Ceritasilat Novel Online

Istana Emas 5

Istana Emas Karya Maria A. Sardjono Bagian 5


Menarik sekali masakan yang kaupesan ini. Apa namanya" Sudah pasti ini bukan pilihan Bu Tarsih. Dia sudah sangat hafal masakan apa saja yang kumaui, katanya kemudian.
Sebaiknya kautanyakan saja pada Bu Tarsih. Sambil berkata seperti itu kulambaikan tangan kepada Bu Tarsih yang kebetulan melintas di ruang makan, tak jauh dari ruang tengah ini.
Ya, Bu" Perempuan itu mendekati kami. Bapak mau menanyakan sesuatu kepadamu, kataku sambil pergi. Aku tidak ingin melihat air mukanya saat mengetahui dari Bu Tarsih bahwa masakan yang baru saja dipujinya itu bukan dipesan dari rumah makan mana pun.
Tamu yang pertama datang adalah pasangan suamiistri usia pertengahan. Keduanya tampak ramah dan menyenangkan. Kemudian berturut-turut datang tamutamu yang lain. Dalam waktu singkat istana emas tampak ramai oleh hadirnya para undangan. Senda-gurau, harum parfum yang beraneka aroma, suara musik, dan bau rokok memenuhi udara. Meskipun tidak begitu menyukai berbagai basa-basi dan pembicaraan yang menyerempet-nyerempet urusan bisnis, aku berusaha melayani tamu-tamuku sebaik-baiknya. Dan tampaknya, mereka terkesan olehku.
Puncak acara itu terletak di ruang tengah, saat
t . c acara jamuan makan malam tiba. Kebanyakan di antara mereka justru menyukai masakanku. Sebagian di antaranya malah minta izin untuk makan dengan tangan.
Makan hidangan lezat tradisional dengan sambal begini paling nikmat memakai sendok buatan Tuhan, kata salah seorang tamu sambil tertawa. Dia laki-laki berumur sekitar empat puluhan yang tampan dan simpatik. Sejak tadi mengobrol dengan Purnomo yang baru sore tadi pulang dari luar kota.
Saya tidak menyangka masakan biasa menjadi istimewa begini, kata yang lain. Masakan nyonya rumah sendiri pula.
Semula aku tidak ingin mengatakan bahwa masakan itu buatan tanganku sendiri. Tetapi karena ada dua tamu yang menanyakan masakan itu dipesan dari mana, terpaksalah aku mengatakan bahwa itu masakanku. Akibatnya, mereka yang mula-mula hanya ingin menyenangkan hati nyonya baru di rumah ini, justru malah ketagihan. Seperti yang telah kuceritakan tadi, sebagian merasa nikmat makan dengan tangan.
Melihat temannya makan dengan tangan, Purnomo ikut-ikut. Di belakangku dia berbisik nyaris tak percaya.
Betul ini masakanmu sendiri, Mbak" tanyanya. Saat itu Mas Yoyok sedang ada di dekat kami, sedang mendengarkan orang bicara. Tetapi aku yakin sebagian telinganya mengarah kepada kami.
Iyalah. Memangnya kenapa"
Aku tidak menyangka kau ahli memasak.
t . c Bukan ahli memasak. Cuma pandai meramu. Kau tahu apa nama masakan itu"
Apa" Oseng-oseng, botok, dan tumis. Ah, yang benar.
Sungguh. Hanya bahannya saja yang istimewa dan bumbunya harus berani, sehingga masakan kampungan juga pantas disajikan pada peristiwa penting begini.
Eh, siapa bilang ini masakan kampungan, Purnomo membantah.
Ya siapa tahu ada orang bilang begitu. Aku tidak tahu apa yang dirasakan oleh Mas Yoyok waktu mendengar percakapanku dengan sepupunya itu. Sayang aku tak bisa menyindirnya lebih lanjut karena seorang tamu perempuan datang ke arah meja tempat masakanku terhidang.
Boleh tambah lagi" tanyanya sambil menyenduk botok.
Silakan& silakan. Saya merasa bangga Ibu menyukai masakan saya, kataku menanggapi perkataannya.
Lezat sih, Jeng. Sungguh! perempuan itu berkata lagi sambil tertawa. Saya sampai melanggar pantangan untuk diet. Besok sajalah seharian saya akan makan buah saja.
Betul, Bu. Seorang perempuan gemuk yang tibatiba ada di dekat kami, menyambung sambil tertawa. Malam ini biar sajalah kumanjakan lidahku. Besok seharian aku hanya akan makan sekepal nasi saja. Ini gara-gara masakan Jeng Retno.
t . c Purnomo tertawa. Aku tersenyum malu dipuji kirikanan. Wajahku sampai terasa panas. Tak pernah sebelumnya aku mendapat pujian sebanyak ini. Waktu kulirik, Mas Yoyok juga tertawa. Tetapi pandang matanya melesat ke tempat jauh. Dia tahu aku sedang meliriknya. Pasti dia malu melihat kenyataan di mana masakan yang dianggapnya kampungan justru jadi primadona. Pujian yang datang bertubi-tubi kepadaku itu didengar sendiri oleh telinganya.
Ternyata pujian itu tidak berhenti di situ saja. Ketika acara makan sudah selesai dan sebagian duduk di ruang antara ruang tamu dengan ruang tengah tempat piano besar, atau yang biasa disebut vleugel, seseorang memberi usul kepada tamu-tamu lainnya.
Bosan mendengar musik tanpa kelihatan orangnya. Nah, siapa yang bisa bermain piano" tanyanya sambil menyendok selada buah dari mangkuk kecil yang ada di tangannya.
Seorang pria mengangkat tangannya. Biar kucoba. Mau lagu apa" katanya. Apa sajalah.
Ketika suara piano mulai terdengar, dua tamu lain menimpali dengan suaranya. Mereka mengumandangkan dua lagu berturut-turut. Lumayanlah, enak didengar. Mereka bertiga langsung mendapat tepukan tangan begitu selesai mengumandangkan lagu.
Sekarang beri kesempatan kepada tuan rumah, kata tamu yang bermain piano tadi. Entah namanya siapa, aku belum hafal.
t . c Ayo, Pak Hardoyo. Bermainlah untuk kami, sambung yang lain.
Mas Yoyok tersenyum. Pada saat itu wajahnya tampak lembut, sesuatu yang hampir-hampir tak pernah kulihat ada padanya. Tetapi ia menggelengkan kepalanya.
Maaf, jangan saya. Terus terang sudah bertahuntahun saya tidak pernah memegang piano. Daripada permainan saya mengganggu telinga Anda semua, lebih baik orang lain saja yang memainkannya, katanya kemudian.
Kalau begitu, bagaimana dengan Nyonya& " Aku menatap Mas Yoyok. Lelaki itu ganti menatapku. Pandang matanya lebih banyak dilumuri rasa ingin tahu daripada persetujuan. Tentu dia merasa tak yakin apakah aku bisa bermain piano walaupun tahu ada piano di rumah orangtuaku. Oleh karena itu aku segera mengambil keputusan untuk menuruti keinginan tamu. Tak enak kalau kami berdua sama-sama menolak permintaan mereka. Apalagi aku mulai merasakan kerinduan untuk bermain piano. Sejak pindah ke Jakarta, tidak sekali pun aku bermain piano. Aku tak ingin mencari masalah dengan Mas Yoyok. Menurut Aryanti, laki-laki itu tidak suka pianonya dimainkan orang. Jadi kesempatan bermain piano itu tak kubiarkan berlalu begitu saja.
Baiklah, kataku sambil tersenyum dan berjalan ke arah piano. Asal ala kadarnya saja saya bisa. Jadi jangan berharap terlalu tinggi.
Tak berapa lama kemudian udara dipenuhi lagu
t . c Serenade karya Schubert dan kulanjutkan dengan Beautiful Blue Danube karya Strauss. Kedua lagu itu kukuasai dengan baik tanpa harus melihat buku sehingga aku bisa memainkannya dengan penuh perasaan. Tak heran jika tamu-tamu langsung bertepuk tangan begitu aku selesai memainkannya. Pujian yang bertubitubi itu membuat pipiku terasa panas karena malu, sehingga tanpa sadar kutarik tangan Mas Yoyok yang sedang berdiri tak jauh dariku.
Sekarang giliranmu, Mas, kataku, tak peduli apa pun yang dirasakan olehnya. Kemudian kepada para tamu aku minta pengertian mereka. Tetapi mohon Bapak-bapak dan Ibu-ibu memaklumi kalau permainannya agak kaku. Maklum, sudah lama Mas Yoyok tidak bermain piano.
Untuk sekejap Mas Yoyok menatapku dengan tajam. Pasti dia tidak menyetujui kelakuanku itu. Tetapi karena menolak permintaanku akan terlihat kekanakan, dengan amat terpaksa ia duduk menggantikan tempatku tadi.
Maaf kalau permainan saya mengecewakan, katanya menyambung perkataanku. Mm& lagu apa ya" Apa sajalah& .
Aku hanya ingat lagu-lagu lama ketika masih belajar piano dulu, kata Mas Yoyok. Belum pernah aku melihat sikapnya seragu itu.
Tidak masalah, Pak Hardoyo, seseorang menyela. Ada banyak lagu lama yang justru lebih enak didengar.
Baik, aku akan memainkan lagunya Koes Plus.
t . c Begitulah, akhirnya Mas Yoyok mau juga memainkan piano. Mula-mula memang tidak begitu lancar, bahkan ada kalanya tersendat. Melihat itu aku berbisik ke dekat telinganya.
Ulangi lagi dari awal, Mas. Biar lebih lancar. Mas Yoyok menuruti perkataanku. Dia mengulangi lagu tersebut dari awal. Karena masih juga belum terlalu lancar, aku mengambil inisiatif menyanyikan lagu yang dimainkannya itu untuk menutupi kekurangannya.
Terlalu indah dilupakan& terlalu sedih dikenangkan& Begitu aku mengawali nyanyian itu. Setelah aku jauh berjalan& engkau& kutinggalkan.
Tak kusangka begitu aku mulai menyanyi, Mas Yoyok bisa melakukan improvisasi di sela-sela nyanyianku sehingga kami bisa saling mengisi dengan baik dan terdengar indah di telinga. Tak heran jika tepuk tangan dan pujian menghujani kami berdua. Bahkan seorang bapak sengaja mendekatiku untuk menyatakan perasaannya.
Suara Jeng Retno bagus sekali. Setara dengan suara Ruth Sahanaya, bisiknya. Tetapi yang ingin saya sampaikan adalah leganya perasaan saya. Rupanya Jeng Rerno berhasil membawa suasana segar pada diri Pak Hardoyo.
Terima kasih. Mudah-mudahan sejak malam ini Mas Yoyok bisa lebih menukik ke bumi, sahutku. Di dalam hati, aku sendiri pun agak terheran-heran karena tidak menyangka orang yang begitu keras, berwibawa, tegas, dan rasional itu bisa memainkan sebuah lagu dengan penuh perasaan.
t . c Namun apa pun itu, acara jamuan makan malam tersebut tak hanya berjalan dengan lancar, tetapi juga sukses. Semua orang merasa puas dan senang. Ketika tamu-tamu sudah pulang dan kulihat para pembantu rumah sedang sibuk membereskan dan membenahi bekas-bekasnya, kudatangi mereka satu per satu untuk mengucap terima kasih. Melihat air muka mereka waktu mendengar ucapan terima kasihku, aku tahu bahwa sebelum ini mereka tak pernah diberi ucapan terima kasih secara khusus sebagaimana yang kulakukan. Aku tidak merasa heran, karena sepanjang yang kuketahui, cara Mas Yoyok berterima kasih kepada bawahan-bawahannya termasuk kepada para pembantu rumah tangga selalu berkaitan dengan materi, yaitu uang. Materi memang penting. Tetapi penghargaan lain yang memakai perasaan sering kali lebih penting daripada uang.
Begitu masuk ke kamar, hatiku terasa lega bisa menikmati kesendirianku kembali. Rasa lelah dan kantuk yang mulai kurasakan bisa segera kuobati. Rencanaku, setelah memakai gaun tidur dan menghapus make up, aku akan segera membaringkan tubuh ke atas tempat tidur dan menikmati istirahatku. Tetapi sayang, sedang aku menyikat rambut sambil menguap, kulihat pegangan pintu tembus yang menghubungkan kamarku dengan kamar Mas Yoyok, berputar. Tetapi karena ada dua kursi besar yang menghalanginya, pintu penghubung itu tak bisa dibuka dengan leluasa sehingga gerakan dari arah balik pintu tersebut terhenti. Kupikir Mas Yoyok akan mendorong pintu tanpa peduli akan merusak pelitur kedua kursi itu. Tetapi ternyata tidak.
t . c Ia tak jadi membukanya, bahkan pintu yang hanya terbuka setelapak tangan itu ditutupnya kembali. Dari gerakannya yang kasar, aku tahu laki-laki itu merasa tersinggung oleh perbuatanku meletakkan kursi di situ.
Perasaanku langsung tak enak dan kantukku hilang lenyap tak berbekas. Lebih-lebih karena pelbagai macam perasaan yang kurasakan sepanjang sore hingga malam ini berhamburan masuk dan mengaduk-aduk hatiku. Tadi sore kurasakan adanya amarah dan rasa cemas kalau-kalau masakanku tak digubris tamu, lalu Mas Yoyok akan semakin menyudutkanku. Kemudian juga ada rasa sedih menyadari lebarnya jurang perbedaan pandangan di antara diriku dengan suamiku sendiri. Juga ada perasaan menang ketika Mas Yoyok menyangka masakanku tadi buatan rumah makan. Lalu muncul rasa puas ketika aku dipuji banyak orang di hadapan laki-laki itu. Dan terakhir rasa takjub bahwa ternyata aku dan Mas Yoyok bisa memberi pertunjukan yang tidak hanya kompak, tetapi juga manis didengar ketika dia bermain piano dan aku mengiringinya dengan suaraku untuk para tamu. Namun puncak dari adukan perasaan itu ada pada peristiwa yang baru saja terjadi tadi, Mas Yoyok tidak bisa melewati pintu tembus dan dia merasa tersinggung karenanya.
Ketika malam terus berlalu dan aku tidak juga bisa tidur akibat pelbagai adukan perasaan itu, kerinduanku untuk bermain piano yang belum terpuaskan tadi muncul kembali ke permukaan. Merasa tak tahan, cepatcepat kusingkap selimut yang sudah membungkus
t . c tubuhku dan aku kembali ke ruang tengah. Di sana kubuka tutup piano besar yang kurindukan itu dan lampu sudut di dekat piano itu kunyalakan. Cahayanya yang redup dan hanya menerangi tuts piano memberi suasana romantis dalam dadaku. Sedemikian kuatnya perasaanku sehingga aku tak peduli permainanku akan mengganggu orang tidur atau tidak. Maka kumainkan lagu-lagu kesukaanku yang ketika masih di Yogya sering kumainkan. Tanpa ingat apa pun kecuali perasaanku yang sedang tergugah, aku terus mengumandangkan lagu demi lagu lewat jari-jemariku. Terakhir kumainkan lagu Amor, lagu Amerika Latin yang konon kata orang pernah berjaya puluhan tahun yang lalu, saat aku belum lahir, yang merupakan favorit ibuku. Dari ibuku aku belajar piano. Beliau juga memberi kursus piano kepada anak-anak lain.
Hmm& panah amor dari manakah yang saat ini menembus hati Mbak" suara seseorang, tiba-tiba menembus telingaku.
Aku menoleh. Kulihat Purnomo berdiri di belakangku. Entah sejak kapan laki-laki itu ada di sana. Kok tahu lagu Amor" tanyaku.
Tahu dong. Kedua orangtuaku penggemar lagulagu Amerika Latin. Kasetnya banyak sekali. Belum tidur" tanyaku, mengubah pembicaraan. Aku tidak dapat tidur dengan perut yang terlalu penuh, sahut Purnomo, tertawa. Lagi pula aku tertarik mendengar piano yang biasanya membisu itu mengumandangkan lagu-lagu indah. Nah, kenapa Mbak juga belum tidur padahal malam sudah selarut ini"
t . c Mungkin alasanku sama dengan alasanmu. Tetapi aku telah menyebabkan istirahat orang jadi terganggu oleh permainanku. Maaf, kataku sambil menutup piano kembali. Sebaiknya kuakhiri saja permainanku.
Aku tidak merasa terganggu kok. Malah senang bisa menikmati lagu-lagu indah, jawab Purnomo.
Tetap saja aku telah mengganggumu. Seandainya aku tidak main piano, pasti kau masih di dalam kamar.
Purnomo menarik kursi dan duduk di hadapanku. Aku memang berniat untuk keluar kamar sebentar. Paling tidak untuk sebatang rokok sambil menunggu kantuk.
Silakan kalau begitu. Aku akan masuk ke kamar, kataku.
Tunggu sebentar, Mbak. Aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu lebih dulu.
Tentang" Sebelum bertanya, aku ingin menyampaikan lebih dulu rasa penghargaan bahkan rasa kagumku terhadap dirimu. Ternyata kau mempunyai banyak bakat. Apa maksudmu"
Ternyata kau bukan hanya pandai di bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga ahli memasak, pandai bermain piano, dan pandai bergaul serta menyenangkan para tamu. Dan eh... masih ada tambahannya lagi, suaramu bagus, jawab Purnomo.
Ah, Dik Pur terlalu berlebihan. Di dalam keluargaku, apa yang kaubilang bakat itu bukan sesuatu yang luar biasa. Semua saudaraku mendapat didikan yang
t . c sama untuk bisa sekolah setinggi mungkin dengan plus-plus lain yang harus kami gali sendiri. Kau punya saudara perempuan" Ya, kakakku.
Sudah menikah" Sudah punya anak. Aku tertawa. Kenapa kautanyakan itu"
Terus terang, aku sudah ingin punya istri. Umurku sudah lebih dari cukup. Pekerjaan oke. Simpanan uang, lumayan banyak untuk mendirikan rumah tangga. Cuma belum ada calonnya. Purnomo menyeringai. Tolong kenalkan aku pada seseorang, Mbak.
Aku punya saudara sepupu yang cantik dan punya banyak kelebihan. Kebetulan sejak aku menikah, dia tinggal di rumahku menemani ibuku. Ibu kandungnya, yaitu adik ibuku, sudah meninggal dan ayahnya menikah lagi. Dia sendiri termasuk gadis yang mandiri, tetapi sayangnya pemalu.
Itu yang kucari, seru Purnomo. Dia sudah bekerja"
Ya. Dia dosen termuda di kampusnya. Umurnya dua puluh tujuh, aku menjawab apa adanya. Hebat. Kenalkan aku padanya, Mbak. Itu sih gampang. Tetapi soal ada setrum atau tidak, aku tak bisa menjamin lho.
Apa salahnya mencoba, kan" Aku serius nih! Oke. Kalau libur panjang nanti akan kuminta dia datang ke sini, kataku berjanji.
Wah, terlalu lama itu. Siapa namanya" Nining.
t . c Ah, Nining. Purnomo menyebut nama sepupuku itu dengan cara yang lucu sehingga aku tertawa.
Sabar ya. Kesempatan untuk bertemu, pasti akan datang. Tetapi masalah jodoh, itu di tangan Tuhan, kataku kemudian. Sudah ah, mengobrolnya. Aku akan kembali ke kamarku.
Mudah-mudahan dia akan menjadi jodohku, Mbak!
Itu sama saja membeli kucing dalam karung, sahutku sambil tertawa. Belum kenal sudah berani memastikan.
Kan ada yang menjamin. Kau, Mbak.
Aku tertawa lagi sambil berjalan ke arah kamarku. Tetapi begitu berada di dalam kamarku kembali, tawaku langsung lenyap. Kulihat Mas Yoyok ada di kamarku, duduk di kursi dengan wajah yang tak enak dilihat.
Itukah artinya mengganjal pintu dengan kursi" katanya dengan suara yang sama tak enaknya. Apa maksud bicaramu"
Menghalangi suami masuk ke kamar tetapi di luar bergurau dengan laki-laki lain. Di tengah malam dan dengan pakaian yang kurang sopan pula, sahut Mas Yoyok sambil pandang matanya menelusuri tubuhku.
Aku tidak ingin berbantah kata yang tak ada gunanya. Jadi kulepas kimono tipis yang menutupi gaun tidurku untuk kemudian membaringkan tubuhku ke atas tempat tidur, memunggungi tempat Mas Yoyok sedang duduk itu.
Retno, kau mendengar kata-kataku, kan"
t . c Ya. Tetapi aku enggan bertengkar mengenai hal-hal yang menurutku tak perlu. Jadi silakan saja marahmarah. Aku tidak peduli kok.
Kau harus peduli karena kau istriku, Retno. Suara Mas Yoyok terdengar marah. Aku berhak memberimu peringatan bahwa tidak sepantasnya seorang istri malam-malam mengobrol dan bergurau dengan lakilaki lain, dengan pakaian yang seharusnya hanya dipakai di dalam kamar tidur saja. Apa nanti kata orang kalau melihat kalian"
Kau tak perlu mengingatkan aku. Aku tidak melakukan hal-hal yang memalukan diriku maupun memalukan keluargaku. Waktu aku keluar kamar tadi, tak ada siapa-siapa, aku menjawab, masih tetap membelakangi tempat Mas Yoyok duduk.
Barangkali memang benar kau dan Purnomo tidak melakukan sesuatu yang tercela. Tetapi belum tentu orang yang melihat kalian berduaan di ruang yang cahayanya remang itu akan berpikir sama. Jadi mulai sekarang berhati-hatilah dalam bersikap dan berkelakuan.
Kata-kata Mas Yoyok terdengar amat pahit di telinga. Terlebih setelah menerima pujian dari banyak orang tak sampai dua jam yang lalu. Akibatnya aku jadi tersinggung. Kubalikkan tubuhku, menghadap ke arah Mas Yoyok.
Jadi intinya, lagi-lagi aku telah membuatmu merasa malu dan kehormatanmu ternodai oleh diriku, kan" aku menggerutu. Tadi, karena masakan kampunganku. Dan sekarang karena mengobrol dengan Purnomo,
t . c malam-malam. Oke, Mas, tenangkan hatimu. Secepatnya aku akan pulang ke Yogya supaya orang yang sering membuatmu malu ini tersingkir dari kehidupanmu.
Tidak adakah kata-kata lain yang lebih bermutu dan terdengar sebagai pembicaraan orang dewasa yang matang"
Tidak! aku menjawab spontan.
Kalau begitu kularang kau pergi dari rumah ini. Kau istriku dan keberadaanmu ada di bawah tanggung jawabku sebagai suami. Paham" Mas Yoyok memandangku dengan air muka serius.
Kau tidak berhak melarangku pergi. Seorang istri tetaplah individu yang mempunyai hak untuk menentukan diri sendiri.
Tetapi aku berhak melarangmu pergi, Retno. Sama berhaknya pula untuk melarangmu mengobrol lagi di tengah malam dengan laki-laki yang tidak ada kaitan darah denganmu.
Kau diktator. Kau otoriter, aku menyemburkan kemarahanku. Sikapmu selalu bossy di mana-mana. Menyebalkan. Semua-mua selalu dilihat dari sudut pandang sendiri. Sempit wawasanmu.
Apa lagi" Mas Yoyok menghardikku.
Kalau caramu melarang seperti itu, aku bisa menuduhku telah melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ancamku. Kekerasan nonisik justru sering kali lebih menyakitkan!
Mas Yoyok mengetatkan gerahamnya. Wajahnya memerah, menahan marah. Matanya berkilat-kilat.
t . c Karena kau menyebalkan, tahu" semprotnya. Tahu sekali. Bagimu aku ini kan kampungan yang menyebalkan dan menyebabkan namamu yang bersih bisa ternoda, aku juga menyemprotkan kemarahanku. Kau pandai mengumpat dan pandai bicara. Namanya juga orang kampung, Mas. Aku melotot. Nah, sudah, pergi ke kamarmu sana. Aku sebal melihatmu.
Ini kamar istriku. Aku berhak berlama-lama di sini!
Terserah, tetapi aku akan berteriak sekuat-kuatku kalau kau tidak segera keluar dari sini. Nah, dalam hitungan tiga kalau kau tidak kembali ke kamarmu, aku akan berteriak keras-keras. Satu& dua& ti&
Mas Yoyok langsung berdiri, kemudian meninggalkan kamarku. Namun di ambang pintu dia masih sempat mengeluarkan kemarahannya padaku.
Seumur-umur belum pernah aku melihat perempuan segalak dirimu, desisnya. Kemudian tubuhnya menghilang di balik pintu.
Oh Tuhan, aku benci dia. Tetapi ya Tuhan, aku juga merindukan kehadirannya di sampingku. Kalau saja ia lebih berpengertian, barangkali saja perasaan lembut yang mulai tumbuh di hatiku ini bisa bersemi dan terus berkembang memenuhi seluruh relung hatiku.
t . c T ATKALA sepanjang pagi itu Mas Yoyok tidak
menyapaku dan tidak pula mengucapkan sepatah kata pun kepadaku, aku merasa kesal sekali. Suatu kekesalan dengan porsi melebihi seharusnya, yang mengherankan diriku sendiri. Aku tidak mau menemaninya sarapan seperti biasanya dan kubiarkan dia berangkat ke kantor tanpa aku memedulikannya. Andaikata dia berangkat dengan kedua belah telapak tangan di lantai dan kaki di atas pun, aku tetap tidak akan peduli.
Kemarahan yang berlebihan itu kutumpahkan melalui perbuatan yang agak keterlaluan tetapi yang sulit kubendung karena kuatnya desakan yang ada di hatiku. Seperti yang sudah kuakui, dalam hal itu aku pun mengherani diriku sendiri. Jadi sore itu menjelang jam kantor bubar, aku menelepon ke kantor. Tetapi bukan mencari Mas Yoyok, melainkan Purnomo. Kuminta dia mengantarkan aku menonton ilm. Alasanku, Mas Yoyok tak sempat mengantarku karena banyaknya pekerjaan.
Empat Belas t . c Oke, dengan senang hati, Mbak. Film itu memang bagus sekali, kudengar. Aku akan cepat pulang, sahutnya.
Bawalah pacarmu, Dik. Kita nonton bertiga. Lho, pacarku kan masih di Yogya. Namanya Nining. Purnomo tertawa. Tetapi nadanya terdengar serius. Mbak Retno sepertinya tidak percaya aku belum punya pacar, ya" Aku betul-betul sendirian. Oleh karena itu yang kucari bukan cuma pacar, tetapi calon istri. Aku sungguh-sungguh serius, Mbak.
Yah, nanti kita lihat bagaimana tanggapan Nining, ya" Sekarang kita bicara tentang rencanaku menonton ilm. Kita nonton yang paling sore saja ya supaya pulangnya tak terlalu malam.
Setuju. Ketika aku dan Purnomo pergi, aku yakin pada saat yang sama Mas Yoyok sedang bersiap-siap untuk pulang. Aku memang sengaja menyesuaikan waktu tersebut karena tujuanku ingin menunjukkan pada lakilaki itu bahwa aku berhak melakukan apa saja yang kuinginkan sejauh itu bukan sesuatu yang melewati rel keharusan. Kalau dia marah, yah, itu haknya juga. Bagaimanapun juga di hati kecilku aku menyadari bahwa kelakuanku itu meskipun bukan suatu kesalahan, namun kurang pantas dilakukan seorang perempuan yang sudah menikah. Suami pulang mencari rezeki, aku enak-enak menonton ilm. Dengan laki-laki lain pula, kendati dia tergolong keluarga sendiri. Tetapi itulah yang terjadi kalau otak sudah diliputi kemarahan dan kejengkelan yang kelewat besar takarannya.
t . c Setelah usai menonton ilm Purnomo mengajakku makan malam di salah satu rumah makan. Karena lapar, ajakan itu kusetujui sehingga kami baru tiba di rumah setelah pukul setengah sembilan kurang. Tak kulihat keberadaan Mas Yoyok. Tetapi di garasi, mobil kesayangannya ada. Juga mobil-mobilnya yang lain. Artinya, dia tidak pergi.
Meskipun apa yang kulakukan itu sudah kuniati dan risikonya juga sudah kusadari, tetapi ketika melihat piring Mas Yoyok di meja makan sudah tidak ada, hatiku terasa tidak enak. Seperti tadi pagi, dia makan sendirian. Padahal dia memiliki istri.
Dengan langkah hati-hati agar tidak terdengar siapa pun, aku masuk ke kamarku membawa rasa bersalah. Setelah membersihkan wajah dan memakai pakaian tidur, aku langsung naik ke tempat tidur. Rencanaku, aku akan tidur lebih cepat. Tetapi sebelumnya aku akan menyelesaikan dulu bacaanku, sebuah novel karya pengarang yang paling kusukai. Sambil membaca, kucoba untuk melenturkan urat sarafku yang terasa tegang. Aku yakin sekali, Mas Yoyok akan marah-marah lagi.
Yah, aku memang sudah mengira Mas Yoyok akan marah kepadaku. Tetapi bahwa kemarahannya bisa berlebihan, sama sekali tak kubayangkan sebelumnya. Dia masuk ke kamarku saat aku sudah mulai tenggelam di dalam cerita yang kubaca. Begitu berada di dekatku, buku yang sedang kubaca itu ditariknya dengan kasar untuk kemudian dilemparkannya ke sudut kamar.
t . c Melihat tingkah lakumu, lama-lama aku tak bisa lagi menahan kesabaranku, bentaknya kemudian. Kau harus tahu, di Jakarta ini aku mempunyai reputasi dan nama baik yang amat tinggi. Jadi jagalah kelakuanmu, jangan sampai memalukan keluarga. Ketika tadi kutanya, Purnomo mengatakan bahwa kau yang mengajaknya menonton ilm. Sungguh keterlaluan. Tidak sadarkah kau bahwa laki-laki bujangan seperti Purnomo itu seperti anjing disodori tulang jika diberi kesempatan untuk berduaan dengan perempuan, tak peduli perempuan yang sudah menikah sekalipun.
Aku marah sekali mendengar perkataannya yang mengandung hinaan itu. Aku memang bersalah, tetapi bukan begitu cara Mas Yoyok menegurku. Enak saja dia bicara semau-maunya sehingga rasa bersalah yang sempat menghuni hatiku tadi, lenyap dengan seketika. Kalau saja dia bicara secara baik-baik, pasti aku akan minta maaf kepadanya.
Kau menghinaku dan juga menghina saudara sepupumu sendiri, begitu aku ganti membentaknya. Apa yang kulakukan bukan sesuatu yang bisa mempermalukan dirimu. Apalagi menjatuhkan reputasi dan nama baikmu, sebab laki-laki lain yang kausebut-sebut itu memiliki ikatan darah denganmu. Bukan laki-laki yang kudapat di pinggir jalan.
Saudara sepupu, bahkan saudara kandung sekalipun, seandainya aku punya, tidak ada pertalian darah denganmu. Maka apa saja bisa terjadi jika kalian sering pergi berduaan.
Kau menghinaku. Memangnya aku ini tak punya
t . c rasa tanggung jawab moral" aku menjawab dengan bentakan lagi.
Jangan bicara tentang moralitas yang tidak bisa dilihat secara kasat mata, sebab yang kita bicarakan adalah kenyataan yang langsung terlihat oleh mata telanjang. Orang yang melihatmu menonton dan makan berduaan dengan laki-laki lain pasti sependapat denganku. Kita ini boleh dibilang masih pengantin baru, tetapi kau pergi bersenang-senang bukan dengan suamimu. Keterlaluan sekali, kan"
Perbuatanku keterlaluan" aku mendengus. Amat sangat. Oleh karena itu aku melarangmu untuk melakukan hal-hal seperti itu lagi. Kau istriku, istri laki-laki yang memegang sederet jabatan. Presiden direktur, komisaris perusahaan, pemegang saham terbesar dari sekian perusahaan dan anak perusahaan. Bukan dengan maksud menyombong, tetapi sebagai istriku kau pasti mendapat sorotan dari banyak pihak. Banyak sekali tatap mata yang ditujukan kepadamu. Para karyawan perusahaan kami tersebar di mana-mana dan&
Menjadi istrimu bukan berarti aku harus membatasi apa yang kuinginkan, tangkisku memotong perkataannya. Aku punya hak atas diriku sendiri. Jadi jangan mendikteku, jangan pula melarang-larang apa yang kulakukan. Aku bukan anak kecil yang belum tahu mana yang benar dan mana yang salah. Aku tahu kok&
Retno! Mas Yoyok ganti memenggal perkataanku dengan suara menggeledek. Sekali lagi kuulangi, kau harus menurut apa yang kukatakan tadi demi nama
t . c baikku, demi nama baikmu, dan juga demi nama baik semua pihak.
Selama aku bertindak di atas prinsip kebenaran, bukan atas dasar ini pantas atau itu tidak pantas yang cuma buatan manusia melalui budaya, aku akan tetap melakukan apa yang kuinginkan.
Kau keras kepala! Aku hanya ingin berjalan di atas rel kebenaran saja.
Kebenaran yang bagaimana" Jangan memutarbalikkan fakta, Retno. Kebenaran itu sesuatu yang tak bisa disanggah dan karenanya diakui orang. Sedangkan kebenaran yang kauanut adalah kebenaran semu yang tidak akurat. Jadi pergi dengan laki-laki lain pada malam hari pula bukanlah perbuatan yang bisa dibenarkan dari sudut pandang mana pun. Oleh sebab itu kuminta sekali lagi, perbuatan itu jangan diulangi lagi. Memalukan, Retno.
Mendengar perkataan Mas Yoyok, kemarahanku semakin menggelegak. Akibatnya, otakku tak lagi bisa diajak berpikir wajar.
Terserah kau mau bilang apa. Bahkan andaikata kau mau menuliskannya sebagai peraturan yang akan kaupasang di setiap ruang rumah ini sekalipun, aku tetap tak peduli. Kalau aku mau pergi, ya pergi saja. Mau dengan Purnomo atau dengan laki-laki lain, itu urusanku. Aku tidak merasa bersalah karenanya. Kecuali kalau perginya memang dengan tujuan kotor. Berselingkuh, misalnya.
Retno, tolong perhatikan di mana kakimu sedang
t . c menapak. Jagalah nama baikku. Jaga nama baik keluarga besar kita. Jangan berbuat semau-maunya sendiri. Kita ini tidak hidup sendirian.
Aku tidak merasa mengotori nama baik keluarga. Jangan bicara seenakmu sendiri, Mas. Objektif, dong. Jadi kalau malam Minggu nanti aku ingin agar Purnomo menemaniku menginap di Puncak, ya jangan kaularang. Memangnya& Suaraku terhenti oleh tamparan tangan Mas Yoyok di pipiku.
Tidak keras, memang. Tetapi karena sepanjang umurku belum pernah sekali pun pipiku ditampar orang, bahkan tidak juga oleh kedua orangtuaku, aku terkejut setengah mati. Oleh sebab itu sakitnya terasa sampai ke ulu hati. Aku tidak menyangka Mas Yoyok bisa sekalap itu, padahal aku yakin dia pasti tahu bahwa aku tidak mungkin akan menginap di mana pun dengan laki-laki lain meski tidak ada apa-apa di antara kami. Jadi apa yang kukatakan tadi hanyalah luapan amarah belaka. Tidak sungguh-sungguh akan kulakukan. Tetapi Mas Yoyok kok tega-teganya menampar pipiku. Ini yang pertama kali kualami. Dan kuharap ini juga yang terakhir kalinya aku ditampar orang.
Dengan mata terbelalak kutatap mata Mas Yoyok. Seluruh percikan api amarah dan sakit hatiku memancar lewat kedua belah mataku. Dengan suara gemetar menahan marah dan terhina, kuusir dia keluar dari kamarku.
Keluar! bentakku. Keluar, kau penyiksa orang. Bapak dan ibuku sendiri pun tak pernah mencubitku. Apalagi menampar pipiku.
t . c Aku yakin Mas Yoyok melakukan perbuatan itu di luar kontrol dirinya, sebab perkataan yang kuucapkan baru saja tadi langsung menimbulkan rona merah di wajahnya. Bahkan tampak dia salah tingkah. Dengan terburu-buru dan tanpa berkata apa pun lagi dia menyelinap masuk ke kamarnya melalui pintu tembus yang langsung ditutupnya.
Pagi harinya, sama sekali aku tidak mau keluar kamar. Kutunggu sampai laki-laki itu pergi ke kantornya. Begitu tanda-tanda kehadirannya tak kudengar, aku langsung menelepon biro perjalanan untuk mencari tiket pesawat menuju Yogya hari ini juga. Dan aku beruntung. Setelah tengah hari nanti ada tempat kosong yang bisa membawaku ke Yogya. Memang bukan pesawat Garuda seperti yang biasa kutumpangi. Tetapi bagiku tidak masalah. Jadi begitu kepastian itu ada, aku langsung memasukkan pakaian dan milik-milik pribadiku ke dalam koper. Kutinggal semua perhiasan dan pakaian yang dibelikan Mas Yoyok untukku. Kemudian kutulis surat untuk laki-laki itu. Antara lain isinya demikian:
Sudah berulang kali kuingatkan padamu, baik sebelum kita menikah maupun sesudahnya, bahwa kita ini bukanlah pasangan yang cocok satu sama lain. Bahkan saling bertolak belakang dalam banyak hal. Begitupun dunia yang kita tapaki amat berbeda, sehingga apa yang kuharapkan ada pada dirimu, tidak kutemui. Sebaliknya apa yang kauharapkan dariku, kau tidak mendapatkannya.
t . c Singkat kata, tidak ada titik temu di antara kita berdua. Dan rupanya, rasa kecewa, rasa sakit hati, perbedaan pandangan dan lainnya itu semakin lama semakin terasa dan akhirnya tiba pada puncaknya, malam tadi. Seperti bisul besar, sekarang telah meletus.
Dengan perkataan lain, kalau kebersamaan kita akan tetap dilanjutkan maka akan timbul bisul-bisul baru dan kemudian meletus bergantian. Lalu di manakah letak kebahagiaan kita" Pernikahan adalah suatu wadah tempat kita bisa saling mengisi dan berkembang bersama-sama, menjadi matang dan merasakan kebersamaan yang semestinya semakin lama semakin intens. Padahal yang seperti itu mustahil dapat kita raih.
Oleh karena itu sebelum kita akan semakin saling menyakiti, bahkan mungkin saja bisa terjadi kekerasan demi kekerasan yang akan kita alami, biarlah kita akhiri kebersamaan ini secara baikbaik. Sebab bisa saja di suatu saat nanti aku yang akan menempeleng atau menendangmu. Cukup sudah segala upaya kita berdua untuk saling menyatukan persepsi dan menyamakan pemahaman kita mengenai pelbagai hal menyangkut kehidupan yang harus kita lalui bersama. Sebab ternyata tidak pernah ada hasilnya, kecuali pertengkaran demi pertengkaran yang terus terjadi dan akan terus terjadi.
Jangan Mas menomorsatukan nama baik, reputasi, kehormatan, dan harga diri yang hanya bert . c sifat semu dan palsu hanya demi sesuatu yang tidak hakiki. Perceraian bukan suatu yang aib kalau memang sudah tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh. Kuakui, aku merasa seperti seorang pengecut, tetapi apa boleh buat. Aku masih muda dan keinginanku meraih dunia masih luas cakrawalanya. Biarkan aku melangkahi kehidupanku sendiri tanpa hiruk-pikuk duniamu, karena yang akan kutempuh setelah ini adalah kehidupan kampus sebagaimana yang sudah lama kuidamkan, yaitu melanjutkan studiku ke jenjang yang lebih tinggi dan meniti karierku sendiri. Dengan demikian keberhasilan yang dilihat orang tidak lagi terkait dengan kesuksesan suamiku betapapun hebatnya dia.
Oleh karena itu, Mas, maafkanlah kalau selama ini aku telah menyebabkan darahmu sering menggelagak oleh api amarah. Lupakan itu semua dan marilah kita berpisah secara baik-baik. Jadi tolong agar segala sesuatu yang diperlukan untuk itu diurus dengan kepala dingin. Aku akan menulis surat kepada ibu Aryanti agar beliau memaklumi kenapa aku terpaksa menempuh jalan perpisahan ini.&
Begitulah antara lain yang kutulis di dalam suratku yang sepanjang tiga lembar itu. Ketika surat yang telah kumasukkan ke dalam amplop itu kuletakkan di atas meja di kamarnya, tiba-tiba saja air mataku membanjir tanpa bisa kutahan. Aneh, rasanya. Untuk apa air mata ini"
t . c Tetapi itulah yang terjadi. Dengan tirai air mata, kutatap semua yang ada di dalam kamar Mas Yoyok maupun yang ada di dalam kamarku. Pada saat aku akan meninggalkan seluruh istana emas ini barulah kusadari bahwa ternyata hatiku terasa berat untuk berpisah. Itu artinya entah sedikit entah banyak, hatiku sudah tertawan. Oleh rumah ini dan oleh Mas Yoyok. Dengan perkataan lain, entah sedikit atau banyak, aku sudah jatuh cinta kepada laki-laki itu.
Tetapi aku harus bersikap tegas dan tidak boleh lemah hati karenanya. Maka sesuai dengan apa yang sudah kurencanakan, kuminta Pak Musa untuk mengantarku ke bandara menjelang siang hari itu juga. Pada mulanya Pak Musa merasa heran karena tidak sepatah kata pun Mas Yoyok mengatakan bahwa aku akan pergi ke Yogya. Tetapi dalihku masuk akal.
Bapak pasti lupa mengatakan padamu, Pak. Belakangan ini kesibukannya kan luar biasa, begitu kataku kepadanya.
Betul, Bu. Kemarin malah ada tamu-tamu dari luar negeri.
Ya, saya tahu. Jadi dia lupa menyuruhmu mengantarkan saya ke bandara. Padahal apa yang kuketahui mengenai tamu luar negeri atau tamu dari negara antah berantah, misalnya" Mas Yoyok tak pernah membicarakannya bersamaku.
Jadi begitulah, dengan kepandaianku berdalih, baik Pak Musa maupun orang-orang di rumah ini menganggap kepergianku ke Yogya sebagai sesuatu yang wajar. Apalagi aku hanya membawa barang yang perlut . c perlu saja. Tetapi meskipun demikian, belum pernah hatiku sekacau seperti yang kurasakan saat berada di udara dalam perjalananku menuju ke kota kelahiranku itu. Di sela-sela perasaan berat meninggalkan Mas Yoyok, ada api amarah setiap kali teringat tamparannya. Cinta dan kebencian, kasih dan amarah, datang silih berganti menguasai hatiku sehingga sangat sulit bagiku untuk menampilkan air muka yang biasa dan kegembiraan yang wajar ketika aku turun dari taksi di halaman rumah orangtuaku. Di antara kegembiraan mereka melihat kedatanganku yang tak disangkasangka, ada tanda tanya di mata mereka mengapa aku datang sendirian dan tanpa memberitahu lebih dulu. Baru dengan dalih yang sudah kurangkai dan kubuat sewajar-wajarnya, kedua orangtuaku memercayai bahwa kedatanganku cuma untuk menjenguk mereka dan memuaskan rasa kangen belaka.
Aku dan Mas Yoyok sengaja merahasiakan kedatanganku, biar menjadi kejutan buat Ibu dan Bapak, kataku sambil tertawa. Untung aku tadi masih sempat membeli pelbagai oleh-oleh di Bandara Sukarno-Hatta sehingga kepergianku ke Yogya ini tidak terkesan mendadak.
Hari pertama keberadaanku kembali ke kota Yogya kupakai untuk berjalan-jalan dengan Nining sesudah dia selesai mengajar. Kami naik mobilku yang kutinggalkan untuk Nino, yang meskipun tidak semewah mobilmobil milik Mas Yoyok, namun masih nyaman dikendarai. Di Jakarta aku tidak berani menyopir sendiri karena belum terbiasa. Rencanaku, besok aku akan ke rumah mantan teman-teman kuliahku untuk bert . c kangen-kangenan. Tetapi sayang rencanaku yang itu gagal. Aku jatuh sakit.
Mungkin karena jiwaku yang lelah, ditambah perasaan yang kacau, aku merasa seluruh tubuhku sakit semua. Jadi hari kedua itu kuisi dengan tidur-tiduran di kamar sendirian. Untungnya hari itu jam mengajar Nining penuh sehingga aku tak tergoda untuk jalanjalan lagi. Tetapi pada siang harinya karena kondisi isikku mulai membaik, aku bermaksud mengajak Nining makan bakmi Jawa yang kurindukan. Tetapi, baru saja aku meraih kunci mobil, Ibu mengatakan ada tamu untukku. Aneh rasanya. Siapa temanku yang mengetahui kedatanganku"
Ketika melihat Purnomo ada di ruang tamu, baru aku tahu kenapa ada yang tahu keberadaanku di kota Yogya ini.
Kau disuruh Mas Yoyok menyusulku, Dik Pur" tanyaku setengah berbisik. Aku tidak ingin orang di rumah ini mendengar pembicaraan kami, sebab janganjangan dia disuruh Mas Yoyok untuk menyusulku.
Purnomo menggeleng. Kelihatannya dia menangkap kekhawatiranku. Yah, andaikata pun Mas Yoyok menyuruh Purnomo menyeretku kembali ke Jakarta, aku akan mati-matian melawannya.
Aku yakin ada sesuatu yang sedang terjadi di antara dirimu dengan Mas Yoyok, tetapi dalam hal itu aku tidak mau ikut campur. Aku menyusulmu ke Yogya ini tidak ada kaitannya dengan dia. Jadi jangan khawatir, Purnomo juga berbisik. Aku datang untuk urusan pribadiku. Berkenalan dengan Nining.
t . c Aku menatap mata Purnomo dengan tatapan menyelidik.
Hanya untuk itu" Kau tidak bohong" Kalau Mas Yoyok sampai menyuruhmu membawa aku pulang ke Jakarta kembali, dia tidak tahu betul siapa diriku, desisku dengan suara perlahan.
Sabar, Mbak. Aku betul-betul datang untuk urusan pribadiku. Aku minta izin dari kantor untuk mengurus sesuatu selama dua hari. Tak kukatakan bahwa aku sengaja pergi ke Yogya untuk menyusulmu. Mas Yoyok pun tidak tahu. Purnomo memperhatikan pakaianku. Kelihatannya kau mau pergi ya, Mbak" Apakah aku mengganggu"
Tidak, sahutku apa adanya. Aku cuma mau jalanjalan mencari bakmi Jawa dengan Nining. Aduh, kebetulan sekali. Boleh aku bergabung" Tentu saja boleh. Nanti kukenalkan kau dengan Nining. Sebentar ya, kupanggil dia.
Wah, dadaku berdebar-debar lho& . Purnomo tertawa. Cepat. Suruh dia ke sini. Aku ingin melihat seperti apa saudara sepupumu itu.
Begitulah Purnomo dan Nining berkenalan dan mengobrol sebentar di ruang tamu bersamaku. Tetapi adik sepupuku itu lebih banyak menjawab pertanyaan daripada memprakarsai pembicaraan dua arah. Untuk mencairkan suasana, aku mengingatkan tujuan kami pergi tadi.
Ayo, Ning, kita berangkat sekarang. Mas Purnomo mau ikut bergabung bersama kita, kataku. Maaf, Mbak, aku tidak jadi pergi. Baru saja aku
t . c teringat belum mengoreksi hasil ujian mahasiswaku. Jadi besok atau lusa saja ya kita mencari makanan lain" kata Nining, membatalkan dengan tiba-tiba rencana kami semula.
Aku yakin bukan itu alasan sebenarnya. Kurasa keberadaan Purnomo-lah yang menyebabkan ia membatalkan rencananya untuk berjalan-jalan bersamaku. Aku kenal betul sikapnya yang sering mengambil jarak terhadap laki-laki. Apalagi kalau laki-laki itu seseorang yang menarik. Sejak tunangannya meninggal dunia tiga tahun yang lalu dalam suatu kecelakaan, Nining selalu membatasi pergaulannya dengan laki-laki. Ketika aku menegur sikapnya itu, dia mengatakan bahwa sikap itu sengaja diambilnya sebagai tanda kesetiaannya kepada sang tunangan. Oleh sebab itu meskipun sudah kubujuk-bujuk untuk ikut jalan-jalan, Nining tetap saja bersikukuh untuk tidak pergi bersamaku sehingga terpaksalah aku pergi hanya berdua dengan Purnomo. Kami makan bakmi Jawa yang dimasak memakai bahan bakar arang.
Mbak, terus terang hatiku langsung tertarik saat melihat adik sepupumu itu. Cantik lahir dan tampaknya juga cantik batinnya. Tetapi kelihatannya tidak mudah mendekati dirinya, kata Purnomo setelah kami memesan dua porsi bakmi Jawa dan dua gelas es dawet.
Memang tidak mudah mendekati Nining, jawabku, sesuai dengan kenyataan yang ada. Selain pemalu, dia juga sering membatasi pergaulannya dengan laki-laki sejak tunangannya meninggal. Jadi Dik Pur jangan
t . c menghadapinya dengan sikap terburu-buru. Apalagi agresif. Makin terbang tinggi dia nanti.
Akan kucoba. Mudah-mudahan aku berhasil mencairkan hatinya, sahut Purnomo. Doakan aku, ya" Ya.
Mbak, sebetulnya selain ingin berkenalan dengan Nining, aku ke sini juga ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu.
Apa itu" Tadi di rumah, kukatakan bahwa tampaknya ada sesuatu yang terjadi di antara dirimu dengan Mas Yoyok. Tetapi seperti yang juga telah kukatakan tadi, aku tidak akan mencampuri urusan kalian. Jadi andaikata aku disuruh Mas Yok untuk menjemputmu ke sini misalnya, pasti akan kutolak, jawab Purnomo.
Dari mana kau tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara kami berdua"
Pertama dari kepergianmu ke Yogya yang mendadak. Kedua, dari sikap Mas Yok dua hari terakhir ini. Di rumah, di kantor, kerjanya hanya marah-marah melulu. Dia memang sering bersikap keras, disiplin, menuntut agar orang bekerja sebaik mungkin dan profesional, tetapi jarang sekali dia marah kepada bawahan. Namun sekarang melihat kesalahan sedikit saja yang dilakukan orang, marahnya seperti orang itu baru saja membakar kantor. Maka kuhubungkan sikapnya yang buruk itu dengan kepergianmu yang kelihatannya tidak direncanakan itu. Apalagi pada malam-malam terakhir sebelum kepergianmu aku menangkap suarasuara tajam dari balik kamarmu. Aku tidak sengaja
t . c mendengarnya. Beberapa malam belakangan ini aku mengalami sulit tidur sehingga sering duduk di ruang tengah sendirian sambil mendengarkan musik, maka suara-suara ribut dari arah kamarmu itu terdengar juga ke telingaku, kata Purnomo dengan sikap serius.
Aku tidak ingin membantah apa yang dikatakan Purnomo karena memang begitulah kenyataannya. Ketika melihatku hanya berdiam diri saja, Purnomo melanjutkan bicaranya.
Aku tidak ingin tahu apa yang kalian masalahkan. Aku juga tidak ingin ikut campur. Begitupun seberat apa masalah yang kalian hadapi, aku tidak ingin tahu. Tetapi kalau boleh aku memberi saran, segeralah pulang kembali ke Jakarta.
Kuangkat daguku, menatap mata laki-laki yang biasanya periang dan suka bercanda jika kami mengobrol itu. Tetapi kali ini aku melihat keseriusan pada air mukanya.
Tidak, Dik Pur, sahutku kemudian dengan suara tegas.
Ayolah, Mbak, pulang& .
Untuk apa" Aku sudah memutuskan untuk tidak akan melanjutkan kehidupanku di Jakarta bersama Mas Yoyok.
Sampai sejauh itu" Purnomo menaikkan alis matanya.
Ya. Aku sudah menjelaskan kepada Mas Yoyok melalui surat yang kutinggalkan untuknya. Singkatnya, aku dan dia bukanlah pasangan yang cocok. Ada banyak hal yang bertolak belakang di antara kami berdua. Kalau
t . c dilanjutkan, pasti kami akan terus saling menyakiti dan hidup kami akan jauh dari kebahagiaan. Aku sangat berbeda dengan Yanti, Dik Pur. Aku tidak suka diaturatur, didikte, dan dikuasai. Apalagi dipaksa harus berpenampilan seperti apa yang dimauinya. Aku ini seorang individu mandiri, yang berhak mengatur diriku sendiri. Aku bukan boneka yang tak bernyawa.
Aku bisa memahamimu, Mbak. Tetapi& "
Tetapi jangan terlalu cepat mengambil keputusan untuk berpisah, sahut Purnomo. Carilah jalan lain yang lebih bisa diterima.
Aku tahu. Memang tidak pantas seorang istri pulang begitu saja ke rumah orangtuanya. Tetapi aku sudah tidak tahan lagi.
Mbak Retno, tolong jangan hanya melihat dan memikirkan segalanya dari sudut pandang sendiri.&
Tetapi, Dik Pur, aku sudah mencoba untuk berpikir secara objektif, dengan menghilangkan unsur-unsur subjektivitas, kataku memotong perkataan Purnomo. Artinya, aku tidak melihat segalanya dari sudut pandanganku sendiri.
Kalau memang begitu semestinya kau tahu bahwa Mas Yok mencintaimu, kan"
Jangan membuatku tertawa, Dik Pur. Dia hanya mencintai dirinya sendiri termasuk reputasinya, harga dirinya, kedudukannya, nama baiknya, yang semua itu berkisar pada dirinya sendiri, bantahku sambil tertawa pahit.
Mungkin sebelum mengenalmu dia memang seperti
t . c itu, Mbak. Tetapi tidak sekarang ini. Banyak orang melihat perubahan-perubahan positif pada dirinya setelah kau menjadi istrinya.
Jangan menganalisis yang bukan-bukan, Dik Pur. Mbak, percayalah kepadaku. Aku memang orang yang suka bergurau dan terkesan seenaknya sendiri. Tetapi aku juga bisa serius dan cukup peka untuk menangkap sesuatu di seputar lingkup diriku. Otakku juga bisa diajak berpikir dengan jeli, sahut Purnomo. Pendek kata, aku yakin betul bahwa sesungguhnya Mas Yoyok mencintaimu meskipun dengan caranya sendiri. Dan itu baru pertama kalinya ia alami. Sekali lagi, jangan membuatku tertawa, Dik Pur. Begini lho, Mbak, aku dan Mas Yok mempunyai banyak sepupu. Laki-laki maupun perempuan. Tetapi hubungan Mas Yok dengan mereka biasa-biasa saja sebab sifatnya yang sering mengambil jarak. Dalam hal afeksi, Mas Yok sangat tertutup. Dia tidak pernah berani membuka hatinya. Tetapi terhadapku, agak berbeda. Meskipun kemesraan antar saudara tidak terlihat, tetapi aku tahu bahwa dia mempunyai perasaan dekat dengan diriku. Terutama karena sejak kecil akulah yang paling sering menginap di rumah orangtuanya. Dengan kata lain, hanya aku yang paling tahu mengenai warnawarni perasaannya. Maka dengan melihat sikap dan emosinya yang sering labil belakangan ini, aku tahu bahwa ia jatuh cinta kepadamu. Percayalah kepadaku. Biasanya aku tak pernah keliru.
Kesimpulan dari mana itu, Dik" Jangan mengadaada ah.
t . c Dari pengamatanku. Jadi bukan mengada-ada. Ah& mustahil& .
Terserahlah. Tetapi setelah menikah denganmu, aku melihat perubahan yang mencolok pada dirinya. Kau masih ingat bagaimana dia mau bermain piano ketika acara jamuan makan malam itu, kan" Nah, itu adalah salah satu contohnya. Selama ini dia tidak pernah mau menyentuhnya dan orang lain pun diharapkannya untuk tidak memainkannya. Fungsi piano vleugel itu hanya sebagai pajangan belaka. Tak lebih. Memangnya kenapa"
Ayahnya terlalu keras mendidik Mas Yok. Sedangkan ibunya sangat lembut dan patuh terhadap apa pun kemauan suaminya, kecuali dalam hal menunjukkan kasih sayangnya terhadap Mas Yok. Beliau tak peduli pada pendapat sang suami bahwa kasih sayangnya bisa menyebabkan pribadi anaknya menjadi lemah. Sementara sang ayah ingin agar Mas Yok tumbuh menjadi pribadi yang kuat, mandiri, besar daya juangnya, keras dalam sikap, rasional, dan hal-hal semacam itu. Sebaliknya sang ibu yang ahli bermain piano, ingin anaknya memiliki kelembutan hati. Selain mendidiknya agar memiliki kearifan dan kepekaan terhadap kebutuhan orang lain, ia mengajari Mas Yok bermain piano. Maka tumbuhlah dia menjadi pribadi yang unik. Uniknya" aku memotong.
Di dalam pergaulan, tidak pernah ada orang yang bisa akrab dengannya seperti yang kukatakan tadi. Ada sikapnya yang membuat orang segan terhadapnya. Tetapi menurut pengamatanku, jauh di relung hatinya dia
t . c ingin menjalin afeksi dengan orang banyak sebagaimana yang dicontohkan ibunya. Itulah mengapa dia senang sekali memberi hadiah. Seakan ingin mengimbangi sikapnya yang kaku, formal, keras, dan juga gayanya yang bossy.


Istana Emas Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tercenung, mencoba memahami semua yang dikatakan oleh Purnomo. Melihatku diam, laki-laki itu melanjutkan bicaranya.
Ketika ibunya meninggal dunia, jiwa Mas Yoyok terguncang. Satu-satunya orang yang ia kasihi dan tempat di mana ia bisa tampil tanpa topeng-topeng yang keras telah hilang dari kehidupannya. Tetapi ayahnya sangat marah melihat kelemahan hatinya itu. Ketika memergoki Mas Yoyok bermain piano untuk mengenang ibunya, sang ayah langsung melarangnya bermain piano. Alasannya, kelembutan semacam itu bisa melemahkan daya juang seseorang. Nah, salah satu dari akibat didikan sang ayah tersebut adalah ketidakmampuan Mas Yok menjalin keakraban yang hangat dengan istrinya. Kamarnya saja pun harus terpisah dari istrinya. Pokoknya banyak hal yang menyebabkan Mbak Yanti dulu menderita. Dia tidak mampu memahami Mas Yok. Meski tidak pernah diucapkannya, aku tahu dia pernah ingin menyudahi perkawinan mereka. Tetapi penyakit kanker telah mengubah keinginannya. Bahkan di akhir hayatnya, aku melihat dia mulai mengenal Mas Yok dengan lebih baik. Mungkin juga mulai tumbuh perasaan kasih padanya sehingga ia menulis surat wasiat itu.
Jadi kau tahu tentang surat wasiat itu, Dik Pur" aku menyela.
t . c Tahu. Mas Yok menceritakannya dan dengan diamdiam aku mempelajari dan mencoba menyibak apa yang ada di balik semua itu, sampai akhirnya aku melihat kearifan Mbak Yanti di akhir hidupnya yang berpendapat bahwa Mas Yok akan menjadi pribadi menyenangkan jika ia menikah dengan perempuan yang periang, hangat, penuh perasaan, tetapi juga meledak-ledak dan memiliki kecerdasan untuk bisa mengimbangi kiprah Mas Yok. Menurut Mbak Yanti, dirimu memenuhi kriterianya. Tetapi sekarang baru aku sadar, apa yang diharapkan almarhumah telah membuahkan hasil. Mas Yok mulai mengenal apa cinta yang sesungguhnya&
Ah, itu kan baru analisismu, Dik Pur. Sudahlah, jangan mencoba-coba memengaruhiku. Aku tidak akan mengubah pendirianku untuk berpisah, aku memotong lagi perkataan Purnomo.
Tetapi, Mbak& Sudahlah. Aku malas membicarakannnya, sekali lagi aku memenggal perkataan Purnomo sebelum lakilaki itu menyelesaikan perkataannya. Nah, itu pesanan makanan kita datang.
Purnomo memaklumi perasaanku. Pembicaraan mengenai Mas Yoyok dihentikannya dan dia mengalihkannya ke subjek yang lain. Nining!
Mbak, tolong upayakan agar selama berada di Yogya, aku bisa mengobrol dengan adik sepupumu& .
Baiklah. Tetapi soal bagaimana hasilnya, terserah nasib lho ya, jawabku. Menghadapi gadis seperti Nining, harus sabar.
Tetapi tolong dicarikan jembatan menuju ke hatit . c nya, Mbak. Aku serius lho. Baru sekali melihatnya saja hatiku langsung tertawan.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Hari ini nilai Purnomo di mataku, naik. Ternyata laki-laki itu mempunyai isi dan memiliki perasaan lembut serta pengamatan yang cermat di balik sikapnya yang agak sembrono. Kurasa, baik juga kalau Nining mau berteman dengannya. Siapa tahu mereka berjodoh.
t . c K ETIKA aku dan Purnomo turun dari mobil, aku
melihat Mas Yoyok sedang bercakap-cakap dengan Bapak di teras depan. Melihat kehadiranku, Bapak tertawa.
Sini, Retno. Lihat, suamimu datang menyusul. Baru dua hari kautinggal saja sudah tidak betah sendirian. Kesepian, katanya, kata Bapak begitu langkah kakiku menapaki tangga teras.
Aku mencoba mengukir senyum di bibirku. Kulirik, wajah Mas Yoyok tampak cerah. Perkataan Bapak ditanggapinya dengan senyum manis. Menilik perkataan Bapak dan juga sikapnya, aku yakin Mas Yoyok tidak berbicara apa pun mengenai alasan kepulanganku ke Yogya. Aku harus angkat topi melihat kemampuannya menampilkan sikap dan senyum yang tampak begitu wajar, seakan tidak ada apa-apa di antara kami berdua. Penguasaan dirinya sungguh sempurna. Bahkan begitu aku dan Purnomo ikut bergabung duduk, Mas Yoyok
Lima Belas t . c masih bisa melontarkan pertanyaan yang juga sama wajarnya.
Dari mana, Retno" tanyanya dengan suara manis.
Jalan-jalan mencari bakmi Jawa, sahutku dengan perasaan kesal. Kenapa Mas Yoyok menyusulku sih"
Retno, aku sengaja datang ke Yogya untuk menjemputmu. Esok lusa ada undangan penting. Jadi kita bisa pulang lusa pagi.
Aku terdiam. Kurang ajar betul laki-laki itu. Bisabisanya bersikap seolah aku tidak pernah menulis surat panjang-lebar untuk mengakhiri perkawinan kami. Di depan ayahku pula, sehingga aku tidak bisa berkutik. Apalagi memprotesnya. Dan dia tahu itu.
Mereka mengharapkan kehadiranmu, Retno, Mas Yoyok berkata lagi ketika melihatku hanya berdiam diri saja.
Karena tidak yakin apakah memang betul ada undangan ataukah cuma alasan untuk membawaku pulang ke Jakarta kembali, aku mulai menunjukkan keberatanku.
Tetapi aku masih belum puas kangen-kangenan dengan keluarga. Aku juga belum sempat bertemu dengan teman-teman kuliahku dulu, belum pula makan ketupat tahu kesukaanku, kataku sambil menahan hawa amarah agar tidak terbias keluar. Lagi pula kenapa Mas Yoyok langsung datang menyusulku. Kan bisa meneleponku dulu sehingga tidak membuangbuang waktu dan biaya pesawat.
Semua keinginanmu itu bisa dilakukan kapant . c kapan, Retno, Bapak menengahi. Jauh-jauh suamimu menjemputmu. Pulanglah lusa bersamanya. Soal kangen-kangenan, aku dan ibumu sudah menyusun rencana untuk menjengukmu bulan depan. Adikmu Nino malah ingin ikut, mumpung bulan depan bertepatan dengan libur semester.
Tetapi, Pak& Retno, kau pernah menceritakan pada Bapak mengenai piano vleugel di rumahmu, sela Bapak yang mengetahui sifat keras kepalaku. Ibumu ingin sekali memainkannya.
Wah, silakan, Pak. Kami pasti gembira sekali jika Bapak, Ibu, dan Nino mau berlibur ke Jakarta. Rumah kami siap untuk menerima kehadiran keluarga Yogya. Katakan kepastian waktunya, nanti biar tiketnya diurus oleh orang kepercayaan saya, kata Mas Yoyok seolah antara diriku dan dia segalanya berjalan dengan baikbaik saja. Betul-betul sangat menyebalkan, menyebabkan diriku seperti tawanan.
Setelah membuatku tersudut seperti itu, Mas Yoyok menoleh ke arah Purnomo.
Kau menginap di mana, Pur"
Purnomo menyebut nama hotel berbintang empat yang letaknya strategis di kota ini.
Aku dan Retno akan menginap di sana juga, kalau begitu. Nah, Retno, nanti kaukemasi barang-barangmu. Jangan merepotkan ibumu, kata Mas Yoyok lagi. Enak saja dia mengatur-atur orang tanpa menanyakan kesediaan yang bersangkutan lebih dulu.
Kulihat ibuku keluar dengan membawa baki berisi
t . c makanan kecil yang kalau menilik harumnya pasti baru saja dibuatnya. Kulihat pula Nining mengekor di belakangnya dengan dua cangkir cokelat susu yang masih mengepul. Melihat keduanya, Bapak berkata kepada gadis itu.
Buat dua cangkir cokelat susu lagi, Ning. Kalau kau mau bergabung mengobrol di sini, tambah secangkir lagi.
Ibu tersenyum sambil meletakkan makanan yang dibawanya itu ke atas meja teras.
Tadi Ibu mendengar Nak Yoyok menyebut-nyebut tentang kerepotanku. Apa yang dimaksud" tanyanya kemudian.
Mas Yoyok mengajakku menginap di hotel karena tidak ingin merepotkan Ibu. Tetapi Ibu tidak merasa repot, kan"
Tentu saja tidak. Ibu akan merasa senang sekali kalau Nak Yoyok mau menginap di sini, sahut Ibu. Nanti biar Nining tidur di kamar Nino. Anak itu sedang menginap di rumah temannya untuk belajar bersama, sahut Ibu, sesuai dengan yang kuinginkan. Ning, gantilah lebih dulu seprai di kamar kakakmu.
Aku merasa lega mendengar perkataan Ibu. Rasanya lebih aman kalau aku berada di bawah atap tempat keluargaku tinggal. Kalau menginap di hotel, Mas Yoyok pasti akan menginterogasi aku kenapa bisa pergi bersama-sama Purnomo. Padahal Purnomo merupakan salah satu penyebab pertengkaran kami beberapa malam yang lalu. Tetapi, Mas Yoyok tetap bersikukuh untuk tidur di hotel.
t . c Tidak usah mengganti seprai, Dik Ning. Aku dan Retno tidak tidur di sini kok. Pokoknya, jangan repotrepot lho. Dik Nining tetap saja tidur di kamar itu, kata Mas Yoyok sambil tersenyum manis. Nanti di halaman belakang yang masih cukup luas ini akan saya bangun dua kamar lagi. Boleh kan, Pak, Bu" Kalau ada anak atau cucu-cucu Bapak dan Ibu mau menginap di sini jadi tidak perlu harus memindah orang dari kamarnya.
Tidak usah repot-repot, Nak. Ada-ada saja lho pikiran Nak Yoyok, kata Ibu, menolak keinginan Mas Yoyok tadi. Aku setuju pendapat Ibu. Biarpun menantunya kaya-raya, tetapi dia bukan bank.
Apa yang saya katakan itu bukan ada-ada saja lho, Bu. Sudah sejak keluarga saya melamar Retno, saya ingin merenovasi rumah ini tanpa mengubah bentuk aslinya. Dan itu merupakan kewajiban saya sebagai menantu. Jadi nanti kapan-kapan akan ada orang saya yang akan membahasnya bersama Bapak dan Ibu supaya sesuai dengan keinginan dan kebutuhan keluarga ini. Tetapi sekarang izinkan saya membawa Retno menginap di hotel. Besok kami akan berlama-lama di sini bersama Bapak dan Ibu.
Mas Yoyok memang pandai membelokkan perhatian orang dan bersikap seperti ia akan selamanya menjadi menantu kedua orangtuaku. Tetapi karena merasa khawatir Bapak dan Ibu mengetahui bom waktu yang tersimpan di dadaku, dia ingin cepat-cepat membawaku menjauhi mereka. Betapapun kesalnya aku terhadap Mas Yoyok, mana mungkin kulampiaskan di hadapan Bapak dan Ibu. Dia tahu itu.
t . c Dengan perasaan enggan, aku terpaksa menuruti keinginan Mas Yoyok. Dengan sedan bagus entah punya siapa, kami bertiga meninggalkan rumah kedua orangtuaku.
Tetapi nanti malam kalian makan malam di sini lho, ya, pinta Ibu sebelum kami pergi.
Baik, Bu. Daripada makan di hotel, sudah mahal tidak bisa santai pula, kata Ibu lagi.
Ya, Bu. Karena sudah hampir sore, sesampainya di hotel aku langsung mandi. Senang hatiku karena Mas Yoyok tidak bicara apa-apa dan hanya membisu saja begitu kami tiba di kamar hotel. Selesai mandi, Mas Yoyok ganti masuk ke kamar mandi. Ini adalah pertama kalinya kami berada di satu kamar tidur bersama-sama. Jadi cepat-cepat aku memakai pakaian dan merias wajah sehingga ketika Mas Yoyok keluar kamar mandi, aku sudah rapi.
Kita mengambil satu kamar saja" tanyaku dengan kaku.
Ya. Memangnya kenapa"
Kau tidak biasa tidur bersama seseorang, kan" Aku sedang mulai belajar berbagi dengan istri di dalam satu kamar yang sama, sahut Mas Yoyok kalem.
Apakah surat yang kutinggalkan, tidak kaubaca, Mas"
Aku tidak ingin membahas masalah itu sekarang. Kita akan kembali ke rumah orangtuamu sebentar lagi. Kelihatannya kalian masih belum puas kangen-kangent . c an, kan" Dan jangan dikira aku tak punya perasaan untuk tidak memahami situasi seperti itu.
Karena malas berdebat, aku tidak menanggapi perkataannya. Jam setengah tujuh kurang, Mas Yoyok menelepon Purnomo.
Kita berangkat sekarang, Pur. Kutunggu di bawah, katanya.
Pada waktu makan malam tiba, Purnomo tampak amat senang. Matanya berseri-seri karena bisa duduk di dekat Nining. Malam itu memang ada tiga pasangan yang menghadapi meja makan. Bapak dan Ibu. Aku dan Mas Yoyok. Purnomo dan Nining. Aku tidak tahu apa yang mereka berdua obrolkan karena perhatianku terserap pada Mas Yoyok. Dia makan banyak sekali. Ketika mataku melirik Purnomo, dia juga makan begitu. Tentu saja aku merasa bangga karena masakan Ibu memang sangat lezat. Usai makan, masih ada es buah yang juga menggoyang lidah. Entah apa resepnya.
Sesudah makan malam yang memuaskan itu, sambil mengobrol kami menonton konser dari Inggris yang sengaja diputar oleh Bapak. Sama sekali aku tidak bisa menikmati acara santai itu, padahal biasanya aku menyukai acara-acara semacam itu. Badanku yang kurang it sepanjang pagi tadi, kini kumat lagi. Jadi aku diam saja, duduk menyandar sofa sambil memeluk bantalan kursi dan terkantuk-kantuk di situ, sampai akhirnya Mas Yoyok memergoki kepalaku yang terangguk-angguk. Kami pun pulang sebelum larut malam. Ibu membekali makanan kecil buatannya.
t . c Untuk teman iseng-iseng di hotel sambil menonton teve sebelum kalian tidur, kata beliau sambil tertawa.
Tetapi kami tidak sempat beriseng-iseng. Ketika aku baru saja selesai membersihkan muka dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di kamar itu, Mas Yoyok mendahului aku duduk di kursi yang lain. Ada meja yang membatasi tempat kami berdua sedang duduk. Air mukanya tampak tegang. Tampaknya sandiwaranya sebagai suami yang bahagia dan menantu yang baik, telah ditanggalkannya.
Sekarang aku minta penjelasan darimu, Retno, begitu ia mulai berkata. Suaranya terdengar dingin, namun terkendali. Tumben.
Tentang apa" Tentang surat yang kautinggalkan di kamarku yang isinya tidak sesuai dengan kenyataan yang kulihat siang tadi, sahutnya.
Maksudmu" Kalau melihat bagaimana kau dan Purnomo tadi, rasanya alasan yang kautulis di surat itu hanya mengada-ada saja, kata Mas Yoyok dengan suara tegas dan kaku namun masih tetap terkendali. Retno, aku akan bersikap secara kesatria dan jantan. Kuakui, penilaianmu terhadap diriku ada banyak benarnya. Tetapi menurutku, itu tidak adil karena hanya yang buruk-buruk saja yang kaukemukakan. Padahal sejahat-jahat dan seburuk-buruknya seseorang, termasuk diriku, pasti ada kebaikannya juga. Tetapi hal itu sama sekali tidak kaulihat.
Aku segan menanggapi perkataannya. Perhatianku
t . c lebih kuarahkan kepada televisi yang sedang menyiarkan Berita Malam.
Baik, tak apa kalau kau hanya melihat diriku dari sisi buruknya saja. Mungkin karena penglihatanmu hanya tertuju pada kebaikan dan kelebihan laki-laki lain. Kalau memang seperti itu yang terjadi, silakan saja. Aku akan berusaha ikhlas hati untuk meluangkan kesempatan bagimu, memilih laki-laki yang kauinginkan.
Dari kalimat-kalimat terakhir yang diucapkannya aku mendengar getar-getar yang lolos dari suaranya. Aneh kedengarannya, sebab Mas Yoyok bukan laki-laki yang mudah terpengaruh oleh perasaan. Menemukan apa yang kudengar itu, dengan seketika semua yang diceritakan oleh Purnomo mengenai Mas Yoyok siang tadi muncul ke permukaan ingatanku. Terbayang olehku seorang anak yang harus sering berdiri di antara dua pijakan yaitu didikan yang amat keras dari ayahnya dan kelembutan sang ibu yang diberikan secara sembunyi-sembunyi. Entah mengapa, hatiku tersentuh membayangkannya. Oleh karena itu keinginanku melampiaskan rasa kesal atas kedatangannya untuk menjemputku seolah aku ini barang, luruh pelan-pelan.
Apa sebenarnya yang ingin kaukatakan kepadaku" tanyaku dengan suara pelan. Aku mulai lelah diombang-ambingkan perasaan.
Aku ingin mengetahui jawaban yang jujur dari pertanyaanku ini. Apakah ada laki-laki lain di dalam kehidupanmu, Retno" Laki-laki yang mungkin menjadi idaman hatimu sehingga kau ingin cepat-cepat berpisah dariku.
t . c Kutengadahkan wajahku dan kutatap mata laki-laki itu.
Keinginanku berpisah denganmu murni karena aku merasa tidak cocok hidup bersamamu dan aku merasa amat lelah menghadapi sikap, gaya hidup, perlakuan, dan kemauanmu. Perpisahan yang kuinginkan itu tidak ada kaitannya dengan kehadiran laki-laki lain. Tidak ada laki-laki dalam kehidupanku.
Purnomo" Hm, jadi nama itu yang ada di dalam pikiran Mas Yoyok. Disangkanya ada apa-apa di antara diriku dengan Purnomo.
Tidak juga Purnomo. Begitu dia tahu aku pergi ke Yogya, dia menyusulku karena ingin memakai kesempatan itu untuk berkenalan dengan Nining, adik sepupuku. Ketika beberapa kali aku mengobrol dengan Purnomo beberapa waktu yang lalu, ia pernah mengutarakan keinginannya untuk dicarikan jodoh. Maka nama saudara sepupuku itu yang kusodorkan.
Entah aku salah lihat ataukah memang sebenarnya demikian, jawaban yang keluar dari mulutku itu menyebabkan bola mata Mas Yoyok yang semula tampak sedingin es, tiba-tiba mencair. Dan air mukanya yang semula tegang, tampak mengendur, sementara bahunya yang kelihatan kaku tadi juga melentur.
Kalau begitu aku bisa tetap berpegang pada prinsip yang kuanut mengenai perkawinan, yaitu sangat tidak menyetujui perceraian kecuali oleh alasan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Terlebih karena aku lahir di dalam keluarga yang mengharamkan perceraian.
Maksudmu" t . c Sudah jelas kan perkataanku tadi, aku tidak menginginkan perceraian. Selama aku tidak menaruh cinta pada perempuan lain dan kau tidak menaruh perasaan khusus terhadap lelaki lain, berarti masih ada kesempatan luas bagi kita berdua untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Kita menikah baru tiga bulan lamanya, Retno. Masih ada banyak kesempatan untuk memperbaiki apa-apa yang kurang di dalam perkawinan kita.&
Tetapi aku sudah cukup mengenalmu, Mas. Merasa malas mendengar perkataan yang menurutku tak akan ada hasilnya itu, kupotong bicaranya. Sejak kau masih menjadi suami Yanti, aku sudah melihat seperti apa dirimu. Baik melalui pandang mataku sendiri maupun melalui kaca mata almarhumah Yanti. Sebagaimana yang kukatakan melalui suratku, kita ini bagaikan bumi dengan langit. Bagai minyak dan air. Tak mungkin bisa saling menyatu.
Kau boleh berulang kali mengatakan tentang perbedaan di antara kita. Tetapi aku juga akan berulang kali mengatakan bahwa kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk mencoba mencari celah-celah yang bisa mempersatukan kita berdua. Besarnya perbedaan tidak perlu menjadi hambatan, apalagi menjadi alasan untuk menempuh perceraian. Tetapi justru menjadi peluang untuk memperkaya satu sama lain. Perbedaan tidak untuk dipertentangkan, melainkan bisa dimanfaatkan untuk saling melengkapi.
Aku tidak menyangka Mas Yoyok bisa berpendapat sedemikian bagusnya. Tetapi aku masih belum bisa
t . c memercayai kesungguhan hatinya. Terutama mengingat bagaimana keras dan arogannya dia.
Tidak mungkin itu terjadi, Mas. Percayalah. Kau selalu saja ingin menentang apa pun yang kukatakan. Padahal sejak tadi aku sudah berusaha untuk membuka mata hatimu dengan sabar dan kepala dingin. Emosi Mas Yoyok mulai teraduk.
Terserah kau mau mengatakan apa. Pokoknya aku tetap merasa kita berdua tidak mungkin bersatu hati dan berbagi kehidupan. Titik. Aku malas membahasnya karena itu-itu saja, tidak pernah ada perkembangan ke arah yang lebih positif, sambil berkata seperti itu aku langsung bangkit dari kursi untuk kemudian menyurukkan tubuhku ke balik selimut. Kutempatkan diriku di bagian paling tepi di atas tempat tidur besar itu agar tidak terlalu dekat dengan tubuh Mas Yoyok kalau nanti laki-laki itu menyusul naik ke tempat tidur.
Kau menjengkelkan, Retno. Tidak bisa diajak bicara baik-baik.
Itulah bukti adanya ketidakcocokan di antara kita berdua, kataku sambil memunggunginya.
Tetapi apakah kau tidak ingat bahwa ada satu hal yang cocok di antara kita berdua, yaitu ketika berada di atas tempat tidur" Nah, mari kita buktikan sekali lagi& . Usai berkata seperti itu, diterkamnya aku dan dibalikkannya posisi tubuhku agar menghadap ke arahnya.
Mas, jangan kasar, kataku, kaget. Lepaskan aku. Mas Yoyok tidak menjawab. Ia mulai menciumi bibir dan wajahku sementara kedua belah tangannya
t . c memelukku erat-erat untuk kemudian ditindihnya tubuhku. Berada di bawah kekuatan dirinya, percuma saja aku meronta, apalagi badanku sedang dalam kondisi kurang it dan agak lelah. Karenanya dengan leluasa Mas Yoyok menciumiku bertubi-tubi. Bibirku, wajahku, leherku, dadaku, semuanya. Dan dengan tangannya yang bebas, ia merabai seluruh tubuhku dengan gerakan-gerakan yang lembut dan menggoda sampai akhirnya aku pasrah saja. Bahkan ketika kekasarannya tadi berubah menjadi lembut, mesra dan penuh perasaan, aku mulai membalas perlakuan mesranya itu. Kupeluk bahu dan punggungnya yang kekar sambil menciumi dagunya yang kasar oleh rambut yang baru tumbuh.
Ternyata memang sulit menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya, perasaan yang hanya kusimpan rapatrapat di relung batinku yang paling dalam. Lebih-lebih karena sesudah badai asmara berakhir, Mas Yoyok langsung memelukku dengan lembut dan menempatkan kepalaku di bawah lengannya. Apa yang dilakukannya, baru sekali itu kuterima. Merasa nyaman dan mengantuk akhirnya aku terseret ke alam mimpi. Untuk pertama kalinya, aku tertidur di dalam pelukan Mas Yoyok dan di sepanjang malam itu kami berdua tidur bersisian di bawah selimut yang sama.
Esok pagi harinya, aku terbangun tatkala cahaya mentari pagi mengintip dari sela-sela tirai kamar. Seluruh tubuhku terasa kaku dan sakit semua. Bahkan pinggangku terasa nyeri dan agak mulas. Ketika aku bergerak untuk menyingkirkan lengan Mas Yoyok, rasa
t . c nyeri itu seperti menghunjam bagian dalam tubuhku sehingga tanpa sadar aku mendesiskan kesakitan.
Mas Yoyok yang masih tidur, terbangun dan membuka matanya. Melihatku meringis, kepalanya terangkat dari bantal.
Kenapa" tanyanya. Tubuhku terasa sakit semua, sahutku pelan. Mas Yoyok menatapku lama untuk kemudian bibirnya mengukir senyum teramat mesra yang baru kali itu kulihat. Tentu saja aku memahami apa makna senyum dan tatapan mata itu sehingga pipiku langsung terasa hangat.
Aku serius, Mas, kataku mencegah perasaan tak enak yang terus saja mengentak. Sebetulnya perasaan tak enak begini sudah sejak kemarin pagi kurasakan.
Dan bertambah sakit karena perbuatan kita semalam"
Ya& , sahutku dengan kehangatan pipi yang mulai menyebar ke leher dan telingaku. Dan ketika melihat Mas Yoyok tersenyum lagi, lekas-lekas aku menyambung perkataanku, Aku merasa sakit di sekujur tubuhku.
Ya, bisa kumengerti. Nanti kupijit biar sembuh. Sambil berkata seperti itu lengan Mas Yoyok terangkat untuk mengelus lembut rambutku. Di luar pengaruh amukan badai asmara, baru sekali ini Mas Yoyok bersikap semesra itu kepadaku. Tetapi sayangnya, aku sedang tidak enak badan sehingga tak bisa meresapi kemesraan itu.
Aku benar-benar sakit, Mas. Jangan kaugoda aku, kataku.
t . c Mas Yoyok membungkuk dan mencium dahi dan pipiku.
Apa pun yang terjadi di antara kita berdua, kebersamaan tadi malam merupakan bukti bahwa masih ada yang cocok di antara kau dan aku. Aku yakin, kalau kita mau mencari dan mengusahakannya, masih ada banyak lagi kecocokan lain. Nah, sekarang sebaiknya kau mandi pakai air panas dan memakai lotion pelembut. Nanti aku yang akan melumurinya. Ayo, bangun& .
Kugelengkan kepalaku. Nanti saja kalau rasa badanku sudah agak lebih enak, sahutku sambil memejamkan mata. Aku& aku lelah...
Mendengar keluhanku, tangan Mas Yoyok mengusap-usap lembut rambutku. Aku memang lelah. Lahir dan batin.
Ya sudah, kalau begitu, katanya kemudian. Suaranya selembut belaian tangannya yang masih mengusapusap rambutku. Tidurlah lagi. Aku akan mandi dulu.
Aku mengangguk, tetap dengan mata terpejam. Seperti yang disarankan Mas Yoyok tadi, aku mencoba untuk tidur lagi. Aku tidak tahu berapa lama aku terlelap, tetapi yang jelas waktu aku membuka mata kembali, Mas Yoyok sudah kelihatan rapi. Laki-laki itu sedang membaca koran. Di atas meja tersaji sarapan. Entah apa dan kapan dibawa orang ke situ, aku tidak tahu. Tetapi pasti Mas Yoyok yang mengurusnya. Melihat gerakan dari atas tempat tidur, laki-laki itu menurunkan korannya dan menatap ke arahku.
t . c Kulihat, tidurmu nyenyak sekali. Ya&
Mau mandi sekarang" Sebentar lagi.
Masih kurang enak badan" Ya, masih.
Mas Yoyok meletakkan korannya ke atas meja, kemudian pindah duduk ke tepi tempat tidur, tak jauh dari tempatku terbaring.
Retno, kau masih marah kepadaku" tanyanya. Tidak. Aku memang sudah tidak marah lagi terhadapnya. Tetapi aku masih belum menggeser keinginanku untuk berpisah darinya meskipun peristiwa tadi malam dan perlakuannya yang lembut dan mesra agak membuatku bingung.
Jadi kau akan ikut pulang bersamaku, kan" Tidak.
Seperti yang kukatakan kemarin, kita mendapat undangan makan malam dari rekan bisnisku. Pergilah sendiri saja. Aku tidak mau.
Retno, jangan kekanakan. Undangan itu untuk kita berdua dan mereka ingin lebih mengenal istriku. Jadi kau harus datang mendampingiku. Tak pantas rasanya aku datang seorang diri saja.
Siapa yang mengharuskan" Mataku kuangkat tinggi-tinggi. Demi nama baikmu" Demi reputasimu" Demi apa"
Jangan mencari gara-gara lagi, Retno. Aku capek terus-terusan berselisih pendapat denganmu. Memangnya hanya kau saja yang capek" Badanku
t . c yang sakit semua ini pun akibat kelelahan psikis. Ada banyak penyakit isik yang disebabkan oleh persoalan psikologis, kataku dengan sengit. Jadi, biarkan aku istirahat untuk sementara waktu di Yogya kalau kau menganggap perceraian merupakan aib. Tetapi aku tidak bisa menjamin apakah aku akan kembali ke Jakarta atau tidak. Biarkan saja waktu yang berbicara nanti& .
Kau keras kepala, Retno. Tidak mau mendengar omongan orang. Apalagi orang itu suamimu sendiri, Mas Yoyok mulai menggerutu lagi.
Jangan menyamakan orang yang keras memegang keyakinan dengan keras kepala!
Aku tidak ingin bertengkar, Retno. Sudah kukatakan tadi, aku capek. Apakah salah kalau seorang suami datang jauh-jauh ingin menjemput istri karena ada undangan yang harus dihadiri berdua"
Tentu saja tidak salah. Tetapi, itu kalau pasangan suami-istri yang wajar, yang normal.
Memangnya kita merupakan pasangan abnormal" Mas Yoyok mengerutkan dahinya hingga kedua alisnya nyaris bertaut.
Memang begitu! Please, Retno, jangan memancing pertengkaran. Apakah kau memang lebih menyukai pertengkaran daripada suasana damai yang menyenangkan"
Kedamaian yang seperti apa" Kedamaian gersang seperti yang kaualami bersama Yanti hanya demi terlihat harmonis, tenang, rukun dan bahagia di mata orang" Aku mendengus. Tidak, Mas. Aku punya
t . c pandangan yang lebih menekankan kejujuran dan apa adanya. Tidak ada kamulase. Tidak ada sandiwara. Tidak ada kepura-puraan dan tidak ada topeng-topeng dalam hidupku. Buat apa kelihatan bahagia dari luar tetapi sebenarnya hati yang ada di dada ini compangcamping" Munaik namanya!
Mendengar perkataanku, Mas Yoyok mencengkeram bahuku dengan wajah memerah.
Kau memang pandai bicara dan pandai menyudutkan orang, desisnya, menggeram seperti singa diganggu orang. Apa pun rencana hebatmu nanti, saat ini kau masih istriku dan aku suamimu. Besok menjelang siang, kita akan pulang bersama-sama.
Silakan pulang ke Jakarta. Tetapi tanpa aku, bantahku sambil berusaha melepaskan tangan Mas Yoyok dari bahuku. Tetapi usahaku tidak berhasil.
Bersamamu, Retno. Kedua orangtuamu pasti mendukung aku, Mas Yoyok mendesis lagi.
Biar saja mereka mendukungmu. Yang punya tubuh ini kan diriku sendiri. Lagi pula, aku tidak tertarik menghadiri jamuan makan yang sering dipakai sebagai ajang pamer kelebihan. Tak bermutu, snobbish, menjemukan, dan memuakkan... Belum selesai aku bicara, Mas Yoyok sudah memotong perkataanku dengan tidak sabar.
Aku tahu betul, kau memang punya segudang keinginan untuk membuatku merasa seperti orang yang tak punya perasaan positif, katanya sambil meraih kepalaku dengan kasar. Wajahnya mendekat ke wajahku. Seperti biasanya, dia pasti akan berusaha met . c nundukkan aku dengan cumbuan-cumbuannya. Tetapi aku sudah belajar banyak dari peristiwa seperti yang terjadi tadi malam. Karena gairah api asmaranya selalu berhasil membakarku, aku harus segera melepaskan diri dari pelukannya.
Dengan pikiran itu, cepat-cepat aku menjauhi Mas Yoyok. Tetapi dengan cekatan laki-laki itu meraih pinggangku. Untuk membebaskan tubuhku dari penguasaan dirinya, cepat-cepat aku melompat turun dari tempat tidur. Akibatnya rasa nyeri di pinggang dan di bagian tubuhku yang lain, datang lagi. Celakanya, sakitnya terasa berlipat kali daripada sebelumnya. Maka tanpa dapat kutahan, aku menjerit kesakitan sambil berpegang kuat-kuat pada sandaran kursi yang ada di dekatku. Peluh tiba-tiba saja bermanik-manik di dahi dan leherku.
Melihat keadaanku, Mas Yoyok meraih tubuhku kembali. Tetapi bukan dengan tujuan semula. Kenapa, Retno"
Sudah kukatakan, aku sakit ya sakit, jawabku, masih meringis.
Mendengar perkataanku, Mas Yoyok langsung mengangkat tubuhku dan dibaringkannya kembali ke atas tempat tidur.
Apanya yang sakit" tanyanya dengan air muka khawatir yang membuatku merasa senang. Baru tahu dia, rasa sakit yang kurasakan ini tak ada kaitannya dengan gairah asmara kami tadi malam.
Semuanya sakit, sahutku. Aku benci pada diriku sendiri saat menyadari air mata ikut bicara, mengt . c gelinding dari sudut-sudut mataku, dan memercik ke atas bantal.
Kulihat, Mas Yoyok tampak terkejut. Dia sudah cukup mengenal diriku. Air mataku mahal. Bahkan belum pernah dia melihatku mengeluarkan air mata, kecuali ketika Aryanti meninggal dunia.
Kita ke dokter, ya" bujuknya.
Kuanggukkan kepalaku. Melihat anggukanku, Mas Yoyok tampak cemas. Tak heran, biasanya aku selalu membantahnya!
Aku akan minta bantuan Purnomo untuk mendampingi kita.
Sekali lagi aku mengangguk sambil mengernyitkan dahi. Perutku mulai terasa sakit dan tegang.
t . c S EPULUH menit setelah Mas Yoyok melihat anggukanku, Purnomo berdiri di tengah kamar, siap untuk membantu Mas Yoyok.
Sebentar lagi petugas hotel akan membawakan kursi roda. Entah apa pun sakitnya, sebaiknya jangan berjalan sendiri, kata laki-laki itu sambil melihat arlojinya.
Aku setuju, sahut Mas Yoyok Nanti begitu kursi roda datang, kita langsung ke rumah sakit. Rumah sakit apa yang terbaik di kota ini, Retno"
Aku menyebut nama rumah sakit yang dimaksud. Maka ke situlah kami menuju. Sopir yang dipinjam Mas Yoyok, orang Yogya. Dengan cekatan dan tanpa ragu karena sudah sangat hafal jalan-jalan di kota Yogya ini, ia langsung membawa kami ke tujuan.
Ada banyak dokter terkenal yang praktik di rumah sakit tersebut. Tetapi kami bertiga tidak tahu harus pergi ke dokter yang mana. Untungnya pak sopir yang
Enam Belas t . c sudah terbiasa melayani majikannya, memberi usul yang masuk akal.
Kalau boleh memberi saran, sebaiknya Ibu jangan dibawa ke bagian pasien rawat jalan, pasti antre dan menunggu lama.
Lalu sebaiknya dibawa ke mana, Pak" tanya Purnomo.
Ke UGD saja. Di sana, Ibu bisa langsung diperiksa secara menyeluruh. Dan tindakan yang diambil, lebih cepat. Tetapi tentu saja terserah Bapak-Bapak. Ini tadi cuma sekadar saran saja. Begitulah yang sering dilakukan oleh Pak Bambang kalau ada yang sakit mendadak pada jam-jam di mana kebanyakan dokter tidak membuka praktik pribadinya. Lagi pula, peralatan di rumah sakit kan jauh lebih lengkap. Kalau mau periksa laboratorium juga bisa langsung ditangani.
Mas Yoyok dan Purnomo menerima masukan dari pak sopir dengan senang hati karena sarannya sangat masuk akal. Aku sih masa bodoh mau dibawa ke mana.
Begitu dibawa ke bagian UGD, aku didorong masuk ke ujung karena di bagian dekat pintu, agak gaduh. Ada pasien yang baru saja ditabrak motor dan mengalami patah tulang. Darahnya banyak sekali. Di ujung sana dokter jaga langsung menangani diriku dengan cermat dan teliti. Begitupun para perawat yang bertugas di sana, mereka dengan cekatan membantu dokter dengan mengukur tekanan darah dan lain sebagainya. Sementara itu kedua laki-laki yang mengantarkan aku, berada di ruang tunggu.
t . c Sejak kapan Ibu merasakan sakit" Di bagian mana yang terasa paling nyeri" begitu antara lain yang mereka tanyakan kepadaku. Kemudian dilanjutkan pemeriksaan laboratorium. Dalam waktu yang relatif singkat, dokter jaga yang memeriksaku tadi datang mendekatiku lagi. Dia menatapku beberapa saat lamanya.
Hasil urine Ibu menunjukkan Ibu sedang mengandung, katanya kepadaku. Apakah Ibu sudah tahu" Aku kaget sekali.
Saya& saya hamil& " tanyaku dengan terbata-bata. Saya& saya tidak tahu&
Ya, positif. Lalu& apa yang terjadi..." Saya mengalami keguguran, Dok" Sebodoh-bodohnya diriku, aku tahu bahwa orang hamil tidak akan mengalami kesakitan seperti yang sedang kurasakan ini. Jangan-jangan aku mengalami keguguran" Tuhan, baru saja aku mengetahui diriku hamil, jangan biarkan janin itu terlepas dari rahimku. Tolong, Tuhan, ampuni dosaku& .
Sebentar lagi dokter kebidanan dan kandungan akan datang memeriksa Ibu lebih lanjut. Beliau nanti yang akan menjelaskannya. Tetapi sebaiknya Ibu tenang. Kalau Ibu tegang, bisa memengaruhi kandungan Ibu. Jadi, rileks saja.
Aku mengangguk. Tak berapa lama kemudian aku diperiksa secara lebih teliti oleh dokter ahli kebidanan dan kandungan, termasuk pemeriksaan USG.
Sejauh yang tampak, janin masih bisa dipertahankan, kata dokter. Tetapi Ibu perlu beristirahat total di tempat tidur. Saya dengar domisili Ibu di Jakarta.
t . c Ya... Kemarin waktu ke Yogya, naik apa" Pesawat.
Sebaiknya Ibu jangan pulang ke Jakarta dalam waktu dekat ini, sarannya.
Baik, Dok. Aduh, senangnya aku. Tidak perlu pulang ke Jakarta bersama Mas Yoyok. Tetapi, Dok& kok perut saya mulas sekali rasanya& .
Nanti saya beri obat. Tetapi yang penting, saat ini Ibu harus beristirahat dengan sebaik-baiknya. Kalau tidak, bisa berbahaya untuk kandungan Ibu. Keguguran& "
Bisa terjadi. Jadi saya harus beristirahat"
Ya, total. Di tempat tidur. Kecuali untuk ke kamar mandi. Ibu juga harus rileks. Perasaan tegang dan semacam itu bisa memengaruhi kandungan. Nah, bisa menuruti saran saya" Kalau sulit mematuhi entah karena kesibukan ini dan itu, sebaiknya Ibu tinggal di rumah sakit barang sehari atau dua hari.
Ya, saya akan menuruti saran Dokter, sahutku. Aku tidak ingin dirawat di rumah sakit.
Begitulah, setelah seluruh pemeriksaan berakhir dan telah mendapatkan obat, seorang perawat membantuku naik kursi roda dan didorongnya aku keluar UGD. Perempuan muda bargaun putih bersih itu mengingatkan aku untuk berhati-hati dan waspada.
Perhatikan ya, Bu, kalau ada bercak darah segeralah kembali ke rumah sakit, begitu katanya.
t . c Ya. Terma kasih. Aduh, aku tidak ingin terjadi hal-hal yang membahayakan keselamatan janin yang ada di rahimku. Sungguh, aku menyesal sekali kenapa tidak mengetahui kehamilan ini sebelumnya. Padahal bulan lalu aku sudah tidak mendapat haid. Meskipun ini suatu pengalaman baru, semestinya aku lebih peka untuk menangkap adanya perubahan. Pertama, tidak haid. Kedua, belakangan ini pinggangku sering merasa pegal. Ketiga, peruku bagian bawah sering terasa tak enak. Tetapi yah, inilah akibatnya.
Bersama Mas Yoyok dan Purnomo, akhirnya aku kembali ke hotel. Aku langsung naik ke atas tempat tidur. Purnomo menyalakan televisi kemudian bertanya kepada Mas Yoyok.
Kita jadi pulang besok, atau& "
Ya, tentu saja jadi. Kemarin begitu tiba di Bandara Adi Sucipto aku sudah langsung mencari tiket. Karena tidak tahu kalau kau ada di Yogya, jadi aku hanya beli dua tiket saja.
Aku tidak akan pulang besok kok, Mas. Dik Purnomo bisa memakai tiketku, aku menyela.
Setelah kau nanti minum obat lalu seharian ini dan semalaman nanti beristirahat, aku yakin besok kau sudah sehat kembali dan kita bisa pulang besok, Retno, Mas Yoyok berkata, seakan tidak mendengar perkataanku.
Tidak bisa, Mas. Aku betul-betul harus beristirahat. Dokter mengatakan begitu, bantahku dengan perasaan jengkel. Oleh karena itu tidak kujelaskan padanya kenapa aku harus beristirahat. Jadi, pulanglah
t . c besok bersama Purnomo. Aku akan kembali ke rumah Ibu untuk beristirahat.
Di Jakarta, kau bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Ada banyak orang yang akan melayanimu. Di sini, kau akan merepotkan kedua orangtuamu.
Ada Nining, ada Mbok Karjo. Lagi pula aku bukan orang yang manja dan cerewet kok. Pokoknya aku tidak ingin pulang.
Retno, jangan seperti anak kecil!
Mas Yok, Mbak Retno, sebaiknya aku kembali ke kamarku dulu. Purnomo yang merasa tak enak melihat adu kata kami, lekas-lekas keluar kamar. Kalau perlu bantuanku, telepon saja.
Sepeninggal Purnomo, aku menoleh ke arah Mas Yoyok kembali.
Tidak semua orang yang ingin ditemani ibunya bersifat kekanakan atau tanda kelemahan, kataku. Sebab ada sesuatu yang sebetulnya merupakan salah satu dari lima kebutuhan dasar manusia. Yaitu kebutuhan untuk dicintai dengan kehangatan hati. Nah, itulah yang kuinginkan saat ini. Aku membutuhkan cinta Ibu yang tulus. Aku juga membutuhkan rasa hangat yang hanya bisa kurasakan di rumah orangtuaku.
Jadi maksudmu, kau tidak mendapatkan kehangatan di rumah kita" Mas Yoyok mengerutkan dahinya.
Tidak. Rumah itu bukan rumahku. Aku tak pernah menjadi bagian di sana. Bahkan aku sering merasa sebagai outsider.
Pikiranmu aneh-aneh! Mas Yoyok tampak kesal sekali. Apakah tidak terpikir olehmu bahwa rumah
t . c milik suami, juga rumah milik sang istri. Jadi, pulanglah besok bersamaku ke rumah kita kembali.
Tidak. Surat yang kutinggalkan untukmu beberapa hari lalu itu sudah kaubaca kan, Mas" Masa lupa apa isinya!
Itu lagi, itu lagi. Apa tidak ada alasan lain yang lebih enak didengar sih" Kau kan sudah tahu, aku sangat menentang perceraian. Apalagi kalau alasannya bukan hal yang sangat prinsip.
Tetapi buatku sangat prinsip. Kau telah menampar pipiku. Kata orang, kalau seseorang pernah menangani istrinya, maka hal itu akan menjadi kebiasaan baginya. Aku tak mau itu terjadi padaku.
Setelah menamparku malam itu, sampai hari ini satu kali pun Mas Yoyok belum meminta maaf. Bahkan menyinggung masalah itu pun, tidak. Aku marah sekali kalau ingat itu. Seumur hidup, baru sekali itu pipiku ditampar orang. Tanpa minta maaf pula.
Begitu aku mengingatkan dirinya mengenai peristiwa itu, pipi Mas Yoyok langsung merona merah. Tetapi sepatah kata pun dia tidak juga mengucapkan permintaan maaf kepadaku sehingga kemarahan yang sempat singgah di hatiku tadi, datang lagi dengan derajat yang lebih tinggi. Akibatnya, perutku terasa tegang dan tidak enak. Hal itu menyebabkan aku merasa seperti sedang ditegur oleh dokter yang menanganiku tadi.
Kalau Ibu tidak bisa menuruti saran saya untuk beristirahat dan rileks, sebaiknya tinggal saja di rumah sakit, begitu kata dokterku tadi. Artinya, kalau aku
t . c terus bersitegang dengan Mas Yoyok dan emosiku jadi teraduk-aduk karenanya, kandunganku bisa mengalami masalah. Mengingat hal itu perasaanku jadi kacau. Bagaimana mungkin aku bisa beristirahat dengan tenang jika Mas Yoyok masih saja memaksakan kehendaknya sendiri.
Aku juga tidak ingin menampar orang kok, kudengar Mas Yoyok membela dirinya. Bukan kebiasaanku melakukan hal seperti itu. Jadi aku pasti tidak akan menampar pipimu lagi. Nah, kita sudahi pembicaraan mengenai hal itu. Sekarang yang penting, kalau aku pulang besok, istriku juga harus ikut pulang. Tidak semestinya sepasang suami-istri terpisah-pisah. Kau harus ingat, betapapun besarnya keinginanmu berpisah dariku tetapi saat ini kau masih sah sebagai istriku. Dan aku masih sah sebagai suamimu.
Kalau memang begitu, kenapa bukan kau yang menuruti kemauanku" Kenapa aku yang harus selalu menuruti kemauanmu"
Kemauanmu yang mana"
Aku tidak ingin pulang bersamamu karena ingin beristirahat beberapa waktu lamanya di sini. Nah, kenapa bukan kau saja yang ikut beristirahat di kota ini. Bukankah kau tak pernah mengambil cuti" Bahkan waktu kita menikah pun kau tidak bisa mengambil cuti karena banyaknya pekerjaan& .
Masalah pekerjaan, itu lain. ..
Kalau begitu menikahlah dengan pekerjaanmu! Usai berkata seperti itu, aku meringis. Perutku yang mulai tegang dan terasa tak enak tadi semakin mengt . c gangguku. Aku harus rileks dan beristirahat lahir dan batin kalau tidak ingin mengalami keguguran. Tetapi seperti yang kupikirkan tadi, bagaimana mungkin aku bisa tenang kalau setiap berdekatan dengan Mas Yoyok selalu saja bertengkar dan adu urat leher. Aku merasa putus asa memikirkan kenyataan itu sampai akhirnya air mataku mulai ikut bicara lagi, mengalir lewat sudutsudut mataku.
Karena tidak ingin terlihat oleh Mas Yoyok, aku mencabut sehelai tisu yang ada di meja kecil di samping tempat tidurku. Tetapi terlambat. Laki-laki itu telanjur melihat air mataku.
Kenapa menangis" tanyanya.
Aku tidak ingin menjawab. Sebagai gantinya mataku kupejamkan rapat-rapat. Dan aku benci pada diriku sendiri, tak mampu menghentikan air mataku sehingga tetap saja menerobos melalui sela-sela sudut mataku.


Istana Emas Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kenapa menangis" Mas Yoyok mengulangi pertanyaannya. Dia tahu betul, air mataku tak mungkin tumpah jika bukan karena sesuatu yang sangat mengusik perasaanku.
Aku& aku tidak ingin pulang ke Jakarta& . Beri aku alasan yang jelas dan akurat tanpa menyinggung-nyinggung masalah perpisahan. Apalagi perceraian, kata Mas Yoyok. Dari suaranya, aku tahu dia sedang mati-matian menahan diri agar tidak bicara dengan kasar. Dia tak suka aku lebih memilih tinggal di Yogya daripada ikut pulang dengannya ke Jakarta.
Aku tadi kan sudah bilang, dokter mengharuskan aku beristirahat. Lahir dan batin& .
t . c Sebetulnya, kau sakit apa" Sejak tadi kau belum mengatakan kepadaku apa kata dokter"
Aku tidak bisa segera menjawab pertanyaannya. Perutku terasa mulas lagi. Jadi tanganku kuremas sendiri sambil meringis.
Kenapa" Suara Mas Yoyok melembut. Kulihat, laki-laki itu mulai menaruh perhatian kepadaku. Dia pindah duduk di tepi tempat tidur. Apanya yang sakit"
Semua yang ada padaku, terasa sakit. Perutku, pinggangku dan& perasaanku, sahutku sedikit terisak. Karena sikapnya yang bossy, aku belum mau menceritakan apa yang terjadi pada diriku. Sikapmu yang masih saja arogan menambah rasa sakitku. Jadi tinggalkan aku, Mas. Pulanglah ke Jakarta. Biarkan aku beristirahat di sini dengan tenang. Dokter yang menanganiku tadi malah mengatakan bahwa aku harus mematuhinya. Istirahat total dan rileks supaya...
Sejak tadi hanya itu-itu saja yang kaukatakan kepadaku, Mas Yoyok memotong perkataanku dengan tak sabar. Tetapi kau tak menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi. Sakit apa dan apa sebabnya.
Jadi kau betul-betul ingin tahu apa penyakitku, Mas" Tetapi kenapa ketika pulang dari rumah sakit tadi kau tidak bertanya apa-apa" Bahkan sepertinya kau menganggap penyakitku ini biasa-biasa saja sehingga mengira kalau sehari dan semalam nanti beristirahat, aku besok bisa ikut pulang bersamamu.
Mendengar perkataan yang kuucapkan dengan
t . c terbata-bata, wajah Mas Yoyok mendadak jadi pucat. Dia mencengkeram telapak tanganku.
Kupikir penyakitmu tidak serius, katanya dengan suara bergetar. Kau tidak apa-apa, kan"
Melihat kecemasannya, aku jadi ingat lagi, Mas Yoyok pernah mengalami peristiwa traumatik karena penyakit yang merenggut nyawa Aryanti. Terutama karena mula-mula dia tidak menyangka penyakit yang diderita Yanti itu sangat serius.
Tentu saja aku apa-apa karena dokter sudah mengingatkanku untuk sungguh-sungguh beristirahat dan tidak boleh bepergian jauh dalam waktu dekat ini. Kalau tidak, aku bisa mengalami keguguran..., kataku, terloncat begitu saja dari mulutku.
Apa" Keguguran" Alis mata Mas Yoyok terangkat tinggi-tinggi, matanya bersinar heran. Keguguran kan hanya bisa terjadi pada orang hamil.
Ya Tuhan, inikah laki-laki berwibawa yang ditakuti dan disegani para anak buahnya" Betapa naifnya.
Kau betul seratus persen, Mas. Hanya orang hamil saja yang bisa mengalami keguguran, aku menjawab kalem tetapi tegas.
Mas Yoyok terdiam. Bola matanya yang menatapku tampak aneh saat dia sedang mencerna perkataanku sampai akhirnya ia berseru dengan suara serak sambil merengkuh kepalaku, menciumi rambut dan dahiku.
Kenapa kau tidak mengatakannya sejak tadi-tadi, Retno, katanya kemudian. Aku telah membuatmu merasa kesal.
Tetapi kenapa kau juga tidak menanyakannya
t . c begitu aku muncul dari UGD tadi, seolah aku cuma mengalami masuk angin biasa, sahutku.
Maafkanlah aku, Retno. Ada banyak kesalahanku kepadamu. Maafkan pula aku yang telah menamparmu beberapa hari yang lalu. Padahal saat itu kau sudah mengandung anakku dan mungkin emosimu sedang labil akibat kehamilan itu, kata Mas Yoyok dengan suara bergelombang. Aku memang bukan suami yang baik.
Aku tidak menjawab apa pun. Kesempatan itu dipakai oleh Mas Yoyok unuk menelepon Purnomo.
Pur, besok kau kembali ke Jakarta sendirian, ya" Urus tiketku agar bisa kaupergunakan. Aku akan menemani Retno sampai ia kuat melakukan perjalanan pulang, kudengar laki-laki itu bicara kepada sepupunya. Kemudian dia diam sebentar untuk mendengar apa-apa yang dikatakan oleh Purnomo, baru kemudian melanjutkan bicaranya lagi. Tolong uruskan cutiku sekalian. Cuti besar lima tahunanku belum kuambil sama sekali.
Setelah mematikan ponselnya, Mas Yoyok mendekatiku lagi sambil meraih tanganku.
Kau bisa beristirahat di hotel ini sepuasmu bersamaku. Aku akan menjadi juru rawatmu dan menjadi pelayanmu, katanya sambil menciumi punggung tanganku. Akan kutebus waktu-waktu yang selama ini berlalu tanpa kehangatan di antara kita. Kalau kau ingin sesuatu, katakan saja. Aku akan menyiapkannya sesegera mungkin. Apa saja akan kuturuti.
Mau tidak mau mau aku tersenyum mendengar Mas Yoyok merayuku seperti itu.
t . c Sungguh" tanyaku. Apa pun akan kauturuti" Seratus persen bulat-bulat sungguh! Aku tersenyum lagi.
Aku ingin kau menjadi seorang suami yang hangat, yang penuh kasih sayang, yang mesra, dan tidak kaku&
Aku suami yang buruk ya" Mas Yoyok memotong perkataanku.
Ya. Dan sudah saatnya kau berubah. Kalau kau berubah, aku pasti akan berubah menjadi istri yang lembut, sabar, dan manja& .
Apakah itu berarti kau tidak jadi menginginkan perceraian" tanyanya, penuh harap. Matanya menatap bibirku tajam sekali. Jelas ia ingin mendengar kepastian dari mulutku.
Aku tidak ingin anakku lahir dan tumbuh tanpa didampingi ayah dan ibunya bersama-sama.
Perkataanku dijawab oleh Mas Yoyok dengan memelukku erat-erat, kemudian dikecupnya dahi, pipi, dan bibirku dengan lembut dan mesra sekali. Retno& aku semakin mencintaimu, bisiknya. Kepala Mas Yoyok kujauhkan dari wajahku. Apa" Kau mencintaiku" tanyaku. Jadi benarlah tebakan Purnomo. Mas Yoyok mencintaiku!
Ya. Mana mungkin aku menikah dengan perempuan yang tidak kucintai setelah kurasakan gersangnya perkawinan pertamaku yang tidak dilandasi cinta. Ya, aku mencintaimu sudah sejak lama. Bahkan ketika Yanti masih hidup. Kurasa dia mengetahui itu, karena itu dia dengan arifnya membuat surat wasiat untuk kita& .
t . c Aku merasa takjub mendengar pengakuannya. Tetapi& aku sering menjengkelkanmu, bukan" Ya, amat sangat. Tetapi kau seperti magnet bagiku. Terlalu kuat daya tarikmu. Sifatmu, kata-katamu, kecerdasanmu, berbagai kepadaianmu, jiwa senimu, bahkan keras kepalamu. Pokoknya semua yang ada padamu membuatku ingin menaklukkanmu. Aku ingin kau juga mencintaiku& .
Aku juga mencintaimu, Mas. Kalau tidak, mana mungkin aku menerima lamaranmu, meski saat itu aku belum sadar bahwa sesungguhnya aku menaruh perasaan khusus kepadamu. Tetapi sikapmu, kebiasaanmu, caramu berkata dan bertindak menyebabkan perasaan itu kutindas kuat-kuat dengan cara menentang dan melawanmu.&
Sekali lagi maafkan aku, Retno. Aku memang bukan suami yang baik. Tetapi justru karena sekarang aku tahu itu, aku akan memperbaikinya. Ajarilah aku cara mencintaimu. Ajarilah aku memiliki hati dan sikap yang hangat dan mesra, sahut Mas Yoyok.
Baik. Pertama-tama, aku tidak ingin kita pisah kamar. Suami-istri yang saling mencintai haruslah tidur dalam satu kamar dan satu tempat tidur, pintaku.
Aku sudah merasakan indahnya& tadi malam& . Mas Yoyok tampak tersipu saat berkata seperti itu. Tidur di bawah satu selimut sambil berpelukan hingga pagi& .
Aku tertawa. Kupijit hidungnya.
Aku bahagia mendengar kata-katamu. Karena aku tahu bahwa pada dasarnya kau seorang yang mampu
t . c melimpahi kemesraan dan kelembutan yang& luar biasa& . Kini ganti aku yang tersipu. Memang itu hanya pada saat-saat kita di atas tempat tidur saja. Tetapi aku berharap, sikapmu juga mesra dan lembut di saat yang lain.
Aku akan belajar, Sayangku. Manisku, kekasih hatiku, kata Mas Yoyok sambil mengeratkan pelukannya.
Aku tertawa dalam hati mendengar rayuannya yang baru sekali itu kudengar. Lucu, kaku, dan menggelikan. Tetapi aku menyukainya. Jadi kubalas pelukannya. Aku mencintaimu, Mas, bisikku.
Mas Yoyok semakin kuat memelukku, tetapi kutegur dia.
Hati-hati, Mas. Aku masih harus beristirahat, kataku. Cepat-cepat Mas Yoyok melepaskan tubuhku. Kemudian matanya mengarah ke atas meja, ke obat dan vitamin yang harus kuminum.
Makan dulu lalu minum obat, ya" katanya sambil mengambil daftar menu yang tergeletak di atas meja. Mau makan apa" Kubacakan, ya"
Ini bagian dari pelayananmu" aku menggodanya. Ya. Mas Yoyok tertawa. Nanti kalau pesanan makanan datang, segeralah makan. Setelah itu minum obat lalu tidur. Aku akan ke rumah orangtuamu mengabari keadaanmu.
Kenapa tidak melalui telepon saja"
Aku ingin keluar sebentar. Barangkali ada makanan kecil atau apa yang bisa mengisi lemari es itu.
t . c Mas, apa tidak lebih baik kita pindah ke rumah Ibu selama kau menghabiskan cutimu nanti"
Aku ingin kita hanya berdua-dua saja, Retno. Malahan aku ingin pindah kamar yang lebih komplet sehingga kalau ada tamu, kita bisa menemaninya di luar kamar tidur.
Kan mahal, Mas. Kita di Yogya tidak sebentar lho, aku mengingatkan. Jangan boros.
Dengar, Retno, sejak menikah, kita belum berbulan madu. Itu alasanku. Tak ada salahnya kita berfoya-foya sekarang. Kedua, aku punya kartu anggota salah satu biro wisata dan berhak mendapat diskon sampai empat puluh persen. Ketiga, aku ingin istriku bisa beristirahat dengan nyaman dan tenang. Keempat, apa gunanya menumpuk uang kalau tidak pernah dipakai untuk bersenang-senang bersama istri. Pokoknya, banyak alasanku. Demi istri tercinta, jawab Mas Yoyok.
Aku lupa punya suami kaya, komentarku sambil tertawa.
Usai makan dan minum obat, aku langsung tertidur. Mungkin ada obat tidurnya, entahlah. Atau mungkin karena perasaanku telah lega dan hatiku damai. Selama aku tidur, Mas Yoyok pergi. Tetapi menjelang sore, dia telah kembali. Kulihat dia membawa barang-barang belanjaan.
Ada makanan ringan macam-macam, Retno. Tetapi nanti saja kita bongkar kalau sudah pindah kamar. Aku berhasil mendapatkan kamar yang komplet dengan pemandangan ke arah Gunung Merapi. Kau pasti senang.
t . c Bersamamu, di kamar pengap yang sempit pun aku senang.
Mas Yoyok tertawa, mendekatiku dan mencium lembut keningku.
Kau membuat dadaku mengembang, Sayang, katanya. Bagaimana kondisimu setelah tidur nyenyak tadi"
Jauh lebih enak. Suasana hati rupanya ikut berpengaruh pada kondisi isikku.
Syukurlah, aku senang. Usai berkata seperti itu, dari saku pantalonnya ia mengeluarkan sebuah kotak kecil yang diletakkannya di atas dadaku. Ini hadiah untuk ibu calon anakku. Bukalah.
Sekarang karena aku tahu hadiah itu dibeli dengan kasih sayang, aku langsung membukanya dengan senang hati. Kotak itu berisi sebuah gelang emas dengan tulisan I love you sebagai hiasannya. Gelang itu bukan sesuatu yang isimewa jika dinilai dengan uang. Bentuknya biasa saja dan aku sering melihat orang memakainya sebagai liontin. Beratnya pun sekitar sepuluh gram. Tetapi aku senang sekali karena makna tulisan yang menjadi hiasannya.
Kulihat Mas Yoyok memerhatikan aku ketika gelang itu kukenakan di pergelangan tanganku. Ketika ke Yogya, sama sekali aku tidak memakai perhiasan apa pun.
Kebetulan aku melihatnya. Jadi langsung kubeli untukmu, katanya menjelaskan.
Tepat sekali, kataku sambil mengangguk. Bagiku hadiah ini jauh lebih berharga karena di dalamnya
t . c hanya ada cinta. Tidak ada alasan lainnya, sahutku. Terima kasih, Mas.
Mas Yoyok tersenyum. Maka hari itu dimulailah awal bulan madu kehidupan kami yang sesungguhnya. Beberapa minggu berada di Yogya dalam suasana manisnya madu sungguh membuatku merasa bahagia. Menjelang pulang ke Jakarta, aku memeriksakan diri ke dokter kebidanan dan ahli kandungan yang menanganiku di UGD waktu itu. Aku dan Mas Yoyok merasa lega, kandunganku sudah sehat dan janinnya masih terus tumbuh dan berkembang di dalam rahimku. Karena perjalanan Yogya-Jakarta tak sampai satu jam lamanya, dokter memberi izin aku naik pesawat.
Begitulah, tiga minggu setelah keberangkatanku seorang diri ke Yogya, kini aku pulang kembali ke Jakarta bersama dengan lelaki yang mencintaiku dan yang sangat kucintai. Ketika kami berdua turun dari mobil, kulihat Popon, Asih, dan Bik Nunung sudah siap membantu mengangkat barang-barang kami. Untungnya di dalam koper baru yang berisi pakaian-pakaian yang kubeli di Yogya, ada oleh-oleh untuk ketiga pembantu rumah tangga kami. Waktu aku membeli blus-blus batik untuk mereka, Mas Yoyok menatapku dengan pemahaman baru bahwa membelikan sesuatu dengan kasih sayang, terasa amat menyenangkan.
Mataku sempat melihat pandangan terheran-heran dari ketiga pembantu kami ketika melihat Mas Yoyok langsung mengangkatku begitu kami turun dari mobil. Tak heran, ketika pertama kali aku dibawa masuk ke rumah ini sebagai pengantinnya, sikapnya tampak
t . c biasa-biasa saja, bahkan tampak formal. Tetapi sekarang pulang dari Yogya, segalanya tampak berbeda. Berada di dalam gendongannya, aku membiarkan kemesraan membungkus diri kami berdua dan kulingkarkan lenganku ke leher Mas Yoyok saat dia membawaku masuk ke rumah.
Kita akan memulai kehidupan baru yang lebih menyenangkan di dalam rumah ini, dengan anak-anak kita. Rumah ini cukup besar untuk menampung sedikitnya empat anak buah cinta kita berdua, kata Mas Yoyok sambil mengecup rambutku, tanpa malu dilihat orang. Untuk itu, aku masih membutuhkan uluran tanganmu. Ajari aku mencintai dan berkasih sayang& .
Ya, Mas. Kita berdua akan saling mengisi dan melengkapinya. Di dalam istana emas ini kita akan membangun kehidupan yang hangat penuh kemewahan batin dan gemerlapnya kasih sayang keluarga, sahutku dengan perasaan haru.
Mas Yoyok menghentikan langkahnya, menatapku sesaat lamanya.
Istana emas, gumamnya. Alangkah pandainya kau memberi nama yang tepat, di saat yang tepat pula untuk rumah kita ini.
Aku tersenyum. Kukecup dagunya. Untuk apa aku menceritakan bahwa nama itu sudah lama kuberikan pada rumah besar ini. Tetapi kalau dulu istana emas yang kumaksud merupakan bangunan megah dan mewah yang dingin tanpa kehangatan dan kenyamanan karena hanya simbol prestise belaka, kini maknanya
t . c sudah sangat lain sama sekali. Kini istana emas yang baru saja kumasuki adalah tempatku dan Mas Yoyok membentuk keluarga yang penuh cinta kasih. Kami berdua sama-sama semakin sadar bahwa besar atau kecil, sederhana atau mewah sebuah rumah, tidak layak disebut sebagai istana emas jika tidak ada kekayaan cinta dan kehangatan di dalamnya.
Yah, memang hanya penghuninya sajalah yang bisa membuat sebuah rumah menjadi nyaman untuk ditinggali atau sebaliknya. Jadi ketika aku diturunkan di kamar tidur yang akan menjadi tempat kami berdua saling berbagi cinta dan banyak hal, kucium bibir Mas Yoyok dengan mesra dan penuh gairah.
Laki-laki itu, suamiku, membalas ciuman dan kemesraanku dengan sama bergairahnya. Istana ini akan kami isi dengan kehidupan yang menyenangkan. Untuk keluarga inti kami kelak, untuk keluarga besar masingmasing, untuk kenalan, sahabat, dan pegawai. Untuk seluruh penghuninya.
t . c t . c GRAMEDIA penerbit buku utama
t . c GRAMEDIA penerbit buku utama
t . c t . c Sebagai gadis yang dibesarkan dalam keluarga sederhana penuh dengan kehangatan cinta, Retno merasa amat prihatin melihat kejanggalan-kejanggalan yang disaksikannya di rumah besar dan mewah milik Yanti, sahabat karibnya.
Istana emas , demikian ia menamai rumah itu, penuh dengan basa-basi, kaku dan terlalu banyak formalitas yang menurutnya sama sekali tak perlu. Retno tahu, penyebab situasi tak menyenangkan itu adalah Mas Yoyok, suami Yanti. Meskipun masih muda, sikap laki-laki itu sangat bossy, otoriter, dan tak suka dibantah. Retno sudah tidak menyukainya sejak awal mengenalnya. Terlebih karena Aryanti, sahabatnya yang periang, hidup tertekan di bawah dominasi sang suami.
Keprihatinan dan ketidaksukaan Retno menjadi amarah saat Yanti sakit keras. Tanpa merasa takut, ia menegur Mas Yoyok agar lebih mencintai dan memperhatikan istrinya. Tanpa segan pula ia mengecam sikap otoriter lelaki itu.
Namun nasib yang tak terelakkan justru membawa Retno harus berada di dalam istana emas itu setelah sahabatnya meninggal. Almarhumah Yanti menitipkan suaminya kepadanya. Sejak itu, konflik batin menerjang masuk dalam kehidupan Retno, karena seiring berjalannya waktu dan di balik kebenciannya terhadap Mas Yoyok, pelan-pelan benih-benih cinta terhadap lelaki itu tumbuh dengan subur di hatinya.
i n t . c Pendekar Setia 4 Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt Mata Elang 2

Cari Blog Ini