkeping-keping. Berguguran ke bawah. Dan sebelum Rang?ga bisa melakukan sesuatu, kembali bola bersinar kuning kehijauan, meluncur deras ke arahnya dari dalam candi. Cepat-cepat Rangga melentingkan tubuhnya ke udara dan berputar be?berapa kali. Cahaya kuning kehijauan itu, lewat sedikit di bawah tubuhnya.
Kembali terdengar suara ledakan dahsyat ke?tika sinar kuning kehijauan berbentuk bulat sebesar kepala bayi menghantam batu. Di Puncak Bukit Gandrik ini memang tidak ada yang bisa dilihat. Sepanjang mata memandang, hanya bongkahan batu saja yang bisa dinikmati. Sung?guh pemandangan yang tidak sedap di pandang mata.
"Hap...!"
Rangga mendarat dengan manis sekali. Dia langsung bersiap menerima serangan berikutnya. Namun serangan yang ditunggu-tunggunya tidak juga kunjung datang. Sementara Pandan Wangi terpisah darinya sekitar tiga tombak. Gadis itu juga rupanya sudah siap dengan segala ke mungkinan yang terjadi. Dia sudah menggenggam senjata mautnya yang berbentuk sebuah ki?pas dari baja putih. Kipas itu masih tertutup tergenggam erat sekali di tangan kanannya.
"Ha ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa meng?gelegar. Begitu kerasnya suara tawa itu, membuat telinga mereka terasa sakit berdengung. Rangga segera menggerakkan kedua tangannya di depan dada. Suara tawa itu jelas dikerahkan dengan menggunakan penyaluran tenaga dalam yang tinggi. Sementara Pandan Wangi berdiri tegak dengan kipas terkembang di depan dada. Dan tangan kirinya menyilang dengan kipasnya. Gadis itu juga mencoba bertahan dari gempuran tenaga dalam tingkat tinggi yang dikeluarkan dengan menggunakan suara tawa.
Namun suara tawa itu tidak lama berlangsung. Meskipun hanya sebentar saja, sudah mem?buat Pandan Wangi merasa tersiksa. Karena dia harus menggunakan seluruh kemampuannya un?tuk mengadakan perlawanan terhadap suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Dan sebelum ada yang sempat berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja dari dalam candi melesat satu bayangan putih mengarah kepada Pandan Wangi. Hal ini membuat Rangga terkejut bukan main. Bergegas dia melentingkan tubuhnya, hendak menghentikan serangan bayangan putih itu pada si Kipas Maut.
Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa mencapai ke arah Pandan Wangi, mendadak saja dari dalam candi tua itu kembali melesat satu bayangan putih lagi yang memotong arus lompatan Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!"
Cepat-cepat Rangga melentingkan tubuhnya, berputar dua kali ke belakang, sehingga terjangan bayangan putih itu tidak sampai mengenai sasaran. Sementara Pandan Wangi sudah terlihat pertarungan sengit melawan seorang berbaju pu?tih yang ketat dan bersenjatakan sebuah tongkat putih keperakan dengan kedua ujungnya berben?tuk runcing. Dan Rangga tidak sempat lagi memperhatikan gadis itu, karena dia sendiri sudah sibuk menghindarkan serangan-serangan cepat dan dahsyat dari seorang yang tidak dia kenal.
? *** ? 6 ? ? Pertarungan di pelataran depan candi tua te?rus berlangsung dengan sengit sekali. Lawan-lawan yang dihadapi Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut, ternyata memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk mengakhiri pertarungan ini dengan cepat. Terlebih lagi mereka selalu menggunakan sen?jata rahasia bila dalam keadaan terdesak. Hal ini menjadikan satu kesulitan tersendiri bagi Rangga dan Pandan Wangi. Karena harus lebih berhati-hati menghadapi lawannya masing-masing.
Rangga yang sudah berpengalaman dalam berbagai macam pertarungan, sudah bisa me?ngetahui kelemahan lawannya. Dengan cepat dia merubah cara bertarungnya. Dan ini membuat lawannya jadi kelabakan juga menghadapi cara bertarung Pendekar Rajawali Sakti yang dahsyat.
Tahan...!" tiba-tiba Rangga berseru nyaring.
Bet! Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya kearah kepala orang berbaju putih itu. Serangan cepat dan mendadak yang dilakukan Rangga, tak bisa terbendung lagi. Terlebih lagi orang berbaju serba putih itu baru saja menghindari satu tendangan keras yang dilepaskan Rangga ke arah perutnya. Dan dia tidak mungkin menarik tubuhnya kembali, dengan kepala doyong ke depan. Sehingga....
Prak! "Aaaa...!" Orang berbaju serba putih itu menjerit keras, melengking tinggi.
Tubuhnya seketika limbung dengan tangan memegangi kepalanya. Darah merembes ke luar dari sela-sela jari tangan. Dan belum sempat dia menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali Pen?dekar Rajawali Sakti memberikan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Deghk! "Akh...!" lagi-lagi orang berbaju serba putih itu menjerit keras.
Seketika tubuhnya terlontar ke belakang sejauh dua tombak. Keras sekali dia tersuruk jatuh menghantam tanah berumput. Hanya sebentar saja di mampu menggelepar seraya mengerang menahan sakit. Kemudian diam tak bernyawa lagi. Darah terus mengucur deras dari kepalanya yang hancur, terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan dadanya melesak masuk ke dalam dengan tulang-tulangnya, bersembulan ke luar. Rupanya tendangan Rangga tadi, begitu keras dan bertenaga dalam tinggi sekali.
"Phuiiiih...!" Rangga menyemburkan napas?nya dengan kuat sekali.
Di dalam hatinya dia mengakui ketangguhan orang itu, meskipun mereka bertarung tidak menggunakan ilmu kesaktian sedikitpun juga. Namun ilmu olah kanuragan yang dimiliki orang berbaju putih itu sangat tinggi sekali, sehingga Rangga terpaksa mengeluarkan seluruh kemam?puan tenaga dalamnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hmmm...," Rangga bergumam seraya memutar tubuhnya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menatap Pandan Wangi yang masih bertarung sengit dengan lawannya. Kali ini juga rupanya Pandan Wangi mendapatkan lawan yang cukup tangguh. Sehingga si Kipas Maut bukan hanya mengguna?kan senjata kipasnya yang sudah terkenal maut nya itu. Tapi dia juga mengeluarkan pedang Naga Geni. Pedang yang sangat luar biasa dahsyatnya. Dan Pandan Wangi tidak akan mengeluarkan pedang itu jika dia tidak merasa perlu.
Meskipun mereka bertarung dalam tempo yang sangat cepat sekali, namun Pendekar Raja?wali Sakti masih bisa melihat dengan jelas serangan-serangan yang dilakukan kedua orang itu. Ka?lau orang biasa yang menyaksikan pasti hanya akan melihat dua bayangan putih dan biru berkelebatan saling sambar saja. Karena pertarung?an itu memang berjalan sangat cepat sekali. Me?reka memang sudah menggunakan jurus-jurus simpanannya.
"Perlu bantuan, Pandan...?" teriak Rangga.
"Tidak...!" sahut Pandan Wangi keras.
Rangga hanya tersenyum saja. Jawaban Pan?dan Wangi yang terdengar keras dan tegas itu, sudah diduganya sejak semula. Dan memang Pan?dan Wangi tidak memerlukan bantuan dari Pendekar Rajawali Sakti, karena pada saat itu, dia sudah mampu mendesak lawannya dengan hebat. Dengan dua senjata maut berada di tangan, Pan?dan Wangi memang sukar untuk ditandingi.
"Lepas...! Yeaaah...!" seru Pandan Wangi tiba-tiba.
Bagaikan kilat, Pandan Wangi menebaskan pedangnya yang berada di tangan kanan ke arah leher orang berbaju serba putih itu. Namun de?ngan manis sekali, orang itu mengelakkannya de?ngan menarik kepalanya sedikit ke belakang. Sehingga tebasan pedang Pandan Wangi hanya lewat sedikit saja di depan lehernya.
"Hiyaaat...!"
Namun sebeum dia sempat mengembalikan posisi kepalanya, mendadak saja Pandan Wangi sudah mengibaskan senjata kipas baja putihnya kearah dada. Dan kibasan yang cepat itu, tak bisa dihindarkan lagi.
Bet! Cras! "Aaaakh...!" Orang itu menjerit melengking tinggi.
Ujung kipas Pandan Wangi yang runcing dan tajam, membelah dada orang berbaju serba putih.
Saat orang berbaju putih itu sedang terhuyung-huyung ke belakang, Pandan Wangi sudah melompat cepat sambil mengibaskan Pedang Naga Geni dengan kecepatan kilat.
"Hiyaaat..!"
Crakh! "Aaa...!" orang itu menjerit panjang itu. Darah seketika muncrat ke luar tak terbendung lagi, orang berbaju putih itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya. Pada saat itu, Pandan Wangi sudah melompat cepat sambil mengibaskan pedang Naga Geni dengan kecepatan bagai kilat.
"Hiyaaat...!"
Crakh! "Aaaa...!" kembali orang itu menjerit panjang melengking tinggi.
Dan sebelum orang itu bisa merasakan ba?gian tubuh mana yang terkena sabetan pedang Pandan Wangi, dengan cepat sekali si Kipas Maut sudah memberikan satu tendangan menggeledek bertenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Degkh! Orang berbaju serba putih itu tak mampu bersuara lagi. Tubuhnya langsung terjajar ke belakang dan ambruk ke tanah dengan keras sekali. Seketika kepalanya terpisah dari leher. Darah kembali menyemburat ke luar dengan deras dari leher yang buntung tak berkepala lagi. Rupanya serangan Pandan Wangi yang terakhir itu membuat nyawa lawannya langsung terpisah dari raganya.
Pandan Wangi menghembuskan napas pan?jang dan berat. Dia memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangkanya di punggung. Ke?mudian dia melangkah menghampiri Rangga sambil memain-mainkan kipasnya di depan dada. Kemudian dia melipat kipas itu dan menyelipkan di sabuk depan perutnya setelah sampai di hadapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagaimana menurutmu?" Rangga malah memberikan pertanyaan.
"Lho..."! Kau kan yang punya urusan, kenapa tanya aku...?" Pandan Wangi mendelik manja.
Rangga tersenyum, kemudian dia mengayunkan kakinya mendekati pintu candi yang tetap terbuka tanpa penutup. Sementra Pandan Wangi mengikuti di samping kanan agak ke belakang satu langkah.
Pendekar Rajawali Sakti kembali menghentikan ayunan kakinya sekitar lima langkah lagi di depan pintu candi itu. Tak ada yang dapat dilihat di dalam sana dari luar. Keadaannya sangat gelap sekali, sukar untuk menembus dengan penglihatan mata biasa. Untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiam diri saja dengan pandangan lurus tak berkedip ke arah pintu candi itu.
"Rasanya tidak ada orang di dalam sana. Kakang," bisik Pandan Wangi pelan.
"Hmmm...," Rangga hanya bergumam saja perlahan.
"Silahkan masuk, Pendekar Rajawali Sak?ti...!" tiba-tiba terdengar sebuah suara berat dari arah dalam candi tua itu.
Bukan hanya Pandan Wangi yang terkejut, tapi juga Rangga sempat terhenyak mendengar suara itu. Yang membuat Rangga terkejut, pemilik suara itu sudah mengetahui tentang dirinya. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi menganggap ringan. Dia tidak tahu, siapa pemilik suara yang terdengar berat.
"Tidak perlu kau ragu, Pendekar Rajawali Sakti. Masuklah, aku sudah menunggu sejak tadi," kata suara itu lagi.
Rangga berpaling sedikit, menatap Pandan Wangi yang kini sudah berada dekat di sampingnya. Sedangkan pada saat yang sama, si Kipas Maut juga memandang pada Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan mereka sama-sama meminta persetujuan atas undangan pemilik suara yang berat dari dalam candi.
"Sebaiknya kau tunggu di luar saja. Pandan," kata Rangga perlahan.
"Tidak! Aku ikut," sentak Pandan Wangi cepat.
"Kita harus waspada, Pandan. Kau berjaga-jaga di luar, kalau kalau ada sesuatu," kata Rangga lagi.
"Kita hadapi bersama, Kakang. Tidak ada yang perlu dijaga di luar sini," Pandan Wangi tetap pada pendiriannya.
"Ha ha ha ha...! Kenapa kalian berdebat" Masuklah kalian berdua ke sini. Aku tidak keberatan jika yang bersamamu itu si Kipas Maut," kembali terdengar suara berat dari dalam candi.
Rangga kembali memandang Pandan Wangi. Dia mengangkat bahunya sedikit. Kemudian kakinya terayun melangkah masuk ke dalam can?di tua. Pandan Wangi mengikuti dari belakang.
Mereka terus melangkah perlahan semakin masuk ke dalam candi yang gelap, tanpa sedikitpun ada cahaya yang meneranginya.
Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang cukup besar dengan dinding lantai dan langit langit semuanya terbuat dari batu hitam berkilat. Seberkas cahaya api yang menyala tepat di tengah-tengah ruangan ini, sedikit memberikan penerangan, sehingga Rangga dan Pan?dan Wangi bisa melihat meskipun api itu tidak seluruhnya bisa menerangi setiap sudut ruangan.
"Hmmm...," kembali Rangga memperdengarkan suara bergumam yang kecil.
"Ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti," ter?dengar lagi suara berat yang agak menggema.
Rangga menolehkan kepalanya ke kanan. Terlihat dinding di sebelah kanannya, tiba-tiba saja bergerak menggeser ke samping. Suara menggemuruh terdengar, seakan-akan hendak meruntuhkan seluruh dinding ruangan. Perlahan namun pasti, dinding batu itu terus bergerak menggeser. Hingga akhirnya terpampang sebuah ruangan yang tidak kalah besarnya dari ruangan sebelumnya. Dan keadaannya juga sangat terang benderang.
Rangga mengayunkan kakinya memasuki ruangan itu. Pandan Wangi mengikuti dengan mensejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Saat mereka sudah bergerak di dalam ruangan itu, dinding batu tadi kembali bergerak menutup.
"Silahkan beristirahat dulu, Pendekar Raja?wali Sakti. Aku berharap kau bisa menikmatinya." kembali terdengar suara tanpa ujud.
"Hmm....,"
Sambil bergumam pelan, Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Seluruh ruangan ini berdinding batu yang berwarna hitam berkilat. Lantainya pun terbuat dari batu. Juga langit-langitnya. Tak ada satu lubang jendela ataupun pintu. Ruangan ini benar-benar rapat, dikelilingi dinding batu. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti itu tertumbuk pada sebuah meja kayu jati yang panjang, terletak di tengah-tengah ruangan. Ada sekitar dua belas kursi mengelilingi meja panjang dan besar itu. Di atas meja tersedia makanan yang cukup mengundang selera dengan beberapa guci arak yang terbuat dari perak. Bah?kan semua yang ada di atas meja itu, terbuat dari perak bakar yang halus buatannya.
"Kita duduk dulu di sana, Pandan," kata Rangga mengajak.
Tanpa menunggu persetujuan Pandan Wangi, Pendekar Rajawali Sakti mendekati meja panjang itu dan menarik sebuah kursi. Kemudian dia duduk di sana. Pandan Wangi masih berdiri dengan mata beredar berkeliling. Kemudian dia menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan duduk di sampingnya.
"Selamat datang di Candi Sepuh, Pendekar Rajawali Sakti," tiba-tiba terdengar suara berat yang begitu dekat.
Rangga dan Pandan Wangi segera memalingkan mukanya ke arah datangnya suara itu. Dan mereka terkejut, karena tiba-tiba saja di ujung meja itu sudah duduk seorang laki-laki tua yang usianya mungkin sudah lebih dari sembilan puluh tahun.
Rangga memandangi laki-laki tua yang rambutnya sudah memutih semua tergelung ke atas terikat pita berwarna putih. Sedangkan pada ba?gian samping dan belakangnya dibiarkan terurai menjuntai ke bawah. Laki-laki tua itu mengenakan baju jubah panjang berwarna putih bersih. Sebatang tongkat berkeluk tak beraturan, tergenggam di tangan kanannya. Di leher terlilit sebuah kalung yang panjang, terbuat dari batu-batu mutiara bercahaya kebiruan.
Raut wajahnya terlihat begitu tenang, memancarkan cahaya, dengan sorot mata yang lembut, mencerminkan kearifan dan kebijaksanaan. Bukan hanya Rangga yang terpana melihat sosok laki-laki tua itu. Tapi juga Pandan Wangi sampai tak berkedip memandanginya.
"Aku mohon maaf jika cara mengundangku ini tidak berkenan di hatimu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar laki-laki tua itu dengan suara yang berat, namun terdengar adanya nada kelembutan dan kebijaksanaan.
"Hm, boleh aku tahu siapa Kisanak ini?" tanya Rangga dengan sikap yang sopan.
"Sebenarnya aku bernama Sundrata Tapi orang-orang selalu menyebutku Kakek Putih. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka selalu memanggilku dengan sebutan itu," sahut laki-laki tua itu memperkenalkan diri.
"Boleh aku memanggilmu dengan Eyang Sundrata?" pinta Rangga dengan sikap sopan.
"Dengan senang hati, Pendekar Rajawali Sakti," sambut Eyang Sundrata diiringi dengan senyuman manis.
Beberapa saat kemudian mereka hanya berdiam diri saja membisu. Beberapa kali Rangga melirik Pandan Wangi yang tidak lepas memandangi laki-laki tua itu. Sorot matanya begitu sukar untuk diterka dengan tepat. Rangga mengalihkan perhatiannya pada laki-laki tua yang mengaku bernama Eyang Sundrata.
Dan belum lagi ada yang membuka suara, tiba tiba saja dinding yang berada di belakang Eyang Sundrata bergerak menggeser ke samping. Kemudian seorang laki-laki berusia muda, sekitar dua puluh tahunan, masuk ke dalam ruang?an. Dia mengenakan baju warna putih yang agak ketat. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Pemuda itu melirik sedikit pada Rangga dan Pan?dan Wangi Kemudian dia mendekatkan mulutnya ke telinga Eyang Sundrata. Entah apa yang dibisikkan pemuda itu. Dia bergegas ke luar lagi dari ruangan, begitu Eyang Sundrata mengibas?kan tangannya sedikit. Dinding batu itu kembali bergerak menutup setelah pemuda itu melewatinya.
"Apakah kalian tadi mendapat sambutan yang tidak enak, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Eyang Sundrata.
"Maaf, Eyang. Aku tidak mengerti maksudmu...?" ujar Rangga dengan benak sudah menduga.
"Apakah yang Eyang maksudkan dua orang yang menyerang kami?" selak Pandan Wangi.
Rangga sempat melirik pada gadis itu sedikit. Tapi tidak mungkin dia meralat kembali ucapan gadis itu. Pandan Wangi memang selalu ceplas-ceplos. Dan masih sukar baginya untuk bisa menahan diri dalam berbicara. Salah satu wataknya yang sukar untuk dirubah lagi.
"Mereka adalah dua orang muridku yang kutugaskan menjaga bagian luar candi ini," sahut Eyang Sundrata tetap lembut suaranya.
"Maaf, Eyang. kami terpaksa membunuhnya," ujar Pandan Wangi lagi, menyelak.
Rangga agak terkejut juga mendengar kata-kata Pandan Wangi yang seperti tidak dipikirkan lebih dahulu. Namun Eyang Sundrata hanya tersenyum saja mendengar keterusterangan Pandan Wangi. Tidak ada sedikitpun tanda kalau dia gu?sar mendengar muridnya tewas di tangan dua orang pendekar ini.
Sikap Eyang Sundrata membuat Rangga mengerutkan keningnya. Biasanya, seorang guru akan marah bila muridnya diketahui tewas dalam pertarungan atau apapun. Tapi Eyang Sundrata malah tersenyum mendengar muridnya tewas ditangan dua orang pendekar muda ini. Tak sedikit pun dia terlihat marah ataupun gusar. Senyumnya malah semakin mengembang kala mendengar pengakuan Pandan Wangi yang polos dan berterus terang.
"Maafkan kelancangan kami, Eyang," ucap Rangga seraya melirik sedikit pada Pandan Wangi.
"Tidak mengapa, Pendekar Rajawali Sakti. Kalian toh terpaksa melakukannya karena membela diri," sahut Eyang Sundrata kalem.
"Jika Eyang tidak berkenan, kami akan mempertanggung jawabkannya," kata Rangga lagi.
"Tidak perlu kau risaukan masalah itu, Pen?dekar Rajawali Sakti. Kau tentu tidak menginginkan hal itu terjadi. Penyesalan yang kau ucapkan saja sudah cukup menyenangkan bagi hatiku," ujar Eyang Sundrata lagi. Suaranya ma?sih terdengar kalem, tanpa adanya nada kemarahan.
"Kenapa Eyang bersikap begitu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Aku yang menyuruh mereka untuk mencegah siapa saja yang mencoba masuk ke dalam candi ini. Dan sebenarnya aku juga tahu tentang pertarungan itu. Maaf, aku hanya sekedar menguji kalian, agar aku yakin kalau kalian benar-benar pendekar yang aku harapkan. Terutama kau, Pendekar Rajawali Sakti," Eyang Sundrata menjelaskan.
"Seharusnya Eyang mencegah sebelum me?reka tewas," Rangga menyesali.
"Mereka yang menghendaki begitu, Pende?kar Rajawali Sakti. Dan aku tidak mungkin bisa mencegahnya. Tekad mereka adalah mati untuk mempertahankan kesucian candi ini dari tangan-tangan kotor," kata Eyang Sundrata lagi.
Rangga tercenung seraya memandangi wajah laki-laki tua itu. Dia mulai bisa menangkap maksud dari undangan laki-laki tua ini dengan cara yang sebenarnya tidaklah layak dilakukan. Tapi di dalam dunia persilatan, hal seperti itu tidak aneh lagi. Sering terjadi dimana-mana. Laki-laki tua ini yang berada di dalam mimpi-mimpinya selama beberapa malam terakhir ini. Dan candi sepuh serta ruangan ini juga berada di dalam mimpinya. Namun Rangga masih memerlukan penjelasan yang lebih mendalam, meskipun di hatinya dia sudah bisa menduga apa yang diinginkan Eyang Sundrata pada dirinya. Yang mengundang Pendekar Rajawali Sakti itu melalui mimpi-mimpi.
? *** ? Kembali ke Bagian 1-3
? Selanjutnya Bagian 7-8 (selesai)
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 125. Rahasia Candi Tua Bag. 7-8 (selesai)
21. September 2014 um 18:53
7 ? ? Kabut malam sudah menyelimuti permukaan puncak Bukit Gandrik. Kesunyian begitu terasa sangat mencekam disekitar pelataran Candi Sepuh. Tak ada seorangpun terlihat di sana, kecuali seorang pemuda yang mengenakan baju rompi putih, berdiri di samping seorang laki-laki tua berjubah putih panjang. Sebatang tongkat yang tak beraturan bentuknya, tergenggam di tangan. Menyanggah tubuhnya agar berdiri dengan tegak. Mereka berdiri dekat bibir tebing puncak bukit yang gersang dan berbatu.
"Kau lihat, Pendekar Rajawali Sakti," kata orang tua itu seraya menunjuk ke arah kaki bukit dengan ujung tongkatnya.
Pemuda berbaju rompi putih yang memang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti, meman?dang ke arah kaki bukit. Tampak di sana be?berapa cahaya api terlihat. Rangga tahu kalau di kaki Bukit Gandrik ini sudah berkumpul tokoh-tokoh persilatan yang entah berapa banyak jumlahnya. Mereka datang ke sini karena mendengar adanya pusaka tersimpan di dalam Candi Sepuh.
Mereka ingin memiliki pusaka yang belum tentu kebenarannya.
"Jika semua orang bersikap seperti mereka, entah apa jadinya dunia ini...," nada suara Eyang Sundrata terdengar agak mengeluh. "Mereka ha?nya mendengar, dan belum pernah membuktikan. Tapi sudah berani berkorban nyawa untuk sesuatu yang belum tentu kebenarannya."
"Apakah pusaka itu ada di Candi Sepuh ini, Eyang?" tanya Rangga.
"Kau sudah masuk ke dalam candi, Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan aku memberimu ke bebasan untuk melihat seluruh bagian candi tanpa ada yang ditutupi. Apakah kau menemukan adanya sesuatu yang pantas disebut pusaka...?"
Rangga tidak langsung menjawab. Memang dia sudah mengelilingi bagian dalam candi itu. Bahkan sampai ke ruangan bawah tanah, hingga ke puncaknya. Tak ada satu bendapun yang bisa disebut sebagai pusaka. Candi itu sendiri sebenarnya adalah pusaka yang tak ternilai.
"Eyang, boleh aku menanyakan sesuatu padamu?" ucap Rangga setelah agak lama berdiam diri.
"Tanyakan jika ada yang masih mengganjal dihatimu, Pendekar Rajawali Sakti."
"Hampir semua orang bilang kalau candi ini tidak lagi berpenghuni. Kenapa selama puluhan tahun Eyang tidak pernah menampakkan diri" Kenapa semua murid-muridmu juga tak pernah ke luar dari dalam candi?" tanya Rangga ingin tahu.
Eyang Sundrata tidak segera menjawab. Dia memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Kemudian menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kuat. Pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti memang tidak bisa ditutupi kenyataannya. Sudah lebih dari sepuluh tahun. dia dan seluruh muridnya menghilang. Sehinga semua orang menyangka kalau Candi Se?puh sudah tidak berpenghuni lagi. Tak ada yang tahu. Kenapa tiba-tiba saja seluruh penghuni candi itu menghilang, dan tak pernah lagi ada kabar beritanya.
Sementara Rangga masih menunggu jawaban dengan sabar. Beberapa kali dia mengalihkan perhatiannya ke kaki bukit. Namun Eyang Sundrata belum juga menjawab pertanyaan Pen?dekar Rajawali Sakti.
"Eyang, pasti punya alasan tertentu, sehingga tidak menampakkan diri begitu lama," kata Rang?ga setelah cukup lama berdiam diri menunggu jawaban dari pertanyaannya.
Kembali Eyang Sundrata menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kuat. Dia masih diam, belum bisa menjawab per?tanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Eyang, apakah ini ada hubungan dengan Partai Tongkat Putih yang hendak menguasai se?luruh Bukit Gandrik ini...?" tanya Rangga menduga.
"Dari mana kau tahu tentang Partai Tongkat Putih?" Eyang Sundrata malah balik bertanya dengan terkejut.
"Selama berada di sekitar bukit ini, beberapa kali aku bentrok dengan mereka. Bahkan ketuanya telah memperingatkan aku untuk segera pergi dari sini. Aku yakin kalau sikap Eyang selama ini ada hubungannya dengan Partai Tongkat Pu?tih. Apakah sebenarnya yang diinginkan mereka Eyang?"
"Memang sudah seharusnya kau mengetahui segalanya, Pendekar Rajawali Sakti," kata Eyang Sundrata agak pelan suaranya.
"Eyang tentu mengundangku ke sini bukan hanya untuk menyaksikan kehancuran Candi Sepuh ini kan...?"
"Tentu saja tidak, Pendekar Rajawali Sakti. Aku justru mengundangmu dengan cara kontak batin seperti itu. untuk meminta bantuanmu menjaga kesucian dan kelestarian candi ini. Arwahku tidak akan rela jika tempat ini jatuh ke tangan orang-orang berhati iblis, seperti Partai Tongkat Putih itu," sahut Eyang Sundrata.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan, Eyang?"


Pendekar Rajawali Sakti 125 Rahasia Candi Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak ingin memaksa, tapi hanya kau yang mampu menghadapi Dewi Iblis Merah," kata Eyang Sundrata lagi.
Rangga mengerutkan keningnya. Dia pernah sekali bertemu dengan perempuan tua yang mengaku bernama Dewi Iblis Merah. Dan dia tahu kalau perempuan itu adalah pimpinan besar dari Partai Tongkat Putih yang sangat ditakuti. Bukan hanya oleh para pendekar beraliran putih, tapi juga tokoh-tokoh hitam lainnya. Semua orang akan berpikir seribu kali, jika hendak berhadapan dengan orang nomor satu di Partai Tongkat Putih.
"Demi kebenaran, aku akan melakukan apa saja dengan restu dan kehendak sang Hyang Widi, Eyang. Tapi aku harus tahu duduk per?soalan yang sebenarnya lebih dahulu. Aku tidak ingin melakukan tindakan yang akan menjadi penyesalan seumur hidupku kelak. Aku harap Eyang bisa memahami maksudku," kata Rangga dengan hati-hati sekali.
"Akan kujelaskan, Pendekar Rajawali Sakti. Mari, sebaiknya kita kembali ke dalam," sahut Eyang Sundrata seraya mengajak Rangga untuk kembali ke dalam Candi Sepuh.
Rangga mengikuti berjalan di belakang laki-laki tua itu. Sementara dia sempat melihat be?berapa orang murid Eyang Sundrata, bersembunyi dibalik semak dan bebatuan besar. Siang malam mereka selalu menjaga puncak bukit ini dari jamahan orang-orang yang selalu haus akan benda pusaka. Namun yang paling mereka cemaskan adalah penyerbuan orang-orang dari Partai Tongkat Putih ke Candi Sepuh ini.
*** Eyang Sundrata duduk bersila di atas permadani tebal bermotifkan bunga-bunga yang beraneka warna, dengan dasar berwarna merah menyala. Rangga duduk tepat di depannya. Di sam?ping Pendekar Rajawali Sakti terlihat Pandan Wangi. Dan di belakang mereka, duduk bersila empat orang murid utama Eyang Sundrata. Me?reka semua mengenakan baju putih dengan pedang tersampir di pinggang.
Sudah sebagian, Eyang Sundrata menceritakan keadaan Candi Sepuh selama lebih kurang sepuluh tahun ini. Mereka memang sengaja menyembunyikan diri di dalam ruangan bawah ta?nah. Namun mereka selalu mencegah siapa saja yang mencoba mendaki bukit ini. Dan tidak memperdulikan maksud atau tujuan mereka yang mencoba mendaki Bukit Gandrik.
Tak ada seorangpun yang berhasil, selama ini mereka selalu mencoba mendaki bukit Gandrik dan semuanya tewas tertimpa batu-batuan yang longsor. Murid-murid Eyang Sundrata memang sengaja menjatuhkan batu-batu itu. Tapi dari Partai Tongkat Putih juga selalu menghalangi siapa saja yang mencoba ke Candi Sepuh. Terutama para pendekar beraliran putih. Hal ini per?nah dialami Pendekar Rajawali Sakti yang lang?sung didatangi oleh pemimpin Partai Tongkat Putih.
"Terus terang, Eyang. Apa yang Eyang lakukan ini adalah membabi buta. Tidak semua orang tergiur akan benda pusaka yang sebenarnya tidak ada di sini. Banyak juga yang mencoba ke sini dengan maksud membantumu mempertahankan keutuhan candi ini dari tangan tangan kotor tak bertanggung jawab," kata Rangga mengemukakan pendapatnya.
"Aku memang menyadari hal itu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tidak mudah untuk mengetahui isi hati seseorang," Eyang Sundrata membela diri.
"Keadaan yang kau alami memang sulit, Eyang. Aku bisa merasakannya," desah Rangga.
"Kakang...," selak Pandan Wangi.
"Hm, ada apa, Pandan Wangi?" Rangga berpaling menatap si Kipas Maut yang duduk di sebelahnya.
"Apa tidak sebaiknya kita mendahului menyerang Partai Tongkat Putih?" Pandan Wangi memberikan usul.
"Tidak ada yang tahu, dimana Partai Tongkat Putih berada saat ini, Pandan," kata Rangga.
"Tapi, mereka pasti tidak jauh dari tempat ini, Kakang. Aku yakin mereka berada di sekitar bukit ini," kata Pandan Wangi lagi.
"Mereka memang ada di sekitar Bukit Gan?drik ini. Nisanak. Tapi tidak mudah untuk mengetahui tempatnya yang pasti." kata Eyang Sundrata menyelak.
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Pandan Wangi.
"Menunggu," sahut Rangga.
"Untuk berapa lama?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Tidak lama, jika membiarkan mereka ke puncak bukit ini," sahut Rangga.
"Kau harus pikirkan yang lainnya, Kakang. Orang-orang di bawah sana sudah begitu percaya dengan adanya peninggalan pusaka di candi ini," kata Pandan Wangi lagi.
"Kau ingat peristiwa di Bukit Setan, Pan?dan...?"
Pandan Wangi hanya menganggukkan kepalanya saja. Tentu saja tidak akan melupakan peris?tiwa di Bukit Setan. Peristiwa itu yang mempertemukan mereka berdua, hingga sekarang ini selalu bersama-sama (Jika anda ingin tahu, ikuti serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Pertarungan di Bukit Setan). Memang ada sedikit persamaannya dengan peristiwa yang sedang berlangsungdi Bukit Gandrik ini. Tapi tentu saja banyak perbedaannya. Tapi Pandan Wangi belum mengerti maksud Pen?dekar Rajawali Sakti itu dengan mengingatkannya pada peristiwa di Bukit Setan.
"Dulu aku yang memancing, sekarang aku ingin kau yang memancing mereka. Tapi bukan ke puncak bukit ini, melainkan menjauhkannya dari bukit ini," kata Rangga mengemukakan rencananya.
"Jangan konyol, Kakang!" sentak Pandan Wangi.
"Hanya cara itu yang bisa dilakukan sekarang ini. Pandan. Mereka harus jauh dari Bukit Gan?drik, agar kita bisa mengetahui dengan cepat keberadaan Partai Tongkat Putih di bukit ini," kata Rangga.
Pandan Wangi memandangi Pendekar Raja?wali Sakti dalam-dalam. Mereka yang berada di bawah bukit ini, bukan orang-orang sembarangan. Rata-rata mereka mempunyai kemampuan ilmu silat yang tinggi. Besar kemungkinan akan terjadi bentrokan langsung. Dan Pandan Wangi sadar kalau tidak mungkin bisa menghadapi me?reka seorang diri saja.
"Maaf, aku harus bicara berdua saja dengan Pandan Wangi," ujar Rangga seraya bangkit ber?diri.
"Silahkan," sahut Eyang Sundrata.
Pandan Wangi ikut bangkit berdiri. Semen?tara Rangga sudah melangkah ke luar dari da?lam candi tua itu. Pandan Wangi bergegas mengikuti dari belakang. Sementara Eyang Sundrata masih tetap duduk bersila di tempatnya, dengan mata tidak berkedip memandangi dua orang pendekar itu. Bibirnya menyunggingkan senyuman, dan kepalanya terangguk-angguk. Dia bisa memahami maksud Pendekar Rajawali Sakti yang ingin membebaskan Candi Sepuh ini dari rongrongan orang-orang berhati tamak.
Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi su?dah menghilang di luar ruangan candi. Malam sudah semakin larut, kesunyian menyelimuti se?kitar Puncak Bukit Gandrik. Tak lagi terdengar suara suara percakapan. Keadaan begitu sunyi sampai-sampai suara binatang malampun tak ter?dengar, hanya desiran angin saja terdengar menyebarkan udara dingin menggigilkan tubuh.
? *** ? Rangga membawa Pandan Wangi ke bagian belakang Candi Sepuh. Mereka terus berjalan melintasi hamparan bebatuan yang terasa dingin tersiram embun. Tak ada seorangpun terlihat disekitar tempat ini. Mereka menyusup melalui celah-celah batu yang besar dan banyak tersebar di pun?cak bukit yang gersang. Pemandangan di Bukit Gandrik, memang tidak sedap untuk dinikmati. Hanya kegersangan saja yang terlihat disekitarnya. Namun tempat ini sangat cocok sekali dijadikan markas sebuah partai, ataupun untuk mendirikan sebuah padepokan. Tidak heran jika ketua Partai Tongkat Putih mengincar Bukit Gandrik ini.
Mereka berhenti berjalan setelah sampai di tempat yang agak lapang, dengan batu-batu besar bertumpukkan membuat sebuah cincin raksasa. Tampak seekor rajawali raksasa berbulu putih keperakan, sedang mendekam. Burung raksasa itu mengangkat kepalanya ketika mendengar ada orang mendekati. Dia mengkirik perlahan begitu mengetahui yang datang adalah Rangga dan Pan?dan Wangi.
"Rajawali, aku membutuhkan pertolonganmu," kata Rangga setelah berada dekat di depan burung raksasa itu.
"Khrrr...," Rajawali Putih hanya mengkirik perlahan.
"Kau bersama Pandan Wangi menghalau orang-orang yang berada di bawah bukit," kata Rangga lagi.
"Kakang...!" sentak Pandan Wangi terkejut.
Sungguh dia tak menyangka kalau Rangga mempunyai rencana yang dianggapnya edan ini. Mustahil dia berani menunggangi Rajawali Putih seorang diri. Meskipun sudah pernah, itupun terpaksa, dan rasanya seperti sudah mati saja saat berada di angkasa.
"Bersama Rajawali, kau tidak perlu takut menghadapi mereka, Pandan," kata Rangga.
"Tapi...," Pandan Wangi ingin memprotes. Bagi gadis itu, lebih baik seorang diri menghadapi orang-orang itu, daripada harus menyiksa diri menunggang burung raksasa ini. Burung Raja?wali Putih, memang bukan burung biasa. Dia se?perti jelmaan dewa yang hadir ke mayapada de?ngan tugas mulia. Namun tetap saja Pandan Wangi tidak mungkin sanggup mengusir ketakutannya. Dia juga manusia biasa, yang tidak luput dari perasaan takut.
"Apa tidak ada cara lain, Kakang?" tanya Pan?dan Wangi seraya melirik pada Rajawali Putih.
Rangga menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, pakai saja rencanaku," kata Pandan Wangi yang terang-terangan tidak ingin menunggang Rajawali Putih lagi.
"Apa rencanamu?" tanya Rangga.
"Aku akan menemui Ki Sarpa. Biarkan dia yang mengatakan kalau aku sudah mendapatkan pusaka itu. Biar mereka mengejarku, Kakang," kata Pandan Wangi.
"Terlalu berbahaya, Pandan," Rangga tidak setuju.
"Bukankah itu yang kau inginkan...?"
"Iya, tapi kau akan menghadapi bahaya besar."
"Tidak seberapa sulit jika dibandingkan kau yang harus menghadapi Ketua Partai Tongkat Putih. Sudahlah, Kakang. Pengorbanan itu perlu untuk maksud yang mulia."
Meskipun terasa berat, Rangga tidak bisa menolak lagi. Dia sudah terlanjur mempunyai rencana seperti itu. Dan Pandan Wangi malah menambahkan dengan mengambil resiko yang sangat besar. Tapi Rangga harus mempercayai ga?dis ini, karena dia tahu kemampuan Pandan Wangi.
"Baiklah, Pandan, tapi kau harus berhati-hati," kata Rangga menyerah.
"Kalau begitu, aku akan berangkat sekarang," ujar Pandan Wangi.
"Pandan, ke arah mana kau akan membawa mereka?" tanya Rangga.
"Selatan," sahut Pandan Wangi.
"Aku akan segera menyusulmu."
Pandan Wangi tersenyum. Kemudian dia bergegas melangkah pergi dari lempat yang sangat tersembunyi itu. Puncak Bukit Gandrik memang banyak tempat-tempat tersembunyi. Sementara Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi. Rangga masih tetap berada di tempat itu. Dia memandangi Rajawali Putih.
"Ikuti dia, Rajawali. Lakukan apa saja untuk menyelamatkannya dari bencana," kata Rangga.
"Khraghk!" Rajawali Putih menyahuti.
"Aku pergi dulu, Rajawali," ucap Rangga.
"Khraghk...!"
"Hm..., memang sebaiknya begitu. Cepatlah kau awasi Pandan Wangi," kata Rangga bisa me?ngerti apa yang disuarakan burung raksasa itu.
Rajawali Putih mengepakkan sayapnya. Se?kali kepak saja, burung raksasa itu sudah melambung tinggi ke angkasa. Dan terus melesat ke arah mana tadi Pandan Wangi pergi. Beberapa saat Rangga masih berdiri ditempatnya, memandangi kepergian Rajawali Putih. Ada sedikit kelonggaran, karena Pandan Wangi dilindungi oleh Rajawali Putih.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti juga harus menghadapi suatu persoalan yang lebih berat lagi. Dia harus menghadapi ketua Partai Tongkat Putih yang memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi, dan sukar dicari tandingannya. Sampai saat ini. belum ada satupun pendekar yang bisa menandingi kepandaian yang dimiliki Dewi Iblis Merah.
"Mudah-mudahan pancingan ini berhasil," desah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kaki?nya, meninggalkan tempat yang dilingkari batu-batu besar membentuk sebuah cincin raksasa.
Dia berjalan cepat dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama, Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh, dan lenyap ditelan gelapnya malam.
? *** ? Rangga berdiri tegak memandang ke arah kaki Bukit Gandrik. Di samping Pendekar Raja?wali Sakti berdiri Eyang Sundrata. Empat orang murid utama laki-laki tua berjubah putih itu ber?ada di belakang mereka. Semua memandang ke arah kaki bukit yang terlihat jelas dari tempat itu.
"Mereka sudah pergi semua, Pendekar Raja?wali Sakti," kata Eyang Sundrata.
"Hmmm"," Rangga hanya menggumam saja perlahan.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Eyang Sundrata lagi.
"Menunggu orang-orang Partai Tongkat Putih," sahut Rangga.
"Apa kau yakin mereka bisa dengan mudah mempercayai siasatmu ini, Pendekar Rajawali Sakti?"
"Jika memang mereka menghendaki tempat ini, mereka pasti datang. Tapi jika mereka sama seperti yang lainnya, akan mengejar Pandan Wangi," sahut Rangga.
"Mereka yang menghendaki tempat ini, Pen?dekar Rajawali Sakti. Mereka yang menyebarkan kabar bohong mengenai pusaka yang tersimpan di dalam Candi Sepuh."
"Kalau begitu, mereka pasti datang," kata Rangga mantap.
Eyang Sundrata kembali diam membisu. Dia sudah mempercayai Pendekar Rajawali Sakti. Dia tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti mampu menghadapi Dewi Iblis Merah. Dan sepengetahuannya, hanya pemuda berbaju rompi putih ini yang bisa menandingi kesaktian Dewi Iblis Merah. Sedangkan dia sendiri, sudah menyadari tidak akan mampu.
Agak lama juga mereka berdiam diri meman?dang kesekitar kaki Bukit Gandrik. Seakan-akan ada yang mereka tunggu di Puncak Bukit Gandrik. Perlahan Rangga memalingkan mukanya menatap Eyang Sundrata yang berdiri disampingnya.
"Kenapa Eyang tidak mau menghadapi Dewi Iblis Merah?" tanya Rangga.
Pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti yang tiba-tiba itu, membuat Eyang Sundrata terperanjat. Dan dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya lagi.
"Aku pernah bertarung dengannya," sahut Eyang Sundrata pelan.
Rangga semakin dalam memandangi laki-laki tua itu.
"Terus terang, Pendekar Rajawali Sakti. Da?lam pertarungan itu aku memang mempertaruhkan Candi Sepuh ini. Aku kalah, dan sudah seharusnya aku menyerahkan candi ini. Tapi murid?-muridku tidak rela jika candi ini jatuh ke tangan Dewi Iblis Merah. Hingga lebih dari sepuluh tahun, aku dan murid-muridku bertahan sambil menyebarkan kabar kalau Candi Sepuh sudah tidak berpenghuni lagi. Dan selama itu kami semua menempati ruangan bawah tanah yang sangat ter?sembunyi letaknya."
"Tentu ada sesuatu sehingga kau begitu berani mempertaruhkan tempat suci ini," kata Rangga.
"Ya", Putraku satu-satunya menjadi tawanan mereka. Tapi putraku sudah tewas bunuh diri begitu aku kalah bertarung dengan Dewi Iblis Merah," sahut Eyang Sundrata.
Rangga hanya diam saja.
"Mereka menginginkan candi ini memang su?dah lama, dan selalu berusaha dengan berbagai macam cara. Pendekar Rajawali Sakti. Hingga akhirnya mereka menculik anakku, dan memberikan syarat bertarung jika anakku ingin selamat. Mereka juga mengajukan syarat yang berat. Yaaah", itu, aku harus menyerahkan candi ini jika kalah dalam pertarungan. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku benar-benar tidak punya pilihan lagi, Pendekar Rajawali Sakti," ada se?dikit nada keluhan pada suara Eyang Sundrata.
"Sayang sekali", seharusnya anakmu tidak perlu mengambil jalan pintas seperti itu," desah Rangga pelan.
"Aku bangga dengan sikapnya, Pendekar Rajawali Sakti. Dia benar-benar membela kehormatanku. Dia langsung membunuh dirinya sen?diri, karena Dewi Iblis Merah masih tetap menjadikan tawanannya, meskipun aku bersedia meninggalkan candi ini. Tapi sebelum tewas, anakku berpesan agar tetap mempertahankan candi ini," kata Eyang Sundrata lagi.
Rangga tersenyum, kemudian memutar tu?buhnya. Perlahan dia mengayunkan kakinya. Eyang Sundrata mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjalan menuju ke Candi Sepuh tanpa berbicara lagi. Sementara empat murid utama laki-laki tua itu mengikuti dari belakang.
? *** ? 8 ? ? "Eyang...! Eyang...!"
Seorang anak muda berbaju putih yang agak ketat, berlari-lari sambil berteriak memanggil gurunya. Eyang Sundrata yang sedang bercengkerama dengan Pendekar Rajawali Sakti, langsung menggerinjang bangkit berdiri. Laki-laki tua itu melompat ke luar dengan cepat. Rangga yang juga berada di dalam candi itu, segera mengikuti melesat keluar dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
Pendekar Rajawali Sakti langsung berhenti tepat di samping Eyang Sundrata. Pemuda yang tadi berlari-lari sambil berteriak keras, agak terbungkuk di depan Eyang Sundrata. Seluruh baju yang berwarna putih, berlumuran darah.
"Mereka sudah datang...," ujar pemuda itu.
Dan sebelum Eyang Sundrata sempat ber?tanya, pemuda itu jatuh terkulai ke tanah. Eyang Sundrata bergegas berlutut dan memeriksa urat nadi di leher pemuda itu. Perlahan kemudian dia mengangkat kepalanya, langsung menatap Rang?ga yang kini sudah berpindah di depannya.
"Dia sudah mati," kata Eyang Sundrata pelan.
Laki-laki tua berjubah putih itu bangkit ber?diri dibantu tongkat yang tergenggam dengan ke?dua tangannya. Eyang Sundrata memandangi murid-muridnya yang sudah berkumpul di depan pelataran candi dengan cepat, ketika mendengar teriakan pemuda yang sudah tewas ini.
Hanya ada sekitar tiga puluh orang murid Eyang Sundrata. Dan mereka sudah siap melaku?kan pertempuran. Selain menyandang pedang di pinggang, mereka juga memegang tombak pan?jang. Eyang Sundrata menatap Rangga dalam-dalam.
"Kekuatan kita tidak berimbang, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Eyang Sundrata lemah.
"Kita tunggu mereka di sini, Eyang," kata Rangga.
"Jumlah mereka tentu lebih besar lagi," Eyang Sundrata masih juga mengeluh.
Memang sejak Rangga menjalankan rencananya, laki-laki tua ini seperti kehilangan semangat, mengingat jumlah murid-muridnya tidak sebanding dengan banyaknya anggota Partai Tongkat Putih. Meskipun dia sudah mengetahui kemampuan Pendekar Rajawali Sakti. Namun masih juga tersimpan keraguan akan keberhasilan rencana pemuda berbaju rompi putih itu.
"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Eyang Sundrata menyerahkan segalanya pada Rangga.
"Aku akan menantang Dewi Iblis Merah, se?perti yang kau lakukan dulu," sahut Rangga.
"Terlalu berbahaya, Pendekar Rajawali Sakti. Aku lebih suka bertempur sampai titik da?rah terakhir dari pada harus mengorbankanmu. Hhhh"! Seharusnya aku memang tidak perlu mengganggu ketenanganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Maafkan kelancanganku"," semakin pelan suara Eyang Sundrata.
"Kau tidak perlu berkata begitu, Eyang. Can?di Sepuh ini milik semua orang yang hendak mendekatkan diri pada Hyang Widi. Dan aku turut bertanggung jawab dengan kesuciannya, Eyang. Meskipun kau tidak meminta, jika aku tahu, aku pasti akan datang ke sini," kata Rangga mencoba membangkitkan semangat laki-laki tua itu.
"Sungguh mulia hatimu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Eyang Sundrata.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Sebaiknya Eyang dan semua murid-murid berada tidak jauh dari pintu Candi. Aku akan menunggu mereka di sini. Jika ada diantara me?reka yang mencoba menerobos, Eyang bisa menghadangnya," kata Rangga.
"Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Hati-hatilah, mereka orang-orang yang licik," kata Eyang Sundrata memperingatkan.
"Terima kasih," ucap Rangga.
Eyang Sundrata kemudian memerintahkan seluruh muridnya agar tidak jauh dari Candi Se?puh. Tak ada yang membantah, mereka segera bergerak mendekati candi itu, dan berdiri ber?jajar tepat di depan pintu Sedangkan Eyang Sundrata sendiri masih tetap berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa Eyang tidak menyingkir?" tanya Rangga melihat Eyang Sundrata masih tetap ber?ada di dekatnya.
"Kita akan menghadapi mereka bersama-sama, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Eyang Sundrata.
Rangga tidak mau mencegah. Dia tidak ingin memupuskan semangat laki-laki tua ini yang telah bangkit kembali. Namun Pendekar Rajawali Sakti merasa adanya nada putus asa dalam suara Eyang Sundrata. Keputusasaannya itu membuat dia jadi nekad hendak menghadapi orang-orang Partai Tongkat Putih yang sudah bergerak menuju ke Puncak Bukit Gandrik.
"Mereka sudah kelihatan...," gumam Eyang Sundrata pelan. Hampir tidak terdengar suaranya, seakan-akan dia berbicara dengan dirinya sendiri.
Rangga mengalihkan perhatiannya ke depan. Dan memang jauh di depan sana, terlihat orang-orang yang tengah bergerak menuju ke Candi Sepuh. Dari pakaiannya yang menyolok dengan tongkat putih berada di tangan. sudah bisa dipastikan kalau mereka adalah orang-orang Partai Tongkat Putih.
? *** Ada yang membuat Rangga tercenung menyaksikan orang-orang yang jumlahnya begitu banyak, berbaris sejauh sekitar lima batang tombak di depannya. Bukan hanya orang-orang ber?baju merah dengan senjata tongkat berwarna pu?tih keperakan, tapi juga ada orang-orang berbaju hitam yang menghunus senjata golok.
"Mereka yang berbaju hitam, orang-orang baru di dalam Partai Tongkat Putih," bisik Eyang Sundrata memberitahu.
Pendekar Rajawali Sakti baru mengerti. Ternyata di dalam keanggotaan Partai Tongkat Putih juga memiliki tingkatan tersendiri. Dan yang pas?ti, tingkatan itu memiliki tanda. Hanya saja dia tidak tahu, letak tanda dari satu tingkatan ke?anggotaan mereka. Sedangkan pandangan Pendekar Rajawali Sakti, tidak lepas dari seorang perempuan tua berjubah merah yang berdiri pa?ling depan. Sebatang tongkat putih dengan ujung berbentuk kepala tengkorak, juga menatap pada Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata tajam menusuk.
"Rupanya kau sudah ada di sini Pendekar Rajawali Sakti," desis Dewi Iblis Merah. Suara?nya terdengar kering dan agak serak.
"Aku sengaja menunggumu di sini, Dewi Iblis Merah," sahut Rangga kalem.
"Untuk apa?" tanya Dewi Iblis Merah dingin.
"Menantangmu bertarung," sahut Rangga tegas.
Dewi Iblis Merah tertawa terbahak-bahak mendengarkan tantangan itu. Keras sekali suara tawanya, seakan-akan hendak menghancurkan bukit ini dengan suaranya yang menggeledek menggelegar keras.
"Bocah! Apakah kau tidak melihat tingginya gunung..." Tidak sampai lima jurus, aku sudah bisa mengirimmu ke neraka!" bentak Dewi Iblis Merah congkak.
"Lihat saja nanti, Dewi Iblis Merah. Aku khawatir justru kau yang akan lebih dahulu ke ne?raka," sahut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Apa taruhanmu, Pendekar Rajawali Sakti?" dengus Dewi Iblis Merah gusar.
Rangga tidak langsung menjawab. Dia me?lirik pada Eyang Sundrata yang berada di sam?pingnya. Laki-laki tua itu menganggukkan ke?palanya sedikit. Namun perhatiannya tidak lepas tertuju pada orang-orang Partai Tongkat Putih yang berjumlah lebih dari dua ratus orang banyaknya. Sungguh tidak sebanding dengan jum?lah murid-muridnya yang hanya tiga puluh orang saja.
"Kau boleh memiliki bukit ini bila berhasil mengalahkan aku, Dewi Iblis Merah," kata Rangga tegas.
"Ha ha ha ha...! Taruhanmu terlalu kecil, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Dewi Iblis Merah semakin pongah.
"Hm..., apa lagi yang kau inginkan?" tanya Rangga.
"Kepalamu!" sahut Dewi Iblis Merah agak mendesis.
"Aku terima, Dewi Iblis Merah."
Eyang Sundrata terkejut. Tapi dia tidak bisa berbuat apa apa lagi, karena Pendekar Rajawali Sakti sudah menyanggupi persyaratan yang diajukan perempuan tua itu.
"Lantas, apa yang menjadi taruhanmu, Dewi Iblis Merah?" tanya Rangga dengan suara yang kalem.
"Aku hanya ingin mengambil hak, dan kau tidak ada hak untuk meminta pertaruhanku!" jawab Dewi Iblis Merah ketus.
"Hmmm...," Rangga menggumam pelan.
"Sudah aku duga, akan percuma saja, Pen?dekar Rajawali Sakti," bisik Eyang Sundrata pelan.
"Perempuan Iblis itu harus dimusnahkan ter?lebih dahulu, Eyang," sahut Rangga juga berbisik.
"Tapi orang orangnya begitu banyak...."
"Mereka akan gentar jika pemimpinnya sudah lumpuh."
Eyang Sundrata tidak berbicara lagi. Dia masih khawatir, karena orang-orang Partai Tong?kat Putih sudah terkenal licik dan kejam. Selalu menggunakan cara apapun untuk melaksanakan keinginannya. Mereka tidak perduli dengan cara kotor. Eyang Sundrata teringat dengan pertarungannya melawan Dewi Iblis Merah. Dia bisa kalah, juga mendapat kecurangan yang dibuat orang-orang Partai Tongkat Putih.
Eyang Sundrata sudah menduga kalau mereka tentu akan melakukan kecurangan juga. Dan ini yang membuat dia merasa cemas akan keberhasilan Pendekar Rajawali Sakti dalam menghadapi perempuan tua berhati iblis itu. Dia menyesal, telah melibatkan Pendekar Rajawali Sakti dalam kemelut ini. Kalau saja dia tidak mengirimkan getaran batin, sudah tentu Pendekar Rajawali Sakti tidak akan berada di Puncak Bukit Gandrik ini.
"Bagaimana, Pendekar Rajawali Sakti...?" kembali terdengar suara Dewi Iblis Merah
"Aku terima persyaratanmu," sahut Rangga tegas.
"Ha ha ha ha...!" kembali Dewi Iblis Merah tertawa terbahak bahak.
Dan sebelum suara tawanya lenyap dari pendengaran, mendadak saja dia melompat cepat bagaikan kilat. Tubuhnya berputaran beberapa kali di udara. Begitu kakinya menjejak tanah di depan Pendekar Rajawali Sakti. seketika itu juga dia langsung mengibaskan tongkatnya.
"Yeaaah...!"
Wut! "Uts...!"
? *** ? Bergegas Rangga menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan tongkat putih berkepala tengkorak itu, lewat di depan dadanya.
Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menegakkan tubuhnya, Dewi Iblis Merah sudah kembali memberikan satu serangan dengan pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga dalam sangat tinggi.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat Rangga memutar tubuhnya ke be?lakang, dan melesat ke udara. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras ke arah Dewi Iblis Merah yang baru saja menarik pulang serangannya. Kedua kaki Rangga bergerak cepat, dengan tangan terkembang ke samping. Pende?kar Rajawali Sakti mengerahkan jurus Rajawali menukik Menyambar Mangsa. Salah satu jurus dahsyat dari rangkaian lima jurus Rajawali Sakti.
"Ufrs...!"
Dewi Iblis Merah buru-buru merundukkan kepalanya, sehingga kedua kaki Rangga yang ber?gerak cepat, tidak mengenai sasaran. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat memutar tubuh?nya, sehingga kakinya berada di atas. Seketika itu juga tangannya bergerak cepat mengibas ke arah beberapa bagian tubuh perempuan berjubah merah itu.
"Setan...! Hih...!" rutuk Dewi Iblis Merah ter?kejut dengan serangan Pendekar Rajawali Sakti yang sungguh tidak diduga sama sekali.
Dewi Iblis Merah, sedikit agak kerepotan juga. Namun dia berhasil menguasai keadaan dirinya. dan kembali melakukan serangan begitu mendapat kesempatan. Pertarungan itupun lang?sung dengan kecepatan yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa. Masing-masing mengeluar?kan jurus-jurus yang ampuh dan sangat luar biasa.
Tak terasa, pertarungan sudah berjalan lebih dari sepuluh jurus. Namun tampaknya masih akan berlangsung lama. Sementara itu Eyang Sundrata yang sudah menyingkir agak menjauh, selalu mengamati orang-orang Partai Tongkat Putih. Dia tidak ingin Rangga mendapat ke curangan dari mereka. Pengalamannya menjadikan dia harus waspada.
"Iblis...!" desis Eyang Sundrata ketika mata?nya menangkap salah seorang dari mereka me?ngebutkan tangannya ke arah pertarungan itu.
Dan seketika terlihat benda-benda halus ber?warna hitam meluncur deras ke arah dua orang yang sedang bertarung. Eyang Sundrata segera menghentakkan tangan kanannya. Seketika itu juga, dari balik lengan jubahnya yang panjang, meluncur bola api sebesar kepala. Suara letupan kecil terdengar ketika bola api itu menghantam benda-benda halus berwarna hitam yang dilepaskan salah seorang anggota Partai Tongkat Putih. Kejadian ini membuat mereka terkejut.
Namun, sebelum mereka sempat bertindak, mendadak saja dari angkasa meluncur suatu ben?da besar berwarna putih keperakan. Benda besar itu langsung ke arah orang-orang yang berdiri berbaris itu. Sesaat kemudian, terdengar suara suara jeritan melengking tinggi, disusul dengan berpentalannya tubuh-tubuh ke udara, kemudian terbanting keras ke tanah.
Kejadian yang cepat ini membuat semua orang yang berada di puncak Bukit Gandrik ini jadi terperangah terkejut. Namun sosok bayang?an berwarna putih keperakan itu, terus berkelebatan cepat menyambar orang-orang Partai Tongkat Putih, membuat mereka jadi berantakan tak karuan.
"Hiyaat...!"
Pada saat itu, dari atas meluncur sebuah ba?yangan berwarna biru. Bayangan itu bergerak ce?pat menghajar orang-orang dari Partai Tongkat Putih.
"Pandan Wangi...," desis Eyang Sundrata be?gitu mengenali orang yang mengenakan baju warna biru muda itu.
Seketika itu juga Eyang Sundrata berteriak keras memerintahkan murid-muridnya untuk bergerak membantu. Dan dia sendiri segera me?lompat menyerang orang-orang Partai Tongkat Putih. Sementara di lain tempat, Pendekar Raja?wali Sakti masih bertarung dengan Dewi Iblis Merah. Perempuan tua itu benar-benar terkejut melihat orang-orangnya berantakan. Dan dia le?bih terkejut lagi begitu melihat seekor burung raksasa mengamuk menghajar orang-orangnya.
"Tak ada lagi kesempatan bagimu, Dewi Iblis Merah!" seru Rangga seraya melontarkan be?berapa pukulan menggeledek bertenaga dalam tinggi.
"Setan...!" dengus Dewi Iblis Merah geram.
Kegentaran mulai timbul di hati perempuan tua itu. Dan dia mulai menjadi tidak seimbang dengan segala gerakannya. Perbatiannya terpecah, sehingga membuat Rangga lebih leluasa menggempurnya, namun begitu, masih terlalu sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bisa melumpuhkan Dewi Iblis Merah dengan cepat, karena perempuan tua itu masih terlalu tangguh.
Sret! Cring...! Seketika itu juga, cahaya biru menyemburat terang begitu Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang pusaka dari warangkanya di punggung. Dewi Iblis Merah. terperanjat kaget melihat pamor pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti begitu dahsyat. Dan sebelum dia sempat menguasai keterkejutannya, mendadak saja Rangga sudah memberikan serangan kilat. Pedangnya berkelebat cepat menyambar leher perempuan tua itu.
"Uts...!"
Buru-buru Dewi Iblis Merah menghentakkan tongkatnya, menangkis tebasan pedang Pende?kar Rajawali Sakti.
Tring! Trak! "Heh..."!"
Bukan main terkejutnya Dewi Iblis Merah ketika tongkatnya beradu dengan pedang di ta?ngan Pendekar Rajawali Sakti. Seluruh pergelangan tangannya seperti tersengat ribuan le?bah, dan lebih terkejut lagi ketika dia melihat tongkatnya buntung.
"Saatnya sudah tiba, Dewi Iblis Merah...!" seru Rangga keras. "Hiyaaat...!''
Bet! Bagaikan kilat, Rangga mengebutkan pe?dangnya ke arah leher. Sesaat Dewi Iblis Merah terkesiap melihat cahaya biru berkilauan, ber?kelebat di depan mukanya. Dan sebelum dia sem?pat menyadari apa yang terjadi, mendadak dia merasakan benda dingin berada di lehernya.
"Hih...!"
Satu tendangan mendarat di dada perempuan tua berjubah merah itu. Seketika tubuhnya terlontar keras ke belakang. Pada saat itu, kepala Dewi Iblis Merah terpental terpisah dari leher?nya. Darah langsung muncrat dari leher yang buntung, begitu menghantam batu. Dewi Iblis Merah tewas seketika tanpa mampu mengeluarkan suara lagi.
"Berhenti...!" teriak Rangga keras menggelegar.
Suara teriakan Rangga yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat perta?rungan seketika berhenti. Orang-orang Partai Tongkat Putih, terperanjat begitu melihat pemimpinnya sudah terbujur tak bernyawa lagi de?ngan kepala terpenggal buntung dari lehernya.
Seperti ada yang memberi perintah, mereka bergegas berhamburan meninggalkan puncak bu?kit. Namun murid-murid Eyang Sundrata, tidak membiarkan begitu saja. Pada saat mereka sedang menuruni lereng, semua murid-murid Eyang Sundrata, menjatuhkan batu-batu besar.
Suara menggemuruh terdengar seketika, di susul dengan jeritan-jeritan panjang melengking tinggi. Batu-batu di lereng bukit, berguguran menimpa orang-orang Partai Tongkat Putih yang mencoba melarikan diri. Sementara Rangga ha?nya bisa menyaksikan tanpa mampu mencegahnya. Batu-batu sudah berguguran menghantam orang-orang itu tanpa ampun lagi.
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Pan?dan Wangi yang berdiri di samping Rajawali Pu?tih. Sementara tak terhitung lagi, berapa banyak mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya. Rangga sempat melirik pada Eyang Sundrata yang berdiri mematung memandangi mayat-ma?yat itu. Dia seperti tidak percaya, bisa menghalau orang-orang dari Partai Tongkat Putih.
"Kita pergi, Pandan," ajak Rangga seraya mencolek pundak Pandan Wangi.
"Tidak pamitan dulu pada Eyang Sundrata, Kakang?"
"Tidak perlu." sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dia meman?dang Pandan Wangi yang juga tengah menatap padanya. Kemudian gadis itu melompat, langsung hinggap di depan Rangga.
"Kita pergi dari sini, Rajawali." kata Rangga seraya menepuk leher burung raksasa itu.
"Khraghk...!"
Hanya sekali mengepakkan sayapnya saja, Rajawali Putih sudah membumbung tinggi ke angkasa. Saat itu Eyang Sundrata menolehkan kepalanya, dan dia langsung mendongak ke atas. Namun Rajawali Putih sudah membumbung ting?gi ke angkasa, menembus awan.
"Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti," ucap Eyang Sundrata pelan.
Sementara itu Rajawali Putih sudah jauh meninggalkan Bukit Gandrik dengan membawa Rangga dan Pandan Wangi di punggungnya. Tampak sekali kalau Pandan Wangi tidak kelihatan takut lagi. Dan ini membuat Rangga heran juga.
"Kau tidak takut lagi, Pandan?" tanya Rangga ingin tahu.
"Rajawali Putih yang membuatku tidak takut," sahut Pandan Wangi seraya tersenyum
"Bagaimana caranya?" tanya Rangga semakin ingin tahu.
"Rahasia..." sahut Pandan Wangi seraya tertawa.
"Khraghk...!" Rajawali Putih menyambuti.
"Sial!" rutuk Rangga dalam hati.
"Kau memang hebat, Rajawali. Aku senang bersahabat denganmu," ucap Pandan Wangi.
"Khraghk...!"
? SELESAI ? ? Scan by Clickers
? ? Kembali ke Bagian 4-6
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Naga Sakti Sungai Kuning 7 Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka Pedang Berkarat Pena Beraksara 15

Cari Blog Ini