Ceritasilat Novel Online

Misteri Hantu Berkabung 1

Pendekar Rajawali Sakti 123 Misteri Hantu Berkabung Bagian 1


. 123. Misteri Hantu Berkabung Bag. 1
14. September 2014 um 09:12
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: MISTERI HANTU BERKABUNG
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1? ? ? Di Desa Lembuyung sepertinya tengah ada keramaian di salah satu rumah yang paling besar dan megah. Pemilik rumah yang dikenal dengan Juragan Sentot memang sedang melangsungkan perkawinan putrinya yang bernama Diah Kawaning, dengan seorang pemuda berwajah tampan dan dari desa seberang. Namanya, Jaka Pratama.
Wajah laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu tampak gembira dan selalu penuh tawa, setiap kali menyambut tamu-tamunya. Tak heran, sebab Diah Kawaning adalah putri satu-satunya yang amat disayangi. Itu pula barangkali kenapa pesta ini diadakan sangat meriah dengan mengundang tamu dari segala penjuru. Bahkan terlihat beberapa orang pembesar kerajaan. Kemudian dia juga mendatangkan kelompok kesenian yang akan memberi pertunjukan tari-tarian serta hiburan lain bagi para tamu.
"Silakan, Kisanak semua! Nikmati jamuannya...!"
"Ki Sentot! Kau sungguh beruntung memiliki menantu yang gagah dan tampan. Putra siapakah dia?" tanya salah seorang tamu.
"Hm.... Dia putra seorang juragan Desa Margakaya!"
"Ini baru cocok! Putri seorang juragan ternyata mendapat jodoh putra juragan pula!" timpal tamunya yang lain.
"Ha ha ha"! Mudah-mudahan Ki Sentot lekas-lekas dikarunia banyak cucu!" tambah yang lain.
"Besanmu yang mana?" tanya seorang tamu lagi, setengah berbisik ketika tuan rumah duduk di sebelahnya.
Laki-laki setengah baya itu memang baru dating. Dia adalah salah seorang pembesar kerajaan yang selama ini sering berhubungan akrab dengan Juragan Sentot.
Juragan Sentot menunjuk dua orang suami-istri berusia setengah baya yang duduk tak begitu jauh di dekat kedua mempelai. Pejabat kerajaan itu mengangguk-angguk.
"Hm... Kau beruntung, Sentot. Selamat!" ucap pembesar kerajaan itu sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
'Terima kasih...," desah Juragan Sentot, seraya menyambut uluran tangan itu.
Sementara tamu-tamu terus berdatangan ke pesta perkawinan, sehingga membuat suasana semakin semarak saja. Juragan Sentot memang se?orang yang terkenal dan banyak mempunyai kawan di segala pelosok. Selain kaya, dia pun dikenal sebagai dermawan. Banyak sudah rakyat di desa ini yang pernah ditolongnya. Baik berupa harta, maupun dalam bentuk yang lainnya Sehingga tak heran kalau pada saat sedang melaksanakan keramaian seperti sekarang ini, banyak tamu yang menghadirinya.
Setelah semua tamu dirasakan telah berkumpul, Juragan Sentot naik ke atas sebuah mimbar yang agaknya telah disediakan untuk kepentingan ini.
"Para hadirin, aku sangat berterima kasih atas kedatangan kalian dalam memenuhi undanganku. Seperti diketahui, hari ini aku akan mengadakan hajat perkawinan putriku, yaitu Diah Kawaning de?ngan Jaka Pratama. Untuk itu, aku mohon doa restu dari para hadirin semoga perkawinan mereka berlangsung langgeng sampai akhir nanti...," kata Juragan Sentot memberikan sambutan untuk tamu-tamunya.
Para tamu menyambut dengan tepuk tangan. Juragan Sentot pun tak bisa menyembunyikan rasa bahagia di hatinya. Mereka bersama-sama menyaksikan saat yang berbahagia bagi kedua mempelai itu.
"Hentikan semua ini!"
Mendadak terdengar suara nyaring di tengah-tengah suasana bahagia ini.
Semua orang berpaling, mencari sumber suara. Ternyata, datangnya dari seorang gadis berambut panjang yang berdiri tegak di halaman dekat pintu pagar. Sorot matanya tajam dan liar, ketika melangkah perlahan-lahan. Orang-orang mulai bertanya-tanya dalam hati, "Siapa gadis itu?"
Tapi, Juragan Sentot agaknya tak ingin pesta perkawinan putrinya ini dikacaukan. Maka segera diperintahkannya beberapa orang tukang pukul untuk mengamankan gadis itu.
"Lepaskan aku! Lepaskaaan...! Aku ingin meludahi keparat itu! Dia telah menghancurkan hidupku! Dia telah merusak masa depanku! Pratama keparat! Binatang laknat, mana janjimu"! Mana janji sumpah setiamu padaku"! Setelah menodaiku dan berjanji akan mengawiniku, kemudian kau kabur! Dan kini, diam-diam melangsungkan perkawinanmu! He, Pratama! Mana janjimu"! Mana segala macam bujuk rayumu dahulu"!" teriak gadis itu berkali-kali sambil berusaha melepaskan diri.
"Nilam...!"
Pemuda bernama Jaka Pratama yang tengah bersanding di pelaminan, tak sadar mendesis de?ngan wajah terkejut. Mukanya pucat dan tangannya gemetar. Sorot matanya tak lepas memperhatikan gadis yang tengah ditarik-tarik beberapa lelaki bertubuh besar untuk keluar dari halaman ini.
"Kenapa, Kakang" Kau kenal gadis itu?" tanya Diah Kawaning heran, sambil memandang pemuda di sebelahnya dengan sorot mata curiga.
"Eh, tidak! Tidak! Mana mungkin aku mengenalnya. Dia hanya orang gila yang kesasar!" kilah Jaka Pratama cepat.
'Tapi, dia mengenal namamu?"
"Hm, ya.... Gadis itu memang berasal dari kampungku. Dia memang tak waras. Dan semua orang di sana mengetahuinya. Yang membuatku heran, bagaimana dia bisa tiba di sini?"
Diah Kawaning memandang suaminya dengan sorot mata masih curiga. Sementara Jaka Pratama jadi salah tingkah sendiri. Namun sebisa mungkin ditariknya napas dalam-dalam untuk menenangkan diri agar Diah Kawaning tak mencurigainya.
"Adakah sesuatu yang kau sembunyikan dariku, Kakang?"
"Hhh.... Kenapa aku harus menyembunyikan sesuatu dari istriku sendiri" Tidak. Tak ada! Me?mang sejak dulu gadis itu amat tergila-gila padaku. Namun, aku tak pernah menggubrisnya. Mana mungkin aku menyukai orang tak waras begitu," sahut Jaka Pratama menegaskan.
Diah Kawaning diam membisu. Para centeng yang tadi membawa gadis itu keluar, belum juga kembali. Bisa dibayangkannya ketika gadis itu berontak sekuat tenaga. Sorot matanya tajam dan berapi-api penuh dendam terhadap suaminya. Centeng-centeng itu pasti membawanya jauh dari tempat ini.
Juragan Sentot berusaha menenteramkan keadaan, sehingga tak berapa lama suasana kembali seperti semula. Mereka semua beranggapan kalau gadis itu adalah orang tak waras yang akan mengganggu jalannya pesta perkawinan. Namun tak dipungkiri sebagian ada yang merasa curiga. Kena?pa gadis berotak miring itu mengenal Jaka Pratama, suaminya Diah Kawaning" Lalu, apa tadi yang dikatakannya" Jaka Pratama telah menodainya" Hm, betulkah itu"
Wajar rasanya kalau mereka bertanya-tanya demikian. Apalagi, sebagian besar tamu yang datang di tempat itu adalah kenalan Juragan Sentot. Dan sebelum pesta ini berlangsung, tak seorang pun yang mengenal, siapa Jaka Pratama itu. Juga, siapa orangtuanya. Kalaupun ada yang mengenali, itu hanya kaum kerabat serta kawan-kawan dekat dari pihak pengantin lelaki belaka. Namun, Juragan Sentot cukup bijaksana. Setelah mendapat kete?rangan sekilas dari besannya, semuanya dijelaskan kepada tamu-tamu. Sehingga, mereka kini mengerti sambil mengangguk-angguk kepala.
? *** ? "Lepaskan aku! Lepaskaaaa..!" seorang gadis terus berteriak-teriak kalap di atas sebuah kereta kuda yang melaju mendekati hutan.
"Dasar sunting! Kau akan kami lepaskan, sete?lah jauh dari tempat ini!" bentak salah seorang laki-laki yang memegangi kedua tangannya ke belakang.
"Diam! Atau, kau mau kulempar dari atas kere?ta ini"!" bentak salah seorang yang berusaha mengikat kedua kaki gadis itu agar tak terus berontak.
"Heaaa. .!"
Kusir kereta itu menghela kudanya dengan kencang. Kini mereka telah cukup jauh dari tempat kediaman Juragan Sentot. Sementara, tiga kawannya tengah mengikat kedua tangan dan kaki gadis itu erat-erat. Dan gadis itulah yang telah membuat onar di tempat hajatan Juragan Sentot. Namanya, Nilam.
Entah, apa yang merasuki pikiran mereka. Tapi mulanya, niat itu timbul dari salah seorang saja, yang bertubuh pendek dan bernama Sumtana. Ketika sedang memegang tubuh Nilam erat-erat, nafsu iblisnya seketika timbul. Apalagi begitu melihat kedua belah pahanya tersingkap. Darahnya menggelegak seketika. Dan ketika, niat jahatnya dibisikkan kepada kawan-kawannya. Dan mereka setuju sekali!
Maka ketika telah tiba di pinggir hutan, mereka segera berlompatan. Dengan keganasan bagai serigala melihat domba, mereka mulai menerkam gadis malang yang tak berdaya itu. Nilam berusaha berontak sekuat tenaga. Namun sebagian segera menyumpal mulutnya. Sebagian lagi mengikat erat-erat kedua tangan dan kakinya. Kini mulailah pakaian Nilam yang dilucuh satu persatu. Sambil menahan liur mereka merayapi tubuh mulus milik gadis yang kini terbujur tak berdaya, pingsan.
Dia memang tak kuat menahan derita. Maka dengan leluasa, satu persatu anak buah Juragan Sentot itu menggilirnya, tanpa mendapat perlawanan dari Nilam.
Setelah orang terakhir puas melampiaskan nafsu bejatnya, mereka meninggalkan gadis itu begitu saja dalam keadaan terikat dan tak berdaya. Sambil membenahi pakaian, mereka tertawa-tawa senang dan melangkah ringan ke arah kereta kuda yang tak jauh ditinggalkan.
"Bagaimana kalau gadis itu melapor dan menceritakan segala yang kita lakukan" Huh! Seharusnya kita bunuh saja dia. Habis perkara!" kata salah seorang tiba-tiba merasa khawatir.
"Aaah! Kau ini penakut sekali, Pugeng! Semua orang menganggapnya tak waras. Siapa yang percaya ceritanya" Baru saja dia menuduh suami Den Ayu Diah telah menodainya. Hm.... Kalau dia kem?bali dan menceritakan perbuatan kita, tentu semua orang akan semakin jelas menuduhnya tak waras. Siapa yang percaya pada ocehan orang tak waras?" kata Sumtana, sinis.
Mendengar penjelasan yang masuk akal itu, mereka mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum lebar.
"He! Tak kusangka otakmu encer juga!" puji seorang kawannya.
"Makanya, jangan hanya memandang tubuhnya yang kontet! Biar kecil tapi akalnya besar!" celetuk yang lain.
Sumtana terkekeh. Hidungnya kembang-kempis dipuji-puji begitu! Dan mereka pun berlompatan naik ke kereta kuda. Sebentar saja. kereta kuda itu telah kembali menuju rumah Juragan Sentot.
Sepeninggal mereka, gadis itu masih terus terisak. Hidupnya terasa hina dan kotor. Dalam ke?adaan terikat begitu, dia pasrah dan tak berusaha lagi untuk berontak. Malah dalam hatinya berkeinginan agar dirinya segera ditemukan oleh binatang buas yang akan mencabik-cabik tubuhnya. Sehing?ga, dia tak perlu lagi menghadapi kenyataan yang amat berat oleh aib yang memalukan ini!
? *** ? Senja mulai menyapu pinggiran hutan ini. Sementara Nilam masih tak bergeming. Bola mata?nya kaku menatap kosong ke depan seperti tiada berkedip. Mendadak kepalanya menoleh sekilas, ketika melihat seseorang mendekati tempat itu sambil menangis sesegukan.
Dia adalah seorang gadis berambut panjang. Tubuhnya terbungkus kebaya hijau, dengan kain bagian bawah lusuh. Mukanya kusut ditutupi sebelah telapak tangannya. Tubuhnya langsung tersungkur di depan Nilam yang sedang terikat. Barulah disadari kalau di tempat sepi ini, ada orang lain. Bola mata gadis berambut panjang itu menatap se?perti tak percaya. Untuk sesaat tangisnya reda. Dipandanginya gadis yang sedang terikat itu dengan seksama.
"Si..., siapakah kau..." Apa..., apakah kau kuntilanak penghuni hutan ini" Oh! Tangkaplah aku. Bunuhlah aku secepatnya...!" ratap gadis itu lirih, memohon dengan pandangan mengiba.
Nilam yang sedang terikat diam tak menyahut. Bola matanya menatap kosong kepada gadis yang baru tiba itu.
"Kenapa kau diam saja" Ayo, bunuhlah aku cepat! Aku sudah bosan hidup di dunia ini. Tak ada gunanya lagi menghadapi segala aib yang me?malukan dan tak kuat kutanggung Ayo, bunuhlah aku!" teriak gadis berambut panjang itu, seraya menarik-narik kaki Nilam. Belum puas berbuat begitu, dia bangkit sambil menggocang-goncangkan tubuh Nilam.
Namun Nilam yang sedang terikat, tetap diam saja. Lama kelamaan, barulah gadis berambut pan?jang itu menyadari keadaan. Isak tangisnya terhenti, segera dipandanginya gadis yang sedang terikat itu.
"Kau bukan kuntilanak atau penunggu hutan ini Kedua tangan dan kakimu terikat. Dan..., dan pakaianmu penuh robekan begitu. Siapa kau sebenarnya?" tanya gadis berambut panjang itu lirih.
"Aku orang yang senasib denganmu...," sahut Nilam.
"Senasib" Bagaimana kau tahu penderitaanku?" tanya gadis berambut panjang itu.
"Karena aku mengalami aib yang barangkali sama denganmu...."
Gadis berkebaya hijau itu diam sesaat sambil memandang Nilam di depannya dengan sorot mata iba. Perlahan-lahan dia bangkit. Segera dilepaskannya ikatan yang membelenggu tangan Nilam.
"Namaku, Indrawati. Maukah kau menjadi sahabatku...?" kata gadis yang mengaku bernama Indrawati. Sementara Nilam kini duduk sambil me?mandang gadis bernama Indrawati itu. Kemudian terlihat bibirnya tersenyum sambil menganggukkan kepala.
"Namaku Nilam...," kata Nilam singkat, memperkenalkan namanya.
Entah bagaimana, keduanya seperti merasa telah akrab saja. Bagai dua orang kawan yang lama sudah tak bertemu. Mungkin karena merasa senasib sependeritaan.
"Apa rencanamu selanjutrtya, Nilam...?" tanya Indrawati.
"Entahlah. Mulanya, aku berpikiran sama sepertimu. Tapi apakah kita akan membiarkan begitu saja mereka yang telah mempermainkan, bahkan memberi kita aib" Mereka harus mendapat pembalasan setimpal atas perlakuan mereka terhadap kita!" dengus Nilam geram.
"Tapi, bagaimana kita melakukannya" Aku ga?dis lemah dan tak berdaya apa-apa...," tanya Indra?wati.
Nilam belum sempat menjelaskan rencananya, ketika tiba-tiba dikejutkan oleh isak tangis seseorang yang berlari kecil mendekati mereka. Kedua gadis itu saling berpandangan sesaat, dan serentak berdiri mencegat berbarengan.
"Nisanak, tunggu dulu! Kenapa kau menangis sambil berlari-lari begini?" tanya Indrawati sambil mencekal bahu gadis yang sedang mengenakan baju merah itu.
"Eh, siapa kalian" Apa yang kalian inginkan dariku"!" tanya gadis itu. Matanya liar dan curiga, merayapi Nilam dan Indrawati bergantian.
'Tenanglah. Kami tak bermaksud menyakitimu...," bujuk Nilam sambil tersenyum kecil.
"Siapa namanu" Dan, kenapa kau berada di tempat ini...?" tanya Indrawati.
Gadis itu memandang mereka sesaat, seolah ingin meyakinkan kalau kedua wanita itu tak ber?maksud jahat. Kemudian, terdengar helaan napasnya yang pendek.
"Namaku, Sukesih. Kalau memang kalian ingin membunuhku, cepatlah. Percuma saja aku hidup di dunia ini...," desah gadis yang mengaku bernama Sukesih.
"Kami sudah katakan, kalau tak bermaksud menyakitimu. Namaku Nilam. Dan ini, Indrawati," sahut Nilam cepat.
Sukesih memandang mereka kembali dengan wajah sedikit heran.
"Hm.... Kalau memang tak bermaksud jahat, apa yang kalian lakukan di tempat ini berdua?"
Nilam dan Indrawati pun menceritakan sedikit peristiwa yang dialami hingga bertemu di sini. Mendengar itu, Sukesih tersenyum pahit.
"Kalau demikian, kita senasib. Pengalaman yang kualami tak jauh beda ," tutur Sukesih lirih.
"Kami telah mempunyai rencana. Maukah kau ikut?" tanya Nilam.
"Rencana apa?"
"Kita harus balas perlakuan mereka, dengan cara yang lebih menyakitkan" tandas Nilam.
"Bagaimana caranya?"
"Dalam keadaan sekarang, tak mungkin kita mampu. Maka, kita harus membekali diri dengan kepandaian ilmu olah kanuragan. Tak peduli ilmu apa pun harus kita pelajari, untuk membalas sakit hati pada mereka. Daripada mati terhina, lebih baik hidup dan membuat mereka sengsara!" tandas Ni?lam lagi, bersemangat.
"Aku setuju! Tapi bagaimana kita mempelajarinya?"
"Kita akan mencari seorang guru yang hebat!
Tak peduli, apa dan bagaimana caranya!" kata Ni?lam geram.
Kedua kawan baru Nilam itu tersenyum kecil! Entah, apa arti senyum itu.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 123. Misteri Hantu Berkabung Bag. 2
14. September 2014 um 09:14
2? ? ? Suasana tenang di pagi hari pada Desa Banyaran Sari tampak dipecahkan oleh nyanyian tak karuan seorang pemuda bertubuh kurus yang berjalan berlenggak-lenggok. Namun dalam sekejap, wajahnya yang riang gembira berubah muram. Ke?mudian dia tampak terdiam, dengan tatapan mata kosong ke depan. Sebentar saja terdengar tangisnya yang terisak.
"Wuaaa...! Tolong, tolonglah aku...! Tolooong.., ada kuntilanak! Wuaaa...! Tolong...! Dia telah membunuh Kardi, Diding, dan Gino! Tolooong...!" teriak pemuda bertubuh kurus itu sambil menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.
Beberapa orang yang berada di depan rumah masing-masing melihat dengan heran. Namun sekilas saja, mereka tak begitu peduli. Mereka menganggap pemuda itu gila. Namun ketika pemuda itu berpapasan dengan seseorang.
"Pulung, kenapa kau"! Apa yang terjadi padamu"!" teriak orang itu. Agaknya, dia mengenal pe?muda tak waras itu.
"Siapa kau"! Jangan mendekat! Awas, kalau dekat-dekat akan kucekik kau!" sahut orang tak waras itu yang dipanggil Pulung sambil bangkit. Sorot matanya seketika jadi liar.
"Pulung! Apakah kau tak mengenalku lagi" Aku Sukedi, sahabatmu!" pemuda bernama Sukedi itu berusaha meyakinkan sambil tersenyum dan mendekat perlahan-lahan.
"Jangan mendekat kataku! Kucekik nanti kau!" teriak Pulung dengan wajah semakin beringas.
Sukedi menghentikan langkah. Wajahnya tam?pak bingung dan tak percaya.
"Pulung, ingat! Ingat. Lung. Apa yang terjadi padamu"! Kenapa kau jadi mengigau begini" Ayo, jangan bikin malu emakmu. Malu dilihat banyak orang begitu...," bujuk Sukedi kembali dengan suara halus.
Pulung diam tak menjawab. Namun sorot ma?tanya yang beringas seperti hewan buas tak juga pudar. Beberapa kali mulutnya menyeringai dengan kedua tangan seperti bersiap akan menerkam Suke?di, jika berani mendekat.
"Lung, apa yang terjadi padamu" Aku sahabat?mu...," tanya Sukedi lembut.
Pulung masih tetap diam dengan sorot mata beringas. Sukedi berusaha meyakinkan, sambil tersenyum dan menganggukkan kepala. Beberapa orang yang berada di dekat situ, mulai mengerubungi Pulung. Namun, pemuda itu tak peduli. Bahkan sama sekali tak menoleh.
"Aku sahabatmu. Aku pasti akan menolongmu, kalau kau susah. Katakanlah, apa yang telah terjadi padamu...?" tanya Sukedi kembali.
"Di mana kau saat kami perlukan..." Kuntilanak itu mencekik kawan-kawanku dan mengisap darahnya...," kata Pulung seperti mengigau.
"Kuntilanak" Kuntilanak apa maksudmu...?" Sukedi jadi keheranan sendiri.
"Perempuan berambut panjang berbaju putih. Bola matanya putih dan memiliki dua buah gigi ta?ring...."
Sukedi menggelengkan kepala sambil terse?nyum kecil. Begitu pula orang-orang yang berada di sekitarnya. Dan kini mereka semakin yakin, jelas pemuda bertubuh kurus itu memang gila. Omongannya meracau dan tak bisa dipercaya.
"Ayo, mari kuantar pulang!" ajak Sukedi. Dicobanya untuk menangkap lengan kawannya itu, dan bermaksud mengantarkannya pulang ke ru?mah.
"Pergi dariku! Pergiii...!"
Pulung berteriak kalap sambil menepiskan ta?ngan kawannya dengan kasar.
Tentu saja hal itu membuat Sukedi terkejut. Dia mulai percaya kalau Pulung betul-betul telah gila. Tapi apa yang menyebabkannya demikian" Kuntilanak" Mana mungkin! Selama ini desa mere?ka aman dan tak pernah ada keributan apa pun"
Tapi Sukedi tak sampai hati membiarkan ka?wannya berada di tempat ini, menjadi tontonan atau mengamuk, kembali kakinya melangkah. Se?gera ditangkapnya pergelangan tangan kawannya.
"Ayo, pulang! Kau tak kasihan dengan emakmu ya" Apa tak malu jadi tontonan orang begitu"!"
Namun jawaban Palung adalah ayunan kaki yang demikian cepat, tanpa dapat dicegah lagi.
Begkh! "Aaakh...!"
Sukedi mengeluh kesakitan ketika tubuhnya terjungkal ke belakang. Tiba-tiba saja kaki Pulung telah mendarat di dadanya. Malah kemudian Pu?lung bangkit dan bertari sekuat-kuatnya sambil berteriak-teriak.
'Tolooong, ada kuntilanak! Tolooong...!"
Sukedi berusaha bangkit. Dia bermaksud mengejar, namun niatnya diurungkan. Dadanya yang terasa masih sakit, membuat langkahnya tertahan.
"Sial! Diajak baik-baik tak mau dengar!" gerutu Sukedi kesal.
Beberapa saat ketika Sukedi sudah bangkit dan berjalan tertarih-tatih sambil memegangi dadanya, seorang perempuan tua tergopoh-gopoh menghampiri, Wajahnya tampak pucat dan tegang.
"Sukedi! Syukur kau ada di sini! Mana Pulung" Kata orang dia gila" Apa betul"!" tanya perempuan tua itu.
"Tenang, Nyi. Tenang...," ujar Sukedi berusa?ha menyabarkan perempuan itu.
"Bagaimana bisa tenang" Mana si Pulung" Ma?na dia"!"
Sukedi tak punya pilihan lagi, selain menceritakan apa yang dilihatnya tadi. Mendengar itu, bukan main terkejutnya perempuan tua yang ternyata ibu pemuda kurus bernama Pulung itu. Wa?jahnya semakin tegang. Dan bias keterkejutan terlihat jelas di wajahnya yang keriput.
"Anakku gila..." Oh, tak mungkin! Tak mung?kin...! Kemana dia sekarang" Ke mana"!"
"Ke arah sana...," tunjuk Sukedi lesu ke satu arah.
Tanpa banyak bicara lagi, perempuan tua itu terus berlari ke arah yang ditunjukkan Sukedi sambil berteriak-teriak.
"Pulung anakku...! Puluuung...!" Sukedi menggeleng lesu. Kemudian kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
? *** ? Jaka Pratama tersenyum lebar sambil membelai perut istrinya yang tengah berbaring di sebelahnya. Gadis cantik yang dikawininya lebih kurang lima bulan lalu, kini telah mengandung anak pertama. Sehingga tak heran bila hari-hari mereka belakangan ini diwarnai kegembiraan menyambut si jabang bayi. Mertuanya sendiri tak lagi memikirkan pekerjaan menantunya yang tak jelas karena rasa kegembiraannya.
Selama ini, masalah pekerjaan Jaka Pratama memang sedikit mengganjal di hati laki-laki sete?ngah baya itu. Menantunya ini memang amat pemalas. Jaka Pratama mana sudi untuk turun ke sawah. Bahkan untuk sekadar mengawasi orang-orang yang bekerja pada Juragan Sentot saja, menantunya enggan. Kerja Jaka Pratama setiap hari hanya mengelus-elus ayam jagonya yang berjumlah puluhan ekor. Dan setelah itu dia pergi menyabung ayam dari satu desa, ke desa yang lain. Tentu saja dengan taruhan sehingga menghabiskan uangnya secara percuma.
Pada mulanya Juragan Sentot menyesal sekali melihat kelakuan menantunya yang jarang di ru?mah. Belum lagi gunjingan orang yang mengatakan kalau menantunya sering main gila dengan perem?puan lain. Namun semua itu perlahan-lahan hilang dari pikirannya, ketika putrinya tengah mengandung cucu pertamanya. Bahkan diharapkan dengan kelahiran si jabang bayi sikap Jaka Pratama kelak akan berubah.
"Kang! Kau inginkan anak perempuan atau laki-laki...?" tanya Diah Kawaning pelan.
Jaka Pratama tersenyum kecil sambil membelai rambut istrinya.
"Kalau kau?" Jaka Pratama malah balik bertanya.
"Aku ingin anak perempuan?"
"Kenapa?"
"Agar kelak bisa membantuku di rumah, mengurusi pekerjaan sehari-hari. Lagi pula, anak perem?puan lebih betah di rumah Aku sering kesepian dan tak ada yang mengawasi kalau kau pergi kata Diah Kawaning, memberi alasan.
Jaka Pratama diam saja mendengar kata-kata istrinya. Bukannya tak mengerti sindiran itu. Na?mun, laki-laki ini amat cerdik untuk tidak meladeni kata-kata istrinya. Sebab sekali diladeni, maka per?soalan akan berbuntut menjadi pertengkaran, seperti yang sudah sering terjadi.
"Sebenarnya ada urusan apa Kakang sering tak ada di rumah?" tanya Diah Kawaning akhirnya.
"Ada urusan penting," sahut laki-laki itu singkat.
"Sebegitu pentingkah, sehingga Kakang sering meninggalkanku sendiri di rumah...?" tanya wanita itu masih dengan suara halus.
Jaka Pratama hanya melirik. Wajahnya tampak berubah. tak seperti tadi. Ada nuansa tak senang yang tersirat di wajahnya, mendengar desakan istrinya.
"Apakah setiap yang kukerjakan di luar, kau harus mengetahuinya?" tanya laki-laki itu dingin.
"Aku istrimu, Kang! Apakah kau ingin menyembunyikan sesuatu dariku"!" suara perempuan itu tampak meninggi.
Jaka Pratama tiba-tiba bangkit lalu duduk di tepi ranjang membelakangi istrinya.
"Diah! Aku tak suka kalau kau mencampuri urusanku. Tugasmu di rumah, dan mematuhi perintah suami!" sentak Jaka Pratama tegas.
Diah Kawaning juga bangkit, lalu duduk di sudut ranjang. Bola matanya membulat dan hidungnya kembang-kempis menahan kesal.
"Hm.... Bagus betul kata-katamu itu. Dulu kau rayu, dan kau bujuk aku untuk menjadi istrimu. Dan kini setelah aku menyerahkan segalanya pada?mu, kau mulai bertingkah macam-macam!" dengus Diah Kawaning.
"Apa maksudmu bicara begitu"!" Jaka Pratama langsung menatap tajam istrinya dengan sorot mata garang.
"Aku hanya ingin menagih janjimu! Kau pernah mengatakan, akan membahagiakanku. Tapi apa yang kau lakukan selama ini" Kau menyiksaku! Kau pergi selama berhari-hari, kemudian kembali hanya sekadar menjengukku. Kerjamu berjudi menghabiskan uang, dan main perempuan di mana-mana. Itukah yang kau maksud ingin membahagiakanku"! Kau menyiksa perasaanku, Kang. Kau menyiksa...."
Plak! "Aouw!"
Belum habis kata-kata Diah Kawaning, Jaka Pratama sudah mendaratkan telapak tangannya di pipi istrinya. Diah Kawaning hanya menjerit kecil, sambil mengelus pipi kirinya.
Wanita itu seperti tak percaya kalau suaminya mampu bertindak kasar begitu pada dirinya. Menampar pipinya" Oh, rasanya sulit dipercaya! Bahkan selama ini belum pernah dialami perlakuan seperti itu sejak masa kanak-kanak. Tapi kini"
"Kau..., kau..."!" tunjuk Diah Kawaning de?ngan wajah tak percaya bercampur marah.
"Kalau kau tak mau diam, aku akan berbuat lebih dari itu!" ancam suaminya dengan wajah semakin garang.
Baru saja kata-kata Jaka Pratama habis...
Brakkk! Slappp! Mendadak berkelebat sesosok bayangan di kamar mereka, begitu terdengar jendela yang dijebol. Dan bayangan itu memang masuk dari situ.
"Hi hi hi"! Dasar laki-laki gendeng, tetap saja gendeng! Kelakuanmu tak akan berubah sampai kapan pun juga. Tapi hari ini akan berakhir...!"
Kedua orang itu sama-sama terkejut dengan wajah berubah pucat dan bola mata terbelalak. Diah Kawaning malah gemetar.
Kini di hadapan mereka berdiri sesosok tubuh wanita berambut panjang terurai hingga ke pantat. Sebagian malah menutupi wajahnya, sehingga sulit dikenali. Kulitnya yang kuning langsat, tampak dekil dan kotor seperti tak pernah mandi. Pakaiannya lusuh, namun terlihat jelas berwarna putih. Dalam gelap malam yang hanya diterangi pelita kecil di kamar, penampilannya memang amat menyeramkan! Lebih lagi ketawanya yang nyaring!
"Siapa kau"!"
Jaka Pratama berusaha memberanikan diri. Dia berdiri dan membentak dengan suara gemetar.
"Hi hi hi...! Kau tak mengenalku lagi, Pratama" Hm.... Seharusnya aku menyadari kalau kau saat ini tengah bersenang-senang dengan perempuan ini. Tapi, tentunya kau tak akan melupakan saat-saat kita bersenang-senang di bawah rerimbunan pohon petai, kira-kira enam bulan yang lalu, bukan" Saat itu, kau merayuku dengan kata-kata manis. Tapi akhirnya, apa yang kau lakukan padaku?"
Kata-kata terakhir yang dikeluarkan perempuan itu terdengar dingin menusuk. Seperti ada hawa amarah yang terpendam selama beribu tahun. Dan Jaka Pratama jadi berpikir sejenak. Tapi dia tak perlu banyak waktu, karena peristiwa itu memang belum lama terjadi. Dan itu masih melekat erat di benaknya.
"Ni. ., Nilam, kau..., kau.."!"
? *** ? "Nilam" Kakang, kau mengenalnya" Bukankah nama itu pun pernah kau sebut ketika ada seorang perempuan mengacau di pesta perkawinan kita dahulu?" tanya Diah Kawaning di antara sela-sela ketakutannya.
"Hi hi hi. ! Jaka Pratama! Aku pernah bersumpah. Setelah apa yang kau perbuat padaku dulu, aku akan membunuhmu dan tak akan membiarkan laki-laki sepertimu hidup di muka bumi ini!" dingin suara perempuan itu.
"Oooh..!"
Jaka Pratama mengeluh, seperti menyesali diri.
"Heh"!"
Kedua suami istri ini terkejut setengah mati ketika perempuan itu menampakkan wajahnya. Diah Kawaning langsung jatuh lemas, pingsan. Sedang Jaka Pratama sudah gemetar dengan keringat dingin mengucur deras. Apa yang terlihat me?mang sungguh menyeramkan. Kulit wajah perempuan itu pucat bagai mayat dengan kedua bola ma?ta putih. Dan dari kedua sudut bibir keluar sebuah taring. Dan ketika menyeringai buas, semangat pemuda itu seperti terbang.
"Hari ini pembalasanku telah tiba, Pratama....'" Dingin suara perempuan itu terdengar sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya yang berkuku runcing.
"Ja..., jangan. Jangaaan. !" kata Jaka Pratama bergidik ngeri. Kakinya telah mundur ke belakang, merapat dengan dinding kamar ini yang terbuat dari kayu jati. Bahkan dari sela-sela selangkangannya telah keluar cairan berbau pesing.
"Grrrrgrrr...!"
Bagai hewan buas, perempuan berambut pan?jang itu menerkam Jaka Pratama. Sebelah tangannya yang berkuku runcing tangsung menyodok dada kiri Jaka Pratama.
Laki-laki itu melolong kesakitan ketika tangan perempuan yang dikenali sebagai Nilam itu menembus jantungnya. Tubuhnya langsung ambruk bersimbah darah. Dan sungguh gila apa yang dilakukan perempuan itu. Jantung korbannya langsung dilahap dengan rakus!
"Hi hi hi...! Tak kusangka jantungmu nikmat juga. Apalagi jantung istri dan bayimu dalam kandungan itu. Mungkin akan lebih nikmat lagi!" oceh Nilam sambil tertawa cekikikan.
Dan Nilam tanpa perikemanusiaan lagi merobek jantung Diah Kawaning yang tak sadarkan diri. Kemudian dilahapnya jantung itu dengan rakus. Mulutnya kini penuh dengan bercak-bercak darah. Begitu pula kedua belah tangannya. Namun tiba-tiba dari arah pintu kamar....
"Hei"!"
"He?"
Mendadak terdengar bentakan. Perempuan itu cepat-cepat?
memalingkan wajah sambil menyeringai buas ke arah beberapa centeng Juragan Sentot yang telah berdiri di pintu dengan golok terhunus. Mata mereka terbelalak liar, ketika melihat dua sosok mayat tergeletak di lantai dalam keadaan mengerikan. Apalagi ketika mengenali kalau kedua mayat itu tak lain dari junjungan mereka sendiri.
"Kurang ajar! He! Apa yang kau lakukan di sini"!" bentak salah seorang centeng sambil melangkah maju dengan wajah gusar.
"Hi hi hi...! Kalian datang pada saat yang tepat, ketika aku sedang lapar. Ayo, majulah semua!" sahut Nilam sambil ketawa kecil.
"Sial! Dasar orang gila. Dikira aku takut dengan segala ocehanmu!"
Centeng itu langsung melangkah lebar dengan ayunan golok ke arah perempuan itu. Namun de?ngan sedikit bergeser ke samping, perempuan itu dapat menghindarinya. Dan seketika tangan kirinya menangkap pergelangan tangan centeng itu.
"Hih!"
Tap! Kemudian dengan sekali sentak, tubuh centeng itu tertarik tanpa mampu bertahan. Dan pada saat itulah tangan kanan Nilam menyambar dada cen?teng itu.
Crab! "Aaa...!"
Laki-laki berperawakan besar itu melolong setinggi langit. Tubuhnya kontan ambruk lunglai, ketika jantungnya dikorek dan langsung dilahap pe?rempuan itu dengan rakus.
"He, bedebah! Ternyata dia tak bisa diberi hati. Orang ini pasti hantu yang tengah mencari korban dengan memakan jantung manusia. Hati-hati!" te?riak salah seorang centeng yang lain.
Mereka segera menyerbu secara serentak ke arah perempuan itu.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat..!"
Nilam bergerak ringan seperti melayang, untuk menghindari sabetan-sabetan golok itu.
"Uts!"
Slap! Kemudian kedua tangan dan kakinya menghantam mereka satu persatu, dengan gerakan sulit diikuti mata biasa. Sehingga...
Prak! Crab! "Hi hi hi...! Kalian akan mampus semua! Kalian akan mampus...!" teriak perempuan itu, ketawa cekikikan.
Beberapa saat saja terdengar para pengeroyok menjerit kesakitan dengan tubuh ambruk terjungkal di lantai bermandikan darah. Rata-rata dada sebelah kiri mereka bolong, dengan jantung hilang, karena menjadi santapan perempuan itu.
Yang tersisa saat itu hanya dua orang saja. Dan mereka tersudut di pojok ruangan dengan tubuh gemetar. Terkencing-kencing. Golok di tangan telah jatuh tak terasa. Sementara mata mereka melotot ketakutan dengan muka pucat. Perempuan itu ter?senyum sinis sambil memperlihatkan kedua taringnya, sehingga membuat keduanya semakin ketakut?an saja.


Pendekar Rajawali Sakti 123 Misteri Hantu Berkabung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak akan melupakan wajah-wajah kalian keparat! Kalianlah yang telah menodaiku beramai-ramai di pinggir hutan. Satu kawanmu sudah mam?pus, maka sekarang giliran kalian!" dengus Nilam garang.
"Eh! Kau.., kaukah perempuan gila itu...?" tanya salah seorang yang bertubuh pendek, tergagap.
"Hi hi hi..! Ternyata ingatanmu masih tajam juga. Bagus! Dengan begitu, kau tak akan mati penasaran."
"Eh! Ja..., jangan...!"
Laki-laki itu tampak ketakutan ketika tiba-tiba perempuan berambut panjang dengan gigi taring itu bergerak cepat ke arahnya.
Laki-laki pendek itu berusaha menangkis. Na?mun tangan kanan perempuan itu lebih cepat menghantam dada kirinya.
Crab! "Aaa...!"
Nilam langsung mengorek jantung, ketika ta?ngan kirinya menembus dada laki-laki pendek itu. Dan pada saat yang bersamaan, kepalanya sedikit menunduk ketika seorang lawan lagi berusaha membokong.
Tangan kiri perempuan itu bergerak cepat menyambar dada kiri lawannya yang lain.
Crab! "Aaa..!"
Kembali terdengar jeritan menyayat begitu Ni?lam mengorek jantung lawan terakhirnya. Sebentar saja keduanya ambruk ke lantai bersimbah darah dengan nyawa lepas. Perempuan itu terkikik sejenak, kemudian melompat keluar lewat jendela. Be?gitu cepat tubuhnya melesat dan hilang di telan gelapnya malam. Sementara suara ketawa mengikiknya masih bergema di kejauhan!
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " To help personalize content, tailor and measure ads, and provide a safer experience, we use cookies. By clicking or navigating the site, you agree to allow our collection of information on and off through cookies. Learn more, including about available controls: Policy.
123. Misteri Hantu Berkabung Bag. 3
14 ?"?"?"" 2014 ". " 9:15
3 ? ? Sepasang anak muda yang tengah dimabuk cinta, tampak tengah berjalan mesra sambil bergandengan tangan. Pemuda tampan berambut pendek dan berkulit sawo matang itu menggenggam erat gadis manis di sebelahnya. Rambut gadis itu pan?jang disanggul ke belakang. Bajunya dari sutera berwarna merah muda.
Langkah mereka perlahan, menuju sebuah telaga yang sudah tak jauh di depan. Sebuah telaga yang memiliki suasana indah dan menyenangkan. Hampir di sekeliling telaga ditumbuhi pepohonan besar berdaun lebat. Air telaga pun terlihat bening, dan terasa sejuk. Pada tepiannya juga ditumbuhi rerumputan pendek yang menghijau.
Kedua insan itu berhenti di tepi telaga. Mereka lalu duduk di situ, dengan kedua kaki menjuntai menyibak air. Sesaat mata mereka saling berpandangan, namun gadis itu cepat memalingkan wajah?nya membawa rona merah.
"Kenapa kau sejak tadi diam saja, Tari...?" ta?nya pemuda itu sambil tersenyum kecil.
Gadis yang dipanggil Tari tak berpaling. Malah kepalanya ditundukkan lebih dalam sambil tersipu malu.
"Kau masih malu...?"
"Aku baru kali ini keluar rumah bersama se?orang laki-laki sepertimu Kang...," kata Tari lirih.
"Hm, benarkah...?" tanya pemuda itu pelan, seraya mengelus paha Tari.
Gadis itu tersentak. Darahnya seketika mendesir merasakan elusan pemuda itu. Apalagi ketika tangan pemuda yang dipanggil Sembada menelusup ke pinggangnya, dan memeluknya dengan berani. Tubuh Tari bergetar hebat, karena baru sekali ini ada seorang pemuda yang berani memeluk dirinya. Padahal saat tadi tangannya digandeng saja, dia sudah bergetar. Sehingga, tangannya terasa dingin membeku.
"Kakang Sembada...," panggil Tari lirih.
"Hm...," gumam Sembada pelan.
Sementara itu kedua tangan Sembada. Semakin berani menggerayangi tubuh Tari. Sedangkan gadis itu jadi bergelinjang menahan geli dan perasaan malu yang dalam.
"Kang Sembada, jangan..," suara Tari semakin nyata terdengar, ketika pemuda itu hendak mempereteli pakaiannya.
'Tak apa. Toh sebentar lagi orangtuaku akan datang melamarmu. Kau akan menjadi istriku, Ta?ri...," rayu Sembada.
"Jangan, Kang...."
'Tenang saja, Tari. Jangan khawatir...," bujuk Sembada, semakin bernafsu saja menggerayangi tubuh gadis itu.
Meskipun gadis itu tak berusaha keras mempertahankan diri, namun masih tetap menolak niat buruk yang ada di hati Sembada.
Namun agaknya pemuda itu sudah tak sabar lagi. Nafsunya telah menggelegak, membakar hatinya. Maka dengan kasar dipeluknya tubuh gadis itu, dan direbahkannya di rerumputan. Gadis itu berusaha berontak, mempertahankan kehormatannya. Dan nalurinya pun mengatakan kalau pemuda itu tidak bermaksud baik. Jelas, yang ada di hatinya hanya nafsu iblis belaka.
'Tidak, Kang! Aku tak mau! Aku tak mau"! Lepaskaaan...! Lepaskaaan...!" teriak gadis itu.
Tari mulai keras perlawanannya. Bukan lagi sekadar menyadarkan nafsu setan pemuda itu, namun ingin melepaskan diri dari cengkeramannya.
Namun, Sembada seperti tak peduli. Kekasarannya semakin menjadi. Malah tenaganya seperti berlipat ganda, ketika menindih tubuh Tari dan mencabik-cabik kasar pakaiannya. Namun mendadak saja....
Begkh! "Aaakh...!"
Sembada kontan menjerit kesakitan, ketika satu tendangan menghajar pinggangnya. Tubuhnya bergulingan menahan sakit lalu bergegas bangkit. Sementara gadis yang sejak tadi hendak menjadi korban nafsu setannya cepat bangkit. Langsung bagian tubuhnya yang terlarang ditutupi. Dan kedua orang itu sama-sama terpaku, ketika melihat siapa yang muncul di tempat itu.
Sesosok tubuh yang sebagian rambut panjangnya menutupi wajah itu berdiri tegak di depan Sem?bada sambil berkacak pinggang. Kedua anak muda itu sama sekali tak tahu, dari mana orang itu berasal. Melihat dari bentuk tubuh dan caranya berpakaian, jelas kalau dia adalah seorang wanita. Na?mun wajahnya yang terhalang rambut itu belum telihat jelas.
"Siapa kau"!" bentak Sembada, garang.
Pemuda itu berusaha menyembunyikan rasa takutnya terhadap perempuan berbaju hijau itu, dengan bersikap demikian.
"Hm..., kau tak mengenaliku, Sembada?" ta?nya perempuan itu dingin.
Mendengar sahutan itu, tentu saja Sembada terkejut. Dari mana orang itu tahu namanya" Untuk sesaat, dia tertegun dengan sorot mata bingung.
"Hi hi hi..! Kau tentu tak akan menduga kalau pertemuan kita kembali ini akan secepat ini, bukan" Kedatanganku untuk menagih janji, sekaligus nyawamu!''
Kata-kata yang diucapkan perempuan berbaju hijau itu terasa mengancam. Sehingga membuat Sembada semakin bergetar saja sekujur tubuhnya.
"Siapa kau ini sebenarnya" Dan, apa yang kau inginkan"!" tanya pemuda itu berusaha menenangkan diri.
"Kau betul-betul tak mengenalku?"
Sembada diam tak menyahut. Hanya matanya terus memperhatikan perempuan itu dengan seksama.
*** "Apakah kau kini tak mengenalku, Sembada?" tanya perempuan itu dingin seraya menyibakkan rambut.
"Heh"!"
Sembada terbelalak kaget. Dia kenal betul wa?jah perempuan yang berbaju merah ini.
"Indrawati, kau...?" sebut pemuda itu, tercekat di tenggorokan.
'Ya! Akulah Indrawati, kekasihmu dahulu yang pernah disia-siakan..."
Mengetahui siapa gadis itu, napas Sembada sedikit lega. Wajahnya mulai dihiasi sedikit senyum. Sambil cengar-cengir dihampirinya gadis itu.
"Eh, Indrawati kenapa kau berada di sini?"
"Karena kau ada di sini," sahut gadis berbaju hijau yang dipanggil Indrawati itu pendek.
"Hm... Apakah kau..., kau masih merindukanku...?"
"Hi hi hi...! Rindu" Justru kedatanganku ke sini akan mencabut nyawamu!"
"Ha ha ha...! Indrawati! Kau masih suka bercanda juga rupanya...."
Perlahan-lahan pemuda itu mendekat sambil cengar-cengir. Tak dipedulikannya kata-kata Indra?wati. Namun ketika jaraknya persis berada di hadapan gadis itu, Sembada tersentak kaget Tangan kanan Indrawati tiba-tiba bergerak cepat ke arah matanya.
Crab! "Aaa...!"
Sembada kontan terpekik ketika dua buah jari Indrawati yang berkuku runcing mengorek biji matanya. Pada saat yang bersamaan, lutut kiri gadis itu menghajar bagian selangkangan Sembada.
Desss! "Aaa...!"
Sembada terpekik ketika barang keramatnya terhajar lutut gadis itu. Pemuda itu kontan ambruk dan berkelojotan di tanah sambil menjerit-jerit. Se?mentara, bagian wajahnya telah dibanjiri darah.
"Oh...!"
Gadis yang tadi menyertai Sembada terperangah kaget melihat kejadian di depan matanya. Sekujur tubuhnya gemetar dan bola matanya terbelalak. Belum lagi habis rasa kagetnya mendadak gadis berpakaian hijau itu mengangkat sebelah kaki Sembada, setelah memakan kedua biji matanya. Dan....
Blesss! Tanpa rasa kasihan sedikit pun, telapak kaki Indrawati dihujamkan ke dada Sembada. Akibatnya, sungguh mengerikan! Bahkan Tari nyaris pingsan, kalau saja tak berusaha menguatkan hati, dan berusaha lari dari tempat itu.
Memang, tulang rusuk Sembada remuk. Se?mentara kaki gadis berbaju hijau ini melesak ke dalam tubuh pemuda itu. Sembada sendiri hanya mampu menjerit sesaat, sebelum nyawanya lepas dari raga.
"Hi hi hi...! Mampuslah kau Sembada. Mampuslah kau...! Hi hi hi...!"
Setelah puas tertawa, Indrawati segera meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi. Agaknya, dia tak begitu peduli terhadap gadis berbaju merah muda yang tadi sempat kabur.
? *** ? "Tolooong...! Tolooong..!"
Tari terus berlari menuju desa tempat tinggalnya yang tak begitu jauh dari tempat itu sambil berteriak-teriak tak karuan. Tiba di mulut desa, orang-orang mulai memperhatikannya. Bahkan beberapa orang malah tersipu malu. Ternyata pakaian yang dikenakannya sedikit tak karuan. Sehingga di sana-sini terlihat bagian tubuhnya yang berkulit mulus. Namun, agaknya Tari tak mempedulikannya. Teriakannya begitu menggiriskan sepert dikejar setan.
"Astaga! ltukan Lestari, putri Pak Jangat"! Kenapa pakaiannya begitu?" tanya salah seorang gadis pada kawannya.
Agaknya kedua gadis belia yang baru saja pulang dari pasar ini mengenal, siapa gadis berbaju merah muda yang tengah berlari seperti orang gila itu.
Namun belum kedua gadis itu sempat melangkah untuk mencegat Tari yang bernama lengkap Lestari itu, seorang perempuan setengah baya telah lebih dulu menghampirinya.
"Lestari, astaga! Kenapa kau, Nak" Kenapa"!" tanya perempuan setengah baya itu terkejut.
'Tolooong! Tolooong..!"
'Tenanglah, Nak. Aku emakmu. Ayo, sadarlah. Sadar! Ada apa" Apa yang telah terjadi pada dirimu?" tanya perempuan setengah baya itu lagi sam?bil mengguncang-guncangkan kedua bahu Lestari.
Gadis berbaju merah muda itu masih berusaha berontak dengan wajah pucat dan tubuh bergetar hebat. Padahal, yang menanyakannya adalah ibunya sendiri.
"Ayo, Lestari. Tenangkan hatimu. Aku ini emakmu. Tak perlu takut. Sadarlah, Nak. Sadar...!" perempuan setengah baya itu terus berusaha menyadarkan Lestari dengan kata-kata lembut.
Dan tampaknya gadis itu perlahan-lahan mulai sadar. Lestari tak lagi berusaha berontak. Namun bola matanya masih melotot kaku, seperti menatap kosong ke depan. Orang-orang mulai mengerumuni tempat itu. Sehingga, perempuan setengah tua itu merasa malu. Didekapnya gadis itu, hendak dibimbingnya pulang. Namun Lestari kelihatan tetap bertahan, tak mau beranjak sedikit pun dari tempat berdiri.
"Lestari! Coba lihat, Nak. Banyak orang yang berada di sini memperhatikanmu. Apakah kau tak malu?"
Gadis itu tak menjawab. Namun, pandangannya kini menatap perempuan setengah baya itu de?ngan seksama.
"Hantu perempuan itu, Mak. Di..., dia memakai baju hijau. Rambutnya panjang, dan... Dan membunuh Kakang Sembada...."
"Apa?"
Perempuan setengah baya itu terkejut mende?ngar penuturan putrinya. Namun, sebenarnya pertanyaannya itu asal keluar saja dari mulutnya. Telinganya sendiri masih jelas menangkap, apa yang dikatakan putrinya tadi. Demikian pula orang-orang yang mengerumuni. Jelas sekali mereka mendengar apa yang diucapkan gadis itu.
"Hantu perempuan berbaju hijau membunuh Sembada?"
"Di mana hantu itu sekarang?"
"Ayo, mari kita ke sana beramai ramai!"
Dalam sekejap, Desa Besakih dibuat heboh oleh cerita yang dibawa Lestari. Dengan tergesa-gesa, mereka pergi menuju tempat gadis itu bertemu hantu perempuan berbaju hijau yang telah membunuh Sembada.
Dan begitu sampai di sana, kegemparan sema?kin menjadi jadi. Mayat Sembada ditemukan dalam keadaan mengerikan sekali. Kedua kelopak mata?nya bolong dan tulang dadanya jebol. Sedangkan sekujur tubuhnya bersimbah darah. Keadaan itu tentu saja membuat mereka bertanya tanya, siapa kah sebenarnya hantu perempuan berbaju hijau yang dimaksud Lestari" Tapi kenapa di tepi telaga ini tak terlihat orang lain" Bahkan banyak yang menduga kalau itu hanya dilakukan para perampok belaka. Namun tak kurang yang membenarkan ucapan Lestari. Atau mungkin, juga kejadian yang menimpa Sembada dilakukan oleh salah seorang musuh yang amat membencinya"
? *** ? Hari belum lagi terlalu malam ketika dua orang penunggang kuda melewati Desa Besakih. Pintu-pintu rumah sepertinya terkunci rapat. Sementara beberapa pelita menyala kecil di depan rumah. Desa ini sepi bagai di pekuburan saja. Agaknya peristiwa beruntun yang menimpa siang tadi, membuat semua penduduk Desa Besakih ketakutan. Tiga orang tewas dalam waktu tak terlalu lama. Pada hal, tak seorang pun yang tahu, apa penyebab kematian mereka, selain diperkirakan telah dibunuh perempuan aneh berbaju hijau yang tak dikenal.
Kalau perempuan aneh itu mampu membuat korbannya tewas secara mengerikan, tentu mampu pula menghancurkan Desa Besakih ini dengan seluruh penduduknya. Hal itulah yang dipikirkan seluruh penduduk desa ini. Makanya, tak ada se?orang pun yang berani keluar setelah senja berlalu.
"Kakang, desa apakah ini" Suasananya sepi sekali seperti di kuburan. Padahal rumah mereka rapat dan tempat ini pun luas. Bagaimana mungkin tak bertemu seorang pun di malam ini...," tanya seorang gadis berbaju biru muda pada pemuda yang berbaju rompi putih.
"Aku pun tak bisa menduga apa yang menjadi penyebabnya, Pandan," sahut pemuda berbaju rompi putih itu pelan sambil memutar pandangannya ke kiri dan ke kanan.
Kedua orang ini memang tak lain dari Pandan Wangi dan Rangga. Mereka lebih dikenal sebagai Sepasang Pendekar dari Karang Setra.
"Apakah kita akan bermalam di sini" Tapi, sejak tadi belum satu pun kulihat rumah penginapan," kata Pandan Wangi.
"Kita bisa menumpang di rumah penduduk, dengan memberi sedikit uang kepada pemiliknya...," usul Rangga.
"Kalau demikian, biarlah kuketuk pintu rumah itu. Siapa tahu mereka mau menerima kita!" sahut Pandan Wangi cepat.
Gadis itu segera melompat turun dari punggung kudanya, lalu berjalan cepat memasuki sebuah pekarangan.
Sementara, Rangga masih tetap berada di punggung kudanya. Diperhatikannya gadis itu de?ngan seksama. Pandan Wangi sendiri terlihat mulai mengetuk pintu rumah itu sambil memanggil-manggil pelan.
"Kisanak, tolong bukakan pintu rumahmu. Ka?mi hendak menumpang menginap!"
Tak ada sahutan dari dalam. Pandan Wangi hanya mendengar derap langkah kaki penghuninya yang berkumpul di satu ruangan. Dan ini membuat dahinya berkerut dengan wajah heran. Kemudian kembali diketuknya dengan suara yang sedikit lebih keras. Namun tak terdengar sahutan dari dalam. Setelah sekali lagi mengetuk namun tak juga ter?dengar jawaban, gadis itu menggeleng lesu. Seke?tika tubuhnya berbalik dan keluar dari pekarangan rumah itu.
"Entah kenapa, aku pun merasakan ketakutan penghuni rumah ini...," sahut gadis itu seperti bergumam sambil menuntun kudanya. Sebentar sa?ja dia sudah sampai di dekat Rangga.
"Barangkali ada sesuatu yang telah terjadi pada mereka sehingga takut menerima tamu asing. Terlebih lagi, di malam hari," sahut Rangga.
Pandan Wangi tak menyahut. Kakinya segera melangkah ke rumah yang lain. Namun begitu tiba di depan pintu satu rumah penduduk, seperti rumah yang pertama diketuknya tadi, dia juga mengalami kejadian sama. Tak ada sahutan sedikit pun dari penghuni rumah itu.
"Bagaimana, Kakang" Agaknya apa yang kau katakan tadi mungkin benar. Mereka takut mene?rima tamu asing. Tapi apa yang telah terjadi di tempat ini?" Pandan Wangi menggelengkan kepala. Segera gadis itu menghampiri kudanya. Lalu segera dia naik ke atas kuda putihnya.
"Kita bisa bermalam di tempat lain...," sahut Rangga, seraya menggebah kudanya. Maka kuda hitam bernama Dewa Bayu mulai melangkah membelah jalan. Sementara Pandan Wangi mengikuti dari belakang.
? *** ? Tiba di suatu tempat yang tak begitu jauh dari pinggiran Desa Besakih, Rangga dan Pandan Wangi berhenti dan segera turun dari kudanya. Tempat itu memang sejuk dan nyaman, banyak dinaungi daun-daun yang lebat dan tinggi seperti payung raksasa. Di dekatnya terdapat sebuah telaga yang cukup luas. Dan mereka sepakat untuk bermalam di tempat itu.
Rangga segera mengumpulkan ranting-ranting yang banyak bertebaran di sekitar situ. Setelah sudah cukup banyak, ranting itu ditumpuk-tumpuk dan dibakarnya. Kini di hadapan Rangga yang telah duduk bersila, api unggun mulai menghangati sekitarnya.
"Aku masih tak habis pikir, Kakang" Kenapa penduduk desa itu bersikap demikian pada kita...," tanya Pandan Wangi, memecah kebisuan.
Rangga tak langsung menjawab. Malah ditambahkannya beberapa buah ranting ke dalam api unggun yang menerangi sekitarnya. Diliriknya gadis yang duduk di sebelahnya sekilas sambil tersenyum kecil. Wajah Pandan Wangi ditekuk sedemikian rupa, menunjukkan kekesalan hatinya.
"Barangkali bukan hanya kita yang mengalami. Tapi, orang lain sebelum kita pun mungkin pernah mengalaminya. Hanya mungkin kita tak tahu, apa yang menyebabkan penduduk desa itu bersikap de?mikian. Jadi jangan berprasangka buruk dulu. Ba?rangkali mereka pernah mengalami sesuatu yang mengerikan atau sesuatu yang menakutkan pernah menimpa desa itu...," sahut Rangga pelan.
Pandan Wangi diam tak bersuara lagi. Hatinya memang masih kesal, tapi kata-kata Rangga ada benarnya juga. Lagi pula, apa hak mereka untuk memaksakan kehendak pada penduduk desa" Ka?lau para penduduk tak mau menerima, bukankah itu memang hak mereka"
Sementara itu Rangga masih duduk menekur sambil memandangi api unggun. Sesekali matanya melirik Pandan Wangi. Diusirnya nyamuk-nyamuk yang hendak menggigit tubuh gadis itu. Dan pada saat itulah mendadak...
Slappp! "Hei"!"
Rangga terkejut dan langsung berdiri tegak sambil memandang ke sekeliling tempat itu. Jelas, matanya belum lamur ketika melihat sekelebatan bayangan melintas di depan matanya!
Slappp! "Hup!"
*** Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" ?"" Pendekar Rajawali Sakti
?"?" ? 2017 . 123. Misteri Hantu Berkabung Bag. 4
14. September 2014 um 09:16
4 ? ? Bayangan itu kembali berkelebat cepat bukan main. Namun, Rangga tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Maka, tubuhnya langsung berkelebat cepat mengejar, disertai pengerahan segenap ilmu peringan tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
"Hup'"
Dengan kecepatan yang sulit diikuti mata orang awam, Rangga berusaha mendahului bayangan itu. Maka langsung dihadangnya bayangan itu, persis di depannya. Tapi, siapa sangka kalau ternyata ba?yangan itu malah berkelebat ke arah semula, dan terus menghilang.
"Sial!" pekik Rangga, seraya terus kembali mengejar.
"Yeaaa...!"
"Heh"!"
Rangga terkejut bukan main ketika telinganya mendengar teriakan Pandan Wangi. Segera tubuh?nya digenjot ke tempat semula. Sebentar saja dia sudah tiba di tempat semula, dan melihat Pandan Wangi tegak mematung sambil memandang ke sekeliling.
"Pandan Wangi! Kenapa kau" Apa yang terjadi padamu?" tanya Rangga, cemas.
'Tak ada apa-apa, Kakang. Hanya ada musuh yang agaknya ingin bermain main dengan kita...."
"Hm.... Kau pun agaknya mengalami kejadian serupa denganku?" tanya Rangga geram sambil memandang ke sekeliling.
"Kau tadi ke mana, Kakang?" tanya Pandan Wangi sedikit heran.
"Melihat-lihat. Hm.... Tapi, agaknya mereka tak sendiri. Untunglah aku tak meninggalkanmu jauh dari tempat ini...," geram Rangga.
"Hi hi hi...! Sepasang sejoli yang sedang dimabuk asmara tak sadar kalau sesaat lagi maut akan memisahkannya!"
Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang bergema di sekitarnya. Sepasang Pendekar dari Karang Setra itu diam membisu sambil menajamkan pendengaran.
"Kenapa mesti bersembunyi" Katakan saja, apa maksudmu mengganggu kami"!" sahut Rangga. Suaranya terdengar datar, namun seperti menggema di malam hening begini.
"Hi hi hi...! Punya hak apa kau menyuruh-nyuruhku"!" balas suara itu.
"Dan kau, punya hak apa mengganggu kami"!" balas Rangga sinis.
"Hi hi hi...! Aku penguasa tempat ini. Dan kalian telah berada di daerah kekuasaanku. Maka sudah sepatutnya aku menghukum kalian. Itu hakku!"
"Ha ha ha...! Lucu! Baru sekali ini aku menemui ada seorang penguasa takut menunjukkan dirinya padaku. Kalau tidak pengecut, pasti hanya kere yang memang berlagak jadi penguasa," balas Rangga, enteng.
"Kurang ajar! Huh!"
"Pandan, awas,..!" teriak Rangga memperingatkan ketika mendadak melesat sesosok tubuh dengan kecepatan tinggi ke arah mereka.
"Jangan khawatir, Kakang! Aku siap meng?hadapi kuntilanak ini!" sahut Pandan Wangi.
"Grrrahhhrrr!"
"Yeaaa...!"
Gerakan sesosok tubuh itu cepat bukan main. Bahkan diikuti desir angin kencang dan dorongan tenaga kuat. Untuk sesaat Rangga terkesiap. Na?mun, cepat dipasangnya kuda-kuda. Dan dengan agak membuang tubuh ke samping kiri, sebelah kaki kanannya mencoba menyapu bagian pinggang.
Bet! plas! "Sial!"
Pendekar Rajawali Sakti merutuk, ketika ba?yangan itu lebih dulu bersalto ke atas. Kemudian, tubuhnya meluncur bagai kilat menerjang Pandan Wangi.
Tapi, gadis itu memang telah bersiaga sejak tadi. Sehingga sebelum serangan datang, dia telah lebih dulu melompat sambil mengayunkan kaki kanan menendang berputar.
"Yeaaa...!"
"Uts...!"
Sesosok bayangan itu cepat meliuk ke samping. Lalu cepat dilepaskannya satu pukulan keras, sehingga membuat Pandan Wangi terkejut. Masih untung gadis berbaju biru muda itu cepat melompat ke belakang. Namun, gerakan bayangan itu lebih cepat lagi saat mengikuti gerakannya. Bahkan langsung mengayunkan satu pukulan menderu.
"Hiyaaat..!"
Maka pada saat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengayunkan kepalan ta?ngan ke arah bayangan itu.
Melihat serangan datang, bayangan itu cepat mengebutkan tangannya, menangkis pukulan Rangga.
'Uts...!" Plak! "Hiyaaa...!"
Pada saat yang sama, Pandan Wangi melepaskan satu tendangan menggeledek ke arah bayangan itu. Seketika bayangan itu kembali mengebutkan tangannya, menangkis tendangan Pandan Wangi.
Plak! Tubuh bayangan itu melompat ke samping, setelah menangkis tendangan Pandan Wangi. Tapi, pada saat itulah satu tendangan Pendekar Rajawali Sakti telah mengancamnya. Begitu cepat gerakannya saat menendang, sehingga....
Begkh! "Aaakh...!"
Sosok bayangan itu mengeluh kesakitan. Tu?buhnya kontan terpental, namun cepat berputaran di udara. Namun pada saat di udara, sosok bayang?an itu menghentakkan tangannya ke arah Pandan Wangi. Maka seketika dari telapak tangannya, melesat selarik sinar merah yang menebar bau busuk menyengat ke arah Pandan Wangi. Padahal, gadis itu bermaksud melakukan serangan susulan.
"Pandan Wangi, awas!" teriak Pendekar Raja?wali Sakti.
Seketika Rangga menghentakkan tangannya, melepaskan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' untuk memapak serangan. Dan....
? *** ? Glarrr! Terdengar ledakan keras menggelegar ketika kedua pukulan itu bertemu. Asap hitam bercampur percikan bunga api, tampak mewarnai tempat itu untuk beberapa saat. Dan seketika Pendekar Raja?wali Sakti kembali melesat melakukan serangan su?sulan.
"Hiyaaat..!"
Tapi bayangan itu telah hilang entah ke mana. Pendekar Rajawali Sakti mencari-cari untuk bebera?pa saat, namun bayangan itu raib seperti ditelan bumi.
"Kakang, apakah dia tewas?" tanya Pandan Wangi, menghampiri pemuda itu.
Rangga menggeleng lemah seperti tak percaya.
"Dia menghilang...," kata Rangga pelan.
"Menghilang" Menghilang bagaimana" Kau tentu tak akan mengatakan kalau kita tadi berhadapan dengan kuntilanak"!"
Pemuda itu tersenyum.
"Apakah kau tak melihat kalau pukulanku tadi mengenai sasaran?"
"Ya, aku tahu. Tapi, bagaimana mungkin dia bisa menghilang secepat itu!"
"Kenapa tidak?" Rangga malah balik bertanya.
"Ah, Kakang. Aku semakin tak mengerti?" ta?nya Pandan Wangi bingung.
"Dia memiliki kecepatan luar biasa. Pada saat benturan pukulan tadi, justru digunakan untuk melarikan diri," sahut Rangga singkat.
'Tapi..." "Hm.... Jangan teralu menganggapku tinggi, Pandan. Di atas langit masih ada langit. Dan di muka bumi ini, bertaburan orang-orang sakti yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Dan yang jadi masalah, siapa perempuan itu. Dan. apa yang diinginkannya dari kita?" kata Rangga, lalu duduk di depan api ungun yang masih menyala.
Gadis itu terdiam beberapa saat sambil melang?kah perlahan mendekati api unggun dan duduk di sebelah Rangga. Memang sulit diterima, kejadian barusan. Selama ini, dia yakin kalau Rangga memiliki kemampuan sulit diukur. Bahkan tak sembarangan orang mampu mengalahkannya. Tapi, kena?pa mengejar bayangan tadi dia tak mampu" Mungkin juga apa yang dikatakan Rangga benar. Bahwa di atas langit, masih ada langit. Kalau begitu, bisa saja sosok bayangan tadi memiliki kepandaian di atas Rangga.
"Aku bukan tak ingin mengejarnya, Pandan. Tapi aku tak ingin membuat kesalahan dua kali se?perti tadi. Aku khawatir, dia itu tidak sendiri. Dan kalau aku mengejarnya, siapa tahu kawan-kawannya menyergapmu. Dan pasti, itu dilakukan untuk memancingku agar berada jauh darimu," jelas Rangga, sepert mengetahui apa yang dirasakan kekasihnya.
Pandan Wangi menatap Rangga yang duduk di sebelahnya sambil tersenyum. Betulkah apa yang dikatakan Rangga barusan itu" Dia mengkhawatirkan dirinya" Tapi, sebenarnya hal itu tak membuatnya heran. Ucapan seperti itu pernah didengarnya berkali-kali. Tapi malam ini, terasa lain. Karena dirasakannya, ucapan Rangga tadi begitu tulus. Semacam pengungkapan kasih sayang terhadapnya!
"Kakang! Menurutmu, apakah dia betul perem?puan..., eh! Maksudku, manusia begitu?" tanya Pandan Wangi, mengalihkan pembicaran pada pokok persoalan, setelah pikirannya larut dalam lautan pertanyaan dalam hati.
"Hm.... Kau pun melihat dan merasakannya, bukan" Kenapa itu kau tanyakan?"
"Maksudku, apakah dia telah berusia lanjut?"
"Rasanya tidak. Pada saat menangkis pukulanku tadi, bisa kurasakan kalau kulitnya seperti kulit gadis seusiamu. Sayang wajahnya tak jelas, karena tertutup rambut panjang yang dibiarkannya lepas begitu saja...."
"Hm. Lalu, apa maksudnya dia menyerang" Apakah ada sangkut-pautnya dengan penduduk desa itu?" tanya Pandan Wangi, seperti untuk dirinya sendiri.
Rangga tak menyahut. Dan Pandan Wangi yang mungkin teralu lelah, segera menyandarkan tubuhnya ke dalam pelukan Rangga.
? *** ? Sesosok tubuh ramping berbaju hijau terus berlari tersaruk-saruk menembus kepekatan malam. Beberapa kali terlihat tubuhnya hampir tersandung kayu yang melintang menghadang. Namun dengan tangkas dia melompat bagaikan melayang terbang. Sosok tubuh yang ternyata perempuan berambut panjang itu seperti tak peduli keadaan sekelilingnya. Semak belukar serta hutan lebat telah dilaluinya. Namun dia terus berlari seperti tak akan berhenti.
Jika melihat caranya berlari, jelas kalau perem?puan itu memang bukan orang sembarangan. Ke?dua kakinya lincah sekali melompat dari satu cabang pohon, ke cabang pohon yang lain, jika di depannya terbentang penghalang yang tak mampu ditembus dengan berlari cepat.
Ketika ayam jantan mulai berkokok tanda fajar akan menyingsing, perempuan itu memasuki se?buah lembah yang terlihat sunyi dan angker. Bebatuan dan batang pohon terlihat hampir sama besar dan banyaknya. Pada suatu tempat yang bertanah datar, dia berhenti berlari dan berdiri tegak. Sejenak matanya memandang ke sekelilingnya.
"Sukesih...! Nilam...!" teriak perempuan itu, nyaring.


Pendekar Rajawali Sakti 123 Misteri Hantu Berkabung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menunggu beberapa saat, sebelum dua so?sok bayangan melesat cepat ke hadapannya. Mere?ka sama-sama wanita bertubuh ramping dan be?rambut panjang yang dalam keadaan awut-awutan. Masing-masing berbaju putih, dan berbaju merah.
"Indrawati! Kenapa kau berkaok-kaok seperti orang kesurupan begitu?" tanya wanita berbaju merah, sambil berkacak pinggang. Da bernama Sukesih.
"Apa yang kalian lakukan seharian tadi?" tanya perempuan berbaju hijau, yang dipanggil Indrawati.
"Kau pikir apa yang kami lakukan?" kata wanita berbaju putih yang bernama Nilam, balik bertanya.
"Kenapa kau" Apa sebenarnya yang terjadi pa?damu?" tanya Sukesih curiga.
"Jangan-jangan dia telah kepincut oleh pemu?da tampan!" goda Nilam.
"Hi hi hi...! Benarkah itu, Indrawati?" tanya Sukesih menimpali.
"Huh! Jangan sebut lagi soal itu! Kita telah sepakat! Tapi ada hal yang membuatku heran...," dengus Indrawati.
"Apa itu?" tanya Nilam dan Sukesih hampir berbarengan.
"Aku baru saja bentrok dengan seorang pemu?da..."
"Nah, coba dengar. Apa kataku tadi!" potong Nilam sambil ketawa nyaring.
"Nilam, dengar ceritaku!" bentak Indrawati dengan suara melengking tinggi.
Agaknya Nilam menyadari kalau kawannya kini tak main-main. Mendengar nada suaranya, dia pasti akan menceritakan sesuatu yang penting. Maka gadis berbaju putih itu menghentikan tawanya.
"Aku tak tahu, siapa dia. Tapi saat aku bertemu, pemuda itu bersama seorang gadis. Dugaanku, pasti dia lelaki hidung belang yang akan melakukan perbuatan terkutuk terhadap gadis itu. Namun sejauh itu, ternyata mereka hanya duduk-duduk.
Aku mulai geram dan kesal. Akan kubunuh mereka berdua! Tapi, ternyata mereka bukan orang sembarangan. Mereka memiliki kemampuan hebat..!" tutur Indrawati.
"Lalu, kau kabur?" tuding Sukesih.
"Aku tak punya pilihan lain...," sahut si Indra?wati lesu.
"Pengecut!" desis Sukesih geram.
"Sukesih! Kau tak merasakan sendiri kejadian itu...," kilah Indrawati mencoba memberi alasan.
"Kau masih ingat ikrar kita" Hidup ini tak berarti. Dan hanya satu keinginan kita, yaitu membalas dendam! Itukah yang kau maksudkan sebagai ikrar kita" Lari dari musuhmu sendiri"! Ayo, jawab! Untuk apa hidupmu saat ini" Apakah kau masih sempat memikirkan mati" Kita sudah mati sejak dulu! Kau harus camkan itu baik-baik!" potong Su?kesih, panjang lebar.
Suara gadis berbaju merah itu melengking nyaring seperti bergaung. Dan Indrawati diam tertunduk. Demikian pula Nilam. Untuk beberapa saat suasana di tempat itu kembali hening, setelah Su?kesih menghentikan ucapannya.
"Sudahlah. Lupakanlah kejadian barusan...," lanjut Sukesih dengan suara lebih lunak. Ditepuk-tepuknya bahu gadis baju hijau itu.
'Tapi, bila kau ketemu lagi dengannya, dia ha?rus mampus di tangan kita. Tak ada seorang pun boleh luput dari tangan kita!" desis Nilam seperti memberi semangat.
Indrawati menganggukkan kepala.
"Kau masih ingat wajahnya, bukan?" tanya Sukesih lagi.
Gadis berbaju hijau itu menganggukkan kepala.
"Sudahlah. Aku berjanji, dia akan mampus di tangan kita. Nah, bagaimana tugasmu tadi!" tanya Sukesih.
"Aku bertemu dengannya. Dia sudah mam?pus!"
"Bagus! Nilam pun telah melakukan tugasnya dengan baik. Sekarang, mari kita pulang. Besok pagi aku harus mendapatkan orang itu. Hari ini, dia luput karena pindah entah ke mana. Tapi, besok dia bakal mampus. Meskipun ke ujung langit sekalipun, akan kukejar dia!" dengus Sukesih menggeram.
Pendekar Pemanah Rajawali 8 Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam Pendekar Kidal 8

Cari Blog Ini