Ceritasilat Novel Online

Asleep Or Dead 11

Asleep Or Dead Karya Bunbun Bagian 11


Apakah Gua dan Vera memang bukanlah sepasang jodoh yang dituliskan oleh Sang Pencipta " Apakah Vera bukan tulang rusuk Gua ". I don't think so...
Apapun akan Gua lakukan untuk dia, seorang wanita yang mampu membuat hati Gua takjub akan segala kelakuan dan sikapnya saat meredam emosi yang ada di dalam jiwa ini. Gua mencintainya dan akan selalu seperti itu. Sekalipun logika Gua menyangkal perasaan untuknya karena Gua sudah memiliki pasangan yang sah saat ini. Dan mungkin inilah dosa pertama atau entah yang keberapa kepada istri Gua...
. . . . . . Sudah satu minggu setelah pertemuan antara Gua dan Vera di rumah ibundanya, yang artinya sekarang sudah memasuki pertengahan november dan Vera sudah pergi lagi ke singapore untuk melanjutkan studinya di sana. Sikap dan prilaku Gua berubah, berubah kepada Echa istri Gua.
"Za, mau aku bawain beukeul makan siang untuk di kampus nanti ?", tanya istri Gua ketika Gua masih mengenakan dasi.
Gua hanya menggelengkan kepala sambil tetap menatap cermin di dalam kamar ini.
Istri Gua menghela nafas pelan, lalu berjalan mendekati Gua. Kedua tangannya kini memeluk Gua dari belakang dan melingkar di pinggang ini. Kepalanya disandarkan pada punggung Gua.
"Tapi kamu sudah memiliki rumah tangga bersama aku Za, kamu harus realistis, apa yang Vera ucapkan benar Za, kamu harus lepasin dan relakan cinta kamu untuk dia..", ucap istri Gua. "Kamu ngomong apa sih Cha!", kilah Gua sambil melepaskan kedua tangannya pada pinggang ini. Gua berjalan kearah lemari dan membukanya lalu mengambil jas kampus Gua.
"Za.. Aku gak pernah ngelarang kamu untuk ngelupain dia Za, aku cuma minta kamu realistis, kalo kamu dan dia sekarang udah gak bisa seper..".
"DIAM CHA!!", untuk pertama kalinya Gua membentak istri Gua seraya menunjuk wajahnya dengan jari telunjuk ini,
"Kamu gak tau apa-apa soal perasaan aku ke Vera! Dan kamu.. Kamu gak punya hak untuk ngelarang apapun ke aku!", lanjut Gua.
"Aku ini istri kamu! Aku wanita yang kamu nikahi Za.. Bukan Vera, dia udah memilih dan kamu harus menerimanya!", ucap istri Gua dengan airmata yang sudah berderai.
Gua berjalan cepat dan tidak memperdulikannya, lalu keluar dan menutup pintu kamar dengan keras. Suara isak tangisnya tidak membuat Gua menghentikan langkah kaki untuk pergi. Lalu Gua masuk kedalam mobil dan menyalakannya, pergi.. Pergi meninggalkan rumah untuk melupakan segala emosi yang Gua tinggal di dalam kamar bersama Echa.
... Siang hari ketika jam istirahat di kampus, Gua sedang bersama Kinan di kantin. Brak! suara meja yang digebrak oleh Tante Gua membuat beberapa orang menengok kepada kami. "Keterlaluan kamu Za! Kamu ini bener-bener gak punya hati!!", teriaknya penuh emosi setelah Gua menceritakan apa yang terjadi.
"Aku cerita sama kamu bukan untuk minta di hakimi Kak..", jawab Gua sambil menatap matanya lekatlekat,
"Aku minta saran kamu, bukan marah-marahin aku", lanjut Gua.
"Ya gimana aku gak kesel Ezaaa! Kamu tuh udah keterlaluan! Dimana hati kamu Za! Marahin Echa karena masih punya perasaan sama Vera!", cecarnya.
Praangng!! Gelas kopi Gua banting dan pecah ke lantai kantin ini.
"Fuck Off!!!", sungut Gua seraya berdiri dan pergi meninggalkan Kinan dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Derap langkah kaki yang berlari dari arah belakang membuat Gua menengok, sedetik kemudian sebuah tangan mencengkram bahu kiri Gua seraya menariknya agar Gua membalikkan tubuh, lalu satu tangan lainnya mengepal dan dilayangkan ke arah wajah ini.
Tep. Gua menahan pukulannya dengan tangan kanan.
Buagh.. sebuah pukulan tangan kiri Gua telak menghantam pipi kanannya. "Bangun Lu!", ucap Gua sambil menarik kerah kemeja seragamnya.
Lalu beberapa mahasiswa lain memisahkan kami, dua orang menahan tubuh Gua dan menariknya menjauh.
"Kita lanjutin di luar kampus Jing!", ucap laki-laki yang baru saja Gua hajar. Gua menyeringai kepadanya. "Dengan senang hati..", jawab Gua.
Ini yang Gua tunggu, melampiaskan emosi dengan berkelahi adalah hal yang paling baik, begitulah pikir Gua saat itu.
Singkat cerita Gua dan laki-laki tadi serta beberapa mahasiswa sudah keluar dari kampus, kami berada di sebuah gang yang diameternya kurang dari lima meter. Kinan ikut dan meminta Gua untuk tidak berkelahi, tapi apalah artinya jika Gua sudah emosi seperti ini, jelas Gua tidak menghiraukan Tante Gua itu.
Tanpa banyak bicara lagi, si laki-laki yang menjadi lawan Gua, sebut saja namanya setipen. Berlari dari arah depan dan melayangkan beberapa pukulan kearah wajah Gua, entah bukan maksud merendahkan, tapi kenyataannya ini orang emang gak ada dasar bela diri, posisi memukul dan kudakudanya tidak ada yang bagus, jelas Gua dengan mudah menghindari setiap serangannya, lalu ketika Gua berhasil bergeser ke kiri, dengan cara mengayunkan tubuh dengan menunduk sedikit... Buagh... satu pukulan tangan kanan Gua tepat mengenai telinga kanannya.
Sebelum dia semakin doyong ke kiri, Gua langsung menarik tangan kanannya dan Sedetik kemudian Palkup Dollyo Chigi Gua berikan tepat kearah rahangnya.
Setipen terjatuh dan memegangi rahangnya seraya meringis kesakitan, Gua yang sudah kalap langsug menyepak wajahnya dengan ujung sepatu pantofel yang tepat mengenai hidungnya. Baru saja akan Gua injak-injak dia punya wajah, pelukkan Kinan dari arah depan membuat Gua menghentikkan perkelahian.
"Udaah.. Udah Za, udaah..", teriak Tante Gua sambil menangis. "Lepas Kak", ucap Gua dingin.
"Udaaahh.. Dia cowok aku Za!", balas Kinan sambil menatap wajah Gua. Gua menaikkan satu alis sambil memandangi Kinan. "Oh.. Looser..", balas Gua. Plaak! sebuah tamparan dari Kinan tepat mengenai pipi Gua.
Gua hanya tersenyum lalu melepas pelukkan Kinan dengan kasar dan pergi menjauh, meninggalkan mereka.
... The Devil in My Mind... Hari itu Gua pulang kuliah tidak langsung ke rumah, melainkan mengarahkan mobil ke ancol. Gua duduk di atas pembatas jembatan kayu, dengan sebatang rokok yang telah Gua hisap dan sebotol JD di tangan menemani kesuntukkan dan emosi Gua di sore ini. Menenggak minuman yang rasanya tidak pernah Gua sukai tapi apalah pedulinya, dengan kondisi hati yang sudah bimbang dan kesalahan yang sudah Gua perbuat malah membuat syetan dalam diri ini menghasut semakin gencar.
Gua memang tidak bisa berfikir realistis lagi ketika apa yang sudah Gua coba lupakan malah hadir kembali, seolah-olah Gua mampu menghadapinya, beralasan untuk meminta penjelasannya, tapi dibalik itu semua perasaan yang masih ada di dalam hati ini malah keluar dan menyeruak dengan ganasnya, tanpa bisa Gua tahan. Dan disinilah Gua berada, di persimpangan jalan, yang seharusnya Gua bisa memilih untuk melangkah di jalan yang benar, menggenggam tangan istri Gua dan berjalan beriringan. Tapi di sudut lain, ada Vera yang berdiri di jalan lainnya. Seolah-olah dia menunggu Gua, walaupun kenyataannya tidak seperti itu. Gua buta akan hal tersebut, Gua menampik kalau Vera menolak perasaan Gua dan mengingatkan Gua bahwa Echa lah yang tepat mendampingi Gua.
Setengah botol minuman beralkohol sudah habis Gua minum sendiri. Ketika cahaya senja menyeruak dan menyinari pantai ini, Gua turun dari pembatas kayu lalu berjalan pelan meninggalkan sejuta harapan bangsaatt di langit-langit senja sore itu. Gua melewati sekumpulan remaja yang duduk di jembatan kayu, lalu menghentikan langkah ketika mereka semua memperhatikan Gua. "Hei.. Mau ?", tawar Gua sambil menyodorkan botol minuman kepada mereka.
Mereka hanya menatap Gua tanpa menjawab. Lalu Gua tersenyum lebar. "Tangkep..", ucap Gua sambil melemparkan botol tersebut pelan ke arah salah satu remaja.
Dengan tekejut dan gelagapan tangannya menangkap botol JD itu dan mendekapnya di dada. Lalu Gua kembali membalikkan badan dan berjalan meninggalkan mereka, baru beberapa langkah Gua mendengar ucapan terimakasih, Gua hanya menanggapinya dengan mengacungkan ibu jari tinggi - tinggi tanpa berbalik kearah mereka dan tetap berjalan.
Langkah kaki Gua terhenti saat melihat satu, dua, tiga, empat. Ya empat cecunguk yang berdiri menatap Gua dengan tajam dari arah berlawanan, dari keempat cecunguk itu ada seorang lelaki yang hidungnya mengenakan perban, yap, Setipen bajingaan, seorang looser yang tadi siang Gua hantam. "Woi, kali ini Lo gak bakal selamet! Abis Lo sekarang!", teriak Setipen.
Beberapa pengunjung pantai yang melihat mereka dan Gua secara bergantian mulai menyingkir, merapat ke pembatas jembatan di atas sisi pantai ini.
Gua tersenyum kepada mereka, lalu melepaskan jas kampus dan melemparnya ke samping, Gua menggulung lengan kemeja hingga sesiku. Rokok yang hampir habis Gua hisap dalam-dalam lalu menghembuskannya keatas, betapa congkaknya saat itu Gua mengingat hal tersebut. Gua selipkan rokok di mulut ini, lalu Gua rentangkan kedua tangan dan memberikan gesture kepada keempat cecunguk itu, maju Lu semua..
Sedetik kemudian mereka berlari menghampiri Gua, lalu ketika salah satu dari mereka sudah mendekat, Gua ambil rokok dari selipan mulut dan menyentilnya kearah wajah salah satu cecunguk itu.
"Aaaahh..", teriaknya ketika bara rokok tepat mengenai kelopak matanya.
Gua berlari dan langsung menendang perutnya dengan keras. Satu cecunguk terjatuh. Dua cecunguk menerjang langsung dari kanan depan dan kiri Gua. Beberapa pukulan menghantam tubuh Gua, sedangkan kedua tangan Gua melindungi wajah sambil bergerak mundur. Setelah jarak Gua cukup, Gua tangkap tangan cecunguk kedua yang berada di kiri dan menariknya lalu kedua jari Gua tepat menusuk kedua bola matanya, dan Gua melemparnya ke cecunguk tiga yang berada di kanan, sedetik kemudian Gua menghajar perutnya dan keduanya terjatuh saling menindih. Cecunguk pertama yang sudah bangun menerjang Gua dan langsung menendang pinggang ini, Gua tersungkur dan menahan tubuh ke pembatas jembatan kayu.
Sebelum dia kembali menendang, dua orang remaja lelaki langsung menyerangnya. Dan terjadilah perkelahian yang cukup seimbang, karena sekarang, Gua malah dibantu oleh remaja tanggung yang tadi sedang berkumpul dan Gua berikan minuman.
Gua hanya tertawa ketika ketiga cecunguk itu kewalahan melawan enam orang remaja tanggung, habis sudah mereka dianiaya oleh anak abg.
"Cukup cukup Bro.. Udah udah, kasian tuh Mas Mas nya pada kelojotan", ucap Gua sedikit berteriak kepada remaja itu yang masih menginjak-injak tubuh cecunguk cecunguk.
"Banci mereka Bang, beraninya keroyokan", ucap salah satu remaja kepada Gua.
"Udah gak apa-apa, thanks Bro udah bantuin Gua, hehehe..",
"Dah biarin aja mereka, sekarang tinggal urusan Gua sama satu cecunguk di sana", lanjut Gua sambil menunjuk Setipen yang memang dari tadi hanya berdiri tanpa ikut berkelahi.
"Udah Bang biar kita aja yang ngabisin".
"Ssstt.. Udah, udah selesai kok, dah minum lagi sana, nih sekalian kalo mau beli kacang sama nambah minumannya", ucap Gua menepuk bahu satu remaja yang masih emosi, lalu Gua mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan memberikannya.
"Wah, banyak amat Bang..".
"Jajanin aja, hahahaha... Dah ya.. Thanks", Gua berjalan meninggalkan mereka sambil menendang wajah para cecunguk yang sudah terkapar.
"Makasih Baang", teriak para remaja itu lagi.
Dan sekali lagi, Gua hanya mengangkat ibu jari tanpa menengok kepada mereka di belakang sana. Gua mengambil jas kampus dan kembali berjalan mendekati si Setipen. Tapi... Ah lelaki macam apa yang kabur dan berlari tanpa mencoba bertarung. Ya, kekasih Tante Gua itu berlari dan memilih menghindar. Kampret! Dasar looser. Btw, untung kamu gak menikahi cecunguk looser kampret yang gak punya tytyt itu Nan.. Hahahahhaaha.
Gua sudah malas untuk mengejarnya, toh besok juga bertemu lagi dengannya di kampus kalau memang masih belum puas.
... Pukul delapan malam lewat, Gua baru sampai di rumah, Echa menyambut kepulangan Gua dengan wajah yang tekejut dan khawatir ketika membukakan pintu kamar.
"Astagfirulloh Eza! Kamu kenapaaa..?", ucapnya khawatir.
"Hmm..", Gua melewatinya lalu masuk ke dalam kamar dan melemparkan tas serta jas sembarangan.
Lalu Gua berdiri dihadapan cermin kamar sambil membuka dasi. Istri Gua berjalan cepat dan berdiri tepat di samping kanan Gua. Wajahnya khawatir, sangat khawatir.
"Za.. Kamu kenapa " Berantem sama siapa ?".
Gua hanya menggeleng pelan sambil melepaskan dasi dan melemparnya ke lantai. Lalu membuka kancing kemeja.
"Za, berantem sama siapa " Dimana " Kenapa " Itu pipi kamu biru, bibir kamu berdarah... Tunggu tunggu, aku ambilin air hangat..".
"Cerewet!!", jawab Gua dingin.
Echa bergegas keluar kamar menuju dapur. Gua melemparkan lagi kemeja dan kaos dalam ke lantai kamar, lalu mengambil handuk dari lemari pakaian dan masuk ke dalam kamar mandi di kamar Gua ini.
Gua memutar keran shower dan seketika kucuran air membasahi kepala Gua dan mulai merata keseluruh tubuh ini. Fak! Perih juga ternyata luka di bibir karena hantaman salah satu cecunguk yang sempat masuk dan melukai bibir Gua hingga berdarah. Lalu ketukkan dari luar pintu kamar mandi terdengar nyaring.
"Sayang, buka dulu, jangan mandi dulu, biar aku bersihan lukanya sayang..", teriak istri Gua dari luar kamar mandi.
Gua tidak menanggapinya, lalu Gua mulai mengambil sabun dan membersihkan tubuh ini karena terasa lengket, beberapa kali Gua sedikit meringis ketika menyabuni pinggang dan bagian lengan, karena ternyata di situ lumayan bengkak akibat hantaman yang Gua terima tadi. Selesai mandi dan mengeringkan tubuh, Gua keluar dari kamar mandi lalu menuju lemari pakaian lagi.
"Za.. Ini baju sama celananya", ucap Echa dari samping Gua seraya menyodorkan pakaian kepada Gua.
Lalu Gua mengambilnya dan dengan cuek membuka lilitan handuk yang menutupi bagian bawah tubuh ini di depan istri Gua.
"EH.. Eh.. Iiih..", Echa terkejut lalu memalingkan wajahnya kearah lain dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Gua mengenakan sempak tapi entah kenapa otak Gua yang memang sedang dijilati oleh iblis ini mungkin mulai rusak. Karena melihat istri Gua yang malu-malu itu, timbul niatan iseng Gua. Tanpa mengenakan pakaian luar, Gua berjalan menuju kasur dan rebahan diatasnya. "Loch " Kok cuma pake celana dalem Za ?", tanya istri Gua terheran. "Sini Cha..", panggil Gua.
Lalu Echa mengambil pakaian bersih yang berada di lantai, yang tadi ia berikan untuk Gua pakai dan berjalan menghampiri Gua.
"Ini pakai dulu baju sama celananya sayang", ucapnya sambil duduk di sisi kasur. Gua menarik sedikit kasar tangan kirinya lalu tubuhnya terjatuh di atas tubuh Gua. "Eh.. Kenapa Za ?".
Gua mendengus pelan lalu menyeringai. "Naik sini", perintah Gua. "Eh..", wajahnya merona merah malu.
Lalu Gua mencium bibirnya dengan sedikit kasar, istri Gua memundurkan wajah dan menghindar. "Kok bau alkohol Za... Kamu abis minum ya "!", tanyanya sambil kembali duduk.
Gua bangun dan beringsut ke samping istri Gua. "Iya.. Kenapa emang heum ?", tanya Gua balik tepat di telinganya.
Istri Gua memundurkan lagi wajahnya, menjauh sambil menutup hidungnya. Tanpa Gua pedulikan, Gua mendorongnya untuk rebahan di atas kasur dan menindihnya. "Aaa... Ezaaa.. Gak mauuu iiihhh..", teriaknya.
"Udah nyerah aja sih.. Biasanya juga minta nambah", balas Gua yang langsung membuatnya terdiam dengan wajah yang sangat merona karena malu.
PART 61 Rintikan hujan di luar rumah masih terdengar nyaring, apalagi ini memang bulan november. Hawa dingin karena sudah malam hari, hujan yang turun dan di tambah kipas angin yang berputar di atas langit-langit kamar Gua ini tidak bisa membuat tubuh kami berdua kedinginan. Setelah apa yang kami lakukan sebelumnya, peluh keringat mengucur dan membasahi tubuh kami berdua.
"Sayang..huft", ucap istri Gua masih mencoba mengatur nafas dengan posisi menyandarkan kepalanya ke dada Gua.
"Heum ?", Gua pun masih terengah-engah.
"Kamu... Habis berantem sama siapa ?", tanyanya dengan nada suara yang pelan dan nafas yang masih naik-turun.
"Pacarnya Kinanti..".
Gua merasakan kepala istri Gua bergeser, dan kini wajahnya agak menyerong lalu sedikit mendongak kearah wajah Gua. Walaupun Gua tidak menatapnya tapi Gua bisa merasakan bahwa matanya kini sedang memandangi wajah Gua.
"Kok bisa " Ada masalah apa ?", tanyanya penuh penekanan.
Gua mendengus kasar lalu memejamkan mata. Bayangan ketika Gua dimarahi oleh Tante Gua tadi siang di kantin kampus langsung terlukis jelas di otak ini, kemudian berbalik menjadi Gua yang tidak terima hingga membanting gelas ke lantai.
"Aku berantem sama Kinan awalnya. Dan pacarnya gak terima..", jawab Gua tidak menjelaskan secara rinci.
"Kenapa bisa sampai berantem sama Kinan " Kamu ada masalah sama dia ?", nada bicara istri Gua sangat terdengar hati-hati.
Akhirnya Gua ceritakan segala kekesalan Gua siang tadi hingga Gua berada di Ancol. Istri Gua mendengarkan tanpa sedikitpun mengintrupsi, ketika Gua bercerita, dada Gua sedikit naik turun karena kembali emosi, apa yang dilakukan Echa " Dia mengelus lembut dada ini.
"Sabar ya Za, jangan kayak gitu lagi, banyakin ucap isthigfar, kasian Kinan kamu marahin sampe lempar gelas gitu... Apalagi... Kamu pukulin pacarnya", ucapnya setelah mendengar cerita Gua dengan tetap mengelus dada ini.
Gua hanya menghembuskan nafas secara perlahan, memejamkan mata untuk sekedar menurunkan tensi emosi yang Gua rasakan. Lalu tangan kiri Gua mendekap kepala belakang Echa dan mengecup keningnya.
"Maaf, maafin aku ya Cha..", ucap Gua pada akhirnya. Gua melirik kepada Echa yang sedang tersenyum.
... Keesokan paginya, Gua sedang menikmati kopi hitam di depan kamar, duduk di sofa teras ditambah goreng pisang yang istri Gua masak sendiri. Hari ini istri Gua ada kuliah, dia juga sudah rapih dan bersiap untuk berangkat ke kampus. Sebelumnya Echa sempat menelpon Kinan sehabis shalat subuh, dia meminta maaf atas kelakuan Gua kemarin siang kepadanya dan pacaranya. "Kamu berangkat jam berapa Za ?", tanyanya sambil mengenakan cardigans.
"Sebentar lagi Cha, kamu mau berangkat sekarang ?", tanya Gua balik sambil mengangkat gelas kopi dan meminumnya.
"Iya, aku ada kuliah jam setengah sembilan, janjian juga sih sama temen untuk ngomongin tugas di perpus", jawabnya.
"Yaudah ayo bareng, pakai mobil aku aja ya, nanti sore aku jemput ke kampus kamu lagi".
Gua mengambil tas dan jas dari dalam kamar, kemudian keluar lagi dan mengunci kamar dari luar. Nenek masih membersihkan halaman rumah dari daun-daun yang berguguran akibat hujan angin tadi malam. Gua memanaskan mobil lalu Gua dan istri pamit untuk berangkat kuliah kepada Nenek.
Sekitar pukul delapan pagi Gua sudah sampai di kampus, tentunya setelah mengantarkan Echa terlebih dahulu. Gua memarkirkan mobil dan berjalan melewati taman, di salah satu bangku taman Gua melihat Kinan sedang duduk dan mengobrol dengan Setipen. Gua menghampiri mereka dan berdiri tepat di hadapan mereka berdua.
"Maaf soal kemarin", ucap Gua tanpa basa-basi seraya mengulurkan tangan kepada Kinan.
Kinan dan Setipen hanya memandangi Gua dengan terheran dan bingung. Lalu Gua menghela nafas pelan dan mencoba untuk tersenyum.
"Maaf kelakuan aku yang udah emosi, dimaafin atau enggak ?", ucap Gua lagi kepada mereka.
Setipen mengangguk kepada Kinan, lalu Tante Gua itu menyambut tangan Gua. "Iya, aku maafin, tapi jangan gitu lagi Za.. Janji ?", ucap Kinan.
Gua tersenyum. "Janji", jawab Gua.
"Mmm.. Pen, sorry ya.. Perlu ganti uang berobat gak ?", tanya Gua kali ini kepada Setipen. "Eh.. Hehhe gak usah Za, tapi traktir kita berdua nanti siang di kantin ya", jawab Setipen.
Gua terkekeh pelan lalu mengangguk. "Yaudah, Gua masuk dulu ya ke kelas, duluan Kak..", ucap Gua kepada mereka berdua lalu pergi menuju kelas.
Perkuliahan hari ini Gua jalani dengan baik, Gua duduk bersama Lisa, sambil mendengarkan dosen di bawah sana menerangkan mata kuliah, Lisa mulai kepo menanyakan perkelahian antara Gua dan Setipen di kantin kemarin, ya mau tidak mau Gua menceritakannya kepada teman kelas Gua yang satu itu.
Siangnya Gua sudah berada di kantin untuk mentraktir Tante Gua dan pacarnya, tidak ada lagi dendam di antara kami bertiga, selesai makan bersama kedua pasangan kekasih tersebut, Gua pergi duluan untuk menikmati sebatang rokok di taman kampus. Tidak lama setelah selesai merokok, Gua kembali ke kelas untuk kembali mengikuti perkuliahan, kali ini Gua duduk bersama Mat Lo. Seperti biasa tidak ada hal yang menarik untuk Gua ceritakan ketika berada di dalam kelas. Ditambah dosen saat itu terkenal galak dan tidak suka melihat mahasiswa/i nya yang tidak memperhatikan beliau. Gua mencoba untuk tidur di dalam kelas, dengan menaruh tas di atas meja lalu membuka jas dan merebahkan kepala diatasnya. Baru beberapa menit rasanya Gua hendak tidur, hp Gua bergetar di saku celana.
Gua merogoh hp dan melihat layarnya dari bawah meja, entah nomor siapa yang menelpon karena tidak muncul nama kontaknya. Karena Gua malas dan Gua fikir orang salah sambung, jadi Gua masukkan lagi ke saku celana tanpa mengangkatnya sekalipun, hingga getarannya hilang dengan sendirinya. Tapi beberapa detik kemudian, hp Gua bergetar lagi, sampai entah berapa kali, akhirnya hp Gua bergetar sebentar tanda sms masuk.
Gua kembali mengeluarkan hp dan membuka isi pesan yang baru saja masuk.
Quote:Percakapan via sms :
unknown : Maaf, ini nomor suaminya Echa bukan ya ". Gua mengerenyitkan kening membaca sms tersebut, siapa kira-kira yang mengirim pesan ini.
Gua : Ini dengan siapa " Tau darimana nomor saya ".
unknown : Maaf Mas, saya teman kampusnya Echa, mau kasih tau kalo Echa masuk rumah sakit Mas.. Ini suaminya kan ".
Gua terkejut melihat balasan sms tersebut.
Gua : Iya saya suaminya, istri saya kenapa " Dia masuk rumah sakit dimana " Tolong sms-in ruangan dan alamatnya. Trims.
Gua langsung memasukkan hp ke saku celana lagi, dan membereskan semua buku yang ada di atas meja lalu memasukkannya ke dalam tas.
"Hei hei.. Mau kemana Za " Maen beresin buku aja Lu, itu dosen masih ngajar", ucap Mat Lo yang memperhatikan Gua.
"Istri Gua masuk rumah sakit", jawab Gua sambil menyelempangkan tas ke tubuh lalu menyabet jas dan berdiri.
Gua menuruni tangga kelas dan menghampiri dosen yang keheranan menatap Gua mendekatinya.
"Mohon maaf Pak, saya harus izin pulang, karena istri saya masuk rumah sakit", ucap Gua tanpa basa-basi.
Dosen Gua menurunkan sedikit kacamatanya lalu menatap Gua lekat-lekat. "Anda sudah menikah ?", tanyanya santai.
Gua mengangguk cepat sambil meremas tali tas di depan dada. "Iya Pak, saya sudah menikah, Pak saya pamit ya, maaf..", jawab Gua tanpa memperdulikan jawabannya.
Gua berbalik badan dan menuju pintu kelas, sempat mendengar dosen tersebut mengucapkan 'hatihati dijalan'.
Gua langsung berlari ke parkiran dan masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Sebelum Gua berangkat, Gua mengecek lagi hp dan membuka sms dari teman kampus Echa. Setelah membaca dengan seksama alamat rumah sakit tersebut, Gua langsung mengarahkan mobil keluar kampus dan menuju rumah sakit.
Setengah jam lebih Gua sampai di rumah sakit dan berlari kecil kearah bagian informasi, setelah menanyakan letak IGD, Gua kembali berlari kecil kearah ruangan yang ditunjukkan, sesampai di depan ruangan, Gua melihat Resti dan satu teman kampus lainnya.
"Za..", ucap Resti ketika Gua sudah sampai dihadapannya. "Res, Echa gimana " Dia masih di dalem ?", tanya Gua dengan panik.
Resti mengangguk. "Iya lagi ditanganin sama dokter kayaknya Za, dia pingsan tadi pas lagi beli makanan di kantin", jawabnya.
"Kenapa ?". "Gue juga enggak tau kenapa Za, udah di bawa ke ruang perawatan kampus tapi Echa belum siuman juga, jadi Gue inisiatif bawa dia ke sini sama Irma", jawabnya lagi sambil melirik kepada seorang perempuan satu lagi.
"Irma..", ucap perempuan tersebut sambil mengajak bersalaman. "Oh iya, Reza.. Suaminya Echa", balas Gua sambil menyambut jabatan tangannya. "Mudah-mudahan dia gak apa-apa Za", ucap Resti.
Gua menghela nafas pelan lalu mengangguk. "Iya, aamiin.. Eh makasih banyak ya Resti, Irma, udah mau nolongin Echa..", ucap Gua kepada mereka berdua.
"Gak apa-apa Za, Echa kan teman kami", jawab Resti lagi.
Gua tersenyum kepada mereka lalu kami bertiga duduk di bangku besi depan ruangan IGD ini. Resti dan Irma kemudian kembali menceritakan kenapa Echa bisa pingsan, menurut mereka, ketika Echa sudah memesan makanan dan membawa piring makanan untuk kembali ke meja kantin, dia langsung jatuh lalu seketika itu juga tidak sadarkan diri.
Fikiran Gua kembali menerawang, mengingat sosok istri Gua, mencoba mengingat dirinya memiliki penyakit atau hal lainnya, tapi Gua tidak menemukan satu pun kejanggalan pada istri Gua, dia selama ini sehat-sehat saja, dan Gua hanya bisa berharap kalau pingsannya Echa hari ini karena dia kekurangan asupan makanan dan tenaga.
"Keluarga Ibu Elsa ?", ucap seorang perawat yang melongok keluar dari ruangan di depan kami bertiga.
Gua berdiri lalu menghampirinya. "Ya, saya suaminya", jawab Gua. "Oh mari silahkan masuk Mas..", ajaknya seraya membuka pintu lebih lebar.
Gua pun masuk ke ruangan tersebut mengikutinya berjalan dari belakang. Hawa dingin ruangan langsung menerpa permukaan kulit Gua. Gua menyapukan pandangan dan melihat ada beberapa orang yang terbaring di atas ranjang ruangan ini, yang kanan dan kirinya dibatasi oleh tirai berwarna hijau tosca.
Gua sudah berdiri di sisi ranjang, dimana istri Gua berbaring dan sudah siuman, dia sempat tersenyum kepada Gua dengan wajah yang pucat, raut wajahnya tampak lemah. Seketika itu juga hati Gua terenyuh dan sedih melihat Echa seperti ini. Gua pegang tangan kanannya dan mengelus punggung tangannya pelan.
"Jadi, Mba Elsa ini tekanan darahnya turun drastis", ucap seorang perawat atau dokter lah Gua tidak tau.
"Penyebabnya apa ya Dok ?", tanya Gua.
"Kalau dugaan sementara, sepertinya Mba Elsa mengalami penurunan tensi darah, tapi tidak perlu dikhawatirkan, ini biasa terjadi, kecuali dikemudian hari dia kembali pingsan secara mendadak lagi, baru kita lakukan tahap diagnosa dan check up lebih mendalam", jawabnya.
"Mmm.. Apa tidak perlu dilakukan check up sekarang Dok ?", tanya Gua lagi.
"Sebenarnya tidak perlu, tapi jika Mas dan Mba nya mau mengajukan check up bisa saya ambilkan forms pendaftarannya".
Gua menatap istri Gua, lalu membelai keningnya yang tertutup sedikit rambut bagian depannya itu. "Di cek aja ya Cha, biar kita bisa yakin kalo kamu gak punya penyakit apapun", ucap Gua kepada Echa.
Istri Gua menghela nafas pelan lalu tersenyum dan mengangguk. "Iya sayang, aku nurut kamu aja", jawabnya.
Gua ikut tersenyum mendengarnya, lalu dokter tadi mengambil kertas form pendaftaran dan memberikannya kepada Gua, setelah itu Gua mengisi forms tersebut dan memberikannya ke bagian informasi atau kasir lah. Setelah memberikan form pendaftaran tersebut, Resti dan Irma masuk ke dalam ruangan untuk menengok Echa.
"Mm.. Sayang aku keluar dulu sebentar ya, kamu ditemenin Irma dan Resti dulu di sini", ucap Gua. "Kamu mau kemana ?", tanyanya.
"Aku mau ambil uang dulu di ATM, buat bayar biayanya".
"Emm.. Itu ambil aja di tas aku, pakai debet aku aja Za", ucapnya sambil menunjuk tas miliknya yang dipegang oleh Resti.
"Udah gak usah, pakai uang aku aja, sebentar ya", jawab Gua seraya berlalu.
Lalu setelah meminta Resti dan Irma menunggu Echa di IGD ini, Gua keluar menuju area depan rumah sakit. Sampai di atm center, Gua langsung menarik beberapa rupiah untuk membayar keperluan administrasi rumah sakit. Beres menarik uang, Gua menuju mini market di sebrang jalan, sekedar membeli camilan dan minuman dingin untuk kedua teman istri Gua itu. Beres belanja makanan, Gua kembali ke ruang IGD.
"Ini Res, Ma, lumayan untuk ganjel perut hehehe..", ucap Gua sambil memberikan kantung plastik berisi makanan dan minuman kepada Resti.
"Loch, repot-repot segala Za, makasih ya", jawab Resti.
"Enggak apa-apa, nanti kalo udah selesai baru deh kita makan di kantin rumah sakit ya, hehehe", ucap Gua lagi.
"Iih gak usah Za, kita udah makan di kampus tadi, tuh Echa yang belum makan ma", jawab Irma kali ini.
Gua melirik kepada istri Gua yang sedang tersenyum, lalu tidak lama kemudian seorang perawat menghampiri kami.
"Maaf ini pasien atas nama Elsa Ferossa sudah bisa dilakukan check up sekarang, sebelumnya silahkan membayar administrasinya dulu di kasir", ucapnya.
"Oh iya Mas, saya ke kasir dulu kalo gitu..", jawab Gua.
Lalu Gua menuju kasir dan menyelesaikan biaya pendaftaran, kemudian memberikan bukti pembayaran tersebut kepada perawat tadi. Istri Gua yang masih lemah di angkat dan di dudukkan ke kursi roda, lalu perawat wanita mendorongnya ke bagian laboratorium atau ruang check up, Gua dan kedua temannya mengikuti dari belakang hingga kami masuk ke dalam lift dan keluar di lantai dua. Setelah keluar dari lift, Gua, Irma dan Resti menunggu di luar ruangan, sementara Echa masuk bersama perawat wanita tadi ke dalam ruang check up. Cukup lama kami menunggu Echa di check up.
Kami bertiga hanya mengobrol ringan, Gua mendengarkan cerita Irma dan Resti tentang kegiatan istri Gua di kampus, yang awalnya aktif dalam berorganisasi kini sudah mulai dikurangi keikutsertaannya semenjak menikah dengan Gua. Gua sempat berfikir apakah alasan sebenarnya karena dia merasa letih atau jangan-jangan memang mengidap sakit, tapi kedua temannya bilang sepertinya istri Gua adalah wanita yang sehat, terbukti selama ini dia baru pertama kalinya pingsan. Dan alasan sebenarnya ia mulai mengurangi kegiatan di kampus karena dirinya merasa harus lebih memberikan waktunya mengurus suami dan keluarga kecilnya.
Gua menghela nafas pelan setelah mendengarkan cerita Resti dan Irma, seketika itu juga hati Gua bergetar, mengingat sosok istri Gua yang sangat mementingkan keluarga kami, rumah tangga kami semenjak menikah. Gua menyesal telah memperlakukan istri Gua dengan kasar kemarin pagi hingga tadi malam, Gua memang brengsekkk dan bodoh ketika membiarkan emosi menguasai hati ini, sampai istri Gua yang tidak memiliki salah sedikitpun harus terkena imbasnya.
Masih menunggu di depan ruangan, seorang perawat wanita yang mengantar istri Gua tadi membuka pintu ruangan di depan kami, diikuti istri Gua berjalan keluar sambil tersenyum. Gua dan kedua temannya langsung berdiri.
"Terimakasih ya Mba, nanti saya kembali lagi ke sini", ucap istri Gua kepada perawat tersebut.
"Sama-sama, semoga lekas sembuh ya Mba, jangan lupa hasilnya baru bisa di ambil tiga hari lagi", jawab si perawat.
Setelah perawat wanita tadi kembali masuk ke dalam ruangan dan menutup pintunya, Gua mendekati Echa.
"Gimana sayang ?", tanya Gua.
"Alhamdulilah gak apa-apa kayaknya", jawabnya sambil tersenyum dan mengaitkan tangan kirinya ke lengan Gua.
"Kok kayaknya Cha ?", tanya Gua bingung.
"Iya, kan hasilnya baru keluar nanti, tiga hari lagi Za. Nanti kita ambil ke sini lagi hasil diagnosa nya", jawabnya lagi.
"Hmmm.. Berarti masih gak jelas dong", ucap Gua cemas.
"Enggak kok, enggak apa-apa.. Tadi aku sedikit ngobrol sama dokternya di dalam, ya walaupun dia bukan ahli penyakit tertentu, tapi katanya selama ini kalo kasus pingsan itu hal yang biasa, bukan berarti punya penyakit yang serius, dan emang sih.. Aku tadi pagi gak sarapan kan.. Hehehe", jawabnya lagi seraya terkekeh.
"Ah iya!", Gua menyadari sesuatu,
"Dari semalam kita belum makan Cha, ah aku baru inget, yaudah kita langsung makan aja dari sini ya.. Eh tapi kamu boleh makan kan " Gak ada pantangan ?", tanya Gua lagi.
Echa menggeleng cepat seraya terkekeh. "Enggak kok, aku udah boleh makan apa aja, gak ada larangan apapun hihihi..".
Singkat cerita kami berempat sudah berada di sebuah tempat makan yang menyediakan menu gudeg jogja di daerah depok. Setelah makanan pesanan kami tersaji di atas meja makan, kami pun langsung menyantapnya. Beres makan dari sini, Irma dan Resti pamit pulang duluan, sedangkan Gua dan Echa pun tidak lama pergi dari sini setelah membayar makanan. Sampai di parkiran kami berdua langsung masuk ke dalam mobil Gua dan pulang ke rumah.
... ... ... Lima hari kemudian Gua lupa untuk mengambil hasil medical check up istri Gua sampai pulang dari kampus. Ketika itu Gua bertanya kepada Echa di kamar Gua.
"Sayang, aku lupa ambil hasil lab kamu kemarin-kemarin..", ucap Gua. "Oh aku udah ambil kok dari kemarin, hihihi.. Maaf ya aku juga lupa ngabarin kamu". "Loch udah diambil ternyata, mana hasilnya aku liat..", pinta Gua.
Echa menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Aku enggak apa-apa, hasilnya juga bagus kok gak ada penyakit apapun", jawabnya.
Gua mengerenyitkan kening, sedikit tidak percaya dengan ucapan Echa. "Serius ?". "Iya serius, lagian hasil lab nya ada di rumah Papah, eh aku bikin kopi dulu ya, kamu belum ngopi kan, sebentar ya", jawabnya lalu berdiri dan melangkah keluar kamar.
Gua mendengus kasar, Gua yakin Echa menutupi hasil medical check up sebenarnya kepada Gua. Lalu Gua memilih untuk mandi sementara pikiran Gua menerka-nerka hasil medical tersebut. Selesai mandi, Gua membuka lemari pakaian dan mengambil baju.
"Sayang, aku taruh depan ya kopinya", ucap Echa seraya melewati kamar dan keluar ke depan teras. Gua hanya mengangguk. Kemudian dari ambang pintu kamar, istri Gua kembali memanggil. "Za, Abis isya, mau gak kita makan di bento", ucapnya dari sana.
Gua membalikkan badan karena membelakanginya. "Tumben " Boleh kok, sebentar ya aku ganti baju dulu", jawab Gua.
Echa mengangguk cepat sambil tersenyum lebar lalu kembali berlalu dari pintu kamar, mungkin duduk menunggu di sofa teras.
Gua yang awalnya hendak mengenakan pakaian santai tidak jadi memilih pakaian tersebut, Gua mengambil celana jeans pendek untuk pergi bersama istri nanti, Gua tarik celana jeans yang sudah lama tidak Gua kenakan dan posisinya ada di paling bawah tumpukkan celana. Lalu... Pluk sebuah map amplop cukup besar berwarna putih dan berbahan licin jatuh ke lantai.
Gua berjongkok dan mengambilnya, Gua melihat sisi depannya, di sana tergambar sebuah logo rumah sakit yang lima hari lalu Gua datangi. Lalu Gua membuka tali map tersebut dan menarik keluar selembar kertas yang cukup lebar, Gua menbacanya dengan seksama, walaupun Gua tidak paham arti kata yang tercetak di kertas tersebut, tapi di sisi kanan ada kolom yang menyatakan negatif atau positif, dan setelah Gua baca ternyata kebanyakan negatif, sampai kolom paling bawah Gua mengerti kalau ternyata istri Gua tidak berbohong, di sana tercetak bahwa istri Gua nihil dari penyakit apapun, normal.
Gua tersenyum lalu memasukkan lagi kertas tersebut ke dalam amplop besarnya, tapi rasanya ada yang mengganjal, Gua tidak dapat memasukkan kertas tersebut karena terasa tertahan sesuatu, Gua memasukkan tangan ke dalam amplop dan mendapatkan sebuah amplop lainnya, amplop yang berukuran lebih kecil. Gua membuka amplop yang lebih kecil itu dan mengambil kertasnya. Kembali Gua membaca isi kertas tersebut. Gua tercekat, suara Gua tertahan sedangkan jantung Gua mulai berdegup kencang, tangan dan jemari Gua bergetar membaca isi kertas tersebut. Disana tertulis nama istri Gua dengan lengkap, dan sebuah hasil dari diagnosa atau sebuah test kesehatan lain. Apalagi ini " Jantung Gua berdegup, tanpa Gua sadari mata Gua mulai berkacakaca... Tidak percaya dengan hasil yang tertulis di kertas tersebut.
PART 62 Malam hari Gua dan Echa sedang berlari kecil dari area parkiran mobil menuju resto bento yang berada di depan kami. Kami berdua berdiri di depan pintu resto seraya menyeuka butiran air yang membasahi pakaian kami masing-masing, lalu Gua membuka pintu kaca tersebut yang kemudian istri Gua berjalan masuk ke dalam. Kami berdua mengantri sambil melihat gambar menu yang terpampang di atas depan sana.
"Kamu mau apa sayang ?", tanya istri Gua tanpa menoleh ke belakang.
Lalu Gua mendekati tubuhnya, memeluknya dari belakang dan melingkarkan kedua tangan ke depan perutnya. Echa menoleh ke kiri ketika wajah Gua bersandar ke wajahnya.
"Aku mau beef yakiniku sama shrimp dumpling nya..", jawab Gua sedikit berbisik. "Mm... Kamu kenapa " Kok tumben " Malu tau Za diliatin orang tuh", ucap istri Gua menahan tawa. "Biarin aja dikata apalah sama mereka, sama istri sendiri ini", jawab Gua sambil memejamkan mata. "Eh, kamu beneran aneh deh, ada apa sih ?".
Gua hanya menggelengkan kepala, lalu melepaskan pelukkan ketika orang yang berada di depan Echa sudah maju beberapa langkah jauhnya.
"Tuh, maju lagi Cha..", ucap Gua seraya menunjuk kedepan.
Gua dan Echa mengambil nampan, lalu mulai menunjuk menu yang kami inginkan, setelah kami menerima menu dari pelayan resto, istri Gua menuju kasir dan membayar makanan kami berdua. Lalu Gua duduk di meja bagian luar resto bersama istri, duduk berhadapan. Tanpa menunggu lama lagi, setelah selesai mengucapkan do'a makan, kami menyantap makanan masing-masing karena memang belum makan dari sore, huehehehe...
Gua menaruh sendok setelah menghabiskan sup, lalu mengambil tissu dan mengelap bibir ini, istri Gua belum selesai menghabiskan makanannya. Gua berdiri sambil membawa gelas minuman berisi teh ocha yang dingin.
"Loch mau kemana Za ?", tanya istri Gua.
Gua tersenyum lalu berjalan dan duduk kembali di kursi kosong yang jaraknya hanya dua meja dari meja makan istri Gua berada. "Aku ngerokok dulu di sini", jawab Gua lalu membakar sebatang rokok.
Kemudian istri Gua kembali melanjutkan makannya.
Gua menghisap rokok dalam-dalam lalu menghembuskannya keatas sambil memandangi sosok wanita yang sedang asyik menyantap makan malamnya itu. Memandanginya dari jarak yang kurang lebih tujuh meter. Parasnya yang ayu dan meneduhkan itu sungguh terlihat bertambah cantik. Rambutnya yang mulai memanjang, kini sudah sampai sebatas punggung bagian atas, berwarna hitam legam. Lalu senyumnya, ya senyumnya itu senyum ketulusan, ketulusan sebuah cinta yang selalu ia curahkan untuk Gua, dari awal membuka mata hingga memejamkan mata lagi.
Tidak pernah sedikitpun terlintas bahwa Gua benar-benar akan menikahinya saat ini. Dia yang hanya menjadi teman kecil Gua, sahabat kecil Gua, dan Teteh Gua selama ini malah menjadi pendamping hidup Gua yang sah.
Gua menyesal, sangat menyesal atas perlakuan Gua yang kelewat emosi beberapa minggu lalu. Apalagi setelah mengetahui hasil surat keterangan lab dari rumah sakit tentang kondisi istri Gua. Membuat Gua tidak bisa memikirkan hal lainnya, kecuali nama dia yang ada di fikiran ini, Elsa Ferossa.
Gua menyadari bahwa Elsa benar-benar tulus dan terlalu baik menerima Gua selama ini. Memang Gua tau dari dulu dia sudah memiliki hati yang sangat sabar menghadapi Gua, dari mulai menunggu cintanya terbalas, melihat Gua memacari wanita lain, melihat kelakuan buruk Gua, dan sampai pada akhirnya setelah kami menikah pun dia harus rela melihat suaminya masih mencintai sosok wanita lain. Dan puncaknya, dia harus menerima perlakuan kasar setelah Gua emosi karena memikirkan wanita yang bernama Vera.
Gua terlalu bodoh dan buta untuk bisa menyadari kehadirannya yang selama ini bisa membimbing Gua ke arah yang lebih baik, dan setelah Gua membaca kondisi dirinya tadi sore di kamar. Hati dan logika Gua pun akhirnya sejalan, setuju bahwa dia, istri Gua adalah sosok yang harus Gua perjuangkan, menjaganya dengan setulus hati, mencintainya dan berusaha menerima segala kekurangannya. Tapi, apa yang kurang dari sosok wanita itu, sepertinya tidak ada, dia terlalu sempurna, setidaknya bagi Gua.
Kami memang baru menikah selama tiga bulan, dan segala kehidupan rumah tangga kami masih panjang untuk kami jalani bersama, dan karena itulah, mulai sekarang, Gua akan berubah untuknya, menerima segala keadaan ini dan berusaha membahagiakannya, apapun caranya, akan Gua lakukan untuk kebahagiaan Elsa, seperti saat Gua memperjuangkan cinta untuk Vera.
Kamu adalah hidup dan matiku sekarang Cha...
... ... ... Awal bulan desember, Gua dan Echa di hari libur kuliah sedang jalan-jalan ke seaworld, entah mungkin karena kami bosan main dan pergi ke mall terus atau hanya sekedar nonton film di bioskop, tiba-tiba saja terlintas untuk pergi ke tempat wisata hewan laut ini. Sekitar pukul sepuluh pagi kami berdua sudah berada di dalam seaworld dan takjub dengan segala apa yang kami lihat. Kalau Gua ingat-ingat Gua baru dua kali ke seaworld, dulu sekali, saat Gua masih TK bersama Kakek dan Nenek Gua, kedua saat ada studi tur dari SD, waktu itu juga Gua bersama Echa dan Rekti cs kesini. Dan ini adalah kunjungan ketiga Gua, bersama istri tercinta.
"Ikan parinya gede banget ya Za..", ucapnya ketika kami melihat ikan pari yang berukuran besar melintas di atas kami.
"Iya, eh itu ikan hiu Cha..", ucap Gua menunjuk kearah lain.
"Eh iya, itu kan ganas ya, kok mereka akur ya, hiu nya gak memangsa ikan lainnya ?", tanya istri Gua lagi.
"Mungkin besanan Cha..". "Besanan " Maksudnya ?".
"Ya kali aja anak ikan pari nikah ama anaknya si Hiu, makanya adem ayem, itung-itung silaturahmi gitu".
"Hahaha.. Apaan sih, mana ada yang kayak gitu Za, kamu ma suka ngawur gitu deh", jawab istri Gua sambil memukul pelan bahu ini.
Gua tersenyum melihatnya tertawa, ya apalagi sih kebahagiaan suami selain bisa membuat istri tercinta bahagia, walaupun hanya sekedar tertawa seperti tadi dan jalan-jalan seperti ini. Kalau tolak ukur kebahagiaan adalah materi, sejujurnya Gua belum bisa membahagiakannya, karena ya Gua belum bisa mencari nafkah dengan bekerja langsung. Memang sih Gua memiliki usaha, kontrakan tanah dan sebuah barber shop yang baru saja Gua buka berkat bantuan Unang dan Icol, tapi rasanya akan berbeda jika Gua sendiri yang turun tangan untuk bekerja.
Sisi lain dari istri Gua adalah dirinya bukanlah tipe wanita yang suka menghamburkan uang, padahal kehidupannya sangatlah berlimpah materi, tabungan pribadinya malah melebihi tabungan milik Gua. Apalagi saat belum menikah dengan Gua, apapun yang ia minta ke orangtuanya pasti diberikan, tapi Echa bukanlah orang yang seperti itu, dia hanya meminta ketika apa yang menjadi haknya, misal biaya kuliah atau kebutuhan alat penunjang perkuliahannya. Okelah, Gua beri tau saja disini. Echa itu mengambil jurusan arsitektur, dan baru Gua ketahui dengan secara tidak sengaja ketika melihat pekerjaannya di laptop saat dia masih mandi, Gua melihat bentuk bangunan rumah yang mana kelak akan di bangun di atas tanah pemberian Papahnya.
Rumah impian ya " Wajarlah menurut Gua, setiap manusia pasti memiliki rumah dengan bentuk bangunan yang diimpikan, tidak terkecuali kami berdua, lebih tepatnya Echa sih, dia sudah mulai mendesain sendiri rumah impian yang ingin dibangun dan kami huni kelak. Dan atas segala apa yang sudah kami miliki, Gua menyetujui sarannya menggabungkan tabungan kami sebagian untuk membangun rumah tersebut, dan awal januari 2008 nanti baru akan mulai dibangun.
Sekalipun dia tergolong orang berada secara materi, Echa tidak pernah menuntut kepada Gua untuk hidup foya-foya, kadang kala kami pun hanya memakan ikan asin yang disandingkan dengan sambal goreng, yang penting sih jangan pakai terasi, karena Gua tidak suka dengan baunya, hahaha...
Setelah lelah berjalan-jalan di dalam seaworld, kami pun keluar dan pergi ke sebuah rumah makan khas sunda untuk makan siang. Selesai menyantap makanan dan perut sudah terisi penuh, Echa mengajak Gua untuk pergi ke sebuah toko musik.
Singkat cerita kami berdua sudah berada di toko musik, tapi bukan toko musik yang menyediakan alat musik dan sebagainya, melainkan toko musik yang menjual kaset, cd dan vcd musik atau lagu. Echa membeli dua cd band barat ketika itu, yang keduanya sama.
"Cha, kok belinya dua " Band yang sama pula " Untuk apa ?", tanya Gua ketika kami sedang membayar di kasir.
"Enggak apa-apa, biar sekalian, takut ilang satu atau rusak, jadi masih ada satu lagi, hehehe..", jawabnya.
Beres membayar dan keluar dari toko musik tersebut, kami langsung masuk ke dalam mobil dan pulang menuju kota kami.
Di dalam perjalanan, Echa mengambil kepingan CD musik yang ia taruh di mobil Gua ini, lalu memasukkannya ke audio player mobil.
"Kamu suka lagu ini ?", tanya Gua ketika mobil baru memasuki jalan tol.
"Bukan lagunya aja, tapi bandnya juga hihihi, sebenernya udah lama aku suka sama band ini, dari album pertama aku koleksi tapi album yang tadi aku beli hilang waktu aku bawa ke kampus, sebel jadinya..".
"Oooh pantes langsung beli dua ya " Hmmm.. Dasar". "Gitu deh hahaha, eh dengerin ya musiknya, enak-enak loch lagunya". "Ini my chemical romance kan ?", tanya Gua ketika lagu mulai melantun dari audio player.
Echa mengangguk seraya menoleh kepada Gua dan tersenyum. "Iya, enak kan lagunya, kamu harus dengerin dari album yang pertama Za, enak-enak kok, apalagi arti liriknya hehehe...", jawabnya.
"Aku pertama kali denger lagu band ini yang helena, waktu itu jadi soundtrack film house of wax Cha..", ucap Gua.
"Oh iya, lagu itu kan debut internasionalnya, jadi soundtrack film house of wax, waktu kita masih SMP deh kalo gak salah".
"Iya, tahun dua ribu limaan kalo gak salah Cha",
"Ngomong-ngomong kamu bisa suka musik genre kayak gini ya " Aku fikir kamu suka yang melow gitu".
"Kan selain vokalisnya cakep, lagunya juga enak di denger, aku suka sama semua lagunya..", jawabnya lagi.
"Ngomong-ngomong kenapa gak dengerin album yang baru kamu beli tadi ?". "Lagi pingin denger lagu ini sama kamu", jawabnya sambil tersenyum. "Ini tumben gak terlalu keras " Judulnya apa ?".
"Early sunsets over monroeville".
"Baru denger, dari album three cheers for sweet revenge kah ?".
"Bukan, ini dari debut album mereka, i brought you my bullets, you brought me your love".
... ... ... Di lain hari, Gua sedang menelpon Sandhi, sahabat masa SMA Gua yang kini kuliah di Bandung. Gua meminta tolong kepadanya untuk mencarikan dan membelikan sebuah tiket. Karena Gua tidak berpengalaman mencari dan membeli sebuah tiket event musik, maka Sandhi lah yang sudah berkecimpung di dalam band indie labels pasti lebih mudah mencari tiket tersebut. Setelah mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya, ternyata tidak butuh lama untuk Sandhi mengirimkan Gua dua tiket keesokan harinya, ia mengirim tiket tersebut via pos.
Tiket konser musik sudah di tangan Gua, lalu Gua menyimpannya secara sembunyi agar istri Gua tidak tau. Kemudian setelah memfotokopi surat keterangan hasil lab beberapa waktu lalu, kini rencana tambahan pun Gua jalankan, sepulang kuliah Gua sudah janjian bersama dosen Gua yang memiliki cafe di ibu kota ini. Yap, Pak Boy, Gua menemuinya di cafe, lalu setelah mengutarakan niat Gua dan Pak Boy malah lebih antusias daripada Gua sendiri, segala persiapan matang pun di tulis dengan matang oleh dosen Gua yang satu itu, dia mencatat segala ide yang ada di otak Gua untuk besok malam.
Pagi harinya Gua berangkat kuliah seperti biasa, dan hari ini Gua meminta Echa untuk tidak membawa mobil sendiri.


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Emang kamu pulang jam berapa sayang ?", tanyanya karena ia tau kalo jam pulang kuliah Gua biasanya lebih lama dari dirinya.
"Jam dua siang juga udah selesai hari ini ma Cha, jadi bisa jemput kamu, hehehe...", jawab Gua. "Oh, yaudah oke deh", jawabnya.
Lalu kami berdua pun berangkat pagi itu untuk menuntut ilmu di kampus kami masing-masing. Setelah mengantarkan Echa ke kampusnya, Gua pun mengebut mobil milik istri Gua di jalan tol untuk menuju kampus Gua.
Hari itu sebenarnya Gua masih ada mata kuliah bahasa inggris jam dua siang sampai setengah empat sore, tapi ya demi hari ini, Gua kabur satu matkul gak apalah hehehe... Jam dua lewat Gua berangkat lagi ke kampus Echa, sekitar pukul tiga sore Gua sudah menunggunya di parkiran depan gedung fakultas istri Gua. Sambil santai membakar sebatang rokok, Gua berdiri di depan kap mobil. Cuaca memang mendung hari ini, apalagi ini penghujung tahun.
Sekitar lima belas menit kemudian Gua melihat istri Gua berjalan dari arah gedung fakultasnya bersama Resti dan Irma. Dia melambaikan tangan kepada Gua seraya tersenyum. Gua membalas lambaian tangannya lalu membuang rokok. Gua membuka jas kampus dan melipatnya di tangan ini. Semakin dekat istri Gua berjalan, semakin tersenyum bibir ini melihatnya. Lalu ketika sudah mereka bertiga sampai di hadapan Gua, Echa meminta izin kalau kedua teman kampusnya itu ingin ikut nebeng sampai jalan raya, Gua menyetujuinya lalu kami semua naik ke mobil milik istri Gua yang memang saat ini Gua pakai.
Setelah kedua temannya turun di pinggir jalan, Gua mengajak Echa untuk pergi ke sebuah mall di jakarta pusat.
"Tumben Za, mau beli apa ?", tanyanya.
"Mmm.. Nonton aja ya, hehe.. Lagi pingin nonton nih", jawab Gua. "Emang ada film apa ?".
"Mmm.. Gak tau sih hehe, liat disana aja ya, gak apalah dadakan sekali-kali". "Hmmm.. Aneh, gak biasanya kamu dadakan ngajak nge mall", ucapnya heran.
Gua hanya bisa menahan tawa dan bahagia. Karena sebenarnya kan tujuan utama Gua malam hari nanti, jadi ya ini cuma sekedar membunuh waktu saja sih. Sampai di mall tersebut dan melihat film yang akan tayang di hari ini ternyata tidak ada yang membuat istri tercinta Gua tertarik sama sekali, ya mungkin mood menonton filmnya sedang tidak bagus. Jadi pilihan selanjutnya adalah mengitari mall ini, kalau perlu Gua anterin dia ke toko tas deh.
"Sayang, tuh toko tas, mau masuk gak ?", tanya Gua seraya menunjuk toko tersebut.
Echa mengehentikan langkahnya lalu Gua pun ikut berhenti dan menengok kepadanya. "Kenapa sayang ?", tanya Gua.
"Hmm... Kamu yang kenapa Za " Kok hari ini aneh banget kayaknya", tanyanya balik.
Gua tersenyum kepada istri Gua yang termanis dan tercantik nan baik hati itu. "Ada deeeh.. Hehehe.. Yuk masuk ke situ", jawab Gua sambil merangkul pundaknya.
Walaupun wajahnya masih kebingungan karena sikap dan tingkah Gua yang aneh ini, Gua tetap cuek dan mengajaknya masuk ke dalam toko tas tersebut. Sesampainya di dalam ternyata dugaan Gua salah, ah entah kenapa dia malah benar-benar kurang semangat padahal ini barang-barang yang dia suka semua, iya tas, tas wanita. Tapi kok mood nya lagi gak bagus ya daritadi, hmmm.. Gua sabar aja sampai waktunya tiba deh.
Sampai akhirnya kami berdua keluar toko tas ini, istri Gua tidak tertarik dengan semua model yang di pajang, sungguh aneh, aneh banget malah, seolah bulan terbelah empat kalau Echa bisa sampai gini, ada apa gerangan ini wanita satu.
"Sayang, kamu kok tumben gak mau beli tas " barang sebiji gitu ?", tanya Gua heran. Echa hanya menggeleng cepat lalu berjalan meninggalkan Gua dengan ekspresi wajahnya yang bete. Laaah kenapa lagi ini bini Gua satu. Bingung banget tiba-tiba jadi bete gitu.
"Sayang, kamu kenapa ?".
"Enggak apa-apa".
"Serius nih, kok cemberut sih " Itu toko tas loch.. Tas.. Tas Cha.. Taaasss..". "Hm...".
Weh " Beneran ini dia bete. Hadeuh, cewek tuh yaaa.. -_- "Kamu mau apa " Beli sepatu ya " Baju " Celana " Cangcut " Beha ?". plak Lengan kanan Gua dipukul pelan tapi wajahnya bete parah.
"Aku mau es krim aja! Huh!", jawabnya jutek sambil memalingkan muka lalu berjalan cepat dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Gua hanya terkekeh pelan sambil menggaruk pelipis melihat tingkahnya yang aneh sore ini. Dikasih pilihan beli barang yang dia suka malah pingin ice cream, yoweslah. Singkat cerita Gua sudah membelikannya dua scoops ice cream rasa vanilla di mix dengan chocolate. Sambil menyuapinya ice cream, Gua kembali bertanya kenapa dia bete.
"Kamu kenapa sih " Kok bete ?".
"Aku tuh.. Laper tau!!", jawabnya.
Somvlak bener Gua jadi laki, lupa bini sendiri belum makan dari pulang kuliah sampe sore gini, pantesan aja doi ngambeuk. Hampura sayang... Hadeuh.
"Waduh maaf maaf, yaudah yaudah kita ke foodcourt ya sayang, yuk makan yuk..", ajak Gua. "Enggak mau! Maunya ke mall yang itu, yang ada japanese foodnyaaaa.. Huuuh!", rajuknya.
Wah gawat, bisa berantakan ini rencana Gua kalo ngajak dia makan masakan jepang duluan.
"Euu.. Kan jauh sayang dari sini, mending makan yang ada dulu aja ya, oke " Kita makan apa aja dulu ya, nanti pulangnya kita mampir ke situ ya, di bungkus oke " Ya ya ya ?".
"Huh! Bener ya " Pulangnya beli " Di bungkus dua loch!".
"Jangan dua, sepuluh bungkus aku beliin deh, yang penting sekarang makan dulu yang lain ya hehehe..".
"Awas kalo boong! Yaudah ayo, aku laper nih!".
Aman terkendali, Gua pun akhirnya mengajak Echa ke lantai atas lagi, dimana foodcourt berada. Saat itu Gua hanya memesan cheese burger sedangkan Echa awalnya ingin memesan soto jakarta, tapi dengan berbagai alasan Gua melarangnya, agar dia membeli makanan pengganjal perut saja dulu. Akhirnya dua cheese burger di pesan untuk kami berdua. Karena waktu sudah menunjukkan pukul lima lewat, Gua pun mengajak Echa memakan burger sambil jalan lagi, beralasan takut macet di jalan. Ketika kami baru turun di lantai dua, tidak jauh dari toko tas sebelumnya, Echa berhenti melangkah, melihat-lihat sebuah perhiasan yang terpajang dan terlihat dari luar toko. Gua menghampirinya sambil merangkul bahunya.
"Bagus ya ?", tanya Gua.
Echa mengangguk sambil menggigit burger yang berada di tangannya. "Mau ?", tanya Gua lagi.
Echa mengunyah makanan di dalam mulutnya lalu menengok kepada Gua dan tersenyum lebar sambil memejamkan matanya.
"Heum " Mau beli ?", tanya Gua lagi.
"Mau, tapi enggak mau kalau pakai uang tabungan kamu", jawabnya. "Loch " Kenapa ?".
Echa menyandarkan kepalanya ke dada Gua. "Aku mau dibeliin barang apapun, satuuuu aja, tapi dari hasil kerja kamu nanti, gak perlu yang mewah Za..", jawabnya pelan namun cukup membuat dinding di dalam hati Gua runtuh seketika.
Gua terdiam, tidak bisa mengatakan apapun, rasanya dunia Gua berhenti berputar, ucapan ah bukan bukan, melainkan keinginan istri Gua itu memicu jiwa dan raga Gua untuk bisa membuktikan bahwa Gua mampu dan sanggup membelikannya sesuatu dengan jerih payah Gua sendiri. Ya, Gua pasti mengabulkan keinginannya. Pasti, dan Gua berjanji ketika itu, berjanji kepada diri Gua sendiri juga Tuhan. Bahwasannya, suatu hari nanti apa yang diinginkan istri Gua ini akan Gua beli dengan hasil jerih payah dan keringat Gua. Yeah, i will...
Gua masih menatap cincin yang terpajang di dalam toko itu ketika istri Gua memanggil karena dia sudah berjalan duluan tadi. "Hey, ayo jalan.. Kok bengong ?", ajaknya.
Gua tersadar lalu tersenyum menatap cincin tersebut, dalam hati Gua berkata. Suatu hari Gua akan kembali dan membeli 'kamu'.
Kami berdua sudah berada di dalam mobil, tapi Gua mengarahkan mobil ke jalan raya yang mengarah ke bagian jakarta lainnya bukan kearah tol untuk pulang.
"Loch.. Kok ke sini Za " Kan kita mau pulang " Mau ke mall itu beli makanan juga", tanya Echa.
Gua tersenyum dan mengelus rambutnya dengan tangan kiri. "Iya, kita mampir dulu ke cafe ya, di sana makanannya enak kok, aku jamin. Pak Boy dosen aku pemilik cafenya", jawab Gua.
Echa hanya bisa mengangguk tanda setuju dengan ajakkan Gua. Kami berdua sempat berhenti dulu di masjid ketika adzan maghrib berkumandang lalu melaksanakan ibadah tiga raka'at. Selesai shalat maghrib, kami melanjutkan perjalanan menuju cafe dosen Gua. Singkat cerita, pukul tujuh malam kami sudah sampai di cafe tersebut. Gua yang memang sudah janjian dengan Pak Boy dan beberapa karyawannya yang sudah Gua kenal langsung diarahkan ke meja khusus, meja dengan set-up berbeda karena sudah Gua request sebelumnya, dan di tata sedemikian rupa.
"Za, ini... Ini sih candlelight dinner..", ucap istri Gua seraya melihat semua dekorasi yang ada di meja itu.
"Yaa, semacam itulah, hehehe..", jawab Gua. "Kamu sengaja mesen ini semua " Ada acara apa ?".
Gua menggelengkan kepala pelan lalu tersenyum menatapnya. "Nanti juga kamu tau, untuk apa ini semua".
Tidak lama kemudian seorang waitress datang menghampiri dan langsung menyajikan satu porsi steak dengan sauce mushroom kesukaan istri Gua di hadapannya, dan satu porsi lagi dengan sauce barbecue untuk Gua sendiri. Nah untuk minuman Gua enggak mungkin memesan wine seperti makan malam waktu sama Mba Siska, jadi Gua hanya memesan air mineral dingin dan orange juice kesukaan istri Gua juga.
"Acara apa sih Za ?", tanya Echa lagi setelah semua hidangan sudah tersaji di atas meja. "Nanti juga kamu tau, udah ah, ayo baca do'a dulu ya, kita makan dulu yuk", ucap Gua.
Selesai membaca do'a sebelum makan, kami berdua mulai menyantap hidangan malam ini. Gua mulai senang dalam hati, karena Echa makan sambil melirik kepada Gua terus dengan senyuman yang ia tahan. Ah, kamu belum aja liat kejutan selanjutnya sayang, ucap Gua dalam hati.
Beres memakan hidangan utama, tersaji lagi menu penutup, cake cokelat yang berbalut parutan kelapa, lamington cake. Selesai menyantap cake dan semua hidangan sudah habis, it's show time.
Gua menyalakan korek dan mengangkatnya cukup tinggi seraya tersenyum kepada pelayan laki-laki dekat meja resepsionisnya, lalu dia memberikan simbol oke dengan jarinya, sedetik kemudian seorang pelayan membawakan se-bucket bunga mawar merah yang bercampur mawar putih lalu diberikan kepada Gua, dan dua orang lain mulai memainkan gitar mereka masing-masing lalu mulai bernyanyi, membawakan salah satu lagu favorit istri Gua, 'Early sunsets over monroeville' dari My Chemical Romance.
Gua memegang se-bucket bunga mawar, lalu Gua bersimpuh di samping kursi dimana istri Gua duduk. Echa terperangah lalu menyerongkan duduknya kehadapan Gua.
"Sayang, maaf atas segala kesalahan yang udah aku buat selama ini, aku benar-benar menyesal.. Maafin aku ya Cha", ucap Gua.
Echa masih tersenyum lalu mengangguk cepat. "Iya sayang, aku maafin kamu, aku maafin kamu Za, tapi.. Ini semua berlebihan, untuk apa sampai begini ?".
"Enggak ada yang berlebihan kok sayang.. Ini... terima bunga ini ya", ucap Gua lalu menyodorkan sebucket bunga mawar kepadanya yang langsung ia terima dan di dekapnya.
Lalu Gua mengeluarkan secarik amplop berwarna putih polos dari saku jas dan memberikannya lagi kepada istri Gua. Dia mengerenyitkan kening sambil menatap dan membolak-balikkan amplop tersebut. "Ini apa Za ?", tanyanya.
"Buka aja, tapi robeknya hati-hati jangan sampai isinya kesobek ya".
Lalu dengan hati-hati Echa membuka amplop tersebut dan mengeluarkan tiga lembar kertas dari amplop tersebut. Pertama dia membaca dua kertas yang sama bentuknya, isi yang sama, dan warna yang sama, lalu mulutnya terbuka dan segera ia tutupi dengan satu tangannya dengan mata yang terbelalak tidak percaya.
"Eza! Seriously Za "!", ucapnya sedikit berteriak.
Gua terkekeh melihatnya terkejut seperti itu. "Itu asli, aku gak bercanda.. Hehehe..", jawab Gua.
"Ya Alloh.. Aku aja gak inget kalo bulan depan mereka konser di sini... Ya ampun Ezaaaa! Ya Alloh, aku seneng bangeeettt... Makasih sayang.. Makasih banget... Makasih sayangkuuu..", ucapnya seraya menarik kedua tangan Gua agar bisa memeluk Gua.
Lalu kami pun berpelukkan, Gua mendekapnya cukup erat. "Cha.. I love you so much..", ucap Gua masih memeluknya.
"I love you too Za.. More than your love..", balasnya.
Lalu Gua melepaskan pelukkan dan menatap ke meja, tepatnya kearah satu kertas terakhir yang belum sempat ia baca. Lalu Echa menyadari hal tersebut dan mengambilnya, tanpa perlu ia baca sampai habis, sebuah kertas fotocopy-an itu dia lempar kearah dada Gua sambil berteriak. "Aaaaaaa..... Liiciiiikkk!!! Eza maaa iiiihhh!!!", teriaknya sambil memukuli dada Gua pelan.
Gua tertawa terbahak-bahak, tak perduli dengan kehadiran pengunjung lain. Karena hari ini, malam ini, Gua sangat bahagia, sangat teramat bahagia.
Gua memeluk istri Gua lagi, lalu berbisik dengan airmata yang mulai turun dari sudut mata dan membasahi pipi Gua. Hati Gua begetar meluapkan kebahagiaan ini.
"Sayang, terimakasih untuk buat dunia aku menjadi lebih sempurna.. Aku bahagia, sangat bahagia atas apa yang kamu kasih selama ini dan besyukur memiliki istri seperti kamu, maaf atas segala yang udah aku lakuin ke kamu... ",
"Dan mulai sekarang...",
"Aku akan berusaha untuk selalu membuat kamu bahagia, aku janji, demi kamu dan... Anak kita".
PART 63 Desember 2007, di penghujung tahun Gua dan istri sedang merayakan syukuran kecil-kecilan atas kehamilan anak pertama kami. Hanya bersama Papah dan Mamahnya saja kami makan bersama di halaman belakang rumah mertua Gua itu. Ya, semacam barbeque party untuk menikmati malam pergantian tahun.
Bersama kembang api yang meletup yang terang benderang dengan indahnya di atas langit malam itu, kami menikmati makan bersama. Alhamdulilah keceriaan dan kebahagiaan sangat terasa di tengah-tengah kami semua.
"Jadi sebenarnya kamu sudah hamil dari bulan kemarin sayang ?", tanya Papahnya kepada anak tercintanya itu.
Istri Gua mengangguk seraya tersenyum manis kepada sang Papah. "Iya, aku tuh mau kasih kejutan untuk Eza, aku mau kasih tau dia pas hari ulang tahunnya minggu depan... Eh taunya dia malah tau duluan dan kasih aku kejutan duluan juga, huuuh.. Gak asyik kamu", ucap istri Gua sambil mencolek pipi ini.
Gua hanya tersenyum lebar lalu terkekeh kepada Echa.
"Ya, mulai sekarang kamu harus jaga kesehatan dan kondisi badan dengan baik ya sayang, sudah ada janin di perut kamu", ucap Mamah mertua Gua kepada putri tercintanya itu.
"Iya Mah, ini Eza juga jadi cerewet banget sekarang, hihihi..", jawab istri Gua sambil melirik kepada Gua yang duduk di sampingnya.
"Iya gak apa-apa, selama itu untuk kebaikan kamu Nak..", timpal Papahnya, "Oh ya, ehm.. Ini sebagai rasa bahagia dan syukur Papah atas hamilnya Elsa, lusa rumah kalian sudah mulai di bangun", lanjut Papah mertua Gua sambil tersenyum lebar.
Gua dan istri saling menengok, kami terkejut mendengar ucapan Papah. "Mm.. Sebelumnya terimakasih banyak Pah, tapi.. Eza rasa biar Eza dan Echa aja yang urus pembangunan rumah itu, berikut biayanya Pah..", jawab Gua.
Lalu bahu Gua dipegang oleh tangan lembut Mamah mertua. "Za, orangtua itu hanya ingin memberikan kebahagiaan untuk anak-anaknya walaupun semua kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang, tapi bukan berarti dengan uang kita tidak bisa mendatangkan kebahagiaan juga toh ?", ucap Mamah mertua Gua.
"Tapi, apa yang Papah dan Mamah berikan selama ini sudah lebih dari cukup untuk kami berdua, saya.. Saya merasa malu belum bisa menafkahi istri saya dengan baik..", jawab Gua dengan perasaan yang tidak karuan.
"Za, selagi orangtua mampu dan masih bisa memberi, tidak ada salahnya, bukan berarti kami memanjakan kalian berdua, ini adalah sebagai bentuk rasa sayang kami kepada kalian dan terutama untuk cucu kami kelak..", timpal Papah mertua lagi,
"Soal nafkah, suatu saat kamu akan bekerja toh, setelah lulus kuliah nanti kamu pasti menafkahi keluarga mu dengan hasil sendiri, nah sekarang biarkan orangtua yang membantu. Tidak ada larangannya Za, selagi kami mampu.. Tenang saja dan jangan difikirkan", lanjut beliau.
Kemudian Echa memegang punggung tangan kiri Gua seraya tersenyum dan mengangguk, meyakinkan diri ini agar menerima rezeki dari Tuhan.
... ... ... 31 januari 2008... Gua dan istri baru saja selesai melihat tahap awal pembangunan rumah di salah satu komplek perumahan yang tidak jauh dari rumah Nenek, dan rasanya Gua pernah ke daerah komplek ini, seperti dejavu mungkin, tapi entahlah kapan Gua pernah ke daerah sini. Setelah istri Gua berbicara dengan mandor bangunan perihal bentuk dan segala tetek-bengeknya, kami pun bertolak ke ibu kota untuk berpesta.
Gua mengendarai mobil milik Echa, saat itu kami masih dalam perjalanan di jalan tol. "Inget loch, gak boleh terlalu excited nanti di sana..", ucap Gua tanpa menoleh ke kiri.
Lalu tangan lembutnya diletakkan ke bahu kanan Gua. "Iya Ayaaah.. Cerewet deh dari semalem", ucapnya sambil terkekeh.
"Ya kan aku gak mau kenapa-kenapa sama kamu dan.. calon bayi yang ada di dalam kandungan kamu sayang", ucap Gua lagi mengingatkan kondisi kehamilannya.
"Hihihi.. Aku seneng tauu..", jawabnya.
"Heum " Seneng gimana?", tanya Gua menoleh sekilas kepadanya.
"Iya senenglah, semenjak aku hamil, kamu jadi berubah drastis.. Hihihi", jawabnya lagi.
Gua tersenyum lebar dan memindahkan tangan kiri dari kemudi ke perutnya yang masih rata itu. Memang belum nampak membesar karena usia kandungannya yang tergolong baru seumur jagung. Gua membelai lembut perutnya. "Maafin semua sikap aku selama ini sama kamu ya sayang", ucap Gua penuh ketulusan. Tangan kirinya berpindah dari bahu Gua, sekarang dia mengaitkan tangannya itu ke lengan Gua setelah membuka seatbelt yang melingkar di depan tubuhnya, lalu menyandarkan kepalanya ke sisi lengan kiri ini.
"I Love You sayang..", ucapnya dengan mata yang terpejam. Cup.. Gua kecup atas kepalanya sekilas dan langsung kembali fokus ke jalan.
"I Love You too sayang..".
Sekitar pukul setengah delapan kami telah ikut mengantri untuk memasuki plennary hall, setelah mengantri cukup panjang kami pun sudah berada di area festival, bersama penonton lainnya. Banyak, sangat banyak penonton yang datang untuk melihat aksi panggung band asal new jersey, amerika serikat ini, dan kebanyakan remaja. Gua sempat melihat beberapa artis yang datang ke konser ini, salah satunya Darius Sinatria bersama sang istri, mm.. Siapa ya, Donna Agnesia kalau gak salah. Apalagi Darius saat itu mengenakan kostum tengkorak, seolah-olah memadukan kostum dengan tema album yang tahun kemarin MCR rilis itu. Sekitar pukul delapan konser pun di mulai.
Menurut Gua pribadi, tata panggungnya tidak begitu wah, tapi cukuplah tertutupi dengan sounds yang ciamik. Mereka langsung menggebrak dengan memainkan lagu this is how i disappear, dan kami semua langsung menyambutnya dengan sorak-sorai gembira, teriakan dan sing all along dari penonton membuat sang vokalis semakin membakar semangat penonton dengan sangat atraktif. Lagu kedua yang mereka bawakan semakin membuat penonton di bagian paling depan menggila, lagu Dead, sampai membuat beberapa pihak keamanan harus menggotong penonton yang terhimpit akibat dorongan dari belakang dan merangsek keatas pembatas bagian depan sana. Setelah itu Gerard Way sempat mengingatkan untuk memberi ruang, agar tidak terlalu maju dan merangsek ke pagar pembatas. Baru lah mereka menghajar lagi lagu ketiga dengan membawakan I'm not okay (i promise).
Emosi penonton belum berakhir sampai disitu, saat lagu kesembilan, lagu yang paling hits dari album the black parade berkumandang, seluruh penonton ikut bernyanyi bersama setelah dentingan keyboard mulai mengalun, tidak terkecuali istri Gua yang ikut bernyanyi dengan antusias... Welcome to the black parade. Gua sampai harus menahan kedua bahunya ketika tanpa sadar dia ikut berjingkrak. Beberapa kali Gua menahannya, sampai akhirnya istri Gua malah memberikan wajah cemberut untuk suaminya.
Saat membawakan lagu Sleep, Gerard yang penuh emosi juga sampai berguling dan berbaring di atas panggung hingga lagu berakhir. Ditambah lagi dentingan keyboard James, additional keyboardist MCR itu ikut ambil bagian dengan penampilan yang memukau saat membawakan lagu Cancer. Lagu dengan irama yang lebih santai itu dibawakannya dengan sangat apik. Bagai menghipnotis penonton baik yang berada di arena festival maupun arena tribun. Penonton yang tadinya asyik berjingkrakan spontan menjadi sedikit lebih tenang mengikuti alunan musik sambil ikut melantunkan bait demi bait lagu tersebut. Dan konser ini harus berakhir di lagu kedua puluh, ditutup dengan lagu famous last world. Tidak kalah heboh dengan opening act nya, MCR pun membuat penampilan penutup dengan penuh emosi. Apalagi sang drummer, Bob Bryar menabuh drum penuh semangat hingga stik penabuh drum patah yang langsung dilemparkan ke belakang sambil berdiri dan meninggalkan panggung. Sekitar pukul setengah sepuluh konser ini berakhir. Berakhirnya konser ini pun disambut teriakan "we one more", teriak para penonton seolah tak ingin konser berakhir.
Kami keluar dari plannery hall bersama penonton lainnya, Gua memeluk istri Gua dari belakang sambil berjalan, menjaganya agar tidak terhimpit oleh sesaknya lautan manusia yang juga sudah ingin pulang.
... "Bandel ya, dibilang jangan loncat-loncat juga", ucap Gua sambil menyeuka keringat di keningnya dengan tissu.
"Hehehe.. Gak asyik tau kalo cuma diem aja.. Lagian gak sering ini...", jawabnya membela diri.
"Heum... Iya deh",
"Mau langsung pulang ?", tanya Gua. "Ini jam berapa ?".
Gua melirik jam tangan di pergelangan tangan kiri. "Jam sepuluh lewat lima menit..". "Hm.. Masih keburu gak ya..".
"Mau kemana emangnya ?".
Istri Gua ini terkekeh pelan seraya memegangi kedua tangan Gua. "'debay' nya pingin tempura...", jawabnya lalu menggigit bibir bagian bawah dan tersenyum.
Gua tertawa melihat tingkahnya itu. "Kamu ini ada-ada aja deh, dedek bayi dijadiin alesan, ini sih Emak nya aja yang pingin.. Dasar", ucap Gua seraya kembali tertawa.
Istri Gua hanya memeletkan lidah dengan mata yang terpejam lalu tertawa ketika Gua mendusel rambutnya dan mengajaknya meninggalkan Jakarta Convention Center ini.
Sampai di Mall yang ada salah satu resto japanesse food favorit istri Gua, ternyata mall nya sudah tutup, lampu di dalam mall terlihat sudah padam dari pinggir jalan, dimana Gua menghentikan mobil. Ya, mau tidak mau dengan sedikit rasa kecewa istri Gua memilih makan di tempat lain. Kami akhirnya makan di warung tenda, pecel ayam.
Sekitar pulul setengah dua belas malam kami sudah sampai di rumah Nenek. Selesai bersih-bersih dan mengganti pakaian tidur, kami pun beristirahat diatas kasur. Gua peluk istri Gua dengan lembut sambil memainkan rambut bagian atasnya.
"Makasih untuk hari ini sayang", ucapnya sambil melirik kepada Gua.
"Sama-sama Cha, makasih juga untuk kebahagiaan yang kamu kasih untuk aku", jawab Gua seraya tersenyum.
"Eh iya, kamu mau anak perempuan atau laki Za ?".
Gua terkekeh pelan, lalu memikirkan hak tersebut sebentar. "Mmmm... Perempuan aja deh, biar baik dan cantik kayak ibunya", jawab Gua sambil menoel hidungnya.
"Tapi kalau lahirnya laki gimana ?".
"Ya alhamdulilah juga, enggak apa asal jangan kayak bapaknya kelakuannya hehehe...", jawab Gua lagi sambil sedikit bergidik mengingat kelakuan absurd pada diri sendiri.
"Hahaha.. Dasar. Yang penting kita bisa ngajarin dia akhlak yang baik, dengan dasar agama yang kuat Za, insha Alloh jadi anak soleh..", ucap istri Gua sambil berbalik menghadap Gua dan membalas pelukkan Gua.
"Aamiin.. Semoga ya, mau laki atau perempuan yang penting sehat, dan jadi anak yang baik untuk semuanya", timpal Gua yang langsung di amini juga oleh Echa.
... ... ... Memasuki bulan februari 2008, usia kandungan Echa sudah memasuki bulan ketiga, dan pada bulan ini kami berdua mulai mendaftarkan istri Gua itu ke klinik bersalin. Untuk sekedar cek kondisi kandungannya. Echa dan Gua sepakat tidak ingin mengetahui jenis kelamin sang bayi yang ada di dalam rahimnya, sekalipun kami mengikuti program USG, tapi Echa mengatakan kepada dokter agar jangan memberitahukan jenis kelamin si bayi. USG tersebut hanya kami lakukan untuk melihat perkembangan calon buah hati kami, dari bentuk organ tubuh dan kesehatan sang bayi, tentu juga kesehatan istri Gua.
Alhamdulilah semuanya baik-baik saja, hingga usia kandungan bulan keempat kami menyelenggarakan syukuran. Pengajian yang di laksanakan di rumah Nenek saat sore hari di bulan maret itu di hadiri Mba Yu, Mba Siska, Rekti cs, Mba Laras dan juga Kinan, tentunya lebih banyak ibuibu pengajian dari teman Nenek. Selesai acara empat bulanan dan para ibu pengajian pulang, kini di rumah masih tinggal teman dan juga sahabat kami.
"Wah udah mulai keliatan ya perutnya De..", ucap Mba Yu sambil mengelus perut istri Gua. "Iya Mba, karena udah masuk empat bulan mungkin..", jawab Echa.
"Di jaga istri kamu Za, jangan suka main dan nongkrong terus.. Apalagi rokoknya, kurangin tuh..", ucap Mba Siska kali ini kepada Gua.
"Iya, ngerokok mulu kamu tuh Mas! Inget kesehatan istri kamu sama anak kamu nih..", timpal Mba Yu sambil melotot kepada Gua.
"Si Eza kayak kereta uap, berasep terus kalo soal ngerokok..", hajar Kinanti. "Emang! Susah dibilanginnya nih bocah atu", ngepet si Rekti ngapain ikut-ikutan.
"Diem Lu! Malah ikutan lagi.. Hadeuh!", sela Gua sambil menyikut perut Rekti dan langsung meringis pura-pura kesakitan tuh anak.
"Udah, yang penting kamu bisa ngurangin rokoknya Za, gak baik untuk kesehatan istri dan anak kamu, terutama kamu sendiri, inget almarhum Ayah kan, kena jantung karena apa ?", ucap Mba Laras, Ibu Gua.
Gua mengangguk pelan sambil mengingat sosok Ayahanda. Ya memang ternyata beliau meninggal dunia akibat serangan jantung, dan penyakitnya itu sudah lama di deritanya, hanya saja almarhum tidak memberitahukan keluarga, kecuali kepada istrinya, Mba Laras. Apalagi yang memicu penyakit tersebut selain cerutu dan rokok yang Ayahanda konsumsi selama ini. Huuufftt.. Ngeri sih, tapi susah Gais berhenti ngerokok tuh, Gua ampe pernah baca sih artikel di The Lounge yang judulnya, laki berhenti merokok, hebat.. Hebat beneran kalo bisa berhenti.. Kalo enggak " Ya ngebul aja terus ampe mamvus.. Hueehehehehe.
Malam harinya ketika semua sudah pamit pulang, kembali di rumah ini tinggal kami bertiga. Nenek, Gua dan istri Gua. Saat itu Nenek sudah berada di dalam kamarnya, sedangkan Gua dan Echa berada di sofa teras, duduk bersebrangan. Seperti biasalah, secangkir kopi hangat sudah menemani, sedangkan Echa menikmati teh manis hangat. Hanya obrolan ringan yang kami bicarakan saat itu, hingga beberapa lama kami mengobrol, topik pun berganti.
"Sayang.. Aku pingin kamu ngaji deh", ucapnya sambil tersenyum kepada Gua. "Ngaji " Ngaji gimana maksudnya ?", tanya Gua bingung.
"Ngaji untuk dia", jawabnya seraya mengelus perutnya sendiri. "Ooh iya iya, nanti malaman ya sehabis isya aja oke ?". "Iya, boleh gak apa-apa.. Hihihi", jawabnya lagi.
Tidak lama kemudian Gua dan Echa melaksanakan shalat isya berjama'ah di dalam kamar. Lalu setelah itu Gua menarik sajadah ke sisi kasur, dan mengambil kitab suci. Echa rebahan di atas kasur sambil memandangi Gua yang mulai membaca surat Yusuf. Lama Gua membaca surat tersebut, walaupun masih terbata karena belum lancar, tapi Gua yakin ALLAH SWT yang memiliki Maha Segalanya tau bahwa umatnya sedang berusaha untuk menjaga titipan-Nya. Ya, titipan yang Dia berikan pada kandungan istri Gua. Tidak ada hal baik yang ditolak oleh-Nya, Gua sempat mendengar ceramah di salah satu masjid ketika shalat jum'at, katanya, manusia yang baru saja akan melakukan niat baik sudah dicatat amalnya, itu baru niatnya saja belum benar-benar di laksanakan, apalagi jika kita melaksanakannya. So, insha Alloh, Tuhan mengerti apa yang umatnya butuhkan.
Gua melanjutkan bacaan ayat suci ke surat Maryam. Tetesan keringat yang membasahi kening Gua tidak mengendurkan mulut ini untuk melantunkan isi ayat tersebut, sambil memegangi perut istri Gua sedari awal. Setelah selesai hampir atau bahkan lebih dari satu jam lamanya Gua membaca kedua surat tersebut, Gua lihat Echa sudah tertidur.
Segala do'a Gua panjatkan untuk kebahagiaan keluarga kecil Gua ini. Berharap Sang Maha Pencipta merangkul keluarga Gua dengan segala kebahagiaan, menjaga kami semua dari hal buruk dan memohon agar keluarga ini selalu berada di jalan yang Dia ridhoi.
Gua tersenyum melihat istri Gua yang sedang terlelap dalam damai itu. Terpancar kebahagiaan dari raut wajahnya yang sedang terlelap, dalam damainya ia beristirahat, seolah-olah Gua melihat kalau tubuh dan wajahnya bersinar di gelapnya kamar ini. Tanpa terasa mata Gua pun berkaca-kaca.
* * * Cha, kamu adalah wanita terindah yang Tuhan berikan untuk mendampingi aku di dunia ini. Kamu adalah sosok manusia sempurna bagi ku, Cha.
Kamu lah tulang rusuk ku, Cha... Kamu lah peredam emosi ku, Cha... Kamu lah bidadari ku, Cha...
Dan untuk semua yang telah kita lalui, Semoga cinta ini kekal abadi untuk selamanya... Ya, untuk selamanya.
Terimakasih atas segala pengorbanan kamu sayang.
I will always love you forever.. Until the end of the world " No.. Until we meet again in another dimension.
Selamat malam Echa, Istri ku...
PART 64 Empat bulan sudah umur janin yang berada dalam kandungan istri Gua di bulan maret ini, dan selama itu pula alhamdulilah Echa tidak ngidam apapun. Ya, entah itu hanya mitos atau sugesti, yang jelas istri Gua tidak mengalami hal tersebut. Tapi.. Ya ada tapinya, moodnya berubah, benar-benar berubah. Echa menjadi seorang wanita pencemburu, gak main-main cemburunya, sedikit saja Gua melirik wanita lain ketika kami sedang jalan di mall atau tempat umum, ini tangan dan pinggang Gua jadi sasaran cubitan melintirnya. Apalagi kalau sampai Gua berani kenalan atau menggoda wanita lain, wah alamat ngamuk dia. Jadi dalam masa kehamilannya, istri Gua cenderung ke perubahan sikap.
Satu lagi, dia selalu eneug, tau eneug kan " Mencium aroma tubuh Gua, gile bener deh, nyium aroma tubuh suami sendiri bikin dia mau muntah katanya. Padahal Gua abis mandi. Pernah Gua baru pulang kuliah, baru masuk kamar dan Echa sedang merapihkan lemari pakaian, Gua mendekatinya karena memang baru pulang, setelah Echa mencium tangan Gua, tubuh ini langsung didorong dan diarahkan ke kamar mandi, oke lah emang gak enak kali karena Gua baru pulang. Selesai mandi dan benarbenar wangi karena Gua sendiri mencium aroma sabun yang Gua pakai untuk membilas tubuh tadi, Gua keluar kamar dengan membalutkan handuk di tubuh bagian bawah, Echa masih membereskan lemari yang sedetik kemudian dia menengok kepada Gua. Apa yang terjadi " Seolah-olah Gua ini belum mandi dan masih bau katanya, Gua di suruh mandi lagi, etdaah.. Cewek tuh yaa..
Dua kali sumpah Gua beneran mandi lagi, sabunan lagi, keluar lagi setelah selesai, tapi apa " Itu istri Gua masih aja bilang eneug nyium aroma tubuh Gua, ckckckc... Keterlaluan. Pernah suatu hari, di saat kami akan istirahat, tidur di malam hari, Gua sudah bersih, mandi wangi, baju juga baru di ambil dari lemari, tiduran di sampingnya seperti biasa, eh dengan tidak ber-kepri-rumahtangga-an, Gua di dorong sampai jatuh ke lantai sama istri Gua sendiri, alasannya apalagi selain katanya eneug nyium aroma tubuh suaminya, tega bener deh.
Di lain hari, waktu itu Mba Laras sedang menginap di rumah Nenek, Echa memilih tidur bersama Ibu Gua daripada bersama Gua suaminya, alhasil Gua harus rela mengungsi ke kamar depan. Tidur sendirian, hiks.. Hiks.. Hiks..
Intinya, ngidam sih kagak, cuma yaaa.. You know lah ya.. Ekstra kesabaran dalam jiwa ini kudu harus selalu wajib dalam mode ON.
... Bulan april 2008, sudah dua minggu lebih alhamdulilah Mba Laras menemani istri Gua di rumah Nenek, awalnya dia pulang pergi setiap hari, tapi lama-kelamaan Mba Laras ikut menginap di rumah Nenek. Gua senang karena menjadi ramai di rumah Nenek saat ini, apalagi seminggu sekali Mamah mertua Gua terkadang menginap di sini. Biasalah kan ya, namanya juga hamil pertama, dan bakal ada cucu pertama juga, jadi perasaan sayang yang tercurah pun semakin terasa, lebih dari biasanya.
Masih di bulan april, perkuliahan Gua dan Echa pun masih berjalan normal, istri Gua belum mengambil cuti kuliah, ya walaupun sudah masuk lima bulan usia kandungannya, tapi dia masih kuat untuk beraktifitas dan mengikuti perkuliahan. Dan di bulan ini Echa sudah hampir berada di akhir semester empat, sedangkan Gua baru akan memasuki semester tiga. Dimana semester tiga nanti Gua akan melakukan on the job training atau otjt, lebih gampangnya pkl lah, selama tiga bulan. Tapi mengingat kondisi istri Gua yang sedang hamil muda, Gua membicarakan hal tersebut dengannya.
"Cha, aku kan semester tiga ini harus praktek kerja lapang nih di hotel, ya bebas sih milih hotel mana aja, tapi aku khawatir kalau harus ninggalin kamu jauh-jauh", ucap Gua sambil menghembuskan asap rokok ke atas di teras depan kamar.
"Hmm.. Gak apa-apa kok Za, pilih aja di jakarta biar deket, kan waktunya sama dengan jam kerja toh..", jawabnya dari sofa dekat pintu kamar.
"Iya juga sih, yaudah lah nanti coba aku pilih hotel yang deket aja ya, biar gak jauh dari kamu", ucap Gua lagi.
Keesokan harinya Gua mulai memilih beberapa hotel referensi yang bisa menerima Gua sebagai mahasiswa magang untuk pkl. Saat itu Gua dan Lisa sama-sama apply surat keterangan dari kampus ke salah satu hotel berbintang lima. Sesuai anjuran dosen Gua, Pak Boy. Dan lewat referensinya lah kami berdua di terima magang di hotel yang terletak di daerah Gatsu jakarta selatan. Alhamdulilah karena beliau juga bekerja di sana, jadi saat interview tidak ada kendala apapun, ya seperti formalitas sih.
Bulan mei Gua sudah mulai magang di hotel itu, Gua memilih section kitchen sedangkan Lisa mengambil front office. Jadwal kerja Gua sama dengan karyawan lainnya di kitchen tersebut, jika masuk pagi, mulai dari pukul delapan hingga empat sore, sedangkan jika masuk sore, mulai pukul tiga hingga setengah sebelas malam. Pada awalnya Gua masih belajar dan diarahkan oleh karyawan atau chef di kitchen hotel tersebut, tidak begitu berat menurut Gua pekerjaannya, hanya membantu mempersiapkan bahan masakan, memotong sayuran dan belum di izinkan memasak.
Ada rezeki dari Tuhan yang Gua terima, alhamdulilah sekali, saat itu Gua magang di hotel tersebut mendapatkan upah alias gaji bulanan, tidak semua hotel memiliki kebijakan seperti ini. Walaupun upah yang Gua terima jauh dari angka umr tapi bagi Gua ini adalah sebuah hal yang sangat membahagiakan, kurang dari satu juta rupiah Gua mendapat upah, dan Gua menerimanya dengan senang hati. Bagaimana tidak, walaupun Gua belum benar-benar bekerja tapi Gua sudah bisa mendapatkan upah dengan hasil keringat sendiri, yang tentunya hal ini membuat istri Gua ikut senang. Benar adanya, Tuhan itu pasti bersama orang-orang yang mau berusaha di jalan yang Dia ridhoi, apalagi untuk keluarga. Inilah nafkah pertama untuk istri Gua dan calon anak kami. Besar kecilnya upah bukanlah kendala bagi kami, yang penting Gua bisa menafkahi keluarga walaupun sedikit. Dari upah yang Gua terima, Echa membagi dua jumlahnya setengah untuk keperluan kami makan dan setengah lagi untuk di tabung. Gua sebenarnya yang meminta untuk setengahnya di tabung di rekening pribadi Gua sendiri, karena Gua sudah berniat untuk membelikannya sesuatu jika sudah terkumpul dan nominalnya memadai. Tentu saja Echa tidak mengetahui niatan Gua tersebut, biasa sureprise lah.
Setelah cukup lama Gua magang di kitchen, yang awalnya Gua berada di section butcher, atau tempat pemotongan berbagai macam daging, Gua di rolling ke main kitchen, dan disinilah ilmu dasar memasak Gua pelajari. Btw jangan dikira orang kitchen itu baik hati Gais, mereka itu seperti komandan perang, enggak bohong Gua, bentakkan, makian, kata kasar sudah sering Gua dengar dan menjadi makanan sehari-hari. Pernah suatu hari Gua terlambat masuk kerja dan hukumannya ini sungguh diluar perkiraan, Gua disuruh push-up sebanyak waktu Gua terlambat masuk. Tidak terlalu berat memang, tapi mengingat ini kitchen jadi ya rasanya out of the box aja.
Tapi dari semua itu, alhamdulilah Gua masih bertahan dan bekerja sebagai anak magang di hotel tersebut, maksudnya Gua tidak sampai tersulut emosi sehingga menyebabkan perkelahian, walaupun dalam hati sih panas mendengar caci maki mereka, malah Gua akrab dengan beberapa chef di hotel itu.
... ... ... Hari ini Gua libur magang, dan kebetulan Echa pun memang libur kuliah di hari sabtu. Kami berdua sedang pergi ke klinik untuk mengecek kondisi kehamilan istri Gua itu. Alhamdulilah istri Gua masih dalam kondisi sehat berikut dengan calon anak kami yang masih dengan amannya berada di dalam rahim Echa. Semuanya normal dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Yang terpenting, istri Gua harus selalu menjaga kondisinya agar dirinya dan calon anak kami bai-baik saja.
"Udah enam bulan ya kamu hamil, enggak kerasa ya Bun", ucap Gua ketika selesai periksa kondisi kehamilannya dan sekarang kami sedang menyantap bubur ayam di dekat taman kota.
"Iya.. Alhamdulilah semuanya berjalan normal. Si debay juga anteung nih di dalem.. Hihihi", jawabnya seraya mengelus pelan perutnya yang terlihat cukup buncit.
Gua terkekeh melihat perubahan bentuk tubuh istri Gua ini, dengan seiring bertambahnya usia kandungannya, bertambah pula bobot berat badan Echa, selain perut yang membesar, pipinya jadi chubby sekarang, gemes banget Gua, hampir tiap malam sebelum tidur Gua selalu isengin dia, dengan mencubit pipinya itu.
"Chandut.. Itu buat aku aja deh sate ususnya, kamu kan gak suka jeroan", ucap Gua seraya melirik ke sate usus di mangkuk buburnya.
"Iihh enak aja.. Kata siapa gak mau! Debay yang mau tau! Beli we sendiri sono.. Tuh ke si mamangnya, huuuu..", istri Gua menjawab sambil mengangkat mangkuk dan menyembunyikannya, seperti anak kecil, belum bibirnya yang manyun, gemes Gua, lucu sekaleh kamu sayang! Huehehehe...
"Heuu.. Kirain te gak mau, Chandut mau nambah ?", tanya Gua.
Istri Gua menggeleng pelan, lalu menyendok lagi buburnya dan melahap suapan terakhir.
Chandut, Echa Ndut.. Itulah panggilan sayang Gua akhir-akhir ini untuknya, karena perubahan bentuk tubuhnya tadi Gua memanggilnya seperti itu. Hehehe...
Sore hari Gua dan istri sedang main ke rumah mertua. Saat itu kami janjian di rumah mertua untuk pergi lagi bersama ke komplek perumahan di dekat rumah Nenek, melihat progres rumah yang sudah sembilan puluh lima persen jadi. Sekitar pukul setengah lima sore kami sampai di sana. Gua terpukau melihat bangunan rumah yang berlantai dua tersebut, rumah yang berwarna putih terang dengan halaman yang cukup luas.
Kami masuk ke dalam halaman parkir di sisi kanan, halaman parkir ini cukup luas, bisa muat dua mobil, dan lebih ke dalam lagi barulah garasi mobil dengan pintu kayu geser. Kemudian kami menaiki tiga anak tangga menuju teras depan rumah, di depan teras ini ada tanaman yang lebarnya kurang lebih lima sampai enam meter hingga ke pagar depan, lalu halaman depan ini masih menyambung ke sisi kiri dari arah depan, yang mana bersebrangan dengan halaman parkir. Halaman ini ternyata berbentuk letter U, hingga ke halaman belakang rumah.
Setelah masuk ke dalam rumah dan langsung berada di ruang tamu yang cukup luas di sisi kanan, kami masuk lebih ke dalam lagi ke ruang keluarga, lalu di sisi kiri ada satu kamar tidur, setelah ruang tv ada ruang makan yang menyatu dengan dapur, di sisi kiri ada satu kamar lainnya yang berukuran kecil, sepertinya diperuntukkan untuk art nanti. Lalu di arah kanan dekat dapur terletak pintu kaca model geser untuk ke halaman belakang, dimana ada sedikit halaman dengan kolam renang dan gazebo sederhana yang masih dibangun oleh tukang di bagian belakang itu. Kembali ke ruang keluarga di sisi kanan, tepatnya di dekat tangga ke lantai dua, ada satu kamar lagi. Kemudian naik ke lantai dua, di atas sini ada dua kamar dengan satu beranda di tengah kamar yang saling berhadapan itu. Lantai halaman belakang dan bagian lantai dua sama-sama menggunakan bahan kayu parquet hingga ke dalam dua kamar tidur diatas tersebut, kecuali beranda bagian luar, masing-masing lantai berandanya berlantai keramik.
Beres melihat-lihat isi dalam bangunan rumah ini, Gua dan Echa tentu saja mengucapkan terimakasih banyak kepada Papah dan Mamahnya. Entah apalagi yang bisa Gua balas untuk pemberian yang satu ini, mau diganti dengan rupiah pun rasanya harus bekerja sekian puluh tahun untuk Gua baru bisa melunasinya.
Setelah Gua diberikan sertifikat rumah tersebut oleh Papah mertua untuk Gua simpan baik-baik, kami sekeluarga pergi ke sebuah resto khas sunda di daerah jalan protokol, ya makan malam bersama. Sesampainya di sana kami langsung memesan beberapa menu yang tidak lama kemudian di hidangkan dan kami santap bersama-sama. Sekitar pukul delapan malam akhirnya kami pulang dari resto tersebut, Papah dan Mamah mertua Gua pulang ke rumahnya dengan diantar supir keluarga, sedangkan Gua dan istri pulang ke rumah Nenek, tentu Gua yang mengemudikan mobil. "Nda, kamu suka sama rumahnya ?", tanyanya ketika dalam perjalanan pulang di dalam mobil.
"Suka lah Bun, aku suka banget, kamu emang pinter ngedesain rumah.. Udah gak usah ikut sidang, langsung buka jasa arsitektur aja deh Bun..", jawab Gua sambil tersenyum lebar.
"Hahaha.. Apa sih kamu tuh Nda, suka aneh-aneh deh, masa aku gak lanjutin kuliah, huuu..", ucapnya sambil memukul lengan kiri Gua pelan,
"Eh iya besok aku sama Mamah mau liat-liat furniture ya Nda, buat isi rumah..", lanjutnya.
"Eh " Serius " Jangan sama Mamah deh, gak enak Bun, nanti mereka lagi yang beliin, malu aku Bun", jawab Gua.
"Enggak kok, aku sama Mamah cuma mau liat-liat aja, kalopun beli nanti pakai uang tabunganku.. Ya ya ya ya ya " Please, Nda baik deh..", rajuknya sambil mencubit pipi kiri Gua.
"Duuuh.. Mmm.. Kamu bawa atm aku aja ya, kalo mau beli barang pakai uang tabungan ku aja deh, ya Bun ya ?".
Istri Gua menggeleng seraya cemberut. "Enggak ah, itu kan tabungan kuliah kamu sama uang bisnis kamu, gak mau aku pake dulu Nda.. Udah sih gak apa-apa pake uang aku dulu".
Ya begitulah Echa kalau sudah ada mau, agak susah untuk diredam keinginannya. Gua pun mengalah, Hadeuh Cewek tuh yaa.. -_... Keesokan harinya, hari minggu Gua masuk kerja, Gua berangkat pukul enam pagi dari rumah menggunakan motor, agak males Gua kalo weekend gini bawa mobil, macetnya gak ketulungan. Sekitar pukul setengah delapan lewat Gua sudah sampai di parkiran khusus karyawan. Lalu turun dari motor dan masuk ke area jalan khusus para karyawan atau pegawai. Gua belum masuk ke dalam lagi, karena melihat beberapa chef yang juga baru datang sedang santai merokok dengan ditemani oleh secangkir kopi susu di depan mereka. Gua duduk di sebelahnya, sebut saja namanya Pak Rudi. Beliau ini adalah salah satu chef yang sudah bekerja di hotel ini selama kurang lebih tujuh tahun. Gua sering bekerja bersama beliau, banyak ilmu yang Gua dapatkan darinya. Orangnya aslinya baik, tapi kalau sudah mode kerja nya ON... Weh itu mulut gak ada filternya coy.. Jing, Sat, Gong, Nyet, Fak, Blok, Lol, Bi, Dat, dan segala bentuk kata kasar keluar semua.
Tapi Pak Rudi beneran baik sama Gua, beliau gak pelit ilmu, apapun yang ia masak ketika ada order dari waitress, Gua selalu dipanggil dan diminta memperhatikannya. Ini yang membuat Gua respect kepada beliau. Setelah sekian tahun nanti Gua berkecimpung di kitchen, ternyata ilmu memasak itu sulit di dapat coy,gak kayak jaman sekarang. Dulu pada pelit orang-orang dapur sama yang namanya ilmu. Ya walaupun gak semua sih, buktinya ini Pak Rudi biar kata mulutnya kasar tapi gak pelit ilmu, dan langka lah orang seperti beliau. Btw, Pak rudi ini ternyata berteman baik dengan Pak Boy, dosen Gua yang sekaligus memiliki jabatan manager restaurant di hotel tempat Gua magang ini.
Sekitar pukul delapan kurang lima menit Gua dan Pak Rudi masuk ke dalam lift khusus karyawan, seteleah sebelumnya Gua mengisi absen pada mesin absensi manual, tahun itu belum ada di hotel Gua magang mesin absensi finger print, hehehe. Lalu kami berdua menuju lantai tiga, dimana kitchen dan tempat magang Gua berada. Sesampainya di sana, Gua menuju locker room, menaruh tas, dan mengganti pakaian Gua dengan pakaian ala-ala chef. Tidak lupa sepatu juga Gua ganti dengan safety shoes yang ujung kepalanya dibalut besi.
Seperti biasa, Gua mengecek menu hidangan untuk lunch di papan white board, setelah membaca menu tersebut, Gua mengambil beberapa bahan masakan dari chiller maupun dry storage di bagian lain pada kitchen ini. Btw kalo menu breakfast biasanya anak shift malam yang udah nyiapin sih, jadi ketika waktu breakfast selesai, Gua dan karyawan lain yang masuk pagi hari tinggal beres-beres aja.
Ya belum ada kerjaan yang menyulitkan pagi itu, hanya rutinitas biasa yang Gua lakukan di kitchen ini, mempersiapkan bahan masakan untuk siang hari. Sampai semuanya berubah ketika selesai istirahat, Gua yang saat itu baru selesai makan langsung diminta Pak Rudi membantu menyiapkan bahan lainnya, karena nanti malam akan ada dinner dari sebuah perusahaan di restoran hotel yang jumlahnya cukup banyak, hingga ratusan orang. Nah sedikit info, biasanya untuk mempersiapkan suatu menu hidangan baik itu breakfast atau lunch, karyawan atau chef yang masuk malam hari hingga pagi hari itu menyiapkan bahan masakan untuk breakfast, dan yang finishing atau memasaknya hingga matang, chef yang jadwalnya masuk pagi. Nah karena nanti malam ada gala dinner, maka Gua dan chef yang masuk pagi mempersiapkan menu dan bahan makanan untuk diolah dan dimasak nanti oleh chef yang masuk sore. Begitulah kurang lebih pola kerja di kitchen.
Singkat cerita, Gua sudah selesai menyiapkan segala bentuk bahan masakan, dari mulai memotong bahan mentah baik sayur maupun daging, membuat adonan lain dan memecahkan telur hingga empat box ke dalam sebuah panci berukuran besar, seperti panci tukang bakso lah. Lelah sudah pasti. Dan kini saatnya Gua pulang.
Kesalahan besar ternyata Gua hari ini pulang pergi naik motor, setelah lelah karena bekerja, eh pulangnya masih harus mengendarai si RR, rontok udah rasanya ini tulang. Dan memang Gua baru pertama kali ini berangkat magang menggunakan motor. Sekitar hampir maghrib Gua sampai di rumah, yang langsung disambut oleh istri tercinta ketika membuka pintu kamar. "Assalamualaikum", ucap Gua ketika Echa membuka pintu kamar.
"Walaikumsalam.. Eh.. Loch Nda, kok lesu banget keliatannya, kenapa ?", tanyanya seraya memegang tangan kanan Gua lalu menciumnya.
"Huuuftt.. Lelah banget hari ini aku Bun, cape sumpah, banyak masakan.. Dan..", Gua masuk ke dalam kamar seraya melepaskan jaket dan tas lalu melemparnya asal ke sudut kamar. "Dan apa Nda ?", tanya istri Gua sambil mengambil tas dan jaket Gua lalu merapihkannya. "Dan kesalahan besar aku pulang pergi naik motor... Hadeeuuuhh...", jawab Gua. Bruk.. Gua menghempaskan tubuh di lantai kamar.
Istri Gua mendekat lalu duduk di samping Gua. Dia tersenyum menatap Gua lalu kedua tangannya mulai memijit lengan kiri ini.
"Cape banget ya.. Yaudah kamu mau makan dulu atau kopi dulu " Jangan langsung mandi ya, kan baru sampe Nda..", ucapnya lembut.
Gua tersenyum mendengar ucapan istri Gua itu. Ah kamu memang wanita paling mengerti aku Bun. "Iya, eh.. aku mau es teh manis aja deh Bun, seger kayaknya hehehe...", jawab Gua seraya bangun dari tiduran din lantai.
Kemudian dengan perlahan istri Gua berdiri lalu berjalan keluar kamar kearah dapur. Gua masuk ke dalam kamar mandi untuk bersih-bersih dan mengganti pakaian. Setelah itu Gua kembali ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melaksanakan ibadah tiga raka'at setelah adzan maghrib berkumandang.
Oh ya, sejak kehamilan istri Gua memasuki usia kandungan enam bulan, Gua memanggilanya Bunda atau Bun, sedangkan dia menyingkat bagian belakangnya untuk memanggil Gua, Nda. Romantis tapi gak alay mblooo, udah nikah nih ane, bebas lah ye huehehehe.
Malam hari setelah shalat isya, dan mandi, Gua bersama istri, Mba Laras dan Nenek makan bersama di ruang makan. Oh ya, Mba Laras sudah sebulan ini menginap di rumah. Selesai makan dan Mba Laras bersama istri Gua mencuci piring di dapur, kami bertiga berkumpul di sofa teras depan kamar, sedangkan Nenek sudah masuk ke kamarnya.
"Za, tadi orang yang kontrak tanah kamu di jalan protokol datang ke sini, katanya mau ngomongin perpanjang kontrak", tanya Mba Laras memulai obrolan soal kontrak tanah.
"Oh iya ya, dua bulan lagi habis kontraknya. Enaknya gimana Mba " Lagian kayaknya aku mau naikkin harga sewanya", jawab Gua.
"Ya terserah kamu kalo soal harga sewanya, asal kan baik untuk kedua belah pihak", ucap Mba Laras lagi.
"Hmm.. Iya sih Mba, eh ngomong-ngomong aku belum pernah ketemu loch sama orangnya", jawab Gua.
"Temen kamu Nda", sela istri Gua kali ini.
"Temen aku " Yang punya factory outlet itu temen aku " Masa sih Bun ?", tanya Gua tidak percaya.
"Bukan yang punyanya sih, tapi ponakannya", jawab istri Gua lagi, tapi kali ini sambil mencibir dan memalingkan muka.
Gua mengerutkan kening, bingung dan tidak dapat menebak siapa kira-kira teman Gua itu. "Siapa emangnya Nda ?".
"Luna..", jawab istri Gua ketus.
PART 65 Satu minggu setelah obrolan bersama Mba Laras dan istri Gua mengenai kontrak tanah yang katanya pemilik factory outlet tersebut adalah tantenya Luna. Hari ini Gua dan istri sudah berada di sebuah resto hanamasa bersama Luna dan tantenya itu, sambil makan siang kami membicarakan soal perpanjang sewa tanah tersebut. Sebenarnya tidak ada kendala atau perdebatan mengenai kenaikan harga sewa yang Gua inginkan, tapi ketika istri Gua tiba-tiba mengintrupsi obrolan kami, semuanya berubah.
"Mm.. Saya rasa, saya dan suami saya tidak akan menyewakan lagi tanah tersebut kepada Ibu", ucap istri Gua ketika itu.
Kami yang mendengarkan ucapannya langsung terdiam, kaget dan heran.
"Ehm.. Maaf ya Bu sebentar", ucap Gua,
"Bun, kok kamu ngomong gitu " Kenapa ?", tanya Gua sedikit berbisik.
Istri Gua menghela nafas pelan lalu tersenyum kepada Gua, kemudian dia kembali menatap tantenya Luna yang duduk di hadapan kami. "Jadi, ini memang rencana dadakan, saya berniat untuk membangun usaha kami berdua di atas tanah tersebut. Maka dari itu kontrak sewa tanah ini tidak bisa dilanjutkan", ucapnya lagi seraya menaruh kedua tangannya di atas meja makan.
"Mmm.. Kalau boleh tau, memangnya kalian berdua akan membuka usaha apa ?", tanya tantenya Luna kepada Echa.
Lalu Echa melirik kepada Gua sesaat dan kembali menatap tantenya Luna. "Kami rencananya akan membuka usaha di bidang kuliner", jawab istri Gua seraya tersenyum manis.
Gua yang memang tidak mengetahui hal tersebut jelas kaget dan tidak percaya. Karena dari kemarinkemarin istri Gua tidak membicarakan hal tersebut kepada Gua.
"Jadi ini batal Mas Eza ?", tanya tantenya Luna kepada Gua.
Gua melirik sebentar kepada istri Gua, dia hanya tersenyum tipis. Gua menggaruk pelipis yang tidak gatal karena bingung harus memutuskan apakah mengikuti kemauan istri Gua yang tidak dibicarakan sebelumnya atau tetap menyewakan tanah itu kepada tantenya Luna sekarang. Kalau mau jujur sih, lebih baik menyewakan dan memperpanjang kontrak tanah tersebut, bukan apa-apa, duitnya berlimpah banget. Siapa yang gak tergoda, kan lumayan tuh buat beli barang-barang di rumah baru nanti, belum untuk biaya persalinan dan keperluan si calon anak kami nanti.
"Mmm.. Menurut ku gini aja Za, Cha, ini hanya sekedar saran aku, gimana kalo kalian berdua pikir ulang, soalnya maaf ya.. Aku lihat Eza nya juga kayak baru tau kalo Echa mau bangun usaha, nah kita undur aja dulu soal perpanjangan kontrak ini, nanti kalau kalian sudah sepakat akan bagaimana, baru hubungi aku dan tante aku lagi", ucap Luna memberikan saran.
"Ah iya boleh ju..", ucapan Gua terpotong.
"Gak perlu kayaknya deh Lun, kita berdua udah yakin dan memang mau buka usaha di atas tanah tersebut kok, secepatnya", potong istri Gua.
"Eeuu.. Cha kayaknya kita emang perlu mikirin ulang soal rencana kamu deh, kan..".
"Za, udah ya gak usah berdebat, aku yakin kok kita bisa sukses, insha Alloh, daripada nyewain tanah terus, lebih baik kita bangun usaha sendiri di situ", selanya lagi sambil menatap Gua tajam.
Gua menghela nafas dengan kasar lalu menggelengkan kepala mendengar ucapan istri Gua itu. Kok jadi gini dia, fikir Gua.
"Yaudah yaudah gak apa, gini aja, kabarin saya Mas Eza kalau nanti misalkan kalian tidak jadi bangun usaha tersebut, toh kontrak saya masih sampai juli kan, jadi masih ada waktu sampai dua bulan kedepan", ucap tantenya Luna kali ini.
Gua hanya bisa mengangguk dan tersenyum kepada beliau. Kemudian tidak lama mereka berdua pamit pulang, dan tentu saja Gua mengucapkan maaf kepada mereka berdua. Setelah mereka pulang, tidak lama istri Gua pun mengajak pulang ke rumahnya, ke rumah mertua Gua. Di dalam perjalanan Gua mencoba untuk membahas hal di atas lagi.
Pendekar Buta 4 Balada Si Roy 07 Telegram Karya Gola Gong Gerhana 7

Cari Blog Ini