Ceritasilat Novel Online

Istana Emas 4

Istana Emas Karya Maria A. Sardjono Bagian 4


Silakan saja. Ini kan kamar istrimu. Kenapa mesti minta izin, kataku sambil melipat penutup seprai untuk kemudian naik ke atas tempat tidur dan menyusup ke balik selimut.
Sama sekali aku tidak bermaksud apa pun kecuali ingin agar Mas Yoyok tidak merasa sungkan duduk di dalam kamarku. Tetapi ternyata perkataanku tadi mendapat tanggapan lain dari Mas Yoyok.
Kalau begitu daripada duduk terkantuk-kantuk di kursi, aku boleh berbaring di tempat tidurmu, kan"
Tentu saja. Pertanyaanmu aneh, sahutku terus terang. Dari mana kau menganggap harus minta izin tidur di kamar istrimu sendiri. Lagi pula, ini kan rumahmu. Mau tidur di atas genting atau di bawah
t . c kolong tempat tidur, tidak akan ada yang melarangmu.
Kulihat sudut bibir Mas Yoyok mencuat ke atas mendengar perkataanku itu.
Bukannya begitu, Retno, sahutnya kemudian. Sikapmu sering membuatku merasa ragu. Kelihatannya, kau suka sekali menyulut emosiku agar marah. Entah apa maksudmu. Supaya aku tidak punya minat masuk ke kamarmu, barangkali.
Mendengar perkataannya itu, aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
Kalau tadi aku bilang pertanyaanmu aneh, sekarang aku bilang dugaanmu itu lucu, katamu.
Jadi tidak benar dugaanku itu"
Tentu saja tidak. Aku memang mempunyai sifat yang tak mau kalah, tetapi itu untuk menunjukkan bahwa aku ini punya otak yang bisa bekerja dengan baik. Bukan cuma kambing congek.
Kalau tadi aku yang tertawa, sekarang giliran Mas Yoyok yang tertawa. Rupanya seperti aku, dia juga tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa sehingga aku sadar, caraku berkata itu memang lucu. Kok tertawa" tanyaku, ingin membuktikan dugaanku. Tidak boleh" Katamu aku boleh berbuat apa saja di rumahku. Mau tidur di atas genting, mau berteriakteriak di dapur atau mau tertawa keras-keras sambil naik ke atas meja, siapa yang akan melarangku, jawab Mas Yoyok, masih sambil tertawa. Jadi aku mau tidur
t . c di sini menunggu setan kecil itu kembali ke kamarnya, tak seorang pun boleh melarangku. Ya, kan"
Merasa tidak bisa menangkis perkataannya, aku menggeser tubuhku yang semula berada di tengahtengah bagian tempat tidur.
Sudah, jangan ribut saja. Berbaringlah di sini kalau kau ingin membaringkan tubuh, kataku buru-buru. Setelah itu kujulurkan tanganku untuk mematikan lampu besar, kemudian kunyalakan lampu tidur. Kamarkamar di rumah ini memang didesain senyaman mungkin. Untuk mematikan atau menyalakan lampu besar, orang tidak perlu harus berdiri dari tempat tidur. Begitupun dengan lampu tidur dan lampu baca.
Ketika mendengar perkataanku, Mas Yoyok menurut. Dia mulai membaringkan tubuhnya di dekatku. Hal itu menyebabkan lidah kami berdua menjadi kelu dengan tiba-tiba sehingga kami hanya membisu saja. Tetapi dalam keheningan itu sayup-sayup terdengar suara musik yang sedang dinikmati oleh Purnomo. Musik instrumental itu terdengar sangat indah dan mendayu-dayu sehingga lidahku yang kelu mulai terurai kembali.
Purnomo memiliki rasa keindahan yang lumayan, begitu aku memberi komentar. Lagu-lagu yang dipilihnya terasa nikmat didengar malam-malam begini.
Purnomo lagi! Mas Yoyok menggerutu. Bukan hanya dia saja yang mengerti keindahan.
Aku tersenyum sendiri. Apakah Mas Yoyok tidak suka aku memuji Purnomo" Karena cemburu ataukah karena istrinya tidak boleh memberi penilaian positif pada laki-laki lain"
t . c Soalnya aku belum pernah melihat sampai di mana rasa keindahanmu dan dalam hal apa rasa itu tersirat" Waktu sedang mendengar musik atau waktu apa"
Sebagai istriku, tugas dan kewajibanmulah untuk mengetahui dan mengenal apa saja yang ada pada diriku.
Seketika itu juga senyumku lenyap. Rupanya pengenalanku terhadap Mas Yoyok memang masih amat jauh panggang dari api. Kukira dia tadi merasa cemburu kepada Purnomo. Tetapi rupanya karena aku ini dianggap sebagai barang miliknya yang hanya boleh memerhatikan dirinya sebagai sang pemilik.
Mengetahui aku terdiam, Mas Yoyok menoleh ke arahku. Mungkin dia menyadari sikapnya yang terlalu posesif.
Sebagai suami aku juga berkewajiban untuk mengenal dan mengetahui dirimu dengan lebih baik, katanya melanjutkan. Hm, benarlah dugaanku. Dia merasa tidak enak atas perkataannya tadi. Itu bagus, komentarku terus terang.
Nah, setelah adanya kesepakatan itu, tidurlah. Sudah malam, kata Mas Yoyok lagi. Kata-kata yang membuatku merasa jengkel. Hih, memangnya siapa yang mengadakan kesepakatan. Aku cuma mengatakan bagus saja. Tak ada embel-embel lainnya. Jadi tak ada janjiku untuk berusaha mengetahui dan mengenal segala hal mengenai dirinya.
Namun kejengkelan hatiku buyar ketika tiba-tiba aku merasa embusan napasnya yang hangat di pipiku. Karena saat itu wajahku tertengadah ke langit-langit
t . c kamar, cepat-cepat kupejamkan mataku. Otakku mulai kacau. Belum pernah aku tidur berdampingan dengan seorang laki-laki.
Sedang aku mulai kehilangan ketenangan seperti itu, tiba-tiba saja kurasakan lengan Mas Yoyok melingkari pinggangku sehingga tanpa sadar tubuhku menegang. Mas Yoyok merasakannya.
Santai sajalah. Boleh kan aku memelukmu" Ya.
Kau belum pernah tidur berdampingan dengan laki-laki sebelum ini"
Kupukul lengannya sebagai jawanan atas pertanyaannya itu.
Aku bukan gadis murahan, Mas.
Maaf, aku tidak bermaksud merendahkan dirimu. Tetapi di zaman sekarang ini orang kalau berpacaran sering tidak mengindahkan kendali dan rambu-rambu yang seharusnya dipatuhi.
Aku tidak tergolong di dalamnya.
Aku percaya. Mmm& bolehkah aku menciummu"
Aku menahan diri untuk tidak tertawa. Caranya bertanya seperti cara orang minta izin untuk merokok di dekatku.
Kenapa sih harus bertanya, boleh inikah aku atau boleh itukah aku" kataku untuk menahan agar tawaku tidak lepas.
Mas Yoyok menjawab perkataanku dengan menggumamkan tawanya di lekuk leherku. Kemudian setelah mengecup leherku, tangannya meraih kepalaku sehingga
t . c wajah kami berhadapan. Kutatap matanya. Bulu matanya bergetar dan kulihat pandangan matanya begitu kelam dan sayu sementara napasnya terdengar berat di telingaku. Kata orang, itulah tanda laki-laki yang sedang kasmaran berat. Teringat itu, bulu mataku jadi ikut bergetar oleh campuran rasa takut, malu, hasrat, dan rasa ingin tahu. Hanya berciuman sajakah kami" tanyaku dalam hati. Tetapi ketika akhirnya bibirnya menangkap bibirku, aku lupa segala-galanya. Lupa pada pertanyaan hatiku tadi.
Inilah kedua kalinya kami berciuman. Sambil mencium bibir dan leherku, Mas Yoyok mengetatkan pelukannya atas tubuhku. Kemudian ia mencumbuiku dengan belaian tangannya, menyusuri seluruh permukaan kulitku. Mulai dari rambut, pipi, leher, lengan, dan berlama-lama di dadaku dan bermain-main di daerah itu sehingga tubuhku menggeletar. Pelukan dan ciumannya yang bertubi-tubi itu terasa lebih mesra daripada ketika di Kaliurang. Juga lebih hangat, lebih lama, dan lebih menguras gairahku. Kulingkarkan lenganku kuatkuat pada leher Mas Yoyok sambil mengecupi jakun di bagian depan lehernya sehingga laki-laki itu menggelinjang dan mendesah.
Peluk aku, Retno. Cumbui aku, Retno, kudengar Mas Yoyok berbisik dengan suara serak sambil terus menjelajahi seluruh tubuhku dengan tangannya yang hangat dan lembut itu.
Bagaimana mencumbuinya" Aku bingung sehingga yang bisa kulakukan hanyalah memeluk tubuh laki-laki itu. Rupanya bukan itu yang ia maksud. Tanganku
t . c dituntunnya untuk mengelusi lehernya, bidang dadanya yang berambut halus, dan kemudian juga perutnya yang datar. Maka api asmara pun mulai membakar kami berdua sementara lagu-lagu di luar sana masih saja mendayu-dayu perasaan.
Akhirnya aku sadar bahwa ternyata Mas Yoyok tidak hanya mencium dan mencumbuku saja, tetapi juga memberiku keintiman yang paling intens, yang masih teramat asing bagiku, yang membuat Mas Yoyok tertidur pulas di kamarku hingga menjelang pagi.
Aku pura-pura tidur ketika pagi itu Mas Yoyok turun dari tempat tidur dengan gerakan pelan dan hati-hati. Dari bulu mataku kupandangi punggungnya yang pelan-pelan tertelan oleh pintu yang ia tutup kembali dengan kehati-hatian yang sama. Pada saat itulah kurasakan suatu keintiman yang mulai merekah, seiring dengan merekahnya sesuatu yang baru di dalam hatiku terhadap laki-laki itu. Aneh rasanya bahwa malam tadi aku bukan hanya telah memberikan keperawananku kepada laki-laki itu, tetapi juga telah menyadarkan diriku bahwa aku dan Mas Yoyok telah menggenapi hubungan kami sebagai suami-istri seutuhnya.
Sepeninggal Mas Yoyok, aku turun dari tempat tidur dan duduk di depan cermin dengan termangumangu. Asing rasanya aku melihat wajahku. Rambutku yang semalam diremas-remas oleh Mas Yoyok saat gairahnya memuncak, masih tampak berantakan. Pipiku merona merah seperti buah apel dan mataku berkabut rahasia.
Merasa tak tahan memikirkan itu semua, kut . c tengadahkan wajahku ke langit-langit kamar. Dua butir air mata menggelinding ke atas pipiku. Aku tahu bahwa sejak hari ini aku bukan lagi seorang perawan yang masih suci. Tetapi aku sungguh tidak tahu apakah air mata yang meluncur dari mataku itu merupakan air mata kehilangan atau karena hal yang lain. Perasaanku benar-benar sedang baur.
Namun yang bisa kupastikan, sejak malam itu sikapku kepada Mas Yoyok agak berubah. Ada semacam kendali yang muncul untuk tidak menukas dan mencela apa saja pendapatnya sebagaimana yang biasa kulakukan. Kecuali kalau itu menyangkut hal-hal prinsip, yang berkaitan dengan pegangan hidupku. Perubahan itu kuanggap perlu sesudah aku menyadari adanya bibitbibit perasaan khusus terkait dengan keintiman yang begitu intens antara diriku dan Mas Yoyok semalam. Terus terang aku tidak ingin perasaan itu berkembang di hatiku. Aku takut kalau-kalau lupa diri sehingga menyingkirkan apa yang sebenarnya ada di sudut hatiku yang paling dasar, yang aku yakin juga dimiliki oleh Aryanti di relung batinnya yang paling dalam, yaitu ingin menyadarkan Mas Yoyok mengenai kompleksitas kehidupan. Bahwa dunia kehidupan ini amat sangat beragam dan beraneka macam dengan segala dampaknya. Bahwa gengsi, harta benda, kesuksesan, kedudukan, harga diri, dan kemampuan mengelola bisnis hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan kehidupan ini. Dan bahwa semua yang ia miliki hanyalah titipan Tuhan semata dan hanya merupakan sarana untuk mencapai kehidupan yang mapan serta bermanfaat bagi diri
t . c sendiri, keluarga, dan sesama. Bukannya menjadi tujuan.
Aku tidak tahu apakah upayaku membangun benteng pertahanan diri itu terlihat oleh orang lain, dalam hal ini Purnomo, ataukah hanya suatu kebetulan saja ketika tiba-tiba saja dia mengatakan ingin pindah kamar.
Kamarku kurang luas untuk kupakai sebagai tempat kerja juga, Mas, begitu dia berkata ketika kami bertiga sedang makan malam bersama-sama.
Kan ada beberapa kamar kosong yang hanya dipergunakan kalau ada tamu menginap. Ambil salah satunya sebagai ruang kerjamu.
Aku tidak membutuhkan ruang kerja khusus kok, Mas. Yang kuinginkan adalah kamar tidur yang bisa sekaligus kupakai sebagai ruang kerjaku. Aku cuma butuh ruang yang lebih luas dari yang kutempati sekarang ini untuk memasukkan rak buku kecil, meja tulis, dan perangkat komputer. Soalnya kalau sedang bekerja lalu mengantuk, aku tidak suka harus berjalan dari ruang kerja ke kamar tidurku. Bisa hilang kantukku.
Terserah, Pur. Pilih sajalah kamar mana yang kausukai. Carilah yang agak luas yang sesuai dengan kebutuhanmu, jawab Mas Yoyok.
Aku sudah lama mengincar kamar yang letaknya di sebelah kamar Mbak Retno. Ukurannya luas, jendelanya lebar-lebar dan tinggi, menghadap taman samping yang cantik pula. Kalau siang hari, aku lebih suka bekerja tanpa AC untuk merasakan belaian angin dari arah taman yang masuk dengan leluasa, jawab Purnomo.
t . c Jangan kamar yang itu, Pur. Itu akan menjadi kamarku untuk selanjutnya. Kalau kau ingin kamar yang luas dan jendelanya lebar-lebar, pakailah kamar tidurku yang sekarang. Jawaban Mas Yoyok sangat mengejutkanku. Namun meskipun demikian, aku pura-pura bersikap wajar.
Memang seharusnya sekali-sekali kita perlu mencari suasana lain yang berbeda, komentar Purnomo.
Masalahnya bukan hanya itu, Pur, tetapi juga karena Retno tidak mau tidur di kamar bekas tempat Yanti.
Sebetulnya alasannya sederhana saja kok. Aku tidak suka tidur di kamar yang terlalu luas dan terlalu mewah. Kurang hangat, rasanya, aku menyela pembicaraan kedua laki-laki itu.
Aku mengerti, sahut Purnomo.
Keesokan harinya, sehari penuh kamar di samping kamar yang kupakai itu didandani beberapa orang suruhan Mas Yoyok. Beberapa barang yang dianggap tidak cocok di kamar sebelah, ditukar dengan barangbarang yang ada di kamar Mas Yoyok yang lama. Karena Mas Yoyok ada di kantor, aku ikut mengawasi pekerjaan orang-orang yang tampaknya sudah mendapat instruksi secara jelas dari Mas Yoyok. Memang kamar itu tidak seluas kamar Mas Yoyok yang lama, tetapi jendela kamarnya menghadap ke arah taman yang paling cantik di seluruh halaman istana emas ini. Apalagi begitu didandani dan ditata sesuai dengan apa yang dimaui Mas Yoyok, kamar itu menjadi tampak menyenangkan, campuran antara kemewahan, keindaht . c an, dan kenyamanan. Pada malam harinya, kamar itu sudah bisa ditempati.
Semula aku menganggap hal itu bukan sesuatu yang istimewa. Tetapi ketika aku mendengar gunjingan para pembantu rumah tangga barulah aku merasa heran. Ternyata Mas Yoyok tidak termasuk orang yang suka hal-hal baru. Ia pernah marah besar pada Aryanti ketika sahabatku itu mengubah letak perabotan. Alasannya, perubahan itu menyebabkan dirinya kehilangan keakraban dan rasa nyaman dengan rumahnya sendiri. Tetapi sekarang justru dia sendiri yang menginginkan perubahan untuk tempatnya yang paling pribadi. Itulah yang menimbulkan gunjingan mereka.
Kalau aku tidak mendengar percakapan Mas Yoyok dengan Purnomo di meja makan, mungkin aku merasa bangga bisa sedikit mengubah pemikiran Mas Yoyok. Tetapi tidak. Aku yakin, pindahnya Mas Yoyok ke kamar sebelah disebabkan karena dia tidak ingin Purnomo menempati kamar di sebelah kamarku itu.
Namun yang paling penting dari peristiwa tersebut adalah perubahan hubunganku dengan Mas Yoyok ke arah kehidupan bersuami-istri yang sebenarnya, kendati aku mencoba mengambil jarak dengan dirinya. Tetapi dengan adanya pintu penghubung di antara kedua kamar itu, kehidupanku bersama Mas Yoyok sebagai suami-istri seakan semakin diteguhkan.
Pada malam kedua sejak Mas Yoyok pindah ke kamar sebelah, laki-laki itu masuk ke kamarku saat aku sedang mulai terkantuk-kantuk sambil menonton televisi. Jantungku mulai bertalu-talu ketika melihatnya
t . c berdiri menjulang di tepi tempat tidurku dalam temaramnya lampu tidur.
Tidak keberatan" begitu ia bertanya kepadaku. Kugelengkan kepalaku. Tetapi karena pernah mendengar cerita dari Mbak Diah, kakakku, dan juga dari teman-teman sekantorku di Yogya bahwa hubungan intim antara suami-istri tidak dimulai dengan pertanyaan setengah formal seperti yang baru saja diucapkan oleh Mas Yoyok, aku jadi merasa geli. Ingin sekali aku mengetahui apakah dia juga bersikap demikian terhadap Aryanti semasa sahabatku itu masih hidup.
Jadi aku boleh ikut menonton televisi bersamamu di sini" Pertanyaan setengah formal yang menggelikan itu kudengar lagi.
Silakan& Huh, aku jadi ikut-ikutan bersikap formal yang menyebalkan itu.
Begitu mendengar jawabanku Mas Yoyok segera membaringkan tubuhnya di sisiku.
Apa yang sedang kautonton" tanyanya sambil menyurukkan tubuhnya di bawah selimut lebar yang tengah menyelimutiku.
Film drama... Aduh, mudah-mudahan dia tidak bertanya apa ceritanya karena aku menontonnya dengan mata setengah terpejam.
Bagus" Bagus. Kalau begitu aku akan ikut menonton. Sambil berpelukan, ya"
Silakan. Lagi-lagi basa-basi menggelikan itu terjadi.
t . c Tangan Mas Yoyok langsung memeluk tubuhku. Tetapi cuma bertahan sebentar sebab beberapa menit kemudian, tangan itu mulai bergerak menelusuri kulit tubuhku seperti yang pernah terjadi beberapa hari yang lalu. Rambutku, pipiku, dadaku, perutku, dan bagianbagian tubuhku yang lain. Tangannya benar-benar lembut dan penuh perasaan sehingga aku tak tahan untuk tidak membalas elusannya. Gairahku bahkan semakin meningkat saat merasakan gelitikan dagunya yang kasar oleh rambut baru tumbuh. Maka ilm drama di televisi itu pun luput dari perhatian kami berdua. Masingmasing sibuk mengelus, mengecup, mencumbu, dan memeluk.
Retno& kudengar desahan Mas Yoyok di sisi telingaku, peluk aku erat-erat.
Kujawab bisikannya dengan pelukan lenganku yang mengunci lehernya, sementara kepalanya yang berada pada lekuk bahuku kuraih sehingga wajahnya berada di atas wajahku. Tanpa sadar kugigit dagunya dengan gemas. Ia membalasku dengan menggeser-geserkan dagunya yang mulai ditumbuhi rambut itu ke leherku sehingga aku menggelinjang kegelian. Begitulah kami terus bercumbu dan bercumbu hingga tuntas.
Sesudah badai asmara berakhir, Mas Yoyok mengecup lembut bibirku sejenak untuk kemudian tanpa kata-kata turun dari tempat tidur dan kembali ke kamarnya di sebelah. Aku tidak menyukai cara-cara seperti raja-raja zaman dulu yang sedang menggiliri selirnya. Sepengetahuanku, suami-istri tidur sekamar dan setempat tidur.
t . c Dulu semasa remajaku, acap kali aku membayangkan betapa manisnya suasana di mana sepasang suami-istri tidur bersisian sepanjang malam sambil saling menggenggam tangan hingga pagi menjemput malam. Tidak seperti yang kualami bersama Mas Yoyok. Sampai tiga minggu lebih kami bersuami-istri, kemanisan seperti yang kubayangkan itu tidak pernah kualami. Selalu saja sesudah kemesraan demi kemesraan kami lalui, laki-laki itu kembali ke dalam kamarnya, meninggalkan aku sendirian.
Lama kelamaan keadaan seperti itu membuat perasaanku sakit sekali. Keberadaanku sebagai seorang subjek, sebagai individu yang setara dengan dirinya, seperti diabaikannya begitu saja. Bahkan aku merasa seperti menjadi objek penyalur kebutuhan biologis belaka. Dan itu terasa amat menggores isi dadaku dalam-dalam. Seakan dia tak menghargai diriku sebagai seorang istri. Dengan perkataan lain, keintiman yang berhasil terjalin di antara kami selama minggu-minggu terakhir ini hanya keintiman yang bersifat jasmaniah semata. Meski keintiman semacam itu sama-sama kami kehendaki, tetapi aku merasa seperti kehilangan nilai sakralnya. Bahkan seperti hubungan murahan antara pelanggan dengan PSK langganannya.
Semakin hal itu kurenungkan, semakin sakit perasaanku.. Barangkali seperti itu jugalah yang pernah dialami oleh Aryanti dulu.
t . c H ARI telah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika aku duduk di tepi tempat tidur. Kupandangi telapak tanganku dengan perasaan bimbang. Di atasnya terletak tiga butir tablet. Meskipun dokter yang kukunjungi pagi tadi tidak mengatakan apa-apa, aku bisa menebaknya. Isinya pasti vitamin, obat vertigo, dan juga semacam obat penenang supaya aku bisa tidur nyenyak.
Memang, beberapa hari belakangan ini aku sering mengalami vertigo, kepala pusing tujuh keliling, dan sulit tidur. Sedemikian pusingnya sampai aku pernah muntah karena rasa mual yang amat sangat. Karena itulah kemarin pagi aku minta diantar sopir ke rumah sakit tempat dokter ahli saraf bertangan dingin itu praktik. Tetapi ternyata beliau tidak menemukan sesuatu yang serius pada diriku.
Secara umum saya tidak menemukan kelainan pada Ibu, katanya. Tetapi kalau mau diperiksa lebih jauh, sebaiknya Ibu juga memeriksakan diri ke dokter
Sebelas t . c mata dan dokter THT sambil juga periksa darah di laboratorium. Bagaimana" Kalau setuju, akan saya buatkan surat pengantarnya.
Aku setuju. Maka kemarin, aku langsung mengunjungi dokter mata dan dokter THT yang praktik di rumah sakit itu juga. Hasilnya bagus. Jadi tinggal menunggu hasil pemeriksaan darah pagi ini karena aku harus puasa dulu sebelum diambil darah. Tetapi ternyata, hasilnya juga baik-baik saja sehingga setelah memeriksa teliti reaksi sarafku, dokter itu menyimpulkan sesuatu yang membuatku tersadar.
Anda terlalu berlebihan memikirkan suatu masalah, entah apa pun yang sedang mengganggu batin Anda, begitu katanya.
Aku tertegun. Jadi rupanya tekanan batin dan perasaan terluka yang kualami itu telah memengaruhi isikku. Memalukan!
Mungkin, kataku mengaku.
Obat-obat yang saya berikan hanyalah obat penolong sementara. Jadi gejala yang Ibu rasakan saja yang akan berkurang atau bahkan lenyap. Tetapi nanti kalau obatnya habis, besar kemungkinan gejala itu akan datang lagi.
Artinya, saya sendiri yang harus mencoba menguraikan dan mengatasinya, bukan"
Seperti itulah. Jadi sambil minum obat carilah kesibukan yang bermanfaat. Musik, misalnya. Setelah obat-obat ini habis, akan kita lihat bagaimana hasilnya untuk menentukan tindakan selanjutnya, begitu dokter tadi mengatakan kepadaku.
t . c Ingatan terhadap perkataan dokter pagi tadi menimbulkan reaksi penolakan dalam diriku. Aku tidak mau hidup bergantung pada obat-obatan seperti nyonya-nyonya tua yang sedang mengalami krisis mental karena merasa tak ada gunanya lagi. Selama ini aku termasuk pribadi yang sehat dan seimbang. Kenapa hanya karena perlakuan Mas Yoyok yang mencuil harga diriku lalu kubiarkan aku jadi sakit begini. Wah, aku harus bisa menahan rasa pusingku dengan mengalihkan perhatianku kepada hal-hal lainnya. Bekerja di kantor seperti sebelum menikah, misalnya. Mas Yoyok memang tidak ingin aku bekerja kecuali di perusahaannya atau anak perusahaannya. Tetapi aku ingin bekerja di kantor lain. Dan itu hakku sepenuhnya. Dia tidak boleh melarangku.
Kukenali diriku sendiri, aku bukan perempuan lemah. Aku pasti mampu mengatasi masalah yang sebenarnya bisa kuatasi dengan perlawanan. Kalau Mas Yoyok menganggap keberadaan seorang istri sebagai penyalur kebutuhan biologisnya, kenapa aku tidak bisa melakukan hal sama" Begitulah, dengan pikiran seperti itu ketiga obat yang masih ada di atas telapak tanganku itu kulempar ke sudut kamar. Aku tidak mau mengonsumsinya. Ketiga obat itu pun membentur dinding sehingga menimbulkan suara gemerisik.
Apa yang kaubuang itu, Retno" Tiba-tiba kudengar suara Mas Yoyok. Kutoleh, laki-laki itu sudah berada di tengah ruang tidurku. Aku tidak mendengar dia masuk.
Obat& , aku menjawab pendek.
t . c Obat apa" Tidak kubaca nama obatnya. Dokter Hardi yang memberi resepnya untukku, aku menjawab apa adanya. Tadi pagi aku ke tempat praktiknya lagi. Kau sakit"
Tidak. Tetapi beberapa hari ini kepalaku sering berputar seperti gasing sampai mual rasanya, sahutku.
Lalu kenapa obatnya malah kaubuang" Aku tidak mau tergantung pada obat-obatan. Nah, sudahilah pembicaraan mengenai sakit kepalaku. Pokoknya aku masih bisa menahannya. Sambil berkata begitu, kubaringkan tubuhku ke tempat tidur. Kurasa akan lebih baik kalau aku mencoba untuk tidur tanpa bantuan obat. Semua yang membebani batinku harus bisa kubuang jauh daripada minum obat yang rentan menjadi kebiasaan dan ketergantungan.
Melihatku mulai membaringkan diri, Mas Yoyok ganti duduk di tepi tempat tidurku dan mengawasiku dengan tatapan tajam.
Masih pusing" tanyanya.
Masih. Tetapi aku akan mencoba mengatasinya. Jadi& artinya& aku tidak bisa tidur di sini" tanyanya ragu.
Aku ganti menatap wajahnya. Pertanyaan itu telah mengungkit emosiku. Hanya sebagai pelampias kebutuhan biologisnya sajakah keberadaanku di kamar sebelah kamar tidurnya ini" Tidak inginkah dia mengobrol, bercerita tentang bisnisnya, bertanya apa saja yang telah kulakukan sepanjang hari tadi, dan seterusnya serta
t . c seterusnya lagi" Untungnya meskipun kepalaku mulai pusing lagi, aku masih bisa menahan diri untuk tidak melampiaskan rasa tersinggungku.
Kenapa tidak" Kalau cuma mau tidur di sini, ya tidur sajalah, sahutku, berhasil mengendalikan suaraku agar tidak tinggi nadanya.
Tetapi kau bilang, kepalamu masih pusing. Kudengar lagi nada ragu itu dari mulutnya.
Sekarang aku tidak lagi mampu mengendalikan emosiku. Hm, inikah laki-laki yang biasanya tegas dan bossy itu"
Mas Yoyok hanya ingin tidur di sini, kan" kataku. Padahal aku tahu maksud kehadirannya ke kamar ini. Dari Aryanti, aku sudah tahu bahwa Mas Yoyok tidak biasa tidur bersama orang lain. Dan aku sudah membuktikannya sendiri.
Mmm& ya& , jawab Mas Yoyok agak terbata. Kalau tadi aku ingin marah, sekarang aku ingin tertawa. Laki-laki itu tampak malu-malu. Pasti sikap seperti itu tak pernah tampak jika ada di hadapan orang lain. Mungkin juga tidak, di hadapan Aryanti.
Kalau begitu, tidurlah, kataku dengan suara lebih lembut agar dia tidak malu lagi. Tetapi peluklah aku.
Permintaanku dituruti Mas Yoyok dengan sikap canggung yang kupahami sebabnya. Dia masuk ke kamarku bukan untuk memeluk istri yang sedang mengalami sakit kepala, tetapi untuk hal lain . Namun aku pura-pura tidak tahu. Bahkan dengan berlagak mengantuk dan kemudian berpura-pura menguap, aku menyurukkan kepalaku ke sisi tubuhnya sambil met . c lenturkan badanku. Tetapi ternyata sikap pura-pura seperti itu menyebabkan suasana jadi terasa tidak lagi nyaman. Untuk mengatasinya, kuangkat kepalaku dari kuusap lembut pipi laki-laki itu.
Tolong pijit-pijit kepalaku, Mas. Pelan-pelan saja, kataku.
Menilik caranya menatapku, aku yakin baru sekali ini ada orang berani memintanya melakukan perbuatan sepele seperti itu. Dugaan itu memunculkan sikap asliku yang belakangan ini nyaris tak pernah mencuat keluar, yaitu manja dan hangat.
Ayo dong, Mas& biar cepat sembuh. Sambil berkata seperti itu, kuraih tangan Mas Yoyok dan kuletakkan di kepalaku. Lembut dan yang enak ya& "
Tanpa mengatakan apa-apa, Mas Yoyok menuruti permintaanku. Jemarinya menyusuri anak-anak rambutku, tepat di tepi dahiku, memijit lembut sebagaimana yang kuinginkan.
Hmmmhh... enak pijatan tanganmu, Mas, aku bergumam. Kemudian kubalik tubuhku menghadap ke arah Mas Yoyok untuk kemudian kupeluk lehernya. Mmm& bau lehermu enak. Tidur begini sampai pagi pasti sangat menyenangkan.
Kutatap matanya. Aku yakin, belum pernah sekali pun ada seseorang yang bersikap manja kepadanya. Karenanya kusurukkan wajahku ke dadanya. Napasnya yang hangat dan mulai tak teratur, mengembusi dahiku.
Masih pusing" Kudengar Mas Yoyok bertanya dengan suara parau di atas kepalaku.
t . c Masih sedikit. Capek ya, Mas" tanyaku sambil menengadahkan kepalaku lagi. Kalau capek, hentikan pijitanmu.
Mungkin karena tak biasa memijit kepala orang, Mas Yoyok mengiyakan perkataanku. Dihentikannya gerakan tangannya dan tubuhnya mulai merenggang dari tubuhku sambil berkata,
Sebaiknya kau minum obat, Retno. Jangan membuang-buang obat lagi. Lalu cobalah tidur.
Karena aku tahu dia bermaksud pergi dari kamarku, lekas-lekas tangannya kutangkap dan kugenggam telapak tangannya kuat-kuat.
Aku pasti akan tidur nyenyak kalau kaupeluk sampai pagi, kataku dengan suara manja. Ayolah, Mas, jangan pergi.
Tetapi keberadaanku di sini apakah tidak mengganggu waktu istirahatmu"
Tidak. Di rumahku kalau aku sakit atau sedang tidak enak badan, ibuku tidur di sampingku sampai aku tertidur, jawabku.
Dengan tanpa daya, Mas Yoyok mendekatkan kembali tubuhnya ke tubuhku dan mulai memelukku lagi. Pelukannya kubalas dan kusurukkan lagi wajahku ke dadanya.
Mmmh& nyaman, gumamku sambil memejamkan mata. Terima kasih dan selamat tidur.
Aku semakin yakin, belum pernah ada seorang perempuan pun yang melakukan hal ini padanya. Tubuhnya terasa menegang ketika merasakan tubuh seorang perempuan bergelung bagai kucing manja di bawah
t . c ketiaknya. Tetapi sekali lagi, aku pura-pura tidak tahu. Perhatianku lebih tertuju pada usahaku untuk bisa rileks dan tertidur seperti ketika aku masih kecil dulu di dalam pelukan ibuku.
Pada waktu aku benar-benar sudah tertidur di dalam pelukannya, tiba-tiba aku terjaga kembali sewaktu kurasakan tangannya yang memeluk tubuhku terurai lepas meskipun itu dilakukannya dengan hati-hati agar aku tidak terbangun. Tetapi aku tak mau ditingggalkan. Selain itu, aku juga ingin mengajarinya berkasih mesra dalam sikap intim yang hangat. Bahwa kasih mesra tidak hanya melulu berkaitan dengan hubungan biologis saja.
Mmmm& jangan pergi& , begitu aku bergumam, masih setengah mengantuk. Peluklah aku sepanjang malam ini....
Aku tidak tahu apa yang dirasakan oleh Mas Yoyok, tetapi yang jelas malam itu aku tidur bersisian dengan laki-laki yang biasanya tidur seorang diri. Baru pada saat pagi mengintip di ufuk timur Mas Yoyok yang telah tidur bersamaku itu terbangun. Tetapi ketika kurasakan tubuhnya mulai bergerak bangkit, kuraih dia agar kembali berbaring di sisiku.
Aku sudah tidak pusing lagi, kataku sambil memeluk lehernya kuat-kuat. Jari jemariku yang berada di belakang kuduknya mempermainkan anak-anak rambut yang ada di bagian belakang kepalanya. Berilah aku kemesraan.
Sekali lagi aku merasa yakin, pasti belum pernah ada perempuan lain, Aryanti maksudku, minta dimesrai
t . c olehnya. Maka menjelang terang tanah di pagi hari itu kami bermesraan dengan cara yang jauh lebih intens dan jauh lebih bergairah. Laki-laki itu bersikap amat lembut dan luar biasa sabarnya sehingga aku bukan lagi sekadar sebatang tubuh melainkan seorang perempuan bernama Retno yang sedang diselimuti gairah. Dan dengan gairah yang bernyala-nyala kubakar Mas Yoyok sebagai respons atas perlakuannya yang mesra.
Kusangka sejak malam hari itu akan ada babak baru di dalam kehidupanku bersama Mas Yoyok, dia akan lebih sering tidur bersamaku sampai pagi hari. Tetapi ternyata laki-laki itu masih tetap dengan kebiasaan lamanya. Tidur sendirian, kaku, tegar dan dingin. Seakan, ada dua pribadi di dalam dirinya.
Rupanya ia terlalu kuat untuk bisa berubah secepat itu. Sikapnya kepadaku masih tetap mau memperlihatkan power-nya. Tetapi aku tak ingin terintimidasi olehnya. Jadi aku selalu berupaya untuk tampil dan berkelakuan sebagaimana yang kuinginkan. Bukan seperti yang diinginkannya. Kecuali tentu saja kalau itu sesuai dengan kata hatiku. Dan tidak seperti Aryanti, aku tidak pernah secara khusus mengantarkannya berangkat ke kantor sampai di teras. Tidak juga menyambutnya seperti cara Aryanti yang tergopoh-gopoh melayani kehadirannya kembali ke rumah. Aku tidak mau seperti itu.
Mula-mula air mukanya memang tampak tak senang kalau kepulangannya tak kusambut seperti Aryanti dulu menyambutnya. Kalau saat itu aku sedang mengerjakan sesuatu, aku tetap saja melakukannya
t . c tanpa menghentikannya seperti yang dulu dilakukan Yanti. Paling-paling aku hanya menyapanya, Hai... Tetapi lama-kelamaan Mas Yoyok mulai terbiasa juga menghadapi kelakuanku itu. Apalagi aku toh tidak melakukan kejahatan yang merusak perkawinan kami. Sebab pikirku, siapa bilang suami harus dijunjung dan dihormati seperi raja. Suami dan istri mempunyai posisi yang setara.
Di suatu sore, Mas Yoyok pulang ke rumah lebih cepat daripada biasanya. Diajaknya aku duduk di ruang tengah.
Minggu sore nanti aku akan mengundang para pemimpin perusahaan dan anak perusahaan maupun para kepala cabang untuk makan malam di sini bersama dengan istri-istri mereka, katanya.
Lima hari lagi. Hmm, berapa orang yang diundang dan apa acara undangan itu"
Sekitar dua puluh lima orang. Acaranya sih tidak begitu formal meskipun itu merupakan jamuan makan sebelum esok harinya menggelar rapat kerja tahunan. Mereka dari Jakarta saja" tanyaku.
Sebagian besar, ya. Lainnya dari Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, dan Bali. Oleh karena itu di samping jamuan makan malam sebagai acara pembukaan, kesempatan itu juga akan kupakai untuk mengenalkanmu kepada mereka.
Aku tertegun. Memang, ketika resepsi pernikahan kami hampir tiga bulan yang lalu, aku hanya mengenal para teman, rekan bisnis, keluarga, dan kerabat Mas Yoyok secara sekilas saja. Wajar kalau sekarang Mas
t . c Yoyok ingin mengenalkan diriku kepada mereka dalam kesempatan rapat tahunan tersebut. Sebagai pemilik saham sebanyak 70%, Mas Yoyok merasa perlu mengenalkan diriku kepada mereka.
Lalu apa yang harus kulakukan" tanyaku kemudian. Menjadi nyonya rumah yang baik.
Duh, jangan sampai emosiku terkait. Pasti di balik jawaban itu ada banyak ketentuan-ketentuan yang hanya menuruti kriterianya sendiri tanpa mengikutsertakan diriku sebagai orang yang paling terkait dalam makna menjadi nyonya rumah yang baik .
Pertama-tama, membeli gaun malam dengan model simpel, namun jelas merupakan pakaian yang berkelas. Oleh karena itu belilah gaun buatan desainer yang mampu menampilkan hal tersebut, jawab Mas Yoyok. Hm, jadi kriteria sebagai nyonya rumah yang baik menurut Mas Yoyok adalah tampil berkelas. Ah, sedangkal itukah pandangannya" Payah.
Apakah itu perlu" Kukerutkan dahiku tanpa menyembunyikannya dari penglihatan Mas Yoyok.
Dalam kehidupanku, aku hanya memutuskan halhal yang perlu-perlu saja, jawab Mas Yoyok. Aku mengumpat dalam hati. Apakah tidak ada kalimat yang lebih enak didengar"
Lalu apa lagi yang harus kusiapkan" Kucoba untuk tidak memasukkan ke hati apa pun yang diucapkannya. Kalau tidak, rasa pusing yang sekarang sudah tak pernah kurasakan, bisa hinggap di kepalaku lagi. Memesan makanan dari katering. Bu Tarsih memt . c punyai daftar alamat katering berikut menu-menu andalan mereka. Bicarakan segala sesuatunya dengan dia .
Bu Tarsih adalah orang kepercayaan Mas Yoyok dalam urusan konsumsi untuk jamuan makan entah itu di kantor, entah di rumah.
Oke, soal hidangan aku tak keberatan. Tetapi soal pakaian, terus terang aku merasa permintaanmu itu sudah berlebihan. Untuk menjamu tamu sebanyak dua puluh lima orang saja buat apa aku harus memakai pakaian khusus. Di lemari pakaianku masih ada dua gaun yang belum sempat kukenakan.
Aku ingin kau mengenakan gaun model terbaru yang belum pernah dipakai orang. Jangan tanya kenapa, sebab apa yang kuinginkan adalah demi kebaikan semua orang, jawab Mas Yoyok.
Demi kebaikan semua orang" Kurasa aku tidak termasuk di dalamnya! kubantah perkataan Mas Yoyok dengan sama tegasnya.
Kau istriku, Retno. Aku ingin orang melihat istriku seorang yang anggun, yang lain daripada lain, sesuai dengan kedudukanku di mata mereka.
Pelipisku mulai berdenyut oleh api amarah. Aku bukan Aryanti yang mau dirias, dipoles, dan dibungkus gemerlapnya kemewahan demi gengsi suami yang menganggap diri sebagai sang pemilik. Aku bukan milik siapa-siapa selain milik Tuhan dan milik diriku sendiri. Kendati telah menjadi istri orang, kepribadian dan sejumlah ciri yang menjadi identitasku tidak boleh tercuil karenanya. Dengan demikian aku juga berhak
t . c menentukan diriku sendiri. Menolak keinginan suami yang tak sesuai dengan hati nuraniku, misalnya. Mas Yoyok harus memahami hal itu. Sebagai istri, aku harus bisa membuka matanya. Selama ini pola pikir, pola rasa, pola sikap, dan pola tindaknya telah dibentuk oleh orangtua dan orang-orang di sekelilingnya. Aku tidak mau masuk di dalam lingkaran itu. Bahkan aku harus bisa mengeluarkan Mas Yoyok dari situ.
Tetapi aku ini bukan barang lho, Mas, begitu aku mulai mencetuskan apa yang kuinginkan.
Apa maksudmu" Di antara kedua alis matanya, aku melihat kerutan yang dalam.
Maksudku, aku tidak ingin menjadi bungkusan gemerlap demi gengsimu, demi wibawamu. Aku manusia yang memiliki keinginan dan kepribadian sendiri. Dan aku yakin, itu tidak akan mempermalukan dirimu. Untuk memberi nilai tambah pada dirimu, istri tidak harus tampil seperti boneka Barbie, jawabku.
Kulihat kerut di antara kedua alisnya itu semakin dalam dan matanya bersorot tajam dengan bibir terkatup rapat. Sebetulnya aku agak ngeri juga melihat pijar-pijar kemarahan yang memercik dari mata dan air mukanya itu, tetapi aku tidak mau mengalah demi suatu kebenaran. Aku juga tidak mau jadi pecundang yang identitasnya sebagai pribadi otonom terkikis. Dengan perkataan lain yang lebih jelas, aku tidak ingin menjadi Aryanti kedua.
Lantas apa maumu" tanya Mas Yoyok lama kemudian. Amarah yang ada di dadanya tersirat keluar lewat nada suaranya.
t . c Biarkan aku memilih pakaian yang akan kukenakan. Biarkan aku mengatur diriku sendiri, jawabku. Pakaian apa yang akan kaukenakan"
Aku menyebut pakaian berwarna keperakan berpotongan sederhana yang dibelikan olehnya. Gaun itu pernah kupakai ketika kami berdua menghadiri undangan perkawinan. Kuakui, pakaian yang kukenakan itu telah memberi tambahan nilai pada penampilanku, baik karena potongannya yang pas ke tubuhku maupun warnanya yang cantik itu, yang sangat pantas untukku. Sudah begitu aku telah merias wajah dan menata rambutku sehingga secara keseluruhan, aku tampak menawan. Waktu itu kulihat mata Mas Yoyok memancarkan rasa bangga, senang, dan puas. Terutama ketika memperkenalkan diriku pada kenalan-kenalannya yang kebetulan bertemu di sana. Tetapi aku justru merasa sebal. Kebanggaan Mas Yoyok sangat melekat pada segala sesuatu yang hanya ada pada permukaan diriku. Bukan pada hakikat diriku.
Agar hal seperti itu tak terjadi lagi, waktu ada undangan pengantin lagi dan Mas Yoyok menunjuk gaun apa yang harus kupakai, aku langsung menolaknya.
Biarkan aku memilih apa yang aku inginkan, Mas. Jangan menyuruhku memakai pakaian seperti yang kauinginkan. Canggung rasanya, begitu yang kukatakan waktu itu. Pokoknya aku tak akan mempermalukan dirimu. Tetapi kalau kau tetap merasa malu juga, bilang saja kali ini kau pergi ke undangan dengan pegawaimu.
t . c Kau sungguh keras kepala.
Sama, Mas. Kau juga keras kepala dan keras hati. Perkataanku dijawab dengan bantingan pintu. Petang harinya dari balik pintu tembusan yang hanya terbuka sedikit ia mengingatkanku bahwa kami akan berangkat sebentar lagi.
Kutunggu kau di ruang tengah sepuluh menit lagi, begitu katanya tanpa berniat melongokkan kepalanya ke kamarku. Dan ingat perkataanmu sendiri, jangan mempermalukan aku.
Oke. Aku tidak mengenakan gaun mana pun yang menurut kriteria penilaiannya berkelas. Setelah rambutku disanggul oleh salah seorang pegawai salon langganan yang kuminta datang menjelang sore sebelum Mas Yoyok pulang tadi, kukenakan kebaya modern dan kain sutera corak kontemporer berikut selendangnya yang serasi. Dari pantulan cermin di kamarku, aku bukan hanya tampak cantik, tetapi juga anggun dan tampil wah. Hanya lima menit saja sejak Mas Yoyok mengingatkanku dari balik pintu tembusan tadi, aku sudah keluar menemuinya.
Melihat sinar mata dan pancaran wajahnya ketika melihatku, aku yakin dia bukan hanya merasa puas, tetapi juga mengenali apa yang kukenakan itu sebagai salah satu dari sekian banyak hadiah perkawinan yang diberikannya kepadaku pada waktu lamaran. Sikapnya kepadaku langsung saja menjadi manis di sepanjang petang hingga malam hari di pesta itu. Namun aku tidak memedulikannya. Sikap manisnya bukan ditujut . c kannya kepadaku, tetapi pada pakaian yang kukenakan, karena bisa membuatnya merasa bangga.
Hari ini ketika Mas Yoyok mengatakan akan menyelenggarakan jamuan makan untuk tamu-tamunya, lagi-lagi masalah pakaian menjadi pembicaraan panas antara dirinya dan aku. Dia tidak setuju terhadap pilihanku, gaun warna perak yang menurutku bagus itu.
Kuakui gaun itu memang bagus, Retno. Tetapi entah seorang atau dua orang tamu kita nanti pasti sudah ada yang pernah melihatnya. Jadi pakailah yang lain, katanya.
Hm, kalau caranya seperti itu, tak heran aku jika pakaian Aryanti begitu banyak. Aku tak mau seperti itu sebab menurutku itu pemborosan dan tidak ada rasa setia kawan terhadap orang yang tak mampu. Di sini penuh dengan pakaian indah dan mahal, sementara ada banyak orang untuk membeli beras seliter saja pun mereka tak punya uang.
Kalau begitu aku akan memakai gaun yang berwarna merah bata yang kita beli di Plaza Senayan tiga minggu lalu. Aku belum pernah memakainya, sahutku begitu pikiran itu masuk ke otakku. Aku tidak ingin menjadi manusia yang tidak punya rasa setia kawan.
Terlalu sederhana, Retno. Sudahlah, besok pagi pergilah ke butik langganan kita. Nanti kutelepon dia supaya mencarikan yang cocok untuk acara itu, sahut Mas Yoyok.
Aku tidak mau. Usulmu itu sangat berlebihan. Jangan keras kepala, Retno. Ini kesempatan pertama untuk memperkenalkan dirimu pada rekan-rekant . c ku. Aku ingin mereka menaruh kesan sempurna padamu.
Kesempurnaan yang sesungguhnya tidak terletak pada pakaian maupun perhiasan. Jangan naif begitu ah.
Aku tahu. Tetapi kalau ditambah dengan pakaian yang pas dan pantas, pasti akan tampak sempurna. Jadi ayolah, Retno, jangan membuatku kecewa. Please.
Aku menarik napas panjang. Mas Yoyok belum pernah memohon seperti itu. Jadi ah, masa bodohlah apa yang terjadi.
Baiklah aku akan beli gaun lagi. Nah, selesai kan masalahnya" Aku mulai mengalah karena letih. Tetapi jangan paksa aku memakai perhiasan yang berlebihan. Biarkan aku merias diriku sesuai dengan keinginanku.
Mas Yoyok ganti mengalah. Malam hari berikutnya setelah selesai makan malam, dia masuk ke kamarku menanyakan seperti apa gaun yang kubeli siang tadi dan menyuruhku mencobanya. Karena tahu seleraku, perancang busana langganan Mas Yoyok itu memilihkan gaun yang sederhana modelnya dengan potongan leher agak dalam. Warnanya yang hijau lumut sangat cocok untukku dan memperjelas kulitku yang kuning langsat. Jahitannya sangat rapi dan pas melekat ke tubuh, memperlihatkan lekuk-liku badanku. Gaun itu indah, menurutku. Tetapi Mas Yoyok berpendapat lain.
Memang warnanya cocok untukmu. Tetapi rasanya masih kurang. Kenapa dia memilihkan untukmu pakaian yang kurang oke begini" Dia yang dimaksud adalah desainer langganannya itu.
t . c Bagaimana kalau dipadu dengan ini" kukenakan ban pinggang lebar berwarna sedikit keemasan yang menjadi setelan gaun hijau lumut itu. Aku memang sengaja membiarkan apa komentarnya dulu karena menurut sang desainer, keistimewaan gaun itu memang ada pada ban pinggangnya. Sementara belahan dada yang lebar bukan hanya memperlihatkan kulit leher dan dadaku yang kuning bersih, tetapi juga memberi peluang untuk meletakkan perhiasan di atasnya.
Setelah melihat keseluruhanku barulah Mas Yoyok merasa puas. Ia mengangguk.
Ternyata, bagus, katanya sambil berdiri untuk kemudian masuk ke kamarnya kembali. Tunggu sebentar, jangan dilepas dulu bajunya.
Ketika kembali ke kamarku, dia membawa kotak kecil berisi seuntai kalung emas dengan liontin berbentuk ikan lumba-lumba mungil sedang menjunjung bola. Di tengah bola terdapat sebutir berlian. Sederhana tetapi ketika Mas Yoyok mengenakannya ke leherku, kalung itu tampak cocok untukku yang menyukai kesederhanaan. Tidak berlebihan tetapi indah. Itu jugalah yang dikatakan Mas Yoyok setelah memandangiku beberapa saat lamanya.
Kalung ini cocok untuk gaunmu. Perhiasan yang terlalu ramai dan mencolok, bisa merebut perhatian orang dari gaun yang kaupakai. Kalung ini pasti juga cocok untukmu yang menyukai kesederhanaan. Tetapi sesederhana apa pun, orang tahu, kalung ini cukup memiliki nilai rupiah.
Ya, kataku. Kalung itu memang memiliki kepantast . c an seperti yang dikatakannya. Pas untuk gaunnya dan pas untuk kesukaanku. Tetapi kapan kalung ini kaubeli"
Sudah beberapa minggu yang lalu. Tetapi karena takut kaubentak-bentak, aku menyimpannya dan menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya kepadamu. Malam inilah waktunya yang tepat. Aku tertawa.
Sikapku yang tidak simpatik itu ada dasarnya, Mas. Aku tidak menyukai hal-hal yang berlebihan. Termasuk dalam hal pemberian hadiah. Pertama, kejutan yang semestinya mewarnai pemberian hadiah itu sudah tidak ada lagi karena seringnya terjadi. Kedua, hadiah yang berlebihan malah membuatku merasa muak seperti orang kekenyangan karena makan tanpa memakai ukuran. Ketiga, hadiah yang terlalu banyak tidak akan menumbuhkan ikatan perasaanku dengan barang tertentu. Cincin kesayangan, misalnya. Lain kan kalau milik kita tidak terlalu banyak Keempat, aku merasa berdosa kalau membiarkan diriku menerima hadiah secara terus-terusan. Nah, itulah yang sebenar-benarnya kurasakan.
Kenapa kok merasa berdosa"
Mas Yoyok pasti tahu kan bahwa di negara kita ini masih sangat banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk membeli bahan pokok kebutuhan vital seperti beras misalnya, mereka harus membanting tulang dan memeras keringat. Maka kalau aku terlalu bergelimang dalam kemewahan, berdosa rasanya, sahutku.
t . c Lalu maksudmu" Beramal jauh lebih baik daripada menimbuni hadiah yang mahal-mahal untukku.
Usulmu bagus sekali. Tetapi aku tidak suka memberikan hasil keringatku untuk mereka yang tidak mau berusaha menaikkan taraf kehidupan, seperti pengemis yang merasa lebih mudah menadahkan tangan daripada bekerja, misalnya. Hidup ini kan perjuangan. Kecuali kalau mereka memiliki cacat yang menghambat.
Mas, ada banyak orang yang sudah membanting tulang, memeras keringat, dan mengucurkan air mata darah tetapi hasilnya sangat minim. Kemiskinan itu kan ada banyak penyebabnya. Antara lain kemiskinan, ketidakmampuan orang untuk mengentaskan diri dari keterpurukan ekonomi. Ini memang lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor individual. Kemudian ada juga kemiskinan struktural yang disebabkan oleh struktur-struktur sosial-ekonomi yang tidak mendukung bahkan menghambat seseorang untuk maju di bidang ekonomi. Birokrasi yang berlebihan untuk mengurus pinjaman kredit bank, misalnya. Atau misalnya pula tukang becak yang langganannya banyak tetapi ketika keluar peraturan bebas becak di Jakarta maka dia kehilangan mata pencarian.


Istana Emas Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tidak mau berdebat denganmu, Retno. Aku cuma mau mengatakan padamu bahwa sejak masih sekolah, aku sudah terbiasa bekerja keras dan berusaha mati-matian untuk mengembangkan perusahaan. Bahwa setelah berhasil, aku menikmati kekayaan dan memant . c faatkan kelebihanku untuk apa pun yang kumaui, itu adalah sesuatu yang sangat wajar. Bukan suatu kekeliruan. Bukan dosa seperti apa yang kaukatakan itu.
Aku tidak mendebat perkataanmu, Mas. Tetapi ingin membuka matamu. Kalau kau tidak ingin memberi bantuan kepada orang yang tak mampu, berikan saja kelebihan uangmu kepada badan atau yayasan sosial. Pada rumah jompo, misalnya. Atau ke asrama yatim-piatu, pada penderita cacat, atau tempat penampungan bagi mereka yang mengalami bencana alam dan mengalami kehilangan pekerjaan. Kalau mau lebih mulia lagi, ciptakan lapangan kerja. Dengan uangmu, kau bisa melakukan banyak hal yang mulia dan bermanfaat bagi orang banyak daripada menimbuni hadiah-hadiah mubazir untukku.
Jangan menilaiku dari satu sudut pandang saja, Retno. Mas Yoyok menatapku dengan tatapan tajam. Melalui perusahaan, aku telah menampung banyak orang yang pada dasarnya sangat ulet tetapi sering kali mengalami kegagalan oleh hal-hal di luar dirinya. Kalau tidak ada lowongan yang pas, kutempatkan mereka sebagai tenaga lepas di luar usaha pokok mereka. Bu Tarsih termasuk di dalamnya. Dia punya rumah makan kecil yang dikelola saudaranya di belakang kantor. Masakannya lezat tetapi kurang laku. Tetapi sejak tenaganya sering kupakai, orang jadi tahu. Sekarang rumah makannya cukup ramai pada jam makan siang. Dengan perkataan lain, aku tidak pernah segan membantu orang asalkan bantuan itu tepat sasarannya. Entah kepribadiannya, daya juangnya, dan lain sebagainya.
t . c Syukurlah kalau begitu, komentarku.
Aku juga mempunyai perasaan, Retno. Tukang kebun di perusahaanku memiliki kemampuan untuk merawat tanaman dengan baik sekali. Dengan bakat alamnya, ia bisa mengatur tanaman yang ada dan mengombinasi jenis-jenis tanaman hias. Tak kalah dengan ahli pertamanan. Jadi kuberi dia gaji dua kali lipat daripada yang seharusnya. Bukan karena kasihan, tetapi karena aku menghargai hasil pekerjaannya. Intinya, aku ingin memberi pelajaran pada banyak pihak bahwa untuk mendapatkan uang yang memadai, orang harus melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab.
Pemikiran yang bagus, kataku tulus sambil melepaskan kalung dari leherku. Yah, baru kuketahui bahwa ternyata Mas Yoyok tidak seburuk yang kusangka. Nah, kita sudahi dulu pembicaraan ini, Mas. Sudah malam.
Memang sudah malam& . Mata laki-laki itu mengarah pada jam dinding di atas jendela kamarku. Kemudian beralih kepadaku yang saat itu masih berdiri di tengah kamar dengan baju baru dan kotak perhiasan di dalam telapak tanganku. Tetapi kenapa kau masih berdiri mematung di situ"
Aku ingin melepas gaun ini, sahutku agak tersipu. Tetapi keberadaanmu di kamar ini membuatku risi.
Mas Yoyok menatapku. Kemudian tanpa berkata apa-apa, dia berdiri dari tempat duduknya untuk kemudian meninggalkan kamarku. Dengan perasaan lega aku segera mengganti gaun baru warna hijau lumut itu
t . c dengan baju tidur. Meskipun kami telah melakukan hubungan intim berkali-kali, namun aku masih saja merasa malu untuk memakai atau melepas pakaian di hadapannya. Apalagi di bawah siraman lampu.
Setelah itu sebagaimana kebiasaanku setiap malam sebelum tidur, kubersihkan rias wajahku dan kusikat rambutku dengan sikat yang lembut. Ketika masih sibuk menyikat rambut seperti itu kulihat Mas Yoyok datang kembali ke kamarku. Laki-laki itu terus saja menatapiku sehingga aku menjadi canggung.
Ada yang belum kaukatakan kepadaku, Mas" pancingku.
Ya, mengenai menu yang akan kita hidangkan. Tetapi besok sajalah, jawabnya. Masih ada waktu untuk itu.
Aku mengangguk. Kusangka dia masih akan membicarakan tentang acara tersebut. Ternyata tidak. Tibatiba saja dia mengubah pembicaraan.
Biarkan rambutmu tetap seperti ini, Retno. Aku suka sekali melihatnya, katanya. Jadi sebaiknya jangan dipotong.
Kupandangi rambutku yang sedang kusikat pelanpelan itu. Di bawah sinar lampu, rambutku yang panjangnya melewati bahu itu tampak indah berkilauan Tidak heran kalau Mas Yoyok tak ingin aku memotong rambut. Semestinya aku merasa senang mendengar pujiannya itu. Sebab satu kali pun dia belum pernah memujiku. Tetapi tidak. Aku menangkap nada perintah di balik perkataannya itu dan aku tidak suka mendengarnya. Memangnya rambut siapa yang ada di kepalaku
t . c ini" Mau kupanjangkan atau mau kugunduli, itu hakku sepenuhnya.
Memangnya kenapa kalau kupotong" tanyaku menantang.
Aku tidak suka melihat perempuan yang sudah bersuami memotong pendek rambutnya. Titik, jawab Mas Yoyok tegas. Tak ada alasan lainnya.
Kalau saja ia menjawab bahwa aku tampak cantik dengan rambut panjang atau yang semacam itu, pasti akan kuturuti keinginannya. Apalagi aku juga suka dengan rambut panjangku itu. Tetapi karena jawabannya menyiratkan bahwa seorang istri adalah milik suaminya, aku jadi agak tersinggung. Kupalingkan wajahku ke arahnya.
Sayangnya aku justru baru saja berencana untuk memotong rambut karena lebih praktis dan menyikatnya tidak terlalu repot seperti ini, kataku kemudian. Tentu saja tidak demikian halnya.
Apa sih susahnya menyikat rambut panjang. Lagi pula dengan rambut panjang kau bisa tampil dengan pelbagai macam tatanan rambut. Disanggul, dijepit, diikat ekor kuda, atau diurai begitu saja.
Ah, sekarang ini banyak sekali rambut palsu yang bagus-bagus dan persis seperti rambut asli. Kalau ingin tampil dengan rambut panjang, akan kupakai wig. Gampang, kan"
Aku tidak suka melihat perempuan memakai wig, Mas Yoyok menjawab tegas. Palsu!
Itu hanya masalah selera dan perasaan saja. Bukan prinsip, sahutku acuh tak acuh.
t . c Tetapi bagaimana dengan kursus menata rambut, merias wajah, keluwesan, dan semacamnya yang membutuhkan rambut panjang untuk praktik" Mas Yoyok menjinjitkan alis matanya. Ya, dia pernah menyinggung tentang kursus ketika melihat aku memanggil orang salon untuk menyanggul rambutku. Tetapi tak kutanggapi.
Sama sekali aku tidak tertarik mengikuti kursuskursus semacam itu. Baru sekarang aku memberi komentar atas usulannya tersebut. Itu memang yang sebenarnya, sebab menurutku untuk bisa tampil dengan anggun, menata cara duduk dan berbicara, kemudian berpakaian yang serasi, beretiket dalam pergaulan dan sebagainya, tidak perlu dipelajari secara khusus. Ada banyak buku-buku yang bicara tentang hal itu dan ada banyak pula ajaran budi pekerti dari orangtua yang bisa menjadi bekal dalam tata pergaulan.
Tetapi itu penting, Retno. Menjadi pribadi yang tampil secara prima itu perlu dipelajari.
Sebagian, ya. Tetapi tidak perlu harus melalui kursus. Dari pengalaman konkret yang kita hadapi seharihari kita bisa belajar banyak hal. Melalui learning by doing dan menyerap ilmu kehidupan, kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang matang. Jadi, Mas, kau tak perlu merasa khawatir, aku tak akan mempermalukan dirimu. Aku bisa tampil baik kok. Kujamin itu.
Tetapi yang sudah baik akan menjadi sempura dengan bimbingan para ahlinya melalui kursus-kursus itu, Retno, Mas Yoyok masih tetap pada pendiriannya.
t . c Tentu saja aku tak mau kalah. Terlebih karena ingatanku lari kepada Aryanti yang dengan terpaksa mengikuti kursus keluwesan dan kecantikan yang malah membatasi dirinya, tak bisa tampil bebas seperti semula. Mau tertawa terbahak-bahak, ditahan. Mau berteriak memanggil penjaja makanan lewat, ditahan. Ingin bercelana ketat dan blus longgar, tak berani. Mana tahan aku disuruh begitu. Bukankah manusia itu seorang subjek yang memiliki otonomi pribadi" Kecuali yang sudah disepakati oleh masyarakat melalui wakilwakilnya di DPR dan telah disahkan oleh negara atau oleh ajaran moral, kenapa orang harus tunduk pada aturan-aturan buatan manusia yang bisa mengurangi eksistensinya"
Mungkin untuk orang-orang tertentu kursus semacam itu ada gunanya asalkan itu tidak cuma di permukaannya saja. Di luar tampil prima tetapi di rumah tampil seperti monster. Munaik, bantahku.
Diajak maju kok tidak mau, Mas Yoyok mulai menggerutu.
Idih, kok marah sih, Mas. Tadi kita kan bicara tentang rambut. Bukan mengenai kursus" aku juga ikutikutan menggerutu.
Lalu mau kauapakan rambutmu"
Kan aku tadi sudah bilang, mau kupotong biar tidak terlalu merepotkan, sahutku.
Kapan" Mas Yoyok bertanya, penuh rasa ingin tahu.
Secepatnya. Setelah aku tadi menyuruhmu untuk tidak met . c motong rambut, kan" Aku tak pernah mendengar rencanamu untuk memotong rambut. Mas Yoyok mencibir.
Aku tidak pernah mengumumkan semua rencanaku ke mana-mana. Apalagi yang tak ada kaitannya dengan orang lain. Rambut ini kan milikku sendiri. Mau kupanjangkan sampai ke tumit atau mau kugunduli, itu hakku sepenuhnya, sahutku semakin kesal.
Yang jelas kau hanya ingin menentang semua keinginanku, kata Mas Yoyok marah. Dan itu sudah kurasakan sejak Yanti masih hidup ketika kau berlibur di sini.
Kan aku sudah bilang berulang kali bahwa kita berdua ini tidak mungkin cocok. Tetapi Mas tetap saja melamarku hanya karena surat wasiat Yanti. Kutembak dia dengan senjata pamungkasku.
Mas Yoyok tidak menjawab perkataanku. Sebagai gantinya dia melangkah melewati pintu penghubung kamar kami berdua dan membantingnya keras-keras.
t . c A KU dan Mas Yoyok memang tidak pernah tampak
mesra. Bahkan nyaris tidak ada perasaan dekat dan akrab sebagaimana seharusnya yang terjadi di dalam hubungan suami-istri. Tetapi sejak peristiwa ia membanting pintu tembus malam itu sikapnya kepadaku bukan hanya kaku seperti biasanya, tetapi juga dingin. Seolah kami berdua merupakan orang asing yang tak kenal satu sama lain, yang kebetulan saja tinggal di bawah atap yang sama.
Keadaan itu membuatku merasa tertekan. Tanpa kemesraan di antara kami, bukan soal bagiku. Itu sudah terbiasa ada di antara kami berdua. Tetapi sikapnya yang dingin sungguh sangat mengganggu perasaanku. Jangan lagi kami yang hidup di satu rumah yang sama, menerima sikap dingin dari teman saja pun aku tidak suka karena sifatku yang sangat terbuka, suka bercanda, hangat, dan suka berteman. Oleh karena itulah aku jadi ragu untuk memotong rambutku. Apalagi
Dua Belas t . c masih terngiang di telingaku gema suara Mas Yoyok sebelum dia membanting pintu tembusan kamar kami, Kau hanya ingin menentang semua hal yang kuinginkan.
Secara jujur, aku mengakui hal itu. Aku memang ingin menentang semua yang diinginkan Mas Yoyok dan juga membantah semua yang ia katakan. Dasarnya, aku tidak ingin berada di bawah dominasinya seperti yang dialami Aryanti. Namun kalau mau lebih jujur lagi, aku ingin membalas apa yang pernah dilakukan Mas Yoyok terhadap Aryanti, yang tak pernah berani dibantah sahabatku itu.
Terkadang aku menangkap tatapan sinis dari bola mata Mas Yoyok setiap ia melirik rambutku yang masih tetap seperti sedia kala. Sikapnya amat menyebalkan. Kalau saja tidak ada Purnomo yang suka bergurau, kepalaku pasti sudah meledak. Ingin sekali aku melempar wajah Mas Yoyok yang menyebalkan itu dengan sandalku.
Aku tahu hubungan Mas Yoyok dengan Aryanti dulu berjalan dengan tenang, damai, dan aman-aman saja. Tetapi di dalamnya terdapat kegersangan yang menganga, kegersangan yang juga kualami di dalam perkawinanku dengan laki-laki itu. Dan kegersangan antara diriku dengan Mas Yoyok seperti telur di ujung tanduk. Artinya, setiap saat akan pecah menjadi pertengkaran yang bisa didengar orang lain. Paling tidak, Purnomo akan mengetahuinya. Oleh sebab itu perasaanku sering terganggu, khawatir kalau-kalau hubungan burukku dengan Mas Yoyok akan menjadi gunjingan.
t . c Aku paling tidak suka menjadi bahan pembicaraan orang. Apalagi di dalam rumahku sendiri.
Sementara itu hari demi hari terus berganti. Jamuan makan yang akan diselenggarakan di rumah ini tinggal dua hari lagi. Aku sudah menelepon Bu Tarsih untuk membahas menunya. Tetapi mau memesan di katering atau rumah makan mana, belum kami putuskan. Namun demikian, diam-diam aku sudah menelepon ibuku di Yogya untuk mendapatkan resep-resep masakan unik ala beliau. Rencanaku, di samping masakan pesanan dari rumah makan, aku juga ingin menghidangkan masakanku sendiri. Untuk itu aku minta saran kepada Ibu tentang masakan apa yang sebaiknya kuhidangkan untuk jamuan makan malam.
Ibuku mempunyai hobi memasak. Dapur rumah kami yang luas dan terang dengan jendelanya yang lebar-lebar itu merupakan tempat ibuku mengadakan berbagai percobaan. Resep dari mana saja, dicobanya. Bosan resep orang, ia akan mencoba-coba resep sendiri. Hasilnya, masakannya sangat enak dan tampilannya di meja makan, hebat. Di rumah, kami sering memasak bersama-sama. Bapak, Ibu, dan keempat anaknya, termasuk aku. Di tempat itu sambil memasak, kami mengobrol macam-macam dan saling goda. Singkat kata bagi kami sekeluarga, dapur merupakan tempat yang amat menyenangkan.
Di antara keempat anaknya, yang menuruni bakat memasak Ibu hanya aku dan Mas Bayu. Bedanya, kalau aku hanya sebatas sebagai hobi saja, Mas Bayu mengembangkannya dengan membuka rumah makan yang
t . c cukup laris dan bisa menyejahterakan keluarganya. Tetapi meskipun demikian, Mas Bayu tetap berkarier di kantor demi mengamalkan ilmunya.
Saran yang kuterima dari ibuku melalui telepon itu bukan masakan yang aneh. Justru masakan tradisional Jawa. Botok, oseng-oseng, tumis jamur campur tahu sutera. Hanya isinya yang membedakannya.
Botoknya harus kauberi udang yang banyak, petai, irisan daun melinjo, dan irisan cabai merah hijau, lalu kelapanya benar-benar yang muda. Terasinya merek anu yang enak. Botoknya dimasak dengan bungkusan daun pisang kelutuk. Nanti kalau sudah matang baru dibuka daunnya dan semuanya ditaruh jadi satu dalam pinggan kaca, begitu kemarin Ibu bicara panjang-lebar, memberikan ilmunya kepadaku. Lalu dihias. Boleh hanya diberi hiasan tomat berbentuk mawar, boleh juga diberi daun pisang yang sudah dihias pinggirnya sebagai alas di atas pinggan sebelum botoknya dituang ke situ.
Oke. Lalu oseng-osengnya, Bu"
Oseng-osengnya isi jerohan ayam, hati, ampela, dan usus dengan bumbu kemiri. Lalu usul Ibu yang lain adalah cah jamur tahu sutera. Keistimewaannya ada pada tiga macam cabai paprikanya. Ada merah, hijau, dan kuning. Tahu suteranya dipotong-potong bulat selebar jempol dan digoreng dulu. Beri campuran udang dan cumi, sedikit taoco kedelai hitam sedikit, dan ditumis dengan minyak wijen. Di piring hidangan, sempurnakanlah dengan wortel dan ketimun hias. Jadi, tiga menu itulah yang akan kutambahkan
t . c nanti. Ketiganya bukan barang baru bagiku. Hanya isi dan tampilannya saja yang sedikit berbeda karena bukan untuk makanan sehari-hari. Tetapi karena hal itu masih kurahasiakan, tampaknya Mas Yoyok merasa risau. Malam itu tiba-tiba dia masuk ke kamarku.
Saat itu aku sedang membaca novel di atas tempat tidur. Belakangan ini aku agak sulit tidur sehingga harus membaca dulu, agar kantukku datang. Serangan vertigo yang beberapa minggu lalu menggangguku, kini sudah tidak pernah kurasakan lagi. Tetapi sebagai gantinya, aku menderita insomnia ringan.
Kuhentikan bacaanku dan kutengadahkan kepalaku untuk menatap Mas Yoyok yang berdiri di tepi tempat tidurku. Wajahnya tampak tegang.
Ada apa" tanyaku kaku.
Aku ingin tahu apakah kau sudah memesan makanan untuk undangan makan malam dua hari mendatang, katanya.
Belum. Dahi Mas Yoyok langsung saja berkerut demi mendengar jawabanku itu.
Kenapa" Kita tinggal mempunyai waktu dua hari saja, katanya kemudian dengan suara dingin. Di Jakarta ini kita tidak bisa memesan masakan dengan mendadak. Jangan samakan irama kehidupan di sini dengan kota Yogya yang serba lamban dan santai.
Aku tahu. Jadi jangan khawatir selama aku masih mempunyai dua tangan yang lengkap, sahutku kalem.
Apa maksudmu" Alis mata Mas Yoyok mulai meninggi.
t . c Maksudku, aku yang akan memasak sendiri kalau sampai tidak bisa memesan masakan dari rumah makan ataupun dari katering.
Kau bisa memasak" Mas Yoyok bertanya heran. Kau yang sibuk mencari ilmu lalu berkarier di kantor, bisa memasak"
Memangnya tidak ada hari Sabtu, Minggu, dan hari libur lainnya" aku menjawab acuh tak acuh. Ibuku selalu mengajak kami semua, termasuk Bapak, untuk masuk ke dapur dan meliburkan pembantu rumah tangga untuk tidak memasak. Kecuali mencuci perabotan bekas kami memasak, tentu saja. Nah, dengan kebiasaan seperti itu, kami sekeluarga bisa memasak dan lumayan enak. Bahkan Mas Bayu bisa mendapat tambahan pemasukan yang lumayan besar dengan membuka rumah makan. Kau sudah tahu itu, kan"
Ya. Ibumu memang perempuan yang bijaksana. Anak-anak perempuannya harus bisa akrab dengan dapur meskipun sekolahnya tinggi dan kariernya bagus.
Bukan hanya anak-anak perempuannya saja, Mas. Tetapi semua anaknya, kupotong perkataan Mas Yoyok untuk membantah apa yang dikatakannya tadi. Sebelum masalah kesetaraan gender menjadi isu hangat, ibuku sudah menerapkannya di dalam keluarga. Semua pekerjaan harus bisa dilakukan oleh semua anaknya, laki maupun perempuan. Kalau ada perbedaan, itu bersifat individual. Bukan karena jenis kelaminnya, tetapi karena bakat dan apa yang memang diinginkan oleh yang bersangkutan.
t . c Jadi artinya, kau akan turun tangan sendiri untuk menjamu makan malam tamu-tamuku" Ada nada skeptis dari suara Mas Yoyok.
Kalau memang harus dilakukan, kenapa tidak" Siapa takut" Aku mengerucutkan bibirku, menantang ketidakpercayaannya atas kemampuanku menghidangkan sesuatu yang pantas untuk tamunya.
Mas Yoyok melipat kedua tangannya di dadanya. Air mukanya tampak serius.
Jangan mengambil risiko, Retno. Aku tidak pernah melihatmu memasak. Jadi jangan membuatku malu di depan tamu-tamuku, katanya kemudian.
Kau menghinaku. Aku mulai menyembur. Bagaimana aku punya kesempatan untuk memasak kalau di dapur sudah ada koki yang dengan sempurnanya menyiapkan segala sesuatunya" Menyusun menu saja pun aku tidak pernah diajak serta. Paling-paling mereka cuma bertanya padaku, ingin masakan apa hari ini.
Kau hanya mencari-cari alasan untuk mengkritikku dan mencela jalannya kehidupan di rumah ini. Padahal kau yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan barumu ini. Padahal pula tidak akan ada orang yang marah atau tersinggung kalau kau yang menentukan menu masakan setiap harinya, Mas Yoyok ganti menyerangku. Selama tiga bulan menjadi nyonya rumah di sini, kau seperti mengambil jarak dengan segala hal yang ada. Lucunya, kau yang tidak bisa mengakrabkan diri dengan seluruh isi rumah, tetapi aku dan keadaan rumah ini yang kausalahkan.
Aku terdiam. Apa yang dikatakannya itu ada benart . c nya. Dan harus kuakui secara jujur bahwa tinggal di istana emas ini membuatku kehilangan rasa nyaman. Gedungnya terlalu luas dan mewah untuk bisa kuakrabi. Ruangan-ruangan dan pernak-perniknya terlalu banyak sehingga membutuhkan pelayan yang jumlahnya melebihi jumlah anggota keluarga. Ada yang mengurusi dapur, yaitu Popon. Dia juga harus siap kalau majikannya membutuhkan teh, kopi, atau yang lain. Ada Bik Nunung yang mengurusi cucian, termasuk mengganti kain seprai, taplak-taplak, tirai-tirai, dan lain sebagainya. Ada Asih yang mengurusi kebersihan seluruh rumah. Setiap hari dia sibuk dengan alat penyedot debu, kain pel, lap lanel, dan kemoceng berikut bermacam obat pembersihnya. Untuk kayu berpelitur, untuk kaca, untuk logam misalnya, berbeda-beda. Belum termasuk tukang kebun yang setiap hari datang untuk membersihkan dan mengurusi taman, termasuk menguras kolam renang setiap beberapa hari sekali. Pendek kata, karena rumah yang besar dan berperabot macammacam ini, maka ada pengeluaran ekstra yang menurutku merupakan pemborosan luar biasa. Tetapi terlepas dari semua itu, aku memang merasa seperti berada di luar pagar karena segala sesuatunya telah berjalan dengan sendirinya. Seakan diriku tidak dibutuhkan. Sudah begitu Mas Yoyok juga sering mengajakku pergi ke sana dan kemari, berkaitan dengan lingkup pergaulannya.
Aku yang terbiasa hidup apa adanya, sering merasa gerah berada dalam lingkup kehidupan yang serbateratur dan pergaulan yang berbeda dari golongan orangt . c orang sepergaulanku selama ini. Hal itu jugalah yang mendorongku melakukan tantangan dan protes terhadap apa saja yang tidak sesuai dengan kata hatiku. Terlebih jika itu mengusik eksistensiku, karena tidak bisa hadir sebagai diriku sendiri, misalnya. Jadi kukembalikan saja pembicaraan pada pokok persoalan.
Jangan memperlebar masalah, Mas. Kita sedang bicara mengenai masakan apa yang akan kita hidangkan, bukan" Kenapa kok mempersoalkan hal-hal yang tidak relevan" kataku kemudian.
Kau yang memulai lebih dulu, Retno. Kau yang tidak bisa melakukan penyesuaian dengan kondisi yang ada di rumah ini, dan menyalahkan segalanya yang sudah berjalan dengan amat baik bertahun-tahun lamanya, Mas Yoyok menangkis perkataanku.
Justru karena itulah aku merasa keberadaanku di sini seperti outsider, sahutku sambil melempar tanganku ke udara. Tetapi sudahlah, kita kembalikan saja pembicaraan ke pokok persoalannya. Nah, untuk acara jamuan makan itu kau mau memesan masakan di mana dan menunya apa, silakan. Aku akan menurut saja.
Tetapi sebagai nyonya rumah, kau tidak bisa lepas tangan begitu saja. Beri usul atau apa sajalah. Misalnya memilih penganan yang akan dihidangkan sebelum acara makan dimulai, lalu apa dessert-nya dan seterusnya lagi. Suara Mas Yoyok terdengar meninggi. Sudah semakin tak sabar rupanya.
Bagaimana aku bisa memikirkan apa menunya, apa pencuci mulutnya, dan lain sebagainya kalau perhatianku tidak ada di situ"
t . c Mendengar perkataanku, Mas Yoyok langsung duduk di tepi tempat tidurku. Novel yang kupegang, ditariknya untuk kemudian diletakkannya ke atas meja. Matanya menatap tajam ke arahku.
Tolong jelaskan apa maksudmu dengan mengatakan tidak menaruh perhatian pada acara jamuan makan yang akan kita selenggarakan itu" tanyanya kemudian dengan suara mendesis.
Yah, karena kau sudah menyusun rencana sendiri tanpa membicarakan lebih dulu apa mauku. Kausuruh aku membahasnya dengan Bu Tarsih dan aku sudah melakukannya. Tetapi itu kan kemauanmu. Bukan keinginanku. Jadi bagaimana aku bisa menaruh perhatian" Kusembur dia dengan kemarahan yang sama. Enak saja dia menarik novel yang sedang kubaca dari tanganku.
Lalu apa sebenarnya yang kauinginkan" Aku ingin memasak semuanya sendiri dengan kedua tanganku bersama Bu Tarsih, Popon, dan Bik Nunung. Asih juga bisa membantu, kalau perlu. Ingin kujamu tamu-tamumu itu dengan apa yang bisa kuhidangkan. Barangkali rasanya kurang enak, mungkin pula makanan yang kusediakan akan dianggap kampungan menurut kriteriamu, tetapi semua itu kumasak dengan tulus hati. Kenapa" Karena aku tidak suka menjadi boneka pajangan yang dibungkus kemewahan tetapi tidak tahu apa-apa mengenai seluruh kehidupan di dalam rumah ini kecuali menjadi pendamping yang harus bisa membuat suami bangga. Kebanggaan semu tentu saja, karena bukan kebanggaan
t . c atas apa yang ada pada diriku, melainkan apa yang menempel padaku.
Cukup ocehanmu itu, Mas Yoyok memutus rantai bicaraku. Wajahnya memerah. Tampaknya kemarahan mulai menyulut dirinya. Alangkah pandainya kau bersilat lidah.
Jangan mencela suatu kebenaran, Mas. Bedakan makna silat lidah dan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan realitas yang ada. Tidak sadarkah kau bahwa selama ini keberadaanku di sini bukan sebagai istri yang sebenar-benarnya istri atau belahan jiwa sang suami, tetapi merupakan semacam inventaris yang tak jauh bedanya dengan harta milikmu yang lain. Kecuali aku punya nyawa, tentu saja, aku juga mendesiskan kemarahanku. Memangnya hanya dia saja yang boleh melampiaskan kemarahannya"
Begitu kok tidak mau disebut silat lidah. Bicara seenaknya sendiri tanpa berpikir panjang lebih dulu, apa namanya! Mas Yoyok mendesis lagi.
Mas Yoyok betul-betul tidak bisa membedakan antara lidah tak bertulang yang suka bersilat kata, dengan perkataan-perkataan yang berpijak pada kebenaran, aku juga mendesiskan kemarahanku. Padahal pada kenyataannya kau suka mendikte dan mendominasi orang. Tetapi, aku bukan orang yang mau begitu saja diintimidasi oleh siapa pun. Aku punya otak juga lho, Mas. Jadi jangan coba-coba menyetirku lagi. Aku mempunyai hak sama untuk menentukan diriku sendiri sesuai apa yang kumaui dan kuinginkan
Aku tidak pernah mengintimidasi orang. Mas
t . c Yoyok merebut pembicaraan. Aku juga tak pernah menyetir orang.
Lalu apa namanya kalau seseorang mengarahkan, memaksakan kehendak dan mendikte orang" Coba jawab.
Kau memang setan kecil yang pandai bicara! Kemarahan Mas Yoyok semakin menyala-nyala. Berhadapan denganmu, akal sehatku jadi berantakan. Apa kata orang kalau mendengar setiap perkataanku selalu dibantah dan dikritik oleh istriku sendiri.
Oh, aku yakin mereka pasti akan berada di pihakku. Sikapmu selalu bossy, tahu" semburku, meningkatkan suhu amarah Mas Yoyok. Makanya belajarlah mereleksi diri.
Seperti kataku tadi, kau ini sungguh setan kecil. Hah, kau harus kutundukkan! Matanya berapi-api menatapku.
Kau juga perlu ditundukkan. Paling tidak oleh hati nuranimu. Jangan mau menangnya sendiri kenapa sih" aku tak mau kalah gertak. Kusambar dia dengan mataku yang kuperciki api amarah. Ubahlah pola pikir, pola pandang, dan pola rasamu yang hanya memakai ukuran dari sudut penglihatanmu sendiri yang tidak akurat. Semua itu&
Kata-kataku terhenti oleh telapak tangan Mas Yoyok yang tiba-tiba telah membungkam mulutku.
Akan kita lihat, siapa yang perlu ditundukkan, kata laki-laki itu. Dan kemudian tanpa kuduga sama sekali, tangannya yang semula membungkam mulutku ganti memeluk tubuhku erat-erat. Dan kemudian
t . c bibirku yang telah bebas itu diciuminya bertubi-tubi dengan cara yang kasar, bahkan nyaris buas. Karena begitu mendadak dan tak tersangka-sangka, aku tidak mempunyai kesempatan untuk melawan perbuatannya. Tetapi ketika tangannya mulai meraba dadaku, aku mulai berontak. Namun penolakanku itu menyebabkan emosinya semakin terburai. Dengan kekuatan isiknya yang terbiasa berolahraga, direnggutnya gaun tidurku sehingga beberapa kancingnya terlepas. Kelakuannya sungguh brutal.
Karena sama sekali tidak terpikirkan olehku bahwa Mas Yoyok akan memperlakukan diriku seperti itu, aku jadi kehilangan kekuatan. Dan tenagaku yang masih tersisa tak memadai untuk melawannya. Perlawananku malahan menyebabkan mulutku terasa sakit dan panas akibat ganasnya ciuman-ciumannya, dan mengakibatkan laki-laki itu menjadi semakin nekat sampai tubuhku terasa sakit semua sehingga lama-kelamaan aku terpaksa membiarkan saja apa yang ia lakukan atas diriku. Kubuat diriku seperti batang pisang tak bernyawa. Kubiarkan pula dia berbuat sekehendak hati atas tubuhku sampai akhirnya badai nafsu itu berlalu dari kepala laki-laki itu. Setelah dia menghentikan perbuatannya barulah air mataku kubiarkan mengalir deras melalui sudut-sudut mataku.
Puas" tanyaku dengan suara gemetar. Kubiarkan pula pakaianku yang berantakan dan tak keruan itu. Sedikit pun aku tidak ingin merapikannya.
Mas Yoyok tidak menjawab perkataanku, tetapi wajahnya tampak merah padam. Ia meluncur dari
t . c tempat tidurku tanpa sekilas pun berani menatap mataku. Dan kemudian dengan terburu-buru ia mengambil gaun tidurku dari lemari dan ditutupkannya ke tubuhku yang setengah telanjang, masih dengan mengelakkan pandang matanya ke arahku.
Aku tetap diam tak bergerak dengan air mata yang seperti tidak ada habisnya. Melihat itu Mas Yoyok menghela napas panjang untuk kemudian tanpa bersuara cepat-cepat keluar dari kamarku. Melihat itu lekas-lekas aku meloncat dari tempat tidur. Kututup pintu penghubung kedua kamar kami, kemudian setelah mengunci pintu itu, kuncinya kutarik dan kusembunyikan di lemari pakaianku. Baru sesudah itu kukenakan pakaian tidurku yang lain dan kulanjutkan tangisku. Hatiku benar-benar amat sedih.
Harus kuakui pada diriku sendiri perbuatannya tadi amat melukai perasaanku. Selama beberapa bulan menjadi istrinya, setiap kali kami melakukan hubungan intim yang mesra, setiap itu pula jauh di relung hatiku muncul semacam perasaan dekat yang sering timbultenggelam di dalam hatiku sehingga aku merasa takut pada diriku sendiri. Hubungan kami berdua memang tidak pernah mesra dan tidak pernah akrab, namun di atas tempat tidur ada yang berbeda di antara kami. Ada kemesraan, keintiman, kedekatan, dan kebersamaan yang semakin lama semakin intens, yang menyebabkan timbulnya benih-benih perasaan akrab yang selalu saja kutindas agar jangan sampai muncul ke permukaan. Sebab ada hal-hal pada dirinya yang sebenarnya merupakan dambaanku semasa gadis terhadap seorang
t . c laki-laki yang kuharapkan akan menjadi suamiku. Jantan, perkasa, sekaligus lembut, mesra, dan sabar. Dan itu hanya kulihat ada pada Mas Yoyok jika berada di kamar tidurku. Sebagai istri, aku mendambakan agar keharmonisan yang kami untai ketika sedang berduaan di kamar itu bisa tercermin juga dalam hubungan kami sehari-hari di luar kamar tidur. Tetapi apa yang kualami hari ini" Harapan itu bukan hanya semakin menipis saja, tetapi juga telah hancur berkeping-keping. Mas Yoyok telah memperlihatkan dominasinya atas diriku sebagai benda miliknya.
Keesokan harinya kami berdua sarapan dengan diam-diam. Aku merasa lega karena saat itu Purnomo sedang ke luar kota dan tidak melihat keadaan kami yang makan tanpa bicara sepatah kata pun. Aku sadar sekali, beberapa kali Mas Yoyok melirik ke arahku. Memang pagi itu selain sikapku menjadi pendiam sekali, mataku juga tampak sembap kendati aku sudah berusaha menyembunyikannya dengan rias mata. Entah apa pun yang ia pikirkan tentang diriku, aku tidak peduli. Tetapi pada malam harinya ketika aku sedang menonton ilm di atas tempat tidurku, tiba-tiba saja laki-laki itu sudah ada di kamarku, berdiri di tepi tempat tidur dan menatapku. Tentu saja aku kaget. Bukankah kuncinya sudah kusembunyikan.
Bagaimana kau bisa masuk ke sini" tanyaku, marah.
Ini rumahku. Dan aku yang membangunnya. Maka aku juga yang menyimpan kunci-kunci cadangan setiap pintu rumah ini, jawabnya dengan suara tenang dan
t . c lembut. Beda sekali dengan sikapnya tadi malam. Bagai bumi dan langit.
Mau apa Mas ke sini" Pembicaraan kita telah selesai, kan"
Aku ingin menebus kebrutalanku semalam. Tidak perlu. Simpan saja hadiahmu itu, Mas. Aku bukan anak kecil dan bukan pula perempuan materialistis. Kata-kata itu pernah kusemburkan kepadanya beberapa minggu lalu sesudah aku marah besar atas sikap kerasnya. Lalu dia memberiku hadiah cincin berlian, padahal bukan itu yang kuinginkan. Aku ingin ucapan permintaan maaf yang keluar dari mulutnya. Terlebih karena di sepanjang pengenalanku atas dirinya, tidak pernah sekali pun ia meminta maaf. Dan sekarang dia mau mengulanginya. Oleh karenanya malam ini kusembur lagi dia dengan teguran yang sama. Tetapi ternyata dia tidak membawa hadiah apa pun sebagaimana yang kusangka semula.
Aku tidak membawa hadiah apa pun. Aku kapok kaucela dan kaukritik terus, sahut Mas Yoyok. Masih kalem dan masih lembut.
Lalu..." tanyaku tak mengerti.
Aku hanya ingin memijitmu kalau-kalau kepalamu pusing lagi atau mungkin badanmu ada yang sakit karena ulahku semalam. Jadi izinkanlah aku mengobatinya& . Berkata seperti itu Mas Yoyok tampak agak tersipu. Semburat rona merah melintasi wajahnya.
Ya Tuhan, aku yakin baru sekali ini laki-laki itu mengucapkan kata-kata semacam itu kepada seseorang. Tidak juga kepada Aryanti. Caranya bicara tampak
t . c lucu dan tersendat-sendat seperti anak kecil ketahuan oleh ibunya mengambil barang yang bukan miliknya Inikah laki-laki bossy itu" Inikah laki-laki yang ditakuti oleh anak buahnya karena sikapnya yang selalu tegas, keras, dan disiplin itu" Inikah laki-laki yang tadi malam memperkosaku" Tetapi ah, aku tidak ingin terpengaruh oleh sikapnya itu.
Aku tidak pusing, sahutku kemudian, terang-terangan menolak keberadaannya. Tubuhku yang sakit-sakit sudah kurendam dengan air hangat dan cairan aroma terapi.
Mas Yoyok tidak menanggapi perkataanku. Tanpa berkata apa pun ia merebahkan tubuhnya di sampingku. Kemudian tangannya terulur ke arahku untuk kemudian memelukku. Tetapi cepat-cepat aku bergerak menjauhinya sehingga pelukannya lepas. Namun tampaknya hal itu sudah diperhitungkannya. Tangannya meraihku kembali dan dikuncinya tubuhku di dalam pelukannya sambil mengusap-usap lembut lengan dan punggungku. Ketika merasakan tubuhku menegang, wajahku diraihnya, lalu dikecupinya bibir dan seluruh wajahku dengan kecupan lembut dan mesra sambil tangannya mengelusi leher, rambut, bahu, dan punggungku.
Mas Yoyok memang selalu bersikap lembut dan mesra di atas tempat tidur. Tetapi kali itu kemesraan dan kelembutannya terasa luar biasa. Ia terus saja menelusuri dan membelai seluruh permukaan kulit tubuhku tanpa ada yang terlewati dengan cara sedemikian rupa. Akibatnya, pelan tetapi pasti kemarahanku mulai mencair di dalam dekapannya. Bahkan kemudian det . c ngan seluruh kerelaanku, aku mulai menyambut perlakuannya dan akhirnya juga membalas perbuatannya dengan lembut dan mesra. Caranya melepas pakaianku juga begitu hati-hati sambil tetap mengecupi bibir, leher, dan pipiku sehingga tidak ada sela dan kesempatan yang bisa menyebabkan sisa-sisa kemarahan yang masih ada, masuk kembali ke dadaku. Maka seperti biasanya, kami berdua lebur dalam kebersamaan yang mendebarkan. Bahkan lebih indah dan lebih bergelora sehingga sesudah kemesraan tertinggi itu berakhir, aku yang biasanya mengalami sulit tidur, langsung saja terlelap pulas dengan nyenyak.
Pada tengah malam ketika aku terbangun, kulihat selimut telah membungkus rapi tubuhku kendati di bawahnya pakaian tidurku masih berantakan. Rupanya Mas Yoyok menyelimuti tubuhku rapat-rapat dengan hati-hati agar jangan sampai aku terbangun. Menyadari hal itu, perasaanku tersentuh dan berharap laki-laki itu masih ada di sampingku. Tetapi ternyata, tempat di sisiku itu kosong seperti biasanya. Waktu kuraba, seprai di sampingku terasa dingin. Kain itu telah menyerap sejuknya AC. Berarti sudah sejak tadi Mas Yoyok kembali ke kamarnya. Tetapi tidak seperti bisanya, kali itu aku merasakan semacam rasa kehilangan yang amat mengusik perasaan. Rasanya seperti ada yang mencubit hatiku saat melihat tempat tidur besar itu hanya aku sendiri yang menempatinya. Sungguh tak kumengerti bagaimana laki-laki yang tadi sedemikian mesranya mencumbuiku, bisa-bisanya pergi begitu saja meninggalkan aku sendirian. Tidakkah dia mempunyai
t . c sedikit saja perasaan dekat untuk tetap berbaring di sini agar aku bisa meletakkan kepala di samping bidang dadanya" Tidak tergerakkah hatinya untuk merasakan manisnya kemesraan, tidur berpelukan hingga pagi" Jangan-jangan aku ini hanya sekadar objek pelampiasan kebutuhan biogisnya semata. Tak lebih.
Merasa sedih sekali, kukenakan pakaian tidurku yang semula berserakan di bawah selimut. Pelan-pelan aku masuk ke dalam kamarnya. Dari cahaya lampu tidur, kulihat wajahnya yang ganteng tampak damai dan terlihat begitu muda tanpa topeng-topeng bossy yang biasanya menabiri. Dadanya bergerak dengan teratur, seirama dengan alunan napasnya.
Tanpa bisa menahan diri, dengan hati-hati dan pelan-pelan aku membaringkan diri di sisinya dan kusurukkan tubuhku di bawah selimutnya untuk kemudian melanjutkan tidurku di samping laki-laki yang telah memberiku kemesraan yang sedemikian luar biasanya tadi. Maka tanpa sepengetahuan si empunya kamar yang sedang tidur nyenyak, aku bergelung di sisinya, berharap jika terbangun esok pagi bersama-sama, Mas Yoyok akan merasakan makna keakraban suami-istri yang sesungguhnya.
Tetapi ternyata harapan itu sia-sia belaka. Pagi harinya ketika aku terbangun, Mas Yoyok sudah tidak ada di kamar. Melihat jam dinding yang sudah menunjuk pukul tujuh lewat, aku tahu Mas Yoyok sudah berangkat ke tempat kerjanya. Tidak ada kata-kata apa pun yang diucapkannya kepadaku. Barangkali saja ia merasa tidak perlu pamit padaku. Atau jangan-jangan
t . c bagi laki-laki itu keberadaanku di sini dianggap bagai angin lalu belaka. Sungguh, ternyata salah besar kalau aku menyimpan harapan terjadinya perubahan sikap Mas Yoyok. Dia terlalu kuat untuk bisa mengubah kebiasaannya, kendati itu hanya terjadi di dalam kamar tidur yang tak perlu diperlihatkan di luar.
Jam sembilan, Mas Yoyok meneleponku dari kantor. Begitu mendengar suaranya, harapanku muncul kembali. Mungkin saja dia ingin mengucapkan sepatah atau dua patah kata tentang perasaan senangnya melihat keberadaanku di atas tempat tidurnya semalam. Tetapi karena pagi tadi aku masih lelap, ia tak mau mengganggu istirahatku. Namun lagi-lagi kenyataan yang ada menunjukkan bahwa aku berharap terlalu tinggi. Sepatah kata pun Mas Yoyok tidak menyinggung masalah itu. Ia menelepon untuk mengingatkan diriku pada acara jamuan makan, malam nanti.
Jangan lupa mengatur segala sesuatunya untuk acara jamuan makan malam nanti, Retno, begitu ia mengingatkanku. Bicarakan hal itu dengan Bu Tarsih dan perintahkan Nunung dan Asih untuk mengeluarkan kursi-kursi tambahan.
Aku tertegun, baru ingat pada acara jamuan makan yang akan diselenggarakan malam nanti. Hampir saja aku lupa karena terlalu memikirkan urusan hatiku sendiri. Tetapi aku tak mau mengakuinya.
Ya, sahutku dengan suara meyakinkan. Akan kuurus dengan sebaik-baiknya, Mas.
Terima kasih. Suara bernada formal itu menyusup ke telingaku.
t . c Setelah meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya, cepat-cepat aku menelepon Bu Tarsih dan memintanya datang ke rumah.
Saya memang akan ke sana sekarang, Bu. Dia malah lebih ingat pada tugasnya daripada diriku. Syukurlah kalau begitu, sahutku.
Begitu Bu Tarsih datang, kami berdua langsung membahas susunan menu yang akan kami hidangkan, baru kemudian menelepon rumah makan. Untuk memesan katering tidak bisa mendadak begini. Yah, garagara aku tidak cepat tanggap dan lebih memikirkan perasaanku sendiri. Tetapi rumah makan yang disarankan oleh Bu Tarsih sanggup menyediakan hidangan andalannya.
Masakannya enak-enak, Bu Retno. Apalagi masakan seafood-nya, kata Bu Tarsih.
Ya, aku percaya. Makanan akan datang antara jam enam hingga setengah tujuh petang nanti. Langsung ditaruh di atas pinggan pemanas. Nanti kalau tamu-tamu sudah datang, baru apinya saya nyalakan. Begitu, Bu" Setuju.
Jadi sekarang saya tinggal mengeluarkan piring, sendok, dan peralatan makan lainnya. Lalu memesan dua rangkaian bunga. Satu untuk diletakkan di atas meja prasmanan dan satunya lagi ditaruh di atas meja kecil tempat hidangan penutup.
Kalau begitu kita bagi-bagi tugas ya, Bu Tarsih. Aku dan Popon akan belanja membeli keperluan lainnya, kataku.
t . c Jangan lupa makanan kecilnya ya, Bu. Saya akan membuat hidangan penutupnya.
Jadi membuat puding karamel dan es buah, kan" Ya. Akan saya beri buah naga biar ada warna merah hati.
Pokoknya saya pasrahkan kepada Bu Tarsih. Pasti beres.
Dua jam kemudian aku sudah kembali ke rumah dari berbelanja dan langsung terjun ke dapur dengan dibantu Bu Tarsih, Popon, dan Bik Nunung. Akan kutunjukkan kepada Mas Yoyok bahwa aku mampu memeriahkan acara makan malam nanti dengan kedua tanganku. Aku tidak mau lagi diperlakukan sebagai outsider. Bayangkan, urusan bunga saja Bu Tarsih yang mengurusi, padahal aku pernah belajar merangkai bunga selama tiga bulan ketika baru selesai kuliah dan belum mendapat pekerjaan. Bagiku, waktu sangat berharga. Apa pun kupelajari. Tetapi di sini, aku hanya disuruh dandan secantik mungkin dan nyaris tak mempunyai kesibukan. Memilih menu pun Bu Tarsih yang diberi gambaran oleh Mas Yoyok tentang masakan apa saja yang sekiranya cocok dihidangkan malam nanti.
Jadi aku akan membuat masakan sendiri sebagai tandingannya. Maka kepandaianku memasak yang kuwarisi dari ibuku, kukerahkan semua. Untungnya Bu Tarsih, Popon, dan Bik Nunung cukup mengerti kenapa aku ingin menghidangkan masakan buatanku sendiri. Bu Tarsih bahkan memujiku.
Saya bisa memasak botok, tetapi ya yang tradisional seperti biasanya itu, kurang pantas untuk dihidangt . c kan dalam jamuan makan. Tetapi ini penampialnnya saja sudah menggiurkan. Udangnya yang agak besarbesar dan berwarna kemerahan itu tampak memukau bergelimang kelapa muda, hijaunya irisan daun melinjo, irisan cabai hijau dan petai cina, serta putihnya teri nasi. Mudah-mudahan rasanya juga menggiurkan. Seperti penampilannya, katanya.
Cicipilah, Bu Tarsih, kataku sambil tertawa. Biar tahu rasanya.
Bu Tarsih menurut. Bahkan Popon dan Bik Nunung ikut-ikutan. Yang membuatku merasa puas, ketiganya langsung mengacungkan jempol.
Enak luar biasa lho, Bu, begitu Popon mengomentari masakanku.
Pokoknya top! Nunung menyambung. Sedap dan lezat, Bu. Sesuai dengan penampilannya yang menggiurkan. Bu Tarsih yang tidak langsung memberi komentar. Ia meresapi lebih dulu rasanya, baru memuji.
Terima kasih. Hidangan ini saya sajikan hanya untuk mereka yang mungkin sudah bosan dengan masakan-masakan rumah makan atau katering, sahutku, masih sambil tertawa. Nah, sekarang oseng-osengnya akan saya buat.
Oseng-oseng" Bu Tarsih membelalakkan matanya. Saya pikir jerohan ini untuk masakan lain.
Oseng-oseng juga pantas menjadi hidangan istimewa kok, Bu Tarsih. Lihat saja nanti hasilnya.
Apa yang kukatakan bukan sekadar pembelaan diri saja. Oseng-osengku memang tampak sama menggiurt . c kannya dengan botokku tadi. Ada hati ayam, ampela, usus, dan kutambahi paru, ginjal, serta babat sapi yang semuanya kupotong dadu. Harumnya masakan berbumbu oseng-oseng itu menerbitkan air liur. Sesudah itu baru kubuat tumis berisi cumi, udang, tahu sutera yang kupotong bulat-bulat dan digoreng lebih dulu sehingga warnanya kecokelatan dan ditambah brokoli yang berwarna hijau segar. Masih ditambah pula irisan paprika merah, kuning, dan hijau yang menambah cantiknya kombinasi oseng-osengku. Jam setengah dua siang semuanya selesai. Kusisihkan sebagian untuk makan siang dan kemudian kusuruh orang-orang itu makan dengan lauk buatanku.
Wah, betul-betul nikmat lho, Bu. Mana nasinya hangat, kata Bu Tarsih. Ditambah sambal terasi buatan Popon.
Mertua lewat sampai tidak kelihatan, canda Nunung.
Tentu saja karena jalannya lewat belakang, goda Popon.
Kami semua tertawa. Selama kami memasak bersama untuk menyiapkan acara santap malam nanti, kekakuan dan sekat-sekat yang selama ini ada di antara kami, tiba-tiba saja luruh. Canda dan tawa tak hentihentinya mengiringi pekerjaan kami sehingga tanpa sadar karena hatiku senang, sambil bekerja aku juga menyanyi.
Nanti aku akan membuat sambal bajak untuk pelengkapnya, kataku sesudah capek menyanyi. Biar lebih nikmat.
t . c Sambal yang enak memang nikmat, komentar Bu Tarsih. Tetapi suara Ibu jauh lebih nikmat. Iya lho, Bu, bik Nunung menyela. Betul! Sepertinya lebih bagus daripada suara Krisdayanti, Popon menyambung.
Jangan berlebihan memujiku ah.
Betul atau tidak yang mereka katakan, yang jelas hari itu merupakan titik awal dari hubungan hangat di antara diriku dengan para pembantu rumah tangga di istana emas ini. Melihat seri mata mereka, aku mengambil kesimpulan bahwa selama ini meskipun mereka bekerja dengan sangat baik, tapi tanpa seluruh hati mereka. Perubahan yang kubawa mulai hari itu memberi angin segar buat mereka, yang akhirnya berimbas kepadaku juga. Aku mulai merasa hidupku menjadi lebih berarti. Suasana seperti di rumah orangtuaku pelan-pelan kuambil alih sampai akhirnya dengan terus terang Popon mengungkapkan perasaannya.
Saya jadi kerasan bekerja di sini. Semula, saya merasa seperti mesin. Kalau bukan karena gajinya yang besar, saya jenuh bekerja di sini, katanya terus terang. Tetapi sekarang, tidak. Saya tidak lagi merasa takut untuk nembang sambil bekerja.
Betul kata Popon, Bu. Rumah yang semula terasa sepi ini sekarang terasa lebih semarak, kata Asih. Apalagi Ibu sekarang sering menyanyi, jadi senang rasanya.
Aku memang suka menyanyi. Di kamar mandi pun aku suka menyanyi. Keluargaku di Yogya suka met . c nyanyi semua sehingga dalam bekerja pun kami bisa berpaduan suara.
Sekarang kembali pada hari diadakan jamuan makan malam. Jam setengah lima, istana emas sudah mulai tampak semarak. Segala sesuatunya telah tertata rapi. Tetapi makanan yang kami pesan masih belum datang sehingga meja prasmanan masih kosong. Hanya meja-meja kecil dan meja dorong yang tersebar di mana-mana telah dipenuhi makanan kecil gelas-gelas kosong yang siap diisi macam-macam soft drink yang kubeli siang tadi. Meja di sudut yang disediakan untuk tempat hidangan penutup, baru diberi tumpukan piring dan sendok kecil. Masih sepi karena hidangan penutup itu masih di lemari es.
Ketika Mas Yoyok datang, aku baru saja keluar dari dapur untuk melihat sekali lagi apakah ketiga masakanku sudah tampak serasi menempati pinggan-pinggan yang telah disiapkan oleh Bu Tarsih. Saat itu wajahku masih tampak berkilat karena panas kompor. Di atas pakaianku, aku masih mengenakan celemek.
Apa yang kaulakukan di dapur" Mas Yoyok menatapku dengan pandangan curiga. Pandang matanya terarah ke rambutku yang kuikat dengan karet gelang dan celemek yang menutupi pakaianku.
Memasak, sahutku pendek. Memasak" Untuk apa"
Untuk hidangan bagi tamu-tamu kita, tentu saja. Kau keras kepala, Retno. Sudah kukatakan, pesanlah makanan dari rumah makan atau dari katering! Suaranya yang keras membuatku menoleh ke arah
t . c pembantu-pembantu rumah tangga yang sedang sibuk menempatkan serbet kertas. Untung mereka tidak mendengar. Aku paling benci dibentak di dekat orang.
Untuk menghindari bentakannya lagi, kutinggalkan Mas Yoyok tanpa menanggapi perkataannya. Dengan langkah lebar aku masuk ke kamarku. Melihatku meninggalkannya begitu saja di ruang makan, Mas Yoyok naik darah. Cepat-cepat ia menyusulku ke kamar.
Lagi-lagi kau mau menentangku semaumu sendiri, katanya dengan wajah memerah. Kalau itu tidak ada kaitannya dengan orang-orang lain, aku masih bisa menerima. Tetapi ini..."
Orang-orang lain yang kaumaksud itu siapa" tanyaku memotong perkataannya sambil menarik gelang karet di rambutku dan melepas celemekku yang berbau bumbu dapur. Aku ingin segera mandi dan berkeramas.
Tamu-tamu kita nanti malam. Kaupikir siapa" Suara Mas Yoyok semakin meninggi ketika menjawab pertanyaanku. Akankah kaupermalukan aku di hadapan mereka, Retno"
Rasanya aku sering mengatakan kepadamu bahwa seburuk apa pun penilaianmu atas diriku, sama sekali aku bukan orang yang bisa melakukan sesuatu yang bisa mempermalukan suamiku sendiri. Kenapa kau tidak pernah memercayaiku sih" bentakku. Memangnya hanya dia saja yang boleh membentak orang. Aku juga punya mulut.
Mendengar bentakanku, Mas Yoyok memperlunak sikapnya.
t . c Memangnya masakan apa yang akan kauhidangkan nanti"
Botok, oseng-oseng, dan tumis.&
Apa keisitimewaan masakan kampungan seperti itu" Mas Yoyok memenggal perkataanku dengan bentakan.
Penghinaannya membuat darahku langsung naik ke ubun-ubun.
Masih ada tambahannya, sambal bajak di atas cobek. Komplet dengan lalapannya. Jengkol dan petai. Komplet plet, aku ganti membentak dan menyemburkan perkataan yang cuma gertak sambal itu. Tak ada petai dan tak ada jengkol. Sekali-sekali tamumu biar merasakan masakan kampungan.
Malam ini kesempatan pertamaku untuk mengenalkan dirimu, Retno. Jangan kaurusak reputasiku dengan ulahmu yang kekanakan, apa pun alasannya.
Mas sudah tahu kan, kalau aku ini orang kampung. Kampung Yogyakarta. Tetapi kenapa kau ingin menjadikan diriku sebagai istri padahal aku bisa menjatuhkan reputasimu, aku membentak lagi. Otakku yang panas menyebabkan mulutku melontarkan perkataan yang tak relevan. Tetapi ah, masa bodohlah.
Karena Yanti yang menginginkannya, sahut Mas Yoyok pedas.
Tetapi aku kan sudah mengatakan berulang kali bahwa suara dari kubur jangan terlalu didengarkan. Apalagi Yanti sendiri mengatakan tidak ada paksaan dalam usulnya itu. Tetapi karena terbiasa memaksakan kehendak, kau tetap saja ngotot ingin menjadikanku
t . c sebagai istri. Huh, kita ini sudah salah langkah sejak awal mula. Seharusnya kita tidak menikah. Seharusnya kau menikah dengan perempuan lain yang dengan senang hati mau menghamba, menyembah, dan mengiyakan apa pun permintaanmu. Seharusnya pula kau menikah dengan gadis jelita yang senang-senang saja dibungkus dengan semua yang serbamahal, tetapi otaknya dikosongkan dan perasaannya dibunuh. Kalau perempuan yang punya pendapat sendiri, hayo... aku berani taruhan potong kuping, dia pasti akan menyesal menikah denganmu dan...
Suaraku terhenti oleh cengkeraman tangan Mas Yoyok pada lengan kiriku. Cengkeraman itu kuat bagai jepitan besi sehingga nyaris saja aku berteriak kesakitan.
Lepaskan tanganmu dari lenganku! aku membentak lagi
Tidak. Kau setan kecil yang berhasil mengacaukan seluruh hidupku belakangan ini. Kau membuat kesabaranku hilang. Kalau saja kau laki-laki, sudah kutempeleng pipimu.
Kenapa kalau perempuan" Aku menjinjitkan alis mataku tinggi-tinggi dan dengan suara yang keras. Kondisi tercapainya keadilan dan kesetaraan gender kan masih terus diupayakan di pelbagai aspek kehidupan ini. Apa yang bisa dilakukan oleh laki-laki juga bisa dilakukan oleh perempuan. Apa yang dikerjakan perempuan ternyata juga bisa dikerjakan oleh laki-laki. Dan itu bukan sesuatu yang aneh. Kalaupun ada rasa asing, itu hanya soal waktu. Sekarang mungkin saja
t . c kita merasa kurang enak melihat laki-laki berantinganting dan berkalung, misalnya. Atau perempuan menjadi sopir bis malam, misalnya pula. Tetapi esok atau lusa, semua itu menjadi sesuatu yang wajar. Jadi kalau kau ingin memukulku, ayo silakan saja. Aku bisa membalas tempelenganmu lebih keras kok.
Tetapi Mas Yoyok tidak menamparku. Hanya tangannya saja yang masih tetap menjepit lenganku sehingga aku menganggap boleh-boleh saja kalau aku lebih dulu menamparnya. Jadi kupukul bahunya kuatkuat. Karena merasa sakit, jepitan tangannya atas lenganku dilepaskannya. Namun aku sudah telanjur kalap. Kudorong dadanya sekuat tenaga yang ada padaku.
Keluar& keluar dari kamarku dan jangan coba-coba masuk ke sini lagi kalau cuma mau merusak kedamaian hatiku! kataku masih sambil mendorong dadanya. Kau tak pantas berada di dalam kamar orang kampung.
Mungkin karena tidak menyangka aku bisa sekalap itu, Mas Yoyok mulai mundur. Dan kemudian dengan sigap ia menyelinap ke kamarnya kembali. Karena kunci kamar masih ada padanya, kuseret kursi di samping jendela kamar dan kuletakkan di muka pintu untuk menghalanginya masuk kembali ke kamarku.
Kalau menuruti kemauanku, maulah aku tetap berada di kamar tanpa berniat melakukan apa pun kecuali mandi lalu menyurukkan tubuhku ke bawah selimut dan menonton televisi sambil terkantuk-kantuk. Tetapi karena otakku masih berjalan wajar dan perasaanku masih bekerja normal aku tak boleh bersikap
t . c seperti anak kecil, mengabaikan tamu-tamu yang sudah datang jauh-jauh dari luar kota untuk memenuhi undangan Mas Yoyok. Jadi meskipun dengan perasaan enggan, aku segera masuk ke kamar mandi dan bersiapsiap untuk menyambut tamu-tamu yang akan datang. Tidak peduli betapapun panasnya hatiku yang sedang dipanggang amarah, aku harus menunjukkan diri sebagai manusia yang tahu aturan.


Istana Emas Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jadi begitulah, meskipun dengan perasaan apa boleh buat, kulakukan apa yang seharusnya kulakukan, menyambut dengan ramah kedatangan tamu-tamu kami.
t . c J AM sudah menunjuk pukul enam lebih sedikit ketika
aku sibuk menghias masakanku di dapur. Ketiganya sudah dipanaskan. Dan sekarang daun selada hijau segar, ketimun, wortel, dan tomat yang telah kuhias dalam bentuk bunga-bunga kutaruh di sekeliling masakanku yang sudah tertata rapi di pinggan-pinggan kaca. Hasilnya, masakanku tampak semakin cantik dan menggiurkan. Aku merasa amat lega karena semuanya berjalan melebihi apa yang kubayangkan. Masakanku bukan hanya tampak menerbitkan selera, tetapi juga tampak amat menarik.
Saat itu makanan pesanan dari rumah makan belum tiba. Jadi kuminta Bu Tarsih untuk menanyakannya ke rumah makan tersebut.
Tolong ditelepon ya, Bu Tarsih, kenapa pesanan kita belum datang. Aku akan membuat sambal. Bahanbahannya sudah disiapkan semua, kan"
Sudah, Bu. Malah sudah digoreng semua. Jadi seberapa banyak bahan yang akan Ibu pakai, bisa langTiga Belas t . c sung diramu dan dihaluskan. Nanti kalau sudah selesai, biar saya saja yang menumisnya, sahut Bu Tarsih menjawab pertanyaanku tadi.
Baik. Terima kasih. Ketika sedang menyiapkan sambal yang kubicarakan dengan Bu Tarsih tadi, Mas Yoyok melongok ke dapur. Seperti yang sudah kuduga, ia mengernyitkan dahinya waktu melihatku masih memakai pakaian rumah dan sibuk di dapur. Padahal aku sudah merias wajahku secantik mungkin. Dan rambutku yang masih bau sampo tampak tergerai lembut dan rapi membingkai wajah dan leherku. Tetapi rupanya Mas Yoyok lebih memperhatikan pakaian yang saat itu sedang kukenakan.
Kau belum juga siap" tanyanya dengan suara yang tak enak didengar.
Tinggal memakai gaun, sahutku tanpa menoleh ke arahnya. Kemarahan masih mengganjal dadaku. Aku sudah merias wajah dan menata rambut. Memangnya tidak kelihatan"
Kulirik, laki-laki itu sudah tampak rapi dan menarik. Celananya yang terbuat dari bahan pilihan, tampak sangat rapi jahitannya dan enak dilihat. Kemejanya pun demikian sehingga kelihatan serasi. Ia tampak tampan. Ditambah harum maskulin yang tersiar dari tubuhnya, ia sungguh merupakan laki-laki yang amat menarik.
Sekarang laki-laki yang tampak menarik itu memperhatikan wajah dan rambutku begitu mendengar sahutanku tadi. Air mukanya yang keras tadi tampak
t . c mengendur. Bahkan pandang matanya menyiratkan kepuasan. Aku yakin, dia sudah melihat kemolekan wajahku seperti yang terpantul dari cermin di kamarku tadi.
Lalu apa yang sedang kaulakukan di dapur" tanyanya kemudian dengan suara yang lebih enak didengar.
Jangan tanyakan apa yang kulakukan di dapur. Kau tak akan mampu memahaminya. Hanya orang-orang kampung saja yang mengerti apa yang sedang kukerjakan.
Mulai lagi! Mas Yoyok menggerutu. Kenapa suka betul sih kau bertengkar.
Siapa bilang" Tanyakan kepada teman-temanku di Yogya sana tentang diriku. Aku termasuk orang yang paling banyak temannya. Dan di dalam bergaul dengan siapa pun, aku dianggap paling hangat dan menyenangkan. Artinya, tidak ada seorang pun musuh dalam hidupku, kataku menyombongkan diri. Itu kenyataan kok.
Mas Yoyok tidak menjawab. Jadi kulanjutkan aku menyiapkan sambal dan menggiling cabe beserta bumbu-bumbunya baru kemudian kuberi air jeruk limau. Harumnya menerbitkan liur.
Seperti itu yang akan kauhidangkan untuk tamutamuku"
Ya. Dengan tiga macam masakan yang kubuat siang tadi. Makanan kampungan itu lho, sahutku, acuh tak acuh. Ketiga masakanku yang tampak cantik dan menerbitkan liur itu masih kusimpan di dalam lemari makan. Belum kukeluarkan.
t . c Jadi kau benar-benar akan mempermalukan aku" Suara Mas Yoyok nyaris terdengar menggeledek.
Kalau anggapanmu seperti itu, ya terserah. Yang penting sedikit pun aku tidak pernah berpikir sejahat itu. Tetapi kalau memang ternyata aku membuatmu merasa malu dan tamu-tamumu melihat betapa kampungannya diriku, itu ada baiknya juga. Mereka jadi bisa memaklumi jika di suatu ketika nanti kita harus berpisah, kataku.
Apa, Retno" sekarang laki-laki itu mulai membentak.
Bentakan itu meluapkan darahku meskipun tidak ada yang mendengar. Para pelayan sibuk di belakang dan Bu Tarsih masih menelepon di ruang tengah.
Yah, kalau kita terpaksa harus berpisah, kataku mengulangi perkataan yang membuat Mas Yoyok marah tadi. Itu mungkin saja terjadi, kan" Kita ini bagai minyak dan air. Bagai bumi dan langit! Pikiranmu tidak bermutu!
Tentu saja, Mas. Orang kampung sih! aku menjawab marah.
Aku paling benci kalau mendengar sepasang suamiistri mengucapkan kata cerai atau pisah dan menganggap itu sebagai cara menyelesaikan masalah. Sangat tidak bertanggung jawab dan sangat kerdil.
Harus kuakui kebenaran perkataan Mas Yoyok. Hanya orang yang pengecut dan tak bertanggung jawab sajalah yang setiap kali mengalami permasalahan dengan pasangannya, lalu mengajukan jalan perceraian atau perpisahan sebagai jalan keluarnya. Tetapi karena
t . c hatiku masih panas, perkataannya kutanggapi dengan sengit.
Lebih baik disebut sebagai orang yang tidak bertanggung jawab daripada hidup seperti di dalam neraka karena kita berdua sangat tidak cocok. Jadi semakin cepat kita mengurus perpisahan, akan semakin baik jadinya, kataku. Tentu saja itu hanya ada di mulutku saja. Aku sadar, perkawinan yang baru berjalan beberapa bulan pasti masih terlalu singkat untuk bisa melakukan penyesuaian diri. Lagi pula bukan sifatku untuk meninggalkan arena perjuangan sebelum titik darah penghabisan.
Mas Yoyok menghunjamkan pandang matanya ke arahku dengan tatapan tajam. Bibirnya bertaut membentuk garis tipis yang lurus dan ketat.
Kau kekanakan. Pikiranmu mentah dan tidak bermutu, desisnya sambil membalikkan tubuh, meninggalkan dapur.
Tomat yang kupegang nyaris pecah karena kuremas. Kalau tidak, pasti sudah melayang ke wajah Mas Yoyok. Sungguh, aku sendiri merasa heran kenapa emosiku bisa teraduk-aduk sedemikian kuatnya jika berhadapan dengan laki-laki itu. Tak pernah sebelumnya aku bersikap begini terhadap orang lain. Barangkali saja karena di relung hatiku aku mengakui kebenaran perkataannya, bahwa aku memang kekanakan, pikiranku mentah dan tak bermutu.
Setelah sambal bajak selesai kubuat, masih dengan perasaan jengkel sesudah mencuci tangan dan melepas celemek, aku kembali ke kamar untuk menukar pakaiant . c ku. Kursi besar masih terletak di muka pintu penghubung yang tertutup rapat itu. Setelah menarik napas panjang, minum air putih untuk menenangkan diri sejenak, aku mulai berdandan. Gaun hijau lumut berikat pinggang lebar warna keemasan itu benar-benar memberi pesona tersendiri pada diriku. Setelah menambal bedak dan menambahi seulas lipstik di bibirku, kukenakan kalung dengan liontin ikan lumba-lumba bertatahkan berlian pemberian Mas Yoyok beberapa hari yang lalu. Kemudian kukenakan gelang senada. Meskipun kecil namun dihiasi beberapa berlian. Baru setelah itu kububuhkan parfum di belakang telinga, di leher dekat nadi, dan di pergelangan tanganku. Lewat cermin dan cahaya di atas meja riasku, aku tampak penuh pesona. Paling tidak, begitulah yang kurasakan.
Ketika aku keluar untuk melihat meja prasmanan, di sana telah tertata rapi hidangan yang kami pesan dari rumah makan. Aromanya menerbitkan rasa lapar di dalam perutku. Rupanya makanan itu datang ketika aku masih ada di kamar. Kulihat Bu Tarsih juga sudah mengenakan pakaian yang bagus. Wajahnya tampak manis. Ia sedang mengatur letak pemanas ketika aku mendekatinya. Dia menoleh ke arahku, kemudian tersenyum.
Ibu tampak cantik sekali, katanya. Aku yakin, andaikata hari ini kami tidak banyak bercanda, tak akan berani dia memberi komentar seperti itu kepadaku.
Terima kasih. Bu Tarsih juga tampak cantik. Ah, Ibu bisa saja. Bu Tarsih tersipu. Bu, masakan
t . c Ibu belum saya keluarkan. Ditaruh di mana enaknya"
Sebaiknya jangan dicampur dengan masakan hasil laut ini, tetapi letakkan di atas meja tersendiri.
Saya juga sudah berpikir begitu. Biar nanti saya akan minta bantuan Popon untuk mengangkat meja yang ada di dekat kolam renang untuk diletakkan dekat meja tempat dessert. Kebetulan masih ada taplak senada dengan yang lain. Ibu setuju"
Ya, setuju sekali. Tolong segera diatur ya, Bu. Sebentar lagi tamu datang. Saya akan merangkai bunga untuk hiasannya.
Bunganya dari mana, Bu"
Dari taman. Aku tertawa pelan. Tunggu sajalah. Rangkaian itu kecil saja kok supaya jangan mengurangi pusat perhatian yang ada di tengah meja prasmanan.
Hanya sepuluh menit kemudian meja yang dipindah Bu Tarsih dan Popon itu sudah tampak cantik. Beberapa bunga warna oranye kekuningan dan dedaunan yang bentuknya cantik, baru saja selesai kurangkai dalam jambangan bersama beberapa ranting berbentuk unik. Jambangan tersebut kuletakkan di atas meja itu. Lumayan indah sehingga secara keseluruhan semua yang tertata di ruang tengah ini tampak semarak dan menyenangkan. Siap menerima tamu.
Ternyata Ibu juga bisa merangkai bunga. Dari apa yang ada, bisa terangkai sesuatu yang indah, komentar Bu Tarsih.
Aku pernah kursus selama beberapa bulan. Jadi
t . c tentu saja bisa merangkai bunga. Jadi bukan hal aneh. Aku tertawa.
Tahu begitu, saya kan tidak perlu memesan dari toko bunga. Malah saya bisa belajar dari Ibu.
Kapan-kapan saya ajari teori dan praktiknya yang paling dasar, mau" tanyaku.
Aduh, mau sekali. Baik. Kapan-kapan, ya" Ya, Bu. Terima kasih.
Setengah tujuh lewat, kulihat Mas Yoyok keluar dari ruang perpustakaan. Aku yakin, dia baru saja menenangkan diri di sana, cemas membayangkan perasaan malu yang menurutnya akan ia alami akibat ulahku.
Sungguh, aku jengkel sekali saat melihat wajahnya yang semula tegang berubah seratus delapan puluh derajat saat melihat pelbagai hidangan yang tertata rapi dan semaraknya ruang tengah itu.
Akhirnya kau mau juga menuruti saranku, katanya dengan air muka puas. Kenapa waktu aku marahmarah tadi kau tidak mengatakannya"
Karena kau tidak memercayai perkataanku bahwa tak mungkin aku akan mempermalukan suamiku sendiri, sahutku tanpa menyembunyikan suara jengkelku.
Tetapi apa sih susahnya mengatakan bahwa kau juga sudah memesan masakan selain memasak sendiri.
Aku tidak menanggapi perkataannya. Tepat di muka meja tempat masakanku tersaji, dia berhenti lama. Oseng-oseng jerohanku kupermanis dengan dengan
t . c mawar merah dari tomat dan daunnya dari cabai paprika hijau. Kuncupnya dari cabai rawit merah. Sementara botoknya kuhias dengan bunga yang kubuat dari ketimun mengelilingi pinggannya.
Karma Will Always Find 4 Pendekar Aneh Dari Andalas Karya Joko Pethuk Bara Di Jurang Guringring 1

Cari Blog Ini