Pendekar Rajawali Sakti 131 Serigala Bukit Maut Bagian 1
. 131. Serigala Bukit Maut Bag. 1
13. Oktober 2014 um 11:32
Pendekar Rajawali Sakti
episode: SERIGALA BUKIT MAUT
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
(Gambarnya nanti nyusul yah, soalnya difile editnya mimin ga ada gambarnya)
? 1 ? Gunung Kedung yang berdiri gagah tinggi menjulang menjadi latar belakang pemandangan di Desa Wandur. Hawa desa yang terletak di kaki gunung itu amat sejuk. Penduduknya cukup padat, dan rata-rata bermata pencaharian dengan bertani dan berladang. Bila matahari mulai mengintip di ufuk timur, maka semua laki-laki di desa itu berangkat menuju sawah ladangnya. Sementara yang tinggal hanya anak-anak dan wanita serta orang tua.
Seperti juga pagi ini. Tampak anak-anak bermain sambil berlari-larian di sekitar halaman rumah mereka. Sedangkan para ibu rumah tangga menyiapkan makanan untuk suami di sawah. Suatu kegiatan yang terus berjalan sepanjang hari.
Tampak beberapa orang telah meninggalkan rumah. Sementara, yang lain masih duduk di balai bambu sambil menghirup kopi dan menyantap sarapan sebelum bekerja. Sesekali mereka bertegur sapa.
"Tidak berangkat, Ki Somad?" tanya seseorang, ketika lewat di depan rumah orang yang dipanggil Somad.
"Sebentar lagi, Gimin. Kuhabiskan kopi ini dulu. Mampir! Masih ada pisang goreng hangat!" sahut laki-laki setengah baya itu tersenyum cerah. Istrinya yang berada di dekatnya ikut tersenyum lebar.
"Terima kasih, Ki Somad. Masih banyak yang harus kukerjakan!" tolak pemuda yang dipanggil Gimin.
Pemuda itu lantas melanjutkan perjalanan sambil melambaikan tangan. Dan Ki Somad pun membalasnya dengan anggukan kepalanya. Kini terlihat laki-laki setengah baya itu menggeleng pelan, seraya tersenyum-senyum sendiri. Sebentar kemudian, diseruputnya kopi yang sudah dingin.
"Pemuda itukah yang hendak kau jodohkan dengan si Marni?" tanya Nyi Somad.
"Kenapa" Kau tidak setuju?" Ki Somad malah balik bertanya.
"Dia orang baru di sini. Kita sama sekali belum begitu mengenal keluarganya," desak wanita setengah baya yang sudah kelihatan tua dari usia yang sebenarnya itu.
"Dia anak Ki Suhanda. Dan aku kenal betul dengannya. Selain rajin, mereka termasuk orang baik-baik...," kilah Ki Somad.
Wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang duduk di sebelah Ki Somad itu hanya menarik napas panjang. Rasanya memang sulit untuk membantah laki-laki itu.
"Kau tidak setuju...?"
"Aku hanya ingin Marni mendapat jodoh dari orang baik-baik," sahut Nyi Somad pelan.
"Apakah menurutmu pemuda itu tidak baik?" tanya Ki Somad lagi.
"Bukan begitu. Kau tahu, keadaan kita amat susah. Sawah hanya sepetak. Apakah kau tidak ingin taraf hidup kita lebih baik lagi" Juragan Dudung telah melamar si Marni. Tapi, sampai sekarang kau belum juga memberi jawaban padanya...."
Ki Somad terkekeh.
"Kau ingin aku menerima lamarannya hanya karena dia orang kaya, sehingga kelak mampu mengangkat derajat hidup kita...?" tanya laki-laki itu dengan nada sedikit sinis.
"Apa salahnya" Dia toh, bukan orang jahat. Dan lagi, istrinya telah lama meninggal!" sentak Nyi Somad.
"Tentu saja tidak salah. Tapi kau harus ingat Selain usianya lebih tua dariku, Marni pun tidak menyukainya. Apakah aku harus memaksa Marni kawin dengannya, hanya untuk membahagiakan kita" Marni berhak menentukan pilihannya sendiri. Dan dia menyukai pemuda itu. Maka, kita tidak berhak merampas kebahagiaannya!" tegas Ki Somad, coba menjelaskan.
Nyi Somad kembali terdiam, tidak berusaha membantah keputusan suaminya. Namun jelas wajahnya menunjukkan bahwa masih belum sependapat. Dan agaknya, Ki Somad bukannya tidak mengetahuinya.
"Mirah! Aku mengerti, apa yang kau inginkan. Bukannya aku tidak ingin hidup kita berubah. Walaupun rezeki yang kita miliki sedikit tapi wajib disyukuri. Kita tidak perlu mencari jalan pintas dengan menerima lamaran Juragan Dudung. Bersabarlah, Nyi. Siapa tahu kelak nasib kita akan berubah," desak Ki Somad, berusaha meredakan kekesalan istrinya yang sebenarnya bernama Sumirah.
"Sudahlah. Aku tidak ingin membicarakannya lagi," sahut Nyi Somad seraya bangkit berdiri. Sebentar saja, dia berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumahnya.
Di pintu depan, wanita itu bertemu seorang gadis manis berkulit kuning langsat terbungkus pakaian kebaya hijau. Matanya bulat indah. Hidungnya kecil mancung, serta rambutnya disanggul begitu saja. Mereka bertatapan sesaat, kemudian Nyi Somad buru-buru melangkah melewati gadis itu.
Sedangkan gadis berkebaya hijau itu memperhatikan dengan wajah heran, kemudian melangkah mendekati Ki Somad.
"Apa yang terjadi, Yah" Bertengkar lagi?" tanya gadis itu, dengan wajah bingung.
"Tidak ada apa-apa. Marni," sahut Ki Somad disertai gelengan kepala yang lemah.
Laki-laki setengah baya itu lalu bangkit. Dirapikannya golok yang terselip di pinggang. Lalu, diambilnya cangkul. Sejenak matanya memandang anak gadisnya.
"Katakan pada ibumu, Ayah berangkat sekarang."
"Baik, Ayah," sahut gadis putri Ki Somad yang ternyata Marni.
Ki Somad langsung melangkah keluar dari rumahnya. Namun belum berjalan lima langkah, tiba-tiba....
"Perampok...! Ada perampok...! Tolooong...!"
Terdengar teriakan yang susul-menyusul dari ujung Desa Wandur ini.
*** Ki Somad kontan tersentak kaget. Bahkan beberapa orang tetangganya sudah keluar untuk melihat apa yang terjadi.
Sementara itu di ujung Desa Wandur sebelah barat terlihat debu mengepul menghalangi pemandangan. Namun jelas terdengar derap langkah kuda yang berjumlah ratusan. Beberapa orang penduduk menggigil ketakutan. Bahkan banyak yang langsung masuk ke dalam untuk bersembunyi.
"Heaaa...!"
Tampak lebih dari dua puluh orang berwajah seram menunggangi kudanya dengan kecepatan bagai dikejar setan menuju Desa Wandur. Para penunggang kuda yang rata-rata membawa senjata tajam itu berbuat seenak hatinya. Mereka langsung membunuhi siapa saja yang ditemui di jalan utama desa ini. Bahkan sama sekali tidak peduli apakah korbannya anak-anak atau wanita yang tidak berdaya. Sementara beberapa orang laki-laki penduduk Desa Wandur mencoba memberikan perlawanan.
Namun kebanyakan tewas disambar senjata-senjata para penunggang kuda dalam waktu singkat. Jerit kematian berbaur tatapan menyayat wanita dan anak-anak yang berlari ke sana kemari menambah trenyuh bagi yang melihatnya.
"Sikat semua barang-barang berharga! Ayo, cepat! Bunuh semua yang mencoba menghalangi! Ambil wanita-wanita cantik di seluruh sudut desa ini. Hua-ha-ha...!" teriak seorang penunggang kuda bertubuh besar. Kepalanya botak dengan cambang bauk tebal. Dia terus memberi perintah sambil tertawa penuh kemenangan.
"He-he-he...! Pintar juga otakmu, Purwareksa. Tapi jangan serakah. Kita bertiga di sini. Dan bagian terbesar nanti, harus diberikan pada Aki Bergola!" sahut seseorang yang berkuda di samping laki-laki yang dipanggil Purwareksa. Dia bertubuh tinggi. Kepalanya lonjong bagai telur. Senjatanya berupa tombak bermata tiga.
"Hi-hi-hi...! Benar kata Ki Boneng. Kau tidak boleh serakah seperti yang sudah-sudah, Purwareksa. Bisa-bisa Ki Bergola akan menghukummu dengan berat!" timpal orang yang bertubuh pendek gemuk. Senjatanya berupa clurit besar yang terselip di pinggang.
"Ki Boneng, Ki Amoksa...! Jangan khawatir! Tentu saja aku tidak berani serakah. Huh! Siapa sudi dihukum Ki Bergola?" sahut Ki Purwareksa yang bersenjatakan bandul besi penuh paku-paku tajam yang dihubungkan dengan rantai besi.
Melihat dari cara mereka memerintah, agaknya ketiga orang itu adalah pemimpin para perampok ini. Sebagai pemimpin perampok tentu saja kepandaian mereka tidak rendah. Dan ini terbukti, ketika beberapa pemuda Desa Wandur dengan amarah meluap-luap bermaksud menghajar mereka, maka hanya sekali kibasan tangan, pemuda-pemuda itu dibuat terjungkal memuntahkan darah segar. Bahkan mereka tewas beberapa saat kemudian.
"Huh! Segala kecoa buduk ingin berlagak jagoan! Kalian boleh mampus sekarang juga!" dengus laki-laki bersenjata tombak bermata tiga yang bernama Ki Boneng geram.
"Ha-ha-ha...! Mereka memang harus diberi pelajaran agar tidak bertindak gegabah!" timpal laki-laki bersenjata clurit yang bernama Ki Amoksa.
Belum habis kata-katanya, mendadak meluruk seorang laki-laki setengah baya sambil mengayunkan cangkul ke arahnya.
"Keparat Jahanam! Akan kubunuh kalian semua! Yeaaa...!" teriak laki-laki setengah baya itu.
Di atas punggung kudanya, Ki Amoksa menggeram. Dan seketika tangannya bergerak, untuk menangkis cangkul yang tertuju ke arahnya.
Trakkk! Laki-laki bersenjata cangkul itu memiliki sedikit kepandaian. Buktinya ketika Ki Amoksa balik menyerang, dia mampu menangkis. Bahkan sekaligus melompat menghindar.
Bukan main geramnya Ki Amoksa melihat kenyataan ini. Maka seketika dia melompat dari punggung kudanya dengan gerakan indah sekali. Dan begitu kakinya mendarat di tanah, tubuhnya langsung melesat.
"Orang Tua Busuk! Bagus! Agaknya kau memiliki kepandaian juga, he"! Ingin kulihat sampai di mana kebisaanmu...! Hiyaaa...!" geram Ki Amoksa.
Laki-laki bertubuh pendek dan gempal itu melompat ringan sambil mengayunkan clurit besar di tangannya. Sementara laki-laki setengah baya yang dihadapinya cepat mundur dua langkah sambil memasang kuda-kuda kokoh. Langsung ditangkisnya tebasan senjata clurit yang hendak menebas lehernya. Begitu habis menangkis, laki-laki penduduk Desa Wandur itu cepat bergerak ke kiri, untuk menghindari kepalan tangan kanan Ki Amoksa.
"Setan! Kau akan mampus karena ulahmu sendiri, Keparat!" desis Ki Amoksa semakin geram.
Kali ini, agaknya Ki Amoksa tidak ingin bertindak setengah-setengah lagi. Maka, telapak kirinya langsung disorongkan ke depan. Seketika dari telapak kirinya yang terbuka mendesir angin kencang berhawa panas ke arah lawannya. Sejenak laki-laki setengah baya itu tersentak kaget, namun masih mampu menjatuhkan diri ke tanah, menghindari serangan angin berhawa panas itu. Tubuhnya langsung bergulingan, karena serangan Ki Amoksa tidak berhenti sampai di situ. Bahkan tubuh laki-laki bersenjata clurit itu langsung meluruk melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
Jderrr! Untung saja laki-laki setengah baya itu terus bergulingan, ketika kaki Ki Amoksa mendarat di tanah.
Bumi tempat berpijak kontan seperti bergetar hebat, menciptakan lubang sedalam hampir sejengkal.
Sementara laki-laki setengah baya itu sudah melesat ke atas. Namun pada saat tubuhnya mengapung di atas, Ki Amoksa sudah cepat mengejar sambil menyabetkan cluritnya ke perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga tidak mampu dihindari.
Brettt! "Aaakh...!"
Orang itu kontan memekik keras begitu perutnya tersambar clurit. Tubuhnya langsung ambruk bermandikan darah dengan perut robek dan usus terburai keluar.
"Ayaaah...!"
Mendadak terdengar jeritan seseorang dari arah yang tak jauh dari situ. Rupanya jeritan itu berasal dari seorang pemuda yang tadi masih memberikan perlawanan gigih terhadap salah seorang perampok. Dan tanpa mempedulikan lawannya, dia tergopoh-gopoh menghampiri laki-laki setengah baya yang rupanya adalah ayahnya. Bola matanya berkilat tajam penuh dendam dan amarah. Giginya bergemerutuk keras dengan tubuh bergetar hebat.
"Iblis jahanam! Kubunuh kau, Kisanak! Kau harus bayar hutang nyawa ini!" desis pemuda itu garang. Langsung disambarnya sebuah golok yang tergeletak di tanah. Namun belum juga dia membuat sebuah serangan....
"Aouw...! Kakang Gimin, tolooong...! Tolooong...!"
Terdengar teriakan minta tolong dari arah kanan. Seketika pemuda itu menoleh ke arah suara jeritan tadi.
"Hei"! Marni...! Marni...!"
Tampak seorang perampok tengah menggendong gadis itu sambil terkekeh-kekeh kegirangan. Gadis yang ternyata Marni berusaha berontak sekuat tenaga dengan wajah ketakutan. Sementara, ayahnya mencoba menolong. Namun dengan sekali hajar, tubuh laki-laki yang tak lain Ki Somad kontan terjungkal. Sedangkan seorang wanita setengah baya berteriak menyayat dan buru-buru menghampiri Ki Somad. Namun salah seorang dari kawanan perampok dengan garang langsung mengibaskan tangannya, menghajar wanita itu.
"Bajingan terkutuk! Kubunuh, kalian...!" dengus pemuda bernama Gimin.
"Hmmm, cincang bocah keparat itu!" bentak salah seorang perampok.
*** Beberapa orang langsung mengepung Gimin yang berusaha menolong keluarga Ki Somad. Sementara pemuda itu merayapi para pengepungnya dengan sorot mata tajam penuh dendam. Dan ketika beberapa orang melancarkan serangan, Gimin cepat bertindak. Langsung ditangkisnya serangan-serangan itu dengan goloknya.
Trang! Gimin langsung balik menyerang dan mengamuk sejadi-jadinya. Gerakan-gerakannya cukup mantap. Sedang golok di tangannya menyambar-nyambar ke arah tubuh para pengepungnya.
Bresss! "Aaaa...!"
Tampak salah seorang mulai terjungkal ke tanah bermandikan darah terkena sabetan Gimin pada perutnya. Beberapa pengepung terkesiap kaget melihat kegesitan Gimin. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan pemuda itu untuk melenting ke atas, dan keluar dari kepungan tersebut. Dia bermaksud menolong Marni, gadis pujaannya yang tengah dibawa lari salah seorang perampok.
"Jahanam keparat! Lepaskan gadis itu...!" bentak Gimin garang, begitu mendarat di tanah.
Gimin cepat melesat, mengejar laki-laki yang hendak membawa Marni. Namun belum juga sampai, orang yang dikejarnya sudah berbalik menghadang. Sambil mendengus geram, orang itu langsung mengibaskan golok di tangan. Namun tangkas sekali Gimin menangkis.
"Huh!"
Trang! Begitu habis menangkis, Gimin melayangkan kaki kanannya menghantam ke arah pinggang. Perampok itu bertindak licik. Gadis dalam rangkulannya langsung dijadikan tameng. Dan Gimin pun tidak kalah cerdik. Maka dengan cepat kakinya ditarik, langsung melepaskan tendangan ke atas.
Des! "Aaakh...!"
Ujung kaki Gimin tepat dan telak menghantam ke muka orang itu hingga menjerit kesakitan. Tulang hidungnya langsung patah. Darah mulai mengucur dari lubang hidungnya ketika tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Sehingga Marni terlepas dari pegangannya. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan. Segera dirampasnya Marni dari rangkulan orang itu. Tapi keadaan Gimin dan Marni semakin terjepit, sebab enam orang lawan lain telah kembali mengepung.
Untuk sesaat pemuda itu terkesiap sambil menyilangkan golok di dada, sementara tangan kiri menggamit lengan gadis yang baru diselamatkannya. Kelihatannya, mereka tidak akan lolos dari keroyokan ini. Namun, Gimin agaknya telah bertekad untuk mati bersama.
"Gimin! Cepat pergi dari sini! Biar kuhadang bajingan-bajingan keparat ini! Ayo, selamatkan Marni! Selamatkan diri kalian berdua!"
Tiba-tiba terdengar seruan dari balik para pengepung.
"Heh"!"
Gimin kaget setengah mati, ketika melihat siapa yang menyuruhnya pergi.
Belum habis rasa keterkejutan pemuda itu, Ki Somad tiba-tiba mengamuk dengan golok di tangan. Untuk sesaat Gimin jadi bingung sendiri. Mana mungkin orang tua itu dibiarkan sendiri menghadapi kawanan perampok kejam itu.
"Cepat pergi! Selamatkan Marni! Ayo...!" bentak Ki Somad garang. Belum habis teriakan Ki Somad, salah seorang perampok telah menyerang dengan kecepatan kilat. Ki Somad hendak menggeser tubuhnya, tapi terlambat. Dan....
Begkh! "Aaakh...!"
Satu ujung kaki perampok telah menghantam perut orang tua itu, sehingga tubuhnya langsung terjungkal ke tanah dan bergulingan diiringi jerit kesakitan. Namun dengan wajah garang, orang tua itu cepat bangkit.
"Eh, Ki Somad...?"
Gimin semakin bingung saja melihat keadaan orang tua itu. Tapi ketika Ki Somad melotot garang ke arahnya, dia segera angkat kaki walaupun dengan perasaan berat. Dicobanya untuk menerobos kepungan para perampok sambil mengibaskan golok di tangan kanan, dan menggeret Marni dengan tangan kiri.
"Yeaaa...!"
Trang! Trang! "Keparat! Jangan biarkan mereka lolos! Kejar dan bunuh segera!" teriak Ki Amoksa.
Tiga orang mencoba menghadang langkah Gimin. Namun dengan menggeram buas, pemuda itu melayani serangan. Namun agaknya kepandaian para perampok itu lumayan tinggi. Hingga pada satu kesempatan....
Crasss! "Aaakh...!"
"Kakang Gimin..."!"
Marni menjerit tertahan, ketika salah satu golok perampok menyambar pangkal lengan pemuda itu. Gimin mengeluh menahan rasa sakit di lengannya. Sementara darah mulai mengucur deras, membasahi lengannya.
Dan belum juga Gimin membuat serangan balik, salah seorang kembali meluruk deras ke arahnya melepaskan satu tendangan keras. Cepat bagai kilat, Gimin bergulingan sambil tetap menggamit lengan Marni. Dan kini mereka berhasil terlepas dari kurungan.
"Marni, ayo cepat!" teriak Gimin seraya bangkit berdiri. Langsung diseretnya gadis itu yang susah payah bangkit, untuk keluar dan segera berlari.
Belum juga mereka jauh berlari, terdengar jeritan menyayat.
"Ayaaah...!"
Marni terkejut, dan langsung menghentikan larinya. Sekilas, terlihat tubuh ayahnya menggelepar bermandikan darah tersambar senjata-senjata para perampok. Marni langsung mengalihkan pandangannya, tak kuasa melihat kejadian di depan matanya. Wajahnya pucat dan hatinya perih tidak karuan.
"Ayo, jangan bengong! Kita pergi dari sini...!" teriak Gimin, menyadarkan gadis itu dari keterpakuannya.
"Keparat! Kejar mereka. Dan, jangan biarkan lolos!" teriak Ki Amoksa semakin geram melihat sepasang anak muda itu berhasil meloloskan diri.
Beberapa perampok langsung melompat, mengejar Gimin dan Marni yang terus berlari menembus semak belukar yang lebat, di pinggiran desa ini.
Sementara itu Gimin bukannya tidak mengerti akan kesedihan Marni. Malah orangtua pemuda ini juga tewas di depan matanya. Namun dia berusaha menguatkan hati, dan terus berlari kencang sambil menyeret Marni untuk pergi sejauh-jauhnya.
"Kakang! Aku tidak kuat lagi berlari. Kakiku terasa pedih dan sakit. Dan, napasku pun sesak...," keluh Marni. Wajahnya tampak pucat dan napasnya tidak beraturan.
"Marni, kuatkan hatimu. Kuatkan semangatmu! Mereka masih mengejar kita. Ayo! Kalau mereka bisa menemukan kita, maka, jangan harap bisa selamat. Apakah akan dibiarkan begitu saja pengorbanan orangtua kita, demi keselamatan kita berdua...?" ujar Gimin, mencoba memompa semangat gadis itu.
"Oh...!"
Marni berusaha menguatkan semangatnya. Dicobanya untuk terus berlari. Namun belum berapa jauh, dia terjatuh. Gimin langsung berhenti. Dan dia cepat memapah gadis ini.
"Kakang! Aku..., aku tidak kuat lagi. Sebaiknya, tinggalkan saja aku di sini. Selamatkan dirimu, Kakang...," keluh gadis itu dengan napas megap-megap.
"Tidak! Kau harus selamat! Kita harus selamat..!" sentak pemuda itu. Langsung diangkatnya tubuh Marni dan dibopongnya. Kemudian Gimin berusaha lari secepatnya dari tempat itu.
Namun nyatanya keadaan pemuda itu sendiri sudah lemah. Darah yang terus mengucur di pangkal lengan seperti hendak menghambat larinya. Lagi pula ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Gimin masih tergolong rendah. Maka baru beberapa belas tombak berlari tubuhnya terjerembab bersama Marni, langsung bergulingan. Dan belum juga mereka bangkit berdiri....
"Ha-ha-ha...! Akhirnya mereka kecapaian sendiri. Maka dengan mudah kita bisa membereskannya!"
Mendadak terdengar tawa menggelegar tak jauh dari sepasang anak muda itu. Rupanya tawa itu berasal dari salah seorang kawanan perampok yang mengejar. Dan mereka yang sudah sampai di tempat ini langsung mengepung kedua anak muda-mudi itu.
Gimin terkesiap kaget. Jumlah para pengepung hanya empat orang. Meski wajah Gimin menunjukkan rasa tidak takut, tapi sebenarnya diam-diam hatinya mengeluh putus asa. Dalam keadaan sehat, belum tentu dia mampu mengalahkan mereka. Lalu, bagaimana dalam keadaannya saat ini"
"Bunuh bocah keparat ini! Dan, bawa gadis itu untuk kita hadapkan pada Ki Amoksa!" perintah salah seorang.
"He-he-he...! Sayang sekali kalau gadis semontok ini kita serahkan Ki Amoksa. Bagaimana kalau kita saja yang menikmati bersama," usul yang lain.
"Ya! Lebih bagus begitu, Dewok!" sambung salah seorang lagi.
Orang yang dipanggil Dewok, agaknya disegani ketiga kawannya. Dan dia berpikir sesaat, sambil memandang Marni dari ujung rambut hingga kaki. Kemudian terlihat kepalanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.
"He-he-he...! Pintar juga akal kalian. Ya! Lebih baik buat kita saja sebelum kita bunuh!" sahut Dewok.
Ketiga orang itu tertawa, menyambut gembira usul Dewok. Mulut mereka tertawa lebar, sambil mendekati gadis itu.
"Kakang Gimin! Aku... aku takut! Oh! Aku takut sekali...!" seru Marni dengan wajah tersembunyi di dada Gimin yang memeluknya erat-erat.
Gimin menyadari kalau keadaannya tidak menguntungkan. Dengan tangan kiri memeluk Marni, tangan kanannya segera menghunus golok dan siap menyambut serangan. Matanya tampak garang. Wajah berkerut, menyiratkan kebencian yang dalam.
"Jangan kira kalian bisa menyentuh gadis ini seenaknya! Huh! Langkahi mayatku dulu!" dengus Gimin geram.
"He-he-he..,! Apa susahnya" Kau kira dirimu apa, he"! Kau tidak lebih dari seekor tikus got yang terjepit, sehingga tidak mampu berbuat apa-apa. Dengan sekali tebas, maka kepalamu akan menggelinding ke tanah!" desis Dewok diiringi tawa mengejek.
Dewok segera memberi isyarat pada ketiga kawannya. Sementara Gimin bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun sebelum segala sesuatu terjadi....
"Bajingan-bajingan Keparat! Enyahlah kalian dari sini...!"
"Heh"!"
Terdengar bentakan keras menggelegar, sehingga mengejutkan semua yang ada di tempat ini. Belum juga keterkejutan mereka lenyap, mendadak melesat bagai kilat sebuah bayangan putih. Setelah membuat putaran beberapa kali di udara, bayangan putih itu mendaratkan sepasang kakinya di tanah, tepat membelakangi Gimin dan Marni.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " 131. Serigala Bukit Maut Bag. 2
13 ?"?"?"" 2014 ". " 11:33
2 ? Keempat orang perampok kontan tersentak kaget, melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih, berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada. Pemuda yang di punggungnya tersandang sebilah pedang berhulu kepala burung rajawali itu melangkah mendekati para perampok dengan sorot mata tajam.
"Bocah edan! Rupanya kau sudah bosan hidup, heh! Berani benar kau mencampuri urusan kami"! Ayo, pergi cepat! Kalau tidak, kupotes kepalamu!" hardik Ki Dewok garang dengan mata melotot lebar.
Pemuda itu malah tersenyum kecil. Langkahnya berhenti saat jaraknya terpaut satu setengah tombak dengan Ki Dewok.
"Kisanak! Perbuatan kalian membuat mataku gatal! Apakah tidak ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan ini?" sahut pemuda itu tenang.
"Kurang ajar! Hei, bocah! Apakah kau tahu, berhadapan dengan siapa saat ini"!"
"Aku tak ingin tahu, siapa kalian, yang jelas, kalian telah bertindak konyol dengan mengeroyok orang-orang tidak berdaya. Dan itu tak boleh terjadi di depan mataku...."
"Keparat! Agaknya mulutmu perlu disumbat, heh"!"
Bukan main geramnya Ki Dewok mendengar jawaban pemuda yang seperti tidak peduli dan sangat menganggap enteng itu. Dengan cepat laki-laki bertampang kasar itu langsung melompat. Dan menyerang dengan satu tendangan keras.
"Yeaaaa...!"
Namun agaknya pemuda berbaju rompi putih itu tenang-tenang saja menanggapi serangan Ki Dewok. Baru ketika serangan itu meluncur dekat, tubuhnya cepat bergeser ke kanan. Lalu dengan gerakan dahsyat, ditangkapnya kaki Ki Dewok yang tadi mengarah ke dada. Tappp...!
Ki Dewok terkesiap. Dan belum habis rasa terkejutnya, mendadak sikut tangan kanan pemuda itu telah menyodok perutnya dengan keras sekali.
Begkh! "Aaaakh...!"
Ki Dewok menjerit kesakitan dan kontan tubuhnya terjungkal ke tanah. Isi perut seperti diaduk-aduk. Agaknya Ki Dewok betul-betul menganggap enteng. Dikiranya pemuda itu hanya seorang yang sok jago saja. Tapi nyatanya"
"Kurang ajar! Hm.... Rupanya kau punya kepandaian juga, Kisanak! Tapi jangan berlagak di depanku!" kata Ki Dewok, setelah bangkit berdiri dan menyalurkan hawa murni untuk menghilangkan rasa mual pada perutnya.
Kini Ki Dewok makin kalap. Walau dengan wajah meringis menahan sakit, dia mencabut golok. Kembali diserangnya pemuda berbaju rompi putih itu dengan ganas.
"Yeaaa...!"
Bet! Sambil melompat-lompat ringan, pemuda itu terus menghindar. Gerakannya tak beraturan, sehingga lebih mirip orang mabuk saja. Dan rasanya, jauh jika disebut suatu jurus silat.
"Hm. Agaknya kau terlalu bernafsu hendak membunuhku, Kisanak. Jangan membuat pikiranku berubah," kata pemuda itu mengejek, setelah berhasil menghindari satu sabetan golok yang mengarah ke perutnya.
"Tutup mulutmu, Bocah! Lebih baik kau jaga kepalamu!" desis Ki Dewok semakin garang saja, karena pemuda itu mudah sekali menghindari setiap sambaran goloknya. "Yeaaa...!"
Ki Dewok langsung melipatgandakan kepandaiannya dalam serangannya kali ini. Namun sejauh ini belum juga mampu menjatuhkan lawannya Sebaliknya, pemuda itu tampak tenang-tenang saja dalam menghindari setiap serangan. Bahkan sama sekali tidak terlihat kalau keteteran.
Wukkk! Ki Dewok mengayunkan goloknya hendak membelah kepala pemuda itu. Namun dengan gerakan laksana kilat, pemuda itu melenting ke belakang. Melihat serangannya luput, Ki Dewok terus memburu dengan satu tendangan bertenaga dalam tinggi.
Agaknya, serangan itu memang ditunggu pemuda ini. Seketika tubuhnya mencelat ke atas, begitu menyentuh tanah. Langsung kaki kanannya diayunkan untuk memapak tendangan yang meluncur ke arahnya.
Melihat hal ini, Ki Dewok sadar kalau tak mungkin mengadu tenaga dalam dengan pemuda ini. Seketika kakinya ditarik kembali, dan langsung menggantikannya dengan satu babatan golok yang cepat bagai kilat. Namun pemuda itu segera menekuk kakinya. Lalu kakinya yang sebelah lagi cepat menghantam dada sebelah kanan Ki Dewok.
Begkh! "Aaaakh...!"
Serangan pemuda itu telak sekali menghantam dada kiri, membuat Ki Dewok terjungkal ke tanah sambil menjerit kesakitan. Dari mulutnya muncrat darah segar. Dia berusaha bangkit, namun kembali tersungkur. Tampak mulutnya menyeringai menahan sakit yang luar biasa pada dadanya.
Sementara, pemuda berbaju rompi putih itu sudah berdiri tegak, sambil memandang tajam pada Ki Dewok yang masih meringis-ringis.
"Bocah kurang ajar! Kubunuh kau...!" teriak seorang kawan Ki Dewok.
Orang itu langsung menghunus golok, lalu melompat menyerang pemuda ini. Dan, tindakannya diikuti kedua kawannya yang lain. Maka secara bersamaan mereka mengeroyok pemuda berbaju rompi putih ini.
"Hm.... Agaknya kalian memang perlu diberi pelajaran!" gumam pemuda itu, bernada mengancam.
Seketika tubuh pemuda itu melompat tinggi. Kemudian tubuhnya bersalto beberapa kali. Sedangkan ketiga kawan Ki Dewok itu hanya terkesiap, karena serangan mereka luput dari sasaran. Gerakan pemuda itu cepat bukan main dan sulit diikuti pandangan mata. Sehingga ketika tiba-tiba pemuda itu berkelebat cepat, tak ada seorang pun yang menyadari. Dan tahu-tahu terdengar pekik kesakitan saling susul. Kemudian tubuh ketiga orang itu terjungkal sambil mendekap dada masing-masing yang terasa akan pecah.
Ketiga orang itu berusaha bangkit, namun kembali terjatuh ke tanah tak jauh dari Ki Dewok. Sementara pemuda berbaju rompi putih itu telah berdiri tegak di depan mereka.
"Apakah kalian ingin pikiranku berubah...?" tanya pemuda itu dingin.
"Eh..., ohh...!"
Empat orang perampok itu gelagapan dengan wajah pucat ketakutan. Tidak ada seorang pun yang berniat hendak bangkit. Apalagi untuk melakukan serangan kembali. Ki Dewok sendiri memandang pemuda itu dengan wajah tidak percaya. Betapa tidak" Kepandaiannya saat ini boleh disebut lumayan. Jarang orang bisa menjatuhkannya. Tapi pemuda ini telah membuatnya kedodoran dalam waktu singkat.
"Kisanak! Siapakah kau sebenarnya...?" tanya Ki Dewok, datar.
"Apakah itu berarti bagi kalian?"
"Buat kami mungkin tidak. Tapi bagi pemimpin kami, tentu hal ini, tidak akan bisa diterimanya. Dan bisa jadi kau akan dikejarnya...," sahut Ki Dewok berusaha menggugah hati si pemuda.
"Oh"! Jadi, kalian punya pemimpin" Siapa pemimpin kalian?" tanya pemuda itu, tenang.
*** "Kisanak! Kuakui kepandaianmu sangat tinggi. Tapi menghadapi Ki Bergola yang berjuluk Iblis Langit, kau akan bersujud di telapak kakinya. Karena, dialah pimpinan Kawanan Serigala Bukit Maut. Dia tentu tidak akan tinggal diam jika anak buahnya tewas!" kata Ki Dewok berusaha menciutkan nyali pemuda itu.
"Hm, Iblis Langit" Jadi dia pemimpinmu" Baiklah. Kalian boleh kembali. Dan, katakan padanya kalau aku tidak tinggal diam dalam menghadapi kesewenang-wenangannya!" ujar pemuda itu dingin.
"Iya... tapi, apa julukanmu?" desak Ki Dewok.
"Sebenarnya hanya julukan kosong belaka. Tapi, baiklah julukanku Pendekar Rajawali Sakti," sahut pemuda itu lagi.
Sebenarnya, pemuda yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu enggan menyebutkan julukannya. Tapi karena ingin memancing kehadiran tokoh hitam yang dikenal sebagai Iblis Langit yang menjadi Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut, Rangga memang harus menyebutkan julukannya.
"Pendekar Rajawali Sakti..."! Jadi... jadi kaukah orangnya"!" kata Ki Dewok dengan mata terbelalak. Sungguh tidak dipercaya dengan pendengarannya barusan.
Julukan itu bukan saja pernah dikenalnya. Tapi, juga sebagai momok yang menakutkan bagi orang-orang. Pemimpinnya sendiri pernah mengatakan kalau Pendekar Rajawali Sakti merupakan penghalang besar dalam usahanya menguasai rimba persilatan. Dan hari ini, Ki Dewok telah kebentur dengan tokoh itu.
"Pergilah kalian sebelum aku berubah pendirian," sentak Pendekar Rajawali Sakti.
"Eh, baik!" sahut Ki Dewok seraya bangkit berdiri. Langsung diajaknya ketiga kawannya untuk segera angkat kaki dari tempat itu.
Rangga sempat memperhatikan keempat orang itu, sampai menghilang dari pandangan. Kemudian perhatiannya dialihkan pada kedua anak muda yang tadi ditolongnya.
"Kalian tidak apa-apa...?" tanya Rangga ramah.
"Oh! Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak, Namaku Gimin. Dan ini.... Marni," ucap Gimin sambil sesekali mengerutkan wajahnya menahan rasa sakit.
"Gimin, coba kuperiksa. Sepertinya kau menderita luka dalam akibat pukulan...," kata Rangga, segera diperiksanya tubuh pemuda itu.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk pelan, kemudian mengurut-urut beberapa bagian urat di punggung dan pinggang Gimin. Tidak berapa lama, terlihat wajah Gimin agak lebih segar.
"Mudah-mudahan kini kau merasa lebih baik...," desah Rangga.
"Betul, Kisanak. Sekali lagi, kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Oh, ya. Kami tidak tahu, harus memanggil apa padamu...," ucap Gimin.
"Namaku Rangga...."
"Rangga.... Benarkah Kisanak yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Gimin dengan wajah berseri.
"Begitulah agaknya orang mengenalku...."
"Ah! Ini suatu anugerah bagiku bisa bertemu secara langsung denganmu. Ayahku sering bercerita mengenai kehebatanmu!" desak Gimin.
"Ayahmu tentu seorang tokoh hebat...," sambut Rangga.
Mendengar itu wajah Gimin mendadak suram. Kepalanya jadi tertunduk sejenak, lalu membuang pandangan dengan tatapan kosong. Ada nuansa sedih yang menyelimuti wajahnya. Demikian pula gadis di sebelahnya yang sejak tadi diam membisu dengan wajah murung.
"Kisanak, apakah ucapanku membuatmu tersinggung?" tanya Rangga, hati-hati. Pendekar Rajawali Sakti jelas melihat perubahan di wajah Gimin.
"Maafkan aku, Rangga. Aku hanya teringat pada ayahku. Padahal, pagi tadi kami masih bercanda. Lalu, malapetaka itu datang. Desa kami hancur dan segala harta benda berharga dirampok kawanan tadi. Bukan hanya itu, bahkan biadab-biadab itu menculik dan memperkosa wanita-wanita desa! Masih untung Marni bisa kuselamatkan dari kebiadaban mereka. Tapi untuk itu, aku terpaksa harus menutup mata terhadap kematian ayahku, serta kedua orangtua Marni...," jelas Gimin mengakhiri ceritanya.
"Maafkan aku, Gimin...," desah Rangga pelan.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Rangga. Kau tidak bersalah. Bahkan kaulah dewa penolong kami. Kalau saja kau tidak tiba tepat waktunya, entah apa yang akan terjadi terhadap kami...," sergah Gimin.
"Jadi, kawanan itu menghancurkan desa kalian...?" tanya Rangga, ingin menegaskan.
Gimin mengangguk.
"Kisanak! Dan kau juga, Nisanak.... Aku berjanji akan mengejar mereka untuk meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah mereka lakukan terhadap semua penduduk desamu. Mungkin juga dari orang-orang yang pernah mereka aniaya. Mereka harus mendapat hukuman yang setimpal!" dengus Rangga. Seketika gerahamnya bergemelutuk. Darah Rangga memang gampang mendidih bila mendengar kebiadaban yang terjadi di muka bumi ini.
"Terima kasih, Rangga. Aku yakin, bila Pendekar Rajawali Sakti telah turun tangan, maka segala persoalan akan selesai!" sambut Gimin dengan wajah cerah.
"Kisanak, jangan berkata begitu. Aku hanya manusia biasa sepertimu. Jadi bantulah aku dengan doamu. Mudah-mudahan aku selamat," sergah Rangga, merendah.
"Tentu! Tentu saja aku selalu mendoakanmu semoga berhasil dan senantiasa mendapat perlindungan dari Yang Maka Kuasa!" sahut Gimin.
"Terima kasih. Hm.... Apakah kalian tahu, di mana persembunyian mereka...?"
Gimin menggeleng lemah, juga Marni.
"Sayang sekali. Rangga. Aku tak tahu, di mana mereka bersembunyi. Nama Kawanan Serigala Bukit Maut memang sering kudengar. Tapi, bukan berarti mereka bersarang di bukit itu. Sebab beberapa kali prajurit-prajurit kerajaan mengejarnya ke bukit itu, namun tidak menemukan apa-apa. Bahkan jejak-jejaknya sekalipun...," jelas Gimin.
"Hm.... Kalau begitu, aku akan mencarinya meski mereka sembunyi di lubang semut sekalipun!" desis Rangga, meyakinkan kata-katanya.
Pendekar Rajawali Sakti 131 Serigala Bukit Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hati-hati terhadap mereka, Rangga. Kawanan itu berjumlah banyak. Dan konon, pemimpin mereka memiliki ilmu sihir yang aneh, selain ilmu olah kanuragan yang hebat...," Gimin memperingatkan.
"Terima kasih. Aku pasti akan mengingatnya. Nah! Kurasa, aku mesti berangkat sekarang. Apakah kalian akan kembali ke desa?"
Gimin mengangguk sebagai jawabannya.
"Kami harus menguburkan kedua orangtua kami. Lalu mengungsi, dan mencari tempat yang jauh dari keramaian. Desa itu agaknya sudah tidak aman lagi...," tambah Gimin.
"Baiklah. Kalau begitu, aku pergi dulu," sahut Rangga. Lalu....
"Suiiittt...!"
Begitu suitan itu hilang dari pendengaran, seekor kuda jantan berbulu hitam berkilat tampak berlari kencang menerobos semak-semak. Seketika didekati Rangga. Kuda itu memang tunggangan Pendekar Rajawali Sakti yang bernama Dewa Bayu. Tak ada seekor kuda pun di dunia ini yang mampu menandingi kehebatannya.
Dengan gerakan manis sekali Rangga melompat ke punggung Dewa Bayu. Begitu mendarat, langsung disentakkannya tali kekang kuda hitam itu. Seketika Dewa Bayu berkelebat cepat dari tempat itu. Sementara itu Gimin dan Marni hanya bisa memandang kepergian Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah takjub. Dalam sekejap saja, Rangga telah lenyap dari pandangan mata Gimin dan Marni.
*** Di ruangan tengah sebuah rumah yang cukup besar, seorang laki-laki tua tampak tengah duduk di kursinya yang berukir indah. Bentuk kepalanya lonjong. Dahinya botak, namun bagian tengkuknya ditumbuhi sedikit rambut yang telah memutih. Wajahnya tampak menggiriskan, dengan mata setajam elang. Kulitnya keriput, Namun tubuhnya tegap dan selalu tampak segar. Bisa ditebak kalau laki-laki itu bukanlah orang tua sembarangan.
"Hm.... Jadi, pemuda itu yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya laki-laki tua itu pada keempat orang laki-laki berwajah kuyu yang bersimpuh di hadapannya dengan kepala tertunduk.
"Be... benar..., Ki...!" sahut salah seorang, mewakili kawan-kawannya.
"Benarkah dia berkata seperti itu padaku, Dewok...?" tanya orang tua itu kembali, seperti ingin menegaskan.
"Be... benar, Ki! Bahkan sepertinya menganggap rendah dirimu!" lanjut laki-laki yang ternyata Ki Dewok, dengan nada bersemangat.
"Dan kalian diam saja"!" nada suara orang tua itu mulai meninggi.
"Eh! Tentu saja kami tidak terima!" tangkis Ki Dewok cepat.
"Ha-ha-ha...! Bagus! Kalian tentu membantahnya habis-habisan. Lalu balik mengancamnya, bukan"!"
"Tentu! Tentu saja kami berbuat begitu. Mana sudi kami mendengar Ki Bergola diremehkan!"
"Hm... bagus, Dewok! Bagus...!" puji laki-laki tua menggiriskan yang ternyata Ki Bergola sambil mengusap janggutnya yang tumbuh liar di dagu. Dialah pemimpin Kawanan Serigala Bukit Maut.
Ki Bergola memandang tiga orang laki-laki yang sejak tadi hanya membisu. Tampak wajah mereka memancarkan kegelisahan.
"Ki Amoksa, Ki Purwareksa, dan kau Ki Boneng...!" sahut Ki Bergola.
"Siap, Ki"!" sahut mereka hampir berbarengan.
"Kalian dengar berita yang disampaikan anak buahmu..."!"
"Dengar, Ki!"
"Nah! Mereka telah berjasa membelaku. Apakah tidak selayaknya kalau diberi hadiah...?"
"Eh! Kalau Ki Bergola bermaksud begitu, mana mungkin kami menolaknya...," sahut Ki Amoksa, mewakili kedua kawannya.
"He-he-he...! Bagus! Bagus...!" Ki Bergola tertawa sendiri.
Kembali orang tua itu memandang pada keempat orang anak buahnya yang masih bersimpuh dengan kepala tertunduk.
"Kalian dengar kata-kataku" Karena jasa kalian, maka akan kuberi hadiah istimewa!"
"Oh! Terima kasih! Terima kasih, Ki...!" sahut empat orang itu, serentak.
"Nah! Pergilah. Dan, temui Ki Tompel! Mintalah apa yang kalian suka!"
"Te... terima kasih, Ki...!"
Disertai senyum lebar, Dewok dan tiga orang kawannya segera berdiri. Mereka langsung menjura hormat dan berbalik. Bergegas ditinggalkannya ruangan yang lebar penuh hiasan indah itu. Sementara saat itu juga kedua tangan Ki Bergola menelusup ke dalam jubah hitam besar yang dikenakannya. Dan ketika jubahnya sedikit tersingkap, seluruh tubuhnya dipenuhi pisau-pisau kecil yang terselip di baju dalamnya. Lalu ketika tangan itu bergerak keluar....
Set! Set! Crabbb! "Aaaa...!"
Empat buah pisau kecil yang dilemparkan Ki Bergola tepat mengenai punggung kiri keempat anak buahnya, tembus sampai ke jantung. Disertai teriakan tertahan, mereka ambruk ke lantai. Tampak di sekitar pisau yang menancap itu terdapat noda hitam yang merebak cepat ke seluruh tubuh. Sementara dari mulut mereka meleleh busa hitam yang mengeluarkan bau busuk. Mereka kontan tewas, setelah menggelepar-gelepar sesaat.
"Ki..."!"
Ketiga laki-laki yang duduk di dekat Ki Bergola terkejut kaget.
Namun orang tua itu segera mengangkat sebelah tangan. Lalu pandangannya tertuju ke arah Ki Amoksa. Ki Purwareksa, dan Ki Boneng dengan sorot mata tajam.
"Adakah imbalan yang pantas bagi penjilat-penjilat, selain kematian" Aku tidak sudi melihat anak buahku bersikap seperti itu. Mereka tidak berani mengatakan yang sebenarnya. Dan yang lebih penting, aku tidak ingin mendengar kegagalan. Hanya ada dua pilihan bagi mereka. Mati dalam menjalankan tugas, atau berhasil!" kata Ki Bergola tajam.
Ketiga orang pembantu terdekat Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut itu terdiam. Mereka tidak berusaha menimpali kata-kata Ki Bergola. Orang tua itu pun ikut terdiam beberapa saat, lalu bangkit berdiri kemudian kakinya melangkah pelan mengitari keempat mayat anak buahnya. Dan ketika dia bertepuk dua kali, lima orang anak buahnya yang lain masuk ke dalam ruangan.
"Bawa mayat ini keluar. Dan, lemparkan ke hutan agar menjadi santapan serigala-serigala kelaparan!" perintah laki-laki berjuluk Iblis Langit itu.
"Baik, Ki...!" sahut mereka cepat.
Ruangan kembali sepi, ketika mayat keempat orang tadi telah dibawa keluar oleh lima orang anak buah Ki Bergola. Sementara, laki-laki tua itu telah kembali ke kursinya semula.
"Tugas kalian kini adalah melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti!" ujar Ki Bergola, disertai dengus napas tajam.
"Tapi, Ki...!"
Ki Amoksa coba memberi usul tapi kembali terdiam, ketika Ki Bergola memandang dengan sorot mata nyalang.
"Kau ingin membantah kata-kataku, Amoksa"!"
"Eh! Tentu saja tidak, Ki...!"
"Nah! Lakukan tugas kalian dengan baik. Ingat! Jangan kembali sebelum berhasil. Jika coba-coba lari, maka aku akan mengejar kalian. Dan aku pasti akan menemukan kalian. Dan saat itu juga hukuman yang paling menakutkan akan kalian terima. Mengerti"!"
"Mengerti, Ki!" jawab mereka serentak.
"Bagus! Nah, pergilah sekarang juga!"
"Baik, Ki...!"
Mereka segera bangkit berdiri. Dan setelah menjura hormat, mereka berlalu dari ruangan ini.
Sementara Ki Bergola masih tetap belum beranjak dari kursinya. Wajahnya tampak kelam, dan pikirannya menerawang jauh. Lalu tiba-tiba bibirnya tersenyum kecil.
"Pendekar Rajawali Sakti! Hm... kau akan mati di tanganku...!" tidak terasa bibir orang tua itu mencetuskan apa yang berkecamuk dalam hatinya.
*** Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
? 2017 " To help personalize content, tailor and measure ads, and provide a safer experience, we use cookies. By clicking or navigating the site, you agree to allow our collection of information on and off through cookies. Learn more, including about available controls: Policy.
131. Serigala Bukit Maut Bag. 3
October 13, 2014 at 11:34am
3 ? Malam ini bulan bersinar penuh. Langit tampak cerah. Sesekali kelelawar melintasi sebuah bangunan besar seperti padepokan yang memiliki pagar tembok tinggi di sekitarnya. Di samping bangunan besar itu terdapat beberapa bangunan lain yang berjejer rapi, seperti sebuah bangsal besar. Sesungguhnya bangunan besar itu adalah ruang utama dari sebuah padepokan yang selama ini amat terkenal dan disegani.
Perguruan Naga Putih yang dipimpin Ki Jayalaga saat ini memiliki murid yang cukup banyak. Mereka terdiri dari lelaki dan wanita. Dan yang datang ke tempat itu bukan saja dari kalangan biasa, namun banyak juga yang berasal dari kalangan ningrat atau bangsawan. Hal itu tidak mengherankan, sebab banyak sekali murid lulusan perguruan itu yang bekerja pada pihak pemerintah. Baik sebagai prajurit kerajaan, maupun pejabat istana. Memang, Ki Jayalaga bukan hanya sekadar tokoh tingkat tinggi. Beliau pun ternyata juga mengerti soal ketatanegaraan. Memang, konon beliau masih keturunan para bangsawan dari kakek neneknya.
Malam itu balairung utama tempat tinggal Ki Jayalaga terlihat ramai. Rupanya hari ini banyak tamu yang berkunjung ke tempatnya. Beberapa orang adalah utusan pihak kerajaan. Sedang lainnya adalah utusan beberapa padepokan lain yang ingin membina persahabatan.
Ki Jayalaga yang saat ini berusia sekitar enam puluh tahun, duduk di sebuah kursi berukir indah. Dengan pakaian serba putih, dia tampak gagah berwibawa. Walaupun, usianya sudah senja. Di sebelahnya terlihat seorang wanita setengah baya yang masih mengguratkan sisa-sisa kecantikan di masa mudanya. Wanita itu bernama Nyi Sekar Kedasih, dan merupakan istri Ki Jayalaga. Selama ini, wanita itu selalu setia mendampinginya dalam menerima tamu-tamu.
Sementara di kiri dan kanan mereka berdua, mengapit dua anak muda. Yang seorang adalah laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tubuhnya tegap. Kedua rahangnya menonjol menampakkan kejantanannya. Sepasang alisnya yang tebal, menandakan wataknya yang keras dan tidak mudah putus asa. Pemuda ini putra tertua Ki Jayalaga. Namanya, Arya Dipa.
Sementara seorang lagi adalah seorang gadis jelita. Rambutnya panjang, digulung rapi diselipi beberapa buah tusuk konde dari emas. Gadis berusia sekitar dua puluh satu tahun itu adalah adik Arya Dipa. Namanya Larasati Ningrum.
Sementara di depan mereka membentang permadani selebar dua langkah. Di sisi kiri dan kanan duduk tamu-tamu Ki Jayalaga di kursi yang saling berhadapan, dengan meja-meja berukir sebagai pembatas.
"Kisanak semua! Malam ini berbahagia sekali rasanya mendapat kunjungan kalian semua. Mudah-mudahan perjamuan yang kuhidangkan tidak mengecewakan...," kata orang tua itu, membuka pembicaraan.
"Ki Jayalaga.... Hm, kami merasa diperlakukan sebagai tamu yang agung. Pelayananmu amat memuaskan!" sahut salah seorang tamu. Dia merupakan utusan dari sebuah padepokan.
"Terima kasih, Ki Soreang. Nah! Setelah kita berkumpul di sini kembali, silakan kalau ada yang hendak disampaikan," sahut Ki Jayalaga. Orang yang dipanggil Soreang mengangguk-angguk, disertai senyum lebar.
"Ki Jayalaga! Ketua kami yaitu Ki Samparan, bermaksud hendak membina persahabatan dengan Perguruan Naga Putih. Dan hari ini, beliau membawa bingkisan untukmu...," kata salah seorang utusan dari Perguruan Kilat Buana sambil berdiri dan memberi salam hormat. Segera dia meletakkan bingkisan yang dibawanya, di atas meja di depannya.
"Hm, Perguruan Kilat Buana yang dipimpin Ki Samparan adalah sebuah perguruan hebat. Murid-muridnya memiliki kepandaian amat mengagumkan. Sungguh suatu kebanggaan bagi kami, bisa menjalin persahabatan dengan perguruan kalian. Sampaikan salam dan terima kasihku kepada gurumu...," sahut Ki Jayalaga merendah, setelah utusan dari Perguruan Naga Putih kembali duduk.
"Ki Jayalaga! Segala keramahan dan kemurahan hatimu, akan kusampaikan pada guruku...," kata utusan itu.
Baru saja utusan itu selesai bicara, seorang laki-laki berkumis tebal berbaju rompi hitam bangkit dari duduknya. Diberinya salam penghormatan pada orang tua itu, dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Tampak otot-otot lengan bertonjolan keluar.
"Ki Jayalaga. Terimalah salam hormatku dan juga dari guruku. Malam ini, beliau menitip kabar bahwa akhir bulan ini, beliau bermaksud mengunjungi perguruanmu...," ucap laki-laki berkumis tebal itu.
"Hm.... Terima kasih, Ki Jambu Ireng. Senang sekali hatiku, akhirnya Ki Raisan bersedia juga berkunjung ke gubukku. Perguruan Tangan Geledek yang dipimpinnya memang sebuah perguruan hebat. Bahkan banyak menelurkan pendekar digdaya. Sungguh suatu kehormatan bagi kami mendapat kunjungan dari beliau...," sambut Ki Jayalaga dengan nada merendah.
"Ki Jayalaga memang terlalu rendah hati. Mana mungkin bagi Perguruan Tangan Geledek memiliki nama seharum Perguruan Naga Putih. Dan kami mendapat penghormatan bila bisa bersahabat dengan perguruan yang Kisanak pimpin. Mudah-mudahan persahabatan yang terjalin di antara kita akan langgeng selamanya," sahut utusan yang ternyata bernama Jambu Ireng.
Ki Jayalaga tertawa kecil.
"Terima kasih atas pujianmu, Ki Jambu Ireng. Kalian memang orang-orang rendah hati meski memiliki kemampuan hebat...," balas Ketua Perguruan Naga Putih ini.
Ki Jambu Ireng kembali duduk setelah memberi hormat pada orang tua itu.
Ki Jayalaga bermaksud akan melanjutkan kata-katanya, tapi tiba-tiba terasa angin bertiup kencang menyapu seluruh ruangan. Orang tua itu merangkapkan kedua tangan dengan sikap waspada. Demikian pula semua tamu yang berada di tempat ini.
"Kisanak semua, mohon maaf. Agaknya kita tengah mendapat kunjungan tamu tidak diundang. Sekali lagi, aku mohon maaf. Karena, belum bisa memberikan tempat nyaman dan aman bagi kalian semua. Tapi aku akan berusaha melakukannya...," ujar Ki Jayalaga pelan. Namun, cukup didengar semua yang ada di ruangan ini.
*** Memang Ki Jayalaga dan semua tamu yang ada di ruangan itu sadar kalau angin yang bertiup tadi bukan sembarang angin. Jelas itu merupakan kiriman dari seseorang yang agaknya ingin mengganggu ketenangan jalannya pertemuan. Hal itu tidak heran, sebab ruangan ini berada di tengah bangunan besar yang dikelilingi ruangan-ruangan lain. Sehingga tidak mungkin ada angin yang mampu bertiup sedemikian kencang, bahkan mampu membuat baju berkibar-kibar barang sesaat.
Ki Jayalaga segera memerintahkan seorang muridnya yang berada di ruangan itu untuk memberitahu yang lain agar melihat apa yang terjadi di luar. Sekaligus membereskan segala sesuatu yang akan mengganggu jalannya pertemuan ini.
Dan baru saja murid itu berlalu dari ruangan ini, terdengar lolongan serigala yang saling bersahutan dari kejauhan, Ki Jayalaga kembali dibuat terkejut. Demikian pula tamu-tamu yang hadir.
"Ki Jayalaga! Ada apa gerangan..." Seingatku, di daerah ini tidak terdapat kawanan serigala?" tanya salah seorang tamu. Agaknya dia kenal betul dengan wilayah di sekitar tempat pemukiman Ki Jayalaga ini,
"Entahlah. Aku pun tidak mengerti. Lolongan serigala-serigala itu agaknya tidak begitu jauh. Apakah mereka telah mengungsi di hutan sebelah timur tempatku ini...?" sahut orang tua itu semakin bingung saja.
"Ki Jayalaga! Biarlah kami membantu muridmu itu mengatasi persoalan di luar. Kami yakin, ini ulah seseorang untuk mengacaukan jalannya pertemuan kita...!" kata salah seorang utusan kerajaan, menawarkan jasa baiknya.
"Terima kasih, Ki Rebung. Biarlah anak muridku yang akan mengurus persoalan ini. Kau adalah tamuku. Dan, tidak sopan rasanya bila kau sampai turun tangan mengatasi persoalan...," tolak Ki Jayalaga, halus.
"Auuung...!"
Kata-kata Ki Jayalaga terhenti ketika kembali terdengar lolongan serigala begitu keras. Dan sepertinya, berasal dari atas atap ruangan ini. Dan bersamaan dengan itu, terdengar hiruk-pikuk di halaman depan yang diiringi raungan serigala yang kini terdengar begitu dekat. Tak lama, beberapa orang murid Perguruan Naga Putih masuk ke dalam ruangan ini.
"Ampun, Ki Jayalaga. Hamba hendak melaporkan sesuatu. Ratusan ekor serigala telah mengepung tempat kita ini...!" lapor orang itu, dengan napas memburu.
"Apa"! Ratusan..." Dari mana datangnya hewan sebanyak itu ke sini"!" tanya Ki Jayalaga kaget.
"Entahlah, Ki...."
"Ayahanda! Biarlah ananda yang akan mengurus hewan-hewan itu," Arya Dipa berujar seraya bangkit dan memberi penghormatan pada orang-tuanya.
"Hm.... Uruslah baik-baik kawanan serigala itu, anakku...!" sahut Ki Jayalaga, mantap.
"Baik, Ayahanda!"
Baru saja Arya Dipa hendak melangkah, terdengar suara ribut dari atas ruangan. Atap-atap bangunan kasar ini hancur berantakan. Langit-langit ruangan jebol. Bahkan beberapa ekor serigala tiba-tiba melayang turun dengan ringan sambil menggeram buas.
"Heh"!"
Seketika Ki Jayalaga dan semua yang ada dalam ruangan ini tersentak kaget. Mereka langsung berdiri, bersiaga akan segala kemungkinan buruk yang bakal menimpa.
Empat ekor serigala berbulu coklat abu-abu bermata garang tampak sesekali menyeringai lebar memperlihatkan barisan gigi-giginya yang runcing dan tajam. Lidahnya menjulur, seperti sengaja memperlihatkan nafsu membunuhnya. Namun bukan hal itu saja yang membuat mereka terkejut. Dan ternyata, ukuran serigala-serigala itu agak aneh. Tubuh mereka besar, dan hampir menyamai seekor kuda dewasa!
"Graungrr...!"
"Auuuung....!"
"Hewan terkutuk, mampuslah kau...!" teriak salah seorang tamu, langsung melompat menyerang.
Keempat serigala bertubuh besar yang melolong dan menggeram keras itu melompat menghindar, sekaligus menerjang tamu-tamu yang lain.
"Grrr...!"
Tentu saja hal itu telah diperhitungkan. Serentak orang-orang ini menghantam hewan-hewan dengan pukulan keras.
"Hupp!"
Trakkk! Namun sungguh aneh, ternyata hewan-hewan buas itu sama sekali tidak merasakan sakit. Padahal, pukulan yang dikerahkan mampu membinasakan seekor banteng kuat sekalipun.
"Heh"! Hewan apa ini"! Tubuhnya keras seperti batu...!" desis Ki Rambung, seperti tidak percaya pada pukulannya tadi. Bahkan tangannya terasa sakit bukan main, dan tulang-tulangnya seperti remuk.
"Kurang ajar! Agaknya ada orang yang hendak bermain-main dengan kita!" bentak tamu lain seraya mencabut pedang. Langsung dia menghajar seekor serigala yang terdekat dengannya.
Sring! Takkk! Orang itu tampaknya cukup mahir menggunakan pedang. Tenaga dalamnya juga cukup tinggi. Namun kembali dia dibuat terkejut. Ternyata pedangnya seperti menghantam batu cadas yang keras bukan main. Malah telapak tangannya terkelupas, dan pedang di tangannya patah menjadi dua.
"Kisanak semua! Tenanglah. Agaknya ada seseorang yang telah sengaja mengirim hewan-hewan ini. Keempat serigala ini bukan hewan sembarangan. Ini adalah hewan jadi-jadian. Menepilah. Biar kuhadapi keempat serigala ini!" teriak Ki Jayalaga, lantang.
Mendengar itu, serentak mereka menghentikan serangan dan merapat ke dinding. Sementara Ki Jayalaga sudah memasang kuda-kuda. Lalu ditariknya napas panjang. Seketika laki-laki tua itu menghantamkan pukulan jarak jauh pada empat ekor serigala bertubuh besar yang memandang dengan sorot mata buas.
"Hiiih...!"
Mendadak serangkum angin lembut melesat dari kedua telapak tangan Ketua Perguruan Naga Putih. Angin itu terus meluruk, dan menerpa keempat ekor serigala itu.
"Graungrr...!"
Keempat serigala itu menggeram buas dan terlihat semakin garang. Matanya yang merah dan nyalang, menandakan kemarahannya. Dan sambil menyeringai lebar, agaknya mereka bermaksud menelan Ki Jayalaga bulat-bulat. Namun, orang tua ini tetap tenang di tempatnya dengan mata tak berkedip memandang keempat serigala di hadapannya. Agaknya, pukulan yang dilepaskan Ki Jayalaga tadi bukanlah pukulan sembarangan. Meski kelihatan tidak berarti, sesungguhnya serangkum angin ini seperti seutas tali kuat yang mengikat keempat hewan buas itu.
"Dari tidak ada, maka kalian akan kembali ke asalnya! Hiiih!" Ki Jayalaga membentak nyaring. Kembali dihantamnya keempat hewan buas di hadapannya dengan pukulan serupa.
"Auuung...!"
Plasss! Keempat serigala itu kontan melolong kesakitan terhantam pukulan Ki Jayalaga. Bahkan tubuh mereka langsung lebur dan hilang tanpa bekas. Orang tua itu menghela napas lega. Begitu juga tamu-tamunya. Tapi sesaat kemudian....
"Ha-ha-ha...! Sungguh hebat! Tidak disangka tua bangka Jayalaga mampu memusnahkan ilmu sihirku...!"
Tiba-tiba terdengar tawa panjang yang disusul melesatnya sesosok tubuh ke ruangan itu dari atas wuwungan.
*** Kini di tengah-tengah ruangan bangunan besar Perguruan Naga Putih, berdiri seorang laki-laki berusia senja. Tubuhnya sedang dengan kepala lonjong dan dahi botak. Sepasang matanya menyipit dan terlihat menggiriskan. Tubuhnya terbungkus jubah hitam panjang. Namun, masih bisa terlihat pisau-pisau kecil yang terselip di seluruh tubuhnya dalam jumlah yang cukup banyak.
"Kisanak! Siapa kau. Dan, apa yang kau inginkan hingga mengacau di tempatku ini...?" tanya Ki Jayalaga, bernada kurang senang. Namun, dia tetap bisa bersikap sopan.
"He-he-he...! Kaukah yang bernama Jayalaga...?" tanya orang tua itu, tidak mempedulikan pertanyaan orang.
"Benar! Akulah orangnya...," sahut Ki Jayalaga tenang.
"He-he-he...! Bagus! Bagus...! Aku Bergola, pimpinan Kawanan Serigala Bukit Maut. Tapi orang-orang menyebutku si Iblis Langit. Dan, tujuanku" He-he-he...! Sudah jelas rasanya. Mendengar di tempatmu ini berlimpah harta kekayaan yang tidak ternilai, juga gadis-gadis cantik yang amat menggairahkan, maka aku bermaksud meminta sedikit!" ujar laki-laki tua yang ternyata Bergola berkata terus terang.
"Hei"!"
"Kurang ajar!"
Beberapa orang tamu yang mendengar kata-kata lancang itu sudah langsung terkejut dan memaki geram. Namun, Ki Jayalaga berusaha menenangkan.
"Bergola! Aku tidak keberatan memberikan sebagian harta benda yang kami miliki. Namun untuk menyerahkan murid-murid wanita untukmu begitu saja, aku jadi semakin tak mengerti apa yang kau inginkan...," sahut Ki Jayalaga dengan kening berkerut.
"Dasar tua bangka pikun! Sudah jelas murid-murid wanitamu yang cantik itu akan kujadikan selir. Nah! Cepat berikan padaku!" hardik Ki Bergola garang.
"Kurang ajar! Hei, tua bangka keparat! Lebih baik pergi dari sini sebelum kau kami tangkap dan dihukum berat!" hardik Larasati Ningrum yang geram betul melihat sikap Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut itu.
"He-he-he...! Dan kau siapa, Cah Ayu" Apakah kau putri tua bangka Jayalaga ini?" balas Ki Bergola, seperti tidak menghiraukan ancaman gadis itu.
Nyata sekali sikap Iblis Langit itu sangat memandang rendah semua yang ada di ruangan itu. Dan hal ini bukan saja membuat gadis itu semakin berang. Malah para tamu dan Ki Jayalaga sendiri mulai menunjukkan tidak senangnya.
"Ki Bergola! Aku peringatkan padamu, sebaiknya tinggalkan tempat ini sebelum kami bertindak keras!" ancam Ki Jayalaga.
"Bertindak keras" Ha-ha-ha...! Tua bangka busuk! Apa yang bisa kalian perbuat terhadapku" Mengandalkan anak buahmu yang besar" Hhh.... Mereka sekarang tengah sibuk dan semakin bingung menghadapi kawanan serigala ciptaanku. Sementara itu, anak buahku yang asli mengepung tempat ini. Mereka akan membinasakan murid-muridmu yang laki-laki, serta menculik murid-muridmu yang perempuan. Dan mereka juga mengambil semua harta benda berharga yang kau miliki. Nah! Tulikah telingamu mendengar jerit kematian murid-muridmu itu"!" dengus Ki Bergola, garang.
Ki Jayalaga tersentak kaget. Apa yang dikatakan Ki Bergola memang benar. Dari luar terdengar jerit panjang dan teriak ketakutan dari murid-muridnya. Orang tua itu semakin gemas. Matanya langsung memandang tajam ke arah Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut di hadapannya dengan wajah geram.
"Ki Bergola! Kau sungguh keterlaluan dan menguji kesabaranku. Tapi, aku manusia biasa dan punya batas. Dan aku tidak bisa membiarkan perbuatanmu yang seenak udelmu di tempatku. Nah! Bersiaplah menerima hukuman!" desis Ki Jayalaga, seraya melompat menyerang.
"He-he-he...! Kau kira begitu mudah menangkap dan menghukumku" Kau boleh bermimpi, tua bangka busuk!" ejek Ki Bergola menganggap enteng.
Tubuh Iblis Langit langsung mencelat ke atas. Gerakannya membuat kagum para tamu yang ada di ruangan itu. Bahkan kini kedua telapak kakinya menempel erat di langit-langit ruangan. Dan ketika Ki Jayalaga mengejar dengan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi, tubuh Ki Bergola meloncat indah ke bawah.
Brukkk! Akibatnya sungguh hebat. Langit-langit ruangan itu langsung hancur berantakan terhantam pukulan Ki Jayalaga yang dahsyat.
"He-he-he...! Kau merusak tempatmu sendiri, tua bangka pikun!" ejek Iblis Langit kembali begitu mendarat di lantai. Dan hal ini semakin membuat amarah Ki Jayalaga memuncak.
"Huh! Hiyaaa...!"
"Uts! Sedikit lagi tua bangka busuk!" ujar Ki Bergola dengan tubuh meliuk menghindari hantaman kepalan tangan Ki Jayalaga.
Ki Jayalaga melanjutkan serangan dengan mengibaskan tendangan ke pinggang. Namun, Ki Bergola cepat melenting ke atas. Dalam keadaan masih di udara, tangan kirinya cepat bergerak menangkis sodokan keras Ki Jayalaga yang terarah pada dada kirinya.
Plak! Plak! "Yeaaa...!"
Ketika kedua tangan mereka beradu, Ki Jayalaga merasa ada himpitan tenaga dalam dari Iblis Langit yang amat dahsyat. Tangannya terasa kesemutan. Namun begitu, ketika tendangan Ki Bergola meluncur ke arahnya, dia masih mampu menangkis dengan tangan kiri. Langsung dibalasnya serangan itu dengan mengerahkan pukulan jarak jauh ke arah Ki Bergola yang sudah berjumpalitan ke belakang.
Set! Set! Begitu mendarat di lantai, tanpa diduga-duga Ki Bergola melemparkan senjata rahasianya, sambil menghindari pukulan jarak jauh Ki Jayalaga dengan lentingan ke atas.
Set! Set! Wuttt! Kedua telapak kaki Iblis Langit kini menempel di dinding. Lalu tubuhnya kembali melesat menerjang Ki Jayalaga. Ketua Perguruan Naga Putih itu terkejut bukan main. Untung saja dia cepat menghindar dengan menjatuhkan diri ke lantai. Namun tidak urung sebuah pisau berhasil menyerempet pinggangnya.
Crasss! Ki Jayalaga mengeluh tertahan dan terus bergulingan menghindari tendangan beruntun Ki Bergola.
"Ayaaah...!"
Larasati Ningrum terkejut melihat nasib orang-tuanya. Gadis itu sudah langsung melompat menerjang Ki Bergola.
Dan pada saat yang bersamaan, semua tamu yang ada di ruangan itu melompat bersamaan menyerang Ki Bergola pula.
"Yeaaaa...!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
?"" ?"?"?""
s ? 2017 . 131. Serigala Bukit Maut Bag. 4
13. Oktober 2014 um 11:35
4 ? "Ha-ha-ha...! Kalian menyerangku bersamaan" Heh! Kenapa tidak dari tadi"! Bagus! Bagus!" teriak Ki Bergola sambil tertawa keras.
Sama sekali Iblis Langit tidak merasa takut atau ciut nyalinya, melihat serangan beruntun tamu-tamu Ki Jayalaga. Malah dia tertawa girang dan menganggap enteng.
"Yeaaaa...!"
Ki Bergola melompat ke belakang untuk menghindari serangan sambil mengibaskan tangan. Seketika dari telapaknya yang terbuka melesat asap tipis laksana kabut ke berbagai arah.
Plas! Plas! "Graungrr...!"
"Hei"!"
Asap tipis itu menggumpal, membentuk bermacam-macam rupa hewan buas. Dan, perubahan itu terjadi secara cepat, membuat semua penyerangnya tersentak kaget. Kini ruangan itu hiruk-pikuk oleh raungan serigala, auman harimau, dan jerit melengking dari hewan-hewan buas lain.
"Jangan gentar! Hewan-hewan itu hanya sihir belaka...!" teriak Ki Jayalaga memberi semangat pada para tamunya sambil menyeringai menahan rasa sakit.
Luka yang diderita Ki Jayalaga terhitung ringan baginya. Namun senjata rahasia yang menyambarnya tadi amat beracun. Maka tentu saja ini membuat Ki Jayalaga harus berjuang keras mengeluarkan racun ganas dari tubuhnya. Paling tidak, jangan sampai menyebar ke seluruh tubuh.
Mendengar teriakan Ki Jayalaga tadi, mereka tersentak kaget. Maka dengan geram, kemarahan mereka dilimpahkan kepada Ki Bergola.
"Hiyaaa...!"
"He-he-he...! Boleh jadi hewan-hewan ini hanya semu belaka. Tapi, bukan berarti dia tidak mampu membunuh kalian!" dengus Ki Bergola sambil tersenyum mengejek.
"Graungrr...!"
Brettt! "Aaaa...!"
Apa yang dikatakan Ki Bergola memang terbukti. Baru saja dia selesai berkata, hewan-hewan buas ciptaannya merobek-robek tubuh para tamu Ki Jayalaga. Jerit kematian pun terdengar. Genangan darah mulai mewarnai ruangan ini. Para tamu Ki Jayalaga semakin kalap saja. Mereka bermaksud mencincang hewan-hewan buas itu.
"Hewan-hewan terkutuk, mampuslah kalian...!" dengus seseorang mengayunkan pedang.
Plasss! "Heh"!"
Namun orang itu sungguh kaget, ketika senjatanya seperti menebas angin saja. Begitu pula yang lain. Senjata-senjata mereka hanya mengenai tempat kosong.
"Graungrr...!"
Brettt! "Aaaakh...!"
Kembali terdengar pekik kematian, ketika hewan-hewan buas itu mengamuk sejadi-jadinya. Tidak ada satu senjata atau pukulan pun yang mampu melukai hewan-hewan liar itu. Dan hal itu semakin membuat resah yang lainnya.
"He-he-he...! Hanya sampai di sinikah kemampuan tokoh-tokoh terhormat yang konon memiliki kepandaian hebat" Kalian tidak lebih dari kumpulan kutu busuk yang tidak berguna! Ha-ha-ha...!" teriak Ki Bergola, disertai tawa panjang mengejek.
"Keparat!"
Beberapa orang mendengus geram. Mereka ingin sekali merobek mulut laki-laki tua itu, namun tidak kuasa. Menghadapi hewan-hewan buas ciptaan Ki Bergola yang telah menghadang dan menerkam dengan ganas, mereka tidak mampu.
Sementara itu Ki Jayalaga berusaha bangkit kembali. Dia berusaha menguatkan hati dan semangatnya. Dia mendengus dingin sambil menatap tajam Ki Bergola.
"Kisanak! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" desis Ki Jayalaga dingin. Seketika, Ketua Perguruan Naga Putih itu langsung melompat menyerang.
"Huh! Kau hanya mengantar nyawa percuma, Jayalaga!" sahut Ki Bergola garang.
"Hiyaaa...!"
Ki Bergola tak berusaha menghindar ketika kepalan tangan kanan Ki Jayalaga menyodok ke arah perutnya. Tapi sedikit lagi serangan itu mengenai sasaran, tangan kirinya dikibaskan menangkis.
Plak! "Uhh...!"
Benturan tenaga dalam tinggi terjadi. Dan Ki Jayalaga jadi mengeluh, menahan himpitan tenaga dalam yang menyerang tangannya. Seketika dia melompat ke belakang.
Sementara kaki kanan Ki Bergola cepat sekali menyusul, menghantam lambung Ki Jayalaga. Begitu serangan itu luput, orang tua itu melompat ke atas untuk menghindarinya. Ki Jayalaga langsung mengibaskan tangan kirinya menghantam ke batok kepala Ki Bergola diiringi tenaga dalam tinggi.
Plakkk! Dengan tangkas Ki Bergola menangkis dengan tangan kanannya, Ki Jayalaga tersentak kaget. Tubuhnya mendadak terasa terangkat ke atas. Namun begitu pukulannya terpapak, buru-buru dia melompat ke samping, saat kaki lawan telah menyusul menghantam ke arah perut.
Wukkk! "Yeaaa...!"
Iblis Langit langsung melompat gesit, mengejar Ki Jayalaga. Sementara Ketua Perguruan Naga Putih itu telah bersiap menghadang pukulan maut Ki Bergola. Dari telapak tangan kanan Ki Bergola melesat selarik sinar hijau kekuningan menyambar Ki Jayalaga. Begitu kuat sambaran itu, sehingga menimbulkan angin kencang dan suara bergemuruh. Seluruh isi ruangan itu sampai terpelanting ke segala arah. Bahkan para tamu yang tengah bertarung melawan hewan-hewan buas ciptaan Ki Bergola langsung berpelantingan.
"Hup!"
Tiba-tiba Ki Bergola menjatuhkan diri ke lantai, langsung bergulingan mendekati Ki Jayalaga. Begitu bangkit berdiri, kedua tangannya bergerak ke dalam jubah. Lalu....
Set! Set! "Heh"!"
Beberapa buah pisau beracun langsung melesat bagaikan kilat ke arah Ki Jayalaga. Ketua Perguruan Naga Putih itu terkesiap, namun tidak mengurangi kewaspadaan. Tubuhnya langsung meliuk indah, menghindari hujan sambaran pisau beracun. Namun agaknya tindakan itu memang ditunggu oleh Ki Bergola. Begitu Ki Jayalaga sibuk menghindari senjata rahasianya, telapak tangannya dihantamkan ke depan. Maka selarik sinar ungu meluruk dari tangan Ki Bergola, langsung menyambar ke arah Ki Jayalaga.
*** Bukan main terkejutnya Ki Jayalaga. Dia berusaha mengelak, namun tidak urung pukulan itu masih menyambar perutnya.
Prasss!
Pendekar Rajawali Sakti 131 Serigala Bukit Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaaa...!"
Ketua Perguruan Naga Putih itu kontan memekik setinggi langit, begitu perutnya tersambar sinar ungu yang dilepaskan Iblis Langit. Tubuhnya kontan terjungkal menghantam dinding ruangan, membuat tulang-belulang berderak patah. Begitu ambruk di lantai, kulit tubuhnya berkerut bagai sehelai daun kering. Nyawanya pun melayang saat itu juga.
"Huh! Kau kira bisa bertahan dari 'Pukulan Penghancur Tulang'"! Tidak ada seorang pun yang mampu menahannya!" desis Iblis Langit dengan senyum sinis sambil menatap mayat Ki Jayalaga yang tak dapat dikenalinya lagi.
"Ayaaah...!"
Larasati Ningrum langsung menjerit kaget begitu melihat ayahnya tewas. Baru saja dia berusaha menyelamatkan ibunya yang dilarikan anak buah Ki Bergola yang telah menerobos ke ruangan itu. Dan kini, dia harus menyaksikan kematian ayahnya secara mengenaskan.
"Iblis Keparat! Hari ini aku akan mengadu jiwa denganmu...!" desis gadis itu geram dengan amarah meluap-luap.
Sring! "Yeaaa...!"
Larasati Ningrum sudah mencabut pedang, dan terus melompat menyerang Ki Bergola.
"Hm. Siapa yang sudi mengadu jiwa denganmu, Cah Ayu" Wajahmu cantik. Kulitmu mulus, dan tubuhmu montok. Sayang sekali kalau harus cepat mati. Kau harus memuaskan dahagaku lebih dulu. Baru setelah itu, baru boleh mati!" sahut Ki Bergola tenang sambil menyeringai lebar.
"Tutup mulut cabulmu itu. Keparat!"
Larasati Ningrum mencelat sambil mengibaskan pedangnya.
Bettt! "Uts...!"
Namun Ki Bergola langsung bergerak ke samping, menghindari tebasan pedang gadis itu. Lalu Iblis Langit terus melompat ke atas, menghindari serangan susulan. Dan dia kembali meloncat ke belakang, ketika putri Ki Jayalaga ini menyerangnya dengan gerakan-gerakan cepat dan kuat.
"He-he-he...! Boleh juga kepandaianmu, Cah Ayu. Tapi itu belum cukup mengalahkanku. Apalagi, mencoba membunuhku. He-he-he...! lebih baik menyerah dan ikut baik-baik denganku...."
"Chuihhh! Tutup mulutmu. Bedebah Busuk! Aku lebih baik mati dari pada menyerah!" sentak Larasati Ningrum semakin kalap saja.
"Hm.... Sungguh sayang! Tapi kau tidak akan mati dulu, sebelum aku puas menikmati kehangatan tubuhmu. He-he-he...!"
Setelah berkata begitu, tubuh Ki Bergola bergerak cepat menyelinap di antara kelebatan pedang Larasati Ningrum. Sementara gadis itu terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa. Pandangannya jadi kabur melihat kecepatan gerak laki-laki tua itu. Seolah-olah, Ki Bergola lenyap dari pandangan. Gadis itu terkesiap, dan segera menghentikan serangannya sambil celingukan ke sana kemari. Tapi tiba-tiba....
"Hup!"
"Aouw...!"
Mendadak saja Larasati Ningrum merasa kalau tangannya tertangkap oleh sesuatu. Gadis itu berteriak kaget.
Tukkk! Mendadak dua buah totokan membuat suara gadis itu tercekat. Seketika tubuhnya lemas tidak berdaya. Dan tiba-tiba seseorang langsung menangkap dan menggendongnya dengan ringan. Demi melihat siapa yang melakukannya, maka gadis itu tadi terbelalak. Wajahnya tampak geram, namun tidak mampu berbuat apa-apa.
"Ha-ha-ha...! Sudah kukatakan, kau tidak akan mampu berbuat apa-apa. Dan aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Ha-ha-ha...! Kini kau adalah milikku, Cah Ayu!" Ki Bergola bergelak keras.
"Suiiittt...!"
Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut itu bersuit nyaring. Sebentar saja, anak buahnya yang sejak tadi menguras seluruh harta benda di bangunan besar itu, berlompatan keluar. Sementara yang lain masih bertahan menghabisi sisa-sisa murid Ki Jayalaga yang bertarung dengan semangat menyala-nyala.
"Yeaaaa...!"
Ki Bergola membentak nyaring. Hewan-hewan buas ciptaannya yang menyerang tamu-tamu dan keluarga Ki Jayalaga mendadak sirna. Namun sebagai gantinya, bangunan ini bergetar hebat bagai dilanda gempa. Tanah-tanah di sekitarnya mulai terbelah. Bahkan angin topan tiba-tiba bertiup bergulung-gulung menyapu segala yang ada di tempat itu. Semua orang menjadi kalang kabut dan sibuk menyelamatkan diri. Dan pada saat itulah Ki Bergola menyelinap kabur bersama anak buahnya yang membawa barang-barang berharga.
Wusss! Bersama lenyapnya mereka, keadaan kembali seperti semula. Bangunan ini tiba-tiba berhenti bergoncang. Bahkan tanah yang tadi terbelah, seperti merapat kembali. Demikian pula angin topan yang bertiup, mendadak berhenti. Orang-orang yang berada di tempat itu seperti baru terbangun dari mimpi buruk.
"Jahanam! Orang itu menggunakan ilmu sihirnya untuk memperdaya kita semua...!"
Seorang pemuda yang tak lain Arya Dipa berteriak lantang menggelegar, seperti menyadarkan mereka.
"Heh"!"
Semua orang menatap ke sekeliling. Tampak di luar sana keadaan porak-poranda. Demikian pula di ruang pertemuan tadi. Mayat-mayat bergeletakan dalam jumlah cukup banyak. Arya Dipa menggeram beberapa kali sambil mengepalkan kedua tangan.
"Den Arya Dipa! Ayahandamu tewas, dan Larasati Ningrum diculik jahanam itu," lapor seorang murid.
"Aku tahu...," sahut Arya Dipa menahan duka mendalam.
"Apa yang akan kita lakukan, Arya?" tanya seorang tamu.
"Aku bersumpah! Mereka harus mendapat balasan yang setimpal atas perbuatannya!" desis Arya Dipa geram.
"Arya Dipa! Kejadian ini akan kukabarkan pada guruku. Seluruh murid Perguruan Tangan Geledek akan berada di belakangmu!" sambut Ki Jambu Ireng dengan suara gemetar menahan amarah.
"Terima kasih, Paman Jambu Ireng...."
"Begitu juga Perguruan Kilat Buana. Kami akan membantumu untuk menghancurkan jahanam keparat itu!" timpal Ki Soreang.
Arya Dipa memandang orang itu sambil tersenyum haru. Lalu ditatapinya satu persatu sisa-sisa utusan yang masih hidup. Mereka rupanya juga sepakat untuk membantu pemuda itu dalam membalaskan perbuatan Iblis Langit.
"Paman-paman semua! Aku berterima kasih sekali atas kesediaan kalian dalam mendukungku...," ucap Arya Dipa.
"Ki Jayalaga adalah orang baik. Dan selama hidupnya, beliau selalu menjalin persahabatan dengan semua tokoh persilatan dan pihak kerajaan. Dengan kejadian ini, tentu saja banyak tokoh persilatan yang akan bergabung dengan kita. Kawanan itu harus dihancurkan! Dan, Ki Bergola selayaknya dihukum gantung!" desis Ki Jambu Ireng geram.
Semua yang hadir mengangguk cepat, menyatakan persetujuannya mendengar kata-kata Ki Jambu Ireng. Dan lagi-lagi, Arya Dipa tersenyum haru. Padahal di hatinya menggumpal dendam sedalam lautan terhadap si Iblis Langit.
*** Telah hampir seharian ini, Ki Amoksa, Ki Purwareksa dan Ki Boneng menjelajahi pinggiran Desa Wandur. Namun mereka belum juga menemukan Pendekar Rajawali Sakti. Ketiga orang itu mengeluh kesal, dan beberapa kali menggeram.
"Setan! Ke mana bocah edan itu bersembunyi..."!" desis Ki Amoksa geram. Kedua belah tangannya sudah terkepal, memperdengarkan suara berkerotokan.
Mutiara Hitam 16 Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Pedang 3 Dimensi 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama