Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 28
akan ketiga hal itulah kita mengadakan pertemuan ini tiap tahun. Sekarang marilah kita
saling mendoakan kesehatan dan kesejahteraan masing-masing."
Secara bersamaan orang-orang itu menjawab, "Kebaikan Yang dipertuan Hosokawa, kemurahan
hati Keluarga Shimmen, dan karunia surga yang membebaskan kita dari kesengsaraan...
sehari pun tak akan kita lupakan."
"Sekarang bungkukkan badan," kata Magobeinojo.
Mereka membalikkan badan ke arah dinding putih Benteng Kokura yang kelihatan samarsamar di bentangan langit gelap, dan membungkuk sampai ke tanah. Kemudian mereka
menghadap ke Provinsi Mimasaka dan membungkuk lagi. Akhirnya mereka menghadap ke
sepatu-sepatu kuda dan membungkuk untuk ketiga kalinya. Setiap gerakan dilakukan dengan
kesungguhan dan ketulusan yang luar biasa.
Kepada Musashi, Magobeinojo berkata, "Sekarang kami pergi ke tempat suci di atas, untuk
memberikan persembahan sepatu kuda. Sesudah itu, pesta dapat kita mulai. Saya
persilakan Anda menanti di sini."
Pemimpin upacara mengangkat meja berisi sepatu-sepatu kuda itu setinggi dahi, dan yang
lain mengikuti satu-satu. Mereka ikatkan hasil kerajinan tangan mereka itu ke cabangcabang sebuah pohon di samping pintu masuk tempat suci. Kemudian, sesudah mengatupkan
tangan satu kali ke hadapan para dewa, mereka menggabungkan diri kembali dengan
Musashi. Hidangan yang disajikan itu sangat sederhana"keladi rebus, rebung dengan empleng
buncis, dan ikan kering"jenis makanan yang biasa dimakan di rumah-rumah petani
setempat. Tapi sake tersedia dalam jumlah banyak, ditambah banyak tawa dan percakapan.
Ketika suasana sudah berubah menjadi ramah-tamah, Musashi berkata, "Sungguh suatu
kehormatan mendapat undangan bergabung dengan Anda sekalian, tapi yang menjadi
pertanyaan saya adalah upacara Anda sekalian yang sederhana itu. Tentunya upacara itu
khusus sekali artinya bagi Anda sekalian."
"Memang," kata Magobeinojo. "Ketika kami datang kemari sebagai prajurit-prajurit yang
kalah perang, tak ada orang yang dapat kami mintai pertolongan. Lebih baik kami mati
daripada mencuri, tapi kami mesti makan. Akhirnya kami mendapat gagasan untuk
mendirikan warung di dekat jembatan itu, dan membuat sepatu kuda. Tangan kami sudah
mati rasa oleh berlatih lembing, dan karenanya dibutuhkan usaha untuk belajar menganyam
jerami. Kami lakukan pekerjaan itu tiga tahun lamanya, dan kami jual basil kerja kami
kepada tukang-tukang kuda yang sedang lewat, sekadar untuk dapat tetap hidup.
"Tukang-tukang kuda mulai curiga bahwa menganyam jerami bukan pekerjaan kami yang
sebenarnya, dan akhirnya ada yang menyampaikan kepada Yang Dipertuan Hosokawa Sansai
tentang kami. Ketika mengetahui bahwa kami bekas pengikut Yang Dipertuan Shimmen,
beliau mengirim orang untuk menawarkan kedudukan pada kami."
Ia berkata, Yang Dipertuan Sansai menawarkan penghasilan kolektif sebesar lima ribu
gantang, tapi mereka menolak. Mereka bersedia mengabdi pada beliau secara jujur, tapi
mereka merasa hubungan tuan-dengan-pengikut itu mesti ditegakkan atas dasar pribadidengan-pribadi. Sansai dapat memahami perasaan mereka, dan mengajukan tawaran lain
berupa penghasilan perorangan. Beliau dapat memahami ketika para abdinya menyatakan
mungkin keenam ronin itu tidak dapat berpakaian pantas untuk dihadapkan kepada Yang
Dipertuan. Namun ketika disarankan pengeluaran khusus untuk pakaian, Sansai menolak,
karena hal itu akan menimbulkan rasa malu mereka.
Sesungguhnya kekuatiran itu tidak beralasan, karena berapa pun dalamnya mereka
tenggelam, ternyata mereka masih dapat mengenakan pakaian berkanji lengkap dengan dua
bilah pedang, ketika mereka menerima pengangkatan.
"Takkan sukar melupakan, betapa berat hidup kami selama melakukan pekerjaan kasar itu.
Kalau kami tidak bersatu padu, tak bakal kami sempat hidup, untuk akhirnya dipekerjakan
oleh Yang Dipertuan Sansai. Kami tak boleh lupa, bahwa nasib baik telah menyelamatkan
kami pada tahun-tahun itu."
Sambil mengakhiri ceritanya, ia mengangkat mangkuk, dan katanya, "Maafkan saya sudah
bicara demikian panjang tentang diri kami. Saya hanya ingin Anda mengetahui bahwa kami
adalah orang-orang yang berkemauan baik, sekalipun sake kami bukan kualitas kelas satu
dan makanan kami tidak terlalu banyak. Kami harap Anda memperlihatkan perjuangan berani
besok lusa. Dan jangan kuatir, kalau Anda kalah, kami akan menguburkan tulang-tulang
Anda." Sambil menerima mangkuk, jawab Musashi, "Saya merasa mendapat kehormatan berada di
tengah Anda sekalian. Ini lebih baik daripada minum sake yang paling baik di rumah
gedung terindah. Saya hanya berharap, saya semujur Anda sekalian."
"Jangan berharap demikian! Anda akan terpaksa belajar menganyam sepatu kuda seperti
kami." Tiba-tiba bunyi tanah yang merosot menghentikan tawa mereka. Mata mereka mengarah ke
tanggul. Di sana mereka melihat sosok tubuh orang yang meringkuk seperti kelelawar.
"Siapa di sana?" teriak Kagashiro yang seketika berdiri. Seorang lagi bangkit sambil
menghunus pedang, lalu kedua orang itu mendaki tanggul dan menatap kabut.
Sambil tertawa, Kagashiro berseru ke bawah, "Rupanya salah seorang pengikut Kojiro.
Barangkali kita dikira pendukung Musashi yang sedang mengadakan sidang strategi
rahasia. Dia sudah lari sebelum kita melihatnya baik-baik."
"Saya bisa mengerti, kalau para pendukung Kojiro melakukan itu," ujar seorang dari
mereka. Suasana tetap gembira, tapi Musashi kini memutuskan untuk tidak berlama-lama tinggal di
situ. Hal yang paling tidak diinginkannya adalah menimbulkan kerugian pada orang-orang
ini di kemudian hari. la mengucapkan terima kasih banyak-banyak atas kebaikan hati
mereka, dan meninggalkan mereka dalam pesta itu, serta berjalan santai ke dalam
kegelapan. Setidak-tidaknya, ia kelihatan santai.
Kemarahan terpendam Nagaoka karena orang membiarkan saja Musashi meninggalkan rumahnya
itu menimpa beberapa orang, tapi ia menanti sampai pagi hari tanggal dua belas untuk
mengirim orang-orangnya mencari Musashi.
Ketika orang-orang itu melaporkan bahwa mereka tak dapat menemukan Musashi"dan tidak
tahu di mana kira-kira ia berada"alis Sado yang putih melonjak cemas. "Apa pula yang
sudah terjadi dengannya" Mungkinkah..." Sampai di situ, ia tak lagi melanjutkan jalan
pikirannya. Pada tanggal dua belas itu juga, Kojiro berkunjung ke benteng dan diterima dengan
hangat oleh Yang Dipertuan Tadatoshi. Mereka minum sake bersama, kemudian Kojiro pulang
dengan semangat tinggi, mengendarai kuda muda kesayangannya.
Petang hari, seluruh kota berdengung oleh desas-desus.
"Musashi barangkali ketakutan dan lari."
"Tak sangsi lagi. Dia menghilang."
Malam itu Sado tak dapat tidur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu tak mungkin
terjadi"Musashi bukan jenis orang yang akan lari.... Namun bukan tidak pernah terjadi,
bahwa orang yang tampaknya dapat diandalkan, tiba-tiba patah semangat karena tekanan
batin. Kuatir akan terjadi hal terburuk, Sado sudah membayangkan ia mesti melakukan
bunuh diri, satu-satunya pemecahan terhormat kalau Musashi yang telah
direkomendasikannya itu gagal memperlihatkan diri.
Fajar yang terang cemerlang pada tanggal tiga belas menyaksikannya berjalan di kebun
bersama Iori, seraya berulang-ulang bertanya pada diri sendiri, "Apa aku keliru" Apa
aku salah menilai orang itu?"
"Selamat pagi, Pak." Wajah Nuinosuke yang lelah muncul di pintu samping.
"Kau menemukan dia?"
"Tidak, Pak. Tak seorang pun pemilik penginapan melihat orang yang mirip dia."
"Apa kau sudah tanya di kuil-kuil?"
"Kuil, dojo-semua tempat lain yang biasa dikunjungi murid seni bela diri telah kami
datangi. Magobeinojo dan rombongannya keluar sepanjang malam dan..."
"Mereka belum datang." Sado mengernyitkan alis. Lewat dedaunan pohon prem yang segar,
kelihatan olehnya laut. Ombak laut seolah mengempas ke dadanya sendiri. "Sungguh aku
tak mengerti!" "Tak dapat ditemukan di mana pun, Pak?"
Satu demi satu para pencari kembali, lelah dan kecewa. Mereka berkumpul di dekat
beranda dan membicarakan hal itu dengan nada marah dan putus asa.
Menurut Kinami Kagashiro yang telah melewati rumah Sasaki Kojiro, beberapa ratus
pendukung telah berkumpul di luar pintu gerbang. Pintu masuk dihiasi bendera dengan
mahkota bunga gentian khusus untuk pesta, dan tirai emas dipasang langsung di depan
pintu yang akan dilewati Kojiro pada waktu keluar. Pada waktu fajar, berkelompokkelompok pengikut pergi ke tempat suci utama, untuk berdoa bagi kemenangannya.
Kemuraman berat menimpa semua orang di rumah Sado, tapi beban itu terutama dirasakan
oleh orang-orang yang mengenal ayah Musashi. Mereka merasa dikhianati. Kalau Musashi
berkhianat, mereka akan kehilangan muka di depan para rekan samurai atau dunia pada
umumnya. Ketika Sado menyuruh mereka bubar, Kagashiro bersumpah, "Akan kami temukan bajingan
itu. Kalau tidak hari ini, tentu hari lain. Dan kalau kami temukan, kami bunuh dia."
Sado kembali ke kamarnya sendiri, dan menyalakan setanggi di tempat pembakaran, seperti
dilakukannya tiap hari. Nuinosuke melihat kemurungan dalam ketenangan gerak-geriknya.
"Dia sedang menyiapkan diri," pikirnya. Ia sendiri sedih memikirkan perkembangan
peristiwa ini. Justru pada waktu itu Iori yang berdiri di ujung halaman, sedang memandangi laut,
menoleh dan bertanya, "Apa sudah Bapak coba rumah Kobayashi Tarozaemon?"
Secara naluriah Nuinosuke sadar bahwa kata-kata Iori itu menunjukkan jalan. Tak seorang
pun pergi ke tempat perantara kapal itu, padahal itu tempat yang memang mungkin dipilih
Musashi untuk menyembunyikan diri dari penglihatan orang.
"Anak itu betul!" ujar Sado, wajahnya menjadi cerah. "Kita sem
ua sungguh bodoh! Pergi ke sana sekarang juga!"
"Saya ikut," kata Iori.
"Apa boleh dia ikut, Pak?"
"Ya, dia boleh pergi. Cepat sekarang... oh, tunggu sebentar."
Ia menulis surat dengan cepat, dan menjelaskan pada Nuinosuke tentang isinya: "Sasaki
Kojiro akan menyeberang ke Funashima dengan perahu yang disediakan oleh Yang Dipertuan
Tadatoshi. Ia akan sampai pukul delapan. Anda masih bisa sampai pada waktu itu. Saya
sarankan Anda datang kemari untuk membuat persiapan. Akan saya sediakan perahu yang
akan membawa Anda mencapai kemenangan mulia."
Atas nama Sado, Nuinosuke dan Iori memperoleh perahu cepat dari kepala perahu perdikan.
Mereka menjalankan perahu itu ke Shimonoseki secepat-cepatnya, kemudian langsung menuju
perusahaan Tarozaemon. Menjawab pertanyaan mereka, seorang pengawal berkata, "Saya tak tahu seluk-beluknya,
tapi kelihatannya ada satu samurai muda yang tinggal di rumah majikan saya itu."
"Itu dia! Kita temukan." Nuinosuke dan Iori saling menyeringai, dan cepat-cepat
menempuh jarak pendek yang memisahkan perusahaan dengan rumah.
Nuinosuke langsung menghadap Tarozaemon, katanya, "Ini urusan perdikan, dan ini
mendesak sekali. Apa Miyamoto Musashi tinggal di sini?"
"Ya." "Syukurlah. Majikan saya begitu gelisah. Sekarang cepat sampaikan pada Mushashi, saya
ada di sini." Tarozaemon masuk rumah, dan muncul kembali sebentar kemudian, sambil berkata, "Dia
masih di kamarnya. Masih tidur."
"Tidur?" Nuinosuke terkejut.
"Dia jaga sampai larut malam tadi, bicara dengan saya sambil minum sake. "
"Ini bukan waktunya tidur. Bangunkan dia. Sekarang juga!"
Pedagang itu tidak mau ditekan, dan mempersilakan Nuinosuke dan Iori masuk kamar tamu.
Sebelum pergi, ia membangunkan Musashi. Ketika kemudian Musashi menemui mereka, ia
tampak tenang sekali, matanya sejernih mata bayi.
"Selamat pagi," katanya riang, sambil duduk. "Apa yang bisa saya bantu?"
Nuinosuke menjadi kendur semangat mendengar sapaan acuh tak acuh itu, dan tanpa
mengatakan sesuatu, ia menyerahkan surat Sado.
"Sungguh baik hati beliau menulis ini," kata Musashi sambil mengangkat surat itu ke
dagu, sebelum melepas materainya dan membukanya. Iori menghunjamkan pandangan pada
Musashi, yang waktu itu menunjukkan sikap seolah ia tidak ada di sana. Sesudah membaca
surat, ia gulung surat itu, katanya, "Saya mengucapkan terima kasih atas perhatian
beliau." Baru pada waktu itulah ia memandang Iori, hingga anak itu menundukkan kepala
untuk menyembunykan air matanya.
Musashi menulis jawaban, dan menyerahkannya pada Nuinosuke. "Sudah saya jelaskan
segalanya dalam surat ini," katanya, "tapi sungguh-sungguh sampaikan terima kasih saya
dan ucapan selamat baginya." Ia menambahkan bahwa mereka tak usah kuatir. Ia akan pergi
ke Funashima pada waktu yang tepat baginya.
Tak ada yang dapat mereka perbuat, kecuali meninggalkan tempat itu. Iori tak
mengucapkan sepatah kata pun kepada Musashi, demikian pula sebaliknya. Namun keduanya
saling bertukar kesetiaan sebagai guru dan murid.
Ketika Sado membaca jawaban Musashi, rasa lega menghiasi wajahnya. Surat itu
menyatakan: Saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas tawaran Bapak, berupa perahu untuk
membawa saya ke Funashima. Saya merasa tidak pantas menerima kehormatan itu. Selain
itu, saya merasa tidak bisa menerimanya. Saya harap Bapak mempertimbangkan sendiri.
Kojiro dan saya saling berhadapan sebagai lawan, dan ia menggunakan perahu yang
disediakan oleh Yang Dipertuan Tadatoshi. Kalau saya pergi ke sana dengan perahu Bapak,
akan kelihatan Bapak melawan Yang Dipertuan. Saya pikir tidak pada tempatnya kalau
Bapak melakukan sesuatu atas nama saya.
Mestinya saya sampaikan hal ini sebelumnya, tapi saya memang menahan diri, karena tahu
Bapak akan berkeras membantu saya. Daripada melibatkan Bapak, lebih baik saya tinggal
di rumah Tarozaemon. Saya akan menggunakan salah satu perahunya untuk pergi ke
Funashima, pada waktu yang menurut saya tepat. Tentang itu Bapak boleh merasa yakin.
Sado begitu terkesan, hingga ia pandangi tulisan itu beberapa waktu lamanya, tanpa
berkata-kata. Surat itu nadanya baik, rendah hati, penuh pertimbangan, penuh tenggang
rasa, dan kini ia merasa malu, karena pada hari sebelumnya ia demikian gelisah.
"Nuinosuke." "Ya, Pak." "Bawa surat ini, tunjukkan pada Magobeinojo dan teman-temannya, juga pada orang-orang
lain yang berkepentingan."
Ketika Nuinosuke baru saja berangkat, seorang pembantu datang dan mengatakan, "Kalau
urusan Bapak sudah selesai, sebaiknya Bapak bersiap berangkat sekarang."
"Tentu, tapi masih banyak waktu sekarang," jawab Sado tenang.
"Sekarang ini tidak terlalu pagi lagi. Kakubei sudah berangkat."
"Itu urusan dia. Iori, coba kemari sebentar."
"Ya Pak?" "Apa kau ini lelaki, Iori?"
"Saya kira begitu."
"Apa menurutmu kau bisa menahan tangis, apa pun yang terjadi?"
"Ya, Pak." "Bagus. Kalau begitu, kau boleh pergi ke Funashima denganku, sebagai pembantuku. Tapi
ingat satu hal: ada kemungkinan kita mesti mengambil mayat Musashi dan membawanya
pulang. Apa kau tetap bisa menahan tangis?"
"Bisa, Pak. Akan saya tahan, sumpah, akan saya tahan."
Baru saja Nuinosuke bergegas lewat pintu gerbang, seorang perempuan berpakaian lusuh
memanggilnya, "Maaf, Pak, apa Bapak abdi rumah ini?"
Nuinosuke berhenti dan memandangnya curiga. "Apa maumu?"
"Maafkan saya. Dengan tampang macam ini, mestinya saya tidak berdiri di depan pintu
gerbang Bapak." "Nah, kalau begitu kenapa kaulakukan?"
"Saya ingin bertanya... tentang pertarungan hari ini. Orang bilang, Musashi lari. Apa
itu betul?" "Perempuan bodoh! Beraninya bicara begitu tentang Miyamoto Musashi! Apa menurutmu dia
akan melakukan hal macam itu" Tunggu saja sampai jam delapan, dan kau akan lihat. Aku
baru saja bertemu Musashi."
"Bapak bertemu dia?"
"Kau siapa?" Perempuan itu menundukkan matanya. "Saya kenalan Musashi."
"Hm. Dan masih juga kau kuatir dengan desas-desus tak berdasar itu" Baiklah-aku
tergesa-gesa, tapi akan kutunjukkan padamu surat dari Musashi." la bacakan keras-keras
surat Musashi pada perempuan itu, tanpa memperhatikan seorang lelaki yang ikut melongok
dari belakang dengan mata basah. Begitu sadar akan lelaki itu, ia tarik bahunya, dan
katanya, "Kau siapa" Apa maksudmu datang kemari?"
Sambil menghapus air mata, orang itu membungkuk takut-takut. "Maaf. Saya bersama
perempuan ini." "Suaminya?" "Ya, Pak. Terima kasih sudah ditunjuki surat itu. Saya merasa seperti betul-betul
melihat Musashi. Betul tidak, Akemi?"
"Ya, saya merasa jauh lebih tenang sekarang. Mari kita cari tempat buat melihat."
Kemarahan Nuinosuke menguap. "Kalau kalian pergi ke puncak bukit di dekat pantai sana
itu, akan kalian lihat Funashima. Dalam cuaca seterang ini, kalian malahan bisa melihat
beting karang." "Kami minta maaf sudah merepotkan, padahal Bapak sedang terburu-buru. Maafkan kami."
Nuinosuke pun berangkat, tapi katanya, "Tunggu sebentar"siapa nama kalian" Kalau tidak
keberatan, aku ingin tahu."
Mereka berbalik dan membungkuk. "Nama saya Matahachi. Saya lahir di kampung yang sama
dengan Musashi." "Nama saya Akemi."
Nuinosuke mengangguk, dan berangkat cepat-cepat.
Beberapa waktu lamanya mereka berdua memperhatikannya, saling pandang, kemudian
bergegas menuju bukit. Dari sana mereka dapat melihat Funashima menyembul di antara
sejumlah pulau lain, juga gunung-gunung di Nagato di kejauhan sana. Mereka tebarkan
tikar buluh di tanah, dan duduk. Ombak bergemuruh di bawah mereka, dan satu-dua daun
pinus berguguran. Akemi mengambil bayinya dari punggungnya dan mulai menyusuinya.
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Matahachi memandang mantap ke tengah laut, sambil memeluk lutut.
*** 109. Perkawinan NUINOSUKE semula pergi ke rumah Magobeinojo, memperlihatkansurat itu dan memberikan
penjelasan. Segera kemudian ia berangkat lagi, tanpa minum secangkir teh, lalu berhenti
sebentar-sebentar di lima rumah lain.
Dari kantor komisioner di tepi laut ia naik ke darat, mengambil tempat di belakang
sebuah pohon, dan mengamati orang-orang yang sejak pagipagi sekali sudah sibuk. Tujuh
rombongan samurai sudah berangkat ke Funashima-juru-juru bersih medan, para saksi, dan
pengawal-masingmasing rombongan dalam perahu terpisah. Di pantai ada satu perahu kecil
lagi yang sudah siap membawa Kojiro. Tadatoshi memerintahkan membuatnya khusus untuk
peristiwa itu, dari balok baru, lengkap dengan beberapa sapu air baru dan temali rami
yang baru pula. Orang-orang yang melepas keberangkatan Kojiro berjumlah sekitar seratus orang.
Nuinosuke dapat mengenali sebagian dari mereka sebagai teman-teman pemain pedang itu.
Banyak lagi yang lain, yang tidak dikenalnya.
Kojiro menghabiskan tehnya, dan keluar dari kantor komisioner dengan disertai para
pejabat. Sesudah mempercayakan kuda kesayangannya kepada teman-temannya, ia berjalan
melintasi pasir, menuju perahu. Tatsunosuke mengikutinya rapat di belakang. Orang
banyak diam-diam menyusun diri dalam dua barisan, dan menyiapkan jalan bagi jagoan
mereka. Melihat cara Kojiro berpakaian, banyak di antara mereka membayangkan mereka
sendiri yang berangkat menuju pertempuran. Ia mengenakan kimono sutra berlengan sempit
warna putih mantap, dengan pola bergambar timbul. Kimono itu ditutupi jubah tanpa
lengan, warna merah cemerlang. Hakama-nya terbuat dari kulit warna ungu, dari jenis
yang disimpul di bawah lutist, ketat di bagian betis, seperti pembalut kain. Sandal
jeraminya tampak dibasahi sedikit, agar tidak licin. Disamping pedang pendek yang
selalu dibawanya, ia membawa Galah Pengering yang tidak dipergunakan sejak ia menjadi
pejabat pada Keluarga Hosokawa. Wajahnya yang putih dan berpipi penuh tampak tenang
dibanding jubahnya yang merah manyala. Hari itu Kojiro tampak megah, hampir-hampir
indah. Nuinosuke bisa melihat bahwa senyum Kojiro tenang dan yakin. Ia menyeringai sekilassekilas ke segala jurusan. Ia tampak bahagia dan betul-betul tenteram.
Kojiro melangkah masuk perahu. Tatsunosuke mengikuti. Ada dua awak perahu, seorang di
haluan, dan seorang lagi memainkan dayung buritan. Amayumi bertengger di tinju
Tatsunosuke. Begitu meninggalkan pantai, pendayung menggerakkan kedua tangannya dengan tarikantarikan sangat pelan, dan perahu kecil itu meluncur pelan ke depan.
Elang pemburu mengepak-ngepakkan sayapnya, terkejut oleh teriakan-teriakan orang-orang
yang mengucapkan selamat.
Orang banyak menyebar dalam kelompok-kelmpok kecil, dan pelanpelan bubar sambil
mengagumi sikap tenang Kojiro. Mereka berdoa semoga ia memenangkan pertempuran hebat
itu. "Aku harus kembali," pikir Nuinosuke, ketika teringat tanggung jawab untuk mengatur
agar Sado berangkat pada waktunya. Ketika ia meninggalkan tempat itu, terlihat olehnya
seorang gadis. Tubuh Omitsu tertempel erat ke sebatang pohon, dan ia sedang menangis.
Karena merasa kurang sopan melihatnya, Nuinosuke menghindari pemandangan itu, dan
menyelinap diam-diam. Setelah berada di jalan kembali, ia lontarkan pandangan terakhir
pada perahu Kojiro, kemudian pada Omitsu. "Tiap orang memiliki kehidupan umum dan
kehidupan pribadi," pikirnya. "Di balik segala ingar-bingar itu, seorang perempuan
berdiri menangis sehabis-habisnya."
Di perahu, Kojiro meminta elangnya dari Tatsunosuke dan mengulurkan tangan kirinya.
Tatsunosuke memindahkan Amayumi ke tinju Kojiro, dan dengan sikap hormat mengundurkan
diri. Pasang air mengalun deras. Hari sungguh sempurna"langit cerah, air jernih"tapi ombak
agak tinggi. Setiap kali air berkecipak di atas tepian perahu, elang menggeleparkan
bulunya dalam semangat tempur.
Ketika mereka sudah sekitar setengah jalan ke pulau, Kojiro melepaskan ikatan kaki
burung dan melontarkannya ke udara, katanya, "Kembali ke benteng."
Seakan sedang berburu seperti biasa, Amayumi menyerang seekor burung laut yang sedang
melarikan diri, dan hujan bulu putih pun turun. Tapi, ketika tuannya tidak memanggilnya
kembali, burung itu menukik turun ke atas kepulauan, kemudian mengangkasa dan
menghilang. Sesudah melepaskan elang itu, Kojiro mulai melepaskan dirinya dari segala jimat dan
tulisan keberuntungan Budha maupun Shinto yang ditaburkan kepadanya oleh para
pendukungnya, dan membuang semua itu satu per satu ke luar perahu"bahkan juga jubah
dalam dari katun bersulam pepatah Sansekerta yang diberikan oleh bibinya.
"Sekarang aku bisa santai," katanya pelan. Menghadapi situasi hidup atau mati itu, ia
tak ingin diganggu oleh kenangan ataupun pribadi-pribadi. Ingatan akan semua orang yang
berdoa untuk kemenangannya itu merupakan beban. Harapan-harapan baik mereka kini lebih
merupakan penghalang daripada bantuan, betapapun tulusnya harapan itu. Yang penting
sekarang adalah dirinya sendiri.
Angin asin membelai wajahnya yang diam. Matanya tertuju pada pohonpohon pinus hijau di
Funashima. Di Shimonoseki, Tarozaemon berjalan melewati barisan gubuk tepi pantai, dan masuk ke
dalam tokonya. "Sasuke," panggilnya. "Apa tak ada yang melihat Sasuke?" Sasuke adalah
salah seorang pegawai termuda di antara banyak pegawainya, tapi juga yang paling
cerdas. Disamping dihargai sebagai pembantu rumah tangga, ia sekali-sekali membantu di
toko. "Selamat pagi," kata manajer Tarozaemon yang muncul dari posnya di kantor pembukuan.
"Beberapa menit lalu, Sasuke ada di sini." Dan sambil menoleh pada seorang pembantu
muda, katanya, "Cari Sasuke. Cepat!"
Manajer itu mulai melaporkan perkembangan soal-soal usaha pada Tarozaemon, tapi
pedagang itu menghentikannya seketika sambil menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan
seekor nyamuk sedang mengejarnya. "Yang ingin kuketahui adalah apa ada orang datang
kemari mencari Musashi."
"Memang benar, ada orang datang kemari tadi pagi."
"Suruhan dari Nagaoka Sado" Yang itu aku tahu. Ada lagi yang lain?"
Manajer itu menggosok dagunya. "Saya tidak melihatnya sendiri, tapi katanya tadi malam
datang satu orang yang tampak kotor dan tajam matanya. Dia pakai tongkat kayu ek
panjang, dan minta bertemu 'Sensei Musashi'. Orang-orang mengalami kesulitan mengusir
orang itu." "Ada yang banyak omong! Padahal sudah kukatakan pada mereka, mesti tutup mulut tentang
adanya Musashi di sini."
"Saya tahu, dan saya pun mengatakan pada mereka dengan cukup jelas. Tapi memang kita
tak bisa berbuat sesuatu dengan anak-anak muda itu. Adanya Musashi di tempat ini
membuat mereka merasa penting."
"Bagaimana kalian mengusir orang itu?"
"Sobei mengatakan padanya, dia keliru, karena Musashi tak pernah ada di sini. Akhirnya
orang itu pergi, entah percaya atau tidak. Sobei melihat ada dua atau tiga orang
menantikan orang itu di luar, seorang di antaranya perempuan."
Sasuke datang berlari-lari dari dermaga. "Bapak memanggil saya?"
"Ya. Aku ingin tahu, apa kau sudah siap. Kau tahu, ini penting sekali."
"Saya tahu, Pak. Saya sudah bangun sejak sebelum matahari terbit. Saya sudah mandi
dengan air dingin, dan pakai cawat putih yang baru."
"Bagus. Apa perahu sudah siap, seperti kusebutkan tadi malam?"
"Ya, tak banyak lagi yang mesti dilakukan. Sudah saya pilih yang tercepat dan paling
bersih di antara perahu-perahu itu, sudah saya taburkan garam di bagian luar-dalam.
Saya siap berangkat, kapan saja Musashi siap."
"Di mana perahu itu?"
"Di pantai, bersama yang lain-lain."
Tarozaemon berpikir, "Lebih baik kita jalankan sekarang. Terlalu banyak orang akan
melihat saat Musashi berangkat. Dia tak suka itu. Bawa perahu ke pohon besar pinus
Heike itu. Hampir tak ada orang lewat sana."
"Baik, Pak." Toko yang biasanya amat sibuk itu hampir-hampir sepi. Bingung dan cemas, Tarozaemon
keluar ke jalan. Baik di situ maupun di Moji, di pantai seberang, orang-orang liburmereka yang tampaknya samurai dari beberapa perdikan berdekatan, para ronin, sarjana
Kong-Hu-Cu, pandai besi, pandai senjata, pembuat lak, pendeta, macam-macam penduduk
kota, dan sejumlah petani dari pedesaan sekitar. Para wanita berbau wangi, mengenakan
kerudung dan topi perjalanan lebar. Istri-istri para nelayan menggendong atau
menggandeng anak-anaknya. Mereka semua bergerak ke arah yang sama, sia-sia mencoba
lebih mendekati pulau itu, sekalipun tak ada tempat yang menguntungkan. Benda paling
kecil yang bisa terlihat tak lebih dari sebatang pohon.
"Aku tahu maksud Musashi," pikir Tarozaemon. Tentunya ia tidak tahan ditonton
gerombolan pelancong yang hanya menganggap perkelahian itu sebagai tontonan.
Sampai di rumah kembali, ia dapati seluruh tempat itu sudah bersih sekali. Dalam kamar
yang menghadap ke pantai, pola-pola ombak berkelap-kelip di langit-langit.
"Ayah dari mana" Sudah lama kucari-cari." Otsuru datang membawa teh.
"Tidak dari mana-mana." Tarozaemon mengangkat cangkir tehnya, dan memandang ke dalamnya
sambil merenung. Otsuru datang kemari untuk tinggal bersama ayah yang dicintainya. Kebetulan, dalam
perjalanan dari Sakai, ia berada satu kapal dengan Musashi. Lalu ia tahu mereka berdua
sama-sama punya hubungan dengan Iori. Ketika Musashi datang untuk menyatakan hormat
kepada Tarozaemon dan mengucapkan terima kasih atas perawatan anak itu, pedagang itu
mendesak Musashi tinggal di rumahnya dan memerintahkan Otsuru melayaninya.
Malam sebelum itu, ketika Musashi bercakap-cakap dengan tuan rumah, Otsuru duduk di
kamar sebelah, menjahit cawat baru dan kain perut yang menurut Musashi dibutuhkannya
pada hari pertarungan. Otsuru sudah menyiapkan pula kimono baru warna hitam. Begitu
diperlukan, jelujuran yang dipergunakan melipat lengan dan rok kimono itu dapat segera
dilepas. Terlintas dalam pikiran Tarozaemon, bisa jadi Otsuru jatuh cinta pada Musashi. Tampak
pandangan mata anak itu gelisah. Dalam pikirannya tentu ada sesuatu yang serius.
"Otsuru, di mana Musashi" Apa sudah kausediakan makan pagi?"
"Ya. Sudah lama. Tapi, sesudah itu, dia menutup pintu kamarnya."
"Bersiap-siap kukira."
"Tidak, belum."
"Apa yang dia lakukan?"
"Rupanya sedang melukis."
"Sekarang ini?"
"Ya." "Hmm. Memang kami membicarakan lukisan, dan aku tanya, apa dia mau membuatkan lukisan
buatku. Mestinya tak usah aku minta."
"Dia bilang, akan dia siapkan lukisan itu sebelum pergi. Dia juga bikin satu lukisan
buat Sasuke." "Sasuke?" ulang Tarozaemon tak percaya. Ia jadi semakin gelisah. "Apa dia tidak tahu,
sekarang sudah terlambat" Kaulihat sendiri itu, semua orang berduyun-duyun di jalanjalan."
"Kalau melihat wajahnya, kita bisa menduga dia sudah lupa pertarungan itu."
"Sekarang ini bukan waktunya melukis. Katakan sana padanya. Kau mesti tetap sopan, tapi
sampaikan padanya, melukis itu dapat dilakukan nanti."
"Tapi kenapa saya" Saya tak bisa..."
"Kenapa tidak?" Dan, kecurigaannya bahwa anaknya telah jatuh cinta jadi lebih kuat.
Ayah dan anak berkomunikasi secara diam, namun sempurna. Sambil mengomel dengan nada
sayang, "Anak konyol. Kenapa menangis?" ia berdiri, lalu pergi ke kamar Musashi.
Musashi berlutut diam, seakan bersemadi. Di sampingnya terletak kuas, kotak tinta, dan
tabung kuas. Satu lukisan sudah diselesaikannya-seekor burung bangau di bawah pohon
dedalu. Kertas di hadapannya kini masih kosong. Ia sedang menimbang-nimbang, apa yang
akan dilukiskannya. Atau lebih tepat, diam-diam ia sedang mencoba menempatkan diri
dalam kerangka pikiran yang benar. Ini penting, sebelum ia dapat membayangkan lukisan
itu, atau mengetahui teknik yang akan dipergunakan.
Ia pandang kertas putih itu sebagai alam semesta kehampaan. Satu guratan saja akan
menampilkan kehadiran di dalamnya. Sebetulnya ia dapat membangkitkan hujan atau angin
sekehendaknya, tapi apa pun yang digambarnya, hatinya akan tertinggal dalam lukisan
itu. Jika hatinya ternoda, lukisan akan ternoda pula; kalau hatinya lesu, demikian
jugalah jadinya lukisan itu. Kalau ia mencoba memamerkan keterampilan semata, maka
niatnya itu takkan dapat disembunyikan. Tubuh manusia melayu, tapi tinta hidup terus.
Gambaran hatinya akan terus bernapas, sesudah ia sendiri tiada. Ia sadar bahwa
pikirannya menghambat. la hampir memasuki dunia kehampaan, membiarkan hatinya berbicara
sendiri, bebas dari egonya, merdeka dari sentuhan pribadi tangannya. Ia mencoba membuat
dirinya kosong, dan menanti suasana mulia, saat hatinya dapat berbicara dalam kesatuan
dengan alam semesta, tidak mementingkan diri sendiri dan tidak pula terhalangi.
Bunyi-bunyian dari jalan tidak sampai ke kamarnya. Pertarungan hari itu agaknya
terpisah sama sekali dari dirinya. Yang ia rasakan hanyalah gerak getar pohon bambu di
kebun dalam. "Boleh saya mengganggu?" Shoji di belakang dirinya terbuka tanpa bunyi, dan Tarozaemon
melongok ke dalam. Menyerobot masuk itu terasa salah, hampir-hampir jahat, tapi ia
memberanikan diri, katanya, "Saya minta maaf telah mengganggu, padahal kelihatannya
Anda demikian menikmati kerja Anda."
"Ah, silakan masuk."
"Sekarang sudah hampir waktunya berangkat."
"Saya tahu." "Segalanya sudah siap. Semua barang yang Anda butuhkan ada di kamar sebelah."
"Oh, terima kasih banyak."
"Saya minta Anda tidak terlalu mementingkan lukisan itu. Anda dapat menyelesaikannya,
bila nanti kembali dari Funashima."
"Ah, tak apa. Saya merasa segar sekali pagi ini. Ini waktu yang baik buat melukis."
"Tapi Anda mesti memikirkan waktu."
"Ya, saya tahu."
"Kapan Anda mau melakukan persiapan, panggil saja. Kami menanti buat membantu."
"Terima kasih banyak."
Tarozaemon hendak meninggalkan tempat itu, tapi Musashi bertanya,
"Jam berapa pasang naik?"
"Pada musim ini, paling rendah antara jam enam dan jam delapan pagi. Mestinya kira-kira
sekarang ini naik lagi."
"Terima kasih," kata Musashi sambil lalu, lalu kembali memusatkan perhatian pada kertas
putih itu. Tanpa suara, Tarozaemon menutup shoji dan kembali ke kamar tamu. Ia bermaksud duduk dan
menunggu dengan tenang, tapi belum lama ia mulai gelisah lagi. Ia bangkit dan pergi ke
beranda. Dari sana kelihatan olehnya arus mengalir melewati selat. Air mulai naik ke
darat. "Ayah." "Ada apa?" "Sudah waktunya pergi. Saya taruh sandalnya di pintu masuk halaman."
"Dia belum siap."
"Masih melukis"
"Ya." "Saya kira tadi Ayah menyuruhnya berhenti dan bersiap-siap."
"Dia tahu jam berapa sekarang."
Sebuah perahu kecil berhenti di pantai, tak jauh dari tempat itu, dan Tarozaemon
mendengar namanya dipanggil orang. Nuinosuke yang bertanya, "Apa Musashi belum
berangkat?" Ketika Tarozaemon menjawab belum, Nuinosuke cepat mengatakan, "Tolong
sampaikan padanya supaya siap dan berangkat secepat-cepatnya. Kojiro sudah berangkat,
juga Yang Dipertuan Hosokawa. Majikan saya berangkat dari Kokura sekarang inn."
"Akan saya usahakan."
"Tolonglah! Barangkali kedengarannya seperti kata-kata perempuan, tapi kami ingin
kepastian bahwa dia tidak terlambat. Memalukan sekali kalau sampai mendatangkan aib
pada diri sendiri sekarang ini." Ia lekas-lekas berdayung pergi, meninggalkan perantara
kapal dan anak perempuannya itu marah-marah sendiri di beranda. Mereka menghitung detik
demi detik, sambil terus-menerus melayangkan pandang ke arah kamar kecil di belakang,
yang tidak memperdengarkan bunyi sedikit pun.
Segera kemudian, perahu lain datang membawa seorang utusan dari Funashima, untuk
meminta Musashi lekas datang.
Musashi membuka mata ketika mendengar bunyi shoji dibuka. Tak perlu lagi Otsuru minta
izin masuk. Ketika ia sampaikan pada Musashi kedatangan perahu dari Funashima itu,
Musashi mengangguk dan tersenyum ramah. "Begitu," katanya, lalu meninggalkan kamar.
Otsuru memandang lantai yang tadi diduduki Musashi. Lembar kertas itu sekarang sudah
penuh noda tinta. Semula gambar itu tampak seperti awan yang tidak jelas bentuknya,
tapi segera kemudian ia lihat lukisan itu merupakan pemandangan jenis "Tinta patah".
Lukisan itu masih basah. "Tolong berikan lukisan itu pada ayahmu," seru Musashi, mengatasi bunyi kecipak air.
"Dan yang lain buat Sasuke."
"Terima kasih. Mestinya tak usah Anda lakukan itu."
"Saya minta maaf, tak ada barang yang lebih baik yang dapat saya sampaikan, sesudah
Anda sekalian begitu repot, tapi saya harap ayahmu menerimanya sebagai wasiat."
Otsuru menjawab penuh arti, "Malam nanti, bagaimanapun juga pulanglah, dan duduk dekat
api dengan Ayah, seperti tadi malam."
Mendengar gemeresik pakaian di kamar sebelah, Otsuru merasa senang. Akhirnya Musashi
berpakaian! Kemudian tidak terdengar apa-apa, dan hal berikut yang ia ketahui adalah
Musashi sedang bicara dengan ayahnya. Percakapan itu singkat sekali, hanya beberapa
patah kata pendek. Ketika melewati kamar sebelah, ia lihat Musashi sudah melipat rapi
pakaian lamanya dan menyimpannya di kotak sudut. Suatu kesepian tak terlukiskan
mencekamnya. Ia membungkuk dan membenamkan wajahnya ke kimono yang masih hangat itu.
"Otsuru!" panggil ayahnya. "Apa kerjamu" Dia berangkat!"
"Ya, Ayah." Ia menghapuskan jari-jarinya ke pipi dan kelopak mata, dan berlari ikut
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ayahnya. Musashi sudah berada di gerbang halaman yang sengaja ia pilih untuk menghindari
pandangan orang. Ayah, anak perempuannya, dan empat atau lima orang lain dari rumah dan
toko mengantar hanya sampai gerbang. Otsuru terlalu gugup, hingga tak dapat mengucapkan
kata-kata. Ketika mata Musashi tertuju kepadanya, ia membungkuk seperti yang lain-lain.
"Selamat berpisah," kata Musashi. Ia lewati gerbang rendah dari rumput anyam itu, ia
tutup, dan katanya, "Jaga diri Anda sekalian." Ketika mereka mengangkat kepala, tampak
Musashi sedang berjalan cepat menjauh.
Mereka mengikutinya dengan pandangan mata, tapi Musashi tidak menoleh.
"Saya kira memang begitu mestinya sikap samurai," gumam seseorang. "Dia berangkat
begitu saja; tanpa pidato, tanpa ucapan selamat berpisah yang rumit, tanpa apa-apa."
Otsuru segera menghilang. Beberapa detik kemudian, ayahnya mengundurkan diri juga masuk
rumah. Pinus Heike berdiri kokoh pada jarak sekitar dua ratus meter dari pantai. Musashi
berjalan ke sana dengan pikiran tenang sepenuhnya. Seluruh pikirannya telah ia
tumpahkan ke tinta hitam dalam lukisan pemandangan itu. Ia merasa senang telah melukis
tadi, dan ia anggap usahanya berhasil.
Sekarang ke Funashima. Ia berangkat dengan tenang, seakan-akan perjalanan ini sama
dengan perjalanan lain. Ia tidak tahu apakah akan pernah kembali, tapi ia sudah tak
lagi memikirkan hal itu. Bertahun-tahun lalu, ketika pada umur dua puluh dua ia
menghampiri pinus lebar di Ichijoji, ia merasa sangat bersemangat, karena dibayangi
perasaan akan terjadinya tragedi. Waktu itu ia mencengkeram pedangnya dengan penuh
tekad. Sekarang ini ia tidak merasakan apa-apa.
Bukannya musuh hari ini tidak begitu menakutkan dibanding seratus orang yang ia hadapi
waktu itu. Jauh dari itu. Kojiro, yang berkelahi sendirian, merupakan lawan yang lebih
hebat daripada pasukan apa pun yang dapat disusun Perguruan Yoshioka untuk melawannya.
Tak ada keraguan sedikit pun dalam pikiran Musashi, bahwa ia sedang menghadapi
perkelahian demi hidupnya.
"Sensei." "Musashi!" Pikiran Musashi jadi terlengah oleh suara-suara itu, dan oleh dua orang yang berlarilari ke arahnya. Sekejap ia terperangah.
"Gonnosuke!" serunya. "Dan Nenek! Bagaimana kalian berdua bisa ada di sini?"
Kedua orang yang sangat kotor badannya karena perjalanan itu, berlutut di pasir di
depannya. "Kami mesti datang," kata Gonnosuke.
"Kami datang buat melepas kepergianmu," kata Osugi. "Dan aku datang untuk minta maaf
padamu." "Maaf" Pada saya?"
"Ya. Atas segalanya. Aku harus minta kau memaafkan diriku."
Musashi memandang wajah Osugi, penuh tanda tanya. Kata-kata itu terdengar mustahil
olehnya. "Kenapa begitu, Nek" Apa yang terjadi?"
Osugi berdiri dengan tangan terkatup, memohon, "Apa yang dapat kukatakan" Aku sudah
melakukan begitu banyak hal yang jahat, sampai aku tak bisa berharap minta maaf atas
semuanya itu. Semua itu... semua itu kekeliruanku yang mengerikan. Aku dibikin buta
oleh cinta kepada anakku, tapi sekarang aku tahu mana yang benar. Maafkan aku."
Musashi memandang Osugi sebentar, kemudian berlutut dan memegang tangan Osugi. Ia tak
berani mengangkat mata, takut air mata menggenangi matanya. Melihat perempuan tua itu
demikian menyesal, ia pun merasa bersalah. Tapi ia merasa berterima kasih juga. Tangan
Osugi gemetar, bahkan tangan Musashi sendiri bergetar sedikit.
Musashi butuh waktu sejenak untuk memulihkan dirinya kembali. "Saya percaya, Nek. Saya
mengucapkan terima kasih atas kedatangan Nenek. Sekarang saya dapat menghadapi maut
tanpa penyesalan, dan terjun dalam pertarungan dengan semangat yang bebas dan hati tak
terusik." "Jadi, kau memaafkan aku?"
"Tentu saya memaafkan, kalau Nenek mau memaafkan saya atas semua kesulitan yang pernah
saya perbuat ketika kecil."
"Tentu, tapi cukuplah denganku. Ada orang lain yang membutuhkan pertolonganmu. Orang
yang amat sedih." Ia menoleh, mengajak Musashi melihat.
Di bawah pinus Heike berdiri Otsu yang memandang malu ke arah mereka, wajahnya pucat
dan basah karena menantikan perjumpaan.
"Otsu!" pekik Musashi. Dalam sedetik ia sudah langsung berada di depan Otsu. Ia sendiri
tak tahu bagaimana kakinya telah membawanya ke sana. Gonnosuke dan Osugi berdiri di
tempat. Mereka ingin sekali menghilang tak tahu rimbanya, dan meninggalkan pantai pada
kedua pasangan itu saja. "Otsu, kau datang."
Tidak ada kata-kata yang dapat menjembatani jurang pemisah yang bertahun-tahun lamanya
itu, untuk mengungkapkan dunia perasaan yang membludak di dalam diri Musashi.
"Kau kelihatan tidak sehat. Apa kau sakit?" Musashi menggumamkan kata-kata itu, seperti
satu baris terpisah dalam sajak yang panjang.
"Sedikit." Dengan mata ditundukkan, Otsu berjuang untuk tetap tenang, agar tidak
kehilangan akal. Saar yang barangkali merupakan saat terakhir ini tidak boleh ternoda
ataupun tersia-sia. "Apa cuma masuk angin?" tanya Musashi. "Atau penyakitmu parah" Apa yang sakit" Di mana
kau berada beberapa bulan terakhir ini?"
"Aku kembali ke Shippoji musim gugur lalu."
"Pulang?" "Ya." Otsu langsung memandang Musashi. Matanya jadi sejernih kedalaman samudra, mata
yang berjuang menahan air mata. "Tapi sebetulnya tak ada rumah sejati buat seorang
yatim-piatu macam aku. Yang ada cuma rumah dalam diriku."
"Jangan bicara macam itu. Lihat itu, Osugi pun kelihatan sudah membuka hatinya untukmu.
Aku jadi sangat bahagia. Kau mesti sembuh dari sakitmu dan belajar merasa bahagia.
Untukku." "Aku bahagia sekarang."
"Kau bahagia" Kalau betul, aku juga bahagia... Otsu..." Musashi membungkuk ke arah
Otsu. Otsu berdiri kaku, karena sadar akan hadirnya Osugi dan Gonnosuke. Tapi Musashi
sudah melupakan mereka. Dipeluknya Otsu dan digosokkannya pipinya ke pipi Otsu.
"Kau begini kurus... begini kurus." Musashi sadar benar bahwa napas Otsu bercampur
demam. "Otsu, maafkan aku. Barangkali aku kelihatan tak berhati, tapi sebetulnya tidak,
terutama yang menyangkut dirimu."
"Aku... aku tahu."
"Betul" Sungguh?"
"Ya, tapi kumohon ucapkan satu patah kata padaku. Satu patah saja. Katakan, aku
istrimu." "Akan merusak segalanya kalau aku mengatakan apa yang sudah kauketahui."
"Tapi... tapi..." Otsu tersedu-sedu dengan sekujur tubuhnya, tapi dengan ledakan
kekuatannya ia tangkap tangan Musashi, dan teriaknya, "Katakan! Katakan aku istrimu
sepanjang hidup ini!"
Musashi mengangguk, pelan-pelan, tanpa kata-kata. Kemudian satu-satu ia melepaskan
jemari Otsu yang lembut dari tangannya, dan berdiri tegak. "Istri samurai tak boleh
menangis dan lemah ketika suaminya pergi berperang. Tertawalah untukku, Otsu. Lepaskan
aku dengan senyum. Ini barangkali keberangkatan terakhir suamimu."
Keduanya tahu bahwa saatnya sudah tiba. Untuk sesaat Musashi memandang Otsu dan
tersenyum. Kemudian katanya, "Sampai nanti."
"Ya. Sampai nanti." Otsu ingin membalas senyum Musashi, namun hanya berhasil menahan
air mata. "Selamat tinggal." Musashi membalik, dan dengan langkah mantap berjalan menuju tepi
air. Sepatah kata perpisahan naik ke tenggorokan Otsu, tapi menolak diucapkan. Air mata
menggelegak tak tertahan. Ia tak dapat lagi melihat Musashi.
Angin kencang dan asin mempermainkan cambang Musashi. Kimononya mengepak-ngepak ribut.
"Sasuke! Bawa lebih dekat perahu itu."
Walau sudah menanti lebih dari dua jam, dan tahu Musashi ada di pantai, namun Sasuke
dengan hati-hati terus memalingkan pandangan. Sekarang ia memandang Musashi, katanya,
"Siap, Pak." Dengan gerakan kuat dan cepat ia galahkan perahu untuk mendekat. Ketika perahu sudah
menyentuh pantai, Musashi melompat ringan ke haluan, dan berangkatlah mereka ke tengah
laut. "Otsu! Berhenti!" Teriakan itu diserukan oleh Jotaro. Otsu berlari langsung ke arah
laut, dan Jotaro berlomba mengejarnya. Gonnosuke dan Osugi terkejut dan ikut mengejar.
"Otsu, berhenti! Apa yang kaulakukan?"
"Jangan bodoh begitu."
Mereka berhasil mengejarnya secara bersamaan. Mereka memeluk Otsu, dan menahannya.
"Tidak, tidak!" protes Otsu, menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. "Kalian tak
mengerti." "A-apa yang mau kaulakukan?"
"Biarkan aku duduk, sendiri." Suara Otsu tenang.
Mereka melepaskannya, dan dengan anggun Otsu berjalan ke suatu tempat, beberapa meter
jauhnya. Di situ ia berlutut ke pasir, kelihatannya kehabisan tenaga. Namun ia telah
menemukan kekuatannya. Ia tegakkan kerahnya. Ia luruskan rambut, lalu membungkuk ke
arah perahu kecil Musashi.
"Pergilah tanpa penyesalan."
Osugi berlutut dan membungkuk. Kemudian Gonnosuke. Dan Jotaro. Walau datang dari Himeji
yang begitu jauh, Jotaro tak berhasil sempat bicara dengan Musashi, padahal besar
sekali hasratnya untuk mengucapkan kata perpisahan. Tapi kekecewaannya terobati, karena
ia tahu telah memberikan jatah waktunya kepada Otsu.
*** 110. Jiwa yang Sangat Dalam
PADA waktu pasang sedang setinggi-tingginya, air mengalir lewat selat, seperti sungai
pegunungan yang sedang banjir di lembah yang sempit. Angin buritan bertiup, dan perahu
bergerak cepat di atas ombak. Sasuke tampak bangga. Ia ingin dipuji atas dayungannya
hari itu. Musashi duduk di tengah perahu, lututnya terbuka lebar. "Apa makan waktu lama kesana?"
tanyanya. "Tidak terlalu lama dengan air pasang ini, tapi kita terlambat."
"Mm." "Sekarang jam delapan lebih."
"Ya, kukira begitu. Menurutmu, jam berapa sampai di sana?"
"Barangkali jam sepuluh atau lewat sedikit."
"Tepat sekali."
Langit yang dilihat Musashi hari itu"langit yang juga dilihat Ganryuberwarna biru
dalam. Salju yang menutup punggung Pegunungan Nagato tampak seperti pita yang berkibarkibar di langit tak berawan. Rumah-rumah di kota Mojigasaki dan lipatan-lipatan serta
celah-celah Gunung Kazashi kelihatan terang. Di lereng-lereng gunung itu, rombonganrombongan orang melayangkan pandang ke arah pulau-pulau.
"Sasuke, boleh aku ambil ini?"
"Apa itu?" "Dayung rusak di dasar perahu ini."
"Saya tak butuh itu. Buat apa?"
"Hampir tepat ukurannya," kata Musashi tak jelas. Ia pegang dayung yang sudah sedikit
tercelup air itu dengan satu tangan, lalu ia picingkan matanya untuk melihat
kelurusannya. Salah satu ujungnya rompal.
Ia letakkan dayung itu di atas lutut, dan ia mulai asyik mengukirnya dengan pedang
pendek. Beberapa kali Sasuke melontarkan pandang ke belakang, ke arah Shimonoseki, tapi
Musashi kelihatan sudah lupa akan orang-orang yang ditinggalkannya. Beginikah cara
samurai menghadapi pertempuran mati-matian" Bagi orang kota seperti Sasuke,
kelihatannya dingin dan tawar.
Musashi selesai mengukir, lalu mengibaskan remah-remah kayu dari hakama-nya. "Ada
sesuatu yang bisa kupakai sebagai selimut?" tanyanya.
"Apa Bapak kedinginan?"
"Tidak, tapi air ini memercik."
"Mestinya ada jas lapis di bawah tempat duduk itu."
Musashi mengambil pakaian itu, dan menutupkannya ke bahunya. Kemudian ia mengambil
kertas dari dalam kimononya, ia gulung, dan ia pilin setiap lembarnya menjadi tali, ia
pilin semuanya sambung-menyambung menjadi dua utas tali, yang kemudian ia pintal
menjadi tasuki, pita yang biasa dipakai mengikat lengan baju waktu orang berkelahi.
Sasuke sudah pernah mendengar bahwa membuat tasuki dari kertas adalah seni rahasia yang
diturunkan dari angkatan satu ke angkatan yang lain, tapi Musashi kelihatan gampang
saja membuatnya. Dengan penuh kekaguman Sasuke memperhatikan kecekatan jari-jarinya,
dan keanggunan cara Musashi menggelincirkan tasuki itu di atas lengannya.
"Apa itu Funashima?" tanya Musashi sambil menuding.
"Bukan. Itu Hikojima, satu dari kelompok Hahajima. Funashima sekitar 1.000 meter ke
timur laut. Pulau itu mudah dikenal, karena datar dan tampak seperti gosong. Di antara
Hikojima dan Izaki ada Selat Ondo. Anda barangkali sudah pernah mendengarnya."
"Kalau begitu, di barat itu mestinya Dairinoura di Provinsi Buzen."
"Betul." "Aku ingat sekarang. Ceruk-ceruk dan pulau-pulau sekitar daerah ini tempat menangnya
Yoshitsune dalam pertempuran terakhir melawan Heike."
Setiap kali mendayung, Sasuke bertambah gelisah. Keringat dingin membasahi tubuhnya,
dan jantungnya berdebar-debar. Rasanya ngeri bicara tentang hal-hal yang tak ada
pertaliannya. Bagaimana mungkin orang pergi bertempur demikian tenang"
Ini perkelahian sampai mati. Soal itu tak disangsikan lagi. Apakah nanti ia akan
membawa pulang penumpang ke daratan" Ataukah mayat yang sudah terpuntung-puntung dengan
kejam" Tak mungkin mengetahui hal itu sekarang. Musashi, menurut pendapat Sasuke,
seperti awan putih yang mengapung di langit.
Tapi itu bukanlah lagak yang dibuat-buat, karena sesungguhnya Musashi sendiri sama
sekali tidak sedang memikirkan sesuatu. Bahkan boleh dikatakan ia sudah sedikit bosan.
Ia memandang ke sisi perahu, ke air biru yang berkisaran. Tempat itu dalam, dalam tak
terbatas, dan penuh dengan kegiatan yang tampak seperti hidup abadi. Tapi air tidak
memiliki bentuk tertentu, bentuk yang pasti. Apakah karena manusia memiliki bentuk
tertentu, yang pasti, maka ia tidak dapat memiliki hidup kekal" Tidakkah hidup
sebenarnya baru dimulai ketika bentuk nyata hilang"
Di mata Musashi, hidup dan maut kelihatan mirip sekali dengan buih. Bulu romanya terasa
tegak, namun bukan karena air yang dingin, melainkan karena tubuhnya merasakan
pertanda. Walau pikirannya telah membubung di atas hidup dan mati, namun tubuh dan
pikiran itu belum bersesuaian. Apabila setiap pori dalam tubuh maupun pikirannya sudah
lena, tak adalah yang tertinggal di alam dirinya, kecuali air dan awan.
Mereka melewati Ceruk Teshimachi di Pulau Hikojima. Mereka tak melihat bahwa ada
sekitar empat puluh samurai yang berjaga di pantai. Semuanya pendukung Ganryu, dan
kebanyakan mengabdi pada Keluarga Hosokawa. Mereka melanggar perintah Tadatoshi dan
menyeberang ke Funashima dua hari lalu. Apabila Ganryu menderita kekalahan, mereka
sudah siap membalas dendam.
Pagi itu, ketika Nagaoka Sado, Iwama Kakubei, dan orang-orang lain yang ditugaskan
berjaga tiba di Funashima, mereka temukan rombongan samurai itu. Mereka kecam para
samurai itu habis-habisan, dan mereka perintahkan pergi ke Hikojima. Tapi karena
kebanyakan pejabat bersimpati pada mereka, maka mereka dapat pergi tanpa hukuman.
Begitu mereka lepas dari Funashima, apa yang mereka lakukan bukan tanggung jawab
pejabat lagi. "Kau yakin itu Musashi?" seorang dari mereka bertanya. "Mestinya."
"Dia sendirian."
"Kelihatannya. Dia pakai jubah, atau entah apa itu, buat menutup bahu."
"Barangkali pakai zirah ringan yang mau disembunyikannya."
"Ayo!" Dengan keinginan yang amat sangat untuk bertempur, mereka berduyun-duyun masuk perahu
masing-masing, untuk berjaga-jaga. Semuanya bersenjatakan pedang, tapi di dasar masingmasing perahu tersimpan sebilah lembing panjang.
"Musashi datang!"
Teriakan itu terdengar sekitar Funashima beberapa saat kemudian.
Bunyi ombak, suara pohon-pohon pinus, dan gemeresik rumpun bambu bercampur lembut
menjadi satu. Semenjak pagi, pulau kecil itu bersuasana sepi, walaupun sejumlah pejabat
hadir di sana. Segumpal awan putih naik dari arah Nagato, menyerempet matahari,
menggelapkan dedaunan pohon dan bambu. Sesudah awan lewat, suasana kembali terang.
Funashima pulau yang sangat kecil. Di ujung utara terdapat bukit rendah yang ditumbuhi
pohon-pohon pinus. Di selatan, tanahnya datar pada ketinggian sekitar setengah bukit,
sampai akhirnya pulau itu menurun menjadi beting.
Sebuah tirai digantungkan di antara beberapa pohon, tidak seberapa jauh dari pantai.
Para pejabat dan pembantu mereka menanti dengan tenang dan tidak mencolok, karena tak
ingin menimbulkan kesan pada Musashi bahwa mereka mencoba menaikkan martabat jagoan
setempat. Sekarang, dua jam sesudah waktu yang ditentukan, mereka mulai memperlihatkan kekuatiran
dan kejengkelan. Dua kali mereka mengirimkan perahu cepat untuk meminta Musashi
bergegas. Pengintai dari batu karang berlari mendapatkan para pejabat, dan mengatakan, "Itu dia!
Tak salah lagi." "Betul-betul dia datang?" tanya Kakubei sambil bangkit tanpa
perbuatan itu, ia melakukan pelanggaran besar terhadap sopan
resmi, seharusnya ia tetap bersikap tenang dan menahan diri.
wajar sekali, dan orang-orang lain di dalam rombongannya pun
disengaja. Dengan santun. Sebagai saksi Namun kegembiraannya itu ikut berdiri. Sadar akan kesalahannya, Kakubei mulai mengendalikan diri dan mendekati yang lain-lain
untuk duduk kembali. Penting sekali bagi mereka untuk tidak memperlihatkan sikap
pribadi lebih menyukai Ganryu untuk mewarnai tindakan atau keputusan mereka bersama.
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakubei memandang daerah tunggu Ganryu. Tatsunosuke telah menggantungkan tirai dengan
hiasan bunga gentian di sebelah tirai terdapat ember kayu baru, dengan ciduk bergagang
bambu. Ganryu, yang sudah tak sabar karena lama menanti, minta minum air, dan sekarang
beristirahat dalam bayangan tirai.
Tempat Nagaoka Sado ada di sebelah Ganryu, sedikit lebih tinggi. la dikelilingi para
pengawal dan pembantu, sedangkan Iori ada di sampingnya. Ketika pengintai datang
membawa berita tersebut, wajah anak itu"bahkan juga bibirnya-berubah pucat. Sado duduk
dalam sikap resmi, tetap tanpa gerak. Ketopongnya bergeser sedikit ke kanan, seakanakan ia sedang memandang lengan kimononya. Dengan suara rendah ia panggil nama Iori.
"Ya, Pak." Iori membungkuk ke tanah, sebelum menengadah ke ketopong Sado. Karena tak
dapat mengendalikan kegembiraannya, sekujur tubuhnya menggeletar.
"Iori," kata Sado, memandang langsung anak itu. "Perhatikan semua yang terjadi. Jangan
lewatkan satu pun. Ingat-ingat, Musashi mempertaruhkan hidupnya buat mengajarkan padamu
apa yang akan kausaksikan sendiri."
Iori mengangguk. Matanya meletikkan nyala, ketika ia menetapkan pandangan ke batu
karang. Cipratan ombak putih yang mengempas ke batu karang itu menyilaukan matanya.
Tempat itu sekitar dua ratus meter jauhnya, karena itu tak mungkin la melihat gerakgerak kecil dan napas para petarung. Namun bukan segi-segi teknis yang diminta Sado
untuk diperhatikannya, melainkan saat dramatis ketika seorang samurai memasuki
perjuangan hidup dan mati. Inilah yang akan terus hidup di dalam pikirannya, dan
mempengaruhinya sepanjang hidup.
Rumput bergoyang naik dan turun. Serangga-serangga kehijauan melejit ke sana kemari.
Seekor kupu-kupu kecil yang lembut bergerak dari lembar rumput yang satu ke lembar
lain, kemudian tak kelihatan lagi. "Dia hampir sampai," gagap Iori.
Perahu Musashi menghampiri batu karang pelan-pelan. Hampir tepat jam sepuluh waktu itu.
Ganryu berdiri dan berjalan tenang menuruni bukit kecil di belakang pos penantian. Ia
membungkuk kepada para pejabat di sebelah kanan dan kirinya, lalu berjalan diam
melintasi rumput, ke pantai.
Jalan masuk pulau itu mirip sebuah teluk kecil. Di situ gelombang berubah menjadi
ombak-ombak kecil, kemudian menjadi riak-riak air semata. Musashi dapat melihat
dasarnya lewat air yang biru jernih.
"Di mana mesti mendarat?" tanya Sasuke yang melembutkan gerak dayungnya, dan meninjau
pantai dengan matanya. "Lurus saja." Musashi melontarkan mantel lapisnya.
Haluan perahu maju dengan sangat perlahan. Sasuke tak dapat memaksa diri mendayung
dengan kuat. Kedua tangannya hanya sedikit bergerak, dan ia hanya sedikit mengerahkan
tenaga. Bunyi burung bulbul terdengar di udara.
"Sasuke." "Ya, Pak." "Cukup dangkal di sini. Tak perlu terlalu masuk. Tak perlu merusakkan perahu. Dan lagi,
sudah waktunya pasang balik."
Diam-diam Sasuke memusatkan pandangan pada pohon pinus yang tinggi kurus dan tegak
sendirian. Di bawahnya angin memainkan sebuah jubah merah cemerlang.
Sasuke hendak menunjuk, tapi kemudian sadar bahwa Musashi sudah melihat lawannya.
Sambil terus menatap Ganryu, Musashi mengambil saputangan warna cokelat muda dari dalam
obi-nya, melipatnya dua kali membujur, kemudian mengikatkan ke rambutnya yang tertiup
angin. Lalu ia pindahkan pedang panjangnya, ia letakkan ke dasar perahu, dan ia tutupi
dengan tikar buluh. Dengan tangan kanan ia genggam pedang kayu yang ia buat dari dayung
rusak tadi. "Ini cukup jauh," katanya pada Sasuke.
Di hadapan mereka, air masih hampir enam puluh meter lebarnya. Sasuke membuat beberapa
tarikan panjang dayung buritan. Perahu mendompak dan mendarat ke beting, hingga
lunasnya bergetar. Waktu itulah Musashi melompat ringan ke dalam laut, dengan hakama terkait tinggi di
kedua sisinya. Ia mendarat begitu ringan, hingga air hampir tidak berkecipak. Lalu ia
melangkah cepat ke garis air, sementara pedang kayunya memotong cipratan air.
Lima langkah. Sepuluh langkah. Sasuke sudah lupa akan dayungnya. Ia memperhatikan
dengan terpesona, tak sadar di mana ia berada, dan apa yang sedang ia lakukan.
Ganryu meluncur meninggalkan pohon pinus, seperti sehelai pita merah. Sarung pedangnya
yang disemir, berkilau oleh sinar matahari.
Sasuke teringat akan ekor rubah perak. "Cepat!" perkataan itu melintas dalam
pikirannya, tapi waktu itu juga Ganryu sudah sampai di tepian air. Yakin bahwa Musashi
pasti tewas, ia tak tahan melihat. Ia jatuh dengan wajah telungkup ke perahu, tubuhnya
dingin gemetar. la sembunyikan wajahnya, seakan-akan ia sendirilah yang setiap saat
akan terbelah menjadi dua.
"Musashi!" Ganryu menancapkan kaki dengan mantap di pasir, tak hendak mundur satu inci pun.
Musashi berhenti dan berdiri diam, menjadi permainan air dan angin. Wajahnya tampak
menyeringai. "Kojiro," katanya tenang. Matanya memancarkan keganasan yang menakutkan, mata dengan
kekuatan yang dapat menyeret demikian dahsyat, hingga mengancam dan menghela Kojiro
tanpa dapat ditawar-tawar lagi ke dalam bencana dan kehancuran. Ombak membasahi pedang
kayunya. Mata Ganryu menembakkan api. Nyala haus darah berkobar di dalam bola matanya, seperti
pelangi pekat padat yang menggertak dan melemaskan.
"Musashi!" Tak ada jawaban. "Musashi!" Laut berdebur penuh pertanda di kejauhan; air pasang berdesir dan berbisik di kaki
kedua orang itu. "Kau terlambat lagi, ya" Apa itu strategimu" Menurutku, itu cara pengecut! Sekarang ini
dua jam lewat waktu yang ditentukan. Aku datang jam delapan, tepat seperti kujanjikan.
Aku menanti!" Musashi tak menjawab. "Kau pernah melakukan ini di Ichijoji, dan sebelum itu di Rengeoin. Rupanya kau sengaja
ingin menjatuhkan lawan dengan memaksanya menunggu. Akal macam itu takkan membawamu ke
mana-mana, kalau lawanmu Ganryu. Sekarang siapkan dirimu dan maju dengan berani, supaya
angkatan kemudian takkan menertawakanmu. Ayo maju dan bertempur, Musashi!" Ujung sarung
pedangnya mencuat tinggi di belakangnya, ketika ia menarik Galah Pengering yang besar
itu. Dengan tangan kiri ia loloskan sarung pedang itu, dan ia lemparkan ke air.
Sesudah menanti cukup lama, sampai ombak mengempas ke batu karang dan surut kembali ke
laut, Musashi tiba-tiba berkata dengan suara tenang, "Kau kalah, Kojiro!"
"Apa?" Ganryu kaget setengah mati.
"Pertarungan sudah selesai. Kau kalah, kataku."
"Kau bicara apa?"
"Kalau kau bakal menang, kau takkan membuang sarung pedangmu. Kau telah membuang masa
depanmu, hidupmu." "Kata-kata saja! Omong kosong!"
"Sayang sekali, Kojiro. Sudah siap jatuh" Kau mau cepat?"
"Ayo... ayo maju, bajingan!"
"Ho-o-o!" Teriakan Musashi dan bunyi air bergabung membubung menjadi satu.
Ganryu melangkah ke dalam air, Galah Pengering diangkat tinggi-tinggi di atas kepala.
Ia hadapi Musashi langsung. Garis buih putih melintas di permukaan laut, ketika Musashi
berlari naik pantai ke sisi kiri Ganryu. Ganryu mengejar.
Begitu kaki Musashi meninggalkan air dan menyentuh pasir, hampir pada saat itu juga
pedang dan seluruh tubuh Ganryu melontar kepadanya, seperti ikan terbang. Musashi
merasa Galah Pengering mengarah kepadanya, padahal tubuhnya masih berada pada akhir
gerak yang tadi membawanya keluar dari air, dan sedang condong sedikit ke depan.
Ia pegang pedang kayunya dengan kedua tangan, terjulur ke kanan, ke arah belakang
tubuh, sedikit tersembunyi. Puas dengan kedudukannya, ia setengah bergumam dengan suara
hampir tak berbunyi, mengembus ke depan wajah Ganryu. Galah Pengering kelihatannya
sudah hampir turun menebas, namun pedang itu bergetar sedikit, kemudian berhenti. Tiga
meter dari Musashi, Ganryu mengubah arah dengan melompat cekatan ke kanan.
Kedua orang itu saling pandang. Musashi, yang berada dua-tiga langkah dari air,
membelakangi laut. Ganryu menghadapinya dengan pedang teracung tinggi dalam kedua
tangan. Hidup mereka berdua sama-sama terserap ke dalam pertarungan mematikan itu, dan keduanya
sama-sama kosong dari pikiran sadar.
Adegan pertempuran itu terhenti sempurna. Tapi di pos-pos penantian dan di atas bunyi
ombak, tak terhitung jumlahnya orang menahan napas. Di atas Ganryu melayang-layang doa
dan harapan orang-orang yang percaya kepadanya dan menginginkannya hidup terus,
sedangkan di atas Musashi doa dan harapan dari orang-orang lain lagi. Dari Sado dan Iori yang ada di
pulau itu. Dari Otsu, Osugi, dan Gonnosuke di pantai Shimonoseki. Dari Akemi dan
Matahachi di bukit mereka di Kokura. Seluruh doa mereka tertuju ke surga.
Di sini harapan, doa, dan dewa-dewa tak mampu membantu, tidak juga kesempatan. Yang ada
hanya kekosongan tidak berpribadi dan sepenuhnya tidak memihak.
Apakah kekosongan ini, yang demikian sukar dicapai oleh orang hidup, merupakan ekspresi
jiwa yang sempurna, yang telah berhasil mengatasi pikiran dan gagasan-gagasan yang
lebih mulia" Kedua orang itu bicara tanpa membuka suara. Kemudian masing-masing, tanpa sadar,
menyadari kehadiran pihak lainnya. Pori-pori mereka menonjol seperti jarum-jarum yang
terarah pada lawan. Otot, daging, kuku, rambut, bahkan alis-semua unsur tubuh yang mengambil bagian dalam
hidup ini-bergabung menjadi satu kekuatan tunggal melawan musuh, mempertahankan
organisme hidup yang menjadi induknya. Hanya jiwa itu sendiri yang bersatu dengan alam
semesta, jernih dan tenteram, seperti pantulan bulan di atas air kolam, di tengah topan
yang mengamuk. Bisa mencapai kediaman yang luhur lm merupakan pencapaian yang sungguh
luar biasa. Jeda itu serasa berlangsung beribu tahun, padahal sesungguhnya singkat saja, sepanjang
waktu yang dibutuhkan oleh ombak untuk datang dan menarik diri setengah lusin kali.
Kemudian satu pekik dahsyat"yang bukan sekadar suara, dan berasal dari dalam lubuk
makhluk hidup-memorakporandakan detik penuh ketegangan tersebut. Pekik itu datang dari
Ganryu, yang segera disusul pekikan Musashi.
Kedua orang itu berteriak seperti ombak yang marah melecut pantai karang, melambungkan
semangat mereka ke langit. Pedang si penantang terangkat sedemikian tinggi, hingga
seakan mengancam matahari dan membelah udara seperti pelangi.
Musashi mendorong bahu kirinya ke depan, menarik kaki kanannya ke belakang, dan
mengubah letak tubuh bagian atas pada kedudukan setengah menghadap lawan. Pedang kayu
yang dipegangnya dengan dua tangan, menyapu menembus udara, dan serentak dengan itu,
ujung Galah Pengering turun langsung di depan hidungnya.
Napas kedua orang yang sedang berlaga itu terdengar lebih keras dari bunyi ombak.
Sekarang pedang kayu dijulurkan pada ketinggian mata, sedangkan Galah Pengering jauh di
atas pembawanya. Ganryu meloncat sekitar sepuluh langkah, dan laut kini ada di sisinya.
Walaupun tak berhasil melukai Musashi dengan serangan pertama, ia berhasil meletakkan
dirinya pada kedudukan yang lebih baik. Sekiranya ia tinggal pada kedudukan semula,
dengan pantulan sinar matahari di air yang menerjang matanya, pandangannya pasti akan
segera goyah, kemudian juga semangatnya, dan ia akan jatuh dalam kekuasaan Musashi.
Dengan keyakinan yang sudah diperbarui, Ganryu mulai beringsut ke depan dan terus
menajamkan pandangan, mencari peluang dalam pertahanan Musashi. Ia membajakan
semangatnya sendiri, untuk melakukan gerakan yang menentukan.
Sementara itu, Musashi membuat gerakan tak terduga. Ia bukannya maju pelan-pelan dan
hati-hati, tapi melangkah tegap ke arah Ganryu, pedangnya terulur di depan, siap
dihunjamkan ke mata Ganryu. Kesederhanaan caranya itu membuat Ganryu tertegun. Ia
hampir kehilangan pandangan atas Musashi.
Pedang kayu Musashi terangkat lurus di udara. Dengan satu tolakan besar, Musashi
melompat tinggi, dan sambil melipat kaki ia mengecilkan tubuhnya yang tingginya 180
senti itu menjadi 120 senti atau kurang.
"Y a-a-ah!" Pedang Ganryu menjerit membelah ruang di atasnya. Pukulannya tak mengena,
tapi ujung Galah Pengering menetak ikat kepala Musashi, hingga ikat kepala itu terbang
ke udara. Ganryu mengira ikat kepala itu kepala lawan, dan seulas senyum meletik singkat di
wajahnya. Tapi detik berikutnya batok kepalanya pecah seperti kerikil, terkena pukulan
pedang Musashi. Ganryu terbaring di batas antara pasir dan rumput. Di wajahnya tak terlihat kesadaran
akan kekalahan. Darah mengalir dari mulutnya, tapi bibirnya menyunggingkan senyum
kemenangan. "Oh, tidak!" "Ganryu!" Lupa akan dirinya, Iwama Kakubei meloncat dengan wajah terguncang, begitu pula semua
pengiringnya. Kemudian terlihat olehnya Nagaoka Sado dan Iori yang duduk tenang dan
sabar di bangku mereka. Merasa malu, mereka menahan diri untuk tidak lari ke depan.
Sedapatnya mereka mencoba memperoleh kembali ketenangan, namun kesedihan dan kekecewaan
tak dapat disembunyikan. Beberapa orang sukar menelan ludah, dan tak hendak mempercayai
apa yang mereka lihat. Otak mereka jadi kosong.
Dalam sesaat, pulau itu senyap dan diam, seperti sebelumnya.
Hanya gemeresik pohon pinus dan rumput yang berayun-ayun mengejek kerapuhan dan
kefanaan umat manusia. Musashi memperhatikan segumpal awan kecil di langit. Ketika itulah jiwanya kembali ke
tubuhnya, dan baru waktu itulah ia melihat beda antara awan dan dirinya, antara
tubuhnya dan alam semesta.
Sasaki Kojiro Ganryu tidak kembali ke dunia orang hidup. Ia terbaring tertelungkup
dengan tangan masih mencengkeram pedang. Ketangguhan masih tampak pada sosoknya. Pada
wajahnya tak ada tanda-tanda penderitaan. Tiada lain kecuali kepuasan, karena telah
menjalani perkelahian yang baik, dan tak ada sedikit pun bayangan penyesalan.
Melihat ikat kepalanya sendiri tergeletak di tanah, Musashi jadi menggigil. Takkan
pernah lagi dalam hidupnya ia menjumpai lawan seperti ini, demikian pikirnya. Gelombang
rasa kagum dan hormat melandanya. Ia berterima kasih pada Kojiro atas apa yang telah
diberikan kepadanya. Dalam hal kekuatan, dalam hal tekad tempur, Kojiro setingkat lebih
tinggi dari Musashi. Justru karena itulah Musashi terpaksa mesti meningkatkan kemampuan
dirinya sendiri, hingga bisa lebih hebat lagi dari Kojiro.
Apa gerangan yang memungkinkan Musashi mengalahkan Kojiro" Keterampilannya" Bantuan
para dewa" Musashi tahu bahwa bukan itu jawabannya, namun ia tak pernah dapat
mengungkapkan alasan itu dalam kata-kata. Sudah pasti alasan itu sesuatu yang lebih
penting daripada kekuatan ataupun pertolongan dewa.
Kojiro meletakkan keyakinannya pada pedang kekuatan dan keterampilan. Musashi
mempercayakannya pada pedang semangat. Itulah satu-satunya beda di antara mereka.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Musashi berjalan menempuh sepuluh langkah yang
memisahkan dirinya dari Kojiro, dan berlutut di sampingnya. Ia letakkan tangan kirinya
ke dekat lubang hidung Kojiro, dan ia rasakan masih ada jejak napas. "Dengan perawatan
yang tepat, dia masih bisa pulih," kata Musashi pada diri sendiri. Ia ingin mempercayai
kata-katanya itu, dan ia ingin mempercayai juga, bahwa orang yang paling gagah berani
di antara semua lawannya itu akan diselamatkan.
Tapi pertempuran sudah usai. Sudah waktunya ia pergi.
"Selamat tinggal," katanya pada Kojiro, kemudian kepada para pejabat yang duduk di
bangku. la bersujud satu kali ke bumi, kemudian lari ke batu karang, dan melompat ke dalam
perahu. Tidak setetes darah pun menodai pedang kayunya.
Perahu kecil itu melaut. Siapa yang tahu, ke mana arahnya" Tak ada catatan, apakah para
pendukung Ganryu di Pulau Hikojima mencoba membalas dendam.
Manusia tak pernah meninggalkan rasa cinta dan benci selama hidupnya. Gelombang
perasaan datang dan pergi, bersama seiring dengan waktu. Sepanjang hidup Musashi, ada
saja orang-orang yang membenci kemenangannya dan mengecam tingkah lakunya pada hari
itu. Dikatakan, ia bergegas pergi karena takut akan pembalasan. Ia bingung. Ia bahkan
lalai memberikan pukulan untuk mengakhiri derita Kojiro.
Dunia ini selalu penuh dengan bunyi gelombang.
Ikan-ikan kecil menyerahkan diri mereka kepada gelombang, menari, menyanyi, dan
bermain, tapi siapa yang bisa mengenal hati laut tiga puluh meter di bawahnya" Siapa
yang kenal akan kedalamannya"
(TAMAT) MUSASHI HISTORY EIJI YOSHIKAWA Nama aslinya Hidetsugu Yoshikawa, lahir pada tahun 1892 di dekatTokyo. Ia berasal dari
keluarga samurai miskin. Kesulitan keuangan dalam keluarganya menyebabkan Yoshikawa
terhenti sekolah di SD. Ia lalu bekerja macam-macam untuk bisa hidup, termasuk bekerja
di galangan kapal. Dialah yang menulis buku Musashi dan Taiko. Buku yang sangat melegenda, buku yang dapat
dijadikan sumber inspirasi dan semangat hidup.
Usia 19 tahun ia pindah keTokyo dan mulai menulis senryu atau haiku lucu. Haiku ialah
puisi pendek khas Jepang yang sangat indah. Sesudah dua tahun menjadi reporter di
Maonichi Shimbun, ia memantapkan diri menjadi novelis profesional. Berbagai jenis novel
ditulisnya : humor, thriller, roman. Tidak jarang ia menulis sekaligus tiga novel.
Semuanya ditulis menggunakan nama samaran, sebelumnya akhirnya ia memutuskan memakai
nama samaran Eiji. Sejak tahun 1930, terjadi perubahan pada gaya penulisannya. Ia
mengekspresikan pandangan-pandangan zamannya dengan setting masa lampau atau sejarah.
Selama perang dengan Cina, ia menulis laporan-laporan perjalanan. Dan sementara itu ia
menyelesaikan terjemahan/adaptasi kisah populer Cina, Kisah tentang Tiga Kerajaan.
Sampai saat meninggalkannya pada tahun 1962, Eiji Yoshikawa menjadi salah satu novelis
terkenal dan paling disukai di Jepang.
Ishida Mitsunari Ishida Mitsunari ( 1560 - 6 November 1600 atau 1 Oktober tahun ke-5 era Keicho) adalah
daimyo zaman Azuchi Momoyama yang pernah menjabat salah satu anggota lima pelaksana
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemerintahan (Go Bugy o) di masa pemerintahan Toyotomi. Ishida Mitsunari merupakan
pemimpin kubu Pasukan Barat dalam Pertempuran Sekigahara .
Perjalanan hidup Kelahiran desa Ishida di distrik Sakata provinsi Omi (sekarang disebut Ishida-cho,kota
Nagahama Prefektur Shiga ). Lahir sebagai putra kedua Ishida Masatsugu dengan nama
kecil Sakichi. Keluarga Ishida berasal dari klan lokal yang secara turun temurun
tinggal di desa Ishida dengan nama keluarga berasal dari nama desa.
1574: Diangkat sebagai pengikut Hashiba Hideyoshi . Ada catatan yang menyatakan
Mitsunari baru diangkat sebagai pengikut Hideyoshi pada tahun 1577
1577: Memimpin pasukan Hideyoshi untuk menaklukkan wilayah Chugoku.
1583: Turut serta dalam Pertempuran Shizugatake . Terkenal gagah berani dan selalu
berada dalam barisan paling depan sewaktu menyerang musuh. Membantu strategi politik
Hideyoshi antara lain pernah mengirim surat kepada penasehat klan Uesugi yang bernama
Naoe Kanetsugu dengan tujuan menjalin persekutuan antara klan Hashiba dan klan Uesugi.
Pada tahun yang sama menjadi penguasa Istana Minakuchi yang bernilai 40.000 koku.
1584: Turut serta dalam Pertempuran Komaki-Nagakute . Bertugas sebagai pelaksana survei
di distrik Gam o, provinsi Omi.
1585: Diangkat menjadi menteri di Kementerian Protokol (Jibusho). Bersama dengan Naoe
Kanetsugu menjadi saksi perjanjian perdamaian antara Hideyoshi dan Uesugi Kagekatsu.
1586: Menjadi perantara Hideyoshi dengan Uesugi Kagekatsu sewaktu Kagekatsu menjalankan
tugas pemerintahan di Kyoto dan diangkat sebagai pelaksana administrasi kota Sakai
1587: Turut serta dalam penaklukan Kyushu. Diangkat sebagai pelaksana administrasi kota
Hakata dan memulihkan pembangunan kota Hakata.
1588: Menjadi perantara dalam pertemuan Shimazu Yoshihisa dengan Hideyoshi
1589: Bertugas melakukan survei wilayah di provinsi Mino
1590: Turut serta dalam Penaklukan Odawara untuk menaklukan Istana Odawara yang
dikuasai klan Gohojo. Berperan sebagai perantara dalam pertemuan Satake Yoshinobu
dengan Hideyoshi. Menyerang Istana Tatebayashi dan Istana Oshi . Bertugas melakukan
survei ke Oshu, memadamkan pemberontakan Ikki. Pada tahun yang sama ditunjuk sebagai
penguasa Istana Sawayama di provinsi Omi yang bernilai 190.000 koku.
1592: Turut serta dalam Perang Tujuh Tahun penaklukkan Joseon bersama-sama dengan
Mashita Nagamori dan Otani Yoshitsugu
Turut serta dalam pertempuran benteng Gunung Haengju dan Pertempuran Hekiteikan melawan
pasukan dinasti Ming . Wakil dari dinasti Ming yang bernama Sha Y oshi diajaknya pergi
ke Istana Hizen Nagoya di Jepang
1594: Melakukan survei ke wilayah kekuasaan klan Shimazu dan klan Satake
1595: Menjadi penyidik perkara Toyotomi Hidetsugu dan bertindak sebagai penguasa
sementara bekas wilayah kekuasaan Hidetsugu yang bernilai 70.000 koku
1596: Menyambut kedatangan utusan dari Dinasti Ming. Hideyoshi memerintahkan Mitsunari
untuk menindas pengikut Kirishitan (sebutan zaman itu untuk agama Kristen). Mitsunari
bersimpati pada Kirishitan sehingga mengurangi jumlah pengikut yang tertangkap dan
berusaha keras dalam perundingan dengan Hideyoshi agar tawanan tidak dieksekusi.
1576: Diangkat menjadi Daikan (pejabat pengganti) setelah mengambil alih wilayah
kekuasaan Kobayakawa Hideaki
1598: Toyotomi Hideyoshi meninggal. Misunari memerintahkan penarikan pasukan dari
Joseon. 1599: Tokugawa Ieyasu bertikai dengan Maeda Toshiie , tapi berhasil didamaikan. Pada
bulan Maret tahun yang sama, Maeda Toshiie wafat. Mitsunari diserang oleh 7 komandan
militer dibawah pimpinan Kato Kiyomasa. Ishida Mitsunari kabur bersembunyi di rumah
Ukita Hideie . Ada juga pendapat yang mengatakan Mitsunari bersembunyi di rumah
Tokugawa Ieyasu. Mitsunari lalu dikenakan tahanan rumah di Istana Sasayama.
1600: Mitsunari menanggapi ajakan Otani Yoshitsugu untuk bersama-sama mengangkat
senjata menggulingkan Tokugawa Ieyasu. Mitsunari membentuk koalisi anti Ieyasu yang
terdiri dari Maeda Geni , Mashita Nagamori , Natsuka Masaie (empat orang dari lima
anggota dewan Go Bugyo) beserta Mori Terumoto dan Ukita Hideie (dua orang dari lima
anggota dewan Go Tairo). Koalisi anti Ieyasu mengajak para daimyo untuk bergabung dalam
kubu Pasukan Barat melawan Tokugawa Ieyasu. Setelah berhasil menaklukkan Istana Fushimi
, Pasukan Barat maju menuju Tarui (provinsi Mino) dan berhasil merebut Istana Ogaki.
Pada tanggal 15 September 1600, Pasukan Barat yang dipimpin Ishida Mitsunari mengalami
kekalahan dalam Pertempuran Sekigahara . Mitsunari lari hutan di Gunung Ibuki , tapi
berhasil ditangkap oleh Tanaka Yoshimasa . Pada tanggal 1 Oktober tahun yang sama,
Ishida Mitsunari menerima hukuman mati di tempat bernama Rokujogawara yang terletak di
pinggir sungai Kamo , Kyoto. Pada saat dieksekusi, Ishida Mitsunari berusia 40 tahun.
Profil Kisah tiga cangkir teh Hashiba Hideyoshi yang sedang berada di provinsi Omi mampir ke kuil Kanon meminta minum
karena haus. Pembantu pendeta memberi Hideyoshi secangkir teh dingin yang langsung
diminum habis oleh Hideyoshi. Hideyoshi yang masih merasa haus meminta tambah lagi
secangkir teh lagi. Cangkir kedua berisi teh hangat yang langsung diminum habis oleh
Hideyoshi. Setelah cangkir teh kedua habis diminum, Hideyoshi masih meminta tambah
secangkir teh lagi. Cangkir ketiga ternyata berisi teh yang sangat panas hingga membuat
Hideyoshi kaget. Pembantu pendeta lalu menjelaskan bahwa cangkir teh pertama sebagai
penghilang rasa haus, cangkir teh kedua untuk dinikmati perlahan-lahan, dan cangkir teh
ketiga untuk lebih dinikmati perlahan-lahan lagi. Pembantu pendeta ini nantinya dikenal
sebagai Ishida Mitsunari, tapi kisah ini berasal dari zaman Edo dan kemungkinan besar
merupakan cerita karangan orang.
Pengagum putri bekas majikan
Setelah wafatnya, Ishida Mitsunari menjadi korban cerita yang menjelek-jelekkan dirinya
yang dikarang sejarawan dari pemerintahan Keshogunan Tokugawa . Cerita yang banyak
diketahui orang mengatakan Ishida Mitsunari jatuh cinta pada Yodo dono yang merupakan
anak perempuan Azai Nagamasa walaupun tidak ada bukti istri Hideyoshi pernah
berhubungan gelap dengan Mitsunari.
Cerita lain mengatakan Toyotomi Hideyori bukanlah putra Toyotomi Hideyoshi dengan Yodo
dono, melainkan anak hubungan gelap Yodo dono dengan Mitsunari atau Ono Harunaga.
Cerita ini berasal dari pertengahan zaman Edo dan kemungkinan merupakan cerita hasil
karangan orang. Lukisan potret Paling tidak ada 3 sampai 4 lukisan potret Ishida Mitsunari dan konon lukisan dibuat
berdasarkan tengkorak kepala Mitsunari. Setelah badan dan kepala Ishida Mitsunari
dipertontonkan di muka umum di Sanj ogawara, jasadnya dimakamkan di bagian kuil
Daitokuji bernama Sangen-in yang dibangun Mitsunari sewaktu masih hidup. Ada juga
cerita yang mengatakan pintu gerbang rumah kediaman Mitsunari di Fushimi dipindahkan ke
kuil Sangen-in. Setelah beristirahat lebih dari 300 tahun, makam Mitsunari di kuil Sangen-in digali
kembali di tahun 1907 oleh peneliti sejarah bernama Watanabe Seiu dari Tokyo Imperial
University untuk keperluan penulisan biografi. Adachi Buntar o dari bagian anatomi
Universitas Tokyo melakukan penelitian atas sisa tulang dan memotret tengkorak kepala
Ishida Mitsunari. Berdasarkan hasil penelitian, Mitsunari berperawakan sedang, bergigi
tonggos dan sewaktu meninggal berusia sekitar 41 tahun.
Pada tahun 1976 dilakukan rekonstruksi wajah Ishida Mitsunari dengan menggunakan bahan
gips atas permintaan fotografer bernama Ishida Takayuki yang merupakan keturunan Ishida
Mitsunari. Rekonstruksi dilakukan oleh mantan kepala bagian sains Kepolisian
Metropolitan Tokyo yang bernama Nagayasu Sh uichi. Pada saat yang bersamaan juga diukur
tinggi badan Mitsunari dan menurut hasil pengukuran Mitsunari mempunyai tinggi badan
156 cm. Pada bulan Maret 1980, pelukis Jepang bernama Maeda Mikio menggambar lukisan
potret Ishida Mitsunari berdasarkan rekonstruksi dari gips dan pengarahan Ishida
Tetsuro dari Universitas Kedokteran Kansai. Lukisan potret Ishida Mitsunari sekarang
dipajang di menara utama Istana Osaka.
Cucu keturunan Mitsunari dikaruniai 5 putri dan 2 orang putra ( Ishida Shigeie dan Ishida Shigenari ).
Pada saat terjadi Pertempuran Sekigahara , Ishida Shigeie sedang berada di Istana
Sasayama . Setelah mendengar berita kekalahan di Sekigahara, Shigeie yang menerima
perintah dari kakeknya langsung melarikan diri bersembunyi di kuil Myoshinji dan
menjadi biksu. Permohonan ampun atas nyawa Ishida Shigeie yang diajukan pendeta kuil My
oshinji ternyata dikabulkan Tokugawa Ieyasu. Selanjutnya, Ishida Shigeie menjadi biksu
kepala generasi ke-3 di kuil Jushoin yang berada di dalam lingkungan kuil Myoshinji.
Ishida Shigeie wafat di usia 104 tahun pada tahun 1686.
Ishida Shigenari sedang berada di Istana Osaka sebagai kosh o (pembantu pria) untuk
Toyotomi Hideyori. Atas petunjuk teman sesama kosho bernama Tsugaru Nobutake (putra
pewaris Tsugaru Tamenobu), Shigenari melarikan diri ke wilayah han Hirosaki (Tsugaru).
Pada tahun 1610, Shigenari wafat di usia 25 tahun walaupun ada cerita yang mengatakan
Shigenari wafat di tahun 1641. Anak keturunan Shigenari menjadi menteri senior di han
Hirosaki setelah mengganti nama keluarga menjadi Sugiyama.
Anak perempuan Mitsunari (masih satu ibu dengan Shigeie) yang bernama Putri Osa
(Tatsuko) menikah dengan Tsugaru Nobuhira (adik dari penguasa wilayah han Hirosaki
bernama Tsugaru Nobutake ). Putri Osa kemudian menikah sekali lagi dengan Oka Shigemasa
(penasehat untuk Gamo Tadasato dari wilayah han Aizu).
Kedudukannya Putri Osa diturunkan menjadi istri simpanan, setelah sang suami Tsugaru
Nobutake mengambil Putri Mate sebagai istri sah. Putri Osa kemudian melahirkan Tsugaru
Nobuyoshi yang nantinya menjadi penguasa han Mutsu generasi ke-3. Dengan Oka Shigemasa,
Putri Osa melahirkan Ofuri no kata yang kemudian menjadi istri Tokugawa Iemitsu .
Ofuri no kata melahirkan Putri Chiyo yang nantinya menjadi istri sah Tokugawa Mitsutomo
(generasi kedua penguasa han [[Owari] dan salah satu dari percabangan keluarga Tokugawa
yang disebut Gosanke). Putri Chiyo juga melahirkan Tokugawa Tsunanari yang nantinya
mempunyai putra bernama Tokugawa Yoshimichi , Tokugawa Tsugutomo dan Tokugawa Muneharu
yang selalu bertentangan dengan Tokugawa Yoshimune .
Kakak laki-laki Ishida Mitsunari bernama Ishida Masazumi . Istri sah Mitsunari adalah
putri dari Uda Yoritada dan putri dari klan Kutsuki . Putranya bernama Ishida Shigeie
dan Ishida Shigenari. Miyamoto Musashi Miyamoto Musashi atau biasa disebut Musashi saja, adalah seorang samurai dan ronin yang
sangat terkenal di Jepang pada abad pertengahan. Ia diperkirakan lahir pada sekitar
tahun 1584, dan meninggal tahun 1645. Nama lengkapnya adalah Shinmen Musashi No Kami
Fujiwara No Genshin. Asal Keturunan Panggilan masa kecil Musashi adalah Bennosuke. Nama Musashi sendiri adalah nama kuno
sebuah daerah di barat daya Tokyo. Nama No Kami berarti kaum bangsawan daerah setempat.
Pada umumnya, Fujiwara adalah nama asal dari keluarga leluhur para bangsawan di Jepang
yang diturunkan ribuan tahun yang lalu. Nenek moyang keluarga Musashi (Hirada/Hirata)
adalah keturunan keluarga Shinmen, penguasa di Kyushu, pulau bagian selatan Jepang.
Masa Kecil Ayah Musashi, Munisai Hirata, meninggal ketika ia diperkirakan baru berusia 7 tahun.
Setelah ibunya kemudian juga meninggal, maka Musashi kemudian ikut paman dari pihak
ibu. Dengan demikian, ia sudah yatim piatu ketika Toyotomi Hideyoshi menyatukan Jepang
pada tahun 1590. Tidak jelas apakah keinginan bermain Kendo adalah berkat pengaruh
pamannya ataukah keinginan Musashi sendiri.
Berbagai Pertarungan Musuh pertama Musashi ditemuinya ketika ia baru berusia 13 tahun. Ia adalah Arima
Kihei, samurai perguruan Shinto Ryu bidang seni militer yang terampil bermain pedang
dan tombak. Musashi mengalahkannya dengan cara melemparnya ke tanah dan memukulnya
dengan tongkat, sehingga musuhnya tersebut mati berlumuran darah.
Ketika ia berusia 16 tahun, Musashi mengalahkan lawan berikutnya, dan sejak itu ia
kabur dari rumah dan terlibat dalam berbagai kontes pertarungan dan peperangan sampai
ia berusia 50 tahun. Musashi mengembara keliling Jepang dan menjadi legenda. Berbagai
musuh terkenal pernah dikalahkannya, antara lain samurai-samurai keluarga Yoshioka di
Kyoto, jagoan ilmu tongkat kondang Muso Gonosuke di Edo, bangsawan Matsudaira di Izumo,
dan Sasaki Kojiro di Bunzen.
Salah satu peperangan terkenal yang sering dikatakan melibatkan Musashi adalah
Pertempuran Sekigahara di tahun 1600, antara pasukan Tokugawa Ieyasu dan pasukan
pendukung pemerintahan Toyotomi Hideyori, dimana ribuan orang tewas terbantai dalam
peperangan itu sendiri dan pembantaian sesudahnya oleh tentara pemenang perang. saat
itu musashi memihak pasukan toyotoni hideyori(anak dari Toyotomi hideyoshi)
Masa Penyepian dan Karya Setelah melewati periode pertarungan (terakhir melawan Sasaki Kojiro) dan peperangan
tersebut, Musashi kemudian menetap di pulau Kyushu dan tidak pernah meninggalkannya
lagi, untuk menyepi dan mencari pemahaman sejati atas falsafah Kendo. Setelah sempat
meluangkan waktu beberapa tahun untuk mengajar dan melukis di Kuil Kumamoto, Musashi
kemudian pensiun dan menyepi di gua Reigendo. Di sanalah ia menulis Go Rin No Sho, atau
Buku Lima lima cincin/Lima Unsur. Buku ini adalah buku seni perang yang berisi strategi
perang dan metode duel, yang diperuntukkan bagi muridnya Terao Magonojo.namun oleh
orang barat buku ini adalh rujukan untuk mengenalkejiwaan dan pola pikir orang jepang
Buku ini menjadi klasik dan dijadikan rujukan oleh para siswa Kendo di Jepang. Musashi
dianggap sedemikian hebatnya sehingga di Jepang ia dikenal dengan sebutan Kensei, yang
berarti Dewa Pedang. Tak lama setelah itu, Musashi meninggal di Kyushu pada tahun 1645.
Pengaruh Studi kehidupan dan hasil kar
ya Musashi masih tetap relevan pada masa kini, karena
mencakup taktik dan strategi yang dapat diaplikasikan untuk berbagai kegiatan praktis
seperti periklanan, bisnis, dan militer. Berbagai produk budaya seperti film dan buku
sastra juga tetap diminati masyarakat, diantaranya yang terkenal ialah buku karya
penulis Eiji Yoshikawa dan film karya sutradara Hiroshi Inagaki. Inspirasi yang
diberikan oleh Musashi tidak saja terjadi pada masyarakat Jepang, tetapi juga pada
masyarakat dari berbagai penjuru dunia.
Toyotomi Hideyoshi Toyotomi Hideyoshi (2 Februari 1536 - 18 September 1598 adalah pemimpin Jepang mulai
dari zaman Sengoku sampai zaman Azuchi Momoyama. Kisah hidupnya telah diangkat oleh
Eiji Yoshiawa dalam Novel TAIKO.
Biografi singkat Lahir sebagai anak petani di desa Nakamura, provinsi Owari (sebelah barat Prefektur
Aichi), sewaktu menjadi tangan kanan daimyo Oda Nobunaga yang paling diandalkan.
Setelah berhasil berdamai dengan klan Mori di daerah Chugoku, Hideyoshi menarik kembali
pasukannya (peristiwa Penarikan Pasukan dari Chugoku) ke Kyoto menemukan Oda Nobunaga
sang majikan dibunuh oleh bawahannya Akechi Mitsuhide dalam Insiden Honnoji.
Hideyoshi mewariskan kekuasaan Oda Nobunaga setelah berhasil menghabisi Akechi
Mitsuhide dalam Pertempuran Yamazaki. Hideyoshi membangun Istana Osaka, tapi mengingat
latar belakangnya sebagai orang biasa, Kaisar belum bisa memberikan gelar shogun,
sehingga untuk sementara Hideyoshi diberi gelar Kampaku. Pada waktu menerima jabatan
Dajo daijin ( 1586), kaisar menghadiahkan nama keluarga Toyotomi. Setelah berhasil
menjadi pemimpin yang mempersatukan seluruh wilayah Jepang, Toyotomi Hideyoshi
mengadakan survei wilayah yang disebut Taikokenchi dan melarang orang di luar kalangan
bushi untuk memiliki senjata katana. Di tengah invasi keKorea yang disebut Perang Tujuh
Tahun. Toyotomi Hideyoshi tutup usia setelah mewariskan kekuasaan kepada putranya
Toyotomi Hideyori yang dititipkannya kepada Tokugawa Ieyasu.
Perjalanan hidup Toyotomi Hideyoshi yang luar biasa dari anak petani sampai menjadi
orang nomor satu di zaman Sengoku sering dijadikan bahan cerita yang dikisahkan secara
turun temurun dan sering dilebih-lebihkan. Toyotomi Hideyoshi konon pernah membangun
Istana Sunomata dalam waktu semalam, mempertaruhkan nyawa dalam Pertempuran Kanegasaki
agar posisi Oda Nobunaga yang sedang terjepit maut bisa lolos melarikan diri, dan
pernah menyerang Istana Takamatsu dengan banjiran air.
Perjalanan hidup Masa kecil Lahir di desa Nakamura sebagai anak tengah keluarga petani bernama Yaemon di provinsi
Owari, Aichi-gun yang merupakan wilayah Nobunaga. Ada perbedaan pendapat soal tahun
kelahiran Hideyoshi. Ada pendapat yang mengatakan Hideyoshi lahir tahun 1536, tapi
hasil penelitian yang bisa dipercaya mengatakan Hideyoshi lahir tahun 1537.
Pesuruh klan Imagawa Pada waktu muda, Hideyoshi yang masih bernama Kinoshita Tokichiro bekerja sebagai
pesuruh yang bekerja untuk pemilik Istana Zudaji yang bernama Matsushita Naganori
(alias Matsushita Takahei) dan putranya Matsushita Yukitsuna yang juga menggunakan nama
alias yang sama seperti ayahnya (Matsushita Kahei). Istana Zudaji merupakan cabang
Istana Hikuma yang menurut nama tempat zaman dulu ada di kota Zudaji (sekarang menjadi
kota Hamamatsu), Nagakami no goori, di provinsi Tootomi yang merupakan wilayah
kekuasaan klan Io yang merupakan bawahan dari klan Imagawa.
Setelah bekerja untuk Matsushita Yukitsuna, Hideyoshi bekerja sebagai bawahan Tokugawa
Ieyasu. Pada tahun 1584, Hideyoshi menerima 1.600 koku untuk mengawasi provinsi Tamba
dan provinsi Kawachi, Selanjutnya pada tahun 1584, Hideyoshi menerima 16.000 koku
berikut Istana Tootomikuno yang berdekatan dengan Istana Zudaiji.
Bawahan Nobunaga Pada tahun 1554 Hideyoshi mulai bekerja sebagai bawahan kelas rendah untuk Oda
Nobunaga. Hideyoshi bekerja antara lain sebagai kepala tukang kayu dan kepala bagian
dapur di Istana Kiyosu. Hideyoshi bekerja dengan rajin dan berhasil menarik perhatian
Oda Nobunaga yang terkesan dengan hasil pekerjaan Hideyoshi. Berkat prestasinya yang
luar biasa, Hideyoshi menjadi sangat terkenal di kalangan pengikut Nobunaga. Nobunaga
kabarnya suka menyebutnya dengan panggilan kesayangan si "monyet" atau "tikus botak,"
karena penampilan Hideyoshi yang kurang tampan. Pada tahun 1564, Hideyoshi menikah
dengan seorang wanita bernama Nene (dikenal sebagai Kodaiin atau O-ne).
Kisah Hideyoshi membangun Istana Sunomata dalam semalam sewaktu bertempur melawan Saito
Tatsuoki asal Mino tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena berasal dari buku sejarah
Bukoyawa yang merupakan cerita karangan orang pada awal zaman Edo. Pada saat itu,
Hideyoshi memimpin kelompok yang antara lain terdiri dari Takenaka Shigeharu, Hachisuka
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Koroku dan Maeno Nagayasu.
Pada tahun 1568, sewaktu Oda Nobunaga pergi ke ibu kota (Kyoto), Hideyoshi bekerja
bersama-sama dengan Akechi Mitsuhide di Kyoto. Dalam catatan yang ditulis pada waktu
itu, sudah disebut-sebut nama Hideyoshi.
Pada tahun 1570 Hideyoshi memimpin pasukan untuk memadamkan pemberontakan Asakura
Yoshikage di Echizen. Pada mulanya, pasukan dapat bergerak maju tanpa ada hambatan dari
musuh. Pasukan Oda Nobunaga yang sedang berbaris dalam perjalanan di sekitar Kanegasaki
diserang dari belakang secara tiba-tiba oleh sekutu Nobunaga asal Omi utara yang
bernama Azai Nagamasa. Konon pasukan Azai dan pasukan Asakura menjepit pasukan Nobunaga dari kedua sisi
sehingga pastinya nyawa Oda Nobunaga berada dalam bahaya. Hideyoshi memohon kepada
Nobunaga agar diberi kesempatan untuk bertempur di posisi paling belakang (shingari),
maksudnya untuk memberi perlindungan kepada pasukan Nobunaga yang sedang mundur agar
bisa lolos. Peristiwa ini terkenal dengan sebutan Jalan Lolos Kanegasaki. Atas jasa
menyelamatkan nyawanya, Nobunaga memberi hadiah 30 keping emas kepada Hideyoshi yang
juga berhasil selamat dalam pertempuran. Dalam sekejap Hideyoshi tampil sebagai ksatria
gagah berani. Azai Nagamasa berhasil dihabisi Hideyoshi dalam pertempuran di benteng
Odani Penguasa Istana Nagahama Azai Nagamasa tewas di tahun 1573 dan klannya musnah, Hideyoshi ditunjuk untuk
memerintah provinsi Omi yang menjadi teritori klan Azai. Hideyoshi menganggap perlu
mengganti nama Imahama menjadi Nagahama. Hideyoshi lalu menjadi penguasa Istana
Nagahama. Dari daerah Omi, Hideyoshi merekrut sisa-sisa pasukan Azai berikut sejumlah
ksatria muda seperti Ishida Mitsunari, Kato Kiyomasa, dan Fukushima Masanori.
Pada masa itu, Hideyoshi mengganti namanya menjadi Hashiba Hideyoshi. Nama keluarga
Hashiba terdiri dari dua aksara kanji yang masing-masing diambil dari nama keluarga dua
asisten pribadi Nobunaga, yakni Niwa Nagahide untuk aksara ha dan Shibata Katsuie untuk
aksara shiba. Pada tahun 1576, Nobunaga memerintahkan Hideyoshi untuk membantu kepala pasukan dari
daerah Hokuriku bernama Shibata Katsuie yang sedang berusaha membasmi pasukan Uesugi
Kenshin dari Echigo. Hideyoshi berselisih paham soal strategi pertempuran dengan
Katsuie sehingga Hideyoshi memutuskan untuk menarik pasukan dan pulang begitu saja
tanpa izin Nobunaga. Pasukan Katsuie akhirnya berhasil ditaklukkan Uesugi Kenshin dalam
peristiwa yang disebut Pertempuran Sungai Tetori. Nobunaga sangat marah kepada
Hideyoshi tapi akhirnya Nobunaga mau mengampuni Hideyoshi.
Penaklukan daerah Chugoku
Setelah itu, Nobunaga memerintahkan Hideyoshi untuk menaklukkan daerah Chugoku. Pasukan
maju sampai provinsi Harima, dibantu pasukan Akamatsu Norifusa, Bessho Nagaharu dan
Kodera Masamoto. Pengikut Kodera Masamoto yang bernama Kodera Yoshitaka (dikenal juga
sebagai Kuroda Yoshitaka) meminjamkan Istana Himeji kepada Hideyoshi sebagai markas
invasi ke daerah Chugoku.
Pada tahun 1579 Hideyoshi berhasil menaklukkan daimyo Ukita Naoie penguasa provinsi
Bizen dan provinsi Mimasaka. Hideyoshi selanjutnya melakukan invasi ke provinsi Inaba
untuk menyerang Istana Tottori yang dikuasai Yamana Toyokuni.
Pada tahun 1580, Bessho Nagaharu penguasa Istana Miki dari provinsi Harima menyerah
akibat kehabisan perbekalan setelah mengadakan pemberontakan selama 2 tahun melawan
klan Oda. Yamana Akihiro penguasa provinsi Tamba yang terkepung di dalam Istana Izushi
akhirnya juga menyerah. Pada tahun 1581, kelompok pengikut Yamana Toyokuni dari provinsi Inaba yang sedang
diasingkan bergabung dengan pihak klan Mori yang dipimpin Yoshinaga Tsuneie mengadakan
pemberontakan dari Istana Tottori. Hideyoshi membeli semua bahan makanan dari daerah
Tottori dan sekitarnya, serta memutuskan jalur perbekalan makanan ke dalam istana,
sehingga Istana Tottori yang sedang terkepung kehabisan perbekalan dan jatuh tidak lama
kemudian. Hideyoshi kemudian bertempur melawan Mori Terumoto yang menguasai wilayah
Chugoku bagian barat. Hideyoshi mendapat julukan "Hideyoshi si ahli menjatuhkan istana", berkat strateginya
menyulitkan perbekalan musuh sewaktu menaklukkan Istana Tottori dan Istana Miki, serta
menyerang Istana Takamatsu dengan banjiran air sewaktu menginvasi wilayah Chugoku.
Kematian Nobunaga dan Pertemuan Kiyosu
Hideyoshi sedang menyerang Istana Takamatsu dengan banjiran air pada waktu Oda Nobunaga
dibunuh oleh Akechi Mitsuhide dalam Peristiwa Honnoji di tahun 1582. Hideyoshi yang
mendengar kabar kematian majikannya segera berhasil berdamai dengan pihak Mori dengan
syarat pemilik Istana Takamatsu yang bernama Shimizu Muneharu melakukan seppuku.
Hideyoshi lalu menarik kembali pasukannya ke Kyoto secara besar-besaran. Peristiwa ini
dikenal dengan Penarikan Pasukan dari Chugoku. Akechi Mitsuhide akhirnya berhasil
dihabisi dalam Pertempuran Yamazaki.
Berkat prestasi yang luar biasa serta dukungan dari Niwa Nagahide dan Ikeda Tsuneoki,
Hideyoshi mendapat kesempatan memimpin pertemuan negarawan senior yang dilangsungkan di
Istana Kiyosu. Dalam pertemuan Kiyosu, Hideyoshi menentang rencana Shibata Katsuie yang
mengusulkan agar Oda Nobutaka mengambil alih pimpinan klan Oda. Menurut pendapat
Hideyoshi, putra Oda Nobutada yang masih kanak-kanak yang bernama Sanboshi (selanjutnya
dikenal sebagai Oda Hidenobu) merupakan pewaris pemerintahan militer Oda Nobunaga yang
sah. Hideyoshi kemudian berhasil menjadi pelindung Sanboshi.
Pertentangan dengan Shibata Katsuie
Pada tahun 1583, Hideyoshi berperang melawan Shibata Katsuie yang menentangnya secara
politik. Pertempuran berlangsung sengit, tapi akhirnya berhasil dimenangkan pasukan
Hideyoshi akibat Sakuma Morimasa dari pihak Katsuie yang bertempur membabi buta dan
Maeda Toshiie yang membelot dari pihak Katsuie ke pihak Hideyoshi. Katsuie kemudian
hanya bisa bertahan di markas besarnya di Istana Kitanosho yang terkepung pasukan
Hideyoshi. Katsuie tidak mempunyai jalan lain kecuali melakukan seppuku. Peristiwa ini
disebut Pertempuran Shizugatake. Dalam pertempuran ini peran Tujuh Satria Shizugatake
sangat menentukan kemenangan Hideyoshi.
Konon Hideyoshi juga sudah berpikir untuk menyelamatkan nyawa istri Katsuie bernama
Oichi no kata yang akhirnya memilih mati bersama suaminya. Sebelum dijadikan istri oleh
Katsuie, Oichi no kata adalah janda dari Azai Nagamasa yang juga dibunuh Hideyoshi
Akibat pertempuran Shizugatake, Oda Nobutaka kehilangan pelindungnya Katsuie, dan
Takigawa Kazumasa yang merupakan penentang Hideyoshi akhirnya menjadi tunduk. Nobutaka
melakukan seppuku, sedangkan Kazumasa menjadi bawahan pengikut Hideyoshi.
Pertentangan dengan Tokugawa Ieyasu
Dalam Pertempuran Komaki-Nagakute di tahun 1584, Ikeda Tsuneoki dan Mori Nagayoshi yang
berada di pihak Hideyoshi sudah terbunuh oleh pihak Tokugawa, tapi Hideyoshi berhasil
berdamai dengan Oda Nobukatsu yang berada di pihak Tokugawa. Akibatnya, pasukan
Tokugawa terpaksa ditarik dan putra Tokugawa yang bernama Matsudaira Hideyasu dikirim
ke Hideyoshi untuk dijadikan anak angkat sebagai syarat berdamai .
Hideyoshi selanjutnya mengirim ibu kandung Hideyoshi yang bernama Omandokoro sebagai
tawanan dan memberikan adik perempuannya Putri Asahi kepada Ieyasu untuk dijadikan
istri. Hideyoshi memberi kesempatan kepada Ieyasu yang sudah menjadi pengikutnya untuk
menemani pergi ke Kyoto. Ieyasu menerima penawaran dan berjanji untuk setia kepada
Hideyoshi. Berdasarkan perjanjian ini, Hideyoshi secara de facto berhasil menjadi
pewaris pemerintahan militer Oda Nobunaga.
Pembangunan Istana Osaka dan nama keluarga Toyotomi
Pada tahun 1583, Hideyoshi mendirikan Istana Osaka di bekas kuil Ishiyama Honganji.
Otomo Yoshishige seorang daimyo dari Kyushu sangat terkejut dengan kemegahan Istana
Osaka dan memujinya sebagai bangunan "tiada ada duanya di Jepang." Istana Osaka
sebenarnya mempunyai sedikit masalah dalam soal pertahanan yang kabarnya Hideyoshi
sendiri sangat prihatin. Di beberapa tempat di Istana Osaka yang menurut Sanada
Nobushige mempunyai pertahanan yang lemah dibangun benteng pertahanan yang dikenal
sebagai Sanada Maru. Berkat usaha Nobushige, Istana Osaka menjadi jauh lebih kuat
sehingga di kemudian hari menimbulkan kerugian besar di pihak pasukan Tokugawa.
Pada tahun 1585, Hideyoshi menjadi anak angkat Konoe Sakihisa sehingga bisa mendapat
gelar Kampaku dari kaisar. Tahun berikutnya (1586), Hideyoshi menerima nama keluarga
Toyotomi, menjalankan tugas sebagai Daijo Daijin dan melakukan konsolidasi kekuasaan.
Ada pendapat yang mengatakan Hideyoshi bermaksud melancarkan jalan ke arah terbentuknya
"Keshogunan Hideyoshi" dengan mengusulkan dirinya diangkat sebagai anak angkat oleh
Ashikaga Yoshiaki, tapi ternyata usul Hideyoshi ditolak.
Invasi ke Shikoku dan Etchu
Hideyoshi setalah berhasil mengatasi Pemberontakan Ikko-ikki di provinsi Kii, segera
bergerak maju menghadapi Chosokabe Motochika yang dianggap bisa menjadi saingan karena
baru saja berhasil menyatukan Shikoku. Hideyoshi meminta Motochika untuk mengembalikan
3 provinsi (Awa, Sanuki dan Iyo) ke tangan Hideyoshi, tapi usul ini ditolak mentahmentah oleh Motochika. Hideyoshi merasa tidak ada jalan lain kecuali menunjuk adiknya
Hashiba Hidenaga sebagai panglima gabungan untuk memimpin invasi ke Shikoku.
Pasukan Toyotomi Hidenaga dan Toyotomi Hidetsugu menyerbu provinsi Awa, Ukita Hideie
menyerbu provinsi Sanuki, sedangkan klan Mori menyerbu provinsi Iyo dengan kekuatan
pasukan gabungan sejumlah 100.000 prajurit. Motochika yang merasa pertempuran bakal
tidak seimbang segera menyerah tanpa mau bertempur. Peristiwa ini dikenal sebagai
Invasi Shikoku. Pasukan Hideyoshi selanjutnya menghadapi perlawanan Maeda Toshiie dari provinsi Kaga,
dan menaklukkan Sassa Narimasa asal provinsi Etchu. Pada tahun 1588, Sassa Narimasa
diperintahkan melakukan seppuku karena dituduh salah mengurus pemerintahan provinsi
Higo. Penaklukan Kyushu Kekuasaan Shimazu Yoshihisa di Kyushu telah menjadi begitu kuat pada saat itu, sehingga
Otomo Yoshishige yang merasa ditindas oleh klan Shimazu meminta pertolongan Hideyoshi.
Invasi ke Kyushu tidak dapat dihindari karena peringatan Hideyoshi agar Shimazu
Yoshihisa menyerah ternyata tidak ditanggapi.
Pada tahun 1586, pasukan gabungan Hideyoshi yang dipimpin Sengoku Hidehisa sebagai
panglima, dengan bawahan Chosokabe Motochika dan anaknya Chosokabe Nobuchika, Sogo
Masayasu, dan Otomo Yoshimune mengalami kekalahan besar dalam pertempuran sungai
Hetsugi melawan pasukan Shimazu Yoshihisa di provinsi Bungo. Peristiwa ini dinamakan
Pertempuran sungai Hetsugi. Tewasnya Chosokabe Nobuchika dan Sogo Masayasu dan Sengoku
Hidehisa yang tidak bisa mengatur pasukan kabarnya menjadi sebab kekalahan pasukan
gabungan Hideyoshi. Pada tahun 1587, Hideyoshi bersama dengan adiknya Hidenaga berniat menuntut balas
dengan memimpin sendiri invasi besar-besaran ke Kyushu dengan total pasukan mencapai
200.000 prajurit. Pasukan Shimazu akhirnya berhasil ditaklukkan dan Shimazu Yoshihisa
dan Shimazu Yoshihiro terpaksa menyerah. Peristiwa ini disebut Invasi ke Kyushu.
Setelah berhasil menundukkan Shimazu yang merupakan musuh besar terakhir, Hideyoshi
berhasil menjadi pemimpin yang menguasai seluruh bagian barat Jepang.
Pada tahun 1587, Hideyoshi mengeluarkan perintah Bateren Tsuhorei, pengusiran
misionaris Kristen) yang antara lain melarang agama Kristen dan melarang daimyo
mengkristenkan pengikutnya. Tahun berikutnya (1588), Hideyoshi mengeluarkan perintah
Perburuan Katana yang melarang kalangan bukan samurai untuk memiliki katana.
Penaklukan Odawara Pada tahun 1589, pengikut klan Gohojo yang bernama Inomata Kuninori merebut Istana
Nagurumi di provinsi Kozuke yang dijaga Suzuki Shigenori yang merupakan pengikut Sanada
Masayuki. Hideyoshi menganggap peristiwa ini sebagai kesempatan untuk melakukan invasi
ke tempat yang jauh di wilayah Kanto. Pada tahun berikutnya (1590), Hideyoshi berniat
untuk menaklukkan Istana Odawara.
Hideyoshi memerintahkan para daimyo di wilayah Tohoku untuk bergabung membantu
pasukannya menyerang Odawara. Date Masamune yang menguasai sebagian besar wilayah
Tohuku merasa ragu-ragu untuk mengirim pasukan. Hideyoshi lalu menjadi sangat marah
karena Masamune yang dinanti-nanti tidak juga mau muncul-muncul. Masamune yang
mengetahui hal ini bergegas mengenakan pakaian yang biasa dipakai orang meninggal dan
pergi menghadap Hideyoshi untuk meminta pengampunan. Pada akhirnya, Hideyoshi memang
bisa mengampuni Masamune yang terlambat datang. Konon pada saat itu Hideyoshi menyentuh
bagian belakang leher Masamune dengan kipas dan berkata, "Kalau datang terlambat
sedikit saja, bagian ini bahaya."
Pertahanan Istana Odawara konon luar biasa kuat bahkan Uesugi Kenshin dan Takeda
Shingen tidak bisa menaklukkannya, tapi di tangan Hideyoshi ternyata Istana Odawara
dapat ditaklukkan dengan mudah. Pasangan bapak dan anak Hojo Ujimasa dan Hojo Ujinao
yang mampu bertahan selama 3 bulan di dalam istana yang sudah terkepung akhirnya
menyerah. Ujimasa melakukan seppuku, sedangkan Ujinao diasingkan ke Gunung Koya.
Peristiwa ini disebut sebagai Invasi Odawara.
Pemersatu Jepang Toyotomi Hideyoshi berhasil menjadi pemimpin pemersatu Jepang setelah menaklukkan klan
Gohojo yang merupakan musuh besar terakhir. Hideyoshi berhasil menghentikan perang
berkecamuk sejak lama dan menandai berakhirnya periode Sengoku.
Pada tahun 1591, Hideyoshi melakukan suksesi, jabatan Kampaku diwariskan Hideyoshi
kepada keponakannya yang bernama Toyotomi Hidetsugu, sedangkan Hideyoshi mendapat gelar
Taiko (sebutan kehormatan untuk pensiunan Kampaku).
Ada cerita tentang Hideyoshi yang kabarnya pernah memerintahkan pengikutnya, seorang
guru upacara minum teh yang bernama Sen no Rikyu untuk bunuh diri. Furuta Shigeteru dan
Hosokawa Tadaoki sudah berusaha menjelaskan duduk perkara dan memohon kepada Hideyoshi
untuk mengampuni nyawa Sen no Rikyu tapi ternyata tidak ditanggapi. Sen no Rikyu
akhirnya melakukan seppuku dan kepalanya dipertontonkan di jembatan Ichijomodori. Ada
berbagai pendapat yang bertentangan mengenai sebab terjadinya peristiwa ini.
Pada tahun itu juga (1591), terjadi pemberontakan yang disebabkan oleh seluruh anggota
keluarga klan Nambu terlibat sengketa soal pewaris kekuasaan Kunohe Masazane. Hideyoshi
segera menyetujui permohonan bantuan dari Nambu Nobunao dan menunjuk Toyotomi Hidetsugu
sebagai panglima pasukan gabungan. Pasukan gabungan untuk menyerbu Kunohe terdiri dari
pasukan pimpinan Gamo Ujisato, Asano Nagamasa, dan Ishida Mitsunari. Pasukan milik para
daimyo dari wilayah Tohoku juga diperintahkan untuk bergabung, sehingga pasukan
Pusaka Negeri Tayli 8 Dewa Arak 76 Penjara Langit Kisah Sepasang Bayangan Dewa 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama