Ceritasilat Novel Online

Bara Di Jurang Guringring 1

Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring Bagian 1


BARA DI JURANG GURINGRING Oleh : Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
Dalam episode 002 :
Bara di Jurang Guringring
144 hal. http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Kicau burung-burung kecil mulai
terdengar, menyambut surya berwarna
kemerahan yang merambat perlahan dari bentangan kaki langit sebelah timur.
Puncak Gunung Semeru yang tertutup awan putih, samar-samar mulai unjuk diri.
Nun jauh di sana, tepatnya di sebuah dataran rumput berwarna merah yang diapit
dua bukit kecil, seorang pemuda berbaju hijau ketat dengan pakaian dalam
berwarna kuning dan rambut dikuncir ekor kuda.
Tampak mondar-mandir mengelilingi sebuah gubukyang terbuat dari anyaman bambu.
Meski sinar mentari belum merambah
tempat di sekitarnya, namun sekujur tubuh pemuda berambut gondrong itu sudah
nampak berkeringat. Sesekali rambut panjangnya yang acak-acakan disisir dengan
jari-jari tangannya sambil menarik napas
dalam-dalanj. Di wajahnya tampak semburat rasa kecewa.
"Aku yakin ada sesuatu telah menimpa Eyang Selaksa dan Ajeng Roro! Rumput-rumput
merah itu bertebaran ke mana-mana.
Tanah di sekitar gubuk dan Blumbang
terlihat rengkah! Tapi..., kalau terjadi bentrokan, kenapa batu-batu di atas
tanah yang rengkah itu tak terusik" Batu-batu itu bagai tak tersentuh! Dan,
tulisan di dalam gubuk" Siapa yang melakukannya?"
Wajah pemuda yang tak lain Aji Saputra alias Pendekar Mata Keranjang 108
seketika merah padam.
"Brengsek!" rutuk Aji. "Gara-gara orang sinting yang berjuluk Diraja
Kilatan Maut aku terlambat menemui Eyang Selaksa! Diraja Kilatan Maut.... Siapa
pula mereka itu" Ah.... Tapi itu tak penting! Lebih penting, aku mencari Eyang
Selaksa dan Ajeng Roro. Aku harus
menanyakan beberapa hal yang masih belum kuketahui tentang kejadian-kejadian
yang kualami selama ini! Jurang Guringring..."
Aku harus ke sana! Entah, di mana jurang itu berada yang pasti aku harus ke
sana! Melihat tulisan itu, pasti Eyang dan Roro diculik!" rasa geram tersirat, meski
Aji tampak sendirian.
Tak lama kemudian, pemuda itu kembali melangkah ke sekitar gubuk hingga padang
rumput. Dan tiba-tiba dia berbalik,
kembali ke depan gubuk. Wajahnya tampak tambah membesi.
"Apakah Putri Tunjung Kuning...?"
Sejenak pemuda itu memandang ke arah lereng bukit.
"Tapi..., akh! Pusing jadinya!"
bisik Aji sambil mengalihkan pandangan ke depan. Dan saat itu Aji seakan tak
percaya ketika melihat seseorang telah
membelakangi dirinya. Orang itu duduk di atas sebuah batu di sebelah Blumbang.
Padahal tadi Aji melihat tempat itu tak ada orang.
"Meski aku sudah berlatih di Karang Langit, tapi dari kedatangannya yang tak
bisa kulihat dan kudengar, ia pasti bukan orang sembarangan. Tak mustahil, dia
biang kejadian di sini!" kata pemuda berbaju hijau ketat dengan pakaian dalam
berwarna kuning itu dalam hati.
Berpikir begitu, tubuh Aji sedikit
bergetar. Dua alis matanya saling
bertautan. Tangannya seketika mengepal.
"Aku akan membuat perhitungan!"
tandas Aji sambil melangkah mendekati orang yang duduk membelakangi dirinya.
Namun baru saja dua langkah....
"Lekas katakan! Di mana dua benda itu disimpan!"
Mendadak, Aji dikejutkan oleh suara
berat dari orang di depannya yang duduk membelakangi.
Suara berat itu menggema, menerobos
sela-sela pohon dan memantul ke lereng bukit. Hingga dataran rumput merah di
samping Aji bergoyang ke sana kemari, bagai terkena hembusan angin kencang. Tak
urung, Aji pun terkejut dan menghentikan langkahnya. Hatinya bertanya-tanya,
dengan siapa kini berhadapan. Ia
membayangkan bagaimana pukulannya jika suaranya saja membuat dada bergetar.
"Kau belum jawab pertanyaanku!"
Kembali terdengar suara berat dari orang yang duduk membelakangi. Sejenak Aji
tegak, menyalurkan hawa murni ke dadanya.
"Justru aku yang harus tanya padamu!"
sergah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Siapa kau"! Dan, apa perlumu di sini!
Bukan tak mungkin kaulah biang kejadian disini!"
Mendengar kata-kata pemuda itu orang yang duduk di atas batu mendengus keras.
Lalu duduknya diputar dan bangkit
menghadap Aji. Begitu orang yang duduk telah
berbalik, Aji terkejut bukan alang
kepalang. Bahkan kakinya mundur dua
tindak ke belakang.
Di hadapan Aji telah berdiri seorang laki-laki dengan kulit tubuh dan wajahnya
sudah dihiasi lipatan-lipatan. Bisa
segera ditebak kalau laki-laki ini
berusia amat lanjut. Jubahnya yang
berwarna merah begitu be-sar dan panjang, hingga menyapu tanah. Saat bergerak,
terlihat hanya jubahnya saja yang
menggelepar tanpa sosok. Rambutnya
panjang sepinggang. Di kedua telinganya, melingkar anting-anting besar. Kedua
telunjuk jari tangannya mencuat menunjuk, sedangkan jari-jari lainnya menggema.
Dan yang membikin Aji tergetar mundur ketika melihat sepasang matanya yang
berwarna putih! Tanpa bundaran hitam di tengahnya!
"Kau ucapkan kata-kata itu lagi, kubunuh kau!" ancam laki-laki bermata putih
dengan sorot menyengat.
Meski tubuhnya sedikit bergetar,
tapi mendengar ancaman orang, kontan mata Aji menghujam tajam.
"Jika demikian halnya, katakan siapa kau, orang tua"! Dan, apa keperluanmu
sebenarnya..."!" tanya pemuda tampan dan perlente ini, dengan sedikit
mengeraskan suaranya.
Mendengar dirinya dipanggil orang
tua, lipatan-li-patan kulit di wajah laki-laki ini bergerak-gerak" Matanya yang
putih menusuk tajam, bagai ingin menguliti jiwa Aji.
Namun sejenak kemudian, laki-laki
bermata putih tersenyum. Telunjuk jari tangannya yang tampak dan tak bisa
ditekuk, diangkat ke atas. Kemudian
dimainkannya anting-anting di telinga, disusul tawa bergerai.
Ketika geraian tawanya berhenti,
laki-laki ini berpaling, memandang jauh ke Puncak Gunung Semeru.
"Kalau kau belum mengenalku, itu kumengerti. Tapi jika melihat tingkahmu tadi,
aku yakin kau adalah murid orang yang kau panggil Eyang. Dan itu berarti kau
tahu apa yang kuperlukan!"
Mendengar ucapan laki-laki bermata
putih, karuan Aji terkejut.
"Hm.... Berarti orang ini lebih dulu tiba di sini dari pada aku," batin Aji.
Pemuda tampan dan perlente yang
mengenakan baju hijau ketat dengan
pakaian dalam berwarna kuning ini lantas menatap orang tua itu tajam-tajam.
"Orang tua! Kau terlalu
berbelit-belit! Aku jadi tak mengerti, apa maksudmu"! Katakan saja terus
terang!" Mendadak saja, laki-laki bermata
putih mengibaskan tangannya yang tadi memainkan anting-anting telinganya.
Wesss! Deru angin keras seketika membarengi lurukan tangan orang tua itu ke bawah.
Sekilas mata putihnya nyalang, menatap dua bola mata Aji. Dari bibirnya
tersungging senyuman sinis.
"Baik! Akan kukatakan yang kau minta.
Tapi jika setelah itu kau masih pura-pura, kau akan kubuat bangkai tanpa kubur
di sini!" bentak laki-laki bermata putih.
Nadanya masih berbau maut. "Soal diriku, aku sendiri sudah lupa siapa namaku.
Namun tujuh puluh lima tahun yang lampau,
orang-orang rimba persilatan menyebutku Dewa Kutukan."
Aji hampir terlonjak kaget kalau
tidak cepat menekan perasaannya. Bukan karena julukan yang baru saja diucapkan
laki-laki di hadapannya, namun karena kagum kalau laki-laki setua ini masih
tampak sigap. Bahkan keloyoan tak nampak di usianya yang renta itu!
"Keperluanku mencari benda yang disimpan Tua Bangka Selaksa!" lanjut laki-laki
bermata putih. "Laki-laki aneh! Dia menyebut Eyang Selaksa tua bangka"! Apa dipikir dia masih
muda" Malah kulihat lebih renta. Bahkan mungkin sudah karatan! Tapi jika
mengingat tokoh-tokoh hebat seangkatan dia bersedia turun gunung sendiri untuk
mencari sesuatu, berarti yang dicari sangat berharga. Bahkan tak mustahil barang
langka!" batin Aji.
"Nah! Sekarang katakan, di mana barang itu! Dan, di mana Eyangmu!" sentak lakilaki bermata putih yang menyebut dirinya Dewa Kutukan.
"Aku memang murid Eyang Selaksa!" aku Aji, berbohong. Karena sampai sekarang, ia
memang belum diakui murid oleh Eyang Selaksa. "Namun sejauh ini, Eyang Selaksa
tak pernah bicara soal barang. Dan sewaktu aku tiba, Eyang sudah tak ada di
tempatnya! Jadi, aku sendiri tak tahu di mana Eyang Selaksa!"
"Kau jangan dusta, Bocah!" hardik Dewa Kutukan. "Seorang guru yang hampir turun
bumi, tak mungkin menyimpan rahasia pada muridnya! Ayo katakan, sebelum
kesabaranku habis...!"
Saat itu juga Dewa Kutukan mengibaskan jubahnya. Maka serangkum angin deras menderu. Sehingga, baju hijau
Aji yang sepuluh tombak di depannya
tersibak. "Dewa Kutukan! Sungguh tak kuduga.
Dan ini mungkin suatu kebahagiaan
tersendiri bagiku, karena dapat bersua
tokoh hebat! Namun, sungguh! Eyang tak pernah cerita tentang benda yang kau
maksudkan!"
"Kau memang bocah tak tahu diuntung!
Sungguh sayang, kau telah berani berdusta padaku! Itu berarti kau harus jadi
bangkai tak berkubur bentak Dewa Kutukan tak menghiraukan penghormatan Aji.
Bibirnya tersenyum sinis. Tangan yang bertelunjuk kaku itu kemudian ditarik ke
belakang, dengan kaki melangkah dua tindak.
"Wah! Tanda-tanda urusan akan tarik tambang...!" bisik hati Aji. "Aku harus
menghindarinya dahulu, sebelum dapat berjumpa
Eyang Selaksa. Tapi...,
bagaimana...?"
Aji terus berpikir agar tidak sampai bentrok dengan orang tua berkepandaian
tinggryang berjuluk Dewa Kutukan. Dan tiba-tiba....
"Tahan dulu!"
Buru-buru Aji menghentikah gerakan
Dewa Kutukan dengan merentangkan kedua tangan. Kakinya pun ditarik ke belakang.
"Kalau boleh aku tahu, benda apa yang kau maksud" Mungkin aku...."
Belum usai Aji menyelesaikan
kata-katanya, Dewa Kutukan telah
mendorongkan tangannya yang mengepal dengan jari telunjuk mencuat ke depan.
Maka saat itu pula larikan angin deras dan dingin melesat ke arah Aji.
"Uts!"
Aji cepat menarik tangannya dan
memutarnya lewat depan. Dengan
mendoyongkan tubuhnya ke samping,
tangannya dibuka kembali. Sehingga
larikan angin yang deras dan dingin, sontak membelok ke samping terpapasi
hembusan angin yang keluar dari tangan Aji.
Bret! Bret! Beberapa rumput merah seketika
tercabut dari tanah. Daun-daun pohon yang tak jauh dari situ berguguran dan
langsung menghitam!
Mendapati serangan pembukanya dapat
dipatahkan, wajah Dewa Kutukan tampak bergerak-gerak. Kulitnya matang bagai
kulit terebus. Tiba-tiba dengan sekali loncat,
tubuh Dewa Kutukan yang hanya terlihat jubahnya saja berkelebat dengan telunjuk
menyambar ke leher Aji.
"Hih!"
Namun dengan gerakan yang diperoleh
dari Karang Langit, Aji melenting dengan menjejak tanah menghindari serangan.
Tubuhnya lantas berputar ke belakang lima tombak dari Dewa Kutukan.
Dewa Kutukan nampak geram. Matanya
yang putih menusuk tajam, berbau
kematian. Dan begitu Aji mendarat,
kembali dilancarkannya serangan. Kali ini tubuhnya menerkam dengan tangan kirl
menghujam deras kearah dada Aji.
Karena tak ada lagi waktu untuk
menghindar, terkaman dengan telunjuk mengarah dada itu disambut tebasan tangan
Aji. Prak! Terdengar benturan keras saat dua
rangkum kekuatan yang berisi tenaga dalam tinggi bertemu. Aji yang masih hijau
dalam dunia persilatan, langsung terjengkang ke belakang lima langkah dan
langsung jatuh terduduk. Sedangkan Dewa Kutukan yang pada zamannya telah malang
melintang dalam rimba persilatan, hanya oleng
sedikit sebelum mendarat kokoh.
Namun, tak urung Dewa Kutukan
terpana. Sungguh tak disangka, jika
tangkisan pemuda tanggung di hadapannya bisa mematahkan serangannya. Bahkan
tangan kirinya terasa pegal dan nyeri.
"Kunyuk edan!" serapah Dewa Kutukan seraya memegangi tangannya. "Hm....
Hampir tujuh puluh lima tahun tak turun gunung, ternyata banyak kunyuk kencur
yang kehebatannya tak dapat disepelekan!
Atau, usiaku yang membuatku lamban.
Sehingga terkena benturan sedikit saja, sudah begini rasanya! padahal jurus
tadi, dulu pernah merobohkan beberapa orang yang tak bisa dianggap enteng!
Dan..., anak ini aneh! Melihat cara menangkis serangan, baru kali ini aku
melihatnya! Jangan-jangan...."
"Dewa kutukan! Jangan memaksaku bertempur. Kita tak punya silang
sengketa! Sebaiknya selesaikan secara baik-baik!" seru Aji bibirnya meringis
sambil memegangi punggung tangannya yang ngilu bukan main.
Dewa Kutukan melirik tajam. Bibirnya menyungging senyum sinis.
"Phuih! Apa katamu" Ingat, Bocah!
Sekali Dewa Kutukan bertindak, tak ada kata selesai sebelum lawannya terbujur


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaku!" hardik Dewa Kutukan setelah menyemburkan ludahnya, seraya berpaling.
Dan bersamaan dengan itu, Dewa
Kutukan melesat cepat sambil menghujam dua telunjuknya.
Namun, Pendekar Mata Keranjang tak
tinggal diam. Pemuda itu merasa ancaman Dewa Kutukan tak main-main. Maka cepat
tubuhnya melorot ke bawah. Tapi di luar dugaan, genggaman tangan Dewa Kutukan
yang bertelunjuk kaku berkelebat lebih cepat disertai tenaga dalam kuat.
Aji terlambat menghindar Dan...
Bresss! Begitu genggaman tangan Dewa Kutukan menerpa bahu Aji, cepat pula ditarik ke
belakang, lalu dikibaskan pada jubahnya.
Wesss! Tak ampun, tubuh Aji terpelanting
ringan bagai kapas ke belakang. Kemudian jatuh bergedebuk sebelum menerabas
rerumputan merah lima belas tombak dari hadapan Dewa Kutukan.
Begitu merambat bangkit, Aji
meringis-ringis kesakitan. Di wajahnya
tampak guratan-guratan merah. Darah merah merembes dari sela bibirnya. Bahu
kirinya terasa lumpuh tak bisa digerakkan.
"Jangkrik!" dengus
Aji sambil bangkit. Darah mudanya saat itu juga melonjak ke ubun-ubun. Sepasang matanya
menyorot beringas. Namun seketika itu juga, tubuhnya limbung dan kembali jatuh
terduduk. Dengan sepasang mata putihnya yang
menatap dingin, Dewa Kutukan tampak
dengan sikap mengancam. Dan sekej ap itu juga, Dewa Kutukan menyatukan kedua
tangannya yang menggenggam. Sehingga telunjuk jari tangan kanan dan kirinya
bersatu, lantas disejajarkan dada dan didorong perlahan-lahan ke arah Aji yang
masih terduduk.
"Akan kutahan dengan sap ketiga...!"
kata Aji dalam hati.
Bersamaan dengan itu, Aji membuat
gerakan seperti yang terdapat pada
dinding batu karang di sap ketiga, yakni mengangkat kedua tangannya yang menyatu
ke atas kepala sambil memiringkan
tubuhnya sedikit.
Dan sebelum terjadi sebuah
pertarungan tingkattinggi....
"Hi... hi... hi...!"
Tiba-tiba terdengar derai tawa
seorang perempuan. Begitu melongok ke samping, Aji terkejut. Ternyata seorang
gadis muda belia telah berdiri tegak sambil berkacak pinggang tak jauh dari
situ. Rambutnya panjang bergerai dengan kulit putih mulus. Dadanya tampak
membusung menantang. Dengan dibalut
pakaian berwarna kuning ketat,
pinggangnya begitu menantang.
"Putri Tunjung Kuning!" seru Aji tertahan. Sepasang matanya segera saja
menelusuri tubuh gadis itu dari atas hingga bawah. Seakan matanya tak mau lepas
barang sejengkal pun.
Sementara itu, Dewa Kutukan segera
mengurungkan serangan, demi melihat siapa yang datang. Matanya yang putih
menatap gadis berbaju kuning tak berkedip
dibarengi senyum penuh makria.
"Apa sudah tak ada lawan lagi,
sampai-sampai Dewa Kutukan melayani anak kecil yang masih bau ompol...?" tanya
gadis ini dengan suara mendayu.
Raut muka Aji alias Pendekar Mata
Keranjang 108 kontan merah padam
mendengar ucapan gadis itu. Bahkan dagu seakan membantu.
"Sontoloyo! Hanya karena belum tahu saja, kau bisa bilang begitu. Kalau sudah
tahu, hm.... Kau akan merengek-rengek minta lagi...," maki Pendekar Mata
Keranjang dalam hati.
"Dewa Kutukan! Bagaimana jika
melawanku saja?" tanya gadis itu dengan senyum nakal. Melanjutkan. Suaranya
seperti sengaja didesahkan, sambil
melangkah mendekat. Pinggulnya nampak sedikit digoyangkan. Sehingga, dadanya
yang sedikit terbuka dan membusung
kencang terlihat turun naik.
Sejenak Dewa Kutukan termangu,
seperti terpana. "Apa karena lama tak turun gunung hingga matamu begitu
menggoda, Dewa Kutukan...?" goda gadis berbaju kuning muda ini dengan sedikit
membuka mulutnya.
Sehingga, lengkaplah pesona gadis
muda ini. "Dewi Kuning...," panggil Dewa Kutukan. Sementara matanya beranjak dari dada ke
pinggul gadis itu yang
bergerak-gerak menggoda.
"Meski sudah lapuk, soal perempuan kau masih tak pikun..., Dewa Kutukan...!"
Wajah Dewa Kutukan menjadi berubah
disindir gadis yang dipanggil Dewi
Kuning. Dan sambil tetap memandangi
pinggul Dewi Kuning, Dewa Kutukan tertawa ngakak.
"Perempuan sepertimu memang tak bisa dilupakan sepanjang masa...! Meski wajah
ayu serta sintal tubuhmu hanya karena ditolong ilmu awet muda, namun demikian
untuk mengusir dinginnya malam hingga sampai mandi keringat, itu sudah lebih
dari cukup!"
Mendengar kata-kata Dewa Kutukan,
Aji terlonjak. Dan matanya ikut-ikutan memandang tanpa berkedip pada Dewi Kuning
yang kini telah sedepa di hadapan Dewa Kutukan.
"Gila! Jadi..., dia bukan Putri Tunjung Kuning"! Hm..., aku tahu
sekarang...! Hi...," gumam Aji sambil membayangkan kejadian belum lama
berselang. "Mulutmu lancang, Tua Kempot!
Tapi..., aku suka laki-laki macam kau yang sudah lama tak turun gunung! Karena
sudah pasti akan menggelora dan menggebu-gebu!
Namun jika kau nanti ternyata kalah, apalagi sudah mundur teratur sebelum
bertanding, tubuh tua mu itu akan
kugantung! Dan, tak akan kuizinkan lagi memandangku. Lebih-lebih
menyentuhku...!"
"Ha... ha... ha...! Kau tak juga berubah dari dulu. Itulah yang membuatmu
membayang di kelopak mataku, Dewi Kuning!
Walau aku telah tujuh puluh lima tahun tak turun gunung, kau nanti bisa
merasakan bagaimana nikmatnya bermain-main dengan orang yang lama tak menyentuh
perempuan! Aku yakin, kau akan memperpanjang
malam-malammu bersamaku...."
Tanpa mempedulikan Aji yang
memandang dengan tubuh panas dingin dan jakun turun naik serta napas memburu,
tangan Dewa Kutukan bergerak ke arah dada Dewi kuning yang sedikit terbuka dan
kini telah menempel di jubahnya.
"Sejak dulu, tanganmu ini yang paling tidak kusuka! Terlalu sakit jika
menyentuh...," desah Dewi Kuning dengan kepala menengadah ke atas.
Namun tiba-tiba wanita itu terdiam,
dengan mata melirik ke arah Aji.
"Astaga! Bukankah di sini ada orang lain selain kita berdua" Jangan-jangan, dia
nanti.... Bagaimana kalau kita
mencari tempat yang tidak diganggu mata siapapun..."!"
Dewa Kutukan sedikit terkejut. Dan
tanpa sadar kepalanya menoleh. Sepasang matanya langsung nyasar ke arah Aji.
Lantas kepalanya mengangguk perlahan.
Tak lama kemudian, Dewi Kuning
berkelebat sambil meninggalkan desahan panjang dan memburu. Sementara, Dewa
Kutukan menoleh dan memandang Aji dengan tatapan galak. Napasnya masih berhembus
panjang-panjang.
"He.... Kunyuk! Meski urusan kita terpaksa tertunda, jangan sangka masalah ini
telah tuntas! Kita akan lanjutkan nanti...! Ingat itu!"
Selesai berkata, Dewa Kutukan
berbalik dan berkelebat menyusul Dewi Kuning.
"Orang edan!" umpat Aji sambil memandangi tubuh Dewa Kutukan yang
berkelebat ke arah menghilangnya Dewi Kuning. Dan tak lama kemudian, Aji bangkit
dan melangkah menuju gubuk.
* * * 2 Seorang penunggang kuda segera
menghentikan lari kudanya, ketika jalan yang dilewati mulai berdebu dan banyak
orang lalu lalang.
Penunggang kuda itu ternyata seorang laki-laki berusia lanjut. Tubuhnya putih,
bertopi pandan lebar. Di lehernya
melingkar seuntai kalung dari batu-batu hitam. Sesekali tangannya diangkat,
kemudian jari telunjuknya menyodok bagian depan topi pandannya. Sehingga raut
mukanya yang sebagian tertutup, terlihat jelas. Begitu bagian depan topi
pandannya terangkat ke atas, matanya yang sayu tak berkedip memandangi daerah
yang dilaluinya. Jenggot putihnya yang panjang menjuntai sampai dada dielus-elusnya.
Sebentar kemudian perjalanan dilanjutkan perlahan-lahan.
"Hm.... Daerah ini telah berubah.
Melihat kemegahannya, bangunan itu pasti kediaman orang yang memerintah daerah
ini...," gumam kakek penunggang kuda ini.
Laki-laki tua ini mengendarai kuda
sambil memandangi keadaan sekitarnya dengan rasa heran. Lalu kepalanya
berpaling ke depan. Segera kudanya dihela melewati bangunan yang agak merah.
"Tujuh puluh lima tahun memang bukanlah waktu yang pendek. Bahkan
mungkin orang-orang sebayaku sudah banyak yang meninggal. Bersyukur aku diberi
usia agak panjang, hingga masih dapat
menyampaikan lembaran kulit ini pada Selaksa. Semoga saja Selaksa tidak lupa
pada janjinya...," kata kakek berjubah putih itu lagi bicara sendiri. Kepalanya
mengangguk-angguk sedikit, hingga topi pandannya kembali menutupi sebagian
wajahnya. Di depan sebuah kedai, kakek berjubah putih menghentikan kuda tunggangannya.
Sejenak dipandanginya ke dalam kedai.
Hatinya agak ragu-ragu, karena di dalam kedai terlihat banyak pengunjung.
Sesekali terdengar gelak tawa yang
berderai-derai.
"Urusan perut lebih baik kutunda dulu. Ada urusan yang lebih penting. Lagi pula,
hari sudah beranjak petang...."
Kakek itu menarik tali hela kuda
tunggangannya. Dan kembali perjalanannya dilanjutkan.
"Hm.... Kalau tak ada urusan yang sangat penting, sebenarnya aku sudah enggan
turun gunung. Apalagi tenagaku sudah tak muda lagi. Namun.... Demi dunia
persilatan, dan lebih-lebih demi
kepentingan kedamaian umat manusia, apa boleh buat..."!" kakek berjubah putih
itu terus bicara sendiri dalam hati seraya menarik napas panjang.
Tak jauh dari belokan dekat sebuah
pohon besar, kakek berjubah itu
menghentikan kuda tunggangannya. Matanya langsung memandang ke arah utara.
Tampak lereng Semeru telah tersaput warna
kemerahan sang surya yang akan rebah di bentangan kaki langit sebelah barat.
Begitu kakek ini mengalihkan
pandangan ke depan, tak jauh darinya tampak perempatan. Sebentar dia
mengawasi. "Aku sudah tak ingat, jalan mana yang menuju Kampung Blumbang.... Terpaksa aku
harus menunggu seseorang...."
Ketika seorang laki-laki setengah
baya lewat, laki-laki tua berjubah putih ini turun dari kuda tunggangannya.
Sambil mengangkat bagian depan topi pandannya, kepalanya mengangguk ramah.
"Kalau boleh aku tahu, betulkah ke selatan ini arah ke Kampung Blumbang...?"
tanya kakek itu, sopan sekali.
"Betul, Kek! Apa Kakek bermaksud ke sana?"
"Benar. Apa kira-kira masih jauh dari sini?"
"Ngg..., kira-kira sehari perjalanan berkuda...."
Laki-laki berjubah putih
mengangguk-angguk. Lalu kepalanya
berpaling ke arah timur.
"Rumah siapakah bangunan itu?"
"Kediaman Tiimenggung yang
memerintah Kotapraja Lemah Ajang ini.
Kota ini memang cepat berubah. Apa Kakek sudah lama tak berkunjung kemari?"
jelas laki-laki setengah baya seraya balik bertanya.
Laki-laki berjubah putih hanya
mengangguk. "Kalau Kakek percaya padaku, dan memang ingin bepergian ke Kampung
Blumbang, cepatlahberangkat!"
Raut kecemasan tampak pada wajah
laki-laki setengah baya ini. Matanya berputar seolah menyelidik.
"Kenapa begitu...?" tanya laki-laki berjubah ini sedikit heran.
Laki-laki setengah baya itu tidak
menjawab. Malah kakinya melangkah
mendekati pohon besar. Lantas dia
berputar dengan mata nyalang, seakan mencari sesuatu. Sedangkan laki-laki
berjubah itu hanya mengawasi dengan
tatapan penuh ketidakmengertian. Ketika orang yang ditanya melambai dari dekat
pohon, dia melangkah mendekati.
"Hati-hati! Di sini sekarang tidak aman seperti dahulu lagi! Tepatnya, sejak
kedatangan orang-orang aneh di kediaman Tumenggung,
Kotapraja ini kacau. Penduduk
selalu dihantui rasa khawatir. Banyak pembunuhan, perampokan, bahkan banyak
gadis yang diculik!"
Mendengar keterangan orang di
depannya, laki-laki berjubah putih ini sedikit terkejut. Matanya yang sayu
sebentar menyipit, lantas mengangguk.
"Terima kasih atas peringatanmu...,"
ucap laki-laki berjubah sambil berbalik dan melangkah mendekati kuda
tunggangannya. Setelah berada di atas punggiing kuda, matanya memandang laki-laki setengah baya sambil tersenyum dan mengangguk.
Sesaat kemudian, laki-laki berjubah
ini menarik tali kekang kuda, lantas berlalu menuju arah selatan. Tapi belum
jauh berlalu....
"Tunggu!"
Terdengar suara lantang di
belakangnya menghentikan perjalanannya.
"Apakah seruan itu ditujukan
padaku?" tanya laki-laki berjubah ini berkata untuk diri sendiri. Bagian depan
topi pandannya segera diangkat. Dan pandangannya diputar tanpa menghentikan kuda
tunggangannya. "He..., Orang Asing! Apa kau tuli?"
Kembali terdengar bentakan. Begitu
menoleh ke arah datangnya bentakan,
laki-laki berjubah itu melihat dua orang telah berdiri. Salah seorang mengenakan
pakaian hitam-hitam dengan menggenggam tombak berbendera hitam, bergambar
tengkorak. Melihat gayanya, segera bisa ditebak kalau orang ini adalah pengawal.
Sementara yang seorang lagi
benar-benar sulit diterka. Ditilik dari bentuk tubuhnya, jelas seorang lakilaki. Namun melihat wajahnya yang memakai bedak tebal, bibir tebal, dan memakai gincu
berwarna merah menyala, kelihatannya seoring wanita. Rambutnya panjang menyapu
tanah. Tingginya tidak lebih dari
setengah tombak. Tapi yang membuat orang cebol ini kelihatan angker, di


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punggung- nya tampak bertengger sebilah pedang besar. Panjangnya melebihi tinggi
badannya. "Orang tua! Tahukah kau, sedang berada di kawasan siapa saat ini?" bentak orang
yang berpakaian hitam-hitam.
"Betul! Menurut peraturan, setiap orang asing harus minta izin jika
melintasi kawasan ini! Apalagi, kau
tampaknya seperti kami persilatan!"
sambung banci cebol dengan tatapan mata galak.
Laki-laki berjubah putih hanya
tersenyum mendengar ucapan dua orang di belakangnya.
"Aku memang sudah lama tak keluar dari gubukku. Jadi tak heran jika belum tahu
pemilik kawasan ini! Apalagi, peraturan-nya. Maka maafkan atas
kelancanganku...,"
jawab laki-laki tua berjubah putih dengan hanya memutar tubuhnya sedikit.
"Ha... ha... ha.... Jika begitu ucapanmu, dengar baik-baik! Ini adalah kawasan
Sepasang Iblis Pendulang Sukma!
Dan sungguh sayang, maafmu tak bisa
merubah peraturan yang dibuatnya! Kau telah melewati kawasan tanpa izin.
Berarti kau harus kami bawa ke hadapan penguasa kawasan ini!" kata pengawal
berbaju hitam-hitam.
Laki-laki tua berjubah putih itu
turun dari kuda tunggangannya. Dan
perlahan-lahan topi pandannya dibuka, lalu tubuhnya diputar dan menghadap dua
orang yang menghentikan perjalanannya.
Begitu laki-laki berjubah telah berbalik, dua orang di depannya tampak sedikit
terkejut. "Siapa kau, Orang Tua! Hendak ke mana"!" tanya si cebol seraya mengirim tenaga
dalam melalui suaranya.
Suara si cebol ini terdengar
menggelegar, hingga pengawal berbaju hitam yang di sampingnya mundur dua
langkah ke belakang.
Namun laki-laki berjubah itu bagai
tak terpengaruh sedikit pun.
"Sekali lagi, harap maafkan orang tua sepertiku ini yang hampir tuli. Aku
sebenarnya sungkan untuk menyebutkan nama. Tapi jika suatu peraturan, aku
menurut perintah saja. Orang-orang di kampungku menyebutku Ageng Panangkaran!
Dan, tujuanku ke sini berkunjung ke tempat seorang sahabat di Kampung Blumbang."
Mulut laki-laki berjubah putih ini
hanya terbuka sedikit saat mengucapkan kata-katanya. Namun suara yang keluar
membuat pengawal berbaju hitam itu
memekik seraya menahan dadanya yang
bergetar hebat. Sementara, si cebol diam sejenak sambil menahan napas. Seketika
disalurkan hawa murni ke dadanya.
Mendengar penuturan laki-laki
berjubah putih itu, mata si cebol
mendelik, seakan tak percaya. Dia memang tak pernah bertemu tokoh bernama Ageng
Panangkaran. Namun sebagai orang
persilatan, dia telah banyak mendengarnya. Tak dapat dipungkiri, nama Ageng
Panangkaran bagi dunia persilatan memang tidak asing lagi. Dia dikenal sebagai
tokoh yang disegani pada zamannya. Tidak hanya karena kepandaiannya yang tinggi,
namun juga dikenal sebagai tokoh lemah lembut dan mudah menolong. Dia adalah
tokoh angkatan tua. Bahkan banyak orang menduga kalau Ageng Panangkaran telah
meninggal dunia. Karena sejak tujuh puluh tahun yang silam, kabar beritanya tak
terdengar lagi.
Maka tatkala laki-laki tua berjubah
putih itu menyebut nama Ageng
Panangkaran, si cebol tak percaya.
"Orang tua! Jangan mengada-ada
dengan mengaku sebagai Ageng
Panangkaran!" bentak si cebol dengan mata tak berkedip.
"Itulah, mengapa aku sejak semula sungkan untuk menyebutkan nama. Karena aku
yakin, pasti akan mendapat jawaban seperti ucapanmu!" sahut Ageng Panangkaran
lembut. Pandangannya lantas
dialihkan ke arah barat. Rupanya,
matahari telah merambat tenggelam. "Nah, sekarang biarkan aku meneruskan
perjalananku! Aku harus cepat sampai.
Apalagi, malam sebentar lagi
menjelang...."
Selesai berkata, Ageng Panangkaran
memutar tubuhnya. Sebentar dieluselusnya punggung kudanya. Dan dia siap meloncat ke atasnya. Namun....
"Orang tua! Siapa namamu, itu tak penting! Sekarang ikut kami! Kalau kau
menolak, jangan menyesal jika kami
bertindak kasar!"
Pengawal berbaju hitam itu rupanya
tidak tahu, dengan siapa sedang
berhadapan. Dia membentak sekali lagi sambil melangkah mendekat.
"Hm.... Begitu" Sayang..., kali ini aku tak dapat menuruti ajakanmu, karena aku
buru-buru! Lain kali saja. Jika
sempat, aku akan mampir!" sahut Ageng Panangkaran, seraya mengibaskan jubahnya
dan loncat ke atas kuda.
Wesss! Saat jubah itu terkibas, terdengar
deru angin kencang menyambar. Bersamaan dengan itu, tubuh pengawal berbaju hitam
yang melangkah mendekat terlempar ke belakang. Lalu tubuhnya membentur sebuah
pohon, sebelum akhirnya terpuruk dengan mengaduh keras. Sedangkan tubuh si cebol
hanya bergoyang sedikit.
"Selamat malam...!" ucap Ageng Panangkaran sambil menyentakkan tali kekang
kudanya. Sebentar kemudian orang tua itu telah melesat ke depan meninggalkan si cebol
yang memandangi kepergiannya dengan
sepasang mata mendelik dan menyipit.
"Tokoh-tokoh angkatan tua turun gunung. Ini pasti ada apa-apa! Aku harus
memberitahukan hal ini pada Sepasang Iblis Pendulang Sukma!" gumam si cebol
seraya berbalik. Dan seketika tubuhnya melesat tanpa menghiraukan sang pengawal
yang melambai-lambaikan tangannya tanpa suara yang keluar dari mulut.
*** Karena tak bisa menembus jalanan di
depannya yang berupa hutan pinus dan coklat, apalagi hari telah gelap, maka
Ageng Panangkaran turun dari kuda
tunggangannya. Dan dia berjalan sambil menuntun tunggangannya.
Belum mencapai tengah hutan,
mendadak Ageng Panangkaran menghentikan langkahnya. Tubuhnya diam sejenak. Topi
pandannya bergerak-gerak, seiring
gerakan telinganya.
"Hm.... Ada orang yang mengikuti perjalananku! Apa si cebol tadi?" kata Ageng
Panangkaran dalam hati.
Laki-laki tua itu cepat memutar
kepalanya ke belakang. Namun matanya tak menemukan siapa pun juga.
"Melihat gerakannya yang begitu cepat, dia pasti bukan orang
sembarangan!" batin Ageng Panangkaran sambil meneruskan langkahnya.
Dan pada suatu kesempatan, orang tua itu cepat berbalik. Namun lagi-lagi
matanya tak menemukan seorang pun.
"Apakah hanya perasaanku saja yang masih terganggu, setelah dihadang dua orang
tadi...?" gumam Ageng Panangkaran berusaha menenangkan hatinya. Bibirnya lantas
tersenyum seraya memutar tubuhnya, meneruskan perjalanan.
Tapi, mendadak sebuah suara menghentikan langkah orang tua itu. Telinganya lamat-lamat mendengar suara orang
merintih. Ia diam terpaku meyakinkan.
"Hm..., suara seorang perempuan,"
gumam Ageng Panangkaran sambil melepas tali kekang kudanya.
Saat itu juga, tubuhTaki-laki tua itu berkelebat ke arah datangnya suara.
Setelah mengangkat bagian depan topi pandannya dia melihat seorang perempuan
tengah telentang sambil merintih pelan di bawah pohon pinus besar. Hingga
rintihannya bagai orang yang akan menemui ajal.
"Mendengar rintihannya, orang itu pasti baru saja tertimpa malapetaka....
Dan melihat keadan tubuhnyas
jangan-jangan salah seorang yang diculik, lalu dilempar begitu saja, seperti apa
yang dikatakan orang di jalan tadi," kata batin Ageng Panangkaran kembali seraya
mendekati perempuan yang telentang dan merintih sambil memegangi paha bagian
atas dengan mata terpejam.
Namun begitu berada tiga langkah di
samping wanita ini, Ageng Panangkaran
mengalihkan pandangannya. Langkahnya disurutkan setindak ke belakang.
"Hm.... Perempuan itu tampaknya baru saja dikeroyok laki-laki jahanam!
Kasihan..., perempuan semuda itu harus mgngalami sesuatu yang menyakitkan,
bahkan menyedihkan..!" gumam Ageng Panangkaran sambil kembali memandangi
perempuan di sampingnya. Dan dadanya pun mendadak bergetar.
Perempuan yang telentang itu
tampaknya masih muda. Di wajahnya yang tampak cantik, terlihat guratan-guratan
merah bekas tamparan tangan. Baju warna kuning muda yang dikenakannya, nampak
lusuh dan berdebu. Bahkan sobek di
sana-sini. Sehingga, bagian perut sampai lekukan buah dadanya yang tampak putih
dan membusung jelas terlihat. Demikian juga bagian betis sampai pangkal paha.
Melihat keadaan perempuan muda ini,
Ageng Panangkaran tampak serba salah.
Maka sejenak ia hanya tegak berdiri, sambil
sesekali menarik napas dalam-dalam
untuk meredakan dadanya yang tiba-tiba bergetar melihat pandangan di depannya.
"Apa karena aku terlalu lama
mengurung diri, hingga aku jadi begini"
Atau karena..." Hm.... Gadis itu perlu pertolongan...," bisik Ageng Panangkaran.
Sebentar kemudian, orang tua itu
melangkah ke depan, mendekati gadis yang masih memejamkan matanya. "Ngg.... Nak,
bangunlah...," ujar Ageng Panangkaran pelan. Sepasang matanya memandang wajah
cantik sang gadis.
Mendengar orang berkata, mata gadis
itu kontan membuka dan melotot. Seketika tubuhnya digeser menjauhi laki-laki di
depannya. Dengan sedikit menunduk, gadis itu terpana melihat keadaannya. Maka
langsung kainnya ditarik untuk menutupi sebagian tubuhnya yang terbuka. Hingga
tanpa sadar, tarikan itu membuat kain yang dikenakannya tambah koyak. Tak ayal,
perut serta buah dadanya kian tampak jelas.
"Pergi! Kau pasti tak bedanya
laki-laki bajingan itu!" dengus si gadis yang tampak tambah kebingungan, karena
harus menutup bagian dada dan paha yang terbuka.
"Jangan takut.... Aku tak akan
berbuat macam-macam terhadapmu! Justru kalau kau mau, aku ingin menolongmu...,"
ujar laki-laki tua itu dengan sedikit senyum dengan pandangan tertuju ke tempat
lain. "Jangan pura-pura, Orang Tua!
Laki-laki manapun tak akan beda! Selalu berkata begitu, jika ada maunya! Cepat
pergi! Aku tak membutuhkan pertolo-nganmu...!" sentak si gadis. Kedua kakinya
cepat ditarik dan ditekuk sejajar dengan dada, menutupi buah dadanya yang
terbuka dan terguncang-guncang.
"Apa mungkin karena tampangku yang begini ini, hingga kau berkata
demikian...?" kata Ageng Panangkaran sambil bangkit, tanpa menoleh. "Aku
mengerti. Dalam keadaan seperti ini, kau pasti mengatakan bahwa seluruh lakilaki di muka bumi adalah haram jadah! Tapi, sadarlah...! Kau sekarang sedang
berada di mana! Tak mustahil sebentar lagi, akan datang teman orang yang telah
menyakitimu. Syukur kalau hanya seorang.
Jika mereka datang berombongan..?"
"Orang tua! Kau tak perlu
menakut-nakuti aku! Di mana kini aku berada, aku tahu! Dan..., jika mereka
datang lagi" Hm..., mereka hanya
menemukan tubuhku tanpa nyawa...!"
"Hm.... Sungguh sayang, gadis semuda dan secantikmu terlalu terburu-buru
mengambil keputusan. Sehingga kau lupa, bahwa masih ada jalan yang lebih baik
untuk mengatasinya...."
"Banyak omong! Siapa kau
sebenarnya?" tanya gadis ini sambil menarik kain bagian dadanya.
"Aku hanyalah seorang pengelana yang hendak berkunjung ke rumah seorang
sahabat. Nah! Karena kau tak memerlukan pertolongan, aku akan segera pergi.
Perjalananku masih jauh!" ujar Ageng Panangkaran seraya melangkah menjauh
membelakangi. Sementara gadis itu memandangi
dengan mata menyipit.
"Orang tua!" teriak si gadis.
Ageng Panangkaran berhenti, dan diam tegak tanpa menoleh. Namun karena lama tak
juga ada suara lagi, Ageng Panangkaran meneruskan langkahnya.
"Kek...!" teriak gadis itu, namun kali ini terdengar lebih sopan. Bahkan
memanggil dengan sebutan 'Kek'. "Memang ada benarnya kata-katamu! Tapi...,
bagaimana aku harus berjalan. Sedangkan pakaianku begini. Padahal, rumahku masih
jauh dari sini! Juga aku tak berani jalan sendirian malam-malam begini...."
"Hm..., syukurlah jika kau telah sadar!" gumam Ageng Panangkaran, segera melepas
jubah putihnya dan berjalan
mundur. "Sementara, pakailah ini.... Dan ayo, kuantar sampai rumahmu!"
Ageng Panangkaran menyodorkan
jubahnya. Maka dengan cepat gadis yang telah berdiri itu menyambut jubah dari
tangan Ageng Panangkaran.
"Terima kasih, Kek! Maafkan ucapanku tadi yang mungkin menyinggung
perasaanmu...!" ucap gadis ini pelan, segera mengenakan jubah putih itu.
Ageng Panangkaran hanya menganggukangguk saja. "Sungguh, Kek" Kau mau mengantarku?"
sambung gadis itu dengan melangkah
mendahului dan menghadap Ageng
Panangkaran. Melihat gadis di depannya, Ageng
Panangkaran tersenyum. Karena gadis itu
kini tampak lucu memakai jubah yang sangat kebesaran.
"Apa kau lihat aku main-main?" kata Ageng Panangkaran, balik bertanya.
"Sekarang tunjukkan jalan menuju rumahmu!"
"Ini jalan yang paling dekat...,"
tunjuk gadis itu sambil berjalan
menjajari Ageng Panangkaran.
"Tunggu di sini sebentar, aku akan mengambil kuda. Lumayan daripada kau harus
jalan," ujar Ageng Panangkaran.
Seketika tubuh orang tua itu
berkelebat cepat. Dan tak lama kemudian, muncul kembali sambil menuntun kuda.
"Naiklah!"
Gadis ini sejenak menatap bola mata
Ageng Panangkaran, lantas menunduk.
"Ah! Tak pantas orang muda sepertiku harus naik. Sedangkan orang tua harus
menuntun. Lebih baik kita jalan
bersama-sama...."
Tapi kali ini Ageng Panangkaran tak
banyak bicara. Cepat diraihnya gadis di sampingnya. Dan sekali angkat, gadis itu
telah berada di atas kuda.
Namun mendadak Ageng Panangkaran
terdiam sejenak. Dadanya kembali
bergetar. Wajahnya yang sedikit tertutup topi pandang jadi merah membara.
Tangannya yang baru saja mengangkat tubuh dara di atasnya mendadak terasa
hangat. "Ada apa, Kek...?"
"Ngg.... Tidak ada apa-apa! Ayo, jalan...!" kilah Ageng Panangkaran disertai
senyum untuk menutupi kerawanan hatinya saat tangannya menyentuh tubuh gadis
itu.

Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara gadis ini hanya mengangkat kedua bahunya saja.
"Kalau tak keberatan, kau mau
menceritakan kejadian yang menimpa
dirimu?" pinta Ageng Panangkaran mengalihkan perhatian.
Mendengar kata-kata barusan,
mendadak mata si gadis menatap tajam ke arah Ageng Panangkaran yang ada di
samping kuda yang ditungganginya. Kulit wajahnya yang putih berubah merah.
Sejenak ia diam tak menjawab.
"Maafkan kelancangan mulutku. Dan, lupakan saja ucapanku tadi!" timpal Ageng
Panangkaran saat mata gadis ini beralih memandang jauh ke depan.
"Aku tak membayangkan jika hal
seperti ini akan menimpa diriku...."
Tiba-tiba si gadis membuka suara. Ada getaran di suaranya. Sementara matanya
masih tetap memandang jauh ke depan.
"Orang tuaku telah tiada sejak
beberapa tahun yang lalu...," lanjut gadis itu. "Maka aku terpaksa hidup
sendirian di sebuah rumah yang tak jauh dari hutan ini. Tadi siang, datang
seorang laki-laki yang mengatakan sedang dalam perjalanan ke Kampung Blumbang
dan tersesat. Merasa kasihan, aku
menyilakannya mampir ke rumah. Namun apa lacur" Setelah di dalam rumah,
tingkahnya kurang ajar sekali! Dia mencoba
menggerayangi tubuhku. Aku berusaha
menolak. Tapi, laki-laki yang menamakan dirinya Dewa Kutukan itu meski tampak
sudah tua, namun tenaganya terlalu kuat bagi seorang wanita seperti aku.
Sehingga biar telah meronta-ronta coba menghindar, aku tak berhasil mencegah
nafsu setannya!"
Sejenak gadis ini menghentikan
ceritanya dengan napas terangah-engah, seperti menahan kegeraman.
"Lalu terjadilah perbuatan terkutuk itu! Meski demikian, Dewa Kutukan rupanya
selain laki-laki bejat juga menggiriskan.
Karena setelah kejadian di dalam rumah, dia membopongku ke dalam hutan ini. Dan
lagi-lagi, di bawah pohon besar tadi, perbuatan terkutuk itu dilanjutkan sambil
menampari wajahku!"
Gadis itu menghentikan keterangannya. Jubah bagian dadanya masih turun naik menahan kegeraman. Sementara
wajah Ageng Panangkaran sontak merah padam.
Rahangnya pun mengembang.
"Dewa Kutukan...! Hm.... Dia juga menuju Kampung Blumbang. Rupanya iblis itu
juga telah muncul. Dan kelakuannya tak juga berubah. Aku harus lebih berhatihati...," bisik Ageng Panangkaran dalam hati.
"Ngg.... Kakek sendiri siapa" Dan, hendak ke mana?" tanya gadis ini, tiba-tiba.
Ageng Panangkaran lama tak menjawab.
Dia merasa, bila berterus-terang
jangan-jangan gadis ini malah jadi
curiga. Karena, tujuannya sama dengan Dewa Kutukan.
"Aku hanyalah seorang pengelana. Aku ada janji dengan seorang sahabat yang
rumahnya tak jauh dari sini...."
"Berarti Kakek masih tak percaya padaku, karena masih merahasiakan nama!
Tapi, tak apa.... Aku memang telah menjadi orang hina, sehingga nama saja kau
tak mau menyebutkan...," rajuk gadis itu seraya memegang tangan Ageng
Panangkaran yang tengah mengelus-elus leher kudanya.
Mendengar rajukan barusan, Ageng
Panangkaran mendongak. Dipandanginya gadis itu, lalu tersenyum.
"Kau memang pandai bicara. Tapi jika aku nanti menyebut nama yang sama, kuharap
kau tak berprasangka yang tidak-tidak.
Tentang diriku, orang-orang di kampungku menyebutku Ageng Panangkaran. Dan
tempat sahabat yang kutuju adalah Kampung Blumbang...."
Gadis itu kontan menoleh. Namun
tangannya masih menggenggam tangan Ageng Panangkaran.
Ketika Ageng Panangkaran memandang
dan mengerdip, gadis ini tersenyum manja dan mengangguk.
"Aku percaya, Kakek tidaklah sejahat Dewa Kutukan, meski tujuannya juga ke
Kampung Blumbang...."
"Syukur kalau kau mau mengerti...,"
desah Ageng Panangkaran dengan sedikit mengangguk.
Ketika perjalanan hampir mencapai
ujung hutan, tanpa diketahui Ageng
Panangkaran, gadis itu melirik. Namun, hanya sebentar. Lalu....
"Aaakh! Aaakh!"
Mendadak gadis itu memegangi dadanya sambil membungkuk. Tatapannya sayu.
Bibirnya bergetar. Dan tak lama kemudian, tubuhnya lunglai di atas kuda.
Ageng Panangkaran kaget! Sebelum
tubuh ini jatuh dari punggung kuda, cepat diraihnya tubuh gadis itu. Lalu
diangkatnya mendekati sebuah pohon.
"Kek.,.! Dada..., ku...."
Terdengar rintihan sang gadis saat
tubuhnya diletakkan di atas tanah.
"Hm.... Mungkin ia terluka dalam,"
gumam Ageng Panangkaran sambil melihat wajah sang gadis yang matanya telah
memejam dan napasnya berhembus satu-satu.
Ageng Panangkaran mencoba
mengguncang bahunya, namun gadis itu tetap diam tak bergerak. Bahkan hembusan
napasnya kini tak lagi terasa.
"Hm.... Aku harus menyalurkan hawa melalui dadanya...," bisik Ageng Panangkaran
seraya melepas kancing jubah bagian atas gadis ini.
Namun mendadak Ageng Panangkaran
terkejut. Dadanya tiba-tiba bergetar.
Ternyata di balik jubah, gadis itu tidak memakai apa-apa lagi.
Cepat Ageng Panangkaran mengalihkan
pandangan. Dan dengan tangan bergetar, ditutupnya kembali kancing jubah yang di
baliknya menyembul buah dada yang tampak putih dap kencang.
Setelah dapat mengatasi getaran
dadanya, Ageng Panangkaran meletakkan tangannya di bahu gadis ini untuk
menyalurkan tenaga sambil memejamkan mata.
Di saat itulah tiba-tiba sang gadis
menyentakkan kedua tangannya cepat ke arah hati Ageng Panangkaran. Dan....
Bresss! Karena saat itu Ageng Panangkaran
sedang mengeluarkan tenaga dalam, maka tak ampun lagi tubuhnya yang kosong
melambung ke udara. Dan sebelum tubuh orang tua itu mendar at, gadis ini telah
bangkit. Langsung dilepaskannya satu tendangan lurus ke dada Ageng Panangkaran.
Untuk kedua kalinya Ageng
Panangkaran tak bisa menahan serangan ini. Sehingga....
Desss! "Aaakh...!"
Terdengar keluhan pelan dari mulut
Ageng Panangkaran, sebelum tubuhnya jatuh
membentur pohon pinus dan ambruk dengan erangan panjang.
Dengan langkah lebar, gadis itu
menghampiri. Begitu sedepa di depan Ageng Panangkaran, kembali kakinya
disentakkan. Sehingga, Ageng Panangkaran
terbanting keras di atas tanah.
Melihat Ageng Panangkaran tak lagi
merambat bangkit dan tak terdengar
erangannya, gadis itu berbalik dan
meloncat ke dekat kuda. Dan dengan cepat pula, diraihnya buntalan kecil di leher
kuda. Setelah mengambil sesuatu, lalu dicampakkannya buntalan di atas tanah.
Tak berselang lama, dengan senyum
tersungging, dari bawah ikatan rambutnya, gadis itu mengeluarkan tiga benda
kecil berbentuk segi tiga dan berwarna kuning.
Tepat ketika tubuhnya berkelebat,
gadis itu menyentakkan tangannya yang menggenggam benda segi tiga warna kuning
ke arah Ageng Panangkarari.
Set! Set! Begitu cepat tiga benda itu melesat, hingga hanya suara berdesingnya yang
terdengar tanpa kelihatan bentuknya.
Ageng Panangkaran yang mulai membuka matanya kontan terkejut. Ia masih bisa
mengelak dari benda berbentuk segi tiga itu dengan mengibaskan tangannya. Namun
satu di antara benda itu tak bisa
dihindari. Cras! "Aaakh...!"
Seketika benda itu menancap di
pinggangnya. Kembali terdengar erangan panjang
dari mulut Ageng Panangkaran menyentak kesunyian hutan pinus. Sementara itu,
lamat-lamat terdengar pula derai tawa yang menggema panjang, sebelum lenyap
ditelan desauan pucuk-pucuk pinus yang tertiup angin.
*** "Kau tak salah dengar, Setan Merah"!"
Pertanyaan bernada tuntutan itu
terdengar dari mulut seorang laki-laki berbaju putih. Dia berdiri di samping
seorang perempuan. Sedang pertanyaan tadi ditujukan pada seorang laki-laki
bertubuh pendek. Di punggungnya terlihat senjata pedang besar dan panjang.
"Mendengar keterangan serta ciri-ciri orang yang disebutkannya, Setan Merah tak
mungkin salah dengar. Dia memang Ageng Panangkaran!" selak perempuan di samping
laki-laki berbaju putih.
Perempuan itu menyela sambil
melingkarkan tangan putihnya ke pinggang laki-laki berbaju putih di sampingnya,
yang ternyata bermata satu. Kumisnya tampak lebat.
Dirangkul demikian, laki-laki
bermata satu hanya diam saja. Mata
satu-satunya malah memandang jauh ke depan.
"Kalau memang benar, berarti kitab dan benda itu yang ceritanya masih simpang
siur, bahkan mungkin telah dilupakan orang, benar adanya! Tak mungkin tokoh tua
itu turun gunung, jika tak ada sesuatu yang sangat penting! Orang-orang mungkin
telah menduga, bahwa Ageng Panangkaran telah meninggal dunia!"
"Benar, Kakang! Berarti kabar itu bukan omong kosong! Sekarang kita harus cepat
menyusun rencana. Karena jika tokoh tua itu telah muncul, tak mustahil
tokoh-tokoh tua lainnya juga akan turun gelanggang. Kita harus waspada. Karena,
yang akan kita hadapi bukan hanya
tokoh-tokoh tua dari golongan putih.
Bahkan yang segolongan dengan kita pun sudah pasti tak mau ketinggalan. Itu
merupakan tantangan yang tak ringan bagi kita...!" tandas perempuan yang
merangkul laki-laki bermata satu, seraya menoleh.
Namun, wajah perempuan itu tak
tampak. Karena seluruh wajahnya tertutup sepotong kain segi tiga yang berlobang
kecil-kecil. Sejenak di antara ketiga orang ini
tak ada yang bicara. Si cebol, yang
dipanggil Setan Merah, menatap dua orang di depannya dengan pandangan kaku dan
rikuh. Sementara, laki-laki bermata satu dan perempuan yang wajahnya tertutup
kain yang tak lain Sepasang Iblis Pendulang Sukma, sama-sama memandang jauh ke
depan. Tak lama kemudian, laki-laki bermata satu mengalihkan pandangan ke arah Setan
Merah. "Setan Merah! Berangkatlah bersama Diraja Kilatan Maut ke Kampung Blumbang!
Cari keterangan sebanyak-banyaknya!
Tapi, ingat! Kalian harus hati-hati!
Karena kalian nanti akan bertemu
tokoh-tokoh yang tak terduga, baik
tingkat ilmunya atau tingkat penyamarannya! Kalian jangan sampai membuat
kesalahan berat!" ujar laki-laki bermata satu yang bernama asli Sangsang.
"Baik!" jawab Setan Merah seraya berbalik dan berlalu.
"Sunti! Kita harus segera menyiapkan diri!"
"Tapi, Kang! Hal itu bisa kita
bicarakan nanti! Sekarang, kita lanjutkan permainan kita yang tertunda oleh
kedatangan Setan Merah!" sergah Sunti sambil menyeret laki-laki bermata satu
kekamar. Sangsang sedikit mendengus. Namun
tak urung kakinya mengikuti seretan
tangan perempuan itu.
* * * 3 "Aku harus cepat meninggalkan tempat ini, dan segera mencari tahu tentang Jurang
Guringring. Tempat ini sekarang
sudah tak aman lagi. Banyak orang aneh yang belum kukenal muncul di sini. Lebihlebih mereka mencari benda...! Hm.... Banyak kejadian yang masih belum
terjawab!" kata Aji dalam hati. Saat itu pemuda ini masih ada dalam gubuk Eyang
Selaksa di Kampung Blumbang.
Setelah diam sesaat, Aji alias
Pendekar Mata Keranjang 108 itu bangkit dan melangkah ke pintu. Sampai di balik
pintu dia berhenti. Dan di celah yang agak besar, wajahnya didekatkan. Sambil
menarik napas panjang, pandangannya
dilebarkan keluar gubuk. Begitu merasa tak ada siapa-siapa, baru pintu gubuk
dibuka. "Lebih baik aku lewat bukit sebelah timur...," batin Aji, langsung berkelebat ke
arah bukit yang mengapit Kampung
Blumbang sebelah timur.
Setelah agak jauh meninggalkan
Kampung Blumbang, barulah pemuda
berpakaian hijau ketat dengan pakaian dalam berwarna kuning ini agak tenang.
Namun begitu, sesekali tampak tubuhnya berkelebat cepat dan masuk ke
semak-semak. Agak lama, baru ia muncul dan meneruskan langkahnya.
Memasuki kawasan hutan pinus, Aji
memperlambat langkahnya. Bahkan kini tampak jalan pelan-pelan. Acap kali,
matanya memandang ke atas melihat
daun-daun pinus yang luruh dan berdesau.
"Heran! Benda apa sebenarnya yang dicari orang-orang itu" Dan, apa benar Eyang
Selaksa menyimpannya,..?"
Seett, seett! Mendadak terdengar suara gesekan.
Dan saat itu pula, Aji menghentikan
langkahnya. "Hm..., seseorang...," bisik Aji.
Cepat tubuhnya menyelinap ke balik
.sebuah pohon. Hening sejenak. Namun, tak lama
kemudian terdengar lagi suara gesekan.
"Aneh! Kalau orang mengikuti aku, tak mungkin berbuat begitu. Lagi pula,
suaranya tak berpindah...!"
Dengan kewaspadaan tetap terjaga,
pemuda itu perlahan-lahan keluar dari balik pohon. Lalu kakinya melangkah
mendekati sumber suara. Dan ketika dekat, Aji tercekat. Wajahnya berubah, seakan
tak percaya. Di bawah sebuah pohon pinus besar,
tampak duduk bersila seorang laki-laki tua, jenggotnya putih dan panjang hingga
ke dada. Di lehernya melingkar seuntai kalung dari batu-batu hitam. Di
sebelahnya, tampak seekor kuda sedang menggesek-gesekkan kepala ke batang
pohon. Setelah agak lama memandang, dan
yakin bahwa tak jauh dari tempatnya itu adalah orang, Aji lantas melangkah
mendekat. Namun, laki-laki yang juga memakai
caping pandan lebar hingga setengah
wajahnya tertutup, tak juga merasa
terusik. Bahkan ketika Aji menyapa, orang di depannya tak menjawab. Apalagi


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang. "Orang tua! Kau dengar suaraku?" sapa Aji sekali lagi, sedikit mengeraskan
suaranya. Orang tua yang tak lain Ageng
Panangkaran baru mengangkat kepalanya sedikit. Namun, bibirnya tak juga
membuka. Dan perlahan-lahan tangannya mengangkat dan menyodok bagian depan
caping pandannya. Sehingga Aji bisa
melihat seluruh raut mukanya.
Namun, Ageng Panangkaran belum juga
membuka mulut. Hanya sepasang matanya yang sayu menatap Aji dari atas hingga
bawah. "Orang tua! Kau...."
Belum sampai Aji meneruskan
kata-katanya, Ageng Panangkaran mengangkat kembali tangannya dan meletakkannya
di bibir. Lalu tangannya melambai memberi isyarat. Dan Aji pun mendekat.
"Maukah kau berbaik hati menolongku, Anak Muda?" tanya Ageng Panangkaran pelan.
Matanya tak berkedip menatap Aji.
Pemuda itu tak menjawab, kecuali
hanya mengangguk.
"Terima kasih, Anak Muda," lanjut Ageng Panangkaran. "Aku sebenarnya sedang
dalam perjalanan ke tempat sahabatku.
Namun karena keadaanku tidak memungkinkan lagi, mungkin aku tak dapat
melanjutkan perjalanan!"
Ageng Panangkaran diam sejenak.
Matanya beralih, memandang jauh ke depan.
"Kau tahu letak Kampung
Blumbang...?"
Mendengar ucapan Ageng Panangkaran,
Aji tersentak. Wajahnya sontak berubah.
Bahkan kakinya surut dua langkah ke
belakang. "Hm.... Orang tua ini mungkin juga sedang mencari Eyang Selaksa seperti Dewa
Kutukan...," batin Aji sambil memandang lekat-lekat orang tua di depannya.
Melihat perubahan pada diri pemuda
itu, Ageng Panangkaran sedikit terkejut.
"Ada apa, Anak Muda" Kau tahu letak kampung itu?"
"Orang tua! Katakan siapa dirimu!
Dan, apa tujuanmu ke Kampung
Blumbang...!" Aji balik bertanya dengan sedikit mengeraskan suaranya.
"Aku Ageng Panangkaran. Kedatanganku ke Kampung Blumbang untuk menemui
seseorang...."
"Eyang Selaksa bukan...?" potong Aji tiba-tiba, sebelum Ageng Panangkaran
meneruskan kata-katanya. Ageng
Panangkaran kaget. "Kau mengenalnya?"
tanya orang tua itu dengan tatapan sayu menyelidik.
"Bukan hanya mengenal. Tapi bisa dikatakan, beliau adalah guruku...."
Mendengar penuturan pemuda ini,
sekali lagi Ageng Panangkaran terkejut.
Malah dadanya tampak bergetar. Perlahan-lahan caping pandannya diangkat.
Seketika matanya yang sayu tak beranjak menusuk tajam ke bola mata Aji, seakan
minta keyakinan.
Melihat dirinya ditatap demikian,
Aji jadi rikuh. Maka dia mendekat lagi.
"Ki Ageng Panangkaran.... Aku tak memaksa kau untuk mempercayaiku. Namun aku
bicara apa adanya...."
Lalu Aji menceritakan tentang Eyang
Selaksa, juga tentang Ajeng Roro.
"Hm.... Mendengar ucapannya dan tingkah lakunya, anak ini tak mungkin
berbohong...."
Sambil terus berpikir Ageng Panangkaran mengangguk-anggukkan kepala.
"Hm.... Siapa namamu, Nak?"
"Aji.... Ki...!"
"Aji! Jika memang begitu ucapanmu, sungguh ini suatu pertemuan
yang kebetulan sekali. Ketahuilah, Aji.
Sebenarnya aku beberapa puluh tahun yang lalu, mempunyai janji pada Eyangmu.
Bahwa, suatu saat aku akan menjumpainya untuk menyampaikan sesuatu yang sangat
rahasia. Namun dalam perjalanan menuju ke tempat Eyangmu, aku mendapat
halangan."
Lantas Ageng Panangkaran menceritakan seluruh perjalanannya.
"Namun masih syukur lembaran kulit yang berhasil diambil gadis itu adalah
yang palsu! Sedangkan yang asli, masih kusimpan di dalam pantat kuda...," jelas
Ageng Panangkaran, mengakhiri keterangannya.
"Ki..., bagaimana kalau kita mencari tempat yang agak aman" Karena kurasa daerah
ini tidak begitu aman...," usul Aji ketika menyadari kalau sesuatu yang
dibicarakan mengenai hal yang sangat rahasia dan penting.
"Tidak usah, Aji! Waktuku tidak banyak. Karena, aku harus cepat kembali.
Luka di tubuhku harus segera diobati. Jika terlambat sampai tengah hari nanti,
sekujur tubuhku akan menghitam. Racun senjata itu sangat ganas. Lihat!" ujar
Ageng Panangkaran sambil membuka bajunya.
Aji tersentak, saat Ageng Panangkaran telah membuka bajunya. Kulit bagian dada dan perut Ageng Panangkaran telah
menghitam, bagai habis terkena jilatan api. Bahkan telah pula menetes cairan
hitam yang berbau.
"Hm.... Sekarang tolong dekatkan kuda itu kemari...."
Tanpa banyak bertanya lagi, Aji
segera mengambil kuda yang tak jauh dari situ. Lalu menuntunnya ke dekat Ageng
Panangkaran. Begitu dekat, perlahan-lahan orang tua itu mengelus-elus
kudanya. Lalu dengan cepat, tangan
sebelah kanannya bergerak. Kemudian kuku jari tangan itu menggurat kulit kuda
pada bagian pantat.
Sejenak kuda itu meringkik keras dan menerjang-nerjang kakinya.
Begitu kulit kuda terkelupas, cepat
tangan Ageng Panangkaran mengambil sebuah gulungan dari kulit dari balik kulit
kuda. Sejenak Ageng Panangkaran melihat
lekat-lekat pada gulungan kulit di
tangannya. Lalu tatapannya beralih pada Aji.
Sementara pemuda itu sendiri hampir
tak percaya melihat bagaimana Ageng
Panangkaran menyimpan gulungan tersebut.
"Orang tua ini cerdik sekali....
Siapa sangka jika di pantat kuda itu terdapat gulungan kulit yang mungkin sangat
berharga...," batin Aji. Matanya tak berkedip memandang gulungan yang ada di
tangan Ageng Panangkaran.
"Inilah yang akan kusampaikan pada Eyangmu! Karena sekarang aku sudah tak
mungkin lagi menemuinya, maka barang ini kuserahkan padamu agar segera
disampaikan pada Selaksa...," ujar Ageng Panangkaran seraya menyerahkan gulungan
kulit pada pemuda itu.
Sebentar Aji termangu. Namun begitu
menatap mata Ageng Panangkaran yang tampak tulus disertai anggukan kepala yang
meyakinkan hati, maka dengan tangan sedikit gemetar Aji menerima gulungan kulit
itu. "Dan sebagai tanda terima kasihku padamu, ambillah pakaian yang ada di
buntalan itu.... Dan, cepat temui
Eyangmu!" Mendengar kata-kata Ageng
Panangkaran, mata Aji tiba-tiba memerah.
Lalu matanya memandang ke atas.
"Eyang telah diculik, Ki.... Namun, si penculik memberitahu bahwa Eyang dan
Ajeng Roro di Jurang Guringring. Apa kau tahu, di mana letak Jurang
Guringring...?"
"Rupanya semua orang kini telah tahu, bahwa kunci semua ini ada pada Selaksa!"
gumam Ageng Panangkaran, seperti bicara pada diri sendiri. "Jika demikian
halnya, kau harus lebih berhati-hati, Aji!
Pertahankan kulit itu, sampai kau bertemu Eyangmu! Mengenai Jurang Guringring,
letaknya di pesisir Laut Selatan. Jika kau menuju Laut Selatan, nanti akan
bertemu daerah yang tanah dan batu-batu di
sekitarnya berwarna hitam. Itulah Desa Ledoksari. Dari situ kau akan segera
dapat melihat sebuah jurang. Itulah Jurang Guringring. Namun kau harus waspada!
Jurang Guringring kini dihuni seorang perempuan sakti. Dan kabarnya dia juga
mempunyai seorang murid yang tak kalah saktinya...."
Sebentar Ageng Panangkaran menghentikan penjelasannya. Ia tampak menarik napas dalam-dalam hingga bahunya sedikit
terangkat. "Aji! Aku harus segera kembali
sebelum tengah hari! Jika kau nanti telah
bertemu Eyangmu, jangan lupa sampaikan salam dan maafku padanya!" ujar Ageng
Panangkaran seraya menggapai tali kekang kudanya.
Dan dengan agak gemetar, Ageng
Panangkaran bangkit. Lalu perlahan-lahan dia naik ke punggung kuda.
"Ngg.... Ki.... Boleh aku tahu, di mana tinggalmu?" tanya Aji saat kuda orang
tua itu mulai akan melangkah.
Ageng Panangkaran mengurungkan niat
menarik tali kekang kuda, Sebentar
dipandangnya Aji seraya tersenyum.
"Mengenai itu, nanti bisa kau
tanyakan pada Eyangmu! Nah! Selamat
jalan, Aji! Semoga kita nanti dapat bersua kembali...," pamit Ageng Panangkaran,
segera menggebah kudanya, meninggalkan Aji.
Pemuda itu memandangi hingga tubuh
kuda Ageng Panangkaran tak terlihat lagi.
Tak lama kemudian, tampak sosok
pemuda yang terbalut pakaian hijau ketat dengan pakaian dalam berwarna kuning
itu berkelebat dan meliuk-liuk di antara pohon-pohon pinus menuju selatan.
*** 4 Desa Ledoksari terletak tak jauh dari pesisir Laut Selatan. Tampak lengang.
Memang meski sebuah desa, namun desa ini tak berpenghuni. Selain semak belukar
lebat merangas dengan pohon-pohon besar berusia ratusan tahun yang tumbuh tak
beraturan kokoh tak terusik, ternyata tanah dan batu-batu di Ledoksari ini
berwarna hitam legam!
Jika seseorang berdiri tegak di atas sebuah batu besar di Ledoksari, maka akan
segera dapat dengan jelas melihat sebuah jurangyang takjauh dibawahnya. Jurang
Guringring. Tak jauh beda dengan Ledoksari,
Jurang Guringring juga memiliki batu-batu dan tanah berwarna hitam. Sehingga tak
heran, jika melihat dari atas, maka yang tampak hanyalah sebuah kekukan batu dan
tanah yang dalam dan hitam.
Ketika sang surya baru saja menapaki bumi, tampak seorang gadis muda
berpakaian warna kuning muda berdiri termangu di atas sebuah batu besar
berwarna hitam. Matanya terus memandangi jurang di bawahnya.
"Putri Tunjung Kuning! Kenapa kau masih termangu di situ"!"
Mendadak terdengar suara teguran,
yang seakan-akan keluar dari perut
jurang. Suara itu bergema panjang,
sebelum lenyap ditelan sayup-sayup
deburan ombak Laut Selatan.
"Apakah kau telah berhasil
mendapatkan lembaran kulit itu"!"
Kembali terdengar suara dari dalam
jurang. "Betul, Guru! Aku telah
mendapatkannya!" sahut gadis di atas batu hitam.
Jawaban gadis yang dipanggil Putri
Tunjung Kuning tak kalah menggelegarnya.
Suaranya hingga menerabas dan menyusup ke jurang di bawahnya. Kemudian hening
sejenak. Lantas....
"Bagus! Kau adalah murid yang cerdik!
Kau memang pantas kelak menyandang gelar Ratu Dunia persilatan! Turunlah...!"
sambut suara dari dasar jurang.
Belum lenyap gema suara dari dasar
jurang, Putri Tunjung Kuning telah
melesat. Begitu cepat lesatannya, hingga yang tampak hanya warna kuning yang
membersit di atara warna-warni hitam.
*** "Mana lembaran itu..."!" tanya seorang perempuan berbaju kuning ketika Putri
Tunjung Kuning telah sampai di dasar jurang.
Dari balik pakaiannya, Putri Tunjung Kuning mengeluarkan gulungan kulit warna
coklat. Dengan senyum lebar, segera
diberikannya gulungan kulit pada perempuan di depannya.
Sungguh, pakaian, wajah, dan rambut
perempuan itu tak jauh beda dengan Putri Tunjung Kuning. Yang berbeda di antara
mereka, pada jari tengah perempuan yang
dipanggil guru oleh Putri Tunjung Kuning melingkar sebuah cincin berwarna merah.
Perempuan berbaju kuning muda yang
dipanggil guru oleh Putri Tunjung Kuning, berkulit putih mulus. Dadanya
menantang dengan pinggul besar menggoda. Bagi dunia persilatan, dia memang tak
asing lagi dengan julukan Dewi Kuning. Meski
demikian, hanya beberapa saja yang tahu tinggalnya. Ini bisa dimengerti, karena
Dewi Kuning memang sengaja tak pernah memberitahukan tempat tinggalnya.
Sejak pertama kali muncul di
gelanggang persilatan tujuh puluh lima tahun yang silam, Dewi Kuning memang
dikenal sebagai tokoh wanita yang doyan laki-laki. Namun demikian, tingkat
ketinggian ilmunya sulit ditandingi pada zamannya. Sehingga tak heran, jika
waktu itu banyak tokoh yang segan berurusan dengannya. Karena setiap kali ada
yang coba-coba, ia tak segan-segan menjatuhkan tangan besi pada orang tersebut.
Hingga wajar jika waktu itu banyak
tokoh baik dari golongan putih atau hitam yang bertekuk lutut di hadapannya.
Hanya tokoh yang cerdik dan benar-benar sejajar kedigdayaannya saja yang dapat
terhindar dari kelicikannya. Beberapa di antaranya adalah Panembahan Gede
Laksana, Tengkorak Berjubah, Dewa Kutukan, Selir Iblis, dan Ageng Panangkaran.
Seperti menunggu sesuatu peristiwa
besar yang membutuhkan persiapan panjang,
tokoh wanita berjiwa iblis itu lantas menghilang begitu saja tak tentu
rimbanya. Dan rupanya, peristiwa besar yang ditunggu-tunggu itu kini tengah
berlangsung. Terbukti, Dewi Kuning yang sudah tujuh puluh lima tahun tak tentu
ujung pangkalnya, tiba-tiba muncul
kembali. Bahkan kini telah mempunyai seorang murid yang selain parasnya cantik
dengan bentuk tubuh mempesona, juga
tingkat kepandaiannya tak bisa dipandang remeh.
Hal ini terlihat ketika muridnya yang dijuluki Putri Tunjung Kuning datang ke
hadapannya dengan membawa gulungan kulit yang memang diinginkan. Padahal,
lembaran kulit itu dipegang seorang yang tingkat ilmunya sejajar Dewi Kuning!
Maka dengan senyum dan anggukan, Dewi Kuning menerima gulungan kulit yang
disodorkan Putri Tunjung Kuning.
"Hm.... Kau akan kujadikan Ratu di atas Ratu! Dunia persilatan akan ada di
genggaman kita!" tegas Dewi Kuning sambil membuka gulungan kulit.
Ternyata, gulungan kulit itu hanya
berisi tiga lembaran kulit. Dan dengan mata sedikit melebar, Dewi Kuning
memperhatikan apa yang terpampang dalam lembaran kulit pertama. Dan mendadak
wajahnya mengkerut, namun masih lama-lama memperhatikan. Setelah itu, dibukanya
lembaran kulit yang kedua. Di sini, ia berbuat seperti saat melihat lembaran
kulit pertama. Demikian pula saat melihat lembaran kulit ketiga.
"Hm.... Tunjung Kuning! Apa benar kau mendapatkan gulungan ini dari si tua Ageng
Panangkaran?" tanya Dewi Kuning, menatap tajam pada Putri Tunjung Kuning.


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, Guru!"
"Hm.... Si tua itu ternyata masih cerdik juga...," gumam Dewi Kuning seperti
bicara pada diri sendiri.
"Apa yang Guru maksud...?" tanya Putri Tunjung Kuning, begitu membersit raut
kecewa pada wajah gurunya.
Dewi Kuning tak segera menjawab.
Sepasang matanya yang bulat, memandang lekat-lekat ke Putri Tunjung Kuning. Lalu
tatapannya beralih jauh ke batu-batu hitam di samping kanan dan kiri jurang.
"Lembaran kulit ini memang berisi peta dan keterangannya! Namun semuanya telah
dipalsukan! Si tua itu telah
memalsunya! Hm.... Namun, aku tak bisa menyalahkanmu! Tapi..., sudahlah! Kita
masih punya harapan! Dan aku yakin, siasat kita pasti berhasil! Kita tunggu
saatnya! Dan, simpan lembaran ini.... Kelak pasti akan ada gunanya...!"
Selesai berkata Dewi Kuning
berkelebat, lalu masuk ke dalam sebuah lobangyang menyerupai pintu dari batu
hitam. Dengan wajah kuyu dan sedikit geram, Putri Tunjung Kuning mendengus. Dan dia
juga berlalu menuju lobang yang tak jauh dari lobang tempat Dewi Kuning masuk.
*** Seorang laki-laki berjubah merah
besar tampak berdiri tegak kaku di sebelah batu besar dekat Blumbang. Rambutnya
yang panjang melambai-lambai dipermainkan angin. Telunjuknya yang kaku tampak
memainkan anting-anting besar yang
menggantung di telinga. Sepasang matanya yang putih, memandang tak berkedip ke
arah gubuk tak jauh dari tempatnya berdiri.
Melihat pandangan mata yang
menyengat tajam serta raut wajah yang tak menampakkan segurat keramahan sama
sekali, dapat diduga kalau orang ini selain sadis dan tak pandang bulu, juga
pongah. Kenyataannya, memang tak jauh
menyimpang. Sejak pertama kali
berkecimpung dalam gelanggang persilatan tujuh puluh lima tahun yang lampau, dia
sudah langsung membuat guncangan. Tak pandang bulu, baik dari golongan putih
maupun hitam ditantang berlaga mengadu kedigdayaan. Dan selama kiprahnya di
gelanggang persilatan, banyak sudah tokoh yang tumbang di tangannya!
Namun sejauh itu, dunia persilatan
tak pernah tahu, dari mana tokoh satu ini berasal. Bahkan namanya pun tak ada
yang tahu. Setiap menghabisi lawan-lawannya
dia hanya menggunakan mata yang berwarna putih serta telunjuk tangannya yang
kaku. Maka dari sini, orang-orang persilatan menjulukinya Dewa Kutukan.
Tapi kemunculan Dewa Kutukan di tujuh puluh lima tahun yang silam, hanya
sekilas. Setelah sejenak membuat heboh, dia lantas menghilang. Seolah-olah,
kemunculannya saat itu salah waktu.
Bahkan ada yang beranggapan, dia tewas di tangan seseorang tokoh.
Dan kini tanpa diduga sama sekali,
setelah menghilang dari arena persilatan, Dewa Kutukan unjuk diri kembali.
Seakan-akan telah diperhitungkannya
bahwa sekaranglah waktu yang tepat untuk keluar dari masa penantian panjang. Dan
walau kini wajahnya telah di-penuhi
lipatan kulit, akan tetapi kepongahan yang telah menjadi cirinya tak juga
berubah. Ini sangat tampak, saat Dewa Kutukan berdiri tegak dengan sepasang mata putih
menyorot tajam ke arah gubuk di depannya, di Kampung Blumbang.
"Bangsat!" mendadak keluar umpatan dari mulut Dewa Kutukan. "Gara-gara perempuan
sundal, semuanya jadi
berantakan! Perempuan sundal! Suatu saat, kau akan merasakan akibat atas ulahmu menipu Dewa Kutukan!"
Wajah laki-laki tua ini merah padam.
Rahangnya yang sedikit menggantung tampak mengeras dan terangkat.
Bisa dimengerti, kenapa Dewa Kutukan berulah begitu. Ternyata, waktu memburu
Dewi Kuning, wanita jalang itu telah menghilang.
Diiringi dengusan keras, Dewa
Kutukan menakupkan kedua tangannya dan mendorongnya ke depan perlahan-lahan.
Lalu.... Blarrr! Sebongkah batu besar kontan hancur
berkeping-keping terkena hantaman jarak jauh tangan tokoh berilmu. Bibirnya
tampak menyeringai, lalu tertawa. Namun tawanya seakan dipaksakan.
"Jahanam bedebah! Akan kukejar kau hingga ke tempatmu, Perempuan Sundal...!"
Habis berkata demikian, Dewa Kutukan memutar tubuhnya. Kemudian dia melangkah ke
arah bukit. Namun mendadak langkahnya terhenti. Telinganya tampak bergerakgerak. "Hup!"
Dan dengan menyentakkan kakinya ke
tanah, tubuh Dewa Kutukan berkelebat hampir tak terlihat. Dan tahu-tahu, ia
telah berdiri berkacak pinggang,
menghadang tiga orang yang muncul dari balik bukit sebelah timur.
Tiga orang yang dihadang, serentak
terpana. Salah seorang yang bertubuh cebol dengan pedang besar sampai
mengeluarkan seruan tertahan. Bahkan kakinya mundur setindak ke belakang. Dia
tak lain Setan Merah.
Orang lainnya adalah laki-laki
berkumis putih dengan rambut panjang dan hitam. Di tubuhnya terdapat beberapa
rajahan. Sedang yang terakhir adalah laki-laki berkumis tipis, namun rambutnya
putih. Kedua orang yang tak lain berjuluk Diraja Kilatan Maut tampak terbengong
tak percaya. Belum hilang rasa terkejut ketiga
orang ini.... "Siapa kalian"! Selangkah lagi
meneruskan perjalanan menuju Kampung Blumbang, kepala kalian putus!"
Dewa Kutukan telah mencelat dengan
sepasang mata putih menyengat tajam ke satu persatu orang di hadapannya.
Suara yang disertai tenaga dalam itu begitu menggeledek. Sehingga tiga orang di
hadapannya tampak menahan napas.
Mendengar ucapan sang penghadang,
Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut saling berpandang sejenak. Tak lama
kemudian, Setan Merah yang rupanya menjadi pimpinan berpaling pada Dewa Kutukan.
"Orang tua gagah! Di antara kita tak ada silang sengketa! Maka biarkanlah kami
meneruskan perjalanan!" sahut Setan Merah dengan suara disertai tenaga dalam.
"Benar!" sambung laki-laki berkumis hitam. "Kami hanya akan mengunjungi seorang
sahabat. Kuharap kau mau mengerti dan memberi jalan...!"
"Hm.... Kalian belum jawab
pertanyaanku!" hardik Dewa Kutukan.
Sepasang matanya masih tak beranjak
menatap tajam dan sinis.
Kembali Setan Merah dan Diraja
Kilatan Maut saling berpandangan.
"Dan, ingat! Sekali lagi memanggilku orang tua, mulut kalian akan kulumat hingga
jadi bubur!" sambung Dewa Kutukan.
Telunjuknya yang kaku ditukikkan
berpindah-pindah ke arah Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut.
Sejenak hening.
"Jika demikian halnya, sebutkan siapa dirimu! Dan mengapa menghadang perjalanan
kami..."!" tanya laki-laki yang memiliki rajahan pada tubuhnya.
Melihat ketiga orang ini seperti
mengulur waktu dan bahkan salah seorang balik bertanya, Dewa Kutukan habis
kesabarannya. Dagunya tampak menggegat.
Kulit wajahnya yang melipat-lipat
bergerak-gerak.
Dan bersamaan dengan itu, Dewa
Kutukan menarik kedua tangannya ke
belakang. Sehingga jubah merahnya yang besar menggelepar menyibak. Namun,
mendadak ditariknya kembali sibakan
jubahnya ke depan.
Wesss! Seketika deru angin keras melesat ke depan, ke arah Setan Merah dan Diraja
Kilatan Maut. Serangan ini sepertinya tak disengaja, namun cukup membuat ketiga
orang itu harus sedikit mengerahkan
tenaga untuk menahan. Dan kini Setan Merah
dan Diraja Kilatan Maut ini sadar dengan siapa berhadapan.
"Baiklah! Kami akan memperkenalkan diri. Namun, bukan berarti kami menuruti
perintahmu, atau takut dengan kebolehanmu tadi! Kami hanya ingin kau dengar,
lalu menyingkir dari hadapan kami!" kata Setan Merah bernada geram. Sehingga
bibirnya yang tebal dan bergincu merah menyala, sedikit tertarik masuk ke
mulutnya. "Ha... ha... ha...!"
Tiba-tiba Dewa Kutukan tertawa
terbahak-bahak. Dan sebelum gema tawanya lenyap di balik bukit, tangannya telah
menuding. "Tak kuduga! Ternyata selain tolol kau juga bodoh, Cebol! Apa karena kau kecil,
hingga ucapanmu seperti anak
kecil"! Katakan saja, tak usah
diembel-embeli alasan...!" kata Diraja Kilatan Maut dengan bentakan menggeledek
menusuk telinga.
Wajah Setan Merah yang tertutup bedak putih tebal langsung berubah kecoklatan.
Dan bibirnya menjadi matang dan bergetar.
Namun saat itu juga dia terkekeh-kekeh.
Perlahan-lahan tangannya mengusap-usap gagang pedang yang menyilang di punggung.
"Anjing kurap! Karena kulihat kau telah karatan, pasang telinga tuamu
baik-baik! Dan aku tak akan mengulangi ucapanku! Orang-orang persilatan
menjulukiku Setan Merah. Sedangkan dua temanku ini Diraja Kilatan Maut!"
Mendengar kata-kata Setan Merah,
Dewa Kutukan tak terkejut. Bahkan
tersenyum sinis dan meludah ke tanah.
Sementara, Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut maju melangkah.
"Bagus! Tak usah kau tanya, aku akan menyebut diriku!" kata Dewa Kutukan.
Pandangan matanya dialihkan ke arah bukit sebelah barat. "Meskipun belum pernah
bertemu, kurasa kalian telah pernah
mendengar julukan Dewa Kutukan! Dan
kalian mungkin juga telah mendengar, bahwa siapa pun yang bertemu Dewa Kutukan,
maka harus berlaga mengukur kedigdayaan sampai salah satu di antaranya terbujur
jadi bangkai! Nah! Sekarang kalian sedang berhadapan dengan orang itu! Dan saat
ini, rupanya nama kalian telah tergurat di antara deretan nama yang bakal jadi
bangkai!" "Dewa Kutukan!" seru Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut bersamaan seakan tak
percaya. Wajah ketiganya serentak pias.
Sementara langkah maju mereka mendadak terhenti. Sungguh tak diduga, bahwa
mereka kini sedang berhadapan dengan orang yang pernah mengguncang dunia
persilatan! Dan sebelum rasa terpana mereka
sirna, Dewa Kutukan telah menyongsong dengan sebuah sentakan tangan ke depan.
Wesss! Saat itu juga, serangkum angin
berhawa panas segera meluruk ke arah Setan Merah.
Setelah menyibak rambut panjangnya
yang menyapu tanah, Setan Merah
menghindar dengan berkelit ke samping.
Dan begitu kakinya mendarat di atas tanah, pedang besarnya dicabut. Setan Merah
merasa, mengha-dapi seorang tokoh yang pernah mengguncang dunia persilatan, tak
ada gunanya menggunakan jurus-jurus
pembuka yang bertele-tele.
Sring! "Heaaat!"
Begitu pedang besar tercabut dari
sarungnya, dari arah samping Setan Merah cepat menusuk sambil menerkam disertai
bentakan menggeledek.
Wesss! Sementara Dewa Kutukan hanya
memindah kakinya setindak ke belakang sambil menarik tangan kirinya ke
belakang. Maka, pedang besar Setan Merah hanya lewat sedepa di depannya.
Begitu pedang besar Setan Merah
lewat, Dewa Kutukan cepat mendorongkan tangan kirinya ke depan. Padahal pada
saat itu, tubuh Setan Merah masih berada di udara. Akibatnya, si cebol tak dapat
menghindari pukulan Dewa Kutukan.
Desss! Tubuh Setan Merah yang kecil, tak
ampun melesat kencang sebelum akhirnya menerabas batu besar dan jatuh berdebam
di atas tanah. Lenguhan keras keluar dari mulutnya. Namun sekejap itu juga
matanya membuka dan merambat bangkit.
Tapi baru saja Setan Merah berdiri
tegak, sebuah terjangan Dewa Kutukan menukik ke arahnya.
Setan Merah terkejut, namun
terlambat. Karena....
Desss! Terjangan menggeledek itu kontan
menerpa tengkuk Setan Merah.
Untuk kedua kalinya, tubuh Setan
Merah terbanting ke tanah. Namun kali ini tak lagi terdengar lenguhan dari
mulutnya. Tubuhnya sebentar tampak
bergerak-gerak, lantas diam kaku!
Laki-laki berkumis putih, salah satu dari Diraja Kilatan Maut, mengeluarkan
seruan tertahan melihat kematian Setan Merah.
"Tua jahanam! Kau telah menewaskan teman kami. Sebagai gantinya, kau harus
menyerahkan nyawa busukmu!" bentak laki-laki berkumis putih.
Baru saja kata-katanya lenyap,
laki-laki berkumis putih itu meloncat ke samping kanan. Sedangkan laki-laki
satunya yang berkumis hitam, ikut-ikutan meloncat ke samping kiri. Dan serentak
kedua laki-laki berjuluk Diraja Kilatan Maijt mengepalkan kedua tangannya yang
diputar sekali ke depan.
"Hiaaa...!"
Dengan suara menggemuruh, keduanya
menjejak tanah. Tubuh Diraja Kilatan Maut kini melayang cepat dari arah kanan
dan kiri, meluruk ke arah Dewa Kutukan yang masih diam, seakan menanti serangan.
Begitu kepalan tangan kedua orang ini sejengkal menerpa bahu kanan dan kiri,
Dewa Kutukan cepat lorotkan tubuhnya ke bawah. Begitu melorot, tubuhnya langsung
berputar. Dan dengan kecepatan kilat, jari tangannya disentakkan ke arah dua
tubuh yang melayang di atasnya.
Cep! Cep! Diraja Kilatan Maut tak bisa lagi
menghindari telunjuk tangan Dewa Kutukan yang menusuk perut.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Tak lama kemudian terdengar dua
jeritan menyayat dari Diraja Kilatan Maut. Dan bersamaan dengan ambruknya tubuh
Diraja Kilatan Maut, Dewa Kutukan bangkit. Dan disertai seringai ganas,
tangannya disentakkan ke tubuh Diraja Kilatan Maut yang telah ambruk di tanah.
Jrot! Jrot! Diraja Kilatan Maut tak bisa lagi
menahan sentakan tangan Dewa Kutukan.
Hingga saat itu juga, kembali terdengar jeritan panjang dan menyayat melingkupi
bukit sebelah timur Kampung Blumbang.
Sebentar Dewa Kutukan melirik tubuh
Diraja Kilatan Maut, lalu meludah.
"Phuihhh!"
Dewa Kutukan berbalik, dan melangkah menjauh.
"Hm.... Aku akan menyusul Dewi


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuning! Rupanya telah banyak orang
mengetahui persoalan ini! Sedangkan
sumbernya, kini ditawan Dewi Kuning di Jurang Guringring. Sekalian, sambil
menyumbat mulut perempuan sundal itu, aku bisa mendapatkan yang kucari
disana...!"
gumam Dewa Kutukan.
Kini tampaklah sebuah jubah merah
besar melambai-lambai tertiup angin
membersit cepat ke arah selatan.
* * * 5 Dua bayangan putih tampak berkelebat cepat bagai pusaran angin dari arah utara.
Setelah melewati kawasan hutan kecil yang ditumbuhi pohon pinus dan coklat,
akhirnya mereka muncul dari balik bukit sebelah timur yang mengapit Kampung
Blumbang. Dua bayangan putih itu tiba-tiba
berhenti, begitu terlihat tiga mayat bergelipangan tak terurus di lereng
bukit. Tiga sosokyang telah terbujur kaku
itu ternyata mayat seorang cebol dan dua laki-laki yang bentuk wajahnya sudah
tak jelas. Hanya rambut kepala mereka yang
masih utuh. Satunya berambut putih
panjang, sedangkan satunya berambut hitam panjang.
Salah satu bayangan putih yang berada di depan, ternyata seorang laki-laki
bermata satu. Begitu mendarat, langsung diberinya isyarat pada seorang perempuan
bertubuh sintal dengan wajah tertutup sepotong kain, untuk mengikutinya
menyelinap ke balik sebuah pohon besar yang di sekitarnya merangas semak belukar
lebat. "Hm.... Apa yang kita khawatirkan, akhirnya menimpa mereka!" gumam laki-laki
bermata satu. "Ternyata, telah banyak tokoh hebat yang berdatangan ke sini! Dan
itu berarti, cerita tentang kitab dan kipas benar!"
Mereka tak lain memang Sangsang dan
Sunti yang juga berjuluk Sepasang Iblis Pendulang Sukma. Kedua tokoh sesat
berkepandaian tinggi memandang berkeliling. Dengan satu mata Sangsang
memandang tak berkedip ke arah tiga mayat yang tak jauh darinya. Sementara Sunti
memalingkan kepalanya ke arah lereng bukit, lalu beralih pada laki-laki di
sebelahnya. "Aku sudah punya firasat buruk sejak keberangkatan mereka! Memang, jika
dibandingkan tokoh yang kabarnya kini telah berdatangan, mereka tidak berarti
banyak! Kita harus menyelidiki tempat ini, sebelum menuju ke gubuk itu. Karena
tak mustahil, banyak orang mendekam di balik pohon atau semak-semak sekitar sini!" bisik Sunti, sambil sekali lagi memutar kepala.
"Waktu kita terlalu lama jika harus berpayah-payah menyelidik!" kata Sangsang
sambil melirik dengan mata
satunya yang tampak mulai memerah.
"Gunakan jurus 'Tangan Iblis Menyapu Bumi'!"
Sunti hanya mengangguk mendapat
perintah Sangsang. Bersamaan dengan itu, keduanya mengangkat kedua tangan ke
atas kepala dan meluruskannya ke atas. Lantas serentak tangan mereka berputar
seiring putaran tubuh. Mula-mula pelan. Namun makin lama putaran tubuh dan
tangan mereka makin kencang. Dan akhirnya, yang
terlihat hanya bayangan berputar tanpa terlihat sosoknya.
Dan, terjadilah suatu hal yang
menakjubkan. Angin keras tampak
berputar-putar. Dan sejenak kemudian, melesat ke berbagai penjuru angin
disertai suara deru menggemuruh.
Pohon-pohon di sekitar bukit berguncang.
Tak lama kemudian, terdengar beberapa debuman pohon tumbang ke atas tanah dan
batu. Semak belukar terbongkar dari tanah sampai ke akar-akarnya.
Sementara tiga sosok mayat yang tak
lain mayat Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut, ikut berputar-putar sebelum
akhirnya menghantam batu besar dan jatuh di atas tanah.
"Cukup, Sunti!" ujar Sangsang sambil menghentikan putaran tubuhnya.
Tiga mata nyalang kini memandang
berputar. Begitu tak menemukan tanda-tanda adanya seseorang, mereka saling
berhadapan. "Saatnya kita menyelidik gubuk itu!"
kata Sunti, langsung berkelebat
mendahului Sangsang yang masih tegak mematung memperhatikan sekelilingnya.
Tak lama kemudian, Sangsang berkelebat, mengikuti arah berkelebatnya Sunti yang menuju gubuk di samping
Blumbang. "Kita telah kedahuluan orang!" kata Sunti, begitu keluar dari gubuk.
Sementara Sangsang hanya berdiri
tegak mengawasi tanpa suara.
"Melihat tulisan di dinding gubuk, penghuninya telah dibawa ke Jurang
Guringring! Kita harus cepat mencari tahu jurang itu, sebelum banyak orang
mengetahuinya!" sambung Sunti dengan mata berkeliaran dari balik penutup kain
wajahnya. "Hm.... Jika demikian halnya, kita harus atur siasat! Karena yang akan kita
hadapi bukan hanya tokoh-tokoh berilmu tinggi, namun juga berotak cerdik! Jurang
Guringring menurut kabar, dinuni seorang perempuan sakti yang cantik dan pernah
menggegerkan dunia persilatan!" jelas Sangsang tanpa menoleh.
"Selain itu, tubuhnya sintal dan muda. Begitu, bukan..."!" sambung Sunti bernada
agak kesal sambil melengoskan kepala ke arah samping.
"Jangan cepat marah, Sunti! Aku bersumpah, hanya kau yang ada di
benakku...!" sahut Sangsang, mencekal bahu Sunti.
Sunti tak menoleh. Bahkan ditepisnya tangan Sangsang yang mencekal bahunya.
Tubuhnya yang berkulit putih dan
berbentuk bagus itu digeser sedikit menjauh.
"Aku bersungguh-sungguh, Sunti!
Kaulah kelak yang tetap mendampingiku, jika aku menjadi raja di atas raja dalam
rimba persilatan!" lanjut Sangsang sambil melangkah mendekati.
Namun baru saja selangkah kaki,
Sangsang berhenti. Dari arah bukit
sebelah barat, sayup-sayup terdengar suara angin menderu. Meski masih jauh,
namun suaranya bagai di depan telinga dan mengiang menusuk hingga dada.
Walau Sangsang dan Sunti alias
Sepasang Iblis Pendulang Sukma telah mengerahkan tenaga untuk menangkis suara,
tapi tak luput dada mereka bergetar. Bahkan telinga mereka bagai tertusuk bulu.
Sangsang dengan mata satunya mencari sumber suara.
"Keparat busuk!" serapah Sangsang, lalu menoleh ke arah Sunti yang kini juga
menghadap ke arahnya.
"Sunti! Kau dengar suara itu" Kita harus hati-hati! Suara angin kedatangannya
saja sudah demikian...!"
Sunti hanya mengangguk. Dan sebentar kemudian, kepalanya beranjak beralih
mengikuti arah pandangan Sangsang yang memandang bukit barat.
"Hm.... Belum jauh beranjak,
ternyata sudah ada yang mau kirim nyawa!
Sunti! Jika pendatang ini orang
segolongan kita, kau pasti tahu apa yang harus kau lakukan! Sedang jika
pendatang ini bukan segoiongan, segera saja kita singkirkan!"
"Tanpa kau beritahu, aku sudah
berpikir ke sana!" jawab Sunti, masih saja agak kesal.
Namun sebentar kemudian, perempuan
itu nampak mendekati Sangsang. Ditariknya napas dalam-dalam hingga dadanya
tampak membusung.
"Kakang, maafkan atas kesalahanku tadi...," ucap Sunti.
Sangsang hanya menoleh dan
mengangguk pelan. Namun mata satunya menyorot tajam ke arah dada dan pinggul
Sunti. Kemudian bibirnya tersenyum. Dan pandangannya beralih ke lereng bukit
sebelah barat. "Sunti! Kau tunggu di sini. Aku akan menghadangnya di balik Blumbang!" ujar
Sangsang. Selesai berkata, tubuh Sangsang
melesat. Setelah membuat gerakan berputar tiga kali di udara, kakinya menjejak
tanah di balik tembokyang mengelilingi Blumbang dengan mantap.
"Hati-hati, Kakang!" kata Sunti memperingatkan, seraya ikut berkelebat masuk ke
dalam gubuk. Dari balik tembok, mata Sangsang
menangkap sebuah sosok hitam tinggi
menggelantung di sebuah dahan pohon, menghadap lereng bukit sebelah barat.
Sejenak matanya tak berkedip memandang.
Lantas dengan gerakan cepat, tubuhnya berkelebat mendekati sosok hitam yang
menggelantung. Tiga Tombak di belakang sosok hitam, Sangsang berdiri tegak mengawasi.
"Hm.... Aku rasa dia tahu
kedatanganku!" kata hati Sangsang.
Sebentar laki-laki bermata satu ini
menarik napas dalam-dalam. Lalu....
"Orang asing! Siapa kau"! Dan sedang apa di sini..."!" bentak Sangsang disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Suara Sangsang menggema dan memantul ke lereng bukit. Sehingga daun-daun pohon
tempat sosok hitam menggelantung jatuh berguguran.
Sejenak kemudian senyap. Sosok hitam yang menggelantung tetap diam. Seakan
bentakan Sangsang yang membahana tak didengar telinganya. Namun tak lama
kemudian, sosok itu meluncur turun. Dan belum sampai mendarat, tubuhnya telah
berputar menghadap Sangsang.
Tubuh Sangsang bagai terpaku,
tatkala mata satu-satunya melihat paras sosok hitam di depannya.
Sosok itu berjubah besar warna hitam yang menutupi sekujur tubuhnya, kecuali
wajah dan pergelangan tangan. Namun yang membuat sosok itu angker dan
menyeramkan, wajahnya tanpa tertutup kulit sama sekali. Sehingga yang tampak
hanya tulang-tulang wajahnya. Demikian juga tangannya yang terlihat sebatas
pergelangan. Di atas tulang pipi nampak rongga menjorok ke dalam yang di
dalamnya berputar-putar sepasang mata besar dan berwarna agak merah.
Sejenak sepasang mata yang berputar
di dalam rongga itu menatap jauh ke arah gubuk. Lalu tatapannya beralih ke arah
Sangsang yang tegak mematung di
hadapannya. Kini sosok yang berwajah tengkorak itu tampak mengangkat tangannya
yang hanya terlihat sebatas pergelangan.
Sementara telunjuknya menukik ke arah Sangsang. Dan bibirnya yang tak
berdaging, bergerak-gerak mengeluarkan suara sengau dan sember.
"Sekali lagi bersuara keras, kau akan kubuat seperti ini!"
Sosok berwajah tengkorak itu
tiba-tiba mengibaskan tangannya yang tak berdaging ke arah batu besar yang ada
di sampingnya. Dan....
Busss! Batu besar itu bagai terkena hembusan angin keras dari bawah, hingga membumbung
ke udara. Namun sebelum jatuh kembali....
Prak! Batu itu pecah berkeping-keping. Dan bersamaan dengan itu, sebelah kaki sosok
yang tertutup jubah besar menyentak satu kepingan batu ke depan.
Tak! Wut! Kepingan batu itu melesat kencang ke depan. Begitu kencangnya, hingga hanya
desingannya saja yang terdengar tanpa tampak kepingan.
Begitu menoleh, Sangsang terkejut
dan terpana. Gubuk yang letaknya
kira-kira dua puluh tombak jauhnya, jebol bagian depannya. Bahkan tembus hingga
belakang sebesar bongkahan batu besar. Dan begitu gubuk itu jebol, terlihat
sebuah bayangan melesat dari dalam.
Wajah Sangsang berubah merah padam.
Rahangnya kontan membatu. Maka buru-buru kepalanya berpaling ke arah sosok
berwajah tengkorak dengan seringai sinis.
Disertai dengusan keras, dia melompat.
Setelah membuat putaran di udara, kakinya mendarat kokoh di tanah tiga langkah
di depan sosok berwajah tengkorak. Seketika tangannya dihantamkan ke depan.
Bettt! Wusss...! Serangkum angin keras langsung
merierjang sebelum tangan itu sendiri sampai. Namun, sosok berwajah tengkorak
hanya menggeser kakinya ke samping. Maka, pukulan tangan Sangsang yang mampu
mencederai Wong Agung, hanya lewat
sejengkal di samping bahu sosok berwajah tengkorak (Tentang Wong Agung, baca
episode: "Istana Karang Langit").
"Keparat Edan! Berani main-main dengan Sepasang Iblis Pendulang Sukma, wajah
jelekmu akan kubuat hancur lebur!"
Berbarengan serapahan, Sangsang
kembali menyerang dengan hantaman kaki kiri lurus ke depan.
Kali ini, sosok berwajah tengkorak
tak beranjak menghindar. Bahkan hanya berdiri tegak dan dia menunggu. Begitu
tendangan lurus kaki kiri Sangsang sejengkal membongkar dada, kakinya cepat
menjejak tanah hingga tubuhnya terangkat.
Begitu tubuhnya berada satu tombak di udara, kakinya menekuk di balik jubahnya.
Dan.... Brakkk! Terdengar benturan keras, kala
terjangan kaki Sangsang berpapakan dengan tekukan kaki sosok berwajah tengkorak.
Tubuh Sangsang langsung terpental ke belakang sejauh lima tombak dan mendarat
dengan sedikit terhuyung. Sementara tubuh sosok berwajah tengkorak mengudara,
lalu indah sekali mendarat di sebuah dahan kecil di antara rimbunan pohon.
"Jahanam!" hardik Sangsang geram.
Kembali laki-laki bermata satu itu
memburu ke arah pohon tempat sosok
berwajah tengkorak tadi duduk menjuntai.
"Kubunuh kau, Anjing Kurap!" bentak Sangsang lantang sambil mengangkat kedua
tangannya ke atas membuat gerakan jurus
'Iblis Pencakar Langit'.
"Kakang, tunggu!"
Terdengar suara mencegah yang
disusul oleh sebuah bayangan putih
berkelebat. Sebentar saja, bayangan itu telah berdiri tegak di samping Sangsang.
Sementara Sangsang mengurungkan
niatnya. Dengan muka merah padam serta mendengus keras, kepalanya berpaling ke
arah Sunti. "Ada apa, Sunti" Anjing kudis itu akan terus jual lagak jika tak mendapat
hajaran!" kata Sangsang seraya memandang gubuk yang hampir roboh.
"Jangan bertindak bodoh, Kakang!
Kita tahu, kepandaiannya sangat tinggi.
Dan, mengapa tidak kita gunakan saja untuk mencapai tujuan kita?" bisik Sunti
perlahan, seraya mengangguk.
Bersamaan dengan anggukan kepala
Sunti memutar tubuhnya, lalu menengadah ke atas. Namun kali ini wajahnya
membersit keterkejutan, sampai kakinya mundur
setindak ke belakang dengan kepala berputar.
Melihat gelagat ini, Sangsang
ikut-ikutan mendongak ke atas. Dan ia pun berbuat seperti Sunti. Ternyata, sosok
berwajah tengkorak telah tak ada lagi di atas dahan, tempatnya duduk menjuntai
tadi. "Hm.... Rupanya telah banyak kunyuk kencur yang berebut menyerahkan nyawa busuk
demi lembaran kulit...!"
Sangsang dan Sunti serentak
berpaling ke arah datangnya suara. Seakan tak percaya pada pandangan mata,
mereka berlama-lama memandang dengan mata
melotot. Di atas pucuk-pucuk hamparan rumput berwarna merah, tampak sosok
berwajah tengkorak sudah duduk bersila membelakangi. Rumput itu sama sekali
tidak bergeming ataupun amblas. Padahal sosok berwajah. tengkorak duduk bersila


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di atasnya! "Siapa gerangan sebenarnya bangsat itu, Sunti"!" bisik Sangsang.
Pandangannya tak berkedip ke arah rumput-rumput berwarna merah.
"Meski belum pernah bertemu, namun aku yakin bila melihat ciri-ciri serta
tingkat ketinggian ilmunya, dia adalah tokoh hebat dunia persilatan angkatan di
atas kita. Yaitu, tokoh lihai dan angker berjuluk..., Tengkorak Berjubah!" sahut
Sunti. "Hm.... Jadi inikah orangnya...?"
gumam Sangsang tanpa menunjukkan rasa terkejut, meski mata satunya berkilat
terbeliak! "Sunti! Jika benar begitu, sekarang tugasmulah mengurusnya!"
Tanpa menunggu lama, Sunti melangkah perlahan-lahan ke arah sosok berwajah
tengkorak yang berjuluk Tengkorak
Berjubah. Sesekali kepalanya menoleh ke arah Sangsang.
Dalam dunia persilatan, nama
Tengkorak Berjubah memang sudah tak asing lagi. Selain mempunyai tingkat
kedigdayaan yang sukar dicari
tandingannya, ia juga dikenal sebagai tokoh aneh. Karena, tokoh ini hanya akan
unjuk diri jika ada sesuatu yang
benar-benar penting. Jadi, orang-orang dunia persilatan dapat segera tahu, bahwa
ada sesuatu yang sangat penting, jika tokoh ini muncul kepermukaan.
Menurut kabar burung yang beredar dan mulut ke mulut, tokoh ini bermukim di
sebuah selat kecil, di antara batu-batu karang di teluk Bajul Mati. Sebuah
daerah dekat Pantai Selatan.
Dan menurut orang-orang yang pernah
mengenalnya, tokoh ini juga dikenal
menyukai daun muda. Tak heran kalau sering beredar cerita bahwa Tengkorak
Berjubah rela memberikan satu kitab sakti hanya karena ingin menikmati tubuh
gadis muda berparas cantik dan bertubuh sintal.
Sunti, salah satu dari Sepasang Iblis Pendulang Sukma, rupanya telah tahu sifat
serta tingkah Tengkorak Berjubah. Maka setelah kakinya melangkah dekat,
perempuan itu cepat berlutut. Kepalanya menunduk dengan sikap menjura, hingga
menelungkup di sela-sela rumput-rumput merah.
"Orang gagah dan hebat.... Kalau tak salah, kami sedang berhadapan dengan orang
sakti dan digdaya berjuluk
Tengkorak Berjubah. Harap orang gagah maafkan atas tingkah kami yang kurang
hormat!" ucap Sunti.
"Hm...."
Tubuh bagian atas Tengkorak Berjubah tampak bergerak-gerak mengangguk. Lantas
tubuhnya berputar, namun masih tetap duduk bersila di atas pucuk rumput.
"Siapa kau...?" tanya Tengkorak Berjubah.
"Orang gagah yang berjuluk Tengkorak Berjubah.... Kalau kau tak mengenalku, itu
kumaklumi! Karena, aku memang orang bau kencur dalam dunia persilatan. Namun
begitu, kau tentunya masih ingat dengan orang yang berjuluk Manusia Titisan
Iblis dari Jurang Lebak Weden! Nah, aku adalah salah satu muridnya...!"
"Astaga! Jadi kau murid si Sawung Geni, sobat lamaku itu" Hm..., tak
kusangka...!" kata Tengkorak Berjubah dengan suara sengau dan sember.
Mata laki-laki berwajah tengkorak
yang besar dan menjorok ke dalam
berputar-putar menatap tajam ke arah Sunti yang masih menjura. Lalu, beralih
jauh ke arah Sangsang.
"Lalu siapa laki-laki jelek bermata picak itu?" lanjut Tengkorak Berjubah.
Wajah Sangsang berubah merah padam
mendengar kata-kata Tengkorak Berjubah.
Namun karena Sangsang menyadari dengan siapa berhadapan, lagi pula sedang
menyimpan siasat, rasa marahnya segera ditahan meski dadanya tampak bergetar
dengan tangan mengepal.
"Orang gagah! Dia adalah kakak
seperguruanku! Kami berdua dijuluki
Sepasang Iblis Pendulang Sukma! Dan aku sebagai wakilnya, minta maaf atas
perbuatannya yang tak pantas tadi...."
Suasana hening sejenak. Lalu bibir
yang hanya tampak tulangnya saja milik Tengkorak Berjubah, kembali
bergerak-gerak mengeluarkan suara sengau dan sember.
"Hm.... Sedang apa kalian di
sini...?" Sunti yang dari tadi masih menjura,
menegakkan tubuhnya sambil mengangkat kepalanya. Begitu tubuhnya tegak,
sepasang mata Tengkorak Berjubah yang agak merah dan besar melotot seperti
hendak memberojol dari rongganya. Tulang bibirnya bergerak-gerak beradu.
Ternyata bagian depan pakain Sunti
tepat pada bagian dada telah terbuka.
Hingga, sepasang buah dada yang putih dan kencang serta membusung itu terpentang
menantang. "Orang gagah tentunya telah tahu, apa maksud kami berada di sini...," desah
Sunti seperti tak mempedulikan sepasang mata besar yang menatap tak berkedip ke
arah dadanya yang mulai turun naik.
"Hm.... Jadi kalian juga
menginginkan lembaran dan benda itu?"
Sunti tak menjawab, dan hanya
mengangguk. Sehingga buah dadanya yang putih dan kencang itu sedikit berguncang
seiring anggukan kepalanya.
Tengkorak Berjubah semakin terpana.
Hingga hembusan napasnya deras menghambur ke depan, menerpa sepasang buah dada
Sunti. "Namun kalian kecewa, karena sang pemilik keterangan tentang lembaran kitab dan
benda itu, telah diculik seseorang!
Begitu, bukan...?"
Lagi-lagi Sunti tak menjawab.
Sementara tangannya bergerak ke pinggul.
Diusap-usapnya pinggul itu dengan desahan tertahan. Dan tak berselang lama,
kakinya ditarik dan ditekuk ke depan. Sehingga, pakaian bagian pahanya tanpa
disadari terbuka, maka kulit putih mulus di balik kain itu sedikit terlihat.
"Apakah orang gagah Tengkorak
Berjubah juga menginginkan lembaran dan
benda itu...?" Sunti balik bertanya dengan sepasang mata menusuk tajam.
"Ha... ha... ha...!"
Tiba-tiba Tengkorak Berjubah tertawa tergelak-gelak.
"Berpuluh-puluh tahun aku mengurung diri. Kuper-siapkan diriku. Aku menanti
dengan rasa tak sabar. Dan itu tiada lain hanya untuk mengambil lembaran kitab
serta benda yang kalian maksudkan! Karena siapa pun tahu, barang siapa yang
memegang lembaran dan benda itu, pasti akan menjadi Raja Diraja dalam dunia
persilatan...!"
"Jika demikian halnya, bagaimana kalau kita bersatu saja...?" tanya Sunti, kini
tangannya mulai menggeser. Dan
tubuhnya bergerak menggeliat, disertai erangan halus. Maka sepasang mata
Tengkorak Berjubah makin membeliak saja.
"Tidak bisa! Di antara kita tidak ada sangkut paut apa-apa! Kita tetap jalan
sendiri-sendiri!" jawab Tengkorak Berjubah mantap, sementara tangan yang hanya
terlihat sebatas pergelangan itu tampak seperti hendak menggapai.
"Orang gagah jangan salah paham! Jika lembaran kitab dan benda itu jatuh ke
tangan kita, kau lebih berhak atas
keduanya! Kami hanya ingin meminta barang sebentar! Dan selain itu, kau juga
bisa menikmati apa yang kau lihat sekarang sesuka hatimu.
Setelah berkata begitu, Sunti
bangkit berdiri dan melangkah mendekat.
Selangkah di depan Tengkorak Berjubah, dia berhenti. Dan perlahan-lahan
dibukanya kain bagian bawah. Sehingga betis sampai paha yang berkulit putih itu
terpampang jelas.
Tengkorak Berjubah seakan tak kuat
lagi menahan gejolak yang membakar
dadanya. Sehingga, ia pun ikut-ikutan berdiri.
Sementara Sangsang yang agak jauh
dari mereka, terdengar mendengus sambil mengalihkan pandangan.
Begitu tegak berdiri, tangan
Tengkorak Berjubah langsung menggapai ke arah dada Sunti yang tampak turun naik.
Namun dengan siap, perempuan itu
menghindar. "Orang gagah! Belum ada kesepakatan di antara kita! Kita tak ada sangkut paut
apa-apa! Jadi...."
"Baik! Kita sepakat...!" tukas Tengkorak Berjubah sambil mendekat ke arah
perempuan itu. Kali ini Sunti tak lagi menghindar.
Dibiarkannya tubuh tinggi berjubah hitam besar itu mendekap tubuhnya. Namun
begitu tangan Tengkorak Berjubah akan bergerak ke dada membusung yang masih
terbuka, Sunti menahan gerakan itu.
"Simpan dulu gejolakmu, Orang Gagah!
Semua ini bisa kau nikmati sepuasmu dan sesuka hatimu, jika urusan besar kita
selesai! Sekarang, kita selesaikan dulu masalah ini! Setelah itu, kita bisa
bersenang-senang! Satu purnama pun akan kulayani... Aku tahu, kau pasti lakilaki jantan yang menggelora dalam
pertempuran...," ujar Sunti lirih disertai desahan halus.
Selesai berkata, Sunti melepaskan
diri dari dekapan Tengkorak Berjubah.
"Nah! Sekarang kita harus mencari tahu, siapa penculiknya! Dan kita segera
memburunya...!" sambung Sunti seraya menutup kembali pakaianya.
"Melihat tulisan yang tertera di atas daun lontar hitam di dalam gubuk, aku
sudah tahu siapa pembuat ulah ini!" kata Tengkorak Berjubah, masih memandang
dada Sunti yang kini telah terbalut kain putih ketat.
"Siapa gerangan..."!"
"Ikuti saja aku..!"
Selesai berkata, Tengkorak Berjubah
hendak berkelebat.
"Tunggu!" tahan Sunti.
Tengkorak Berjubah cepat
mengurungkan niatnya. Kemudian dia
berpaling ke arah Sunti.
"Kakang! Ayo jalan...!" ujar Sunti dengan tangan melambai ke arah Sangsang yang
masih tegak kaku memandang jauh ke arah bukit.
Mendengar teguran, buru-buru
Sangsang menoleh. Dan belum satu kejapan mata, tubuhnya telah berada disamping
Sunti. "Kita berangkat sekarang, Orang Gagah..!" ajak Sunti dengan kepala menghadap ke
arah Tengkorak Berjubah.
Tanpa memandang kearah Sangsang.
Tengkorak berjubah berkelebat kearah Selatan. Dan tanpa bicara lagi, Sepasang
Iblis Pendulang Sukma mengikuti dari belakang.
*** 6 Pesisir Pantai Selatan. Tak jauh dari sana, terletak Desa Ledoksari yang tampak
tenang. Karena, kenyataannya desa itu memang lengang tanpa penghuni. Batu-batu
dan tanah yang berwarna hitam, serta sebuah lekukan tanah yang dalam di
sampingnya, tampak berkilat-kilat
dijilati sinar matahari yang belum sampai pada titik tengahnya.
Sementara, tampak sesosok tubuh
berpakaian hijau ketat dengan pakaian dalam warna kuning dan berambut panjang
serta dikuncir ekor kuda tengah
berkelebat dari arah timur. Setelah
meliuk-liuk di antara pohon-pohon besar yang berderet tak teratur, sosok
berambut panjang itu akhirnya berdiri kokoh di atas sebongkah batu hitam. Dari
tempat ini dia segera dapat melihat sebuah jurang yang tak jauh dari tempat ini.
Sosok ini tegak terpaku. Sepasang
matanya yang tajam menyorot berkeliling, dan berujung pada sebuah lekukan dalam
yang tak jauh darinya.
"Hm.... Pasti di jurang itulah Eyang Selaksa dan Ajeng Roro berada...! Menurut
Ki Ageng Panangkaran, jurang ini dihuni seorang perempuan sakti yang juga
mempunyai seorang murid saktinya. Namun kenapa mereka membawa Eyang Selaksa
serta Ajeng Roro" Dan, apa hubungannya dengan lembaran kulit Ageng Panangkaran
yang hanya berisi peta dan keterangan yang aku sendiri bingung membacanya" Juga,
Dewa Kutukan. Kenapa. tiba-tiba saja menyebut lembaran kulit dan benda" Apa
semua, ini berhubungan..." Hm... Hal sulit yang belum bisa kupecahkan...," gumam
sosok berbaju hijau ketat dengan pakaian dalam berwarna kuning lengan panjang
serta rambut berkuncir ekor kuda yang tak lain Aji Saputra alias Pendekar Mata
Keranjang 108 sambil menyibak rambut depannya yang menghalangi pandangan.
Apakah gadis yang berbuat keji
terhadap Ki Ageng Panangkaran itu adalah Putri Tunjung Kuning" Jika memang dia,
kenapa berbuat senista itu hanya demi sebuah lembaran kulit" Apakah dunia telah
demikian edan, hingga hanya demi sebuah lembaran kulit, seseorang tega membunuh
secara keji dan culas" Hm.... Mungkin hanya Eyang Selaksa yang bisa memberi
keterangan tentang semua ini! Aku harus menemuinya! Tapi....?"
Belum usai Aji berpikir jauh lagi....
"Hi... hi... hi...!
Mendadak terdengar suara tawa
membahana yang menyeruak keheningan.
Bahkan kembali menusuk hingga dada Aji bergetar. Sementara pemuda itu tak dapat
menentukan sumber suara tawa, karena begitu tiba-tiba menyeruak dan membahana.
Namun sebelum gema suara tawa yang
meninggalkan perasaan bergidik itu
lenyap, sebuah suara yang tak kalah
menggelegarnya terdengar. Malah
sepertinya ditujukan pada diri pemuda yang berpakaian hijau ketat dengan
pakaian dalam warna kuning ini.
"Tamu pertama kita rupanya telah hadir! Sambutlah kedatangannya dengan ramah!
Kalau perlu, layani apa yang
diinginkannya...."
Sejenak Aji diam termangu sambil
menahan napas dan menyalurkan hawa ke telinga dan dadanya.
"Hm.... Suara seorang perempuan! Aku yakin sekarang. Suara itu pasti dari dasar
jurang. Benar apa yang dikatan Ki Ageng Panangkaran. Jurang ini dihuni seorang
sakti. Suaranya saja bagai lahar dari dasar bumi!"
"Aku tahu, Guru...!"
Terdengar suara jawaban yang tak
kalah menggelegar.
Sebentar kemudian hening, Aji
mengarahkan pandangan pada jurang yang sisi-sisinya hanya berupa batu-batu hitam
dan pohon-pohon besar, serta semak yang merangas tinggi-tinggi. Namun hingga
matanya lelah menatap, tak juga muncul seseorang.
"Jangan-jangan...."
Aji langsung berkelebat dan segera
menyelinap di balik rimbunan semak
belukar. Sepasang matanya yang tajam tetap nyalang berputar-putar, hingga kedua
alis matanya menukik dan saling bertautan.
Sampai kakinya terasa pegal dan tak
seorang pun yang muncul, pemuda itu
bangkit. Namun baru saja hendak bergerak, tiba-tiba dari atas tempatnya mendekam
berguguran beberapa daun dan ranting kecil-kecil.
"Jika terkena hembusan angin, tak mungkin hanya daun dan ranting di pohon ini
saja yang berguguran. Lagi pula, aku tak merasa ada angin kencang yang
bertiup...," batin Aji sambil mendongak.
Sepasang mata Pendekar Mata
Keranjang mendadak terbeliak ketika
melihat apa yang ada di atasnya. Tampak seorang wanita muda berpakaian kuning
muda dan berparas cantik serta berkulit putih, sedang tiduran di atas dahan.
Sepasang kakinya menjuntai ke bawah, hingga sibakan kainnya membuat kulit kaki
yang putih mulus terlihat hingga paha.
Sejenak sepasang mata Aji terkesiap
oleh pemandangan yang begitu menggoda.
Bahkan jakunnya tampak turun naik


Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disertai bibir berdecak. Namun cuma
sekejap. Begitu ingatannya melayang pada Eyang Selaksa dan Ajeng Roro wajahnya
berubah merah padam. Rahangnya pun
sedikit mengembang.
"Hm.... Berarti biang keladi
kejadian di Kampung Blumbang, dan gadis yang mencederai Ageng Panangkaran pasti
dia! Aku akan buat perhitungan!" kata Aji dalam hati sambil mengepalkan tangan.
Begitu pemuda berpakaian hijau ketat dengan pakaian dalam warna kuning ini
bangkit dan hendak bergerak, mendadak gadis berpakaian kuning itu meluncur
turun. Dan begitu mencapai tanah hitam di bawahnya, gadis itu kembali melesat ke
atas. Lalu dibuatnya gerakan berputar tiga kali, sebelum tegak membalakangi Aji
di atas sebuah batu.
Aji tampak kesal. Bibirnya
menyunggingkan senyum seringai.
"Biarpun kau berilmu tinggi, jangan dikira aku akan mundur sebelum dapat bertemu
Eyang Selaksa dan Ajeng Roro!"
gumam Aji. Saat itu juga pemuda ini berkelebat
ke arah si gadis. "He...! Di mana kau sembunyikan Eyang Selaksa dan Ajeng
Roro"! Cepat bebaskan mereka! Jika tidak...," bentak Aji terputus. Sementara
matanya tak berkedip memandangi pinggul
gadis itu yang memang begitu menggiurkan.
Seandainya tak ada urusan yang menyangkut Eyang Selaksa serta Ajeng Roro mungkin
pandangan Aji akan lain.
"Orang tampan! Kenapa mulut manismu membentak begitu" Padahal matamu
jelalatan nyasar ke pinggulku" Apa ini yang disebut hati laki-laki tapi mata
perempuan! Atau, kau memang seorang
laki-laki yang berhati dan bermata
perempuan..." Jika begitu, bagaimana jika kau kupanggil si mata perempuan" Atau
biar enak didengar, bagaimana kalau kupanggil Pendekar Mata Keranjang saja..."
Kau setuju, bukan...?"
"Jangkrik! Dari mana dia tahu aku berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108"
Tapi, kenyataannya pinggul dan paha itu tadi memang sayang jika dilewatkan
begitu saja...," batin Aji sambil sedikit tersenyum.
Namun ketika teringat kembali
tentang Eyang Selaksa dan Ajeng Roro, darah pemuda itu kembali naik ke
ubun-ubun. Pandangan matanya cepat
dialihkan ke punggung gadis itu.
"Diam! Kau jangan coba-coba
mengalihkan pembicaraan! Jawab saja
pertanyaanku!" bentak Aji.
"Oh, si Mata Keranjang! Eyangmu serta gadis gombal itu memang ada di tempatku!
Mereka dalam keadaan baik-baik saja. Soal permintaanmu..., kau tadi belum
meneruskan kata-katamu!" sahut gadis itu pelan sambil memutar tubuhnya ke arah
Aji. Mendengar gadis ini menyebut Ajeng
Roro dengan gombal, geraham Aji
gemeretak. Matanya menyipit
dengan pelipis bergerak-gerak.
"Ada yang tak beres dengan diriku, Orang Tampan bermata keranjang" Hingga
pandangan matamu begitu nanar?" tanya gadis ini begitu menghadap dan melihat
perubahan pada wajah Aji. Sebentar
diperhatikannya keadaan dirinya. Lalu, kembali memandang Aji disertai senyum
manis. "He...! Dengar kata-kataku! Jika mereka tidak segera kau lepaskan, aku akan
obrak-abrik tempatmu...!" ancam Aji.
"Pendekar Mata Keranjang! Bukankah kita pernah berkenalan" Kau ingat itu,
bukan..." Berarti kau telah tahu namaku!
Panggil aku dengan nama, jangan berhe..., he...!"
"Jangan banyak omong! Ingat! Jika ternyata Eyang Selaksa dan Ajeng Roro cedera
sedikit saja, aku tak segan-segan membuat kulit putihmu berubah hitam legam
seperti batu di bawahmu!" ancam Aji lagi, menghardik.
Sepasang mata bundar gadis yang tak
lain Putri Tunjung Kuning kontan
terbelalak. Bibir merahnya yang tadi menyungging senyum manis serta merta
mengatup rapat.
"Selain itu, biar akal licikmu tak akan kubiarkan menjatuhkan korban lebih
banyak lagi!" sambung Aji sambil menatap wajah cantik Putri Tunjung Kuning.
"Hm.... Omonganmu jangan ngaco!
Siapa yang berbuat licik" Dan, siapa yang jatuh jadi korban"! Coba katakan...!
Hikmah Pedang Hijau 5 Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bende Mataram 30

Cari Blog Ini