Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika Bagian 1
'Tunggu...! Ada apa ini" Kenapa kalian
menyerangku?" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Jangan banyak omong! Kau telah membunuh
putra Ki Junggut. Sekarang kau harus mati...!"
bentak Ki Sampak berang.
"Eh..."!" Rangga ingin membantah. Tapi dirinya
tidak sempat lagi menjelaskan. Dia tidak tahu apa
sebenarnya yang telah terjadi di Desa Payakan ini.
Padahal, yang selalu membunuh keluarga Ki
Junggut adalah seorang bocah kecil!
Siapakah bocah itu" Mengapa dia sangat biadab
dan membunuhi keluarga Ki Junggut" Apakah
semua ini akibat cincin mustika yang dicurinya"
Rahasia apa yang terkandung di dalamnya" Dan,
bagaimana cara Pendekar Rajawali Sakti merebut
cincin tersebut"
--myrna-- 1 "Dasar anak tidak tahu di untung! Pergi kau..!
Aku muak melihatmu lagi!"
Terdengar bentakan kasar dari seorang laki-laki
bertubuh kekar, yang diiringi tendangan kakinya
yang mantap. Duk! "Aduh...!"
Anak kecil bertubuh kurus dan berkulit hitam
yang dibentak dan ditendangnya langsung
mengaduh kesakitan, saat kaki yang besar dan
berbulu itu menghajar tubuhnya. Tubuh kurus itu
langsung jatuh bergulingan di tanah becek, bekas
tersiram hujan semalam. Seluruh wajah dan
tubuhnya sudah biru lebam. Dan pakaiannya
sobek-sobek tidak ber-bentuk lagi Tapi, tidak
terdengar rintihan maupun keluhan keluar dari
bibirnya yang pucat dan gemetar.
Sementara laki-laki bertubuh kekar yang
terbungkus baju indah dari kain sutera itu makin
kelihatan bengis wajahnya. Bola matanya yang
tajam menatap bocah berusia sekitar sebelas tahun
itu. "Cepat pergi! Jangan berani lagi menginjak
pekarangan rumahku!" bentak laki-laki bertubuh
kekar itu kasar sambil menuding dengan jari
telunjuknya yang besar.
Anak kecil itu bangkit berdiri sambil meringis
menahan sakit di seluruh tubuhnya. Sebentar
dipandanginya laki-laki bertubuh kekar di
depannya. Kemudian tubuhnya berbalik, lalu
melangkah pergi dengan ayunan kaki tertatih-tatih.
Kejadian di pagi hari ini sempat membuat
beberapa orang yang melintas di depan rumah
besar dan berhalaman luas itu berpaling. Namun
mereka bergegas pergi, seperti takut melihat lakilaki bertubuh tinggi besar yang masih berkacak
pinggang di depan rumahnya yang megah ini.
Sementara anak kecil yang baru saja kena
hajaran itu, terus melangkah tertatih-tatih tanpa
berpaling lagi sedikit pun. Dia terus berjalan
dengan kaki telanjang, menelusuri jalanan becek
dan berair. Anak itu terus berjalan tanpa berhenti. Sampai
matahari naik tinggi berada di atas kepala, langkah
kakinya berhenti berada di tengah hutan yang
cukup lebat. Dia tidak tahu lagi, berada di mana
sekarang ini. Sekelilingnya hanya pepohonan besar
dan rapat, bagai bertaut menjadi satu. Rasa takut
seketika menghinggapinya.
"Oh! Di mana aku...?"
Rasa takut bocah itu semakin menjadi, setelah
benar-benar menyadari keberadaannya sekarang
ini. Tubuh anak berusia sekitar sebelas tahun ini
langsung menggigil. Bukan karena udara di dalam
hutan ini yang dingin, tapi karena rasa takutnya.
Bola matanya yang kecil, merayapi sekitarnya.
Nyatanya hanya pepohonan saja yang ada di
sekelilingnya. Seakan dia terkurung, tanpa tahu lagi
mana arah jalan keluar.
Dan di saat rasa takut semakin menguasai
dirinya, mendadak saja....
"Hik hik hik..!"
"Oh..."!"
Pucat seluruh wajah bocah itu ketika tiba-tiba
terdengar suara tawa mengikik yang begitu nyaring
dan mengerikan. Begitu takutnya, dia langsung
jatuh terduduk di tanah yang masih basah tersiram
hujan semalam. Suara tawa yang terdengar jelas
sekali, menggema di sekelilingnya. Seakan, begitu
dekat berada di tempat ini. Getaran di tubuhnya
malah semakin keras. Dan belum lagi bisa disadari
apa yang terjadi, mendadak saja....
Wusss...! "Aaa...!"
Bocah kecil itu menjerit nyaring, begitu tiba-tiba
berhembus angin kencang yang diikuti berkelebatnya sebuah bayangan merah begitu cepat bagai
kilat menyambarnya. Dan tahu-tahu, bocah itu
sudah lenyap tidak berbekas lagi Suara jeritannya
yang panjang pun menghilang tepat ketika
bayangan merah itu lenyap.
Kini hutan ini pun kembali sunyi, seperti tidak
terjadi sesuatu. Hanya pepohonan saja yang
menjadi saksi bisu dari peristiwa yang begitu cepat
berlangsung. Entah apa yang terjadi pada anak
kecil malang itu.
--myrna-- Hutan turun yang begitu lebat disertai angin
yang kencang berhembus mengguyur Desa
Payakan. Sudah beberapa hari ini, hujan turun
bagai tertumpah dari langit di desa itu. Sehingga,
membuat semua penduduknya tidak ada yang bisa
mengerjakan tugasnya sehari-hari. Dan mereka
terpaksa harus berdiam diri dalam rumahnya.
Sementara di dalam rumah yang paling besar di
Desa Payakan, terlihat seorang laki-laki bertubuh
tinggi besar tengah duduk santai bagai seorang
raja. Laki-laki berkulit agak hitam dan ditumbuhi
bulu cukup lebat pada bagian dada, tangan serta
kakinya ini, dikelilingi tiga orang gadis yang
berparas cantik yang tampak manja. Mereka selalu
melayani segala keinginan lelaki bertubuh besar
dan kekar ini. Dan orang-orang desa mengenali
sebagai Ki Junggut.
Dan tidak jauh di depannya, duduk dua orang
anak muda berwajah kembar dengan pakaian sama
persis. Di belakangnya, duduk bersila tiga orang
laki-laki tua berjubah dan seorang perempuan tua
yang rambutnya sudah memutih semua. Mereka
tampak gembira, tidak menghiraukan hujan yang
turun begitu lebat mengguyur desa ini bagai
ditumpahkan dari langit.
"Aku dengar kalian mendapat kesulitan hari ini.
Apa yang terjadi pada kalian, sampai babak belur
begini...?" tanya laki-laki bertubuh besar dan
berbulu hampir di seluruh tubuhnya, dengan suara
terdengar berat sekali.
"Benar, Ayah. Rupanya, sekarang telah ada
orang yang berani menghalangi kami dalam
memungut pajak dari penduduk," sahut salah
seorang pemuda kembar.
"Hm.... Siapa dia, Rantaka"!" tanya Ki Junggut
dengan suara tetap besar dan berat.
"Kami tidak tahu, siapa dia dan dari mana
asalnya. Tiba-tiba saja dia muncul menghalangi
kami dalam memungut pajak," sahut pemuda
kembar yang dipanggil Rantaka itu lagi
"Dan kau tidak bisa mengatasinya...?"
Rantaka tidak bisa menjawab, sedang pemuda
kembarnya juga hanya diam saja. Kepala mereka
tertunduk, seakan tidak sanggup menentang
tatapan mata Ki Junggut yang tajam dan memerah.
Dan suasana di dalam ruangan besar yang megah
itu jadi hening, tanpa sedikit pun terdengar suara.
Hingga hantaman air hujan di atas genting rumah
ini terdengar keras, bagai hendak meruntuhkan
seluruh bangunan yang megah bagai istana kecil di
tengah-tengah desa ini.
"Dengar...! Aku tidak sudi lagi mendengar
kegagalan. Besok, kalian harus memungut pajak
lebih besar daripada biasanya. Siapa pun yang
berani menghalangi, bunuh saja!" perintah Ki
Junggut tegas, sambil mengedarkan pandangan
pada mereka semua yang ada di dalam ruangan
ini. Mereka yang berada di depan laki-laki kekar
berkulit hitam itu hanya diam saja, dengan kepala
bergerak terangguk pelan. Sedikit pun tidak ada
yang berani membantah perintah Penguasa Desa
Payakan ini. Sementara, Ki Junggut sendiri sudah bangkit
berdiri. Tanpa bicara lagi kakinya melangkah
meninggalkan ruangan depan rumahnya, diikuti
gadis-gadis yang menemani. Sedangkan dua
pemuda kembar dan tiga laki-laki tua serta seorang
perempuan tua yang ada di dalam ruangan ini
masih tetap duduk bersila di lantai yang beralaskan
permadani berbulu tebal dan halus. Mereka belum
juga beranjak, walaupun Ki Junggut sudah tidak
terlihat lagi bayangannya di dalam ruangan depan
rumah yang megah ini. Baru setelah Ki Junggut
benar-benar lenyap, keempat orang tua itu segera
beranjak. Namun mereka tidak meninggalkan
tempat ini, melainkan berpindah duduk menghadap
pemuda kembar itu.
"Rantaka! Kau kenali siapa anak itu...?" tanya
perempuan tua yang duduk dekat pemuda kembar
ini. 'Tidak, Nyai Waringki," sahut Rantaka.
"Kau, Rantaki...?" tanya perempuan tua yang
tadi disebut sebagai Nyai Waringki
Pemuda kembaran Rantaka yang bernama
Rantaki hanya menggelengkan kepala saja.
"Seperti apa rupanya?" selak seorang laki-laki
tua berbaju jubah warna hitam. Dia memegang
tongkat berbentuk ular yang juga berwarna hitam
pekat Semua orang di Desa Payakan ini
mengenalnya sebagai Ki Sampuk
"Dia...," Rantaka tidak langsung menjawab.
Matanya melirik pada saudara kembarnya.
Empat orang tua yang kini menghadapi pemuda
kembar itu saling berpandangan. Mereka melihat
pemuda kembar merasa kesulitan mengatakan,
siapa orangnya yang telah berani menghalangi
mereka menarik pajak para penduduk di Desa
Payakan ini. Cukup lama juga mereka menunggu, tapi kedua
pemuda kembar itu tidak juga membuka suaranya.
Malah kepala mereka tertunduk menekun' lantai
berpermadani lembut ini.
"Bagainama rupanya, Rantaka...?" desak Ki
Sampuk, meminta jawaban atas pertanyaannya
yang belum juga terjawab tadi.
"Dia.... Dia...," terasa sulit sekali bagi Rantaka
untuk menjawab.
"Katakari saja, Rantaka. Jangan takut-takut.
Kamu semua pasti akan membantumu
mengatasinya," desak laki-laki tua lainnya yang
berbaju merah ketat. Sebilah pedang tampak
tersampir di pinggangnya. Dan dia sering dipanggil
Ki Sampulut Sedangkan laki-laki tua satunya lagi sejak tadi
diam saja. Laki-laki tua yang kerap kali dipanggil Ki
Jampur ini mengenakan baju biru agak ketat.
Sebilah golok berukuran besar tampak selalu
tergenggam di tangan kanan. Tubuhnya paling
kekar dan berotot. Wajahnya juga memancarkan
kebengisan, dengan sepasang bola mata yang
selalu merah bagai sepasang mata elang.
"Dia hanya anak kecil yang usianya paling-paling
baru tiga belas tahun...," jelas Rantaki dengan
terdengar begitu pelan. Sehingga, hampir tertelan
oleh curahan air hujan di luar rumah ini.
"Anak kecil..."!"
Empat orang tua itu jadi terlongong bengong,
seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja
didengarnya. Hanya seorang anak kecil, membuat
kedua pemuda kembar yang kepandaiannya tidak
bisa dipandang sebelah mata, bisa kalah begitu
saja! Rasanya memang sulit dipercaya. Dua
pemuda berusia dua puluh enam tahun
berkepandaian tinggi, kalah oleh seorang anak kecil
berusia tiga belas tahun!
"Kau jangan main-main, Rantaki. Mana mungkin
kalian berdua bisa tidak berdaya hanya oleh anak
kecil..?" sentak Ki Sampuk tidak percaya.
"Aku berkata yang sebenarnya, Paman. Dia
memang masih kecil, tapi kepandaiannya luar
biasa. Kami berdua sampai jatuh bangun
dibuatnya," kata Rantaki meyakinkan.
"Besok kalian tunjukkan orangnya," ujar Nyai
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waringki jadi penasaran.
"Besok dia menunggu di rumah Ki Anom," kata
Rantaka memberi tahu. "Mungkin juga sekarang
tinggal di sana."
"Apa tidak mungkin dia anaknya Ki Anom...?"
selak Ki Sampulut, seperti bertanya pada diri
sendiri. "Entalah. Aku tidak kenal dengannya," sahut
Rantaka. "Baik! Kalau begitu, kita datangi saja besok
pagi," tegas Ki Sampuk.
Ki Anom tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, ketika pagi-pagi sekati empat
orang tukang pukul Ki Junggut mendatangi
rumahnya bersama Rantaka dan Rantaki, anak
kembar orang terkaya di Desa Payakan ini. Lebih
terkejut lagi, ternyata mereka mencari anak yang
kemarin membuat pemuda kembar itu jungkir
batik. "Katakan saja di mana anak itu, Ki," desak Ki
Sampuk "Aku tidak tahu. Aku tidak kenaL..," sahut Ki
Anom terbata-bata.
"Dengar, Ki. Hukumannya akan berat kalau anak
setan itu kau sembunyikan," ancam Nyai Waringki.
Seluruh tubuh Ki Anom jadi bergetar,
mendengar ancaman perempuan tua yang sudah
terkenal akan kekejamannya. Tapi dia memang
tidak tahu, di mana bocah yang kemarin
menganiaya putra kembar Ki Junggut ini. Bahkan
dia sendiri tidak mengenalnya sama sekali. Anak itu
tiba-tiba saja muncul, ketika Rantaka dan Rantaki
datang menagih pajak padanya. Lalu pemuda
kembar itu dibuat jungkir balik seperti mainan saja.
"Baik...! Kalau tidak mau mengaku juga, aku
terpaksa mengambil jalan kekerasan," ancam Nyai
Waringki lagi. "Oh..."!"
Ki Anom semakin tidak dapat bersuara. Kedua
bola matanya jadi terbeliak, dan seluruh tubuhnya
menggeletar hebat bagai terserang demam.
Sementara, Nyai Waringki sudah melangkah
mendekatinya. Seutas cambuk kulit yang berduri
sudah tergenggam di tangan kanannya.
"Katakan, di mana bocah itu...?" desak Nyai
Waringki lagi. "Atau kau ingin merasakan
cambukku...?"
"Aku..., aku tidak tahu...," sahut Ki Anom
semakin menggeletar tubuhnya.
"Keras kepala! Rasakan ini! Hih...!"
Ctar! "Akh...!"
Ki Anom langsung terpekik, begitu cambuk
hitam berduri halus milik Nyai Waringki menyengat
tubuhnya. Seketika darah mengucur keluar dari
tubuh tua yang kurus itu. Ki Anom langsung jatuh
tersungkur mencium tanah. Dia merintih merasakan nyeri pada luka cambukan di tubuhnya.
Sementara Nyai Waringki sudah mengangkat lagi
cambuknya. Dan....
"Hih!"
Ctar! "Akh...!"
Kembali Ki Anom menjerit begitu cambuk kulit
itu merobek kulit tubuhnya lagi Tapi memang lakilaki tua ini tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak
tahu, di mana anak yang tangguh itu berada.
Namun, cambuk Nyai Waringki kembali merobek
kulit tubuhnya, membuat darah semakin banyak
keluar. Beberapa kali cambuk hitam berduri itu
menggeletar, menghantam tubuh Ki Anom.
Semetara orarig-orang yang melihat kejadian itu
hanya bisa menahan napas saja, tanpa dapat
berbuat sesuatu untuk menolong. Sedangkan Ki
Anom sendiri sudah tidak dapat lagi mengeluarkan
suara. Tubuhnya tergeletak di tanah dalam
keadaan tersayat-sayat Namun Nyai Waringki terus
saja mengayunkan cambuknya, membuat lelaki tua
itu tak dapat bertahan. Dan dia jatuh pingsan
seketika, ketika cambukan terakhir mendarat di
tubuhnya. "Huh...!"
Nyai Waringki mendengus sambil menyemburkan ludahnya, melihat Ki Anom
tergeletak diam seperti mati di depannya. Tanpa
banyak bicara lagi, kakinya melangkah masuk ke
dalam gubuk orang tua ini. Tak lama, terdengar
barang-barang terbanting dari dalam gubuk.
Sebentar suara itu lenyap. Dan tidak lama
kemudian, Nyai Waringki keluar lagi dengan wajah
berang dan napas memburu.
"Ada...?" tanya Ki Sampuk langsung.
'Tidak," sahut Nyai Waringki mendengus. .
"Bakar saja rumahnya, Paman," selak Rantaka.
"Sekalian saja sama orangnya," sambut Rantaki.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Rantaki
langsung menghampiri Ki Anom yang sudah
tergeletak diam tidak bergerak-gerak lagi.
Kemudian diseretnya orang tua itu, dan dibawanya
masuk ke dalam rumahnya sendiri. Dan ketika
pemuda itu keluar, dari dalam rumah itu terlihat
asap mengepul. Tak lama terlihat api membakar
rumah reyot yang sudah hampir roboh itu.
Cepat sekali api melahap gubuk, padahal Ki
Anom sendiri berada di dalamnya. Kini gubuk itu
mulai habis terbakar. Sementara orang-orang yang
melihat tetap tidak ada yang berani mendekat
Mereka hanya bisa memandangi dengan sinar mata
penuh kebencian pada orang-orang tua ini.
Namun di saat api hampir melahap habis gubuk
reyot itu, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan
biru berkelebat begitu cepat masuk ke dalam
kobaran api. Dan saat itu juga, dari dalam kobaran
api kembali melesat keluar bayangan biru tadi.
Begitu cepat kelebatannya, sehingga sulit diketahui
orangnya. Tapi, Ki Sampuk sempat melihat kalau
bayangan biru itu membawa tubuh Ki Anom dari
dalam kobaran api yang membakar rumahnya ini.
"Apa itu, Paman...?" tanya Rantaka yang juga
melihat bayangan biru itu.
"Ada yang menolong Ki Anom," sahut Ki Sampuk
pelan. "Keparat..! Akan kukejar dia!" geram Rantaka.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rantaka
langsung saja melesat cepat sekali mengejar
bayangan biru tadi. Tindakan pemuda itu diikuti
saudara kembarnya. Sementara, Ki Sampuk dan
yang lainnya masih terdiam sesaat. Namun,
mereka cepat bergerak melesat mengikuti kedua
pemuda kembar putra junjungannya.
Begitu tinggi kepandaian yang mereka miliki,
hingga bergerak seperti bayangan saja. Dan dalam
waktu sekejap saja bayangan tubuh mereka sudah
lenyap dari pandangan.
Sementara, Rantaka dan saudara kembarnya
terus berlari cepat mengejar bayangan biru yang
menyelamatkan Ki Anom tadi. Namun sampai tiba
di perbatasan desa, mereka kehilangan jejak.
Bayangan biru itu seakan-akan lenyap ditelan bumi.
Rantaka dan Rantaki langsung berhenti berlari, dan
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mereka
mencari-cari orang yang membawa Ki Anom dari
rumahnya yang terbakar. Tapi, nyatanya orang itu
memang sudah tidak terlihat lagi.
"Keparat...!" geram Rantaka kesal.
Saat itu, Ki Sampuk dan yang lain sudah tiba di
perbatasan desa sebelah barat ini. Mereka juga
tidak lagi melihat orang yang dikejarnya. Dan
mereka segera menghampiri kedua pemuda
kembar yang masih penasaran, karena kehilangan
jejak buruannya.
"Ayo, Rantaka. Kita kembali saja dulu," ajak Ki
Sampuk. Rantaka menatap orang tua itu sejenak,
kemudian berbalik. Kakinya lantas melangkah
kembali ke Desa Payakan tanpa bicara lagi. Rantaki
juga mengikuti saudara kembarnya. Sedangkan
laki-laki tua dan seorang perempuan tua yang
menjadi tukang pukul orang tua pemuda kembar
itu, mengikuti dari belakang.
--myrna-- 2 Tidak jauh dari perbatasan Desa Payakan
sebelah barat, terlihat secarang gadis muda yang
cantik memandangi Rantaka dan Rantaki yang
pergi diikuti orang-orang tua yang menjadi
pengawalnya. Tampak bibir gadis itu mengembangkan senyum yang sangat tipis, hingga
hampir tidak terlihat.
Gadis itu baru keluar dari semak tempatnya
bersembunyi setelah orang-orang tadi tidak terlihat
lagi. Di pundaknya terlihat seorang laki-laki tua
dengan tubuh terkulai seperti sudah mati. Dan
tanpa banyak bicara lagi, gadis cantik berbaju ketat
warna biru itu segera pergi, masuk ke dalam hutan.
Gerakan gadis itu begitu ringan dan cepat.
Sehingga dalam waktu sebentar saja, dia sudah
jauh masuk ke dalam hutan yang berbatasan
dengan Desa Payakan sebelah barat ini. Setelah
cukup jauh berjalan, akhirnya gadis itu sampai di
tepi sebuah telaga yang berair jernih. Diturunkannya laki-laki tua yang ternyata Ki Anom
dari punggungnya dengan hati-hati sekali. Dan
dibaringkannya tubuh tua itu di atas rerumputan,
tidak jauh dari tepi telaga kecil ini.
"Kasihan kau, Ki...," desahnya lirih, memandangi
orang tua yang terbaring dengan napas pelan ini.
Gadis ini segera membersihkan luka-luka di
tubuh Ki Anom. Kemudian diberikannya beberapa
totokan ringan untuk menutup jalan darah pada
luka di tubuh orang tua ini. Setelah darah-darah
yang melekat di tubuh orang tua itu bersih,
kemudian disalurkannya sedikit hawa murni. Dan
saat itu juga, Ki Anom terbatuk. Gadis itu segera
menghentikan penyaluran hawa murninya. Dipandanginya Ki Anom yang sudah mulai siuman
dari pingsannya.
"Oh..," Ki Anom merintih lirih.
Perlahan orang tua kurus itu membuka
matanya. Seketika dia terkejut melihat ada seorang
gadis cantik di dekatnya. Lebih terkejut lagi, begitu
menyadari dirinya berada dalam hutan. Ki Anom
mencoba bangkit, tapi gadis cantik ini lebih cepat
mencegahnya dengan menekan sedikit tangannya
ke dada orang tua ini.
"Jangan bergerak dulu, Ki," ujar gadis itu
lembut. "Sss.... Siapa kau, Nisanak...?" tanya Ki Anom.
"Namaku Pandan Wangi, Ki," sahut gadis itu
lembut, sambil mengembangkan senyum yang
manis sekali. "Kenapa kau menolongku...?" tanya Ki Anom
lagi, dengan suara lirih dan tersendat.
"Kau perlu pertolongan, Ki. Aku tidak bisa diam
saja melihat kau tersiksa dan hampir mati terbakar
bersama rumahmu," sahut gadis cantik berbaju
biru yang ternyata adalah Pandan Wangi.
Gadis cantik ini yang di kalangan persilatan lebih
dikenal sebagai si Kipas Maut ini memang
kebetulan lewat, ketika Ki Anom mendapat siksaan
dari Nyai Waringki tadi. Semula, Pandan Wangi
memang tidak mau ikut campur, karena memang
hanya sekadar lewat saja di desa itu. Tapi begitu
melihat kekejaman mereka yang semakin menjadi,
Pandan Wangi tidak bisa lagi menahan diri. Maka
langsung dikeluarkannya orang tua itu dari kobaran
api yang membakar rumahnya.
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebenarnya apa yang terjadi, Ki" Kenapa
mereka menyiksamu begitu...?" tanya Pandan
Wangi, ingin tahu.
"Mereka memang sudah biasa melakukan
penyiksaan seperti itu. Bahkan tidak segan-segan
membunuh...," sahut Ki Anom lirih.
"Siapa mereka?" tanya Pandan Wangi lagi,
semakin ingin tahu saja.
"Yang kembar adalah putra Ki Junggut, Tuan
Tanah di Desa Payakan. Sedangkan yang lain
hanya tukang pukulnya saja. Tapi, mereka
memang kejam. Bahkan seluruh rakyat di Desa
Payakan diharuskan membayar pajak yang tinggi
pada Ki Junggut. Dan bagi yang tidak bisa
membayar, selalu mendapat siksaan berat. Bahkan
tidak sedikit yang mati akibat disiksa. Juga, tidak
sedikit yang langsung dibunuh kalau mencoba
melawan. Tidak ada seorang-pun yang berani
menantangnya. Desa Payakan benar-benar sudah
menjadi neraka...," dengan suara tersendat, Ki
Anom menceritakan keadaan di Desa Payakan.
Sementara Pandan Wangi hanya diam saja
dengan bibir terkatup rapat. Entah, apa yang ada
dalam kepala si Kipas Maut ini. Tapi semua cerita
yang dituturkan Ki Anom merasuk ke dalam
hatinya. Seketika darahnya terasa bergolak
mendidih. Pandan Wangi memang tidak bisa
mendengar ada penderitaan terjadi pada penduduk
desa yang lemah.
"Sejak kapan itu berlangsung, Ki?" tanya Pandan
Wangi dengan suara agak ditekan.
"Entahlah, Nini.... Mungkin sudah lebih dari
sepuluh tahun. Ya..., sejak Ki Junggut datang ke
desa ini," sahut Ki Anom.
Pandan Wangi hanya diam saja mendengarkan.
Sementara, Ki Anom sudah kelihatan lebih
membaik keadaannya. Sepertinya luka-luka di
tubuhnya tidak lagi terasa sakit. Tapi ada yang
lebih sakit lagi dirasakan. Harinya teramat sakit,
bila mengingat semua yang telah terjadi padanya.
"Kau punya tempat tinggal lagi selain di Desa
Payakan, Ki?" tanya Pandan Wangi setelah cukup
lama terdiam membisu.
"Aku punya anak perempuan yang sudah
menikah. Tapi, sekarang tinggal jauh dari, sini...,"
sahut Ki Anom. "Di mana?" tanya Pandan Wangi.
"Di Kota Karang Setra," sahut Ki Anom.
Entah, kenapa Pandan Wangi jadi tersenyum
mendengar ada anak perempuan Ki Anom yang
sekarang tinggal di Karang Setra. Dan sebenarnya,
Desa Payakan ini masih termasuk wilayah Kerajaan
Karang Setra. Tapi, memang cukup jauh juga jarak
dari Desa Payakan ke kota. Paling tidak perlu
waktu dua hari perjalanan berkuda.
"Aku antarkan kau ke sana, Ki," kata Pandan
Wangi menawarkan jasanya.
"Ah.... Kau sudah terlalu banyak menolongku,
Nini. Entah apa yang harus kuberikan padamu..,"
ujar Ki Anom jadi merasa tidak enak mendapat
pertolongan terus-menerus dari gadis yang baru
dikenalnya. "Kebetulan aku juga akan ke sana, Ki. Jadi kita
bisa bersama-sama," kata Pandan Wangi
beralasan. Ki Anom mencoba bangkit berdiri. Dan Pandan
Wangi pun bergegas membantu orang tua ini
berdiri. Sebentar mereka terdiam. Dan tiba-tiba
saja, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu bersiul
nyaring. Ki Anom jadi terkejut. Namun sebelum
keterkejutannya hilang, sudah terdengar ringkikan
seekor kuda. Dan tidak lama kemudian, muncul
seekor kuda putih yang tinggi dan gagah dari balik
pepohonan yang merapat di dalam hutan ini.
Kuda putih langsung menghampiri Pandan
Wangi. Binatang tunggangan si Kipas Maut ini
mendengus-dengus dengan kepala terangguk
beberapa kali. Kaki kanan depannya menghentakhentak mengais tanah. Pandan Wangi memeluk
kepala kuda putih tunggangannya, kemudian
menatap Ki Anom sebentar.
"Naiklah, Ki," pinta Pandan Wangi.
"Ah.... Aku belum pernah naik kuda sebagus ini,
Nini," ujar Ki Anom kagum pada kuda putih
tunggangan gadis itui.
"Tidak apa, Ki. Si Putih bisa mempercepat
perjalanan kita nanti. Kita naik sama-sama," kata
Pandan Wangi lagi.
Ki Anom jadi ragu-ragu. Hatinya semakin
merasa tidak enak pada gadis ini. Kebaikannya
terasa begitu menyentuh. Belum pernah didapatkannya kebaikan yang begitu besar pada
seorang gadis cantik yang baru saja dikenalnya.
Pandan Wangi sudah menyelamatkan nyawanya,
dan sekarang akan mengantarkannya ke Kota
Karang Setra dengan kuda tunggangannya yang
gagah ini. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan
Wangi membantu Ki Antom naik ke punggung kuda
putih itu. Kemudian gadis itu sendiri melompat naik
ke belakang laki-laki tua ini. Pandan Wangi
memegang tali kekang kuda tunggangannya,
kemudian menggebahnya dengan kencang.
Ki Anom jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba
kuda putih yang ditungganginya melesat begitu
cepat bagai anak panah lepas dari busurnya.
Rasanya, seakan-akan dia terbawa terbang
bersama kuda putih yang gagah ini.
"Tenang saja, Ki. Si Putih tidak akan
melemparkanmu," kata Pandan Wangi sambil
tersenyum. Ki Anom hanya diam saja. Jantungnya masih
berdetak cepat, merasakan kengerian yang amat
sangat berada di punggung kuda putih yang berlari
cepat bagai angin ini. Sebentar saja, kuda putih
tunggangan si Kipas Maut itu sudah jauh membawa
mereka keluar dari dalam hutan ini. Dan merka
terus berpacu cepat melintasi jalan tanah yang
berdebu menuju Kota Kerajaan Karang Setra.
--myrna-- Pandan Wangi melangkah ringan, sambil tersenyum-senyum menghampiri Rangga yang sedang
duduk-duduk di dalam taman belakang Istana
Karang Setra, ditemani Cempaka dan Danupaksi.
Beberapa orang prajurit terlihat berjaga-jaga di
sekitar taman ini. Dan beberapa gadis cantik
bermain-main di dalam taman dengan gembira.
Pandan Wangi langsung berlutut, memberi sembah
pada Raja Karang Setra dengan merapatkan kedua
tangan di depan hidung.
"Duduklah di sini, Pandan Wangi," pinta Rangga
sambil menepuk kursi di sampingnya.
Pandan Wangi tersenyum, dan duduk di sebelah
Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang
Setra. Diberikannya senyum manis pada dua orang
adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang sudah sejak
tadi menemaninya di taman belakang ini.
"Lima hari ini kau pergi. Ke mana saja...?"
Rangga langsung menegur si Kipas Maut itu.
"Jalan-jalan ke desa," sahut Pandan Wangi
kalem. "Sampai lima hari.... Tentu jauh perjalananmu,
Kak Pandan," selak Cempaka.
"Ya, sampai ke Desa Payakan," sahut Pandan
Wangi lagi. "Desa Payakan jauhnya dua hari perjalanan
berkuda dari sini. Untuk apa ke sana, Kak
Pandan..?" sambung Danupaksi heran.
"Melihat-lihat keadaan saja," sahut Pandan
Wangi kalem. "Lalu, apa yang kau dapatkan di sana?" tanya
Rangga lagi. Pandan Wangi tidak langsung menjawab;
sehingga membuat Rangga dan kedua adik tirinya
jadi memandanginya dengan kelopak mata
menyipit dan kening agak berkerut. Mereka
langsung menduga kalau ada sesuatu yang terjadi
di Desa Payakan, hingga Pandan Wangi seakan
sulit mengatakannya.
"Ada persoalan di sana, Pandan..?" desak
Rangga lembut. "Desa itu sekarang seperti neraka, Kakang,"
sahut Pandan Wangi pelan.
"Apa maksudmu, Kak Pandan..?" desak
Danupaksi, agak terkejut mendengar jawaban
Pandan Wangi barusan
"Ki Junggut orang terkaya di desa itu
menguasainya bagai seorang tuan tanah. Dia
menekan semua penduduk dengan pajak-pajak
tinggi Bahkan tidak segan-segan menyiksa atau
membunuh siapa saja yang berani menentangnya,"
jelas Pandan Wangi. "Aku membawa seorang tua
yang hampir saja mati dibakar bersama rumahnya
dari sana. Sekarang, dia sudah ada di rumah
anaknya di sini."
"Hm.... Kenapa tidak langsung saja dibawa ke
sini, Kak Pandan?" ujar Cempaka agak
menggumam suaranya.
"Dia tidak tahu siapa aku, Cempaka."
Cempaka dan Danupaksi langsung memandangi
Rangga yang jadi terdiam mendengar laporan
Pandan Wangi mengenai keadaan Desa Payakan
barusan. Mereka tahu, Pendekar Rajawali Sakti
tidak bisa mendengar ada penderitaan yang terjadi
dalam wilayah kerajaannya. Walaupun Desa
Payakan cukup jauh dari kota, tapi masih tetap
termasuk ke wilayah Kerajaan Karang Setra.
Dan tanpa bicara lagi sedikit pun juga, Rangga
bangkit berdiri dari kursinya. Kakinya langsung
terayun melangkah perlahan-lahan. Sementara,
Pandan Wangi dan kedua adik tiri Pendekar
Rajawali Sakti hanya memandanginya saja dengan
kening sedikit berkerut. Sedangkan Rangga terus
melangkah, meninggalkan taman belakang istana
ini. "Aku salah bicara tadi, Cempaka...?" desis
Pandan Wangi jadi merasa tidak enak melihat sikap
Rangga langsung saja berubah.
'Tidak," sahut Cempaka.
"Aku yakin, Kakang Rangga pasti pergi ke sana.
Dia tidak bisa mendengar ada penderitaan terjadi
di wilayah kerajaan ini," kata Danupaksi pelan.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya
Cempaka. 'Tunggu saja, apa perintahnya," sahut
Danupaksi. Cempaka hanya mengangkat bahu saja sedikit.
Memang tidak ada yang bisa dilakukan. Dan seperti
biasanya, mereka hanya bisa menunggu saja, apa
yang akan diperintahkan Raja Karang Setra itu.
Tapi, Cempaka sudah langsung bisa menduga
kalau Rangga pasti memerintahkan mereka untuk
tidak meninggalkan istana. Dan seperti yang
biasanya terjadi, Pendekar Rajawali Sakti tentu
hanya mengajak Pandan Wangi menyelesaikah
kemelut yang terjadi di Desa Payakan.
"Sebaiknya bersiap-siap saja, Kak Pandan. Tidak
lama lagi Kakang Rangga pasti akan mengajakmu
pergi ke Desa Payakan," ujar Cempaka.
"Sebenarnya, aku ingin berada di istana ini. Aku
sudah lelah mengembara. Kakang Rangga pasti
tidak akan langsung kembali lagi ke sini kalau
sudah keluar," kata Pandan Wangi agak mendesah
nada suaranya. "Tapi hanya kau yang bisa mendampinginya,
Kak Pandan. Tidak mungkin Kakang Rangga pergi
sendiri," sergah Danupaksi.
"Bagaimana kalau kau saja yang pergi
bersamanya, Cempaka?" Pandan Wangi menawarkan. "Aku..."!"
Cempaka jadi tertawa mendengar penawaran si
Kipas Maut. Dia tahu, tidak akan mungkin Rangga
akan menerima tawaran Pandan Wangi barusan.
Lagi pula, Cempaka sadar kalau kepandaian yang
dimilikinya masih beberapa tingkat di bawah
Pandan Wangi. Dan gadis itu juga merasa tidak
sebanding jika harus menemani Pendekar Rajawali
Sakti mengembara menjelajah rimba yang ganas di
luar sana. Cempaka sendiri sudah terbiasa hidup di
dalam lingkungan istana, mendampingi Danupaksi
yang mewakili Pendekar Rajawali Sakti itu
memimpin pemerintahan di Karang Setra.
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walaupun, di dalam hati kecilnya dia selalu
berharap ada sedikit kesempatan untuk menjelajah
dunia luas bersama pendekar muda yang sangat
dikaguminya. Dan saat itu, terlihat seorang punggawa
berjalan cepat menghampiri mereka. Punggawa
berusia muda itu langsung berlutut di depan
Danupaksi, dengan merapatkan kedua telapak
tangan di depan hidung.
"Ada apa, Punggawa?" tanya Danupaksi
langsung. "Hamba diperintahkan untuk menjemput Gusti
Pandan Wangi. Gusti Prabu sudah menunggu di
depan istana," sahut punggawa itu.
Saat itu Cempaka langsung tersenyum.
"Benar kan kataku, Kak Pandan. Cepat sana!
Jangan sampai Kakang Rangga lama menunggu,"
ujar Cempaka. Pandan Wangi hanya mengangkat bahu saja.
"Punggawa! Apa ada pesan lain dari Kakang
Prabu?" tanya Danupaksi.
"Tidak, Gusti. Hanya itu pesan Gusti Prabu,"
sahut punggawa itu hormat.
Danupaksi mengangkat bahunya sedikit. Walaupun Rangga tidak memberi pesan apa-apa,
tapi sudah diketahuinya apa yang harus
dilakukannya, bila Raja Karang Setra itu sudah
pergi meninggalkan istana untuk mengembara.
Memang sulit menjadi raja kalau dalam dirinya
terus tertanam jiwa pendekar. Jelas, Rangga lebih
mementingkan kependekarannya daripada harus
berdiam diri di dalam istana.
"Ayo, Punggawa. Antarkan aku menemui Gusti
Prabu," pinta Pandan Wangi.
Pandan Wangi menatap sebentar pada
Danupaksi dan Cempaka, kemudian melangkah
meninggalkan kedua adik tiri Pendekar Rajawali
Sakti itu. Punggawa yang tadi membawa laporan
segera mengikuti langkah si Kipas Maut dari
belakang. Sedangkan Danupaksi dan Cempaka
hanya bisa memandangi saja, tanpa dapat
berbicara lagi. Dan mereka juga meninggalkan
taman belakang istana ini, setelah Pandan Wangi
dan punggawa tidak terlihat lagi.
--myrna-- "Di mana orang tua yang kau antarkan dari
Desa Payakan?" tanya Rangga setelah mereka
keluar dari dalam istana melalui jalan rahasia yang
berada di bagian belakang istana.
"Sebelah selatan pinggiran kota," sahut Pandan
Wangi memberi tahu.
"Kita temui dulu dia," kata Rangga memutuskan.
Dan tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar
Rajawali Sakti sudah menggebah cepat kudanya
menuju selatan kota.
Pandan Wangi terpaksa mengikuti tanpa banyak
tanya lagi. Untung saja, Rangga menggebah
kudanya tidak terlalu cepat. Sehingga, gadis itu
bisa mudah mensejajarkan lari kudanya di samping
kuda hitam bernama Dewa Bayu tunggangan
Pendekar Rajawali Sakti itu.
Mereka terus menggebah cepat kudanya,
melintasi jalan kota yang selalu ramai ini. Orangorang yang berada di jalan itu segera menyingkir,
begitu melihat dua orang penunggang kuda
berpacu cepat melintasi jalan ini. Mereka yang
memang sudah mengenal kedua penunggangnya,
segera membungkuk memberi hormat. Dan
memang, hampir seluruh rakyat di Kota Kerajaan
Karang Setra ini sudah mengenal raja mereka,
walau saat ini mengenakan baju rompi putih
dengan pedang bergagang kepala burung
bertengger di punggung. Mereka sudah tahu, raja
mereka adalah seorang pendekar digdaya yang
dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Mengetahui kalau yang memacu cepat kuda itu
adalah rajanya, semua orang langsung mengosongkan jalan ini. Sementara, Rangga dan
Pandan Wangi sendiri terus memacu kudanya
dengan cepat menuju arah selatan tanpa
mempedulikan orang-orang yang berjajar di tepi
jalan dengan tubuh membungkuk memberi hormat.
Dalam waktu tidak lama saja, sepasang
pendekar muda dari Karang Setra itu sudah dekat
dengan perbatasan luar kota sebelah selatan.
Masih terlihat beberapa rumah di dekat perbatasan,
walaupun tidak sepadat di tengah kota. Rangga
langsung memperlambat lari kudanya. Dan
matanya melirik Pandan Wangi sedikit, yang
berkuda di sebelah kiri. Pandan Wangi langsung
bisa mengerti. Dan segera kudanya digebah
mendahului Pendekar Rajawali Sakti.
"Hooop...!"
Pandan Wangi langsung menghentikan lari
kudanya, setelah tiba di depan sebuah rumah kecil
yang berhalaman cukup luas, tidak jauh dari
gerbang perbatasan kota. Gadis itu langsung
melompat turun dari punggung kudanya.
Sementara Rangga bergegas mengikuti setelah
sampai di samping kuda putih si Kipas Maut ini.
Dan Pandan Wangi pun sudah melangkah
memasuki halaman rumah yang cukup luas ini.
Dari dalam rumah kecil itu, keluar seorang lakilaki tua yang langsung menyambut dengan sikap
begitu hormat. Di belakangnya menyusul seorang
wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun, diikuti
seorang laki-laki yang berusia sekitar lima puluh
tahun. Tubuh laki-laki itu kekar berotot dan agak
hitam terbakar matahari. Mereka langsung
menyambut Pandan Wangi dengan sikap hormat
sekali. "Aku tidak lama, Ki Anom. Hanya mampirmampir saja mengantarkan kakakku ini. Dia ingin
kenal denganmu," kata Pandan Wangi cepat-cepat,
ketika Ki Anom memintanya masuk ke dalam
rumah anaknya. Rangga menganggukkan kepala sedikit pada
orang tua itu dengan bibir menyunggingkan
senyum penuh rasa persahabatan. Ki Anom
membalasnya dengan anggukan kepala juga.
"Kakang Rangga ingin tahu persoalanmu di Desa
Payakan," kata Pandan Wangi lagi.
"Oh! Untuk apa Kisanak ingin tahu...?" tanya Ki
Anom agak terkejut.
Belum juga Rangga bisa menjawab, Pandan
Wangi sudah menyelak lebih dulu.
"Terus terang saja, Ki. Kakang Rangga
mendapat perintah dari istana untuk mengamankan desa itu..."
Kedua bola mata Ki Anom jadi terbeliak,
memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Orang tua
kurus itu langsung menyangka kalau pemuda yang
bersama Pandan Wangi ini adalah pembesar istana.
Cepat-cepat dia menjatuhkan diri, berlutut
memberi hormat dengan merapatkan kedua
telapak tangan di depan hidung. Anak dan
menantu orang tua ini juga langsung bersikap
sama. Dan ini membuat Rangga jadi menyipit
kelopak matanya. Langsung matanya menatap
tajam Pandan Wangi yang dianggapnya sudah
salah bicara. "Jangan bersikap begitu, Ki. Kakang Rangga
orang biasa seperti kita. Hanya, dia sering
mendapat tugas dari istana untuk persoalan seperti
di Desa Payakan," kata Pandan Wangi cepat-cepat
menjelaskan. "Maaf.... Aku tidak menyangka kalau Nisanak
adalah adik dari orang kepercayaan istana.
Maafkan atas semua sikap dan kelancanganku,"
ucap Ki Anom sambil memberi hormat pada
Pandan Wangi. "Ah, sudahlah.... Aku dan Kakang Rangga
datang hanya ingin meminta keterangan langsung
darimu, Ki," ujar Pandan Wangi, juga jadi jengah
mendapat sikap hormat seperti ini
Gadis itu langsung saja membangunkan Ki Anom
dan anak menantunya. Dan kini mereka kembali
berdiri saling berhadapan. Sementara, Rangga
sendiri masih tetap diam. Entah, apa yang ada
dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Kini Pandan Wangi sudah langsung mengajukan
beberapa pertanyaan yang menyangkut keadaan di
Desa Payakan. Dan dengan gamblang, Ki Anom
menceritakan semua yang diketahuinya. Rangga
sendiri hanya mendengarkan saja, tanpa memberi
tanggapan sedikit pun.
--myrna-- 3 Sekarang ini, keadaan di Desa Payakan semakin
parah saja. Orang-orang Ki Junggut semakin
disibuki oleh munculnya seorang bocah berkepandaian tinggi yang menghalangi mereka
menarik pajak dari penduduk desa ini. Bahkan
dalam beberapa hari ini saja, Ki Junggut sudah
kehilangan tidak kurang dari lima belas orang
tukang pukulnya yang berkepandaian sedangsedang. Keadaan yang semakin memburuk ini membuat
Ki Junggut jadi berang setengah mati. Maka empat
orang tua kepercayaannya diperintahkan untuk
mencari bocah ajaib itu. Bahkan dia langsung
memberi perintah untuk membunuh bocah itu
tanpa ampun lagi. Sementara itu kedua putra
kembarnya juga tidak mau ketinggalan. Mereka
masih penasaran, karena pemah dibuat babak
belur oleh anak kecil berusia sekitar tiga belas
tahun. Kekejaman yang mereka lakukan juga semakin
menjadi-jadi. Bahkan sepak terjang kedua putra
kembar Ki Junggut semakin merajalela saja.
Mereka mengambil gadis gadis desa itu, dan
menjadikannya pemuas nafsu. Semua penduduk
Desa Payakan benar-benar merasakan berada
dalam neraka sekarang ini. Namun tidak ada
seorang pun yang berani menentang. Sedikit saja
menunjukkan perlawanan, nyawa menjadi taruhannya. "Kakang! Lihat, siapa itu...," bisik Rantaki, ketika
siang itu mereka berjalan-jalan ke tepi sungai
pinggiran Desa Payakan ini.
Kedua bola mata Rantaka langsung berbinar
begitu melihat seorang gadis cantik sedang
membasuh tubuhnya yang ramping dan indah itu di
tepi sungai. Kulitnya yang putih terlihat halus,
hanya tertutup selembar kain basah. Kedua
pemuda kembar itu bergegas menghampiri. Dan
mereka langsung tertawa-tawa, membuat gadis
cantik berkulit putih halus itu terkejut.
"Oh..."!"
Gadis itu cepat-cepat menutupi dadanya yang
agak terbuka dengan kedua tangan. Segera dia
keluar dari dalam
sungai ini. Dan mencoba menghindari kedua pemuda kembar yang
dengan sinar mata
liar penuh nafsu itu.
Tapi baru saja dia
bergerak beberapa langkah dari sungai,
Rantaka sudah melompat cepat dan
langsung menerkamnya seperti
seekor singa kelaparan.
"Ouwh...! Jangan..!" pekik gadis itu.
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa ampun lagi, mereka jatuh bergulingan di
tanah berpasir tepi sungai ini. Sementara Rantaki
hanya tertawa-tawa senang, melihat kakak
kembarnya berusaha memeluk dan menciumi gadis
ini. Pergumulan yang tidak seimbang itu, membuat
tawa Rantaki semakin keras. Dan kedua bola
matanya jadi kian jalang, begitu melihat kain yang
dikenakan gadis itu tersingkap, hingga menampakkan sepasang paha yang putih gempal
menggiurkan. "Tidak! Jangan..! Lepaskan aku...!" jerit gadis itu
sambil terus meronta, berusaha melepaskan diri
dari dekapan Rantaka.
"He he he...! Berteriaklah sepuasmu, Cah Ayu.
tidak ada yang akan menolongmu...," desis
Rantaka disertai tawanya yang berderai
"Jangan..."
Gadis itu hanya bisa merintih lirih memohon
belas kasihan. Air matanya mulai menitik, keluar
dari sudut matanya yang bening. Tapi Rantaka
seperti tidak peduli. Bahkan semakin liar saja
menciumi dan meremas seluruh tubuh gadis dalam
him-pitannya. Sementara Rantaki terus memandangi dengan desah napas kian memburu.
Apalagi... Rantaka yang terdengar mendengus
memburu cepat seperti kuda yang dipacu di
padang gersang. Sementara gadis ini hanya bisa
merintih dan menangis, tanpa dapat lagi berbuat
sesuatu untuk melepaskan diri. Sia-sia saja
tubuhnya berusaha ditutupi. Sementara tangan
pemuda kembar itu terus memaksa merenggut kain
yang basah dan sudah kotor ini.
"Jangan...," rintih gadis itu lirih.
Bret! "Auwh...!"
Sekali sentak saja, kain yang melilit tubuh
gempal itu terenggut, membuat gadis ini jadi sibuk
menutupi dadanya yang terbuka dengan kedua
tangan. Tapi Rantaka sudah cepat mencekal pergelangan tangannya, dan membukanya ke samping
lebar-lebar. Dengan napas memburu cepat,
Rantaka menciumi dada yang membusung dan
terbuka tanpa penghalang lagi itu. Sedangkan
gadis itui hanya bisa merintih dan menangis
meratapi nasibnya.
"Akh! Tidaaak...!"
--myrna-- "Rasanya tidak ada lagi gadis secantik dia di
desa ini, Kakang. Apa kau akan meninggalkannya
begitu saja di sini?" tanya Rantaki tanpa beralih
dari tubuh indah yang tergolek tanpa pakaian tidak
jauh di depannya dalam keadaan pingsan, karena
tak kuat menanggung aib.
"Memang sayang kalau hanya sekali dinikmati,"
kata Rantaka. "Kita bawa saja ke pondok di dalam hutan,
Kakang. Kalau sudah layu, baru dibuang" usul
Rantaki. "He he he...!"
Rantaka hanya terkekah saja mendengar usul
adik kembarnya. Dan tanpa banyak bicara lagi,
langsung dihampiri gadis malang itu. Sekali renggut
saja, gadis itu sudah berada dalam pelukannya.
Lalu dengan suara tawa terkekeh, Rantaka
memanggul tubuh yang masih polos dan lemah
tanpa daya ini ke pundaknya. Sebentar ditatapnya
adik kembarnya.
"Kau pulang saja dulu, Rantaki. Malam nanti dia
kuberikan padamu," kata Rantaka.
Rantaki hanya mengangkat bahu saja sedikit
"Ingat! Jangan terlalu sore datangnya," pesan
Rantaka. Setelah berpesan begitu, Rantaka langsung
berlari cepat meninggalkan tepian sungai ini.
Sebentar saja, tubuhnya sudah lenyap tertelan
pepohonan yang rapat. Sementara, Rantaki masih
tetap duduk di tepi sungai itu dengan bibir
menyunggingkan senyum. Dan tidak lama
kemudian dia bangkit berdiri, lalu berjalan
meninggalan tepi sungai yang berbatasan dengan
hutan ini. Bibirnya masih terus mengembangkan
senyum, membayangkan perbuatan Rantaka pada
gadis itu. Juga, apa yang akan dilakukannya malam
nanti bersama gadis itu di pondok dalam hutan.
--myrna-- Jeritan melengking tinggi yang membelah
kesunyian, terdengar keluar dari dalam sebuah
pondok panggung kecil di tengah-tengah hutan
lebat ini. Belum lagi jeritan itu lenyap dari
pendengaran disusul suara tawa yang keras
menggelegar. Di pondok, Rantaka memang tengah mempermainkan gadis cantik yang dibawanya dari
tepi sungai tadi, dan kini sudah siuman. Tidak ada
selembar kain pun yang menutupi tubuh gadis ini.
Dan gadis itu memang bagai tikus yang
dipermainkan kucing.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau..."!"
"Jangan.... Tolong lepaskan aku...," rintih gadis
itu memelas. "Ha ha ha...!"
Rantaka hanya tertawa saja mendengar rintihan
gadis ini. Kakinya terus terayun mendekati.
Sementara, gadis itu sudah tidak dapat lagi
bergerak. Punggungnya sudah menempel ke
dinding kayu pondok ini. Kedua tangannya
mencoba menutupi dadanya yang terbuka
membusung indah. Diliriknya selembar kulit
harimau yang menempel di dinding tidak jauh
darinya. Tanpa berpikir panjang lagi, tangan yang
mungil itu menyambar kulit ini, dan langsung
menutupi tubuhnya.
"He he he...! Kau semakin cantik mengenakan
itu, Cah Ayu...."
"Aku mohon padamu. Lepaskan aku...," rintih
gadis itu memohon.
"He he he,,.!"
Rantaka masih tertawa saja mendengar rintihan
gadis ini. Dia terus mendekati dengan pandangan
mata liar merayapi .tubuh yang masih agak
terbuka. Sepasang paha yang halus dan gempal
menjadi incaran tatapan mata pemuda ini.
"Jangan...," rintih gadis itu semakin lirih.
Sementara, Rantaka sudah semakin dekat saja
padanya. Bahkan tangannya sudah terulur ke
depan. Sedangkan gadis itu sudah tidak dapat lagi
berbuat apa-apa. Seluruh tubuhnya sudah
menggeletar, melihat tangan yang semakin dekat
menjulur padanya. Dan ketika tangan Rantaka
hampir menyentuh tubuh yang hanya tertutup
selembar kulit harimau ini, mendadak saja....
Brak! "Heh..."!"
"Auwh..."!"
Rantaka jadi tersentak kaget setengah mati,
ketika tiba-tiba saja pintu pondoknya didobrak dari
luar. Cepat tubuhnya berbalik. Namun pada saat
yang bersamaan, terlihat sebuah bayangan
berkelebat begitu cepat menerjangnya.
"Haiiit...!"
Cepat-cepat Rantaka membanting tubuhnya ke
lantai kayu pondok ini, dan bergulingan beberapa
kali sebelum melompat bangkit berdiri. Kedua bola
matanya langsung terbeliak, begitu melihat
seorang anak kecil yang tidak berbaju tahu-tahu
sudah berada di depan gadis tawanannya.
Bocah itu hanya mengenakan celana yang sudah
kotor dan robek sebatas lutut. Sorot matanya
terlihat begitu tajam, bagai sepasang bola api yang
hendak membakar hangus seluruh tubuh pemuda
ini. Tubuhnya yang kurus menampakkan tonjolan
tulang-tulang, yang terbungkus kulit hitam kotor
penuh lumpur. Kuku-kukunya panjang berwarna
hitam bagai cakar harimau. Dia mendesis bagai
ular, memperlihatkan baris-baris giginya yang
hitam dan runcing bagai binatang buas.
Sret! Menyadari siapa yang tiba-tiba muncul, Rantaka
langsung mencabut goloknya yang sejak tadi
terselip di pinggang. Golok itu cepat disilangkan ke
depan dada. Dan kakinya bergerak menggeser
mendekati pintu. Sedikit matanya melirik pintu
pondok yang sudah hancur berkeping-keping itu.
Sementara bocah kecil bertubuh kotor ini hanya
memandangi saja, dengan sinar mata tajam. Dan
ketika Rantaka sudah hampir mencapai pintu, tibatiba saja bocah itu menggeram kecil. Lalu....
Slap! "Oh..."!"
Rantaka jadi terlongong, begitu tiba-tiba bocah
itu melesat cepat sekali menerjangnya. Jari-jarinya
yang berkuku hitam dan runcing itu terkembang
hendak mencengkeramnya.
"Hih...!"
Bet! Cepat-cepat Rantaka mengibaskan goloknya ke
depan. Sehingga bocah itu terpaksa harus memutar
tubuhnya ke belakang, menghindari sabetan golok
ini. Dan pada saat itu juga, Rantaka langsung
melompat keluar dari dalam pondok kecilnya di
tengah hutan ini.
"Hup!"
Manis sekali Rantaka menjejakkan kakinya di
tanah, begitu berada di luar pondok. Namun belum
juga bisa berlari, dari dalam pondok bayangan
bocah itu sudah melesat cepat bagai kilat. Dan
tahu-tahu, di depan Rantaka sudah berdiri bocah
kecil bertubuh kurus dan kotor penuh lumpur.
"Oh..."!"
Kembali Rantaka terlongong kaget setengah
mati. Cepat goloknya disilangkan kembali ke depan
dada. Sementara, bocah kecil itu sudah bergerak
menggeser kakinya perlahan ke kanan. Jari-jari
tangannya terkembang, bagai sepasang cakar
elang yang seakan hendak mengoyak seluruh
tubuh pemuda ini.
"Bocah setan! Maju kau...!" bentak Rantaka
sengit, mencoba menghilangkan rasa takut yang
menghinggapi dadanya.
Anak kecil bertubuh kurus yang berusia sekitar
tiga belas tahun itu hanya menggereng saja,
mendapat tantangan Rantaka. Sementara di
ambang pintu pondok yang hancur, gadis cantik
tawanan Rantaka sudah berdiri di sana
memperhatikan. Wajahnya kelihatan pucat ketakutan. Dan dia rupanya tidak berani beranjak
keluar dari dalam pondok kecil yang terbuat dari
kayu pohon ini.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Sambil membentak keras menggelegar, Rantaka
langsung saja melompat menyerang dengan
sambaran golok yang begitu cepat disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Sabetan goloknya
diarahkan cepat ke kepala bocah kecil ini.
Tapi hanya sedikit saja bocah itu mengegoskan
kepala, maka golok itu hanya lewat sedikit saja di
samping kepalanya. Dan pada saat itu juga,
dengan gerakan cepat luar biasa tangan kiri bocah
itu mengibas ke samping. Begitu cepatnya kibasan
tangan yang kecil dan hitam berlumpur ini,
sehingga Rantaka tidak sempat menyadarinya.
Dan.... Plak! "Akh...!"
Rantaka jadi terpekik kaget setengah mati,
begitu merasakan kibasan tangan bocah itu
menghantam tepat di pergelangan tangan
kanannya. Begitu kerasnya, hingga golok yang
tergenggam di tangan kanannya jadi terlepas. Dan
sebelum Rantaka bisa menyadari apa yang bani
saja terjadi, bocah itu sudah meliukkan tubuhnya.
Langsung dilepaskannya satu tendangan yang
sangat cepat, sambil melompat sedikit ke atas.
Bugkh! "Akh...!"
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk kedua kalinya Rantaka memekik, begitu
tendangan kaki kecil itir menghantam telak
dadanya. Seketika pemuda itu terpental cukup jauh
ke belakang. Dan belum juga Rantaka bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya, bocah itu
sudah kembali melompat cepat sambil menggeram
bagai seekor binatang buas. Kedua tangannya
menjulur ke depan, dengan jari-jari yang berkuku
tajam terkembang lebar.
Sementara Rantaka yang masih terhuyung, tidak
punya kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya. Hingga....
Bres! "Aaa...!"
Rantaka kembali menjerit melengking tinggi,
begitu kedua tangan bocah kecil itu menghujam
dalam dadanya. Bret! "Ugkh!"
Darah seketika itu juga menghambur deras
sekali, begitu tangan bocah kecil itu keluar dari
dalam dada Rantaka. Dan manis sekali gerakannya,
saat melenting berputar ke belakang menjauhi
pemuda itu. Sementara, Rantaka hanya bisa terbeliak
melihat dadanya berlubang mengeluarkan darah
segar. Namun sesaat kemudian, pemuda itu jatuh
terguling ke tanah. Dan hanya sebentar saja
tubuhnya menggelepar dengan erangan kecil dari
bibirnya. Kemudian seluruh tubuhnya mengejang
kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi.
Sementara bocah kecil bertubuh kurus dan kotor
itu memandangi dengan mata tidak berkedip
sedikit pun. Mulutnya menyeringai penuh
kepuasaan, melihat lawan sudah tergeletak tidak
bernyawa lagi dengan dada berlubang berhamburan darah. Perlahan tubuhnya berputar
dan langsung pandangannya tertumbuk pada gadis
cantik yang masih tetap berada di ambang pintu
pondok Hanya selembar kulit harimau saja yang
menutupi tubuhnya.
"Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu...,"
ujar bocah kecil itu sambil memberi senyum kecil.
"Sss..., siapa kau...?" tanya gadis cantik itu
dengan suara bergetar ketakutan.
"Namaku Kunjang. Aku tidak ada maksud apaapa, selain menolongmu," kata bocah kecil itu
memperkenalkan namanya.
"Aku.... Aku Wulandari...," gadis itu juga
memperkenalkan diri, walau dengan suara bergetar
ketakutan. Tapi melihat keganasan bocah itu sudah
menghilang dari wajah dan sorot matanya,
ketakutan gadis itu mulai lenyap dari dirinya.
Kakinya lantas melangkah keluar dari pondok kecil
di dalam hutan ini. Dihampirinya Kunjang yang
masih tetap berdiri tidak jauh dari mayat Rantaka.
Gadis yang mengaku bernama Wulandari itu
berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal
sekitar lima depa lagi di depan Kunjang.
Wulandari melirik sedikit pada Rantaka yang
sudah tergeletak tidak bernyawa dengan dada
berlubang cukup besar mengeluarkan darah. Begitu
besarnya lubang di dada pemuda itu, hingga
bagian dalamnya terlihat jelas.
"Dia sudah pantas menerimanya," kata Kunjang
terdengar lirih suaranya, seperti mengerti lirikan
Wulandari. "Mereka akan marah dan pasti menuduhku yang
membunuhnya...,"
kata Wulandari, kembali bergetar ketakutan suaranya.
"Kau takut...?"
Wulandari tidak langsung menjawab, dan hanya
memandangi anak kecil bertubuh kurus dan kotor
ini saja. Entah apa yang ada dalam benaknya saat
ini. Wulandari seakan sedang berhadapan dengan
sosok malaikat berupa anak kecil yang memiliki
kepandaian sangat tinggi.
"Ayo, kau kuantarkan pulang," ajak Kunjang.
"Aku..., aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Rumahku sudah mereka bakar. Anak dan suamiku
dibunuh. Aku tidak punya apa-apa lagi di sana...."
Wulandarai langsung menangis terisak, meratapi
kemalangan nasibnya. Baru beberapa hari dia
kehilangan suami dan anaknya. Dan sekarang ini,
entah berapa kali Rantaka sudah menodainya. Dia
tidak tahu lagi, apa yang akan dilakukannya, Wulandari merasa kalau tidak mungkin kembali ke
Desa Payakan. Bahkan semula ingin meninggalkan
desa itu. Meninggalkan semua kepahitan yang
dialaminya. Tapi, rupanya nasib buruk belum juga
mau pergi jauh dari dirinya.
Kunjang menghampiri, langsung menggenggam
tangan gadis ini yang putih dan halus. Seakan, dia
ingin memberi ketabahan pada diri wanita malang
ini. Sementara, Wulandari masih terisak, menutupi
wajah dengan tangan kiri. Namun tak lama
kemudian, tangisnya berhenti. Disekanya air mata
yang membasahi seluruh wajahnya. Pandangan
matanya langsung tertuju pada anak laki-laki
berusia tiga belas tahun di depannya yang masih
memegangi tangan kanannya.
"Aku juga sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Mereka membunuh kedua orangtuaku, juga semua
saudaraku. Bahkan mengusirku seperti anjing kotor
yang hina. Kita senasib, Kak...," ujar Kunjang lirih.
"Oh.... Kau juga berasal dari Desa Payakan...?"
"Benar, Kak. Aku dilahirkan di sana," sahut
Kunjang. Wulandari jadi terdiam. Kunjang juga tidak
membuka suara lagi. Dan untuk beberapa saat
mereka jadi terdiam membisu. Namun tidak berapa
lama, bocah kecil itu mengajak Wulandari pergi
meninggalkan tempat ini. Wulandari tidak bisa
menolak lagi. Dia memang tidak ingin lama-lama
berada di dalam hutan ini. Dan kakinya pun
melangkah mengikuti ayunan kaki Kunjang di
sebelah kanannya. Mereka berjalan menembus
lebatnya hutan, tanpa ada yang bicara lagi.
--myrna-- 4 Kematian Rantaka di dalam hutan, membuat
seluruh Desa Payakan bagai diguncang gempa
teramat dahsyat. Kematian Rantaka membuat Ki
Junggut semakin bertambah berang. Dan
kekejaman yang terjadi di desa itu juga semakin
membara. Dan Ki Junggut langsung memerintahkan semua anak buahnya untuk
mencari pembunuh putranya itu. Sementara,
Rantaki yang merupakan saudara kembar Rantaka
tidak dapat berbuat apa-apa. Dia sendiri tidak tahu,
siapa yang membunuh saudara kembarnya di
depan pondok di dalam hutan. Pondok itu memang
mereka dirikan untuk beristirahat, setiap kali
berburu ke dalam hutan.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi yang
baru tiba di luar perbatasan Desa Payakan ini,
sudah mendengar kematian Rantaka dari beberapa
orang yang berpapasan. Dan Pendekar Rajawali
Sakti pun memutuskan untuk menunda dulu
memasuki desa itu.
"Tampaknya ada orang lain yang sudah
bertindak lebih dulu, Pandan," ujar Pendekar
Rajawali Sakti.
"Itu bisa saja terjadi, Kakang. Mereka sudah
terlalu lama tertindas. Salah satu dari penduduk
desa ini pasti ada yang tergugah untuk melawan,"
sahut Pandan Wangi.
"Tapi kulihat, penduduk desa itu semakin
dicekam ketakutan saja, Pandan. Aku merasa kalau
perbuatan Ki Junggut dan tukang-tukang pukulnya
akan semakin merajalela. Semua ini harus
secepatnya diakhiri," tegas Rangga.
"Kalau begitu, kita langsung saja datangi Ki
Junggut. Aku yakin, dia akan bertekuk lutut bila
tahu kalau kau adalah Raja Karang Setra," kata
Pandan Wangi langsung mengusulkaa
"Justru itu yang tidak kuinginkan, Pandan.
Dalam persoalan ini, aku tidak ingin membawabawa Karang Setra. Aku akan melakukannya atas
namaku sendiri sebagai pendekar. Bukan sebagai
raja," Rangga tegas-tegas langsung menolak usul
Pandan Wangi. "Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya
Pandan Wangi ingin tahu.
"Hm.... Aku akan mencari orang yang sudah
menentang Ki Junggut," sahut Rangga. Nada
suaranya terdengar menggumam, seperti bicara
pada diri sendiri.
"Untuk apa...?" tanya Pandan Wangi lagi
semakin ingin tahu.
"Aku merasa, dia belum berani bertindak secara
terang-terangan.
Dan tindakannya bukan menolong, tapi malah semakin membuat penduduk
desa ini semakin tertindas saja. Aku akan
mengajaknya menumpas kelaliman Ki Junggut,
tanpa harus mengorbankan penduduk yang sudah
tidak berdaya lagi," jelas Rangga.
Pandan Wangi jadi terdiam membisu. Sudah
bisa dimengerti apa yang dikehendaki Pendekar
Rajawali Sakti. Memang sudah menjadi watak
Rangga yang selalu tidak ingin menimbulkan
banyak korban dalam menyelesaikan suatu
masalah. Terutama sekali, selalu menghindari
keterlibatan penduduk yang tidak berdaya, agar
tidak menjadi korban sia-sia.
"Ayo, Pandan...," ajak Rangga setelah cukup
lama berdiam diri.
"Ke mana?" tanya Pandan Wangi.
"Ke tempat Rantaka terbunuh," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung saja
melompat naik ke punggung kuda Dewa Bayu.
Pandan Wangi bergegas mengikuti, melompat naik
ke punggung kuda putih tunggangannya. Dan
sebentar kemudian, kedua pendekar muda dari
Karang Setra itu sudah memacu cepat kudanya
memasuki hutan yang berbatasan dengan Desa
Payakan. Sebentar saja, mereka sudah lenyap
tertelan lebatnya hutan itu. Hanya kepulan debu
saja yang masih terlihat bergulung-gulung ke
angkasa. Kedua pendekar dari Karang Setra itu tidak tahu
kalau gerak-gerik mereka sejak tadi diikuti oleh
seorang laki-laki tua bertubuh kekar, dengan
sebilah golok tersandang di pundak. Laki-laki kekar
yang merupakan salah satu tukang pukul Ki
Junggut, bergegas masuk ke dalam desa. Jelas, dia
ingin melaporkan kehadiran dua orang pendekar
muda itu pada Ki Junggut Sementara, Rangga dan
Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi, menghilang
ditelan hutan yang sangat lebat ini.
Sedangkan keadaan di Desa Payakan, masih
tetap sunyi tanpa ada seorang pun yang
melakukan kegiatan sehari-hari. Sejak diketahui
Rantaka mari terbunuh di dalam hutan, tidak ada
seorang penduduk pun yang berani meninggalkan
rumahnya. Mereka takut menjadi sasaran
kemarahan Ki Junggut atas kematian salah satu
putra kembarnya.
--myrna-- Tidak ada yang dapat ditemukan Rangga di
sekitar pondok kecil di dalam hutan ini. Yang
didapati hanya pondok kosong, dengan pintunya
hancur berkeping-keping Dan tidak jauh dari
pondok itu, masih terdapat darah yang sudah
mengering. Tidak ada satu pun dapat dijadikan
petunjuk bagi Pendekar Rajawali Sakti, untuk
mengetahui siapa yang membunuh Rantaka dalam
hutan ini. Pendekar Rajawali Sakti juga tidak tahu,
untuk apa Rantaka berada dalam hutan yang sunyi
dan lebat ini. Demikian pula tentang penghuni
pondok kecil di dalam hutan ini.
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semakin banyak pertanyaan yang timbul dalam
kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tidak satu
pun yang bisa terjawab.
Sementara Pandan Wangi hanya diam saja
menyaksikan Rangga yang terus mencari sesuatu
di sekitar pondok kecil ini. Namun tiba-tiba saja,
kuda-kuda tunggangan mereka meringkik keras,
dan kelihatan gelisah. Rangga langsung berpaling
memandang kuda-kuda itu.
"Ada apa, Pandan...?" tanya Rangga.
Belum juga Pandan Wangi bisa menjawab, tibatiba dari balik pepohonan berlompatan sosok-sosok
tubuh menghunus senjata golok. Pandan Wangi
cepat melompat mendekat Pendekar Rajawali
Sakti. Dan dalam waktu yang sangat singkat, kedua
pendekar muda dari Karang Setra itu sudah
terkepung tidak kurang dari dua puluh orang
bersenjatakan golok. Tampak di antara mereka
terdapat tiga orang laki-laki tua bersama seorang
wanita yang sudah lanjut usianya. Mereka memang
orang-orang kepercayaan Ki Junggut.
"Phuih! Rupanya kalian berdua biang keladinya!"
dengus Ki Sampulut.
"Sudah.... Jangan banyak bicara, Kakang.
Serang saja mereka," selak Nyai Waringki, tidak
sabar. "Mereka memang harus mampus!" dengus Ki
Sampulut lagi. "Seraaang...! Bunuh mereka!"
"Tunggu...!" sentak Rangga mencegah, sebelum
ada yang bergerak.
"Phuih! Mau apa kau..."!" bentak Ki Sampulut.
"Siapa kalian"! Kenapa riba-riba ingin menyerang kami?" tanya Rangga.
"Kau sudah membunuh putra junjungan kami.
Dan sekarang, kau harus mampus!" sahut Ki
Sampulut mendengus geram.
"Kalian salah. Kami tidak membunuh siapa pun
di sini," sentak Pandan Wangi.
"Jangan banyak omong!" bentak Nyai Waringki.
"Serang mereka...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, dua puluh orang bersenjata
golok yang sudah mengepung kedua pendekar dari
Karang Setra ini langsung berlompatan menyerang
disertai teriakan-teriakan keras mengetarkan
jantung. Rangga dan Pandan Wangi tidak dapat
lagi mencegah. Mereka terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan
yang datang secara bersamaan dari segala arah.
Dan mereka juga terpaksa terpisah dalam
menghadapi lawan-lawannya.
"Hiyaaat...!"
Bet! Cepat sekali Pandan Wangi mencabut senjata
Kipas Maut dan langsung mengebutkannya pada
salah seorang lawannya di depan. Tapi, lawannya
ini bisa menangkis kebutan kipas putih keperakan
itu dengan goloknya. Trang!
Orang itu jadi terpekik, merasakan seluruh
lengannya bergetar hebat. Bahkan goloknya
terlepas dari genggaman. Dan saat itu juga Pandan
Wangi memberikan satu tendangan keras
menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. "Hih!"
Dugkh! Begitu cepatnya tendangan Pandan Wangi,
sehingga lawannya tidak dapat lagi menghindari.
Dan dia menjerit keras, begitu tendangan si Kipas
Maut menghantam tepat dadanya.
Sementara Pandan Wangi sudah kembali
melesat sambil mengibaskan senjata kipasnya pada
lawan lain. Tidak dihiraukannya lawan yang terkena
tendangan tadi tersungkur mencium tanah dengan
. tulang-tulang dada rembuk. Orang itu seketika
tergeletak diam tidak bergerak-gerak lagi.
Bet! Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika
terdengar menyayat, begitu ujung kipas Pandan
Wangi yang runcing merobek dada salah seorang
lawan. Dan gadis cantik yang dikenal berjuluk si
Kipas Maut itu terus bergerak cepat menghajar
lawan-lawannya dengan senjata mautnya yang
berkelebat begitu cepat tanpa dapat dibendung
lagi. Sementara di tempat lain, Rangga hanya
memberi pukulan-pukulan ringan pada setiap
lawannya. Walaupun sebagian sudah bergelimpangan, tapi tidak ada yang sampai
menemui ajal. Sedangkan Pandan Wangi sendiri,
sudah menewaskan tiga orang lawan dalam waktu
yang tidak begitu lama. Sementara, empat orang
tua kepercayaan Ki Junggut jadi geram melihat
prajurit mereka tampaknya tidak berdaya
menghadapi dua orang pendekar muda dari Karang
Setra itu. "Munduuur...!" teriak Ki Sampulut riba-riba.
Seketika itu juga, orang-orang yang mengeroyok
Pandan Wangi berlompatan mundur, begitu
terdengar teriakan perintah dari Ki Sampulut. Dan
pada saat itu juga, laki-laki tua bertubuh tegap
terbungkus baju merah ketat dan bersenjata golok
itu melompat menghampiri Rangga.
"Hiyaaa...!"
Bet! Cepat sekali Ki Sampulut mengebutkan goloknya
yang berukuran sangat besar, mengarah tepat ke
kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Haiiit...!"
Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan
kepala, maka tebasan golok berukuran sangat
besar itu lewat tanpa membawa hasil. Dan pada
saat tubuhnya agak miring ke lori, Rangga
melepaskan satu tendangan menggeledek yang
begitu cepat dengan kaki kanan.
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Ki Sampulut cepat-cepat melenting dan
berputaran ke belakang, hingga tendangan keras
Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai menghantam
tubuhnya. Beberapa kali orang tua itu berputaran
di udara, kemudian manis sekali menjejakkan
kedua kakinya di tanah, sekitar setengah batang
tombak jauhnya dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Phuih!"
Ki Sampulut menyemburkan ludahnya dengan
senrit Perlahan kakinya bergeser ke kanan dengan
tatapan mata tajam, menusuk langsung ke bola
mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan agak jauh ke
belakang Rangga, Pandan Wangi terpaksa harus
menjadi penonton. Karena, tidak ada seorang pun
yang menyerangnya. Sementara perhatian Ki
Sampuk, Ki Jampur, dan Nyai Waringki juga
terpusat pada pertarungan antara Ki Sampulut
dengan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka jadi ikut
merasa tegang, melihat Ki Sampulut masih belum
juga melancarkan serangan.
Wut! Ki Sampulut cepat memutar goloknya yang
berukuran sangat besar itu, hingga beruknya
lenyap dari pandangan. Dan yang terlihat hanya
lingkaran putih keperakan di depan tubuh orang
tua berbaju merah agak ketat ini.
"Hup! Hiyaaa...!"
--myrna-- Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba
saja Ki Sampulut melompat cepat sekali menerjang
Pendekar Rajawali Sakti. Dan bagaikan kilat,
goloknya dihantamkan tepat mengarah ke bagian
perut pemuda berbaju rompi putih yang menjadi
lawannya. "Upths!"
Cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang,
hingga sambaran golok itu hanya lewat sedikit saja
di depan perutnya. Namun tanpa diduga sama
sekali, Ki Sampulut cepat memutar arah goloknya.
Dan langsung goloknya dikibaskan ke arah leher
Pendekar Rajawali Sakti.
Bet! Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk
menghindari sambaran golok lawannya. Dan
dengan cepat kedua telapak tangannya dikatupkan
tepat di depan tenggorokannya.
"Hap.."
Tap! Seketika itu juga, golok yang hampir menebas
leher terjepit di antara kedua telapak tangan
Pendekar Rajawali Sakti yang menyatu rapat.
"Hih...!"
Ki Sampulut jadi tersentak kaget, tidak
menyangka kalau pemuda lawannya akan berbuat
demikian. Cepat seluruh tenaga dalamnya
dikempos. Dicobanya untuk menarik goloknya dari
jepitan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, golok
itu sedikit pun tidak bergeming berada dalam
jepitan tangan Rangga.
"Hih!"
Kembali Ki Sampulut melepaskan goloknya.
Namun tetap saja usahanya tidak membawa hasil.
Sementara, Rangga sendiri terlihat tegak seperti
tidak berusaha menahan sentakan tenaga dalam
lawannya. Namun tanpa diduga sama sekali, tibatiba saja Pendekar Rajawali Sakti melenting sedikit
ke atas. Dan....
"Yeaaah...!"
Bet! "Heh..."!"
Ki Sampulut jadi terbeliak kaget setengah mati,
sungguh tidak disangka lawannya bisa bergerak
dengan tangan masih merapat menjepit goloknya.
Dan belum lenyap rasa keterkejutannya, tahutahu.... Diegkh! "Akh...!"
Ki Sampulut jadi memekik agak tertahan, begitu
tendangan Rangga tepat menghantam dadanya.
Seketika tubuh orang tua yang masih kelihatan
tegap dan berotot ini jadi terpental cukup jauh ke
belakang, dengan golok terlepas dari genggaman
tangan. Golok itu masih berada dalam jepitan
kedua telapak tangan Rangga di depan
tenggorokannya.
"Hih!"
Trak! Entah bagai mana caranya, Rangga mematahkan golok itu hingga menjadi dua bagian,
dan langsung membuangnya begitu saja ke depan.
Tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu membuat
semua orang yang menyaksikan jadi terlongong
bengong. Sungguh mereka tidak percaya kalau
pendekar muda itu mampu mematahkan golok Ki
Sampulut yang sudah terkenal keampuhannya
dengan mudah sekali, seperti mematahkan
sepotong ranting kecil yang sudah kering.
Ki Sampulut sendiri yang masih belum juga bisa
berdiri jadi terbeliak melihat goloknya kini sudah
terpotong menjadi dua bagian, tergeletak di tanah
tidak jauh darinya. Sementara Rangga tetap berdiri
tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Matanya memandangi orang-orang tua yang masih
terlongong bengong, seakan tidak percaya dengan
apa yang baru saja disaksikannya.
"Dengar...! Aku tidak ada urusan dengan kalian.
Sebaiknya pergi dari sini, sebelum pikiranku
berubah untuk mematahkan batang leher kalian
satu persatu...!" keras sekali suara Rangga, hingga
menggema sampai menelusup ke dalam hutan
yang lebat ini.
Ancaman Rangga yang tampaknya tidak mainmain ini membuat hati sisa-sisa anak buah orangorang tua itu jadi bergetar. Dan kata-kata Rangga
Pendekar Rajawali Sakti 128 Rahasia Cincin Mustika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bernada ancaman, membuat orang-orang tua
tukang pukul Ki Junggut ini jadi terdiam.
Sementara, itu Ki Sampulut sudah bisa berdiri lagi.
Dia kini berada di antara orang-orang tua yang lain
"Kali ini kau boleh merasa senang, Bocah. Tapi
lain waktu, kau akan berlutut di depanku...!"
dengus Ki Sampulut mendesis.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar katakata Ki Sampulut yang tidak sudi mengakui
kekalahannya. Dan tanpa banyak bicara lagi Ki
Sampulut segera berbalik, kemudian melangkah
meninggalkan tempat ini. Sementara Ki Jampur, Ki
Sampuk, dan Nyai Waringki menatap tajam
beberapa saat pada Pendekar Rajawali Sakti.
Kemudian mereka juga berputar dan melangkah
pergi mengikuti Ki Sampulut yang sudah pergi lebih
dulu diikuti sisa-sisa anak buahnya.
Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak
memandangi mereka sampai lenyap tertelan
lebatnya pepohonan di dalam hutan ini. Pandan
Wangi bergegas menghampiri Pendekar Rajawali
Sakti. "Sebenarnya kita bisa menumpas mereka
sampai habis, Kakang...," ujar Pandan Wangi
dengan nada suara agak menggumam, seakan
bicara pada diri sendiri.
"Belum saatnya, Pandan," sahut Rangga datar.
"Sudah jelas mereka orang-orangnya Ki
Junggut. Aku rasa, tidak ada manfaatnya
membiarkan mereka tetap hidup, Kakang," selak
Pandan Wangi, tidak sependapat dengan jalan
pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo, Pandan. Kita pergi dari sini," ajak Rangga
setelah beberapa saat terdiam.
Pandan Wangi tidak bisa lagi membantah.
Diikutinya Pendekar Rajawali Sakti yang melangkah
menghampiri kudanya. Kedua kuda itu tadi
langsung menyingkir menjauh, begitu muncul
pengikut-pengikut Ki Junggut. Dan tanpa banyak
bicara lagi, Rangga langsung melompat naik ke
punggung kuda hitamnya yang dikenal bernama
Dewa Bayu. Kecepatan lari kuda itu bagaikan angin
saja. Sehingga, tidak ada seekor kuda pun di dunia
ini yang bisa menandinginya.
Namun hutan yang lebat dengan pepohonan
yang seakan saling menyatu dan berkaitan ini,
membuat gerak kuda mereka jadi terhambat.
Hingga akhirnya, Rangga terpaksa harus turun dari
punggung kudanya. Pandan Wangi segera
mengikuti jejak Pendekar Rajawali Sakti. Kini
mereka melajutkan perjalanannya dengan berjalan
kaki, sambil menuntun kuda masing-masing.
--myrna-- 5 Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu
baru berhenti, setelah sampai di tempat yang agak
lapang di dalam hutan ini. Sebuah tempat yang
cukup tersiram cahaya matahari. Sesaat mereka
mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati
keadaan sekitarnya. Terasa sunyi sekali, sedikit pun
tidak terdengar suara binatang. Hanya tiupan angin
yang menggeser dedaunan saja yang terdengar
mengusik telinga.
"Sunyi sekali di sini, Kakang. Seperti tidak ada
yang hidup saja...," ujar Pandan Wangi pelan,
sepera bicara pada diri sendiri.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja
perlahan. Memang tidak ada yang dapat dilihat di tempat
ini, selain pepohonan Bahkan sedikit pun tidak
terdengar suara binatang. Hanya saja Pendekar
Rajawali Sakti merasa kesunyian ini memancarkan
hawa. yang lain. Suatu perasaan
yang membuatnya kelihatan menegang, dengan pandangan mata terus beredar ke sekeliling tanpa
suara sedikit pun juga. Bahkan sepertinya dia sejak
tadi menahan napas.
"Ada apa, Kakang?" tegur Pandan Wangi yang
melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti yang terasa
lain. Namun belum juga Rangga bisa menjawab
pertanyaan si Kipas Maut itu, mendadak saja....
Brolll! "Pandan, awas...!"
"Heh..."! Hup!"
Untung saja Pandan Wangi cepat melompat ke
atas. Sehingga, sepasang tangan yang tiba-tiba
saja menyembul dari dalam tanah tidak sampai
merenggut kakinya. Beberapa kali gadis cantik
yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu berputaran
di udara, kemudian manis sekali menjejakkan
kakinya kembali di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Sementara sepasang tangan yang menyembul
Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 2 Pendekar Mabuk 045 Pertarungan Tanpa Ajal Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama