Metropolis Karya Windry Ramadhina Bagian 2
hanya bisa dia temui di tempat itu.
Sang dokter membawanya menghampiri salah satu pintu di
ujung barisan. Pintu itu tidak terkunci dan musik kesukaan ibunya
Metropolis.indd 72 terdengar segera setelah mereka memasuki ruangan. Miaa sempat
terdiam beberapa saat di ambang pintu. Dia menatap ibunya dan
dadanya terasa sesak. Ibunya duduk di tepi jendela di sebuah kursi
rotan, terlihat jauh lebih tua sejak terakhir kali dia datang berkunjung. Perempuan itu sibuk menggulung benang jahit, bibirnya memamerkan senyum, dan matanya menatap kosong ke arah lantai.
Oleh sang dokter, dia dan ibunya ditinggalkan berdua saja di
kamar itu. Miaa menyapa ibunya, tetapi tidak mendapat jawaban.
Kemudian, dia menghampiri sang ibu dan duduk di hadapan perempuan itu. "Aku bawa jeruk," dia berkata sambil menunjukkan plastik
bening yang dibawanya. "Aku kupas buat Ibu ya?"
Ibunya tidak bereaksi seolah-olah mereka berada dalam dua
dimensi ruang yang berbeda, seakan-akan kehadirannya di hadapan
perempuan itu tidak nyata. Apa yang dia katakan tidak mampu
didengar oleh ibunya. Miaa cukup terbiasa dengan hal ini. Bukan
berarti dia tidak sedih, tetapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.
Diambilnya sebuah jeruk, lalu dia mulai mengupas kulit buah itu.
Sudah dua tahun ibunya tidak bicara. Semula Miaa me"ngira
kepindahan mereka ke Jakarta delapan tahun yang lalu bisa
mengembalikan kesehatan ibunya, tetapi rupanya tekanan yang
mereka dapatkan di Yogyakarta selama belasan tahun sudah ter"
amat banyak menggerogoti jiwa perempuan itu. Ibunya menyerah
terhadap kehidupan, melarikan diri, lalu menciptakan dunia baru di
dalam kepalanya yang tidak bisa dimasuki oleh siapa pun, termasuk
oleh Miaa. Padahal, ada kabar yang ingin dia sampaikan.
Metropolis.indd 73 "Bu," panggilnya lagi setelah hening yang panjang, "aku sudah
menemukan ayah." Ibunya masih asyik bermain benang dengan ekspresi yang
sama. Miaa pun mendesah. Dirasakannya matanya sendiri mulai
basah. Dia menunduk, menatap tangannya mengupas jeruk, lalu
sebutir air mata menitik.
Menjelang malam, saat waktu berkunjung hampir habis, ibunya sudah tertidur. Miaa menyelimuti tubuh ibunya dengan baju
hangat. Dia membelai rambut ibunya, mengecup kedua pipinya,
kemudian membisikkan ucapan selamat malam kepada perempuan
itu. Sebelum keluar dari kamar ibunya, dia sempat menghampiri
lemari kecil yang ada di sudut ruangan dan mengambil sebuah surat
beramplop cokelat dari dalam lemari itu. Surat itu tidak disertai
nama pengirim, tetapi Miaa tahu dari siapa surat itu berasal.
Dia membaca surat itu sambil duduk di tepi koridor di luar
kamar ibunya. Surat itu terdiri dari beberapa lembar, isinya ditulis
menggunakan komputer. Di pojok kiri atas, di lembar pertama,
tercantum sebuah nama. Metropolis.indd 74 Sebuah Nama rang bisa saja selamat setelah jatuh dari ketinggian delapan
meter, tetapi Soko Galih mengalami patah tulang leher yang
membuat saluran pernapasannya terputus sehingga penguasa
wilayah 9 itu mati tidak lama setelah membentur jalan aspal. Kaca
jendela yang ditabrak oleh Soko Galih memang terlalu tipis dan
kayu yang membingkai kaca itu sepertinya sudah lama lapuk.
Siapa saja bisa mengalami kecelakaan yang sama jika kebetulan
sedang bernasib sial, tetapi apa yang menimpa Soko Galih bukanlah
kecelakaan. Sebelum tubuh Soko Galih dibawa pergi oleh petugas forensik, Erik menemukan bekas cekikan tangan melingkari leher
lelaki itu. Seseorang berada di dekat Soko Galih sebelum lelaki
itu terjatuh, bergumul dengannya, dan menyebabkan hal nahas
tersebut terjadi. Orang itu masuk lewat manhole di plafon, lubang
yang terhubung langsung dengan loteng dan kerap digunakan oleh
Metropolis.indd 75 pekerja bangunan untuk memperbaiki jaringan listrik atau pipa air
yang tersembunyi di balik plafon. Maksud kedatangannya tentu
tidak baik. Sebab itu, dia tidak mengetuk pintu depan dan permisi
masuk ke ruko sambil memperlihatkan KTP.
Erik memeriksa TKP bersama beberapa petugas forensik.
Sebisa mungkin dia melakukan setiap tahapan pemeriksaan sesuai
dengan apa yang tertera dalam buku panduan. Penerapan metode
yang tidak tepat bisa menyebabkan kegagalan dalam penyelidikan, begitu yang selama ini dia pahami walau pemikiran itu sering
kali mengalami kontradiksi setiap dia melihat cara Bram bekerja.
Bram membuang buku panduan ke tong sampah saat berada di
TKP. Kendati demikian, polisi itu selalu saja unggul dalam setiap
penyelidikan. Lantai ketiga TKP dipergunakan sepenuhnya untuk ruang
pribadi Soko Galih. Di dalamnya, terdapat kamar mandi, dapur bersih, ruang televisi, dan sebuah kamar tidur yang cukup besar untuk
meletakkan dua kasur ukuran king. Manhole yang digunakan untuk
menyelinap masuk berada di kamar mandi, tepat di atas kloset. Di
lantai kamar mandi itu, ditemukan jejak sepatu ukuran 42, ukuran
yang sama dengan jejak sepatu di TKP Markus Haulussy. Selain jejak
itu dan jendela kamar tidur yang porak-poranda, hal lainnya tampak
normal"pintu-pintu dan barang-barang masih utuh, dan tidak
terlihat adanya kerusakan akibat pergumulan. Mungkin Soko Galih
sedang tidur saat diserang. Dia terbangun, lalu sempat memberikan
perlawanan, tetapi sayangnya tidak bisa berbuat banyak.
Mesin faks yang diduga mengontak kantor Sat Reserse Narkotika terletak di ruang televisi, tetapi kertas berisi tulisan tangan
Metropolis.indd 76 yang dikirim kepada Bram tidak ditemukan. Tidak mungkin mereka
salah melacak nomor. Erik memastikan itu dengan menekan tombol
redial mesin faks. Dia membuktikan sendiri bahwa nomor terakhir
yang dihubungi oleh mesin tersebut adalah nomor faks kantor kesatuannya. Pertanyaan yang kemudian muncul dalam kepala Erik
sudah barang tentu adalah ke mana perginya kertas itu" Pertanyaan
berikutnya, apakah kertas itu disingkirkan sendiri oleh Soko Galih
atau dibawa pergi oleh seseorang"
Terakhir kali Miaa memasuki kantor Polda Metro Jaya adalah satu
tahun yang lalu. Dia dipanggil menghadap oleh Burhan D. Saputra
yang kala itu masih memimpin Sat Indag Dit Reskrimsus. Sambil
mengunyah sarapan pagi, Burhan memberi tahu dirinya bahwa dia
diberhentikan dari kepolisian. Pembebastugasan dirinya terhitung
mengejutkan. Tidak ada pertanda apa pun sebelum itu terjadi.
Tidak ada wangsit melalui mimpi, tidak ada kucing hitam melintas
di depan pintu rumah kosnya, dan"seingat dirinya"dia baru saja
menangkap satu geng penyelundup onderdil motor tidak lama
sebelum itu. Miaa tidak mencoba memprotes keputusan Burhan
tersebut. Dia tahu hal itu tidak bisa dilakukan, maka dia pensiun
dini dengan penyesalan dan sempat mengira dirinya tidak akan
menemui suasana riuh markas polisi lagi.
Akan tetapi, karena berada di TKP pada saat Soko Galih terbunuh dan dianggap bertindak mencurigakan, hari ini Miaa diringkus ke kantor Polda. Sebagai seseorang yang pernah ber"profesi
sama, dia tahu polisi kerap melakukan hal semacam itu ketika
mereka gagal menangkap pelaku kejahatan yang sebenarnya,
Metropolis.indd 77 semata-mata supaya mereka tidak kembali ke kesatuan dengan
tangan kosong dan setidaknya punya sesuatu untuk dilaporkan
kepada atasan mereka. Lebih-lebih, tampaknya inspektur polisi
yang meringkusnya sudah menaruh curiga terhadap dirinya entah
sejak kapan. Miaa sendiri mengenal polisi itu. Siapa yang tidak" Nama
Agusta Bram dari Sat Reserse Narkotika banyak disebut di kesa"
tuan-kesatuan lain Polda Metro Jaya, termasuk di kesatuan tempat
Miaa bekerja dahulu. Bram terkenal karena dua hal: prestasinya
membekuk mafia narkotika Jakarta dan rekornya melawan perintah
atasan. Banyak komisaris mengelu-elukan Bram, tetapi tidak sedikit
yang ingin menyingkirkannya dari kepolisian. Burhan, misalkan
saja. Miaa tahu sebesar apa keinginan komisaris itu mencabut
lencana Bram. Dahulu dia kerap mendengar berita kedua polisi itu
berselisih memperebutkan kasus. Nyali Bram menghadapi polisi
setingkat Burhan memang patut dikagumi, tetapi Miaa tahu Bram
masih bertahan di kepolisian selama ini karena perlindungan Moris
Greand. Kini Moris Greand sudah pensiun dan"yang lebih buruk
lagi"posisi dia digantikan oleh Burhan. Kalau Miaa adalah Bram, dia
akan mengkhawatirkan masa depannya di kepolisian setiap saat.
"Kudengar kau mantan polisi," Bram berucap sambil menatap
ke arahnya. Miaa membalas tatapan Bram. Mereka duduk berhadapan
di tengah ruang interogasi dengan udara yang menyesakkan dan
membuat keringat bercucuran. Suara kipas angin yang tergantung
di langit-langit ruangan mengisi kesunyian. Deritnya seperti detik
jam, teratur dan memiliki irama. Ini kali pertama Miaa bertemu
Metropolis.indd 78 langsung dengan Bram. Sosok polisi muda itu jauh berbeda dari apa
yang dia bayangkan sebelumnya. Dia sempat mengira Bram adalah
polisi dengan wajah sangar dan penampilan berantakan"rambut
gondrong, kulit gelap, pakaian kusut, dan tato di lengan"seperti
kebanyakan polisi dari Sat Reserse Narkotika. Akan tetapi, lelaki di
hadapannya itu tidak bertato, berpakaian rapi, berambut cepak, dan
bertampang lumayan"Bram mencukur bersih kumisnya dan hanya
menyisakan sedikit jenggot. Sikap Bram juga cukup meyakinkan,
luar biasa tenang, tidak seperti polisi-polisi muda seusia dia.
Miaa tidak kalah tenang. Dia membiarkan raut wajahnya tetap
datar kendati jati dirinya terungkap. Bahkan, dengan santai dia
menjawab, "Ya. Aku diberhentikan setelah empat tahun bertugas
di Indag Reskrimsus."
"Apa pangkatmu dulu" Bintara?"
"Ajun inspektur."
"Itu bukan jabatan kecil. Kenapa kau diberhentikan?"
"Gagal dalam tugas. Kepergok menangkap penyelundup sungguhan," gurau Miaa.
Bram tertawa. "Aku tidak heran. Apalagi kau kerja untuk
Burhan," kata Bram. Setelah itu, Bram membiarkan suasana di dalam ruang interogasi kembali sunyi. Suara kipas angin yang berputar
lambat terdengar lagi. Dalam keheningan, Bram masih menatap ke
arah Miaa. Sorot mata polisi itu penuh selidik dan mengintimidasi
seolah-olah dia bisa membaca pikiran lawan bicaranya dengan cara
seperti itu. Tetapi tentu saja Bram tidak bisa membaca pikiran orang.
Karenanya, setelah beberapa waktu polisi itu bertanya lagi.
"Apa yang kau lakukan di sekitar ruko milik Soko Galih?"
Metropolis.indd 79 "Kau mau jawaban apa dariku?"
"Jangan bilang itu cuma kebetulan, Miaa. Aku tidak akan
percaya. Aku melihatmu pada pemakaman Leo, juga di Kompleks
Ambon saat Ambon Hepi terbunuh. Kebetulan tidak terjadi tiga
kali. Tiga kali terlalu banyak."
Miaa tetap tenang. Bibirnya mengulas senyum yang sengaja
dia tujukan untuk mengejek Bram. Tidak ada kebetulan di dunia
ini. Dia berada di sekitar ruko Soko Galih karena satu alasan, dia
tahu penguasa wilayah 9 itu akan terbunuh, tetapi itu tidak akan
dia beri tahukan kepada Bram. Dia bisa tahu karena dirinya sudah
berhasil menemukan kunci penting dalam pembunuhan berantai
yang menimpa Sindikat 12, yakni sebuah pola, urutan korban yang
disusun sedemikian rupa oleh pelaku, tetapi itu juga tidak akan dia
beri tahukan. Tidak ada untungnya bagi Miaa jika pihak polisi tahu
sebanyak yang dirinya ketahui, maka dia hanya berkata, "Percaya
atau tidak, itulah yang terjadi. Kebetulan."
Bram memberinya senyum sinis. Sudah pasti polisi itu tidak
percaya kepadanya. "Kau tidak mempermudah pekerjaanku,
Miaa. Aku bisa saja menuduhmu terlibat dalam pembunuhan Soko
Galih." "Kau mengancamku?"
"Aku melakukan tugasku," Bram berujar dengan suara yang
dipelankan dan nada bicara yang bisa membuat nyali orang ciut.
Polisi itu bertanya lagi, "Untuk siapa kau bekerja?"
Tetapi Miaa bergeming. Metropolis.indd 80 Pertanyaan-pertanyaan Bram seputar Miaa, siapa perempuan itu
dan apa keterlibatannya dalam pembunuhan berantai yang menimpa Sindikat 12, pada akhirnya tidak terjawab. Tidak ada yang bisa
Bram lakukan untuk membuat Miaa bicara atau menahan perempuan itu di kantor Polda lebih lama lagi. Bram tidak memiliki bukti
yang bisa memberatkan Miaa walau perempuan itu berada di TKP
pada saat Soko Galih terbunuh. Dia sendiri menduga Miaa tidak
bersalah. Bukan Miaa yang bertanggung jawab atas kematian Leo
Saada dan pemimpin-pemimpin Sindikat 12 lainnya. Miaa justru
melakukan hal yang sama dengan apa yang sedang dirinya lakukan,
menyelidiki dan mengejar curut yang sesungguhnya, seolah-olah
perempuan itu melakukan pekerjaan lamanya sebagai polisi. Akan
tetapi, Miaa bukan polisi"tidak lagi.
"Mungkin dia bekerja untuk Sindikat 12," kata Erik.
Bram mengerutkan alisnya. "Aku meragukan itu," dia berujar
sambil menyulut sebatang rokok. Dia dan Erik berada di ruang
kesatuan mereka. Erik baru kembali ke kantor Polda menjelang
gelap. Bertolak dari TKP di Rawasari, asistennya itu pergi meng"
ambil hasil forensik yang baru bisa didapat setelah menunggu
cukup lama. Tidak semua hasil forensik bisa mereka dapatkan dalam
satu hari, beberapa tes membutuhkan waktu lebih lama, tetapi
hasil yang hanya sebagian itu bisa membantu mereka memulai
penyelidikan. "Bagaimana hasil forensik?" tanya Bram kemudian.
Erik membuka satu per satu berkas yang dia bawa, sejumlah
foto, denah TKP, catatan, dan hasil tes. Polwan itu memberi penjelasan, "Pelakunya tunggal. Dia masuk lewat manhole yang ada di
Metropolis.indd 81 kamar mandi, keluar lewat jalan yang sama, lalu menuruni dinding
belakang dengan tangga tali yang dia bawa sendiri."
Metropolis.indd 82 Bram memeriksa apa yang diperlihatkan kepadanya dengan
teliti, memastikan tidak ada detail-detail di TKP yang terlewat dari
pengamatan Erik dan tim forensik. "Ada jejak kaki?" tanyanya.
Erik mengangguk. "Di kamar mandi. Ukuran 42."
"Orang yang sama," komentar Bram.
"Kemungkinan besar, ya. Saat ini tim forensik sedang men"
cocokkan bekas tangan di leher Soko Galih dengan memar di wajah
Ambon Hepi." "Bagaimana dengan faks yang dikirim oleh Soko Galih?"
"Tidak ada di TKP."
"Sudah periksa tempat sampah" Mungkin Soko Galih membuang faks itu."
Erik menggeleng. "Sudah kuperiksa. Tidak ada sampah kertas
atau bekas kertas dibakar di mana pun di ruko Soko Galih. Seseorang
menyingkirkannya." Informasi itu membuat Bram mendesah kesal. Faks yang sedang mereka bicarakan bisa jadi merupakan kunci penting dalam
penyelidikan mereka. Apa yang ingin diberitahukan oleh Soko Galih
pasti bukan informasi biasa.
"Sial!" dia memaki kemudian, mengutuk sesuatu atau se"
seorang yang membuat Soko Galih ketakutan dan batal mem"
beberkan informasi. Bram mengeluarkan kertas faks yang dikirim oleh Soko Galih
dari saku celananya. Dipaparkannya kertas itu di atas meja, kemudian dia memperhatikan kertas itu bersama Erik. Yang mereka
miliki saat ini hanyalah serangkaian goresan tangan dari sebuah
kata yang terpotong. Metropolis.indd 83 "Bagaimana menurutmu, Erik?"
Erik tidak langsung menjawab. Polwan itu tampak berpikir
sejenak. Jari-jarinya meraba permukaan kertas di hadapan mereka,
mengikuti setiap garis yang tergores, seolah-olah sedang menuliskan sesuatu. Mulut Erik juga ikut bergerak-gerak untuk melafalkan
sejumlah huruf tanpa suara, kemudian dia berkata, "Sepertinya ini
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah kata. Ditulis dengan huruf-huruf kapital."
"Lihat garis yang ini?" Erik menunjuk garis di kertas yang dia
maksud. "Ini huruf ketiga dan sudah pasti A. Huruf pertama: E atau
F. Huruf kedua: B, R, atau P. Huruf keempat: N. Atau bisa saja itu
adalah dua huruf: A dan L, atau A dan I, atau I dan V, atau L dan
V...." Metropolis.indd 84 "Kupikir itu satu huruf, bukan dua," Bram menyela. "Jarak
garis-garis itu terlalu dekat."
"Hem. Ya. Benar. Kalau begitu, huruf keempat: N. Lalu, huruf
terakhir: C atau S."
"S," Bram kembali menyanggah. "Huruf terakhir tidak mungkin
C. Ujung bawah huruf itu sejajar dengan ujung atasnya. Pasti S.
Berarti kita sudah punya tiga huruf: A, N dan S. Jadi, apa saja katakata yang bisa kita dapat?"
Erik mengambil selembar kertas baru dan sebuah pensil, lalu
dia mulai menulis sejumlah kata di kertas tersebut, diawali dengan
EBANS, kemudian ERANS, EPANS, FBANS, lalu....
FRANS. Soko Galih memberinya sebuah nama: Frans"kalaupun bukan,
sementara ini dia dan Erik mengira itu adalah sebuah nama. Untuk
mengetahui lebih banyak tentang nama itu, Bram bangun lebih awal
hari ini. Dia mengalahkan jam bekernya dan cuci muka berkali-kali
dengan air dingin, lalu keluar rumah mengenakan kaus oblong dan
celana olahraga untuk lari pagi. Dari tempat tinggalnya di Jalan
Lamandau, dia bertolak ke arah barat. Dia memutari kompleks
berlawanan arah dengan jarum jam dan tiba di sebuah jalan bernama Bulungan yang berada di sebelah timur rumahnya. Jalan itu
sepi, belum banyak kendaraan yang melintas, sehingga udara di
sekitarnya masih nyaman dihirup dan beberapa atlet joging amatir
seperti dirinya bisa beraksi dengan leluasa.
Dia singgah ke sebuah warung bubur ayam di jalan itu yang
kerap disebut-sebut oleh banyak orang. Dipesannya satu porsi
Metropolis.indd 85 tanpa sambal dan kacang goreng, lalu dia duduk santai di dalam
tempat makan itu, di sebelah seorang lelaki setengah baya yang
bertubuh bugar. "Pagi, Moris," Bram menyapa lelaki itu.
"Bram!" Moris balas menyapa, agak heran. "Ada apa dengan
bekermu?" "Rusak." Moris terkekeh. "Bekermu sudah lama rusak, Anak Muda.
Karena itu, kau selalu bangun siang," kata lelaki itu. "Tirulah
pensiunan tua ini. Lari pagi setiap hari, maka usiamu tidak akan
pendek-pendek amat."
Bram ikut tertawa. "Cuma orang baik yang umurnya pendek.
Aku jelas akan hidup lama," guraunya.
Dia dan Moris berhenti bercakap-cakap saat pemilik warung
datang mengantarkan bubur pesanan mereka. Bram hafal tabiat
Moris. Mantan atasannya itu tidak suka diajak bicara saat dia sedang
berhadapan dengan makanan. Didikan sejak kecil, dalih Moris, "Selesaikan dulu urusanmu dengan makanan, baru kau boleh bicara"kalau
mau, sampai mati sekalian." Karena itu, Bram membiarkan Moris
menghabiskan buburnya dengan tenang. Segera setelah kedua
mangkuk mereka bersih, Bram membuka pembicaraan baru.
"Pernah dengar nama Frans?" tanyanya.
"Frans siapa yang kau maksud?" Moris balas bertanya.
Bram membalas lagi, "Frans siapa yang kau kenal?"
Moris tersenyum. Lelaki tua itu menatap Bram penuh selidik.
"Dari mana kau dapatkan nama itu, Bram?"
"Seorang teman," jawab Bram. Dia tersenyum lebar.
Metropolis.indd 86 "Teman ya," gumam Moris.
"Jadi, siapa Frans ini?"
Moris berdeham. "Ada masanya reserse-reserse narkotika jeri
mendengar nama itu. Bertahun-tahun dia membuat tidurku tidak
tenang. Si curut Frans. Frans Al. Kenapa kau menanyakan dia?"
"Kematian para pemimpin Sindikat 12 ada hubungannya
dengan Frans. Soko Galih menyebut nama itu sebelum terbunuh,"
ungkap Bram. Di luar dugaan, Moris tidak terkejut sama sekali. Apa yang
baru saja dipaparkan oleh Bram tampaknya sudah sejak lama
berada di benak bekas polisi itu. Sambil mengunyah tusuk gigi,
Moris berkata dengan santai, "Kau sampai juga pada kesimpulan
itu, Anak Muda." "Maksudmu?" "Semua jaringan narkotika yang kini dimiliki Sindikat 12 dulunya memang dikuasai Frans. Pada akhir masa kepemimpinan Frans,
terjadi konflik intern besar-besaran. Frans dan seluruh keluarganya
terbunuh dalam insiden itu, kemudian jaringan miliknya terbagi
menjadi dua belas. Polisi menduga konflik itu cuma rekayasa yang
diatur untuk menyingkirkan Frans dan mengambil alih bisnisnya.
Dua belas orang terlibat. Setelah Frans jatuh, mereka beraliansi dan
membentuk sebuah sindikat."
"Sindikat 12," ucap Bram.
Moris tersenyum lebar. "Kini kau tahu bagaimana cara mafiamafia memenangkan permainan kartu mereka."
Metropolis.indd 87 Puki, umpat Ferry dalam hati.
Dia sulit memercayai apa yang baru saja Bram katakan kepadanya. Polisi itu menghubunginya pagi-pagi sekali, berkata bahwa
ayahnya adalah satu dari dua belas bajingan yang melakukan cara
kotor untuk merebut bisnis orang lain. Kejadian itu berlangsung
lebih dari sepuluh tahun yang lalu, saat Sindikat 12 belum lahir
dan jaringan narkotika di Jakarta masih dikuasai oleh satu orang.
Di tengah-tengah perdebatan sengit mereka tentang benar atau
tidaknya informasi tersebut, Bram menawarkan pertukaran kepadanya.
Puki! Dia adalah seorang Saada. Seorang Saada seharusnya tahu
bagaimana cara menghormati orang tuanya dengan benar, tetapi
apa yang sedang dirinya lakukan saat ini" Dia melaju cepat dengan
sedan Eropa miliknya, menuju tempat pertemuan yang dia sepakati
dengan Bram di Kota. Mereka bertemu di gedung parkir sebuah pusat perbelanjaan.
Bram menunggunya di dalam sebuah mobil Asia murahan sambil
mengepulkan asap rokok dari mulut sialnya. Begitu dia datang,
polisi itu keluar dari mobil, melambaikan tangan, dan menyambutnya dengan senyum lebar.
"Puki kau, Bram!" maki Ferry. "Kalau kudapati apa yang kau
katakan ternyata tidak benar, kau tidak akan selamat."
Seperti biasa, sikap Bram sangat tenang. Polisi itu me"
nanggapinya dengan santai, "Siapa yang peduli kalau ternyata
ayahmu bajingan" Pertanyaannya sekarang, kau mau menemukan
pembunuh ayahmu atau tidak?"
Metropolis.indd 88 Ferry mencibir, "Memangnya informasi apa yang kau punya?"
"Sebuah nama. Frans Al," ujar Bram.
"Frans Al" Orang ini yang kau bicarakan di telepon tadi?"
"Semua ini berhubungan dengannya. Aku menduga dia masih
punya jaringan yang tersisa, mungkin di luar negeri, dan itu yang
harus kau cari tahu."
Ferry terdiam sejenak. Koneksi yang dia miliki memang luas,
tetapi informasi yang Bram inginkan berhubungan dengan konflik
yang terjadi belasan tahun lalu. Mendapatkan informasi tersebut
bukanlah perkara mudah. "Ini akan membutuhkan waktu, Bram."
"Ya, aku mengerti. Tapi lakukan sebisamu. Waktu kita menipis."
"Baiklah. Kau percayakan saja kepadaku. Ada lagi?"
Bram mengeluarkan sketsa sebuah wajah. "Aku mencari orang
ini," kata polisi itu.
Ferry memperhatikan gambar yang disodorkan kepadanya,
wajah seorang lelaki Tionghoa yang tirus dan berambut plontos.
Dia tidak mengenali wajah itu maka diberitahunya Bram, "Mungkin
Ju bisa bantu." Ju adalah nama seorang penjual informasi. Keberadaannya sangat
diperhitungkan di kalangan mafia Jakarta karena konon dia bisa
memberi informasi apa pun yang diinginkan oleh kliennya. Akurasi
data Ju membuat setiap transaksi yang dia lakukan bernilai sangat
tinggi, lebih mahal dari harga dua puluh kilogram kokain, sehingga
tidak sembarang orang berani mencarinya saat membutuhkan
bantuan. Metropolis.indd 89 Hari itu juga Ferry membawa Bram menemui Ju di sebuah
toko komputer dalam Dusit Mangga Dua, salah satu tempat jual
beli perangkat komputer terbesar di Jakarta. Ju bekerja di sana
sehari-hari sebagai teknisi perangkat lunak. Berbeda dari bayangan
Bram sebelumnya, penjual informasi itu ternyata masih muda.
Bahkan, lebih muda dari Ferry dan Bram sendiri. Tubuh Ju tinggi
dan agak gemuk. Penampilannya seperti anak kuliahan yang suka
mengenakan kaus dan celana jeans. Di toko itu, Ju duduk dikelilingi
sejumlah komputer. Matanya tidak lepas menghadapi monitor,
sementara jari-jarinya sibuk menekan-nekan tuts keyboard. Dia
sedang memainkan sebuah game online yang belakangan ini sedang
digemari remaja. "Aku sedang sibuk, Saada. Lain waktu saja," ujar Ju.
Ferry tampak tidak peduli. Dia malah mengambil kursi plastik
dari sudut toko, lalu duduk di hadapan Ju. Ucap anak Leo itu, "Aku
tidak akan lama." "Lain waktu, kubilang."
"Ayolah. Demi ayahku yang sudah mati."
Ju menghela napas. "Saada keparat! Cuma ledakan mobil yang
bisa menghancurkan kepala batu kalian," gerutu penjual informasi
itu. Ju menghentikan permainannya sambil bersungut-sungut dan
mengalihkan perhatiannya kepada Ferry. Saat itulah dia baru menyadari keberadaan Bram.
"Siapa dia?" "Kau mengenalnya. Dia Agusta Bram," jawab Ferry.
"Oh. Polisi," Ju menukas seraya mendengus. "Kau yang mencariku?" lelaki itu bertanya kepada Bram.
Metropolis.indd 90 Bram tidak berkata apaapa. Dia mengeluarkan sketsa
wajah miliknya. Ditunjukkannya gambar itu kepada Ju. Ju
hanya memperhatikan gambar itu sekilas, kemudian bibir
penjual informasi itu menarik
senyum tipis. "Maaf," kata Ju.
"Kau tidak kenal orang
ini?" Bram bertanya dengan
bingung. "Aku tidak jual informasi yang sama dua kali," jelas Ju singkat.
"Nah, pergi sana! Sudah kubilang, aku sibuk."
Bram dan Ferry saling berpandangan. Maksud ucapan Ju
sangat jelas. Mereka kalah cepat. Informasi yang mereka inginkan
sudah jatuh ke tangan orang lain dan tidak ada yang bisa mereka
lakukan untuk membuat Ju membeberkan informasi itu sekali lagi.
Setengah putus asa, hampir saja mereka beranjak dari tempat itu,
tetapi kemudian Bram teringat akan sesuatu. Dia mengeluarkan
selembar kertas lain, foto yang akhir-akhir ini selalu dia simpan di
saku jaketnya. "Bagaimana dengan dia" Perempuan yang kulingkari di dalam
foto ini bernama Miaa."
Sekali lagi, Ju memperhatikan apa yang diperlihatkan oleh
Bram. "Beri aku waktu tujuh hari," kata Ju kali ini. "Sudah tahu
tarifku, Pak Polisi?"
Metropolis.indd 91 "Aku yang akan bayar, Ju," kata Ferry.
Ju mencemooh, "Kasihan amat Leo. Anaknya cuma bisa
buang-buang duit." Tangan Ju memberi isyarat kepada Ferry dan
Bram untuk pergi. Sebelum mereka berpisah, Ju berkata sambil lalu,
"Omong-omong, Pak Polisi, tampang perempuan ini tidak asing."
Berbeda dengan Bram, Miaa tidak dapat membuat sketsa wajah
lelaki yang mereka kejar bersama-sama di Rawasari. Akan tetapi,
saat pengejaran tersebut berlangsung, dia berada dua meter lebih
dekat dengan lelaki itu dibandingkan dengan Bram. Miaa melihat
sesuatu yang terlewatkan oleh Bram, sebuah tato di tengkuk lelaki
yang mereka kejar. Tato itu bertuliskan dune. Dia menemui Ju, penjual informasi terbaik di Jakarta, untuk menanyakan perihal tato
tersebut dan Ju memberi tahu keberadaan sebuah pub bernama
Metropolis kepada Miaa. Metropolis terletak di daerah Tosari, di sisi sebuah jalan kecil
yang letaknya agak tersembunyi dan tidak banyak dilewati ken"
daraan. Bangunan pub itu tidak terlalu besar, hanya seukuran dua
unit ruko rata-rata yang terdiri dari tiga lantai dan sangat terawat.
Fisik bagian dalamnya didesain dengan gaya Mediterania, didominasi warna-warna hangat dan bahan kayu. Begitu membuka pintu,
pengunjung disambut dengan suasana bar ala Meksiko; sinar lampu
Metropolis.indd 92 kekuningan, alunan musik Amerika Latin yang terdengar asing, pemain banyo bertopi lebar, dan pelayan dengan dandanan ala se"orita.
Orang-orang yang memasuki pub itu tampaknya adalah ka"
langan terbatas, mereka-mereka yang menyukai apa yang diberikan
oleh tempat tersebut dan kembali setiap kali ingin minum-minum.
Oleh sebab itu, pada awalnya keberadaan Miaa menarik perhatian,
tetapi dengan segera mereka menjadi terbiasa.
Miaa datang ke pub itu empat malam berturut-turut. Dia duduk
di sudut ruangan dengan sabar, memaksakan diri minum bir, dan
menunggu kemunculan sosok misterius yang dia cari-cari. Lelaki
bertato dune muncul pada malam keempat. Orang itu memasuki
pub menjelang tengah malam. Dia duduk di bar, memesan minuman, kemudian berbicara dengan pengunjung lain yang sedang
minum di dekatnya, seorang perempuan usia empat puluhan tahun
yang berpenampilan menarik.
Metropolis.indd 93 Perempuan yang Mengetahui Sesuatu asalah utama yang dimiliki oleh organisasi-organisasi
pengedar narkotika adalah uang kontan dalam jumlah
besar yang menggunung di gudang belakang markas mereka.
Uang hasil penjualan obat terlarang selalu berbentuk tunai, terdiri dari berbagai macam pecahan (dari yang terkecil sampai yang
terbesar), diikat dengan karet gelang, dan dijejalkan ke dalam tas
plastik atau kardus bekas kemasan mi instan. Para pengedar kelas
kakap itu tidak bisa begitu saja memakai uang tersebut"untuk beli
Mercedes, misalnya. Mereka juga tidak bisa masuk ke bank dengan
tas olahraga berisi uang satu miliar yang dekil dan lecek. Polisi bisa
melacak keberadaan mereka dan itu akan berujung pada pembekukan. Sementara itu, tumpukan uang di gudang mereka semakin
tinggi. Sebagian kecil uang itu bisa dipakai untuk membeli makanan
dan membayar kontrakan, tetapi setelah setahun mereka masih
menyimpan uang dalam jumlah luar biasa dan mereka hanya bisa
Metropolis.indd 94 duduk-duduk tanpa banyak melakukan pembelian atau memutar
uang itu sebagaimana seharusnya.
Yang organisasi-organisasi itu butuhkan adalah memasukkan
uang mereka ke sistem perbankan dan itu bukan pekerjaan mudah.
Mereka bisa saja melakukan smurfing, pergi dari satu bank ke bank
lain untuk membuka tabungan di bawah angka tertentu. Tetapi
cara itu terlalu lambat untuk menyokong bisnis narkotika Jakarta
yang sedang berkembang pesat. Kebanyakan mafia narkotika kini
melakukan pencucian uang dengan memakai jasa pihak tertentu,
perusahaan berkedok legal yang bisa memasukkan uang dalam
jumlah besar ke bank tanpa dicurigai oleh polisi atau badan hukum
lainnya. Selama belasan tahun Sindikat 12 memercayakan uang mereka kepada MOSS, sebuah perusahaan konstruksi yang memiliki
kantor mentereng di Sudirman. MOSS milik seorang perempuan
bertangan besi yang terkenal di kalangan pelaku bisnis gelap dengan
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nama Aretha. Usia Aretha saat ini melebihi empat puluh tahun. Dia
sudah menjalankan bisnis cuci uang sejak Frans Al masih hidup, dan
selama itu pula banyak mafia besar di Jakarta menggantungkan
nasib kepadanya. MOSS mampu beroperasi tanpa cela. Tidak pernah sekalipun
MOSS meninggalkan jejak, sampai-sampai keberadaan perusahaan
itu"sebagai elemen penting yang membuat bisnis gelap Jakarta bisa
terus berjalan"tidak diketahui sama sekali oleh polisi. Polisi bisa
saja melakukan operasi di lapangan setiap waktu, menggeledah
gudang-gudang penyimpanan, membekuk para pelaku, atau memutus pasokan barang, tetapi mereka tidak pernah terpikir untuk
Metropolis.indd 95 menghentikan perputaran uang para mafia dan mereka bertanyatanya kenapa bisnis gelap di Jakarta tidak juga bisa dihapuskan.
Aretha kerap dijuluki perempuan penyihir, mungkin karena penampilan fisiknya masih bisa membuat lelaki mana pun menjilat
bibir kendati dia sudah berumur. Perempuan-perempuan berhati
kerdil yang berkerumun di belakangnya menuding dirinya membeli
waktu dengan kekayaan agar kecantikannya menjadi abadi. Dia
tidak suka mengecewakan mereka, tetapi dia tidak sedot lemak,
pakai botoks, atau suntik silikon. Hidungnya asli dan dia tidak
operasi bibir. Jika lantas adik Maulana Gilli tidak berhenti me"
mandanginya dengan mata lapar sejak setengah jam yang lalu,
maka itu suratan takdir. Adalah suratan takdir juga apabila wajah dan tubuh penyihirnya menarik banyak klien. Dia tahu mereka datang kepadanya
bukan semata-mata untuk bisnis. Binatang-binatang kelaparan
itu mengharapkan sesuatu yang lebih darinya, servis kamar atau
hal semacam itu. Namun, kebanyakan dari mereka hanya berani
berangan-angan karena dia jauh lebih berbahaya dari binatang buas
mana pun. Uang dan kekuasaan yang dia miliki membuat banyak
lelaki jeri, termasuk Gilli muda yang saat ini duduk berhadapan
dengannya"bocah ingusan yang banyak lagak tapi tak ubahnya
pengecut. Dia dan bocah itu sedang berada di dalam ruang kerja miliknya
di lantai teratas kantor MOSS. Langit di luar ruangan sudah gelap,
terlihat dari kaca jendela. Pertemuan yang membicarakan bisnis
Metropolis.indd 96 ilegal dan pencucian uang di dalamnya memang lebih leluasa dilakukan pada saat reserse-reserse beserta cepu-cepu mereka sudah
lelah dan terserang rabun gelap.
"Kau lebih gampang diajak bicara daripada kakakmu," Aretha
berkomentar menjelang akhir pertemuan mereka.
Dia menyeduhkan kopi organik untuk tamunya. Mungkin Gilli
lebih suka bir atau anggur, tetapi Aretha pantang menyentuh alkohol selama dirinya sedang berbisnis. Alkohol hanya mendatangkan
petaka. Banyak orang sok menenggak sampanye atau wiski selagi
bertransaksi dan keesokan harinya mereka kehilangan setengah
kekayaan mereka. "Nyonya tahu kakakku ditembak orang?"
"Ya. Beberapa bulan yang lalu Leo memberitahuku."
Gilli meringis. "Leo mati sebulan setelah itu," kata bocah itu.
"Ya. Begitu yang kudengar juga. Apa yang terjadi" Shox bilang
kali ini permusuhanmu dengan Saada sudah berlebihan."
"Orang tua itu cuma asal bicara," Gilli menyangkal sambil mendengus. "Dia kira Saada yang tembak mati kakakku, lalu aku bunuh
Leo untuk balas dendam. Tapi kita semua tahu, tidak lama setelah
Leo mati, Ambon Hepi digorok lehernya, kemudian baru-baru ini
Soko Galih yang kena sial. Menurutmu apa yang sedang terjadi,
Nyonya" Geng-geng Sindikat 12 sedang saling bunuh?"
Aretha menarik seulas senyum. Dia menanggapi Gilli, "Aku
kenal mereka semua; Ambon Hepi, Galih, Leo, dan kakakmu. Beberapa bulan lalu"ada Shox dan BK juga saat itu"mereka dudukduduk di ruangan ini, minum kopi yang sama dengan yang sedang
kau minum sekarang. Dan, seingatku mereka tidak bicara tentang
rencana saling bunuh."
Metropolis.indd 97 "Tepat! Kukatakan begitu juga kepada Saada"Ferry, maksudku.
Kubilang, ada orang yang coba menyingkirkan sindikat kami."
"Ferry Saada percaya?"
"Kau tahu seperti apa Saada. Mereka keras kepala, kadangkadang terlalu bodoh. Ferry sempat tidak mau dengar, tapi akhirnya
dia percaya juga. Kami kumpulkan empat yang tersisa"Blur dan
yang lain"karena kupikir mereka pasti tahu sesuatu."
Kalimat terakhir yang diucapkan Gilli membuat Aretha terdiam. Sesungguhnya dia tidak menyukai topik pembicaraan mereka
dan memang seharusnya mereka tidak membahas itu. Namun, setelah Gilli menyebut-nyebut empat yang tersisa, kini dia penasaran
sejauh mana bocah itu tahu.
"Mereka tidak bicara, "kan?" tanyanya.
Gilli tertawa. "Tentu saja tidak. Orang-orang tua berengsek itu
percaya mereka bisa mengurus masalah ini sendiri. Tapi besoknya
Soko Galih mati," ejek Gilli lagi. Lalu, bocah itu terdiam sejenak
sambil menatap penuh selidik kepadanya. Gilli mencondongkan
tubuh ke arahnya, kemudian berbisik, "Mungkin kau tahu sesuatu,
Nyonya" Sudah berapa lama kau kenal sindikat kami" Lima tahun"
Sepuluh?" Aretha kembali tersenyum. Rupanya Gilli tidak sebodoh yang
dia kira, maka seharusnya bocah itu bisa diajak kompromi. Aretha
bangkit dari tempat duduknya. Dihampirinya meja minuman di
salah satu sisi ruangan, lalu dia menyeduh kopi baru. Sambil melakukan semua itu, dia berkata, "Shox benar, Gilli. Yang sedang kau
hadapi saat ini adalah perseteruan antargeng. Tapi ini perseteruan
besar, bukan seperti tawuran kecilmu dengan Saada yang kekanak98
Metropolis.indd 98 kanakan itu. Ini seperti Lotus melawan Los Diablos di Vancouver.
Pernah dengar nama mereka" Ini di luar jangkauanmu. Jadi, sebaiknya kau mundur saja."
Gilli ikut bangkit dari tempat duduknya. Kedua mata bocah itu
terbelalak. "Kau memang tahu sesuatu," gumam Gilli.
Dengan enteng, Aretha menjawab, "Tentu saja. Kau kira siapa
aku?" Dia menatap Gilli. Bocah itu menunggu penjelasan lebih lanjut
darinya, tetapi dia tidak akan bicara lebih dari ini. Dia juga tidak akan
membiarkan Gilli melangkah lebih jauh dalam konflik yang sedang
mereka bicarakan, maka dia berkata, "Dengar, Gilli. Pulanglah dan
lupakan hal ini. Belum terlambat untuk menyelamatkan gengmu
dari masalah besar."
Tentu saja sarannya itu ditolak mentah-mentah. Gilli menertawakannya, kemudian buru-buru menjawab, "Nyonya, aku tidak
akan berhenti mengejar pembunuh kakakku dan tidak ada yang
bisa membuatku mundur."
"Aku bisa," Aretha menanggapi lawan bicaranya dengan
tenang. Dia lihat ekspresi Gilli berubah kebingungan, tapi itu tidak akan
lama. Segera setelah dia memperjelas posisinya dalam konflik ini,
bocah itu akan mengerti. Dia bukan hanya tahu sesuatu.
"Aku tidak suka memaksa, tapi ini demi kebaikanmu. Percaya
kepadaku. Kematian kakakmu tidak sebanding dengan bisnis geng
kalian. Kau tidak ingin melihat apa yang dibangun oleh kakakmu
hancur karena kebodohan bernama dendam."
Metropolis.indd 99 Seperti yang diyakini oleh Aretha, Gilli cukup pintar. Bocah
itu memahami maksud ucapan Aretha barusan dengan jelas. Karenanya, kini Aretha dipandang dengan sorot mata geram. Gilli
tentunya tidak bisa melawan. Gengnya bisa mendapat kesulitan
jika perputaran uang mereka terganggu dan, ya, Aretha bisa melakukan itu karena saat ini dia memegang kendali sepenuhnya atas
manajemen keuangan geng Gilli.
"Berengsek," umpat Gilli pelan. "Kau benar-benar penyihir."
Penyihir atau bukan, Aretha berniat memenangkan pertarungan
yang sedang dia hadapi. Dia tidak mengenal kata kalah. Karenanya,
dia harus menyingkirkan setiap kerikil yang mengotori jalannya.
Tidak peduli apakah batu kecil itu sungguhan bisa melukainya atau
tidak. Adalah tugasnya memastikan rencana berjalan dengan baik
dan memang itulah keahliannya.
Setelah membereskan Gilli, ada satu hal lagi yang perlu dia
urus. Dia meninggalkan kantornya yang sudah sepi. Dimintanya
sopir mengantar dirinya ke sebuah tempat. Di tengah perjalanan,
dia mendapat telepon. "Di mana posisimu?"
Aretha melirik ke arah luar jendela mobilnya, memperhatikan
pemandangan malam jalanan Jakarta yang panjang dan padat
dirayapi kendaran-kendaraan. Sepasang matanya menangkap
deretan ruko tua di sebelah kiri jalan yang dia kenal betul.
"Baru masuk Tosari," dia menjawab pertanyaan tadi.
Lelaki yang menjadi lawan bicaranya mendesah kesal. Lelaki
muda. Kata lelaki itu, "Kukira kau janji bertemu Dune jam sepuluh."
100 Metropolis.indd 100 "Sekarang belum jam sepuluh," Aretha menjawab seraya
memeriksa jam di pergelangan tangannya. "Urusanku dengan Gilli
butuh waktu lebih lama dari yang kukira."
"Ada masalah?" "Sedikit, tapi sudah kubereskan. Setelah ini aku harus memikirkan cara untuk menyingkirkan Ferry Saada. Dia, dan juga Gilli
tadinya, mencoba menemukanmu. Mereka tidak berbahaya, tapi
ada baiknya kita lebih berhati-hati," jawabnya.
Lawan bicara Aretha tidak terdengar peduli terhadap masalah
yang baru saja diungkapkan. Lelaki itu mengganti topik pembicaraan mereka dan berkata, "Bisa kau hubungi Indira" Minta dia datang
menemuiku." "Ada apa" Kondisimu memburuk?"
"Jangan cerewet. Panggilkan saja dia," desak lelaki itu. Pem"
bicaraan mereka berakhir setelahnya.
Aretha tersenyum masam. Dia sudah biasa menghadapi sikap
egois lelaki yang barusan menelepon, tetapi tetap saja mulutnya
tidak tahan untuk tidak mengeluarkan gerutuan. Kendati demikian,
dia lakukan juga apa yang lelaki itu minta. Diteleponnya perempuan
bernama Indira. Tepat setelah urusan itu beres, mobil yang dia naiki
berhenti di depan sebuah pub tiga lantai bernama Metropolis.
Dia keluar dari mobilnya dan melangkah cepat menghampiri
pintu masuk. Seorang se"orita bertampang Melayu menyambutnya di dalam bersama iringan musik Amerika Latin, kemudian
se"orita itu mengantarnya ke meja bar"tempat kesukaannya di
pub tersebut. "Sendiri?" bartender yang sudah sangat dia kenal menyapanya
dengan akrab. 101 Metropolis.indd 101 Aretha tersenyum untuk mengiyakan. "Beri aku yang biasa,"
pintanya. Si bartender mengangguk dan segera menyiapkan minuman
untuknya. Sambil meracik, bartender itu membuka pembicaraan,
"Janji ketemu Dune?"
"Ya. Dia sudah datang?"
"Belum lihat," kata si bartender. "Sudah lama juga Cina yang
satu itu tidak mampir ke sini."
"Pasti dia sibuk. Aku memberinya pekerjaan."
Lawan bicaranya tergelak. "Pantas saja. Pasti proyek besar.
Sudah setahun kau keluar-masuk pub ini, tapi kayaknya urusanmu
dengan Dune belum selesai juga," bartender itu menebak-nebak
dengan nada bercanda. Aretha ikut tertawa, tetapi dia tidak berkata apa-apa untuk
menanggapi gurauan si bartender. Topik pembicaraan mereka
berganti setelah itu. Dia diberi tahu, "Selama kalian pergi, ada
orang baru di tempat ini. Mungkin kau tertarik. Tuh! Dia duduk di
pojok sana. Sudah empat hari. Polisi, mungkin. Kalau bukan polisi,
pasti cepu." Dia mencuri lihat ke arah yang ditunjukkan oleh lawan
bicaranya. Ada seorang perempuan muda duduk sendiri di sana,
ditemani sebotol bir yang masih penuh. Sosok dan wajah perempuan
itu tidak terlihat jelas karena ruangan pub terlalu remang. Aretha
berkata kepada bartender di hadapannya, "Kirimkan aku foto
perempuan itu. Untuk jaga-jaga saja."
"Oke. Gampang, Aretha," si bartender mengiyakan sambil
tersenyum. "Ini minumanmu. Dan, itu pacarmu datang."
102 Metropolis.indd 102 Johan mpat belas bulan yang lalu, dia pindah dari satu metropolis ke
metropolis yang lain; dari Vancouver"surga para penguasa
bisnis gelap dunia"ke Jakarta, surga lainnya yang dahulu pernah
dia miliki. Dia bertolak dari Vancouver International Airport menggunakan pesawat terakhir tujuan Hong Kong. Menjelang pukul
00.00, terminal internasional di bandara tersebut tampak lengang.
Hanya tersisa tiga penerbangan malam itu. Ketiga-tiganya ber"
destinasi Cina, sehingga lobi terminal didominasi oleh pengunjungpengunjung berkulit kuning.
Dia tiba tiga jam lebih awal dari jadwal keberangkatannya. Food
court dan kafe-kafe di bandara tidak menawarkan kenyamanan,
maka dia memilih menunggu di Fairmont"hotel berbintang empat
yang letaknya bersebelahan dan terhubung langsung dengan bandara. Ruangan lounge yang dia masuki merupa living room, dilengkapi sofa-sofa dan perabot-perabot kayu, karpet, perapian besar,
103 Metropolis.indd 103 dan sebuah piano grand. Beberapa pengunjung duduk tersebar di
dalamnya, masing-masing menyibukkan diri dengan membaca
majalah, menelepon, atau mengakses Internet.
Dia membaurkan diri ke dalam suasana hangat itu. Dipilihnya
sofa panjang yang ada di dekat jendela, dipesannya roti lapis isi
salmon dan secangkir kopi organik tanpa gula, lalu dikeluarkannya
MacBook miliknya dari tas. Sebuah pesan elektronik masuk begitu
dia menyalakan laptopnya.
mo55: johan mo55: sudah terima daftar nama yang kukirim"
Pesan itu datang dari Aretha. Johan membalas:
o_pamela: sedang kubuka o_pamela: sebentar Layar laptopnya berganti begitu dia membuka surel yang
dikirimkan oleh Aretha. Dua belas nama muncul di hadapannya dan
dia bisa merasakan detak jantungnya berubah cepat. Dia membaca
nama-nama itu satu per satu sambil mencoba mengingat-ingat
masa kecilnya. Dia kenal beberapa nama dalam daftar tersebut.
Dahulu sekali, orang-orang itu kerap datang menemui ayahnya
untuk urusan bisnis. Surel berisi daftar nama itu dia unduh, kemudian dia simpan.
Setelah itu, dia mengembalikan perhatiannya ke jendela maya
Yahoo! Messenger. Sambil menyeruput kopi dan makan roti lapis,
dia melanjutkan komunikasinya dengan Aretha.
o_pamela: berapa yang kau keluarkan untuk mendapatkan ini"
mo55: banyak 104 Metropolis.indd 104 mo55: kau tidak perlu tahu
mo55: sudah di bandara"
o_pamela: aku di jetside bar
o_pamela: minum kopi o_pamela: dan makan salmon
o_pamela: dua jam lagi boarding
mo55: kau tiba di hk jam 8, "kan"
mo55: lalu jam berapa kau terbang ke jakarta"
o_pamela: entahlah o_pamela: 14 jam, nyonya o_pamela: kalau bisa aku ingin tidur dulu sebelum berangkat
lagi o_pamela: nanti kukabari mo55: oke mo55: sampai ketemu di jakarta
o_pamela: oke mo55: jangan lupa minum obatmu
Johan cuma tersenyum sinis saat membaca pesan Aretha yang
terakhir. Perempuan tua itu masih saja cerewet setelah sekian lama.
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barangkali Aretha lupa bahwa lawan bicaranya bukan lagi anak kecil
yang bersembunyi di kolong tempat tidur. Belasan tahun berlalu
sudah dan tidak lama lagi Johan akan memimpin organisasi seperti
ayahnya dulu. Dia mengakhiri pembicaraan mereka. Dimatikannya laptop, lalu
disimpannya kembali perangkat itu ke dalam tas. Dia mengeluarkan
beberapa botol obat yang rutin dia konsumsi dari tas yang sama.
Diminumnya obat-obat itu segera, kemudian dia menyandarkan
105 Metropolis.indd 105 punggungnya pada bantalan sofa dan membiarkan tubuhnya
beristirahat untuk sejenak.
Begitu banyak masalah yang perlu dia urus di Vancouver
selama dua bulan terakhir ini, termasuk persiapan kepindahannya
ke Jakarta. Dia belum sempat beristirahat dan mungkin dia tidak
akan memiliki kesempatan untuk bersantai-santai lagi. Begitu tiba
di Jakarta, ada hal lainnya yang harus dia selesaikan.
Dia memejamkan mata. Suara serak biduanita yang hadir bersama dentingan piano terdengar lamat-lamat dari ujung ruangan.
Biduanita itu membawakan sebuah lagu lama yang dia kenal, sebuah
lagu berirama cepat yang bisa membuat pendengarnya bergoyang.
Dahulu orang tuanya kerap memutar lagu itu saat rumah mereka
kedatangan banyak tamu. Lagu itu menciptakan suasana hangat.
Tamu-tamu bernyanyi bersama seusai makan malam, kemudian
mereka menari beriringan mengelilingi ruang keluarga.
Johan tidak ingat seberapa sering keceriaan itu meramaikan
rumah mereka, tetapi dia ingat kapan terakhir kalinya lagu itu
diputar oleh orang tuanya.
Juli 1991. Malam itu, pada Juli 1991, dia terbangun dan mendapati suasana di
sekelilingnya gelap. Dia masih berada di kamar tidurnya, berbaring
di atas ranjang, dan berbalut selimut tipis yang terasa terlalu tebal
karena tiba-tiba saja udara di dalam ruangan menjadi panas. Samarsamar"dari arah luar"terdengar suara-suara teriakan, sebagian
mengibakan tetapi sebagian lagi membuatnya ketakutan sampai
dia kencing di celana. 106 Metropolis.indd 106 Sesuatu yang buruk telah terjadi.
Dia mendengar langkah-langkah kaki mendekati kamarnya.
Terpacu oleh kengerian yang menyerang lubuk hatinya, buru-buru
dia menyelinap turun dari tempat tidur, kemudian bersembunyi
di kolong dipan dengan posisi telungkup. Tangannya membekap
mulutnya sendiri. Matanya melotot mengawasi pintu ruangan. Saat
pintu itu terbuka, cahaya merah dari api yang berkobar di luar kamar
menyerang masuk. Kamar tidurnya menjadi terang seketika, ba"
yangan benda-benda yang ada di sekelilingnya bergoyang-goyang
di permukaan dinding mengikuti gerak lidah api.
Seorang perempuan berkaki jenjang yang mengenakan rok
selutut dan sepatu berujung runcing menyusul masuk kemudian.
Perempuan itu menjelajahi ruangan sambil memanggil namanya
berkali-kali dengan suara panik. Dia mengenali suara perempuan
itu, tetapi dia terlalu takut untuk keluar dari persembunyiannya.
Perempuan yang mencarinya berlutut di hadapan tempat tidur,
melongok ke kolong dipan, dan menemukan dirinya di balik tabir
selimut yang menjuntai. "Kau di sini rupanya," bisik perempuan itu. "Jangan takut. Aku
datang untuk menyelamatkanmu."
Perempuan itu menariknya keluar dari bawah tempat tidur.
Dia dipakaikan jaket bertudung, lalu dibawa pergi dari kamarnya.
Pemandangan yang dia saksikan setelah itu seperti neraka dalam
bayangannya. Api menjilati sudut-sudut rumahnya, barang-barang
di setiap ruangan porak-poranda, orang-orang dewasa saling baku
hantam, dan mayat berserakan di mana-mana.
107 Metropolis.indd 107 Dia melihat orang-orang kepercayaan ayahnya bersimbah
darah; leher mereka menganga, dada mereka berlubang, atau
kepala mereka pecah. Dia melihat api memenuhi kamar adik
perempuannya dan segala yang ada di dalam ruangan itu sedang
dihanguskan. Dia melihat ibunya tergolek di ujung tangga. Dan, dia
melihat ayahnya berlutut di ruang keluarga, sementara seseorang
memasukkan ujung pistol ke mulut pria itu.
Malam itu, Johan kehilangan semuanya.
Adalah Aretha yang menyelamatkannya dari Joe Black"sang
Malaikat Kematian. Dia dilarikan oleh perempuan itu ke luar negeri
dalam hitungan hari. Dua bulan dia tinggal di Hong Kong, baru
setelah itu menetap di Vancouver selama lima belas tahun. Aretha
meninggalkannya di sana bersama sekelompok imigran Indonesia
yang menjadi anggota geng lokal. Sesekali, perempuan itu me"
ngunjunginya, satu kali dalam dua-tiga tahun. Selebihnya, mereka
berkomunikasi lewat telepon dan internet.
Lingkungan tempat tinggalnya yang baru tidak jauh berbeda
dengan Jakarta yang dia tinggalkan. Dia masih berkumpul dengan
pecandu dan pengedar narkotika. Dia tidur di sebelah gudang yang
penuh senjata ilegal, makan dari uang hasil bisnis gelap, dan melihat
orang mati tertembak setiap harinya. Perbedaannya: orang-orang di
sekitarnya kini memaki "Bastard!" dan bukannya "Bajingan!" sebelum
menarik pelatuk. Lotus, geng yang menjadi tempatnya berlindung di Vancouver,
merupakan salah satu organisasi kriminal Asia terbesar di Kanada.
Geng itu digolongkan sebagai triad, mafia Cina yang jaringannya
bercokol di setiap sisi gelap dunia. Sudah sejak lama organisasi milik
108 Metropolis.indd 108 ayahnya menjalin hubungan baik dengan geng tersebut. Ayahnya
pernah mengirim sebagian kecil jaringannya ke Kanada dan membuat basis di Vancouver untuk melancarkan transaksi mereka.
Tindakan ayahnya itu berbuah manis, kedatangannya disambut
dengan baik dan keselamatannya di Vancouver dijamin sepenuhnya
oleh sekutu mereka. Lotus tidak hanya aktif melakukan bisnis senjata dan narkotika.
Sepanjang tahun 90-an, geng itu kerap berseteru dengan genggeng Kanada lainnya, seperti Los Diablos dan Red Eagles, sehingga
Johan sudah terbiasa dengan perang antargeng sebelum usianya
mencapai 20 tahun. Dia belajar merakit senjata saat masih duduk
di sekolah menengah dan menembak orang untuk pertama kalinya
pada hari ulang tahunnya yang ke-15.
Kendati demikian, pekerjaan kotor bukanlah kegemarannya. Dia lebih suka berada di balik layar, duduk santai di depan
MacBook, main saham atau currency, sementara orang lain yang
membereskan urusannya. Dengan begitu, tangannya akan selalu
bersih. Dan, untuk bisa memegang kendali seperti yang dia dambakan, yang perlu dia lakukan hanyalah menggunakan isi kepalanya
dengan baik. Dia mendapat posisi yang bagus di Lotus saat usianya baru
mencapai 22"berkat menggunakan isi kepalanya dengan baik. Dua
tahun setelah itu, dia sudah mahir mengakuisisi bisnis milik orang
lain dan dia bisa berbangga hati karena tidak ada pertumpahan
darah kala itu terjadi. Tentu saja ada satu atau dua orang yang
perlu disingkirkan, tetapi itu bukan perang besar seperti yang se"
ring terjadi di Vancouver. Tidak perlu menghabisi seluruh anggota
109 Metropolis.indd 109 geng untuk mengambil alih celengan mereka. Cukup potong kepala
mereka dan gantikan dengan yang baru.
Itu yang dia pelajari dari bajingan"atau bajingan-bajingan"
yang membunuh ayahnya. Sering kali, Johan lebih suka membiarkan ruangan-ruangan di
dalam apartemennya gelap kala malam. Pada saat itu terjadi, dia
akan membuka tirai jendela di ruang tengahnya, sehingga bias
lemah benda-benda angkasa bisa masuk, lampu di puncak-puncak
menara menjadi terlihat, dan dia bisa menikmati titik-titik putih
yang tersebar di bidang hitam di luar jendela tersebut. Dia tidak
sendiri dalam suasana cengeng itu. Dia ditemani sebotol air dingin
dan seperangkat MacBook yang menampilkan grafik GBP, Great
Britain Poundsterling, makanannya sehari-hari. Kalau sifat cengeng"
nya sedang berlebihan, seperti saat ini misalnya, dia memutar
musik Nouvelle Vague dan membiarkan transaksi currency-nya
mengambang. Terkadang situasi menyedihkan itu akan berlangsung sampai
pagi, tetapi sering kali berakhir sebelum tengah malam saat Aretha
datang dan membuyarkan melodrama yang Johan ciptakan. Begitu
memasuki ruangan, Aretha akan menyalakan semua lampu, mematikan alat pemutar musik, dan berkata, "Simpan semua ini untuk
pemakamanmu nanti, Johan. Dan, perhatikan GBP-mu."
Johan memeriksa laptopnya dan tertawa. "Aku untung 80
poin," dia berkata seraya menutup transaksi yang sedang dilakukannya.
110 Metropolis.indd 110 Aretha melangkah menghampiri meja panjang di salah satu
sisi ruangan. Perempuan itu menyiapkan segelas air mineral dan
mengeluarkan beberapa butir tablet dari sejumlah botol obat yang
ada di atas meja. "Indira sedang menemui klien di luar kota," Aretha
memberi tahu sambil menyodorkan air dan tablet-tablet tersebut
kepadanya. Johan tidak menanggapi pemberitahuan Aretha. Diambilnya
air mineral dan obat yang diberikan oleh Aretha, lalu ditelannya
tablet-tablet itu. Dia tahu Indira tidak akan menolak permintaannya untuk bertemu, kecuali perempuan itu mendapat halangan.
Indira tidak akan mengecewakannya. Kendati demikian, dia tetap
mematikan lampu apartemennya dan memutar musik Nouvelle
Vague karena kesendiriannya perlu dirayakan.
Selesai meminum obat, Johan menyerahkan kembali gelas
airnya kepada Aretha. Aretha memberinya selembar kertas ukuran
A4 sebagai balasan. "Apa ini?" tanya Johan. Dia memeriksa kertas
tersebut. Di permukaan kertas itu, tertera nama depan ayahnya
yang ditulis besar-besar menggunakan spidol hitam.
"Dune menemukan itu di rumah Soko Galih."
"Lalu?" "Soko Galih mengirim faks kepada polisi."
Johan tersenyum. Dia menanggapi Aretha dengan tenang,
"Berarti, tidak lama lagi polisi akan menemukan kita. Kau harus
bergerak lebih cepat, Nyonya. Waktu kita menipis."
Aretha mendengus kesal. "Enak sekali kau bicara," protes
perempuan itu. 111 Metropolis.indd 111 Tawa Johan kembali pecah. Johan bangkit berdiri dari tempat
duduknya. Dihampirinya jendela di hadapannya. Matanya menatap
bayangan dirinya sendiri yang terpantul di kaca jendela itu. "Hanya
tersisa tiga," dia berbisik seolah-olah sedang berbicara kepada
bayangannya. "Tidak lama lagi semua ini berakhir."
"Johan," Aretha memanggilnya dengan suara pelan yang
mencerminkan kekhawatiran. "Gilli berhasil kubungkam, tapi Ferry
Saada tidak akan melepaskanmu semudah itu. Begitu juga dengan
tiga yang tersisa. Blur dan Shox bukan lawan yang mudah. Apalagi
sekarang polisi sudah ikut campur. Saat ini posisimu tidak aman lagi.
Aku tahu kau tidak suka mendengar ini, tapi kau perlu memikirkan
kemungkinan untuk berhen...."
"Aku tidak akan berhenti." Johan tidak membiarkan kalimat
Aretha selesai. Suaranya sendiri berubah geram. Dia menoleh ke
arah perempuan itu. Tatapannya membuat perempuan itu menelan
ludah. "Aku tidak akan berhenti, kecuali dua belas orang itu sudah
membayar utang mereka," dia bersikeras.
Aretha tidak mencoba berdebat dengannya. Alih-alih memperkeruh suasana, perempuan itu memaksakan diri untuk ter"
senyum dan mengganti topik pembicaraan mereka untuk mencairkan ketegangan.
Kata Aretha, "Ada orang yang mengikutiku sejak aku meninggalkan Metropolis."
Topik itu berhasil membuat suasana kembali seperti semula.
Johan bertanya dengan nada bicara yang sudah jauh lebih tenang,
"Polisi atau Sindikat 12?"
"Aku tidak tahu siapa dia dan bagaimana dia menemukan
Metropolis." 112 Metropolis.indd 112 "Pasti Dune yang memancingnya," tebak Johan. Dia menutup
tirai jendela di hadapannya dan merapikan laptopnya. "Cari tahu
saja siapa perempuan itu. Nanti, biar aku yang mengurusnya," dia
memberi instruksi sambil menghampiri pemutar CD yang diletakkan di salah satu sudut ruangan, lalu dibiarkannya perangkat itu
kembali melantunkan lagu dari Nouvelle Vague.
113 Metropolis.indd 113 10. Juli 1991 ada pertengahan tahun 1991, tepatnya pada bulan Juli, terjadi
penghapusan besar-besaran dalam tubuh organisasi pim"pinan
Frans Al. Rumah Frans Al diserang. Bos mafia itu dan seluruh
anggota keluarganya dibakar hidup-hidup. Beberapa basis yang
menjadi tulang punggung organisasi tersebut direbut, kemudian
orang-orang penting yang mendudukinya ditembaki setelah diberi
kesempatan melakukan perlawanan yang tidak berarti. Hanya dalam satu malam, organisasi kejahatan yang menguasai sebagian
besar bisnis narkotika di Jakarta itu runtuh.
Polisi tidak bisa berbuat apa-apa kala itu, selain membereskan mayat-mayat di TKP pada keesokan harinya dan membuat
laporan yang pada akhirnya hanya disimpan selama belasan tahun
dalam lemari arsip. Pelaku pembunuhan Frans Al tidak pernah ter"
ungkap. Polisi sempat memiliki dugaan-dugaan dan menghubunghubungkan peristiwa itu dengan munculnya Sindikat 12, tetapi
114 Metropolis.indd 114 mereka tidak mampu berbuat lebih banyak untuk menindaklanjuti
kecurigaan mereka. Erik menemukan laporan mengenai kejadian nahas tersebut
dalam gudang arsip lama milik Polda. Dia menghabiskan waktu yang
tidak sebentar untuk berkutat dengan map-map berdebu. Dia tidak
keluar dari kantornya selama hampir 36 jam; selain butuh mandi,
dia juga butuh kepala baru. Untunglah kerja kerasnya memberi hasil
sebelum dia ambruk karena terlalu banyak melihat huruf. Selain
laporan insiden Juli 1991, dia menemukan sejumlah catatan penting
lain yang mungkin bisa memberitahunya sesuatu.
Sebuah berkas lama milik Sat Reserse Tipiter (kini kesatuan itu
berubah menjadi direktorat dan dinamai Reskrimsus) yang ditulis
pada September 1991, beberapa bulan setelah Frans Al meninggal, menyebut-nyebut nama Leo Saada sehubungan dengan kasus
penyelundupan obat terlarang. Pada saat itu, agak-agaknya Geng
Saada belum berkembang seperti sekarang karena penyelundupan
yang dilakukan oleh Leo hanya melibatkan lima kilogram kokain.
Itu jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan total kokain
yang diperkirakan beredar di Jakarta pada masa itu.
Dalam berkas lainnya, ditulis pada Desember 1991, giliran
nama Blur, Shox, dan Maulana Gilli yang tercantum. Ketiga bos mafia itu dilaporkan melakukan transaksi ilegal di Penjaringan, daerah
yang kini menjadi salah satu basis organisasi Blur. Mereka bertemu
selama beberapa menit untuk saling bertukar isi bagasi mobil tanpa
banyak bicara. Seorang reserse menyaksikan kejadian itu secara
langsung, tetapi tidak berani bertindak apa-apa selain sembunyi di
balik gerobak sampah dan membiarkan buronan-buronannya lari
menikmati uang haram mereka.
115 Metropolis.indd 115 Sindikat 12 sama sekali tidak disinggung oleh kedua berkas
tersebut. Nama aliansi geng-geng pengedar narkotika Jakarta
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu muncul pertama kali dalam laporan kepolisian pada awal 1992
melalui kesaksian seorang pengedar yang ditangkap polisi. Itu
pun hanya disebutkan secara selintas dan interogator yang kala
itu bertugas tidak menyelidiki lebih lanjut. Memasuki tahun 1994,
barulah nama Sindikat 12 melejit dan memenuhi lemari-lemari arsip
milik Polda Metro Jaya. Fakta yang paling menarik seputar Frans Al dan Sindikat 12
justru ditemukan melalui sejumlah laporan berbeda keluaran Mei
1991, Januari 1991, dan Oktober 1990. Nama Leo Saada, Blur,
Shox, dan sejumlah nama pemimpin sindikat 12 lainnya ternyata
sudah dikenal oleh polisi. Menurut catatan Sat Reserse Narkotika,
pada masa-masa itu mereka masih bergerak di bawah lindungan
organisasi kejahatan milik Frans Al. Posisi mereka dalam geng
tersebut cukup baik kendati tidak menduduki basis-basis penting.
Mereka selamat dari insiden Juli 1991, pastinya, karena mereka tidak
termasuk dalam daftar orang-orang kepercayaan Frans Al yang
harus disingkirkan. Setelah kejadian nahas tersebut, Leo Saada dan
kawan-kawannya mengambil alih jaringan peninggalan Frans yang
terbengkalai, kemudian mendirikan organisasi-organsasi baru dan
selang beberapa tahun mereka membentuk aliansi untuk mencegah
geng-geng mereka berseteru satu sama lain.
Erik tertegun mengetahui itu semua. Agaknya dugaan Bram
benar. Sindikat 12 bertanggung jawab atas kematian Frans Al.
116 Metropolis.indd 116 "Frans Al masih punya jaringan di Kanada. Tidak besar, tapi ada."
Ferry berkata sambil memasukkan kacang ke mulut. Lelaki
berdarah Sulawesi itu menuangkan minuman untuk mereka, anggur
merah Bordeaux keluaran Mouton apalah yang harga satu botolnya
senilai dua kali gaji inspektur polisi di Polda Metro Jaya. Bram sempat menolak karena dia sedang tidak ingin minum alkohol. Ferry
tetap mengisi gelas milik Bram kendati demikian.
Saat ini, mereka berada di sebuah restoran kepunyaan keluarga
Saada di Jalan Sabang, di mana Bram bisa menemukan Ferry ber"
karaoke sambil minum-minum ditemani setengah lusin perempuan
sehari-harinya. Bram dan Ferry mengobrol dalam bilik khusus yang
dapat dia masuki karena Bram mengenal dua generasi bos Saada.
Mereka tidak sendiri. Ferry membawa serta dua perempuan cantik
bertubuh model yang sejak tadi tidak bisa menjaga sikap. Bram
tidak terkejut. Bukan sekali ini saja dia mendapat jamuan ekstra
dan memang seperti itulah gaya hidup Ferry. Karenanya, dia bisa
mengerti kenapa anak Leo itu tidak pintar berbisnis. Pastilah sulit
menghitung untung-rugi jika disambi memikirkan hal lain.
"Frans punya koneksi dengan Lotus di Vancouver," Ferry
melanjutkan pembicaraan mereka. "Sudah sejak lama. Dia pernah
mengirim orangnya ke sana untuk bikin basis. Basis itu masih ada
sampai saat ini, tapi tidak lagi memakai nama Frans. Sekarang
mereka menjadi bagian dari Lotus."
"Bagaimana dengan jaringan Frans di dalam negeri?"
"Itu yang aku belum tahu. Kecil kemungkinannya, Bram.
Maksudku, aku belum pernah dengar nama Frans sampai kau menyebutkannya. Kalau memang ada, pasti mereka mengganti nama
geng mereka," kata Ferry.
117 Metropolis.indd 117 Lawan bicaranya itu meraih gelasnya, kemudian bertanya,
"Kenapa" Kau menduga geng Frans Al yang membunuh ayahku?"
"Kau punya dugaan lain?" Bram bertanya balik.
Dia lihat Ferry tidak bisa menjawab, maka diberikannya penjelasan panjang-lebar untuk anak Leo itu, "Organisasi Frans hancur
oleh ayahmu dan teman-temannya. Mereka mengira sudah menghabisi semua yang perlu disingkirkan. Tapi jaringan Frans sangat
besar, Ferry. Mereka pasti meluputkan seseorang"atau beberapa,
lalu orang itu melarikan diri ke Kanada, dan sekarang sindikat kalian
harus membayar utang lama."
Ferry meringis, lalu menenggak minuman di tangannya sampai
habis. Wajah lelaki itu berubah kusut seperti polisi yang kepergok
korupsi. Bram bisa memahami kegelisahan Ferry. Siapa pun akan
jeri mendengar nama Lotus, apalagi jika harus berurusan dengan
geng dari Vancouver itu. "Aku butuh informasi lebih banyak lagi tentang Frans," Bram
berkata lagi. "Kau bisa mengusahakannya?"
Ferry kembali meringis. "Informasi apa lagi, Bram" Bagaimana
dengan bukti penyelundupan yang kau tahan?" lelaki itu bertanya
dengan sewot. Bram tertawa. "Tenang, Ferry. Kita bicarakan itu setelah urusan
Frans ini beres," bujuknya. "Kita perlu nama, orang-orang yang
berpengaruh dalam jaringan Frans di Vancouver, dan pergerakan
mereka. Kita perlu tahu juga apakah mereka kembali ke Jakarta
dalam dua tahun terakhir ini."
Dia berhasil meyakinkan Ferry untuk melakukan apa yang dia
ingin lelaki itu lakukan. Pembicaraan mereka berakhir tidak lama
118 Metropolis.indd 118 setelah itu. Dia keluar dari restoran milik keluarga Saada. Dia biarkan
anggur Mouton apalah miliknya tidak tersentuh dan dia tinggalkan
Ferry bersama dua biolanya.
Mobilnya baru saja akan meninggalkan halaman parkir kala
dia melihat Gilli dan beberapa orang kroconya keluar dari sebuah
mobil kapsul. Rupanya Gilli juga menyadari keberadaannya. Klon
Andy Lau itu melempar senyum ke arahnya, kemudian menghampiri
mobilnya dengan dagu terangkat.
"Habis karaokean, Pak Polisi?" Gilli menyapa sambil mem"
bungkukkan tubuh agar posisi kepalanya sejajar dengan jendela
mobil. Bram tidak menjawab. Dia menurunkan kaca jendela mobilnya.
"Ada urusan dengan Saada?" tanyanya balik.
Gilli tersenyum lebar. "Cuma mau main-main sebentar," kata
lelaki kurus itu. "Tenang, Pak. Aku tidak akan bikin masalah."
"Lucu, Gilli! Kau kira aku percaya?" Bram membalas seraya
menatap Gilli dengan sorot tajam.
Tatapannya justru membuat senyum di wajah Gilli mengembang. Bos mafia yang banyak lagak itu menjawab dengan santai,
"Kau boleh ikut masuk kalau tidak percaya. Aku cuma butuh lima
menit untuk ngobrol dengan Saada."
Saat Gilli menemuinya dan berkata tidak ingin lagi ikut campur
dalam masalah yang sedang mereka hadapi, Ferry merasakan
kepalanya seakan-akan diimpit oleh dua buah dinding hingga
jaringan otaknya berhamburan keluar, dan yang bisa dia lakukan
hanya mengumpat sepenuh hati sambil berharap Gilli hanya
119 Metropolis.indd 119 bergurau. Tetapi tidak. Gilli tidak sedang bercanda dengannya. Gilli
memang suka bermain-main, tetapi tidak dengan tampang serius
seperti yang tadi lelaki itu perlihatkan.
"Kukatakan kepadamu, Kawan. Masalah ini terlalu berbahaya.
Lebih baik kita mundur. Itu lebih bijak," begitu kata Gilli tadi. Lelaki
itu menolak memberi penjelasan lebih detail saat Ferry bertanya.
Ferry tidak tahu apa yang terjadi. Selama ini, dia mengira Gilli
ingin pembunuh Maulana ditemukan. Lelaki itulah yang pertama
kali mengajaknya bersekutu. Lelaki itu juga yang punya ide
mengumpulkan empat pemimpin sindikat 12 yang tersisa, tetapi
kenapa tiba-tiba dia berubah pikiran"
"Kau diancam seseorang?" Ferry sempat bertanya seperti
itu. Gilli tertawa dengan nada yang janggal. Kata lelaki itu lagi,
"Dengar. Aku akan mundur. Terserah bagaimana dengan kau, tapi
ada hal yang lebih penting untuk kau pikirkan."
Ferry mendengus. "Apa yang lebih penting daripada kematian
ayahku?" "Kepalamu, tentu saja. Apa kau tidak tahu Blur ingin me"
nyingkirkanmu" Si muka lonjong itu tidak menyukaimu, Kawan. Aku
tidak menyalahkannya, kau memang tidak becus ngurus geng. Dan,
kau tahu Blur. Dia pernah menyingkirkan pemasok dari Thailand
cuma gara-gara tampang orang itu bawa sial. Mundur saja, Kawan.
Percaya kepadaku." Tidak. Ferry akui dirinya memang tidak terampil berbisnis, tetapi dia
bukan pengecut. Lagi pula, Blur tidak bisa begitu saja menyingkir120
Metropolis.indd 120 kannya. Ferry adalah ahli waris tunggal. Selain dia, Geng Saada
tidak punya pemimpin lain. Dia tahu betapa pentingnya kedudukan
gengnya di dalam Sindikat 12. Silakan saja Gilli lari dan sembunyi.
Sementara itu, dia akan menemukan pembunuh ayahnya dan
membakar bajingan itu hidup-hidup.
Jika apa yang Bram pikirkan benar, Sindikat 12 bertanggung
jawab atas insiden Juli 1991 dan kini geng Frans Al menuntut balas
karena hal itu, maka"seperti yang dia katakan kepada Ferry tadi"
seharusnya ada pergerakan yang terjadi dari Vancouver ke Jakarta
dalam beberapa tahun belakangan ini. Bram sudah memeriksa
lewat agen travel, tidak ada penerbangan one stop dari Vancouver
ke Jakarta. Orang harus terbang ke Hong Kong terlebih dahulu,
baru kemudian mengambil penerbangan kedua. Hanya ada dua
penerbangan yang berangkat dari Vancouver menuju Hong Kong
setiap harinya, tetapi Hong Kong memiliki penerbangan ke Jakarta
tiga kali lebih banyak dari itu.
"Enam penerbangan dikalikan dua tahun bukan angka yang
kecil, Bram." Bram cuma tersenyum saat dikomentari begitu oleh Erik.
Dia mengisap rokok di tangannya dengan tenang. Samar-samar,
didengarnya suara langkah peronda yang melintas di depan rumahnya. Dia melirik ke arah jam yang tergantung di dinding ruangan,
kemudian matanya ganti menatap Erik. Asistennya itu sedang menyeruput kopi panas sambil mengenakan kaus oblong dan celana
olahraga yang dia pinjamkan.
121 Metropolis.indd 121 Sebenarnya Bram tidak biasa membawa masuk perempuan ke
rumahnya, terlebih jika perempuan itu adalah rekan sekerja, tetapi
hari ini Erik menolak ditemui di kantor. "Sudah dua hari aku tidak
keluar kantor. Aku bisa muntah kalau harus berada di sana lebih lama
lagi," begitu dalih Erik di telepon tadi. Asistennya itu juga berkata
butuh tempat untuk mandi dan pinjaman pakaian, maka Bram
tidak punya pilihan selain mengajak polwan itu ke rumahnya. Lagi
pula, dia tidak percaya perempuan senaif Erik bisa membuatnya
kehilangan akal sehat saat mereka sedang berduaan"dalam situasi
seperti apa pun. Mengenai apa yang sedang mereka diskusikan, Erik benar.
Mustahil mereka bisa melacak pergerakan geng Frans Al tanpa in"
formasi lebih lanjut dari Ferry Saada meskipun mereka memiliki se"
tiap nama yang datang dari Vancouver ke Jakarta. Kendati demikian,
Bram tetap berkata kepada asistennya, "Kumpulkan saja namanama itu, Erik. Kita lihat nanti apa yang bisa kita temukan."
Erik menghela napas dengan berat, kemudian menjawab, "Kita
butuh surat dari Pengadilan Negeri untuk itu."
"Tidak. Itu terlalu lama," sela Bram. "Sindikat 12 keburu habis
sebelum Angkasa Pura mau buka mulut. Aku kenal orang dalam.
Akan kuberikan nomornya kepadamu."
"Tapi itu melanggar prosedur," protes Erik.
Bram mematikan rokoknya sambil mencibir. Sudah dia duga
Erik akan berkata semacam itu. Apa yang bisa dia harapkan dari
polisi yang belum lama bekerja di lapangan" "Kita sedang ber"
hadapan dengan mafia. Percayalah, kau tidak bisa melawan mereka
dengan buku panduanmu," ucapnya.
122 Metropolis.indd 122 Dia mengambil pensil dan secarik kertas, lalu menuliskan
sebuah nama dan serangkai angka. Diberikannya kertas tersebut
kepada Erik. Dia melanjutkan perkataannya, "Setelah menghubungi
orang ini, aku ingin kau memeriksa tempat tinggal Miaa. Dit
Reskrimsus pasti punya alamat perempuan itu walau aku ragu dia
masih tinggal di sana. Lakukan saja apa yang perlu kau lakukan."
"Baik. Ada lagi?"
Kali ini, Erik mengiyakan dengan patuh. Bram bisa lihat asistennya itu sudah lelah. Dia tahu bagaimana rasanya berkutat di
gudang arsip selama dua hari"semua polisi pernah mendapat tugas
sialan seperti itu. "Ya. Ambil cuti sehari. Kau butuh tidur, Erik."
123 Metropolis.indd 123 11. Seorang Saada rik mencoba mengambil cuti seperti apa yang disarankan
oleh Bram. Dia tidak repot-repot mengeset alarm di ponsel
semalam. Dia berencana bangun siang hari ini walaupun pada
akhirnya dia tetap bangun pukul 06.00 seperti biasa. Erik mengisi
paginya dengan menyikat lantai kamar mandi, mengatur ulang letak
perabot-perabot di ruang tamunya, dan memotong dahan pohon
di halamannya yang menjorok ke luar pagar. Saat dia mengambil
tangga lipat untuk memeriksa atap rumahnya yang bocor, barulah
dia bertanya untuk apa sesungguhnya dia cuti, dan satu jam kemudian dia sudah berada di ruang Dit Reskrimsus"membongkar lemari
arsip lama milik direktorat itu dan mencatat alamat yang tercantum
dalam data salah seorang bekas reserse mereka.
Kini, dia berdiri di depan sebuah rumah tipe 36 di daerah Rawamangun yang pintu dan jendela-jendelanya tertutup rapat. Rumah
itu berada di ujung sebuah jalan kecil yang nyaris tidak bisa dilewati
124 Metropolis.indd 124 oleh mobil, berdempetan dengan rumah-rumah lain yang kurang
lebih berukuran sama, tidak memiliki halaman depan (teras rumah
itu hanya berjarak setengah meter dari jalan), tidak berpagar, dan
tampak tidak terawat seperti rumah yang sudah lama tidak ditinggali. Menurut catatan di tangannya, Miaa tinggal di rumah itu.
Erik melompati selokan selebar setengah meter yang menjadi
batas antara jalan umum dan lahan pribadi. Dia menghampiri
pintu depan rumah tersebut. Sejumlah koran berserakan di kaki
pintu bersama beberapa amplop surat. Dia berjongkok untuk
menjangkau sebuah surat yang ditujukan kepada Miaa. Pengirim
surat itu adalah pusat rehabilitasi jiwa yang terletak di Cibubur.
Dicatatnya alamat pengirim, hanya itu yang bisa dia lakukan tanpa
surat izin Pengadilan Negeri, lalu dia juga memeriksa koran-koran
yang ikut terserak bersama surat tadi. Sebagian dari koran-koran
itu rusak karena kebasahan. Koran terlama yang ada di situ terbit
lima hari lalu. "Eh, eh, eh! Cari siapa, Dek?"
Suara tinggi seorang perempuan membuat Erik terperanjat.
Buru-buru dia bangkit dan menoleh. Perempuan yang memanggilnya barusan berdiri di seberang selokan sambil memperhatikannya
dengan mata mendelik. Erik menjawab pertanyaan perempuan itu dengan canggung,
"Saya cari Miaa, Bu. Benar ini rumah dia?"
"Iya, iya. Cari Miaa sih boleh-boleh saja, tapi jangan pakai
periksa-periksa surat orang, dong. Emangnya kamu polisi?"
Dihardik seperti itu, Erik semakin salah tingkah. "Maaf," ucapnya. Dia melangkah menjauhi pintu, kemudian dihampirinya perempuan yang masih mendelikkan matanya itu. "Ibu ini adalah...."
125 Metropolis.indd 125 "Saya ibu kos Miaa," perempuan itu menjawab dengan dagu
terangkat. "Emang Adek ini kenal Miaa di mana?"
"Sa... saya?" Erik gagap ditanyai begitu. Dia menjawab se"
kenanya, "Em... di tempat kerja, Bu."
"Oooh. Teman kerja. Miaa kerja apa, sih?"
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Em... kerja... jaga toko."
"Toko?" Alis si Ibu Kos berkerut. Mata perempuan itu menatap
Erik penuh selidik. "Toko 24 jam ya?"
"Em... iya. Iya, Bu."
Entah kenapa, jawaban Erik barusan membuat lawan bicaranya
mengangguk-angguk puas seakan-akan perempuan itu baru memahami sesuatu. "Pantas saja anak itu sering pulang pagi. Kebagian
jaga malam ternyata," kata ibu kos Miaa yang menggerenyotkan
mulutnya. "Miaa tidak ada di rumah, Bu?" giliran Erik yang bertanya.
Wajah perempuan di hadapannya berubah sewot. "Anak itu
hampir seminggu tidak pulang. Ibu tidak tahu dia ngelayap ke
mana," perempuan itu menjawab sambil menggerutu. "Pusing
mikirin anak itu, Dek. Kamu bilang deh ke dia, jangan bikin orang
senewen terus-terusan."
Ibu kos Miaa pergi setelah menyelesaikan kalimatnya dan
Erik bisa menarik napas lega. Perempuan yang baru dia temui itu
mengingatkannya kepada ibu-ibu tambun penjual nasi uduk di
kantin Polda yang tidak suka diutangi. Mulutnya selalu bergerakgerak. Kalau bukan sedang mengunyah sesuatu maka dia tengah
menggerutu, barangkali menyumpahi suaminya atau polisi-polisi
yang belum membayar utang kepadanya.
126 Metropolis.indd 126 Begitu situasi sudah kembali aman, Erik meraih ponselnya
dan buru-buru menghubungi Bram. "Saat ini aku di depan rumah
Miaa," lapornya. "Kukira kau sedang cuti."
"Kukira juga begitu. Aku tetap bangun jam enam pagi, padahal
tidak pasang alarm."
Atasannya tertawa mendengar keluhannya barusan. "Jadi,
sekarang kau di depan rumah Miaa?" tanya Bram.
"Ya. Ini benar rumahnya, tapi dia tidak ada. Ibu kosnya bilang,
dia sudah lama tidak pulang."
"Dia pasti akan kembali. Sementara ini, kau jaga-jaga saja di
sekitar rumah itu. Kalau bisa, cari cara untuk masuk."
Erik mendengus. Bram bisa bicara seringan itu karena bukan
dia yang akan memasuki rumah orang dan kena hukum jika ketahuan. Kendati demikian, Erik tahu tidak ada gunanya mendebat
seorang Agusta Bram maka dia mengiyakan saja. "Satu lagi, Bram.
Miaa mendapat surat dari pusat rehabilitasi jiwa di Cibubur. Apa
kita perlu memeriksa tempat itu?"
Bram menjawab segera, "Berikan alamatnya kepadaku."
Nama Aretha, perempuan yang ditemui oleh lelaki bertato dune
di Metropolis, didapatkan oleh Miaa dari salah seorang se"orita.
Se"orita itu juga berkata kepadanya bahwa kedua orang tersebut,
Aretha dan lelaki buruannya, bertemu secara rutin di pub itu selama
satu tahun belakangan ini"satu atau dua kali setiap bulannya.
Yang kedua orang itu lakukan setiap kali bertemu, kata se"orita
127 Metropolis.indd 127 itu lagi, tidak jauh berbeda dari apa yang Miaa lihat pada malam
itu: mereka duduk bersebelahan di meja bar, memesan dua gelas
minuman yang berbeda, berbicara satu-dua patah kata, kemudian
saling bertukar sesuatu. Kali itu, lelaki bertato dune memberi lawan
bicaranya secarik kertas terlipat dan Aretha menyerahkan amplop
cokelat ukuran folio sebagai gantinya. Tidak sampai setengah jam,
urusan mereka selesai. Lelaki bertato dune pergi lebih dahulu dan keluar lewat pintu
belakang. Sementara itu, Aretha tinggal lebih lama untuk meng"
habiskan minuman dan melanjutkan obrolan santainya dengan
bartender. Setengah jam kemudian, barulah perempuan itu beranjak
dari Metropolis. Miaa berspekulasi dengan tidak mengikuti kepergian lelaki bertato dune. Alih-alih melakukan itu, dia memilih mengawasi Aretha.
Dia menduga lelaki yang semula menjadi buruannya hanyalah orang
suruhan, barangkali pembunuh bayaran, dan sosok yang berada di
balik lelaki itu"serta bertanggung jawab atas kematian sembilan
pemimpin sindikat 12"bisa jadi adalah Aretha. Kalaupun dugaannya
salah dan ternyata Aretha bukan dalang dari semua ini, maka Miaa
percaya setidaknya perempuan itu akan mengarahkannya kepada
petunjuk yang lebih besar.
Mobil yang membawa pergi Aretha dari Metropolis bertolak
ke arah selatan. Miaa membuntuti mobil itu dengan sepeda motor.
Mereka melalui perjalanan selama kurang lebih satu jam, menyusuri
Sudirman, Pondok Indah, dan TB Simatupang. Dia dibawa ke sebuah
apartemen mewah di daerah Cilandak.
128 Metropolis.indd 128 Apartemen itu berwujud bangunan panjang setinggi lima lantai
yang terdiri dari tiga puluh atau empat puluh unit, dikelilingi taman
hijau dan pohon-pohon hias, serta memiliki lapangan parkir yang
cukup besar untuk menampung sekitar dua puluh mobil. Dinding
yang memagari halaman apartemen itu dilapisi batu alam dan dipasangi lampu taman setiap jarak lima meter. Sopir yang membawa
mobil menurunkan Aretha di depan lobi, kemudian Aretha masuk
ke gedung, naik ke lantai atas menggunakan elevator, dan hanya
sejauh itulah Miaa bisa membuntutinya karena tidak seorang pun
dapat memasuki area hunian tanpa kartu khusus.
Di belakang apartemen mewah tersebut, terdapat sebuah
lingkungan tempat tinggal buruh bangunan seluas dua RT yang
agak kumuh. Rumah-rumah yang ada di lingkungan itu kebanyakan
terbuat dari papan kayu sisa proyek, beratap seng, berukuran kecil
(hanya mampu memuat empat atau lima orang), dan berdiri saling
berdempetan di atas tanah merah, menciptakan gang-gang sempit
yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki. Di sanalah Miaa menyewa
sebuah kamar dan berdiam untuk beberapa hari ke depan selama
masa pengintaiannya. Dia tidak sempat kembali ke rumah kosnya
di Rawamangun untuk mengambil laptop dan sejumlah berkas. Jika
perkiraannya tidak keliru, dia sudah begitu dekat dengan apa yang
dicarinya saat ini, maka dia tidak ingin mengambil risiko kehilangan
apa yang sudah didapatkan hanya karena dirinya lengah.
Aretha keluar dari apartemen keesokan paginya, juga pada
hari-hari berikutnya, dan meninggalkan gedung dengan mobil dan
sopir yang sama. Setiap hari, perempuan itu pergi ke sebuah gedung
perkantoran di sisi Jalan Sudirman, lalu berdiam di dalam gedung
129 Metropolis.indd 129 itu sampai sore selayaknya pekerja kantoran kebanyakan. Sesekali,
perempuan itu keluar pada pertengahan hari, untuk makan siang
di restoran yang tidak memiliki tempat parkir sepeda motor atau
untuk kembali lebih cepat ke apartemennya.
Satu kali Miaa mendapati Aretha keluar dari apartemen
bersama seorang lelaki muda berkulit pucat yang tampak lemah.
Sebelumnya Miaa tidak pernah melihat lelaki itu memasuki gedung,
atau mungkin dia sedang tidak memperhatikan. Keduanya pergi
bersama menggunakan mobil yang setiap hari membawa Aretha
ke Sudirman. Miaa tidak tahu ke mana dua orang itu pergi. Mobil
tersebut masuk ke jalur bebas hambatan dan baru terlihat lagi
selang empat jam saat dua orang itu kembali ke apartemen.
"Saada." Suara Ju langsung terdengar begitu Ferry menerima panggilan masuk dengan ponselnya. Saat ini, dia sedang berada di ruang
kerja ayahnya"yang tentu saja kini menjadi miliknya sendiri, duduk
santai di kursi kulit yang sandarannya betul-betul nyaman sambil
mengudap kacang dan menikmati sepasang kaki jenjang perempuan di pangkuannya.
Ju berkata kepadanya, "Informasi yang kau minta sudah ada. Si
Miaa itu mantan polisi, kalian tahu?" Nada bicara Ju terdengar santai.
Ferry bisa membayangkan penjual informasi itu menghubunginya
sambil bermain game online.
"Ju, kalau cuma itu informasi yang kau punya, aku bisa cari
sendiri," dia mengejek sembari menertawakan Ju.
130 Metropolis.indd 130 Ju balas tertawa. "Tertawalah selagi bisa, Saada. Aku sedang
mengirim faks kepadamu. Setelah membacanya, kau tidak akan bisa
tidur tenang lagi." "Apa maksudmu?"
Ju tidak menjawab. Penjual informasi itu mengakhiri pembicaraan mereka tanpa basa-basi. Sejurus kemudian, mesin faks di
hadapan Ferry berbunyi. Lelaki muda yang dilihat Miaa tempo hari muncul di lobi, membawa
laptop dan mengenakan pakaian santai: kaus lengan panjang putih
dan celana jeans hitam. Kala itu, Miaa tengah berada di ruangan
yang sama dan duduk di sebuah sofa panjang sambil membaca
koran, berlagak seolah-olah dia salah satu penghuni apartemen.
Lelaki itu berbicara dengan penjaga lobi, mungkin untuk meminta
bantuan car call, kemudian"seraya menunggu kendaraannya
datang"dia mengambil tempat di sebelah Miaa. Mereka sempat
bertemu pandang dan saling melempar salam basa-basi, lalu lawan
bicaranya menyibukkan diri dengan sebuah majalah.
Miaa mencuri lihat untuk memperhatikan lelaki di sebelahnya. Lelaki itu memiliki wajah elok yang lebih pas dikatakan cantik
daripada tampan, seperti wajah yang dimiliki kebanyakan artis
Asia Timur yang banyak digandrungi remaja akhir-akhir ini. Kulitnya bersih dan betul-betul pucat seolah-olah dia jarang terkena
matahari. Tubuhnya ramping. Rambutnya agak panjang serta kecokelatan karena dicat. Boleh dibilang, bagi sebagian perempuan
(dia bersikeras bahwa dirinya tidak termasuk), lelaki itu merupakan
pemandangan bagus. 131 Metropolis.indd 131 Beberapa hari lalu pegawai lobi berkata kepadanya"setelah dia
pancing dengan berbagai cara"bahwa lelaki muda itu tinggal bersama Aretha dalam satu unit yang sama. Kendati demikian, kedua
orang itu bukan pasangan, pegawai yang memberinya informasi
berani memastikan hal itu. Petugas kebersihan yang biasa membongkar tempat sampah mereka tidak pernah menemukan kondom
bekas pakai dan pegawai laundry mengaku tidak mendapati seprai
dua orang itu berbau. Kedua orang itu juga bukan kerabat. Jarak usia
mereka terlalu dekat untuk menjadi ibu dan anak, kecuali Aretha
mengalami persalinan di usia belasan tahun dan karakter wajah
mereka tidak mirip sama sekali untuk memiliki hubungan darah.
Lantas, jika Aretha dan lelaki itu bukan pasangan dan bukan
pula kerabat walau tinggal bersama, apa hubungan mereka"
"Kurasa keamanan gedung ini perlu dibenahi," lelaki di sebelah
Miaa berkata tiba-tiba. Miaa menghapus lamunannya. Dia menatap orang yang
mengajaknya bicara. "Maaf?"
"Belakangan banyak orang tidak dikenal keluar masuk tempat
ini," kata lelaki itu lagi. "Dan itu betul-betul membuat resah karena
kita tidak tahu apa yang mereka rencanakan."
Lalu, lelaki itu membalas tatapannya, memberikan sorot mata
yang menghunjam seraya memperlihatkan segaris senyum penuh
arti, seolah-olah dia tahu telah dimata-matai dan sekarang sedang
menangkap basah Miaa. Miaa sempat gentar, tetapi dia buru-buru
menepis perasaan itu. "Apa kau tidak merasa berlebihan?" ujarnya.
132 Metropolis.indd 132 Lelaki di sebelah Miaa tertawa mendengar ucapannya barusan.
Dia melirik ke arah pintu lobi. "Ah. Mobil kita sudah datang. Ikut
denganku sebentar, Miaa. Ada yang perlu kita bicarakan," ajak
lelaki itu. Dia bangkit berdiri, lalu melangkah keluar ruangan untuk
menghampiri kendaraan yang dimaksud, sebuah sedan Eropa
keluaran lama yang masih sangat terawat.
Miaa mengikuti lawan bicaranya. Dia dibukakan pintu oleh
lelaki itu dan dipersilakan masuk ke kendaraan terlebih dahulu.
Mereka duduk berdua di kursi belakang, kemudian sedan Eropa
tersebut bergerak meninggalkan gedung. Rasa gentar dalam dirinya
kembali muncul begitu Miaa mendengar namanya disebut-sebut
tadi. Dia sadar bahwa posisinya tidak bagus.
"Kau tahu namaku," dia melanjutkan pembicaraan mereka.
"Bukan cuma itu," lawan bicaranya berkata dengan santai
sambil menyalakan laptop. Untuk beberapa saat, lelaki itu me"
nyibukkan diri dengan grafik-grafik yang terpantul di monitor, yang
memperlihatkan pergerakan nilai mata uang tertentu.
"Kau sendiri, sudah sejauh apa kau tahu?" tanya lelaki itu kemudian di tengah-tengah kesibukannya.
Miaa menjawab, "Tidak banyak. Aku tidak tahu namamu."
Lawan bicaranya kembali tertawa. "Johan," ucap lelaki itu,
"itu namaku." "Johan" Johan Al?" Miaa mengucapkan nama itu dengan
suara gemetar. Nama itu tidak asing baginya. Johan adalah nama
putra sulung Frans Al, bos mafia legendaris yang menguasai bisnis
narkotika Jakarta pada tahun 80-an, yang konon ikut terbunuh pada
pertengahan 1991. 133 Metropolis.indd 133 Johan tersenyum. "Ternyata kau tahu cukup banyak. Bagaimana kau bisa menemukanku?"
"Kau membuat pola."
"Pola?" "1-12-2-11-3-10-4-9. Kau membunuh bos-bos mafia itu berdasarkan nomor wilayah mereka. Di luar rencanamu, BW mati
setelah Zuhdi kau bunuh. Dia overdosis. Dan jauh sebelum kau
memulai misimu, Maria mendapat serangan jantung. Sehingga,
urutan yang terbentuk berubah menjadi 3-1-12-2-8-11-10-4-9," jelas
Miaa panjang lebar, "aku tahu kalian akan membunuh Soko Galih
setelah Markus Haulussy. Karena itu, aku bisa berada di Rawasari
pada saat yang tepat. Di sana aku bertemu dengan lelaki bertato
dune. Dia membawaku kepada Aretha."
Hening sesaat setelah Miaa mengungkapkan semua itu.
Johan tampak terkejut. Lelaki itu menatap Miaa dengan mata
terbelalak yang menyiratkan rasa kagum. Grafik-grafik di layar komputernya terlupakan begitu saja. Dia tergelak sekali lagi. Setelah
tawanya mereda, dia berkata, "Sayang sekali kau adalah lawan."
"Lawan" Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
Johan tidak langsung menjawab. Lelaki itu merapatkan diri
ke arah Miaa hingga hidung mereka hampir bersinggungan dan
Miaa bisa merasakan napas lelaki itu menerpa wajahnya. Jantung
Miaa berpacu seperti kuda liar. Diam-diam, dia mengepalkan kedua
telapak tangannya, bersiap diri melakukan perlawanan kalau-kalau
Johan mencoba menyakitinya.
"Aku tahu siapa dirimu, Miaa. Kau mencariku bukan untuk
Sindikat 12. Kau mantan polisi, tapi kau juga tidak bekerja untuk
134 Metropolis.indd 134 mereka. Kau melakukan ini untuk dirimu sendiri," ucap lelaki itu.
"Karena, aku membunuh ayahmu. Karena, kau adalah seorang
Saada." Miaa menahan napas. Giliran Johan yang membuatnya tertegun sekarang.
"Sudah kukatakan, bukan cuma namamu yang kuketahui,"
lelaki itu berkata lagi sambil tersenyum lebar. "Bahkan, aku tahu
di mana ibumu berada saat ini. Barusan aku mengirim bingkisan
untuknya." Miaa tidak sempat memberi tanggapan. Mobil yang mereka
naiki berhenti mendadak di ujung Jalan TB Simatupang. Sopir yang
membawa kendaraan itu turun dan membukakan pintu untuk Miaa.
Johan meminta Miaa keluar dan"sebelum mereka berpisah"lelaki
itu berpesan, "Lebih baik kau menemui ibumu untuk memastikan
dirinya baik-baik saja."
Bram berada di dalam sebuah kamar tidur yang memiliki suasana
sendu. Pancaran lemah matahari sore masuk lewat jendela di sisi
ruangan, memberi warna jingga kepada setiap bidang di sekelilingnya dan menghangatkan udara yang dia hirup. Dia duduk di tepi
jendela itu, memandangi perempuan setengah baya di hadapannya
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tengah sibuk menggulung benang jahit. Wajah perempuan
itu tertunduk. Matanya menatap kosong ke arah lantai, sementara
bibirnya tidak berhenti tersenyum. Sesekali, bibir itu bergerak untuk
mengikuti alunan lagu yang terdengar dari pemutar kaset tua.
135 Metropolis.indd 135 Satu jam yang lalu Bram tiba di tempat itu, sebuah pusat
rehabilitasi jiwa di Cibubur yang Erik informasikan kepadanya.
Pada awalnya dia tidak tahu apa yang dia cari di sana. Dia hanya
mengikuti intuisi. Dia menemui dokter ahli yang mengepalai fasilitas
tersebut. Disebutnya nama Miaa dan di ruangan inilah dia berada
kini, duduk berhadapan dengan seorang pasien yang tidak bisa
menyadari keberadaan orang lain, ibu kandung Miaa.
Diliriknya jam yang melingkari pergelangan tangannya. Hari
hampir berakhir. Tidak ada informasi yang bisa dia gali di tempat ini,
perempuan di hadapannya jelas tidak akan bicara dan dokter-dokter
di fasilitas tersebut tidak tahu lebih banyak dari dirinya, tetapi entah
kenapa Bram tidak juga berniat pergi. Mungkin dia berharap lebih.
Dia berharap keberadaan perempuan setengah baya itu"entah
bagaimana caranya"bisa menjelaskan jati diri Miaa.
Pintu kamar terbuka pada saat Bram tengah memikirkan itu,
menimbulkan suara gaduh saat papan kayu tersebut melanggar
dinding. Miaa menghambur masuk dengan langkah terhuyung dan
napas memburu seperti seorang atlet lari yang baru saja menyelesaikan maraton. Perempuan itu terkejut saat melihat Bram berada
di dalam ruangan. Ada ketakutan terpancar dari wajah perempuan
itu, tetapi Bram tahu itu bukan disebabkan oleh dirinya.
Dugaan Bram benar. Keberadaannya diabaikan oleh Miaa.
Miaa berlari menghampiri ibunya, tangannya meraba-raba wajah
dan bahu perempuan tua yang masih sibuk bermain benang seolaholah dia sedang memastikan ibunya dalam keadaan baik. Setelah
merasa yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dia memeluk dan
menciumi ibunya sambil terisak.
136 Metropolis.indd 136 "Syukurlah," ucap Miaa berulang-ulang.
Bram tersenyum getir menyaksikan pemandangan di hadapannya. Dia berkata untuk menenangkan Miaa, "Ibumu baik-baik
saja." Miaa menatapnya dan bertanya, "Sudah berapa lama kau di
sini?" "Satu jam." "Apa ada orang yang mengantar bingkisan untuk ibuku?"
Bram menunjuk meja di sudut kamar. "Keranjang buah itu
sudah ada sejak aku datang," jawabnya.
Miaa menghampiri meja di sudut itu, lalu membuka bingkisan
yang dimaksud. Bram tidak melihat ada yang janggal dari benda itu.
Itu hanya sebuah keranjang rotan yang berisi bermacam-macam
buah segar. Akan tetapi, sepertinya Miaa memiliki pendapat lain.
Tanpa basa-basi dan mungkin demi mengenyahkan rasa takut,
perempuan itu membuang keranjang tersebut beserta isinya ke
tempat sampah yang terdapat di sebelah meja.
Melihat gelagat perempuan itu, mau tidak mau Bram merasa
curiga. "Siapa yang mengirim bingkisan itu?" tanyanya.
"Kau tidak perlu tahu."
"Aku bisa membantumu, Miaa. Kita bisa bekerja sama."
Miaa tersenyum sinis. "Aku bisa mengurus masalahku sendiri,"
kata perempuan itu. "Apa yang kau lakukan di sini" Bagaimana kau
bisa menemukan ibuku?"
"Kau tahu polisi. Kami mengendus apa saja," jawab Bram.
Bram beranjak dari tempat duduknya untuk memeriksa sendiri
bingkisan yang baru saja dibuang oleh Miaa. Dikeluarkannya keran137
Metropolis.indd 137 jang itu beserta isinya dari tempat sampah, ditatanya kembali buahbuah yang tercecer, dan dipastikannya tidak ada yang tertinggal.
"Kalau boleh, aku akan mengambil bingkisan ini," ujarnya.
Miaa tidak mencegahnya. Perempuan itu hanya berkata, "Kau
tidak akan menemukan apa-apa."
Bram cuek saja. Dia sudah terlalu sering mendengar peringatan
semacam itu, tetapi pada akhirnya toh dia selalu menemukan
sesuatu. Selicin apa pun lawannya, dia percaya dirinya tidak akan
kalah. "Kalau begitu, kenapa tidak kau katakan saja kepadaku,
Miaa" Siapa yang mengirim bingkisan ini?" balasnya.
Yang ditanya hanya mencibir.
Bram bertanya lagi, "Kita berada di sisi yang sama, bukan"
Atau aku salah?" "Aku tahu reputasimu," jawab Miaa. "Kau bukan polisi baikbaik."
"Ya, untuk yang satu itu kau benar," kata Bram.
Perbincangan mereka terputus oleh nada panggil ponsel milik
Bram. Bram menerima panggilan masuk itu. Erik memberi kabar
kepadanya. "Bung Kelinci sudah mati."
Ferry tidak peduli. Kematian Bung Kelinci bukan urusannya, begitu
juga kematian bos-bos mafia yang lain. Yang menjadi masalahnya
cuma dua: kematian ayahnya dan selembar faks yang tadi pagi
dikirimkan oleh Ju. 138 Metropolis.indd 138 Puki! Dia merasa Tuhan"kalau memang Dia ada"pastilah
sedang membunuhnya secara perlahan-lahan. Berkat faks yang
dikirimkan oleh Ju tadi siang, Ferry kini tahu perempuan bernama
Miaa yang dicari-cari oleh Bram diberhentikan dari kepolisian karena
memiliki hubungan darah dengan keluarga Saada.
Miaa dilahirkan diYogyakarta, dari rahim seorang pelacur yang
ditiduri dan diberikan rumah oleh pemimpin Geng Saada terdahulu,
yakni ayah Ferry"Leo. Skandal yang terjadi antara Leo dan lonte
itu tidak berlangsung lama, cuma anget-anget tahi ayam, tetapi"
sialnya"waktu tidak memengaruhi mereka untuk bikin anak.
Kini, Ferry tahu kenapa Miaa terlibat dalam persoalan Sindikat
12. Dia juga tahu kepada siapa perempuan itu berpihak.
Kendati demikian, Ju benar. Miaa adalah mimpi buruk bagi"
nya. 139 Metropolis.indd 139 12. Melarikan Diri Setelah BK, sasaran berikutnya adalah aku, kemudian kau."
Shox bergidik mendengar perkataan Blur tersebut. Dia berjalan
mondar-mandir dalam kamar tidurnya, hanya memakai kaus oblong
dan celana pendek. Tangan kanannya menggenggam ponsel,
sementara tangannya yang satu lagi memijit-mijit keningnya. Dia
berharap berita kematian BK itu tidak benar dan semua ini cuma
mimpi buruk yang kerap menipunya dalam tidur. Pada saat Leo
mati, dia tenang-tenang saja. Dia memang merasa kesal, siapa
pun akan menyayangkan kematian Leo, tetapi hanya sebatas itu.
Begitu juga kala dia mendengar Markus digorok dan Soko Galih
jatuh dari ketinggian, kematian mereka dia anggap angin lalu. Akan
tetapi, begitu dia diberi tahu oleh Blur bahwa BK sudah dapat jatah,
tiba-tiba saja Shox menjadi anak kecil yang ingin bersembunyi di
belakang kaki ibunya dari kejaran orang gila. Aneh, tetapi mungkin
memang itu yang terjadi ketika hanya tersisa dua dari dua belas.
140 Metropolis.indd 140 "Kita harus lakukan sesuatu, Blur. Kita harus lakukan sesuatu,"
ucapnya, "atau kita akan bernasib sama seperti Leo dan BK."
Blur terkekeh. "Kau kedengaran seperti Soko Galih yang dikejarkejar penagih utang," ledek Blur.
Shox mendengus. Dia membalas ejekan rekannya, "Kau bisa
tertawa karena posisimu aman. Sampai mati pun pembunuh itu
tidak akan bisa menyentuhmu. Tapi aku" Aku akan koit di Celebrity
Fitness. Kepalaku hancur kena barbel."
Tawa Blur bertambah keras. "Kalau begitu, berhenti pakai
barbel." "Blur! Ini bukan gurauan!"
"Hahaha! Tenang, Reymon. Kau harus tenang."
"Sudah dari tadi aku mencoba tenang," kata Shox bernada
sinis. Blur menanggapi dengan santai, "Sudah kukatakan, setelah
BK, berikutnya adalah aku."
"Lalu?" "Aku sudah menyiapkan rencana, Reymon. Percayalah. Kita
tidak akan mati." Tubuh Bung Kelinci ditemukan mengambang di kolam renang indoor
berstandar olimpiade, milik sebuah hotel berbintang di Jakarta.
Sekelompok anak muda yang sedang melakukan pesta lajang
di tepi kolam melaporkan hal itu kepada manajer hotel. Fasilitas
renang itu segera ditutup. Para saksi, belasan pengunjung, dan
petugas hotel yang pada waktu itu sedang beraktivitas di sana,
141 Metropolis.indd 141 diminta untuk kembali ke kamar dan dilarang meninggalkan hotel
sampai polisi datang. Saat Bram tiba di lokasi, korban sudah dikeluarkan dari air.
Oleh petugas forensik, jasad Bung Kelinci diletakkan di dalam
sebuah bilik spa yang bersebelahan dengan kolam renang. Erik
sudah berada di tempat itu lebih dahulu seperti biasa. Asistennya
itu berkata bahwa petugas forensik sudah memeriksa tubuh Bung
Kelinci, tetapi tidak menemukan luka apa pun kecuali bekas suntikan
di paha kiri. "Dia diracun?" tanya Bram. Dia meminta sarung tangan plastik
dari petugas forensik. Dikenakannya sarung tangan itu, lalu dia
membuka kelopak mata Bung Kelinci dengan jari-jarinya. Pupil lelaki
itu mengecil. "Putau," dia berkata kemudian dengan nada pasti.
Setelah itu, dia memberi perintah kepada Erik, "Katakan
kepada tim forensik untuk memeriksa rekaman CCTV. Putau bereaksi cepat. Kalau dugaanku benar, suntikan yang membunuh
Bung Kelinci dilakukan di sekitar kolam."
Erik mengangguk sambil buru-buru mencatat ucapan Bram.
"Apa lagi, Bram?" tanya polwan itu.
Bram tidak menjawab. Dia memandangi jasad Bung Kelinci
sambil termenung. Dalam situasi seperti ini, saat seluruh pemimpin
sindikat 12 sedang diincar oleh seorang pembunuh, berenang di
tempat umum bukanlah tindakan bijak. Itu sama dengan bunuh
diri. Gila! Kenapa tidak sekalian saja si pembunuh diajak ketemu
di sebuah lounge untuk minum-minum dan berkaraoke" Padahal,
bos mafia sekelas Bung Kelinci pasti punya koleksi kolam renang
pribadi. Apalagi konsumen-konsumennya adalah orang-orang dari
142 Metropolis.indd 142 kelas ekonomi atas yang setiap hari berusaha keras menghabiskan
uang mereka dan gagal. Kalau bukan karena terpaksa, Bung Kelinci
tidak akan berenang di sebuah hotel.
Karenanya, Bram berpikir Bung Kelinci telah dijebak. Dan, yang
bisa membuat lelaki itu keluar dari persembunyiannya hanyalah
uang"uang dalam jumlah yang sangat besar. Tetapi tidak cuma
itu karena Bung Kelinci justru akan mencurigai bisnis-bisnis besar
yang datang pada masa-masa rawan seperti saat ini. Seharusnya
lelaki itu menjadi ekstra hati-hati dalam memilih transaksi yang
akan dia lakukan. Penawaran yang datang dari orang-orang yang
dianggapnya mencurigakan tidak akan dia pedulikan. Sebaliknya,
dia akan memilih melakukan transaksi dengan orang-orang yang
dia percayai betul. "Seseorang memancing BK agar datang ke hotel ini," Bram
menyimpulkan, "seseorang yang dia kenal dengan baik."
Erik menatap Bram dengan bingung. Kedua alis polwan itu
berkerut. "Kau yakin, Bram?"
Bram membalas tatapan Erik dan membiarkan pertanyaan itu
tidak terjawab. "Lakukan seperti biasa, Erik, walau aku ragu kita
akan mendapat petunjuk di tempat seperti ini. Semoga saja Shox
dan Blur bisa menjaga diri lebih baik daripada teman-temannya,"
ujarnya. Dia keluar dari bilik spa di mana tubuh Bung Kelinci disimpan. Erik mengikutinya.
"Bagaimana dengan Miaa" Kau ingin aku kembali ke kosnya?"
"Tadi kami bertemu di Cibubur," kata Bram, "ibu Miaa dirawat
di pusat rehabilitasi yang kau sebutkan."
143 Metropolis.indd 143 Erik tampak terkejut mendengar itu. Polwan itu mengekor
Bram dengan mata membelalak, haus berita. "Apakah terjadi se"
suatu?" Pertanyaan polwan itu memburu.
"Seseorang mengiriminya bingkisan," jawab Bram.
Dia masih ingat seperti apa ekspresi Miaa sewaktu perempuan
itu memasuki kamar ibunya di pusat rehabilitasi jiwa tadi. Perempuan itu seperti sedang berpacu dengan bom waktu, seolah-olah
ada hal buruk yang akan menimpa ibunya dan dia harus mencegah
itu terjadi sebelum terlambat"meski pada akhirnya tidak terjadi
apa-apa. Sayangnya, Bram tidak tahu dengan siapa perempuan itu
beradu kecepatan. Tetapi yang jelas, lawan dia sangat berbahaya.
Malam sudah larut kala Miaa tiba di kompleks perumahan tempat
dia tinggal. Rumah-rumah yang berbaris di sepanjang jalan menuju
tempat kosnya sudah tertutup rapat. Jalanan yang tengah dia telusuri juga kosong. Tidak tampak orang yang berpapasan dengannya,
meronda, atau duduk-duduk di teras. Semua sembunyi di rumah
mereka masing-masing, kelon kepada istri atau orang tua mereka
sambil mengisap jempol. Kendati demikian, dari dalam beberapa
bangunan, masih terdengar suara televisi, suami-istri ribut, dan bayi
menangis lepas. Selain itu, sunyi.
Miaa meninggalkan Cibubur setelah dirinya yakin ibunya akan
baik-baik saja di sana. Dia berpesan kepada pengelola fasilitas agar
tidak menerima bingkisan atau kiriman apa pun yang ditujukan
untuk ibunya. Dia juga berkata bahwa tidak seorang pun selain
dirinya boleh menemui perempuan itu. Akan tetapi, itu hanya
144 Metropolis.indd 144 tindakan sementara. Ibunya harus dipindahkan dan dia butuh bantuan. Karena itu, dia kembali ke rumah kosnya malam ini. Dia harus
menghubungi seseorang. Tempat tinggalnya sudah terlihat dari kejauhan. Teras dan
ruang di balik jendela bangunan kecil itu gelap gulita seperti biasa.
Miaa mempercepat langkahnya untuk mengejar waktu, tetapi
mendadak dia berhenti begitu melihat dua sorot lampu senter di
antara kegelapan tersebut.
Tanpa sadar dia menahan napas dan sekujur tubuhnya berubah
tegang. Beberapa orang, mungkin tidak hanya dua, ada di dalam
rumah kosnya. Mereka tamu tidak diundang, tetapi pasti bukan
pencuri biasa karena tidak ada yang bisa diambil dari rumahnya
Misteri Kaca Kaca Remuk 2 Pencuri Petir Percy Jackson The Lightning Thief Karya Rick Riordan Elemen Kekosongan 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama