Ceritasilat Novel Online

Rantau Satu Muara 5

Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 5


mountain and the ocean" woaaaaa."
"He meets Superman on one of his flight."
"Hi Mr. Superman how is your flight?" tanya Gatotkaca.
"Cruising smoothly with some turbulence above New York. Where
are you heading to Mr. Gatotkaca?" balas Superman.
"Going back to Pringgondani. It is time to go home. Saatnya pulang."
Lalu Dalang Leo menggerakkan tangannya dan membuat
kedua wayang ini melakukan high five sebelum melesat terbang
ke tujuan masing-masing. Penonton bertepuk tangan melihat
kreativitas Dalang Leo menyisipkan sosok Superman ketika
Gatotkaca terbang pulang.
327 rantau1muara.indd 327 Kira-kira sepekan setelah kami menonton wayang, aku kembali terlonjak kaget subuh-subuh. Tiba-tiba di sampingku Dinara menyibak selimut dan langsung duduk lurus-lurus. Janganjangan dia mengusulkan rute dadakan lagi. Ke mana kira-kira"
Dia menghadapku dan berkata, "Bang, ke Jakarta yuk. Sudah
waktunya kita pulang."
"Hah, kayak Gatotkaca saja ingin pulang. Mau berapa minggu?" jawabku asal-asalan.
"Selamanya. For good."
"Hah, serius?" Dia mengangguk pasti. "Kenapa?" tanyaku tergagap.
Aku mengucek mata memastikan aku bangun. Sudah dua
tahun kami tinggal di DC. Kata pulang belum pernah muncul
dalam obrolan kami. Aku kira kami masih menikmati apa yang
kami punyai sekarang: kebebasan, uang, dan pekerjaan yang
baik. Masa susah kami sudah lewat, sekarang tinggal menikmati
hasil setelah lelahnya berjuang. Mungkin ini saatnya bagiku
untuk membalas dendam atas semua kesulitan masa lalu. Inilah saat aku menabung dan berburu investasi. Pulang bukan
pilihan yang ada dalam pikiranku. Ini masaku. Ini momenku
untuk aku manfaatkan. Pulang" Belum terpikir sekarang.
"Bang, cobalah pikir lebih panjang. Apa yang akan kita
dapatkan di sini akan habis ketika kita mati. Apa yang kita
nikmati ini hanya untuk diri sendiri. Saatnya untuk lebih bermanfaat." Tiba-tiba di mataku Dinara berubah laksana seorang
328 rantau1muara.indd 328 pengkhotbah nilai-nilai luhur bangsa. Dari mana dia dapat
kata-kata ini" "Kenapa harus Indonesia" Kalau mau bermanfaat, di sini
juga bisa." "Kan Abang sendiri yang pernah bilang, sebaik-baiknya manusia itu yang bermanfaat buat orang lain. Yang paling perlu
manfaat itu ya Indonesia. Bangsa kita." Dia tiba-tiba jadi nasionalis tulen.
Dia meneruskan, "Lagi pula, kita tidak akan jadi siapa pun
yang besar di sini. Kita memang bisa hidup enak dan makmur,
tapi kita tetap saja imigran."
"Belum tentu. Kita bisa meraih American Dream. Kita cari,
kejar, dan kesempatan itu ada. Kita bisa jadi siapa saja," tangkisku.
"Bang, impian dan kesuksesan aja tidak cukup. Ada keluarga.
Ada kampung halaman. Ada hubungan darah. Ada rumah."
Berhari-hari kami membahas hal yang sama dengan satu kesimpulan, kami sepakat untuk tidak sepakat. Dinara mengaku
sudah lama memikirkan masalah pulang ini tapi baru sekarang
dia diskusikan. Keputusan masalah pulang for good ini akan kami tunda dulu, setidaknya sampai visa kami habis masa berlakunya tahun depan. Aku masih ingin tinggal di Amerika.
Apakah ini benar-benar keinginan terdalamku, atau malah
ini bentuk kekhawatiranku yang terdalam" Jangan-jangan aku
khawatir untuk pulang ke Indonesia dan kehilangan semua kenyamanan dan kebebasan di sini.
Belum lagi masalah kualitas hubunganku dengan Dinara.
329 rantau1muara.indd 329 Aku sangat menikmati kebersamaan kami tanpa diganggu orang
lain. Jauh dari keluarga malah membuat hubungan kami kuat.
Kami hanya bisa saling mengandalkan satu sama lain. Di saat
senang dan di saat sulit. Kami menjelma bukan sekadar sepasang suami-istri, kami adalah dua sahabat.
Mungkin aku sebenarnya tidak khawatir tentang pulang tapi
lebih tepatnya, aku takut. Takut tidak nyaman.
330 rantau1muara.indd 330 Selasa Hitam Pekat Ping... ping.... umben laptop-ku pagi-pagi sudah berisik. Iseng sekali ada
yang online sepagi ini. "Sudah waktunya, saya benar-benar akan pulang, Lif. Tiket untuk
flight bulan depan sudah di tangan. Legaaa...," tulis Mas Garuda di
kolom chatting. Membaca tulisannya saja aku bisa membayangkan senyumnya
melebar dan "ehm"-nya pasti muncul saking bersemangatnya.
Di matanya mungkin kini sudah terbayang-bayang orangtuanya
di kampung di Jawa Tengah dan tentulah wajah calon istrinya.
Perantauannya akan segera berakhir di benua ini.
"Awas jangan langsung pulang aja ya, kita bikin dulu farewell
party di DC, Mas." "Boleh aja. Syaratnya, kamu main dulu ke New York. Ini ada beberapa lungsuran barang yang mungkin masih bisa dipakai."
"Asyik. Oke, Mas. Minggu depan deh saya sama Dinara ke NYC."
"Saya tunggu kalian. Awas lho kalau tidak datang..."
Sambil menunggu Dinara yang sedang berkemas, aku mengecek beberapa e-mail sambil menyibak gorden. What a beautiful
day! Aku dongakkan kepala menatap langit yang biru lembut.
331 rantau1muara.indd 331 Hanya beberapa titik awan di sudut langit, selebihnya bersih
terbentang. Dari jendela apartemen di lantai tiga ini aku juga bisa menikmati lanskap Foggy Bottom. Dulu bukan kawasan favorit tapi
sekarang Foggy Bottom adalah wilayah mahal. Reputasinya naik
daun ketika organisasi internasional besar seperti World Bank
dan IMF mendirikan kantor di sini. Aku layangkan pandangan
ke arah selatan. Di sana tampak bangunan Kementerian Luar
Negeri dan Kementerian Dalam Negeri AS. Di ujung barat
terlihat sayup atap Kennedy Center for the Performing Arts
dan kompleks Watergate yang berbentuk setengah lingkaran.
Di Watergate inilah bermula skandal politik besar tahun 1972
yang memaksa Richard Nixon mundur dari jabatan presiden
Amerika Serikat. Sedangkan di ujung timur terlihat pucuk White House. Kadang-kadang dari apartemen aku bisa melihat beberapa orang
berjalan di atapnya, berpakaian hitam, berhelm, dan membawa
senapan. Mungkin mereka sniper atau Paspampres yang meronda.
Aku selalu bercanda kepada teman-temanku, "Rumahku adalah
rumah yang paling aman di DC. Sepelemparan batu dari rumah Presiden, para intel berkeliaran, gak akan ada yang berani.
Apalagi teroris. Kelasku bukan hansip atau satpam, tapi Paspampres," kataku. Mereka mengangguk-angguk setuju.
Setentang dengan sudut jendelaku, di kejauhan berdiri
kokoh Washington Monument. Bangunan yang dulu hanya di
alam mimpiku ketika masih di Pondok Madani. Yang menjadi
magnet impianku. Yang kini bagai mengamati aku hilir-mudik
di kota ini. 332 rantau1muara.indd 332 Matahari bergegas naik di musim gugur yang tenteram ini.
Bunga-bunga yang sudah puas memamerkan kuntumnya kini
kembali kuncup. Musim ini juga musim yang penuh warna karena daun-daun pohon maple berganti warna perlahan setiap
hari mulai dari hijau, kuning, merah, cokelat. Lalu pohon-pohon ini pelan-pelan merelakan daunnya gugur ke tanah.
"Yuk, Sayang. Kita ada rapat redaksi pagi ini," kataku sambil
mengecek jam tangan dan menutup laptop.
Dinara berlari-lari kecil, "Sebentar, ini lagi membungkus teri
balado untuk makan siang bareng-bareng nanti," katanya. Sarapan kami boleh dua helai roti gandum dan selai kacang, tapi
perutku sulit dibujuk hanya dengan roti, sehingga makan siangku tetap memerlukan nasi. Dan teri balado buah karya Dinara
adalah salah satu teman nasiku yang paling karib.
Kami mengayuh sepeda sambil mengobrol menuju kantor di
Pennsylvania Avenue. Aku selalu senang menikmati aroma sepanjang rute kami ini. Bau biji kopi yang baru disangrai meruap
dari pintu kedai kopi, aroma bagel yang baru diangkat dari panggangan mengalir dari sebuah toko roti kecil di ujung jalan. Beberapa blok setelah itu hidungku disambut oleh beragam wangi
bunga potong yang dijual di ember-ember putih di pinggir jalan.
Angin kembali bertiup lembut, membawa bau musim gugur
yang segar. Daun-daun maple menari-nari di ujung-ujung dahan
untuk bersiap-siap tanggal ke Bumi. Pagi yang sempurna.
Selepas memarkir sepeda kami berlari kecil bergegas ke ruang
rapat. Aku dan Dinara yang sudah khawatir kami terlambat,
333 rantau1muara.indd 333 mendapati ruangan rapat kosong melompong. Suasana yang
biasa riuh, kali ini senyap.
Di sudut kantor, rekan kerja kami mengerubungi televisi.
"Ada apa, ada apa?" tanyaku kepada Tom yang tampak menggigit-gigit ujung jarinya.
Tom tidak langsung menjawab, tangannya menunjuk ke layar
TV. "Tampaknya gedung World Trade Center di Manhattan terbakar. Entah kenapa. Si penyiar TV juga masih bingung," katanya pelan tanpa melepaskan mata dari layar kaca.
Gambar di layar TV itu berulang-ulang muncul seperti video
yang di-looping. News anchor menceracau seperti murai terkejut.
Kami semua diam, kadang terdengar bisikan khawatir dari sana
dan sini melihat kepulan asap hitam semakin pekat dari lantai
atas gedung WTC I di bagian selatan.
Tidak lama kemudian, penyiar menyatakan ada sebuah video eksklusif yang mereka dapatkan tentang kejadian sebelum
asap mengepul. Bulu remangku berdiri ketika melihat di layar
TV sebuah pesawat berbadan besar terbang mendekat dan menabrak gedung pencakar langit ini.
Bagai melihat hantu beberapa orang berteriak.
"Oh my God. What is happening?"
"This is not real. What is going on?"
Penyiar memberikan informasi bahwa kejadian ini terjadi
jam 8:46 pagi. "Masya Allah, ada pesawat lain yang mau menabrak tower
yang satu lagi!" jerit Dinara di sebelahku sambil menunjuk TV.
334 rantau1muara.indd 334 Aku menutup mulutku karena kaget. Tom berteriak, "Oh this
is disaster!" Pesawat itu terbang sangat rendah dan menabrak menara
WTC yang kedua. Kali ini dampak ledakannya lebih besar.
Cendawan asap bercampur gejolak api tampak membubung
tinggi seperti unggun raksasa disiram bensin. Tapi ini bukan api
unggun, ini kompleks perkantoran pencakar langit di jantung
New York. North Tower dan South Tower. Rasanya sureal, seperti mimpi saja melihat pemandangan mengerikan ini.
Kamera awak TV mengambil gambar dari helikopter yang
terbang mengelilingi Manhattan. Dari kejauhan Twin Tower
WTC ini bagai dua obor yang baru disulut. Api dan asap
menjilat-jilat. Lubang-lubang udara gedung itu bagai cerobong,
memuntahkan asap hitam bergelombang-gelombang. Suasana
jalanan sekitar menara kembar ini penuh kesibukan, mobil pemadam kebakaran, paramedis, dan polisi hilir-mudik dengan
sirene mereka yang saling tumpang tindih, ingar-bingar. Di
tengah laporan dari New York, ada laporan tambahan, bahwa
sebuah pesawat baru saja menabrak Pentagon jam 9:30. Tiga
pesawat kurang dari satu jam!
Tiba-tiba, bagai terhipnosis masal, seperti dikomando kami
terpekik hampir bersamaan. Bahkan Ibu Rita, salah satu produser kami, sampai menangis tersedu-sedu. Penyebabnya, di layar
televisi, kami melihat South Tower berlantai 100 yang tadi hanya terbakar, kini sekonyong-konyong runtuh seperti dientak ke
dalam perut Bumi. Rata dengan tanah hanya dalam hitungan
detik. Horor belum berakhir, beberapa menit kemudian giliran
335 rantau1muara.indd 335 North Tower ikut roboh. Gambar di televisi seperti film Hollywood sedang klimaks, gedung mahabesar menyemburkan bunga
api yang besar dan lantas luluh seperti lilin panas yang lunak di
pengujung malam. Meleleh, hancur sampai ke dasar.
Sejenak kemudian, ada kabar sebuah pesawat lagi meledak di
Pennsylvania. Empat pesawat! Tidak ada keraguan lagi. America
is under attack! Entah oleh siapa.
Semua orang tegang dan panik, termasuk Tom yang biasanya
tenang itu. Adiknya bekerja di gedung dekat WTC yang roboh
barusan. Beberapa teman tampak mencoba menelepon saudara
yang tinggal di New York untuk memastikan mereka aman.
Erica, seorang teman yang punya adik yang bekerja di gedung
WTC, mulai menangis sambil menyebut-nyebut nama adiknya.
Teleponnya dari tadi tidak dijawab.
Mas Garuda! Masya Allah, kenapa aku baru sadar. Dia juga
di New York! Tuts telepon aku tekan keras-keras untuk menghubungi dia. Tapi sudah berkali-kali aku menelepon, dia tetap
tidak menjawab. Di handphone-nya hanya ada pesan, "Hi this is
Garuda, I am not available right now. Please leave your message after
the beep and I will call you back as soon as possible. Ehm."
Aku coba menghubunginya lewat chatting tapi dia sudah
off line sejak kontak singkat kami subuh tadi. Dinara mencoba
menghibur diriku, "Bang, kan Mas Garuda tinggal di Queen.
Itu jauh dari Manhattan. Apalagi dia kan bilang setiap Selasa
dia libur. Seharusnya dia tidak akan ada di kantor dan sekitar
Manhattan." Aku baru ingat, iya, setiap Selasa dia libur. Aku sedikit
336 rantau1muara.indd 336 menarik napas lega tapi tetap saja khawatir karena belum mendengar suara dia langsung.
"Bang, kenapa tidak nanya ke Mas Rama aja?"
Aku menelepon Mas Rama, yang tinggal satu apartemen
dengan Mas Garuda. "Maaf Lif, saya lagi sibuk liputan di Manhattan. Tapi tadi pagi sih masih ketemu Mas Garuda di lift.
Kayaknya dia baik-baik saja kok. Nanti saya kabarin kalo ketemu
ya. Sorry, got to go," katanya terburu-buru. Aku bisa mendengar
di belakangnya ada suara sirene dan keriuhan. Mungkin dia
sekarang sedang melakukan reportase langsung di ground zero,
di lokasi World Trade Center yang ambruk.
Semoga Mas Garuda memang baik-baik saja. Amin, ya Allah.
Tanggal 11 September 2001 ini menjadi hari tersibuk aku
dan Dinara di kantor. Setelah melakukan liputan ke Pentagon dan rumah sakit yang merawat korban di Pentagon, kami
kembali ke newsroom. Lalu bersama teman-teman lain kami
lintang pukang bergantian siaran dan melaporkan kabar terkini
ke segala penjuru Indonesia. Sebaliknya belasan stasiun televisi
dan radio di Tanah Air tak henti-henti meminta kami memberikan laporan terbaru. Sampai sore, masih belum ada kabar
tentang Mas Garuda. Aku semakin cemas.
Kami baru bisa pulang dari kantor jam 10 malam dengan
tubuh serasa remuk. Itu pun aku membawa pulang kamera
untuk liputan langsung besok pagi. Tiba di rumah, mesin penjawab telepon berkedip-kedip. Dalam hati aku berharap Mas
Garuda yang meninggalkan pesan. Aku tekan tombol play. Me337
rantau1muara.indd 337 sin perekam mendengung sejenak ketika memutar kaset, lalu
setelah bunyi bip, terdengar suara panik. Bukan suara laki-laki.
"Assalamualaikum. Halo, halo" Alif, Dinara.... Tolong bantu
Mas Nanda. Telepon balik segera ya. Please."
Lalu ada tiga pesan yang mirip di sela-sela isak tangis Mbak
Hilda. Hatiku tiba-tiba dijalari perasaan tidak enak. Dengan terburu-buru aku tekan nomor rumah Mbak Hilda.
"Mbak, maaf tadi sibuk di kantor. Kenapa Mas Nanda,
Mbak?" Di ujung sana terdengar suaranya sengau, seperti pilek.
"Mas Nanda tidak bisa dihubungi sejak pagi dan sampai sekarang belum pulang-pulang juga. Saya takut..."
"Mas Nanda ke mana?"
"Dia tadi subuh berangkat ke New York, ada janji dengan
Mas Garuda di kantornya...." Tangisnya kembali pecah.
"Masya Allah...." Hatiku menciut. Aku beristigfar. Seketika
aku merasa aliran dingin merayap ke seluruh urat sarafku. Aku
tahu lokasi kantor Mas Garuda yang di Manhattan itu tidak
seberapa jauh dari WTC. Tapi dia libur tiap hari Selasa. Dia


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

libur. Apa jangan-jangan karena ada janji dengan Mas Nanda,
maka dia ke Manhattan di hari nahas ini" Dinara yang menguping pembicaraan mencengkeram lenganku, ikut tegang.
Tindakan pertamaku, meraup kunci mobil. Aku geber mobilku segera ke rumah Mbak Hilda.
338 rantau1muara.indd 338 Wajah Mbak Hilda pucat pasi. Dia hanya duduk dengan
lunglai di sofa apartemennya sambil bersedekap. Si kembar,
Putra dan Putri, duduk di lantai sambil memegang ujung baju
ibunya. Keduanya menangis dengan isakan pelan. Dinara merangkul mereka untuk menenangkan. Mereka berdua membenamkan kepala ke pangkuan Dinara tapi tangisan mereka tidak
berkurang. "Kawan-kawan di New York juga tidak ada yang tahu dan
melihat Mas Nanda. Ke siapa lagi kita harus bertanya?" kata
Mbak Hilda sambil melihat ke jendela. Pandangannya seperti
mencoba menembus pekatnya malam. Dengan segala kekisruhan ini, tidak banyak pihak yang bisa diandalkan untuk
membantu. Ini bukan bencana kami saja, ini bencara nasional,
bahkan dunia. Semua orang sibuk dengan masalah mereka masing-masing. Saatnya untuk i"timad ala nafsi. Harus bertopang
pada diri sendiri dan Yang Mahakuasa.
"Mbak, tidak ada cara lain. Aku harus pergi sendiri ke Manhattan."
"Kapan?" "Pagi, setelah subuh."
Aku kaget sendiri mendengar solusi heroikku ini. Pergi ke
New York yang luas, mencoba mencari kawan dengan tangan
sendiri" Sesungguhnya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Tapi apa ada hal lain yang bisa aku lakukan selain pergi ke
lokasi sesegera mungkin"
"Dinara ikut," kata Dinara dengan nada suara mantap. "Ta339 rantau1muara.indd 339 pi..." Belum aku menyelesaikan kalimat, dia sudah menatap
mataku dalam-dalam. "Pokoknya kita harus selalu berdua, Bang." Melihat tekad di
matanya, aku tahu dia tidak akan bisa dilarang.
Baru tadi pagi aku berjanji kepada Mas Garuda untuk mengunjungi dia di New York minggu depan. Baru tadi pagi dia
bilang menunggu kami datang. Kami benar-benar akan datang.
Hanya saja lebih cepat dan untuk alasan yang berbeda.
340 rantau1muara.indd 340 Garuda Hinggap di Mana"
eadaan di Manhattan kacau sekali Lif. Saya belum juga
ketemu Mas Garuda. Kalau kamu mau ke sini boleh,
nanti kita ketemu di NYU Hospital aja, kita cari Mas Garuda
sama-sama," jawab Mas Rama ketika aku telepon dia lagi. Suaranya serak dan bernada khawatir.
Aku menginjak gas dalam-dalam menuju New York. Tak
ada kantuk, tak ada lelah, yang aku rasakan hanya kencangnya
detak jantung dan derasnya aliran darah di nadi. Beberapa kali
Dinara menyuruhku lebih pelan, "Bang, jangan ngebut-ngebut.
Jangan sampai kita malah kecelakaan atau malah kena tilang karena speeding," katanya. Interstate 95 North menuju New York,
yang hampir selalu ramai kali ini anomali, hampir tidak ada
mobil pribadi tapi banyak mobil polisi dan ambulans. Udara
dipenuhi sirene yang bertalu-talu. Beberapa ruas jalan ditutup,
sehingga Dinara harus membuka peta untuk mencari rute alternatif.
Hari masih gelap ketika kami melewati sebuah plang yang
berayun-ayun ditiup angin dini hari. Di plang hijau ini terpampang tanda panah lurus besar, di bawahnya tertulis New York
City. Dari kejauhan, kami sudah melihat rimbunnya hutan beton New York. Sejumlah bangunan masih menyalakan lampu,
kerlap-kerlip seperti kunang-kunang. Mungkin ini inspirasi
341 rantau1muara.indd 341 Umar Kayam dulu ketika menulis Seribu Kunang-Kunang di
Manhattan. Kami hampir tiba.
"Ke mana kita mulai pencarian ini" New York begitu luas,"
tanyaku kepada Dinara. "Bang, kita mulai saja dari yang kita paling tahu. Kantor
Mas Garuda," usul Dinara. Aku setuju. Apalagi telepon di apartemennya sejak kemarin sampai beberapa menit lalu hanya masuk ke mesin penjawab telepon.
Semakin mendekat ke Manhattan, semakin aneh rasanya
melihat pemandangan kota ini. Menara kembar WTC yang masif dan jangkung selama ini tegak berdiri bagai merajai lanskap
kota, kini hilang tak berbekas. Hanya kepulan asap hitam yang
tampak mengepul dari bekas tempat North Tower dan South
Tower berdiri. Manhattan pagi ini bukan Manhattan yang biasa
kami kenal. Beberapa kilometer sebelum kami menyeberang Selat Sungai
Hudson melalui Holland Tunnel menuju downtown, aku harus
menginjak rem mendadak. Empat mobil polisi memalang jalan
dan belasan aparat menyandang senjata berlaras panjang mondar-mandir. Mereka menghentikan mobil-mobil yang datang
dan berbicara dengan pengemudi. Beberapa mobil tampak memutar balik.
Aku terpaksa menepi. Seorang polisi berhelm dengan rahang persegi menyapa dengan suara serak: "Good morning, Sir. Manhattan is closed for public." Seorang polisi lain yang membawa senter menyorot bangku
belakang kami. Mungkin memeriksa kalau di mobil kami ada
342 rantau1muara.indd 342 bawaan yang mencurigakan. Berita tentang tragedi WTC kemarin menaikkan level kewaspadaan semua orang.
"Our relatives are missing. We need to find them," kataku
dengan suara meninggi. Di kepalaku terbayang Mas Garuda dan
Mas Nanda yang tidak tentu nasibnya.
"We are very sorry to hear it. But no, unfortunately you can not go
further. Evacuation team is in place to locate the missing persons." Dia
memalangkan tangan. Kami tidak bisa masuk.
Aku naik pitam. Ini masalah nyawa orang yang dekat di
hatiku. "Bagaimana mungkin kalian menghalangi orang mencari keluarganya?"
"That is our order." Ini perintah dari atasan. "Hanya penduduk
Manhattan dan orang yang berkepentingan," jawabnya dalam
bahasa Inggris. "Saya berkepentingan."
"No. Hanya rescue team, paramedik, dan media."
Pikiranku berkelebat. Kenapa tidak dari tadi si petugas menyebut hal ini.
"I am a journalist," kataku dengan cepat.
"May I see some ID?" katanya seperti menyangsikan kebenaran
perkataanku. Aku mengeluarkan ID wartawan kami. Aku teringat kamera
liputan yang masih tergeletak di bangku mobil belakang. Aku
angkat kamera itu untuk meyakinkan. Polisi ini membawa
kartu pers kami ke temannya yang lain. Dari spion aku lihat
343 rantau1muara.indd 343 mereka menyorotkan senter ke ID-ku, berdiskusi dan tak lama
kemudian kembali berjalan ke arah mobil kami.
"Unfortunately Sir. Anda perlu kartu khusus dari NYPD untuk meliput di Manhattan."
"Please, sejujurnya saya tidak hanya meliput, tapi akan juga
mencari saudara kami. Dia bekerja di Manhattan. Saya kira tidak akan menyalahi order pemimpin Anda, karena saya adalah
wartawan. Media seharusnya boleh masuk. Tolong...." Suaraku
agak bergetar dan mengiba-iba.
Dia berdiri bimbang. Mungkinkah dia punya anak-istri" Sebelum aku bertindak, Dinara seperti membaca pikiranku. Dengan cepat dia meraih foto Mas Nanda bersama anak istrinya
yang sengaja kami bawa untuk identifikasi. Dia tunjukkan jarinya ke foto itu. "Officer, for this lovely family. Please...."
"And also for my brother," kataku dengan segenap perasaan
memperlihatkan foto Mas Garuda sedang di atas kano bersamaku. Aku tidak sadar kalau mataku dari tadi sudah basah,
karena membayangkan ketidakjelasan nasib Mas Garuda dan
Mas Nanda. Dia baru saja akan menggeser palang saat temannya yang
membawa senter tadi mendekat. "Anda hanya bisa masuk sendiri. Teman Anda tidak boleh. Dia bukan wartawan. Please
Mam," katanya mengangguk ke Dinara.
Dinara dengan cepat menunjukkan kartu wartawannya juga.
Dan juga mengambil mikrofon di laci mobil. Tersisip di kepala
mikrofon itu sebuah kotak kecil bertuliskan nama ABN.
Palang diangkat, kami meluncur.
344 rantau1muara.indd 344 Setiap beberapa blok kami bertemu lagi dengan pos penjagaan dan aku harus menerangkan lagi dari awal. Di pos terakhir
menjelang downtown Manhattan, kami benar-benar tidak diperbolehkan masuk lagi oleh seorang tentara yang berjaga. Dia
menyuruh kami menunggu di pos. Katanya, evakuasi masih
berlangsung. Aku bersikeras, ini persoalan mati dan hidup. Setelah beradu argumen, dengan wajah kuyu seperti kurang tidur,
tentara itu akhirnya menyerah. "Kalian boleh masuk, tapi mobil
ditinggal di sini," katanya tegas.
Tidak ada jalan lain, mobil kami tinggalkan di sebuah gedung parkir. Kami berjalan kaki melintas jalan yang dipenuhi
sampah segala bentuk, mulai dari kertas, pecahan kaca, serta
tembok reruntuhan bangunan. Mataku hampir tak percaya
melihat kawasan Manhattan yang biasanya teratur dan bersih
sekarang porak-poranda seperti habis digasak topan tornado.
Kami menutup hidung setiap mobil ambulans dan pemadam
kebakaran hilir-mudik menerbangkan debu tebal yang melapisi
jalan. Kawanan merpati kota yang biasanya punya bulu mengilat,
kali ini tampak ikut kusam karena bulunya dilapisi debu.
Aku terlonjak kaget ketika hampir menubruk seorang perempuan separuh baya yang berjalan terhuyung. Dia berteriak
seperti lolongan, "Honey, where are you" Don"t you dare leave me
alone like this! Kenapa kamu harus bekerja kemarin?" Dia berjalan sambil bicara ke selembar foto seorang laki-laki yang ditentengnya. Aku dan Dinara mencoba mengajak ibu ini bicara,
345 rantau1muara.indd 345 tapi tampaknya dia terus bicara dengan foto itu. Lalu dia mendongak dan memandang kami berdua, "Kantor suami saya di
lantai 30 menara WTC I," katanya dengan suara lemah.
Semakin mendekat ke ground zero, jalan yang kami lalui
semakin dipenuhi sampah, debu, dan reruntuhan gedung.
Bau hangus tercium keras di mana-mana. Dinara terpekik ketika sepatunya tidak sengaja menginjak sebuah kacamata yang
tercecer. Aku sudah dua kali melangkahi sepatu, topi, sobekan
baju, sadel sepeda, dan bangkai mobil yang hancur dan terbakar. Beberapa saat kami terpaku melihat pemandangan ini.
Tapi kami harus segera bergerak. Setiap detik mungkin sangat
berharga untuk Mas Nanda dan Mas Garuda.
Kami berjalan beberapa blok lagi untuk mencapai kantor
Mas Garuda yang cukup dekat dari WTC. Jendela-jendela kaca
kantor ini hancur berkeping-keping seperti habis dihujani batu.
Aku kuakkan pintu kantor itu. Arsip, layar komputer, barang
kiriman, terserak di mana-mana. Tidak ada siapa-siapa di dalam.
"Tapi Mas Garuda kan libur hari Selasa," kataku berulangulang seperti rekaman kaset rusak.
"Bang, jangan-jangan Mas Garuda mengajak Mas Nanda ketemu di sini dan makan gyro di sebelah," kata Dinara menjawab
pelan, seakan tidak ingin terdengar. Masuk akal. Boleh jadi dia
memang libur, tapi dia datang ke kantor kemarin untuk bertemu Mas Nanda.
Kami sampai di warung Hasan"s Halal Gyro. Kursi dan meja
plastik di warung ini berantakan seperti habis dihajar topan.
Keranjang bayinya kosong. Debu tebal menutupi lantainya. Se346 rantau1muara.indd 346 pertinya Hasan tergesa-gesa meninggalkan kiosnya tanpa sempat
membereskan apa-apa. Selada, beberapa butir tomat, dan botol-botol saus tercampak sampai ke jalan. Potongan daging
kambing dan ayam terserak di lantai. Kompornya ditutupi busa
yang mungkin disemprotkan pemadam kebakaran untuk menghindari terjadinya jalaran api. Di ujung meja yang terbalik, aku
melihat sebuah piring aluminium berisi nasi briyani oranye dan
gyro yang sudah bercampur dengan pecahan kaca dan debu. Segelas kopi tumpah di sebelahnya. Menu ini persis dengan yang
aku pesan waktu itu. Menu rekomendasi Mas Garuda. Mungkinkah ini bekas piring dia"
Aku mengangkat sebuah kursi terbalik yang menghalangi
langkahku. Sedetik setelah itu, bulu romaku merinding hebat.
Di lantai di tempat bekas kursi tadi terbujur, aku melihat sesuatu yang aku kenal baik. Aku ulurkan tangan untuk meraih syal
yang sudah bergelimang debu itu.
Syal batik bermotifkan gambar garuda yang sedang mengembangkan kedua sayap. Ini syal yang selalu Mas Garuda
pakai ke mana saja. Aku semakin merinding mengingat cerita
Mas Garuda. Syal batik ini dilukis sendiri dengan canting oleh
sang Mbok. Tak syak lagi, Mas Garuda kemarin di sini. Dan
kemungkinan besar juga Mas Nanda. Bunyi sirene mengaung
kencang hilir-mudik di sekitar kami.
"Ya Allah, tunjukilah kami jalan untuk menemukan mereka," pintaku dengan lemas sambil menggenggam erat syal
itu. Badanku rasanya lelah dan kakiku seperti tidak bertenaga
menopang badan. Dinara menguatkanku, "Bang, siapa tahu
mereka sudah keluar dari warung ini waktu kejadian itu, atau
347 rantau1muara.indd 347 mungkin sudah dievakuasi." Aku perlu prasangka baik seperti
ini. Aku ingin sekali percaya apa kata Dinara. Tapi aku tidak
tahu cara untuk membuktikan bahwa itu benar.
Sesuai janji, kami akhirnya bertemu Mas Rama yang sudah
menunggu di depan NYU Downtown Hospital. Muka dan rambutnya cemang-cemong oleh debu dan bajunya kusut masai.
"Sudah dua hari ini saya di lapangan terus meliput," katanya
dengan suara serak. "Sudah dua hari ini pula saya bertanya-tanya tentang Mas Garuda dan Mas Nanda. Saya sudah cek di
rumah sakit ini, termasuk juga ke kantor Konsulat Jenderal RI.
Masih nihil." NYU Hospital ini berdiri di dekat pusat tragedi, ground zero.
Ambulans dan paramedik rumah sakit ini keluar-masuk tiada
henti. Di samping rumah sakit tampak berjejer mobil trailer
pembawa mesin diesel untuk memasok listrik yang mati sejak
kemarin. Sekelompok orang keluar rumah sakit membawa foto
anggota keluarga mereka dan berjalan dengan wajah tertunduk.
Mereka memberhentikan pejalan kaki yang lain, menunjukkan
foto dan bertanya apa melihat orang dalam foto itu. Tiada bedanya mereka dengan aku dan Dinara. Di tangan kami juga ada
foto Mas Nanda dan Mas Garuda.
"Gini aja, kita berbagi tugas. Saya akan mencari ke sekitar
ground zero. Kalian berdua agak ke arah luar police line. Soalnya
sekarang keamanan diperketat, yang bisa mendekat ground
zero hanya yang punya ini," dia memperlihatkan sebuah kartu bertuliskan This ID card holder can enter the police line for
journalistic duty. NYPD. 348 rantau1muara.indd 348 "Ini kartu meliput yang khusus dikeluarkan New York Police
Department. Selain yang punya ID ini, pasti distop."
"Jadi kita nyari ke mana Mas?" tanyaku.
"Caranya hanya satu. Kita datangi satu-satu rumah sakit,
klinik, dan kantor polisi di sekitar sini. Mulai dari yang paling
dekat kira-kira dua blok dari sini. Mereka biasanya punya daftar
nama korban yang masuk. Mungkin mereka ada di sana."
"Kalau gitu, kita mulai dari melihat peta ini." Dinara sibuk
membentangkan peta wilayah Lower Manhattan. Dengan pulpen dia menandai rumah sakit dan pos polisi yang ada di sekitar kami berada. Sejenak kemudian kami berpencar. Aku dan
Dinara menjauhi lokasi WTC, sedangkan Mas Rama berjalan
menembus police line ke ground zero.
Sudah empat pos darurat dan dua rumah sakit kami datangi
hari ini. Kami ikut berbaur dengan gelombang warga yang
senasib dengan kami. Ada yang menangis, ada yang berteriakteriak meratap, ada yang marah-marah, tapi ada juga yang seperti terduduk diam. Semua mencari sanak keluarga yang tidak
bisa dihubungi sejak kemarin. Kami bagai mencari jarum di
tumpukan jerami. Mencari seseorang yang entah ada entah telah tiada.
Di setiap rumah sakit kami periksa ratusan daftar nama korban yang dirawat, dan juga daftar nama mayat yang ada di kantong jenazah. Puluhan mayat tertulis John Doe atau Jane Doe,
alias tidak bernama. Buat John Doe, tiada pilihan, kami minta
izin petugas untuk membuka ritsleting kantong mayat untuk
keperluan identifikasi. Sejauh ini belum ada tanda-tanda Mas
Nanda dan Mas Garuda. 349 rantau1muara.indd 349 "Bagaimana sekarang Bang?" tanya Dinara dengan wajah layu sambil berselonjor di tangga rumah sakit.
"Kita rehat sebentar," kataku ikut berselonjor dan memijat
kaki. Tuhan mendengar doa kami. Di rumah sakit yang ketiga,
kami mendapatkan keajaiban. Kami bahkan tidak perlu memelototi daftar nama yang panjang. Di beberapa baris teratas
daftar korban kami menemukan nama itu: Nanda. Jantungku
berpacu cepat. Semoga juga ada Mas Garuda.
Kami temukan Mas Nanda terbaring dengan kondisi lemah.
Bahu dan mukanya dibebat perban. Walau lengannya patah,
menurut perawat kondisinya stabil dan mungkin bisa segera
pulang. Kalaulah dia sedang tidak sakit, aku ingin peluk seerateratnya. Alhamdulillah, rasanya sebagian beban yang menyesakkan dada kami hilang.
Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Mas Garuda. Ke mana dia" Seorang paramedik mencoba mengingat-ingat. "Seingat


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya laki-laki ini datang diantar seorang temannya yang luka juga. Tapi dia tidak mau dirawat karena mau bantu orang lain."
Jantungku berdetak berserabutan.
Dengan mulut diperban, Mas Nanda mencoba bicara susah
payah. "Garuda...ingin bantu bayi kecil di warung gyro itu....
Abis memapah saya ke sini....dia...pergi lagi...." Bicaranya tidak
lurus. Bibirnya baru dijahit karena robek kena pecahan kaca.
Dalam hati aku menyumpah-nyumpah Mas Garuda. Untuk
350 rantau1muara.indd 350 apa dia sok jadi pahlawan, kembali lagi ke tempat kejadian untuk membantu orang lain" Kenapa dia tidak menyelamatkan
dirinya dulu" Tapi itulah dia yang sesungguhnya. Kalau tidak begitu, dia bukan Mas Garuda lagi. Selalu ingin membantu orang
lain. Apalagi kalau yang perlu bantuan anak kecil. Dia lagi-lagi
pasti ingat Danang. Bulu romaku merinding mengingat kalimat dia di chatting
kemarin, "Sudah waktunya, saya benar-benar akan pulang, Lif."
Kakiku benar-benar lunglai. Aku ambruk terduduk di pinggir
dipan Mas Nanda. Dua hari dua malam aku, Dinara, dan Mas Rama tidak kenal
lelah, terus mencari Mas Garuda. Kami menumpang menginap
di apartemen Mas Rama. Tom cukup bijak mengizinkan kami
pergi, asal kami bisa terus merekam dan melaporkan berita perkembangan terbaru dari New York.
Ketika frustrasi datang, aku menolak untuk menyerah. Kami
keluar-masuk setiap rumah sakit dan klinik. Daftar pasien, daftar mayat, kantong jenazah adalah makanan kami sehari-hari.
Tapi hasilnya nihil. Foto Mas Garuda yang selalu kami bawa ke
mana-mana kini sudah kucel dan pinggirnya robek-robek. Meski
begitu, aku tetap tidak mau menyerah dan tidak mau menerima
kenyataan dia hilang bagai ditelan Bumi. Aku tetap ingin bertahan di New York. Aku harus menemukan Mas Garuda, hidup
atau mati. Ini fokus utamaku.
Mas Nanda akhirnya sudah boleh pulang dari rumah sakit.
Dinara membujukku untuk membawa Mas Nanda pulang.
351 rantau1muara.indd 351 Ingin aku menolak, tapi tak mungkin Mas Nanda pulang ke
DC seorang diri. Kalaulah Mas Garuda yang dalam posisiku sekarang, dan
akulah si orang yang hilang, apa yang akan dilakukannya" Aku
yakin dia akan tinggal berminggu-minggu di New York untuk
memastikan aku ditemukan. Mungkin dia akan menyekop setiap reruntuhan kota untuk mencariku. Aku malu sendiri, aku
tidak bisa melakukan itu. Aku rasa dia tidak akan peduli masalah kerjanya, karena bagi dia, saudara lebih penting daripada
kerja. Tapi aku yakin dia mendukung aku membawa Mas
Nanda kembali berkumpul dengan keluarganya. Maafkan aku
Mas Garuda, aku tinggalkan kamu tanpa ketidakjelasan untuk
sementara. Aku akan kembali segera.
"Saya berjanji akan terus mencarinya Lif. Sampai ketemu. I
will keep you updated," kata Mas Rama mencoba menghiburku.
Memandang sorot matanya, aku merasa di dalam hatinya pun
dia tidak tahu pasti bagaimana cara menemukan Mas Garuda.
Akhirnya aku menyetir kembali ke DC dengan tangan hampa. Sehampa hatiku. Kakakku yang tidak pernah ada, sekarang
entah di mana. 352 rantau1muara.indd 352 Dehaman dari New York ampir tiga bulan berlalu sejak Selasa Hitam membekap
New York. Setelah bolak-balik menyigi data korban di
kantor NYPD dan beberapa rumah sakit, Mas Rama berhasil
menemukan Hasan, bayinya, Jamil, serta pegawainya. Mereka
hanya mengalami luka-luka ringan karena pecahan kaca dan
reruntuhan yang beterbangan dari WTC. Kepada Mas Rama,
Hasan mengaku ingat sekali kalau dia dan bayinya dibantu Mas
Garuda yang menunjukkan arah rumah sakit. "Kami hanya
bertemu sebentar setelah itu dia berlalu, katanya mau membantu orang lain," kata Hasan. Ke mana dia setelah bertemu
Hasan" Tidak ada yang tahu.
Untuk mendamaikan perasaanku yang terus tak tenang, setiap beberapa minggu aku menyetir ke New York, memarkirkan
mobil di parking garage, lalu berputar-putar tak menentu naik
bus atau subway di Manhattan. Di setiap perempatan jalan aku
masih berharap Mas Garuda muncul dari balik salah satu belokan. Di stasiun subway, aku ingin sekali menangkap raut wajahnya yang tersenyum keluar dari pintu kereta yang baru tiba
di platform. Tapi semuanya hanya harapan hampa. Setiap dua
hari"kadang setiap hari"aku menelepon Mas Rama. "Jejaknya
masih nihil," begitu umumnya dia menjawab. Dia mungkin
juga sudah bosan ditanya dan tidak tahu harus memberikan
jawaban apa lagi kepadaku. Suaranya saat berbicara bernada
frustrasi yang sama dengan nada bertanyaku.
353 rantau1muara.indd 353 Setiap ada perkembangan baru tentang tragedi 11 September, aku baca dengan saksama sampai rasanya aku hafal di
luar kepala. Laporan dari kantor medical examiner New York
menyebutkan sekitar 3.000 jiwa melayang saat peristiwa 9/11.
Kebanyakan korban terkubur di reruntuhan Twin Tower WTC
dan tidak pernah ditemukan. Bagian-bagian tubuh yang tidak
dikenali dikumpulkan untuk diuji DNA dan dicocokkan dengan orang-orang yang hilang. Proses yang akan memakan waktu tahunan.
Suatu pagi, Mas Rama yang meneleponku. "Lif, saya baru
dapat data yang baru dirilis di New York. Diperkirakan hampir
300 nyawa jadi korban di luar gedung WTC karena kejatuhan
reruntuhan gedung. Tapi angka ini hanya angka berdasarkan
laporan orang hilang beridentitas resmi. Yang pemerintah tidak
bisa perkirakan adalah berapa illegal alien yang jadi korban.
Mereka tidak punya identitas resmi. Mereka bak hantu, tidak
tercatat. Tidak ada rekam jejaknya," terangnya dengan gaya laporan jurnalistik. Setelah mengambil jeda beberapa detik, dia
melanjutkan dengan hati-hati. "Dan ada kemungkinan salah
satu di antara mereka adalah Mas Garuda. Korban jiwa tak
bernama. John Doe." Hatiku mengecut dan hawa dingin terasa
mengaliri tengkuk dan batang punggungku.
Terserahlah apa kata data terbaru, tapi hati kecilku ingin
percaya kalau Mas Garuda masih hidup. Entah di mana. Aku
belum ikhlas menerima dia meninggal dunia.
354 rantau1muara.indd 354 Rasa kehilanganku saat ini lebih menyesakkan dibandingkan
saat aku dulu kehilangan Baso. Sebelas tahun lalu, ketika Baso
meninggalkan Pondok Madani, aku tahu dia ada di mana.
Kini, aku ingin percaya Mas Garuda masih ada, tapi tidak ada
bukti nyata yang mendukung. Yang ada, hanya sebuah sudut
berlubang di pedalaman hatiku.
Biasanya kalau aku teringat Mas Garuda, dengan memegang
syal batiknya sambil memanjatkan doa sudah cukup mengobati
kangen. Tapi kali ini aku ingin sekali berbicara dengan Mas
Garuda. Aku bukan tipe laki-laki cengeng, tapi kali ini aku
benar-benar ingin mendengar suaranya.
Awalnya ragu, aku mengulurkan tangan mengambil gagang
telepon. Lalu setengah sadar, aku menekan sepuluh angka
yang sudah aku hafal dengan baik. Beberapa kali ada dering
sambung, lalu ada suara menjawab. Meskipun aku tahu itu
hanya pesan voice mail Mas Garuda, tetap saja aku terlonjak.
Aku simak dan resapi setiap pecahan suku kata dengan gaya
bahasa Inggris Jawanya, "Hi this is Garuda, I am not available
right now. Please leave your message after the beep and I will call you
back as soon as possible. Ehm." Ada dehaman khasnya di ujung
kalimat. Dehaman yang selalu membuatku tertawa kecil. Dia
terasa begitu dekat, tapi juga sangat jauh.
Aku memegang gagang telepon sambil menerawang. Aku
tutup telepon. Tapi sesaat kemudian aku putar lagi nomornya
dan kembali terdengar suara Mas Garuda. Ketika sampai suara
bip, aku ragu lagi. Tapi sudahlah, tidak ada salahnya. Aku
dengar Dinara sedang sibuk memotong dan menggoreng di
dapur. Jadi aku yakin keadaan aman, dia tidak akan mendengar
kalau aku bicara kepada Mas Garuda.
355 rantau1muara.indd 355 Suaraku sudah melewati tenggorokan dan hampir keluar dari mulutku ketika kudengar suara Dinara.
"Bang, nelepon siapa?" tanya Dinara dengan nada menyelidik.
Astaga, Dinara sudah berdiri di belakangku. Cepat-cepat aku tutup telepon. Dengan terbata-bata, aku ceritakan kerinduanku
terhadap Mas Garuda. Dinara tidak bersuara. Dia hanya memandangku. Dari
matanya aku membaca sorot mata kekhawatiran. Aku menunduk. Dengan suara lembut dia berkata, "Abang, jangan bersedih
terus. Sudah beberapa minggu ini Abang jadi pendiam dan suka melamun. Dinara kehilangan Abang."
"Yang kehilangan Mas Garuda lebih banyak lagi," balasku
datar. "Kan Abang sendiri yang selalu mengingatkan untuk man
shabara zhafira kalau dapat cobaan."
"Sabar itu kalau sudah habis semua usaha."
"Bang, bukannya kita sudah berusaha maksimal" Kini kita
ikhlaskan dan doakan saja Mas Garuda. Saatnya move on.
Move on" Mungkin Dinara benar. Mungkin aku sudah terlalu lama terjebak dalam kekalutanku sendiri. Aku menjadi egois
dengan kesedihan sehingga aku sampai tidak sadar telah membuat sedih orang terdekatku.
Aku bersimpuh berlama-lama di sajadah. Dinara yang aku
imami sudah melipat sajadah dan mukenanya lalu kembali sibuk di dapur. Doa utamaku tetap berharap akan keselamatan
356 rantau1muara.indd 356 Mas Garuda. Tapi mungkin aku harus mulai berdamai dengan
keadaan dan mendoakan akhir terbaik buatnya, hidup maupun
mati. Bukankah semua yang hidup pasti berakhir dengan kematian. Hanya soal waktu saja. Kalaupun dia telah mati, aku yakin
dia mati tidak dengan sia-sia. Mas Garuda yang selalu ringan
tangan membantu orang lain. Semoga dia mendapatkan husnul
khatimah, akhir yang baik.
Kepada Ustad Fariz aku berkeluh kesah. Dia menasihati,
"Kehilangan memang memilukan. Tapi kehilangan hanya ada
ketika kita sudah merasa memiliki. Bagaimana kalau kita tidak
pernah merasa memiliki" Dan sebaiknya kita jangan terlalu merasa memiliki. Sebaliknya, kita malah yang harus merasa dimiliki. Oleh Sang Maha Pemilik."
"Kenapa tidak boleh merasa memiliki?" tanyaku. Bukannya
kita diberikan kesempatan di dunia ini untuk memiliki"
Ustad Fariz membalas, "Pada hakikatnya, tidak ada satu
pun yang kita miliki. Segalanya di dunia ini hanya pinjaman.
Bahkan kita meminjam waktu dan nyawa kepada Yang Kuasa.
Hidup, raga, roh, suami, istri, orangtua, anak, keluarga, uang,
materi, jabatan, kekuasaan. Semua adalah titipan sementara.
Pemilik sebenarnya cuma Dia."
Aku membela diri, "Tapi Ustad, rasa memiliki membuat kita bertanggung jawab dan mencintai."
"Bahkan rasa cinta itu sendiri adalah titipan-Nya," lanjut
Ustad Fariz. "Tentu tidak ada salahnya mencintai dan mengambil tanggung jawab. Tapi kita harus siap dan sadar sepenuhnya, bahwa
357 rantau1muara.indd 357 Sang Pemilik setiap saat bisa meminta kembali milik-Nya. Karena itu kenapa harus merasa sangat memiliki?" katanya membalas dengan pertanyaan.
Sepulang dari rumah Ustad Fariz, aku memilih berdiam di
meja kerjaku. Aku raih pulpen dan diariku. Selama ini menulis
terbukti mampu menjadi obat untuk hatiku.
Kematian itu ibarat pintu. Kelahiran itu juga layaknya sebuah
pintu. Keduanya portal yang pasti dilalui semua anak manusia dalam perjalanan panjangnya di dunia ini. Kenapa aku sekarang jadi
resah dengan pintu ini" Ini bukan kali pertama aku menjadi saksi
dalam perjalanan manusia yang lalu-lalang melewati pintu mati dan
pintu lahir. Sembilan tahun lalu, kematian hanya sejengkal di depan
mataku ketika aku melepas Ayah selamanya. Aku pernah pula membaui sendiri kematian di kamar mayat RSCM. Di insiden 9/11 ini
bahkan aku saksikan sendiri ribuan nyawa melayang di New York.
Jangan terlalu sedih dengan kematian. Jangan terlalu bahagia
dengan kelahiran. Keduanya pintu wajib buat manusia. Manusia
datang dan pergi. Melalui pintu lahir dan pintu ajal. Saat ajal tiba,
sesungguhnya kita pulang ke asal. Seperti kata Dulmajid dulu. Dalam
hidup ini kita pada hakikatnya adalah perantau. Suatu saat kita akan
kembali pulang. Mungkin ini makna lain dari man saara ala darbi
washala. Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan.
Bukan hanya tujuan kebahagiaan dan keberhasilan dunia tapi juga
tujuan hakiki. Ke tempat kita dulu berasal. Ke Sang Pencipta.
358 rantau1muara.indd 358 Ustad 2 x 11 Enam Lingkung
udah hampir dua tahun tragedi 11 September berlalu.
Siapa pun yang melakukan teror ini telah membuat wajah dunia menjadi centang perenang, hampir di semua aspek.
Mulai dari repotnya untuk masuk gedung mana pun, karena
ada metal detector, harus buka sepatu setiap dicek di bandara, sampai ribuan nyawa melayang dalam perang yang selalu
mengatasnamakan "memburu teroris" yang dikomandoi Amerika. Muslim Amerika sekarang lebih disorot oleh sebagian
orang yang tidak tahu apa itu Islam. Sebagian menyorot dengan
hujatan tapi sebagian malah ingin tahu lebih banyak dan mempelajari Islam.
Amerika Serikat berlaku layaknya banteng terluka, menyeruduk semua yang dianggap teroris dengan sekuat tenaga, kadang-kadang dengan paranoid. Osama bin Laden, jaringan Al
Qaeda, dan Saddam Hussein adalah beberapa di antaranya yang
dianggap musuh yang harus diburu dan dihancurkan dengan
segala cara. Negara-negara di dunia juga ditekan oleh Amerika
Serikat untuk ikut gaya mereka untuk melawan teroris. Pidato
Presiden George Bush yang menyatakan, "You"re either with us or
against us in the fight against terror," mengundang antipati banyak
kalangan. Yang terjadi adalah lingkaran setan, setiap kekerasan
melahirkan kekerasan yang baru dan bisa lebih kejam. Yang
menang jadi arang, yang kalah jadi abu. Semuanya rugi.
359 rantau1muara.indd 359 Hilang yang tidak jelas itu ternyata lebih meresahkan daripada mati yang pasti. Rasa kehilangan itu berkepanjangan
dan di dalam hatiku selalu ada sebuah lubang menganga yang
tidak pernah benar-benar sembuh. Bayang-bayang Mas Garuda
kadang-kadang masih muncul. Di dalam hati, aku belum mau
mengakui kalau dia sudah tiada. Bagiku dia hanya hilang. Sementara.
Suatu pagi yang cerah di musim semi, Dinara aku ajak berkano di Sungai Potomac seperti Mas Garuda dulu mengajak
aku. Hanya berdua dengan Dinara di atas biduk meluncur di
sungai yang hening ditemani langit biru membuat pikiranku
lebih tenang. "Oiii jangan melamun dong, Bang," kata Dinara sambil memercikkan air sungai ke mukaku. Aku balas memercikkan air
sambil tertawa. Kami perang air sampai kano bergoyang-goyang
dan kami tergelak antara senang dan takut kalau kano terbalik.
Bahagia itu sederhana. Mungkin hidup kami seperti naik kano
kecil ini, mendayung berdua melintasi perairan luas, merantau
dari satu daratan ke daratan yang lain.
"Cinta, mau ke mana kita melayari hidup ini?"
"Ke mana saja asal kita selalu berdua, Bang. Ke mana saja,
asal pada waktunya kita kembali pulang ke rumah," balasnya
seperti berpuisi. "But where"s home" Di mana rumah kita?"
360 rantau1muara.indd 360 "Rumah adalah tempat di mana kita dekat dengan keluarga.
Di Tanah Air." "Bagi Abang, rumah adalah di mana pun, asal kita berdua,"
rayuku. "Ah bisa aja Abang," balasnya tersenyum tapi kemudian dia
diam. Rayuanku agaknya tidak mempan. Aku bertanya lagi.
"Cinta tidak bahagia di sini?"
"Senang banget. Tapi di sini bukan untuk selamanya Bang.
Kangen juga sama Mama, Papa, Nindya, dan Mbak Widy."
"Mau jarak dekat atau jauh, yang penting itu dekat di hati."
Dia cemberut. "Abang sih sudah kelamaan merantau. Coba
deh rasakan bagaimana kalau dekat dengan orangtua. Abang
memang tidak kangen dengan Amak?"
Tentu aku kangen Amak dan kedua adikku. Tapi tidak berarti aku harus pulang selamanya. Namun komentar Dinara ini


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengganjal di hatiku. Ramadan dan Idul Fitri datang ke DC dengan kemeriahan
tersendiri. Kami berdua berusaha sering hadir di tarawih bersama di KBRI yang diimami Ustad Fariz, yang dikelola oleh
Ikatan Muslim Indonesia. Kalau tidak sempat berjalan ke KBRI
yang cukup jauh, kami salat di musala kampus. Kadang kala,
kami mencoba pula salat di Islamic Center Washington DC
yang gagah di Embassy Row, Massachusetts Avenue.
Menjelang pengujung Ramadan, aku diminta Ustad Fariz
361 rantau1muara.indd 361 ikut menjadi juri lomba azan dan mengaji, serta pernah pula
jadi imam salat Tarawih. Dinara dapat tugas menjadi pembaca
acara Nuzulul Quran dan bersama ibu-ibu punya kesibukan
sendiri mengatur penyaluran infak, menyiapkan buka bersama,
dan lomba mengaji para ibu.
Puncak kegiatan Ramadan kami adalah pesantren kilat. Di
pekan terakhir bulan puasa, Ikatan Muslim Indonesia menyewa
sebuah camping ground di pinggir DC yang punya banyak chalet
kayu untuk menginap di akhir pekan. Peserta pesantren kilat
adalah keluarga. Anak-anak tinggal di kemah dan kami ajak
untuk bermain dan diskusi di alam terbuka tentang Islam dan
keindonesiaan. Sedangkan para orangtua boleh tinggal di chalet
untuk mengikuti ceramah dan khatam Quran.
Semakin mendekat ke hari Idul Fitri, Dinara semakin sibuk
di dapur. Dia sudah bertekad akan menghasilkan karya masak
paling tidak meliputi opor ayam, rendang, dan lontong. Dan
hasil karya Dinara berhasil membuat aku menambah lontong
berkali-kali. Siangnya kami datang ke acara open house Duta Besar Indonesia di rumahnya di Tilden yang rindang dan berbukit. Semua
warga Indonesia diundang untuk mengobrol sambil membakar
sate, dan menikmati hidangan Lebaran. Acara ini seperti reuni
tahunan dan ajang kangen-kangenan dengan banyak teman
yang jarang bertemu. Tapi di tengah keramaian ini aku melihat
Dinara kadang-kadang melamun.
"Ada apa, Cinta?"
362 rantau1muara.indd 362 "Sudah tiga Lebaran di sini. Kangen banget bisa Lebaran
bareng keluarga besar."
"Ada waktunya nanti."
"Tapi sekarang kita saja belum memutuskan sikap antara
mau pulang atau tinggal terus di sini. Kepikiran terus nih."
"Kita nikmati saja dulu hidup senang di sini."
"Enak kan belum tentu bahagia Bang. Dekat dengan keluarga
kayaknya yang bisa membuat hidup lebih berarti."
Aduh, baru tadi pagi bermaaf-maafan, kini sudah berselisih
pendapat lagi. Suhu diskusi bisa naik kalau saja beberapa teman
tidak datang merubung dan bersalam-salaman. Pembicaraan
tentang pulang kami tunda dulu.
Sorenya, kami berdua diundang ke rumah Ustad Fariz. Uni
Reza, istri Ustad Fariz, memasak gulai kepala ikan berkuah merah muda terang yang meneteskan air liur.
Saat melahap makan malam, Ustad Fariz mengajak kami
berangin-angin di beranda sambil minum teh.
"Ambo merasa telah banyak belajar dari melihat negeri
orang. Seperti kata pepatah Minang, jauah bajalan banyak diliek,
lamo hiduik banyak diraso, jauh berjalan jadi banyak yang dilihat,
lama hidup banyak dirasa. Ada masanya menetap di tempat
asal. Kami mau memberi tahu kalau kami akan pulang for good
setelah Lebaran. Selamanya."
"Kok taburu-buru Ustad. Kan rencananya di sini empat tahun.
Ustad masih kita perlukan di sini," kataku. Kami muslim Indonesia sungguh beruntung punya sosok seperti Ustad Fariz ini.
363 rantau1muara.indd 363 Sejak tragedi 11 September, Ustad Fariz bersama Ustad Komar
yang tinggal di New York telah berhasil menjadi wajah Islam
non-Arab bagi khalayak Amerika dan dunia. Mereka kerap
diwawancarai media, diminta bicara tentang esensi Islam di
forum ilmiah sampai acara gereja. Belakangan, mereka bahkan
juga diundang oleh pihak kepolisian dan White House untuk
menjelaskan Islam yang damai dan bisa jadi rahmat buat semua.
"Masih banyak yang bisa menggantikan tugasku di sini.
Apalagi masih ada Ustad Komar yang jauh lebih berpengalaman di New York. Tapi bagi ibuku, tidak ada yang bisa menggantikanku. Jadi kami akan pulang sebulan lagi."
"Kenapa Ustad, Ibu sakit"
"Tidak ada sakit khusus. Tapi sejak Ayah meninggal, beliau
seperti kesepian dan butuh perhatian anaknya."
"Saudara Ustad yang lain bagaimana?"
"Ambo anak laki-laki satu-satunya."
"Ambo juga anak laki-laki satu-satunya, tapi untung Amak
tidak pernah meminta ambo pulang."
Dia tertawa. Meneguk soda dan bertanya lagi.
"Apa benar amak kamu tidak minta" Jangan-jangan meminta, tapi tidak pernah bilang langsung, atau Alif yang tidak mendengarkan."
Aku memang tidak pintar membaca tanda-tanda dalam
bahasa yang subtil. Aku sering protes pada Dinara karena dia
merasa sudah menyampaikan keinginannya padaku lewat bahasa kiasan. Aku tidak bisa membaca pikiran. Aku bukan cenayang.
364 rantau1muara.indd 364 "Tidak pernah Amak minta saya pulang saat bicara di telepon. Paling hanya bertanya kapan libur. Tidak pernah bertanya kapan pulang."
"Iya, tapi berapa kali ditanya kapan kita libur," kali ini Dinara ikut meramaikan pembicaraan.
"Sering sih, kayaknya hampir setiap saya telepon."
"Lif, nah itu secara implisit sebetulnya permintaan pulang.
Tapi mungkin kamu tidak gubris selama ini. Ibu itu ya, kalau
makin tua, makin perlu perhatian. Apalagi perhatian anak lakilaki," jelas Ustad Fariz.
Aku belokkan pembicaraan.
"Maaf, Ustad nanti akan terus berkarya di mana?" Berkarya
adalah kata sopanku untuk menanyakan di mana dia akan mencari kerja.
"Ambo akan pulang ke kampung 2 x 11 Enam Lingkung, dekat-dekat dengan Ibu. Kebetulan pula ambo sudah diminta oleh
rektor Unand untuk jadi dosen. Begitu pula Uni Reza akan
kembali ke almamaternya di IKIP. Tapi impian kami berdua itu
ingin membuat sekolah SMA berasrama yang bagus. Terbagus
di Sumatera Barat. Insya Allah."
"Amin, amin," kata kami mendoakan.
365 rantau1muara.indd 365 Obat Mabuk Paling Mujarab
epanjang menyetir pulang dari rumah Ustad Fariz, pikiranku tidak lepas dari topik obrolan kami tadi. Tentang pulang
dan keinginan Amak. Menjelang tidur, aku membalikkan badan
ke Dinara dan bertanya. "Memangnya kalau bahasa perempuan
itu, begitu?" "Maksudnya?" "Apa artinya kalau Amak bilang "kapan libur" berulangulang?"
"Ya, artinya kapan pulang."
"Lho kok gitu. Kenapa gak bilang kapan pulang aja?"
"Ya memang begitu. Emangnya Abang gak tau kalau selama
ini artinya Amak pengen Abang pulang. Udah berulang-ulang
ditanya." Aku menggeleng dengan sebenar-benarnya. "Bagaimana bisa
mengerti. Kan gak pernah ada yang menerjemahkan."
"Dasar laki-laki. Bahasa perempuan ya memang begitu. Punya dua adik perempuan padahal," balasnya.
Malam itu aku tidur dengan resah. Sedikit-sedikit aku tersentak bangun. Pulang jadi kata yang terus berputar-putar
dalam kepalaku. Sebelum menghilang tak tentu rimba, Mas Garuda berencana pulang. Dinara kini ingin pulang. Ustad Fariz
366 rantau1muara.indd 366 sebentar lagi juga pulang. Kenapa semua ingin pulang, kecuali
aku" Sudah beberapa kali kami mendapatkan telepon misterius dini hari. Ketika aku angkat, yang keluar dari gagang telepon adalah celotehan seorang laki-laki dalam bahasa Spanyol. Pasti salah
sambung, mungkin aku dikira orang Latin. Sekitar 12 persen
penduduk Amerika adalah Latino, sebutan warga keturunan
Amerika Latin yang berbahasa Spanyol.
Aku jawab baik-baik dengan bahasa Inggris kalau dia salah
nomor. Namun, dia tidak peduli apa yang aku bilang, dan terus saja mengoceh tiada henti dengan bahasa ibunya, seakan
dia sedang "curhat" kepadaku. "Hey, I am not Latino," teriakku
kesal karena mengganggu tidur. Teriakanku tidak berpengaruh.
Setiap aku jelaskan dalam bahasa Inggris, dia membalas dengan
bahasa Spanyol di saat yang bersamaan. Kami bicara berpacupacu. Setiap aku menghardiknya, dia balas menghardik. Kesimpulanku, si Latino ini mungkin sedang mabuk berat atau
terganggu akalnya. Besoknya kejadian yang sama terulang lagi, dering telepon
di malam buta mengusik tidur kami. Begitu yang terdengar
adalah bahasa Spanyol, aku langsung menutup telepon. Selang
beberapa menit kemudian orang yang sama menelepon lagi.
Setelah aku mematikan telepon, dua menit kemudian dia akan
menelepon lagi. Dan begitu terus berulang-ulang. "Sudahlah
Bang, cabut saja kabel telepon. Kenapa sih melayani orang mabuk?" kata Dinara.
367 rantau1muara.indd 367 "Kalau mencabut telepon artinya kita bersedia dijajah oleh
teror telepon orang ini. Dan masalah tidak akan selesai, kapankapan dia akan telepon lagi," kataku protes. Aku sungguh tidak
ikhlas kalau kami akan terus diazab oleh telepon Latino ini.
Mencabut telepon artinya tunduk. Dia menang dan kami kalah.
"Ya sudahlah." Dinara mengulurkan tangan dan mencabut
sendiri kabel telepon dan kembali tidur.
Aku benar. Mencabut kabel tidak menuntaskan masalah.
Dua hari kemudian, teror telepon datang lagi, menjelang subuh. Kali ini aku benar-benar bertekad akan menghentikan
selamanya dengan segala cara.
Strategiku yang pertama, aku akan mengikuti permainan si
Latino. Kalau dia tidak bisa diajak berhenti dengan kata-kata,
maka mungkin cara membuat dia jera adalah dengan melayaninya sampai dia capek. Maka aku bangkit dari kasur dan
duduk di kursi, gagang telepon menempel erat di kuping dan
mulailah aku bicara tiada henti dalam bahasa Inggris. Di balik
sana secara bersamaan si Latino tidak peduli dan terus pula
berbual dalam bahasa Spanyol. Lima menit kami berdua berbicara tanpa jeda, aku tidak melihat stamina Latino melorot.
Malah aku yang mulai merasa ikut jadi orang gila. Gila ternyata
bisa menular. Mungkin dia tidak peduli dengan bahasa Inggris. Bagaimana
kalau aku ganti bahasa" Bagaimana kalau dia mendengar bahasa
Minang" Aku akan mencoba mendongeng saja, sekalian latihan
bahasa Minang yang jarang aku pakai. Ketika dia terus mengoceh panjang lebar, aku juga mulai mengisahkan tentang hikayat
Rapek Mancik, sebuah kisah yang diangkat dari drama radio
Balerong Grup pimpinan Yus Datuak Parpatiah.
368 rantau1muara.indd 368 Seperti tidak ada yang mau mengalah, kami sama-sama bicara di saat yang sama. Satu bahasa Spanyol, satu bahasa Minang. Aku mencoba menikmati ceritaku sendiri sambil dalam
hati menantang si Latino, "Ayo, sampai berapa lama kamu kuat,
wahai pemabuk." Dinara yang ikut terbangun, geleng-geleng
kepala melihat aku sudah seperti mabuk juga, menceracau dini
hari. Dia menutup kuping dengan bantal dan kembali berkelumun
Setelah lima menit aku bicara nonstop, sampailah ceritaku
ke saat sang tikus harus mengalungkan giring-giring di leher
kucing. Entah ikut tegang dengan cerita ini, si Latino tiba-tiba
terdiam. Lalu tanpa ba-bi-bu, dia menutup telepon. Tut-tut-tut.
Aku pelan-pelan mengembalikan gagang telepon sambil was-was
menunggu serangan baliknya. Dua menit, lima menit, sepuluh
menit, setengah jam. Tidak ada juga telepon dari dia. Alhamdulillah, dia takluk akhirnya dan aku bisa tidur kembali dengan
tenang. Sejak itu teleponnya makin jarang. Kalaupun dia menelepon
lagi, aku selalu semprot dia dengan bahasa Minang, "Manga
wa"ang manalepon-nalepon. Bakirok lah." Setelah itu dia selalu terdiam dan menutup telepon tanpa pamit. Aku tidak tahu apakah
dia akhirnya capek atau dia tersadar dari kondisi mabuknya.
Entahlah. Paling tidak aku punya tiga spekulasi sementara.Pertama, bahasa Minang akan selalu menang melawan bahasa Spanyol. Kedua, jangan-jangan si Latino paham bahasa Minang dan
sedih dengan nasib tikus. Dan yang ketiga, kesimpulan yang
aku paling suka: bahasa Minang berkhasiat menyadarkan orang
mabuk. Wallahu a"lam bishawab. Hanya Allah yang paling tahu.
369 rantau1muara.indd 369 Bunyi telepon berdering-dering menusuk-nusuk telinga.
Hah" Aku sampai terguling bangun dan menabrak Dinara.
Masih jam 4 pagi. Si Latino pasti mabuk lagi. Aku bersungut-sungut dengan mata terpejam.
Aku angkat telepon dan langsung aku semprot dia: "Iyo indak bataratik ang ko ha. Urang sanang-sanang lalok dijagoan. Bakirok
lah....." Anehnya, kali ini dibalas dengan bahasa Minang juga. "Oiii,
jagolah, alah pagi kini!" Jangan-jangan spekulasiku benar, si Latino bisa bahasa urang awak. Aku buka mata dan duduk di kasur, dan aku dengar baik-baik. Tapi ini bukan suara si Latino.
Suara tawa menyembur-nyembur. Aku kenal. Randai! Kenapa
dia harus selalu muncul di saat-saat yang tidak aku sangka-sangka.
"Lif, aden cuma mau kasih tahu. Minggu ini aden jadi berangkat ke Jerman untuk mengambil S-2. Tercapai juga cita-citaku. Artinya kita draw. Sama kuat."
"Eh, gak bisa draw. Janji pemenangnya siapa yang duluan
pergi," balasku sampai lupa dengan kantuk.
"Kita lihat saja siapa yang duluan menggondol gelar doktor.
Berani bertanding?" balas dia tanpa beban.
Inilah anehnya aku dan Randai. Kami berkawan karib sejak
kecil, tapi kami juga sepakat untuk jadi lawan tanding. Aku
pikir-pikir, persaingan ini yang menjadi bahan bakar prestasi
kami. Kami saling kejar-mengejar, saling memperlihatkan bahwa kami tidak mau kalah. Akibatnya apa pun yang kami persaingkan sejak kecil, hampir semuanya bisa kami wujudkan.
370 rantau1muara.indd 370 Dia unggul di kuliah, tapi aku menang urusan ke luar negeri.
Jangan-jangan sebetulnya kami adalah dua orang yang saling
memerlukan. Kawan yang lawan. To bring the best of everyone.
Aku jadi ingat sebait kata mutiara yang diajarkan di Pondok
Madani dulu, aduwwun aqilun khairun min shadiqin jahilin. Lawan
yang pandai lebih baik daripada teman yang bodoh.
Satu hal yang aku simpan rapat dalam hati dan mungkin
Randai tidak tahu sampai kini adalah dia pernah menang telak
untuk masalah Raisa. Aku yang berusaha mendekati Raisa dulu, tapi Randai yang menyabet di tikungan terakhir. Itu dulu,
beda kini. Dulu aku pikir Raisa adalah kekalahanku. Kini aku
melihat Dinara adalah kemenangan besarku.
Setelah aku pikir-pikir, aku sungguh merasa beruntung dengan segala yang pernah terjadi. Dinara dengan segala kombinasinya yang unik, jauh lebih cocok bagiku, dibandingkan
Raisa. Sebaliknya, mungkin Raisa paling cocok dengan Randai.
Tuhan itu memang Maha Memilihkan yang terbaik buat siapa
saja yang melihat dengan hati terbuka.
371 rantau1muara.indd 371 Buah Tangan dari London London, Desember 2003 tang tetap saja tidak lupa perannya sebagai sutradara, seperti belasan tahun yang lalu di Pondok Madani.
"Bayangkan foto ini jadi cover CD atau poster film, jadi kenang-kenangan kita buat anak cucu. Buat kita kirim ke
Dulmajid, Said dan Baso," katanya sambil memberi aba-aba
kepada aku dan Raja untuk berpencar, dengan tangan bersedekap di dada.
"Raja, punten coba menyender dikit ke bangku itu. Nah
Alif, ente diam di sudut kanan. Nanti ana akan jongkok di depan," katanya sambil mengintai dari balik view finder kamera.
"Siapppp, wahid, isnain, tsalasah. Smileee"," katanya menekan
tombol shutter timer dan langsung berlari ke dekat kami sambil
menyengir ke arah kamera. Puff, lampu flash kamera menerpa
kami. Aku tersenyum-senyum sendiri melihat hasil foto kami di
layar LCD kamera digital itu. Norak sih, tapi gaya, karena kami
berfoto di depan Stadion Wembley, stadion kebanggaan tim sepak bola nasional Inggris.
Baru kemarin aku menyelesaikan wawancara dengan Perdana
Menteri Inggris, dan misi pribadiku menghadiri undangan
372 rantau1muara.indd 372 The World Inter-Faith Forum. Bukan sebagai peliput, tapi


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai salah satu panelis. Sebagai wartawan asal Indonesia
yang berkantor di AS, kenyang meliput isu muslim Amerika,
termasuk serangan 11 September 2001, aku dianggap pantas
menjadi panelis bersama para ahli resolusi konflik, perwakilan
media, dan penggiat kerja sama antarbudaya dan agama.
Siapa mengira kalau Atang juga ikut hadir sebagai pembicara,
dan Raja sedang tinggal di London. Inilah reuni Sahibul Menara
setelah tidak bertemu 11 tahun.
Aku dan Atang menginap di apartemen Raja di kawasan
Wembley. Dia tinggal berdua dengan Fatia, istrinya, lulusan
Pondok Madani khusus putri di Mantingan. "Sudah sebelas
tahun kita tidak tajammu. Berkumpul begini," kata Raja sambil
menyeduh kopi. Tidak ada seember kopi, makrunah dan kacang
sukro. Kali ini Fatia menyuguhi kami kopi panas ditemani kofta,
kebab, dan kacang pistachio.
Malam kami habiskan bernostalgia dan bercerita tiada henti tentang apa yang kami jalani setelah tamat di PM. Atang,
kawanku yang dulu selalu rajin mencatat alamat orang, mempunyai informasi lengkap tentang kabar Sahibul Menara yang
lain. Yang jelas, kami tidak berenam lagi. Kami semua sudah
menikah. Atang mendapat kabar kalau kini Said meneruskan
bisnis batik keluarga Jufri di Pasar Ampel, Surabaya. Sesuai citacita mereka dulu, Said dan Dulmajid bekerja sama mendirikan
sebuah pondok dengan semangat Pondok Madani di Surabaya.
Atang bahkan punya kabar tentang Baso, si otak cemerlang
yang mengundurkan diri dari Pondok Madani karena ingin
merawat neneknya dan menghafal Alquran. Allah memperja373
rantau1muara.indd 373 lankan Baso yang brilian ini kuliah di Mekkah. Dengan modal
hafal luar kepala segenap isi Alquran, dia mendapat beasiswa
penuh dari Pemerintah Arab Saudi.
Sedangkan Atang sendiri telah delapan tahun menuntut ilmu di Kairo dan sekarang menjadi mahasiswa program doktoral
untuk ilmu hadis di Universitas Al-Azhar. Sementara Raja
berkisah kalau dia telah setahun tinggal di London, setelah
menyelesaikan kuliah hukum Islam dengan gelar License di
Madinah. Dia akan berada di London selama dua tahun memenuhi undangan komunitas muslim Indonesia di kota ini untuk
menjadi pembina agama. Raja dengan dibantu Fatia antara lain
bertanggung jawab menjalankan kegiatan masjid, madrasah
akhir pekan, dan pengajian rutin. Fungsinya kira-kira mirip dengan Ustad Fariz di DC.
Dia juga mengambil kelas malam di London Metropolitan
University untuk bidang linguistik. "Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Bisa mengabdi di sini, sekaligus kuliah di tempat
yang dulu aku impikan," katanya.
Alangkah indahnya. Senda gurau dan doa kami di bawah menara dulu menjadi kenyataan. Aku tidak putus-putus membatin,
"Terima kasih Allah, Sang Pengabul Harapan dan Sang Maha
Pendengar Doa." "Raja, apa rencana kamu setelah lulus kuliah?"
Raja saling berpandangan dengan istrinya, lalu dengan muka
cerah menjawab, "Ruju ala dawam. Pulang kampunglah aku."
"Sudah enak-enak di sini, kok malah pulang. Gak mau punya anak berpaspor Inggris?" godaku.
374 rantau1muara.indd 374 "Sebuah sekolah di Medan sudah minta aku pulang untuk
membuat sistem sekolah Islam modern. Kampungku lebih butuh kami."
"Kalo kamu gimana Tang?"
"Negaraku surgaku, bila tiba waktunya kita wajib pulang
mengamalkan ilmu di Indonesia," balas Atang.
Bercerita dengan kawan-kawan lama membuat kami tidak
ingat waktu. Tiba-tiba, laptop kepunyaan Raja mengumandangkan
azan Subuh. Kami bertiga segera mengambil wudu. Aku raguragu tapi Atang telah memulai apa yang juga aku pikirkan. Dia
mulai mengalunkan syair itu, Illahi lastu lil firdausi ahla, wala
aqwa" ala nari jahimi...." Syair Abu Nawas yang mendayu-dayu
ini menyiram hatiku. Dengan penuh haru kami bertiga bersama-sama melantunkan
syair yang menegakkan bulu roma itu, seperti yang biasa kami
lakukan di PM sebelum salat berjamaah. Permohonan tobat
atas dosa kami yang sebanyak butir pasir di laut di hadapan
satu-satunya Sang Pengampun.
Syair ini juga terasa menarik-narik jiwaku untuk melihat kelebatan-kelebatan kenangan tentang kampungku yang permai di
Maninjau, PM yang berjasa, orangtuaku tercinta, dan negaraku.
Setelah selesai salat, aku bergumam tak tentu ke siapa, "Jadi kangen pulang ke Indonesia ya?"
Sekonyong-konyong, ide Dinara untuk pulang itu tidak aneh
lagi. Pulang mungkin cara yang baik untuk dilakukan. Mungkin
bisa membuat kami lebih tenang. Menenangkan aku dari rasa
kehilanganku, menenangkan Dinara dari rasa khawatirnya.
"Gaya banget nih anak-anak Pondok Madani, pake reuni
375 rantau1muara.indd 375 di London segala," goda Dinara di pintu kedatangan Bandara
Washington Dulles. "Iya dong, masak anak pondok gak boleh reuni di Eropa.
Salam kenal dari Atang, Raja, dan Fatia. Kita reuni pas di
Trafalgar Square, di bawah Nelson Column. Bikin merinding.
Dulu kami hanya berani bermimpi. Nggak tahu bagaimana cara
mewujudkannya. Kini jadi nyata. Tuhan benar-benar menjawab
tuntas impian kami," ceritaku bersemangat.
"Oleh-olehnya mana?"
Aku tidak segera menjawab, tapi malah menggoyang-goyang
sebuah kotak kecil di depan matanya. "Nih Cinta, only for you,"
kataku mengangsurkan bungkusan dengan kertas pembungkus
bergambar Big Ben. Aku beli oleh-oleh ini di sebuah toko suvenir di Picadilly Circus.
Senyumnya terkembang sampai memperlihatkan geligi rapinya. "Yeay, keren! Belum punya yang ini," katanya mematutmatut magnet berbentuk topi berambut tinggi penjaga Istana
Buckingham. Aku tersenyum, Dinara memang tidak pernah minta yang
aneh-aneh kalau aku pergi. Hanya dengan cenderamata magnet
saja dia sudah senang luar biasa. Tapi jarang sekali aku pergi
sendiri. Umumnya ke mana-mana kami selalu traveling berdua.
Kami percaya kalimat mutiara yang Dinara baca di Cond" Nast
Traveler, "A couple who travel together, grow together." Kami ingin
tumbuh bersama. "Kok oleh-olehnya cuma ini aja?" katanya bercanda.
"Ada yang lebih besar. Mau?"
376 rantau1muara.indd 376 "Mana" Mana?" katanya penasaran mengintip ke dalam ranselku.
"Hadiahnya: we are going home for good."
Matanya membesar. "Really" Pulang ke Indonesia?"
"Really. Ke Indonesia."
Kini senyumnya terkembang hangat bagai matahari pagi. Dia
menghambur ke pelukanku. Mata Dinara yang kejora mengerjap-ngerjap.
"Alhamdulillah, Abang mau juga," katanya menggandeng
tanganku dan mengayun-ayunkannya sepanjang jalan menuju
apartemen. 377 rantau1muara.indd 377 One Way Ticket alau masih terhitung musim dingin, hari ini matahari
benderang dan suhu enak untuk jalan-jalan ke luar apartemen. Kami memutuskan untuk makan angin dengan bersepeda.
Aku mengayuh lebih kencang sambil menghindari gundukan
salju yang masih tersisa di sudut-sudut jalan. Rambut dan syalku
berkibar-kibar seperti jubah superhero.
"Tunggu! Awas ya, Dinara kejar," kata Dinara di belakang.
Aku tertawa, "Coba aja kalau bisa," kataku sambil menaikkan
ritsleting jaketku sampai jakun.
Dinara akhirnya berhasil menyusulku dengan pipi semburat
merah dan napas tersengal-sengal. Tidak ada yang lebih menghangatkan hatiku daripada mengayuh sepeda berjejeran, kadang
berpegang tangan sambil tersenyum ke mata masing-masing.
Aku menggoda dia, "Benar nih kita mau pulang for good,
selamanya ke Indonesia?"
Dia melihatku sekilas dan mengangguk, "Dinara mau, tapi
Abang tuh kayaknya yang belum seratus persen yakin."
"Bener, nggak nyesel?" tanyaku lagi tanpa memedulikan
jawabannya. "Siapa yang nyesel, Abang kali! Bagi Dinara, pulang adalah
yang terbaik." 378 rantau1muara.indd 378 Aku tidak menjawab. Mataku terbang jauh mencari-cari puncak Washington Monument di antara kerumunan pucuk-pucuk
american elms di ujung horizon sana. Itu dia, pucuk runcing
itu. Tidak menarik, sederhana, bahkan terkesan membosankan.
Tapi menara itu adalah penanda. Simbol impianku dulu ketika
ingin merantau jauh. Mungkin sudah saatnya aku mencari menara baru, perantauan baru, tujuan hidup baru.
Aku ajak Dinara menyandarkan sepeda di pagar besi yang
mengelilingi Tidal Basin di Jefferson Memorial. Sambil bertelekan pada pagar, kami menikmati sinar matahari keemasan yang
menerpa kubah memorial yang bulat itu.
"Besok kita pesan tiket yuk," usulku.
Surat permohonan berhenti yang kami serahkan bersama ke
Tom membuat dia bagai terlambung dari kursi. Aku juga sudah
mendatangi landlord untuk mengurus penghentian kontrak
apartemen kami di tengah jalan.
"Kalian berdua ini aneh. Memilih untuk meninggalkan
negara impian. Padahal gak ada masalah visa yang memaksa kalian untuk pulang. Kami saja berusaha mati-matian untuk bisa
bertahan di sini," kata Mas Nanda dengan wajah tidak habis
mengerti. Dia salah satu dari jutaan imigran di Amerika yang
memilih tidak pulang ke asalnya demi kehidupan dan pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak mereka.
Biarlah orang lain berpikir berbeda karena kami memang
berbeda. Setiap orang punya pilihan, prioritas, dan misi hidup
yang berbeda. Tidak ada yang bisa mengklaim lebih benar dari
379 rantau1muara.indd 379 yang lain. Sairiang batuka jalan, begitu kata orang kampungku.
Seiring tapi berbeda jalan.
Kami telah memilih. Pulang.
Malam itu kami melangkah menuju kios STA Travel di
Marvin Center. Entah kenapa kami sempat ragu. Tapi aku genggam tangan
Dinara, dia menggenggam balik, saling menguatkan. Seorang
laki-laki muda keturunan Hispanik menyapa kami, "Hi there, I
am Rafael. How can I help you?"
"One way ticket to Jakarta, Indonesia. For two, please," jawabku.
"Only one way" Are you sure you are not coming back?"
"Yes, unfortunately."
"Just a sec," katanya.
"Insya Allah ini keputusan terbaik," bisik Dinara. Aku
mengangguk-angguk mencoba saling menenteramkan. Sambil
menunggu Rafael mencari pilihan jadwal penerbangan, kami
berdua mengedarkan pandangan melihat beberapa poster pariwisata yang ditempel di dinding kios ini.
"Bang, kapan ya bisa ke sana?" kata Dinara menunjuk poster
dengan gambar Big Ben. Dia selalu bermimpi bisa menonton
Arsenal bermain di Highbury.
"Abang kan sudah pernah," jawabku.
"Sombong yang udah pernah. Tapi kan Dinara waktu itu
gak bisa ikut sama Abang."
380 rantau1muara.indd 380 "Nah kalau ini boleh nih," kataku sambil menunjuk gambar
Menara Eiffel. "Kenapa gak dua-duanya saja?" tanya Dinara. Kami bertatapan. Iya, kenapa tidak keduanya.
"Kenapa tidak sekarang?" balasku spontan. Mata indah Dinara membelalak besar.
Kami mendekat ke meja Rafael. Pemuda berkulit cokelat dan
beralis tebal itu memalingkan mukanya dari layar komputer.
"Maaf masih menunggu, ada sedikit masalah dengan sambungan
komputer kami ke server. Tunggu sebentar ya," katanya.
"Change of plan. Boleh dibuatkan reservasi dengan stop-over di
London?" tanya Dinara.
"Of course. I can arrange it. Just a second," katanya sambil mengecek di komputernya.
"Berapa lama mau berhenti di London?" tanyanya.
"Tunggu sebentar," kataku. Lalu kami berdua berembuk.
"Kalau sudah di Eropa kenapa tidak sekalian keliling Eropa Barat" Kita juga bisa datangi Raisa dan Randai yang sedang tinggal
di Jerman," tantang Dinara.
"Berani sebulan keliling Eropa?" balasku tak mau kalah.
"Gak takut. Dinara siap bikin itinerary-nya! Ternyata kerja di
Borders dan setiap hari merapikan buku traveling ada gunanya,"
katanya dengan senyum lebar.
"Deal?" "Deal. Around Europe in 30 days."
381 rantau1muara.indd 381 Setengah jam kemudian, sambil berdendang, kami keluar
dari STA Travel dengan menggenggam pesanan tiket keliling
Eropa sebelum pulang ke Tanah Air.
Malam ini aku mengirim e-mail ke Randai di Jerman. "Pokoknya wa"ang siapkan kamar untuk kami berdua yo. Kami akan singgah
di Hamburg," tulisku.
382 rantau1muara.indd 382 Lelaki Perayu el apartemenku berdering ketika kami sedang mengepak
buku-buku ke dalam kardus-kardus yang akan kami kirim
dengan kargo kapal laut. "A packet from London for you, Sir. Please
sign here," kata kurir DHL sambil menyerahkan amplop besar
kepadaku. Tidak biasanya aku menerima amplop setebal ini,
dari London pula. Mungkin dari Raja.
Sebuah logo berwarna hijau terang terpampang di amplopnya. Logo yang membuat jantungku berderu lebih cepat. Ini
logo EBC, European Broadcasting Corporation yang berpusat
di London. Salah satu kantor berita yang pernah aku impikan
menjadi tempat bekerja. Tak lama setelah lulus dari GWU, aku
segera melayangkan surat lamaran ke sejumlah media internasional. Walau sudah bekerja di ABN, setengah tahun lalu aku
pernah ditelepon dan diwawancara oleh salah satu direktur
EBC. Tapi kemudian tidak pernah ada kabar lagi.
Aku hampir lupa dengan EBC sampai kemudian aku ke
London dan sempat bertemu dengan Gary Owen, direktur
penyiaran EBC. Kami sama-sama duduk sebagai panelis di Konferensi World Inter-Faith. Aku sempat menyebutkan ke Gary kalau aku pernah melamar ke EBC. Seingatku, dia sempat bilang,
"I will look into it. We are expanding. So we will have a number of
positions to fill," katanya. Ah, aku pikir itu basa-basi saja.
383 rantau1muara.indd 383 Tapi amplop tebal dan terasa agak berat membuat aku penasaran. Di depan Dinara, aku robek amplop ini. Sehelai surat
menjadi pengantar setumpuk dokumen lain. Duduk di atas
tumpukan kardus barang pindahan, kami beradu kepala, komat-kamit membaca isi surat itu.
Isinya singkat: "Setelah melihat kembali berkas lamaran dan
hasil wawancara Anda, kami ingin menawarkan posisi sebagai
senior editor di kantor pusat kami di London...."
Selain posisi dan lokasi pekerjaan, poin kedua yang tidak kalah menggoyahkan iman kami adalah besaran gaji dan
tunjangan yang ditawarkan. Jauh di atas yang aku dapat sekarang.
"Wah dengan penghasilan segini, kita bisa bantu banyak
orang, menabung, dan masih bisa keliling dunia," kata Dinara.
Kami kembali berpandangan. Aku merasa di kepala masingmasing tumbuh selintas halus keraguan untuk pulang. Tawaran
EBC ini terlalu hebat untuk tidak diacuhkan.
Dan tiba-tiba pemandangan di lantai apartemen ini terasa
kontras. Reservasi one way ticket menuju Jakarta tergeletak bersanding dengan surat tawaran kerja EBC di London. Dua lembar
kertas yang menjanjikan kehidupan yang bertolak belakang.
Yang pertama akan mengantar kami menuju kampung halaman untuk selamanya, tanpa kepastian penghasilan. Yang kedua
akan mengantar kami merantau ke Inggris, dengan jaminan
pekerjaan dan penghasilan yang sangat baik.


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang harus kami lakukan"
Jakarta atau London"
384 rantau1muara.indd 384 Sudah tiga kali surat ini aku baca dari atas sampai bawah
dan dari bawah ke atas. Aku bolak-balik booklet yang disertakan
di dalam amplop. Isinya instruksi untuk menerima tawaran
kerja ini. Seandainya aku bersedia, EBC akan mengirimkan
tiket British Airways. Sesampai di Bandara Heathrow, mobil
jemputan akan langsung mengantarkan kami ke sebuah hotel
di pusat kota London untuk tinggal beberapa minggu, sebelum
kami mendapatkan apartemen sendiri.
Tapi semakin sering aku baca, semakin membimbangkan.
Keputusan apa yang harus kami ambil"
Ini sungguh rayuan maut. Aku ragu, Dinara ragu, kami ragu.
Selama seminggu kami berdiskusi, kadang sepakat, kadang bertengkar, kadang berandai-andai. Kami maju-mundur tak tentu
arah. Seakan-akan keputusan bulat kami untuk membeli tiket
pulang kemarin tidak berlaku lagi.
Akhirnya kami sepakat untuk meminta petunjuk-Nya. "Cinta, kita salat Istikharah yuk. Dia selalu tahu apa yang paling
baik buat kita," ajakku.
Dengan menggertakkan gigi, aku tulis e-mail itu. Dinara ikut
duduk di sebelahku memberi dukungan.
"Dear Mr. Owen. Thank you very much for your offer and the generous benefit...."
Setelah beberapa kalimat basa-basi, aku menjelaskan dengan
panjang lebar kenapa akhirnya aku menolak. Klik. Aku tekan
tombol send. 385 rantau1muara.indd 385 E-mail itu terkirim, aku tidak tahu harus sedih atau gembira.
Sesaat rasanya hampa. Apakah kami tidak salah langkah" Kenapa rasanya aku bagai baru saja melepaskan seekor burung
bertelur emas. Tapi di lain pihak, aku juga lega karena sudah
mengambil keputusan. Dinara membesarkan hatiku. "Seperti kata Abang sendiri,
Allah tahu yang terbaik. Yang kita kira baik, belum tentu baik
buat kita." Dinara selalu tahu waktu yang tepat untuk membalikkan perkataanku sendiri kepadaku. Dinara berdiri dan mengambil spidol. Dia silang satu tanggal lagi.
Di dinding kamar kami Dinara telah menandai kalender dengan angka 30 sampai 1. Count down kami. Hari ini sudah ada
lima belas tanda silang di sana. Artinya dua minggu lagi kami
pulang. Jarang-jarang aku menerima e-mail dengan tulisan urgent
sebagai subject-nya. Hari ini aku menerima satu. Dan pengirimnya: Mr. Owen. Dalam hati aku bergumam, Oh no. Leave me
alone. I have made the decision already. Se-urgent apa lagi pesan
dari dia kalau aku sudah menolak tawaran kerjanya" Tapi terus
terang, aku tidak kuat untuk tidak membacanya.
Dear Mr. Fikri. Terima kasih atas e-mail tempo hari. Seperti
yang pernah saya katakan waktu kita satu panel di London dulu,
kantor kami akan melakukan ekspansi program. Untuk menunjang
rencana ini, kami sangat memerlukan jurnalis asal Indonesia yang berpengalaman di dalam dan luar negeri. Kami juga membutuhkan personel yang paham isu-isu Islam dan menguasai bahasa Inggris dan ba386
rantau1muara.indd 386 hasa Arab. Kami melihat kualifikasi Anda sangat cocok dengan kebutuhan kami. Tambahan pula, saya sangat terkesan dengan presentasi
Anda waktu di Konferensi World Inter-Faith waktu itu.
I know you have made your mind. Tapi kenapa tidak mencoba
dulu. Sebagai tanda keseriusan, kami siap membicarakan paket remunerasi dan menemukan win-win solution bagi Anda dan kami.
Saya akan berkunjung ke Washington DC minggu ini, mari ketemu sambil minum teh untuk bicara lebih lanjut.
Sambil menghela napas, aku melambai-lambaikan tanganku
ke Dinara yang sedang membaluti koleksi Pyrex-nya dengan
bubble wrap sebelum masuk kardus. Aku menunjuk-nunjuk ke
layar laptop. Mr. Owen kembali merayu. Dia tahu bagaimana membuat
orang ragu. "Jadi?" tanyaku.
"Jadi apa?" tanya Dinara balik. Kami berdua terdiam lagi.
Tidak perlu kata-kata lain, kami tahu apa yang sedang berkecamuk di kepala kami.
Aku mendeham membersihkan tenggorokanku yang tidak
gatal. Aku mencoba membuat sebuah pembenaran baru.
"Jadi gini, kesempatan kerja yang baik ini belum tentu datang lagi. Apalagi di London. Jadi mungkin perlu dicoba." Suaraku melemah di ujungnya.
Dinara melirikku dengan ujung matanya. Wajahnya tegang.
"Bahkan, kita bisa menonton Arsenal setiap minggu di
Highbury," candaku mencoba menetralkan suasana.
387 rantau1muara.indd 387 "Bang, tapi bukannya kemarin kita sudah salat" Sudah
capek diskusi panjang" Jadi sekarang kita pulang atau pindah
ke London?" tanyanya, menuntut aku mengambil keputusan.
Aku menghela napas. Aku benci jadi peragu.
Aku menarik ujung syal mempererat bebatan di leherku.
Udara dingin melecut aku untuk melangkah lebih cepat. Pintu
hotel itu dibukakan seorang door man dengan jas menjuntai seperti ekor kucing. Hotel St. Regis yang bergaya kolonial megah
ini berada di lokasi mahal, 16th dan K Street, hanya dua blok
dari White House. Di sinilah pebisnis dan diplomat penting
menginap dan berbincang tentang hal besar dan remeh-temeh
sambil menyeruput teh atau kopi. Hari ini aku datang untuk
hal yang besar, setidaknya untuk hidupku dan Dinara.
Di lobby aku melihat laki-laki itu duduk di ujung sofa berlapis kulit hitam. Dia memakai rompi bercorak kotak-kotak hijau
dan biru. Jas hitamnya tersampir di tangan sofa. Lampu kristal
yang gemerlap menggantung di langit-langit, memperjelas kerutan di mukanya.
"Good morning, Mr. Owen...," sapaku. Dia langsung berdiri
dan menjabat tanganku erat. "Mr. Fikri. Nice to meet you again.
Please sit down. Would you like to have coffee or tea?" katanya sambil melambaikan tangan ke seorang waiter. Ditemani teh hangat earl grey kami mengobrol basa-basi beberapa menit. Aku
terkesan dengan aksen British-nya yang bertekanan dan mengayun. Terdengar simpatik dan tulus. Mungkin dia bisa jadi atasan yang menyenangkan.
388 rantau1muara.indd 388 Lalu dia mulai berbicara tentang peran posisiku nanti. "Ini
posisi yang strategis. Anda akan ikut menentukan arah dan
irama berita EBC. Anda juga nanti akan bertugas tidak hanya
di London. Tapi juga meliput ke berbagai tempat termasuk ke
Amerika, Timur Tengah, bahkan juga Indonesia. Kami punya
beberapa kandidat untuk posisi ini, tapi Anda pilihan pertama
kami. Untuk itu kami siap bernegosiasi untuk paket remunerasi
yang cocok dengan Anda," katanya dengan pelan tapi jelas.
Aku mengangguk-angguk. "So, what would you say about our offer?" akhirnya dia bertanya.
Aku memperbaiki posisi dudukku di sofa empuk yang membuat badanku terbenam. Aku menegakkan punggung bersiap
menyampaikan jawaban yang sudah aku siapkan bersama Dinara. Sudah ada di ujung lidahku. Aku menunda jawaban sebentar dengan menyeruput tehku yang mulai dingin. Sambil
menghirup teh, aku memprotes diriku sendiri yang mudah
goyah. Ayo, sampaikan dengan tegas! Ambil keputusan. Aku
semangati diriku sendiri.
"Mr. Owen, once again, thank you very much for your kind offer.
After further deliberation with my wife, I am afraid to say that I could
not take your generous offer. It is not about the remuneration package.
We have decided that we will go back to Indonesia for good."
Dia menatapku sekilas. Mungkin dia tidak mengira aku
akan tetap menolak tawarannya. Setelah meneguk tehnya, dia
melihat mataku lalu berbicara, "I appreciate your decision. Tapi
cobalah Anda pikirkan lagi. Sleep on it. And you can get back to
me with your final decision tomorrow." Dia masih belum menyerah.
Dan aku menolak untuk tergoda lagi.
389 rantau1muara.indd 389 "Saya sangat berterima kasih atas tawaran Anda. Tapi saat ini
keputusan kami sudah bulat. Kami ingin pulang ke Indonesia,"
kataku sambil bangkit dari tempat duduk dan mengulurkan tangan untuk pamit.
Dia menggangguk sambil tersenyum. "All right. Apparently
nothing can change your decision. I wish you good luck Mr. Fikri. I
believe our path will cross again someday."
"Farewell for now," kataku. Aku anggukkan kepala dan berlalu
dengan langkah percaya diri. Ketak-ketuk langkahku di pualam
putih tiba-tiba terasa begitu nyaring. Dari balik kaca lobi hotel
ini aku bisa melihat ujung Washington Monument. Berdiri
kaku seperti pensil yang baru diraut, seperti menyaksikan aku
membuat keputusan besar. EBC bagai pintu yang terbuka lebar untuk aku masuki. Tapi
aku memilih untuk menutup pintu itu. Dan berjalan menuju
pintu lain yang entah ada apa di baliknya. Keputusanku hari ini mungkin akan aku sesali sepanjang sisa hidupku. Tapi
tidak apa, seperti kata Kiai Rais, seorang laki-laki harus berani
memutuskan hidup. Membuat keputusan itu lebih baik daripada pasrah menunggu orang lain memutuskan hidupku.
Doorman yang berpakaian jas hitam dengan buntut panjang
menjuntai itu menganggukkan kepalanya dengan hormat kepadaku. Tangannya yang dilapisi sarung tangan putih itu menarik
door knob pintu kaca berlekuk-lekuk, membiarkan aku lewat. Di
belakang punggungku, pintu itu pasti telah ditutup kembali.
Tapi aku haqqul yakin, itu bukan pintu terakhir dalam hidupku.
Ketika sebuah pintu tertutup, pintu-pintu lain akan terbuka
buatku. Di suatu masa, di suatu tempat.
390 rantau1muara.indd 390 Muara di Atas Muara aru saja kami menguakkan pintu kantor pagi itu, kami
sudah disambut semprotan Diana. "Heh, ngapain sih datang kepagian!" katanya dengan nada menekan. Gadis ramah
ini entah kenapa tumben menjelma menjadi judes. Mungkin
dia sedang menderita bad hair day. "Tunggu dulu tuh di lobi luar
setengah jam." Dia mengangkat kedua tangannya menghalau
kami kembali ke luar. Tapi larangannya terlambat. Aku dan Dinara telanjur melihat
kehebohan yang sedang berlangsung di balik pintu newsroom.
"Demi kalian berdua nih, gue hampir tidak tidur karena
semalaman nginap di dapur," kata Rio tersenyum sambil menating tiga mangkuk besar berbahan Pyrex. Masing-masing berisi
green curry ala Thailand, gado-gado, dan ayam rica-rica. Diana
akhirnya melengos karena tidak bisa juga menghalangi kami
dan dia kembali sibuk mengecek sound system. Arum dan Tere
berjinjit di atas tangga lipat, menempelkan segerumbul balon,
kertas krep bertali-tali, dan spanduk besar "Till we meet again.
Farewell Alif and Dinara." Sedangkan Tom duduk-duduk sambil
tunjuk sana-tunjuk sini, mengawasi semua persiapan. Sayang,
mereka membuat surprise party yang tidak surprise lagi.
"Kita berkumpul di sini untuk melepas dua anggota keluarga
besar kita pulang kampung. Saya harap ini bukan sebuah "good
391 rantau1muara.indd 391 bye" tapi cukuplah sebagai sebuah "see you"," kata Tom membuka acara di kepala meja yang penuh makanan. Setelah itu
bergiliran setiap awak redaksi menyampaikan kesan dan pesannya buat kami, bercampur antara canda dan sedih. Ketika
giliran kami bicara, suaraku bergetar dan mata Dinara tampak
basah mengenang persahabatan yang kami bina di ABN.
"Udahan dulu tangis-tangisannya, sekarang saatnya makanmakan!" teriak Rio membagi-bagikan piring kertas. Hampir
semua orang menyumbang makanan dan minuman. Bahkan
Tom saja sampai membawa sepiring cookies yang masih hangat
hasil panggangan istrinya. "Ayo siap-siap, kita foto bareng sama
buruh pabrik cokelat ini. Siapa tahu kebagian cokelat gratis,"
ledek Arum. Di sebelahnya Tere mengakak dan sudah siap
mengokang kamera manualnya. Acara foto-foto yang awalnya
bergaya rapi lama-lama menjadi bergaya narsis yang tidak habishabisnya.
Ketika Rio sibuk mengumpulkan mangkuk-mangkuknya sementara Arum dan Tere menurunkan balon dan spanduk, Tom
mendekati kami. "Let"s have some more cookies in my office." Aku
sebetulnya sudah kenyang, tapi belum sempat aku menjawab,
Tom sudah mengayun-ayunkan tangan mempersilakan kami
masuk ruangannya. Sambil mengunyah cookies, Tom duduk menghadap kami
berdua dengan kedua tapak tangan disatukan di bawah dagu
brewoknya. "Saya mungkin yang paling bersedih kalian pergi.
Kalian berdua itu dynamic duo, aset buat tim saya. Indispensable.
Entah bagaimana mencari pengganti seperti kalian."
392 rantau1muara.indd 392 Kami mengangguk-angguk tersipu, sambil mengucapkan terima kasih telah dipuji.
"We are lucky to have a great boss like you," balasku.
"Saya tidak mau kalian melenggang pergi begitu saja. Karena
itu, beberapa hari lalu saya berunding dengan Asia Pacific Division Chief. Dia juga sangat terkesan dengan pekerjaan kalian.
Intinya ada kabar baik...."
Ini mau ada kejutan apa lagi" Cukuplah Gary yang merayu
kami. "Kami ingin kalian berdua mau menjadi special representative
ABN di Jakarta. Detailnya akan kita bicarakan lebih lanjut. Namun kompensasi yang kami tawarkan akan sama dengan yang
kalian dapat di sini."
Aku dan Dinara berpandangan sejenak dengan mulut ternganga.
"So, what do you think?"
Sebuah pintu besar bagai dihamparkan terbuka untuk kami.
Baru tadi malam aku dan Dinara mempercakapkan hidup
macam apa yang akan kami arungi di Jakarta dan bagaimana
kami harus siap berhemat. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Baru saja kami bicara, jawaban dari-Nya bersegera datang. Dari
tempat yang tidak kami sangka-sangka. Alhamdulillah....
Kerja di Jakarta. Gaji Amerika. Apa lagi yang mau diminta"
393 rantau1muara.indd 393 Sinar keemasan matahari sore menembus jendela lonjong
pesawat Boeing ini dan pelan-pelan menjilat muka dan badan
kami. Kami tidak berkata-kata sejak pesawat mengudara dari
Reagan Washington Airport semenit lalu. Kami hanya saling
menggenggam tangan dalam diam, sambil tidak lepas memandang ke luar jendela. Di kepalaku berputar segala macam film
kehidupan yang pernah kami rasakan di kota di bawah sana.
Wajah-wajah yang pernah aku kenal berkelebat-kelebat bagai
film diputar fast forward: Mas Garuda, Dinara, Mas Nanda
dan Mbak Hilda, Ustad Fariz, Tom Watson, Michael Jordan,
Mas Rama, dan juga Mama Mona.... Kejadian besar lima tahun terakhir muncul silih berganti, pernikahanku, wisuda, 11
September, kehilanganku, reuni di London, kegamanganku...
senang dan getir hadir silih berganti. Aku menolak untuk mengeluh tentang kegetiran, aku tidak mau mabuk dengan kesenangan. Getir dan senang, keduanya telah melengkapi racikan
hidup ini. Washington DC makin lama makin menjauh dari pandangan. Di ujung jendela aku menangkap pucuk Washington Monument yang mengerlip disiram sinar matahari. Aku pandang
menara itu baik-baik untuk terakhir kalinya, sampai kerlipan
itu hilang ketika pesawat kami berputar arah menembus langit
menuju Jakarta. Menara impianku ini telah aku pagut, saatnya
sekarang mencari menara lain, menuntut ilmu yang baru.
Hidupku kini ibarat mengayuh biduk membelah samudra
hidup. Selamanya akan naik-turun dilamun gelombang dan
ditampar badai. Tapi aku tidak akan merengek pada air, pada
angin, dan pada tanah. Yang membuat aku kukuh adalah aku
394 rantau1muara.indd 394 tahu ke mana tujuan akhirku di ujung cakrawala. Dan aku tahu
aku tidak sendiri. Di atas sana, ada Tuhan yang menjadi tempat
jiwa ragaku sepenuhnya bertumpu. Di sampingku ada Dinara.
Temanku merengkuh dayung menuju muara. Muara di atas
muara. Muara segala muara.
Seperti nasihat Kiai Rais dulu, muara manusia adalah menjadi hamba sekaligus khalifah di muka Bumi. Sebagai hamba,
tugas kita mengabdi. Sebagai khalifah, tugas kita bermanfaat.
Hidup adalah pengabdian. Dan kebermanfaatan.
Aku kuakkan syal batik peninggalan Mas Garuda yang dari tadi aku genggam. Aku peluk bahu Dinara erat-erat. Aku
bisikkan, "Terima kasih sudah menjadi kawan merengkuh dayung yang tangguh."
Mata indahnya tersenyum terang.
395 rantau1muara.indd 395 rantau1muara.indd 396

Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Epilog Di langit pagi, di atas Samudra Atlantik...
Alhamdulillah, hari ini telah aku tunaikan teladan dan petuah para
pengembara besar dunia seperti Imam Syafii, Ibnu Batutah dan Marco Polo.
Bertualang sejauh mata memandang, mengayuh sejauh lautan terbentang,
dan berguru sejauh alam terkembang. Aku ajarkan badanku untuk berani
berjalan melintas daratan dan lautan, mencicip rupa-rupa musim, mengenal
ragam manusia. Aku bujuk jiwaku untuk tidak pernah kenyang berguru dan
terus memahami tanda-tanda yang bertebaran di bawah tudung langit.
Akulah si perantau ragawi. Akulah si pengembara rohani.
Akulah si pencari yang terus menderapkan langkah, berjalan dan berjalan
terus, karena aku yakin suatu saat akan sampai.
Sejauh mana pun aku mengembara, keseluruhan hidup pada hakikatnya
adalah perantauan. Suatu saat aku akan kembali berjalan pulang ke asal.
Kembali ke yang satu, yang esensial, yang awal.
Yaitu menghamba dan mengabdi. Kepada Sang Pencipta.
Hari ini pula, di atas pesawat yang menerbangkan aku dari Washington DC
ke Jakarta, aku rosok ujung lipatan dompetku dan aku tarik sehelai kertas
tua berlipat-lipat kecil. Tiga barisan tulisan tangan itu masih jelas tertera di
kertas yang menguning ini. Tiga baris yang menjadi dayung-dayung hidupku
selama ini. Man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
Man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung.
Man saara ala darbi washala.
Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan.
rantau1muara.indd 397 penulis R1M.indd 398 Tentang Penulis Dari Wartawan ke Novelis, Dari Sumatra ke Amerika
Ahmad Fuadi lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau
Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka.
Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk
masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu
dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan
ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang mengajarkan
kepadanya "mantra" sederhana yang sangat kuat, man jadda wa"
jada, siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses.
Lulus kuliah Hubungan Internasional, UNPAD, dia menjadi
wartawan majalah Tempo. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani
dalam tugas-tugas reportase di bawah bimbingan para wartawan
senior Tempo. Tahun 1999, dia mendapat beasiswa Fulbright
untuk kuliah S-2 di School of Media and Public Affairs, George
Washington University, USA. Merantau ke Washington DC
bersama Yayi, istrinya"yang juga wartawan Tempo"adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden Tempo dan wartawan Voice of America
399 penulis R1M.indd 399 (VOA). Berita bersejarah seperti tragedi 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan
Capitol Hill. Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia
mendapatkan beasiswa Chevening Award untuk belajar di Royal
Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter.
Seorang scholarship hunter, Fuadi selalu bersemangat melanjutkan
sekolah dengan mencari beasiswa. Sampai sekarang, Fuadi telah
mendapatkan 9 beasiswa untuk belajar di luar negeri. Dia
telah mendapat kesempatan tinggal dan belajar di Kanada,
Singapura, Amerika Serikat, Italia, dan Inggris.
Negeri 5 Menara telah diangkat ke layar lebar tahun 2011
dan buku ini mendapatkan beberapa penghargaan: Nominasi
Khatulistiwa Award 2010 dan Penulis dan Buku Fiksi Terfavorit
2010 versi Anugerah Pembaca Indonesia, sedangkan tahun
2011, Fuadi dianugerahi Liputan6 Award, SCTV untuk kategori motivasi dan pendidikan, Penulis Terbaik IKAPI dan Juara
1 Karya Fiksi Terbaik Perpusnas. Tahun 2012, Fuadi terpilih
sebagai resident di Bellagio Center, Italia dan tahun 2013
mendapat penghargaan dari DJKHI Kemenkumham untuk
kategori Karya Cipta Novel.
Fuadi telah diundang jadi pembicara di berbagai acara internasional seperti Frankfurt Book Fair, Ubud Writers Festival,
Singapore Writers Festival, Salihara Literary Biennale, Makassar
Writers Festival, serta Byron Bay Writers Festival di Australia.
Penyuka fotografi ini pernah menjadi Direktur Komunikasi
The Nature Conservancy, sebuah NGO konservasi internasional.
Kini, Fuadi sibuk menulis, menjadi public speaker, serta memba400
penulis R1M.indd 400 ngun yayasan sosial untuk membantu pendidikan anak usia
dini yang kurang mampu"Komunitas Menara.
Fuadi bisa dikontak di: E-mail penulis: negeri5menara@yahoo.com
Twitter: @fuadi1 (pakai angka 1)
Facebook fanpage: Negeri 5 Menara. www.facebook.com/n5menara
Website: www.negeri5menara.com
401 penulis R1M.indd 401 Pengumuman PenTing! Terima kasih untuk para pembaca dan masyarakat
yang telah mengapresiasi Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna,
dan penulis A. Fuadi (Bang Fuadi). Selama ini banyak
pembaca yang bertanya bagaimana cara mengundang
dan menghubungi Bang Fuadi untuk kepentingan
bicara, talkshow, seminar, dan pelatihan.
Untuk memudahkan kontak dan pengaturan jadwal,
silakan hubungi Manajemen Negeri 5 Menara melalui:
087881667985 atau e-mail penulis R1M.indd 402 kontak@negeri5menara.com 403 penulis R1M.indd 403 penulis R1M.indd 404 Yuk membangun Sekolah Bebas Biaya
bersama KOmuniTaS menaRa Komunitas Menara (KM) adalah yayasan sosial untuk membantu
pendidikan pada anak usia dini, terutama untuk masyarakat
yang kurang mampu. KM berawal dari niat untuk melaksanakan
nilai-nilai di novel Negeri 5 Menara dalam gerakan sosial yang
nyata. Mari ikut bergabung menyemai generasi baru Indonesia
yang lebih baik, berkarakter kuat, dan bermental antikorupsi.
Mengapa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)"
65 persen anak Indonesia belum mendapat pendidikan
dini. Dari 30 juta anak di Indonesia, baru 10 juta anak
yang mendapat pendidikan usia dini.
Sekitar 30.000 desa belum punya sekolah PAUD dari
dari 77.000 desa di Indonesia
Saat ini Indonesia memerlukan 15.000 PAUD
Usia emas (golden age) antara 4-6 tahun waktu yang
paling subur untuk menyemai karakter
405 penulis R1M.indd 405 Program 1000 PAUD Komunitas Menara se-Indonesia
Program 1000 PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) KM gratis
se-Indonesia bertujuan menanamkan karakter luhur, jujur,
bersungguh-sungguh (man jadda wajada), percaya diri dan
antikorupsi serta perilaku yang baik lainnya kepada anak-anak
usia 4-6 tahun ketika mereka berada di usia emas (golden
age). Program ini difokuskan untuk masyarakat yang kurang
mampu dengan harapan bisa memutus rantai keterbelakangan,
lemahnya karakter serta kemiskinan ilmu dan materi. Saat ini
Komunitas Menara telah punya jejaring 5 PAUD yang tersebar
di Provinsi Banten, Sumatra Barat, dan Jawa Barat.
Taman Baca dan Perpustakaan Komunitas Menara
Indonesia kekurangan taman baca yang menyediakan bacaan
bermutu untuk anak usia dini di Indonesia. Taman Baca
Komunitas Menara ingin memberikan akses, fasilitas bacaan
dan informasi bagi anak-anak pra-sejahtera. Akses ini diharapkan
bisa membukakan cakrawala mereka untuk berani punya citacita dan membela impiannya dengan kesungguhan.
Donasi Anda untuk ikut serta membangun sekolah, menjadi
orang tua asuh dan membangun taman baca buat kalangan
tidak mampu, bisa disalurkan ke:
406 penulis R1M.indd 406 Nomor Rekening Bank Mandiri, Pondok Cabe Mutiara
Nomor rekening 164000 00 41600
a.n. Yayasan Komunitas Menara
BRI Syariah, Abdul Muis Nomor Rekening 100.225.6599
a.n. Yayasan Komunitas Menara
Sekretariat Komunitas Menara
Jl. Bintaro Puspita II A Blok C 34 RT 011/08
Bumi Bintaro Permai, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, 12330
Telepon: 021-7357897 Ingin tahu lebih banyak tentang Komunitas Menara, kami bisa
dikontak di E-mail : komunitas@negeri5menara.com
Website : www.negeri5menara.com/komunitas
: Facebook fanpage "Komunitas Menara"
Twitter : @k_menara 407 penulis R1M.indd 407 Dokumentasi Majalah Chic Ahmad Fuadi lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau
Maninjau tahun 1972. Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi
permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok
Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustad yang
diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat.
Gontor pula yang mengajarkan kepadanya "mantra" sederhana
yang sangat kuat, man jadda wajada, siapa yang bersungguhsungguh akan berhasil.
Lulus kuliah Hubungan Internasional, UNPAD, dia menjadi
wartawan majalah Tempo. Tahun 1999, dia mendapat beasiswa
Fulbright untuk kuliah S-2 di School of Media and Public Affairs,
George Washington University, USA. Merantau ke Washington
DC bersama Yayi"istrinya"adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil
kuliah, mereka menjadi koresponden Tempo dan wartawan Voice of America (VOA). Berita
bersejarah seperti tragedi 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon,
White House, dan Capitol Hill.
Menjadi seorang scholarship hunter, hingga kini Fuadi telah mendapatkan sembilan beasiswa
untuk belajar di luar negeri. Tahun 2004, dia mendapatkan beasiswa Chevening Award untuk
belajar di Royal Holloway, University of London. Dia telah mendapat kesempatan tinggal
dan belajar di Kanada, Singapura, Amerika Serikat, Italia, dan Inggris.
Negeri 5 Menara telah diangkat ke layar lebar tahun 2011 dan buku ini mendapatkan
penghargaan: Nominasi Khatulistiwa Award 2010 dan Penulis & Buku Fiksi Terfavorit 2010
versi Anugerah Pembaca Indonesia. Pada 2011, Fuadi dianugerahi Liputan6 Award, SCTV
untuk kategori motivasi dan pendidikan, Penulis Terbaik IKAPI dan Juara 1 Karya Fiksi Terbaik
Perpusnas. Tahun 2012, Fuadi terpilih sebagai resident di Bellagio Center, Italia dan tahun
2013 mendapat penghargaan dari DJKHI Kemenkumham untuk kategori Karya Cipta Novel.
Fuadi telah diundang jadi pembicara di berbagai acara internasional seperti Frankfurt
Book Fair, Ubud Writers Festival, Singapore Writers Festival, Salihara Literary Biennale,
Makassar Writers Festival, serta Byron Bay Writers Festival di Australia.
Penyuka fotografi ini pernah menjadi Direktur Komunikasi The Nature Conservancy,
sebuah NGO konservasi internasional. Kini, Fuadi sibuk menulis, menjadi public speaker,
serta membangun yayasan sosial untuk membantu pendidikan anak usia dini yang kurang
mampu"Komunitas Menara.
Fuadi bisa dikontak di: Email penulis: negeri5menara@yahoo.com
@fuadi1 (pakai angka satu)
Negeri 5 Menara. www.facebook.com/n5menara
Website: www.negeri5menara.com
R1M_kuping_CS4.indd 1 Trilogi Negeri 5 Menara Kepercayaan diri Alif sedang menggelegak. Sudah separuh dunia dia kelilingi, tulisannya
tersebar di banyak media, dan dia diwisuda dengan nilai terbaik."Perusahaan mana yang
tidak tergiur merekrutnya"
Man jadda wajada. Namun Alif lulus di saat yang salah. Akhir "90-an, Indonesia dicekik krisis ekonomi dan
dihoyak reformasi. Lowongan pekerjaan sulit dicari. Kepercayaan dirinya goyah, bagaimana
dia bisa menggapai impiannya"
Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
Secercah harapan muncul ketika Alif diterima menjadi wartawan di Ibu Kota. Di
sana,"hatinya tertambat pada seorang gadis yang dulu pernah dia curigai. Ke mana arah
hubungan mereka" Takdir menerbangkan Alif ke Washington DC. Life is perfect, sampai terjadi tragedi 11
September 2001 di New York yang menggoyahkan jiwanya. Kenapa orang dekatnya harus
pergi" Alif dipaksa memikirkan ulang misi hidupnya. Dari mana dia bermula dan ke mana
dia akhirnya akan bermuara"
Man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung.
"Mantra" ketiga "man saara ala darbi washala" (siapa yang berjalan di jalannya akan sampai
di tujuan) menuntun pencarian misi hidup Alif. Hidup hakikatnya adalah perantauan. Suatu
masa akan kembali ke akar, ke yang satu, ke yang awal. Muara segala muara.
Man saara ala darbi washala.
Rantau 1 Muara adalah kisah pencarian tempat berkarya, pencarian belahan jiwa, dan
pencarian di mana hidup akan bermuara.
Siapa yang berjalan di jalannya
akan sampai ke tujuan. Novel ini adalah buku ketiga dari trilogi Negeri 5 Menara yang ditulis A. Fuadi, novelis
asal Minang yang pernah tinggal di Washington DC, London, Quebec, dan Singapura.
Bertualanglah sejauh mata memandang.
Mengayuhlah sejauh lautan terbentang.
Bergurulah sejauh alam terkembang.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29"37
Jakarta 10270 www.gramediapustakautama.com
Negeri 5 Menara English Edition
Man jadda wajada. He who gives his all will surely succeed.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 11 Satria Lonceng Dewa 6 Sri Maharaja Ke Delapan Mushasi 28

Cari Blog Ini