Pendekar Rajawali Sakti 172 Mister Tabib Siluman Bagian 2
"Tidak mengapa. Mereka mengerti keadaan. Silakan dicicipi kopi dan kue-kuenya. Maaf aku tidak punya sesuatu yang istimewa. Hanya sekadar kue-kue dan kopi hangat ini."
"Kau tidak perlu repot-repot, Dewi. Aku sudah dijamu Ki Somareksa. Dan, bukan maksudku menolak hidangan yang kau suguhkan. Tapi, aku punya pantangan untuk tidak makan dan minum dalam waktu yang dekat," kilah Rangga mencari alasan.
Bukannya tanpa alasan Pendekar Rajawali Sakti menolak halus hidangan yang disediakan tuan rumah. Sejak semula mata hatinya berkata kalau gadis yang dijuluki Tabib Siluman ini bukan orang baik-baik. Sikapnya yang terlihat sedikit genit, membuatnya jengah. Tadi saat bersalaman, pandangan matanya begitu tajam seperti hendak menghujam sanubarinya. Rangga bisa merasakan daya sihir kuat dari pandangan mata itu. Juga jabatan tangan yang membuat tubuhnya merinding dan sedikit gemetar. Wanita ini memang cantik. Tapi bukan itu yang membuat tubuhnya merinding dan gemetar.
"Hm.... Sayang sekali...," gumam Dewi Saraswati dengan wajah kecewa.
"Ya, sayang sekali...," Ki Somareksa membeo.
"Tapi bukan karena terpengaruh cerita orang-orang, bukan?" lanjut gadis ini sambil tersenyum kecil.
"Maksudnya?"
"Mereka yang berobat, lalu ditemukan mati di telaga itu. Kemudian, kau mengira bahwa aku membubuhkan racun pada makanan dan minuman ini...," jelas Dewi Saraswati, terus terang.
"Hm, tidak...," sahut Rangga berdusta.
"Yaaah, syukurlah. Nah, kini apa yang bisa kubantu untuk mempermudah tugas penyelidikanmu" Orang-orang menuduh bahwa aku penyebab kematian beberapa orang pemuda. Juga, penyebab mengapa banyak pemuda kabur dan meninggalkan desanya. Kau sudah lihat dan dengar sendiri, bukan" Semuanya menuduhku begitu. Padahal, aku sama sekali tidak melakukannya. Kau bisa lihat sendiri. Aku mengobati dan menyembuhkan mereka yang datang ke sini dengan ikhlas, tanpa maksud apa pun selain ingin mengabdikan kepandaian yang kumiliki...."
Pendekar Rajawali Sakti tidak banyak bicara. Dan dia hanya mendengarkan wanita itu bicara panjang lebar tentang perlakuan-perlakuan buruk yang diterimanya dari penduduk desa-desa di sekitar Telaga Air Mata Dewa.
*** 5 ? Rangga memutuskan untuk menerima tawaran menginap di rumah Ki Somareksa. Selain di tempat kepala desa itu ada sebuah kamar kosong, Rangga pun seperti punya kewajiban untuk melindungi Ki Somareksa dari amukan penduduk yang sewaktu-waktu akan meletus lagi. Sementara bagi Ki Somareksa hal itu seperti anugerah saja. Karena, seorang raja sudi menginap di tempatnya. Dia tetap merasa yakin kalau pemuda itu adalah Raja Karang Setra!
Kamar yang ditempati Rangga tidak terlalu luas, tapi cukup tertata rapi. Tampak sebuah tempat tidur dari kayu jati yang diukir indah, dan sebuah lemari. Di sebelahnya terdapat meja yang di atasnya terletak guci beserta dua cangkir dan sebuah wadah dari kuningan berisi buah-buahan segar.
Tok! Tok! Tok! Belum sempat Rangga merebahkan diri, terdengar pintu kamar diketuk.
"Masuk! Tidak dikunci...!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Begitu pintu terbuka, seorang wanita muda masuk. Dan dia langsung bersimpuh di muka pintu dengan kepala tertunduk.
"Siapa kau...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti ramah.
"Hamba Warsih, diutus Ki Somareksa untuk meladeni semua keperluan Kanjeng Gusti Prabu...," kata gadis bernama Warsih ini.
"Terima kasih, Warsih. Tapi sekarang aku belum memerlukan apa-apa. Aku ingin istirahat Kau boleh keluar...," ucap Rangga, ramah.
"Hamba menunggu di luar. Kanjeng Gusti Prabu...."
"Ya, silakan...."
Warsih beringsut setelah menghaturkan sembah. Lalu dia berbalik melangkah keluar seraya menutup pintu.
Rangga tidak buru-buru merebahkan diri. Cepat dia duduk bersila untuk bersemadi. Kedua telapak tangannya telah merapat di depan dada. Matanya perlahan-lahan memejam, memusatkan perhatian pada satu titik.
Di luar, malam merambat semakin kelam. Hanya gemersik dedaunan tertiup angin yang terdengar. Cukup lama Pendekar Rajawali Sakti merasakan keheningan.
Dan tiba-tiba kelopak mata Rangga terbuka. Telinganya mendengar bisikan halus sekali. Dan rasanya, bagai disapu angin.
"Aku tahu kau mendengar suaraku. Keluarlah.... Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu...."
Setelah merasa yakin kalau bisikan itu bukan sekadar khayalan, Rangga menghentikan semadinya. Cepat dia beranjak dari tempat tidur. Matanya melirik sekilas ke arah pintu, kemudian melangkah ke dekat jendela. Bila keluar dari jendela , rasanya tidak akan menarik perhatian penghuni rumah. Begitu pikirnya.
Angin dingin segera menyambut begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti berada di luar. Rangga menutup jendela, kemudian memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Tampak gelap. Di langit terlihat awan hitam berkumpul, membentuk hamparan permadani luas yang semakin menambah gelapnya malam.
"Ikuti aku...."
Kembali terdengar bisikan.
Srak! "Hm...."
Rangga menggumam pelan ketika melihat sesuatu bergerak tidak jauh di depannya. Sesosok bayangan yang mirip manusia, melesat cepat ke arah tenggara. Dan berarti, menuju Telaga Air Mata Dewa. Saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti mengempos tenaga, dan berkelebat mengejar.
Kejar-mengejar di antara mereka tidak terlalu lama. Orang yang dikejar seperti membiarkan dirinya terus diikuti. Bahkan memberi kesempatan pada pengejarnya agar tidak kehilangan jejak.
Begitu tiba di tepi Telaga Air Mata Dewa, sosok bayangan itu berhenti berlari. Dia berdiri tegak menghadap ke telaga. Dan Rangga cepat pula berhenti, namun tidak mau berada terlalu dekat dengannya. Pendekar Rajawali Sakti mengambil jarak di sebelah kiri, sejauh tujuh langkah. Matanya melirik sekilas pada sosok yang tubuhnya terbungkus kain hitam. Demikian pula bagian muka. Sehingga, pemuda itu tidak bisa mengenalinya. Namun dari bentuk tubuhnya yang ramping, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau sosok itu adalah seorang wanita. Keyakinannya makin mantap.
"Apa maksudmu mengajakku ke sini?" tanya Rangga datar.
Tak ada sahutan, selain semilir angin yang mengibar-ngibarkan rambut. Sementara hawa dingin terasa menusuk tulang sumsum.
"Siapa kau sebenarnya. Dan apa maksudmu mengajakku ke sini?" tanya Rangga.
"Telaga...," sahut sosok itu sambil menuding ke bawah. Suaranya terputus.
Rangga memandang heran padanya. Sejak tadi sosok ini sedikit pun tak melirik ke arahnya.
"Nisanak! Aku tidak cukup sabar untuk melayani kemauanmu. Katakan, apa yang kau inginkan. Dan, siapa kau sebenarnya"!" desak Pendekar Rajawali Sakti sedikit keras.
Seketika wanita berkerudung hitam itu menoleh. Dan sesaat Rangga terperanjat kaget melihat sepasang mata berkilau tajam laksana mata seekor kucing di kegelapan.
"Kau tidak sabar, Bocah" Padahal kematianmu sudah dekat...!" desis wanita itu tajam. "Hiaaat..!"
Selesai berkata demikian, mendadak wanita itu melejit bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Heh..."!"
Bukan main terkejutnya Rangga mendapat serangan mendadak dengan gerakan sedemikian cepat. Cepat tubuhnya menunduk, dan bergulingan ke belakang. Sementara sebelah tangannya masih menangkis hantaman tangan sosok itu.
Plak! "Uhhh...."
*** Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan. Tangannya yang habis memapak terasa linu dan dingin. Disadari kalau tenaga dalam sosok itu sangat tinggi. Namun begitu secepat kilat dia bangkit dan bersiap menghadapi serangan berikutnya.
Sementara wanita itu telah berdiri tegak di depan Rangga dalam jarak tujuh langkah. Sorot matanya masih tajam ketika memandang pada pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kau akan mati di dasar telaga ini, karena berani mencampuri urusan orang!" desis wanita itu.
Suara sosok ini terdengar serak dan parau. Dan sepertinya, dikeluarkan dari tenggorokan.
"Siapa pun adanya kau, jangan harap bisa menyurutkan langkahku untuk menyelidiki pembunuh keji di desa ini!" balas Rangga, tak mau kalah gertak.
"Kalau begitu kau memang harus mampus!"
Setelah berkata begitu, kembali sosok itu melesat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun kali ini Rangga telah siap menangkis.
Plak! "Heh"!"
Pendekar Rajawali Sakti sempat terkejut. Ternyata gerakan sosok ini cepat bukan main, begitu habis menangkis, sosok itu kembali menyerang. Dan ini membuat Rangga jadi kewalahan, tanpa sempat balas menyerang.
"Sial...!" desis Rangga geram, sambil terus menghindar dengan jurus "Sembilan Langkah Ajaib".
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti" Maaf, riwayatmu hanya sampai di sini!" leceh sosok ini.
"Terserah, bagaimana kau memanggilku. Yang jelas, aku tidak akan menyerah begitu saja!"
"Hik hik hik...!"
Orang berselubung hitam itu malah tertawa mengikik mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Suaranya serak, tapi nyaring seperti membelah udara malam yang dingin.
"Hik hik hik...! Pemuda dungu! Kau kira bisa menyelesaikan segala persoalan dengan kepandaianmu yang masih seujung kuku!" ejek sosok itu. "Heaaat..!"
Disertai teriakan keras sosok ini menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya meluruk sambil melepaskan pukulan bertubi-tubi ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Dengan wajah dingin. Pendekar Rajawali Sakti berusaha melayaninya dengan mengandalkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus "Rajawali Sakti". Kadang tubuhnya melenting ringan, namun tak jarang meluruk deras sambil melepaskan pukulan berbahaya.
"Hik hik hik...! Jurus yang hebat.... Tapi apakah kau kira mampu membunuhku"! Ayo, carilah bagian terempuk dari tubuhku!" ejek sosok ini.
"Heaaat...!"
Tanpa menunggu lebih lama, Pendekar Rajawali Sakti meningkatkan serangannya. Langsung tangannya mengibas disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan rasanya, kali ini serangannya akan telak mendarat di sasaran. Tapi....
Bet! Klap! "Heh"!"
Kembali Rangga dibuat terkejut ketika kibasan tangannya membabat tempat kosong. Padahal jelas, tangannya menebas ke arah leher. Namun ternyata tahu-tahu saja sosok itu lenyap entah ke mana.
"Hik hik hik...!"
Tiba-tiba terdengar tawa cekikikan. Dan ini semakin membuat Rangga kalap. Namun sebelum dia kembali menyerang, mendadak....
Begkh! "Akh...!"
Rangga mengeluh kesakitan begitu dadanya terhantam pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan kiri mendekap dada.
"Heaaa...!"
Terdengar jeritan serak tapi melengking, dari mulut sosok yang tak terlihat lagi. Dan Rangga hanya merasakan kelebatan angin yang cepat bagai kilat. Dan....
Duk! "Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya Rangga menjerit kesakitan. Satu hantaman keras kembali menghajar perutnya. Pendekar Rajawali Sakti terjungkal ke belakang dengan darah menetes dari sudut bibirnya.
Hantaman itu cepat dan keras bukan main. Kalau saja tidak diiringi pengerahan tenaga dalam tinggi niscaya tidak akan membuat pemuda itu menderita luka dalam. Tapi yang dirasakannya terasa berat bukan main, seperti dihantam bandul besi yang beratnya puluhan kati!
"Hik hik hik...! Pendekar Rajawali Sakti, pendekar masyhur kata orang. Memiliki kepandaian laksana dewa. Tapi, siapa yang nyana hari ini akan menemui ajalnya di tangan orang yang tak terkenal. Hik hik hik...!" ledek orang berkerudung hitam yang kini tak terlihat bentuk wujudnya.
"Uhhh...!"
Rangga mengeluh tertahan. Dengan sekuat tenaga, dia berusaha menahan rasa sakit yang diderita, dan bersiaga terhadap serangan berikut. Padahal pemuda itu mulai bingung, bagaimana caranya menghadapi ilmu aneh yang diduga sebagai ilmu "Halilintar".
"Hup...!"
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti memejamkan kedua kelopak mata, siap menghadapi serangan dengan mengandalkan pendengaran.
*** Pendekar Rajawali Sakti mengira, dengan cara mengerahkan aji "Pembeda Gerak dan Suara", dapat mengimbangi serangan.
"Heaaa...!"
Terdengar teriakan nyaring. Dan Rangga merasakan adanya serangkum angin serangan dari depan. Buru-buru tubuhnya melejit ke belakang sambil berusaha memapak.
Tapi tetap saja Rangga sia-sia saja mengerahkan aji "Pembeda Gerak dan Suara". Karena justru, perhatiannya jadi pecah tertuju ke segala arah. Dia yang merasa serangan datang dari depan, sungguh tak menduga kalau tiba-tiba serangan itu berhenti. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, tiba-tiba satu hajaran menghantam punggungnya.
Desss...! "Aaakh...!"
Pendekar Rajawali Sakti tersungkur ke depan. Cepat tubuhnya bergulingan ke kiri seraya membuka kelopak mata. Pada saat yang sama serangan selanjutnya datang.
"Yeaaat...!"
Dengan untung-untungan Rangga kembali bergulingan.
Dug! Dug! Begitu Pendekar Rajawali Sakti melihat ke arah tadi, tampak permukaan tanah melesak ke dalam sampai batas lutut. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya bila jejakan itu mengenainya.
"Apakah kau telah berdoa untuk kematianmu, Bocah" Pendekar Rajawali Sakti yang malang! Siapa kini yang bisa menolongmu dari kematian" Hik hik hik...!" ejek sosok yang tak terlihat wujudnya.
"Jahanam terkutuk! Sebelum kau mati di tanganku, barangkali kau mau mengakui dosa-dosamu terlebih dulu!" bentak Rangga, seraya bangkit berdiri.
"Dosa" Dosa apa gerangan"!"
"Bukankah kau yang telah membunuh pemuda-pemuda desa ke dalam telaga ini?"
"Hik hik hik...! Dari mana kau punya dugaan seperti itu?"
"Kau tidak butuh dugaanku. Sebaliknya, jawab saja pertanyaanku tadi!"
"Sebagai orang yang mau mampus, rasanya tidak keberatan kujawab pertanyaanmu kalau saja bisa memuaskan hatimu. Nah! Aku tidak tahu-menahu soal pemuda-pemuda yang mati di telaga ini. Puaskah kau dengan jawabanku?"
"Dusta! Kaulah penyebab kematian mereka...!"
"Hik hik hik...! Apa pun penilaianmu, apa peduliku" Pertanyaanmu sudah kujawab."
"Kau memang iblis wanita yang tidak malu! Kau perempuan jalang yang haus pemuda-pemuda untuk memuaskan nafsu iblis yang bersemayam di jiwamu!" maki Pendekar Rajawali Sakti geram.
"Hik hik hik...!"
Mendengar makian itu, terdengar tawa mengikik dari sosok yang tak jelas ini. Suaranya masih tetap serak dan parau. Tapi, terdengar amat menakutkan di tengah malam buta seperti sekarang.
"Akan kubuktikan sekarang juga! Heaaat...!"
Disertai teriakan menggelegar, menderu angin serangan dari sosok yang tak jelas. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti dengan mengandalkan pendengaran yang tajam hanya berusaha menghindar dengan jurus "Sembilan Langkah Ajaib". Kendati demikian tetap saja dia semakin keteter menghadapi serangan-serangan dahsyat ini.
"Hiaaat!"
Secara meraba-raba, Pendekar Rajawali Sakti menghindar ke samping ketika merasakan angin sambaran ke dadanya. Pada saat yang sama, kembali datang serangan mengarah ke leher. Cepat bagai kilat, Rangga berusaha menyampoknya.
Plak! "Uhhh...!"
Kembali Rangga mengeluh tertahan, begitu terjadi benturan tangan. Mukanya berkerut menahan sakit. Pergelangan tangan sosok yang tak jelas itu terasa dingin amat menusuk. Dan belum lagi Rangga sempat mengatur jarak untuk menghindari serangan selanjutnya, satu sambaran berkelebat ke arah tengkuknya. Dan....
Desss...! "Akh...!"
Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan. Tubuhnya sempoyongan dan bergeser ke samping seperti kehilangan keseimbangan. Dan belum sempat memperbaiki keseimbangannya....
Begkh! "Aaa...!"
Byurrr...! Dalam keadaan begitu, tiba-tiba satu hajaran keras mendarat di perut Rangga. Pemuda itu terjungkal dan tercemplung ke dalam telaga disertai pekik kesakitan. Tubuhnya tidak bergerak langsung tenggelam ke dasar Telaga Air Mata Dewa.
"Hik hik hik...! Mampuslah kau sekarang, Bocah! Mulai hari ini tidak akan pernah terdengar lagi nama Pendekar Rajawali Sakti. Kau telah terkubur di dasar telaga ini. Dan jasadmu akan menjadi makanan bagi penghuninya. Hik hik hik...!"
Terdengar suara meledek yang disertai tawa mengikik dari sosok yang tak jelas ini.
Perlahan-lahan, sosok yang tak jelas memperlihatkan jasadnya kembali. Kemudian matanya melirik ke telaga. Disertai dengusan sinis, dia berkelebat menghilang dari tempat itu.
Belum lama sosok itu pergi, sekonyong-konyong sebuah bayangan hitam lain bergerak cepat ke arah telaga. Dan....
Byur:..! Sosok itu langsung menceburkan diri ke dasar telaga. Lalu tak lama dia muncul kembali membawa jasad Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa berpijak lagi, tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat itu.
Suasana kembali sunyi, dan tenang seperti tak pernah terjadi apa-apa....
*** 6 ? Rangga tidak tahu sudah berapa lama tak sadarkan diri. Namun ketika siuman, kepalanya terasa berat. Pandangannya berputar-putar begitu matanya membuka. Dada dan perutnya terasa sakit bukan main. Pemuda itu berusaha bangkit, namun sebuah tangan menempel di keningnya untuk menahan geraknya. Perlahan-lahan kepalanya menoleh ke samping kanan. Tampak seorang bertubuh ramping duduk bersila di samping kanannya. Pandangannya berusaha ditegaskan, namun yang terlihat hanya samar-samar.
"Ohhh.... Di mana aku sekarang...?" keluh Rangga lirih.
"Kau di tempat yang aman, Kisanak...."
Pendekar Rajawali Sakti kembali berusaha menegaskan pandangan, namun tetap saja belum bisa melihat dengan terang.
"Si..., siapakah kau ini?" tanya Rangga, pelan sekali.
"Aku yang menolongmu...!"
"Aku..., aku...."
Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengingat-ingat, namun kepalanya terasa berat dan pusing sekali.
"Jangan banyak bergerak atau berpikir. Keadaanmu gawat, Kisanak. Istirahatlah. Dan tenangkan pikiranmu...."
"Ohhh...."
Pendekar Rajawali Sakti berusaha istirahat dan menenangkan pikirannya. Namun peristiwa yang menimpa dirinya terbayang tiba-tiba dan membuatnya terjaga. Tiba-tiba dia bangkit dari tidurnya.
"Berbaringlah. Dan jangan dulu bergerak. Itu akan membuat luka dalam yang kau derita semakin parah...," ujar sosok berpakaian serba hitam dengan wajah tertutup topeng.
Suara sosok ini terdengar lembut dan terasa merdu di telinga. Sehingga rasa nyeri yang baru saja diderita Rangga sedikit terobati. Perlahan kembali tubuhnya rebah kembali.
Rangga merasakan jari-jari yang lembut mengusap-usap dahinya ketika matanya memejam. Usapan itu agaknya bukan sembarangan, sebab pemuda itu merasakan hawa hangat mengalir di sekitar kepala, kemudian turun ke bawah hingga merata ke sekujur tubuhnya. Rasa sakit yang dirasakannya perlahan-lahan mulai berkurang. Dan tubuhnya yang tadi lemah seperti tak bertenaga, kini terasa lebih baik.
"Apa yang kau rasakan saat ini?" tanya sosok berpakaian serba hitam yang bila melihat bentuk tubuhnya adalah seorang wanita ini.
Pendekar Rajawali Sakti mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya untuk memperhatikan lebih jelas sosok itu. Seorang bertubuh ramping itu memakai baju hitam pudar, berukuran agak besar. Rambutnya panjang sepinggang dan dibiarkan tergerai begitu saja. Tapi yang paling menyolok adalah sebuah topeng kayu yang melekat menutupi wajahnya. Topeng kayu itu berwarna putih memperlihatkan sepasang bola mata yang jernih.
"Baik...."
Rangga berusaha bangkit dan duduk saling berhadapan. Kini baru disadari kalau mereka duduk beralas tikar pandan dalam sebuah ruangan lebar. Tidak jauh di dekatnya, tersedia dua mangkuk porselen yang berisi cairan berwarna kehitaman. Sedang satu lagi berwarna merah. Kemudian pada jarak sekitar empat langkah di kanannya terlihat sebuah jendela berjeruji kayu yang terbuka lebar, sehingga cahaya matahari masuk dengan bebasnya.
"Kaukah yang menolongku?" tanya Pendekar Rajawali Sakti setelah mengingat-ingat kejadian yang menimpa dirinya.
"Sudah kukatakan tadi...."
"Aku amat berterima kasih dan berhutang budi padamu!" ucap Rangga seraya membungkuk dan menghaturkan hormat.
Orang bertopeng itu terdiam beberapa saat sampai Rangga kembali duduk tegak dan memandang padanya.
"Namaku Rangga. Aku...."
Pemuda itu tidak meneruskan kata-katanya ketika orang bertopeng ini mengangkat sebelah tangannya.
"Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya...," kata orang bertopeng ini, sepergi menggumam.
"Dari mana kau tahu?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Sejak pertama kau memutuskan datang ke tempat ini...."
"Maksudmu?"
Orang bertopeng itu bangkit. Dan kini baru disadari Rangga kalau kedua kaki wanita bertopeng ini buntung sebatas lutut.
"Kau lihat apa yang terjadi padaku, bukan?" kata wanita ini, seraya kembali duduk.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk.
"Untuk inilah aku membawamu ke tempat ini."
Rangga terdiam. Tapi wajahnya jelas kelihatan bingung. Dia sama sekali belum mengerti maksud kata-kata orang bertopeng ini.
"Akulah yang memanggilmu ke sini melalui tenaga batin. Karena menurutku, kaulah satu-satunya orang yang bisa mengalahkannya."
"Kau memanggilku ke sini?" tanya Rangga, bertambah bingung.
"Ya! Tujuanmu sebenarnya tidak ke sini. Namun sejak berada di istanamu, aku telah menghubungimu. Bahkan berusaha mengalihkan perjalananmu ke sini melalui tenaga batin. Aku ingin minta pertolonganmu untuk membalaskan dendamku pada seseorang...."
"Siapa yang kau maksud?"
"Orang berpakaian serba hitam yang bertarung denganmu di tepi Telaga Air Mata Dewa."
Rangga terdiam dan tidak langsung menjawab.
"Bagaimana" Apakah kau mau menolongku?"
*** "Orang itu memiliki kepandaian hebat. Dan aku sendiri berhasil dikalahkannya. Bagaimana mungkin kau memintaku untuk membalaskan dendammu...?" tanya Rangga, lesu.
"Itu tidak menjadi masalah. Sehebat apa pun seseorang, pasti ada kelemahannya. Dan aku tahu kelemahannya!"
"Kalau tahu kelemahannya, kurasa kau tidak perlu pertolonganku lagi."
Orang bertopeng itu terdiam, lalu kembali duduk bersila.
"Aku tidak bisa...," desah orang bertopeng ini lirih.
"Kenapa?" tanya Rangga.
"Kemampuanku tak cukup untuk melawannya. Lagi pula, aku telah terkena racunnya yang amat ganas," sahut wanita bertopeng itu pelan.
"Kau tentu mengenal orang itu?"
Orang bertopeng ini mengangguk.
"Siapa dia?"
"Kakak seperguruanku...."
Rangga terdiam. Sementara orang bertopeng itu pun ikut membisu.
"Bagaimana?" tanya orang bertopeng ini setelah sekian lama suasana hening.
"Bagaimana caraku untuk mengalahkannya?" Rangga balik bertanya.
"Dia memiliki aji "Halimunan" yang membuat lawan tidak mampu menyarangkan pukulan. Sedangkan dia leluasa memukul lawan. Di samping itu, dia pun memiliki pukulan sakti bernama "Sinar Api Neraka". Hanya kedua hal itu agaknya yang perlu kau perhatikan. Bila kau berhasil mematahkan kedua ilmu andalannya, maka aku yakin kau akan mampu mengalahkannya."
"Lalu, bagaimana cara memunahkan kedua ilmu andalannya?"
"Aji "Halimunan" akan punah bila kau menghadapinya dengan batang kelor putih. Kebetulan benda itu ada padaku. Pukullah dia. Dan jangan bernapas saat senjata itu kau babatkan padanya. Tapi, ingat! Kau harus menyerangnya dengan tiba-tiba tanpa disadarinya!"
Rangga mengangguk tanda mengerti.
"Pukulan "Sinar Api Neraka" akan berkurang kedahsyatannya bila telah dilepaskan dua kali. Maka pada pukulan yang ketiga balaslah dengan aji "Cakra Buana Sukma" andalanmu. Tapi harus ingat. Dua pukulan pertama yang dilepaskannya sangat cepat laksana kilat. Dan akibat yang ditimbulkannya dahsyat sekali," jelas orang bertopeng itu sekali lagi.
"Agaknya kau tahu banyak tentangku...," gumam Rangga.
"Selama bertahun-tahun aku menanggung dendam pada saudara seperguruanku. Aku mencari-cari orang yang tepat untuk kuminta pertolongannya. Pilihanku jatuh padamu. Maka aku mulai sering bertanya-tanya tentangmu dari orang-orang yang pernah mengenal atau mengetahui tentangmu. Dengan begitu, aku merasa yakin kalau kaulah orang yang tepat untuk menghadapinya...," jelas wanita bertopeng itu.
"Baiklah. Aku akan menolongmu. Tapi mungkin tidak dalam waktu dekat, sebab aku sendiri tengah terluka dalam dan perlu menyembuhkannya. Mungkin dua minggu atau lebih...."
"Tidak perlu menunggu terlalu lama. Kau lihat dua mangkuk di dekatmu" Itu ramuan khusus yang kubuat untukmu. Ramuan itu bekerja cepat. Dan dalam setengah hari, mampu mengembalikan keadaanmu seperti semula. Bahkan menguatkan tenaga. Minumlah. Dan kau akan merasakannya...."
Rangga mengambil kedua cangkir itu, lalu menoleh pada sosok di depannya.
"Minumlah.... Tidak usah ragu-ragu. Aku tidak meracunimu...."
Perlahan-lahan pemuda itu menenggak isi mangkuk yang pertama. Lalu, disusul isi mangkuk kedua.
"Kau hanya sedikit merasakan pengaruhnya. Tapi, khasiatnya tidak diragukan lagi...."
Apa yang dikatakan orang bertopeng itu memang benar. Rangga hanya sedikit merasakan hawa panas di perut. Bahkan nyaris tidak terasa. Tapi bersamaan dengan itu, tubuhnya pelan-pelan terasa mulai segar.
"Semalaman kau tidak sadarkan diri. Dan banyak memuntahkan darah. Dan mudah-mudahan, sekarang keadaanmu telah lebih baik...," kata orang bertopeng ini.
"Terima kasih. Kau telah merawatku dengan baik. Saat ini, aku sudah mulai segar. Dan mudah-mudahan tidak lama lagi aku akan pulih seperti sediakala. Eh! Kalau boleh tahu, siapa sebenarnya kau ini?" ucap Rangga.
Orang bertopeng itu terdiam sejurus lamanya.
"Maaf, mungkin pertanyaanku menyinggung perasaanmu...," kata Rangga, pelan.
"Tidak. Kau memang perlu tahu siapa aku. Panggil saja Rinjani...."
"Lalu, kenapa wajahmu ditutupi topeng kayu itu" Adakah sesuatu yang kau sembunyikan?" tanya Rangga lagi.
Rinjani terdiam. Sepertinya, ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Bahkan tanpa sepengetahuan Rangga, di balik topeng itu menetes air bening dari sudut-sudut mata gadis ini.
"Sebenarnya bila tidak berhadapan dengan orang, maka topeng kayu ini kulepas. Wajahku telah rusak, akibat perbuatan Dewi Saraswati, saudara seperguruanku. Bahkan kedua kakiku dibuntunginya pula. Kemudian dia menenggelamkanku ke Telaga Air Mata Dewa setelah mengikat sebongkah batu pada pinggangku agar aku mati tenggelam. Tapi, syukurlah. Sang Hyang Widhi belum berkenan mengambil nyawaku. Aku berhasil melepaskan ikatan itu, meski dengan susah payah. Setelah menotok luka di kedua kakiku agar tidak terlalu banyak mengeluarkan darah, aku merangkak dan terus merangkak menjauhi telaga ini. Sampai akhirnya, aku menemukan sebuah rumah yang telah ditinggalkan penghuninya. Di sini, aku menyembunyikan diri sambil merawat lukaku."
Rinjani diam sebentar, seperti hendak mengumpulkan kekuatannya dalam mengungkapkan kisahnya.
"Setelah bertahun-tahun, kudengar kabar kalau Dewi Saraswati, kembali lagi dengan menjadi tabib di Desa Galuh. Dan aku semakin geram saja saat mendengar kalau Dewi Saraswati ternyata telah menjadi budak iblis. Dia pura-pura jadi tabib, dengan maksud mencari pemuda-pemuda untuk dijadikan tumbal. Bila yang datang berobat lelaki tua, anak-anak atau wanita, dia benar-benar mengobatinya. Tapi bila yang berobat seorang pemuda, maka akan dibuatnya seperti orang linglung, lalu dibunuh dan dibuang ke Telaga Air Mata Dewa."
Kembali Rinjani menghentikan ceritanya. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat.
"Maka saat aku mendengar kalau kau datang ke Desa Galuh, aku berusaha menghubungimu. Tepat ketika malam itu kau menginap di rumah Ki Somareksa, aku menyuruhmu keluar dan pergi ke Telaga Air Mata Dewa lewat ilmu mengirimkan suara dari jauh. Tapi, sayang pada saat yang sama, Dewi Saraswati juga bermaksud memancingmu ke luar. Dan bahkan, dia berani menampakkan diri, dan mengajakmu ke telaga itu. Sementara, aku sendiri hanya mengikuti dari belakang dan bersembunyi dari jarak cukup jauh, melihat kalian bertarung...."
Rinjani kembali menghentikan ceritanya. Dan suasana pun jadi hening.
"Dulu wajahku lebih cantik ketimbang dirinya. Sehingga tidak heran bila banyak pemuda yang menyukaiku. Aku tidak menyadari kalau kakak Dewi Saraswati ternyata memendam iri dan dengki. Sepeninggal guru, dia membiusku. Aku tidak sadarkan diri. Dan ketika sadar, kudapati kedua kakiku telah buntung. Kemudian dengan keji dia merusak mukaku. Lalu...."
Rinjani tak mampu lagi melanjutkan ceritanya.
"Hm.... Jadi benar kalau Dewi Saraswati adalah Tabib Siluman?" gumam Rangga seperti untuk dirinya sendiri.
Rinjani mengangguk.
"Dia membutuhkan para pemuda untuk sebuah ilmu yang dapat membuatnya terus awet muda, dan menambah tenaga dalamnya," tambah Rinjani.
"Benar-benar terkutuk!" Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram.
"Dia harus cepat-cepat dibinasakan, sebab akan banyak lagi korban berjatuhan...," tambah Rinjani lagi.
"Aku memang tak akan membiarkan keangkara-murkaan merajalela di dunia ini!" tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Tapi, ingatlah baik-baik! Dia mempunyai dua pembantu yang bukan orang sembarangan. Mereka akan menjadi batu sandungan bila kau menganggap rendah. Bahkan dia pun memiliki beberapa orang hamba sahaya yang selama ini tidak menampakkan diri...," jelas Rinjani.
"Maksudmu?"
"Orang-orang yang mati di tangannya karena meminum ramuan obat yang diberikan, akan bangkit dari kuburnya dan menyerangmu bila dikehendaki. Berhati-hatilah! Untuk membinasakan mereka gunakan cara seperti kau memunahkan aji "Halimunan" itu. Pukullah mereka dengan batang kelor putih sambil menahan napas."
*** Ki Somareksa tampak tergopoh-gopoh mendatangi rumah tabib bernama Dewi Saraswati lewat belakang. Sebentar-sebentar bola matanya memandang ke sekeliling tempat. Dan ketika merasa yakin tidak ada seorang pun yang mengawasi, dia mengetuk pintu.
"Buka pintu...!" seru kepala desa itu, berbisik.
"Siapa?" tanya suara dari dalam.
"Aku, Ki Somareksa...!"
Pintu terbuka. Dan seraut wajah manis menyembul dari dalam. Ki Somareksa segera menguak pintu agak lebar dan buru-buru masuk ke dalam. Lalu dikuncinya rapat-rapat.
"Nyai ada?" tanya Ki Somareksa, pada gadis belia pembantu Dewi Saraswati.
"Tengah di kamarnya...," sahut gadis belia itu.
"Kapan kira-kira dia keluar?"
"Sebentar lagi...."
"Ki Baligu mana?"
"Keluar mencari kayu bakar...."
"Biar aku menunggu di sini saja...."
Gadis belia itu tidak mempedulikannya, dan kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur.
Pendekar Rajawali Sakti 172 Mister Tabib Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara kepala desa itu menunggu, tak lama orang yang dimaksud muncul.
"Ada apa?" tanya wanita yang tak lain Dewi Saraswati dengan nada dingin.
Rambut wanita ini yang panjang masih dilepas begitu saja. Dan tubuhnya dibalut jubah kuning yang pada bagian tertentu disulam benang emas. Dia berdiri tegak di ambang pintu dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Pemuda itu tidak ada di kamarnya!" seru Ki Somareksa seraya menghampiri wanita itu. Wajahnya tampak tegang. Dan dari pancaran sinar, matanya, tampak kegugupannya.
"Lalu?" tanya Dewi Saraswati.
"Kita harus cari dia!"
"Untuk apa?"
"Untuk apa" Apakah kau tidak khawatir" Dia tengah mencari-carimu."
Dewi Saraswati memandang sekilas, kemudian berbalik dan kembali ke kamarnya. Sementara kepala desa itu mengikutinya. Mereka langsung duduk bersila saling berhadapan di atas permadani merah. Ada bekas pedupaan yang asapnya masih sedikit mengepul. Ruangan ini sendiri masih harum oleh wangi-wangian serta bau kemenyan.
"Apa yang kau khawatirkan" Dia tidak mencari-cariku...," kata wanita ini membuka percakapan.
"Mana mungkin! Lambat-laun dia akan curiga bahwa kau biang keladi semua ini!" desis Ki Somareksa.
"Jangan keras-keras bicaramu! Atur kecemasanmu. Dan, tenanglah. Nah! Kau tidak perlu khawatir, sebab pemuda itu kini telah mati!" tandas Dewi Saraswati.
"Mati" Apa maksudmu"!" tanya kepala desa ini, dengan kening berkerut.
"Tadi malam kupancing dia keluar, lalu kubunuh di dekat telaga. Mayatnya tenggelam di dasar telaga itu," jelas wanita berjuluk Tabib Siluman itu.
"Astaga! Sadarkah kau dengan perbuatanmu" Dengan begitu kita akan mendapat kesulitan baru," sentak Ki Somareksa, terkejut setengah mati.
"Heh, bicara apa kau"!"
"Dia bukan orang sembarangan!"
"Ya, aku tahu. Dia tokoh tingkat tinggi yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti."
"Lebih dari itu sebenarnya. Pemuda itu adalah Raja Karang Setra!"
Tabib Siluman terdiam mendengar penjelasan itu. Dipandanginya wajah Ki Somareksa seakan ingin mencari kebenaran kata-katanya di situ.
"Aku berkata yang sesungguhnya! Belum lama, kukirim orang ke Karang Setra. Dan ternyata, begitulah keadaannya!"
"Huh, apa peduliku"! Yang jelas dia telah mampus di dasar telaga itu! Siapa yang tahu" Lagi pula, bahaya apa yang kau maksud kalau memang orang-orang tahu aku membunuhnya?" leceh wanita ini.
"Kepergiannya ke sini, tentu diketahui pihak kerajaan. Bila dalam beberapa hari tidak kembali, tentu para prajurit kerajaan akan dikerahkan ke sini. Mereka tentu akan menekan untuk mencari tahu soal raja mereka!" jelas Ki Somareksa, bernada khawatir.
"Kau tidak perlu takut! Katakan saja dia menghilang di rumahku. Akan kuhadapi meski seluruh prajurit kerajaan dikerahkan untuk menangkapku! Nah! Pulanglah kau. Dan, tidak usah berpikir macam-macam. Sebentar lagi akan banyak orang datang ke sini untuk berobat. Dan kehadiranmu hanya mengganggu mereka saja!" ujar Tabib Siluman, kasar.
Ki Somareksa terdiam. Tapi perlahan-lahan dia beringsut dan segera bangkit. Lalu ditinggalkannya tempat ini melalui jalan belakang pula.
*** ? Selanjutnya Bagian 7-8 (selesai)
? Misteri Tabib Siluman
? Kembali ke Daftar Isi
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 172. Misteri Tabib Siluman ~ Bag. 7-8 (selesai)
17. Februar 2015 um 06:21
7 ? "Apa kabar, Ki Baligu" Masih mengenalku...?" tegur seorang pemuda berbaju rompi putih, menghalangi jalan seorang laki-laki tua berikat kepala merah yang tengah memikul kayu bakar di jalan setapak ini.
"Eh.... Bukankah kau...."
"Ya, aku Rangga. Dan aku tidak mati seperti dugaan majikanmu Tabib Siluman...," potong pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak! Aku hendak lewat. Sudilah kiranya kau menepi barang sedikit," kata laki-laki tua bernama Ki Baligu, mengalihkan pembicaraan seperti tak ingin mempedulikan Rangga.
"Kau boleh lewat, tapi harus dengan membawa pesanku padanya...," sahut Rangga, dingin.
"Kisanak kuharap jangan menggangguku...!" kilah Ki Baligu, tidak peduli pada kata-kata Rangga.
"Jangan sampai aku berubah pikiran, Ki. Aku bisa saja bertangan kejam!" desis Rangga.
"Aku tidak mengerti maksudmu"!" elak Ki Baligu, seraya meletakkan pikulan kayu bakarnya.
"Katakan pada Tabib Siluman. Suruh datang tengah malam nanti di tepi Telaga Air Mata Dewa. Ada hutang lama yang harus dibayarnya!"
"Aku tidak tahu siapa itu Tabib Siluman"! Kalau memang ada urusan dengan majikanku sampaikan saja sendiri," tandas Ki Baligu.
"Kau membuat kesabaranku habis, Ki! Heaaa...!"
"Heh"!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat menyerang.
"Hup!"
Namun Ki Baligu mampu bergerak tak kalah gesit. Dia melompat ke samping, sehingga terjangan Rangga hanya menyambar tempat kosong.
"Bagus! Akan kulihat, sampai di mana majikanmu menurunkan ilmunya!" kata Rangga, mencoba memancing kemarahan Ki Baligu.
Begitu kata-katanya habis Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat bagai kilat, sambil melepaskan pukulan bertubi-tubi dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Tak disangka, ternyata Ki Baligu melayaninya. Tangannya berputaran, melepaskan sampokan untuk memapak.
Plak! Plak! "Uhhh...."
Laki-laki tua pembantu Tabib Siluman itu mengeluh tertahan begitu terjadi benturan tangan. Dari sini Rangga bisa langsung mengukur kekuatan lawan. Maka belum lagi Ki Baligu berusaha memperbaiki keseimbangan tubuhnya yang sempoyongan, Pendekar Rajawali Sakti langsung menyusuli dengan tendangan menggeledek ke arah dada.
"Hup!"
Tapi Ki Baligu cepat menjatuhkan diri ke tanah dan secepat itu pula bergulingan ke tanah. Namun serangan Pendekar Rajawali Sakti tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu laki-laki tua itu melenting bangkit berdiri, tubuhnya kembali meluruk deras dengan sebuah kibasan tangan.
Tak ada waktu lagi bagi Ki Baligu untuk menghindar. Dengan terpaksa, kembali dipapaknya kibasan tangan itu dengan tangan kanan menyilang.
Plak! "Uhhh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ki Baligu terhuyung-huyung ke belakang, tak mampu menahan kekuatan tenaga dalam Pendekar Rajawali Sakti. Tangannya yang memapak tadi terasa nyeri bukan main. Mulutnya meringis sambil memijat tangan kanannya dengan tangan kiri.
Dan belum juga rasa sakitnya hilang, Pendekar Rajawali Sakti telah melenting ke atas menggunakan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega". Seketika tubuhnya meluruk, dengan kedua telapak tangan menguncup, membentuk paruh rajawali ke arah Ki Baligu. Lalu....
Tuk! Tuk! "Aaakh...!"
Tanpa dapat mengelak lagi, tubuh Ki Baligu melorot ambruk terkena totokan Pendekar Rajawali Sakti di kedua pundaknya. Saat itu juga tulang-tulangnya terasa dilolosi. Begitu kuat tenaga dalam yang terkandung dalam totokan, membuat Ki Baligu langsung pingsan.
"Heaaa...!"
"Majikanmu akan segera menerima hadiah ini...," kata Pendekar Rajawali Sakti, begitu mendarat di tanah.
Dengan sekali bergerak Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat dari tempat ini seraya memanggul tubuh orang tua itu.
*** "Apa yang terjadi, Ki Baligu" Kenapa tiba-tiba kau berada di belakang dalam keadaan tertotok dan tidak sadarkan diri...?" tanya seorang gadis belia, pembantu setia Tabib Siluman yang telah menemukan laki-laki tua itu terbaring di depan pintu belakang rumah.
Segera gadis ini membawa membopong tubuh Ki Baligu. Tak ada kesulitan baginya saat membopong, menandakan kalau gadis ini memiliki kepandaian yang tak bisa dipandang enteng.
Begitu berada di dalam, diletakkannya tubuh orang tua ini ke sebuah balai bambu. Sebentar gadis ini memeriksa, membolak-balikkan tubuh Ki Baligu.
"Hm...!" gadis belia ini menggumam pelan, ketika melihat sesuatu yang terjadi pada pundak Ki Baligu. Lalu....
Tuk! Tuk! "Ohhh...!"
Perlahan-lahan Ki Baligu siuman, ketika totokan pada tubuhnya sirna oleh totokan gadis belia itu. Begitu tubuhnya membalik, matanya mengerjap-ngerjap seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Oh.... Di mana aku...?" tanya Ki Baligu, lirih.
"Kau sudah di rumah, Ki...," kata gadis belia itu, yang duduk di sampingnya. "Siapa yang menyerangmu?"
"Pemuda berbaju rompi putih yang pernah datang ke sini...."
"Dia"! Apa yang diinginkannya?" sentak gadis belia ini.
"Dia menitip pesan untuk Nyai...," desah Ki Baligu.
"Pesan?" ulang gadis belia itu, seraya menyodorkan secangkir teh.
Ki Baligu mengangguk, lalu mengambil cangkir teh yang disodorkan.
"Tapi Nyai saat ini tengah mengobati beberapa orang tamu...."
"Ya. Akan kukatakan nanti padanya...."
"Kayu bakar itu kau tinggalkan, Ki?"
"Apakah persediaan masih banyak?" Ki Baligu balik bertanya.
Gadis belia ini mengangguk.
"Biarlah besok akan kuambil. Atau, kalau Nyai memerintahkan akan kuambil sekarang juga."
"Sudahlah, tidak usah terburu-buru. Sebaiknya kau istirahat dulu. Tenangkan pikiran...."
Ki Baligu mengangguk. Dihabiskannya isi cangkir di tangannya. Lalu ditariknya napas dalam-dalam.
Tidak berapa lama, seorang perempuan cantik muncul. Dan Ki Baligu langsung menjura hormat.
"Nyai...," sambut laki-laki tua ini.
"Ada apa, Ki?" tanya perempuan yang tak lain Dewi Saraswati.
"Seseorang menitip pesan kepada Nyai...," sahut Ki Baligu.
"Siapa dia?"
"Pemuda itu, Nyai...."
"Pemuda" Pemuda yang mana?"
Dahi Dewi Saraswati alias Tabib Siluman berkerut Dipandanginya laki-laki tua itu lekat-lekat Sementara yang dipandang menundukkan kepala.
"Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung."
"Rangga..."! Tidak mungkin! Dia sudah mati! Aku tahu persis kalau pemuda berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu terluka dalam amat parah dan tercebur dalam Telaga Air Mata Dewa!" sentak Tabib Siluman ini.
"Tapi, begitulah kenyataannya, Nyai...," tandas Ki Baligu, pelan.
"Ya! Kalau toh dia masih hidup, paling tidak memerlukan waktu berbulan-bulan untuk memulihkan kekuatannya. Tapi ini...?" gumam Dewi Saraswati, dengan kening berkerut dan kepala menggeleng-geleng. "Siapa yang menolongnya...?"
"Tapi dia benar-benar pemuda itu, Nyai...."
"Ah, sudahlah. Apa yang dititipkannya padamu..,?" sergah Dewi Saraswati sambil mengulapkan tangan.
Ki Baligu lalu menceritakan peristiwa yang tadi dialami. Sementara Tabib Siluman mengangguk dan tersenyum.
"Akan kulihat nanti malam, apakah kau berkata benar kalau pemuda itu masih hidup," tukas Tabib Siluman, setelah mendengar cerita Ki Baligu.
"Hati-hati, Nyai. Aku punya firasat tidak enak...."
"Kau meragukan kemampuanku?"
"Mana berani hamba berpikir begitu!"
Dewi Saraswati tersenyum.
"Kalau demikian, buang jauh-jauh firasatmu itu!"
"Baik..., baik..., Nyai."
"Bagus. Sudah selesaikah urusanmu?"
"Eh! Be..., belum. Nyai."
"Tidak mengapa. Biar saja kayu bakar itu. Besok kau bisa mengambilnya, bukan?"
"Iya, Nyai!"
"Bagus. Nah, bantulah Rara di sini!"
"Baik, Nyai."
Tabib Siluman berbalik dan kembali ke kamarnya.
*** Malam ini terasa dingin. Sesekali angin bertiup semilir menambah dinginnya malam. Dalam keadaan begini, penduduk Desa Galuh akan enggan keluar rumah. Sehingga tidak mengherankan bila di sepanjang jalan utama desa ini tak terlihat seorang pun berkeliaran. Semuanya bersembunyi di rumah masing-masing, atau tengah terlelap dalam mimpi. Tapi bukan hanya malam ini saja desa itu sepi. Melainkan, telah beberapa minggu lamanya sejak kejadian-kejadian buruk menimpa beberapa pemuda desa. Orang-orang tidak berani keluar malam karena takut. Demikian juga para peronda.
Dalam keadaan begitu, terlihat sesosok bayangan hitam berkelebat cepat. Begitu cepatnya bayangan itu melesat, sehingga bisa-bisa orang menyangka bahwa yang terbang melesat itu adalah seekor kelelawar besar. Sesungguhnya hanya tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi saja yang mampu berbuat seperti itu!
Arah yang dituju sosok bayangan hitam bertubuh ramping itu, adalah Telaga Air Mata Dewa. Tapi sebelum sampai ke tempat itu, mendadak berlompatan dua sosok tubuh yang langsung menghadang perjalanannya.
"Berhenti kau, iblis Betina...!"
"Hm...."
Bayangan bertubuh ramping itu menghentikan langkah, lalu berdiri tegak menghadap dua penghadangnya. Rambutnya panjang terurai. Tubuhnya dibungkus jubah hitam. Bagian mukanya juga tertutup kain hitam. Hanya sepasang matanya yang tajam berkilau, seperti mata seekor kucing dalam kegelapan.
"Ular Setan dan Tapak Bayangan, mau apa kalian ke sini"!" tanya bayangan bertubuh ramping, yang agaknya mengenali dua sosok penghadangnya.
"Hari ini kami akan membuat perhitungan denganmu, Tabib Siluman keparat! Tak ada lagi tempat bagimu untuk lari!" dengus salah seorang penghadang yang berkumis tebal.
Orang itu berusia sekitar empat puluh tahun. Bentuk mukanya agak lonjong. Kedua rahangnya agak menonjol. Rambutnya dikuncir ke belakang. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang tipis.
Sedang seorang lagi bentuk mukanya mirip tengkorak. Dia memakai ikat kepala hitam. Kedua tangannya terlipat di dada. Dan pandangan matanya tidak kalah tajam dibanding bayangan hitam di depannya itu.
"Aku datang mewakili kedua muridku, Sancang dan Satria. Perbuatanmu terhadap adik mereka sungguh terkutuk! Dan Tapak Bayangan mempunyai urusan yang hampir sama denganku. Salah seorang keponakannya mati, setelah berobat padamu. Tidak usah mengelabui kami, Keparat! Sudah banyak cerita tentangmu yang kami dengar. Kau harus mempertanggungjawabkannya sekarang juga!" seru laki-laki bersenjata pedang yang lebih dikenal sebagai Ular Setan.
"Hik hik hik..,! Sebenarnya aku malas berurusan dengan kalian. Juga, enggan mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi, baiklah. Akan kuluruskan persoalan ini. Aku sama sekali tidak pernah melakukan pembunuhan-pembunuhan yang kalian dengar dari orang-orang desa. Itu fitnah belaka!" tandas bayangan hitam yang ternyata Tabib Siluman.
"Phuih! Terkutuk kau. Iblis Laknat! Di desa ini tak seorang pun yang memiliki kepandaian hebat selain dirimu. Siapa yang mampu berbuat begitu dengan leluasa" Lagi pula, tidak perlu mungkir. Sebab, kepala desa bernama Somareksa telah mengungkapkannya semua!" tukas si Ular Setan.
"Hm.... Jadi kalian banyak mendengar cerita bohong darinya...?"
"Tidak usah berpura-pura. Sebab dalam ketakutannya, dia pun telah bercerita bahwa kau telah membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Kepala desa itu sudah semestinya mampus, karena berkomplot denganmu. Dan sebentar lagi kau akan menyusulnya ke neraka!" timpal laki-laki berwajah tengkorak yang berjuluk si Tapak Bayangan yang sejak tadi diam mendengarkan.
"Hik hik hik...! Aku telah katakan hal yang sebenarnya, tapi kalian lebih percaya pada si dungu itu. Sekarang, terserah. Apa mau kalian"!"
"Kami inginkan nyawamu. Iblis Keparat!"
Setelah berkata demikian Ular Setan melompat menyerang.
"Heaaat!"
Pada saat yang sama, Tapak Bayangan segera menyusuli. Mereka menyadari, setelah mendengar berita bahwa Pendekar Rajawali Sakti binasa, tentulah kepandaian Tabib Siluman tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka tanpa ditunda-tunda lagi, keduanya mengerahkan segala kemampuan guna menjatuhkan tabib itu secepatnya.
"Haaat!"
"Hiyaaat...!"
Ular Setan dengan permainan ilmu pedangnya yang hebat, serta Tapak Bayangan dengan ilmu silat tangan kosongnya, melakukan serangan bertubi-tubi. Bila saja yang dihadapi tokoh silat yang memiliki ilmu tanggung, niscaya sejak awal tadi mungkin mereka mampu membinasakannya. Tapi yang dihadapi saat ini adalah seorang wanita iblis perempuan berkepandaian tinggi. Jangankan mampu membinasakannya. Bahkan menyentuh ujung pakaiannya pun mereka tidak mampu.
Ilmu meringankan tubuh Tabib Siluman memang luar biasa hebat. Sedikit pun tidak merasa kesulitan menghindari serangan-serangan. Bahkan masih sempat tertawa nyaring, yang membuat kedua lawannya semakin geram saja.
"Hik hik hik...! Kerahkan seluruh kemampuan yang kalian miliki! Ayo, pamerkan semua kebisaan yang kalian miliki, sebelum aku mengirim kalian berdua ke akhirat...!" ejek Tabib Siluman.
"Keparat...!" dengus Ular Setan geram.
Mau tidak mau, laki-laki berkumis lebat itu terpaksa harus mengakui kehebatan Tabib Siluman. Tubuhnya telah mandi keringat. Dan napasnya mulai sedikit memburu. Semua ilmu pedang yang dimilikinya telah dikerahkan. Namun wanita itu sama sekali tidak bergeming. Kini dia bermaksud mencoba cara lain.
"Heaaa...!"
Disertai bentakan nyaring. Ular Setan merogoh saku jubah kuningnya. Langsung dikeluarkannya beberapa ekor ular hitam sebesar kelingking dan sepanjang kurang dari dua jengkal. Dan seketika, kedua ular itu dilemparkan.
"Sss...!"
"Mainan anak kecil begitu kau pamerkan!" ejek Tabib Siluman. "Phuih...!"
Seketika dua lendir menjijikkan meluncur dari mulut Tabib Siluman, ke arah dua ular yang meluncur ke arahnya.
Pras! Prasss! Ular-ular amat beracun itu kontan berjatuhan di tanah, menjadi beberapa bagian terhantam lendir yang dikeluarkan lewat tenaga dalam tinggi.
"Heh"!"
Ular Setan terkejut setengah mati, melihat ular-ularnya binasa hanya sekali gebrak.
"Tidak perlu terkejut. Ular Setan. Aku menguasai hampir seluruhnya tentang obat-obatan. Termasuk, obat-obatan yang mengandung racun. Meski ular-ular peliharaanmu mampu menggigitku, dia tidak akan berpengaruh apa-apa. Sebab, darah dan ludahku lebih beracun ketimbang bisa ular-ularmu...!" ejek Tabib Siluman.
"Boleh jadi begitu. Tapi, pukulan "Tapak Bayangan"-ku tidak peduli dengan segala racun-racunmu!" hal ini si Tapak Bayangan yang menyahuti.
Bersamaan dengan itu kedua telapak tangan laki-laki berwajah mirip tengkorak disorongkan ke depan.
Wesss! Seketika seberkas cahaya berwarna keperakan bergerak cepat laksana gemuruh angin topan, mengancam keselamatan Tabib Siluman.
"Heaaa...!"
"Heh..."!"
*** 8 ? Bukan main terkejutnya Tapak Bayangan ketika melihat pukulan jarak jauhnya menembus tubuh Tabib Siluman dan terus menghantam sebuah pohon besar yang ada di belakang.
Brakkk! Pohon besar itu kontan roboh ambruk, menimbulkan suara gemuruh dahsyat.
"Hik hik hik...! Ayo, kerahkan semua tenaga dalammu. Dan pilih bagian tubuhku yang empuk!" tantang Tabib Siluman, merendahkan.
"Hiaaah...!"
Tapak Bayangan mencoba sekali lagi. Kedua telapak tangannya kembali menghentak.
Wesss...! "Hik hik hik...!"
Kembali Tapak Bayangan harus menahan kekecewaan ketika sinar keperakan yang meluncur dari telapak tangannya, hasilnya tetap seperti tadi.
Pada saat yang sama Ular Setan ikut membantu. Pedangnya cepat dibabatkan.
Wuttt! "Heh"!"
Kali ini Ular Setan yang kecewa bercampur kaget, ketika pedangnya hanya menebas tempat kosong belaka. Padahal jelas senjata itu memapas pinggang Tabib Siluman.
Dan belum lagi mereka menyerang kembali, mendadak tubuh Tabib Siluman bergerak bagai tiupan angin. Lalu....
Begkh! Des! "Aakh...!"
Kedua orang itu terkesiap dan sama sekali tidak mampu mengelak. Mereka menjerit kesakitan dan terjungkal ke belakang, begitu hantaman Tabib Siluman mendarat di perut dan dada masing-masing.
"Heaaa...!"
Belum lagi mereka berbuat apa-apa, tubuh Tabib Siluman telah bergerak cepat. Kali ini yang jadi sasaran Ular Setan.
Desss! "Hugkh...!"
Ular Setan menjerit tertahan ketika perutnya diinjak Tabib Siluman. Tubuhnya sampai terangkat beberapa jengkal ke atas tanah. Dari mulutnya seketika menyembur darah segar. Namun, Tabib Siluman tidak berhenti sampai di situ.
"Kau akan mampus lebih dulu. Dan setelah itu, si muka tengkorak akan segera menyusul!"
"Wanita iblis, mampuslah kau...!"
Tapak Bayangan mencoba membantu dengan menyerang Tabib Siluman dari belakang.
Pias! Pias! "Heh..."!"
Kembali Tapak Bayangan tersentak kaget. Usahanya ternyata sia-sia, sebab pukulan dan tendangannya hanya mengenai tempat kosong.
"Percuma sama kau menyerangku, Muka Tengkorak! Lebih baik simpan tenagamu untuk menjemput ajalmu nanti," desis Tabib Siluman.
Pada saat itu Ular Setan berusaha mempertahankan diri mati-matian dari injakan Tabib Siluman yang disertai tenaga dalam tinggi. Tidak ada lagi kesempatan baginya untuk berontak, sebab tenaga dalamnya sendiri hanya mampu untuk menahan. Sementara pedangnya sudah sejak tadi terpental. Sedangkan ular-ular beracunnya sama sekali tidak berguna lagi. Tabib Siluman saat ini memang sudah mengerahkan aji "Halimunan" pada tingkat pertengahan. Pada tingkat seperti ini, tubuhnya masih terlihat jelas, namun hanya berupa bayangan semu saja. Sehingga bila sebuah pukulan menghantam, hanya seperti menyambar angin saja.
Sementara itu. Tapak Bayangan sama sekali tidak merasa jemu dan mencoba segala cara untuk mencari titik kelemahan Tabib Siluman dengan menyerang gencar.
Meski tidak mampu melukainya, namun wanita iblis ini merasa jengkel juga. Lalu....
"Hih!"
Saat itu juga. Tabib Siluman menekan perut Ular Setan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Bras! "Aaa...!"
Disertai jeritan menyayat, Ular Setan kelojotan ketika kaki Tabib Siluman amblas ke dalam perutnya. Darah langsung berhamburan dari perutnya yang pecah. Sebentar laki-laki itu meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati.
"Hiaaa...!"
Tepat ketika Tapak Bayangan meluruk menyerang dari belakang. Tabib Siluman berbalik dan menanti.
Wuttt! Tapak Bayangan melepaskan hantaman keras ke arah kepala, namun lagi-lagi hanya menghantam angin kosong. Pada saat yang sama. Tabib Siluman menghantam dadanya.
Desss...! "Aaakh...!"
Tapak Bayangan kontan menjerit keras. Tubuhnya terpental balik ke belakang. Baru saja dia berusaha bangkit, Tabib Siluman telah berkelebat sedemikian cepat mengirim serangan susulan.
Desss! "Akh...!"
Kembali Tapak Bayangan menjerit menyayat ketika hantaman Tabib Siluman mendarat di perutnya. Tubuhnya terpental dengan darah meleleh dari mulutnya. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit yang hebat, ketika ambruk di tanah.
Sementara Tabib Siluman hanya memandangi sebentar. Kemudian tubuhnya berkelebat hendak melanjutkan serangan. Tapi....
"Tahan, Tabib Siluman. Kukira sepak terjangmu cukup sampai di sini saja."
Seketika Tabib Siluman menghentikan serangan. Kepalanya langsung menoleh ke arah datangnya suara. Dan betapa terkejutnya dia ketika dua tombak di depannya telah berdiri tegak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.
*** "Pendekar Rajawali Sakti! Bukankah...."
Walaupun sempat diberitahu Ki Baligu, tak urung Tabib Siluman terperanjat kaget melihat pemuda tampan yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Semula dia memang tak yakin kalau Rangga masih hidup. Itu sebabnya, dia langsung ingin membuktikannya.
"Jangan terlalu heran, Dewi Saraswati! Yang jelas Sang Hyang Widhi belum menghendaki kematianku...," ujar Rongga kalem.
"Huh! Setan mana yang menyelamatkanmu"!" bentak Tabib Siluman.
"Seseorang yang telah kau sakiti hatinya dan kau buat cacat tubuhnya...," sahut Rangga, kalem.
"Bangsat! Jadi, Rinjani pun masih hidup"! Hm.... Jadi kau berniat membalaskan dendamnya"!" geram Tabib Siluman, seperti untuk dirinya sendiri.
"Bukan dendam. Aku hanya ingin melenyapkan keangkaramurkaanmu saja," kata Rangga, dingin.
"Bedebah...! Hiaaa...!"
Agaknya Tabib Siluman gegabah sekali. Dia terlalu percaya dengan keampuhan ilmu yang dimilikinya, sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan pertahanan dirinya. Tubuhnya langsung meluruk, melepaskan serangan bertubi-tubi ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Sebaliknya dengan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengelak. Dan tiba-tiba disabetkannya sepotong ranting.
Ctar! "Aaakh...!"
Tabib Siluman kontan memekik setinggi langit dan jatuh terjungkal ke belakang. Ternyata, aji "Halimunan" yang digunakan langsung pudar pengaruhnya. Sehingga tubuhnya yang semula berupa bayangan semu, perlahan-lahan nampak jelas membentuk jasad kasar.
"Kelor putih" Kurang ajar! Pasti Rinjani yang memberitahu!" dengus Tabib Siluman.
Sepasang matanya terbelalak kaget melihat ranting kelor putih yang telah melumpuhkan ajiannya.
"Dari siapa pun benda ini yang jelas mulai sekarang kau tidak bisa lagi membanggakan aji "Halimunan"!"
"Huh! Kau kira bisa berbuat seenaknya"! Jangan harap, sebab sebentar lagi kau akan mampus di tanganku!"
Setelah berkata begitu, Tabib Siluman melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Lalu kedua telapaknya dirapatkan di dada. Kedua tangannya perlahan-lahan bergetar. Demikian pula tubuhnya. Kemudian tiba-tiba saja....
"Heaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti 172 Mister Tabib Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Disertai bentakan nyaring, Tabib Siluman menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wut! Wus...! Bukan main terkejutnya Rangga ketika melihat selarik cahaya putih keperakan amat menyilaukan mata. Sinar itu bergerak secepat kilat ke arahnya, menimbulkan angin kencang laksana badai topan serta hawa panas yang amat menyengat.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti menjatahkan diri ke samping lalu bergulingan. Sehingga pukulan Tabib Siluman yang dikenali bernama pukulan "Sinar Api Neraka" luput dari sasaran. Namun demikian, hawa panas dari angin sambarannya seperti membakar tubuh. Dan akibat yang ditimbulkannya pun sungguh hebat. Beberapa batang pohon besar kontan mengering jadi arang, lalu perlahan-lahan ambruk.
"Hm.... Inikah yang dinamakan pukulan "Sinar Aji Neraka?"" gumam Rangga dalam hati dengan sinar mata penuh takjub.
"Hik hik hik...! Masih untung kau bisa menyelamatkan diri, Keparat! Tapi sebentar lagi tubuhmu akan lumat jadi arang!" desis Tabib Siluman.
"Silakan, Dewi. Kau yang memulainya. Dan aku hanya meladeni saja...," ucap Rangga, dingin menggetarkan.
"Hm.... Kenapa kau begitu yakin kalau aku Dewi Saraswati?" tanya Tabib Siluman, penasaran.
"Rinjani telah menceritakan semuanya...."
"Bedebah!" dengus Tabib Siluman.
"Ya! Jadi buka saja topengmu. Karena sia-sia saja kau bersembunyi di balik kain hitam itu...."
"Keparat! Akan kulihat, apakah kau masih mampu bertahan dengan aji pamungkasku," bentak Tabib Siluman. "Heaaa...!"
Tiba-tiba saja Tabib Siluman melompat menyerang. Tapi agaknya hal itu tidak semudah perkiraannya. Sebab, Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak cepat mengimbangi serangannya.
Bahkan dengan suatu gerakan yang tak terduga, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat sekali. Tangannya langsung menyambar kain hitam yang menutupi wajah Tabib Siluman.
Bret! "Ohhh...!"
Seketika, terlihatlah wajah cantik dengan sepasang mata bening. Rambutnya yang panjang terurai lepas.
"Kurang ajar...!" desis Tabib Siluman, seraya mundur beberapa langkah.
"Kau terlalu keras hati. Dewi. Mengapa mesti aku yang harus merobek kain topengmu?" ejek Pendekar Rajawali Sakti, berusaha terus membangkitkan amarah Tabib Siluman.
Dewi Saraswati alias si Tabib Siluman menggeram semakin murka. Amarahnya berkobar-kobar dan tak terkendali lagi. Kini kembali kedua tangannya merapat di depan dada. Tubuhnya bergetar keras. Lalu....
"Kau boleh mampus lebih dulu, yeaaa...!"
Wesss...! Seberkas sinar putih keperakan dari aji pukulan "Sinar Aji Neraka" kembali meluncur, begitu Tabib Siluman menghentakkan kedua tangannya ke depan.
"Hup!"
Dan Rangga cepat melenting ke atas, menghindari pukulan yang bukan main dahsyatnya. Dari mulutnya keluar keluhan ketika kakinya bagai terpanggang terkena hawa panas yang kencang luar biasa dari sambaran pukulan itu. Padahal Pendekar Rajawali Sakti telah berusaha menghindar setinggi mungkin.
"Hik hik hik...! Kau lihat" Sebentar lagi kau akan mampus di tanganku!"
*** "Dewi Saraswati! Kau terlalu memaksaku. Tapi aku masih memberi kesempatan padamu. Bertobatlah...," ujar Pendekar Rajawali Sakti, masih memberi kesempatan.
Sring! Pada saat tubuh Dewi Saraswati meluruk, Rangga cepat mencabut pedang. Seketika cahaya biru terang memancar dari mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Seketika Tabib Siluman terperanjat kaget.
Wut! Nyaris saja leher Tabib Siluman putus disambar pedang Rangga kalau saja tidak buru-buru merunduk. Tapi Rangga yang sudah memperhitungkannya cepat melepaskan tendangan dahsyat.
Wut! "Uhhh...!"
Tabib Siluman kalang kabut menghindarinya. Cepat dia menjatuhkan diri dan bergulingan. Setelah mengambil jarak, dia berusaha bangkit.
Tapi baru saja berdiri, Pendekar Rajawali Sakti kembali mengayunkan pedangnya ke arah leher sambil melompat.
Wut! "Uts!"
Kembali Tabib Siluman merunduk. Namun, pada saat yang sama kaki Rangga begitu cepat meluruk ke arah pinggang. Dan....
Begkh! "Aaakh...!"
Tabib Siluman memekik keras ketika ujung kaki Pendekar Rajawali Sakti menghantam pinggangnya.
"Keparat!" Tabib Siluman menggeram sambil berusaha bangkit. Cepat kedua tangannya disilangkan di dada.
"Kuperingatkan padamu, Dewi! Jangan coba-coba menggunakan ilmu anehmu untuk memanggil mayat-mayat yang terbunuh, sebab ranting kelor putih masih ada di tanganku!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Dewi Saraswati terkesiap. Bola matanya membelalak.
"Tidak usah terkejut. Kini tanggunglah dosa-dosamu di neraka! Hiaaa...!"
Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat mengayunkan pedangnya.
"Uhhh...."
Tabib Siluman yang telah bersiaga sejak tadi segera menghindar dengan melompat ke belakang. Namun Rangga tidak memberi kesempatan sedikit pun padanya. Pedangnya terus bergerak amat cepat.
Sementara Tabib Siluman terus berjungkir balik menghindari serangan-serangan Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, niscaya sudah sejak tadi tubuhnya terpotong-potong oleh sabetan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Namun begitu, kemampuannya pun mempunyai batas. Kini perlahan-lahan gerakannya mulai lambat. Dalam kekalutan dan rasa penasaran, dia jadi tidak percaya diri lagi.
Sementara itu pedang Pendekar Rajawali Sara telah mengurung semua ruang geraknya. Tak ada jalan baginya untuk meloloskan diri.
Tabib Siluman coba mencelat ke belakang. Namun ujung kaki kiri Rangga tiba-tiba menyapu cepat menghantam tulang kakinya.
Plak! Tabib Siluman mengeluh kesakitan. Keseimbangan tidak terjaga. Padahal saat itu juga pedang Rangga berkelebat cepat tak tertahankan lagi. Dan....
Tesss! "Aaa...!"
Tidak ada ampun lagi, Tabib Siluman memekik keras. Tubuhnya kontan ambruk ketika lehernya putus dibabat pedang. Kepalanya langsung menggelinding. Darah Tampak menyembur dari lehernya yang buntung. Sebentar tubuhnya kelojotan, lalu diam tak berkutik lagi.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memandangi mayat Tabib Siluman, lalu berbalik. Dihembuskannya napas panjang, seperti hendak mengeluarkan seluruh ganjalan hatinya.
"Hm.... Aku harus kembali ke rumah Ki Somareksa untuk mengambil Dewa Bayu yang kutinggalkan di sana...."
Setelah berkata demikian. Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat bagai kilat. Tanpa disadari, masih dua orang di tempat terpisah yang bersembunyi. Kedua orang itu tersenyum puas, melihat kematian Tabib Siluman yang menjadi momok menakutkan bagi tiga desa di kawasan tempat ini.
Kedua orang itu adalah Rinjani, yang merasa puas dendamnya terbalas. Sedangkan satunya lagi adalah Tapak Bayangan. Yang merasa kagum terhadap Pendekar Rajawali Sakti yang telah menyelamatkannya dari kematian.
? SELESAI ? Serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya :
TEROR TOPENG MERAH
? ? Scanned by Clickers
? Misteri Tabib Siluman
? Kembali ke Daftar Isi
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Rahasia Kampung Garuda 6 Rajawali Sakti Dari Langit Selatan Lanjutan Sin Tiauw Hiap Lu Karya Sin Long Pedang Bunga Bwee 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama